The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by gagasmedia, 2022-03-25 03:41:40

ENDLESS SURPRISE

Gemala Hanafiah

GEMALA HANAFIAH

vi

PROLOG
TERJEBAK DI ROTE

“Kapal cepat tidak jalan, Kakak. Ferry lambat juga.”
Satu kalimat keluar dari mulut Yos, si hitam manis
yang bertugas mengurusi tamu di penginapan kami,
yang berada pada sebuah desa kecil di tepi pantai Nembrala,
Rote.

Saya yang tadi sibuk berkutat dengan ponsel, perlahan-
lahan mengangkat kepala. Berharap salah dengar. Berharap
saya saja yang kurang menangkap kalimat singkat yang di­
ucapk­ an dengan logat Rote yang kental.

Pinneng tampak terdiam di sudut mata. Keningnya se­
dikit berkerut. Ups, rupanya saya nggak salah dengar. Kami
terj­ebak di pulau ini.

“Berapa lama biasanya badai begini, Yos?”
“Tidak tentu, Kakak, bisa hanya dua hari, atau dua
minggu.”

1

Sulit rasanya percaya kalau ini benar-benar terjadi. Rasa­
nya seperti membaca buku Petualangan Lima Sekawan. Ini
tidak benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Saya menyapu
pandangan ke sekeliling. Mereka bilang cuaca sedang jelek.
Angin kencang menyulitkan kapal untuk menyebrang.

Di mana tanda-tanda keberadaan angin itu? Ah, ke­lihatan­
nya baik-baik saja. Pucuk-pucuk daun kelapa bergoyang
malas tertiup semilir angin. Begitu juga gonggongan anjing di
ke­jauh­an yang melihat ibu babi memasuki teritorinya. Ombak
masih bergulung tanpa cela di point surfing yang tepat berada
di depan Anugerah, penginapan yang kami tempati ini. Mana
badain­ ya?

Pikiran serasa buntu, atau tepatnya menyangkal. Tanpa
disadari, tangan saya memainkan potongan wax bekas pakai
yang ada atas meja, memijit-mijitnya hingga gepeng. Pinneng
masih tampak tenang. Tapi memang ia selalu berusaha tampak
tenang di saat-saat seperti ini. Hanya matanya yang berubah
menjadi serius dengan bibir menipis, tanda pikirannya sedang
bekerja.

“Sudah pernah ada kejadian seperti ini? Ada yang pernah
bisa menyebrang?”

“Coba nanti beta cari tahu.” Yos tampak prihatin melihat
kegelisahan kami, yang pastinya terlihat nyata meskipun kami
berusaha menutupinya.

Saya hanya menatap punggung Yos yang menjauh.
Beberapa surfer tampak hilir mudik di depan kamar kami

2

semb­ ari menenteng surfboard-nya atau hanya sekadar me­
leng­gang ke arah pantai untuk menikmati suasana sore yang
tampak damai ini. Di kejauhan saya melihat perahu-perahu
nelayan rumput laut tampak tersebar di antara bentuk­an
botol-botol plastik tempat mengikat rumput laut. Sinar mata­
hari sore di belakang mereka memberikan bentuk siluet
di atas riak air laut yang memantulkan sinar kemerahan.
“Tenang aja ya. Pasti ada jalan, kok. Mumpung masih ada
mata­hari, mau surfing aja?”

Saya mengalihkan pandangan dari laut ke Pinneng yang
berusaha menenangkan. Nggak ada apa pun yang bisa saya
lakukan saat itu. Ide untuk surfing seb­ elum matahari terbenam
yang sebelumnya sempat terl­intas kemudian pupus akibat
berita buruk tadi. “Kamu ikut?” Saya sibuk mencari wax yang
tadi siang sempat saya gunakan sebelum surfing. Sepertinya
masih ada sedikit yang tersisa, tapi saya lupa di mana
menaruhnya. “Main di Squiliz? Ayo deh.” Squiliz adalah spot
yang cukup ramah untuk belajar. Bisa dicapai dengan berjalan
kaki, tapi akan memakan waktu cukup lama, sementara
waktu yang kami punyai tak banyak lagi. Paling hanya sejam
setengah lagi sebelum matahari menyentuh cakrawala.
Ah, akhirnya wax itu ketemu juga di balik tumpukan sarung
surfboard yang saya taruh sembarangan di pojok teras. Surf­
board saya berdiri tegak di bagian penyimpanan surfboard
yang memang ada di tiap samping bangunan bungalow.
“Kita coba tanya penerbangan nanti. Kayaknya ada deh, pe­

3

ner­bang­an, tapi bukan regular. Mungkin kalau kapal nggak
ada yang jalan seperti sekarang ini, mereka akan terbang
karena banyak permintaan.” Pinneng juga ikut memoleskan
wax ke surfboard-nya setelah saya selesai. Ia juga memb­ awa
surfboard-nya yang panjang, hampir menyerupai minim­ alibu.
Surfboard jenis malibu itu jenis yang nanggung, tidak terlalu
panjang hingga menjadi sebuah longboard, tidak juga terlalu
pendek seperti shortboard, sedang-sedang saja.

Saya memincingkan mata, berusaha melihat di kejauhan.
Ombak squiliz tampak bergelung teratur beberapa kilometer di
arah utara, Lumayan jauh. Kami memutuskan menggunakan
taksi air untuk menghemat waktu. Berjalan kaki dari pe­
nginapa­ n ke lokasi di mana taksi air berjajar menunggu pe­
nump­ ang cukup menguras tenaga. Saya terbiasa jogging di
jalanan beraspal, kalau berjalan di pasir yang langsung masuk
begitu terinjak itu beda lagi ceritanya. Setiap langkah mem­
butuhkan kinerja otot ekstra rasanya.

Pinneng tampak melangkah dengan enteng di sebelah
saya. Curang, kakinya panjang banget, ya nggak heran dengan
sedikit melangkah gemulai posisinya sudah jauh di depan.

Ombak squiliz itu bisa nikmat bin seksi kalau ukurannya
besar. Saat ini memang ombak lagi besar-besarnya. Di lokasi
surfing utamanya sih, ombak sudah terlalu besar. Cukup besar
untuk mematahkan 5 surfboard dalam sehari. Terima kasih,
saya nggak berminat uji nyali di sana.

Sore hari itu kami benar-benar menikmati Squiliz.

4

Kata orang-orang, surfing itu menghilangkan kegundahan.
Mereka bena, tapi hanya untuk sesaat. Begitu saya melangkah
keluar dari laut, masalah tadi kembali menghantui saya.

Matahari perlahan lenyap di ufuk, meninggalkan semburat
oranye kemerahan yang luar biasa indah. Terlalu indah untuk
menjadi background kegundahan hati. Mubazir rasanya.

“Gimana, Yos?” Kami sudah duduk manis di meja makan.
Tamu-tamu lain belum kelihatan batang hidungnya. Pinneng
terlihat lelah setelah sesorean tadi surfing. Kulit wajah kami
kemerahan dari paparan sinar matahari yang dengan senang
hati kami serap selama surfing dalam beberapa hari ini.

“Masih belum tahu sampai kapan ini, Kakak. Belum ada
kejelasan kapan kapal cepat datang.”

“Perahu body itu gimana?” Saya nggak kuat menahan diri
untuk tidak mengungkit tentang perahu kecil itu.

“Itu perahu nelayan yang bisa mereka sewakan. Pernah
ada yang berhasil nyebrang ke Kupang, tapi pastinya basah.
Air gampang masuk.” Waduh, saya kan bawa laptop.

Keraguan mulai terasa. Sepertinya ini bukan ide baik.
“Pernah ada kejadian tenggelam?” Pinneng terdengar
santai saat menanyakan hal itu.
“Empat bulan yang lalu, ada turis surfer yang perahun­ ya
tenggelam waktu mau coba nyebrang kembali ke Kupang.”
Wah, seram dong.
“Trus..?”

5

“Untung dia bawa papan selancar, sih.”
“Terus?” Duh, ini Yos kenapa nggak cerita langsung
lengkap sih, pakai dipotong-potong segala.
“Terus dia paddle kembali ke Rote.”
“Haaah!” Saya dan Pinneng kompak menganga.
“…Empat jam.” Oke, forget it!
Lebih baik ketinggalan pesawat dibandingkan harus
paddle empat jam di tengah lautan. Iya kalau cuma empat jam,
kalau lebih gimana? Kalau terbawa arus gimana?
Harapan satu-satunya tinggal jalan udara. Kami harus
menc­ ari tahu apakah pesawat-pesawat perintis itu beroprasi.
Kalaup­ un beroprasi, apakah kami masih punya tempat, meng­
ingat semua orang pasti berpikiran sama.
“Coba saya cek dulu untuk penerbangan.” Yos pamit, ber­
lalu sembari menyapa beberapa tamu saat berpapasan.
Masih ada harapan.
Pikiran saya kembali pada perahu body yang sempat di­
tawark­ an tadi. Perahu nelayam kecil sebatas badan satu orang
yang akan penuh dengan surfboards kami dan tas-tas ransel
berisi laptop, terombang ambing melawan gelombang, semen­
tara awan hitam dan kilat sudah bergantung memb­ ayangin
perjalanan pulang kami. Imajinasi saya sudah membentuk
satu situasi yang buruk. Huh, nggak deh.
Makan malam berjalan akrab seperti biasa. Penginapan
Anugerah yang berkarakter surf camp ini memang unik.

6

Waktu makan di sini layaknya waktu makan di asrama. Semua
tamu akan berkumpul di 5 meja panjang yang masing-masing
berisi enam kursi. Semua saling berbincang akrab, saling me­
nanyakan cerita dari negara asal. Dan ketika makan malam
berakhir, saya kembali melihat Yos mendekati kami.

“Bagaimana Yos?”
“Tidak ada, Kakak…” Kami duduk mematung. Duh, akan
berapa lama kami tertahan di Rote?
“Beta bercanda, ada pesawat, Kakak,” sambungnya sem­
bari memamerkan senyum cemerlangnya. Sempat-sem­pat­
nya dia bercanda! Tapi lega juga rasanya masih ada yang bisa
bercanda, artinya situasi tidak segawat yang saya pikirkan.
Rasanya beban yang ada bahu ini seketika menguap.
“Kita pasti bisa pulang.” Pinneng tersenyum lega.
Ya, kami akan pulang besok.
Kejadian di luar perhitungan seperti ini pasti sering kami
alami selama traveling. Ini bukan kali pertama saya men­ ga­
lami situasi seperti ini. Pinneng juga begitu. Sometimes shit
happens. Dan ketika itu terjadi, pada akhirnya semua itu
menjadi pelajaran yang berharga bagi kami.

G

7

8

TRAVELING MASA PANDEMI

Apa saja yang harus dipersiapkan sebelum traveling di
masa pandemi seperti ini?
Awal 2020, kita semua dikejutkan dengan berita
mer­ebakn­ ya pandemi yang berawal dari Wuhan, Tiongkok.
Saat itu saya masih punya rencana traveling ke beberapa lokasi,
bah­kan sempat juga melakukan traveling ke Coron, Philipine
di bulan Februari. Saya masih percaya kalau pandemi ini tidak
akan masuk ke Indonesia dan negara-negara sekitarnya.

Tak disangka, awal Maret 2020, ditemukan 2 kasus
pertama di Indonesia.

Semua langsung berubah. Seketika lockdown terjadi di
mana-mana. Pariwisata merukapan salah satu yang kali per­
tama ter­kena dampaknya. Semua penerbangan, maupun
trans­por­tasi lumpuh seketika. Lokasi wisata tutup. Hotel-
hotel kosong. Berbagai rencana sayapun terhenti.

9

Tak percaya rasanya.
“Ah, paling cuma beberapa bulan,” hibur saya terhadap
diri sendiri kala itu. Tak mungkin keadaan ini berlangsung
selama­nya, kan? Nggak mungkin kita nggak teraveling lagi.
Nggak mungkin saya nggak traveling!
Ternyata beberapa bulan itu berlanjut hingga mencapai
satu tahun ketika saya menuliskan ini. Mau tak mau, kita
semua memang harus beradaptasi. Pemerintah berusaha me­
lindungi warganya, tapi juga tetap berusaha menghidupkan
sesi pere­komunian, terutama di bidang Pariwisata. Semua
pihak bekerja sama.
Pemerintah menggalakkan CHSE-Cleanliness Health
Safety dan Environtment untuk kembali menggerakan pari­
wisata di pertengahan tahun 2020 kemarin.
Mungkin beberapa dari kita yang sudah merasakan
traveling di saat-saat seperti ini terasa berbeda karena beberapa
per­syarat­ann­ ya yang agak merepotkan Tapi kerepotan inilah
justru yang menolong kita untuk dapat kembali menjelajah
dengan aman.
Beberapa hal yang harus dipersiapkan sebelum melakukan
perjalanan di masa pandemi ini:

1. Akan Seperti Apakah Destinasinya Nanti?
Saat kita harus bisa menjaga jarak sosial dengan

nyaman, maka yang harus diperhatikan adalah jenis

10

wisata dan lokasinya. Wisata-wisata outdoor, tourism
sport seperti menyelam, sepeda, surfing, trekking, dan
keg­ iatan-kegiatan yang bisa dilakukan secara individu,
keluarga, atau kelompok kecil lebih disarankan untuk
saat-saat seperti ini.

2. Isolasi Group.
Sebelum pandemi, kita sering mendengar tentang

one day trip dan open trip. Cara berwisata seperti ini
tentu­nya memberikan lebih banyak kemungkinan ter­
ekspose Covid-19. Kita tidak tahu siapa yang menjadi
carrier (bahkan bisa diri kita sendiri) dalam perjalana­ n.
Kalaup­un akan mengadakan perjalanan berkelompok,
usaha­kan dari awal tidak banyak berinteraksi dengan
orang yang berasal dari luar kelompok.

Setelah bersama-sama melakukan tes, maka isolasi
kelompok kecil kita sebelum melakukan perjalanan, dan
tetap bersama kelompok kita sampai kembali di kota
asal. Sesuai dengan pengalaman, tidak terlalu mudah
untuk menjaga protokol kesehatan secara ketat apabila
kegiatanmu berada di alam seperti diving dan surfing.

3. Pastikan Diri Sedang Dalam Keadaan Sehat
Jika kondisi tubuh kita kurang fit, akan memp­ erb­ esar

risiko terhadap diri sendiri dan juga orang lain. Pada
saat badan sedang dalam keadaan lemah, maka imunitas
pun ikut menurun. Mudah terserang penyakit, termasuk

11

juga virus. Jadi kalau tubuh kita kurang fit, tunda dulu
perjalanannya dan lebih baik di rumah saja ya.

4. Lakukan Test Antigen Atau Rapid Sesuai Syarat Yang
Diminta Oleh Penerbangan Yang Bersangkutan
Pada awal pandemi, rapid test sudah cukup untuk
menj­adi syarat melakukan perjalanan. Tapi belakangan
test antigen menjadi kewajiban. Jadi pastikan dulu se­
belumn­ ya. Baiknya juga test dilakukan sehari atau dua
hari sebelum keberangkatan, agar tak terburu-buru di
bandara. Kemudian print dan kumpulkan hasil test ber­
sama dengan tiket agar mudah diakses.

5. Siapkan Aplikasi E-HAC Di Handphone
Aplikasi ini wajib diisi dan akan di-scan saat tiba di

tujuan. Meskipun informasi yang diminta bisa juga di­
lakukan secara manual dengan mengisi form, tapi jika
meng­isi melalui aplikasi handphone sangat menghemat
waktu dan mempercepat antrean.

Isi segera setelah mendapatkan nomor tempat duduk
sebelum masuk ke pesawat atau kendaraan lainnya.

Special tips: Setelah selesai mengisi e-HAC dan
mendapatkan barcode, screen capture dan simpanlah
hasil­nya, agar mudah ditunjukkan saat tiba di tujuan
tanpa harus kembali log in pada aplikasi.

12

6. Siapkan Masker, Hand Sanitizer, Tisu Kering dan
Basah
Sediakan makser lebih dari satu agar mempu­nya
cadangan bisa terjadi sesuatu. Spray pembunuh bakteri
pun sekarang sudah bermacam-macam, ada yang ramah
terhadap peralatan makan, untuk bahan kain seperti
baju, bantal, dan seprai.

7. Biasakan Selalu Mencuci Tangan
Cuci tanganmu sesering mungkin, terutama saat

akan memasuki rumah makan. Usahakan memilih
lokasi resto atau kafe outdoor.

Saya sendiri beberapa kali melakukan perjalanan
selama masa pandemi ini, terutama untuk pekerjaan.
Tentu saja semua itu dilakukan setelah berbagai per­
timbanga­ n dan tindakan pencegahan semaksimal mung­
kin seperti di atas. Sekali-sekali sih, traveling juga sendiri,
tapi sebisa mungkin, jika harus menginap beberapa hari,
maka saya akan memastikan apakah semua melakukan
screening test kesehatan, dan juga kamar untuk sendiri.
Lebih baik ribet sedikit daripada menyesal.

Nah, kalau semua sudah siap, selamat bertualang, ya.
Jangan lupa selalu 3M : Menjaga Jarak, Memakai Masker,
dan Mencuci Tangan dengan sabun di air yang mengalir.
Jangan bosan untuk selalu disiplin, karena hanya dengan

13

inilah kamu melindungi diri sendiri dan juga orang-
orang tersayang lainnya di rumah.

G

14

DIVING MENANTANG
DI KOMODO

Kamu diver? Pasti sudah nggak asing dengan cerita-cerita
mengenai diving di Kepulauan Komodo. Kamu bukan
diver? Hmm, pasti sering juga dengar destinasi Komodo
yang super eksotik. Perjalanan mengunjungi pulau-pulau
tandus nan seksi dengan kapal phinisi, berfoto dengan latar
belakang 3 buah teluk beraneka warna pasir di Pulau Padar,
atau leyeh-leyeh di Pink Beach sembari difoto dari drone?
Semuanya jadi bucket list banyak pejalan baik luar maupun
dalam negeri.

Nggak heran sih, semua ini membuat Komodo National
Park menjadi salah satu destinasi super prioritas oleh
Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Karena memang
semua prasarananya sudah siap, jalur transportasi pun sangat
mudah dengan penerbangan reguler setiap hari.

Biasanya saya akan memesan penerbangan dini hari kalau
ke Labuan Bajo, transit di Denpasar. Menjelang siang atau

15

sore hari sudah berada di Labuan Bajo deh, siap menaiki kapal
phinisi yang dipesan. Selalu seru dan menyenangkan.

Namun dari semua keseruan itu, diving di Komodo
untuk be­berapa lokasi memang membutuhkan persiapan
lebih. Kondisi perairan di Komodo yang terdiri dari selat-
selat sem­pit yang artinya arus dan ikan seramai pasar.
Memang sih, kedua hal itu seru-seru saja untuk beberapa
diver pecinta adren­ alin. Tapi saya suka deg-degan kalau di
satu briefing ada kata-kata, “Ya, nanti kita negative entry
ketemu di 30 meter, ya.”

Sebenarnya nggak pernah ada masalah sih, dengan equa­
lize, atau menyamakan tekanan di rongga telinga dengan
tekan­an dari luar, tapi lebih ke faktor psikologis saja. Plus me­
lihat dive comp yang melingkar di tangan sudah me­nunjuk­kan
angka 30an itu otomatis seperti menghidupkan tombol panik.
Untungn­ya sejauh ini efek terparah hanya deg-degan plus
buru-buru nempel ke siapapun yang terdekat. Macam remora
me­nempel ke whale shark.

Ada satu spot diving yang jadi highlite di Komodo, se­kali­
gus juga jadi spot yang paling bahaya kalau kita bandel nggak
mau mengikuti arahan dari divemaster. Batu Bolong.

“Ladies and gentlemen, my name is Semut! Yes… Ants!
Just like the one that can bite you,” ucap salah satu dive master
kami siang itu membuka briefing-nya. Dengan Bahasa Inggris
penuh canda khas guide-guide selam di Komodo, Semut yang
nama aslinya entah siapa, dengan bersemangat mulai men­
coret-coretkan spidolnya pada whiteboard kecil di depan.

16

Briefing biasa dilakukan di atas kapal phinisi, yang sering
dis­ ebut dengan LOB, Live on Board, salah satu alternatif para
wisatawan dalam menikmati island hopping dengan lebih
maksimal. Kapal phinisi ini khas, badan kapal terbuat dari
kayu, dan anjungan yang menjulang. Anjungan ini biasan­ ya
menj­adi lokasi berfoto favorit.

Kapal-kapal kayu ini umumnya dibuat di Tanjung Bira
atau di Tana Baru, Sulawesi. Para pengrajin kapal di daerah ini
memang sudah sangat terkenal dari zaman dahulu. Mereka
bisa membuat kapal tanpa cetak biru. Keterampilan yang di­
turun­kan dari generasi ke generasi.

Kamar-kamar yang berada di badan kapal jumlahnya
sangat beragam mulai dari 4 hingga 10, bahkan ada yang
men­c­ apai belasan. Ruang berkumpul yang biasanya sekaligus
menj­­adi ruang makan bisa berada di geladak, atau di dalam,
di bawah ruang Kapten.

Oke, kembali ke briefing Bang Semut.

Kami semua sudah siap berganti wetsuit sambil men­
dengark­an dengan semangat. Terik matahari siang itu tak
men­jadi penghalang, meskipun ini menambah gerah tubuh
yang telah terbalut wetsuit atau baju selam tebal.

“This is my favorite spot to dive, also favorite for all divers

around the world. So beautiful! You will see the top with a hole,

that’s why they call it Batu Bolong. But you must be carefull, my

friend, as very strong current comes from the north this time. So

we will dive on the south side only.”

17

Saya mulai deg-degan mendengar kata current dan arus,
langsung melirik ke teman-teman lainnya. Semua tampak
serius mendengarkan penjelasan Bang Semut. Angin mem­
porak porandakan rambut, rasanya ikat rambut ini tak ada
gun­an­ ya.

“Don’t worry, as long as you follow your guide. Don’t swim
in front of me. And when I show this sign.” Semut kemudian
memeragakan gerakan syarat tangan untuk gerakan arus arus.
“We swim back. So we do zig zag,” sambungnya lagi.

“If lucky, we can see sharks, taking naps, or turtles hanging
around. So prepare your camera, and make sure it has a full
battery and memory card. I don’t want anybody ask me to bring
you back to the boat, because of you forgot something.”

“Ok, get ready in 10 minutes!”
Guide-guide ini memang terbiasa menggunakan Bahasa
Inggris untuk briefing, karena divers yang datang kebanyakan
dari berbagai macam negara. Kami semua turun ke lantai
bawah untuk bersiap-siap. Saya selalu merasa deg-degan di
awal penyelaman.
Keriuhan segera terjadi di boat pendamping khusus yang
membawa semua peralatan diving kami. Masing-masing harus
menemukan BCD1-nya. Saya segera menemukan BCD saya
dan langsung memasangnya dalam posisi duduk. Lumayan
berat soalnya.

1 Buoyancy Control Device, alat untuk membantu kontrol keterapungan di dalam
laut-yang telah terpasang pada tabung masing-masing

18

Semua bersemangat. Teman-teman yang ikutan dalam pe­
nye­lama­ n kali ini berasal dari berbagai negara. Semua sudah
siap di posisi masing-masing dengan pemberat terpasang,
masker di leher, fins terpasang. Siap menunggu giliran satu
per satu melakukan giant step untuk masuk ke air.

“Oke, group one! One, two, three, JUMP!”

Satu per satu kami masuk, dan penyelaman dimulai.
Visibility atau jarak pandang lumayan bagus, sekitar 20 meter­
an. Dan guide group saya memimpin penyelaman, mend­ ekati
satu patahan di dinding karang. Kami semua meng­ikutin­­ ya,
semakin dalam menyusuri patahan tersebut. Saya tahu ini
lumayan dalam, dari beberapa kali saya harus melakukan
equalize, tanpa harus melihat pada dive computer yang mem­
belit di pergelangan tangan.

Batu Bolong memang terkenal dengan keindahannya.
Coral-coral bergantungan di kedalaman yang bervariasi,
sangat sehat. Dan rupanya pada hari itu kami semua ber­
untung, beberapa blacktip shark2, tampak hilir mudik di
sekitar kami. Mereka sudah lumayan terbiasa dengan para
diver dan tak menganggap kami sebagai ancaman.

Pada beberapa titik juga, terlihat penyu sibuk meng­
hancurk­ an karang yang merupakan makanannya, tak peduli
pada kami yang sibuk mengambil gambarnya. Hewan-hewan
laut di perairan Komodo ini memang lebih santai pada ma­
nusia, karena kebanyakan dari para diver juga selalu menj­aga
kenyamanan mereka.

2 Hiu karang yang tidak agresif selama tak diganggu

19

Tak terasa udara sudah menipis dan kami semua harus
men­ yudahi penyelaman. Perlahan-lahan mendekati per­muka­
an, dan semua melakukan safety stop, berdiam di ked­ alam­an
5meter untuk mengeluarkan nitrogen yang terperangkap di
dalam darah.

Nah, ini dia bagian serunya, begitu kepala kami semua naik
ke permukaan, terlihatlah arus yang sangat kuat di kanan dan
kiri kami. Benar-benar hanya di titik kami keluarlah arus tak
terasa. Tak heran beberapa kali terjadi kecelakaan di Komodo
karena kejadian terbawa arus. Derasnya mengingatkan saya
pada arus sungai.

Namun secara keseluruhan pengalaman menyelam di
Batu Bolong selalu menyenangkan.

Keseruan bermain air di Komodo juga termasuk saat kita
snork­ling, berburu manta3. Yes, manta yaa bukan mantan.
Nah, ada satu area yang beken banget di kalangan para
wisatawan dan traveler, Taka Makassar. Entah kenapa di­nama­
kan Makassar, padahal lokasinya masih di Taman Nasional
Komodo.

Jadi Taka Makassar ini memiliki kontur dasar yang datar,
sedatar telur dadar dengan kedalaman yang beragam antara
6- 15 meteran, tergantung pasang surut saat itu. Dengan
kontur seperti ini, ditambah lagi posisinya berada di selat
yang sempit, arusnya pun aduhai.

3 Salah satu jenis ikan pari

20

Biasanya para snorkeler atau freediver akan diturun­kan
pada satu sisi, dan dibiarkan hanyut sembari mencari-cari
manta, dan akan dijemput di ujung, lokasi di mana kedalam­
an sudah menurun sehingga tak mungkin bagi perenang yang
berada di permukaan dapat melihat dasar lautan lagi.

Risikonya tentu saja kita harus siap untuk ‘mengejar’ manta
jika diperlukan, karena posisinya belum tentu berdekatan.
Seperti pada siang itu, ketika kami semua diturunkan pada
titik terdangkal.

“Nanti kalau ketemu manta, usahain berenang ke arah
belakangn­ ya, yaa,” Pinneng memberikan briefing singkat. Ia
berencana membuat foto atau video dari freediver yang me­
nyelam cantik di sebelah sang manta. Tapi rencana hanyalah
tinggal rencana.

“Nanti kalau saya liat manta, saya panggil ya,” seru guide
kami yang menemani sesi freedive saat itu.

Wah, di area seluas ini, semoga saja posisi kami sesuai
dengan posisi manta itu, batin saya. Rupanya saya tak perlu
khawatir, karena mereka berada di mana-mana! Hampir
setiap saat kami melihat mereka. Hanya saja mereka tidak
punya masalah bergerak melawan arus, sementara kami se­
tengah mati mengejarnya.

“Ayo, ke belakangnya, Al!” Pinneng juga berusaha me­
ngatur posisinya agar siap melakukan duckdive di depan
manta yang terpaut 10 meter dalamnya.

21

“Duh, mana bisa nih, langsung freedive sedalam itu dengan
napas ngos-ngosan,” batin saya. Dan benar juga, setelah di­
rasa mendapatkan posisi yang pas, saya coba melakukan duck
dive dan menyelam, tapi rasa sesaknya mendorong saya untuk
cepat-cepat naik ke permukaan, meraup sebanyak-banyaknya
oksigen. Moment pun hilang terbawa arus.

Begitu terus berkali-kali, rasanya seperti habis melakukan
marathon.

Namun kondisinya tidak selalu seperti ini. Kadang kala
ada spot di mana kami bisa berenang-renang tanpa diterpa
arus terlalu keras. Dan para Manta itu hilir mudik di antara
kami seakan mengajak bermain. Wah kalau sudah begini
kondisi­nya, rasanya waktu setengah hari pun kurang.

Jadi untuk spot selfie dengan manta di perairan komodo ini

masih jadi andalanque.

Kalau ditanya, apakah punya pengalaman yang seru de­
ngan arus? Jujur… iya. Apalagi di tempat yang terkenal dengan
arusnya seperti ini,sampai dijuluki Current City-.

Masih ingat sekian purnama lalu, ketika melakukan
LOB bareng Pak Condo dan teman-teman lainnya, termasuk
Pinneng tentunya, salah satu spot yang kami kunjungi waktu
itu adalah Castle Rock.

Pak Condo sendiri merupakan salah seorang legend yang
men­genal perairan Komodo layaknya halaman rumahnya
sendiri. Beliau ex ranger yang akhirnya menjadi instruktur
selam, dan memiliki kapal sendiri. Rasaya dari awal bertemu

22

beliau, tak sekalipun saya melihat beliau mengenakan alas
kaki. Dan uniknya, saat diving pun tak pernah ia mengenakan
wetsuit atau baju selam. Hanya bermodalkan celana pendek
dan bertelanjang dada saja, tak peduli sedingin apa pun airnya.

Di balik semua keunikannya, Pak Condo sangat bisa
diandalkan.

“...karang akan berada di sebelah kiri kita saat menuju
safety stop di lima meter. Usahakan merapat pada karang, ya.
Karena akan ada sedikit arus.” Briefing ditutup dengan pen­
jelasan singkat siang itu. Kami semua segera bersiap. Seperti
biasa, karena tidak perlu mengenakan wetsuit, Pak Condo siap
paling awal sembari membantu mengawasi persiapan kami.

Awalnya semua berjalan lancar tanpa ada kendala berarti.
Spot sangat luar biasa. Ikan-ikan beraneka ragam dan warna
berseliweran di segala arah. Karang yang sehat dan visibility
yang bagus. Tapi masalah mulai timbul saat mendekati akhir
penyelaman.

Saat itu terjadi slope4, dan arus menerpa dari dangkalan.
Kaki sudah lumayan pegal mengayuh, atau mungkin karena
fins-nya kurang pas, ya? Yang pasti saya merasa terdorong
menj­auh dari karang secara perlahan-lahan. Semakin kuat
men­ gayuh, rasanya semakin jauh terdorong arus dari yang
lainnya. Duh, kenapa mereka tetap ke arah sana, ya?

Napas sudah mulai ngos-ngosan, sementra udara sudah
pas-pasan untuk melakukan safety stop. Kondisi diluar

4 Kondisi dasar laut yang menurun secara melandai

23

perkiraan seperti ini yang suka bikin saya deg-degan. Rasa­
nya seperti tak berdaya. Masih untung kondisi ini terjadi di
dang­kalan, coba kalau ini terjadi di 30meter? Wah, pasti saya
lebih panik lagi.

Teman-teman yang lain tampaknya tak mengalami ke­
sulita­ n berarti. Mereka bahkan sudah hampir sampai di bibir
karang dan mulai berbelok. Saya tidak memelankan kayuhan
kaki. Berusaha mengatur napas sebisanya sambil sesekali me­
lirik ke gauge yang menunjukkan sisa udara.

Biasanya pada saat kondisi tak nyaman seperti ini, saya
akan berusaha sedekat mungkin pada siapapun yang berada
dalam jangakauan tiga kali kayuhan fins, dan memastikan dia
memiliki octopus atau regulator cadangan, untuk berjaga-jaga
kalau-kalau terjadi sesuatu pada sistem SCUBA saya. Tapi
masalah­nya mereka bahkan tak melihat ke belakang.

Napas sudah semakin habis, kayuhan kaki memelan.
Tentu saja akibatnya saya jadi terbawa semakin jauh dari
karang, menuju ke laut biru. Saya melirik ke bawah, terlihat
dasar laut semakin menurun dalam, dan warna biru lambat
laun mendominasi.

Pak Condo rupanya menghitung diver yang ada, dan me­
nyadari jumlahnya berkurang satu. Ia menoleh ke belakang
dan melihat saya berjuang mati-matian berusaha men­ gayuh.
Tampak tangannya menjulur ke arah saya, mengisyarat­kan
agar saya mendekati. Apa daya niat dan tenaga tak berimbang,

24

saya hanya bisa menjulurkan tangan kembali ke arah Pak
Condo, sembari terseret arus semakin menjauhi mereka.

Membaca situasi yang kurang menguntungkan ini, Pak
Condo akhirnya memberi isyarat pada yang lain untuk me­
lakukan safety stop di lokasi mereka yang aman, sementara ia
mem­ utuskan untuk menyusul saya ke blue. Bagian laut yang
biru tanpa terlihat karang apa pun.

Ah, alangkah leganya melihat Pak Condo mendekati, dan
saya bisa mengistirahatkan sementara kaki dan napas yang
lelah ini dengan berpegangan pada BCD-nya. Detak jantung
per­lahan-lahan kembali normal. Saya tak keberatan berada di
tengah lautan tanpa melihat ujung apa pun, asal ada buddy
yang mendampingi.

Jadilah kami melayang di kedalaman yang stabil sembari
me­nyelesaikan kewajiban safety stop kami selama kurang lebih
3 menitan. Fiuh, lega rasanya. Pada laut lepas seperti ini cen­
derung aman, nggak ada down current, side current seperti di
area sekitaran slope seperti tadi. Yaitu kemungkinan terpapar
arus yang membawa kita semakin masuk ke kedalaman laut
atau menghantam ke samping lebih kecil.

Untunglah semua berakhir baik. Komodo memang di­
kenal dengan arusnya. Makanya penting banget bagi operator
diving untuk mengenal saat-saat terbaik melakukan pen­ yelam­
an di titik tertentu. Dan kejadian-kejadian kecelakaan yang
beberapa kali terjadi, biasanya karena kelalaian di penyelam

25

itu sendiri, atau salah perhitungan waktu. Jangan sampai
nggak nurut dengan dive guide kita, deh.

Kadang alam yang terlalu indah bisa membuat kita lupa
diri. Yang harus selalu diingat, semua itu sudah ada aturannya.
Jangan sampai kita rugi sendiri karena menganggap remeh
hal tertentu. Taman Nasional Komodo memang menyajikan
kei­ndahan yang luar biasa, baik di daratan maupun di bawah
lautnya. Nikmati dengan cara yang bertanggung jawab, jangan
sampai hanya karena mengejar ego semata kita merugikan
diri sendiri dan orang lain.

G

26

TERDAMPAR DI MENTAWAI

S urfer mana yang nggak tahu Mentawai? Bahkan saking
beken­nya, Mentawai punya julukan sayang dari para
surfer : Playground-nya surfing. Yang namanya play­
ground pastinya tempat bermain superseru. Demikian juga
Men­tawai, segala macam jenis ombak dari yang sangar bak
debt collector, sampai yang imut dan gemesin bak chibi-chibi
juga ada.

Nggak heran dong, kalau Mentawai juga jadi impian saya
kala itu. Maka, ketika Putri, sang reporter TV dari program
traveling tempat saya freelance beberapa saat lalu telepon dan
mengabarkan kalau destinasi berikutnya dari liputan itu ke
Mentawai, rasanya seperti terbang ke langit ke tujuh

“Al, kita ke Mentawai, ya.” Suara cempreng manisnya ber­
gema di kuping. Putri ini cukup galak di antara para reporter
lainnya

27

“Asyik! Ada konten surfing nggak? Gue bawa surfboard,
ya?” Imajinasi saya langsung melayang-layang membayangkan
ombak Mentawai yang superseksi. Bawa surfboard yang mana
ya? Bakal besar nggak ya, ombaknya? Duh, leash sudah agak
rusak nih, sempat nggak ya, cari gantinya sebelum berangkat?

“Duh, ribet ah, kita nggak akan ngambil surfing, kita ke
pedalamannya ngeliput suku pedalaman.” Tanpa mengh­ irau­
kan perasaan seorang surfer yang memimpikan Men­tawai,
Putri dengan tegas menekankan tujuan liputan kami nanti.
Iya sih, belum kebayang memang medan yang akan kami lalui
nanti. Apalagi harus ke pedalaman. Yah, apa boleh buat. Saya
terluka dan sedih. Lebih baik pasrah.

Hari keberangkatan tiba. Matahari membakar tengkuk
dan memaksa keringat mengalir membasahi kaos yang saya
pakai. Topi tampaknya tak terlalu banyak menolong. Suasana
pelabuhan di Padang yang tak pernah sepi seakan tak meng­
idahkan teriknya matahari terhampar di depan mata.

Kapal-kapal kayu terparkir berjajar memenuhi dermaga.
Saya, Putri dan dua orang kameramen, Bang Yudi dan Bang
Daus, tertegun di sebelah tumpukan barang-barang kami
yang jumlah dan bentuknya beda tipis dengan persiapan
pulang kampung. Menggunung.

Rupanya ini merupakan pelabuhan rakyat yang melayani
trans­portasi ke pulau-pulau di Mentawai yang memang me­
rupakan kabupaten kepulauan. Barang-barang kebutuhan

28

pokok hingga motor bergantian dinaikkan atau diturunkan
ke kapal-kapal kayu lusuh yang bersandar malas.

Beberapa pekerja mulai melihat keberadaan kami. Satu-
dua orang mulai memanggil-manggil usil, sementara yang
lainnya tetap melanjutkan kesibukkannya masing-masing.
Rupanya memang pelabuhan ini tak terlalu asing dengan
keberadaan makhluk asing. Maksudnya para surfer-surfer
yang hendak menyebrang ke Mentawai.

“Yang mana kapalnya, Da?” Putri bertanya sembari me­
rapikan rambut-rambut halus yang menyembul dari balik
kerudungnya.

“Itu yang di sebelah sana, yang banyak jendelanya.” Kuat­
kanlah kami, Tuhan. Seketika saya berdoa dalam hati. Bentuk
kapal kayu yang ditunjuk oleh Uda, guide kami, tampak lebih
lusuh dari kebanyakan kapal yang parkir dengan jendela-
jendela kecil berjajar di sepanjang badannya. Sekilas desain­
nya tampak meniru kandang burung dara raksasa.

“Berapa lama sih, pelayaran ke Muara Siberut?” tanya
Bang Yudi. Ia merupakan kameramen senior dan minatnya
terh­ adap kegiatan outdoor membawanya menjadi kam­ erame­ n
program traveling seperti ini. Sosoknya lebih besar dari orang
kebanyakan dengan kulit yang gelap terpapar matahari.

“Yah, kalau berangkat nanti sore sampainya besok subuh.”
Oke, kira-kira saya bisa tidur nggak, ya?

“Kita naikin barang sekarang?” Bang Daus memecah ke­
heningan. Rambutnya yang gondrong sebahu terikat rapi. Ia

29

memindahkan posisi kamera yang disampirkan di bahunya.
Para kameramen memang tak pernah melepaskan kamera
mereka meskipun pastinya lumayan pegal kalau disampirkan
terus menerus seperti sekarang ini. Maklumlah, kala itu
belum umum bagi TV untuk melakukan pengambilan gambar
dengan kamera DSLR, apalagi mirrorless.

“Telepon saltelit nggak diaktifin dulu, Bang?” Putri meng­
ingatkan sembari mengangkat tas ranselnya. Rupanya kami
me­miliki sebuah telepon satelit, Ah ya, tujuan kami kali ini
pedalaman, akan sulit untuk mendapatkan sinyal telepon
genggam.

Bang Yudi menyeka peluh yang membanjiri kening dan
lehernya, “Nanti aja di sana lah.”

Maka, kami segera bergabung dengan kerumunan orang-
orang yang hendak memuat barang-barang mereka ke kapal.
Bersaing dengan motor-motor yang didorong melewati se­
bilah papan ramping bak model yang menghubungkan kapal
dengan dermaga.

Eh, apa itu yang berada di dalam keranjang anyaman? Oh,
ternyata ayam pun ikut-ikutan menumpang kapal ini. Baik,
mari kita bergabung dengan keriuhan ini.

Meskipun tampak serabutan tapi ternyata tidak mem­
butuhk­an waktu lama bagi kami untuk mencapai bagian
dalam kapal. Kami menyusuri lorong panjang yang ter­nyata
sudah penuh dihuni para keluarga dengan anak-anak mereka.
Tikar dan bantal telah malang melintang menghalangi jalan.

30

Beruntung kami membeli tiket dengan kamar. Meskipun
tak terlalu besar, kamar kami mempunyai 4 tempat tidur
yang terdiri dari dua tempat tidur tingkat. Segera saja kamar
yang seberapa luas ini menjadi penuh dengan barang-barang
persiapan shooting kami.

Para ibu di lorong pun telah membuka bekal makan­
an mereka. Anak-anak mulai mencari posisi nyaman di atas
bantal, menempel pada ibu masing-masing. Tak terlihat muka
me­ngeluh. Mereka telah menerima keadaan ini dengan ikhlas.
Dan memang seperti inilah potret kehidupan masyarakat
Indonesia kebanyakan, apa adanya.

Saat matahari semakin rendah, Kapten kapal pun mem­
bunyik­ an klakson yang melengking beberapa kali, tanda siap
berangkat.

Here we go.
Tak terasa akibat kelelahan, saya pun dapat tertidur. Dan
keesokannya saya terbangun oleh suara cempreng Putri.
“Bangun, Al, lo ke sini bukan untuk tidur terus.” Duh, galak
benar reporter imut satu ini. Mungkin makan malamnya tadi
cabe rawit sekerangjang.
Saya mengerjapkan mata. Matahari mengintip dari balik
jendela kayu kamar kami. Tercium bau laut bercampur bau
apek yang berasal dari kasur dan bantal yang entah berapa
lama tak pernah diganti. Teman-teman yang lain rupanya
sudah bangun terlebih dahulu.

31

Setelah merapikan diri seadanya, tanpa menggosok
gigi tentunya, saya bergerak memasuki ruang kemudi di
mana semua telah berkumpul. Bang Yudi dan Daus masing-
masing sibuk mengambil gambar suasana ruang kemudi. Pak
Kapten tampak menggagah-gagahkan diri di depan kamera
superbesar Bang Yudi.

Tampak pelabuhan kayu mendekat di depan haluan kapal.
Kesibukan pagi para pekerja di pelabuhan, menurunkan hasil
bumi dan para penumpang dari kapal kayu lainnya yang telah
lebih dulu merapat merupakan kegiatan utama di sini.

Selamat datang di Mentawai.

Tempat ini dinamakan Sikabaluan. Perlahan-lahan kami
pun menurunkan barang-barang kami yang bak pindahan se­
kampung itu. Dermaga yang sibuk bermandikan sinar mata­hari
ini serasa hangat menyambut kedatangan kami, para jurnalis
yang kebingungan. Rupanya orang yang seharusnya menj­adi
pemandu kami tak hadir saat itu. Sementara sinyal telepon juga
mengalami kendala. Jadilah kami terlunta-lunta bagai anak
ayam kehilangan induk di tengah keriuhan dermaga.

“Cari tempat berteduh dulu, yuk. Barang kita banyak
banget soalnya,” usul Bang Yudi yang tanpa ba bi bu langsung
disetujui semua orang.

Ketidakpastian kami berlanjut hingga malam hari, sampai
akhirnya seseorang yang ternyata merupakan calon pemandu
kami datang ke penginapan dan mengajak kami menuju ke
rumah kakaknya.

32

“Maaf sekali tadi pagi saya tidak bisa jemput kalian. Ada
masalah, dan sepertinya juga saya tidak bisa temani kalian
seperti yang dijanjikan sebelumnya.”

Glek, kami kontan saling pandang. Kok, seenaknya begini,
sih. Mana kami sudah jauh-jauh datang ke tempat ini.

“Tapi jangan kawatir, saya kenalkan pada kakak saya,
ya. Dia ini punya bisnis di sepanjang pantai barat Pulau
Siberut ini. Nanti sekalian ikut dia karena sudah waktunya
dia mengunjungi lokasi barternya.” Hah? Barter? Emang apa
yang salah dengan mata uang? Tahun berapa sih ini? Duh,
jangan-jangan kami naik kapak kembali ke masa lalu. Kapal
time machine gitu.

Kami memasuki sebuah rumah kayu yang tampak lusuh
tapi terang benderang bagian dalamnya. Setelah melepaskan
sepatu dan sandal masing-masing di teras kayu, berbondong
–bondong kami memasuki rumah tersebut. Sedikit berdebar
menunggu kepastian nasib kami di beberapa hari mendatang.
Kami akan sangat tergantung pada orang yang akan dikenalkan
malam ini.

“Kenalkan, ini Bang Mochtar.” Berdiri seorang pemuda
berusia 30an. Ia berkulit gelap dengan sudut rahang tegas
memandang kami dengan ramah. Ia menyodorkan tangannya.

“Halo, kalian dari Jakarta ya.” Kami menyambut uluran
tangan Bang Mochtar, berusaha mengimbangi keramahannya
sembari menyebutkan nama masing-masing.

33

“Saya punya beberapa kedai di sepanjang pantai barat
Pulau Siberut ini. Barang-barang kebutuhan sehari-hari yang
sederhana tapi sulit mereka dapatkan saya sediakan di sana.
Mereka tidak punya uang, dan uang juga tak ada gunanya bagi
mereka. Jadi kami pakai sistem barter. Saya menerima rotan
dan kopra dari penduduk setempat.”

Oh, wow! Nah, ini dia businessman sejati. Melihat peluang
dan memanfaatkannya. Hasil bumi tersebut pastinya ber­harga
jauh lebih mahal dibanding barang kebutuhan sehari-hari
tersebut.

“Nah kebetulan besok saya berangkat, dan saya punya
kapal kayu sendiri, bakal lebih hemat juga untuk kalian.
Kita bisa saweran bayar bahan bakar.” Kami berpandang-
pandangan senang.

Ha! Good deal!
Maka keesokan harinya berangkatlah kami men­ umpang
perahu kayu Bang Mochtar menuju tujuan kami berikut­nya,
Desa Simalegi. Dan yang saya maksudkan dengan perahu
ini bener­an perahu kecil yang hanya cukup untuk satu orang
duduk berbaris ke belakang, tanpa tudung. Jadi semua harus
siap terpapar panasnya matahari Mentawai pagi itu.
Daus duduk paling muka, diikuti saya, Putri, dan Bang
Yudi yang paling belakang sebelum akhirnya Bang Mochtar
sendiri yang memegang kendali mesin. Barang bawaan kami
tersusun rapi pada lantai kayu perahu tersebut, ditutup terpal

34

sehingga lumayan terlindungi dari cipratan air laut dan sinar
matahari.

Jalur perjalanan yang diambil tak terlalu jauh dari daratan,
dengan kata lain kami menyusuri daratan. Terlihat pohon-
pohon kelapa berjajar sepanjang pantai. Tapi tak terlihat
rumah penduduk maupun pondok di sepanjang pantai.

Bang Yudi dan Bang Daus memeluk kamera masing-
masing yang telah dibungkus plastik sampah besar. Untung
kami sempat membeli plastik sampah, karena di depan saya
melihat awan gelap telah bergantung rendah di ufuk.

“Sebentar lagi bakal hujan di depan.”
“Di belakang juga loh.”
Hah? Ternyata kami terjebak di tengah-tengah. Dan tak
lama kemudian, saya merasakan titik-titik air di muka dan
tangan yang terbuka. Semakin lama, baju yang saya kenakan
semakin kuyub. Tak satupun di antara kami yang bisa ber­
kutik. Semua pasrah menunduk sementara perahu tetap me­
laju dengan kecepatan stabil.
“Kamera! Hati-hati kamera!” Putri tampak cemas seiring
semakin tingginya curah hujan siang itu. Kedua kameramen
semakin erat memeluk kamera mereka. Kalau sampai ada
apa-apa dengan kedua peralatan mahal tersebut, tanggung
jawabnya tentu tidak main-main.
Tiga jam perjalanan rasanya seperti seabad. Dingin dan
melelahkan, tak aada ruangan untuk beristirahat bagi kami di

35

perahu. Tiba-tiba Bang Mochtar yang sedari tadi hanya diam
berteriak berusaha mengalahkan suara mesin yang menderu,
“Sedikit lagi sampai!.”

Sukurlah. Akhirnya sampai juga. Terlihat beberapa pe­
muda keluar dari balik barisan pohon kelapa di tepi pantai,
siap menyambut perahu kami yang semakin mendekat. Dari­
mana mereka tahu kalau kami mau datang, ya?

Teriakan-teriakan memberi aba-aba dari Bang Mochtar
kepada para pemuda dalam bahasa setempat menggerakkan
mereka menyambut perahu kami. Dengan sigap, mereka
juga membantu kami turun dan menurunkan semua barang-
barang kami termasuk barang persediaan untuk kedai.

Aneh rasanya melihat para pemuda asli Mentawai ini
hanya menggunakan semacam kain yang melilit pinggangnya
dan melingkar melalui selangkangan. Sekujur tubuh mereka
dipenuhi tato garis khas Mentawai, dan di pinggang mereka
terselip parang.

“Biar orang-orang kanibal ini yang membawa barang
kalian.”

“Emangnya mereka kanibal?” Saya kaget sekaligus ciut
mendadak.

“Hahaha, nggak lagi sekarang. Kalau dulu iya. Lagian
mereka nggak ngerti bahasa Indonesia.” Bang Mochtar benar-
benar di atas angin dengan posisinya, apalagi kemampuannya
menguasai bahasa setempat membuatnya mudah diterima,
bahkan sedikit dipuja. Kedatangannya setiap bulan selalu

36

ditunggu-tunggu, karena artinya banyak barang baru yang
bisa ditukar dengan hasil bumi.

Tak jauh kami berjalan ketika terlihat kedai Bang Mochtar
tersembunyi malu-malu di antara rimbunnya pepohonan
kelapa dan sagu. Tampak beberapa warga desa yang entah di
mana letaknya itu, berkerumun dan menyambut kami sembari
terbelalak. Rupanya memang tak banyak pendatang yang
mampir kemari. Bahkan menurut Bang Mochtar, semenjak
Indonesia merdeka, tak sekalipun desa mereka disambangi
pihak pemerintahan. Hanya kru National Geography yang
pernah ke desa mereka.

Kedai ini hanya punya satu ruang depan tempat berjualan,
satu ruangan lagi di bagian belakang tempat menyimpan
persedian barang-barang yang besar, dan satu ruangan lagi
untuk kamar. Rupanya di sinilah Bang Mochtar tidur kalau
sedang berkunjung. Saya dan Putri mendapatkan kamar
tersebut, sementara yang lain akan tidur menyebar di ruang
depan.

“Hmm, cukup nyaman juga.” Saya menilik bilik itu.
Dindingnya tentu saja kayu. Jendelanya berdaun pintu dan
bisa dibuka keluar. Di lantai terhampar dua buah kasur lipat
yang sudah kusam. Masing-masing mendapat satu bantal
kepala. Bahkan ada selimut juga.

“WC di mana ya?” Putri mulai celingukan. Pertanyaan
bagus.

37

“Oya, di sini nggak ada kamar mandi, tapi ada sumur
di bagian belakang. Ada kain penutup juga tapi bagian
sampingnya terbuka semua. Kalian saling jaga aja ya, kalau
mau buang air atau mandi.”

Putri dan saya pandang-pandangan cemas. Oh, no.
Dan ternyata, jangankan mandi di sumur, menimba airnya
pun kami gagal terus. Setiap kali ember kosong dilempar,
setelah ditarik ke atas pun masih tetap kosong, Saya merasa
gagal bertahan hidup.
“Gini caranya, embernya usahakan tegak di permukaan
air, terus disentak deh talinya. Jadi embernya langsung miring
dan airnya masuk sendiri.” Bang Mochtar mengajari kami.
Sore itu kami sukses mandi di antara pohon-pohon sagu,
dengan kain penutup terbentang seadanya. Untungnya bagi­
an yang tak terlindungi oleh kain merupakan hamparan
hutan lebat. Eh, tapi apa benar-benar nggak ada orang ya? Ah,
sudah­lah.
“Telepon satelit sudah diaktifkan belum?”
“Belum, coba sekarang kali, ya?”
Bang Yudi mengeluarkan telepon satelit yang dibawa-
bawan­ ya dari Jakarta. Berkali-kali ditekannya tuts yang entah
apa artinya. Tapi berkali-kali juga raut kesal tampak mem­
baya­ngi wajah Bang Yudi. Tampaknya belum berhasil aktifasi­
nya.
“Nggak bisa, Put.”

38

“Aduuh, coba keluar sebentar Bang, jangan kehalang atap.”
“Nggak bisa juga,” ujarnya setelah mencoba beberapa saat.
“Waduh, gimana caranya kita ngasih kabar ke kantor?
Putri semakin panik. Kewajibannya untuk selalu mengabar­
kan kemajuan liputan kami yang hanya bertumpu pada
telepon satelit tampaknya tak bisa dilakukan.
“Gimana, nih? Masa kita balik ke Jakarta, sementara kita
sudah sampai sejauh ini.”
“Kita tetap lanjut liputan?” Daus mengangkat kepalanya.
“Lanjut.” Akhirnya Putri mengambil keputusan.
“Em, Put.” Daus memanggil dengan ragu-ragu. Rambut­
nya ikalnya yang jatuh ke dahi disingkirkannya dengan
gerakan kikuk.
“Kenapa, Bang?”
“Ini, kamera nggak bisa hidup.” Akhirnya Daus me­nge­
muka­ k­ an masalah yang rupanya sudah menderanya sesorean
ini. Kamera yang dipangkunya selama badai di perahu tadi
tak bisa diselamatkan dan ketika dibuka bungkusnya terdapat
air yang menggenang di dalamnya.
“Aduh, kita bahkan belum mulai liputan. Kenapa sih,
semua masalah datangnya berbarengan?” Putri memang
bukan yang paling senior di grup kami, tapi posisinya sebagai
reporter membuatnya mengemban semua tanggung jawab
ini. Kasihan dia.

39

“Mau nggak mau kita terus suting hanya dengan satu
kamera.” Mulutnya mengerucut, sementara dahinya yang
mulus semakin berkerut.

Malam itu meskipun tertimpa masalah bertubi-tubi,
kami tetap tertidur nyenyak. Lelah dengan kejutan bertubi-
tubi. Mempersiapkan diri untuk perjalanan jauh berikutnya.
Semoga esok hari kami mendapatkan jalan keluar.

Tak terasa sudah waktunya untuk terbangun. Rasanya baru
saja memejamkan mata. Suara burung-burung ber­ceng­krama
men­ embus bilik kayu tempat kami tidur semalam. Udara te­
rasa sejuk dan segar. Udara hutan yang alami, menyebarkan
bau dedaunan dan tanah lembab oleh butiran embun.

Barang-barang segera dikumpulkan kembali, bersiap
untuk melanjutkan perjalanan. Putri dan saya menyiapkan
sarapan untuk seluruh tim. Nasi telah ditanak, telur dan ikan
kaleng juga telah siap dihidangkan. Makan seadanya.

“Hari ini kita harus jalan kaki beberapa jam ya? Saya nggak
tahu kita akan butuh waktu berapa lama untuk mecapai Desa
Sapoka, karena bawaan kita cukup banyak. Desa Simatalu
masih lumayan jauh. Tapi akan ada 2 orang warga lokal yang
jadi porter kita.”

Kami segera berangkat kembali menyusuri hutan. Masing-
masing memanggul bagiannya. Putri dan saya membawa
ransel kami masing-masing, sementara Bang Yudi dengan
kamera besar mendapatkan pengecualian tak perlu membawa

40

barangn­ya karena beban kamera yang sudah terlalu berat.
Belum lagi ia harus beregerak bebas untuk mengambil gambar.

Para porter membawa perlengkapan memasak dan bahan
makanan kami. Mereka berjalan tanpa alas kaki dengan dada
telanjang yang memamerkan keindahan tato di badan mereka
yang berotot. Masing-masing membawa blobok, tas anyam
bundar yang menjadi ransel mereka.

Agak susah berjalan di belakang mereka, karena cawat
yang mereka kenakan memperlihat kulit bokong mereka
cukup banyak. Jadi serba salah.

Saya memperhatikan tekstur wajah dan kulit mereka.
Bukan, bukan karena tergoda dengan bentuk tubuh yang
bagus ya, tapi saya kagum dengan warna kulit mereka. Per­
caya atau tidak, mereka memiliki warna kulit yang cerah,
dengan titik-titik freckles yang biasa terlihat di wajah para
model yang berasal dari Eropa Timur. Well, biasanya memang
orang-orang dengan ras berkulit putih biasa memiliki freckles
seperti ini, termasuk orang-orang dari daratan Cina.

Yes, mereka mirip banget dengan orang-orang Mongol
yang terdampar di tengah hutan. Menarik.

Beruntung jalur yang kami lalui siang itu landai. Jalan
setapak pun telah terbentuk dari seringnya warga setempat
bolak-balik antara perkampungan dan sungai yang terletak di
ujung jalan setapak tersebut.

Tak lama akhirnya kami menjumpai sungai tersebut.
Sungai berair coklat yang mengalir tenang. Tak terlalu besar,

41

mungkin hanya sekitar 5 meter lebarnya. Ilalang tumbuh
subur di kiri kanan bibir sungai itu. Beberapa perahu kayu
tradisional milik warga yang akan kami pakai telah terparkir
manis.

“Ya, ini pompong kita, ambil tempat masing-masing ya.”
Bang Mochtar menunjuk ke deraten pompong yang me­
rupak­ an nama setempat dari perahu kecil itu. Hanya muat 4
orang per pompong, dan sangat tidak stabil. Meskipun kecil
tapi masing-masing dilengkapi dengan mesin kecil juga. Wah
pastinya ini merupakan satu bentuk kememawah : tak perlu
mendayung.

Perjalanan melalui sungai ini, lumayan singkat untuk
ukuran perjalanan kami selama di Mentawai. Hanya dua jam.
Lumayan banget bisa mengistirahatkan kaki, meskipun be­
berapa saat kemudian timbulah rasa pegal karena kel­amaa­ n
berj­ongkok dengan posisi yang sama.

Sipora. Tujuan akhir kami di Mentawai, akhirnya terl­ihat.
Rumah panggung Kepala Suku menyambut kami. Wow, ter­
nyata seperti ini rumah asli suku pedalaman. Saya tak habis-
habisnya merasa kagum. Kagum dengan keaslian cara hidup
mereka.

“Rumah mereka ini namanya Uma,” sembari menaiki
tangga kayu yang terpasang di teras rumah, Bang Mochtar
kembali menerangkan.

“Banyak babi di kolong rumah, Bang.” Putri mengernyit­
kan muka menahan bau tak sedap yang menguar dari bawah
rumah.

42

“Iya, suku pedalaman ini memang hidup bareng dengan
babinya. Mereka dilepas bebas di kolong rumah, diberi makan
sagu. Nah, sagu itu yang baunya aduhai kalau kena basah
berhari-hari.”

Thanks to our availability to adapt fast, lambat laun bau
mengganggu itu tak terasa lagi. Hidung kami menjadi kebal,
sementara itu Pak Kepala Suku menyambut kedatangan kami
dengan ramah. Itu asumsi saya, paling nggak ia tersenyum
dan mengulurkan tangan meskipun mengeluarkan kata-kata
yang tak bisa kami mengerti sama sekali.

Semoga saja dia bukan berkata, “Halo selamat datang,

kebetulan kami sedang lapar, kalian mau jadi santapan kami?”
Rasanya tak mungkin.

Uma mereka berbentuk persegi empat sederhana dengan
ketiga bagian yang seharusnya ada dinding, terbuka begitu
saja. Di bagian belakangnya tampak ada ruangan tertutup.

“Mereka menyimpan barang-barang keluarga yang
berharga di sana. Termasuk juga senjata.”

Lantai uma berupa bambu yang dijejerkan rapi. Di
beberapa lokasi pada langit-langit tergantung tengkorak
monyet, rusa, dan babi. Rupanya selalu ada kenang-kenangan
dari tiap hewan buruan mereka. Mungkinkah pada zaman
dulu ada tengkorak manusia juga nyelip di antara jejeran
tengkorak itu? Tanpa disadari saya bergidik.

“Untung saya bisa bahasa mereka, kalo nggak, mana mau
mereka terima kita kayak gini.” Bang Mochtar me­nyom­

43

bongkan diri. Tapi iya sih, kami benar-benar berg­ antung pada
keahliannya berkomunikasi dan hubungan yang telah di­
bangunnya selama ini. Ia juga memiliki kedai kecil di Sapora
ini. Nggak jauh dari rumah Kepala Suku.

Tuan rumah kami tidak ada yang memakai baju layakn­ ya
kami. Mereka semua bertelanjang dada, baik pria maupun
wanitanya, dan hanya memakai secarik kain di pinggangnya.
Tato khas garis tampak di sekujur tubuh merek yang kering
berotot.

Kalung berwarna warni tampak menghiasi leher mereka.
Bahkan si bayi juga mengenakan kalung manik-manik ber­
wana merah dan kuning. Mereka tampak sangat eksotis
dengan caranya sendiri. Potongan rambutnya pendek berp­ oni.
Tampakn­ ya memang inilah model yang paling sederhana dan
mudah.

Hari semakin gelap. Malam kembali datang. Barang-
barang telah tertata rapi di pinggir ruangan. Kami menempati
satu bagian pojok dan keluarga empunya rumah di pojok
yang berlawanan. Aneh rasanya bertamu seperti ini tapi tak
bisa saling basa basi.

Malam itu karena lelah, saya dan Putri hanya memasak
mi instan. Rupanya kegiatan kami memasak dengan kompor
gas kecil menarik perhatian mereka. Masih dengan menjaga
jarak, sang ibu, anak perempuan dan saudara perempuan
lainnya mencuri pandang ke arah kami. Sesekali mereka
menunjuk-nunjuk.

44

“Put, coba kasih mereka yuk, kalau sudah matang.”

Putri membawa semangkuk mi instan setelah masak, dan
meletakkannya di depan mereka sembari tersenyum. Tanpa
berkata apa-apa, Putri kembali ke pojok kami, memberikan
kesempatan kepada mereka untuk mencobanya.

Dengan malu-malu sang ibu mengambil garpu yang di­
sedia­kan dan memasukkan mi yang masih mengepul ke
mulutnya. Tiba-tiba senyumnya mengembang.

“Kap mokop,1” ujarnya sembari menyodorkan mangkuk
ter­sebut ke arah anak-anaknya. Salah satu dari mereka malah
menga­mbil sepotong sagu yang telah diolah dan mem­ asuk­
kan­nya ke dalam mangkuk mi tersebut.

Inilah pertama kalinya saya melihat ada orang yang makan
mi instan dengan sagu. Semua mencoba dan mereka makan
sembari tertawa-tawa. Sepertinya mereka menyukainya.

Tak lama, sang ibu mengembalikan mangkuk yang telah
kosong. Ia tersenyum dan berkata “Taraina.”

“Dia anggap kalian saudara wanitanya,” Bang Mochtar
bantu menerjemahkan.

Kami balas tersenyum. Sukurlah kami telah diterima
dengan baik. Malam ini berakhir dengan baik. Gambar yang
telah kami rekam cukup banyak. Rasanya seperti sedang
mengerjakan program National Geography.

Pagi berikutnya, saya bangun dengan rasa sakit di sekujur
tubuh. Tak terbiasa tidur pada permukaan keras, rasanya

1 “Kalian makan,”

45

badan ini biru-biru. Belum lagi dengkuran Bang Yudi yang
membahana. Nasib.

Bang Mochtar mengajak kami mengunjungi kedainya
di kampung ini. Lebih kecil dari kedai sebelumnya dengan
bentuk yang hampir serupa. Ruang pajang yang penuh
dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari, serta ruang
kecil sebagai gudang di bagian belakang.

Tak jauh dari kedai tersebut terdapat gubuk tak berdinding
dengan timbangan. Rupanya untuk menimbang hasil bumi
yang dibawa penduduk setempat. Kebetulan saat itu terdapat
seorang bapak yang membawa beberapa ikat rotan, siap untuk
dibarter. Ia sibuk menurunkan bilah-bilah rotan yang telah
dikuliti ke depan gubuk tersebut.

Bisa dibilang, inilah kali pertama saya melihat orang ber­
transaksi dengan cara berter, tanpa bahasa Indonesia. Bapak
tadi yang telah menyerahkan rotannya kemudian men­uju
kedai. Ia menunjuk berang-barang yang ia butuhkan: pasta
gigi, sabun, shampoo, minyak goreng, kemudia ia terd­ iam.
Rupanya ia tidak dapat melihat satu barang yang diingin­
kannya.

Sepertinya ia berasal dari kampung yang berbeda karena
bahasanya pun berbeda. Akirnya ia mendapat akal untuk
menyampaikan maksudnya: ia mengangkat kedua tanganya,
dan menunjuk kepalanya.

“Oh, dia cari obat pusing,” ujar Bang Mochtar. Kontan kami
tertawa. Hebat juga cara mereka berkomunikasi. Terbatasnya

46

kosa kata diatasi dengan kreatifitas cara berkomunikasi yang
lain. Yang penting sama-sama mengerti.

“Gimana, Bang? Bisa nggak telepon satelitnya?” Putri
secara berkala selalu mengecek Bang Yudi.

“Nggak bisa, Put.”
“Orang kantor tahunya liputan ini hanya seminggu. Kalau
lebih dari semingu dan belum bisa mengirim kabar mereka
pasti kawatir.”
Waktu seminggu yang diperkirakan memang sepertinya
tak mungkin kami penuhi. Waktu menjadi molor karena ke­
sulitan medan yang dilalui. Belum lagi kami harus banyak
berhenti untuk mengambil bahan liputan. Dengan kamera
superbesar seperti ini, tak mudah untuk bergerak cepat.
Tak terasa beberapa hari telah lewat di Desa Sapoka ini.
Saya semakin ahli dan semakin ketagihan mandi di sungai.
Padahal saat kali pertama saya danPutri harus mandi,
kami kebingungan luar biasa. Meskipun tuan rumah kami
berbusana superminim, bukan berarti kami merasa nyaman
untuk tampil minim di depan mereka.
Maka, kami selalu menunggu matahari bergerak turun
dan cahaya semakin temaram sebelum memutuskan mandi.
Saat semua orang telah kembali ke uma, dan babi-babi
bergeletakan malas di bawah rumah, saya dan Putri akan
mindik-mindik menuju sungai membawa kain sarung kami.

47

Sungai yang mengalir di depan rumah memang tak
sejernih kolam renang. Sedikit kecoklatan, tapi saya masih
bisa melihat dasarnya yang berlumpur dan berbatu. Lumpur
inilah yang membuatnya tak bisa terlalu jernih, tapi saya tahu
kalau sungai ini pasti bersih. Tak banyak kampung yang di­
laluin­ ya. Kalau pun ada perkampungan, tak akan terlalu padat
rumah-rumanya.

Beberapa hari ini kami isi dengan kegiatan shooting me­
ngenai kehidupan sehari-hari mereka. Berburu, masak, me­
lihat proses membuat tato. Dan selama itu pula saya semakin
kagum akan cara hidup mereka. Seperti inilah manusia pada
zaman dahulu hidup, semua bergantung pada alam. Dan itu
juga yang membuat mereka sangat menghargai alam.

Penduduk pedalaman ini hampir tak pernah lepas dari
rokok. Baik pria maupun wanitanya. Rokok yang banyak
mereka isap biasa­nya dilinting sendiri menggunakan daun
jagung yang dik­ eringkan. Tapi mereka juga nggak menolak
rokok modern, terutama rokok kretek. Maka, Bang Mochtar
pasti membawakan beberapa kotak rokok bagi mereka,
sebagai hadiah.

Selain merokok, saya juga memperhatikan kalau tato
di badan mereka mempunyai motif yang khas, dibuat me­
nyambung dari muka hingga ke punggung kaki. Baik pria
maupun wanitanya juga. Tiap motif memiliki arti khusus.
Lucu­nya, mereka memang sangat jarang menggunakan kaos
layaknya kita yang hidup di dunia modern.

48


Click to View FlipBook Version