The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hadiem38, 2022-09-16 04:22:54

Screenshot 2022-09-12 at 12.45.13

Screenshot 2022-09-12 at 12.45.13

PENATALAKSANAAN SEPSIS DAN SYOK SEPTIK
OPTIMALISASI FASTHUGSBID

EDITOR :
FRANS J V PANGALILA

ARIF MANSJOER

PERHIMPUNAN DOKTER INTENSIVE CARE INDONESIA
( PERDICI )
i

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh
isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun tanpa seizin penulis dan
penerbit.

DITERBITKAN PERTAMA KALI OLEH :
Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI)
Apartemen Menteng Square Tower A Lantai 3 No. AO-11,
Jl. Matraman Raya No. 30, Jakarta Pusat 10320, Indonesia
www.perdici.org

ISBN : 978 – 602 – 17737 – 4 - 1

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Esa atas segala Rahmat-Nya yang
telah memberikan kemudahan sehingga buku PENATALAKSANAAN
SEPSIS dan SYOK SEPTIK (Optimalisasi FASTHUGSBID) dapat
diselesaikan. Buku ini membahas penatalaksanaan sepsis-syok septik
terutama dengan melakukan protokol FASTHUGSBID. FASTHUGSBID
adalah singkatan dari : Feeding, Analgetic, Sedation, Thromboembolism
Prophylactic, Head of Bed Elevation, Ulcer Prevention, Glucose Control,
Spontaneous Breathing Trial, Bowel Function, Indwelling Catheter dan De
– escalation Antibiotic and Pharmacotherapy lainnya. Sepsis-syok septik
hingga saat ini secara global dianggap sebagai penyebab utama kematian
pada penyakit kritis.

Angka kematian akibat sepsis jauh lebih besar dibandingkan akibat
sindrom koroner akut ataupun stroke. Mortalitas bisa mencapai 30% pada
sepsis hingga 80% pada syok sepsis. Data tersebut diperoleh dari suatu kajian
epidemiologi sepsis antara tahun 1980 hingga 2008 di empat negara -Amerika
Serikat, Brazil, Inggris Raya, dan Australia. Dari studi tersebut diketahui
insiden sepsis di populasi berkisar antara 22 hingga 240 per 100.000, sepsis
berat 13 hingga 300 per 100.000, dan syok sepsis 11 per 100.000. Dari suatu
studi observasional terhadap pasien sepsis berat dan syok sepsis di RSUPN
dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada tahun 2012-2013, diketahui bahwa
angka kematian pada sepsis berat dan syok sepsis berkisar 61%. Tingginya
mortalitas pada sepsis tidak lepas dari masalah keterlambatan diagnosis dan
tata laksana. Oleh karena itu diharapkan melalui protokol FASTHUGSBID
ini maka efisiensi, keamanan dan efikasi penatalaksanaan sepsis-syok septik
akan lebih optimal sehingga angka kematian semakin dapat ditekan.

Buku ini dapat diselesaikan berkat kerjasama antar Tim Penulis dan Board
Reviewer, untuk itu kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan
hingga penerbitan buku ini, khususnya DR. Dr Ike Sri Redjeki, SpAn KIC,
KMN, MKes sebagai ketua umum PERDICI kami ucapkan terima kasih
sebesar besarnya. Kami menyadari bahwa buku PENATALAKSANAAN
SEPSIS DAN SYOK SEPTIK (Optimalisasi FASTHUGSBID) masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu masukan dan saran yang membangun dari
semua pihak selalu kami harapkan demi kesempurnaan buku ini di kemudian
hari.

Jakarta, 23 Agustus 2017

Tim Editor

iii

KATA SAMBUTAN

Setiap tiga kali denyut jantung, satu orang meninggal dunia karena sepsis.
Penelitian internasional melaporkan insidens sepsis yang terus meningkat
hingga 8-13% pertahun dengan angka kematian 60-80%. Penatalaksanaan
sepsis yang cepat dan tepat dapat mempercepat lama rawat di rumah sakit,
bahkan dapat menurunkan angka kematian hingga 50%.

Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI) sebagai
bagian dari The Global Sepsis Alliance (GSA), sebagai pelaksana WSD
memberikan perhatian tinggi dengan ikut menyebarluaskan pengetahuan
mutakhir tentang pencegahan infeksi dan penatalaksanaan sepsis, sepsis
berat dan syok septik kepada para dokter, perawat dan petugas kesehatan
lainnya di Indonesia.

Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa buku
Penatalaksanaan Sepsis dan Syok Septik: Optimalisasi FASTHUGSBID
yang ditulis oleh tim penyusun yang diketuai oleh Divisi Rekomendasi
PERDICI - dr. Frans J.V. Pangalila, Sp.PD KIC ini, yang merupakan salah
satu kegiatan PERDICI dalam pengembangan ilmu kedokteran terapi intensif
bisa selesai.

Kepada seluruh pihak yang telah membantu terbitnya buku ini, khususnya
tim penyusun, reviewer dan editor, saya ucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya.

Semoga buku ini dapat bermanfaat.

Jakarta, 23 Agustus 2017.
Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia

DR. Dr. Ike Sri Redjeki SpAn KIC, KMN, MKes
Ketua Umum

iv

DAFTAR PENULIS

Dr. Arifin, Sp.PD KIC
Intensive Care Unit RS. Dr. Moewardi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas 11 Maret

Surakarta

Dr. Antin Trilaksmi, Sp.An KIC
Intensive Care Unit RS. Bunda Menteng

Jakarta

Dr. Bambang Pujo Semedi, Sp.An KIC
Intensive Care Unit RSUD. Dr. Soetomo
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Surabaya

Dr. Calcarina Fitriani Wisudarti, Sp.An KIC
Intenisve Care Unit RSUP Dr. Sardjito

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta

Dr. Frans J V Pangalila, Sp.PD KIC
Intensive Care Unit RS Royal Taruma

Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Jakarta

Dr. Fahrul Razi, Sp.An KIC
Instalasi Intensive Care Unit RSU Tangerang

Tangerang

Dr. Hasanul Arifin, Sp.An KAP, KIC
Intensive Care Unit RS. Universitas Sumatera Utara

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan

v

Dr. Prananda Surya Airlangga, Sp.An KIC
Intensive Care Unit RSUD. Dr. Soetomo

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Surabaya
Dr. Samsirun Halim, Sp.PD KIC
Intensive Care Unit RSD. Raden Mattaher
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Jambi
Dr. Shinta Vera Hutajulu, Sp.An KIC

Intensive Care Unit / Kamar Operasi
RS. MH. Thamrin, Salemba - Jakarta

vi

TIM EDITOR

Dr. Frans J V Pangalila, Sp.PD KIC
Intensive Care Unit RS Royal Taruma

Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta

Dr. Arif Mansjoer, Sp.PD KIC
Intensive Care Unit Pelayanan Jantung Terpadu
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

TIM REVIEWER

Prof. DR. Dr. Amir Syarifuddin Madjid, Sp.An KIC
Intensive Care Unit RSUPN Dr. Cipto Mangunkusomo

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Dr. Indro Mulyono, Sp.An KIC
Intensive Care Unit RSUPN Dr. Cipto Mangunkusomo

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Dr. Rupi’i, Sp.An KIC
Intensive Care Unit - High Care Unit

RS. Panti Wilasa, Semarang

Dr. Bambang Wahyuprajitno, Sp.An KIC
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD. Dr. Soetomo

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

DR. Dr. Syafri Kamsul Arif, Sp.An KIC, KAKV
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar

Dr. Christian Albert Johannes, Sp.An KIC
Intensive Care Unit Omni Hospital Alam Sutera, Tangerang

vii

DAFTAR ISI i
ii
• Kata pengantar Tim Editor iii
• Kata sambutan Ketua PERDICI v
• Daftar Penulis v
• Tim Editor vi
• Tim Reviewer
• Daftar Isi 1

Definisi dan Kriteria Diagnostik 4
Arifin
Penatalaksanaan Resusitasi Awal 14
Bambang Pujo Semedi, Antin Trilaksmi
Feeding 24
Prananda Surya Airlangga
Sedasi dan Analgesia 28
Fahrul Razi
Thromboembolism Prophylactic 33
Shinta V R Hutajulu
Head of Bed Elevation 35
Calcarina Fitriani Wisudarti
Ulcer Prevention 39
Calcarina Fitriani Wisudarti
Glucose Control 45
Samsirun Halim
Spontaneous Breathing Trial 48
Frans J V Pangalila
Bowel Function 51
Frans J V Pangalila
Indwelling Catheter 57
Hasanul Arifin
De-eskalasi Antibiotik dan Farmakoterapi Lainnya
Frans J V Pangalila

viii

DEFINISI DAN KRITERIA DIAGNOSTIK

Arifin

PENDAHULUAN
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi

respons tubuh terhadap infeksi. Sedangkan syok septik adalah bagian dari
sepsis dimana terjadi abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler yang
dapat meningkatkan mortalitas.1 Sepsis dan syok septik adalah keadaan
yang masih menjadi masalah di dunia, di mana satu dari empat orang yang
dalam keadaan sepsis akan meninggal. Identifikasi keadaan sepsis dini dan
penatalaksanaan yang cepat dapat memperbaiki prognosis pasien.2

KRITERIA DIAGNOSTIK SEPSIS DAN SYOK SEPTIK
Sepsis

Adapun kriteria klinis pasien sepsis dapat diketahui dengan menggunakan
skor Sequential (Sepsis-Related) Organ Failure Assessment (SOFA). Skor
SOFA dirasa lebih mudah untuk dimengerti dan sederhana. Apabila pasien
yang mengalami infeksi didapatkan Skor SOFA ≥ 2 maka sudah tegak
diagnosis sepsis. (Tabel 1)

Ketika mendapatkan pasien infeksi perlu dilakukan skrining kemungkinan
terjadinya sepsis. Skrining ini bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja.
Metodenya dengan quick SOFA (qSOFA). Skoring ini dirasa kuat dan lebih
sederhana serta tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium. (Tabel 2)

Skor qSOFA dinyatakan positif apabila terdapat 2 dari 3 kriteria di atas.
Skor ini dapat digunakan dengan cepat oleh klinisi untuk mengetahui adanya
disfungsi organ, untuk menginisiasi terapi yang tepat, dan sebagai bahan
pertimbangan untuk merujuk ke tempat perawatan kritis atau meningkatkan
pengawasan. Jika qSOFA positif selanjutnya akan dilakukan skoring dengan
metode SOFA.1

Syok Septik
Pasien dengan syok septik dapat diidentifikasi dengan adanya klinis

sepsis dengan hipotensi menetap yang membutuhkan vasopresor untuk

1

mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan kadar laktat serum >2 mmol/L (18
mg/dL) meskipun volume resusitasi memadai.1

Tabel 1. Skor SOFA

Sistem 01 Skor 4
Respirasi 23

PaO2/FIO2, ≥400 <400 <300 < 200 < 100 den
mmHg (kPa) ≥150 <150
KPx1loa0at3eg/lueµtllasi dengan alat gan alat ban
LBmiigvli/erdrulb(iµnmol/L)
Kardiovaskuler bantu napas tu napas

Sistem Saraf Pusat <100 < 50 < 20
Skor Glasgow
Coma Scale <1,2 <1,2-1,9 <2,0-5,9 < 6,0-11,9 < 12,0
Renal
Kreatinin mg/dL ≥M7A0P M<7A0P D<o5paatmauin D5oa,pt1aa-um15in >aDt1ao5upamin
(µmol/L) mmHg mmHg (drdaoopbsauipstuabmne)in e≤p0in,1efartianu >aenn>tp0eao0i,funr1r,e1eipnfriin
Urin output nnoefrreipni ≤0,1
ml/d
15 13-14 10-12 6-9 <6

<1,2 1,2-1,9 2,0-3,4 3,5-4,9 >5,0
<500 <20

Tabel 2. Kriteria qSOFA

Laju Pernapasan ≥ 22 kali/menit
Perubahan kesadaran (Skor Glasgow Coma Scale ≤13)
Tekanan darah sistolik ≤100mmHg

2

Gambar 2. Algoritma Skrining dengan Kecurigaan Sepsis dan Syok Septik
DAFTAR PUSTAKA
1. Singer, Mervyn et al. 2016.The Third International Consensus Definitions-

for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3). J Am Med Assoc 315(8):801-10.
2. Rhodes A, et al. 2017. Surviving Sepsis Campaign : International Guide-

lines for Management of Sepsis and Septic Shock. 2016. Intensive Care
Med

3

PENATALAKSANAAN

RESUSITASI AWAL

Bambang Pujo Semedi, Antin Trilaksmi

PENDAHULUAN
Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi

respons tubuh terhadap infeksi. Dengan demikian sepsis dan syok septik
termasuk dalam kategori kedaruratan medis yang memerlukan resusitasi
yang adekuat. Prinsip resusitasi pada pasien hipoperfusi yang diinduksi sepsis
sepsis induced hypoperfusion, seharusnya mengacu pada target yang jelas dan
dikerjakan sedini mungkin. Penundaan dalam melakukan resusitasi awal
serta keterlambatan dalam mencapai target terapi akan berdampak terhadap
luaran klinis.

Dua hal penting yang ditekankan saat melakukan resusitasi awal pada
sepsis induced hypoperfusion 2,, adalah:
• Bagaimana tatalaksana resusitasi cairan yang tepat untuk memperbaiki

hipoperfusi
• Bagaimana tatalaksana lanjutan untuk mencapai target MAP 65 mmHg

sesegera mungkin, setelah pemberian cairan dianggap cukup adekuat

TATA LAKSANA RESUSITASI CAIRAN
1. Resusitasi cairan awal sebaiknya segera dilakukan saat diagnose hipo-

perfusi atau hipotensi yang diinduksi oleh sepsis telah ditegakkan.
2. Tatalaksana resusitasi cairan (gambar 1) dimulai dengan pemberian

kristaloid 30cc/kgBB intravena (dalam 3 jam pertama). Pada kondisi-
kondisi tertentu, misalnya pada kasus Gagal Ginjal Kronis (GGK) yang
perlu hemodialisis, gagal jantung kongestif, atau pada keadaan di mana
pasien berpotensi mengalami gagal napas namun belum terintubasi,
maka pemberian cairan harus dilakukan lebih hati-hati. urukan oksige-
nasi harus dipantau secara ketat dan penilaian responsivitas cairan (fluid
responsiveness) dianjurkan dalam keadaan-keadaan tersebut.2
3. Setelah resusitasi cairan awal dilakukan,maka keputusan untuk mem-
berikan cairan tambahan sebaiknya didasarkan atas penilaian status he-
modinamik yang dilakukan secara berkala.

4

Penilaian tersebut meliputi pemeriksaan klinis dan evaluasi variabel
fisiologis,mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling canggih,
tergantung dari fasilitas dan sumber daya yang dimiliki oleh setiap institusi.
Parameter-parameter hemodinamik yang dapat digunakan untuk menentukan
status hemodinamik pasien antara lain adalah:
• Tekanan darah (non-invasif atau invasif)
• Saturasi oksigen arteri (pulse oxymetri)
• Nadi
• Capillary filling time
• Mottling score (Gambar 1)
• Frekuensi napas
• Suhu
• Produksi urin, maupun
• Monitoring cardiac output (non invasif, semi invasif maupun invasif)

yang canggih.

Gambar 1. Mottling score

Apabila pemeriksaan klinis saja dinilai tidak memberikan informasi
yang cukup dalam penegakan diagnosa secara pasti, maka disarankan
untuk melakukan penilaian hemodinamik lebih lanjut dengan menggunakan
metode atau peralatan yang lebih canggih (misalnya ekokardiografi atau
monitoring invasive maupun semi invasif lainnya). Dengan menggunakan
peralatan tersebut, maka fungsi jantung dapat dinilai dan selanjutnya jenis
syok dapat ditentukan lebih akurat. 1,2

Apabila dimungkinkan, penilaian respons cairan (fluid responsiveness
test)menggunakan variabel dinamis (lebih dianjurkan dari pada statis)

5

sebaiknya dilakukan pada kasus-kasus yang kompleks. Penilaian respons
cairan menggunakan variable dinamis bertujuan untuk menilai apakah
pasien masih membutuhkan tambahan cairan atau tidak. Menilai respons
cairan merupakan suatu upaya untuk mempredik siapakah pasien akan
mendapat manfaat (dalam hal ini mengalami peningkatan volume sekuncup
yang bermakna) apabila diberikan tambahan cairan. Penilaian respons cairan
diharapkan dapat memberikan informasi penting bagi klinisi sehingga tata
laksana cairan yang dilakukan menjadi lebih baik. Teknik-teknik yang bias
digunakan antara lain.2-6
• Passive leg raising test. Penilaian ini dapat digunakan pada pasien yang

bernapas spontan maupun dengan ventilator, dan merupakan tes respon-
sivitas cairan yang cukup akurat pada pasien aritmia (gambar 2). Pening-
katan curah jantung lebih dari 10% atau 15% (bisa dipilih salah satu) dari
nilai awal (baseline) memiliki akurasi cukup tinggi untuk menentukan
pasien sepsis yang masuk kategori responder atau non responder, dengan
sensitivitas 97% dan spesifisitas 94%. Bila monitoring curah jantung ti-
dak tersedia, maka penilaian pulse pressure.dapat digunakan. Bila pulse
pressure bertambah > 10% dari baseline maka pasien dianggap sebagai
responder. Metode ini memiliki spesifisitas dan sensitivitas lebih rendah
dibanding dengan penilaian curah jantung (gambar 4).
• Fluid challenge test, mengukur kemaknaan perubahan isi sekuncup jan-
tung (stroke volume) atau tekanan sistolik arterial, atau tekanan nadi
(pulse pressure). Perubahan nilai CVP (gambar 3) dapat dipertimbangkan
bila alat monitor curah jantung atau ekokardiogafi tidak tersedia, walau
akurasi tidak sebaik kedua metode tersebut. Kombinasi antara penilaian
CVP dengan echokardiografi mungkin juga bisa bermanfaat.
• Stroke Volume Variation (SVV). Penilaian variasi isi sekuncup jantung
akibat perubahan tekanan intra torak saat pasien menggunakan ventilasi
mekanik. Syarat penilaian responsivitas cairan dengan metode ini adalah.
1. Pasien dalam kontrol ventilasi mekanis penuh,
2. Volume tidal 8-10 mL/kgBB (predicted body weight),
3. Tidak ada aritmia. Pasien masuk kategori responder bila SVV ≥

12%.
Selain SVV, Pulse Pressure Variation (PPV) juga dapat dipergunakan
untuk menilai responsivitas cairan.

INDIKATOR KEBERHASILAN RESUSITASI AWAL
Mean Arterial Pressure (MAP)

MAP merupakan driving pressure untuk perfusi jaringan atau organ.
Perfusi organ kritis seperti otak dan ginjal sangat dilindungi dari hipotensi
sistemik melalui autoregulasi perfusi regional. Namun pada batas MAP
tertentu, perfusi jaringan secara linier menjadi tergantung pada tekanan arteri.

6

Gambar 2. Prosedur PLR untuk menilai responsivitas cairan. 3

Gambar 3. Algoritma penilaian CVP sebagai pemandu resusitasi cairan
pada pasien kritis
7

Gambar 4. Grafik yang menunjukkan hubungan delivery oxygen (DO2) dengan
oxygen consumption (VO2).

Rekomendasi target MAP awal pada pasien syok septik yang membutuhkan
vasopresor menurut SSC adalah 65 mmHg.1,2

Target MAP ≥ 65 mmHg merupakan parameter makrosirkulasi
yang secara umum harus dicapai sesegera mungkin. Hipotensi arterial
yang berkepanjangan dapat mengakibatkan syok yang ireversibel dan
meningkatkan mortalitas. Dengan demikian upaya resusitasi awal, termasuk
pemberian cairan yang adekuat serta penggunaan vasopresor lebih dini pada
kasus-kasus hipotensi yang mengancam jiwa diharapkan akan meningkatkan
angka keberhasilan.

Beberapa studi menunjukkan bahwa MAP yang tinggi berhubungan
pula dengan cardiac index yang lebih tinggi, namun tidak berkaitan dengan
gmpaeasruutrpbicuahmafununcgposrsoiadlgupiknCsjOial2u,rsikenec,caerkapaadbtaaernrmlsaeaklktandtaa.raarShteermlia,einrhaahinttuaa,traautnidaadlkiarnaandkkaoanppsiuelermbrsekiduaOlai2tn,,
mortalitas yang bermakna, bahkan penetapan target MAP yang lebih tinggi
(85 mmHg dibandingkan 65 mmHg) justru meningkatkan risiko aritmia.
Target MAP lebih tinggi mungkin perlu dipertimbangkan pada pasien yang
memiliki riwayat hipertensi kronis. 7-10

Norepinefrin direkomendasi sebagai vasopresor lini pertama. Penambahan
vasopressin (sampai 0,03 U/menit) atau epinefrin untuk mencapai target MAP
dapat dilakukan. Penambahan vasopressin lebih dini dapat dipertimbangkan
untuk mengurangi dosis norepinefrin.1,2

8

Penggunaan dopamin sebagai vasopresor alternatif dari norepinefrin
hanya direkomendasi untuk pasien tertentu, misalnya pada pasien yang
berisiko rendah mengalami takiaritmia dan mengalami bradikardi absolut/
relatif.1,2

Penggunaan dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal tidak
direkomendasi lagi. Dobutamin disarankan untuk diberikan pada pasien yang
menunjukkan hipoperfusi menetap meskipun sudah diberikan cairan yang
adekuat dan vasopresor.1,2,4,11

Gambar berikut yang menunjukkan rekomendasi panduan penggunaan
vasopresor dan steroid untuk tatalaksana syok septik atau hipoperfusi yang
diinduksi sepsis (lampiran 2).1

Laktat

Monitoring keberhasilan resusitasi sebaiknya dimulai dengan pemeriksaan
klinis yang cermat dan teliti menggunakan variabel fisiologi yang tersedia
(seperti nadi, tekanan darah, saturasi oksigen arteri, frekuensi napas, suhu,
produksi urin dan pemeriksaan lainnya), sehingga status klinis pasien
dapat digambarkan. Salah satu prinsip terpenting yang perlu dipahami saat
menangani pasien yang kompleks, adalah perlunya melakukan penilaian
awal untuk mendapatkan baseline yang akurat dan selanjutnya melakukan
re-evaluasi secara berkala untuk menilai respons pasien terhadap terapi yang
diberikan.

Peningkatan kadar laktat dalam plasma, tanpa melihat darimana sumbernya,
berkorelasi dengan hasil akhir yang lebih buruk. Karena laktat merupakan
tes laboratorium standar dengan teknik pengukuran yang sudah baku, maka
nilai penggunaan laktat sebagai penanda perfusi jaringan dianggap lebih objektif
dibandingkan pemeriksaan fisik atau produksi urin. Keberhasilan resusitasi pada
pasien sepsis dapat dinilai dengan memantau penurunan kadar laktat, terutama
pada pasien yang mengalami peningkatan kadar laktat pada awalnya. 4,5

Evaluasi menggunakan ekokardiografi sangat bermanfaat membantu
klinisi untuk mendapat informasi yang lebih detail tentang penyebab gangguan
hemodinamik,4 walaupun metode memerlukan operator yang terlatih.

Tekanan Vena Sentral (CVP) dan Saturasi Vena Suenntutkraml( eSmvOan2d) u resusitasi
Penggunaan CVP sebagai parameter tunggal

cairan tidak direkomendasi lagi. Saat CVP dalam kisaran normal (8-12

mmHg), kemampuan CVP untuk menilai responsivitas cairan (setelah

pemberian sejumlah cairan atau fluid challenge) terbukti tidak akurat. Hal

ini juga berlaku untuk pemeriksaan statis lain yang mengukur perubahan

tekanan atau volume jantung kanan atau kiri, misalnya tekanan oklusi arteri

pulmonalis (PAOP).12,13

Resusitasi cairan awal yang efektif sangat penting untuk stabilisasi pasien.

Protokol Early Goal Directed Therapy (EGDT) yang dipublikasikan oleh

Rivers, dimana antara lain menggunakan target CVP dan ScVO2, ternyata

9

gagal menunjukkan penurunan mortalitas pada tiga studi RCT multi senter

besar yang telah dilakukan secara berturutan. Sebagai catatan, pada studi-studi

terbaru derajat keparahan penyakit pasien yang disertakan dalam penelitian

ternyata lebih rendah dibanding studi Rivers (dinilai berdasarkan kadar awal

laktat yang mleboirhtarleitnadsaghr,oSucpvkOo2natwroallyraantag-rlaetbaihdarleanmdakhis).arJaandinsoerbmeanlaarntayualeefbeikh
tinggi, dan

merugikan terkait dengan penerapan strategi EGDT sebenarnya tidak ada.

Dengan demikian penggunaan target sebelumnya sebenarnya masih cukup

aman dan dapat dipertimbangkan. 14-16 Namun yang perlu ditekankan adalah

penggunaan target CVP secara absolut dalam hal ini seharusnya dihindari,

karena cenderung mengakibatkan resusitasi cairan yang berlebihan.

CO2 gap (Perbedaan karbondioksida antara arteri dan vena (Pv-a CO2))
CO2 gap telah diteliti sebagai penanda hipoperfusi jaringan. Peningkatan

produksi CO2 merupakan salah satu gambaran dari adanya metabolisme
anaerob. Rasio perbedaan tekanan karbon dioksida vena-arteri (Pv-
aCO2) dengan perbedaan kandungan oksigen arteri-vena (Ca-vO2) [rasio
∆PCO2/∆ContO2] merupakan prediktor adanya metabolisme anaerob yang
lebih baik. Rasio ini bisa juga digunakan sebagai ukuran pengganti respiratory
quotient (RQ) dan rasio ∆PCO2/∆ContO2 dengan baseline ≥ 1,8 mmHg/
mL merupakan prediktor yang akurat untuk menentukan pasien mana yang
berada di area VO2/DO2 dependence (gambar 2), sehingga akan mengalami
peningkatan DO2 secara bermakna setelah pemberian cairan. Penilaian rasio
ini membuat interpretasi peningkatan kadar laktat pada pasien kritis menjadi
lebih mudah. Jadi, bila terjadi peningkatan kadar laktat yang disertai dengan
peningkatan Pv-aCO2 atau peningkatan rasio Pv-aCO2 terhadap Ca-vO2,
maka kemungkinan besar penyebabnya adalah hipoperfusi. 17,18

KESIMPULAN

Deteksi dini sepsis dan sepsis induced hypotension/hypoperfusion yang
disertai dengan tatalaksana awal yang tepat akan memperbaiki luaran klinis.
Keberhasilan resusitasi awal dapat dinilai dari respons klinis pasien yang bisa
dilihat dari parameter sirkulasi makro maupun mikro, dengan alat sederhana
maupun canggih. Prinsip titrasi terapi sangat diperlukan pada kasus-kasus
yang kompleks. Terapi cairan yang tidak adekwat maupun terlalu berlebihan
akan meningkatkan angka mortalitas, oleh karena itu perlu memahami
tatacara penilaian kecukupan cairan yang tepat.

10

Lampiran 1. Panduan Tata Laksana Resusitasi Cairan pada Syok Septik
11

Lampiran 2. Panduan Tata Laksana Penggunaan Vasopresor pada Syok Septik
12

DAFTAR PUSTAKA
1. Rhodes A, Evans L, Alhazzani W, et al. Surviving sepsis campaign : Inter-

national Guidelines for Management for Sepsis and Septic Shock : 2016.
Society of Critical Care Medicine and Wolters Kluwer Health. 2017; 45:
6-8.
2. Dellinger RP, Schorr CA, Levy MM. A users’ guide to the 2016 surviving
sepsis guidelines, Society of Critical Care Medicine and Wolter Kluwer
Health. 2017; 2.
3. Monnet X, Marik P, Teboul JL. Passive Leg Raising for predicting fluid
responsiveness: a systematic review and meta analysis. Intensive Care
Med. 2016;42:1935-1947.
4. Cecconi M, De Backer D. Antonelli M, et al. Concensus on circulatory
shock and haemodynamic monitoring. Task force for the European soci-
ety of intensive care med. Intensive Care Med. 2014; 40:1795-1815.
5. Casserly B, Phillips GS, Schorr C, et al. Lactate measurements in sepsis
induced tissue hypoperfussion : result from the suriving sepsis campaign
database. Crit.Care Med. 2015; 43: 567-573.
6. Monnet X, Rienzo M, Osman D, Anguel N, Richard C, Pinsky MR,
Teboul JL: Passive leg raising predicts fluid responsiveness in the criti-
cally ill. Crit Care Med 2006, 34:1402–1407.
7. Bourgoin A, Leone M, Delmas A, et al. Increasing mean arterial pressure
in patients with septic shock: effects on oxygen variables and renal func-
tion. Crit Care Med. 2005; 33: 780-786.
8. Thooft A, Favory R, Salgado DR, et al. Effects of changes in arterial pres-
sure on perfusion during septic shock. Crit Care. 2011; 15: R222.
9. Asfar P, Meizani F, Hamel JF, et al. Sepsis PAM investigators: High ver-
sus low blood pressure target in patients with septic shock. N Engl J Med.
2014; 370:1583-1593.
10. Lamontagne F, Meade MO, Herbert PC, et al. Canadian Critical Care
Trial group : Higher versus lower blood pressure targets for vasopressor
therapy in shock: a multicenter pilot randomized controlled trial. Inten-
sive Care Med. 2016; 42:542-550.
11. Levy MM, Rhodes A, Phillpis GS, et al. Surviving sepsis campaign: asso-
ciation between performance metrics and outcome in 7,5 year study. Crit
Care Med. 2015; 43:3-12.
12. Eskesen TG, Wetterslev M, Perner A. Systematic review including reanal-
ysis of 1148 individual data sets of central venous pressure as a predictor
of fluid responsiveness. Intensive Care Med. 2016; 42: 324-332.
13. Peake SL, Delaney A, Bailey M, et al. Goal directed resuscitation for pa-
tients with early septic shock. N Engl J Med. 2014;371(16): 1496-1506.
14. Yealy DM, Kellum JA, Huang DT, et al. A randomized trial of protocol
based care for early septic shock. N Engl J Med. 2014;370(18):1683-1693.
15. Mouncey PR, Osborn TM, Power GS, et al. ProMISe trial investigators:
trial of early, goal directed resuscitation for septic shock. N Engl J Med.
2015;1301-1311.

13

FEEDING

Prananda Surya Airlangga

PENDAHULLUAN
Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam jiwa yang

disebabkan oleh disregulasi respons tubuh sistemik terhadap infeksi. Sepsis
penyebab kematian tertinggi pasien di rumah sakit di Amerika Serikat.1
Sepsis menyebabkan perubahan metabolisme tubuh termasuk penggunaan
sumber energi. Kebutuhan energi meningkat karena terjadi hipermetabolisme
dan hiperkatabolisme.1,2,3 Perubahan metabolik tersebut meningkatkan
risiko malnutrisi. Malnutrisi di Intensive Care Unit (ICU) berkaitan dengan
peningkatan morbiditas, mortalitas, dan peningkatan lama tinggal di ICU
karena peningkatan kebutuhan ventilator, risiko infeksi dan gangguan
penyembuhan luka.4

Perawatan sepsis memerlukan strategi yang kompleks, dimulai dari
identifikasi dini, resusitasi cairan dan vasopresor, terapi antimikroba dan
identifikasi patogen, pemberian terapi nutrisi, serta terapi supportif untuk
meningkatkan outcome.3 Tujuan terapi nutrisi adalah dengan pemberian
nutrisi membantu menurunkan respons metabolik terhadap stress, mencegah
kerusakan sel akibat stress oxidative, dan memodulasi respons imun. Hal
ini dapat dicapai dengan cara nutrisi enteral dini, pemberian makro dan
mikronutrien yang sesuai dan kontrol gula darah yang baik.5

Pentingnya nutrisi mengharuskan para klinisi mengetahui tentang
manajemen nutrisi yang adekuat. Dukungan terapi nutrisi yang adekuat
diharapkan dapat memperbaiki keparahan penyakit dan komplikasi,
menurunkan lama tinggal di ICU, menurunkan biaya perawatan dan
meningkatkan angka kesembuhan.4

RESPONS METABOLIK PADA INFLAMASI
Pada kondisi stress termasuk sepsis terjadi perubahan metabolik,

merupakan respons pertahanan tubuh terhadap infeksi. Proses ini terjadi
pelepasan mediator inflamasi, sitokin yang memicu sekresi katekolamine,
pelepasan hormon pituitari serta resistensi terhadap faktor anabolik (cortisol

14

dan glucagon) sehingga terjadi resistensi jaringan terhadap insulin. Perubahan
respons metabolik berupa hipermetabolik, proteolisis dan nitrogen loss,
peningkatan glukoneogenesis dan peningkatan penggunaan glukosa. Secara
klinis hal ini dapat diidentifikasi berupa peningkatan penggunaan energi,
stress hiperglikemia.2

Respons hipermetabolik mengakibatkan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen ke jaringan sedangkan kebutuhan oksigen di organ perifer
meningkat. Sepsis menyebabkan inefisiensi penggunaan glukosa. Pada
kondisi hipoksia glukosa akan diubah menjadi laktat dengan glikolisis
anaerob.

Pasien sepsis juga terjadi peningkatan urea nitrogen urin yang disebabkan
oleh pemecahan otot. Hal ini menggambarkan seberapa besar kerusakan
jaringan yang terjadi.2

KEBUTUHAN NUTRISI
Perubahan respons metabolik mengakibatkan perhitungan kebutuhan

energi pada pasien kritis merupakan tugas menantang, dibuktikan bahwa
klinisi sering memberikan hanya 60-80% dari kebutuhan energi. Hal ini
diperberat bahwa sering klinisi lebih memprioritaskan kontrol hemodinamik
dan ventilasi dibandingkan masalah nutrisi.5,6

Penilaian kebutuhan nutrisi dimulai dari mengetahui status nutris melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pengukuran anthropometri. Riwayat
penurunan berat badan, anoreksia, keluhan gastrointestinal (muntah, diare)
dan pemeriksaan fisik tanda dari malnutrisi perlu diperhatikan. Sepsis
menyebabkan edema sehingga terjadi bias dalam pengukuran anthropometri.
Skrining digunakan untuk mendeteksi adanya undernutrition sebelumnya
dan risiko terjadi undernutrition. Nutritional Risk Screening (NRS 2002),
Nutrition Risk in Critically ill (NUTRIC) score merupakan alat bantu
skrining untuk menilai status nutrisi dan severitas dari penyakit.7

Pasien syok (hipotensi (MAP<60 mmHg), peningkatan kadar laktat,
hiperglikemia) hipoksia, hiperkapnea, dan acidosis yang akut merupakan
kontraindikasi untuk pemberian nutrisi melalui enteral atau parenteral. Jika
syok sudah terkontrol (dosis vasopressor yang stabil, kadar laktat yang
cenderung turun, perbaikan asidosis metabolik) setelah resusitasi cairan
dan vasopressor yang adekuat nutrisi enteral dapat dimulai. Metode objektif
dengan perhitungan shock index ≤1 (shock index = nadi : tekanan darah
sistolik) dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk insiasi nutrisi
enteral.4-9

Kebutuhan energi bisa ditentukan menggunakan rumus prediktif (Harris-
Benedict Equation, Schofield equations, FAO/WHO/UNU equations, dsb)
atau berdasarkan pengukuran kalorimeter indirek.10 Berdasarkan guideline
ASPEN dan ESPEN, kebutuhan kalori diberikan berdasarkan hasil

15

pengukuran kalorimeter indirek. Bila tidak tersedia kalorimeter indirek
disarankan kebutuhan energi dihitung berdasarkan berat badan (20-25 kcal/
kg/hari kalori & 1,5 g/kg protein pada fase akut, 25-30 kcal/kg/hari kalori &
1.5-2.5 g/kg protein pada fase anabolik). Akan tetapi, edema pasca resusitasi
volume menyebabkan penghitungan berat pada pasien sepsis dihitung secara
cermat. Selain itu terapi yang mengandung dextrose atau obat yang larut
dalam lemak (propofol) harus dipertimbangkan.5

Kalorimeter indirek merupakan alat yang paling akurat untuk menentukan
kebutuhan energi. Kalorimeter indirek mengalisis udara expirasi dari udara
yang masuk ke paru-paru, oksigen yang diekstraksi (VO2), banyaknya
karbon dioksida yang diproduksi (VCO2) sebagai hasil dari metabolism.
Saat ini kalorimeter indirek semakin reliabel, mudah pengerjaannya dan
akurasi hingga 95% untuk mengukur VO2. Pengukuran kalorimeter indirek
pada pasien kritis perlu dilakukan pengukuran berkala karena kondisinya
yang dinamis. Keterbatasan dalam pengukuran dengan calorimeter indirek
adalah pengukurannya menjadi tidak akurat bila terdapat kebocoran sistem,
setting ventilator dengan FiO2 >0.6 atau PEEP yang tinggi.5,10

Rute Pemberian
Saat ini panduan klinis tentang terapi nutrisi merekomendasikan

pemberian nutrisi enteral dibandingkan nutrisi parenteral bila sistem
gastrointestinal intak dan fungsional.

Nutrisi Enteral
Enteral feeding dimulai dalam 24-48 jam pertama segera setelah resusitasi

dan pasien dalam hemodinamik stabil. Pemberian nutrisi enteral ditunda bila
terdapat kondisi berikut: Obstruksi usus, perdarahan saluran cerna, infark
mesenterik, atau abdominal compartment syndrome, high output fistula.
Tidak adanya bising usus atau tanda motilitas usus (flatus atau BAB) bukan
merupakan alasan untuk tidak menginisiasi nutrisi enteral. Penghentian atau
penundaan nutrisi enteral harus dilakukan bila muncul tanda intoleransi
(distensi abdomen, peningkatan residu gaster (>500ml/6jam), gangguan
pasase usus atau flatus, asidosis metabolik).4-11 Pemberian nutrisi enteral dini
menjaga integritas mukosa dengan cara menjaga tight junction antara sel
intraepithelial, menstimulasi aliran darah viseral, sekresi Ig-A, menurunkan
respons hipermetabolik, kontrol gula darah yang lebih baik. Integritas
mukosa dipertahankan untuk mencegah translokasi bakteri.5,11,12

Nutrisi enteral dapat diberikan melalui oral, pipa nasograstrik atau
pipa post pylorus (pipa nasoduodenal, jejunostomi). Pipa postpylorik
dipertimbangkan pada pasien dengan risiko tinggi aspirasi, gastroparesis,
dan intoleransi.3,5,12

Pada fase akut dari pasien sepsis, disarankan untuk pemberian trophic

16

feeding (10-20 ml/jam dinaikkan bertahap hingga 500 kcal/hari atau 50-
70% total kebutuhan). Nutrisi ditingkatkan bila gejala klinis membaik atau
tidak ada gejala klinis baru. Bila terdapat tanda tanda intoleransi seperti
nyeri; distensi abdomen; atau peningkatan tekanan intra abdomen (TIA),
pemberian nutrisi enteral sebaiknya tidak ditingkatkan. Bila tidak terjadi
intoleransi, target pemberian energinya ditingkatkan secara bertahap hingga
>80% sesuai toleransi setelah 48-72 jam pertama. Nutrisi yang diberikan
ditargetkan tidak untuk mencukupi target kalori penuh, hal ini disebabkan
karena kebutuhan kalori dan protein pada fase awal dari sakit kritis tidak
diketahui sepenuhnya.5,8,13

Toleransi terhadap nutrisi enteral dimonitoring setiap hari. Intolerasi
gastrointenstinal didefinisikan sebagai hilangnya atau abnormalitas bising
usus, muntah, dilatasi usus, diare atau perdarahan saluran cerna, hingga
residu gaster yang tinggi (200-250ml). Pengukuran GRV bukan merupakan
monitoring rutin pada pasien sepsis, kecuali berisiko tinggi untuk terjadi
aspirasi. GRV 250-500 ml tidak meningkatkan insidensi regurgitasi, aspirasi
atau pneumonia. Pemberian nutrisi enteral sebaiknya ditunda bila GRV
>500ml/6jam. Nutrisi melalui pipa postpilorus dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan GRV yang besar.3,5

Komplikasi yang mungkin terjadi dari pemberian nutrisi enteral antara
lain:
• Aspirasi (pneumonia, ARDS)

Faktor risiko terjadi aspirasi antar lain: ketidakmampuan proteksi jalan
napas (penurunan kesadaran), adanya pipa nasoenterik, perawatan oral care
yang buruk, rasio perawat dengan pasien yang tidak seimbang, posisi supine,
pemberian cairan secara bolus.5
• Diare

Diare disebabkan oleh gangguan disgetion atau absorbsi, pertumbuhan
bacteri yang berlebihan, atau infeksi seperti Clostridium difficile. Penyebab
dari diare harus dianalisis dan tidak menyebabkan penundaan nutrisi enteral.
Pertumbuhan bacteri yang berlebihan dapat diterapi dengan dekontaminasi
selektif, pemberian diet tinggi serat.8
• Komplikasi terkait pipa enteral

Prokinetik
Prokinetik diberikan pada intoleransi nutrisi enteral, dengan

metoclopramide, domperidone, erythromycin (1-3mg/kgBB). Pada beberapa
studi pada pasien kritis didapatkan, penggunaan prokinetik menurunkan
angka intoleransi nutrisi enteral hingga 17%. Pemberian prokinetik dievaluasi
setiap hari dan dihentikan bila tidak ada indikasi klinis.3

17

Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral adalah pemberian nutrient melalui intravena melalui

akses perifer atau vena central dan direkomendasikan jika nutrisi enteral
tidak dapat memenuhi target kebutuhan nutrisi.14 Waktu yang tepat untuk
pemberian suplemen nutrisi parenteral berbeda antara masing masing
panduan klinis. ASPEN dan Surviving sepsis campaign menganjurkan
pemberian nutrisi parenteral setelah 1 minggu pertama di ICU pada pasien
risiko rendah malnutrisi (NRS <3 atau NUTRIC Score <5), sedangkan
pada pada pasien dengan risiko malnutrisi tinggi (NRS >3 atau NUTRIC
Score >5) atau pasien malnutrisi berat disarankan untuk mendapat nutrisi
parenteral sesegera mungkin. Sedangkan ESPEN, menganjurkan inisiasi
suplemen nutrisi parenteral pada hari ke-2 (48-72 jam) ICU pada intoleransi
nutrisi enteral dimana >80 kebutuhan energi tidak dapat tercapai.5,14,15

Penundaan pemberian parenteral nutrisi tunggal atau kombinasi enteral
parenteral sampai dengan 7 hari didasarkan bahwa pemberian nutrisi
parenteral dini (tanpa atau kombinasi enteral) tidak berkaitan dengan
penurunan mortalitas, akan tetapi berkaitan dengan peningkatan risiko
infeksi. Dikarenakan kurangnya perbaikan angka mortalitas, peningkatan
risiko infeksi, dan penambahan biaya parenteral nutrisi, disimpulkan bahwa
tidak merekomendasikan pemberian nutrisi entral dini (7 hari pertama) pada
pasien dengan dengan intoleransi atau kontraindikasi nutrisi enteral.3,5

Komplikasi pada penggunaan TPN adalah
• Komplikasi terkait pemasangan kateter vena sentral (pneumothoraks, he-

matothoraks, CLABSI)
• Gangguan metabolik atau overfeeding (ketidakseimbangan elektrolit, hi-

perglikemi, fatty liver)
• Imunosupresi
• Atrofi usus

IMUNONUTRISI
Imunonutrisi adalah pemberian nutrient yang dianggap memiliki efek

meningkatkan respons imun. Peran imunonutrisi dalam meningkatkan
outcome pasien kritis belum dapat dibuktikan. Beberapa bukti pada pasien
pasca bedah, imunonutrisi meningkatkan resistensi terhadap infeksi,
menurunkan durasi dan severitas dari inflamasi. Akan tetapi beberapa
penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna pada outcome
pasien antara yang mendapat imunonutrisi dengan yang tidak. Surviving sepsis
campaign 2016 tidak merekomendasikan untuk pemberian imunomodulator
spesifik pada pasien dengan sepsis.3,16

SELENIUM
Selenium memiliki efek farmakologis melalui mekanisme antioxidant.

18

Pemberian selenium diharapkan dapat mengkoreksi konsentrasi selenium
pada pasien sepsis. Beberapa meta analisis menyebutkan bahwa tidak ada
perbedaan yang bermakna dalam outcome pasien pemberian selenium pada
pasien sepsis.3,17

ARGININ
Arginin adalah asam amino esensial yang memiliki efek potensial

memperbaiki keseimbangan nitrogen dan fungsi T-cell immune, Beberapa
penelitian menunjukan tidak ada keuntungan atau kerugian pada populasi
grup pasien sepsis.3,17

GLUTAMIN
Glutamin adalah asam amino nonessensial yang berperan dalam

transport nitrogen dan energi untuk sel imun, enterosit, hepatosit dll.
Pemberian eksogen dapat memperbaiki atropi mukosa usus, permeabilitas
dan menurunkan translokasi bakteri. Keuntungan potensial yang lain adalah
meningkatkan fungsi sel imun, menurunkan produksi sitokin proinflamasi,
meningkatkan kadar glutation dan antioxidant. Sebagian besar metaanalisis
menunjukan bahwa tidak ada perbedaan angka mortalitas akan tetapi terdapat
berbedaan signifikan penurunan komplikasi infeksi dan pemulihan disfungsi
organ yang lebih cepat.3,17

CARNITIN
Carnitin secara endogen dibentuk dari lysine dan methionine dibutuhkan

untuk transport asam lemak rantai panjang kedalam mitokondria. Penggunaan
carnitine merupakan hal yang esensial dalam proses metabolisme energi,
dimana carnitine memungkinan perubahan metabolisme dari metabolisme
glukosa ke asam lemak rantai panjang. Sebuah uji klinis menunjukan
penurunan mortalitas hari ke-28 pada pasien syok septik yang mendapat
terapi IV L-carnitin dalam 24 jam onset syok. Akan tetapi perlu penelitian
lebih lanjut untuk membuktikan kegunaan lebih lanjut dari pemberian
carnitin.3,17

ASAM LEMAK OMEGA-3
Pengunaan asam lemak omega-3 dipercaya memiliki potensi sebagai

immunomodulator, sehingga banyak diteliti pada beberapa tahun terakhir.
Akan tetapi tidak didapatkan keuntungan yang berarti pada pemberian
enteral atau parenteral pada pasien kritis berdasarkan sistematik review.3

MALNUTRISI
Underfeeding

Malnutrisi, defisit protein dan energi berkaitan dengan peningkatan

19

mortalitas dan morbiditas pada pasien sepsis. Pasien yang underfeeding
berkaitan dengan peningkatan komplikasi seperti malnutrisi, kelemahan
otot, gangguan imunitas, acute respiratory distress syndrome, infeksi,
gagal ginjal, dan kematian. Kelemahan otot merupakan komplikasi yang
serius dimana akan menyebabkan pasien gagal atau sulit untuk disapih dari
ventilasi mekanik. Secara teori, mencegah starvation pada fase dini sakit
kritis dapat menurunkan risiko katabolisme otot skelet sehingga mencegah
terjadinya muscle wasting. Akan tetapi pemberian nutrisi yang agresif tidak
menurunkan katabolisme otot, tetapi meningkatkan akumulasi lemak.18,19
Overfeeding

Overfeeding berkaitan dengan peningkatan produksi carbon dioksida,
gagal napas, hiperglikemia, dan dyslipidemia, disfungsi liver.19
Algoritma manajemen terapi nutrisi pada pasien sepsis

20

REKOMENDASI DUKUNGAN NUTRISI PADA SEPSIS
Surviving sepsis campaign 2016 merekomendasikan dukungan nutrisi

pada pasien sepsis sebagai berikut ini:3
• Tidak direkomendasikan pemberian nutrisi parenteral dini atau kombi-

nasi nutrisi parenteral-enteral (tetapi menganjurkan inisiasi nutrisi enteral
dini) pada pasien sepsis atau syok septik yang dapat diberikan nutrisi
secara enteral.
• Tidak direkomendasikan pemberian total parenteral nutrisi atau kombina-
si dengan parenteral-enteral (tetapi menganjurkan untuk inisiasi glukosa
intravena dan nutrisi enteral yang dapat ditoleransi) pada 7 hari pertama
pasien kritis dengan sepsis atau syok septik yang tidak memungkinkan
untuk nutrisi enteral dini.
• Disarankan pemberian nutrisi enteral dini dibandingkan puasa atau hanya
glukosa intravena pada pasien sepsis atau syok septik yang dapat diberi-
kan secara enteral
• Disarankan untuk pemberian trophic/hipokalori feeding atau full enteral
feeding dini pada pasien kritis dengan sepsis dan syok sepsis; jika thropic/
hipokalori feeding merupakan strategi awal, nutrisi sebaiknya ditingkat-
kan sesuai toleransi pasien.
• Tidak menyarankan untuk monitoring rutin gastric residual volume
(GRV) pada pasien kritis dengan sepsis atau syok septik. pengukuran re-
sidu gaster disarankan untuk pada pasien dengan intoleransi enteral atau
berisiko tinggi terjadi aspirasi
• Disarankan untuk memberikan prokinetik dan pemasangan post pyloric
feeding tube pada pasien sepsis atau syok septik dengan intoleransi en-
teral.
• Tidak direkomendasikan untuk pemberian imunonutrisi spesifik (seleni-
um, arginin, glutamin, carnitin) pada pasien sepsis atau syok septik

KESIMPULAN
Tujuan terapi nutrisi pada pasien kritis adalah untuk membantu

menurunkan respons metabolik terhadap stress, mencegah kerusakan
sel akibat stress oxidative, dan memodulasi respons imun dengan cara
memberikan nutrisi secara adekuat. Penatalaksanaannya meliputi penilaian
kebutuhan kalori, protein, monitoring dan evaluasi. Pemberian terapi nutrisi
yang adekuat diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
pasien sepsis.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. V. F. Pasinato, M. C. Berbigier, B. d. A. Rubin, K. Castro, R. B. M. Moraes,
I. Dalira and S. Perry, “enteral nutritional therapy in septic patient in in-
tensive care unit: compliance with nutritional guidelies for critically ill
patients,” Rev Bras Ter Intensiva.2013,vol. 25, no. 1, pp. 17-24

2. F. R. A. Iscra, “SIRS/Sepsis: Metabolic and Nutritional Changes and
Treatment,” in Infection Control in the Intensive Care, Second Edition
ed., H. Van Saene, L. Silvestri and M. De La Cal, Eds., Springer-Verlag.
2005.

3. A. Rhodes, L. E. Evans, W. Alhazzani, M. M. Levy, M. Antonelli, R. Fer-
rer and A. Kumar, “Surviving Sepsis Campaign: International Guideline
Management of Sepsis and Septic Shock: 2016,” Society of Critical Care
Medicine, vol. 45, no. 3, pp. 486-552. 2017.

4. J. Barr, M. H. K. E. Flavin, A. Khorana and M. K. Gould, “Outcomes in
Critically Ill Patient Before and After the Implementation of an Evidence-
Based Nutritional Management Protocol,” CHEST.2004, no. 4, pp. 1446-
57

5. Society of Critical Care Medicine; American Society for Parenteral and
Enteral Nutrition, “Guidelines for the Provision and Assessment of Nutri-
tion Support Therapy in the Adult Critically Ill Patient: Society of Critical
Care Medicine (SCCM) and American Society for Parenteral and Enteral
Nutrition (A.S.P.E.N.),” Journal of Parenteral and Enteral Nutrition.2016
vol. 40, no. 2, pp. 159-211

6. S. Lev, J. Cohen and P. Singer, “Indirect Calorimetry Measurements in
the Ventilated Critically Ill Patient: Facts and Controversies - The Heat is
On,” Crit Care Clin.2010, vol. 26, pp. e1-e9

7. J. Kondrup, S. P. Allison, M. Elia, B. Vellas and M. Plauth, “ESPEN
Guideline on Ethical Aspects of Artificial Nutrition and Hydration,” Clini-
cal Nutrition.2016 vol. xxx, pp. 1-12

8. A. R. Blaser, J. Starkopf, W. Alhazzani, M. M. Berger, M. P. Casaer and A.
M. Deane, “Early enteral nutrition in critically ill patients: ESICM linical
practice guidelines,” Intensive Care Med.2017, vol. 43, pp. 380-398

9. P. T. Heighes, Gordon, S. Doig and F. Simpson, “Timing and Indication
for Enteral Nutrition in the Critically Ill,” in Nutrition Support for the
Critically Ill, Springer International Publishing Switzerland.2016, pp. 55-
62.

10. R. Sion-Sarid, J. Cohen, Z. Houri and P. Singer, “Indirect Calorimetry: A
guide for optimizing nutritional support in the critically ill child,” Nutri-
tion.2013 vol. 29, pp. 1094-99

22

11. B. R. Bistrian, “The Who, What, Where, When, Why, and How of Early
Enteral Feeding,” The American Journal of Clinical Nutrition.2012 vol.
95, pp. 1303-4

12. T. D. Gohel and D. F. Kirby, “Access and Complication of Enteral Nutri-
tion Support for Critically Ill Patient,” in Nutrition Support for the Criti-
cally Ill, Springer International Publishing Switzerland. 2016, pp. 63-70.

13. R. G. Martindale, S. A. McClave, V. W. Vane, M. McCarthy, P. Roberts,
B. Taylor, J. B. Ochoa, L. Napolitano, G. Cresci, A. C. o. C. C. medi-
cine and T. A. B. Director, “Guidelines for The Provision and assessment
of nutrrition support therpay in the adult critically ill patient: Society of
Critical Care Medicine and American Society for Parenteral and Enteral
Nutrition: Executive Summary,” Crit Care Med.2009, vol. 37, no. 5, pp.
1757-1761

14. P. F. Padilla, G. Martinez, R. W. Vernooij, G. Urrutia, M. R. i. Figuls and
X. B. Cosp, “Early versus delayed enteral nutrition support for critically
ill adult,” Cochrane Database of Systematic Review, no. 9. 2016

15. P. Singer, M. Hiesmayr, G. Biolo, T. W. Felbinger, M. M. Berger, C.
Goeters, J. Kondrup and C. Wunder, “Pragmatic approach to nutrition in
the ICU: Expert opinion regarding which calorie protein target,” Clinical
Nutrition, vol. 33.2014, pp. 246-251

16. G. Bertolini, G. Iapichinol, D. Radrizzani, R. Facchini and B. Simini,
“Early enteral immunonutrition in patients with severe sepsis,” Intensive
Care Med.2003, vol. 29, pp. 834-840

17. E. Slattery and D. S. Seres, “Major Infection and Sepsis,” in Nutritional
Support for the Critically Ill, Springer International Publishing Switzer-
land.2016, pp. 141-155.

18. C. C. H. Lew, R. Yandel, R. Fraser and A. P. Chua, “Association Between
Malnutrition and Clinical Outcome in the Intesive Care Unit: A System-
atic Review,” Journal of Parenteral and Enteral Nutrition.2016.

19. M. P. Casaer, G. Hermans, A. Wilmer and G. V. d. Berghe, “Impact of
early parenteral nutrition completing enteral nutrition in adult critically ill
patients (EPaNIC trial): a study protocol and statistical analysis plan for a
randomized controlled trial,” Trials, vol. 12, no. 21.2011, pp. 1-11

20. P. E. Wischmeyer and D. K. Heyland, “The Future of Critical Care Nutri-
tion Therapy,” vol. 26. 2010.

21. G. S. Doig, F. Simpsin, E. A. Sweetman and S. R. Finfer, “Early Paren-
teral Nutrition in Critically Ill Patients With Short-term Relative Contra-
indication to Early Enteral Nutrition,” J Am Med Assoc.2013, vol. 309,
no. 20, pp. 2130-38

23

SEDASI DAN ANALGESIA

Fahrul Razi

SEDASI
1. Sedasi Dalam dibandingkan hasil klinis

a. Mempertahankan sedasi ringan memberikan hasil klinis yang baik
misalnya penggunaan ventilator lebih cepat dan lebih cepat rawat
ruang ICU (B)

b. Mempertahankan sedasi ringan meningkatkan respons stress
fisiologis tetapi tidak berhubungan dengan kejadian myocardial
iskemik (B)

c. Hubungan antara kedalaman sedasi dan stress fisiologis belum
jelas (C)

d. Disarankan untuk memberikan sedasi secara titrasi untuk
mempertahankan sedasi ringan daripada sedasi dalam pada pasien
dewasa di ruang ICU, kecuali kontraindikasi (+1B)

2. Mengawasi kedalaman sedasi dan fungsi otak
a. The Richmond Agitation Seation Scale (RASS) dan Sedation
Agitation Scale (SAS) adalah yang digunakan. (B)
b. Tidak disarankan AEPs (auditory evoked potensials), BIS , NI
(nacotren Index) PSI (patient state Index) atau SE (State Entropy)
digunakan sebagai alat utama mengukur kedalaman sedasi pada
pasien tidak koma, tidak lumpuh pada pasien di ruang ICU,
diamana monitor ini tidak adekuat untuk mengukur sistem sedasi
(-B)
c. Disarankan menggunakan AEPs, BIS dll sebagai menggukur
sedasi pada pasien dewasa di ICU yang menggunakan pelumpuh
otot (+2B)
d. Disarankan menggunakan EEG pada pasien tidak kejang di ICU
dengan peningkatan Tekanan Intrakranial.(+1A)

3. Pilihan sedasi
Disarankan menggunakan propofol atau dexmetomidin pada pasien

menggunakan ventilator (+2B)

24

ANALGESIA
1. Angka Kejadian Nyeri

a. ICU medical, surgical and trauma sering mengalami nyeri (B)
b. Nyeri pada pasien operasi jantung biasanya sering terjadi tetapi

tidak di terapi secara adekuat, wanita lebih merasa nyeri dibanding
kan laki-laki setelah operasi jantung (B)
c. Prosedur nyeri di ICU adalah hal yang biasa (B)
2. Penilaian Nyeri
a. Disarankan untuk mengawasi nyeri secara rutin di ICU (+1B)
b. BPS (Behavior Pain Scale ) dan CPOT ( Critical Care Observational
Tool) adalah yang paling di percaya untuk memonitor nyeri di
ICU (B)
c. Tidak disarankan tanda vital digunakan sebagai penilaian nyeri
sebagai parameter tunggal (-2C)
d. Disarankan tanda vital sebagai awal untuk menilai nyeri pada
pasien (+2C)
3. Terapi Nyeri
a. Disarankan analgesia preemptive dan nonfarmako diberikan
untuk mengurangi nyeri pasien di ICU pada pencabutan WSD (+1C)
b. Disarankan analgesia preemptive dan nonfarmako untuk posedur
lain di ICU yang potensial menimbulkan nyeri(+2C)
c. Disarankan opioid intra vena sebagai obat pilihan utama untuk
nyeri non-neuropatic pada pasien ICU (+1C).
d. Semua obat opoid yang diberikan secara intravena dengan cara
titrasi (C).
e. Disarankan nonopiod diberikan untuk mengurangi dosis opiod
sehubungan dengan efek sampan (+2C).
f. Disarankan pemberian gabapentin atau carbamazepine oral untuk
terapi neuropatic pain (+1A).
g. Disarankan epidural analgesia pada pasien pascaoperasi abdominal
aneurisma aorta (+1B).
h. Disarankan epidural analgesia untuk pasien patah tulang iga. (+2B)

25

Lampiran 1. Algoritma penilaian pain agitasi dan delirium

Penilaian derajat sedasi menggunakan RASS (Richmond Agitation
Sedation Scale)

SkorDeskripsi
• + 4 (agresif) agresif, berbahaya terhadap staff
• + 3 (sangatgelisah) menarik untuk melepas tube, kateter, agresif
• + 2 (agitasi) gerakan tidak bertujuan, melawan ventilator
• + 1 (gelisah) gelisah, gerakan tidak agresif

0 (sadar dan tenang) spontan memberi perhatian pada yang merawat
• - 1 (mengantuk) tidak sadar penuh, tetapi mudah terbangun karena suara

(buka mata dan kontak > 10 detik)
• - 2 (sedasi ringan) bangun sejenak karena suara (buka mata dan kontak

< 10 detik)
• - 3 (sedasi sedang) pergerakan atau buka mata terhadap suara (tidak ada

kontak mata)
• - 4 (sedasidalam) tidak ada respons terhadap suara, tetapi gerakan atau

buka mata terhadap rangsangan fisik
• - 5 (tidak dapat dibangunkan) tidak respons terhadap suara atau rangsang

fisik

26

Jika RASS ≥ -3 lanjutkan CAM-ICU (jika pasien CAM-ICU positif atau
negatif?

Jika RASS -4 atau -5 gSTOP (pasien tidak sadar), RECHECK kembali

Confusion Asessement Method for the ICU (CAM-ICU) flowsheet
1. Perubahan akut atau fluktuasi status mental:

• Apakah ada perubahan akut dari status mental dasar? Atau
• Apakah status mental pasien fluktuasi selama 24 jam terakhir?
Jika tidak:
CAM-ICU negatif (tidak delirium)
Jika ya:
2. Kurang Perhatian:
• Minta pasien untuk menggenggam tangan dan mengucapakan

urutan kata
• Jika tidak dapat menyelesaian kata ggambar
Jika terdapat error 0-2:
CAM-ICU negatif (tidak delirium)
Jika Ya:
>dari 2 error
3. Perubahan derajat kesadaran (derajat RASS saat ini)
Jika RASS selain nol:
CAM ICU postitif, delirium (+)
Jika RASS nol:
1. Pemikiran tidak beraturan
Eror> 1
Eror 0-1 CAM 1cu negatif (No delirium)

DAFTAR PUSTAKA
1. Barr j,MD FCCM, Frase L Gilles PharmaD,FCCM, Clinical Practice

Guideline for management of pain, agitation and delirium in adult patients
in intentenisve care unit, January. 2013,volume 41 number1
2. Pedoman Penggunaan Analgesi dan Sedasi ICU Rumah Sakit Hasan Sa-
dikin Bandung (internal data)

27

THROMBOEMBOLISM PROPHYLACTIC

Shinta V R Hutajulu

PENDAHULUAN
Venous thromboembolism (VTE) dengan manifestasi klinisnya yaitu

trombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru (PE), merupakan komplikasi
yang sering dijumpai pada pasien- pasien yang dirawat di Intensive Care Unit
(ICU).

Sepsis terutama yang disertai dengan hipotensi dan syok merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya DVT dan PE. Patogenesis yang mendasari
terjadinya VTE pada sepsis diduga terjadi oleh karena berbagai faktor,
antara lain: pemakaian obat vasopresor, sedasi, imobilisasi, aktivasi jalur
thromboinflamasi, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), dan
stasis vena. VTE pada pasien sepsis ini juga cukup sulit untuk didiagnosa
dan sering tidak terdiagnosa, yang pada akhirnya menimbulkan komplikasi
seperti hipotensi, takikardi, hipoksia dan cedera paru, sulit / gagal penyapihan
ventilator. Dan pada akhirnya, VTE akan meningkatkan lamanya perawatan di
ICU dan meningkatkan angka kesakitan dan kematian.1-5

INSIDENSI
Angka kejadian DVT di ICU dapat mencapai 10%, dan angka kejadian

PE berkisar 2-4%. Dan pada pasien dengan sepsis, memiliki risiko yang
meningkat untuk terjadinya VTE. 6

FAKTOR RISIKO VENOUS THROMBOEMBOLISM PADA PASIEN
SAKIT KRITIS

Pasien-pasien yang sakit kritis dan dirawat di ICU memiliki faktor risiko
yang sama secara umum dengan pasien lain, seperti: usia, obesitas, imobilisasi,
riwayat pernah VTE, riwayat kanker, sepsis, stroke, gagal napas dan gagal
jantung, kehamilan, trauma, dan baru menjalani pembedahan. (Tabel 1)
Khusus untuk pasien- pasien yang sakit kritis di ICU, memiliki faktor risiko
tambahan di samping faktor risiko secara umum tersebut.

Ventilasi mekanik, akan meningkatkan risiko terjadinya VTE dengan
penurunan venous return dan penggunaan sedasi serta imobilisasi. Dan

28

Tabel 1. Faktor risiko venous thromboemboli

Faktor risiko VTE secara umum Faktor risiko VTE yang didapat di ICU

Usia Sepsis
Riwayat VTE sebelumnya Penggunaan obat vasopresor
Riwayat kanker Penggunaan ventilasi mekanik
Imobilisasi Penggunaan obat sedasi
Obesitas Penggunaan kateter vena sentral
Kehamilan Gagal jantung dan paru
Trauma, cedera medula spinalis Gagal ginjal stadium akhir
Baru menjalani operasi
Stroke

ada korelasi antara lamanya penggunaan ventilasi mekanik dengan angka
kejadian DVT, walaupun belum begitu jelas.

Pemasangan kateter vena sentral juga merupakan salah satu faktor risiko
yang penting dalam mencetuskan terjadinya VTE di ICU, terutama apabila
kateter vena sentral dipasang di vena femoralis, dengan angka kejadian
berkisar dari 2,2% sampai dengan 69%. Chastre et al, yang pertama sekali
mengemukakan kejadian trombosis yg disebabkan karena pemasangan
kateter vena sentral. Didapatkan angka kejadian trombosis 2-10% pada
pemasangan di vena subclavia, 10-69% di vena femoralis, dan 40 – 56%
di vena jugularis interna. Dan angka kejadian PE yang berhubungan
dengan kateter vena sentral di vena cava superior antara 7-17%. DVT pada
ekstremitas bawah akan meningkatkan 4 kali risiko untuk terjadinya PE. 7

Risiko untuk terjadinya trombosis ini akan meningkat seiring dengan
lamanya pemakaian kateter vena sentral tersebut. Dan risiko ini lebih sering
terjadi pada pasien-pasien dengan usia lanjut yang mengalami sepsis.2,8-9

Pemberian obat-obat vasopresor sendiri merupakan salah satu faktor
risiko untuk terjadinya DVT, yang disebabkan karena tidak optimalnya
absorbsi heparin sub kutan karena vasokonstriksi dari pembuluh darah
perifer.10

Transfusi trombosit dan nilai trombosit yang tinggi, juga merupakan
salah satu faktor risiko yang mencetuskan VTE, yang disebabkan karena
peningkatan aktivasi trombosit dan perlekatan dengan dinding pembuluh
darah yang diikuti dengan pembentukan fibrin clot. 7,11

TERAPI PROFILAKSIS VENOUS THROMBOEMBOLISM
Ada 2 metode profilaksis venous thromboembolism pada pasien-pasien

yang dirawat di ICU, yaitu: farmakologi (obat-obatan) dan mekanikal.
Pilihan pemberian profilaksis tergantung pada kondisi klinis pasien dan
penyakit yang mendasarinya.

29

Kontraindikasi untuk pemberian profilaksis farmakologi adalah :
• Trombositopenia (Trombosit < 50.000 )
• Gangguan pembekuan darah seperti pada DIC, International normalized

ratio (INR), atau activated Partial-Thromboplastin Time (aPTT) > 1,5
• Perdarahan aktif
• Stroke perdarahan atau iskemia yang baru
• Hemofilia A atau B dan penyakit von Willebrand

METODE FARMAKOLOGI TROMBOPROFILAKSIS
Obat-obatan yang digunakan untuk tromboprofilaksis adalah Unfractionated

Heparin (UFH) , Low Molecular Weight Heparin ( LMWH), fondaparinux .
Pada pasien yang tidak ada kontraindikasi pemberian farmakologi

profilaksis, maka :
1. 1st line : enoxaparin 40 mg SQ Q 12H
2. 2nd line : Low dose UFH 7500 unit SQ Q8H

Pada pasien denagn Cr Cl < 30 ml/ mnt :
1. 1st line : Low Dose UFH 5000 unit SQ Q8H
2. 2nd line : enoxaparin 30 mg SQ Q24H

METODE MEKANIKAL TROMBOPROFILAKSIS
Bila terdapat kontra indikasi pemberian farmakologi profilaksis, maka

dapat diberikan mekanikal thromboprophylaxis dengan menggunakan
Graduated Compression Stocking (GCS) atau Intermittent Pneumatic
Compression (IPC).

PEMANTAUAN
1. Semua pasien sepsis dalam waktu 24 jam setelah masuk ke ICU,

harus dinilai baik risiko perdarahan maupun risiko trombosis.
2. Faktor yang dapat dinilai yang berkorelasi kuat dengan risiko

perdarahan adalah :
• Perdarahan aktif saluran cerna
• Riwayat perdarahan dalam kurun waktu 3 bulan sebelum masuk ICU
• Trombosit < 50.000
• Gagal ginjal dengan Cr Cl < 30 mL/ mnt
• Gagal hati ( INR > 1,5 tanpa anti koagulasi )
• Stroke akut
• Hipertensi yang tidak terkontrol
• Pemakaian obat pengencer darah atau trombolitk, anti koagulasi

sebelumnya
3. Nilai awal dari trombosit sebelum pemberian terapi farmakologi

profilaksis harus diperiksa, dan selanjutnya setiap 24 jam selama
pemberian terapi heparin atau LMWH

30

4. Jika trombosit turun < 100.000 atau penurunan mencapai > 50%
dari nilai awal , maka ini dinyatakan sebagai Heparin Induced Throm
bositopenia (HIT).

5. Pemantauan dilakukan setiap hari untuk menilai faktor risiko
baru dan ganti terapi profilaksis yang diberikan apabila terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.

Rekomendasi profilaksis venous thromboembolism, berdasarkan
Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Manage-
ment of Sepsis and Septic Shock: 2016
1. Direkomendasikan pemberian profilaksis farmakologi UFH atau

LMWH untuk mencegah VTE pada pasien yang tidak memiliki kon
tra indikasi
(Strong recommendation, moderate quality of evidence)
2. Direkomendasikan pemberian LMWH dibandingkan dengan UFH
untuk profilaksis VTE pada pasien dengan tanpa kontraindikasi untuk
penggunaan LMWH
(strong recommendation, moderate quality of evidence)
3. Disarankan untuk memberikan kombinasi antara farmakologi dan
mekanikal profilaksis terhadap VTE apabila memungkinkan.
(weak recommendation, moderate quality of evidence)
4. Disarankan penggunaan mekanikal profilaksis apabila terdapat kontra
indikasi pemberian farmakologi profilaksis VTE
(weak recommendation, low quality of evidence)

KESIMPULAN
Pasien-pasien sepsis yang dirawat di ICU memiliki risiko yang cukup

tinggi untuk mengalami komplikasi trombosis vena, tetapi hanya sebagian
kecil yang dapat didiagnosa dan mendapat terapi profilaksis.

Dengan mempertimbangkan cukup tingginya risiko terjadinya komplikasi
VTE pada pasien - pasien sepsis di ICU, yang mendapat ventilasi mekanik,
obat vasopresor, pemasangan kateter vena sentral, maka profilaksis trombosis
vena sangat direkomendasikan diberikan.

LMWH lebih efektif dibandingkan dengan UFH untuk profilaksis VTE
di ICU. Namun tingginya risiko terjadinya perdarahan pasien sakit kritis
membuat sulit untuk mengevaluasi perbandingan keuntungan dan kerugian
pemberian profilaksis VTE.

31

DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan D, Casper TC, Elliot CG, et al. VTE incidence and risk factors in

patients with severe sepsis and septic shock. Chest. 2015; 148(5): 1224-
1230.
2. Cook D, Attia J, Weaver B, et al. Venous thromboembolic disease: an
observational study in medical-surgical intensive care unit patients. J Crit
Care. 2000;15(4): 127-132.
3. Cook D, Crowther M, Meade M, et al. Deep venous thrombosis in medi-
cal surgical critically ill patients: prevalence, incidence, and risk factors.
Crit Care Med. 2005;33(7): 1565 – 1571
4. Muscedere JG, Heyland DK, Cook D. Venous thromboembolism in criti-
cal illness in a community intensive care unit. J Crit Care. 2007;22(4):
285-289.
5. Ibrahim EH, Iregui M, Sherman G, et al. Deep vein thrombosis during
prolonged mechanical ventilation despite prophylaxis. Crit Care Med.
2002(4): 771-774.
6. R. Philip Delinger MD, Mitchell M Levy MD, Andrew Rhodes MB BS, et
al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management
of Severe Sepsis and Septic Shock: 2016. Critical Care Medicine 2017,
43:304-377.
7. Chastre J, Cornud F, Bouchama A, et al. Thrombosis as a complication of
pulmonary artery catheterization via the internal jugular vein:prospective
evaluation by phlebography. N Engl J Med. 1982;306:278-81.
8. Minet C, Potton L, Bonadona A, et al. , Venous thromboembolism in the
ICU : main characteristics, diagnosis and thromboprophylaxis. Critical
Care (2015) 19:287
9. Timsit JF, Farkas JC, Boyer JM, et al. Central vein catheter-related throm-
bosis in intensive care patients: incidence, risks factors, and relationships
with catheter-realted sepsis. Chest. 1998;114;207-13.
10. Merrer J, De Jonghe B, Golliot F, et al. Complications of femoral and
subclavian venous catheterization in critically ill patients: a randomized
controlled trial. JAMA 2001;286:700-707.
11. Katz JN, Kolappa KP, Becker RC, et al: Beyond thrombosis: the versatile
platelet in critical illness. Chest. 2011;139; 658-68.

32

HEAD OF BED ELEVATION

Calcarina Fitriani Wisudarti

Rekomendasi menurut Surviving Sepsis Campaign 2016
Kami merekomendasikan bahwa pasien sepsis yang terpasang ventilasi

mekanis untuk dipertahankan dengan posisi kepala tempat tidur dinaikkan
antara 30 dan 45 derajat untuk membatasi risiko aspirasi dan untuk mencegah
kemunculan VAP (rekomendasi kuat, kualitas bukti rendah).

Dasar Pemikiran
Posisi semi-recumbent telah diketahui menurunkan kejadian VAP.1

Asupan enteral meningkatkan risiko terjadinya VAP. 50% pasien yang
mendapatkan asupan makanan secara enteral dalam posisi telentang
mengalami VAP, dibandingkan dengan 9% dari mereka yang mendapatkan
asupan makanan dalam posisi semi-recumbent.1 Akan tetapi, posisi tempat
tidur hanya dipantau sekali sehari, dan pasien yang tidak mencapai elevasi
tempat tidur yang diharapkan tidak dimasukkan dalam analisis.1 Satu
penelitian tidak menemukan adanya perbedaan dalam insidensi VAP antara
pasien yang dipertahankan dalam posisi telentang dan semi-recumbent.2

Pasien yang dimasukkan ke dalam kelompok semi-recumbent tidak
mencapai elevasi kepala tempat tidur yang diinginkan secara konsisten,
dan elevasi kepala-tempat tidur dalam kelompok telentang mendekati
elevasi dalam kelompok semi-recumbent pada hari 7.2 Jika diperlukan,
pasien bisa diposisikan berbaring datar jika ada indikasi untuk prosedur,
pengukuran hemodinamik, dan selama episode hipotensi. Pasien tidak
boleh mendapatkan asupan makan secara enteral saat telentang. Tidak ada
penelitian baru yang dipublikasikan sejak guideline sebelumnya yang dapat
menunjukkan perubahan dalam kekuatan rekomendasi untuk pengulangan
pernyataan dalam guideline kali ini. Profil bukti untuk rekomendasi ini
menunjukkan kualitas bukti yang rendah. Kurangnya bukti baru, bersama
dengan rendahnya bahaya yang ditimbulkan dari posisi kepala tempat tidur
dan mudahnya penerapan seringnya praktik ini dilakukan menghasilkan
tingkat rekomendasi yang kuat. Ada subkelompok kecil pasien, seperti
pasien trauma dengan cedera spinal, dimana rekomendasi ini tidak berlaku

33

DAFTAR PUSTAKA
1. Drakulovic MB, Torres A, Bauer TT, et al: Supine body position as a risk

factor for nosocomial pneumonia in mechanically ventilated patients: a
randomised trial. Lancet. 1999; 354:1851–1858
2. van Nieuwenhoven CA, Vandenbroucke-Grauls C, van Tiel FH, et al:
Feasibility and effects of the semirecumbent position to prevent ven- ti-
lator-associated pneumonia: a randomized study. Crit Care Med. 2006;
34:396–402

34

ULCER PREVENTION

Calcarina Fitriani Wisudarti

PENDAHULUAN
Stress ulcer atau Stress Related Mucosal Damage (SRMD) adalah

istilah yang digunakan untuk menjelaskan patologi yang bersifat akut,
erosif, inflammatory insult pada saluran cerna bagian atas terkait penyakit
kritis . Mekanisme penyebab termasuk penurunan aliran darah ke lambung,
iskemi dan reperfusion injury mukosa lambung, di mana keduanya sering
terjadi pada pasien kritis. Ventilasi mekanik dan koagulopati adalah faktor
risiko terjadinya perdarahan yang bermakna klinis.1

Rekomendasi menurut Surviving Sepsis Campaign 2016
1. Kami merekomendasikan bahwa profilaksis stress ulcer diberikan kepada

pasien dengan sepsis atau syok septik yang memiliki faktor risiko untuk
perdarahan saluran cerna (rekomendasi kuat, kualitas bukti rendah).
2. Kami menganjurkan untuk menggunakan proton pump inhibitor (PPI)
atau histamin-2 receptor antagonist (H2RA) jika ada indikasi untuk pro-
filaksis stress ulcer (rekomendasi lemah, kualitas bukti rendah).
3. Kami merekomendasikan untuk tidak melakukan profilaksis stress ulcer
pada pasien tanpa faktor risiko perdarahan GI (BPS).
Dasar Pemikiran: Stress ulcer muncul di saluran cerna pada pasien yang
sakit kritis dan berhubungan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas
yang signifikan.2 Mekanisme yang pasti masih belum dipahami sepenuhnya,
tetapi diyakini berhubungan dengan gangguan mekanisme protektif dari
asam lambung, hipoperfusi mukosa lambung, peningkatan produksi asam,
dan jejas oksidatif pada saluran cerna.3 Prediktor klinis terkuat untuk risiko
pendarahan saluran cerna pada pasien kritis adalah ventilasi mekanis > 48
jam dan koagulopati.4 Sebuah penelitian kohort internasional yang dilakukan
baru-baru ini menunjukkan bahwa penyakit hati yang sudah ada sebelumnya,
kebutuhan untuk Renal Replacement Therapy (RRT) dan skor gagal organ
yang lebih tinggi merupakan prediktor independen untuk risiko pendarahan
saluran cerna.5 Sebuah penelitian kohort prospektif multicenter menemukan
tingkat kejadian perdarahan saluran cerna yang penting secara klinis sebesar

35

2,6% (95% CI, 1,6% -3,6%) pada pasien kritis.4 Namun penelitian-penelitian
observasional lainnya menunjukkan tingkat pendarahan saluran cerna yang
lebih rendah.6-9

Sebuah systematic review dan meta analisis yang dilakukan baru-baru ini
terhadap 20 penelitian acak terkontrol memeriksa efikasi dan keamanan dari
profilaksis stress ulcer.10 Tingkat kualitas bukti yang sedang menunjukkan
bahwa profilaksis dengan H2RA atau PPI menurunkan risiko perdarahan
saluran cerna dibandingkan tanpa profilaksis (RR, 0,44; 95% CI, 0,28-0,68;
tingkat kualitas bukti yang rendah menunjukkan peningkatan yang non
signifikan dalam risiko pneumonia (RR, 1,23, 95% CI, 0,86-1,78).9 Baru-
baru ini, sebuah penelitian kohort retrospektif berskala besar meneliti efek
dari profilaksis stress ulcer pada pasien dengan sepsis dan tidak menemukan
perbedaan yang signifikan dalam risiko infeksi C difficile dibandingkan
dengan tanpa profilaksis.11 Pemilihan obat profilaksis seharusnya tergantung
pada karakteristik pasien, penilaian dan keinginan pasien, dan tingkat
insidensi infeksi C difficile dan pneumonia lokal.

Meskipun penelitian-penelitian acak terkontrol yang telah dipublikasikan
tidak secara eksklusif hanya memasukkan pasien sepsis namun faktor risiko
pendarahan saluran cerna sering ditemukan pada pasien dengan sepsis dan
syok septik.4 Penggunakan hasil dari penelitian tersebut untuk memberikan
informasi ke dalam rekomendasi pasien sepsis dan septik shock bisa
diterima. Berdasarkan bukti yang ada, konsekuensi yang diharapkan dari
pemberian profilaksis stress ulcer lebih tinggi daripada konsekuensi yang
tidak diharapkan; dengan demikian, kami membuat rekomendasi kuat yang
mendukung penggunaan profilaksis stress ulcer pada pasien yang memiliki
faktor risiko. Pasien tanpa faktor risiko sepertinya tidak akan mengalami
pendarahan saluran cerna yang penting secara klinis selama perawatan inap
di Intensive Care Unit (ICU).4 dengan demikian, profilaksis stress ulcer
hanya boleh digunakan jika ada faktor risiko, dan pasien harus dievaluasi
secara berkala untuk menilai kebutuhan profilaksis.

Meskipun ada variasi dalam praktiknya di seluruh dunia, beberapa
survei menunjukkan bahwa PPI adalah obat yang paling sering digunakan
di Amerika Utara, Australia, dan Eropa, diikuti oleh H2RA.12-16 Sebuah
meta-analisis yang dilakukan baru-baru ini memasukkan 19 penelitian acak
terkontrol (n = 2.177) menunjukkan bahwa PPI lebih efektif daripada H2RA
dalam mencegah perdarahan saluran cerna yang penting secara klinis (RR,
0,39; 95% CI, 0,21-0,71; p = 0,002; kualitas sedang), tetapi berakibat pada
peningkatan risiko pneumonia yang tidak signifikan (RR, 1,17; 95% CI,
0,88-1,56; p = 0,28; kualitas rendah)16 meta-analisis sebelumnya mencapai
kesimpulan yang serupa.17-19 Tidak satu pun penelitian acak terkontrol yang
melaporkan risiko infeksi C difficile. Namun sebuah penelitian kohort
retrospektif berskala besar menunjukkan peningkatan kecil dalam risiko

36

infeksi C difficile dengan PPI dibandingkan dengan H2RA (2,2% vs 3,8%; p
<0,001; kualitas bukti sangat rendah). Penelitian-penelitian yang melaporkan
penilaian dan keinginan pasien tentang efikasi dan keamanan obat-obat ini
masih kurang. Selain itu, analisis cost-effectiveness mencapai kesimpulan
yang berbeda.20

Dengan demikian, manfaat dari pencegahan perdarahan saluran
cerna(kualitas bukti sedang) harus dipertimbangkan bersama dengan
kemungkinan peningkatan komplikasi infeksi (kualitas bukti sangat
rendah sampai rendah). Pemilihan obat profilaksis sangat tergantung pada
karakteristik pasien secara individual; penilaian dari pasien; dan prevalensi
lokal pendarahan saluran cerna, pneumonia, dan infeksi C difficile. Karena
ketidakpastian ini, kami tidak merekomendasikan untuk memilih satu obat
daripada obat lainnya. Penelitian-penelitian saat ini sedang berlangsung yang
bertujuan untuk menyelidiki manfaat dan bahaya dari tidak memberikan
profilaksis stress ulcer. Hasil dari penelitian-penelitian ini akan memberikan
informasi untuk rekomendasi di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Plummer MP,Blaser AR, Deane AM: Stress ulceration:

Prevalence,pathology and association with adverse outcomes.Crit Care.
2014;18:213
2. Cook DJ, Griffith LE, Walter SD, et al; Canadian Critical Care Trials
Group: The attributable mortality and length of intensive care unit stay of
clinically important gastrointestinal bleeding in critically ill patients. Crit
Care. 2001; 5:368–375
3. Bardou M, Quenot JP, Barkun A: Stress-related mucosal disease in the
critically ill patient. Nat Rev Gastroenterol Hepatol 2015; 12:98–107
4. Cook DJ, Fuller HD, Guyatt GH, et al: Risk factors for gastrointes- tinal
bleeding in critically ill patients. Canadian Critical Care Trials Group. N
Engl J Med. 1994; 330:377–381
5. Krag M, Perner A, Wetterslev J, et al; SUP-ICU co-authors: Prevalence
and outcome of gastrointestinal bleeding and use of acid suppressants
in acutely ill adult intensive care patients. Intensive Care Med. 2015;
41:833–845
6. Andersson B, Nilsson J, Brandt J, et al: Gastrointestinal complica- tions
after cardiac surgery. Br J Surg. 2005; 92:326–333
7. Bruno JJ, Canada TW, Wakefield CD, et al: Stress-related muco- sal bleed-
ing in critically ill oncology patients. J Oncol Pharm Pract. 2009, 15:9–16
8. D’Ancona G, Baillot R, Poirier B, et al: Determinants of gastroin- testinal
complications in cardiac surgery. Tex Heart Inst J. 2003; 30:280–285
9. Faisy C, Guerot E, Diehl JL, et al: Clinically significant gastrointes- tinal

37

bleeding in critically ill patients with and without stress-ulcer prophylaxis.
Intensive Care Med. 2003; 29:1306–1313
10. Krag M, Perner A, Wetterslev J, et al: Stress ulcer prophylaxis versus pla-
cebo or no prophylaxis in critically ill patients. A systematic review of
randomised clinical trials with meta-analysis and trial sequential analysis.
Intensive Care Med. 2014; 40:11–22
11. Sasabuchi Y, Matsui H, Lefor AK, et al: Risks and Benefits of Stress Ul-
cer Prophylaxis for Patients With Severe Sepsis. Crit Care Med. 2016;
44:e464–e469
12. Eastwood GM, Litton E, Bellomo R, et al: Opinions and practice of stress
ulcer prophylaxis in Australian and New Zealand intensive care units. Crit
Care Resusc. 2014; 16:170–174
13. Krag M, Perner A, Wetterslev J, et al; SUP-ICU Collaborators: Stress ul-
cer prophylaxis in the intensive care unit: an international survey of 97
units in 11 countries. Acta Anaesthesiol Scand. 2015; 59:576–585
14. Preslaski CR, Mueller SW, Kiser TH, et al: A survey of prescriber per-
ceptions about the prevention of stress-related mucosal bleeding in the
intensive care unit. J Clin Pharm Ther. 2014; 39:658–662
15. Shears M, Alhazzani W, Marshall JC, et al: Stress ulcer prophy- laxis in
critical illness: a Canadian survey. Can J Anaesth. 2016; 63:718–724
16. 16. Alshamsi F, Belley-Cote E, Cook D, et al: Efficacy and safety of pro-
ton pump inhibitors for stress ulcer prophylaxis in critically ill patients:
a systematic review and meta-analysis of randomized trials. Crit Care.
2016; 20:120
17. Alhazzani W, Alenezi F, Jaeschke RZ, et al: Proton pump inhibitors versus
histamine 2 receptor antagonists for stress ulcer prophylaxis in critically
ill patients: a systematic review and meta-analysis. Crit Care Med. 2013;
41:693–705
18. Barkun AN, Bardou M, Pham CQ, Martel M: Proton pump inhibi- tors
vs. histamine 2 receptor antagonists for stress-related mucosal bleeding
prophylaxis in critically ill patients: a meta-analysis. Am J Gastroenterol.
2012;107(4):507–520; quiz 21
19. Barkun AN, Adam V, Martel M, et al: Cost-effectiveness analysis: stress
ulcer bleeding prophylaxis with proton pump inhibitors, H2 receptor an-
tagonists. Value Health. 2013; 16:14–22
20. MacLaren R, Campbell J: Cost-effectiveness of histamine receptor-2 an-
tagonist versus proton pump inhibitor for stress ulcer prophylaxis in criti-
cally ill patients*. Crit Care Med.2014; 42:809–815

38

GLUCOSE CONTROL

Samsirun Halim

PENDAHULUAN
Hiperglikemia sering dijumpai pada pasien sepsis baik itu merupakan

respons metabolik akibat sepsis, pemberian obat vasopresor, nutrisi maupun
steroid.1,2,3 Dulu hiperglikemia yang demikian dianggap sebagai respons
tubuh yang dikenal sebagai ‘stress hiperglikemia’ tetapi setelah adanya
publikasi Van der Berg dkk,4 hiperglikemia saat ini menjadi target terapi.
Dalam pengelolaan sepsis dikenal bundel resusitasi dan bundel manajemen.
Pada bundel manajemen sepsis salah satu komponen adalah pengendalian
gula darah.5

Data penelitian menunjukan bahwa hiperglikemia memberikan
keluaran yang jelek meningkatkan mortalitas dan morbiditas sehingga perlu
dikendalikan.6,7,8,9,10,11

Pengendalian gula darah di Intensive Care Unit (ICU) menggunakan
preparat insulin yang merupakan preparat yang paling poten dalam penurunan
kadar gula darah.

INSULIN
Preparat yang paling ampuh dan sering dipakai dalam pengendalian gula

darah adalah Insulin. Berbagai jenis insulin telah dikenal berdasarkan efek
fisiologisnya yaitu insulin basal, insulin prandial. Insulin basal merupakan
insulin yang dibutuhkan untuk mengatur kadar gula darah antara makan dan
tidur misalnya glargine, detemir, NPH, sedangkan insulin prandial adalah
insulin yang dibutuhkan untuk mengendalikan gula darah setelah makan
baik itu oral, enteral atau parenteral. (Tabel 1)

39

Tabel 1. Jenis insulin yang sering dipakai dirumah sakit. (Dikutip dari kepustakaan 12)

Generik (Merk) Onset/durasi Penggunaan Rekomendasi

INSULIN RAPID-ACTING

Insulin lispro (Humalog) 5-15 menit Subkutan (SC) 15 menit sebelum atau -
3-5 jam segera setelah makan

Insulin aspart (Novolog) 5-15 menit SC, Intravena (IV) 5-10 neit sebelum -
3-5 jam makan

Insulin glulisine (Apidra) 5-15 menit SC, IV 15 menit sebelum atau
3-5 jam 20 menit setelah makan

INSULIN SHORT-ACTING

Regular insulin 30-60 menit SC, IV Diberikan infusi insulun,
dihindari penggunaan
(Humulin R, Novolin R) 6-8 jam post-prandial, tanpa
sliding scale

INSULIN INTERMEDIATE-ACTING

Insulin NPH 2-4 jam SC Digunakan 2X sehari
sebagai pengganti rejimen
(Novolin N, Humulin N) basal insulin

INSULIN LONG-ACTING SC Dipilih sebagai basal
Insulin detemir (Levemir) 3-8 jam insulin

Insulin glargine (Lantus) 16-24 jam SC Dipilih sebagai basal
2-4 jam insulin

24 jam

PANDUAN PENGENDALIAN KADAR GULA DARAH DI ICU
Ada beberapa panduan yang sudah dipublikasi mengenai waktu dimulai

pemberian insulin, target yang hendak dicapai dan tindakan bila terjadi
hipoglikemia. (Tabel 2)

Panduan yang ada merekomendasikan pemberian insulin intravena dalam
pengendalian kadar gula darah di ICU. Beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam pemakaian insulin intravena yaitu insulin bolus mempunyai efek
singkat terhadap kadar gula darah, Karena waktu paruh insulin bolus hanya
4 menit. Infusi insulin merupakan metode yang paling optimal dalam
pemberian insulin. Konsentrasi teraupetik insulin dalam sirkulasi adalah
100 mikrounit/ml yang dapat dicapai dengan bolus 6-12 unit diikuti dengan
infusi sehingga dosis terapetik cepat tercapai dan dosis pemeliharaan
terkendali. Infusi insulin tidak boleh dihentikan secara mendadak sebaiknya
diberikan subkutan atau intramuskuler terlebih dahulu sebelum dihentikan.
Insulin diabsorbsi oleh selang infus sehingga perlu dilakukan bilas selang
infus sekitar 25-50 cc sebelum infusi dimulai.

Beberapa protokol pemberian insulin intravena yang aman dan efektif
telah beredar dan dipakai. Dalam pelaksanaan pemberian insulin intravena

40

ini setiap ICU harus memiliki protokol yang jelas, mengenai waktu memulai,
target kadar gula darah, cara melakukan titrasi insulin untuk mencapai target,
tindakan bila terjadi hipoglikemia dan waktu penggantian dari intravena
ke subkutan. Protokol ini harus dimengerti oleh semua staf yang bekerja di
ICU.14

Tabel 2. Panduan pengendalian gula darah di ICU.

Tahun Organisasi Pasien Ambang Target Definisi Diperbarui
batas kadar hipogli setelah
terapi gula darah kemia NICE

2009 American Asso ICU 180 140-180 SUGAR 2009
ciates of Clinical <70 Ya
2009
2009 Endocrinologists
2008 and American Dia
betes Association
2007 Surviving Sepsis ICU 180 150 tidak Ya
Campaign disebutkan
Institute for ICU 180 <180 <40 Ya
Healthcare Impro
vement
American Heart ICU 180 90-140 tidak Tidak
Association (Pasien disebutkan
sindrom
coroner
akut)
European Society ICU Tidak disebutkan Ketat tidak Tidak
of Cardiology and (Pasien disebutkan
European Associa gangguan
tion for the Study jantung)
of Diabetes

Tabel 3. Contoh protokol infus insulin di ICU.

1. Preparasi : 50 unit insulin regular dilarutkan dalam 50 cc normal saline dalam 50 cc spuit
disposibel

2. Cara pemberian : infus intravena memakai pompa infus / pompa syring
3. Target primer : untuk menjaga kadar gula darah dibawah 140 mg/dl
4. Metode pengendalian : kadar gula darah diturunkan perlahan pada kasus hiperglikemia berat

dengan cara titrasi dosis insulin
5. Pra syarat : 15-20 cc cairan harus di flush melewati tubing infus untuk mencegah perlengke

tan insulin pada selang infus
6. Target : dosis harus dititrasi sesuai dengan tinggi rendah kadar gula darah
7. Pemantauan kadar gula darah : bisa diambil dari kapiler atau vena

Tabel 4. Contoh titrasi insulin sesuai dengan kadar gula darah.

Kadar gula darah Dosis insulin infus
<100 tak diberikan insulin
100-149 1-1.5 u/jam
150-199 2 u/jam
200-249 2,5 u/jam
250-299 3 u/jam
300-349 3.5 u/jam
350-399 4 u/jam

41


Click to View FlipBook Version