The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by permadhi, 2020-01-26 01:36:24

BMKG - Gempabumi Edisi Populer

BMKG - Gempabumi Edisi Populer

Keywords: bmkg,gempabumi,populer

Gambar 6.6. Seismograf Broadband single component jenis CMG‐3ESP (kiri) untuk
keperluan borehole yang dipasang oleh CTBT (kanan) (Sumber: Astiz dan
Stewart, 2008).

6.3. Digital Modern

Seismometer moderen menggunakan sistem elektronik. Pada
beberapa sistem, massa dijaga sampai hampir tidak bergerak relatif
terhadap kerangka alat dengan sebuah komponen elektronik negative
feedback loop (putaran umpan balik negatif). Gerakan relatif massa
terhadap kerangka akan terukur, dan putaran umpan balik menggunakan
gaya magnet atau gaya elektrostatis untuk menjaga massa hampir tidak
bergerak.

93

Tegangan listrik (voltage) yang diperlukan untuk menghasilkan gaya
ini adalah output dari seismometer yang direkam secara digital. Pada
sistem yang lain massa dibiarkan bergerak, dan gerakan ini menghasilkan
sebuah tegangan listrik dalam kumparan yang dipasang pada massa dan
bergerak melalui medan magnet dari sebuah magnet yang dipasang pada
kerangka/dudukan.

Seismometer modern bekerja secara elektronik, yang tidak lagi
menggunakan pena dan drum, gerakan relatif antara beban dan rangka
menghasilkan tegangan listrik yang direkam oleh sebuah komputer.
Dengan memodifikasi susunan pegas, beban, dan rangka, seismometer
dapat merekam gerakan pada berbagai arah. Seismometer juga merekam
gerakan tanah yang disebabkan oleh berbagai jenis sumber getaran alami
dan sumber getaran buatan manusia, seperti pohon tertiup angin, mobil
dan truk di jalan raya, dan ombak lautan yang menghantam pantai.

Seismograf Magnifikasi dan Sensitivitas Tinggi dapat merekam
gempabumi sangat kecil seperti mikrotremor atau gempabumi jauh
tanpa mengalami simpangan. Seismograf Strong Motion dapat merekam
gerakan tanah yang kuat atau merusak dengan tanpa batas atas
(clipping). Seismograf Dinamis Lebar dapat merekam spektrum getaran
sangat kecil hingga gerakan tanah kuat secara simultan. Umumnya semua
tipe sistem operasi seismograf sekarang ini dilengkapi oleh putaran
gulungan koil yang terhubungkan dengan penguat listrik. Hal terpenting
dalam sistem seismograf adalah dinamika pendulum, mekanis
seismograf, putaran koil dalam jenis seismometer elektromagnet, dan
seismometer arus‐balik (feed back).

6.4. Sejarah Monitoring Gempabumi di Indonesia

Untuk menempatkan sensor gempabumi di setiap lokasi
memerlukan persyaratan tertentu. Ada beberapa persyaratan yang harus
dilalui dalam hal pemilihan lokasi sensor, di antaranya: berada pada
batuan keras, jauh dari kebisingan jalan berkendaraan, keamanan
terjamin, tersedia fasilitas listrik, solar panel, dan komunikasi.

94

Gambar 6.7. Seismograf Weischert pertama kali dipasang di Indonesia tahun 1908
menggunakan sistem mekanik penuh dengan pemberat 2 ton dengan
rekaman menggunakan kertas jelaga (smoke paper) (Sumber: BMKG,
2007)

Era tahun 1900‐1930. Pengamatan aktivitas gempabumi di
Indonesia dilakukan sejak zaman kolonial Belanda pada tahun 1898
dengan mengoperasikan seismograf mekanik Ewing. Pada tahun 1908
telah mulai mengoperasikan stasiun pemantau gempabumi permanen,
yakni dengan memasang seismograf Wichert komponen horisontal di
Jakarta. Sedangkan komponen vertikal sesimograph tersebut dipasang
pada tahun 1928 di beberapa kota, yaitu Jakarta, Medan, Bengkulu, dan
Ambon.

Era Tahun 1950‐1980. Pada tahun 1953 dengan nama PMG (Pusat
Meteorologi dan Geofisika) sebagai instansi yang terkait dengan
pengamatan gempabumi memasang seismograf Elektromagnetik

95

Sprengnether di Lembang ‐ Bandung yang disusul dengan pemasangan
seismograf bertipe sama di Jakarta, Medan, Tangerang, Denpasar,
Ujungpandang, Kupang, Jayapura, Manado, dan Ambon sehingga
terbentuk jaringan seismograf yang pertama kali di Indonesia. Seismograf
3 komponen ini beroperasi di sepuluh kota tersebut sampai dengan tahun
1980‐an.

Pada tahun 1964 di stasiun Lembang dipasang Seismograf Teledyne
Geotech yang termasuk dalam jaringan WWSSN (World Wide Standard
Seismololgical Network). Seismograf ini memiliki 6 komponen dan
mengalami modifikasi pada tahun 1978.

UNDP‐Unesco pada tahun 1974 mengadakan proyek
pengembangan seismologi di Indonesia yang antara lain meliputi
standarisasi seismograf dan proses pengolahan data gempabumi bumi
serta pengembangan jaringan pemantau. Salah satu bentuknya adalah
pemasangan seismograf periode pendek (Short Period Seismograf‐
Kinemetric) komponen Z di 27 stasiun seluruh Indonesia. Tiap‐tiap stasiun
dilengkapi dengan seismograf 1 komponen vertikal periode pendek, dan
sinyal seismik direkam pada kertas seismogram.

Era Tahun 1990. Dengan nama baru BMG (Badan Meteorologi dan
Geofisika), era sistem pemantauan telemetri dimulai ketika pada tahun
1989 dioperasikan Seismograf Telemetri Periode Pendek komponen Z dari
LDG‐Perancis di 28 stasiun pemantau di seluruh Indonesia. Stasiun‐stasiun
ini dikelompokkan menjadi 5 wilayah yang masing‐masing memiliki satu
Pusat Gempabumi bumi Regional (Regional Seismological Center) dengan
pemantauan secara real time yang dipusatkan di Jakarta sebagai Pusat
Gempabumi Nasional (National Seismological Center).

Seluruh stasiun ini pada tahun 1998 dilengkapi dengan fasilitas
GARNET. Jaringan tersebut masih beroperasi hingga saat ini dan
merupakan jaringan pemantau seismik utama BMG. Sejak tahun ini pula
dapat dikatakan bahwa BMKG memiliki dua tipe stasiun pemantau
gempabumi bumi di Indonesia. Pertama adalah stasiun telemetri yang
tidak berawak atau telemetri dan lainnya adalah stasiun geofisika

96

konvensional. Di stasiun geofisika konvensional, data gempabumi
diobservasi dengan bantuan operator kemudian dilanjutkan dengan
pengolahan data dan analisis parameter gempabumi bumi sementara.

Gambar 6.8. Seismograf generasi ketiga SPS (Short Period Seismograph) dipasang
tahun 1980 menggunakan sistem mekanik dan elekterik dengan rekaman
kertas pias (Sumber: BMKG, 2007).

Mulai tahun 1990, terdapat 30 stasiun geofisika konvensional dan 28
stasiun telemetri serta 10 stasiun, di antaranya telah ditingkatkan menjadi
3 komponen periode pendek. BMKG mempunyai sebuah PGN (Pusat
Gempabumi Nasional) dan 5 PGR (Pusat Gempabumi Regional) atau Balai
Besar Wilayah sebagai pemantau gempabumi sekaligus cuaca, yakni BMKG
Wilayah I di Medan, BMKG Wilayah II di Ciputat, BMKG Wilayah III di
Denpasar, BMKG Wilayah IV di Ujung Pandang, dan BMKG Wilayah V di
Jayapura.

97

Untuk pengolahan data gempabumi di Balai Besar Wilayah, data
gempabumi dari stasiun seismograf dikirim ke Balai Besar Wilayah dan
PGN setiap 3 jam melalui SSB, telex, internet, atau sarana telekomunikasi
lain, bersama‐sama dengan data meteorologi. Sekarang ini fasilitas
komunikasi sudah dilengkapi dengan sarana VSAT untuk komunikasi
stasiun dengan Balai Besar Wilayah dan dengan Pusat.

BMKG juga menginstalasi stasiun telemetri 1 komponen berasal dari
Laboratoire De Geophysique (LDG) of France. Saat itu proses signal seismik
di stasiun dan PGR masih dirasakan terbatas karena masih direkam secara
analog pada recorder grafis. Hanya pada saat kejadian gempa, signal yang
mengandung gempabumi diseleksi dan direkam secara digital dengan 50
sampel per detik dan 12 bit dikirimkan ke PGN di BMKG Jakarta
menggunakan PT. TELKOMSEL menggunakan medium kecepatan
gelombang 4800 bps.

Pada tahun 1993 di Stasiun Geofisika Tretes Jawa Timur dipasang
seismograf periode panjang (Long Period Seismograf) 3 komponen yang
dilengkapi dengan TREMORS. Di tahun ini pula dipasang seismograf
periode pendek 3 komponen SPS‐3 (Kinemetrics) di 9 stasiun geofisika
konvensional di seluruh Indonesia, yaitu di Banda Aceh, Padang Panjang,
Kepahiyang, Kotabumi, Tanjungpandan, Kupang, Palu, Ambon, dan Sorong.

Perkembangan lain dari sistem pemantau seismik BMKG adalah
dimulainya era broadband sejak tahun 1992 pada saat dioperasikannya
seismograf 3 komponen tipe Broadband di stasiun Parapat dan Jayapura.
Keduanya hingga saat ini masih beroperasi. Menyusul pada kurun waktu
1997‐2001 dengan adanya proyek kerjasama Indonesia dan Jepang, yaitu
Joint Operation of Japan ‐ Indonesia Seismik Network (JISNET) dipasang
seismograf jenis broadband di 23 stasiun di seluruh Indonesia. Tahun 1996
sistem monitoring real‐time telah ditingkatkan dengan menambah data
akuisisi dengan fasilitas database komputer, display signal, dan perangkat
pemetaan untuk prosesing digital di PGN dan waktu GPS di semua regional.
Pada saat itu BMKG telah mampu melakukan deteksi pusat gempabumi
dalam waktu 15 menit sampai 1 jam dengan besaran gempabumi terendah
mulai skala magnitudo 4.

98

Sementara itu, pada tahun 1999 di Kappang (Sulawesi Selatan)
dipasang seismograf 3 komponen jenis broadband yang merupakan
kerjasama BMG‐UCSD/USA. Pada tahun 2002 di stasiun yang sama
kembali dipasang seismograf bertipe broadband yang merupakan salah
satu dari 6 stasiun seismik CTBTO (Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty
Organization). Lima stasiun lainnya adalah Parapat, Lembang, Kupang,
Sorong, dan Jayapura.

Gambar 6.9. Stasiun Lembang, Bandung, Jawa Barat tempat dipasangnya sensor
sensor seismograf WWSNN, tahun 1976 dan sensor broadband CTBTO
tahun 1999 (Sumber : BMKG, 2007).

Proyek kerjasama ini dilanjutkan kembali antara NIED Jepang dan
BMKG untuk periode 2001‐2006 dengan nama Operation and Data
Exchange of Japan‐Indonesia Seismik Network (JISNET continued).
Pelaksanaan proyek ini meliputi pemasangan seismograf jenis Broadband
di 22 stasiun seluruh Indonesia.

Sistem yang digunakan adalah PAC (Phasing and Analog Converter)
yang telah sinkron dengan waktu GPS receiver. Software analisa

99

dinamakan ARTDAS (Automatic Real Time Data Acquisition Software) dan
XIDAS (X‐windows Interactive Data Analysis Software) yang dioperasikan
oleh Sunwork stations LDG France dengan melakukan akuisisi real time,
rekaman kontinyu, dan proses semi otomatis menghasilkan parameter
seismik seperti waktu tiba gelombang, amplitudo, periode, waktu asal
gempa, lintang, bujur, dll yang semuanya disimpan di ORACLE database.

Era Tahun 2000. Pada tahun 2003 dibentuk Sistem Pemantauan
Seismik Nasional (National Seismic Monitoring System) dengan
penambahan seismograf broadband di 27 stasiun‐stasiun seismik seluruh
Indonesia. Seismograf ini terintegrasi dengan jaringan yang telah ada dan
mempunyai sistem pengolahan data real time berlokasi di Jakarta dengan 3
Pusat Seismik Regional Mini (Mini Regional Seismic Center) yang berlokasi
di Padang Panjang, Kepahiyang, Palu.

Gambar 6.10. Model shelter seismograf jenis bunker (Sumber : BMKG, 2007).

100

Gambar 6.11. Sistem seismograf broadband telemetri mulai dikembangkan BMKG pada
tahun 2005 di hampir seluruh wilayah rawan gempabumi bumi (Sumber:
BMKG, 2007).

Gambar 6.12. Sistem broadband BMKG menggunakan komunikasi satelit (Sumber:
BMKG, 2007).

101

6.5. Bantuan Tsunami 2004
Setelah Tsunami Aceh 2004, Pemerintah Republik Indonesia

bekerjasama dengan 14 negara donor serta institusi dalam dan luar negeri
(di antaranya: UNESCO, CTBTO, Amerika, Perancis, Jepang, Jerman, dan
Cina) bersama‐sama untuk membangun sistem baru peringatan dini
tsunami atau Tsunami Early Warning System (TEWS). Tujuannya untuk
mengurangi korban jiwa lebih besar diakibatkan oleh bahaya tsunami.
Mulai tahun 2005 untuk mewujudkan program tersebut akan diinstalasi
sekitar 160 seismograf, 500 akselerograf, dan 15 digital strong‐motion
akselerograf.

Gambar 6.13. Jaringan seismik yang diusulkan BMKG sejak 2006 sampai 2008 terdiri
dari 1 pusat nasional, 10 regional, 160 seismometer broadband, dan 500
akselerometer (Sumber: BMKG, 2008).

Operasional monitoring seismik seluruh wilayah Indonesia
dikembangkan menjadi 10 PGR. Sedangkan untuk observasi muka laut
BPPT dan RISTEK sebagai mitra kerja dalam negeri BMKG bertugas
menangani operasional 60 tide gauge, dan 15 DART‐Buoy, secara

102

berurutan disebar ke seluruh wilayah Indonesia. Telekomunikasi yang
digunakan adalah 5 in 1 terdiri dari ; internet (web, mail), sms dan mobile‐
phone, radio‐internet, faks, telepon. Oleh karenanya penentuan
parameter gempabumi bumi disertai diseminasi peringatan gempabumi
dan tsunami sekarang ini bisa dicapai dalam tempo 5 ‐ 10 menit ke tangan
pengguna.

Mulai tahun 2006, BMKG mengadopsi software analisa SeiscomP
dari GFZ Jerman untuk menentukan parameter gempabumi. Hal ini
adalah bentuk implementasi kerjasama bilateral Indonesia ‐ Jerman.
Institusi yang terbentuk adalah GITEWS (German Indonesia ‐ Tsunami
Early Warning System). Tahun 2007, Cina tidak mau ketinggalan untuk
berkecimpung dalam Ina‐TEWS, software analisa episenter MSDP CEA di‐
instalasi untuk membandingkan hasil analisa SeiscomP pada saat
penentuan lokasi pusat gempa.

Gambar 6.14. Akselerometer BMKG tampak dari luar, bagian dalam, dan komponen Z,
X, Y untuk mengukur percepatan tanah suatu daerah (Sumber: BMKG,
2008).

103

Pembangunan Ina‐TEWS secara masif diteruskan, sejak 2006
sampai 2008 BMKG terus mengusulkan penambahan sensor seismograf
untuk melengkapi sebaran pusat gempabumi di daerah‐daerah rawan
tektonik. Pembangunan itu meliputi satu pusat nasional, 10 pusat
regional, 160 seismometer broadband, dan 500 akselerometer.

GITEWS secara bertahap membangun sistem peringatan tsunami
berbasis database pemodelan tsunami yang diverifikasi dengan observasi
permukaan air laut. Sistem yang rencananya diluncurkan tahun 2010
dinamakan DSS (Decision Support System) bertujuan untuk membantu
operator gempabumi untuk menentukan keputusan peringatan tsunami.
DSS memilah‐milah segmen pantai tingkat kecamatan menurut tingkatan
peringatan (mayor,btsunami, saran) berdasarkan nilai perkiraan
ketinggian tsunami, kecepatan waktu tiba, dan proporsi populasi
geografis di tiap segmen pantai rawan tsunami.

Berdasarkan informasi detil peringatan tsunami yang disampaikan
tersebut, pemerintah daerah di daerah bencana tersebut akan mampu
memutuskan tindakan mitigasi yang diperlukan, misalkan evakuasi total,
sebagian, atau hanya waspada. Informasi diteruskan oleh pemda ke
masyarakat melalui sirine atau alat telekomunikasi setempat.

6.6. Jaringan Global

Sekalipun jumlah jaringan seismik BMKG telah mengalami
peningkatan cukup siginifikan dari tahun‐tahun sebelumnya, namun hal
itu masih sangat dirasakan kurang dibandingkan dengan luas daerah
Indonesia dengan aktivitas gempabumi yang tinggi, karenanya dilakukan
kerjasama dengan jaringan seismograf luar negeri agar bisa menambah
dan saling bertukar data gempa. Saat ini BMKG baru dapat menerima
data seismik yang real time dari Australia, Malaysia, dan beberapa
jaringan seismik internasional seperti Geofon dan IRIS.

IRIS (Incorporated Research Institutions for Seismology) adalah
suatu konsorsium nasional negara‐negara Eropa dalam pengoperasian

104

fasilitas Status Operasional Stasiun IRIS/USGS dari Jaringan Seismograph
Global ilmiah, manajemen dan distribusi data seismik global. IRIS telah
berperan besar dalam rangka memajukan infrastruktur dan penelitian
ilmiah tentang bencana gempabumi, eksplorasi sumber daya alam, dan
monitoring percobaan ledakan nuklir, melalui jaringan nasional dan
internasional seismik GSN (Global Seismografic Network), IRIS PASSCAL,
dan IRIS DMS. IRIS telah melakukan hubungan kemitraan dan kolaborasi
dengan hampir seluruh negara di dunia dengan membantu
pengembangan infrastruktur teknis, dan kapasitas SDM.

Gambar 6.15. Distribusi jaringan stasiun seismik global IRIS/USGS di Albuquerque
Seismological Laboratory (Sumber: NMSOP, 2002).

Aktifitas USGS (United States of Geological Surveys) di samping
memantau aktifitas getaran gempabumi yang terjadi di negara‐negara

105

Stasiun Array Stasiun 3‐C bagian Amerika, namun juga di dunia lainnya.
Perjanjian kerjasama dengan USGS dalam hal studi gempabumi
diterapkan melalui program hibah dengan pihak perguruan tinggi,
negara, regional dan lokal instansi pemerintah, swasta, dan industri yang
bertujuan untuk mengembangkan informasi, pengetahuan, dan metode
yang relevan dalam program bencana gempabumi. Data dan produk
USGS beberapa di antaranya dapat diakses melalui internet, seperti
katalog gempa, waveform data, data bahaya gempa, getaran tanah, dan
informasi kerak bumi.
6.7. Lembaga Nuklir PBB

Gambar 6.16. Jaringan stasiun seismograf auxiliary CTBT, 6 stasiun berada di Indonesia
yaitu: Kappang, Parapat, Lembang, Kupang, Sorong, dan Jayapura
(Sumber: Astiz dan Stewart, 2008).

BMKG bekerjasama juga dengan organisasi PBB yang membidangi
pengawasan percobaan senjata nuklir, yaitu CTBTO (Commision Nuclear
Test‐Ban Treaty Organization), dalam hal pertukaran data gempabumi

106

dengan pengawasan IDC (International Data Centre). Data seismik jaringan
CTBTO ini selain dikirim ke Vienna juga digunakan untuk mendukung
keperluan sistem peringatan dini tsunami Indonesia. Saat ini CTBT sedang
mengembangkan teknologi untuk memonitor ledakan nuklir dengan
menggunakan metode seismik, infrasound, hidroakustik, dan radiasi nuklir.
Data hidroakustik sangat berguna untuk tujuan penelitian seperti
perambatan retakan. Data seismik tambahan dapat diminta untuk akses
data real time.

Gambar 6.17. Stasiun seismograf CTBT menembus kaki gunung es di Pegunungan Eropa
dilengkapi sistem komunikasi satelit, power supply, dan solar panel
(Sumber: Astiz dan Stewart, 2008).

107

CTBT mempunyai beberapa jenis jaringan seismik di dunia, yaitu:
sistem primary dan auxiliary. Sistem primary terdiri dari 50 stasiun, 30
stasiun array, 19 stasiun 3‐komponen. Sistem auxiliary terdiri dari 120
stasiun, 7 stasiun array, 112 stasiun 3‐komponen. Jaringan stasiun
seismograf auxiliary CTBT, 6 stasiun berada di Indonesia, yaitu: Kappang,
Parapat, Lembang, Kupang, Sorong, dan Jayapura.

108

7
PARAMETER GEMPABUMI

Gambar 7.1. Rekaman gempabumi swarm dan jaringan stasiun seismik sekitar
Vogtland, Jerman tanggal 17 September 2000 Ml=3,1. Bintang
menunjukkan pusat gempa, lingkaran biru penjalaran gelombang P dan
merah Sg setelah 5, 10, 20, 40 detik (Sumber: NMSOP, 2002).

109

Saat terjadi gempa, pertanyaan yang sering dilontarkan masyarakat
adalah tentang kapan terjadinya, dimana sumber gempa, seberapa besar
kekuatan, dan kapan gempabumi tersebut bisa berakhir sehingga para
korban bisa merasa aman dari bahaya gempabumi susulan berikutnya.

Parameter sumber gempabumi yang sering dianalisis adalah waktu
asal gempa, posisi lintang, dan bujur episenter, kedalaman sumber, waktu
kejadian dan ukuran atau magnitudo, serta intensitas gempa.

7.1. Waktu Asal

Waktu asal gempabumi atau origin time adalah waktu suatu
gempabumi terjadi di sumbernya pada kedalaman tertentu di lapisan
bumi. Pada waktu tersebut akumulasi tegangan (stress) terlepas dalam
bentuk penjalaran gelombang gempabumi. Waktu asal dinyatakan dalam
hari, tanggal, bulan, tahun, jam, menit, detik dalam satuan UTC (Universal
Time Coordinated).

Salah satu cara untuk menentukan origin time adalah dengan
metode diagram Wadati yang memerlukan selisih pembacaan waktu tiba
gelombang P dan S dan mengasumsikan bahwa medium bumi adalah
homogen. Diagram Wadati juga digunakan untuk berbagai keperluan,
antara lain: menghitung jarak stasiun ke hiposenter (pusat gempa),
perbandingan kecepatan gelombang P terhadap S (Vp/Vs) atau Poisson
ratio, serta mengoreksi pembacaan gelombang P dan S itu sendiri.

Pertama, plot waktu S‐P terhadap waktu tiba gelombang P setiap
stasiun. Kemudian cocokkan garis lurus ke semua data dan tarik hingga ke
sumbu absis hingga didapatkan nilai absisnya dalam satuan detik.
Terdapat dua cara pencocokan, yaitu penarikan sudut penunjaman
l=Vp/Vs‐1.

Grafik (Ts‐Tp) terhadap Tp menjadi garis linier dengan gradien
(Vp/Vs) ‐ 1. Dikarenakan adanya dua gelombang berkecepatan berbeda
keluar dari titik yang sama (episenter) secara simultan, maka jarak antara
sumber dan stasiun bisa dicari dengan melihat perbedaan waktu tiba dua
gelombang tersebut.

110

Gambar 7.2. Selisih pembacaan gelombang P dan S (Sumber: Hurukawa, IISEE, 2007).

Gambar 7.3. Diagram Wadati waktu gelombang S dan P (Ts‐Tp) sebagai ordinat (sumbu
y) dan selisih waktu waktu tiba gelombang P (Tp) terhadap origin time (To)
atau Tp=Tp‐To sebagai absis (sumbu x) (Sumber: Hurukawa, IISEE, 2007).

111

Bila data banyak sebagai pendekatan dapat digunakan metode
Kuadrat Terkecil (Least Square).

y =bx+ a (7‐1)

Tsp = b*Tpo + a (7‐2)

(7‐3)

Origin time dengan jumlah data banyak akan didapatkan berikut :
(7‐4)

dimana:
Tp = waktu datang gelombang (detik)
Ts = waktu datang gelombang S (detik)

To = waktu asal (detik) Vs = kecepatan gelombang S
Tpo =Tp - To (detik) (km/s)
Tso = Ts - To (detik) D = jarak hiposenter (km)
Tsp = Ts- Tp (detik) h = kedalaman (km)
I = notasi stasiun E = jarak episenter (km)

P n = jumlah stasiun a dan b = konstanta regresi
Vp = kecepatan gelombang P
(km/s) sudut kemiringan

7.2. Arah dan Kedalaman

Arah gempabumi menunjukkan arah lokasi datangnya gempabumi
terjadi sesuai arah mata angin. Sedangkan kedalaman sumber
gempabumi adalah jarak hiposenter dihitung tegak lurus dari permukaan
bumi. Kedalaman dinyatakan oleh besaran jarak dalam satuan km.

Metode Gerak Partikel (particle motion) dipakai untuk menentukan
hiposenter (episenter dan kedalamannya) dengan menggunakan satu
stasiun yang memiliki 3 komponen. Dalam penentuan ini arah awal impuls

112

ketiga komponen (kompresi atau dilatasi) harus jelas. Variabel yang
dipakai adalah setengah amplitudo awal impuls gelombang P ketiga
komponen dan beda waktu gelombang S dan P atau (s‐p). Prosedur
penentuannya adalah sebagai berikut:
Tentukan dahulu arah impuls awal ketiga komponen, apakah kompresi
(C) atau dilatasi (D).
Perhatikan rekaman komponen vertikal: jika komponen vertikal kompresi,
maka pada komponen horizontalnya tandanya harus dibalik (C = minus, D
= plus), sebaliknya jika komponen vertikal dilatasi maka komponen
horizontalnya tandanya tetap ( C = plus, D = negatif). Dari bacaan ½
amplitude komponen horizontal dibuat vektor resultannya, misalnya AH.
Dari bacaan ½ amplitudo komponen vertikal (AV) dan AH dibuat vektor
resultannya, misalnya AR.

Gambar 7.4. Penentuan arah gerak partikel gempabumi dari pembacaan awal
seismogram (Sumber: NMSOP, 2002).

113

Gambar 7.5. Penentuan arah dan kedalaman gerak partikel gempabumi dari
pembacaan awal seismogram dalam perspektif horizontal (kiri) dan
vertikal (kanan) (Sumber: NMSOP, 2002).

7.3. Lokalisasi Media Homogen

Sumber gempabumi atau episenter adalah titik di permukaan bumi
yang merupakan refleksi tegak lurus dari hiposenter atau fokus
gempabumi. Lokasi episenter dibuat dalam sistem koordinat kartesian
bola bumi atau sistem koordinat geografis dan dinyatakan dalam derajat
lintang dan bujur. Kedalaman sumber gempabumi adalah jarak
hiposenter dihitung tegak lurus dari permukaan bumi dalam satuan km.

Pada kesempatan ini akan dibahas Metode Lingkaran dengan tiga
lingkaran. Pertama, plot tiga stasiun pencatat lengkap dengan koordinat
geografis pada kertas grafis, masing‐masing A, B, dan C. Selanjutnya
dapat dibuat lingkaran‐lingkaran dengan jari‐jari dari jarak yang
didapatkan berdasarkan Konstanta Omori (D=k*Tsp). Nilai k diasumsikan
8 km/s dimana kecepatan Vp 5,6-6,0 km/s dan Vp/Vs 1,73 di kerak bumi
bagian atas.

Setiap irisan dua lingkaran akan menghasilkan suatu garis lurus
(common chords). Perpotongan common chord akan menghasilkan E
(episenter). Gambar setengah lingkaran kecil dimana garis tengahnya dari
salah satu common chord tersebut. Tarik garis lurus yang melalui titik E dan

114

tegak lurus dengan common chord hingga berpotongan dengan setengah
lingkaran kecil tadi dan namakanlah dengan H (hiposenter). Jarak EH
adalah kedalaman fokal.

Gambar 7.6. Metode Lingkaran dengan tiga lingkaran (Sumber: Hurukawa, IISEE, 2007).

Persamaan lokalisasi media homogen mengacu pada Hurukawa (2007).
Untuk kasus banyak stasiun (i=1,2,3) maka jarak hiposenter didapatkan :

(7‐5)
dengan:

(x, y, z): koordinat titik hiposenter yang dicari
Vp: kecepatan gelombang P pada media
To: Waktu asal (diketahui)

115

(xi, yi, zi): koordinat stasiun ke‐i, i=1, 2, 3 (diketahui) (7‐6)
ti: waktu datang gelombang P
Di: Jarak stasiun i ke hiposenter
Diubah menjadi persamaan linier

Dihiraukan dx2, dy2, dz2

(7‐7)
Penyelesaian persamaan di atas menggunakan Prinsip Matrix
adalah X=AB-1 atau X=(A'A)-1A'B.

(7‐8)

(7‐9)

(7‐10)

116

Gambar 7.7. Penjalaran gelombang dari hiposenter ke stasiun dalam media homogen
(Sumber: Hurukawa, IISEE, 2007).

7.4. Lokalisasi Media Heterogen
Secara umum tidak mungkin untuk merumuskan waktu jalar

gempabumi pada medium heterogen tiga dimensi. Oleh karena itu,
digunakan pendekatan dengan menggunakan metode Geiger. Bila
diasumsikan medium heterogen ke arah vertikal saja, maka secara
teoretis waktu jalar gempabumi merupakan fungsi dari jarak.

Gambar 7.8. Penjalaran gelombang dari hiposenter ke stasiun dalam media heterogen
dengan Metode Geiger (Sumber: Hurukawa, 2007).

117

Misalnya (x,y,z), To, (x0 , y0, z0) dan To berturut‐turut adalah
hiposenter sebenarnya, waktu gempabumi sebenarnya, hiposenter

percobaan dan waktu gempabumi percobaan. Koreksi hiposenter

berturut‐turut adalah dx = x-x0, dy = y-y0, dz =z-z0 dan dTo = To -To0.
Selisih antara waktu jalar hasil pengamatan (O) dan waktu jalar hasil

perhitungan dengan model (C) yaitu:

(7‐11)

dimana ti dan Tiberturut ‐ turut adalah waktu tiba dan waktu jalar secara

perhitungan pada stasiun ke‐i (i = 1,2,…). Ketiga koefisien, ,

dapat dihitung menggunakan tabel waktu jalar. Koefisien yang tidak
diketahui dapat dicari dengan menggunakan metode kuadrat terkecil
dimana

 (O - C)2 = minimum (7‐12)

hiposenter dan waktu terjadinya gempabumi (origin time) hasil
pendugaan kemudian diberi nama: x0 + dx, y0+ dy , z0 + dz dan To0 + dTo.
Harga ini dipakai sebagai hiposenter dan waktu terjadinya gempabumi
yang baru. Penyelesaian ini dilakukan secara iterasi berulang, sehingga 4
variabel (dx, dy, dz , dTo) dapat diperoleh.

Meskipun demikian, metode Geiger ini masih mempunyai kesalahan
perhitungan, terutama apabila data yang digunakan berasal dari stasiun
dengan jarak yang relatif jauh. Variasi kecepatan gelombang seismik pada
jarak tersebut ternyata tidak dapat dihitung dengan tepat. Variasi
kecepatan gelombang sebesar lebih kurang 0,2 km/dt. ternyata
memberikan kesalahan penentuan posisi hiposenter sampai beberapa
puluh kilometer (Shedlock, 1985). Oleh karena itu, metode ini hanya dapat
digunakan dengan tepat untuk menentukan posisi hiposenter dan waktu
asal dari suatu gempabumi yang bersifat lokal (Lee,1981).

Dalam penentuan episenter atau lokalisasi gempabumi,

118

pembacaan waktu tiba sangat berperan, karena kesalahan interpretasi
pembacaan fase gelombang akan menghasilkan residu yang besar. Untuk
itu perlu semacam petunjuk tentang pembacaan fase‐fase gelombang
seismik. Grafik travel time dapat dipakai untuk pedoman pembacaan
fase‐fase gelombang tersebut, dan gambar dibawah ini menunjukkan

grafik penjalaran gelombang P, S, Pc, PcP, dan PP terhadap jarak.

Gambar 7.9. Grafik penjalaran gelombang P, S, Pc, PcP, dan PP terhadap jarak (Sumber:
NMSOP, 2002).

7.5. Magnitudo
Kekuatan gempabumi atau magnitudo adalah ukuran kekuatan

gempabumi yang menggambarkan besarnya energi yang terlepas pada
saat gempabumi terjadi dan hasil pengamatan seismograf. Richter
memperkenalkan konsep magnitudo (kekuatan gempabumi di
sumbernya) secara umum dengan satuan skala Richter.

119

Gambar 7.10. Prosedur pengukuran magnitudo dari rekaman seismogram
berdasarkan Metode Richter (Sumber: Lay dan Wallace, 1995).

Rumus untuk menentukan magnitudo yang sering dipakai adalah:
(7‐12)

M adalah magnitudo, a adalah amplitudo gerakan tanah (mikron), T

120

adalah perioda,  adalah jarak episenter, h adalah kedalaman gempa, Cs
adalah koreksi stasiun oleh struktur lokal, Cs adalah koreksi regional.

Rumus untuk menghitung magnitudo lokal (M), gelombang badan
(P atau S) (Mb), dan permukaan (Ms) adalah sebagai berikut:

(7‐13)

(7‐14)

(7‐15)

Berdasarkan Teori Elastik Rebound diperkenalkan istilah momen

seismik (seismic moment). Momen seismik dapat diestimasi dari dimensi

pergeseran bidang sesar atau dari analisis karakteristik gelombang

gempabumi yang direkam di stasiun pencatat khususnya dengan

seismograf periode bebas (broadband seismograph).

M0 = µ D A (7‐16)

dengan M0 = momen seismik (dyne.cm), µ = densitas (g/cm2), D =
pergeseran rata‐rata bidang sesar (cm), A = lulus sesar (cm2)(Spence et

al., 1989).

Secara empiris hubungan antara momen seismik dan magnitudo
permukaan dapat dirumuskan sebagai berikut:

log M0 = 1,5 Ms + 16,1 (7‐17)

dengan Ms = magnitudo permukaan (Skala Richter).

Kanamori (1977) dan Lay dan Wallace (1995) memperkenalkan
magnitudo momen (moment magnitudo), yaitu suatu tipe magnitudo
yang berkaitan dengan momen seismik namun tidak bergantung dari
besarnya magnitudo permukaan:

Mw = ( log Mo / 1.5 ) - 10.73 (7‐18)

dengan Mw = magnitudo momen, M0 = momen seismik.

Meskipun dapat menyatakan jumlah energi yang dilepaskan di

121

sumber gempabumi dengan lebih akurat, namun pengukuran magnitudo
momen lebih kompleks dibandingkan pengukuran magnitudo ML, Ms dan
Mb. Karena itu, penggunaannya juga lebih sedikit dibandingkan
penggunaan ketiga magnitudo lainnya (Lay dan Wallace, 1995).

7.6. Energi Gempa

Bentuk energi yang dilepaskan saat terjadinya gempabumi antara
lain adalah energi deformasi gelombang. Energi deformasi dapat dilihat
pada perubahan bentuk volume sesudah terjadinya gempabumi, seperti
misalnya tanah naik, tanah turun, pergeseran batuan, dan lain‐lain.
Sedangkan energi gelombang akan menggetarkan medium elastis di
sekitarnya dan akan menjalar ke segala arah.

Pemancaran energi gempabumi dapat besar ataupun kecil, hal ini
tergantung dari karakteristik batuan yang ada dan besarnya stress yang
dikandung oleh suatu batuan pada suatu daerah. Pada suatu batuan yang
rapuh (batuan yang heterogen), stress yang dikandung tidak besar karena
langsung dilepaskan melalui terjadinya gempabumi‐gempabumi kecil
yang banyak. Sedangkan untuk batuan yang lebih kuat (batuan yang
homogen), gempabumi kecil tidak terjadi (jarang terjadi) sehingga stress
yang dikandung sangat besar dan pada suatu saat batuannya tidak mampu
lagi menahan stress, maka akan terjadi gempabumi dengan magnitudo
yang besar.

Dengan kata lain untuk batuan yang lebih rapuh (heterogen), energi
yang dikumpulkan tidak terlalu besar karena langsung dilepaskan dalam
bentuk gelombang seismik, sedangkan untuk batuan yang lebih kuat,
energinya akan dikumpulkan dalam waktu relatif lebih lama sehingga pada
saat dilepaskan (karena batuan sudah tidak mampu lagi menahan stress),
energinya sudah terkumpul banyak dan gempabumi yang terjadi akan
lebih besar.

Energi gempabumi dapat ditaksir dari pengamatan makroseismik,
tetapi biasanya tidak diperoleh hasil yang memadai. Gelombang seismik
merupakan bentuk energi yang paling mudah dideteksi, yaitu dengan cara

122

pencatatan pada alat. Dengan menggunakan data ini kita dapat menaksir
energi gempabumi yang memadai. Ukuran besarnya energi gempabumi
ditentukan dengan hasil catatan amplitudo gelombang seismik yang
dinyatakan dengan istilah magnitudo gempabumi.

Penentuan magnitudo baik menggunakan gelombang bodi (Mb),
maupun gelombang permukaan (Ms) tidak menunjukkan skala yang
sama. Secara historis ML, Ms, dan Mb dimaksudkan untuk mendapatkan
titik temu satu sama lain, akan tetapi pada kenyataannya penentuan

secara terpisah menggambarkan ketidaksetaraan terutama antara Mb
dan Ms.

Bertolak dari kenyataan diatas, maka Gutenberg membuat

penyeragaman dari nilai magnitudo yang dikenal dengan "United

magnitudo" sebagai rata‐rata dari nilai Mb dan Ms. Dengan nilai
magnitudo tersebut diperoleh hubungan antara energi terhadap

magnitudo sebagai berikut:

log E = 5,8 + 2,4 M (7‐19)

dimana E adalah energi di pusat gempa, dalam satuan erg dan M adalah

magnitudo. Sedangkan rumusan energi secara terpisah yang disepakati

secara Internasional dipilih rumusan dari Bath (Subardjo, 2003), yang

dinyatakan untuk Mb dan M berturut‐turut sebagai berikut:

log E = 5,78 + 2,48 Mb (7‐20)

log E = 12,24 + 1,44 Ms (7‐21)

7.7. Intensitas Kerusakan

Tingkat kerusakan akibat gempabumi dinyatakan juga dalam
intensitas. Intensitas dihitung berdasarkan pengamatan visual langsung
terhadap kerusakan akibat gampabumi, dan intensitas ini dapat
memberikan gambaran nilai kekuatan gempabumi pada pusat gempanya.
Perbedaan magnitudo dengan intensitas dari suatu gempabumi adalah
magnitudo dihitung dari catatan alat sedangkan intensitas didasarkan atas

123

akibat langsung dari getaran gempabumi. Magnitudo mempunyai harga
yang tetap untuk sebuah gempa, tetapi intensitas berbeda dengan
perubahan tempat.

Intensitas terbesar pada umumnya terdapat pada daerah episenter
dan menurun terhadap jarak ke semua arah. Untuk dapat menentukan
intensitas di suatu tempat dengan tepat diperlukan pengiriman para ahli
yang berpengalaman ke daerah yang terkena bencana gempabumi
tersebut, untuk mengamati tingkat kerusakan yang terjadi. Intensitas
biasanya dinyatakan dalam skala. Skala intensitas yang digunakan di
Indonesia adalah skala Modified Mercally Intensity (MMI) atau disebut
juga skala intensitas Mercally

Perlu diperhatikan bahwa skala intensitas bukan skala magnitudo.
Pada umumnya, untuk menentukan secara tepat intensitas dari suatu
gempabumi di suatu daerah, dikirimkan suatu tim peneliti yang langsung
terjun ke lapangan atau daerah dimana terdapat efek atau pengaruh
gempabumi tersebut. Pengamatan ini perlu pengetahuan mengenai
kondisi geologi dan tipe konstruksi bangunan.

Hasil dari penelitian tersebut, merupakan data yang diperlukan
untuk menentukan skala intensitas dan selanjutnya dibuat peta
isoseismal. Isoseismal adalah garis yang menghubungkan tempat‐tempat
dengan intensitas yang sama. Untuk menghindari kerancuan dengan
besaran magnitudo, skala intensitas ditulis dengan angka Romawi.

Suatu kenyataan bahwa intensitas yang lebih besar akan terjadi
pada tanah yang lunak/gembur dibandingkan pada tanah yang
padat/bedrock. Dalam melihat kerusakan yang diakibatkan oleh suatu
gempabumi, harus diyakini benar bahwa kerusakan tersebut timbul
karena pengaruh gempabumi, dan bukan karena pengaruh yang lain,
seperti misalnya: perubahan suhu yang besar dan mendadak, deruman
sonik pesawat terbang dan sebagainya. Dengan menggunakan peta
isoseismal, dapat diperkirakan parameter gempabumi lainnya, seperti
letak episenter, kedalaman pusat gempabumi, dan sebagainya.

Penentuan episenter secara instrumen (pembacaan rekaman

124

permulaan gelombang P dan S), pada umumnya merupakan sebuah titik
dimana sesar tersebut dimulai. Apabila sesar merupakan belahan panjang,
maka lokasi episenter tersebut akan menyimpang dari daerah intensitas
maksimum. Apabila pusat gempabumi terjadi pada suatu kedalaman
tertentu, maka pengaruh intensitas akan lebih kecil kalau menjauhi
episenter, dibandingkan apabila pusat gempabumi lebih dangkal.

Hubungan antara intensitas suatu tempat (I), intensitas maksimum
(I0), radius isoseismal (r) dan kedalaman fokus (h), secara empiris
dirumuskan sebagai berikut (Bath, 1978):

(7‐22)

Dari suatu gempabumi di California Selatan diperoleh hubungan
antara magnitudo gempabumi dengan intensitas maksimum (I0), dan
diperlihatkan dalam persamaan:

(7‐23)

Sudah dapat dipastikan bahwa variasi yang besar banyak terjadi
pada persamaan di atas untuk daerah seismik yang berbeda. Persamaan‐
persamaan tersebut adalah yang umum berlaku dan hanya dipakai
sebagai pendekatan pertama bila data mengenai suatu daerah seismik
tidak diketahui.

SKALA MODIFIED MERCALLI INTENSITY MMI

I. Getaran tidak dirasakan kecuali dalam keadaan hening oleh
beberapa orang.

II. Getaran dirasakan oleh beberapa orang yang tinggal diam,
lebih‐lebih di rumah tingkat atas. Benda‐benda ringan yang
digantung bergoyang.

III. Getaran dirasakan nyata dalam rumah tingkat atas. Terasa
getaran seakan ada truk lewat, lamanya getaran dapat
ditentukan.

IV. Pada siang hari dirasakan oleh orang banyak dalam rumah, di

125

luar oleh beberapa orang. Pada malam hari orang terbangun,
piring dan gelas dapat pecah, jendela dan pintu berbunyi,
dinding berderik karena pecah‐pecah. Kacau seakan‐akan truk
besar melanggar rumah, kendaraan yang sedang berhenti
bergerak dengan jelas.

V. Getaran dirasakan oleh hampir semua penduduk, orang banyak
terbangun. Jendela kaca dan plester dinding pecah, barang‐
barang terpelanting, pohon‐pohon tinggi dan barang‐barang
besar tampak bergoyang. Bandul lonceng dapat berhenti.

VI. Getaran dirasakan oleh semua penduduk, kebanyakan terkejut
dan lari keluar, kadang‐kadang meja kursi bergerak, plester
dinding dan cerobong asap pabrik rusak. Kerusakan ringan.

VII. Semua orang keluar rumah, kerusakan ringan pada rumah‐
rumah dengan bangunan dan konstruksi yang baik. Cerobong
asap pecah atau retak‐retak. Goncangan terasa oleh orang yang
naik kendaraan.

VIII.Kerusakan ringan pada bangunan‐bangunan dengan konstruksi
yang kuat. Retak‐retak pada bangunan yang kuat. Banyak
kerusakan pada bangunan yang tidak kuat. Dinding dapat lepas
dari kerangka rumah, cerobong asap pabrik‐pabrik dan
monumen‐monumen roboh. Meja kursi terlempar, air menjadi
keruh, orang naik sepeda motor terasa terganggu.

IX. Kerusakan pada bangunan yang kuat, rangka‐rangka rumah
menjadi tidak lurus, banyak lubang‐lubang karena retak‐retak
pada bangunan yang kuat. Rumah tampak bergeser dari
pondasinya, pipa‐pipa dalam tanah putus.

X. Bangunan dari kayu yang kuat rusak, rangka‐rangka rumah
lepas dari pondasinya, tanah terbelah, rel melengkung. Tanah
longsor di sekitar sungai dan tempat‐tempat yang curam serta
terjadi air bah.

XI. Bangunan‐bangunan kayu sedikit yang tetap berdiri, jembatan
rusak, terjadi lembah. Pipa dalam tanah tidak dapat dipakai

126

sama sekali, tanah terbelah, rel melengkung sekali.

XII. Hancur sama sekali. Gelombang tampak pada permukaan
tanah, pemandangan menjadi gelap, benda‐benda terlempar
ke udara.

7.8. Percepatan Tanah

Parameter getaran gelombang gempabumi yang dicatat oleh
seismograf umumnya adalah simpangan kecepatan atau velocity dalam
satuan kine (cm/dt). Selain velocity tentunya parameter yang lain seperti
displacement (simpangan dalam satuan mikrometer) dan percepatan
(acceleration dalam satuan gal atau cm/dt2) juga dapat ditentukan.

Parameter percepatan gelombang seismik atau sering disebut
percepatan tanah merupakan salah satu parameter yang penting dalam
seismologi teknik atau earthquakes engineering. Besar kecilnya
percepatan tanah tersebut menunjukkan resiko gempabumi yang perlu
diperhitungkan sebagai salah satu bagian dalam perencanaan bangunan
tahan gempa.

Setiap gempabumi yang terjadi akan menimbulkan satu nilai
percepatan tanah pada suatu tempat (site). Nilai percepatan tanah yang
akan diperhitungkan pada perencanaan bangunan adalah nilai
percepatan tanah maksimum. Meskipun gempabumi yang kuat tidak
sering terjadi tetapi tetap sangat membahayakan kehidupan manusia.
Salah satu hal yang penting dalam penelitian seismologi adalah
mengetahui kerusakan akibat getaran gempabumi terhadap bangunan‐
bangunan di setiap tempat. Hal ini diperlukan untuk menyesuaikan
kekuatan bangunan yang akan dibangun di daerah tersebut.

Bangunan‐bangunan yang mempunyai kekuatan luar biasa dapat
saja dibuat, sehingga bila terjadi gempabumi yang bagaimanapun kuatnya
tidak akan mempunyai tanggapan/reaksi yang tidak sama terhadap
kekuatan gempabumi. Nilai percepatan tanah dapat dihitung langsung
dengan seismograf khusus yang disebut strong motion seismograph atau

127

accelerograf. Namun karena begitu pentingnya nilai percepatan tanah
dalam menghitung koefisien seismik untuk bangunan tahan gempa,
sedangkan jaringan accelerograf tidak lengkap baik dari segi periode
waktu maupun tempatnya, maka perhitungan empiris sangat perlu dibuat.

Oleh sebab itu untuk keperluan bangunan tahan gempabumi harga
percepatan tanah dapat dihitung dengan cara pendekatan dari data
historis gempabumi. Beberapa formula pendekatan antara lain:

 Hubungan rumus Richter (1935)

I0 = 1,5 (m - 0,5)

log a = I/3 - 0,5 (7‐24)

dimana M adalah magnitudo, I0 adalah intensitas pada tempat yang
akan dicari dan a adalah percepatan tanah pada tempat yang dicari

dalam satuan cm/dt atau gal.

 Hubungan rumus Murphy dan O'Brein (2001)

log a = 0,14I + 0,24M - 0,68 log + 0,7 (7‐25)

dimana a adalah percepatan tanah pada tempat yang akan dicari, I
adalah intensitas gempabumi pada tempat yang akan dicari, M adalah
magnitudo, dan adalah jarak episenter dalam km.

 Hubungan rumus Donovan (1973)

a = 1.080(exp 0,5M )/(r + 25)1,32
(7‐26)

dimana a adalah percepatan, M adalah magnitudo, dan r adalah jarak
hiposenter dalam satuan km.

 Hubungan rumus Esteva (1974)

a = 5.600(exp 0,5M )/(r + 40)2
(7‐27)

Untuk menghitung percepatan a pada persamaan (7‐24) dan (7‐25),
perlu mengetahui besarnya intensitas I pada tempat yang akan dicari.

128

Prih Harjadi dan Subardjo telah menghitung rumus atenuasi intensitas
terhadap jarak gempabumi Flores 12 Desember 1992 dengan formula
sebagai berikut:

I = Io exp -0,0021
(7‐28)

dimana I adalah intensitas pada jarak episenter  km dan I adalah
intensitas pada sumber.

Selain rumus‐rumus empiris di atas masih banyak formula lain yang
memasukkan variabel periode waktu, periode dominan tanah, yaitu
antara lain:

 Model percepatan tanah pada permukaan secara empiris oleh
Mc.Guirre (1963) ditulis sebagai berikut :
 = 4,723 x 10 0,278 x (R + 25) -1,301
(7‐29)
 = percepatan tanah pada permukaan (gal)
M = magnitudo permukaan (SR)
R = jarak hiposenter (km), dengan

 = Jarak episenter (km)
h = kedalaman sumber gempabumi (km)
 Model percepatan tanah rumusan Kawashumi (1950) :
Log = M - 5,45 - 0,00084(R - 100) + (Log 100 / R) x (1/ 0,4342)

(7‐30)
 = percepatan tanah pada permukaan (gal)
M = magnitudo gelombang permukaan (SR)
R = jarak hiposenter (km)
 = jarak episenter (km)
h = kedalaman sumber gempabumi (km)
 Model empiris yang menggunakan data periode dominan tanah yang

129

merupakan hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan alat
mikrotremometer. Dengan data periode dominan tanah (Tg) dari hasil
pengukuran mikrotremor maka percepatan tanah pada permukaan
dapat dihitung dengan rumus Kanai (1966) :

 = G(T) x o
(7‐31)

o= (1/T) x 10 0,61M - ((1,66 + 3,6 / ) Log) + (0,167 - 1,83 / 
(7‐32)

(7‐33)

 = Percepatan tanah pada permukaan (gal)

Skala JMA Percepatan Skala MMI Percepatan
Maksimum (gal) Maksimum (gal)
dibawah 0.8 dibawah 1,0
0.8  2.5 1,0 2,0
2.5 8,0 2,1 5,0

8,0 25,0 5,0 10,0
25,0 80,0 10,0 21,0
80,0 250,0 21,0 44,0

250,0 400,0 44,0 94,0
diatas 400 94,0 202,0
202,0 432,0

G(T) = Faktor pembesaran
T = periode gelombang gempabumi (detik)
Tg = periode dominan tanah (detik)
M = magnitudo gelombang permukaan (SR)
 = jarak hiposenter (km)

130

Japan Meteorological Agency (JMA) membuat hubungan antara
skala intensitas JMA dan skala MMI dengan percepatan maksimum.

Tabel 7.1. Perbandingan Hubungan Percepatan Tanah dan Skala MMI

Perpindahan materi dalam penjalaran gelombang seismik biasa
disebut displacement. Jika kita lihat waktu yang diperlukan untuk
perpindahan tersebut, maka kita bisa tahu kecepatan materi tersebut.
Sedangkan percepatan adalah parameter yang menyatakan perubahan
kecepatan mulai dari keadaan diam sampai pada kecepatan tertentu.

Pada bangunan yang berdiri di atas tanah memerlukan kestabilan
tanah tersebut agar bangunan tetap stabil. Percepatan gelombang
gempabumi yang sampai di permukaan bumi disebut juga percepatan
tanah, merupakan gangguan yang perlu dikaji untuk setiap gempabumi,
kemudian dipilih percepatan tanah maksimum atau Peak Ground
Acceleration (PGA) untuk dipetakan agar bisa memberikan pengertian
tentang efek paling parah yang pernah dialami suatu lokasi.

Efek primer gempabumi adalah kerusakan struktur bangunan baik
yang berupa bangunan perumahan rakyat, gedung bertingkat, fasilitas
umum, monumen, jembatan, dan infrastruktur lainnya, yang diakibatkan
oleh getaran yang ditimbulkannya. Secara garis besar, tingkat kerusakan
yang mungkin terjadi tergantung dari kekuatan dan kualitas bangunan,
kondisi geologi dan geotektonik lokasi bangunan, dan percepatan tanah
di lokasi bangunan akibat dari getaran suatu gempabumi.

Faktor yang merupakan sumber kerusakan dinyatakan dalam
parameter percepatan tanah. Sehingga data PGA akibat getaran
gempabumi pada suatu lokasi menjadi penting untuk menggambarkan
tingkat resiko gempabumi di suatu lokasi tertentu. Semakin besar nilai
PGA yang pernah terjadi di suatu tempat, semakin besar resiko
gempabumi yang mungkin terjadi.

Pengukuran percepatan tanah dilakukan dengan accelerograf yang
dipasang di lokasi penelitian. Mengingat jaringan accelerograf di

131

Indonesia belum sebaik di negara lain seperti Jepang, Amerika, Cina,
maka pengukuran percepatan tanah dilakukan dengan cara empiris, yaitu
dengan pendekatan dari beberapa rumus yang diturunkan dari
magnitudo gempabumi atau/dan data intensitas. Perumusan ini tidak
selalu benar, bahkan dari satu metode ke metode lainnya tidak selalu
sama, namun cukup memberikan gambaran umum tentang PGA.
Beberapa rumus empiris telah dijelaskan di atas.

Gempabumi besar bisa terjadi berulang‐ulang di suatu tempat. Kita
kenal sebagai periode ulang gempabumi. Hal ini didukung oleh teori elastic
rebound yang mempunyai fase pengumpulan energi dalam jangka waktu
tertentu dan kemudian masa pelepasan energi pada saat gempabumi
besar. Periode ulang gempabumi besar bisa 10 tahun, 50 tahun, 100

tahun, atau 500 tahun sehingga tingkat resiko bangunan terhadap
gempabumi bisa terkait dengan periode ulang gempabumi. Kita ambil
contoh jika bangunan dirancang untuk berumur pakai 50 tahun dan
periode ulang gempabumi di tempat tersebut 100 tahun, maka
percepatan maksimum di tempat tersebut tentu akan kecil.

PGA (Peak Ground Acceleration) atau Percepatan Tanah Maksimum
menggunakan metode Donovan, Esteva, Murphy‐O'Brein, Gutenberg‐

132

Richter, Kanai, Kawasumi, dan lain‐lain. Formula‐formula empiris tersebut
ditentukan berdasarkan suatu kasus gempabumi pada suatu tempat
tertentu dengan memperhitungkan karakteristik sumber gempabuminya.

Gambar 7.11. Peta percepatan tanah maksimum Indonesia formula Richter (Sumber:

BMKG‐Reindo, 2005).

7.9. Zonasi Rawan Gempabumi
Untuk mendirikan bangunan tahan gempa harus diperhatikan

percepatan tanah maksimum di daerah tersebut dan bangunan harus
didesain sedemikian hingga dapat menahan percepatan tanah tersebut.
Bila suatu bangunan konstruksinya lebih lemah dari yang diperkirakan,
maka bangunan disebut under design, ini sangat membahayakan dan
disebut bangunan tidak tahan gempabumi (non earthquake resistance).
Sebaliknya bila over design merupakan pemborosan biaya.

Gambar 7.12. Klasifikasi peta gempabumi berdasarkan data makro atau intensitas
(Sumber: Murjaya & Ibrahim, 1998).

Dalam kaitan dengan bangunan tahan gempa, maka zonasi seismik
133

perlu dibuat, dan secara umum di Indonesia telah dibuat zona seismik
berdasarkan data historis kegempaan periode sebelum tahun 1970,
wilayah Indonesia dibagi menjadi 6 zona seismik yaitu:
 Zona 1. Daerah dengan seismisitas sangat tinggi (M7‐8 SR): Irian

bagian utara.
 Zona 2. Daerah dengan seismisitas aktif (M sekitar 7 SR): Sumatera

134

8
MEKANISME SUMBER

Gambar 8.1. Fokal mekanisme menggambarkan mekanisme sumber gempabumi
(Sumber: Yagi, 2006).

135

Mekanisme terjadinya suatu gempabumi di dalam perut
bumi sering dikaitkan dengan kombinasi gaya atau
stress Myang bekerja pada suatu batuan. Kombinasi
stress, kompresi (tekanan kedalam) dan dilatasi (tarikan keluar), yang
menyebabkan terjadinya suatu gempabumi dapat dimodelkan dengan
mempelajari polarisasi gelombang gempabumi yang terekam pada
komponen vertikal.
Model idealisasi dari mekanisme terjadinya suatu gempabumi
dalam seismologi disebut dengan mekanisme fokus (focal mechanism).
Melalui data seismogram bisa didapatkan banyak informasi gempabumi
sehingga diketahui parameter gempabumi seperti: magnitudo,
kedalaman, lokasi, waktu asal gempabumi, termasuk juga mekanisme
fokus. Dengan menganalisis mekanisme fokus, kita bisa menganalisis
sistem gaya‐gaya tektonik yang bekerja pada suatu daerah (Puspito, 1997).

Gambar 8.2. Data seismogram dapat memberikan informasi parameter gempa bumi

serta mekanisme sumbernya (Sumber: Yagi, 2006).
136

8.1. Proses Terjadinya Gempabumi
Gempabumi tektonik terjadi karena adanya proses pergerakan

lempeng yaitu berupa tumbukan, pelipatan, pergeseran dan atau
penyusupan yang berpengaruh terhadap media yang dilewati proses
tersebut. Di daerah pertemuan lempeng akan timbul suatu tegangan
diakibatkan oleh tumbukan dan geseran antar lempeng serta sifat‐sifat
elastisitas batuan.

Tegangan pada batuan akan terkumpul terus‐menerus sehingga
sesuai dengan karakteristik batuan yang akan sampai pada titik patah,
dimana pada saat tersebut energi yang terkumpul selama terjadi proses
tegangan akan dilepaskan, pada waktu itulah gempabumi terjadi.

Sekarang kita tinjau bagaimana proses terjadinya sebuah
gempabumi. Seorang ahli seismologi Amerika yang bernama Reid pada
tahun 1906 mengadakan penelitian untuk membahas tentang proses
pemecahan di sebuah sumber gempabumi pada gempabumi yang terjadi
di Sesar San Andreas. Displacement dari Sesar San Andres ini kebanyakan
horizontal, dimana pada bagian timur yang menghadap ke daratan
Amerika bergerak ke selatan terhadap yang di sebelah barat yang
menghadap ke Pasifik.

Gambar 8.3. Mekanisme sumber gempa memperlihatkan mekanisme gempabumi
yang menjadi sumber gempabumi tektonik. Garis tebal vertikal
menunjukan pecahan atau sesar pada bagian bumi yang padat (Sumber:
Ibrahim & Subardjo, 2001).

137

Pada Gambar 8.3 terlihat keadaan I menunjukan suatu lapisan yang
belum terjadi perubahan bentuk geologi. Karena di dalam bumi terjadi
gerakan yang terus‐menerus, maka akan terdapat stress yang lama
kelamaan akan terakumulasi dan mampu merubah bentuk geologi dari
lapisan batuan.

Keadaan II menunjukan suatu lapisan batuan telah mendapat dan
mengandung stress dimana telah terjadi perubahan bentuk geologi. Untuk
daerah A mendapat stress ke atas, sedang daerah B mendapat stress ke
bawah. Proses ini berjalan terus sampai stress yang terjadi (dikandung) di
daerah ini cukup besar untuk merubahnya menjadi gesekan antara daerah
A dan daerah B. Lama kelamaan karena lapisan batuan sudah tidak
mampu lagi untuk menahan stress, maka akan terjadi suatu pergerakan
atau perpindahan yang tiba‐tiba sehingga terjadilah patahan. Peristiwa
pergerakan secara tiba‐tiba ini disebut gempabumi.

Pada keadaan III menunjukkan lapisan batuan yang sudah patah
karena adanya pergerakan yang tiba‐tiba dari batuan tersebut. Gerakan
perlahan‐lahan sesar ini akan berjalan terus sehingga seluruh proses di
atas akan diulangi lagi dan sebuah gempabumi akan terjadi lagi setelah
beberapa waktu lamanya, demikian seterusnya. Teori Reid ini dikenal
dengan nama "Elastic Rebound Theory".

8.2. Parameter Bidang Sesar

Mekanisme fokus memberikan tambahan informasi mengenai
parameter gempa bumi seperti jenis sesar gempabumi. Parameter sesar
terdiri dari ukuran sesar yang dinyatakan dalam km (kilometer) yaitu
panjang dan lebar. Selain itu terdapat jarak pergeseran, momen seismik,
stress drop, serta source process atau proses pecahnya batuan saat terjadi
gempa atau rupture process.

Strike adalah arah sesar yang diukur searah jarum jam dari titik utara.
Kisaran derajatnya dari arah 0°‐360°. Dip adalah sudut kemiringan sesar
dari blok yang tegak (foot‐wall block) diukur dari bidang mendatar

138

horizontal. Ukuran sudut nilainya dari 0°‐90°. Sedangkan rake atau slip
adalah arah pergerakan sesar tersebut diukur dari penampang muka sesar
dengan arah diukur dari arah strike ke arah mana slip bergerak
(berlawanan arah strike dan dip). Ukuran sudutnya dari arah ‐180°‐180°.
Jarak pergeseran slip atau dislocation dinyatakan dalam satuan m (meter).

Gambar 8.4. Ukuran sesar digambarkan dalam suatu bidang (Sumber: Yagi, 2006).

Untuk mencari harga parameter bidang dicari berdasarkan Scalling
Law dengan formula sebagai berikut :

(9‐1)
(9‐2)
(9‐3)
dimana L panjang sesar (km), W lebar sesar (km), U jarak slip (cm), dan
Mw adalah magnitudo input.
139

Untuk menggambarkan kekuatan sumber gempabumi dinyatakan
dengan seismik momen, dengan notasi sebagai berikut:

(9‐4)

dimana  rigiditas atau kekakuan batuan dari medium sekitar sesar
dinyatakan dalam ukuran 30 GPa di kerak bumi, D pergeseran rata‐rata
pada bidang sesar (m).

8.3. Jenis Sesar

Dalam keadaan yang sebenarnya permukaan sesar (patahan) atau
fault dapat mempunyai keadaan yang berbeda dan demikian pula dengan
gerakannya dapat mempunyai arah yang berlainan sepanjang
permukaannya. Dapat dibedakan atas tiga bentuk gerakan dasar dari
sesar, yaitu: sesar mendatar, turun, dan naik.

Gerakan sejajar jurus sesar disebut sesar mendatar atau strike slip
fault. Stress yang terbesar adalah stress horizontal dan stress vertikal kecil
sekali. Sesar relatif ke bawah terhadap blok dasar disebut sesar
turun/sesar normal atau gravity fault. Gerakan relatif ke atas terhadap
blok dasar disebut sesar naik atau thrust fault /reverse fault.

Kenyataan di Indonesia memperlihatkan indikasi sesar mendatar
terjadi di daratan Sumatera dengan Sesar Semangko yang membujur dari
Ujung Semangko Lampung menerus sepanjang Bukit Barisan membelah
Pulau Sumatera dan berakhir di Aceh. Di Jawa contoh sesar mendatar
adalah Sesar Cimandiri. Sesar mendatar terpanjang di dunia dan masih
aktif adalah Sesar San Andreas di California, Amerika Serikat.

Sesar naik terjadi di sepanjang daerah subduksi palung Jawa di
sepanjang Pantai Luar Barat Pulau Sumatera menerus hingga ke Selatan
Jawa dan Nusa Tenggara. Hal ini serupa dengan fenomena tektonik di
wilayah Jepang, dari arah laut Pasifik. Sedangkan Sesar normal sering
terjadi di Kepulauan Maluku dan Sulawesi atau umumnya di daerah slab
atau intra‐plate.

140

Gambar 8.5. Jenis‐jenis pergerakan sesar digambarkan dalam bola mekanisme fokus
(Sumber: NMSOP, 2002).

141

Gambar 8.6. Sesar naik di daratan Jepang bisa mengubah kedudukan gedung‐gedung
berstruktur kuat secara vertikal (Sumber: Yagi, 2009).

Gambar 8.7. Sesar mendatar di daratan Turki ketika terjadi Gempabumi Kochaeli 1999
(Sumber: Yagi, IISEE, 2009).

142


Click to View FlipBook Version