The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku Ilmu Kalam merupakan sebuah buku yang membahas sejarah ilmu kalam, ruang lingkup dan aliran-aliran kalam secara dasar.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by izzasaifudin, 2021-12-01 06:05:31

Ilmu Kalam

Buku Ilmu Kalam merupakan sebuah buku yang membahas sejarah ilmu kalam, ruang lingkup dan aliran-aliran kalam secara dasar.

F. Nilai Khawarij
Orang-orang khawrij keluar dari Islam sebagaimana yang

disebutkan Rasulullah saw., mereka keluar dari islam
sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.
G. Fenomena khawarij

Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat. “mereka
akan senantiasa keluar sampai yang terakhir keluar bersama
Al-Masih Ad-Dajjal.
H. Kedudukan Khawarij

Kedudukan mereka sangat rendah di dunia disebut
sebagai seburuk buruk makhluk dan di akhirat disebut sebagai
anjing neraka.

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 43

BAGIAN KE EMPAT
MURJI’AH

A. Latar Belakang Kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari Al-Irjo’ atau arja’a yang

bermakna penundaan, penanggungan dan pengharapan.
Dengan demikian, mereka berdiri di seberang yang berlawanan
dengan Khawarij dan aqidah mereka kebalikan yang sempurna
dari aqidah Khawarij, Mazhab mereka ini dapat diungkapkan
dengan bahasa kekinian sebagai mazhab tasamu (toleransi),
yakni toleransi agama terhadap kelompok orang mukmin
dalam batas-batas orang Islam. Tidak ada saling mengkafirkan
dan tidak ada pula saling mengutuk.

Kelahiran firqah murji’ah tidak begitu jelas, tetapi dapat
dibatasi waktu munculnya yaitu pada decade-dekade terakhir
dari abad pertama firqah ini lahir sebagai efek antithesis atau
reaksi terhadap kehiperbolisan khawarij dalam aqidah mereka
dari segi pengkafiran dan kekerasan bahwa amal adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari iman.Menurut khawarij pelaku
dosa besar bukanlah seorang mukmin. Orang-orang murji’ah
mengatakan pendapat yang sebaliknya, iman adalah
ma’rifatullah (mengenal Allah) tunduk, dan cinta kepada-Nya
dengan hati.

Adapun ketaatan-ketaatan lain selain itu bukan lah dari
iman dan meninnggalkannya tidak merusak hakikat iman, tidak
disiksa apabila iman tersebut murni dan keyakinan benar.

44 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

Pendapat ini diriwayatkan dari Yunus bin Aun an Numairi,
yaitu salah seorang pelopor pendiri mazhab ini dan kepadanya
dinisabtkan Firqah Yunusiyah dari Murji’ah.

Diantara pendapat-pendapat mereka yang mahsyur
sebagai pribahasa dari mereka adalah maksiat atau
kedurhakaan tidak merusak selama beriman, sebagaimana
ketaatan tidak berguna bersama kekafiran. Muqatil bin
Sulaiman berkata, dia termasuk golongan ink, “Bahwasannya
kemaksiatan tidak akan merusak neraka, Ghassan al kufi
mengatakan, “Iman itu bertambah dan tidak berkurang.

B. Doktrin-Doktrin Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari

gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam
banyak persoalan, baik persoalan politik atau teologis di bidang
politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik
netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan
sikap diam. Adapun di bidang teologi, doktrin irja
dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-
persoalan teologis yang muncul saat itu.

Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan
yang ditanggapinya menjadi semakin komplekssehingga
mencapai iman, kufur, dosa besar dan ringan (mortal and venial
sains), tauhid, tafsir Al-Qur’an, ekskatologi, pengampunan atas
dosa besar, kemaksuman nabi (the impeccability of the profhet),
hukuman atas dosa (punishment of sins), ada yang kafir
hakikat Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan
(predestination).

Kaum murji’ah dibagi menjadi dua golongan besar :

a. Golongan Moderat
Teologi muslim mendasarkan iman pada 3 faktor utama,

yaitu: Tasdiq (membenarkan dengan hati), Iqrar (pengakuan
lisan ), Amal (perbuatan patuh atau baik). Murji’ah telah

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 45

mengangkat massalah pertama dan kedua tersebut secara
positif yakni dengan menekankan pentingnnya kedua faktor
tersebut, sedangkan mereka mengangkat masalah ketiga secara
negatif yakni dengan menolak kepentingan esensialnya
menurut konsep Iman tetapi golongan moderat tidak menolak
secara mutlak nilai amal.

Tetapi paling tidak mereka tidak menganggapnya sebagai
salah satu dari yang iman.Mereka lebi menganggapnya sebagai
hal yang sekunder. Sementara dalam pelebelan kafir, golongan
moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Tetapi akan
dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang
dilakukannya da nada kemungkinan bahwa Tuhan akan
mengampuni dosanya.

b. Golongan Ekstrim
Menurut golongan ini, iman itu hanya didasarkan pada

dua faktor yaitu tasdiq dan iqrar sehingga mereka benar-benar
menolak amal. Menurut mereka iman itu tempatnya hanya
dalam hati dan lisan saja, bukan pada anggota tubuh yang
lainnya, sehingga penilaian terhadap amal benar-benar tidak
dipertimbangkan.

C. Sekte-Sekte Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok murji’ah

tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat (bukan hanya
dalam hal intesitas) dikalangan pendukung murji’ah sendiri.
Dalam hal ini terdapat problem yang cukup mendasar ketika
para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte murji’ah.

Kesulitannya antara lain adalah ada beberapa tokoh
aliran pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat
sebagai pengikut murji’ah, tetapi tidak diklaim oleh penganut
lain. Tokoh yang dimaksud adalah Washil bin Atha dari
Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus Sunnah. Oleh karena

46 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

itulah, Ash-Syahrastani, seperti dikutip oleh Watt,
menyebutkan sekte-sekte murji’ah sebagai berikut: Murji’ah-
Khawari’j, Murji’ah-Qadariyah, Murji’ah-Jabariyah, Murji’ah
murni dan Murji’ah sunni (tokohnya adalah Abu Hanifah)

Golongan Murji’ah dibagi dalam dua kelompok besar
yaitu golonan moderat dan ekstrim. Golongan moderat
mengatakan orang yang dosa besar bukan kafir tetapi mukmin
dan tidak kekal dalam neraka.Mereka lakukan dan kemudian
masuk surga. Namun ada pula kemungkinan Tuhan
mengampuni mereka sehingga mereka tidak masuk neraka
sama sekali.

Golongan yang ekstrim di pelopori oleh Jahm bin
Shafwan. Menurut Jamh, orang Islam yang percaya kepada
Tuhan kemudian mengatak kafir secara Islam, belumlah
menjadi kafir karena iman dan kufur terletak dalam hati, bukan
dalam bagian lain tubuh manusia bahkan orang itu tidak
menjadi kafir, walaupun ia menyembah berhala, menjalankan
ajaran agama lain, menyembah salib dan kemudian meninggal.

Orang-orang itu kata Allah tetap mukmin yang sempurna
karena Iman bagi golongan Murji’ah terletak dalam hati, hanya
Tuhan yang mengetahui, timbulah dalam pendapat meraka
bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan jahat tidak merusak
iman. Jika seseorang mati dalam keadaan beriman,dosa-dosa
dan pekerjaan jahat yang dilakukannya tidak akan merugikan
orang itu.

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 47

BAGIAN KELIMA
JABARIYAH

A. Latar Belakang Munculnya Aliran Jabariyah
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang

mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus munjid
dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan
sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti
Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah
adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan
menyadarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain
adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan
terpaksa (majbur).

Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang
menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah
ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah.Maksudnya
adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan oleh manusia
tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh
Tuhan dan dengan kehendak-Nya, disini manusia tidak
mempunyai kebebasandalam berbuat, karena tidak memiliki
kemampuan.Ada yang mengistilahkan bahwa Jabariyah adalah
aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.

Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran
Jabariyah tidak adanya penjelasan yang sarih. Abu Zahra

48 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan
masa Bani Umayyah ketika itu para ulama membicarakan
tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia krtika
berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapun tokoh
yang mendirikan alira ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi
adalah Jahm bin Safwan, yang bersamaan munculnya aliran
Qadariyah.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga
telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat
Arab. Kehidupan Bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir
sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup
mereka di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air
yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak
memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang
kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya
musim serta keringnya udara.

Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi
demikian masyarakat arab tidak melihat jalan unuk mengubah
keadaan Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-
kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan
alam, sehingga menyebabkan mereka kepada paham
fatalisme.Untuk membenarkan perbuatan-perbuatan mereka,
mereka menyatakan bahwa “manusia sama sekali tak berdaya,
oleh karena itu mereka tidak bisa betanggung jawab terhadap
perbuatan mereka”. “jabr” adalah suatu aliran (cara) berfikir,
didirikan oleh jahm bin sofwan yang memproklamirkan bahwa
“manusia tidak mempunyai kebebsan berkehendak dan tidak
mempunyai pilihan berbuat manusia itu secara keseluruhan
tidak berdaya dan bekerja seperti robot;manusia tidak
betanggung jawab atas perbuatan-perbuatanya.

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya
aliran ini, dalam Al-Qur’an sendiri banyak terdapat ayat-ayat

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 49

yang menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham
jabariyah, diantaranya: QS: Al-an’am (6)-112

Artinya : Mereka sebenarnya tidak akan percaya, sekiranya
Allah tidak menghendaki.” QS: alshaffat (37)-96.
B. Tokoh-Tokoh dalam Aliran Jabariyah

Faham Jabariyah pertama kali di tonjolkan dalam sejara
teologi Islam oleh Ja’ad bin Dirham Ia adalah seorang hamba
dari bani hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh dengan
hukum pancung oleh Guburner Kuffah yaitu Khalid bin
Abdullah El-Qusri. Ja’ad bin Dirham, menjelaskan tentang
ajaran pokok dari jabariyah adalah Al-Qur’an adalah makhluk
dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah.
Allah tidak mempunya sifa yang serupa dengan makhluk,
seperti berbicara, melhihat dan mendengar. Manusia terpaksa
oleh Alah dalam segala hal.

Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm bin safwan dari
khurasan. Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariyah ini sama
dengan Jham yang mendirikan golongan al-jamiyah dalam
kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari Syuraih bin Al-Haris,
ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan bani umayyah.
Dalam perlawanan itu jahm sendiri dapat ditangkap dan
kemudiaan dihukum bunuh di tahun 131H.

Jahm bin Safwan (127H) menjadi masyhur melalui
kekuatan argument dan kef asihan lisannya yang jika
mendakwahi seseorang, maka kefasihannya bisa menarik
mereka.

C. Pemikiran Jabariah
Menurut kaum Jabariyah, manusia tidak mempunyai

kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatnnya.
Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak mutlak Allah.
Jadi nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung
arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat paham bahwa
manusia mengerjakan perbuatanya dalam keadaan terpaksa.

50 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan oleh
Qadha dan Qadar Allah. Aliran ini berpaham bahwa hiidup
manusia ini sudah ditentukan Allah Ta’ala. Segala gerak-
geriknya dijadikan Tuhan semata, manusia tidak dapat
berusaha dan menggerkan dirinya. Sebelum lebih lanjut
menyelidiki bagaimana pendapat-pendapat aliran ini, terlebih
dahulu harus kita ketahui dasar fikiran ahli jabariyah, sebagai
berikut :
a. Apa yang diperbuat manusia itu adalah atas qudrat dan

Iradat Allah semata, tanpa campur tangan manusia
sedikitpun. Tetapi dalam faham ini tidak berarti bahwa
Jabariyah menganggap bahwa semua kewajiban-kewajiban
yang diperintahkan Allah itu sia-sia saja, dan juga mereka
tidak menganggap bahwa balasan-balasan Tuhan atas
kejahatan manusia itu sebagai kedzoliman.
b. Ahli jabariyah tidak mendustakan utusan-utusan Allah dan
juga tidak membebaskan diri dari larangan Allah.

Jadi teranglah bahwa Jabriyah tidak dapat
disamakan dengan kaum musyrikin yang menentang kewajiban
dan larangan Allah dengan menggunakan alasan : “jika Allah
tidak menghendaki kami menjadi musyrikin, niscaya tidak akan
menjadi orang musyrikin”.

Pendapat-pendapat yang disebabkan oleh aliran ini,
antara lain ;
a. Bahwa Allah Ta’ala itu tidak mempunyai sifat-sifat. Menurut

Jahm, tuhan hanyalah mempunyai zat saja. Walaupun
terdapat ayat-ayat yang menyebutkan sifat-sifat Tuhan
seperti Sama’, Bashar, kalam dan sebagainya yang harus
ditakwilkan. Mengertikan secara ahir saja tentulah
mengakibatkan pengertian serupanya Allah Ta’ala dengan
Makhluk-Nya. Keadan ini mustahil disisi Allah, oleh karena
itu wajiblah ditakwilkan memahamkannya.
b. Jahm berkata tidak layak Tuhan disifati dengan sifat yang
dipakai untuk mensifati makhluk-nya. Sebab yang demikian

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 51

itu berarti mentasybihkan atau menyerupakan Tuhan
dengan makhluk-Nya. Haruslah kita hindari.
c. Terhadap Al-Qur’an, ia berpendapat bahwa Al-Qur’an itu
makhluk Allah yang dibuat (artinya Hadits : baru ).
d. Terhadap Allah, bahwa Allah itu sekali-kali tidak mungkin
dapat terlihat oleh manusia, walaupun diakhirat kelak.
e. Tentang surga dan neraka, kelak sesudah semua manusia
masuk kedalamnya, dan sudah merasakan pembalasan
bagimana nikmatnya surga dan bagaimana adzabnya neraka,
maka lenyamplah surge dan neraka itu.

Gerakan dan golongan ini mendapat tantangan yang lebih
hebat dari golongan-golongan dan para ulama. Penolakan ini
lebih-lebih ditandaskan kepada :
a. Pendirian Jabariyah, bahwa manusia itu tidak mempunyai

iktiyar sedikitpun. Ajaran dan pendirian itu tentulah akan
menjadikan manusia malas dan putus asa, tidak mau
bekerja. Bahkan akan berserah diri kepada Qadar saja.
Keadaan seperti ni pasti akan mengakibatkan kemunduran
umat islam.
b. Terhadap takwil-takwil yang berlebih-lebihan,
mentakwilkan Al-Qur’an yang sifat-sifat Allah. Dengan takwil
berarti membatasi memahamkan Qur’an dari satu jurusan
saja. Padahal makna dan tujuan Qur’an itu, amat luas dan
jauh lebih sempurna dari pada yang ditakwilkan mereka itu.

D. Ajaran-Ajaran Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi

dua kelompok, yaitu ekstrim(murni) dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim. Diantara tokoh adalah Jahm bin

Sofwan dengan pendapatnya bahwa manusia tidak mampu
untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Pendapat Jahm tentang keterpaksan ini lebih dikenal
dibandingkan dengan pendapatnnya tentang surga dan neraka,

52 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

konsep iman, kalam tuhan, meniadakan sifat tuhan, dan melihat
tuhan di akherat, Surga dan neraka tidak kekal, dan yang kekal
hanya Allah. Sedangkan Iman dalam pengertiannya adalah
Ma’rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama
dengan konsep, yang dikemukakan oleh kaum murjiah. Kalam
tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyain keserupaan
dengan manusia seperti berbicara, mendengar,dan melihat,dan
Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indra mata di akherat
kelak. Aliran ini juga dikenal dengan namaal-Jahmiyyah.

Pendiri aliran ini adalah Jahm bin Safwan (124H). Dia
dianggap sebagai pengikut Jabariyah Murni. Aliran ini terbesar
di Tirmiz. Jahm dibunuh oleh muslim bin ahwas al-mazini.
Sekalipun ia sependapat dengan mu’tazilah yang menolak
adanya sifat amaliyah bagi Allah namun ia berbeda pendapat
dengan mu’tazilah dalam beberapa hal : makhluk tidak
mempunyai sifat yang sama dengan sifat Allah, ia mengakui
ilmu Allah bukan sifat zat-Nya, manusia tidak memiliki
kekuasaan sedikitpun, manusia tidak dapat dikatakan
mempunyai kemampuan (istitha’ah), manusia akan kekal baik
didalam surga maupun didalam neraka, dan siapa yang sudah
memiliki ma’rifah (pengenalan) kepada Allah, kemudian ia
mengingkari Allah dalam lisannya ia tidak dapat dikatakan
kafir.

Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim
mengatakan bahwa manusia lemah, tidak brdaya, terikat
dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai
kehendak dan kemauan bebas sebagimana dimiliki oleh paham
Qadariyah.Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak
boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah.Segala akibat,
baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan
hidypnya adalah merupakan ketentuan Allah.

Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan
adalah menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau
negative, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya.

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 53

Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek
untuk mewujudkan perbuatanya.Manusia juga tidak dipaksa,
tidak sepeti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak
pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh
perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan yang termasuk
jabariyah moderat yaitu:

a. An-Najjariyyah
Pendiri aliran ini adalah Husain bin muhamad An-

Najjar (230H) dan ia termasuk tokoh Mu’tazilah yang paling
banyak mempergunakan ratio. Tokoh yang berpaham
seperti ini adalah Husain bin Muhamad an-Najjar yang
mengatakan bahwa tuhan menciptakan segala perbuatan
manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dan
mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak
dapat dilihat di akherat. Kendatipun kelompok Mu’tazilah
berbeda pendapat dalam masalah ushuliyah (aqidah)
mereka sependapat. Mereka sependapat dengan Mu’tazilah
yang menolak adanya sifat ilmu, Qadrat, iradat, sama’, hayat
dan bashar bagi Allah.

An-Najjar berkata : Tuhan maha berkehendak dengan
zat-Nya, kalam itu makhluk, katanya: kalam Allah bukan lah
zat dan bukan pula sifat. Dan setiap yang bukan zat dan
bukan sifat Allah adalah makhluk Allah. Man hanya terdiri
dari tashdiq saja.

b. Ad-Dhirariyah
Pendiri aliran ini adalah Dhitra bin ‘Amr dan Hafshul

al-Fard, keduanya sependapat adanya sifat Allah, namun
keduanya berkata : Allah maha mengetahuidan maha kuasa.
Maksudnya tidak jahil dan tidak lemah dan keduanya
mengakui bahwa Allah adalah zat yang tidak diketahui
hakikatnya, melainkan Allah saja yang tahu.Mereka berdua

54 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

juga berkeyakinan perbuatan manusia adalah ciptaan Allah
pada hkikatnya, namun mannusia yang mempergunakannya.

Adh-Dhirar pendapat bahwa tuhan dapat saja dilihat
dengan indera keenam dan perbuatan dapat di timbulkan
oleh dua pihak.
E. Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah

Dalam faham jabariyah berkaitan dengan perbuatanya,
manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara
yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan
gerakannya yang ditentukan dan digerakan oleh arus angin.
Sedangkan yang berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa
perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia,
bukan Allah. Dalam paham Qadariyah berkaitan dengan
perbuatannya, manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh
untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.

Kedua paham ini dapat dicermati pada suatu peristiwa
yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia
misalnya, kecelakaan pesawat terbang.Bagi yang berpaham
Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa
kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah.Sedangkan
yang berpaham Qadariyah condong mencari tau dimana letak
peranan manusia pada kecelakaan itu.

Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek
masing-masing. Pada bapah Jabariyah semangat melakukan
investigasi sangat kecil, karna semua peristiwa dipandang
sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedangkan, pada
paham Qadariyah, semangat investigasi amat besar, karna
semua peristiwa yang berkaitan dengan paranan (perbuatan)
manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui
sesuatu investigasi.

Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain
manusia dinyatakan sebagai mahkluk yang merdeka, juga
adalah mahkluk yang harus bertanggung jawab atas
perbuatannya.Posisi manusia demikian tidak terdapat didalam

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 55

paham Jabariyah.akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu,
ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang didalam paham
Qadariyah dari pada Jabariyah.

56 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

BAGIAN KEENAM
QODARIYAH

A. Sejarah Munculnya Faham Qadariyah
Qadariyah diambil dari bahasa Arab, dasar katanya

adalah qadara yang memiliki arti kemampuan atau kekuasaan.
Adapun pengertian qadariyah berdasarkan terminology adalah
suatu arisan yang percaya bahwa segala tindakan manusia
tidak diintervensi oleh Tuhan. Dalam bahasa inggris qadariyah
diartikan sebagai free will and free act, bahwa manusialah yang
mewujudkan perbuatan-perbuatan dengan kemauan dan
tenaganya.

Aliran Qadariyah ini diperkirakan muncul pada tahun
70H dengan berbagai macam versi yang memperdebatkan
mengenai tokoh pemulaanya. Versi pertama di kemukakan oleh
Ahmad Amin berdasarkan pendapan beberapa ahli teologi
bahwa faham qadariyah ini pertama kali diperkenalkan oleh
Ahmad Amin berdasarkan pendapat Ibnu Nabatah dalam
kitabnya Syarh Al-Uyun bahwa fapam qadaiyah ini petama kali
dimunculkan oleh seorang Kristen irak yang masuk Islam
kemudian kemudian kembali kepada Kristen yang bernama
susan.

Versi ketiga dikemukakan oleh W. Montgomery Watt
berdasarkan tulisan Hellmut Ritter yang ditulis dalam bahasa
jerman, menyebutkan bahwa faham Qadariyah di temukan
dalam kitab Al-Risalah karya Hasan Al-Basri. Namun versi ini
menjadi perdebatan panjang bahwa Hasan Al-Basri seorang

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 57

Qodariyah. Dalam kitab ini, dia menulis bahwa manusia berhak
memilih mana yang baik bagi diri nya.

Seharusnya sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran
yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah
laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat.
Namun,sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang
percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.

Menurut Ahmad Amin, sebutan ini di berikan pada para
pengikut faham Qadar oleh lawan mreka dengan merujuk
Hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.
Yakni “bahwa kaum qadariyah majusinya ummat ini”. Beberapa
ayat Al-Qur’an yang digunakan sebagai dasar pemikiran
mereka adalah:

Artinya: dan katakanlah:”kebenaran itu dating nya dari
Tuhan mu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah
ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.”
Sesungguh nya kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu
neraka,yang gejolak nya mengepung mreka. Dan jika mreka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air
seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah
minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling
jelek (Al-Kahfi:29)

Artinya: dan mengapa ketika kamu di timpa musibah
(pada peperangan uhud), padahal kamu telah menimpakan
kekalahan dua kalilipat kepada musuh-musuh mu (pada
peperangan badar) ini?” katakanlah:” itu dari (kesalahan)
dirimu sendiri.”sesungguh nya Allah maha kuasa atas segala
sesuatu. (Ali Imran:165).

Artinya: bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakang nya, mereka
menjaga nya atas pertintah Allah. Sesungguh nya Allah tidak
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apa
bila Allah menghendaki keburukan terhadap Sesutu kaum, maka

58 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

taka da yang dapat menolak nya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia. (Ar-Ra’d:11).

Artinya: barang siapa yang mengerjakan dosa, maka
sesungguh nya ia mengerjakan untuk (kemudharatan) diri nya
sendiri. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijak sana.(An-
Nisa:111).

Ibnu nabatah dalam kitab nya Syarh Al-Uyun, seperti
dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang
pertama sekali memunculkan faham Qadariyah adalah orang
Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk islam dan
balik lagi ke agama Kristen. Dari orang ini lah, Ma’bad dan
Ghailan mengambil faham ini.orang irak yang dimaksud,
sebagaimana di katakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang
memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah susan.

Sementara itu, W. Montgomery Watt menamukan
dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa
Jerman yang di publikasikan melalui majalah Der Islam pada
tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah
terdapat dalam kitab Risalah dan di tulis untuk kholifah Abdul
Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M. Hasan Al-Basri
(642-728) adalah anak seorang tahanan di irak.ia lahir di
Madinah, tetapi pada tahun 657, pergi ke Basrah dan tinggal di
sana sampai akhir hayat nya. Apakah Hasan Al-Basri termasuk
orang Qadariyah atau bukan, hal ini memang menjadi
perdebatan .namun yang jelas, berdasarkan catatanya yang
terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia
bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk .

Ma’bad Al-jauhari dan Ghailan Ad-Dimasyiqi menurut
Watt,adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-
basri. Kalau di hubungkan dengan keterangan Adz-Dhahabi
dalam Mizan Al- I’tidal seperti dikutip Ahmad Amin yang
menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar pada
Hasan Al-Basri, maka sangat mungkin faham qadariyah ini
mula-mula dikembangkan Al-Bashri. Dengan demikian,

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 59

keterangan yang ditulis oleh Ibnu Nabatah dalam Syahrul Al-
Uyun bahwa fapahm qadariyah berasal dari orang irak kriten
yang masuk Islam dan kemudia kembali kepada Kristen, adalah
hasil rekayasa orang-orang yang tidak sependapat dengan
paham ini agar orang-orang tidak tertarik dengan pikiran
Qadariyah.

Sedangkan menurut Kremer seperti dikutip Ignaz
Goldziher, dikalangan gereja timur ketika itu terjadi
perdebatan tentang butir doktrin Qadariyah yang mencekam
pikiran para teologinya. Berkaitan dengan persoalan pertama
kalinya Qadariyah muncul. Ada baiknya bila meninjau kembali
pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk
menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat
mengenai hal ini karena menganut Qadariyah ketika itu banyak
sekali. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan
ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Bashri.

Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Nabatah bahwa yang
mencetuskan seorang Kristen dari Irak yang telah masuk Islam
pendapatnya itu diambil oleh Ma’bad dan Ghailan. Sebagai
mana lain berpendapat bahwa paham ini muncul di Damaskus.
Diduga disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang
banyak dipekerjakan di Istana istana Khalifah,

B. I’tiqad Qadariyah
Adapun doktrin yang dikembangkan oleh kaum

Qadariyah ini diantaranya:
a. Manusia mempunyai daya dan kekuatan untuk menentukan

nasibnya, melakukan segala sesuatu yang diinginkan baik
dan buruknya. Jadi surga atau neraka yang di dapatnya
bukan merupakan takdir Tuhan melainkan karena kehendak
dan perbuatanya sendiri.
b. Takdir merupakan ketentuan Allah SWT terhadap alam
semesta sejak zaman azli, yaitu hukum alam Al-Qur’an
disebut Sunnatullah

60 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

c. Secara alamiah manusia mempunyai takdir yang tak dapat
diubah mengikuti hukum alam seperti tidak memiliki sayap
untuk terbang, tetapi manusia memliki daya untuk
mengembangkan pemikiran kreatifnya sehingga manusia
dapat menghasilkan karya untuk mengimbangi atau
mengikuti hukum alam tersebut dengan menciptakan
pesawat terbang.

C. Perbandingan Aliran Jabariyah Dan Qadariyah
Beberapa perbedaan mendasar terhadap berbagai

permasalahan teologi yang berkembang diantara kedua aliran
ini diantaranya adalah :
a. Jabariyah meyakini bahwa segala perbuatan manusia telah

diatur dan dipaksa oleh Allah sehingga manusia tidak
memiliki kemampuan dan kehendak dalam hidup,
sementara qadariyah meyakini bahwa Allah tidak ikut
campur dalam kehidupan manusia sehingga manusia
memiliki wewenang penuh dalam menentukan hidupnya
dan dalam menentukan sikap.
b. Jabariyah menyatakan surga dan neraka tidak kekal, setiap
manusia pasti merasakan surga dan neraka, stelah itu
keduanya akan lenyap. Qadariyah menyatakan bahwa
manusia yang berbuat baik akan mendapat surga, sementara
yang berbuat jahat akan mendapat ganjaran di neraka,
kedua keputusan itu merupakan konsekuensi dari
perbuatan yang dilakukan manusia berdasarkan kehendak
dan pilihanya sendiri.
c. Takdir dalam pandangan kaum Jabariyah memiliki makna
bahwa segala perbuatan manusia diputuskan dan digariskan
Allah SWT, sehingga tidak ada pilihan bagi manusia.
Sementara takdir menurut kaum qadariyah merupakan
ketentuan Allah terhadap alam semesta sejak zaman azli,
manusia menyesuaikan terhadap alam semesta melalui
upaya dan pemikiranya yang tercermin dalam kreatifitasnya.

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 61

D. Pandangan Ahli Kalam Terhadap Aliran Jabariyah dan
Qadariyah
Para ahli Ilmu Kalam banyak memperbedakan ajaran
ajaran yang dikembangkan oleh ulama Jabariyah maupun
ulama Qadriyah. Beberapa argument diberikan untuk menolak
ajaran kedua paham ini. Jika manusia tidak memiliki daya dan
segala perbedaan dipaksa oleh Allah maka sejauh mana
eksistensi manusia sebagai khalifah di muka bumi, bagaimana
fungsi berita gembira dan ancaman yang Allah berikan, serta
untuk apa Allah menyediakan ganjaran atas perilaku manusia
selama hidup.
Keyakinan bahwa manusia dipaksa (majbur) dalam
melakukan sesuatu akan membuat manusia malas berusaha
karena menganggap semua merupakan takdir yang tak dapat
diubah, juga dalam menyebabkan manusia memliki rasa
tangggung jawab terhadap sesuatu.
Begitupun sebaliknya, jika seluruh perbuatan manusia
berada pada tangan manusia itu sendiri tanpa adil sang
pencipta maka seberapa kuat kemampuan manusia untuk
mengelola alam ini sementara kemampuan kiata sangat
terbatas. Maka dimana letak batas kreatifitas kita. Dengan
keyakinan ini, maka diamana letak keimanan kita terhadap
Qadha dan Qadar Allah SWT.
Penolakan terhadap ajaran Qadariyah ini disebabkan oleh
beberapa hal, Diantarnya:
Pertama, bangsa arab telah terbiasa dengan pemikiran
pasrah terhadap alam yang keras dan ganas. Kedua, pemerintah
yang menganut Jabariyah menganggap paham Qadariyah
sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya
kritis rakyat, yang pada gilirannya mengeritik kebijakan
kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, bahkan dapat
menggulingkan mereka didalam pemerintah.
Dengan semakin berkembang teologi, pemikiran ahli ilmu
kalam pun semakin berkembang dan tentu semakin kritis. Hal

62 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

ini banyak membantu masyarakat awam untuk memilih ajaran
murni yang dating dari Allah SWT dan utusan-Nya. Masyarakat
dapat memperkokoh keimananya melalui ajaran yang
disebarkan oleh para ukama ilmu kalam modern saat ini. Maka
tidak heran bila saat ini banyak terbuka ketimpangan dan
keracunan dalam berbagai aliran karena ke kritisan ulama ilmu
kalam modern saat ini.

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 63

BAGIAN KETUJUH
MU’TAZILAH

A. Awal Munculnya Golongan Mu’tazilah
Sebenarnya tren Mu’tazilah sudah muncul pada

pertengahan abad Hijriah. Istilah ini digunakan untuk orang-
orang (para sahabat) yang memisahkan diri atau bersikap
netral dalam peristiwa peristiwa politik yang terjadi setelah
Usman bin Afan wafat. Pertama, pertentangan antara Aisyah,
Thalhah, dan Zubair dengan Ali bin Abi Thalib sehingga pecah
perang shiffin. Sejumlah sahabat tidak mau terlibat dalam
konflik politik berdarah itu.Mereka menjauhkan diri dari
konflik politik tersebut dan tidak memihak kepada siapa pun.
Diantara sahabat yang bersikap demikian adalah Sa’ad bin Abi
Waqqash, Abdulah bin Umar, Muhammad bin Maslamah,
Usamah bin Zaid, Suhaib bin Sinan, dan Zain bin Tsabit. Karena
mereka memisahkan diri dari kelompok kelompok yang
bertikai, mereka dinamakan mu’tazilah yang berarti orang-
orang yang memisahkan diri.

Al-Naubakti dalam kitabnya Firaq al-Syiah, sebagaimana
dikutib oleh Har Gibb dan J.H.Kramers, mengatakan bahwa
setelah Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi Khalifah,
sekelompok umat Islam memisahkan diri (I’tizal) dari Ali,
meskipun mereka menyetujui pengangkatan tersebut. Mereka
ini disebut golongan Mu’tazilah. Di dalam beberapa buku yang
membicarakan tentang teologi Islam, sering disebut bahwa

64 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

Mu’tazilah lahir pada abad kedua Hijriah dengan tokoh utama
Washil bin Atha’. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah ada
hubungan antara Mu’tazilah pada abad pertama dengan
Mu’tazilah yang muncul di abad kedua ini? Apakah Mu’tazilah
yang di plopori oleh Washil bin Atha’ merupakan kelanjutan
dari Mu’tazilah Sa’ad bin Abi Waqqash dan sejumlah sahabat
lainnya? Ataukah kedua Mu’tailah tersebut muncul sendiri-
sendiri, tanpa ada hubungan dan kaitan, sakalipun namanya
sama?

Kalau diperhatikan keadaan masyarakat dan situasi
politik serta latar belakang lahirnya kedua Mu’tazilah di atas,
nampaknya tidak ada hubungan antara Mu’tazilah yang muncul
di abad pertama Hijriah dengan Mu’tazilah yang dipelopori
oleh Washil bin Atha’, yang pertama lahir akibat kemelut
politik, sedangkan yang muncul karena didorong oleh
persoalan kaidah atau keimanan. Al-Syahrastani menceritakan
bagaimana Mu’tazilah kedua tersebut lahir.Katanya, pada suatu
hari seorang laki-laki dating menemui Hasan Al-Bashri (21-110
H/642-728 M) di majles pengajiannya di Bashrah, seraya
berkata, “pada zaman sekarang ada golongan yang
mengkafirkan orang-orang yang berbuat dosa besar. Menurut
mereka dosa besar itu merusak iman sehingga membawa
kekafiran (yang dimaksud adalah golongan Khawarij). Di
samping itu, ada pula golongan yang menangguhkan hukum
orang yang berdosa besar. Menurut golongan ini, dosa besar
tidak merusak iman sehingga orang yang berbuat dosa besar
itu masih tetap orang mukmin, tidak kafir (golongan yang
dimaksud adalah Murjiah).

Ketika Hasan al-Bashri masih merenung untuk
memberikan jawaban atas pertanyaanya tersebut , Washil bin
Atha’, salah seorang peserta dalam majlis tersebut,
memberikan jawaban lebih dahulu, “Aku tidak mengatakan
orang yang berbuat dosa besar itu mukmin secara mutlak, dan
tidak pula kafir secara mutlak (al-manzilah bain al-

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 65

manzilatain). Orang itu tidak mukmin, tidak pula kafir setelah
memberikan jawaban itu, Washil berdiri dan berjalan menuju
ke salah satu sudut masjid. Di sini ia kembali menegaskan dan
menjelaskan pendapatnya tersebut kepada kawan-kawannya.
Melihat sikap Washil demikian, Hasan al-Bashri berkata,
“I’tazala ‘anna washil (wasil telah memisahkan diri dari
kita)”.Sejak itulah Washil dan kawan-kawan serta pengikutnya
dinamakan mu’tazilah.

Mu’tazilah dalam bentuk pertama (abad pertama hijriah)
tidak berkembangan dan bukan aliran teologi islam. Mu’tazilah
yang berkembang dan menjadi salah satu aliran telogi ialah
Mu’tazilah bentuk kedua, pimpinan Washil bin Atha’.

B. Suasana lahirnya Mu’tazilah
Sejak Islam meluas, banyaklah bangsa-bangsa yang

masuk Islam untuk hidup dibawah naunganya. Akan tetapi
tidak semuanya memeluk dengan segala keikhlasan.Ketidak
ikhlasan ini dimulai sejak zaman Mu’awiyah, karena mereka
telah memonopoli segala kekuasa pada bangsa Arab sendiri.
Tindakan ini menimbulkan kebencian terhadap bangsa Arab
dan keinginan mennghancurkan Islam dari dalam, sumber
keagungan dan kekuatan mereka. Diantara musuh-musuh
Islam dari dalam ialah golongan Rafidlah, yaitu golongan Syi’ah
ekstrim yang mempunyai banyak unsur-unsur kepercayaan
yang jauh sama sekali dari ajaran Islam, seperti kepercayaan
agama Mani dan golongan sceptic yang pada waktu itu tersebar
luas di kota-kota kufah dan Bashrah, juga golongan tasawuf
inkarnasi termasuk musuh islam.

Dalam keadaan yang demikian itu muncullah golongan
mu’tazilah yang berkembang dengan pesatnya sehingga
mempunyai sistem atau metode dan pendapat-pendapatnya
sendiri. Meskipun banyak golongan-golongan yang ditentang
Mu’tazilah namun mereka sendiri sering-sering terpengaruh
oleh golongan-golongan tersebut, karena pendapat dan fikiran

66 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

selalu bekerja, baik terhadap lawan maupun kawan, baik
menerima atau membantah bahkan sering-ering masuk kepada
lawannya tanpa dikehendaki atau disengaja. Golongan-
golongan yang mempengaruhi aliran Mu’tazilah antara lain
orang-orang Yahudi (misalnya dalam sol baharunnya Qur’an)
dan orang-orang Masehi, seperti saint John of Damascus (676-
749) yang terkenal dengan nama Ibnu Sarjun, Tsabit bin
Qurrah (836-901) murid Johnn tersebut dan Kusto bin Lucas
(820-912).

C. Asal Usul Nama Mu’tazilah
Nama Mu’tazilah bukan ciptaan orang-orang Mu’tazilah

sendiri, tetapi diberikan oleh orang-orang lain. Orang-orang
Mu’tazilah menamakan dirinnya “Ahli keadilan dan keesaan”
(ahlu adli wat tauhid) secara harfiyah kata Mu’tazilah berasal
dari kata I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri
yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri dan atau
menyalahi pendapat orang lain. Secara teknis penyebutan
istilah Mu’tazilah ada dalam beberapa versi, antara lain :
a. Disebut Mu’tazilah karena Washil bin Atha’ dan Amar bin

‘Ubaid menjauhkan diri dari pengajian Hasan Basri di masjid
Basrah dan kemudian membentuk majlis ta’lim sendiri
sebagai kelanjutan dari pendapatnya bahwa orang yang
melakukan dosa besar tidak mukmin lengkap juga tidak
kafir lengkap, melainkan berada di antara dua tempat
tersebut (al manzilatu bainal manzilatain). Denga adanya
peristiwa tersebut, Hasan Bashri berkata, “Wasil
menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna)”. Sehingga mereka
disebut golongan Mu’tazilah. Jadi penyebutan Mu’tazilah
menurut versi ini secara lahiriyah yaitu pemisahan fisik atau
menjauhkan diri dari tempat duduk orang lian.
b. Di sebut Mu’tazilah karena mereka berbeda pendapat
dengan golongan Murji’ah dan golongan khawarij tentang
tahkim atau pemberian status bagi orang yang melakukan

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 67

dosa besar. Golongan murjiah berpendapat bahwa pelaku
dosa besar masih termasuk orang mukmin, sedangkan
menurut golongan khawarij pelaku dosa besar menjadi kafir
dan menurut Hasan Bashri ia menjadi orang munafik.
Datanglah Washil bin Atha’ yang mengatakan bahwa pelaku
dosa besar bukan mukmin bukan pula kafir, melainkan fasik
jadi penyebutan Mu’tazilah menurut versi yang kedua ini
adalah secara ma’nawiyah yaitu menyalahi pendapat orang
lain.
c. Disebut Mu’tazilah karena pendapat mereka bahwa orang
yang melakukan dosa besar berarti dia telah menjauhkan
diri dari golongan orang mukmin dan orang kafir, yang
berarti juga bahwa istilah Mu’tazilah itu menjadi sifat bagi
pelaku dosa besar tersebut yang kemudian menjadi nama
atau sifat bagi golongan yang berpendapat bahwa pelaku
dosa besar menyendiri dari orang-orang mukmin dan orang
kafir.
d. Menurut Ahmad Amin, nama Mu’tazilah sebenarnya telah
ada sebelum peristiwa Wasil dan Hasan Bashri. Ahmad Amin
berpendapat bahwa yang mula-mula memberi nama
Mu’tazilah adalah kaum Yahudi. Seperti diketahui, sepulang
mereka dari tawanan di Siria (perang Meccabea melawan
Antiochus IV, raja siria abad empat atau tiga sebelum lahir
Isa) timbulah diantara mereka golongan Yahudi “Pharisee”
yang artinya memisahkan diri (dari bahasa Ibrani, parash; to
separate). Maksud sebutan ini tepat sekali dipakai untuk
orang-orang Mu’tazilah. Selain itu, pendapat golongan
Yahudi Pharisee mirip dengan golongan Mu’tazilah, yang
semua perbuatan bukan Tuhan yang mengadakanya. Nama
Mu’tazilah diberikan kepada orang yang tidak mau
berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada
masa Utsman bin Affan dn Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai
pertikaian. Satu golongan mengikuti pertikaian tersebut
sedang satu golongan yang lain menjauhkan diri ke

68 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

Kharbitha. Oleh karena itu, dalam surat yang dikirimnya ke
Ali bin Abi Thalib, Qais menamai golongan yang menjauhkan
diri tersebut dengan nama Mu’taziliin, sedang Abu Fida
menamainya dengan Mu’tazilah.

D. Corak Pemikiran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah dikenal sebagai golongan tradisional

dalam islam, karena diantara yang ada, dialah yang paling
banyak memberi fungsi terhadap akal dalam membahas
masalah keagamaan. Namun demikian, untuk mengetahui
secara jelas corak pemikiran aliran Mu’tazilah, maka yang
menjadi pembahasan utama dalam persoalan tersebut adalah
peranan akal dalam kehidupan umat manusia, karena manusia
dalam hidupnya diberi dua hal yang menjadi pedoman baginya
agar tidak sesat, yaitu akal dan wahyu. Jika diperhatikan
pembahasan tentang fungsi akal dan wahyu dalam kehidupan
beragama di kalangan mutakallimin, senantiasa dihubungkan
dengan 4 masalah pokok, yaitu : 1) mengetahui Tuhan, 2)
mengetahui kewajiban Tuhan, 3) mengetahui baik dan buruk,
4) mengetahui kewajiban melaksanakan yang baik dan
menjauhi yang buruk.

Aliran Mu’tailah dalam melihat masalah tersebut
mengatakan bahwa keempat masalah diatas bisa diketahui
akal. Akal dapat dijadikan pedoman dalam menentukan baik
dan buruknya sesuatu sebelum datangnya wahyu, sehingga
wajib untuk melakukan penalaran yang mapan agar dapat
mengantar manusia untuk mengetahui kewajiban-kewajibanya.
Karena itu, akal yang sudah sempurna merupakan sumber
pengetahuan yang dapat mengetahui apa yang mendatangkan
mudharat dan dosa. Akal yang sudah sempurna itu dimiliki oleh
orang yang sudah mukallaf, sehingga hanya dialah yang dapat
mengetahui 4 masalah tersebut di atas.

Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa semua
masalah secara rinci dapat diketahui oleh akal, tetapi ada hal-

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 69

hal tertentu dimana akal sangat membutuhkan penjelasan
wahyu karena akal mempunyai keterbatasan, yaitu dalam
perincian terhadap baik dan buruk serta kewajiban umat
manusia. Al Jabbar menjelaskan bahwa akal hanya dapat
mengetahui sebagian yang baik dan buruk serta kewajiban,
sehingga ahyulah yang menyempurnakan pengetahuan akal
tersebut, termasuk menjelaskan cara berterimakasih kepada
Tuhan, seperti shalat, zakat dan puasa. Karena itu, ada
pengetahuan baik yang diketahui oleh akal dan ada yang
diketahui oleh wahyu, begitu pula dalam hal yang buruk.

Fungsi lain dari wahyu dalam pandangan aliran
Mu’tazilah dikemukakan oleh Al-Syahrastaniy yaitu
mengingatkan manusia tentang kewajibanya dan mempercepat
untuk mengetahuinya. Di sini dapat di pahami bahwa jika
melalui akal memerlukan waktu yang lama karena harus ada
pengamatan, kemudian dipikirkan lalu mengambil keputusan.
Oleh Harun Nasution dikatakan bahwa fungsi wahyu terhadap
akal sebagai informasi dan konfirmasi, memberikan informasi
terhadap apa yang belum di ketahui oleh akal di samping
mengkonfirmasikan apa yang telah diketahui akal. Aboe Bakar
Atjeh menjelaskan tentang fungsi akal bagi aliran Mu’tazilah
yaitu akal dapat menjangkau segala persoalan kehidupan
manusia, sehingga apa yang dihasilkan oleh akal harus
diterima. Jika terjadi pertentangan antara hasil akan dan
ketentuan wahyu, misalnya terhadap ayat-ayat mutasyabihat,
maka harus di ta’wilkan agar sesuai dengan ketentuan akal.
Meskipun demikian, aliran Mu’tazilah tidak meninggalkan
aturan.

E. Ajaran-Ajaran Mu’tazilah
Menurut Al-Bagdady dalam kitabnya (al-farqu bainal

Firaqi) aliran Mu’tazilah terpecah menjadi 22 golongan, dua
diantaranya dianggap sudah keluar dari Islam. Meskipun

70 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

terpecah-pecah, namun semuanya masih tergabung dalam al-
Ushul al-Khamzah (lima ajaran dasar), yaitu :
1. At-Tawhid (ke-Esa-an)

At-Tawhid dalam pandangan Mu’tazilah berarti meng-
Esa-kan Allah dari segala sifat dan af’alnya yang menjadi
pegangan bagi akidah islam. Orang-orang Mu’tazilah
dikatakan ahli Tauhid, karena mereka berusaha semaksimal
mungkin mempertahankan prinsip keTauhidannya dari
serangan Syi’ah Rafidiyah yang menggambarkan Tuhan
dalam bentuk Jisim, dan bisa menghindari serangan dari
agama dualisme dan tritinas.

Tauhid dari golongan Mu’tazilah adalah sebagai berikut:
a. Sifat-sifat Tuhan tidak bersifat Qadim, kalau sifat Tuhan

itu Qadim berarti Allah itu berbilang-bilang, srbab ada
dua zat yang qadim, yaitu Allah dan sifat-Nya, padahal
Maha Esa.
b. Mereka “menafikan” meniadakan sifat-sifat Allah sebab
bila Allah bersifat dan sifatnya itu bermacam-macam,
pasti Allah itu berbilang.
c. Allah bersift Alimin, Qadarin, Hayyun, Samiun, Basyirun
dan sebagainya adalah dengan zat-Nya demikian, tetapi
ini bukan keluar dari zat Allah yang berdiri sendiri.
d. Allah tidak dapat diterka dan dilihat oleh mata walaupun
di akherat nanti.
e. Mereka menolak aliran mujasimah, musyabilah, dualism
dan trinitas.
f. Tuhan bukan benda bukan Arrad dan tidak berlaku
tempat pada-Nya.

2. Al-Adlu (keadilan)
Manusia adalah merdeka dalam segala perbuatanya dan

bebas bertindak, oleh karena kebebasan itulah manusia
harus mempertanggung jawabkan atas segala
perbuatanya.Apabila perbuatan itu baik, maka Tuhan

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 71

memberi kebaikan dan kalau perbuatan itu jelek atau salah
jelas, siksaan dari tuhan yang didapat.Inilah yang mereka
maksud keadilan.

Lebih jauhnya tentang keadilan, mereka berpendapat :
a. Tuhan menguasai kebaikan dan tidak menghendaki

keburukan.
b. Manusia bebas berbuat dan kebebasan ini karena Qadrat

(kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri manusia.
c. Makhluk diciptakan Tuhan atas dasar hikmah

kebijaksanaan.
d. Tuhan tidak melarang atas sesuatu kecuali terhadap yang

dilarang dan menyuruh kecuali yang disuruh-Nya.
e. Kaum Mu’tazilah tidak mengakui bahwa manusia

memiliki Qadrat dan Iradat, tetapi Qadrat dan Iradat
tersebut hanya merupakan pinjaman belaka.
f. Manusia dapat dilarang atau dicegah untuk melakukan
Qadrat dan Iradat.

3. Al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman)
Prinsip janji dan ancaman yang dioegang oleh kaum

Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan tuhan
sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuhan atas
segala perbuatnya.Di sinilah peranan janji dan ancaman bagi
amnesia agar tidak terlalu menjalankan kehidupanya.

Ajaranya ialah:
a. Orang mukmin yang berdosa besar lalu mati sebelum

bertaubat ia tidak akan mendapat ampunan dari Tuhan.
b. Di akhirat tidak akan ada Syafaat karena syafaat

berlawaan dengan al-Wa’du wal Wa’id (janji dan
ancaman).
c. Tuhan pasti akan membalas kebaikan manusia yang telah
berbuat baik dan akan menjatuhan siksa terhadap
manusia yang melakukan kejahatan.

72 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

4. Al-Manzilah bainal Manzilataini (tempat diantara dua
tempat)
Sebagai diuraikan terdahulu bahwa yang dimaksud
dengan tempat diantara dua tempat yang dikemukakan oleh
kaum Mu’tazilah yaitu tempat bagi orang Fasik, yaitu orang-
orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak
Musyrik, nanti akan ditempatkan disuatu tempat yang
berada diantara surga dan neraka. Doktrin ini oleh sebagian
teolog dipandang membingungkan dan tidak jelas. Sebab
tidak terdapat penjelasan yang kongkrit dan riil tentang
dasar yang digunakan oleh Mu’tazilah dan keadaan tempat
tersebut.

5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar (menyuruh kebaikan dan
melarang kejelekan)
Dasar ini pada kenyataannya hanya sekedar hubungan
dengan amalan batin dan dengan dasar itu pula membuat
heboh dunia islam selama 300 tahun, pada abad permulaan
islam, sebab menurut mereka: “orang yang mennyalahi
pendirian mereka dianggap sesat dan harus di benarkan
atau diluruskan”. Kewajiban ini harus dilksanakan oleh
setiap muslimin dan muslimat untuk menegakkan agama
serta memberi petunjuk kepada orang yang sesat. Dalam
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, Mu’tazilah
berpegang kepada Al-Hadist yang artinya : “siapa diantara
mu yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan
tanganmu”.
Oleh karena itulah teah tercatat dalam sejarah bahwa
kaum Mu’tazilah pernah membunuh ulama-ulama islam
diantarmya ulama islam yang terkenal Syekh Buwaithi,
seorang ulama pengganti imam Syafi’I dalam suatu peristiwa
“Qur’an Makhluk”. Di sini terdapat keganjilan-keganjilan dari
orang Mu’tazilah sebab amar ma’ruf atau menyuruh
kebaikan itu di maksudkan hanya ma’ruf (kebaikan) bagi

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 73

kaum Mu’tazilah, yaitu hanya pendapat mereka bukan
ma’aruf (kebaikan) yang sesuai dngan Qur’an.

F. Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
Adapun tokoh-tokoh mu’tazilah adalah sebagai berikut :

1. Washil bin Atha’ al-Ghazzal (70-131 H/SM)
Washil bin Atha’ lahir sekitar tahun 70 H di madinah.

Dari madinah beliau pindah ke Bashrah dan berguru pada
Hasan al-Bashri, seorang tokoh dari ulama besar. Ketika
belajar dengan Hasan Al-Bashri inilah ia pertama kali
melontarkan pendapat yang berbeda dengan gurunya
sehingga dia dan pengikutnya disebut Mu’tazilah. Pokok-
pokok pikiran teologis Washil dapat disimpulkan pada tiga
hal penting:
a. Tentang muslim yang berbuat dosa besar, washil

berpendapat orang itu tidak mukmin, tidak pula kafir, tapi
fasiq. Kedudukanya diantara mukmin dan kafir (al-
manzilah bain al-manzilatain), dengan klasifikasi
tersendiri.
b. Mengenai perbuatan manusia, washil berpendapat,
manusia memiliki kebebasan, kemampuan dan
kekuasaan, untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
perbuatan. Kebebasan memilih, kemampuan dan
kekuasaan berbuat yang ada pada manusia itu adalah
pemberian dari Tuhan kepadanya. Karena itu manusialah
yang menciptakan perbuatanya dan harus bertanggung
jawab atas perbuatan yang dilakukanya itu.
c. Tentang sifat Allah, washil menolak paham bahwa Tuhan
memiliki sifat. Apa yang dianggap orang sebagai sifat
tidak lain kecuali sifat Allah itu sendiri. Sebagai contoh,
Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan
pengetahuan-Nya itu adalah zat-Nya, Tuhan mendengar

74 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

dengan pendengaran-Nya dan pendengaran-Nya itu
adalah zat-Nya.

2. Abu al-Huzail al-Allaf (135-226 H atau 753-840 M)
Ia menjadi pemimpin aliran Mu’tazilah Bashrah yang

merupakan generasi kedua Mu’tazilah. Tokoh inilah yang
mengintrodusir dan menyusun dasar-dasar paham
Mu’tazilah al-ushul al-khamsah, sehingga aliran Mu’tazilah
mengalami kepesatan. Pendapat-pendapatnya antara lian:
a. Tentang aradl, dinamakan aradl bukan karena mendatang

pada benda-benda, karena banyak aradl bukan pada
benda, seperti waktu abadi dan hancur. Ada aradl yang
abadi dan tidak abadi.
b. Menetapkan adanya bagian-bagian yang tidak dapat
dibagi-bagi lagi (atom).
c. Gerak dan diam, benda yang banyak bagian-bagiannya
bisa bergerak dengan satu bagian yang bergerak.
d. Hakekat manusia, hakekatnya adalah badanya, bukan
jiwanya (nafh dan rukh)
e. Gerak penghuni surga dan neraka, gerak-gerik mereka
akan berakhir dan menjadi kesenangan dan siksaan.
f. Qadar, manusia bisa mengadakan-mengadakan
perbuatanya di dunia, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa di
akhirat.
g. Tentang sesuatu yang dapat dicapai panca indra hanya
bisa diterima apabila diberitakan oleh 20 orang sekurang-
kurangnya, seorang diantaranya berasal dari ahli surga
(aliran Mu’tazilah).

3. Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam (wafa 231 H atau 845 M)
Ia adalah murid Abul-Huzain al-Allaf. Ketika kecilnya ia

banyak bergaul dengan orang-orang bukan dari golongan
Islam dan sesudah dewasa banyak berhubungan dengan
filosof-filosof masanya. Beberapa pendapat-pendapatnya

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 75

berlainan dengan orang-orang Mu’tazilah lainnya, antara
lain :
a. Tentang benda (jisim), semua yang ada disebut jisim,

termasuk warna dan bau.
b. Tidak mengakui adanya bagian yang tidak dapat dibagi-

bagi.
c. Teori lompotan (thafrah).
d. Tidak ada “diam” (inrest). Diam hanyalah istilah bahasa,

pada hakekatnya semua yang ada bergerak.
e. Hakekat manusia, hakekatnya adalah jiwanya bukanlah

badannya (seperti pendapat Allah).
f. Berkumpulnya contradictie dalam suatu tempat,

menunjukkan adanya Tuhan.
g. Teori sembunyi (kumun), semua makhluk dijadikan

Tuhan sekaligus dalam waktu yang sama.
h. Berita yang benar adalah yang diriwayatkan oleh imam

yang ma’sum.
i. I’jaz Qur’an (daya pelemah) terletak dalam pemberian

hal-hal yang ghaib.

4. Bisyr bin al-Mu’tamir (wafat 226 H /840 M)
Salah satu pendapatnya adalah, siapa yang tobat dari

dosa besar kemudian mengerjakan dosa besar lagi, ia akan
menerima dosa yang pertama juga, sebab taubatnya dapat
diterima dengan syarat tidak mengulanginya lagi.

5. Jahiz Amr bin Bahr (wafat 255 H/808 M)
Ia terkenal tajam panannya, banyak karanganya dan

banyak membaca buku-buku filsafat, terutama filsafat Alam.
Karangan-karanganya yang masih ada hanyalah yang
bertalian dengan kesussastraan.

6. Al-Jubba’I (235-303 H/849-915 M)

76 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab.
Ia berguru pada al-Syahham, salah seorang murid Abu
Huzail al-Allaf. Suasana politik pada zamannya tidak stabil.
Gerakan-gerakan sparatis di berbagai daerah bermunculan
dan dinasti-dinasti kecil lahir dimana-mana sehingga
pemerintah pusat jauh menurun.Meskipun demikian, ilmu
pengetahuan tetap berkembang pesat, sebab masing-masing
dinasti kecil yang menguasai beberapa daerah juga tetap
turut memajukan ilmu pengetahuan.Di samping itu, para
ilmuan tidak banyak terpengaruh dengan situasi dan kondisi
politik pada zaman itu.

G. Kemunduran Golongan Mu’tazilah
Selama beberapa puluh tahun lamanya golongan

Mu’tazilah mencapai kepesatan dan kemegahanya, akhirnya
mengalami kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya karena
perbuatan orang-orang Mu’tazilah sendiri. Mereka hendak
membela dan memperjuangkan kebebasan berfikir akan tetapi
mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti
pendapat-pendapat mereka. Puncak tindakan mereka adalah
ketika Al-Ma’mun menjadi Khalifah dimana mereka bisa
memaksakan pendapat dan keyakinan mereka kepada
golongan-golongan lain dengan menggunkan kekuasaan Al-
Ma’mun yang mengakibatkan timbulnya “peristiwa Qur’an”,
yang memcah kaum muslimin menjadi dua blok, yaitu blog
yang menuju kekuatan akal-fikiran dan menundukkan agama
kepada ketentuannya. Yang lain adalah blok yang berpegang
teguh pada bunyi nas-nas Qur’an dan Hadist semata-mata dan
menganggap tiap-tiap yang baru sebagai bid’ah dan kafir.

Akan tetapi persengketaan tersebut dapat dibatasi
dengan tindakan al-Mutawakil, lawan golongan Mu’tazilah
untuk mengembalikan kekuasaan golongan yang mempercayai
kezaliman Qur’an.Sejak saat itu golongan Mu’tazilah mengalami
tekanan berat, padahal sebelumnya menjadi pihak yang sealu

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 77

menekan.Kitab-kitabnya dibakar dan kekuatanya di cerai-berai
sehingga kemudian tidak ada lagi aliran Mu’tazilah sebagai
suatu golongan.

Akan tetapi mundurnya golongan Mu’tazilah sebagai
golongan yang teratur tidak menghalang-halangi lahirnya
simpatisan dan pengikut-pengikutnya setia yang menyiarkan
ajaran-ajarany.Pada akhir abad ketiga hijjriah muncullah Al-
Khayyat yang dianggap sumber yang asli untuk mengetahui
pendapat-pendapat atau pikiran-pikiran Mu’tazilah.Pada
permulaan abad keempat muncullah Abu Bakar al-Ikhsyidi
dengan aliranya yang sangat berpengaruh.Ulama Mu’tazilah
angkatan baru yang sangat terkenal adalah Al-Kassyaf.Tafsir ini
sangat berpengaruh dan lama sekali menjadi pegangan oleh
ahli Sunnah, sampai lahirnya tafsir Baidlawy. Kegiatan kaum
Mu’tazilah baru hilang sama sekali setelah adanya serangan-
serangan oleh orang Mongolia. Meskipun demikian pikiran-
pikiran dan ajaran-ajaranya yang penting masih hidup sampai
sekarang pada golongan Syi’ah Zaidiyah.

78 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

BAGIAN KEDELAPAN
SYIAH

A. Sejarah Syiah
Syi’ah adalah golongan yang menyanjung dan memuji

Sayyidina Ali secara berlebih lebihan karena mereka
beranggapan bahwa Ali yang lebih berhak menjadi khalifah
pengganti Nabi Muhammad SAW berdasarkan wasiatnya,
sedangkan khalifah-khalifah seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar
bin Khatab dan Utsman bin Affan dianggap sebagai penggasan
khalifah.

Para penulis sejarah islam berbeda pendapat mengenai
awal mula lahirnya Syiah, sebagian menganggap Syiah
langsung muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu
pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan
Anshor di balai pertemuan Syakiffah Bani Hasyim dan sebagian
kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan Utsman bin Affan
atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Pada
masa itu terjadi pemberontakan terhadap khalifah Utsman bin
Affan yang berakhir dengan kematian Utsmandan ada tuntutan
Umar agar Ali bin Abi Thalib bersedia di bai’at sebagai khalifah

Khalifah Ali dengan pihak pemberontak Muawiyah bin
Abu Sufyan di Siffin yang lazim disebut peristiwa at-tahkim
atau ar-bitrasi, akibat kegagalan itu sejumlah pasukan Ali
memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari
pasukan Ali, mereka ini disebut golongan Khawarij (orang-

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 79

orang yang keluar ). Sebagian besar orang-orang yang tetap
setia kepada khalifah disebut Syi’atu Ali (pengikut Ali)
pendirian kalangan Syiah bahwa Ali bin Abi Thalib adalah
imam atau khalifah yang seharusnya berkuasa setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW, telah tumbuh sejak Nabi
Muhammad SAW masih hidup, dalam arti bahwa Nabi
Muhammad SAW sendirilah yang menetapkanya, dengan
demikian menurut Syiah inti dari ajaran syiah itu sendiri telah
ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

Sebagimana dimaklumi bahwa mulai timbulnya fitnah
dikalangan umat islam, biangkeladinya dalah Abdullah bin
Saba, seorang yahudi yang pura-pura masuk islam. Fitnah
tersebut cukup berhasil dengan terpecah belahnya persatuan
umat dan timbulnya Syiah sebagai firqahpertama dalam
teologi.

B. Ajaran Syiah
Pokok-pokok penyimpangan syiah pada priode pertama

diantaranya : keyakinan bahwa imam setelah Rasulullah SAW
adalah Ali bin Abi Thalib sesuai dengan sabda Nabi SAW karena
itu khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali
bin Abi Thalib, keyakinan bahwa imam mereka maksum (
terjaga dari salah dan dosa).

Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para imam yang
telah wafat akan hidup kembali setelah hari kiamat untuk
membalas dendam kepada lawan-lawannya yaitu Abu Bakar,
Umar, Utsman, Aisyah dan lain-lain, keyakinan bahwa Ali bin
Abi Thalib dan para imam mengetahui rahasia ghoib, baik yang
lalu maupun yang akan dating, ini berarti sama dengan
menuhankan Ali dan imam, keyakinan tentang ketuhanan Ali
bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah
bin Saba. Yang pada akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali
bin Abi Thalib karena keyakinan tersebut, keyakianan
mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar bin

80 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

Khatab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan hukkum
cambuk delapan puluh kali terhadap orang yang meyakini
kebohongan tersebut. Keyakinan mencaci maki para sahabat
atau sebagian sahabat seperti Utsman bin Affan, pada abad
kedua hijriah perkembangan keyakinan syiah semakin
menjadi-jadi.sebagai aliran yang memunyai berbagai perangkat
keyakianan baku dan terus berkembang sampai berdirinya
dinasti Fathimiyah di mesir dan dinasti Sofawiyyah di Iran,
terakhir aliran tersebut terangkat kembali oleh revolusi
Khomaeni dan dijadikan sebagai aliran resmi Negara Iran sejak
1979.

Pokok-pokok ajaran Syiah secara umum diantara: pada
rukun Iman, Syiah hanya memiliki lima rukun Iman tanpa
menyebut keimanan kepada malikat, rasul, qada dan qadar.
Yaitu Tauhid (ke-Esa an Allah ), Al-adl (keadilan Allah),
nubuwah (kenabian), imamah (kepemimpinan iman), ma’ad
(hari pembangkitan dan pembalasan), pada rukun Islam syiah
tidak mencantumkan syahadat dalam rukun islam yaitu, sholat,
zakat, puasa, haji, wilayah (perwakilan),

Syiah meyakini bahwa Al-Qur’an sekarang ini telah
dirubah, ditambah atau dikurangi dari yang seharusnya, karena
itu mereka meyakini Abu Abdullah (Imam Syiah) berkata “Al-
Qur’an yang dibawa jibril kepada Nabi Muhammad SAW adalah
tujuh belah ribu ayat dan disebut mushaf Fatimah syiah
meyakini bahwa para sahabat sepeninggalan Nabi SAW mereka
murtad kecuali beberapa orang saja seperti Al-Miqdad bin Al-
Aswad, Abu-Dzar al-Gifari dan Salman al-Fsarisyi syiah
menggunakan senjata taqiyah yaitu berbohong, dengan cara
menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya
untuk mengelabuhi.

Syiah percaya akan Ar-raj’ah yaitu kembalinya ruh-ruh ke
jasadnya, masing-masing didunia ini sebelum kiamat dikala
imam ghaib mereka keluar dari persembunyiannya dan
menghidupkan Ali dan anak-anaknya untuk balas dendam

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 81

kepada lawan-lawannya Syiah percaya kepada Al-Bada yakni
tampak bagi Allah dalam hal keimanan Ismail (yang telah
dinobatkan keimananya oleh ayahnya Jafar As-Sidiq tetapi
kemudian meninggal disaat ayahnya masih hidup) yang tadinya
tidak tampak jadi bagi mereka Allah boleh khilaf tetapi imam
mereka tetap maksum (terjaga). Syiah membolehkan nikah
mut’ah yaitu nikah kontrak dengan jangka waktu tertentu,
padahal hal itu telah di haramkan oleh Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib sendiri.

82 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

BAGIAN SEMBILAN
PEMIKIRAN HANAFI

Sekian banyak cendikiawan muslim, dalam arti pemikir,
yang memiliki komitmen cukup baik kepada islam dan juga
keahlian dalam ilmu-ilmu agama islam, yang tetap berusaha
mengembangkan pemikiranya untuk membangun peradaban
yang didasarkan atas nilai-nilai universalitas islam tersebut. Salah
satu dari cendikiawan itu adalah Hasan Hanafi, yang berusaha
mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang
keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan
kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan.

Dengan gagasan tersebut baginya, islam bukan sebagai
institusi penyerahan diri yang membuat kaum muslimin menjadi
tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus perkembangan
masyarakat, tetapi islam merupakan sebuah basis gerakan
ideologis populistik yang mampu meningkatkan harkat dan
martabat manusia. Proyek besar itu ia tempuh dengan gayanya
yang revolusioner dan menembus semua dimensi ajaran
keagamaan Islam.

Teologi Islam (ilm al-kalam asy’ari), secara teoritis, menurut
Hasan Hanafi tidak bisa dibuktikan secara ‘ilmiah’ maupun
‘filosofis’. Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk
mempertahankan doktrin dan memelihata kemurniannya, bukan
dialektik tentang konsep watak social dan sejarah, di samping ini
ilmu kalam juga sering disusun sebagai persembahan bagi para
penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi.Hingga

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 83

pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang
manusia.

Selain itu secara praktis, teologi tidak bisa menjadi
pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motifasi dalam
kehidupan kongkrit manusia. Sebab penyusunan teologi tidak
didasarkan atas dasar kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan
manusia, sehingga muncul keterpecahan (spilt) antara keimanan
teoritik dan keimanan praktis dalam umat, yang akhirnya
melahirkan sikap-sikap moral ganda atau singkritisme
kepribadian.

Fenomena sinkritis ini tampak jelas, menurut Hanafi, dengan
adanya faham keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan),
tradisional dan modern (dalam peradaban), timur dan barat
(dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam social)
dan kapitalisme juga sosialisme (dalam ekonomi).

A. Riwayat Hidup
Hasan Hanafi adala guru besar pada fakultas Filsafat

Universitas Kairo.Ia lahir pada 13 februari 1935 di Kairo, di
dekat benteng Sahaluddin, daerah perkampungan Al-Azhar.
Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatan tidak terlalu
mendukung, tradisi keilmuan berkembang disana sejak lama.
Secara historis dan kultural, kota mesir memang telah
dipengaruhi oleh peradaban-peradaban besar sejak masa
Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan
sampai dengan Eropa modern. Hal ini menunjukkan bahwa
Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi
perkembangan awal tradisi keilmuan Hasan Hanafi. Selain itu ia
juga mempelajari pemikiran Sayyid Quthub tentang keadilan
social dan keislaman.

Jika kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang
belum memberikan rincian dari program pembaruannya, buku
Min Al-aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama
hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku

84 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan
yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang
terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku
ini,dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.

Tahun 1952 itu juga, tamat Tsanawiyah, Hanafi
melanjutkan studi di Dapertemen Filsafat Universitas Kairo,
selesai tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda,
kemudian ia melanjutkan study ke Universitas Sorbone,
Prancis. Pada tahun 1966 ia berhasil menyelesaikan program
master dan dokternya sekaligus dengan tesis. Disamping dunia
akademik Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiah dan
kemasyrakatan. Aktif sebagai sekertaris umum persatuan
masyarakat filsafat islam Mesir, anggota ikatan penulis asia-
afrika dan menjadi wakil presiden persatuan masyarakat
filsafat Arab. Pemikiranya tersebar di dunia Arab dan
Eropa.Tahun 1981 memprakarsai dan sekaligus sebagai
pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar Al-Islamai.

Itulah Hanafi, ayah dari tiga orang anak. Ia sekurang-
kurangnya pernah menulis 20 buku dan puluhan makalah
ilmiah yang lain. Karyanya yang popular ialahAl-Yasar al-islami
(islam kiri), Min al- Aqidah ila al-Thawrah (dari teologi ke
revolusi), turath wa tajdid (tradisi dan pembaharuan), islam in
the modern world (1995), dan lainnya. Teryata, Hasan Hanafi
bukan sekedar pemilik revolusioner, tetapi juga reformis
tradisi intelektual Islam klasik.

B. Kondisi Sosial
Hanafi lahir dibesarkan dalam kondisi masyarakat Mesir

yang penuh pergolakan dan pertentangan.Dari sisi social
politik, saat itu terdpat dua kelompokn ekstern yang saling
berebut pengaruh.Pada sayap kiri ada partai komunis yang
semakin kuat atas pengaruh soviyet di seluruh
dunia.Kemenangan soviyet selama perang dan dikukuhkannya
perwakilan soviyet dikairo (1942) ini semakin meningkat

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 85

minat mahasiswa untuk belajar komunisme. Sementara di
sayap kanan, ada Ikhwanul Muslimin, didirikan Hasan Al-Banna
tahun 1929 di Ismailia yang ro islam dan anti barat. Kelompok
ini memiliki sejumlah besar pengikut, termasuk Hanafi sendiri
pada awalnya.

Pemerintahan mesir sendiri ambil alih dalam pergolakan
tersebut, dengan melakukan pembersihan terhadap kaum
komunis (1946) setelah setahun sebelumnya melarang aktifitas
kelompok ini.Pergolakan ini terus berlanjut, setelah tahun 1952
meletus revolusi yang dimotori oleh Ahmad Husain, tokoh
partai sosialis. Dari sisi pemikiran, ada tiga kelompok
pemikiran yang berbeda dan bersaing saat itu. Pertama
kelompok yang cendrung pada Islam (the islam trend) yang
diwakili oleh Al-Banna dengan Ikhwanul Muslimnya. Kedua,
kelompok yang cendrung pada pemikiran bebas dan rasional
(the rasional scientific and liberal trend) Luthfi al-Sayyid dan
para emigrant Syiria yang lari ke Mesir. Dasar pemikiran
kelompok ini bukan Islam tetapi peradaban barat dengan
presentasi-presentasinya. Ketiga, kelompok yang berusaha
memadukan islam dan barat (the synthetic trend) yang diwakili
oleh ‘Ali ‘Abdul Raziq (1966).

Dalam menghadapi tantangan moderenitas dan
liberalisme politik, kelompok pertama dan kebanyakan ulama
konservatif menganggap bahwa poliik barat tidak bisa
diterapkan di Mesir, Bid’ah. Pengadopsian system politik barat
oleh pemerintah mesir berarti pengingkaran terhadap nilai-
nilai Islam. Sebaliknya kelompok kedua yang kebanyakan para
sarjana didikan barat menggap bahwa para ulama adalah
kendala moderenisasi, bahkan penyebab keterbelakangan
mesir dalam sosial politik dan ekonomi.Pemikiran dan gerakan
kelompok kedua ini, banyak mendapat dukungan dari
pemerintah, sehingg dalam hal tertentu mereka dapat
menjalankan program-programnya.

86 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

Hanfi sendiri tidak begitu setuju dengan gagasan-gagasan
pemmikiran kelompok diatas, meski awal karier intelektualnya
pernah berpihak pada kelompok pertama, tetapi pemikiranya
mengalami proses dengan banyak dipengaruhi oleh kelompok
dua dan tiga, terutama setelah belajar di Prancis.

C. Teologi Antropesentris
Karena menggap teologi Islam tidak ‘ilmiah’ dan tidak

‘membumi’, Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi
islam. Tujuannya untuk menjadi teologi bukan sekedar sebagai
dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai
ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfngsi
secara actual. Karena itu gagasan Hanafi yang berkaitan dengan
teologi, berusaha untuk mentransformasikan teologi tradisonal
yang bersifat teosentris menuju antroposentris dari Tuhan
kepada manusia (bumi).

Pemikiran ini didasarkan pada dua alasan yaitu : pertama,
kebutuhan akan adannya sebuah ideology (teologi) yang jelas
ditengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua,
pentingnya teologi baru yang buka hanya bersifat teoritik
tetapi sekaligus praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan
dalam sejarah.

Untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang
dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial, Hanafi
menawarkan dua teori. Pertama, analisa bahasa.Bahasa dalam
istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek moyang
dalam bidang teologi yang khas dan seolah-olah sudah menjadi
doktrin. Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi analisa ini
dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis,
munculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana pengaruhnya
bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Dan
berguna juga untuk menentukan stressing bagi arah dan
orientasi teologi kontemporer.

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 87

Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang
berusaha untuk mencari hakekat sebuah fenomena atau
realitas. Untuk sampai pada tingkat tersebut, menurut Husserl
(1859-1938) sang penggas ,metode ini, peneliti harus melalui
minimal dua tahapan penyaringan (reduksi). Reduksi
fenomenologi dan reduksi eidetic.Pada tahap pertama, atau
biasa disebut dengan metode apache. Hanafi menggunakan
metode ini untuk menganalisa dan memahami realitas sosial,
politik dan ekonomi. Hanfi ingin agar realitas Islam berbicara
bagi dirinya sendiri, bahwa islam adalah Islam yang harus
dilihat dari kacamata islam itu sendiri, bukan dari barat. Jika
barat dilihat dari kacamata barat dan islam juga dilihat dari
barat, akan terjadi ‘sungsang’, tidak tepat.

Hermeneutic adalah sebuah cara penafsiran teks atau
symbol. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk
menfsirkan masa lampau uang tidak dialami, kemudian dibawa
ke masa sekarang. Hanafi menggunakan metode hermeneutik
untuk melanfingkan gagasannya berupa antroposentrisme
teologi dari wahyu kepada kenyataan, bagi hanafi yang
dimaksud hermeneutic bukan saja interpretasi tetapi ilmu yang
menjelaskan tentang pikiran tuhan kepada tingkat dunia, dari
yang sacral menjadi realitas sosial.

D. Oprasionalisasi Teologi Hanafi
Dari dua konsep di atas, ditambah motede pemikiran

yang digunakan, Hanafi mencoba merekontruksi teologi
dengan cara menafsir ulang tema teologi klasik secara
metaforis analogis. Dibawah ini dijelaskan tiga pemikiran
penting Hanafi yang berhubungan dengan tema-tema kalam,
dzat Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan mengenai Tauhid.Disini
terlihat Hanafi mencoba mengubah trem-trem keagamaan yang
spiritual dan sacral menjadi sekedar material, dari yang
teologis menjadi antropologis. Hanafi melakukan ini dalam
rangka untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat

88 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

islam yang cendrung metafisik menuju sikap yang lebih
berorientasi pada realitas empirik. Lebih jelas tentang
pemikiran Hanafi mengenai sifat-sifat (aushaf) Tuhan yang
enam :wujud,qidam, baqa’, mukhalafah li al-hawaditsi, qiyam
binafsih dan wahdaniyah.

Wujud, menurut Hanafi wujud disini tidak menjelaskan
wujud tuhan, karena tuhan tidak memerlukan
pengakuan.Tanpa manusia Tuhan tetap wujud, wujud disini
berarti tajribah wujudiyah pada manusia. Qidam (dahulu)
berarti penglaman kesejahteraan yang mengacu pada akar-
akar keberadaban manusia di dalam sejarah. Qidam adalah
modal pengalaman dan pengetahuan kesejahteraan unutuk
digunakan dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga
tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan, taqlid dan kesalahan.
Ketiga Baqa’ berarti kekal, pengalaman, kemanusiaan yang
muncul dari lawan sifat fana berarti tuntunan manusia untuk
membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana.

Keempat mukhalafah li al-hawaditsi berbeda dengan
yang lainya dan qiyam binafsih berdiri sendiri, keduanya
tuntunan agar umat manusia manusia mampu menunjukkan
eksistensinya secara mandiri dan berani tampil beda, tidak
mengekor atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain.
Qiyam binafsih adalah deskripsi tentang titik-titik pijak dan
gerakan yang dilakukan secara terencana dan dengan penuh
kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir.Kelima,
wahdaniyah.(keesaan) bukan merujuk pada keesaan Tuhan,
pensucian Tuhan dari kegandaan (syirik) yang diarahkan pada
faham trinitas, maupun politheisme, tetapi lebih mengarah pada
eksperimentasi kemanusiaan.

Dengan penafsiran trem kalam yang serba materi dan
mendunia ini, maka apa yang dimaksud dengan pengertian
tauhid ini, bukan konsep yang menegaskan tentang keesaan
Tuhan yang diarahkan pada faham trinitas maupun
politheeisme, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi manusia

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 89

yang jauh dari perilaku dualistic, seperti hopokrit, kemunafikan
ataupun prilaku oportunitik.

Menurut Hanafi, apa yang dimaksud Tauhid bukan berarti
sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sebuah
konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih
mengarah ke tindakan konkrit, baik dari sisi penafian maupun
penetapan.

Dengan demikian dalam konteks kemanusian yang lebih
konkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat
tanpa kelas, kaya atau miskin.Tauhid berarti kesatuan
kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan
ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang.

Jika kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikirnan
yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya,
buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya
hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku
ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan
yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang
terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini
dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.

90 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi

BAGIAN SEPULUH
PEMIKIRAN TEOLOGI

HARUN NASUTION

A. Riwayat Hidup Harun Nasution
Harun nasution lahir padahari Selasa, 23 september 1919

di sumatera. Ayahnya, Abdul Jabar Ahmad adalah seorang
ulama yang mengetahui kitab-kitab jawa.Pendidikan formalnya
dimukai disekolah Belanda HIS selama 7 tahun kemudian ke
MIK (modern islamietische kweelschool) di bukit tinggi pada
tahun 1934.Diteruskan di universitas Al-Azhar, Mesir.Sambil
kuliah di Al-Azhar, ia kuliah juga di universitas Amerika di
Mesir. Kemudian dilanjutkan ke Mc.Gill,Kanada, pada tahun
1962.

Harun Nasution adalah figure sentral dalam jaringan
intelektual yang terbentuk dari kawasan IAIN Ciputat semenjak
parih kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di
dalam jaringan itu banyak ditopang oleh kapasitas
intelektualnya, juga oleh kedudukan formalnya sebagai rector
sekaligus salah seorang pengajar di IAIN.

B. Pemikiran Kalam Harun Nasution
1. Peranan akal
Besar kecilnya peranan akal dalam teologi suatu aliran
sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman
seseorang tentangajaran islam. Ia menulis demikian, “akal
melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia
mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan makhluk lain

ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi 91

sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah
tinggilah kesanggupanya untuk mengalahkan makhluk lain.
Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah
rendahlah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan
lain tersebut.

2. Pembaharuan Teologi
Umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional, pre-

determinisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib
mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan
demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam, umat
islam hendaknya mengubah teologi yang berwatak free-
will,rasional serta mandiri. Tidak heran jika teori
modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam
khasanah islam klasik sendiri, yakni teologi Mu’tazilah.

3. Hubungan Akal dan wahyu
Hubungan antara wahyu dan akal memang

menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak
bertentangan.Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
Al-Qur’an.Akal tetap tunduk kepada teks wahyu.Akal dipakai
untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang
wahyu.Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks
wahyu sesuai dengan kecendrungan dan kesanggupan
pemberi interpretasi. Jadi, yang bertentangan dalam islam
sebenarnya adalah pendapat akal ulama tertentu dengan
pendapat akal ulama lain.

Warisan masalau merupakan sumber otensitas,
sementara sesuatu yang baru yang lebih baik adalah cermin
kreativitas. Otensitas adalah tanda bahwa apa yang kita
upanyakan benar-benar otentik, tidak keluar dari cetak-biru
(blue-print) originalitas ajaran Islam. Sementara kreativitas
adalah cermin dinamisme ilmu dan munculnya temuan-
temuan baru melalui serangkaian pengkajian dan penelitian.

92 ILMU KALAM Sebuah Perspektif Menuju Ilahi


Click to View FlipBook Version