The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by permadhi, 2020-01-10 22:15:50

Konsep Metafora Dalam Arsitektur

Konsep Metafora Dalam Arsitektur

Keywords: Konsep,Metafora,Arsitektur

Ashadi

konsep
METAFORA

dalam
ARSITEKTUR

Arsitektur UMJ Press

KONSEP

METAFORA

DALAM

ARSITEKTUR

ASHADI
Penerbit Arsitektur UMJ Press

2019



KONSEP METAFORA DALAM ARSITEKTUR

|arsitekturUMJpress|
|

Penulis: ASHADI

CETAKAN PERTAMA, Nopember 2019

Hak Cipta Pada Penulis
Hak Cipta Penulis dilindungi Undang-Undang Hak Cipta 2002
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan
cara apapun tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Desain Sampul : Abu Ghozi
Tata Letak : Abu Ghozi

Perpustakaan Nasional – Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ASHADI
Konsep Metafora Dalam Arsitektur
Jumlah Halaman 88

ISBN 978-602-5428-29-6

Diterbitkan Oleh Arsitektur UMJ Press
Jln. Cempaka Putih Tengah 27 Jakarta Pusat 10510
Tetp. 021-4256024, Fax. 021-4256023
E-mail: [email protected]
Gambar Sampul: Satalos TGV Station in Lyon, France, by Calatrava
(https://teematoe.wordpress.com, akses 1 April 2019)
Dicetak dan dijilid di Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan

__________________________________________________________
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 :

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/
atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah),
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan
atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda
paling banyak Rp. 500.000.000,00 (limaratus juta rupiah).

ABSTRAK

Konsep metafora, yang awalnya berkutat di bidang linguistik,
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
rekayasa, semakin berkembang dan lingkup kajiannya
merambah bidang-bidang lainnya, termasuk bidang arsitektur.
Tulisan ini merupakan hasil dari kajian sederhana tentang
bagaimana konsep metafora diterapkan pada bentuk
arsitektur. Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan
pemahaman tentang konsep metafora dalam arsitektur.
Metode kajian yang digunakan adalah eksplorasi dan
interpretasi. Eksplorasi dan interpretasi dilakukan dengan
menampilkan dan terhadap contoh-contoh desain arsitektur
dalam setiap era perkembangannya. Untuk keperluan
Pendidikan, disajikan pula beberapa contoh desain arsitektur
Tugas Akhir karya mahasiswa.
Kata Kunci: Bentuk Arsitektur, Metafora.



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, buku berjudul Konsep Metafora dalam
Arsitektur dapat diselesaikan. Buku ini merupakan hasil kajian
sederhana tentang bagaimana penerapan konsep metafora
dalam arsitektur.

Buku ini disusun sebagai salah satu buku referensi
dalam mata kuliah (mk) Kajian Makna dalam Arsitektur dan
mata kuliah (mk) Perancangan Arsitektur Lanjut di Program
Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah
Jakarta.

Dalam buku ini, untuk mempermudah pemahaman,
disertakan contoh-contoh desain arsitektur selama era
perkembangannya: dari zaman kuno hingga zaman
postmodern. Dan untuk keperluan pendidikan mahasiswa
arsitektur, dalam buku ini juga disertakan contoh-contoh hasil
karya Tugas Akhir mahasiswa.

Akhirnya, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya bagi para mahasiswa, sebagai salah satu
referensi dan sumbangan ilmu pengetahuan tentang konsep
metafora dalam arsitektur.

Jakarta, Nopember 2019
Penulis

i

ii

PENGANTAR PENERBIT

Alhamdulillah, tulisan Ashadi yang berjudul Konsep Metafora
dalam Arsitektur dapat kami terbitkan. Buku ini merupakan
hasil kajian sederhana tentang konsep metafora dalam desain
arsitektur dan penerapannya.

Dalam buku ini, penulis berusaha memahamkan kepada
para pembaca, khususnya para mahasiswa arsitektur,
bagaimana hubungan arsitektur dengan Bahasa, dan konsep
metafora yang memang berasal dari ranah bahasa diterapkan
pada bentuk-bentuk arsitektur.

Dalam buku ini disajikan beberapa contoh bentuk-
bentuk arsitektur dari zaman kuno hingga zaman postmodern,
dan juga contoh-contoh hasil karya Tugas Akhir mahasiswa.
Adanya contoh-contoh desain ini diharapkan dapat
memudahkan dalam memahami buku ini, khususnya bagi para
mahasiswa arsitektur.

Kehadiran buku ini menjadi salah satu sumbangan
penting bagi khasanah ilmu pengetahuan, khususnya tentang
pengetahuan konsep metafora dalam arsitektur dan
penerapannya.

Jakarta, Nopember 2019
Penerbit

iii

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK HAL.
KATA PENGANTAR
PENGANTAR PENERBIT i
DAFTAR ISI iii
v

BAB 1 1
KONSEPSI TENTANG METAFORA 1
1.1 Pengertian 6
1.2 Tipe-Tipe Metafora 10
1.3 Metafora Sebagai Fenomena Konseptual

BAB 2 11
ARSITEKTUR DAN BAHASA 11
2.1 Arsitektur Sebagai Bahasa 15
2.2 Bentuk Arsitektur dan Metafora

BAB 3 19
BENTUK ARSITEKTUR METAFORA DARI ZAMAN 19
KE ZAMAN 22
3.1 Bentuk Arsitektur Metafora Zaman Kuno 24
3.2 Bentuk Arsitektur Metafora Zaman Klasik
3.3 Bentuk Arsitektur Metafora Zaman Pertengahan

v

vi

3.4 Bentuk Arsitektur Metafora Zaman Modern 26
3.5 Bentuk Arsitektur Metafora Zaman Postmodern 37

BAB 4 57
CONTOH DESAIN ARSITEKTUR TUGAS AKHIR 58
MAHASISWA 63
4.1 Pengembangan Kawasan Media City RCTI, Jakarta 70
4.2 Internasional Sport Center di Jakarta 74
4.3 Pusat Apresiasi Musik Kontemporer di Jakarta Utara
4.4 Kantor Perwakilan Schlumberger di Jakarta

DAFTAR PUSTAKA 81

BAB 1
KONSEPSI TENTANG METAFORA

1.1 Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI-Kamus versi
online), metafora diartikan sebagai pemakaian kata atau
kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan
sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau
perbandingan, misalnya “tulang punggung” dalam kalimat
“pemuda adalah tulang punggung negara.”

Dalam Merriam-Webster Dictionary (online version),
metafora diartikan sebagai: a figure of speech in which a word or

phrase literally denoting one kind of object or idea is used in place of
another to suggest a likeness or analogy between them (kiasan di
mana kata atau frasa yang secara harfiah menunjukkan satu
jenis objek atau ide digunakan sebagai pengganti yang lain untuk
menyarankan persamaan atau analogi di antara mereka).

Dalam Cambridge English Dictionary (online version),
metafora diartikan sebagai: an expression, often found in
literature, that describes a person or object by referring to
something that is considered to have similar characteristics to
that person or object (sebuah ekspresi, sering ditemukan dalam
literatur, yang menggambarkan seseorang atau objek dengan
merujuk pada sesuatu yang dianggap memiliki karakteristik
yang mirip dengan orang atau objek itu).

1

2

Dalam Literary Devices (online version), metafora
diartikan sebagai: A figure of speech that makes an implicit,
implied, or hidden comparison between two things that are
unrelated, but which share some common characteristics. In other
words, a resemblance of two contradictory or different objects is
made based on a single or some common characteristics (kiasan
yang membuat perbandingan tersirat, atau tersembunyi antara
dua hal yang tidak terkait, tetapi yang memiliki beberapa
karakteristik umum. Dengan kata lain, keserupaan dari dua
objek yang kontradiktif atau berbeda dibuat berdasarkan pada
satu atau beberapa karakteristik umum).

Metafora berasal dari Bahasa Latin metaphora, yang
berarti “terbawa” dan bahasa Yunani μεταφορά (metaphora),
yang berarti “memindahkan” dan dari μεταφέρω (metapherō-
metapherein), yang berarti “untuk membawa” atau “untuk
mentransfer” atau “untuk memindahkan” atau “untuk
melahirkan”. Dan istilah metafora diturunkan dari μετά-meta,
yang berarti “setelah, dengan, atau melintasi” dan φέρω-pherō,
yang berarti “untuk membawa”, atau -pherein, yang berarti
“untuk melahirkan".

Menurut Aristotle, salah seorang dari tiga serangkai filsuf
Yunani, dalam karyanya yang fenomenal – Poetics: Metaphor is
the application of an alien name by transference either from
genus to species, or from species to genus, or from species to
species, or by analogy, that is proportion (Metafora adalah
penerapan nama asing dengan pemindahan dari genus ke
spesies, atau dari spesies ke genus, atau dari spesies ke spesies,
atau dengan analogi, yaitu proporsi). [Aristotle, 1902:34]. Pada
kesempatan lainnya, dalam karyanya – Rhetoric, Aristotle
menyatakan: Metaphor, moreover, gives style clearness, charm,

3

and distinction as nothing else can; and it is not a thing whose
use can be taught by one man to another. Metaphor must be
drawn, as has been said already, from things that are related to
the original thing, and yet not obviously so related-just as in
philosophy also an acute mind will perceive resemblances even in
thing for a part. (Metafora, lebih lanjut, memberikan kejelasan
gaya, pesona, dan perbedaan yang tidak bisa dilakukan oleh yang
lain; dan itu bukan hal yang penggunaannya dapat diajarkan
oleh satu orang ke orang lain. Metafora harus ditarik, seperti
yang telah dikatakan, dari hal-hal yang terkait dengan hal yang
asli, namun tidak begitu terkait-seperti halnya dalam filsafat,
juga pikiran yang akut akan merasakan keserupaan bahkan
dalam hal untuk suatu bagian). [Aristotle, tt:141 dan 160].

Dalam retorika klasik terdapat enam proposisi tentang
metafora, yakni sebagai berikut [Ricoeur, 2012:106-107]:

1. Metafora adalah sebuah kiasan, sebuah bentuk wacana
yang berkenaan dengan denominasi.

2. Ia merepresentasikan perluasan makna dari suatu nama
melalui deviasi dari makna literal kata.

3. Alasan bagi deviasi ini adalah keserupaan.
4. Fungsi penyerupaan ini adalah memberikan landasan

substitusi gambaran makna sebuah kata di tempat
pemaknaan literal, yang dapat digunakan dalam tempat
yang sama.
5. Untuk itu signifikansi yang tersubstitusi tidak
memperlihatkan inovasi semantik apa pun. Kita dapat
menterjemahkan metafora yakni menggantikan makna
literal di mana kata figuratif merupakan sebuah
substitusi.

4

6. Dikarenakan ia tidak mempresentasikan sebuah inovasi
semantik, metafora tidak membawa informasi baru
tentang realitas. Inilah mengapa ia dapat diperhitungkan
sebagai salah satu dari fungsi emotif wacana.

Konsep keserupaan dalam teori tentang metafora, sejak
zaman Aristotle hingga teori semiotika mutakhir tetap menjadi
kata kunci. Keserupaan ini diperoleh dari sebuah perbandingan
atas dua hal yang berbeda. Seperti diketahui bahwa menurut
tipologi Semiotika Peirce, metafora merupakan salah satu dari
tiga tanda ikon (imej, diagram, dan metafora). Metafora adalah
tanda ikon yang didasarkan atas keserupaan di antara objek-
objek dari dua tanda simbolis.

Metafora merupakan perluasan makna dari makna
harfiah kepada makna figuratif, atau majas, yang dilakukan
berdasarkan perbandingan, perumpamaan, keserupaan, atau
kiasan antara kata atau frasa yang dijadikan sumber dengan
makna yang dijadikan sasaran atau targetnya. Makna harfiah
adalah makna yang pertama, makna yang pertama kali
tertangkap pada pikiran penutur, makna yang dapat dipahami
pada keadaan lepas konteks. Kata seperti “kepala”, “leher”,
“kaki”, “perut”, atau “tangan”, yang mengacu kepada anggota
badan secara fisik adalah makna harfiah. Sementara makna
figurative atau makna majas adalah makna kedua yang diperluas
dari makna harfiah, seperti “kepala polisi”, “tangan kanan
presiden”, “perut bumi”, dan sebagainya. [Markoem, 2017: 104].

Metafora digunakan dalam berbicara dan menulis untuk
membuat perbandingan. Selain metafora, terdapat dua istilah
lagi yang biasa digunakan, yakni simile dan analogi. Namun,
masing-masing digunakan dengan cara yang berbeda.

5

Mengidentifikasi ketiganya kadang-kadang sedikit rumit:
misalnya, simile sebenarnya adalah subkategori metafora, yang
berarti semua simile adalah metafora, tetapi tidak semua
metafora adalah simile. Mengetahui persamaan dan perbedaan
antara metafora, simile, dan analogi dapat membantu dalam
mengidentifikasi mana yang terbaik untuk digunakan.

Metafora adalah kiasan yang secara langsung
membandingkan satu hal dengan yang lainnya untuk efek
retoris. Sebuah metafora sering secara puitis mengatakan
sesuatu adalah sesuatu yang lain. Contoh: “ Para kuli tinta
diundang ke istana oleh presiden.” Yang dimaksud dengan kuli
tinta adalah wartawan.

Tidak seperti metafora, simile membuat perbandingan
menggunakan kata penghubung: seperti, bagaikan, laksana.
Sebuah analogi mengatakan sesuatu seperti sesuatu yang lain
untuk membuat semacam penjelasan. Tetapi tetap bahwa simile
adalah bagian dari metafora. Contoh: “Giginya putih bagaikan
salju.” Dalam simile ini, gigi dibandingkan dengan salju. Gigi dan
salju jelas dua hal yang berbeda, namun bahasa simile
menggambarkan keduanya memiliki warna yang sama.

Sebuah analogi memiliki tujuan yang serupa dengan
metafora dan simile, yaitu menunjukkan bagaimana dua hal
sama, tetapi analogi memiliki tujuan akhir untuk membuat titik
tentang perbandingan ini. Inti dari analogi tidak hanya untuk
menunjukkan, tetapi juga untuk menjelaskan. Dengan demikian,
analogi bukanlah bagian dari metafora ataupun sebaliknya,
karena memang keduanya berbeda. Contoh analogi: “ruang kelas
ini seperti pasar.” Kalimat ini adalah sebuah pernyataan yang
ingin menggambarkan sebuah kelas yang ramai dan berisik

6

seperti keadaan dan situasi pasar yang pada umumnya ramai
dan berisik. Pada kalimat ini, suasana ruang kelas yang ramai
dianalogikan dengan pasar.

1.2 Tipe-Tipe Metafora
Metafora dapat dibedakan dalam berbagai tipe sesuai dengan banyaknya
sudut pandang dan kriteria yang bisa digunakan sebagai landasan.

George Lakoff & Mark Johnsen dalam Metaphors We Live
By, membedakan metafora menjadi: Conventional Metaphors
(Metafora Konvensional) dan New Metaphors (Metafora Baru).

Conventional Metaphors (Metafora Konvensional, yaitu,
metafora yang menyusun sistem konseptual biasa budaya kita,
yang tercermin dalam bahasa kita sehari-hari.

Sedangkan New Metaphors (Metafora Baru) yaitu,
metafora yang berada di luar sistem konseptual konvensional,
metafora yang imajinatif dan kreatif. Metafora yang mampu
memberikan makna baru bagi masa lalu, aktivitas sehari-hari,
dan apa yang diketahui dan diyakini.[Lakoff & Johnsen, 2003:
139].

Ada pula pembagian tipe atau macam metafora seperti
berikut: Implied Metaphor (Metafora Tersirat), Dead Metaphor
(Metafora Mati), Mixed Metaphor (Metafora Campuran), dan
Visual Metaphor (Metafora Visual)

Implied Metaphor (Metafora Tersirat), yaitu tipe metafora
yang membandingkan dua hal yang tidak sama tanpa benar-
benar menyebutkan salah satu dari hal-hal itu. Misalnya,
“Seorang wanita menggonggong peringatan pada anaknya.” Di
sini, metafora tersirat membandingkan seorang wanita dengan
seekor anjing, tanpa benar-benar menyebutkan anjing itu
[MasterClass, 2019].

7

Dead Metaphor (Metafora Mati), yaitu tipe metafora yang
telah mengubah makna dari waktu ke waktu karena terlalu
sering digunakan. Metafora yang mati tidak membawa gambaran
dalam pikiran karena interpretasi asli mereka telah lama hilang.
Metafora ini sering kali berhubungan dengan istilah ruang dan
waktu universal, bagian utama tubuh, ciri-ciri ekologi umum dan
aktivitas manusia utama, seperti puncak, mulut, kaki, dasar,
warna, dan sebagainya. Metafora yang sudah mati biasanya tidak
sulit untuk diterjemahkan, tetapi mereka sering menentang
terjemahan literal. Beberapa contoh Metafora Mati: jatuh cinta,
kaki gunung, kaki meja, mulut sungai, puncak karir
[MasterClass, 2019; Newmark, 1988: 106-103].

Mixed Metaphor (Metafora Campuran), yaitu tipe
metafora kombinasi dari dua atau lebih metafora yang tidak
kompatibel. Efeknya sering lucu. Apakah itu disengaja atau tidak
disengaja tergantung pada pemahaman seseorang tentang
bagaimana metafora bekerja. Contoh Metafora Campuran: “Jam
yang diawasi tidak pernah mendidih.” [MasterClass, 2019]

Visual Metaphor (Metafora Visual), yaitu tipe metafora
yang membandingkan satu hal dengan gambar visual yang
menyarankan asosiasi. Representasi seseorang, tempat, benda,
atau ide melalui gambar visual yang menunjukkan asosiasi atau
titik keserupaan tertentu [Nordquist, 2018]. Metafora Visual
biasanya digunakan dalam iklan. Misalnya, produsen mobil yang
memotret mobil sport terbaru mereka di samping gambar macan
kumbang. Metafora ini digunakan untuk menunjukkan bahwa
mobil itu sama licin, kencang, dan sedingin binatang liar.
[MasterClass, 2019].

8

Ada juga tipe-tipe metafora lainnya, yakni
Anthropomorphic Metaphor (Metafora Antropomorfik) dan
Animal Metaphor (Metafora Kehewanan).

Anthropomorphic Metaphor (Metafora Antropomorfik)
adalah metafora yang sebagian besar tuturan atau ekspresi
mengacu pada benda-benda tidak bernyawa yang dilakukan
dengan mengalihkan atau memindahkan dari tubuh manusia
atau bagian-bagiannya, dari makna atau nilai dan nafsu-nafsu
yang dimiliki manusia. Jadi, intinya penciptaan metafora
antropomorfik bertolak dari tubuh atau bagian tubuh manusia
atau nilai/makna dan nafsu-nafsu kesenangan yag dimiliki
manusia. Kemudian, dialihkan /ditransfer untuk benda-benda
yang sebenarnya tidak hidup atau tidak bernyawa
dipersepsi/dipahami sebagai hidup atau bernyawa. Ungkapan
metaforis seperti itu yang dikenal dengan gaya personifikasi.
Contoh: “Taman itu menjadi paru-paru kota.”

Sementara Animal Metaphor (Metafora Kehewanan)
adalah metafora yang menggunakan binatang atau bagian tubuh
binatang atau sesuatu yang berkaitan dengan binatang untuk
pencitraan sesuatu yang lain. Contoh: “Telor mata sapi.”
[Ullmann, 1962: 213-216].

Berkaitan dengan arsitektur, maka bisa diajukan tipe
metafora: Architecture Metaphor (Metafora Arsitektur), yang
dapat diartikan sebagai metafora yang menyerupakan bentuk
arsitektur (keseluruhan ataupun bagiannya) dengan sesuatu hal
(keseluruhan ataupun bagiannya) yang – bisa berupa hal-hal
yang bersifat abstrak, tidak berwujud (intangible), seperti ide,
konsep, nilai-nilai, adat-istiadat, tradisi, sejarah, aliran (isme),
maupun berupa hal-hal yang bersifat nyata, berwujud (tangible),
seperti wujud manusia, hewan, tumbuhan, benda-benda fisik

9
budaya (misalnya perahu, kapal, pesawat, dan sebagainya), dan
benda-benda alam (misalnya batu, air, awan, dan sebagainya).

Sebuah bentukan arsitektur metafora mengandung
makna figuratif, sehingga menarik bagi siapa yang melihatnya.
Contoh: bangunan Menara BNI 46 di Jakarta [Gambar 1.1],
pada bagian puncaknya, bentuknya dapat diserupakan dengan
bentuk bagian dari sebuah perahu atau bahtera. Perahu atau
bahtera adalah salah satu alat transportasi air. Bangunan
arsitektur Menara BNI 46 dapat dimaknai sebagai bangunan
yang mewadahi kegiatan manusia yang secara bersama-sama
bergerak (berlayar) mengarungi samudra untuk mencapai suatu
tujuan.

Gambar 1.1 Menara BNI 46, Jakarta, Indonesia.
[http://annualreport.id, akses 6 April 2019]

10

1.3 Metafora sebagai Fenomena Konseptual
Lakoff & Johnsen [2003: 4], menyatakan bahwa metafora bagi
kebanyakan orang merupakan alat imajinasi puitis dan retorika.
Selain itu, metafora secara tipikal dipandang sebagai
karakteristik bahasa saja. Kami telah menemukan, sebaliknya,
bahwa metafora meresap dalam kehidupan sehari-hari, tidak
hanya dalam bahasa tetapi dalam pikiran dan tindakan. Sistem
konseptual kita yang biasa, dalam hal yang kita pikirkan dan
bertindak, pada dasarnya bersifat metaforis.

Metafora bukan fenomena yang murni leksikal, yang
secara superfisial diletakkan pada level bahasa, melainkan ia
merupakan fenomena yang didudukkan secara mendasar sebagai
fenomena konseptual, yang berbentuk cara bagaimana kita
berfikir.

Lakoff & Johnsen [2003] memperlihatkan bahwa
pemakaian metafora menyebar dalam bahasa biasa (bukan
bahasa puitis dan retoris), dalam pemakaian bahasa sehari-hari,
dan merupakan kepentingan sentral dalam struktur bahasa.

Teori metafora konseptual mengemukakan bukti-bukti
yang bervariasi secara sistematis bagi metafora yang bersifat
konseptual daripada leksikal. Pertama, metafora hadir dalam
pola-pola yang melampaui unsur-unsur leksikal yang individual.
Kedua, bayang-bayang metaforik dapat dipakai secara kreatif.
Sepasang ekspresi yang mengandung pola metaforik bersifat
terbuka. Tidak hanya terbatas pada pola konvensional, tetapi
bisa juga menarik ekspresi metaforik yang baru. Ketiga, pola
metaforik bisa terjadi di luar bahasa.[Markoem, 2017: 120-122].

BAB 2
ARSITEKTUR DAN BAHASA

2.1 Arsitektur sebagai Bahasa
Arsitektur sebagai bahasa merupakan tema sentral dalam
periode arsitektur postmodern. Anggapan arsitektur sebagai
bahasa terungkap jelas pada usaha pendefinisian sistem dan
unit-unit pembentuk sistem bahasa arsitektur yang sebanding
dengan kata, monem, morfem, dan fonem. Para penulis seolah
berpikir bahwa, karena semua bahasa dibentuk oleh kata-kata
dan kata-kata adalah tanda, maka segala sesuatu yang terbentuk
dari tanda-tanda adalah bahasa.

Arsitektur postmodern adalah arsitektur dengan bahasa.
Bahasa arsitektur meliputi: metafora, kata, sintak, dan
semantik. Orang selalu melihat satu bangunan dalam bentuk
yang lain, atau dalam hal objek yang serupa; singkatnya sebagai
metafora. Fakta bahwa bahasa arsitektur, seperti yang
diucapkan seseorang, harus menggunakan unit makna yang
dikenal. Untuk membuat analogi linguistik, kita dapat menyebut
unit kata arsitektur. Ada kamus arsitektur yang mendefinisikan
arti kata-kata ini: pintu, jendela, kolom, partisi, kantilever, dan
sebagainya. Sebuah bangunan harus berdiri dan disatukan
sesuai dengan aturan tertentu. Aturan untuk menggabungkan
berbagai kata pintu, jendela, dinding, dan sebagainya disebut
sintak arsitektur. Pada abad kesembilan belas, ketika gaya

11

12

arsitektur yang berbeda dihidupkan kembali, ada doktrin
semantik yang cukup koheren yang menjelaskan gaya mana yang
digunakan pada tipe bangunan. Jadi semantik berkaitan dengan
tipe bangunan. [Jencks, 1977: 39-66].

Umberto Eco dalam Function and Sign: The Semiotics of
Architecture, membedakan denotasi arsitektur (architectural
denotation) dengan konotasi arsitektur (architectural
connotation), dan fungsi primer (primary function) dengan fungsi
sekunder (secondary function) [1980: 20-27]. Telah dikatakan
bahwa makna pertama dari sebuah bangunan adalah apa yang
harus dilakukan seseorang untuk menghuninya – objek
arsitektur menunjukkan “bentuk tempat berhuni”. Dan jelas
bahwa denotasi telah terjadi. Ketika kita melihat jendela pada
fasad bangunan, misalnya, perhatian kita mungkin berubah
menjadi makna-jendela yang didasarkan pada fungsi.

Selain menunjukkan fungsinya, objek arsitektural dapat
mengartikan ideologi tertentu dari fungsi tersebut. Gua dalam
kebudayaan primitif menunjukkan fungsi perlindungan, tetapi
tidak diragukan lagi pada saatnya akan mulai berkonotasi
“keluarga” atau “kelompok”, “keamanan”, “lingkungan
keluarga”, dan sebagainya. Kemudian sifat konotatifnya
merupakan “fungsi” simbolik objek arsitektural tersebut. Yang
bersifat denotatif (kegunaan) adalah fungsi primer (primary
function) dan yang bersifat konotatif (simbolis) adalah fungsi
sekunder (secondary function). Harus diingat, dan tersirat dalam
apa yang telah dikatakan, bahwa istilah primer dan sekunder
bukan diskriminasi aksiologis (seolah-olah satu fungsi lebih
penting daripada yang lain), tetapi lebih bersifat semiotik.

Eco menganggap bahwa fungsi utama bangunan adalah
denotasi dan fungsi keduanya adalah rona yang tak terbatas dari

13

konotasi. Ia kemudian memisahkan makna arsitektur menjadi
dua: makna primer dan makna sekunder. Makna primer adalah
makna yang ingin disampaikan oleh perancang (arsitek);
sedangkan makna sekunder adalah makna yang timbul
kemudian dan tidak dalam pengendalian sang perancang.
[Tjahjono, 2001: 42].

Sementara itu, Charles Jencks dalam The Architectural
Sign membedakan antara penanda arsitektur (architectural
signifier) dan petanda arsitektur (architectural signified) [1980:
73-75]. Jelas tanda arsitektur seperti tanda-tanda lain adalah
entitas ganda yang memiliki bidang ekspresi (signifier) dan
bidang konten (signified). Penanda cenderung (tetapi tidak
selalu) bentuk, ruang, permukaan, volume yang memiliki sifat
suprasegmental (ritme, warna, tekstur, kepadatan, dll.). Selain
itu ada penanda tingkat kedua yang sering merupakan bagian
penting dari pengalaman arsitektur, tetapi lebih signifikan
dalam sistem ekspresi lainnya (kebisingan, bau, taktil, kualitas
kinaestetik, panas, dll.). Karena tidak ada titik yang jelas di
mana pengalaman hidup meninggalkan dan pengalaman
arsitektur dan lingkungan dimulai, seseorang dapat mencoba
untuk merumuskan semiotika umum dari tindakan eksistensial
yang mana archisemotics akan menjadi bagian. Petanda-petanda
arsitektur (architectural signifieds) dapat berupa gagasan atau
kumpulan ide apa pun selama tidak terlalu panjang atau rumit.
Petanda-petanda (signifieds) yang baru-baru ini mendominasi
arsitektur adalah konsep-konsep ruang dan ideologi, tetapi yang
jelas adalah set petanda-petanda (signifieds) bawah sadar atau
implisit lain yang mungkin diartikulasikan oleh arsitektur.

14

Jelaslah petanda-petanda (signifieds) tingkat kedua yang tidak
disadari dapat menjadi simbol yang disadari.

Geoffrey Broadbent dalam The Deep Structures of
Architecture [1980: 119-168] mencoba menjelaskan arsitektur
dengan kacamata bahasa, khususnya bahasa yang dikembangkan
oleh Noam Chomsky. Menurut Chomsky, setiap kalimat yang
dihasilkan oleh komponen sintaksis mencerminkan dua struktur:
deep structure (struktur dalam) dan surface structure (struktur
luar). Konsep deep structure ini lah yang oleh Broadbent
digunakan untuk menjelaskan arsitektur.

Dalam arsitektur “fungsional”, perancang memulai
dengan prakonsepsi tentang struktur fisik. Bangunan itu harus
dibingkai, dalam baja atau beton, dengan lantai beton, partisi
prefabrikasi dan sebagainya. Prekonsepsi struktural bahkan
lebih kuat dalam kasus pembangunan sistem. Arsitek kemudian
mencoba membuat ruang di dalam struktur ini yang akan
“cocok” fungsinya. Yang “diberikan” dalam kasus ini adalah
struktur fisik, itu tentu bukan deep structure dalam pengertian
Chomsky.

Broadbent, kemudian menemukan alasan dasar untuk
deep structure. Broadbent mendeteksi ada empat deep structure
pada akar arsitektur, yaitu sebagai berikut:

1. Bangunan sebagai wadah untuk kegiatan manusia;
(The building as container for human activities)

2. Bangunan sebagai pengubah iklim yang diberikan;
(The building as modifier of the given climate)

3. Bangunan sebagai simbol budaya; dan
(The building as cultural symbol)

4. Bangunan sebagai konsumen sumber daya.
(The building as consumer of resources)

15

Setiap bangunan mempunyai denotasinya masing-masing,
yang ditujukkan oleh fungsinya, seperti gereja untuk kebaktian,
balaikota untuk pemerintahan, istana untuk representasi; dan
mempunyai konotasinya masing-masing, seperti megah, gayanya
begini dan begitu, bagus atau jelek, dan sebagainya.

2.2 Bentuk Arsitektur dan Metafora
Dalam disiplin linguistik, metafora dapat diartikan dalam

konteks makna denotatif dan konotatif. Denotatif menandakan
makna sebenarnya dari suatu konteks, sementara konotatif
menunjukkan makna kata-kata implisit atau tersembunyi.
Demikian pula, dalam arsitektur, bangunan tidak hanya bermain
dengan bentuk fisik atau imej visual, tetapi juga bermain dengan
pesan atau makna yang tersembunyi.

Arsitektur postmodern adalah arsitektur kaya metafora.
Semakin asing sebuah bangunan modern, semakin mereka akan
membandingkannya secara metafora dengan apa yang mereka
ketahui. Pencocokan satu pengalaman ke pengalaman lainnya ini
adalah milik semua pemikiran, terutama yang kreatif.

Salah Satu contoh gedung modern yang fenomenal,
gedung Opera Sydney [Gambar 2.1], telah memancing banyak
tanggapan metaforis, baik dalam pers populer maupun
profesional. Alasannya, adalah, sekali lagi, bahwa bentuk-
bentuknya tidak familiar dengan arsitektur dan mengingatkan
pada objek visual lainnya. Sebagian besar metafora bersifat
organik: demikianlah arsitek, Jorn Utzon, menunjukkan
bagaimana cangkang bangunan itu terkait dengan permukaan
bola dan sayap burung ketika terbang. Bentuk arsitekturnya

16

juga berhubungan, jelas, dengan kerang laut putih, dan ini
adalah metafora, ditambah perbandingan dengan layar putih
yang berputar-putar di pelabuhan Sydney.

Gambar 2.1 Sydney Opera House.
[https://www.stayatbase.com, akses 23 April 2019]

Orang selalu melihat satu bangunan dalam hal yang lain,
atau dalam hal objek yang serupa; singkatnya sebagai metafora.
Semakin tidak familiar sebuah bangunan modern, semakin
mereka akan membandingkannya secara metaforis dengan yang
sekarang. Sebagai contoh, Terminal TWA di New York karya
arsitek Eero Saarinen. Terminal TWA adalah desain versi
Saarinen sendiri tentang curvilinier, bangunan cangkang.
Terminal TWA di New York adalah ikon burung, dan dengan
ekstensi, penerbangan pesawat. Dalam perincian dan
penggabungan jalur sirkulasi, penumpang yang keluar dan
persimpangan, ini adalah cara cerdik yang berhasil dalam
metafora ini. Tali penyangga dipetakan ke kaki burung,
semburan hujan menjadi paruh yang tak menyenangkan,
jembatan bagian dalam yang dilapisi karpet merah darah, saya
kira, arteri pulmonalis. Di sini makna imajinatif dijumlahkan

17

dengan cara yang sesuai dan diperhitungkan, menunjuk ke arah
metafora umum penerbangan - interaksi timbal balik dari makna
ini menghasilkan karya arsitektur multivalen. [Jencks, 1977: 40-
47][Gambar 2.2].

Gambar 2.2 TWA Terminal in New York.
[https://www.interiordesign.net, akses 24 April 2019]

Charles Moore, seperti ditulis Snyder, dalam suatu
pembahasan tentang hal-hal yang menarik hatinya,
mengemukakan bahwa ia ingin agar bangunan-bangunan
menyerupai batu alam. Snyder kemudian menjelaskan, batu
alam adalah metafora konseptual yang mengemukakan
bagaimana bangunan dapat mempunyai dua citra sekaligus. Bila
dipandang dari sebelah luar, bangunan tersebut dapat
mempunyai citra yang kiranya cocok dengan sekitarnya. Ia dapat
mempunyai citra yang berlainan di sebelah dalamnya, bagaikan
suatu lingkungan yang menghibur, teatrikal, dan dramatis, yang
cocok untuk daerah peristirahatan. [Snyder, 1991: 310-312].

18

Antoniades dalam Poetics of Architecture membedakan
metafora menjadi tiga kategori: Tangible Metaphor (Metafora
Berwujud), Intangible Metaphor (Metafora Tak Berwujud), dan
Combined Metaphor (Metafora Kombinasi) [1992: 30-31].

Tangible Metaphor (Metafora Berwujud). Secara ketat
berangkat dari beberapa karakter visual atau material (misalnya,
rumah sebagai kastil, atap kastil seperti langit). Intangible
Metaphor (Metafora Tak Berwujud). Berangkat dari sebuah
konsep, gagasan, kondisi manusia, atau kualitas tertentu
(individualitas, kealamian, komunitas, tradisi, budaya).
Combined Metaphor (Metafora Kombinasi). Visual dan
konseptual tumpang tindih sebagai bahan titik keberangkatan.

Sebagian besar arsitek memiliki kecenderungan untuk
menghindari Intangible Metaphor (Metafora Tak Berwujud)
sebagai titik awal, dan banyak yang dapat dengan mudah
terinspirasi oleh Tangible Metaphor (Metafora Berwujud),
dengan berbagai tingkat keberhasilan. Kekuatan setiap
penggunaan khusus akan tergantung pada tingkat kemampuan
mendeteksi karakteristik visual dari Metafora Berwujud.

Contoh-contoh kemampuan pendeteksian semacam itu
disebut interpretasi literal dari metafora. Literalitas tidak
dihargai sebagai hal yang baik. Karena mengambil dari
keberangkatan metaforis dan ciptaan akhir; tak satu pun dari
keduanya akan menjadi apa yang masing-masing “ingin
menjadi”. Ciptaan baru harus selalu melampaui kemiripan
visualnya dengan kepergian metaforis. Jelas, kategori yang
paling sulit, menuntut, dan sekaligus menjanjikan adalah yang
digabungkan.

BAB 3
BENTUK ARSITEKTUR METAFORA

DARI ZAMAN KE ZAMAN

Berdasarkan sejarah perkembangan arsitekturnya, maka bentuk
arsitektur metafora dapat dibedakan berdasarkan periodisasi
perkembangan tersebut. Periodisasi sejarah perkembangan
arsitektur dapat disebutkan sebagai berikut: Perkembangan
arsitektur Zaman Kuno, Zaman Klasik, Zaman Pertengahan,
Zaman Modern, dan Zaman Postmodern. Dari perkembangan
arsitektur Zaman Kuno hingga Zaman Postmodern, berdasarkan
tujuan dan fungsi suatu bangunan arsitektur itu didirikan, maka
bentuk atau gaya arsitektur telah mengalami perkembangan
yang menakjubkan. Dan dalam zaman mutakhir ini, didukung
oleh kapitalisme dan kemajuan teknologi rekayasa yang luar
biasa, telah melahirkan pula bentuk-bentuk arsitektur yang
spetakuler.

3.1 Bentuk Arsitektur Metafora Zaman Kuno
Dunia Kuno didominasi oleh peradaban dan arsitektur yang
dibangun oleh manusia-manusia yang menggantungkan
hidupnya di tepian sungai: Sumeria dengan Sungai Eufrat-nya,
Mesir dengan Sungai Nil-nya, dan India dengan Sungai Indus-
nya.

19

20
Bentuk arsitektur metafora dapat dijumpai pada bagian-

bagian bangunan kuil (rumah pendewaan) di Mesir, salah
satunya adalah kuil Amon di Karnak, wilayah Thebes, yang
didirikan oleh Raja Thutmosis III, yang memerintah Kerajaan
Mesir Baru sekitar 1490-1436 SM.

Kuil yang didirikan untuk dewa Amon Re ini merupakan
salah satu kuil yang besar dan sangat indah. Bangunan kuil
ditopang oleh deretan pilar yang bentuk batang dan kepalanya
menyerupai pohon papyrus dan lotus. Bentuk pilar-pilar (batang
dan kepalanya-kapitel) pada kuil-kuil di Mesir Kuno merupakan
bentuk-bentuk metaforis.[Gambar 3.1-3.3].

Gambar 3.1 Pilar Kuil Amon di Karnak (sebuah model).
[http://www.ancient-wisdom.com, akses 4 Juni 2016]

21

Gambar 3.2 Bentuk alam (pohon papirus dan lotus) sebagai acuan bentuk
pilar dan kapital Kuil di Mesir Kuno.

[https://in.pinterest.com, akses 4 Juni 2016]

Gambar 3.3 Bentuk pilar dan kapital Kuil di Mesir Kuno.
[http://pix-hd.com, akses 4 Juni 2016]

22

3.2 Bentuk Arsitektur Metafora Zaman Klasik
Zaman Klasik menghadirkan peradaban dan arsitektur Yunani
Kuno dan Romawi. Ilmu-ilmu yang lahir dan berkembang di
Dunia Barat, seperti filsafat, keagamaan, astronomi,
matematika, logika, fisika, biologi, hukum, politik,
pemerintahan, sosial, ekonomi, estetika dan arsitektur,
semuanya mengacu kepada pemikiran para filsuf besar Yunani,
Sokrates, Plato, Aristoteles, dan seorang teoritikus ilmu
arsitektur dan rekayasa Romawi, Marcus Vitruvius Pollio.

Hasil karya Vitruvius, yang dianggap fenomenal, yakni De
Architectura Libri Decem – The Ten Books on Architecture,
sebuah karya tentang arsitektur paling tua yang masih ada
hingga sekarang. Karya ini dibuat pada sekitar akhir abad
pertama Sebelum Masehi atau awal abad pertama Masehi.

Dalam Buku 1 Bagian 2 dari De Architectura Libri Decem
– The Ten Books on Architecture, Vitruvius menjelaskan, bahwa
arsitektur terbangun oleh: order (ordinatio), arrangement
(dispositione), eurythmy (eurythmia), symmetry (symmetria),
propriety (decore), dan economy (oeconomia).

Ketika menjelaskan symmetry (symmetria), Vitruvius
menyamakan bangunan yang sempurna dengan tubuh manusia –
bentukan bangunan yang metaforis. “Symmetry adalah
hubungan antar bagian-bagian yang berbeda secara keseluruhan,
dan sesuai dengan bagian tertentu yang dipilih sebagai standar.
Dalam tubuh manusia ada semacam harmoni simetris antara
lengan, kaki, telapak, jari, dan bagian-bagian kecil lainnya; dan
demikian juga dengan bangunan yang sempurna.”

Dalam Arsitektur Klasik telah berkembang tiga aliran –
order – yang didasarkan pada susunan atau konstruksi kolom
dan balok pada bangunan, terutama kuil, yaitu order Dorik,

23
Ionik, dan Korinthian [Gambar 3.4]. Masing-masing order
mempunyai kekhasan.

Gambar 3.4 Order Yunani.
[https://www.pinterest.com, akses 2 Juli 2016]

Kekhasan Order Dorik: kolom bulat gemuk, berdiri tanpa
base, kapitel tanpa ornamen. Salah satu peninggalan bangunan
ber-order Dorik adalah Kuil Parthenon di Akropolis Athena.
Order Ionik: kolom bulat ramping, mempunyai base pada bagian
bawah kolom, kapitel dipenuhi ornamen dengan motif hiasan
flora dan fauna. Order Ionik dapat dijumpai pada Kuil
Erechtheion di Akropolis Athena. Order Korinthian: kolom bulat
ramping, mempunyai base pada bagian bawah kolom, kapitel
dipenuhi ornamen, paling banyak dengan motih flora, berupa
daun Acanthus.

24

Bentuk Order Korinthian, pada bagian kapital, sangat
indah, mengambil bentuk daun acanthus. Seperti halnya pada
pilar-pilar kuil di Mesir, bentuk pilar-pilar kuil di Yunani-
Romawi juga merupakan bentuk-bentuk metaforis, dengan
mengambil bentuk-bentuk tumbuhan.

3.3 Bentuk Arsitektur Metafora Zaman Pertengahan
Zaman Pertengahan, yang menurut sebagian ahli disebut pula
Zaman Kegelapan (The Dark Ages), yang meliputi periode sekitar
abad 5 – 15 Masehi, ternyata telah melahirkan peradaban dan
arsitektur yang luar biasa. Bersendikan agama Kristen dan
Islam, Peradaban dan Arsitektur Zaman Pertengahan, telah
memperlihatkan kepada kita kehidupan keagamaan Kristen dan
Islam, dan kekaryaan arsitektur bangunan-bangunan
peribadatan, gereja dan mesjid, dan istana kebesaran.

Salah satu karya arsitektur Zaman Pertengahan yang
monumental, yang bangunannya masih bisa disaksikan, adalah
istana Alhambra di Granada, Andalusia (Spanyol).

Model dekorasi Spanyol-Muslim mencapai puncak
kebesarannya pada bangunan istana Dinasti Nashriyah yaitu
Alhambra. Istana yang menjadi Akropolis-nya Granada ini,
dirancang dan dibangun oleh beberapa penguasa muslim Dinasti
Nashriyah. Dimulai oleh Muhammad I Al-Ghalib sekitar 1248,
konstruksinya disempurnakan oleh Abu AL-Hajjaj Yusuf (1333-
1354) dan oleh penerusnya Muhammad V Al-Ghani (1354-1359).

Bentuk metaforis dari bagian istana Alhambra adalah
bentuk stalaktit atau sarang lebah pada kapital pilar dan bagian
atas interior ruangan [Gambar 3.5-3.7]. Dalam arsitektur Islam
bentuk atau hiasan ini dikenal dengan Muqarnas. Stalaktit

25
adalah jenis speleothem (mineral sekunder) yang menggantung
dari langit-langit gua kapur. Ia termasuk dalam jenis batu tetes.

Gambar 3.5 Muqarnas pada bagian atas interior istana Alhambra.
[https://www.planetware.com, akses 7 April 2019]

Gambar 3.6 Muqarnas pada bagian atas pilar istana Alhambra.
[https://www.pinterest.com, akses 7 April 2019]

26

ab
Gambar 3.7 Stalaktit (a) dan Sarang Lebah (b).

3.4 Bentuk Arsitektur Metafora Zaman Modern
Peradaban dan Arsitektur Modern adalah cermin kebebasan
manusia dalam berkehidupan dan berkarya arsitektur di muka
bumi ini. Fungsionalisme merupakan motto para pengusung
Peradaban dan Arsitektur Modern. Di dalam periode zaman
Modern, yang dimulai pada abad ke-16 dan mencapai puncaknya
pada abad ke-19 dan ke-20, terdapat periode perkembangan
arsitektur yang menampilkan gaya arsitektur Barok & Rokoko,
yang dimulai pada abad ke-17 dan mencapai puncaknya pada
abad ke-18.

Arsitektur Rokoko merupakan perkembangan dari
arsitektur barok. Istilah Rokoko (Rococo) merupakan gabungan
dari kata Rocaille (Perancis) yang berarti kerang dan Barocco
(Italia) yang berarti gaya Barok. Ada yang menyebut gaya Rococo
dengan Late Baroque. Kerang dan bentuk serupa akhirnya
menjadi motif utama Rokoko

Bentuk arsitektur metafora ditunjukkan oleh bentuk-
bentuk hiasan pada bangunan-bangunan bergaya Rokoko, yakni
dengan mengambil bentuk kerang dalam hiasan-hiasan dekoratif
interior bangunannya. Contohnya adalah interior bangunan

27
gereja Wies di Bavaria, Jerman, yang didirikan pada abad ke-18
[Gambar 3.8 dan 3.9].

Gambar 3.8 Interior gereja Wies di Bavaria, Jerman, menampilkan
dekorasi bergaya Rokoko.

[https://www.invaluable.com, akses 7 April 2019]

Gambar 3.9 Bentuk cangkang kerang sebagai bentuk dasar utama
dekorasi bergaya Rokoko.

[https://www.pinterest.com, akses 8 April 2019]

28

Arsitektur modern sering diasosiasikan dengan konsep
fungsionalisme. Bangunan dan ruang-ruang arsitektur harus
diperhitungkan secara ekonomis dan efisien. Kemudian hal ini
diikuti dengan slogan-slogan dari para arsitek pendukung
gerakan modern. Seperti Form Follows Function, oleh Louis
Sullivan, tokoh Chicago School; A house is a machine to live
in, oleh Le Corbusier, tokoh arsitek Perancis; Less is More,
oleh Mies van der Rohe, tokoh arsitek teman kerja Walter
Gropius dan pernah menjadi direktur Bauhaus.

Beberapa contoh bentuk arsitektur metafora yang
fenomenal pada periode Zaman Modern diperlihatkan oleh Notre
Dame du Haut Chapel, di Ronchamp, Perancis, karya Le
Corbusier; Sydney Opera House, di Sydney, Australia, karya Jorn
Utzon; Philip Pavilions, untuk sebuah pameran di Brussel tahun
1954, karya kantornya Le Corbusier; dan TWA Terminal, di New
York, USA, karya Eero Saarinen. Di Indonesia, dapat
ditampilkan satu contoh: Teater Imax Keong Mas di Jakarta.

Notre Dame du Haut Chapel
Notre Dame du Haut Chapel, yang didirikan tahun 1954,
memiliki bentuk yang unik. Bentuknya banyak menimbulkan
multiinterpretasi dari orang yang melihatnya. Ada diantaranya
yang menginterpretasikan dengan bentuk kapal, topi bangsawan
Eropa, bebek, tangan orang yang sedang berdoa, bahkan ada
yang mengatakan mirip seorang ibu dan anaknya. [Gambar 3.10-
3.12]. Bentuk Notre Dame du Haut Chapel merupakan komposisi
bidang – bidang lengkung seperti kurva dan komposisi ketebalan
dinding yang bervariasi sehingga secara keseluruhan bangunan

29
terlihat seperti massa seni patung (sclupture). Notre Dame du
Haut Chapel karya Le Corbisier ini dianggap sebagai salah satu
prestasi Arsitektural yang tergolong paling gemilang dalam
periode Zaman Modern.

Gambar 3.10 Notre Dame du Haut Chapel.
[http://www.alluringworld.com, akses 8 April 2019]

Gambar 3.11 Notre Dame du Haut Chapel (dari sisi lain).
[http://www.alluringworld.com, akses 8 April 2019]

30

Gambar 3.12 Bentuk-bentuk yang dianggap menyerupai Notre Dame.
[http://blog.naver.com, akses 8 April 2019]

31

Sydney Opera House
Contoh bentuk arsitektur metafora berikutnya adalah
Sydney Opera House. Pada awalnya adalah sebuah sayembara
terbuka Pemerintah New South Wales, bertaraf internasional
pada tahun 1956 dan Jorn Utzon seorang arsitek dari Denmark
memenangkan sayembara ini, karena menurut pemerintah NSW
desain yang ia buat sangatlah tidak terduga, berani dan visoner.
Konsep bentuk arsitektur Sydney Opera House ini termasuk
konsep metafora: ia berasal dari bentukan layar kapal dan
tumpukan kerang. Ia menegaskan bahwa bentuk ini sangat
cocok untuk dibangun di sisi pantai. Desain arsitektur Sydney
Opera House juga menimbulkan multiinterpretasi. Selain
menyerupai layer kapal dan tumpukan kerang, ada yang
menginterpretasikan bahwa bentuknya menyerupai sayap
burung, awan, cangkang kerang, daun palem, kulit kenari dan
kulit jeruk. [Gambar 3.13 dan Gambar 3.14].

Gambar 3.13 Sydney Opera House.
[https://www.architectural-review.com, akses 8 April 2019]

32

Gambar 3.14 Bentuk-bentuk yang menyerupai Sydney Opera House.
[http://www.technologystudent.com, akses 8 April 2019]

The Philips Pavilion
Contoh bentuk arsitektur metafora lainnya adalah The
Philips Pavilion. Bangunan ini adalah paviliun Pameran Dunia
yang dirancang untuk Expo '58 di Brussels oleh kantor Le
Corbusier. Paviliun dirancang untuk menampung tontonan
multimedia yang merayakan kemajuan teknologi pascaperang.
Paviliun beton yang diperkuat adalah sekelompok sembilan
paraboloid hiperbolik di mana musik, karya Po Ede électronique

33
karya Edgar Varèse, dirata-ratakan oleh para pembuat suara
dengan menggunakan sambungan telepon. Speaker dipasang di
dinding, yang dilapisi asbes, menciptakan tampilan bertekstur ke
dinding. Varèse menyusun skema spasial terperinci untuk
seluruh bagian yang memanfaatkan tata letak fisik paviliun,
terutama ketinggiannya. [https://en.wikipedia.org, akses 9 April
2019][Gambar 3.15 dan Gambar 3.16].

Bentuk arsitektur Philips Pavilion menyerupai perilaku
suara, dengan penekanan pada tinggi rendahnya suara yang
diperlihatkan pada tinggi dan rendahnya bagian-bagian
bangunan. Metafora jenis ini dapat dikategorikan sebagai
intangible metaphor – metafora abstrak – bangunan fisik
arsitektur dibandingkan dengan sesuatu yang abstrak – suara.

Gambar 3.15 Philips Pavilion.
[https://www.concertgebouw.be, akses 9 April 2019]

34

Gambar 3.16 Perilaku suara menjadi titik berangkat dalam desain.
[http://coomaraswamy.blogspot.com, akses 9 April 2019]

TWA Terminal
Pusat Penerbangan TWA, juga dikenal sebagai the Trans
World Flight Center, adalah terminal bandara di Bandara
Internasional John F. Kennedy Kota New York. Terminal, yang
dibuka pada tahun 1962, dirancang untuk Trans World Airlines
oleh Eero Saarinen. Desain aslinya menampilkan atap cangkang
(shell) tipis berbentuk sayap yang menonjol di atas terminal
utama; koridor keberangkatan-kedatangan berkarpet merah
berbentuk tabung; dan jendela-jendela yang tinggi
memungkinkan pandangan luas dari jet yang berangkat dan
tiba.[Gambar 3.17 dan Gambar 3.18].

35

Gambar 3.17 Eksterior TWA Terminal in New York.
[http://architecturalvisits.com, akses 24 April 2019]

Gambar 3.18 Interior TWA Terminal in New York.
[http://architecturalvisits.com, akses 24 April 2019]

Bentuk metafora arsitektur jelas diperlihatkan seolah
bangunan itu bersandar di tanah dengan hati-hati dan dengan
keagungan yang besar, seolah-olah itu adalah burung raksasa
yang siap untuk mulai terbang kapan saja. Sebagian orang
menganggap ia memiliki keserupaan dengan pesawat terbang.
Namun, apakah cerita itu benar atau tidak, Saarinen sendiri
tidak pernah mengklaim bahwa desainnya dimaksudkan untuk
mewakili apa pun yang fisik; dia bersikeras, itu adalah abstraksi
dari gagasan penerbangan itu sendiri.

36

Teater Imax Keong Mas
Teater Keong Mas adalah satu wahana rekreasi bermatra
pendidikan dan merupakan ikon Taman Mini Indonesia Indah
(TMII). Mengamban misinya sebagai wahana pelestarian dan
pengembangan budaya bangsa Indonesia melalui penayangan
audio visual dengan menggunakan teknologi Sinematographi
Modern IMAX.
Teater Imax Keong Mas diresmikan pada tanggal, 20
April 1984 dan dibangun atas prakarsa serta gagasan
Almarhumah Ibu Hj. Tien Seoharto serta merupakan teater
IMAX pertama di Indonesia.
Perancangan Gedung Teater Imax Keong Mas TMII
menerapkan bentuk arsitektur metafora dari bentuk cangkang
keong spiral tanpa memikirkan fungsi keong sawah secara
alamiahnya. Struktur bangunan ini melengkung, tipis, kaku dan
kuat seperti halnya struktur dari cangkang keong mas aslinya
sendiri.
Bentuk arsitektur yang mengambil bentuk binatang
keong mas, dengan pertimbangan bahwa binatang keong mas
bagi masyarakat Indonesia memiliki nilai tradisi. Keong mas
adalah juga sebuah dongeng dari Jawa.[Gambar 3.19-3.21].

Gambar 3.19 Keong Mas.
[https://www.kepogaul.com, akses 29 April 2019]

37

Gambar 3.20 Teater Imax Keong Mas..
[Dokumentasi Ashadi, 2019]

Gambar 3.21 Gambar Potongan Memanjang Teater Imax Keong Mas..

[http://galihdegal.blogspot.com, akses 29 April 2019]
3.5 Bentuk Arsitektur Metafora Zaman Postmodern
Ditandai dengan diledakannya kompleks rumah susun 14 lantai
Pruitt-Igoe Housing di St. Louis, Missouri, karya arsitek Minoru
Yamasaki, oleh Departemen of Housing and Urban Development


Click to View FlipBook Version