Dan kalau mereka menggunakan kaos, itupun kebanya
kan kaos partai yang dibagi-bagikan dan dibawa pulang oleh
saudara mereka. Satu kaos dapat dipakai hingga berhari-hari,
mungkin bisa lebih dari seminggu. Tak ada rasa keharusan
untuk berganti baju atau berbau wangi di dalam hutan. Semua
berjalan sealami mungkin.
Sementara itu saya dan para kru lainnya berusaha me
nutupi kulit sebisa mungkin saat masuk ke hutan. Bentol-
bentol akibat digigit nyamuk mulai tampak menghiasi tangan
saya. Iri rasanya melihat mereka tak terganggu sama sekali
dengan serangga-serangga yang mengitari kami dengan
rakusnya. Berjalan menembus hutan dengan busana minim
pasti nikmat. Nggak gerah.
Hingga tiba saatnya kami meninggalkan Sapoka.
“Sura ai,2” kata Bang Mochtar pada Kepala Suku. Mereka
saling bersalaman, diikuti seluruh tim. Alangkah luar
biasanya pengalaman kami ini. Pengalaman yang sulit di
bayangkan akan bisa terulang kembali. Pengalaman yang
menggabungkan rasa lelah, kagum, kawatir, ketidakpastian,
dan kepuasan.
Kami memanggul tas masing-masing dan mengulang
kembali perjalanan berjam-jam mengarungi sungai dan hutan
seperti saat kami datang. Rasa lelah mendera semakin parah.
Stamina saya yang cukup terkuras membuat rasa perih di
2 “Terima kasih,”
49
perut semakin tak tertahankan. Mungkin lapar? Atau terlalu
lelah? Ah, saya merindukan kasur. Sekeras apa pun kasur itu.
Akhirnya kami sampai di kedai kembali. Besok kami
akan kembali untuk menyusuri Siberut Barat menuju muara
Siberut. Rasa semangat kembali terasa, menggelitik perut dan
menarik otot pipi tanpa disuruh. Rasanya ingin tersenyum
terus.
“Kantor pasti sudah sangat kawatir . Sudah 14 hari kita
pergi tanpa kabar.” Putri dengan muram mengemukakan apa
yang menggangu pikirannya selama ini.
“Entah apa yang mereka pikirkan,”
“Mungkin kita disangka hilang dalam tugas,” kata Daus.
“Orangtua kita pasti kawatir.”
“Iya, mereka mungkin berpikiran kita hilang kena badai.”
Bang Yudi yang selalu tampak cuek akhirnya memperlihatkan
kekawatirannya.
“Duh, semoga besok kita bisa pulang.” Saya memilin-
milih ujung penutup kantong celana cargo. Gelisah rasanya
membayangkan apa yang dipikirkan saudara-saudara saya,
terutama Ibu. Jangan sampai berita buruk yang tak pasti ini
mengusik ketenangannya.
“Amin.”
Sayang sekali keesokan harinya ombak tinggi kembali
mendera. Dengan tidak adanya dermaga, lepas landas dari
bibir pantai dan menerjang ombak untuk meluncurkan
50
perahu, mustahil rasanya. Kami membawa terlalu banyak
peralatan elektronik yang harus dipertanggungjawabkan.
Mau nggak mau, semua kembali berdiam diri menunggu
ombak mereda esok hari. Tak ada yang dapat dikerjakan.
Ruang gerak yang hanya sebatas teras berkursi kayu, bilik
tempat kami tidur, dan hutan yang mengelilingi. Tak ada yang
bisa dikerjakan. Jenuh.
Badai tak hanya berlangsung sehari. Keesokan harinya
kejadian terulang kembali. Kejenuhan dan kekawatiran yang
sama dari hari ke hari. Saya sampai hafal corak bulu beberapa
ayam jantan dan betina yang berkeliaran di sekitar kedai.
Saat malam tiba, saatnya orang-orang kampung ber
kumpul dan menonton sinetron bersama-sama. Hm, apa yang
mereka nikmati ya, kalau bahasa Indonesia pun mereka tak
paham. Mungkin mereka hanya suka melihat wajah-wajah
mulus penuh ekspresi dengan mata melotot dan mulut ber
gincu yang dim onyong-monyongkan. Baju-baju bagus penuh
warna, rumah gedongan, dan mobil mewah. Yang jelas
mereka menonton tanpa berkedip. Ah andai zaman itu saya
sudah membuat travel vlog. Hal-hal unik ini tak diangkat
dalam liputan kami.
Pagi itu, saya membuka mata sembari berharap, semoga
hari ini kami dapat meluncurkan perahu.
“Ayo cepat, siap-siap semua. Laut teduh!” Ah, semoga
harapan ini terkabul. Dengan semangat semua orang bersiap-
51
siap, terdorong semangat dan rasa bosan yang amat sangat
akibat menunggu berhari-hari.
Benar saja, laut tampak teduh dengan ombak kecil yang
memukul-mukul bibir pantai. Langit tampak cerah dan perahu
kami telah siap. Para pemuda setempat telah memindahkan
beberapa barang kami ke perahu. Mereka sangat sigap.
“Ayo Al, masuk duluan, Putri nyusul.” Bang Mochtar
mengatur posisi duduk kami. Tanpa berkata apa-apa, kami
semua menuruti semua kata-katanya. Siap untuk mengarungi
laut menuju Muara Siberut.
Dalam waktu singkat kami semua meluncur ke arah laut.
Tak sabar rasanya melihat bar sinyal di handphone masing-
masing. Tak sabar ingin memberikan kabar baik pada siapa
pun yang sudah kawatir menunggu kami.
Beberapa jam kemudian, ketika kami sampai, tujuan
utama kami adalah puskesmas yang memiliki radio. Putri
langsung memberikan kabar baik ke kantor.
“Tau, nggak, kantor sudah menghubungi ahli waris kita
masing-masing loh.”
“Hah! Kita sudah dianggap hilang ya?”
“Iya! Karena perjanjiannya, pihak asuransi kita harus di
beri kabar kalau dalam waktu seminggu selewat waktu yang
dijanjikan tidak ada kabar. Dan kantor langsung ngabarin ke
pihak keluarga kita masing-masing,”
52
“Bahkan stasiun TV sudah hampir mengangkat berita
kehilangan kita, tapi kantor masih melarang dan berharap kita
semua selamat.”
Rasa haru dan bahagia melanda kami semua. Tak ada satu
pun di antara kami yang malu meneteskan air mata. Semua
yang telah mengalamai apa yang telah kami alami pasti akan
mengerti. Semua kegelisahan kami berakhir. Rasanya seperti
ada batu besar yang terangkat dari dada ini. Rasa sesak gelisah
hilang sudah.
Kami selamat. Kami tidak hilang. Kami akan pulang
dengan selamat.
Terima kasih, Mentawai.
G
53