Keterangan: Bila kadar gula tidak sesuai tabel 4, konsultasi ke endokrinolo-
gis/intensivist untuk menyesuaikan dosis insulin. Bila gula darah tidak turun
lebih dari 10 % insulin dinaikan 1,5 dosis normal.
Bila kadar gula darah < 50 mg/dl: harus berikan 50cc dextrose (25 gr)
kemudian periksa ulang kadar gula darah setelah 15 menit dan jika kadar
gula darah meningkat lebih dari 100mg/dl mulai insulin setelah 1 jam.
Bila gula darah 50-75 mg/dl infus 50cc dextrose (25 gr ) jika secara klinis
ditemukan tanda tanda hipoglikemia. Jika asimtomatik berikan separoh
dosis diatas. Periksa kadar gula darah setelah 15 menit dan mulai insulin 1
jam setelah kadar gula darah > 100mg/dl.
Transisi Insulin dari Intravena ke Subkutan
Transisi pemberian insulin dimulai bila pasien atau akan pindah ke ruang
perawatan .Dosis yang diberikan adalah 75-80% dari total infus harian yang
dibagi secara proporsional untuk insulin basal dan insulin prandial. Cara
menghitung jumlah insulin bisa dengan melihat kebutuhan insulin dalam 6
Contoh
Pukul : 01.00 02.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 12 siang
Insulin : 7U/jam 8U/jam 6U/jam 5U/jam 5U/jam 5U/jam 4U/jam 4U/jam 5U/jam 4U/jam 3U/jam 2U/jam
kebutuhan insulin dalam 6 jam terakhir = 4+4+5+4+3+2 = 22 unit
total dosis insulin sehari = 0.8 x 22 u x 4 = 70 unit
basal = 50 % dari total dosis = 35 unit
prandial = 50% dari total dosis dibagi 3 = 35/3 = 12 u tiap kali makan
Pemberian insulin subkutan harus diberikan 2 -3 jam sebelum penghentian insulin intravena untuk mence-
gah hiperglikemia
jam terakhir kemudian dikalikan 4 lalu separuh dosis dibagi untuk insulin
basal dan separuh dosis untuk insulin prandial
PERLUKAH PEMERIKSAAAN SLIDING SCALE?
Praktek pemberian insulin secara sliding scale ini sudah ditinggalkan
karena beberapa alasan berikut ini :
1. dosis insulin diberikan merupakan reaksi terhadap pengukuran
kadar gula darah tunggal
2. insulin tidak mencakup kebutuhan insulin basal
3. memberikan insulin setelah terjadi hiperglikemia
4. tidak mempertimbangkan perubahan nutrisi dan kebutuhan insulin
diurnal
42
5. pemberian insulin yang tidak fisiologis menyebabkan pasien
mengalami fluktuasi gula darah
6. meningkatkan insiden hipoglikemia dan hiperglikemia.
REKOMENDASI PENGENDALIAN KADAR GULA DARAH
Pengendalian kadar gula darah pasien sepsis berat yang dirawat di ICU
dilakukan dengan pemberian insulin bila hasil 2 kali pemeriksaan kadar gula
darah berturut turut >180 mg/dL. Pemberian insulin harus mentargetkan
batas atas kadar gula darah ≤ 180 mg/dL daripada target atas ≤ 110 mg/dL
(grade 1A).
Pemantauan kadar gula darah dilakukan setiap 1-2 jam sampai kadar gula
darah dan dosis pemberian infusi insulin stabil, dan selanjutnya pemantauan
dilakukan tiap 4 jam bila kadar gula darah telah stabil (grade 1C).
Pemeriksaan kadar gula darah dengan sampel darah yang diambil dari
pembuluh darah kapiler, penilaian hasil pemeriksaan harus hati hati karena
kemungkinan tidak dapat menggambarkan nilai kadar gula darah arteri atau
plasma (grade UG).
KESIMPULAN
Hiperglikemia pada pasien sepsis meningkatkan mortalitas dan morbiditas
sehingga perlu pengendalian gula darah. Di ICU harus ada protokol yang
baku untuk pengendalian gula darah yang sudah dimengerti oleh staff yang
bekerja di ICU dan teruji tidak menimbulkan insidens hipoglikemia. Protokol
harus mencakup preparasi insulin, jenis insulin yang dipakai, memulai target
kadar gula darah yang akan dicapai, melakukan titrasi untuk mencapai target,
cara mengatasi hipoglikemia dan waktu transisi dari intra vena ke subkutan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Marik PE, Raghavan M. Stress-hyperglycemia, insulin and immunomod-
ulation in sepsis. Intensive Care Med. 2004;30:748-56
2. Brierre S, Kumari R, Deboisblanc BP. The endocrine system during sep-
sis. Am J Med Sci. 2004;328(4);238-47
3. Cariou A. Vinsonneau C. Dhainaut JF. Adjunctive therapies in sepsis : an
evidence-based review. Crit Care Med. 2004; 32 : S562-S570
4. Van de Berghe G, Woulters P, Weekers F, et all. Intensive insulin therapy
in critically ill patients. New England J Med. 2001; 345:19:1359-67
5. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Opal SM, Gerlag H, et all.
Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock 2012. Crit Care Med. 2013;41:580-637
6. Capes SE, Hunt D, Malmberg K. et all. Stress hyperglycemia and prog-
nosis of Stroke nondiabetic and diabetic patients, a systematic overview.
Stroke. 2001, 32:2426-32
43
7. Yong Mei, Kaste M. Dynamic of hyperglycemia as a Predict of Stroke
outcome in the ECASS-II trial. Stroke. 2008,39:1749-55.
8. Suleiman M, Hammerman H,Boulos M, et all. Fasting glucoce is an im-
portant independent risk factor for 30-day mortality in patients with acute
myocardial infarction. A prospective study. Circulation. 2005,111:754-60
9. Ascione R, Rogers CA, Rajakaruna. et all. Inadequate blood glucose
control is associated with in hospital mortality and morbidity in dia-
betic and non diabetic patient undergoing cardiac surgery. Circulation.
2008;118:113-23
10. Polito A, Thiagarajam RR, Laussen PC, et all. Association between in-
traoperative and early postoperative glucose levels and adverse outcome
after complex congenital heart surgery. Circulation. 2008, 118:2235-42
11. Malberg K, Norhammar A, Wedel H, et all. Glycometabolic state at ad-
mission; important risk marker of mortality in conventionally treated pa-
tients with diabetes mellitus and acute myocard infartion. Long term re-
sults from the Diabetes and Insulin-Glucose infusion in Acute Myocardial
Infarction ( DIGAMI) study.Circulation. 1999, 99:2626-32
12. Schmeltz LR. Management of inpatient hyperglycemia. Labmedicine.
2011;42: 427-434
13. Kavanagh BP, Mc Gowen KC. Glycemic control in the ICU.New Eng-
land J Med. 2010;363:2540-46
14. Magaji V, Johnston JM. Management of hyperglycemia and diabeters.
Clinical Diabetes. 2011.29: 1-9
15. Bajwa SS, Baruah MP, Kalra S, Kapoor MC. Guideline on inpatient man-
agement of hyperglycemia. Chapter 35. 164-169
16. Mogghisis et al. Consensus Inpatient hyperglycemia. Endoc Pract.
2009(15).no 4
44
SPONTANEOUS BREATHING TRIAL
Frans J V Pangalila
Penyapihan di artikan sebagai proses secara bertahap untuk lepas dari
alat bantu pernapasan atau ventilator dan diperkirakan proses ini memerlukan
hampir 40% dari keseluruhan proses saat di ventilator. Dikutip dari Zein H
dkk bahwa keterlambatan dalam melakukan penyapihan akan memberikan
komplikasi seperti Ventilator Induced Lung Injury (VILI), Ventilator Associated
Pneumonia (VAP) dan Ventilator Induced Diaphragmatic Dysfunction
(VIDD),6 dampak dari komplikasi ini akan menambah beban biaya bahkan
meningkatkan morbiditas, mortalitas penderita sepsis. SBT merupakan bagian
dari cara untuk melakukan proses penyapihan dan untuk melakukan SBT
dapat melalui beberapa cara yaitu tanpa bantuan tekanan inspirasi (T piece atau
CPAP ≈ 5 cmH20) atau dengan bantuan tekanan inspirasi (Pressure support 5
- 8 cmH20 atau automatic tube compentation).4,6
Untuk melakukan SBT, Ouellette D dkk merekomendasi penggunaan
bantuan tekanan inspirasi (Pressure support 5-8 cmH20) lebih baik dibanding
dengan menggunakan T piece atau CPAP terutama pada kasus pasca gagal
napas akut yang memerlukan ventilator lebih dari 24 jam.3,6 Sebelum
melakukan SBT harus dipastikan apakah penderita siap untuk dilakukan
proses penyapihan.5 (Table 1)
Tabel 1. Kriteria penyapihan
45
Telah banyak metode untuk meramalkan tentang keberhasilan atau
kegagalan terhadap proses penyapihan dan salah satu yang penting adalah
Rapid Shallow Breathing Index (RSBI) yaitu perbandingan antara frekuensi
pernapasan dan tidal volume perliter, apabila RSBI < 100 – 104 kali /menit/L
maka kemungkinan SBT akan berhasil.5 Marik P menggabungkan antara RSBI
dan minute volume (tidal volume x frekuensi pernapasan) untuk meramalkan
keberhasilan SBT, apabila RSBI < 104 dan minute volume < 10 l/menit maka
keberhasilan SBT akan semakin tinggi. Didapatkan 11 hingga 23 % kasus
mengalami kegagalan ekstubasi atau reintubasi, walaupun sebelum dilakukan
SBT di ramalkan akan berhasil.1 Saat melakukan proses penyapihan aktif (SBT)
haruslah di ikuti atau diawali dengan penilaian tingkat kesadaran yang dikenal
dengan pendekatan Wake Up and Breathe Protocol (Spontaneous Awakening
Trials + Spontaneous Breathing Trials) lihat algoritma penyapihan.(Tabel
2) Apabila pelaksanaan SBT berjalan dengan baik, diharapkan keberhasilan
untuk lepas lebih awal dari ventilator sangat tinggi.
Tabel 2. Algoritma penyapihan
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Marik PE. Liberation (Weaning from Mechanical Ventilation). In : Evi-
dence-Based Critical Care 2015, 3 rd edition, Springer : 319-328
2. McConville JF, Kress JP. Current concepts : Weaning Patients from the
Ventilator. The NEJM. 2012 ; 367 : 2233 – 2339
3. Oullette DR, Patel S et al. Liberation From Mechanical Ventilation in
Critically Ill Adults : An Officials ACCP/ATS Clinical Practice Guide-
lines. Chest. 2017 : 15(1) ; 166 - 180
4. Rhodes A, Evans L et al : Surviving Sepsis Campaign-International
Guidelines for Management of Sepsis and Septic shock 2016 . Critical
Care Med. 2016 ; 45 : 1 – 67
5. Witt CA. Weaning of Mechanical Ventilation. In : The Washington Man-
ual of Critical Care. 2012, 2nd ed, editors : Kollef M, Isakow W. Wolters
Kluwer-Lippincott Williams & Wilkins : 116 -119
6. Zein S, Baratloo A et al. Ventilator Weaning and Spontaneous Breathing
Trials ; an Educational Review. Emergency. 2016 ; 4(2) : 65 -71
47
BOWEL FUNCTION
Frans J V Pangalila
Istilah saluran pencernaan yang sehat sering digunakan pada literatur
kedokteran dan industri pangan yang memberikan aspek positif karena saluran
pencernaan merupakan sarana untuk proses pengolahan dan penyerapan
makanan, apabila berfungsi dengan baik memberikan keseimbangan
mikrobiota dan efektif membantu keseimbangan sistem kekebalan sehingga
mempengaruhi status kesehatan secara umum.2 Banyak data menunjukan
bahwa untuk mempertahankan agar sistem pencernaan berfungsi dengan
baik dibutuhkan dua keadaan yaitu keseimbangan mikrobiota dan sistem
barrier usus. Mikrobiota adalah suatu populasi mikroba pada sistem saluran
pencernaan yang mempunyai peran mengaktifasi dan modulasi sistem
kekebalan baik lokal maupun sistemik. Sedangkan pengertian sistem barrier
usus adalah kesatuan fungsionil sistem pertahanan dan metabolik aktif sel
epitel, sistem imun mukosa dan susunan saraf usus. Mikrobiota berjumlah
1014 terutama berada pada usus besar, didominasi oleh 3 kelompok (phyla)
yaitu: firmicutes (gram positif), bacteriodes (gram positif) dan actinobacteria
(gram negatif). Fungsi utama mikrobiota adalah mencegah kolonisasi kuman
patogen, menyediakan energi yang berasal dari proses digesi makanan untuk
mempertahankan integritas dinding sel usus, mengatur sistem kekebalan
mukosa usus. Melihat fungsi tersebut maka mikrobiota sangat berperan
terhadap keseimbangan sistem barrier usus terutama terhadap infeksi, inflamasi
dan proses alergi.2,3,4. Peranan saluran pencernaan terhadap status kesehatan
secara umum. (Gambar 1)
Deteksi atau pencegahan dini hipotensi sistemik dan hipoperfusi splanchnic
pada penyakit kritis sangatlah penting, mengingat usus sangat rentan terhadap
aliran darah yang tidak adekuat untuk periode waktu yang pendek. Kerusakan
sistem barrier usus terutama akibat penurunan pembentukan energi akibat
aliran darah yang tidak adekuat (hipoperfusi atau iskemia) dan proses
inflamasi. Terjadinya hipoperfusi splanchnic pada fase awal sepsis berkorelasi
dengan kerusakan mukosa usus. Walaupun sering terjadi perdebatan tetapi
pemberian cairan untuk optimalisasi hemodinamik sangatlah penting, Thuijls
48
Gambar 1. Peranan saluran pencernaan terhadap status kesehatan
dkk mengamati pada tindakan operasi besar (mayor surgery) apabila selama
tindakan dapat mempertahankan mean artery pressure > 60 mmHg maka akan
mencegah kerusakan sistem barrier usus. Pemberian cairan selain mencegah
komplikasi akibat proses inflamasi juga merupakan bagian dari penanganan
dasar sepsis.3 Selain itu, beberapa modalitas yang merupakan bagian dari
penanganan dasar penyakit kritis memberikan dampak negatif terhadap
mikrobiota dan sistem barrier usus, misalnya penggunaan vasopresor dapat
menyebabkan iskemia splanchnic sehingga menyebabkan lokal hipoksia dan
penurunan pH, penggunaan preparat penghambat produksi asal lambung dapat
mengubah keasaman intraluminar, penggunaan antibiotik dan opiat secara
berlebihan akan mengganggu keseimbangan kuman komensal dan patogen
(modifikasi 1) (Gambar 2).
Pada penanganan sepsis beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk
mempertahankan agar fungsi sistem pencernaan tetap optimal antara lain :
• Mencegah hipotensi sistemik dan hipoperfusi splanchnic
• Hindari penggunaan obat obatan seperti antibiotik, vasopresor, opiate
dan preparat penghambat asam lambung secara berlebihan
• Pemberian nutrisi peroral sedini mungkin dan nutrisi parenteral
hanya diberikan apabila didapatkan indikasi yang kuat
Melalui pendekatan FASTHUGSBID yang termasuk diantaranya
mempertahankan fungsi saluran pencernaan dengan baik diharapkan
penanganan sepsis semakin optimal.
49
Gambar 2. Peranan mikrobiota dan epitel intestinum pada penyakit kritis
DAFTAR PUSTAKA
1. Alverdy JC, Chang EB. The re-emerging role of the intestinal microflora
in critical illness and inflammation : why the gut hypothesis of sepsis syn-
drome will not go away. J Leukoc Biol. 2008 ; 83 : 461- 466
2. Bischoff S . “ Gut health “ : a new objective in medicine. BMC Medicine
.2011 ; 9 : 2 - 14
3. Thuijls G, Derikx J et al . Reviews : Intestinal barrier loss in sepsis. Neth-
erland J Crit Care. 2011; 15 : 199 – 203
4. Van der Poll T, Schuijt T et al. Human microbiome : The intestinal micro-
biota and host immune interactions in the critically ill. Trends Microbiol-
ogy. 2013 ; 21 : 221- 229
50
INDWELLING CATHETER
Hasanul Arifin
PENDAHULUAN
Pengalaman klinis menunjukkan bahwa tanpa kontrol sumber (source
control) yang adekuat, beberapa tampilan klinis yang berat tidak dapat
terstabilisasi atau bahkan semakin memberat meskipun dengan telah dilakukan
resusitasi cepat dan pemberian antimikroba yang tepat. Mengingat hal tersebut,
upaya yang berkepanjangan untuk stabilisasi klinis sebelum source control
pada pada pasien dengan kategori severily ill pada khususnya syok secara
umum tidak disarankan.1
Peralatan intravaskuler seperti keteter vena sentral dapat menjadi sumber
sepsis atau syok septik. Alat intravaskular yang diduga menjadi sumber sepsis
harus segera dilepas setelah akses vaskular lainnya terpasang. Pada kondisi
bukan karena syok septik dan fungemia, infeksi selang kateter dapat diatasi
secara efektif dengan terapi antimikroba berkelanjutan jika pelepasan kateter
tidak dapat dilakukan, namun, pelepasan kateter (dengan terapi antimikroba)
bersifat definitip dan lebih dipilih jika memungkinkan.2
Infeksi saluran kemih adalah jenis infeksi yang paling umum terkait
perawatan kesehatan. Menurut Centers for Disease Control and Prevention
(CDC), kurang lebih 75 persen infeksi saluran kemih berhubungan dengan
kateter urin. Faktor risiko yang paling penting untuk berkembangnya infeksi
saluran kemih terkait kateter catheter-associated UTI (CAUTI) adalah
penggunaan jangka panjang kateter urin. Setiap hari selama kateter urin masih
terpasang di tubuh, risiko CAUTI meningkat 5 persen. Diperkirakan bahwa
setengah dari populasi pasien yang dipasang kateter urin memiliki indikasi
pemasangan yang tidak tepat. Karenanya, untuk mencegah terjadinya CAUTI,
kateter hanya boleh digunakan untuk indikasi yang tepat dan harus dilepas
segera setelah tidak dibutuhkan lagi.
Cut CAUTI Prevention Bundle ditujukan untuk digunakan pada seluruh
area perawatan pasien dalam perawatan akut di rumah sakit. Bundle tool kit
adalah kumpulan sarana dan prasarana penyokong untuk membantu Rumah
Sakit dalam pengimplementasian.3-5
51
Rekomendasi
Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of
Sepsis and Septic Shock: 2016, merekomendasikan
• diagnosis infeksi anatomi spesifik yang membutuhkan source control
harus segera diidentifikasi atau diekslusi pada pasien sepsis atau syok
septik.
• pelepasan (penghentian) segera akses intravaskuler yang dapat menjadi
sumber sepsis atau syok septik setelah akses vaskular lainnya telah ter-
pasang.6 Tabel 1
Intervensi untuk Mencegah Infeksi Kateter Vena Sentral (CVC).
• Menggunakan protokol untuk insersi dan pemeliharaan kateter
• Memastikan latihan, pengalaman, dan jumlah perawat yang cukup untuk
merawat pasien yang dengan pemasangan CVC
• Menggunakan CVC berlapis antimikroba jika insidensi infeksi terkait ka-
teter masih tinggi, disamping menggunakan pendekatan dengan pedoman
dan rekomendasi yang ada.
• Menggunakan alat perlindungan steril secara maksimal saat insersi ka-
teter (CVC)
• Menggunakan tuntunan ultrasound saat keteterisasi (CVC)
• Pertimbangkan pembuatan tunnel jika akses subklavian tidak dimung-
kinkan dan CVC akan terpasang untuk lebih dari 7 hari
• Membersihkan tangan dengan menggunakan sabun berbasis alkohol se-
belum manipulasi apapun pada lini infusi.
• Mengganti perban tidak lebih sering daripada 7 hari, jika tidak kotor, ba-
sah, ataupun buntu.
• Mencegah penggunaan antibiotik profilaksis saat insersi kateter , dan sa-
lep antibiotik atau saringan dalam saat melakukan pemeliharaan kateter
• Menggunakan rute enteral atau untuk akses vena perifer untuk menggan-
tikan rute CVC secepatnya.
• Jangan lakukan penjadwalan rutin penggantian kateter
• Lepas kateter saat sudah tidak lagi dibutuhkan
Cut CAUTI Bundle
Observasi harian Indwelling Urinary Catheters (Kateter Urin
Menetap),untuk pelepasan (penghentian) segera
• Melakukan pemeriksaan pada semua pasien dengan kateter urin untuk
menentukan apakah penggunaan kateter masih dibutuhkan dilakukan
setidaknya 1x sehari.
• Gunakan pengingat elektronik atau pengingat lainnya untuk melihat
ulang indikasi pemasangan kateter dan penggantian kateter menetap den-
gan yang baru.
52
• Implementasikan protokol pelepasan kateter oleh perawat dan member-
dayakan perawat untuk mengevaluasi dan tidak melanjutkan penggunaan
kateter yang tidak dibutuhkan.
PEDOMAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI TERKAIT PENGUNAAN
KATETER INTRAVASKULER, 2011
Penggantian CVC, termasuk PICC, dan Kateter Hemodialysis
1. Jangan mengganti CVC, PICC, kateter hemodialysis, ataupun kateter ar-
teri pulmoner secara rutin untuk mencegah infeksi terkait kateter. (Kat-
egori IB)
2. Jangan melepas CVC ataupun PICC hanya karena alasan demam. Gu-
nakan pertimbangan klinis untuk menentukan apakah kateter masih dibu-
tuhkan jika terbukti terjadi infeksi atau jika ada suatu penyebab demam
non-infeksius yang dicurigai. (Kategori II)
3. Jangan menggunakan penggantian kawat pemandu secara rutin untuk ka-
teter tanpa-tunnel untuk mencegah infeksi (Kategori IB)
4. Jangan menggunakan penggantian kawat pemandu untuk menggantikan
kateter tanpa-tunnel jika diduga infeksi (Kategori IB)
5. Gunakan pengganti kawat pemandu untuk menggantikan kateter tanpa-
tunnel yang malfungsi jika tidak ada bukti terjadinya infeksi (Kategori IB)
6. Gunakan sarung tangan steril yang baru sebelum memegang kateter yang
baru saat pelepasan kawat pemandu dilakukan (Kategori II)
Kateter Arterial Perifer dan Alat Pemantau Tekanan Untuk Pasien Anak
Dan Dewasa
1. Pada dewasa, pilih area insersi radial, brakial, atau dorsalis pedis diband-
ing area aksila ataupun femoral untuk menurunkan risiko infeksi (Kat-
egori IB)
2. Pada anak-anak, area brakial sebaiknya jangan digunakan. Area inser-
si yang lebih dipilih adalah radial, dorsalis pedis, dan tibialis posterior
dibanding aksila ataupun femoral (Kategori II)
3. Gunakan setidaknya penutup kepala, masker, sarung tangan steril, dan
kain drap kecil tersterilisasi saat insersi kateter peripheral (Kategori IB)
4. Saat insersi kateter pada arteri aksila atau femoral, harus menggunakan
alat pelindung diri steril maksimal (Kategori II)
5. Kateter arteri diganti jika terdapat indikasi klinis. (Kategori II)
6. Lepas segera kateter arteri jika sudah tidak lagi dibutuhkan. (Kategori II)
7. Gunakan transducer sekali pakai, dibanding yang dapat dipakai beberapa
kali, jika memungkinkan (Kategori II)
8. Jangan mengganti kateter arteri secara rutin untuk mencegah infeksi ter-
kait kateter (Kategori II)
9. Ganti transducer sekali pakai ataupun yang dipakai ulang setiap interval
53
96 jam. Ganti komponen lainnya dari sistem (termasuk pipa, alat bilas-
kontinyu, dan cairan pembilas) di waktu yang sama dengan penggantian
transducer (Kategori IB)
10. Jaga dalam keadaan steril semua komponan sistem pemantauan tekanan
(termasuk alat kalibrasi dan cairan pembilas) (Kategori IA)
11. Meminimalisasi banyaknya manipulasi dan pemasukan ke sistem pe-
mantauan tekanan. Gunakan sistem bilas tertutup (mis: bilas-kontinyu),
dibanding sistem terbuka (mis: yang menggunakan syringe atau stop-
cock), untuk menjaga patensi kateter pemantauan tekanan (Kategori II)
12. Saat sistem pemantauan tekanan diakses melalui diafragma, dibanding
dengan sekat, scrub diafragma dengan antiseptik yang sesuai sebelum
mengakses sistem (Kategori IA)
13. Jangan memberikan larutan yang mengandung dekstrosa atau cairan nu-
trisi parenteral melalui sirkuit pemantauan tekanan (Kategori IA)
14. Sterilisasi transducer yang dipakai ulang sesuai petunjuk produksi jika
penggunaan transducer sekali pakai tidak dimungkinkan. (Kategori-I)
Gambar 1. Pendekatan manajemen pasien infeksi terkait kateter vena sentral
54
Tabel 1. Core-intervensi pada pencegahan Dialysis Blood Stream Infection
Pengawasan dan umpan balik :
• Mengadakan pengawasan tiap bulan untuk kejadian infeksi aliran darah dan dialysis walau-
pun memakai standarad CDC NHSN
• Jumlah rata-rata fasilitas dan membandingkan dengan fasilitas CDC NHSN
• Secara aktif membagi hasil penilaian kepada klinisi
Pengawasan kebersihan tangan :
• Memperlihatkan cara membersihkan tangan dan mengawasi kebersihan tangan setiap bulan-
nya
• Melaporkan hasilnya kepada klinisi
Pengawasan akses intravena dan kateter :
• Mengawasi akses intravena dan kateter tiap empat bulan
• Menilai teknik aseptik staf dalam menghubungkan dan melepas kateter dan selama mengganti
pakaian
• Melaporkan hasilnya kepada klinisi
Pengetahuan dan kompetensi staf :
• Melatih staf untuk topik pengendalian infeksi termasuk penilaian teknik aseptik dan rawatan
• Evaluasi tiap 6-12 bulan kompetensi dari kemampuan, misalnya pemasangan kateter
Pengetahuan pasien :
• Menunjukan pengetahuan standar pada seluruh pasien dalam mencegah infeksi merawat ak-
ses intravena, kebersihan tangan, risiko terkait penggunaan kateter, tanda-tanda infeksi
Reduksi Kateter :
• Incorporasi usaha (mis: melalui edukasi pasien , kordinator akses vaskuler) untuk mereduksi
infeksi kateter dengan mengidentifikasi dan memberikan pelindung ke pemasangan akses
vaskuler dan pelepasan kateter
Klorheksidin untuk antiseptik kulit :
• Menggunakan larutan klorheksidin (>0.5%) berbasis alkohol sebagai lini pertama agen anti-
septik kulit untuk insersi jalur sentral dan saat penggantian perban
Desinfeksi kateter :
• Scrub kateter dengan antiseptik yang sesuai setelah tutupnya dilepaskan dan sebelum pema-
sangan akses. Lakukan setiap kali kateter dipasang dan dilepaskan.
• Salep antimikroba
• Berikan salep antibiotik atau salep povidone-iodine untuk area pelepasan kateter saat meng-
ganti perban.
Pelepasan kateter dan pergantiannya ke lokasi yang baru
• Salah satu pilihan yaitu pelepasan kateter segera, diikuti dengan pema-
sangan kateter sementara, kemudian dikonversi kembali ke tunneled-
catheter Indikasi pelepasan kateter segera adalah :
- Sepsis berat
- Ketidakstabilan hemodinamik
- Jika demam atau bakteremia bertahan selama 48-72 jam
setelah memulai pemberian antibiotik sesuai pathogen
yang dicurigai
- Infeksi yang metastasis
- Tanda infeksi lubang insersi
- Organisme jamur (fungi)
• Pertimbangkan pelepasan kateter untuk pasien dengan CRBSI (Cathe-
ter Related Blood Stream Infection) yang disebabkan S. aureus, spesies
Pseudomonas, dan jamur.
• Kateter tanpa-tunnel sementara harus diinsersikan ke area anatomis lain
ada beberapa kasus, pasien tidak memiliki area alternatif untuk insersi
55
kateter, dan pada pasien ini, penggantian kateter dengan guide-wire atau
kateter penyelamat dipertimbangkan dibandingkan dengan melepaskan
kateter, terlepas dari mikroorganisme yang diisolasi. Kateter dilepas den-
gan pergantian ke lokasi yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
1. Solomkin JS, Mazuski JE, Bradley JS et al. Diagnosis and management of
complicated intra-abdominal infection in adults and children: guidelines
by the Surgical Infection Society and the Infectious Diseases Society of
America. Surg Infect. 2010, 11(1):79–109.
2. Mermel LA, Allon M, Bouza E et al. Clinical practice guidelines for the
diagnosis and management of intravascular catheter-related infection:
2009 update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect
Dis. 2009, 49(1):1–45
3. Lo E, Nicolle LE, Coffin SE, et al. Strategies to Prevent Catheter-Associ-
ated Urinary Tract Infections in Acute Care Hospitals. 2014 Update. In-
fection Control and Hospital Epidemiology. 2014;35:464-479. Available
at: http://www.jstor.org/stable/10.1086/675718
4. Toolkit for Reducing Catheter-Associated Urinary Tract Infections in Hos-
pital Units: Implementation Guide. October. 2015. Agency for Healthcare
Research and Quality, Rockville, MD. http://www.ahrq.gov/profession-
als/quality-patient-safety/hais/cauti-tools/impl-guide/index.html
5. Gould CV, Umscheid CA, Agarwal RK, Kuntz G, Pegues DA; Healthcare
Infection Control Practices Advisory Committee. Guideline for preven-
tion of catheter-associated urinary tract infections. 2009. Infection Con-
trol and Hospital Epidemiology. 2010;31(4):319-26. Available at: www.
cdc.gov/hicpac/cauti/001_cauti.html
6. Rhodes . A, Laura E. E. Alhazzani. W, et al , Surviving Sepsis Campaign
International Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock:
2016. Intensive Care Med. 2017, 43:304–377
7. Frasca. D, Fizelier. C.D, Mimoz. Oet al Prevention of central venous
catheter-related infection in the intensive care unit . Critical Care. 2010,
14:212
8. O’Grady. N P, Alexander. M. , Burns. L.A .Guidelines for the Prevention
of Intravascular Catheter . CDC . www.cdc.gov/hai/pdfs/bsi-guidelines.
2011.pdf
9. Lisa M. Miller. L.M, Edward Clark. E, Christine Dipchand. C. at al He-
modialysis Tunneled Catheter-Related Infections. 2016 Canadian Journal
of Kidney Health and Disease Volume 3: 1–11
56
DE-ESKALASI ANTIBIOTIK DAN
FARMAKOTERAPI LAINNYA
Frans J V Pangalila
PENDAHULUAN
De-eskalasi antibiotik adalah suatu pendekatan klinis melalui pemberian
terapi antibiotik empirik untuk mengatasi infeksi serius. Pendekatan de-
eskalasi didasari oleh tampilan klinis, data kuman lokal dengan kecurigaan
bahwa kuman multidrug resistance (MDR) sebagai penyebab infeksi.4-8.
Pendekatan de-eskalasi merupakan paradigma baru dalam penggunaan
antibiotik di era dimana angka kejadian MDR semakin meningkat
Pengertian de-eskalasi adalah pemberian antibiotik spektrum luas bila
perlu kombinasi dua antibiotik secara dini terutama untuk menangani kasus
infeksi yang mengancam jiwa misalnya syok septik kemudian dilanjutkan
dengan menggantikan antibiotik spektrum sempit berdasarkan tampilan
klinis dan hasil uji kepekaan kuman dan diberikan untuk jangka waktu yang
tidak terlalu lama (short-course therapy).1 (gambar 1).
Gambar 1. Algoritma de eskalasi antibiotik
57
Tujuan utama de-eskalasi antibiotik :
• eradikasi kuman sedini mungkin karena semakin dini semakin kecil ter-
jadi mutasi resisten (dead bug don’t mutate)
• menghindari toksisitas dengan menggunakan antibiotik spektrum sempit
dengan jangka waktu pendek (short-course therapy).5-6
Empat langkah kebijakan dalam melaksanakan de-eskalasi :
• de-eskalasi dilakukan berdasarkan tanggapan klinis pasien dan hasil uji
kepekaan kuman
• penggunaan vancomycin atau linezolide hanya diindikasikan apabila ter-
bukti methycillin resistant staphylococcus aereus sebagai infeksi penye-
bab
• spektrum luas beta-laktam hanya digunakan terbatas pada kuman yang
peka terhadap kelompok antibiotik ini
• antibiotik dihentikan sesegera mungkin (lama penggunaan rerata 8-10
hari) apabila tanda tanda klinis aktif infeksi tidak ditemukan.6
Setelah melakukan de eskalasi, penggunaan antibiotik harus dipantau
dari hari ke hari dan pemberian dihentikan apabila klinis tidak ditemukan
tanda tanda infeksi aktif.
INFEKSI JAMUR (CANDIDA)
Pasien dengan risiko tinggi terhadap infeksi jamur (Candida) maka terapi
empiris antijamur harus mempertimbangkan beberapa hal seperti: tingkat
keparahan penyakit, pola serta uji kepekaan jamur setempat dan riwayat
penggunaan antijamur sebelumnya. Saat ini penggunaan echinocandin (mica
fungin, anidulafungin, caspofungin) direkomendasikan untuk pasien kritis
seperti syok septik.7
• de eskalasi antijamur (flukonazole) direkomendasikan bila perbaikan kli-
nis dan terbukti flukonazole peka terhadap C.albican atau strain lainnya,
khusus C. parapsilosis pilihan utama adalah flukonazole.3
• pemberian antijamur adalah selama 14 hari setelah kultur candida dalam
darah negatif, apabila klinis membaik dapat diganti dengan pemberian
oral (step-down therapy) sampai melengkapi 14 hari.
• pemberian oral antijamur yang tersedia adalah flukonazole, itrakonazole,
vorikonazole dan posakonazole , dasar pemilihan obat oral tersebut sebai-
knya didasari atas uji kepekaan jamur
• vorikonazole oral dapat digunakan sebagai step-down therapy untuk
C.krusei atau C.glabrata yang peka terhadap vorikonazole.2
58
DAFTAR PUSTAKA
1. American Thoracic Society, Infectious Disease Society of America.
Guidelines for the management of adults with hospital acquired, ven-
tilator-associated, and healthcare-associated pneumonia. Am. J. Respir
Crit Care Med. 2005 :171 ; 388 – 416
2. Bassetti M, Mikulska M : Pathogen in Severe Sepsis - New Paradigms
for Fungi Treatment. In : Sepsis management - PIRO,MODS. 2012, edi-
tor Rello J, Lipman J et al : 149 – 170
3. Forrest G, Weekes E et al : Increasing incidence of Candida parapsilosis
candidemia with caspofungin usage. J Infect. 2008 ; 56 : 126-129
4. Kollef MH : What can be expected from antimicrobial de-escalation in
the critically ill ?. Intensive Care Med. 2014 ; 40 : 92-95
5. Leon M, Textoris J et al : Overview of antimicrobial therapy in intensive
care unit. Expert Rev Anti Infect Ther. 2011 ; 9 (1) : 97-109
6. Masterson R. Antibiotic De-escalation. Critical Care Clinic. 2011 ; 27 :
149-162
7. Pappas P, Kauffman C et al : Clinical practice guidelines for the man-
agement of candidiasis - 2016 update by the Infectious Disease Society
of America. Clin Infect Dis. 2016 ; 62 : e1 - e50
8. Vincent JL, Bassetti M et al : Advances in antibiotic therapy in the criti-
cally ill. Critical Care. 2016 ; 20 (133): 1-13
59