The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by febyprasintia024, 2022-05-28 23:09:05

tgs anyflip feby prasintia 105111100721

tgs anyflip feby prasintia 105111100721

NAMA : FEBY PRASINTIA
NIM : 105111100721

Etiologi & Patogenesis

Hipersensitivitas tipe I, disebabkan oleh antigen bebas yang dapat berasal dari reaksi transfusi
darah, reaksi obat (seperti penisilin), alergi makanan (seperti kacang, kerang, laktosa), alergi
racun serangga (gigitan nyamuk, lebah), dan alergen dari lingkungan yang terhirup (seperti
debu, serbuk sari).

Hipersensitivitas tipe II, disebabkan oleh reaksi antibodi IgG atau IgM yang berikatan dengan sel
normal, tetapi menganggap sel tersebut sebagai antigen. Ikatan antibodi akan memanggil
sel natural killer (NK cell) dan merusak pada sel yang terikat.

Hipersensitivitas tipe III, disebabkan oleh endapan kompleks imun (IgG yang berikatan dengan
antigen) pada jaringan tertentu sehingga memanggil netrofil dan memfagosit sel jaringan
tersebut. Antigen dapat berasal dari obat (umumnya antibiotik, seperti penicilin, amoksilin,
trimetoprim-sulfametoksazol), infeksi virus (seperti hepatitis B), dan antivenom atau antitoxin
yang mengandung protein hewan.

Hipersensitivitas tipe IV, disebabkan sensitisasi dari kontak pertama dengan suatu agen, lalu
terangsang dengan kontak berulang dari agen tersebut. Agen tersebut umumnya
berupa urushiol-induced (cairan minyak tanaman), seperti poison ivy, poison oak, dan poison
sumac. Agen lainnya adalah logam, seperti nikel, kobalt, kromium; parfum, sabun, dan kosmetik;
benda berbahan latex atau sarung tangan karet, dan obat topikal, seperti hidrokortison,
benzokain, dan neomisin.

Patofisiologi
Hipersensitivitas tipe I disebabkan karena antibodi IgE yang melapisi sel
mast dan basofil berikatan dengan antigen bebas. Akibatnya, terjadi
degranulasi sel dan pelepasan histamin serta mediator inflamasi lainnya,
seperti prostaglandin, leukotrien, triptase, platelet-activating factor, dll.).
Pelepasan histamin meningkatkan kontraksi otot sehingga dapat terjadi
bronkospasm, kram, rhinitis, hingga hypovolemi dan hypoxia.

Hipersensitivitas tipe II disebabkan oleh IgM atau IgG yang berikatan
dengan antigen sel normal pada jaringan tertentu. Kemudian, sistem

komplemen akan teraktivasi untuk merangsang fagositosis dan lisis pada
sel yang berikatan.

Sistem komplemen merupakan protein yang bersirkulasi di dalam darah
namun hanya sebagai prekursor inaktif. Saat ada stimulasi, seperti tautan
IgM atau IgG dengan sel, komplemen akan teraktivasi dan merangsang
aktivasi antibodi tersebut. Saat fungsi antibodi aktif, ia akan mengganggu
fungsi normal sel terikat.

Hipersensitivitas tipe III disebabkan karena IgG antibodi yang bertautan
dengan antigen membentuk kompleks imun sehingga membentuk endapan
di jaringan tertentu. Kompleks imun tersebut kemudian mengendap pada
jaringan (umumnya pembuluh darah) sehingga menimbulkan kaskade
komplemen untuk melepaskan enzim lisosom dari netrofil guna membunuh
sel-sel yang terdapat di endapan kompleks imun tersebut. Akibatnya, dapat

terjadi inflamasi hingga vaskulitis (peradangan dinding pembuluh darah).

Hipersensitivitas tipe IV merupakan reaksi hipersensitivitas yang tertunda,
atau tidak langsung terjadi pada saat kontak pertama dengan agen, dan
dimediasi oleh sel limfosit T. Hipersensitivitas tipe IV disebabkan oleh
sensitisasi pada kontak pertama yang tertangkap oleh sel Langerhans
sehingga merangsang limfosit T menjadi sensitif terhadap agen tersebut.
Ketika limfosit T terpapar kembali, sel T akan langsung merangsang
sekresi limfokin dan sitokin (IFN-γ, TNF-α). Setelah itu, makrofag akan
teraktivasi dan terjadilah reaksi inflamasi pada jaringan.

Diagnosis
Diagnosis dari hipersensitivitas dapat dilakukan dengan Uji kulit in vivo dan
uji in vitro. Pemeriksaan kulit in vivo yang paling umum adalah skin prick
test. Alergen yang bervariasi diaplikasikan ke kulit untuk melihat reaksi
alergi. Alergen yang dipakai diperkirakan dari anamnesis dan hasil
penelusuran mengenai manifestasi klinis tertentu dari alergen.

Reaksi alergen dapat berupa eritema, papula, dan vesikel pada. Hasil
postif jika didapatkan ada urtikaria eritematosa >3mm dalam 20 menit.
Sementara itu, uji in vitro merupakan uji yang dilakukan untuk melihat
kadar triptase dalam serum. Peningkatan triptase serum menandakan
peningkatan aktivasi sel mast.
Ada sedikit perbedaan untuk diagnosis hipersensitivitas tipe IV. Tes
diagnosis untuk tipe ini disebut patch test. Prinsip kerjanya mirip
dengan prick test, hanya saja hasilnya dicatat pada dua waktu, yaitu 48
jam dan 4-5 jam setelahnya. Untuk mengetahui alergen penyebab reaksi
hipersensitivitas, kita dapat mengenali angry-back
syndrome (hiperreaktivitas pada kulit) sebagai hasil yang positif palsu.
Selain patch test dapat juga dilakukan tahap lebih lanjut berupa tes
laboratorium untuk mengecek komponen pada darah, terutama sel darah
putih

Tata Laksana
Hipersensitivitas berupa penyakit self-limiting sehingga cara paling ampuh
adalah menghentikan paparan agen dan menghindari etiologinya.

Untuk hipersensitivitas tipe I, pasien dapat ditangani dengan pemberian
epinefrin intramuskular, antihistamin (seperti ranitidine dan
diphenhydramine), dan metilprednison. Untuk gejala klinis urtikaria, cukup
diberikan H1-receptor blocker seperti cetirizine. Namun, pada kasus
bronkospasme, lebih baik diberikan salbutamol daripada epinefrin.
Terdapat beberapa cara lain, seperti pemberian kortikosteroid topikal untuk

kasus ringan, namun bisa juga sistemik untuk kasus berat (hipersensitivitas
tipe IV).

Semua tata laksana ini harus diikuti dengan pengawasan bertahap. Yang
diawasi setidaknya meliputi tekanan darah, denyut jantung, dan fungsi
jantung. Beberapa kasus juga dapat dilakukan terapi desentisasi secukupnya
untuk menghilangkan reaksi berlebihan dari tubuh terhadap agen tersebut.


Click to View FlipBook Version