Pembaca yang budiman, Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas rahmat-Nya, sehingga kita diberi umur dan kesehatan hingga saat ini. Majalah Ekspedisi Bayat 2022 ini merupakan kumpulan hasil penelitian Ekspedisi EGSA tahun 2022. Tahun 2022 ini Himpunan Mahasiswa Geografi Lingkungan EGSA (Environmental Geography Student Association) Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada kembali melaksanakan program Ekspedisi EGSA. Ekspedisi EGSA merupakan program penelitian mahasiswa tahunan yang dilaksanakan oleh EGSA melalui Divisi Penelitian dan Pendidikan. Ekspedisi EGSA memiliki tujuan umum melatih kemampuan mahasiswa untuk mengidentifikasi permasalahan di masyarakat, mengkaji permasalahan tersebut dari perspektif geografi, dan bekerja sama dengan masyarakat terkait. Ekspedisi EGSA tahun 2022 ini memiliki tema “Environmental Resurgence in the Post Pandemic Era”. Kegiatan ini dilaksanakan di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah pada 27 Januari hingga 1 Februari 2022. K ATA PENGANTAR i
Ucapan terima kasih disampaikan dari segenap Ekspeditor kepada Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Bappedalitbang Kabupaten Klaten, Pemerintah Kecamatan Bayat, serta seluruh pihak yang mendukung dalam kesuksesan pelaksanaan Ekspedisi tahun 2022 ini. Kami harap karya ekspeditor dalam majalah Ekspedisi Bayat 2022 ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. Majalah Ekspedisi Bayat 2022 ini juga diharapkan dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi generasi Ekspeditor selanjutnya untuk terus berkarya. Akhir kata, saya mewakili segenap Ekspeditor memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan dalam majalah ini maupun dalam pelaksanaan Ekspedisi tahun 2022. Semoga seluruh pembelajaran yang diperoleh dari kegiatan ini dapat berguna di masa depan. Terima kasih atas kesediaannya untuk membaca majalah Ekspedisi Bayat 2022, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan. Selamat membaca! Yogyakarta, 1 Februari 2022 Ryan Andri Wijaya ii
DAF TAR ISI Kata Pengantar...........................................................................................i Daftar Isi..................................................................................................iii Physical Teams Ekspedisi 2022...................................................................1 Social Teams Ekspedisi 2022.......................................................................4 Physical Team’s ^r ticlN CF SurfaceXHidrologyXDivisionGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGG7W UF GeohidrologyXDivisionGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGG1] RF GeomorphologicalXSurveyXandXMappingXDivisionGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGG23 XcGXDisasterXManagementXDivisionGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGS1 Social Team’s ^r ticlN CF HumanXGeographyXDivisionGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGG4) UF InfrastructureXGeographyXDivisionGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGG5) RF EnvironmentalXEconomyXDivisionGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGG6S
Kata Pengantar...........................................................................................i Daftar Isi..................................................................................................iii Physical Teams Ekspedisi 2022...................................................................1 Social Teams Ekspedisi 2022.......................................................................4 Physical Team’s VrticlF ;> SurfacePHidrologyPDivision?????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????7O M> GeohidrologyPDivision???????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????1U J> GeomorphologicalPSurveyPandPMappingPDivision???????????????????????????????????????????????????23 Pc?PDisasterPManagementPDivision?????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????K1 Social Team’s VrticlF ;> HumanPGeographyPDivision??????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????4! M> InfrastructurePGeographyPDivision???????????????????????????????????????????????????????????????????????????5! J> EnvironmentalPEconomyPDivision????????????????????????????????????????????????????????????????????????????6K
PHYSICAL TEAM Sur face Hidrology Division, Geomorphological Sur vey and Mapping Division, Geohidrology Division, and Disaster Management Division 27 - 29 January 2022 This is! 1
Surface Hidrology Division Geomorfological Survey and Mapping Division We Are! We Are! 2
Geohidrology Division Disaster Management Division We Are! We Are! 3
SOCIAL TEAM Human Geography Division, Infrastr ucture Geography Division, and Environmental Economy Division 30 January - 1 February 2022 This is! 4
Human Geography Division Infrastructure Geography Division We Are! We Are! 5
Environmental Economy Division We Are! 6
Physical Team’s Article
SURFACE HIDROLOGY DIVISION “Neraca Air Waduk Rowo Jombor, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten Tahun 2021” GEOHIDROLOGY DIVISION “Pola Aliran Airtanah dan Karakteristik Airtanah Berdasarkan Nilai Daya Hantar Listrik dan Derajat Keasaman Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah” GEOMORPHOLOGICAL SURVEY AND MAPPING DIVISION “Inventarisasi Data Tipologi Erosi di Sekitar Objek Wisata Bukit Cinta Watu Prahu, Bayat, Klaten” DISASTER MANAGEMENT DIVISIO¼ ÃÀ “Analisis Kerawanan Banjir Kecamatan Bayat Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process dan Spatial Multi-Criteria Evaluation”° À “Penaksiran Kapasitas Masyarakat Kecamatan Bayat Terhadap Bencana Banjir Pada Kawasan Bahaya”
NERACA AIR WADUK ROWO JOMBOR, KECAM ATAN BAYAT, K ABUPATEN KL ATEN TAHUN 2021 Reza Fadilla Haikal1, Sekar Gading Her mawan1, Husna Dewi Afifah1, Wafiq Nur Azizah1, Fahri Ar yakusumo1, Yadug Restu Aji1, Dyfany Aurariel Syahda1, Elvira Nasution1, Pramuditya Vanesya P. F. A1, Muhammad Andr ee Fauzan1, Lintang Fadillah2 1) Mahasiswa Program Studi Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada 2) Dosen Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Abstract: The catchment area is a factor in the process of converting rain into streams. The water balance can be defined as the sum of all inputs, outputs, and changes in water storage in an area. The components used in the calculation of the water balance are rainfall, surface temperature, and evapotranspiration. The resulting data are statistical figures regarding the volume of precipitation, runoff, inflow, outflow, and evapotranspiration data. The data is described with the results in the form of a water balance that can indicate the condition of water availability in a catchment area when there is a surplus or deficit. Analysis of groundwater availability is graphically presented in a monthly period, from January to December climatologically. The data used in this analysis is secondary data in the form of data on rainfall, temperature, inflow, outflow, and water quality of the Rowo Jombor Reservoir at Klaten Station in 2021 which represents the research area, namely the Rowo Jombor Reservoir area. Rowo Jombor Reservoir has an inflow that fluctuates every month, with an average inflow of 19,1705. The highest runoff value occurred in January, which was 1,594,573.38 m3. The biggest surplus occurred in January with a surplus value of 10,402,748.63 m3. The value of the water balance of the Rowo Jombor Reservoir experienced a deficit only in May and July due to the high outflow that month. Keywords: catchment area, Rowo Jombor, water balance, Rawa Jombor merupakan sebuah waduk semi buatan yang berada di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten dengan luas mencapai 189 Ha (Wibowo, A., 2015). Secara absolut, letak Rawa Jombor berada pada 7°45'15.83'' LS dan 110°37'34.37'' BT, sedangkan secara relatif Rawa Jombor terletak di bagian utara Kecamatan Bayat. Rawa Jombor memiliki spesifikasi panjang 1,7 km, lebar sekitar 1,3 km, dan memiliki variasi kedalaman 1-3 meter saat musim kemarau dan pada saat musim hujan mencapai 6 meter. Topografi Rowo Jombor yang berupa dataran rendah dikelilingi perbukitan menyebabkan daerah Rowo Jombor menjadi penampung air yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar (Sugiharyanto, 2007). Pendahuluan 7
Waduk Rowo Jombor menjadi komponen vital perekonomian masyarakat setempat dengan menyimpan ketersediaan air. Ketersediaan air dari waduk Rowo Jombor dimanfaatkan untuk irigasi pertanian, perikanan keramba, dan pariwisata. Kapasitas air di Rowo Jombor, yaitu 4.618.069 m3 digunakan untuk irigasi pertanian dengan luas 77,9 Ha (Tanjung, et al 2018). Sektor unggulan di Klaten adalah sektor pertanian dengan komoditas unggulan, yaitu padi, jagung dan kedelai (Priyono, 2016). Keberhasilan sektor pertanian menjadi sektor unggulan di Klaten tidak terlepas dari terpenuhinya kebutuhan dasar pertanian, yaitu air. Pada sektor perikanan, Waduk Rowo Jombor dimanfaatkan oleh para petani untuk budidaya keramba ikan. Petani yang menggantungkan sumber pendapatan pada perikanan keramba tercatat sebanyak 414 orang. Sektor perikanan keramba menghasilkan 168,556 ton ikan per tahun (Aryanto dan Setiawan, 2021). Namun, masyarakat setempat sendiri tidak dapat menggantungkan sumber pendapatan dari bidang pertanian dan perikanan. Waduk Rowo Jombor memiliki potensi yang baik sebagai obyek wisata karena masih dikelilingi oleh perbukitan. Kondisi tersebut membuat Waduk Rowo Jombor memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Kabupaten Klaten risiko kekeringan yang sangat tinggi menurut buku IRBI yang diterbitkan oleh BNPB tahun 2011. Kabupaten Klaten termasuk dalam 10 besar kabupaten yang memiliki kerawanan tinggi terhadap bencana kekeringan Kekeringan merupakan disebabkan oleh tidak seimbangnya siklus hidrologi yang berjalan di suatu wilayah (Shofiyati, 2007). Apabila meninjau ulang topografi Waduk Rowo Jombor maka ketersediaan air dapat terganggu karena input air hujan tidak maksimal tersimpan di dalam waduk. Kondisi tersebut dapat menimbulkan masalah ketersediaan air bagi daerah yang memiliki curah hujan kecil pada akhirnya mengalami kekeringan. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya masalah sedimentasi yang disebabkan sebagian besar kawasan DTA Rowo Jombor merupakan pemukiman. Lahan pemukiman yang membawa sedimen berupa sampah dan limbah rumah tangga berpengaruh terhadap kinerja penyimpanan air Waduk Rowo Jombor (Wibowo dkk, 2014). Berdasarkan hal tersebut, diperlukan evaluasi neraca air mengingat kebutuhan air yang relatif meningkat, tetapi ketersediaan air yang terus menurun. Waduk (reservoir) merupakan wadah tampungan air yang terbentuk akibat adanya bangunan yang melintang sungai (bendungan) yang membentuk pelebaran badan sungai (Pranoto, et al., 2016). Berdasarkan fungsinya, waduk dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu waduk penyimpanan yang digunakan sebagai tempat konservasi sumber daya air dan waduk distribusi yang digunakan untuk mengalirkan air (Nursa’ban dalam Ulfa dan Suprayogi, 2018). Neraca air dapat didefinisikan sebagai jumlah dari semua input, output, dan perubahan simpanan air pada suatu wilayah. Neraca air dapat menggambarkan jumlah air yang terkandung dalam tanah baik surplus maupun defisit secara deret waktu (Hillel, 1972). Neraca air sangat penting untuk menggambarkan sirkulasi air meliputi inflow dan outflow, evaluasi dinamika air tanah dan penggunaannya untuk berbagai sektor , serta gambaran sebaran ketersediaan air secara spasial. Komponen yang digunakan dalam perhitungan neraca air adalah curah hujan, suhu permukaan, dan evapotranspirasi (Sosrodarsono dan Takeda; 1978; Lascano, 2000; dan Latha, et al., 2010). Neraca air dapat divisualisasikan menggunakan grafik yang menampilkan variabel presipitasi, evapotranspirasi, inflow, runoff, dan outflow suatu DAS. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengolah data hujan adalah adalah metode Isohyet. Metode ini dilakukan dengan menghubungkan titik-titik wilayah dengan curah hujan yang sama. Metode isohyet dapat dilakukan dengan cara Inverse Distance Weighted (IDW). Metode Inverse Distance Weighted (IDW) adalah metode deterministik dengan mempertimbangkan titik di sekitarnya. Metode ini berasumsi bahwa nilai interpolasi lebih mirip dengan data sampel yang dekat. Sementara itu, metode Kriging merupakan estimasi stochastic yang tidak jauh berbeda dengan IDW yang mengkombinasikan linear dari weight untuk limbah rumah 8
dari weight untuk memperkirakan nilai sampel data (Pramono, 2008). Tujuan dari pengolahan data hujan menjadi hujan wilayah yaitu karena hujan di setiap lokasi tidak sama sehingga perlu diketahui rata-rata hujan yang terjadi di suatu wilayah. Limpasan permukaan (runoff) dapat diukur menggunakan metode Soil Conservation Service Curve Number (SCS-CN). Metode SCS-CN adalah metode yang memperkirakan aliran permukaan dari presipitasi yang dipengaruhi oleh penggunaan lahan, kondisi hidrologi, dan kelengasan tanah. Parameter tersebut dinyatakan dalam indeks yang disebut sebagai curve number (CN) (Munajad & Suprayogi, 2017). Metode ini dapat digunakan untuk mencari besar volume limpasan permukaan dengan data hujan, penggunaan lahan, dan jenis tanah. Data hujan berupa intensitas hujan akan menentukan kondisi kelembaban tanah yang dapat diklasifikasikan, disebut sebagai kondisi kelengasan tanah (AMC). Klasifikasi ini akan mempengaruhi jenis rumus CN yang akan digunakan, CN kering, normal, atau basah. Data jenis tanah pada metode ini direpresentasikan dengan kelompok hidrologi tanah. Menurut McCuen (1998), kelompok hidrologi tanah terbagi menjadi yaitu A, B, C dan D berdasarkan tekstur tanah. Jenis tekstur tanah menentukan kelompok hidrologi tanah karena berkaitan dengan kapasitas air efektif tanah dan mempengaruhi proses infiltrasi. Metode ini beranggapan bahwa laju infiltrasi masing-masing penggunaan lahan besarnya berbeda. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan pada suatu DAS akan mempengaruhi besarnya limpasan permukaan (Amalia, 2011). Evapotranspirasi adalah proses yang terjadi dengan dua cara yaitu potensial saat kondisi air tanah cukup banyak dan aktual saat kondisi air tanah tidak memadai (Usman, 2004). Proses ini merupakan proses gabungan dari proses evaporasi dan transpirasi. Besarnya evapotranspirasi dapat dihitung dengan beberapa metode yang salah satunya adalah Metode Thornthwaite. Perhitungan evapotranspirasi menurut Thornthwaite memiliki faktor utama berupa suhu udara rata-rata bulanan dan lintang lokasi (Hartanto, 2018). Metode ini digunakan untuk menghitung nilai evapotranspirasi potensial (PET). Metode ini memiliki kelebihan, yaitu saat suatu daerah tidak memiliki data iklim yang lengkap seperti data curah hujan, kelembapan, kecepatan dan arah angin, metode ini dapat digunakan untuk mengukur besar evapotranspirasi. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif. Data yang digunakan adalah data sekunder dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo. Metode statistik deskriptif digunakan untuk analisis data pada data yang telah diolah. Statistik deskriptif adalah metode pengumpulan dan penyajian data yang bertujuan untuk menguraikan keterangan dari data statistik tersebut (Nasution, 2017). Data sekunder diolah dengan perhitungan dan metode tertentu untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Hasilnya kemudian dideskripsikan untuk menjelaskan maksud dari nilai tersebut. Data yang dihasilkan berupa angka-angka yang merupakan bagian dari statistik, seperti data volume presipitasi, runoff, inflow, outflow, dan evapotranspirasi. Selanjutnya, data tersebut dideskripsikan, seperti hasil imbangan air yang dapat menunjukkan kondisi ketersediaan air di suatu DTA, baik saat mengalami surplus maupun defisit. Objek penelitian ini dilakukan di Daerah Tangkapan Air Rowo Jombor. Secara geografis DTA Rowo Jombor terletak di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. DTA Rowo Jombor memiliki luas wilayah 6,2 km2 dengan berbagai penggunaan lahan, seperti permukiman, sawah, ladang, dan kebun. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data curah hujan, suhu, inflow, dan outflow Waduk Rowo Jombor stasiun Klaten tahun 2021. Data sekunder diolah menggunakan Ms. Excel, software ArcGIS, dan QuantumGIS. Dilakukan perhitungan input dan output waduk menggunakan rumus (1), dihasilkan neraca air Waduk Rowo Jombor tahun 2021. Metode Penelitian 9
Keterangan: R = Limpasan permukaan P = Presipitasi yang jatuh di permukaan danau Ep = Evapotranspirasi Qin = Masukan Sungai Gin = Masukan Air Tanah Gout = Keluaran Air Tanah Qout = Keluaran Sungai ∆V = Perubahan Volume ∆S = Simpanan (Storage) Keterangan: Pe = Kedalaman hujan efektif (mm) P = Kedalaman hujan (mm) S = Retensi potensial maksimum oleh air tanah (mm) Keterangan: CN = Curve Number Dimana: PET : evapotranspirasi potensial bulanan (cm/bulan) t : temperatur udara rata-rata per bulan (°C) I : indeks panas tahunan (akumulasi indeks dalam setahun) a : koefisien yang tergantung dari tempat Nilai presipitasi, masukan sungai (inflow), dan keluaran sungai (outflow) sudah didapatkan dari data sekunder. Sementara itu, data limpasan permukaan dan evapotranspirasi diperoleh dari rumus (2) dan (3). Nilai retensi potensial maksimum dapat diperoleh dengan rumus berikut. Perhitungan untuk memperoleh nilai Evapotranspirasi potensial metode Thornthwaite dilakukan dengan rumus berikut. 10
Analisis neraca air waduk Rowo Jombor dilakukan melalui perhitungan Daerah Tangkapan Air (DTA). Delineasi DTA diperoleh dari interpretasi citra berdasarkan ketinggian kontur. DTA berfungsi sebagai tempat penadah presipitasi serta tempat berlangsungnya proses infiltrasi, perkolasi, baseflow, overland flow, hingga evapotranspirasi. Neraca air dengan metode SCS-CN menghitung besarnya aliran air yang masuk dan keluar dalam suatu sistem yang dipengaruhi oleh nilai koefisien. Nilai tersebut diperoleh berdasarkan jenis penggunaan lahan dan klasifikasi tanah. DTA waduk Rowo Jombor (Gambar 1) secara formasi geologi tersusun atas formasi endapan merapi muda dengan jenis tanah tuff, abu vulkanik, breksi, algomerat, dan aliran lahar; formasi WonosariPunung pada bagian Utara yang ditandai dengan bentuklahan perbukitan dengan penyusun utama limestone dan calcarenite; dan formasi alluvium tua. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh besaran inflow Rowo Jombor yang memiliki hasil yang fluktuatif setiap bulannya, dengan rata-rata inflow 19.1705 m3/detik . Secara umum, debit inflow relatif tinggi pada awal tahun kemudian mengalami penurunan drastis pada bulan Mei hingga Oktober. Debit inflow tertinggi terjadi pada bulan Januari, yaitu sebesar 72,06 m3/detik dengan rata - rata 2,35 m3/detik. Debit inflow tertinggi kedua terjadi pada bulan Februari, yaitu sebesar 50.208 m3/ detik dengan rata-rata 1,793 m3/detik. Selanjutnya, debit terendah terdapat pada bulan Juli, yaitu sebesar 0,75 m3/detik dengan rata - rata sebesar 0,024 m3/detik. Debit terendah kedua terdapat pada bulan Agustus, yaitu sebesar 2,33 m3/detik dengan rata - rata 0,075 m3/detik. Nilai volume masukan air hujan pada tahun 2021 menunjukan puncak pada bulan bulan Januari dan Februari dengan nilai berturut-turut 2846367,82 m3 dan 2777705,44 m3/bulan. Bulan November adalah puncak kedua dari nilai masukan volume air hujan dengan nilai 2016177,21 m3. Nilai volume masukan air hujan yang rendah terjadi pada bulan Juli dan Agustus dengan nilai 49936,28 m3 dan 124840,69 m3. Bulan kritis air kedua adalah bulan Mei dengan nilai masukan volume air hujan 237197,32 m3. Berdasarkan nilai tersebut, volume masukan air Waduk Rowo Jombor cukup terpenuhi pada bulan Januari, Februari, dan November. Sebaliknya, pada bulan Mei, Juli, dan Agustus masukan air waduk sangat sedikit. Tren volume masukan air menyesuaikan dengan tren curah hujan pada musim kemarau dan musim hujan. Runoff merupakan sebagian dari air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai, danau, atau laut yang disebabkan karena tanah tidak mampu menginfiltrasi air di permukaan tanah atau air hujan jatuh di permukaan yang bersifat impermeabel (Wirasembada, 2014). Secara prinsip, runoff adalah perbandingan antara air larian dan curah hujan (Nurman, dkk., 2019). Nilai runoff berbanding lurus dengan nilai presipitasinya. Semakin tinggi nilai presipitasi maka nilai runoff akan semakin besar. Nilai runoff di Waduk Rowo Jombor pada tahun 2021 terlihat memiliki perbandingan nilai yang sangat Gambar 1 Peta Daerah Tangkapan Air Waduk Rowo Jombor Gambar 2 Peta Hujan Wilayah Metode Isohyet IDW Waduk Rowo Jombor Hasil dan Pembahasan 11
perbandingan nilai yang sangat drastis. Nilai runoff tertinggi terjadi pada bulan Januari yaitu sebesar 1594573,38 m3. Hal ini dikarenakan pada bulan Januari terjadi musim penghujan, sehingga nilai presipitasinya tinggi dan tertinggi dari bulan lainnya yaitu sebesar 2846367,82 m3. Nilai runoff terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu hanya sebesar 190,16 m3, namun nilai presipitasi di bulan Agustus bukan yang terendah yaitu sebesar 124840, 69 m3. Nilai presipitasi terendah berada di bulan Juli sebesar 49936,28 m3, meskipun begitu nilai runoff di bulan Juli lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Agustus yaitu sebesar 9524,96 m3. Hal tersebut dapat terjadi karena kedua bulan tersebut masuk ke dalam musim kemarau, sehingga presipitasi rendah didorong dengan faktor tanah yang mampu menginfiltrasi air di permukaan tanah pada bulan Agustus lebih baik dan kurangnya air hujan yang jatuh di permukaan yang bersifat impermeabel. Maka dari itu, air permukaan yang dialirkan pada bulan Agustus berkurang. Variasi pengaliran keluar (outflow) Waduk Rowo Jombor selama tahun 2021 memiliki volume terendah sebesar 36028,80 m3 yaitu pada Bulan Juli dan volume tertinggi sebesar 1160697,60 m3 yaitu pada Bulan November. Variasi tersebut dipengaruhi oleh karakteristik daerah dan aspek pemanfaatannya (Atmaja, 2019). Pemanfaatan air Waduk Rowo Jombor sebagian besar digunakan sebagai sumber irigasi. Irigasi merupakan bentuk penyediaan air untuk pertanian dengan menggunakan satu kesatuan saluran dan bangunan berupa jaringan irigasi. Sebagai pengguna air dalam sektor pertanian, irigasi melakukan pemanfaatan air paling besar di Klaten terutama dari air permukaan. Berdasarkan data pemakaian/kebutuhan air untuk irigasi, terlihat jelas bahwa jumlah kebutuhan air untuk irigasi yang meningkat besar pada awal mula pola tanam dalam periode tersebut. Dikutip dari mediaindonesia.com, Kementerian Pertanian(Kementan), Syahrul Yasin Limpo menyebutkan bahwa tahun 2021 musim tanam beras pertama berlangsung pada Bulan Oktober hingga Maret. Variasi outflow berpengaruh terhadap besarnya storage water. Berdasarkan hasil perhitungan, terdapat volume outflow yang bernilai lebih besar dari 1.000.000 m3, yaitu pada Bulan November, Desember, Februari, dan Maret tetapi neraca air pada bulan-bulan tersebut tetap mengalami surplus karena merupakan musim penghujan. Nilai evapotranspirasi potensial metode Thornthwaite didapatkan dengan mencari indeks panas tahunan terlebih dahulu berdasarkan data suhu udara bulanan rata-rata dan indeks panas rata-rata bulanan. Jumlah hari diasumsikan 30 dalam 1 bulan dan jumlah siang perhari adalah 12 jam. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan Metode Thornthwaite, diperoleh nilai evapotranspirasi potensial yang relatif bervariasi. Evapotranspirasi tertinggi terjadi pada bulan Mei dan Oktober, yaitu sebesar 22,034 mm/bulan. Debit inflow tertinggi kedua terjadi pada bulan September, yaitu sebesar 20,693 mm/detik. Selanjutnya, evapotranspirasi terendah terdapat pada bulan Februari, yaitu sebesar 13, 01 mm/ bulan. Debit terendah kedua terdapat pada bulan Januari, yaitu sebesar 16,212 mm/bulan. Hasil perhitungan menggunakan metode Thornthwaite mudah digunakan untuk wilayah dengan data iklim kurang lengkap karena hanya membutuhkan data temperatur dan lingkup wilayahnya kecil. Evapotranspirasi potensial terjadi apabila terdapat cukup air untuk memenuhi pertumbuhan optimum kebutuhan lingkungan, vegetasi, atau kawasan pertanian dimana pada kawasan Waduk Rowo Jombor bulan Mei dan Oktober suhu udara mencapai 29.74 °C sehingga proses evapotranspirasi berjalan maksimum. Evapotranspirasi potensial sangat bergantung pada suhu dan lama penyinaran sehingga akan berbeda pada bulan Januari dan Februari dengan suhu rendah. Waduk Rowo Jombor memiliki fungsi hidrologis sebagai tempat penyimpanan air atau water storage. Sepanjang tahun 2020, Rowo Jombor memiliki kecenderungan penyimpanan air yang positif. Surplus terbesar terjadi pada bulan Januari dengan nilai surplus 10.402.748,63 m3. Bulan Januari merupakan waktu terjadinya musim hujan. Sementara itu, nilai neraca air Waduk Rowo Jombor mengalami defisit hanya pada bulan Mei dan Juli yang masing-masing sebesar 159.411,4328 m3 dan 37.605,50036 m3. Salah satu penyebab defisit air pada bulan Mei dan Desember yaitu karena tingginya outflow pada bulan tersebut. Namun, rata-rata curah hujan pada kedua bulan tersebut tergolong rendah karena bulan Mei merupakan masa peralihan musim hujan ke musim kemarau dan bulan Juli merupakan musim kemarau. Nilai presipitasi pada bulan Mei masih lebih besar dibandingkan dengan dengan nilai evapotranspirasinya, sedangkan nilai presipitasi pada bulan Juli lebih rendah daripada nilai evapotranspirasinya. Pada tahun 2020, nilai surplus Waduk Rowo Jombor memiliki rata-rata simpanan air sebesar 2.684.596,299 m3. Gambar 3 Analisa Hasil Neraca 12
Tabel 1 Neraca Air Waduk Rowo Jombor Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis, Waduk Rowo Jombor memiliki besaran rata-rata inflow sebesar 19.1705. Debit inflow relatif tinggi pada awal tahun kemudian mengalami penurunan drastis pada bulan Mei hingga Oktober. Nilai volume masukan air hujan berpuncak pada bulan Januari (2846367,82 m3) dan Februari (2777705,44 m3). Volume masukan air Waduk Rowo Jombor cukup terpenuhi pada bulan Januari, Februari, dan November. Sebaliknya, pada bulan Mei, Juli, dan Agustus masukan air waduk sangat sedikit.Nilai runoff tertinggi pada bulan Januari (1594573,38 m3). Variasi pengaliran keluar (outflow) selama tahun 2021 adalah sebesar 36028,80 m3 yaitu pada Bulan Juli dan volume tertinggi sebesar 1160697,60 m3 yaitu pada Bulan November. Variasi tersebut dipengaruhi oleh karakteristik daerah dan aspek pemanfaatannya yang sebagian besar digunakan sebagai sumber irigasi. Evapotranspirasi tertinggi terjadi pada bulan Mei dan Oktober, yaitu sebesar 22,034 mm/bulan. Pada kawasan Waduk Rowo Jombor bulan Mei dan Oktober suhu udara mencapai 29.74° C sehingga proses evapotranspirasi berjalan maksimum. Evapotranspirasi potensial sangat bergantung pada suhu dan lama penyinaran sehingga akan berbeda pada bulan Januari dan Februari dengan suhu rendah. Pada tahun 2020, nilai surplus Waduk Rowo Jombor memiliki rata-rata simpanan air sebesar 2.684.596,299 m3. Surplus terbesar terjadi pada bulan Januari dengan nilai surplus 10.402.748,63 m3. Nilai neraca air Waduk Rowo Jombor mengalami defisit hanya pada bulan Mei dan Juli yang disebabkan oleh tingginya outflow pada bulan tersebut. Nilai presipitasi pada bulan Mei masih lebih besar dibandingkan dengan nilai evapotranspirasinya, sedangkan nilai presipitasi pada bulan Juli lebih rendah daripada nilai evapotranspirasinya. 13
Amalia, M. (2011). Analisa Peningkatan Nilai Curve Number terhadap Debit Banjir Daerah Aliran Sungai Progo. Info Teknik, 12(2), 35-39. Atmaja, D.M. (2019). Kajian Inflow, Outflow Dan Water Balance Danau Beratan Di Dataran Tinggi Bedugul Bali. MKG. Vol. 20, No.1, Juni 2019 (11-20). Hartanto, B. (n.d.). Analisis Ketersediaan Air Hujan untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Domestik Penduduk di Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur. Swara Bhumi, 5(5). McCuen, R. (1998). Hydrologic Analysis and Design. 2nd edition. USA: Prentice Hall. New Jersey. Munajad, R., & Suprayogi, S. (2017). Kajian Hujan–Aliran Menggunakan Model Hec–Hms di Sub Daerah Aliran Sungai Wuryantoro Wonogiri, Jawa Tengah. Jurnal Bumi Indonesia, 150-157. Nasution, L. M. (2017). Statistik deskriptif. Jurnal Hikmah, 14(1), 49-55. Nurman, A., Utama, L., & Mizwar, Z. (2019). Analisis Runoff dan Daya Tampung Air pada Daerah Aliran Sungai Enbara, Prefektur Gifu, Jepang. Abstract of Undergraduate Research, Faculty of Civil and Planning Engineering, Bung Hatta University, 1(1). Pramono, G. H. (2008). Akurasi Metode IDW dan Kriging untuk Interpolasi Sebaran Sedimen Tersuspensi di Maros, Sulawesi Selatan. Forum Geografi, 22(1), 145-158. Usman. (2004). Analisis Beberapa Kepekaan Metode Pendugaan Evapotranspirasi Potensial Terhadap Perubahan Iklim. Jurnal Natur Indonesia, 6(2). Wirasembada, Y. C. (2014). Analisis Efektivitas Zero Runoff System pada Lahan Miring di DAS Cidanau, Banten. Daftar Pustaka 14
Pol a Aliran Airtanah dan K arakteristik Airtanah Berdasark an Nil ai Daya Hantar Listrik dan Derajat Keasam an Kecam atan Bayat, Kl aten, Jawa Tengah Akhmad Singgih1, Faricha Nur Karima1, Najwa Nur Awalia1, Fir daus Rakhman Saputra1, Rizky Qur r ota A’yun1, Endra Yuliawan1, Hasna Nabilla1, Marselli Nabilla Putri1, Sonna Diwijaya1, Vikarinda Virginia1, Tjahyo Nugr oho Adji2 1) Mahasiswa Program Studi Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada 2) Dosen Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Abstract: Bayat area is a relatively flat area and is a gathering point for groundwater (discharge area). Bayat has a diverse direction of groundwater flow. This makes the Bayat Region very interesting to conduct further studies to find out the pattern or direction of groundwater flow, quality, and the potential of groundwater resources. The purpose of this study is to carry out mapping in the form of flownets in several wells in Bayat District, find out the pattern of groundwater flow in Bayat District and describe the points of the catchment area (recharge area) and discharge area (discharge area) in Bayat District, and determine aspects and indicators of groundwater such as the value of electrical conductivity and acidity levels so that the quality of groundwater in Bayat District can be known. Based on the results of research in the field, the pattern of the groundwater flow system flows from the West and East Jiwo Hills to areas with a lower topography with the lowest DHL value in Bayat District of 0-500 μS / cm and the highest value of > 1500 μS / cm so that it shows that water is classified as good and falls into the category of medium to brackish. The pH of groundwater in Bayat District has a neutral value of 6.13-7.27 so it is suitable for daily needs. Keywords: Acidity level, Bayat, Flow pattern, Electrical Conductivity Abstrak: Kecamatan Bayat merupakan daerah yang relatif datar dan menjadi titik berkumpulnya airtanah (discharge area). Bayat memiliki arah aliran airtanah yang beragam. Hal tersebut membuat Wilayah Bayat sangat menarik untuk dilakukan studi lebih lanjut terkait pola atau arah aliran airtanah, kualitas, serta potensi sumberdaya airtanahnya. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melakukan pemetaan berupa flownet pada beberapa sumur yang terdapat di Kecamatan Bayat, mengetahui pola aliran airtanah di Kecamatan Bayat serta menggambarkan titik-titik daerah tangkapan (recharge area) dan daerah pelepasan (discharge area) di Kecamatan Bayat, serta menentukan aspek serta indikator-indikator airtanah seperti nilai daya hantar listrik dan tingkat keasaman sehingga kualitas airtanah di Kecamatan Bayat dapat diketahui. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, diketahui pola sistem aliran airtanah mengalir dari Perbukitan Jiwo Barat dan Timur menuju daerah dengan topografi yang lebih rendah dengan nilai DHL terendah 0-500 µS/cm dan nilai tertinggi > 1500 µS/cm yang menunjukkan bahwa air tergolong baik dan tersmasuk dalam kategori sedang hingga payau. pH airtanah di Kecamatan Bayat mempunyai nilai netral 6,13-7,27 sehingga cocok untuk kebutuhan sehari-hari. Keywords: Arah Aliran Airtanah, Bayat, Daya Hantar Listrik, Derajat Keasaman 15
Semua air di daratan tersembunyi di bawah permukaan tanah dalam pori-pori tanah dan butiran lainnya yang mencapai lebih dari 98 persen. Hasil persentase itu disebut dengan istilah airtanah yang terdapat pada daerah jenuh di bawah muka airtanah. Dua persen sisanya terlihat sebagai air permukaan yang meliputi air sungai, danau, dan reservoir. Adapun setengah dari dua persen ini tersimpan dalam reservoir buatan. Airtanah adalah komponen dari siklus hidrologi yang melibatkan banyak aspek bio-geo-fisik, bahkan meliputi aspek politik dan sosial budaya dalam menentukan keterdapatan air tanah di suatu daerah. Airtanah berkaitan erat dengan siklus hidrologi. Hal tersebut dikarenakan siklus hidrologi menggambarkan hubungan antara curah hujan, aliran permukaan, infiltrasi, evapotranspirasi, dan airtanah. Sumber airtanah berasal dari air yang terdapat di permukaan tanah kemudian meresap ke dalam akuifer dan mengalir menuju daerah pelepasan. Airtanah adalah semua air yang terdapat pada lapisan akuifer di bawah permukaan tanah, mengisi ruang pori batuan dan berada di bawah muka air tanah. Akuifer merupakan suatu formasi geologi yang jenuh air yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan meloloskan air dalam jumlah besar, disamping itu akuifer terbentuk ketika terbentuknya cekungan air tanah (Rejekiningrum, 2009). Pada dasarnya airtanah termasuk sumber daya alam yang dapat diperbaharui akan tetapi jika dibandingkan dengan waktu umur manusia, air tanah bisa digolongkan kepada sumber daya alam yang tidak terbaharukan. Potensi air tanah di Indonesia relatif cukup besar, yaitu 4,7 x 109 m3/tahun yang tersebar di 224 cekungan air tanah. Penyebaran potensi air tanah tersebut antara lain di Pulau Jawa dan Madura sebesar 1,172 x 109 m3/tahun (24,9%); pulau Sumatera 1,0 x 109 m3/tahun (21,3%); Pulau Sulawesi 358 x 106 m3/tahun (7,6%), Papua sebesar 217 x 106 m3/tahun (4,6%) dan Kalimantan sebesar 830 x 106 m3/tahun (17,7%); sedangkan sisanya sebesar 1.123 x 106 m3/ tahun (23,9%) berada di pulau-pulau lainnya (Direktorat Geologi Tata Lingkungan dalam Kementerian Lingkungan Hidup, 2003). Potensi airtanah yang yang ada di tiap wilayah berbeda-beda dikarenakan pola distribusi dan pergerakan air dalam tanah yang mengikuti topografi wilayah yang bervariasi yang dipengaruhi pula oleh kondisi geologis. Keterdapatan air tanah (groundwater availability) di suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh kondisi geologisnya (Sumarto, 1989). Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan dan Kawasan Pertambangan (2004), aliran airtanah di dalam akuifer memerlukan waktu yang relatif lama bahkan bisa puluhan sampai ribuan tahun tergantung dari jarak dan jenis batuan yang dilaluinya. Air tanah umumnya terakumulasi dalam suatu wadah yang disebut Cekungan Air Tanah (CAT), yang umumnya pola aliran airnya bergerak dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah seperti percobaan hukum Darcy (Freeze and Cerry, 1979). Aliran air dalam tanah (groundwater flow) juga dipengaruhi oleh gaya gravitasi sehingga membuat persebaran potensi airtanah secara kuantitas dan kualitas menjadi berbeda antara daerah yang ketinggiannya bervariasi diukur dari permukaan air laut. Kelayakan karakteristik air tanah juga berbeda kualitasnya di tiap daerah. Hal ini dikarenakan pergerakan air tanah menembus perlapisan-perlapisan permeabel sehingga menyebabkan pelarutan mineral-mineral batuan yang mempengaruhi komposisi kimia air tanah (Saroha, 2015). 16 Pendahuluan
Kecamatan Bayat di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah merupakan daerah dengan kondisi geologi yang beragam. Hal ini disebabkan karena Bayat adalah salah satu daerah di Pulau Jawa yang memiliki singkapan batu pra-Tersier yang terkekarkan (Prasetyadi, 2007). Struktur geologi daerah ini meliputi meliputi sesar dengan orientasi relief Timur Laut – Barat Daya dan Barat Laut-Tenggara yang membagi geometri akuifer menjadi tiga area. Foliasi pada komplek Jiwo Barat pada litologi epidot-glaukofan sekis dan pada Jiwo Timur ada litologi Filit dengan orientasi umum Timur Laut-Barat Daya yang mengontrol arah aliran air mengikuti arah orientasi foliasinya. Hal ini membuat sebaran airtanahnya juga memiliki karakteristik yang berbeda-beda didasarkan pada variasi litologi, porositas batuan, dan Genesis daerah. Daerah tersebut berada pada akuifer bebas dan akuifer tertekan dan memiliki porositas yang cukup untuk menyimpan airtanah (Arhananta dan Anggita, 2019). Meski di beberapa daerah ketersediaan airtanah ini terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik masyarakat, namun kualitas air di tiap daerahnya belum tentu menjamin kelayakan penggunaan misalnya untuk memasak. Hal ini membuat pemanfaatannya pun berbeda di tiap daerah bahkan ada yang tidak dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari sehingga masyarakat harus mencari sumber air lain. Kajian tentang geohidrologi Kecamatan Bayat ini belum banyak dibahas dan belum semua terpetakan. Untuk itu, Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pemetaan berupa flownet pada beberapa sumur yang terdapat di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dan menentukan aspek serta indikator-indikator pada airtanah yang terdapat pada lokasi kajian, seperti nilai daya hantar listrik dan tingkat keasaman airtanah. Kajian ini dilakukan untuk mengetahui pola aliran airtanah serta menggambarkan titik-titik daerah tangkapan (recharge area) dan daerah pelepasan (discharge area). Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui kondisi airtanah yang dilihat dari nilai daya hantar listrik dan tingkat keasaman sehingga kualitas airtanah di lokasi kajian dapat diketahui. Data tersebut dapat dijadikan acuan dalam penentuan penetapan kebijakan untuk pemenuhan kebutuhan air, dan fungsi lain yang dapat digunakan oleh instansi terkait. Penelitian ini dilakukan melalui tahap studi pendahuluan, survei lapangan, dan pembuatan peta yang kemudian dilakukan analisis. Studi pendahuluan yang dilakukan sebelum kegiatan penelitian diantaranya dengan melakukan kegiatan tinjauan pustaka, inventarisasi data dan informasi, mempersiapkan/membuat peta dasar lokasi survei, serta menentukan rencana survei. Hal ini dilakukan untuk memberikan gambaran terkait kondisi di lapangan sehingga dapat mempermudah dalam pengumpulan data primer di lapangan. Survei lapangan yang dilakukan pada penelitian ini mencakup pengukuran, pengamatan, dan observasi lokasi keberadaan sumur di Kecamatan Bayat. Pengumpulan data TMA dilakukan dengan pengukuran di beberapa sumur dengan lokasi yang menyebar mewakili setiap grid di peta acuan. Perhitungan TMA dilakukan dengan mengumpulkan data elevasi, tebal base sumur, kedalaman muka air, dan diameter sumur. Tinggi muka airtanah ini akan mengikuti morfologi dan juga kemiringan lereng wilayah tersebut. Pengambilan data primer juga diperkuat dengan dilakukannya wawancara kepada penduduk terhadap kondisi sumur dan ketersediaan dan penggunaan airtanah oleh masyarakat di wilayah lokasi kajian. Pembuatan peta dilakukan berdasarkan data primer hasil survei lapangan berupa peta arah aliran airtanah, peta isoDHL, dan peta derajat keasaman. Peta arah aliran airtanah dibuat untuk mengetahui pola aliran airtanah (flownets) di lokasi kajian dengan melakukan interpolasi linear TMA dengan metode tiga titik secara manual yang kemudian digitasi. Arah aliran airtanah kemudian ditentukan, dimana aliran airtanah tegak lurus terhadap kontur TMA. Analisis pengolahan data peta lanjutan kemudian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui arah aliran tanah dan persebaran daya hantar listrik di Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Metode Penelitian 17 Gambar 1 Peta Lokasi Kajian, Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah
18 Pola aliran airtanah diketahui dari peta flownet arah aliran airtanah. Arah aliran airtanah bergerak tegak lurus 90° dari kontur muka airtanah yang mengalir dari kontur yang tinggi menuju kontur yang rendah (Saldanela dkk, 2015). Muka airtanah umumnya memiliki korelasi yang positif dengan topografi permukaan (Listyani dkk, 2019). Pola aliran airtanah mengikuti topografi permukaan di wilayah kajian. Berdasarkan Gambar 3, dapat diketahui kontur muka airtanah dan arah aliran airtanah di Kecamatan Bayat memiliki arah aliran airtanah cenderung tidak seragam atau beragam. Pola arah aliran airtanah di Kecamatan Bayat berasal dari daerah tinggian Perbukitan Jiwo Barat dan Jiwo Timur. Aliran airtanah yang berasal dari Perbukitan Jiwo Barat mengalir menuju daerah rendahan seperti Waduk Jombor dan Lembah Sungai Dengkeng. Sedangkan aliran airtanah yang berasal dari Perbukitan Jiwo Timur mengalir menuju Lembah Sungai Dengkeng di sebelah barat dan daerah rendahan di sekitarnya. Selain aliran airtanah berasal dari Perbukitan Jiwo Barat dan Jiwo Timur, aliran airtanah juga berasal Ddari Perbukitan Baturagung yang berada tepat di selatan Kecamatan Bayat. Recharge area umumnya berada pada daerah tinggian dimana terdapat proses pengimbuhan air yang masuk ke dalam akuifer. Sedangkan, discharge area umumnya terdapat pada daerah rendahan yang melibatkan proses keluarnya air dari akuifer. Berdasarkan analisis pola aliran airtanah dapat diketahui bahwa Perbukitan Jiwo Barat, Perbukitan Jiwo Timur, dan Perbukitan Baturagung sebagai recharge area atau daerah tangkapan. Hasil dan Pembahasan Gambar 2 Peta Topografi Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah Gambar 3 Peta Aliran Airtanah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah
Gambar 4 Peta Kelas Nilai Daya Hantar Listrik Airtanah Kecamatan Bayat Tabel 1 Klasfikasi DHL Airtanah menurut Bouwner Sumber: Sejati, S. P. (2017) Selain aliran airtanah, dilakukan pula kajian di lokasi yang sama yakni Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah terkait Daya Hantar Listrik (DHL). DHL merupakan kemampuan suatu benda padat maupun cair dalam hal menghantarkan atau mengkonduksi arus listrik (Sejati, 2017). Nilai DHL dalam benda cair sebanding terhadap banyaknya unsur kimia terutama partikel garam yang terlarut dalam air. Semakin besar nilai daya hantar listrik airtanah maka partikel garam yang terlarut dalam airtanah juga semakin besar. Maka dari nilai DHL digunakan sebagai salah satu parameter penentu kualitas airtanah. Nilai sampel DHL airtanah di Kecamatan Bayat memiliki nilai yang bervariasi, dengan nilai terendah adalah 0-500 µS/cm dan nilai tertinggi > 1500 µS/cm. Berdasarkan tabel klasifikasi airtanah DHL menurut Bouwer maka nilai seluruh sampel tergolong pada klasifikasi Baik dan diizinkan atau termasuk air jenis sedang sampai payau. Klasifikasi ini mempunyai arti bahwa airtanah di Kecamatan Bayat dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti memasak makanan, minum dan mencuci. Adapun di beberapa tempat memiliki DHL yang tinggi yaitu lebih dari 1500µS/cm yang mengindikasikan bahwa ada terdapat kandungan garam meskipun dalam jumlah relatif sedikit. Menurut Santosa (2001) airtanah di Bayat mempunyai karakteristik yang bervariasi karena secara genesis daerah ini dulunya merupakan bekas laut purba dengan lingkungan pengendapan lithoral yang banyak meninggalkan sisa zzzzz Persebaran lokasi sampel DHL daerah penelitian dapat pada Gambar 4 Peta Kelas Nilai Daya Hantar Listrik Airtanah Kecamatan Bayat. Lokasi sampel ditentukan secara acak dalam area kelas kedalaman muka airtanah serta memperhatikan topografi dan keberadaan sumur air tanah yang ada.Seluruh nilai DHL airtanah kemudian dibandingkan dengan nilai klasifikasi airtanah menurut Bouwer.Tabel klasifikasi DHL airtanah menurut bouwer dapat dilihat pada Tabel 1 di samping. 19
aktivitas laut salah satunya endapan gamping, pengendapan kristal garam terjebak dalam endapan sedimen Merapi Muda dan terlarut dalam air tanah serta variasi lithologi yang menyebabkan terbentuknya lensa lensa air tanah payau yang mempunyai DHL yang cukup tinggi. Kondisi airtanah daerah penelitian di setiap kelas kedalaman memiliki kondisi yang sedang sampai payau. Selain uji DHL dilakukan juga pengecekan setiap sampel airtanah berdasarkan warna, bau, dan rasa. Secara teoritis, airtanah yang layak digunakan untuk konsumsi adalah air yang memiliki kondisi tidak berasa, tidak berbau, dan tidak berwarna. Setelah dilakukan pengecekan melalui penglihatan mata, penciuman bau serta rasa, seluruh sampel airtanah daerah penelitian tidak menunjukkan adanya bau, rasa dan warna yang keruh. Parameter penting dalam mengetahui kualitas air adalah pH. pH merupakan ukuran keseimbangan tingkat keasaman sebuah larutan. Pada daearah penelitian tingkat keasaman dapat dilihat melalui Peta Derajat Keasaman Airtanah Kecamatan Bayat. Berdasarkan gambar 4, terlihat bahwa tingkat keasaman daerah penelitian memiliki nilai antara 6,13 sampai dengan 7,27. Hal ini menunjukkan bahwa keasaman air tanah menunjukkan netral. Adanya pH ini dapat menjadi pertimbangan bahwa kualitas air di daerah Bayat layak digunakan karena memiliki pH yang cenderung netral atau tidak memiliki rasa. Maka dari itu, dengan tidak adanya rasa inilah menjadi indikasi bahwa air tanah di Bayat layak untuk digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. 20 Gambar 5 Peta Derajat Keasaman Airtanah Kecamatan Bayat
Pola sistem aliran airtanah Kecamatan Bayat mengalir dari daerah dengan topografi lebih tinggi, yakni Perbukitan Jiwo Barat dan Timur yang merupakan daerah imbuhan menuju daerah dengan topografi yang lebih rendah. Waduk Rowo Jombor dan Sungai Dengkeng menjadi daerah lepasan dengan potensi airtanah yang tinggi. Lokasi kajian memiliki nilai DHL terendah adalah 0-500 µS/cm dan nilai tertinggi > 1500 µS/cm yang menunjukkan bahwa air tergolong baik dan masuk ke dalam kategori sedang hingga payau. Kondisi pH airtanah di lokasi kajian menunjukkan nilai yang netral antara 6,13-7,27 sehingga air cocok dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Direktorat Geologi Tata Lingkungan dan Kawasan Pertambangan. 2004. www. dgtl.esdm.go.id/modules.php?op=modlo ad&name=Sections&file=index&req=vi ewarticle&artid. Freeze, R.A. dan Cherry, J.A., 1979. Groundwater. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey 07632. Kementerian Lingkungan Hidup. 2003. Laporan Status Lingkungan Hidup Tahun 2002. Jakarta. Listyani RA., Sulaksana, N. B. Y., dan Sudradjat, A. 2019. Topographic control on groundwater flow in central of hard water area, West Progo Hills, Indonesia. Geomate Journal, 17(60), 83-89. Rejekiningrum, P. 2009. Peluang pemanfaatan Air Tanah untuk Keberlanjutan Sumber Daya Air. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 3 No. 2, 86. Saldanela, S. Sutikno, dan A. Hendri. 2015. Pemetaan Pola Aliran Air Tanah Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kawasan Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru. Jurnal Online Fakultas Teknik Universitas Riau Volume 2, Nomor (1): 1-6. Santosa, L. W. 2001. HIDROSTRATIGRAFI DAN HIDROKIMIA AIRTANAH DI SEKITAR ROWO JOMBOR KECAMATAN BAYAT-KLATEN. Majalah Geografi Indonesia, 15(2), 165-184. Saroha Simaremare. 2015. Analisis Aliran Air Tanah Satu Dimensi. Jurusan Teknik Sipil Fakulltas Teknik Universitas Sriwijaya. Sejati, S. P. 2017. Karakteristik sumber daya airtanah dangkal di kecamatan cangkringan kabupaten sleman provinsi daerah istimewa yogyakarta. Media Komunikasi Geografi, 18(2), 166-177. Soemarto, CD, Ir, B.I.A Dipl H. 1989. Hidrologi Teknik. Malang: PPMT. Kesimpulan Daftar Pustaka 21
22
Zahwa Uswatul Hikmah1, Ryan Andri Wijaya1, Rasyiida Acintya1, Aisyah Azka Nurul Fitriyah1, Eunika Arum Karin Thea1, Risqi Amelia Nugraini1, Fariz Dwi Augusta Dwi Harwinanto1, Gammanda Adhny El Zamzamy Latief1, Fidiatun Nofus1, Muhammad Alsamtu T. S.Pratama1, Muhammad Anggri Setiawan2, 1) Mahasiswa Program Studi Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada 2) Dosen Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Abstract: Erosion events driven by eroding agents can threaten the management of an area because it can erode soil material so that the thickness of the soil layer, especially the organic layer, is reduced. This study aims to determine the factor data and typology of erosion around the Bukit Cinta Watu Prahu, Bayat tourist attraction so that it can help the manager as a form of hazard education around the tourist attraction. The initial determination is carried out by analyzing data such as DEM, geological maps, soil type maps, and google earth images. The geomorphological mapping survey method is pragmatic with a large scale, so that the information is more detailed. Data analysis used qualitative descriptions according to primary data obtained from the field previously selected based on simple random sampling. The results showed that the findings of splash erosion and riil erosion were controlled by the dominance of the morphology of steep hills and lithosol soil with metamorphic bedrock containing erosion-sensitive schist-mica which could be driven by high rainfall. Another controlling factor is the type of dry vegetation and dense mixed gardens as well as human activities with the use of semi-permanent buildings around the study site. Keywords: Bayat, erosion, watu prahu. INVENTARISASI DATA TIPOLOGI EROSI DI SEKITAR OBJEK WISATA BUKIT CINTA WATU PRAHU, BAYAT, KLATEN 23
Erosi merupakan proses pelepasan, penghapusan, dan pemindahan material-material batuan yang terfragmentasi oleh agen erosi (Hess & McKnight, 2013). Terdapat beberapa agen atau media yang dapat menyebabkan erosi, antara lain air permukaan, air tanah, ombak, arus, pasang surut, angin, glasial, dan gravitasi. Erosi dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu erosi geologi yang disebabkan oleh proses alami, seperti air, angin, dan sebagainya serta erosi dipercepat yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang mengubah tutupan lahan serta kondisi tanah (Schwab et al., 1981). Sementara itu, erosi yang disebabkan oleh air dapat dibagi lagi menjadi 5 tipe, yaitu erosi percik (splash erosion), erosi lembar (sheet erosion), erosi alur (rill erosion), erosi gully (gully erosion), dan erosi parit (channel erosion). Material batuan yang terkikis akibat proses erosi dapat menyebabkan berkurangnya lapisan tanah khususnya lapisan organik pada tanah. Selain itu, erosi yang terjadi secara terus menerus sangat berpotensi untuk menimbulkan terjadinya bencana longsor. Menurut Osok et al., (2018) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat erosi, yaitu curah hujan, karakteristik tanah, topografi, vegetasi, dan aktivitas manusia (tindakan konservasi tanah dan air). Fenomena erosi yang intensif sering dijumpai di daerah dengan topografi miring, seperti perbukitan maupun pegunungan. Semakin curam kemiringan lereng, maka jumlah dan kecepatan aliran permukaan akan meningkat sehingga terjadi peningkatan energi kinetik serta kemampuan agen erosi untuk mengangkut butir-butir tanah (Morgan, 1996 dalam Tarigan & Mardiatno, 2012). Seiring dengan alih fungsi lahan yang tidak disertai dengan analisis kebencanaan yang baik di daerah perbukitan, seringkali menimbulkan dampak berupa penurunan kualitas lingkungan serta ancaman bencana longsor. Objek Wisata Bukit Cinta Watu Prahu merupakan salah satu objek wisata perbukitan yang terletak di Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Desa Gunung Gajah merupakan salah satu dari 18 desa di wilayah Kecamatan Bayat dengan luas wilayah merupakan salah satu dari 18 desa di wilayah Kecamatan Bayat dengan luas wilayah 296.8585 hektar. Desa Gunung Gajah berbatasan dengan Desa Tawangrejo di Utara, Desa Dukuh di Selatan, Desa Kebon di Barat, dan Desa Tegalrejo di Timur. Perbukitan Bayat secara geografis merupakan suatu inlier dari batuan Pra Tersier dan Tersier di sekitar endapan Kuarter, yang utamanya terdiri dari endapan fluvio-vulkanik dari Merapi (Hartadi & Alfiani, 2017). Objek wisata Bukit Cinta Watu Prahu sendiri termasuk ke dalam batuan dasar metamorf yang berasosiasi dengan Formasi Gamping-Wungkal. Formasi WungkalGamping merupakan batuan sedimen tertua penyusun zona Pegunungan Selatan bagian barat yang tersingkap di daerah Bayat (Bothe, 1929 dalam Setiawati et al., 2013). Letak objek Wisata Bukit Cinta Watu Prahu yang merupakan wilayah perbukitan sangat berpotensi mengalami proses erosi. Hal tersebut disebabkan bervariasinya jenis penutup lahan di wilayah Bukit Cinta Watu Prahu sebagai akibat dari proses pembangunan objek wisata. Proses pembangunan ini dapat mempengaruhi aliran permukaan dari air hujan yang merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya erosi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan data tipologi erosi di sekitar objek wisata Bukit Cinta Watu Prahu sehingga dapat membantu pihak pengelola objek wisata tersebut dalam meningkatkan kualitas penanganan bencana, terutamanya bencana yang disebabkan oleh erosi. Pendahuluan 24
Metode Jenis data yang digunakan dalam kegiatan penelitian berupa data primer yang diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan. Sebelum kegiatan lapangan dilaksanakan, dilakukan tinjauan awal terkait daerah kajian dengan menganalisis data DEM, citra Google Earth, peta geologi Lembar Surakarta dan Giritontro skala 1:100.000, serta peta RBI Lembar Klaten skala 1:25.000. Analisis awal dilakukan untuk mengetahui karakteristik morfologi, geologi, dan penggunaan lahan di sekitar wilayah kajian. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung di lapangan berdasarkan simple random sampling melalui identifikasi karakteristik tanah, temuan titik longsor, jenis vegetasi, topografi, kegiatan manusia, serta pengukuran kemiringan jalur pendakian lereng. Metode survei pemetaan geomorfologi bersifat pragmatik. Skala survei termasuk ke dalam skala besar dengan memuat informasi bersifat detail seperti kemiringan, jenis morfologi, dimensi, proses aktivitas geomorfologi dan agen geomorfologi. Analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif berdasarkan interpretasi hasil penelitian berupa informasi temuan titik erosi, karakteristik topografi, jenis tanah, vegetasi, dan aktivitas manusia yang berkaitan dengan penggunaan lahan. Analisis tersebut digunakan untuk mengetahui tipologi erosi di sekitar objek wisata Bukit Cinta Watu Prahu, Bayat, Klaten. Gambar 1. Diagram Alir Langkah Kerja Hasil dan Pembahasan z| {ipologi Terdapat tiga titik erosi yang diamati di sekitar objek wisata Bukit Cinta Watu Prahu. Titik erosi pertama dijumpai pada bagian puncak bukit, memiliki tipe erosi percik yang belum mengalami perkembangan lebih lanjut. Tipologi ini merupakan tipe erosi yang paling muda, mengindikasikan topografi tanah yang miring sehingga gaya gravitasi memicu terlepasnya partikel-partikel tanah dari masa tanah ketika terjadi hujan. Tipe erosi percik berkorelasi dengan penggunaan lahan berupa tegalan yang rentan terhadap terjadinya erosi percik. Hal ini disebabkan oleh adanya proses penggemburan tanah untuk kepentingan pertanian (Ilham, dkk., 2018). 25
Sementara itu, titik kedua dan ketiga masing-masing dijumpai pada lereng barat dan lereng timur. Keduanya memiliki tipe yang sama yaitu tipe erosi alur. Tipologi ini merupakan lanjutan dari erosi aliran permukaan yang diawali oleh keberadaan erosi percik. Erosi alur mengindikasikan terjadinya aliran yang cukup keras secara mendadak atau aliran air mengalami hambatan di bagian kaki gunung (Nursa’ban, 2006). Tabel 1. Sebaran titik erosi dan tipe perkembangan erosi Gambar 2. Peta lokasi kajian kawasan wisata bukit cinta Watu Prahu, Bayat, Klaten 2. Topografi Topografi sekitar area objek wisata termasuk ke dalam jenis berbukit. Berdasarkan profil lereng jalur pendakian Bukit Cinta (Gambar 3.), ketinggian rata-rata dari jalur pendakian ialah 191,71 mdpl dengan titik tertinggi 215,1 mdpl (puncak) dan titik terendah 162 mdpl (area parkir pintu masuk). Jarak jalur pendakian dari area pintu masuk hingga puncak adalah sejauh 379,9 meter dengan rata-rata beda tinggi 53,1 meter dan rata-rata kemiringan lereng 6,37°. Ditinjau dari segi morfokronologi, lokasi kajian tersusun atas batuan metamorf berumur pra tersier sekis mika yang menunjukkan struktur foliasi sekis dengan dicirikan oleh kenampakan belahan bergelombang pada batuan akibat tekanan dan panas cukup tinggi sehingga mineral lempung berubah menjadi mika. Tabel 2. Kemiringan Jalur Pendakian Lereng Objek Wisata Bukit Cinta Watu Prahu 26
Terdapat empat zona yang diamati kondisi geomorfologinya pada lokasi kajian, meliputi lereng utara yang memiliki morfologi lereng curam dan puncak berbukit; lereng barat dengan morfologi lereng curam dan berteras; lereng Timur dengan morfologi lereng curam (lebih landai dibandingkan lereng Barat) dan berteras; serta area parkir pintu masuk yang memiliki morfologi agak landai. Morfologi yang demikian dapat mengakibatkan gerakan massa tanah dengan kecepatan rendah pada lokasi kajian dan sangat rawan terhadap erosi. Tabel 3. Aspek Geomorfologi Wilayah Kajian Gambar 3. Profil lereng jalur pendakian Bukit Cinta Watu Prahu Secara garis besar, topografi sekitar area objek wisata berkorelasi dengan kondisi geologi regional lokasi kajian yang termasuk Zona Pegunungan Selatan Jawa Tengah dan merupakan daerah dengan struktur lipatan yang terdiri dari struktur lipatan pada batuan Eosen dan pada batuan yang lebih muda. Ditinjau dari aspek morfokronologi, Perbukitan Jiwo tersusun atas batuan Pra-Tersier dan xxTersier yang berada di sekitar endapan Kuarter, yang didominasi oleh endapan fluvio-vulkanik Merapi. Elevasi tertinggi dari puncak-puncak yang ada tidak lebih dari 400 meter di atas permukaan laut, sehingga perbukitan tersebut dapat disebut sebagai perbukitan rendah (Adha, dkk., 2018). 3. Vegetasi Vegetasi sekitar objek wisata termasuk ke dalam jenis hutan campuran dan tegalan. Mengacu pada Tabel 2, jenis vegetasi yang teridentifikasi meliputi jati, mahoni, mete, dan semak belukar dengan tingkat kerapatan bervariasi yakni agak jarang pada area parkir pintu masuk dan puncak, agak rapat pada lereng timur, dan sangat rapat pada lereng barat. Vegetasi lain di sepanjang jalur pendakian berupa tanaman hias dan tegalan yang keberadaannya merupakan hasil campur tangan manusia. Sementara itu, tingkat kerapatan vegetasi di sepanjang jalur pendakian tergolong agak rapat. 27
Tutupan vegetasi berperan penting dalam menjaga stabilitas lereng di daerah curam, semakin baik dan kuatnya sistem perakaran suatu vegetasi maka risiko terjadinya longsor semakin rendah (Paudit, 2005 dalam Bednarik, 2012). Erosi lebih jarang ditemui di daerah yang memiliki kondisi vegetasi baik dibandingkan dengan daerah yang kondisi vegetasinya buruk (Wang, 2009). Keberadaan vegetasi yang tergolong rapat pada bagian lereng dan sepanjang jalur pendakian berpengaruh positif dalam meminimalisasi kejadian erosi di sekitar kawasan objek wisata. Sampel tanah yang diambil berasal dari ketiga titik pengambilan sampel yang berada di bagian puncak lereng utara, lereng timur, dan lereng barat. Hasil identifikasi morfologi singkapan tanah pada puncak lereng utara menunjukkan adanya dua horizon dengan batas horizon yang baur. Sampel tanah pada horizon A1 menunjukkan karakteristik fisik yang bertekstur sandy loam, memiliki struktur spheroidal granular dengan derajat lemah, konsistensi basah bersifat agak lekat dan konsistensi lembab bersifat gembur, serta didapati adanya serpihan kuarsit dalam jumlah sedang pada horizonnya. Sifat kimia yang terlihat pada sampel tanah tersebut ialah memiliki pH aktual sebesar 5 dan pH potensial sebesar 4, kadar bahan organik yang banyak, dan tidak didapati adanya kadar CO3, FeMn, dan drainase. Pengamatan morfologi singkapan tanah di lereng barat menunjukkan adanya dua horizon dengan batas agak jelas. Tekstur sampel tanah dari singkapan tersebut berupa sandy clay loam hingga clay loam dengan fragmen batuan serpih (kerikil). Sementara itu, struktur tanahnya berupa spheroidal crumb dengan derajat lemah. Pada konsistensi basah, sampel tanah cenderung agak lekat dan plastis, sedangkan pada konsistensi lembab, tanah cukup gembur. Perakaran halus masih dijumpai pada sampel tanah meskipun sedikit. Adapun untuk pengukuran pH aktual dan potensial sampel tanah, hasilnya menunjukkan bahwa tanah bersifat asam. Pada bagian atas singkapan tanah masih dijumpai bahan organik yang berasal dari pelapukan tumbuhan di atasnya. Keberadaan singkapan tanah tersebut masih berasosiasi dengan temuan titik longsor dekat rumah warga. Pengamatan morfologi singkapan tanah di lereng timur menunjukkan adanya satu horizon dengan batas baur. Tekstur sampel tanah pada XX 4. Tanah singkapan tersebut berupa sandy clay dengan fragmen batuan (kerikil). Sementara itu, struktur tanahnya berupa spheroidal granular dengan derajat lemah. Pada konsistensi basah, sampel tanah cenderung plastis, sedangkan pada konsistensi lembab, sampel tanah cenderung teguh. Perakaran halus masih dijumpai meskipun sedikit. Adapun untuk pengukuran pH aktual dan potensial, hasilnya menunjukkan sampel tanah bersifat asam. Pada bagian atas singkapan tanah masih dijumpai bahan organik dan sedikit kandungan Fe atau Mn. Informasi karakteristik tanah tersebut mengindikasikan bahwa jenis tanah yang terdapat di sekitar objek wisata watu prahu adalah tanah litosol. Tanah litosol berasosiasi dengan pelapukan batuan yang belum sempurna. Hal ini sejalan dengan temuan di lapangan berupa fragmen dan singkapan batuan yang di atasnya masih dijumpai lapisan tanah tipis seperti di lereng utara. Tanah litosol termasuk tanah mineral yang belum mengalami perkembangan dengan ciri utama berupa tanah tipis menumpang langsung di atas batuan induk dan berasosiasi dengan singkapan batuan dasar (Sartohadi, et. al, 2014). Tanah jenis ini sangat miskin unsur hara. 28
Gambar 4. Temuan Pedestal Kesimpulan Tanah litosol terbentuk pada daerah dengan curah hujan dan kelembaban tinggi. Hal ini sejalan dengan temuan struktur pedestal tanah di sekitar objek wisata Bukit Cinta Watu Prahu (gambar 4). Pedestal umumnya terjadi di sekitar pangkal pohon atau batu akibat percikan butir hujan ataupun terangkut oleh permukaan aliran. Pedestal merupakan salah satu indikator terhadap kerusakan tanah akibat erosi (Talakua, 2009 dalam Sofyan, et. al , 2012). Aktivitas manusia yang dominan didapati di lokasi kajian berkaitan dengan penggunaan lahan di bagian atas lereng adalah aktivitas pariwisata beserta pendirian bangunan semi permanen untuk warung. Aktivitas lain yang teramati selama kegiatan observasi berupa perubahan penggunaan lahan ditunjukkan dengan tipe vegetasi hutan campuran di sekitar lereng. Hal itu kurang sesuai dengan pengamatan pralapangan melalui peta RBI yang memetakan area lereng sebelah Timur sebagai tegalan. Aktivitas manusia dan penggunaan lahan yang tidak terlalu masif menunjukkan bahwa tekanan penduduk terhadap lahan yang dapat mendorong kejadian erosi tingkat lanjut tidak terlalu besar. Erosi secara umum dapat mengakibatkan tingkat kesuburan tanah semakin menurun dan terjadinya pendangkalan akibat proses sedimentasi (Wudianto, 1989). Erosi yang terjadi di sekitar objek wisata Bukit Cinta Watu Prahu tidak berdampak secara langsung kepada warga, tetapi berdampak pada kondisi tanah di sekitar objek wisata. Keberadaan erosi percik dapat mengakibatkan terjadi peningkatan kekasaran permukaan tanah sehingga membentuk semacam kerak tanah. Kerak tanah tersebut dapat menghambat pertumbuhan tanaman karena terhambatnya pertumbuhan bibit serta menurunnya laju infiltrasi (Sharma et al., 1991 dalam FernandezRaga, 2017). Sementara itu, keberadaan erosi alur mengakibatkan hilangnya tanah dan mengendapnya butiran tanah serta batuan sehingga terjadi pendangkalan pada saluran air atau parit (Kuvaini, 2013). Apabila tidak dilakukan upaya konservasi lereng untuk mengatasi erosi percik dan erosi alur yang terbentuk di kawasan objek wisata ini, dikhawatirkan kedua tipe erosi tersebut akan xxx 5. Aktivitas manusia dan penggunaan lahan 6. Dampak berkembang menjadi tipe erosi berikutnya dengan permasalahan yang lebih kompleks. Erosi percik dapat berkembang menjadi erosi lembaran, kemudian erosi alur, bahkan hingga erosi parit. Apabila hal tersebut terjadi maka kualitas tanah di sekitar objek wisata Bukit Cinta Watu Prahu semakin menurun, diikuti dengan penurunan fungsi lahan yang dapat berdampak langsung terhadap warga sekitar. Tipologi kejadian erosi di sekitar objek wisata bukit cinta Watu Prahu termasuk ke dalam jenis erosi alur di bagian lereng dan erosi percik pada bagian puncak. Kontrol keberadaan titik erosi dipengaruhi faktor morfologi lereng yang curam serta jenis tanah litosol. Kejadian erosi intensif dapat didorong oleh curah hujan yang tinggi. Meskipun demikian, faktor tutupan vegetasi yang cukup rapat serta aktivitas manusia terkait penggunaan lahan yang tidak terlalu masif dapat memperkecil besar laju erosi. Hal ini dapat menjadi pertimbangan aspek keselamatan dan kebencanaan dalam rangka pengelolaan dan penelitian lanjutan di wilayah kajian Objek Wisata Watu Prahu, Bayat, Klaten. 29
Daftar Pustaka Adha, I., Kurniasih, A., Nugroho, H., & Rachwibowo, P. (2018). Kajian Analisis Sesar di Perbukitan Jiwo Barat, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Jurnal Geosains dan Teknologi, 1(1), 8-18. Bednarik, M., Yilmaz, I., & Marschalko, M. (2012). Landslide hazard and risk assessment: a case study from the Hlohovec–Sered’ landslide area in south-west Slovakia. Natural Hazards, 64(1), 547–575. Fernández-Raga, M., Palencia, C., Keesstra, S., Jordán, A., Fraile, R., Angulo-Martínez, M., & Cerdà, A. (2017). Splash erosion: A review with unanswered questions. Earth-Science Reviews, 171, 463-477. Hartadi, J., & Alfiani, O. D. (2017). Metode Penentuan Posisi Terestrial untuk Pemetaan Geologi di Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Jurnal Ilmiah Geologi Pangea, 4(2), 111-116. Ilham, A. M., Haji, C., Permatasari, D., Illahi, K., Agestira, M., Arifin, M., Fadillah, R., Mutiara, S., Novriawati, S. A., Sufitri, Y., Purwaningsih, E., Prarikeslan, W. (2018). Pengukuran Erosi Aktual pada Penggunaan Lahan Tegalan dan Kebun Campuran Studi Kasus: DAS Bompon, Kecamatan Kajoran, Jawa Tengah. Jurnal Geografi, 7(2), 143-156. Kuvaini, A. (2013). Identifikasi dan Pengukuran Potensi Erosi Alur serta Dampaknya di Areal Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Citra Widya Edukasi, 5(2), 1-11. McKnight, T. L., & Hess, D. (2013). Physical geography—A landscape appreciation. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall. Nursa’ban, M. (2006). Pengendalian erosi tanah sebagai upaya melestarikan kemampuan fungsi lingkungan. Jurnal Geomedia, 4(2), 93-116. Osok, R. M., Talakua, S. M., & Gaspersz, E. J. (2018). Analisis Faktor-Faktor Erosi Tanah, Dan Tingkat Bahaya Erosi Dengan Metode Rusle Di DAS Wai Batu Merah Kota Ambon Provinsi Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian, 14(2), 89-96. Sartohadi, J., Suratman, Jamulya, & Dwi, N. S. I. (2014). Pengantar Geografi Tanah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Schwab, G. O., Frevert, R. K., Edminster, T. W., & Barnes, K. K., (1981). Soil and Water Conservation Engineering. John Wiley Inc., New York. Setiawati, Y. D., Novian, M. I., & Barianto, D. H. (2013). Studi Fasies Formasi Wungkal-Gamping Jalur Gunung Gajah, Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6, 71 - 81. Sofyan, D., Karepesina, S., & Cahyono, T. D. (2012). Tingkat Erosi Sub Daerah Aliran Sungai WaeSari II; Indikator Terjadinya Erosi. Jurnal Argohut, 3 (1), 13-30. Tarigan, D. R., & Mardiatno, D. (2012). Pengaruh Erosivitas dan Topografi Terhadap Kehilangan Tanah pada Erosi Alur Daerah Aliran Sungai Secang Desa Hargotirto Kecamatan Kokap Kebupaten KulonProgo. Jurnal Bumi Indonesia, 1(3), 411-420. Wang, J., & Peng, X. G. (2009).GIS-based landslide hazard zonation model and its application. Procedia Earth and Planetary Science, 1(1), 1198–1204. Wudianto, R. (1989). Mencegah Erosi. Jakarta: Penebar Swadaya. Saran £§ Dilakukan penelitian lanjutan secara ideal dengan uji laboratorium terkait dengan parameter fisik dan kimia tanah lokasi kajian supaya hasil yang diperoleh lebih akurat. § Pengelolaan situs objek wisata perlu menggunakan material bahan bangunan semi permanen yang tepat supaya dapat meminimalisir laju erosi di sekitar lokasi kajian. § Penambahan spot informasi bahaya erosi dapat diberikan di sekitar lokasi kajian. 30
Kecamatan Bayat berada di struktur patahan di bagian selatan dan dataran aluvial yang berada di sekitar Sungai Dengkeng. Sungai Dengkeng merupakan utama yang mengalir di Kecamatan Bayat. Keberadaan Sungai Dengkeng dapat membawa dampak bencana banjir. Penyempitan dan pendangkalan sungai menjadi penyebab utama terjadinya banjir saat musim hujan tiba sehingga diperlukan adanya klasifikasi kerawanan banjir di Kecamatan Bayat. Penelitian ini bertujuan memetakan daerah kerawanan banjir dengan mempertimbangkan faktor-faktor banjir, yaitu kemiringan lereng, buffer sungai, curah hujan, dan penggunaan laan. Metode yang digunakan adalah pembobotan Analytycal Hierarchy Process (AHP) dan Spatial Multi-Criteria Evaluation (SMCE) yang telah sesuai dengan acuan dalam membuat peta kerawanan yaitu Perka BNPB Nomor 2 Tahun 2012. Hasil yang didapatkan didapatkan dari pembobotan AHP yaitu skor pada setiap faktor- faktor tingkat kerawanan banjir. Hasil tersebut digabungkan melalui metode SMCE untuk mendapatkan peta kerawanan banjir sesuai dengan keadaan fisik di lokasi kajian. Peta Kerawanan diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu rendah, sedang, dan tinggi sehingga dapat dilakukan analisis tingkat kerawanan banjir di Kecamatan Bayat. Berdasarkan peta kerawanan tersebut, sebagian wilayah di Kecamatan Bayat tergolong pada tingkat kerawanan sedang dan tinggi yaitu di wilayah utara, timur, dan selatan Kecamatan Bayat dengan didominasi daerah yang berdekatan dengan sungai. Sementara itu, wilayah dengan tingkat kerawanan yang rendah didominasi Kecamatan Bayat terletak di Kabupaten Klaten bagian selatan dan berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul di selatan. Kecamatan Bayat memiliki tanah berjenis litosol atau tanah muda yang bersifat mudah meloloskan air dan grumusol yang ketika basah menjadi lekat serta pecah-pecah ketika kering. Kedua jenis tanah ini berkembang pada daerah dengan relief berbukit dan didominasi oleh bentanglahan struktural berupa patahan terutama di Bayat selatan. Patahan ini berasosiasi dengan Pegunungan Baturagung berumur Miosen Awal – Tengah [1]. Di sebelah barat hingga timur Kecamatan Bayat terbentang Perbukitan Jiwo yang merupakan perbukitan rendah dengan ketinggian tidak lebih dari 400 mdpl. yang terdiri dari endapan fluvio-vulkanik dari Merapi. Perbukitan Jiwo terbagi menjadi Jiwo Barat dan Jiwo Timur yang dipisahkan oleh Sungai Dengkeng. Dataran di sekitar Sungai Dengkeng berupa dataran aluvial- rawa yang terdiri dari endapan bahan lepas seperti pasir dan kerikil. Keberadaan Sungai Dengkeng tentunya membawa dampak yang besar bagi lingkungan dan masyarak- oleh wilayah dengan derajat kemiringan lereng yang tinggi sehingga terhindar dari banjir. Kata kunci: Analytical Hieararchy Process, Banjir, Bayat, Kerawanan, Spatial Multi- Criteria Evaluation ANALISIS KERAWANAN BANJIR KECAM ATAN BAYAT MENGGUNAK AN METODE ANALY TICAL HIERARCHY PROCESS DAN SPATIAL MULTI-CRITERIA EVALUATION Abstrak Pendahuluan Oleh: Naashiruddin Fikri Qushoyyi1, Dyne Alifia Salsabila1, Theresia Puan Bertiana Wardoyo1, Latifa Fahmi Anggraini1, Srani Riska Viantami1, Adhelia Wida Alfaretha1, Aflah Bening Kuncoro, Galang Riswanda Nuswantara1, Nanda Fuji Lestari1, Yoga Nur Andhika1, Zulfa Yogi Rahmawati1, Andung Bayu Sekaranom2 1) Mahasiswa Program Studi Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada 2) Dosen Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada 31
at di sekitar sungai. Dampak tersebut dapat berupa bencana. Salah satunya adalah peristiwa banjir yang sering terjadi di DAS Dengkeng. Penyebab utama terjadinya banjir di DAS tersebut adalah tingkat keparahan keparahan sedimentasi dan kerusakan tepi sungai tersebut. Akibatnya, saat musim hujan tiba, Sungai Dengkeng tidak mampu menampung kapasitas debit air sehingga aliran air seringkali meluap[2]. Penyempitan dan pendangkalan sungai utamanya disebabkan oleh bertambahnya kebutuhan lahan bagi manusia sehingga wilayah sekitar sungai yang seharusnya menjadi zona penyangga beralih fungsi sebagai lahan hunian dan penggunaan lahan yang lain [3]. Selain itu, DAS cenderung berkontur datar dengan lahan yang tidak sesuai penggunaannya dan memiliki jenis tanah litosol dengan nilai infiltrasi yang cukup rendah sehingga penyerapan air tergolong lambat [4]. Hal tersebut sekaligus menjadi pemicu tingginya kerawanan banjir pada DAS Dengkeng. Permukiman yang dekat dengan daerah aliran sungai memiliki kemungkinan terpapar luapan air sungai yang lebih tinggi daripada daerah lain. Adapun tujuan lain dari penelitian ini yakni menentukan klasifikasi faktor kerawanan bencana banjir di Kecamatan Bayat. Lebih detail, tujuan penelitian ini menentukan faktor utama terjadinya banjir di Kecamatan Bayat. Analisis yang digunakan untuk mengetahui tingkat kerawanan mengacu peraturan BNPB yaitu Perka Nomor 2 Tahun 2012. Hasil yang didapatkan berupa Peta Kerawanan Banjir. Hasil tersebut dapat digunakan untuk mengetahui persebaran lokasi bencana banjir di beberapa desa di Kecamatan Bayat. Penelitian ini bermanfaat untuk penelitian selanjutnya sebagai acuan terkait kerawanan banjir dan dampaknya di wilayah Kecamatan Bayat. pada perangkat lunak ILWIS. Klasifikasi seluruh parameter ditunjukkan pada tabel 1. Sementara itu, skema penelitian dapat dilihat pada gambar 1. Analytycal Hierarchy Process adalah metode yang digunakan untuk melakukan pembobotan yang bersifat rinci, sistematis, dan matematis untuk memecahkan masalah yang kompleks dengan membuat susunan hierarki pembobotan mulai dari sub-parameter secara terstruktur [7]. Teknik pembobotan berjenjang tertimbang (AHP) dilakukan dengan mengolah data dan melakukan klasifikasi kriteria atau faktor tertentu ke dalam susunan hierarki. Teknik AHP cocok digunakan dalam penelitian ini karena melakukan penyusunan prioritas dalam pemilihan suatu keputusan yang disajikan dalam bentuk skor. Peta kerawanan banjir kemudian diperoleh dengan menggunakan metode SMCE (spasial multi criteria evaluation) dari hasil pembobotan melalui metode AHP. Metode Spatial Multi-Criteria Evaluation (SMCE) merupakan metode yang menimbang berbagai parameter secara logis untuk diterapkan untuk membuat keputusan terkait geografis melalui sistem informasi geografis [8]. Analisis tersebut dilakukan dengan metode AHP menggunakan pembobotan pairwise comparison. Pairwase comparison merupakan analisis untuk melakukan identifikasi faktor-faktor tinjauan dengan mempertimbangkan faktor tertentu yang memiliki pengaruh signifikan [9]. Data yang diperlukan dalam analisis kerawanan banjir adalah kemiringan lereng, penggunaan lahan, buffer sungai, dan curah hujan. Penentuan tingkatan hierarki dilakukan menggunakan metode AHP. Metode SMCE digunakan untuk menentukan indeks kerawanan banjir. Penelitian ini menggunakan analisis data sekunder. Data sekunder hasil analisis yang diolah secaraspasial menggunakan perangkat lunak ArcGIS sehingga dihasilkan output berupa peta kerawanan bencana banjir Kecamatan Bayat. Data sekunder yang digunakan ini berupa data kualitatif yang diambil dari parameter kerawanan, yaitu penggunaan lahan dan buffer sungai yang diambil melalui peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), data kemiringan lereng diambil dari peta Digital Elevation Model Nasional (DEMNAS), peta curah hujan didapatkan dari data pos hujan paling dekat dengan Kecamatan Bayat. Teknik pengolahan data yang dilakukan pada penelitian ini melalui teknik pembobotan Analitycal Hierarchy Process (AHP) Metode Tabel 1. Klasifikasi Faktor Kerawanan Sumber: (Costache & Prăvălie, 2012) [6] 32
Gambar 1. Skema Alur Penelitian Gambar 2. Peta Buffer Sungai Kecamatan Bayat Hasil dan Pembahasan Hasil yang didapatkan akan ditampilkan dalam dua bagian. Bagian pertama merupakan hasil pembobotan AHP dari seluruh pamater dengan rincian klasifikasinya. Seluruh hasil pembobotan ditampilkan dalam tabel dan peta. Namun, Data curah hujan hanya memberikan dua wilayah hujan di Kecamatan Bayat sehingga hasil hanya ditampilkan dalam bentuk peta agar lebih mudah dalam membedakan hujan wilayah. Bagian dua menampilkan hasil akhir dari pembobotan AHP seluruh parameter yang dijadikan satu. Kemudian, hasil pembobotan tersebut dijadikan satu melalui metode SMCE menghasilkan Peta Kerawanan Banjir Kecamatan Bayato Hasil Qembobotan :HP 9n Buffer Sungai Buffer sungai menjadi faktor kerawanan banjir dengan bobot yang paling tinggi dalam penelitian ini. Jarak dari sungai merupakan faktor yang dihasilkan dari sungai yang menyoroti kerawanan banjir karena kedekatannya dengan aliran sungai, seperti yang ditunjukkan pada tabel 2 dan gambar 2 [10]. Semakin dekat jarak suatu titik dengan tubuh sungai maka semakin tinggi potensinya terjadi bencana banjir. Begitu pula sebaliknya, semakin jauh jarak suatu titik dengan tubuh sungai. maka semakin rendah potensinya terjadi bencana banjir. Daerah yang berdekatan dengan s2. Kemiringan Lereng Kemiringan lereng pada penelitian ini menjadi bobot urutan kedua setelah buffer sungai. Hasil pembobotan ditunjukkan pada tabel 3 dan gambar 3. Hasil pembobotan AHP pada kemiringan lereng datar (0-3 derajat) memiliki memiliki skor tertinggi yaitu 1, sementara kemiringan lereng yang terjal (>25 derajat) memiliki skor terendah yaitu 0.07. Semakin landai kemiringan lerengnya akan berpotensi tinggi terjadinya bencana banjir, sebaliknya semakin curam kemiringannya akan lebih kecil potensinya dari ancaman bencana banjir. Hal tersebut disebabkan pada besar nya kermiringan akan mempercepat laju limpasan air hujan yang menyebabkan banjir di daerah datar semakin parah [11]. Oleh karena itu, apabila pada bagian hulu sungai mengalami hujan deras, potensi akan terjadinya bencana banjir pada kawasan datar sangat tinggi. ungai memiliki kerawanan tertinggi terjadi banjir karena merupakan daerah pertama yang menerima luapan air ketika sungai sudah tidak mampu lagi menampung air. Oleh karena itu, peta kerawanan banjir yang dihasilkan akan memiliki tingkat kerawanan tinggi pada daerah yang berdekatan dengan tubuh sungai. Tabel 2. Hasil Pembobotan Buffer Sungai Sumber: Costache (2012) Diolah Penulis 33
Tabel 3. Hasil Pembobotan Kemiringan Lereng Sumber: Costache (2012) Diolah Penulis Gambar 3. Peta Kemiringan Kecamatan Bayat Gambar 4. Hujan Wilayah Kecamatan Bayat 3. Curah Hujan Curah hujan menjadi bobot diurutan ketiga setelah Kemiringan lereng dan Buffer sungai karena curah hujan yang tinggi dianggap menjadi faktor utama terjadinya banjir diatas penggunaan lahan. Curah hujan tidak terlalu mempengaruhi perbedaan kelas kerawanan bobot, hal ini disebabkan curah hujan hanya berskala kecamatan. Namun, data pos hujan pada gambar 4 menunjukkan Kecamatan Bayat memiliki perbedaan curah hujan menjadi dua wilayah saja. Curah hujan yang tinggi di Kecamatan Bayat dapat menyebabkan Sungai Dengkeng meluap. Perubahan ikllim di sungai dengkeng turut meningkatkan jumlah curah hujan yang secara langsung mengubah pola penggunaan lahan, ketersediaan air, kinerja pengendalian banjir, kesiapan pembangunan ekonomi lokal dan sosial [12]. 3. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merupakan faktor dengan bobot paling rendah di antara tiga faktor yang lain dalam menentukan kerawanan banjir pada penelitian ini. Berdasarkan pembobotan yang telah dilakukan pada tabel 4 dan ditunjukkan pada gambar 5, permukiman menjadi hal yang paling berpengaruh pada kerawanan banjir yang disusul oleh sawah dan badan air di darat; kebun, padang rumput, tegalan; semak belukar, pasir darat, dan air laut; serta hutan di urutan terakhir. Penggunaan lahan di Kecamatan Bayat didominasi oleh permukiman yang memiliki skor 1, sedangkan perkebunan dan tegalan memiliki skor yang paling rendah yaitu 0,16. Permukiman mendapat skor yang tertinggi karena perubahan penggunaan lahan menjadi permukiman akan mengurangi daya serap tanah terhadap air sehingga limpasan permukaan pun bertambah dan menyebabkan banjir [13]. Selain itu, apabila faktor penggunaan lahan dikombinasikan dengan ketiga faktor kerawanan banjir yang telah disebutkan sebelumnya, maka dapat menjadikan permukiman menjadi wilayah yang memiliki tingkat kerawanan banjir yang paling tinggi dibandingkan wilayah lain. Permukiman yang letaknya dekat dengan sungai serta berada pada kemiringan lereng yang datar memiliki kecenderungan untuk lebih mudah terpapar banjir pada saat curah hujan sedang tinggi. Sementara itu, pada tegalan maupun perkebunan memiliki tanah yang relatif mudah menyerap air di permukaan sehingga daerah ini memiliki kerawanan banjir yang lebih rendah. Tabel 4. Hasil Pembobotan Penggunaan L:ahan Sumber: Costache (2012) Diolah Penulis 34
Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Bayat Gambar 6. Peta Output SMCE Hasil Klasifikasi SMCE Melalui pembobotan AHP (Pairwise Comparison) diperoleh hasil pembobotan di keempat parameter yang ditampilkan pada tabel 5. Parameter pertama buffer sungai menempati nilai indeks pembobotan terbesar karena jarak pada sungai akan sangat mempengaruhi tingkat kerawanan. Kemiringan lereng menempati nilai indeks terbesar kedua karena tingkat kerawanan dipengaruhi dari seberapa kemiringan di suatu daerah. Kemiringan yang curam akan memperparah banjir pada tingkat kemiringan datar akibat dampak dari limpasan air. Curah hujan dan penggunaan lahan tidak memberikan bobot yang besar, tetapi tetap dapat mempengaruhi tingkat kerawanan. Pemberian bobot pada setiap parameter didasarkan atas pertimbangan pengaruh setiap parameter terhadap banjir [14]. Apabila daerah berada pada penggunaan lahan permukiman, tingkat kemiringan lereng yang datar, berdekatan dengan sungai, dan mendapat curah hujan yang lebih tinggi, daerah tersebut akan mendapat indeks kerawanan yang tinggi. Sermakin tinggi hasil pembobotan menunjukkan semakin besar pengaruh parameter tersebut terhadap potensi banjir. Hasil dari pembobotan yang telah digabungkan dari seluruh pameter akan di klasifikasi menjadi tiga tingkat kerawanan, yaitu rendah dengan bobot akhir 0 hingga 0.3, sedang dengan bobot akhir 0.4 hingga 0.6 , dan tinggi dengan bobot akhir 0.7 hingga 1.00. Validasi Lapangan Peta Kerawanan Banjir yang telah dihasilkan perlu dilakukan validasi ke lapangan untuk diuji tingkat keakuratannya. Validasi lapangan dilakukan pada daerah dengan tingkat kerawanan sedang hingga tinggi. Validasi lapangan dilakukan dengan menanyakan ke warga sekitar yang berada di daerah yang rawan, Adapun hasil yang didapatkan terdapan sedikit perbedaan antara peta hasil kerawanan dengan kejadian sebenarnya di lapangan. Bagian tenggara peta kerawanan menunjukkan tingkat kerawanan yang tinggi. SetelBerdasarkan gambar 6 sebagian wilayah yang berada di bagian selatan, utara, dan timur Kecamatan Bayat memiliki tingkat kerawanan banjir yang lebih tinggi dibandingkan di sebelah barat. Hal ini ditandai dengan warna merah yang mendominasi di daerah tersebut. Sementara itu, warna kuning dan hijau yang menunjukkan tingkat kerawanan sedang-rendah lebih mendominasi di sebelah barat Kecamatan Bayat. Daerah utara memiliki kerawanan tinggi disebabkan oleh adanya tempuran di Desa Talang. Pertemuan antar dua sungai akan mempengaruhi sedimentasi sehingga akan menghambat laju sungai. Adapun, di bagian tengah, Kecamatan Bayat, juga terlihat warna merah yang menandakan wilayah tersebut memiliki tingkat kerawanan banjir yang tinggi. Bagian tersebut dilalui langsung Sungai Dengkeng sehingga memiliki tingkat kerawanan yang tinggi karena berdekatan dengan sungai. Wilayah selatan cenderung mendapat banjir kiriman karena berbetasan langsung dengan dataran dengan kemiringan curam, sedangkan daerah tersebut memiliki tingkat kemiringan datar. Kiriman air dalam jumlah besar yang berasal dari wilayah yang lebih tinggi mengakibatkan air meluap hingga ke pemukiman warga dan persawahan. Sementara itu, daerah dengan tingkat kerawanan rendah merupakan daerah dengan kontur perbukitan yang memiliki derajat kemiringan yang lebih besar. Tabel 5. Hasil Pembobotan Penggunaan Lahan Sumber: Costache (2012) Diolah Penulis 35
ah melakukan validasi, masyarakat sekitar menyebutkan bahwa daerah tersebut jarang terjadi banjir. Menurut masyarakat sekitar, daerah tersebut tidak mengalami banjir karena berkontur miring sehingga air hujan langsung mengalir turun dan tidak menggenangi. Kemudian, bagian barat laut pada peta menunjukkan tingkat kerawanan banjir yang sedang. Hasil validasi yang didapatkan bahwa daerah tersebut sering mengalami banjir terutama pada sawah-sawah. Masyarakat sekitar menyebutkan bahwa banjir terjadi setidaknya satu kali dalam setahun. Namun, banjir di daerah tersebut cepat surut dalam waktu satu hingga dua hari. Kecamatan Bayat merupakan wilayah yang sebagian besar berada pada tingkat kerawanan banjir sedang dan tinggi. Tingkat kerawanan banjir di wilayah utara Kecamatan Bayat utamanya disebabkan oleh adanya pertemuan dua sungai. Selain itu, daerah tersebut berkemiringan lereng datar dengan penggunaan lahan permukiman dan persawahan. Sebagian wilayah di tengah Kecamatan Bayat termasuk dalam kerawanan tinggi karena daerah tersebut dilewati Sungai Dengkeng sehingga permukiman di wilayah tersebut berdekatan dengan sungai yang membuat wilayah tersebut tergolong dalam tingkat kerawanan tinggi. Wilayah selatan dan timur merupakan wilayah yang berkemiringan lereng datar dan berbatasan dengan pegunungan baturagung sehingga tingkat kerawanan di wilayah tersebut menjadi lebih tinggi akibat adanya sungai yang mendapat aliran dari pegunungan baturagung. [1]. Bronto, S. (2010). Identifikasi Gunung Api Purba Pendul Di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten–Jawa Tengah. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 20(1), 3-13. [2]. Savitri, A., Budieny, H., Bagaskara, F., & Lestari, F. M. (2020). Numerical analysis in dengkeng river using nays2dflood. Civil Engineering and Architecture, 8(4), 533–540. https:// doi.org/10.13189/cea.2020.080417 [3]. Sarminingsih, A. (2011). Kajian Perubahan Tataguna Lahan Terhadap Tingkat Bahaya Erosi Di Das Dengkeng. Jurnal Presipitasi: Media Komunikasi dan Pengembangan Teknik Lingkungan, 15(2), 158-164. [4]. Aji N., M. D., Sudarsono, B., & Sasmito, B. (2014). Identifikasi Zona Rawan Banjir Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus: Sub Das Dengkeng). Jurnal Geodesi Undip, 3(1), 80286. [5]. Zaharia, L., Costache, R., Prăvălie, R., & Minea, G. (2015). Assessment and mapping of flood potential in the Slănic catchment in Romania. Journal of Earth System Science, 124(6), 1311–1324. https://doi.org/10.1007/s12040-015-0608-3 [6]. Costache, R., & Prăvălie, R. (2012). the Use of Gis Techniques in the Evaluation of the Susceptibility of the Floods Genesis in the Hydrographical Basin of Bâsca Chiojdului River. Annals of the University of Oradea, Geography Series / Analele Universitatii Din Oradea, Seria Geografie, 22(2), 284. [7]. Sidiq Pramono, B. A., Pasya Kusumawardani, K., & Yuendini, E. P. (2019). Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Dengan Metode Analytical Hierarchy Process Untuk Kajian Kerawanan Banjir Di Das Jali Cokroyasan Purworejo. Jurnal Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika, 5(3), 1–10. https:// doi.org/10.36754/jmkg.v5i3.70 [8]. Fadhil, M., & Oktaviani, N. (2019). Pemetaan Wilayah Rawan Banjir Menggunakan Metode Spatial Multi-Criteria Evaluation (SMCE) di Sub DAS Minraleng, Kabupaten Maros. Seminar Nasional Penginderaan Jauh Ke-6 Tahun 2019 Pemetaan Pemetaan, 219–229. [9]. Bachtiar, H., Franto, N., & Fitri, R. (2013). Identifikasi Level Kerentanan Provinsi Bali dengan Metode Pairwise Comparison. Jurnal Sumber Daya Air, 9(1), 1–12. [10]. Nsangou, D., Kpoumié, A., Mfonka, Z., Ngouh, A. N., Fossi, D. H., Jourdan, C., Mbele, H. Z., Mouncherou, O. F., Vandervaere, J. P., & Ndam Ngoupayou, J. R. (2022). Urban flood susceptibility modelling using AHP and GIS approach: case of the Mfoundi watershed at Yaoundé in the SouthCameroon plateau. Scientific African, 15, e01043. https://doi.org/10.1016/j.sciaf.2021.e01043 [11]. Das, S. (2019). Geospatial mapping of flood susceptibility and hydro-geomorphic response to the floods in Ulhas basin, India. Remote Sensing Applications: Society and Environment, 14(February), 60–74. https://doi.org/10.1016/ j.rsase.2019.02.006 [12]. Sarminingsih, A., Siwi Handayani, D., Sutrisno, E., & Zaman, B. (2018). Evaluation the Water Availability in the Dengkeng River Due to Landuse and Climate Changes. E3S Web of Conferences, 73. https://doi.org/10.1051/e3sconf/20187303008 Kesimpulan Daftar Pustaka 36
[13]. Pintubatu, D., Sudarsono, B., & Wijaya, A. (2013). Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Kerawanan Banjir Di Daerah Aliran Sungai Tenggang Kota Semarang. Jurnal Geodesi Undip, 2(4), 80947 [14]. Darmawan, K., Hani’ah, H., & Suprayogi, A. (2017). Analisis Tingkat Kerawanan Banjir Di Kabupaten Sampang Menggunakan Metode Overlay Dengan Scoring Berbasis Sistem Informasi Geografis. Jurnal Geodesi Undip, 6(1), 31–40. org/10.1051/e3sconf/20187303008 [15]. Pintubatu, D., Sudarsono, B., & Wijaya, A. (2013). Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Kerawanan Banjir Di Daerah Aliran Sungai Tenggang Kota Semarang. Jurnal Geodesi Undip, 2(4), 80947 [16]. Darmawan, K., Hani’ah, H., & Suprayogi, A. (2017). Analisis Tingkat Kerawanan Banjir Di Kabupaten Sampang Menggunakan Metode Overlay Dengan Scoring Berbasis Sistem Informasi Geografis. Jurnal Geodesi Undip, 6(1), 31–40. 37
29 38
Sungai Dengkeng adalah sub-DAS Bengawan Solo sebagai sungai utama yang mengalir di Kecamatan Bayat. Banjir menjadi salah satu permasalahan yang terjadi di sekitar Sungai Dengkeng saat musim penghujan. Sedimentasi yang mengubah tata guna lahan di sepanjang sungai. Oleh sebab itu, dilakukan penaksiran kapasitas banjir di kawasan bahaya banjir di Kecamatan Banjir untuk dapat mengetahui kesiapan masyarakat dalam menghadapi banjir sehingga potensi kerugian bencana dapat diminimalisir. Penelitian menggunakan metode observasi lapangan dengan teknik purposive sampling dengan melakukan wawancara pada masyarakat di daerah bahaya banjir. Teknik pengolahan data menggunakan metode scoring / skoring berdasarkan indeks kapasitas bencana sesuai peraturan BPBD No. 12 Tahun 2012. Klasifikasi dilakukan dengan menilai capaian dari masing-masing aspek (A, B, C, D, E). Capaian dinilai dari level 1 sampai level 5 sesuai kriteria yang dilakukan pada masing-masing desa. Total hasil capaian dihitung dan diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu endah (5-11,6), sedang (11,7-18,3), dan tinggi 18,4-25). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu mayoritas kapasitas banjir di beberapa desa di Kecamatan Bayat masih tergolong sedang, kapasitas banjir di beberapa desa di Kecamatan Bayat masih tergolong sedang, yaitu pada Desa Krakitan, Beluk, Wiro, Kebon, Jotangan, Talang, serta Tawangrejo. Desa dengan kapasitas banjir hanya ada dua yaitu Desa Krikilan dan Desa Paseban. Sementara itu, Desa dengan kapasitas banjir rendah yaitu Desa Bogem, Desa Tawangrejo, dan Desa Jambakan. Kata kunci: Kapasitas Masyarakat, Kecamatan Bayat, Skoring. Sungai Dengkeng merupakan salah satu sungai yang berada dalam Wilayah Kerja BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai) Bengawan Solo. DAS Dengkeng sebagian besar wilayahnya berada di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. DAS Dengkeng terindikasi kritis kondisinya dan berpotensi besar bahaya akan bencana banjir. Sungai Dengkeng merupakan sungai utama yang mengalir di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Aliran air Sungai Dengkeng bermuara di Sungai Bengawan Solo dengan panjang sungai 45 km serta luas daerah aliran sungai 706,755 km2 [1]. PENAKSIRAN K APASITAS M ASYARAK AT KECAM ATAN BAYAT TERHADAP BENCANA BANJIR PADA K AWASAN BAHAYA Abstrak Pendahuluan Oleh: Naashiruddin Fikri Qushoyyi1, Dyne Alifia Salsabila1, Theresia Puan Bertiana Wardoyo1, Latifa Fahmi Anggraini1, Srani Riska Viantami1, Adhelia Wida Alfaretha1, Aflah Bening Kuncoro, Galang Riswanda Nuswantara1, Nanda Fuji Lestari1, Yoga Nur Andhika1, Zulfa Yogi Rahmawati1, Andung Bayu Sekaranom2 1) Mahasiswa Program Studi Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada 2) Dosen Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada 39
Banjir menjadi salah satu permasalahan yang sering terjadi di daerah sekitar Sungai Dengkeng, terlebih ketika musim penghujan tiba. Sedimentasi yang cukup tinggi dan perubahan tata guna lahan di sepanjang aliran serta meningkatnya genangan air mengakibatkan kerusakan yang serius di sungai tersebut [2]. Banyak tanggul yang kondisinya menjadi kritis karena tidak mampu menahan luapan air. Perubahan iklim di sungai dengkeng turut meningkatkan jumlah curah hujan yang secara langsung mengubah pola penggunaan lahan, ketersediaan air, kinerja pengendalian banjir, kesiapan pembangunan ekonomi lokal dan sosial [3]. Berdasarkan hal tersbut, diperlukan penaksiran kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana banjir dan kesiapan masyarakat dalam menghadapi banjir di kawasan bahaya. Kapasitas masyarakat erat kaitannya dengan upaya untuk mengurangi risiko bencana, yang terdiri dari mitigasi, kesiapan dalam menghadapi bencana, dan kemampuan dalam bertahan hidup [4]. Usaha mitigasi bencana banjir di Kecamatan Bayat diantaranya dengan melakukan pemasangan talud bronjong untuk menahan limpasan air. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pentingnya penaksiran kapasitas risiko banjir di Bayat oleh masyarakat setempat. Hasil dari penelitian ini berupa peta kapasitas banjir kecamatan bayat berdasarkan tingkat bahaya. Jika ditelaah lebih lanjut, dapat juga diketahui terkait kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana banjir akibat luapan Sungai Dengkeng di Kecamatan Bayat. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi risiko banjir yang terjadi sebagai salah satu upaya mitigasi bencana. Hasil penelitian dapat digunakan oleh pemerintah dalam menentukan langkah cepat dan tepat untuk menurunkan kerentanan risiko bencana banjir di Kecamatan Bayat dan meningkatkan kapasitas masyarakat terkait mengurangi risiko bencana banjir. 1. LOKASI KAJIAN Lokasi kajian ditentukan dengan melakukan observasi data dan lapangan. Observasi data dilakukan dengan melihat Peta Bahaya Banjir Kecamatan Bayat dari Inarisk BNPB pada gambar 1. Pada peta tersebut, Desa dengan XX Metode bahaya banjir yaitu Desa Bogem, Desa Ngerangan, Desa Jambakan, Desa Beluk, Desa Paseban, Desa Krikilan, Desa Krakitan, Desa Kebon, Desa Talang, Desa Tegalrejo, Desa Tawangrejo, Desa Wiro, dan Desa Jotangan. Selanjutnya, seluruh desa tersebut dilakukan observasi lapangan untuk melakukan validasi terhadap kejadian banjir. Hasil validasi memberikan informasi bahwa terdapat satu desa yang tidak mengalami banjir yaitu Desa Ngerangan. Kecamatan Bayat sendiri terletak di bagian tengah dan selatan Kabupaten Klaten. luas wilayah Kecamatan Bayar mencapai wilayah 39,43 km2, yang mana masing-masing luas wilayah per desa/ kelurahan tertera pada tabel 1. berdasarkan data luas wilayah Kecamatan Bayat per Desa/Kelurahan tahun 2020, diketahui bahwa desa terluas adalah Krakitan dengan luas wilayah 7,99 km2. Luas wilayah Desa Krakitan tersebut merupakan 20,27% luas kecamatan. Desa Nengahan merupakan desa dengan luas wilayah terkecil, yaitu 0,85 km2, luas tersebut merupakan 2,14% bagian luas Kecamatan Bayat. Ketinggiannya berada di antara 100- 200 mdpl, sehingga daerahnya menjadi kawasan bahaya bencana alam banjir, dengan tingkat menengah. Gambar 1. Peta Bahaya Banjir di Kabupaten Klaten Gambar 2. Peta Kecamatan Bayat Sumber: Kecamatan Bayat dalam Angka 2021 40
2. TEKNIK PENGOLAHAN DATA Metode yang digunakan adalah teknik Groundcheck atau observasi lapangan. Lokasi kajian memiliki indeks risiko bencana sebesar 123,2 berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Inarisk BNPB. Metode ini digunakan untuk mendapatkan data baru dari instansi terkait di tingkat kelurahan hingga kabupaten. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis skoring atau pemberian nilai yang dilakukan terhadap variabel. Teknik skoring dilakukan untuk menilai value pada parameter untuk dapat menentukan tingkatan pengaruhnya [7]. Parameter yang digunakan dengan menggunakan indikator kapasitas yang dilakukan dengan mempertimbangkan lima indikator pada Perka BNPB Nomor 12 Tahun 2012, yaitu: 1) aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana, 2) peringatan dini dan kajian risiko bencana, 3) pendidikan kebencanaan, 4) pengurangan faktor risiko dasar, serta 5) pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini. Penaksiran kapasitas dan kesiapsiagaan masyarakat pengukurannya menggunakan batasan administrasi. Komponen indeks kapasitas tersebut didasarkan pada kriteria tertentu, yaitu: (1) Aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana berupa undang-undang, kebijakan, peraturan kelembagaan mengenai penanggulangan kebencanaan untuk pengurangan risiko bencana. (2) Peringatan dini dan kajian risiko bencana meliputi peta kerentanan, peta bahaya, sistem peringatan dini, dokumen dan arsip mengenai data kebencanaan, dan kajian risiko daerah. (3) Pendidikan kebencanaan memuat informasi kebencanaan, kurikulum sekolah, sosialisasi, dan membangun kesadaran masyarakat terhadap bencana. (4) Pengurangan faktor risiko dasar berupa pembangunan infrastruktur, perencanaan permukiman, Berdasarkan Badan Pusat Statistik, Kecamatan Bayat memiliki jumlah penduduk sebanyak 41.002 jiwa pada tahun 2020 [5]. Jumlah ini menurun dibanding penduduk pada tahun 2018 yang sebanyak 45.475 jiwa [6]. Jumlah penduduk per desa/kelurahan dapat dilihat melalui tabel 2. Jumlah penduduk terbanyak terletak di Kelurahan Krakitan sebanyak 9.834 jiwa atau 23,9% dari penduduk total di Kabupaten Bayat. Banyaknya penduduk di Kelurahan Krakitan mengingat karena kelurahan ini merupakan kelurahan terbesar di Kabupaten Bayat dengan persentase 20,27% dari total luas Kecamatan Bayat. Pertumbuhan penduduk pada tahun 2018 – 2019 di Kabupaten Klaten sebesar 0,40%. Pertumbuhan tertinggi berada di Kelurahan Jambakan dengan pertumbuhan penduduk sebesar 25,24%. Sementara itu, pada tahun 2019 一 2020, Pertumbuhan total di Kabupaten Klaten mengalami penurunan sebesar 33,30%. Pertumbuhan penduduk per kelurahan di Kecamatan Bayat dapat dilihat pada gambar 3. Tabel 1. Luas Wilayah Kecamatan Bayat Per Desa/Kelurahan Tahun 2020 Tabel 2. Jumlah Penduduk Kecamatan Bayat Per Kelurahan Sumber: Kecamatan Bayat dalam Angka 2020 Gambar 3. Grafik Pertumbuhan Penduduk Per Kelurahan Kecamatan Bayat Tahun 2018 – 2020 (Sumber: Kecamatan Bayat Dalam Angka 2019 – 2021) (Sumber: Kecamatan Bayat Dalam Angka 2019 – 2021) 41
permukiman, rencana kebijakan sektoral di bidang ekonomi, dan adaptasi masyarakat. (5) Pembangunan kesiapsiagaan di seluruh lini dengan adanya mekanisme tanggap darurat bencana, rencana kemungkinan bencana dari pemerintah dan masyarakat, cadangan finansial dan logistik bagi masyarakat, dan pertukaran informasi yang berkesinambungan terhadap bencana yang terjadi. Kelima aspek diatas nantinya memiliki skornya sendiri yang nantinya menghasilkan jumlah yang digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat kapasitas maupun kesiapsiagaan masyarakat di Kecamatan Bayat dalam menghadapi bencana banjir akibat luapan Sungai Dengkeng di musim hujan. Teknik pengambilan dan pengolahan data dapat dilihat pada skema penelitian pada gambar 4. Secara umum, ada dua tahap dalam skema penelitian ini yaitu pertama pengambilan data dan kedua pengolahan data. Pengambilan data yang digunakan berupa data primer, yaitu dengan wawancara terhadap 56 masyarakat secara individu yang tersebar di 12 dari 18 desa yang ada di Kecamatan Bayat. Populasi dari 12 desa mencapai jumlah 41.022 jiwa, yang berarti sampel diambil dari 0,14 % jumlah penduduk keseluruhan desa. Desa dengan penduduk paling banyak berada di Desa Krakitan dengan jumlah penduduk mencapai 9.834 jiwa, sementara dengan penduduk paling sedikit berada di Desa Beluk yang populasinya hanya sebanyak 1.813 jiwa. Wawancara dilakukan dengan metode purposive sampling. Metode purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel yang bersumber dari pertimbangan tertentu atau tepat sasaran, seperti yang dianggap paling mengetahui [8]. Adapun langkah-langkah untuk mengambil subjek yang menjadi sampel ini dilakukan dengan tiga langkah. Pertama menentukan subjek yang akan dijadikan tempat penelitian dengan pertimbangan pengalaman dan informasi yang dimiliki oleh subyek terhadap kejadian banjir yang terjadi di Kecamatan Bayat. Kedua, menentukan subjek yang akan dijadikan responden dalam penelitian ini adalah warga Kecamatan Bayat dengan kriteria laki-laki dan perempuan yang berusia produktif yaitu antara 20-60 tahun. Ketiga yaitu mengutamakan perangkat desa seperti ketua RT, RW, atau relawan bencana di desa setempat. Data yang diperoleh kemudian diolah untuk dilakukan skoring sesuai indikator yang telah ditentukan sesuai dengan yang diperlihatkan pada tabel 3. Indeks kapasitas diperoleh dengan melaksanakan diskusi kepada individu yang memiliki informasi terhadap bencana banjir pada suatu suatu daerah. Klasifikasi dilakukan dengan menilai capaian dari masing-masing aspek (A, B, C, D, E). Capaian dinilai dari level 1 sampai level 5 sesuai kriteria yang dilakukan pada masing-masing desa. Total hasil capaian dihitung dan diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu rendah (5-11,6), sedang (11,7-18,3), dan tinggi (18,4-25). Berdasarkan hasil identifikasi Indikator kapasitas per kelurahan/ desa, diperoleh lima level indikator yang menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan yang telah dikelompokkan pada tabel 4. Kelima level indikator mengindikasikan semakin tingginya level indikator artinya semakin tinggi pula capaiannya. Level pertama merupakan capaian kecil, level ini menggambarkan baru terlaksana beberapa tindakan dalam rencana atau kebijakan. Level dua merupakan capaian yang bersifat sporadis dengan telah terlaksana beberapa tindakan pengurangan risiko bencana. Di samping itu, belum terdapat komitmen kelembagaan dan/atau kebijakan yang sistematis. lal Sumber: Perka BNPB Nomor 2 Tahun 2012 Gambar 4. Skema Penelitian Tabel 3. Tingkat Ketercapaian Setiap Level Hasil dan Pembahasan 42