The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

novel Bella Anjani

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by gagasmedia, 2022-02-16 02:46:37

IF I

novel Bella Anjani

If i

Karena bagian tersakitnya adalah
kehilangan tanpa kembali menemukan.

Novel by:
BELLA ANJANI

Aku bukanlah rembulan sempurna,
Sang pemilik cahaya paling benderang di tengah

gulitanya lawan siang.
Aku tak lebih dari setengah lingkar,
cantik sabit yang ditampilkan dari sudut paling baik,
berbatasan dengan sisi tersembunyi yang dukanya

hanya diketahui mentari.
Menjadi kisah yang tak dimiliki semua orang.

Prolog

Matanya sembab, hidungnya tampak kemerahan, dan
tangannya berkeringat. Di hadapan meja besar, jelas
perempuan tersebut mengalami duka. Ruangan yang
kursinya terisi sebagian saja itu, terasa sempit dan dadanya terasa
sangat sesak. Keluarga harmonis yang ia dambakan runtuh, saat
ibunya melayangkan gugatan cerai.

“Saudara Natasha, apa keberadaan Anda di sini atas dasar
keinginan pribadi dan tidak ditekan pihak mana pun?”

Natasha mengangkat wajahnya perlahan, “Iya, Yang Mulia.”
“Sebagai saksi, apa gugatan yang dilayangkan Saudara Yulia,
bahwa salah satu pihak yang tergugat melakukan perselingkuhan
dalam rumah tangga itu benar?”
“Benar, Yang Mulia. Ayah saya, Martin Rakasenja, melakukan
perbuatan tersebut.” Natasha meremas tangannya, sesak yang
sebelumnya memenuhi rongga dadanya, berubah menjadi sakit
yang menjalar.
Hakim menatap perempuan belia di depannya beberapa
saat, hatinya sedikit tercubit saat saksi yang dihadirkan dalam
persidangan cerai ini merupakan anak dari pihak yang tergugat.
“Apa tidak ada upaya yang meringankan pihak yang tergugat agar
pihak menempuh jalan damai?”
Natasha menoleh ke belakang. Memperhatikan wajah ayah
dan ibunya sesaat, kemudian melirik adiknya yang sedari awal

1

persidangan hanya memberikan tatapan kosong ke depan. “Tidak
ada, Yang Mulia. Cinta kami sebagai anak-anaknya tidak cukup
besar untuk memperbaiki hati Ibu kami yang sudah hancur.” Air
mata meleleh dari sudut mata Natasha tanpa aba.

Sebagai seorang kakak, Natasha tidak boleh egois, ia harus
merelakan kebahagiaannya demi menjaga agar ibunya tidak semakin
tersakiti. Kesalahan Martin, yang tak lain ayahnya sangatlah fatal.
Apapun kesalahan pasti akan bisa dimaafkan, kecuali KDRT dan
perselingkuhan. Natasha sangat paham akan prinsip itu.

Dua sayap yang semula berada di punggungnya kini berjauhan.
Membiarkan dia yang semula terbang di atas awan, jatuh terjerembap
ke dasar palung yang dalam. Perceraian… satu kata yang membuat
banyak korban dalam wujud tak kasat. Menimbulkan sakit yang tak
nampak, tapi dapat dirasakan dan menyayat dengan sempurna.

Sidang pun selesai. Natasha merasakan sebuah pelukan, tangis
yang dari tadi ia tahan kini tak dapat dibendung lagi. Air mata yang
ia keluarkan sudah tak terhitung jumlahnya. Kepalanya diusap dan
sebuah bisikan terdengar. “Gak apa-apa, nanti Mama dan Ayah kita
jadi banyak. Gak semua orang punya lebih dari satu Mama dan
Ayah,” kemudian bisikan tersebut berubah menjadi kekehan getir,
sama-sama merasa sakit, namun lebih pandai ditutupi.

Memangnya, apa ada hal yang lebih sakit dari kehilangan orang-
orang yang kita cintai?

2

Chapter 1

Pertemuan pertama, detakku bergemuruh.
Pertemuan kedua, tak mungkin aku luluh.
Pertemuan ketiga, ternyata semudah itu hatiku jatuh.

oOo

Suasana di aula kini menegang, ruangan itu tertutup rapat. Di
depan, berdiri seorang perempuan yang rambutnya dikucir
pita berwarna kuning dan beberapa senior lain yang menatap
sinis ke arahnya. Di sisi lain, seorang cowok yang juga memakai
name tag besar sedang push up dengan hitungan yang terus diulang.

"Ayo bilang maaf ke semuanya, karena hari ini kamu telat dan
gak bawa semua alat ospek!" ucap seorang senior cantik, dengan
rambut yang tergerai panjang, membuat siapapun melirik ke
arahnya.

"Saya minta maaf." Perempuan berkucir pita itu berucap datar
tanpa minat. Ia merasa ada yang menertawakannya dari sudut
ruangan. Seorang senior cowok yang ia ketahui sebagai ketua OSIS
di SMA Generasi Bangsa—atau lebih dikenal dengan sebutan SMA
Gerbang—sedang terkekeh melihat dirinya dipermalukan.

"Pake nama dong minta maafnya!" ucap senior lainnya.
"SAYA JIZCA ADARAISA MEMINTA MAAF SUDAH TELAT
KARENA ABANG SAYA MENYEMBUNYIKAN PERALATAN
OSPEK SAYA!" Jizca, yang tak lain adalah perempuan berkucir pita
kuning itu mendengus kesal setelah mengucapkan kalimatnya. Se­

3

bagia­ n murid tertawa tapi sebagian lainnya merasa bingung, karena
tidak mengerti apa maksud ucapan Jizca.

"Sekarang kamu yang di pojok! Ke depan! Udahan dulu push
up-nya!" Lagi-lagi senior cantik itu yang berujar.

Dengan malas cowok yang dihukum itu bangkit, berjalan ke
depan dengan santai, ini menjadi tontonan murid-murid baru di
SMA Gerbang.

"Mau dihukum apa lagi, nih?" tanya senior cantik kepada sang
Ketua OSIS.

“Yang tadi bukan hukuman, Kak?” Jizca menoleh ke arah senior
yang dari tadi mencecarnya.

“Yang tadi baru pemanasan,” jawabnya disusul senyuman manis.
Cowok yang disebut-sebut ketua OSIS itu berdehem, "Keliling
lapangan aja deh, sekalian kenalan sama lapangan baru kalian,"
ujarnya sambil menggiring keduanya menuju lapangan.
Ini benar-benar penyiksaan! Jizca telat dan tidak membawa
peralatan ospek bukan salahnya, tapi salah abangnya, dan kalian
tau siapa abangnya Jizca? Namanya Revan Bagaskhara. Ketua OSIS
SMA Gerbang. Sangat tidak adil bukan?
"Tiga puteran aja cukup!" ucap Revan tegas saat mereka sampai.
"Yang bener, Bang? Dua aja, ya? Abang kok sama Jey jahat
banget, sih!" tawar Jizca.
"Apa? Lima puteran? Oke!" ucap Revan santai.
Mata Jizca membulat, dan ia melirik ke cowok di sampingnya.
Sedikit merasa bersalah karena ia menawar dan hukumannya men­
jadi lebih berat.
Tapi cowok itu tak banyak bicara, ia sedikit mendengus ke­
mudian lari mengelilingi lapangan.
"Lo bisa mulai sekarang," ucap Revan mengisyaratkan Jizca
untuk berlari.
Jizca memutar bola mata. “Halo lapangan! Kenalin, gue Jizca
Adaraisa.” Teriak Jizca, karena saat di aula tadi, Revan berujar bahwa
ia akan berkenalan dengan lapangan baru.

4

Perempuan itu menatap terik matahari, mengerucutkan bibir,
lalu mulai berlari.

"Hai, nama gue Jizca, lo siapa?" tanya Jizca yang menyusul lari
Devin.

"Devin," jawabnya datar.
"Maaf ya, gara-gara gue hukumannya jadi bertambah. Hmm…
ngomong-ngomong kok lo bisa dihukum? Lo telat juga?" tanya Jizca
penuh minat.
Devin meliriknya sekilas, "Kalo lari mulutnya diam, nanti
gampang capek!" tegurnya tanpa menjawab pertanyaan Jizca.
"Gak apa-apa. Lagian gue mau pura-pura pingsan, biar Bang
Evan tau rasa! Adiknya pingsan gara-gara kecapekan."
Devin menaikkan sebelah alis lalu mempercepat larinya.
Sementara itu, Jizca mulai menjalankan aksi dramanya. Jizca ber­
jalan sempoyongan dan menjatuhkan dirinya seolah pingsan.

Brukk!
Devin melirik ke belakang, melihat Jizca yang pura-pura
pingsan. Beberapa senior menghampiri dan terlihat panik.
"Lo! Yang lagi lari! Berhenti!" Salah satu senior yang me­nge­
rubuni Jizca tiba-tiba berteriak.
Devin mentapnya beberapa saat, perasaannya tidak enak.
Kemudian, ia berjalan menghampirinya.
"Ada apa?" ujar Devin tanpa ekspresi.
"Tolong bawain adik ini ke UKS, cepet! Kasian!" ucap senior
yang tadi memanggilnya.
Devin diam memandangi mereka, ia tak minat. Dan ada
beberapa alasan kenapa Devin tidak minat.
Pertama: cewek itu yang membuatnya push up di aula, karena
Jizca merebut taksi yang ia pesan. Dan dengan tidak tahu diri, tadi
cewek itu menanyakan kenapa ia dihukum di aula.

*flashback on*

5

"Vin, kamu pergi hari pertama bareng kakakmu, ya. Hari
pertama gak boleh bawa kendaraan sendiri, kan?" tanya Yulia,
mamanya Devin.

Devin hanya melihat Natasha, kakaknya yang sibuk berkutat
dengan laptop, dan sekali-kali mengacak rambutnya.

"Ma, kakak pergi duluan! Mau urus perizinan di sekolah. Devin
pake taksi aja!" ucap Natasha terlihat frustrasi.

Kali ini Devin tidak membantah, bisa satu sekolah dengan
kakaknya membuat risih, ia malas diawasi.

Setelah lima belas menit Natasha pergi, Devin menunggu taksi
yang sudah ia pesan. Karena tidak ada bus atau angkutan umum
yang menuju sekolahnya. Meskipun ia tau, motor besar miliknya
kini bertengger manis di halaman depan, untuk hari pertama, ia
tidak ingin bermasalah.

Sebuah taksi menghampiri Devin, sang sopir membuka kaca
mobilnya, dan tersenyum ramah, "Adik yang mau ke SMA Gerbang,
ya?" Sopir itu bertanya dengan senyum yang masih tersisa di
bibirnya.

"Iyaaa pakk!" teriak seorang perempuan dari belakang Devin. Ia
berlari kecil, kemudian membuka pintu mobil, dan masuk secepat
kilat.

"Lah? Lo siapa?" Dahi Devin berkerut. Ia meneliti perempuan
itu.

"Maaf Dik, kalau kalian sama tujuannya, kenapa nggak bareng
saja? Nanti ongkosnya bisa dibagi dua," ujar sopir itu mencoba me­
nengahi.

"Pak cepet! Saya bayar dua kali lipat!" Perempuan itu terlihat
buru-buru.

"Gimana, Dik? Mau bareng?"
"Gak usah, Pak. Saya gak diajarin buat duduk sebelahan sama
tukang tikung taksi orang," ucapnya dingin tapi menusuk.
Devin kembali berjalan ke rumahnya, menyalakan mesin motor
besarn­ ya, dan mengendarai dengan cepat. Namun, ketika sampai di

6

sekolah, tentu saja ia ditahan oleh para senior OSIS, dan akibat itu
ia dihukum.

*flashback off!"
Kedua: hukumannya bertambah karena cewek itu mencoba
menawar, yang seharusnya tiga menjadi lima.
Ketiga: ia tahu cewek itu hanya berpura-pura. Jadi, untuk apa ia
membantunya menggendong ke UKS.
"Cepet bantuin angkat!" teriak senior OSIS lagi.
Devin menatapnya lamat-lamat, "Maaf, saya gak diajarin buat
bantuin cewek drama tukang tikung taksi orang," ucap Devin
nyaring. Sebenarnya dirinya hampir terkekeh, ia tidak mau meng­
ungkit itu.
"Hehh!! Gue bukan tukang tikung taksi orang!" Jizca bangun
seketika. Aksi dramanya pun berakhir. Para senior di sana bingung,
kenapa bisa adik kelasnya ini langsung tersadar?
Devin tersenyum miring melihat Jizca yang langsung mem­bulat­
kan matanya, Jizca terlihat malu ketahuan pura-pura. Wajahnya me­
merah. Emosinya hampir pecah saat melihat kepergian cowok itu.
Sebelumnya ia tidak pernah dipermalukan, tapi Devin tidak peduli
sama sekali.

***

Devin Akrasaf Rakasenja, cowok bertubuh tegap dengan rahang
tegas menjadi ciri khasnya. Tatapannya sehitam bara, anggota
basket juga drummer band The Snare yang biasa mengisi pentas seni
di berbagai SMA atau acara non formal lainnya.

Devin masuk SMA Gerbang bukan tanpa alasan, tapi karena ada
sesuatu yang janggal di hidupnya. Dan ketika ia mencari penyebab
ses­uatu yang janggal itu, jawabannya seolah mengarah pada SMA
yang kakaknya tempati.

7

Natasha, kakak Devin merupakan senior tingkat akhir. Kakak­
nya cantik, pintar, dan populer. Namun, ada hal yang kurang Devin
suka dari kakaknya ini, yaitu terlalu cerewet dan posesif.

Hari ini adalah hari yang menyebalkan menurutnya. Di hari
per­tama­nya ospek, ia sudah mendapat kesialan bertubi-tubi. Seperti
sekarang, Devin sedang makan siang bersama beberapa teman
barun­ ya di kantin, tiba-tiba Natasha duduk di depannya, sambil
mem­perh­ ati­kan Devin tanpa berkedip.

"Devin!" teriak Natasha untuk kesekian kalinya, namun cowok
itu masih cuek tak bergeming.

"Devin gue aduin lo ke Mama, ya!" Nada Natasha cukup tinggi,
membuat Devin menoleh.

"Apa?" Devin menyerah. Mengabaikan Natasha tidak baik
untuk kesehatan pendengarannya.

"Bensin mobil yang gue bawa abis," ucap Natasha memulai.
"Terus?" Devin menaikkan sebelah alisnya.
"Gue pulang bareng lo, yaaa? Adik gue yang paliiiing ganteng!"
bujuk Natasha.
"Gak."
"Ihhh, iya!"
"Lo kan kumpul sama OSIS lo itu. Lama, gue sibuk!" tolak
Devin mentah-mentah. Mana mau ia menunggu Natasha sampai
kegiatannya selesai.
"Lo sibuk apaan, sih! Adik macam apa lo? Memang lo mau gue
pulang sore, terus jalan kaki dulu buat beli bensin, terus balik lagi
ke sekolah cuman buat ngisi bensin gitu? Kalo cantik kakak lo ini
luntur gimana?" Natasha berucap panjang lebar.
"Gue yang beliin bensinnya."
"Tetep aja gak mau!" balas Natasha.
"Lo kenapa sih, Nath?" Devin mulai kesal pada kakaknya.
"Ih, itu mulut ya! Kalau di sekolah lo harus panggil gue dengan
sebuta­n 'Kakak'. Kak Natasha. Mau pakai embel-embelin cantik

8

juga boleh. 'Kak Natasha cantik'." Natasha mengibaskan rambutnya,
ter­senyum bangga.

"Nath, lima menit lagi siap-siap! Lo yang ambil alih, ya. Gue
nungguin adik gue di UKS. Dia kecapekan." Revan, cowok yang baru
tiba di meja mereka ikut bergabung. Hari ini cukup melelahkan.

"Oke, Bos!" ucap Natasha mengacungkan jempolnya pada
Revan. "Heh Devin! Lo kenalan gih sama adiknya Revan. Anaknya
cantik. Dia yang tadi gue marahin di aula." Natasha berbisik meng­
goda­nya.

"Kak Natasha yang cantik, mending lo cepet gabung sama OSIS
lo itu, deh." ucap Devin tanpa minat.

"Adik pintar!" Natasha bangkit dari duduknya, "Lo juga masuk!
Mau gue marahin?" ujar Natasha cukup keras.

"Gak!" balas Devin.
"Tapi gue lagi gak mau marah-marah. Mending lo yang temeni­n
adiknya Revan di UKS." Kali ini Revan juga menoleh. "Tenang aja,
dia gak akan macem-macem," ucap Natasha pada Revan.

***

Pintu putih dengan tanda tambah merah di depannya tidak ia buka.
Ia justru duduk di bangku depan ruang UKS. Tatapannya lurus ke
depan. Beberapa senior yang melewatinya tersenyum dan sesekali
berb­isik. Bahkan beberapa dari mereka sengaja mondar-mandir
tidak jelas.

"Gue tau pelakunya ada di sini." gumam Devin pelan pada
dirinya sendiri.

Ia mengeluarkan sebuah kertas dari sakunya dan membaca
tulisan itu baik-baik. Kemudian ia memotret kertas itu dengan
ponselnya, lalu membuangnya.

"Well, sampai kapan pun gue bakal cari lo sampai dapat!" ujar
Devin masih menatap layar ponselnya.

9

Devin bangkit dan membuka pintu UKS. Sebuah kasur putih di
sudut ruangan, seorang perempuan terbaring, namun tidak tidur.

"Ahhh! Sial! Kalah aja terus!" kesal perempuan itu pada ponsel­
nya. Sepertinya ia tidak menyadari kehadiran Devin, dan Devin
bersyukur atas itu.

"Halooo… itu siapa yang duduk di sofa?" tanya Jizca sedikit
keras dengan nada yang imut. Kadang Jizca tidak menyadari hal itu,
tidak menyadari bahwa dirinya imut.

Devin tidak menjawabnya. Ia membuka halaman majalah yang
ada di atas meja.

Jizca turun dari kasur dan menghampiri sofa yang mem­
belakangin­ ya, ia mengelilingi sofa dan melihat ke arah Devin,

"Haloo… nama lo siapa?" tanya Jizca di hadapan Devin. Devin
menatapn­ ya. Ia mulai tidak mengerti dengan jalan pikiran cewek
ini. Ini kali kedua dia menanyai namanya.

"Devin Akrasaf R.," gumam Jizca melihat name tag Devin
dengan matanya yang disipitkan.

"Hmm… kayaknya gue pernah denger Nama ini. Tapi di mana,
ya? Gue lupa. Gak penting ah!" Jizca mengedikkan bahunya lalu
kembali ke atas kasur, dan kembali bermain game di ponselnya.

Devin menggelengkan kepalanya pelan. Masa dia lupa Devin?
Ia pura-pura lupa atau memang benar lupa?

"Ahhh!" Jizca memekik cukup keras. Membuat Devin menoleh
ke arahnya.

"Heh, lo Devin yang itu kan?!” Jizca melirik Devin yang me­
natap­nya datar. "Lo gak tau malu banget! Bikin gue malu ketahuan
pingsan bohongan! Lo harus minta maaf ke gue. Gue merasa di­
lecehkan!" ucap Jizca merengek.

Manja. Itu kata pertama yang terlintas di benak Devin.
"Minta maaf, cepet!" Jizca kembali berucap sambil menyodor­
kan tangannya dari kejauhan.
"Gue gak akan minta maaf kecuali salah," ucap Devin santai lalu
menutup majalah yang ia pegang.

10

"Kalau gitu, gak usah kenal sama gue. Eh, Jangan pernah kenal
sama gue!" ucap Jizca kesal,

"Gue gak peduli." Devin bangkit dari duduknya dan menatap
tepat pada mata perempuan itu, "Jizca Adaraisa!" Ia pergi meninggal­
kan ruangan UKS.

Jizca masih mematung di tempatnya. Tatapan Devin tadi
membuatnya tidak bisa berucap. Jizca heran pada dirinya. Ada yang
salah dengan tatapan Devin. Terlebih jika dipadupadankan dengan
wajahnya yang tampan dan rahangnya yang tegas. Tatapan itu bisa
membuat siapapun meleleh.

Tuhan kok dia ganteng? Gak boleh Jizca, Abang lo lebih ganteng.
Inget, si Denis itu udah bikin lo malu dan dia seenaknya. Batin Jizca.

Jizca terdiam.
"Namanya siapa, sih? Denis? Benarkan Denis?" gumam Jizca
pada dirinya sendiri, ia menepuk jidatnya.
Tanpa Jizca sadar, Devin hampir terkekeh mendengar gumaman
Jizca. Ia masih di depan pintu UKS yang terbuka.

***

Jizca Adaraisa, cewek cantik imut adiknya Bang Revan, ketua
OSIS SMA Gerbang. Masalah pelajaran Jizca memang pintar, ia
selalu masuk peringkat lima besar di sekolahnya. Tapi untuk ma­
salah mengenal orang lain, ia tidak mahir. Saat SMP saja ia harus
me­nanyai nama teman sebangku barunya lebih dari sepuluh kali. Ia
bahkan tidak bisa mengingat wajah orang jika hanya sekali atau dua
kali bertemu.

Jizca keluar pintu UKS dan melihat para siswa baru sedang me­
mungut sampah-sampah kecil yang ada di area sekolah, "Hei, ini
disuruh apa?" tanya Jizca pada seorang perempuan yang sama me­
makai pita kuning di kepalanya.

"Ambil sampah yang berserakan biar bisa pulang." ucap
perempuan itu.

11

Jizca menganggukkan kepalanya dan melakukan hal yang sama.
Ia memungut bungkus permen dan sebuah kertas.

Ia berjalan menuju tempat sampah yang cukup jauh dari
jaraknya.

"UDAH SEMUANYA, KUMPUL LAGI DI AULA!" Seorang
senior berteriak dengan menggunakan toa.

Jizca melihat semua siswa terburu-buru memasuki aula. Ia pun
ikut terburu-buru, sambil memasukkan bungkus permen dan kertas
tadi ke sakunya.

Di dalam aula murid-murid diberikan pengarahan dan pem­
bagian kelas untuk besok.

"Devin Akrasaf Rakasenja, 10 IPA 1."
Cowok itu bangkit, semua murid menatapnya berjalan. Ransel­
nya ia sampirkan pada sebelah bahunya, bajunya ia keluarkan. Se­
orang senior menegurnya pelan untuk memasukan seragam, tapi
cowok itu mengabaikannya.
Jizca menatap cowok itu, "Devin, Devin, namanya Devin. Gue
kira namanya Dadang." gumam Jizca pelan pada dirinya.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya nama Jizca dipanggil.
"Jizca Adaraisa, 10 IPA 6."
Jizca berdiri dengan senyum mengembang dibibirnya.
"Kim Nabella Julie, 10 IPA 6."
Cewek yang baru saja disebut namanya berdiri, kemudian ber­
jalan, dan berbaris di belakang Jizca. Tubuhnya lebih tinggi kira-
kira satu jengkal dari Jizca. Tidak ada senyum keramahan di bibir
cewek itu. Jizca saja takut melihatnya. Kulitnya putih pucat, bibirnya
ranum merah, dan rambutnya sepunggung dengan model curly. Dia
itu seperti vampir yang di film-film, pikir Jizca.
Mereka berjalan mengitari sekolah, menuju kelas mereka. Jizca
menggoyangkan kakinya, ia belum buang air kecil dari tadi pagi,
dan sekarang ia tidak kuat menahannya.
"Kak, saya izin ke toilet dulu." ucap Jizca pada kakak pem­
bimbing.

12

"Oke, mau ditunggu atau nanti nyusul aja?"
"Nanti nyusul aja."
"Nanti kamu naik tangga itu, kemudian belok, nah kelas kamu
yang paling ujung yang menghadap lapangan, oke?"
Jizca mengangguk dengan cepat. Ia langsung berlari menuju
toilet yang dekat dari sana. Setelah selesai, ia merapikan seragamnya.
Dan mulai mengikuti instruksi seniornya tadi.
"Naik tangga...," Jizca menaiki setiap anak tangga, "Terus belok,"
ia melirik kiri kanannya, "Ishh, belok kiri apa kanan?" Jizca cap cip
cup untuk memilih kiri atau kanan. Lantai dua ini berbentuk huruf
"U" tiga kelas di sisi kanan dan tiga kelas di sisi kiri. Jika melihat ke
bawah, mereka langsung melihat lapanganan utama. Gedung kelas
12 berbeda, dipisahkan oleh mushola dan kantin, namun mereka
masih sering berbaur.
"Kanan lebih baik! Karena kiri itu buat cebok." guman Jizca
pada dirinya. Ia melangkah ke sisi kanan, menuju pada kelas yang
paling ujung, dan di sana terdapat rooftop yang menyenangkan.
Ia mengetuk pintu dan masuk, "Kak, saya yang tadi ke toilet
dulu." ucap Jizca tersenyum. Senior cowok yang membimbing kelas
ters­ebut mengerutkan dahinya, "Namanya siapa, Dik?" Tanyanya
seraya mengambil kertas absen.
"Jizca Adaraisa." ucapnya masih mematung dekat pintu.
Senior itu mengecek nama kelas 10 IPA 1 berulang-ulang dan
tidak menemukan nama Jizca di sana.
"Kamu kelas berapa?" tanya kak senior.
"10 IPA 6, Kak!" ucap Jizca cepat.
"Oh, pantas nama kamu gak ada. Kelas kamu di seberang sana."
Senior itu menunjuk kelas yang berseberangan dengan kelas ini.
Beberapa siswi tertawa menyadari Jizca salah masuk kelas, namun
senior itu langsung memberi tatapan tajam pada siswi yang tertawa.
"Biar saya anterin," ujar senior cowok itu.
"Gak usah, kak. Maaf, saya permisi." Dengan buru-buru ia ber­
balik, ia malu, dan matanya bertemu dengan mata Devin, hanya

13

sedetik, cowok itu menopang dagunya dengan ekspresi datar namun
menusuk.

Sepanjang koridor perjalanan Jizca mengerucutkan bibir­nya.
Kenapa sih, ia harus salah kelas dan melihat cowok bernama Devin.
Itu sangat menghancurkan mood-nya. Ini kali kedua ia malu di
depan umum pada hari yang sama.

Akhirnya Jizca sampai di kelas yang ditunjukan dan mengetuk
pintu, ia lupa bahwa senior pembimbingnya itu perempuan, dihijab
pula.

"Kamu duduk di sana ya, kursinya pas." ucap pembimbing itu.
Jizca melirik ke tempat yang ditunjukan. Sebuah kursinya
kosong yang berada di baris ketiga dan dekat jendela. Jizca berjalan
men­ uju tempatnya dan ia cukup terkejut, saat melihat teman se­
bangkun­ ya adalah si cewek vampir itu! Memangnya siapa yang mau
duduk satu bangku bersama cewek cantik dengan aura ganas ini?
Jizca menelan salivanya.
"Kak, gak ada kursi kosong lagi? Saya duduk sendiri aja gak apa-
apa," ucapan Jizca ini membuat si cewek vampir melirik ke arah­nya.
Senior itu hanya menggeleng dan tersenyum. Dengan berat
hati, Jizca pun duduk di samping teman barunya itu.
"Saya akan balik lagi satu jam. Kalian boleh tentukan ketua kelas
serta pengurus lainnya. Dan kalian bisa saling kenal juga." Senior itu
berpesan sebelum meninggalkan kelas.

***

"Halo, nama kamu siapa?" ucap Jizca pada cewek vampir dengan
nada imutnya.

"Kim Nabella Julie." Ia mengulurkan tangan.
Jizca menyambut tangan itu dengan tangannya yang dingin.
"Aku Jizca. Semoga kita bisa temenan dekat, ya!" ucap Jizca
tersenyum.
"Tangan lo dingin banget. Tenang aja, gue gak gigit."

14

"Hehe... habisnya lo kayak, hmm… anu," Jizca mengubah
bahasa­nya menjadi ‘lo-gue’ karena si vampir itu menggunakan
bahasa yang sama agar terkesan lebih akrab.

"Apa? Vampir? Malaikat? Udah banyak yang bilang. Iya memang
sekali-kali gue jadi jahat kok," ucapnya disusul kekehan.

"Panggil gue Bella, jangan Kim." tambah Bella.
"Oke! Mirip yang di film, ya! Edwardnya mana?" Jizca terkekeh.
Bella tidak merespons. Cewek yang kini duduk di sampingnya,
ter­lihat ceria, dan menyenangkan. Jizca pun menghapus pikiran
jelek­nya tentang Bella. Meskipun auranya ganas, tapi dari cara ber­
bicaranya Jizca tau kalau cewek ini tidak palsu seperti keb­ anyak­ an
teman lainnya.
Akhirnya, Jizca dipilih menjadi bendahara oleh teman sek­ elas­
nya. Sedangkan Bella menjadi seksi keamanan. Sementara jabatan
ketua kelas, seorang cowok yang bernama Rizky, karena ia terlihat
sangat disiplin dan juga rapi dibanding anak cowok yang lainnya.
Setelah bel pulang, semuanya kompak keluar kelas. Jizca saling
bertukar kontak dengan teman-teman barunya, termasuk Bella.
Diluar dugaan, Jizca justru merasa cocok dengan Bella. Benar kata
orang, ‘don't judge a book by the cover. Although sometimes the cover

can describe the book perfectly.

***

"Bang, bisa anterin Jey pulang dulu gak? Ini udah pukul 15.00. Abang
mau kumpul sampai pukul berapa?" ucap Jizca ditelepon. Abangnya
sedang bersiap untuk kumpul OSIS.

"Cuma sampai pukul 16.00? Janji ya?" Jizca sedikit kecewa men­
dengar abangnya yang lebih memilih kumpul OSIS, dib­ anding­kan
mengantarkan adiknya pulang terlebih dahulu. Akhirnya ia hanya
bisa menunggu. Toh, sejam tidak akan terasa lama jika ia menik­
matin­ ya. Ia bisa bermain game di ponselnya. Satu jam tidak ada apa-
apanya.

15

Baru sepuluh menit main game, ponselnya mati karena baterai­
nya habis, Jizca pun mendengus kesal. Artinya, ia harus menunggu
50 menit dengan diam. Tapi, lama-lama ia mulai bosan. Jizca me­
mutuskan untuk berkeliling menyusuri setiap sudut sekolah baru­
nya. Banyak hal unik yang ia temukan, seperti lapangan basket,
voli, dan bulu tangkis yang berbeda tempat. Di sana juga terdapat
perp­ustakaa­n yang sangat menarik minat. Parkiran sekolahnya
pun cukup luas. Tapi, tempat yang paling unik menurutnya adalah
kantin.

Kantin itu lebih terlihat seperti kafe dengan nuansa klasik se­
derhana. Membuat siapapun nyaman berada lama di sana. Terutama
makanannya yang enak dan sesuai dengan saku anak sekolah.

Jizca menuju parkiran dan mencari motor milik abangnya.
Tidak sulit bagi Jizca untuk menemukan motor hitam besar itu
sedang menganggur manis di sana. Kemudian, ia menaiki motor itu
dan menunggu abangnya. Kira-kira dua puluh menit lagi menuju
pukul 16.00. Ia sudah bosan, bahkan sangat bosan.

Sebuah deruman mesin mengganggu telinga Jizca. Seorang
cowok yang mengendarai motor merah itu melajukan motornya
me­nuju ke luar parkiran. Seorang senior OSIS cantik yang me­
marahi­nya di aula tadi pagi, duduk di jok belakang, "Duluan, ya!"
ucapnya sok kenal sambil melambaikan tangan ketika melihat Jizca.

Jizca tersenyum dan salah fokus. Ia justru memperhatikan si

pengendara motor itu, "Dasar cowok. Mentang-mentang ganteng,

hari pertama udah dapat senior cantik kaya kak Natasha gitu,"

Jizca mengu­ sap dahinya, "Gue inget nama kakak OSIS cantik itu,

Natasha! Kok gue bisa inget namanya? Ahh… gue bangga sama lo,

tak!" ucap Jizca pada otaknya.

Tak lama, abangnya pun datang dan segera membawa

Jizca pulang. Sepanjang perjalanan Jizca tak hentinya bercerita.

Abangnya itu hanya mengangguk-angguk, ia menggunakan

earphone, tidak mend­ engar apa yang adiknya ucapkan, karena itu

sangat merepotkan.

16

Sesampainya di rumah, Jizca melepas seragam yang ia kenakan.
Di sakunya masih ada bungkus permen, dan sebuah kertas yang
belum sempat ia buang di sekolah tadi. Ia pun itu membuka lipatan
kertasnya penasaran.

Hai, Freya
Gue Bella, pacarnya Devin. Gue tau ini norak kirim-kirim surat,
tapi gue gak bisa hubungi lo lewat apapun. Lo tau gak? Kalau lo
itu cuma dijadiin selingkuhannya Devin, dan tempat pelampiasan
disaat Devin bosan?
Gue udah punya ikatan sama dia. Begitu pun keluarga kami.
Jadi, mundur ya, Cantik :)
Sama-sama perempuan harus bisa menghargai. Maaf untuk
rasa sakitnya. Dan, maaf juga untuk Devin, ya!
Jizca mengerutkan kening, kembali melipat kertas tersebut dan
menyimpannya di dalam laci belajar. Freya siapa, deh? Pusing
banget kenalan sama orang baru, sekarang nemu nama baru lagi,
batin Jizca. Tak memikirkannya lebih jauh, Jizca memutuskan untuk
membersihkan badan, kemudian dilanjutkan dengan ritual sehari-
harinya: menonton konser pacar, Cameron Dallas, Shawn Mendes,
Justin Bieber, Charly Puth, BTS, NCT, dan masih banyak lagi pacar
Jizca lainnya.

***

"Nath, lo bener-bener gak bisa nerusin ngerjain proposalnya? Besok
harus udah dicetak, loh." ucap Revan di telepon terdengar frustrasi.

"Bang, ih berisik. Jey lagi nonton pacar nih, jadi keganggu
kan!" Protes Jizca yang sedang berada di ruang keluarga. Ia sedang
menonton konser Cameron Dallas di YouTube.

Revan akhirnya pindah ke kamar. Natasha adalah sekretaris
OSIS, besok tidak bisa sekolah karena tepar masuk angin. Padahal
proposal yang sudah deadline harus diserahkan esok hari.

17

"Kirim ke e-mail gue aja gimana?" ucap Revan mencoba me­
nyelesaikan,

“Di rumah gue gak ada koneksi. Lo aja Van ke sini buat ambil

flashdisk-nya.”
"Adik gue sendiri di rumah. Gak ada yang nemenin. Dia

anaknya penakut."

“Adik? Oh, lo pintar! Bentar gue bujuk Devin dulu. Siapa tau dia
bisa nganterin. Bye, Revan! I love you!”

Natasha menutup telepon. Sementara, Revan mengurut dahinya
pelan. Love you too, Nat.

***

Ting nong ting nong.
"Banggggg! Bukain pintu! Abang delivery apa?" Teriak Jizca dari

ruang keluarga, setelah mendengar bel rumahnya berbunyi. Namun,
tidak aja jawaban dari Revan.

Jizca menaiki anak tangga menuju kamar Revan. Ia tidak mau
memb­ uka pintu karena takut. Selain sudah malam, Jizca memang
penakut. Ia membuka kamar abangnya dan melihat Revan tertidur,
sepertinya ia kelelahan.

"Bang, di luar ada yang ngetok pintu. Jey takut bukanya," Jizca
mengg­ uncangkan lengan Revan.

"Buka aja. Adiknya temen abang paling. Anterin flashdisk. Abang
ngantuk Jey," ucap Revan dengan nada khas orang mengantuk.

Jizca mencebikkan bibirnya, lalu turun menuju pintu utama. Ia
menyelinap dan mengintip dari kaca jendela. Seorang cowok berd­ iri
di dekat pintu dan memainkan ponselnya. Jizca tidak bisa melihat
wajahnya, karena cowok itu membelakangi pintu.

Ia membuka pintu dengan pelan, "Halo, ada apa?" ucap Jizca
dengan nada imutnya yang khas.

Cowok itu berbalik, dan Jizca kaget. Siapa menurut kalian
yang datang? Devin? Salah. Seorang cowok dengan kumis tebal itu

18

tersenyum, "Ini titipan buat adik?" Ia memberikan sebuah plastik
putih.

Jizca mengambilnya dengan ragu, "Dari siapa ya, Pak?" Tanyanya
masih memperhatikan plastik itu.

"Dari Mas Senja," ucapnya tersenyum setelah mengecek
ponselnya, "Saya permisi ya, Dik."

"Eh, Pak ongkosnya udah?" tanya Jizca menyadari cowok itu
adalah kurir online.

"Sudah, Dik. Permisi."
Jizca menganggukkan kepalanya dan masuk dengan cepat.
Benar saja isi plastik itu adalah sebuah flashdisk.
Jizca memberikan flashdisk itu pada Revan yang sudah ter­
bangun dengan laptop bertengger di kasur abangnya. Dan tak lama,
ponsel Jizca berdering menampilkan sebuah panggilan dari nomor
tidak dikenal.
"Halo, ada yang bisa saya bantu?" sapa Jizca formal, juga agak
parno mengangkat telepon dari nomor tidak dikenal.
"Barangnya udah sampai? Lain kali bilang ke adiknya abang lo,
jangan penakut. Dia udah gede, udah bisa ditinggal sendiri," ucap
seorang di seberang telepon.
Jizca memutar matanya, "Adiknya abang gue? Gue, dong? Eh,
lo siapa?!"
Orang itu memutuskan telepon secara sepihak.
"Dih, dasar cowok gak jelas! Siapa juga yang penakut!" ucap
Jizca kesal sambil menatap layar ponselnya.

***

Jizca turun dari motor Revan setelah sampai di parkiran. Ia mem­
buka helmnya dengan susah payah.

"Revan!" Seorang cewek yang juga baru turun dari motor besar
berwarna merah berteriak. Cewek itu berlari kecil menghampiri
Revan.

"Eh, Nath, lo sekolah?" tanya Revan sambil melepas jaketnya.
"Iya, nih. Gue sedikit maksain, hehe. Abisnya di rumah bosan."

19

"Padahal lo istirahat aja di rumah. Yaudah ke kelas bareng
aja," Revan kini melirik Jizca, dan Jizca menatap tidak suka ke arah
Natasha.

"Bang, dia gak baik. Kemaren aja dianter pulang sama cowok,"
ucap Jizca pada Revan. Sementara Revan melipat dahinya dan
Natasha membulatkan mata.

"Eh, gak kok. Maksud lo, Devin? Dia adik gue," ucap Natasha
diiringi kekehan. Dari gelagatnya, Jizca jelas menahan malu.
"Devinn­nnnn!" Natasha berteriak pada Devin yang sedang meng­
ambil kunci motornya, kemudian Devin melirik ke arah mereka.
Natasha melambaikan tangannya, mengisyaratkan adiknya untuk
men­dekat. Dengan santai, dan juga ganteng, Devin menghampiri.

"Tumben lo denger dan nurut sama gue," ucap Natasha tertawa,
"Sana lo temenin adiknya Revan ke kelas. Kelas kalian seberangan,
kan?"

Jizca mengedik, “Gak mau. Eh, maksudnya gak usah, Kak.”
tolaknya.

"Ah elah, adik gue ganteng kali. Siapa nama lo? Jey?" tanya
Natasha pada Jizca.

"Jizca, kak. Gak usah ditemenin. Jizca udah gede," Jizca pamit
pada mereka termasuk abangnya yang kini tersenyum.

"Lo ngapain masih di sini? Sana masuk kelas! Tuh, seragam
masukin, Vin!" Protes Natasha pada Devin.

Devin berjalan dan mengabaikannya. Ia menyusul langkah Jizca
yang mulai menjauh.

Mereka berjalan beriringan, banyak yang memperhatikan
mereka, "Lo ngapain sih, deket-deket gue?" Ucap Jizca pada Devin.

"Lah masih ngambek ternyata? Lo tau gak sih, Natasha sama
abang lo itu deket banget," ucap Devin tanpa menatap cewek itu.
Pandangannya lurus ke depan.

"Terus apa hubungannya sama gue?" Ucap Jizca tidak peduli.
"Kita pasti banyak ketemu. Lo mau terus ngambek-ngambekan?"
"Ya, gak usah kenal aja, simpel kan?"

20

"Oke!" Devin berbelok ke arah kanan ketika sampai di puncak
tangga, sementara Jizca ke arah yang satunya lagi.

Sesampainya di kelas, Jizca duduk di bangkunya, Bella sudah
ada di sana sedang memainkan ponselnya. "Ihhh, gue sebel!" ucap
Jizca sambil menenggelamkan kepalanya di tangannya yang berada
di atas meja.

"Kenapa lo?" Tanya Bella melirik cewek itu.
"Lo tau yang namanya Devin gak sih, Bell?" Jizca mengangkat
kepalanya.
"Devin yang kelas seberang itu?" Tanya Bella melirik jendela.
"Nah iya!"
"Oh, dia itu tetangga gue. Gue saudara jauhnya malah," ucap
Bella menjelaskan.
Jizca sedikit mematung, gue sama Devin udah ada ikatan.
“Kenapa?” Bella menyadarkan Jizca yang terdiam.
Jizca sadar dan sedikit menggeleng, "Gue sebel tiap lihat muka
dia! Gue ngambek tiap ketemu dia. Padahal gue aja lupa dia salah
apa sama gue sampai gue sewot terus sama tuh orang."
"Lah? Kok lo kocak sih, Ca. Dia hatinya baik, kok. Cuma kel­
akuan­nya aja yang suka kelewat batas."
"Kelewat batas gimana?" Jizca mulai penasaran.
"Nakal. Dia nakal banget, kalau main sering gak pulang. Setau
gue dia pernah di keluarin waktu SMP gara-gara ikutan geng motor
dan bikin rusuh." jelas Bella.
"Terus maksud lo baik hatinya apaan?"
"Kok lo kepo sih, Ca? Ntar lo naksir lagi," Bella terkekeh pelan.
"Ih, ngaco! Ya penasaran aja."
"Ya dia itu baik. Dia itu beda dari cowok lain. Dia itu... unik.
Coba deh, lo kenal sama dia."
"Hmm, iya juga, sih, tapi males ah kenal sama dia. Lagipula gue
udah bilang ke dia untuk gak usah kenal gue. Terus dia juga jawab
oke," Jizca mencebikkan bibirnya.

21

"Iya dia memang gitu, dia gak suka maksain kehendak orang,"
Bella kembali menatap layar ponselnya yang berkedip.

Jizca diam. Apa dia harus meminta maaf pada Devin karena
sikapnya? Jizca berkutat dengan pikiran tidak pentingnya.

"Oh iya, tadi malam Devin telepon lo gak? Soalnya semalam
dia ke rumah, maksa minta kontak lo," ucap Bella terdengar sangat
ringan.

Jizca membulatkan matanya, "Oh, jadi cowok gak jelas yang
semalem itu..."

"Cowok gak jelas?" Bella menaikkan sebelah alisnya.
"Eh, anu… udah lupain aja." Jizca tercengir memamerkan
giginya, tak lama pelajaran pun dimulai.
Bener kata cowok itu, kita bakal sering ketemu. Gak ada salahnya
kita temenan. Gue harus minta maaf sama dia. Batin Jizca.

22

Chapter 2

Dunia seakan berhenti berputar pada porosnya. Membeku.
Tak seperti api yang raganya hilir mudik terbawa

angin, namun tetap kokoh di tempatnya. Rasa tersebut
terbengkalai cukup lama hingga membuat jelaga berdebu di

sekitarnya. Ternyata, sudah jauh, ya?

Bel istirahat yang berdering, terdengar merdu di telinga
murid-murid. Pak Cun, guru fisika keluar kelas setelah
mengucapkan salam. Jizca mengeluarkan kotak makannya,
sementara Bella memainkan ponselnya sambil memakan roti yang
dibawa Jizca.

"Lo mau masuk ekskul apa?" Tanya Bella memulai.
"Teater kayaknya," Jizca masih sibuk dengan rotinya, "Kalau lo?"
"Gue mau lanjutin basket. Devin juga masuk basket," ucap Bella
Jizca hanya menganggukkan kepalanya.
"Nanti temani gue, ya," Bella melirik Jizca.
"Ke mana? Kapan?" Jizca terlihat antusias.
"Ke kelas Senja, mau ngasih formulir basket."

23

"Senja? Siapa?" Jizca menaikkan sebelah alisnya.
"Eh, Devin maksud gue. Kebiasaan manggil dia Senja, hehe…."
Air wajah Jizca tidak terlihat bersemangat seperti tadi, "Males
ah."
"Yee, kok gitu? Devin baik kok apalagi ke cewek, meskipun
kadang nyebelin. Udah pokoknya ikut gue."
Akhirnya dengan ogah-ogahan Jizca pun ikut. Dengan per­
janji­an dirinya menunggu di luar. Tapi, yang terjadi justru Bella
me­maksa­nya untuk ikut masuk. Dasar cewek vampir, pikir Jizca,
tampangn­ ya aja cantik, kelakuannya ganas.
Devin melirik ke arah mereka, "Heh, Bell, lo bawa topeng
monyet dari mana?" Ucap Devin tanpa dosa setelah melirik Jizca.
"Apa lo bilang? Gue topeng monyet?!" Jizca yang berniat minta
maaf kini niatnya hilang seketika.
"Ish, lo, Vin! Kenalin ini Jizca, temen baru gue."
"Hmm… gue Devin," Devin mengulurkan tangannya, namun
Jizca hanya menatapnya tajam, dan akhirnya Devin menarik kem­
bali tangan kosongnya.
Melihat ada aliran listrik yang menyala di antara mereka, Bella
langsung memberikan formulir basket itu pada Devin, “Gue nitip
formulir basket, ya.” ujar Bella cepat kemudian menarik Jizca keluar.
"Nanti pulangnya lo ke kelas gue, ya!" Teriak Bella menuju pintu
keluar, sementara Devin menganggukkan kepalanya.
"Tuh, kan! Masa dia ngatain gue topeng monyet sih, Bell! Emosi
gue, emosiii!" Ucap Jizca terlihat sangat kesal.
Namun Bella masih diam, "Gak biasanya loh dia kayak gitu, Ca.
Dia itu cuek banget sama cewek, kecuali kalau udah kenal deket."
"Bodo amat!" ucap Jizca terlanjur bad mood.
Di sisi lain, Devin tersenyum kecil karena ulah usilnya. Jam
istira­hat masih memiliki waktu sekitar lima belas menit, ia kemudian
mem­ utusk­ an untuk menyerahkan formulir miliknya dan milik Bella
sekarang.

24

Kelas Rangga-ketua klub basket berada di lantai dua bagian
belakang, cowok itu menduduki kelas 11-IPS 4. Cukup banyak
lorong yang ia lalui. Beruntungnya, belum sempat ia sampai menuju
kelas tersebut, Devin melihat Rangga baru saja keluar dari ruang ke­
seni­an yang berada di ujung lorong. “Bang Rangga!” panggil Devin
mem­buat Rangga yang tengah membenarkan ikatan tali sepatunya
me­noleh.

“Eh, iya?” ujarya seraya merapikan rambut.
“Gue mau ngasih formulir,” Devin menyodorkan dua lembar
formulir yang ia pegang.
Rangga membaca sekilas formulir yang diberikan kemudian
ter­senyum. “Oke, nice!”
Baru saja akan pamit, Devin melihat seorang perempuan keluar
dari ruang kesenian. Perempuan itu mencoba menutupi bagian
kemeja sekolahnya yang terbuka, sepertinya kancing kemeja perem­
puan tersebut terlepas. Ia membulatkan mata saat mendapati Devin
berada di luar bersama Rangga, refleks perempuan tersebut berbalik.
Beberapa bagian lengan perempuan tersebut lebam.
“Lo gak apa-apa?” tanya Devin penasaran.
Rangga terkekeh sedikit, “Dia jatoh,” ujarnya. “Eh, bentar lagi
bel masuk, gue duluan, ya!”
Devin hanya mengangguk, ia masih memperhatikan perem­
puan di depannya. Perempuan itu kemudian berbalik, dan berjalan.
Saat ber­papasan dengan Devin, ia menatapnya dua detik. Devin
dapat melihat mata perempuan tersebut sembap.
“Lo beneran gak apa-apa?” tanya Devin sekali lagi, dari badge
kemeja sekolahnya, perempuan itu juga menduduki kelas 10.
“Gue gak jatoh,” ujarnya pelan, “Gue abis berantem, gara-
gara diselingkuhin sama ketua klub basket lo,” lanjutnya sambil
tersenyum, kemudian bergerak melangkah meninggalkan Devin.

***

25

Matahari bersinar terik, lapangan rasanya meleleh karena panasn­ ya
cahaya yang kini tumpah mengenai lapangan. Devin berg­ anti pakai­
an menjadi pakaian basketnya sewaktu SMP sama seperti Bella, ia
satu SMP dengan Devin, pada dua tahun terakhir karena Devin
merupakan siswa pindahan.

Mereka diberi waktu lima belas menit untuk siap-siap. Devin
me­neguk air yang ia beli di kantin, sementara Bella duduk di
sampingn­ ya.

"Vin, kenapa sih, lo yakin banget pelaku yang selama ini neror
hubungan lo sama setiap cewek ada disini?" tanya Bella, pan­dangan­
nya masih lurus kedepan.

"Hmm… karena apa ya, gak tau kenapa, tapi feeling gue memang
pelakunya ada di sini," ucap Devin santai.

Ya, ia masuk sekolah ini bukan tanpa alasan, ia sedang mencari
tahu siapa orang yang selama ini merusak hubungannya. Karena
setiap ia memiliki hubungan spesial dengan perempuan, selalu saja
ada surat yang meneror perempuan yang menjadi pacarnya, dan
surat itu yang menyebabkan dirinya putus.

"Oh iya, Vin, gue lihat ada yang beda dari sikap lo ke Jizca."
selidik Bella.

"Beda? Gak ah, sama aja." ucap Devin santai.
"Beda, Vin. Biasanya lo itu cuek banget sama cewek yang baru
lo kenal."
Devin hanya diam, kemudian tersenyum kecil.
Gue beda? Gak salah juga kan kalau gue beda? Toh Jizca itu
menarik.

***

"Eh, ekskul teater gak jadi kumpul hari ini, kak Natasha sakit," ucap
seorang kakak kelas, sepertinya ia kelas 11. Natasha adalah ketua
sekaligus penggarap ekskul ini.

26

Beberapa wajah baru yang mengumpulkan formulir terlihat ke­
cewa, termasuk Jizca. Ia mengeluarkan ponsel untuk menghubungi
abangnya.

"Bang, Jey gak jadi kumpul teater. Abang masih di sekolah kan?"
Tanya Jizca berharap.

“Abang lagi anterin Natasha ke rumahnya. Kasian dia lagi sakit.

Adiknya ekskul. Kamu bareng Devin aja, ya?”
"Gak! Ya udah Jey pulang sendiri aja! Jalan kaki!" Jizca men­ utup

telepon­nya sepihak. Jelas ia menolaknya. Meskipun bukan dengan
Devin, Jizca juga pasti marah. Abangnya lebih memilih men­ gantar
Natasha, ditambah ia disuruh bareng Devin, emosinya memuncak.

Mata Jizca berkaca-kaca. Rasanya sakit ditolak abang sendiri.
Ia mulai khawatir suatu saat nanti posisinya akan digantikan oleh
perempuan lain dan abangnya melupakan dirinya. Ia berjalan
menuju gerbang sekolah dengan menunduk, sedikit lagi guncangan
pasti perempuan itu meneteskan air matanya.

"Awassss!" Seseorang orang berteriak dari ujung lapangan.
Sebuah bola basket meluncur tepat di depan Jizca. Semua yang
me­lihat terlihat lega ketika bola itu tidak mengenai Jizca sama sekali,
hanya melewatinya. Namun, yang janggal kini Jizca menangis.
"Eh, eh, lo kenapa?" Tanya ketua ekskul basket yang meng­
hampiri­nya.
Jizca tidak menjawab. Ia justru makin terisak.
Ketua basket itu jadi bingung harus berbuat apa, "Ada yang
sakit?"
Jizca menganggukkan kepalanya. "Mana yang sakit?" Ketua
basket itu meneliti Jizca, semuanya terlihat baik-baik saja.
"Ih bacot, nanya mulu." Jizca menghapus air matanya, dirinya
malu, lagi-lagi malu, entah karena apa, dan kini ia menyadari ada se­
seorang yang memerhatikannya, Devin. Cowok itu berdiri di sudut
lapangan menatap ke arahnya, sementara ketua basket tadi me­minta
maaf pada Jizca dan melanjutkan permainan.
Jizca menunggu di bangku yang berada dekat pos satpam.
Sekolah ini memiliki lapangan basketnya sendiri, tapi kenapa hari

27

ini mereka latihan di lapangan utama? Pikir Jizca. Ia kembali ter­
ingat gimana cara untuk pulang, karena tidak ada kendaraan umum
yang menghubungkan antara rumahnya dengan sekolah. Pilihan
tera­ khir, ia akan pulang bersama Devin, dan siap memasang wajah
tembok­nya.

Devin menyampirkan sebuah handuk kecil di lehernya, "Bel,
pulang bareng?" Tanya Devin mengemas barangnya.

"Gue diajakin pulang bareng sama Kak Rangga! Ketua basket
itu." Bella tersenyum lebar.

Devin menganggukkan kepalanya, "Oke, gue duluan, ya!" Ia
me­nyampirk­ an ransel pada bahunya dengan pakaian basket yang ia
tidak ganti, lalu keluar dari ruangan basket. Baru saja ia akan me­
langkah­kan kaki keluar, seorang perempuan menghalangi jalannya,
perempuan itu menunduk dengan poni menghalangi wajahnya.

"Permisi?" ucap Devin masih sopan, perempuan itu tidak men­
jawabnya, kemudian Devin melangkah ke sisi yang lebih kiri namun
perempuan itu juga mengikuti.

"Assalamualaikum, woi!" Ucap Devin kehilangan kesabaran.
"Iya, waalaikumsalam!" perempuan itu tetap menunduk. Kini
Devin melipat kedua tangannya di bawah dada, ia mengenal suara
perempuan itu.
"Nunduk mulu, monyetnya lagi gak pake topeng?" Devin
terkekeh setelahnya, dan Jizca langsung mendongak ke atas, me­
natap wajah cowok itu dan, ah... kece!
"Silakan bully gue sepuas lo. Tapi please, anterin gue pulang."
Jizca memohon.
Devin menaikkan sebelah alisnya, "Lo jelek! Lo dekil! Lo bau!
Lo pendek! Lo gendut! Lo---"
"STOPPPP! Lo kira gue gembel apa? Nyesel gue!" Jizca berbalik.
Kakinya dientakkan, ia kesal pada Devin, sangat-sangat kesal!
Devin tersenyum miring, ia berjalan dan mengapit leher cewek
itu, "Ayo, balik!"
Jizca menahan napasnya, "Anjir Devin! Ketek lo basah!!"

28

Devin hanya terkekeh, lalu melepaskan Jizca.
Tuhan dia ganteng! Ganteng! Banget ganteng! Ganteng banget!
Ganteng!', batin Jizca, ia masih mematung di tempatnya, sementara
Devin mulai menjauh. Jizca tersenyum, bibirnya merekah tanpa
aba-aba. Kenapa ia bisa sesenang ini mengenal Devin? Meskipun ia
tahu bahwa dirinya belum meminta maaf, tapi mungkin benar apa
yang dikatakan Bella, Devin itu baik.

29

30

Chapter 3

Ma, Yah…, kenapa dunia berputar begitu sakit, sementara
kalian hanya menceritakan kisah-kisah yang seolah asik?
Di mana letak luka kalian, persembunyiannya sangat gelap

hingga tak bisa ditemukan.

Pukul 23.00 Devin baru sampai di rumah, ketika masuk pintu
utama ia melihat ibunya sedang tertidur di sofa. Wajah­
nya terlihat letih, kerutan di wajah wanita paruh baya itu
bertambah banyak.

Devin menggendong tubuh ibunya yang terlihat semakin rapuh
itu ke dalam kamar, dan mengecup kening wanita yang sangat ia
cintai itu, kemudian berbalik melangkah keluar. Belum sampai di
depan pintu keluar, sebuah suara memanggil namanya,

"Vin?"
Devin menoleh dan melihat ibunya yang terbangun sambil
memberikan senyuman hangat padanya.

31

"Mama kebangun?" Devin membalas dengan senyum yang
sama hangatnya.

"Jangan pulang terlalu malam, mama khawatir. Kakakmu sakit,
besok kamu antar dia ke dokter, ya?" Ucapnya pada Devin.

"Iya, Ma. Mama udah makan?"
"Udah, Kamu makan sana. Oh iya, minggu ini kamu udah
ketemu Ayah?"
Raut wajah Devin kini terlihat memuram. Ada sulut emosi di
wajahnya. "Belum, Ma. Devin lagi malas."
Yulia tersenyum, "Minggu depan kamu temui Ayah, ya."
“Devin gak yakin,” jawabnya jujur.
Wanita paruh baya itu menghela napasnya. “Maafin Ayah sama
Mama, ya? Mama gak bisa jadi wanita sempurna yang diinginkan
Ayah. Sampai Ayah mencari kesempurnaannya pada wanita lain.
Gara-gara Mama juga kamu tidak bisa mendapatkan kesempurnaan
kasih sayang,” suara Yulia bergetar dan air mata mulai membasahi
pipinya.
Tangan Devin terkepal, pipinya memanas. Ia kemudian me­
meluk mamanya. "Sampai kapan pun, broken home itu bukan ke­
ingina­ n siapapun. Devin sangat paham, Ma. Mama sempurna bagi
Devin. Devin bahagia dan bangga punya Mama yang cantik dan
kuat.” Devin melepas pelukannya, “Udah, Mama jangan terlalu
mikirin banyak hal. Mama tidur ya. Istirahat yang banyak," ucap
Devin menghapus air mata mamanya.
Setelah menenangkan Yulia, Devin menaiki anak tangga menuju
kamarn­ya. Cowok itu membuka jendela, angin menembus pori-
pori kulit wajahnya. Tatapannya lurus ke depan, namun pikirannya
melayang memikirkan ayahnya.
Martin Rakasenja, ayah Devin ini kini mendekam di penjara,
akibat terjerat kasus penggelapan uang perusahaan. Beberapa
cabang per­usaha­annya pun bangkrut, dan sisanya disita. Namun,
bukan itu yang membuat Devin enggan menemui ayahnya. Karena

32

saat kejadiaan itu, Devin, Natasha dan ibunya tidak terkena imbas
sama sekali.

Martin menceraikan Yulia, yang tak lain adalah Mama Devin,
demi wanita lain. Dan kabarnya, Martin menggelapkan uang pe­
rusah­ a­an karena tuntutan mewah dari sang Istri barunya itu.

Sudah jelas bahwa keputusan Martin meninggalkan keluarga
lamanya, untuk wanita baru itu adalah keputusan yang salah. Dan
keputusan itulah yang sangat disesali Martin.

Devin mengembuskan napasnya kemudian menutup jendela. Ia
membaringkan dirinya di atas kasur, lengannya ia timpakan di atas
dahi, dan ia pun terpejam. Pikirannya kembali berkelana ke hari di
mana hari-hari menyenangkan dengan keluarganya yang semp­ urna.
Mulai dari ayahnya yang ia jadikan panutan, ayahnya yang menj­adi
tameng pelindung keluarganya, sampai saat ayahnya berhasil me­
noreh­kan luka mendalam, yang tidak hanya padanya, tapi juga pada
dua wanita yang paling ia cintai. Hatinya hancur berserakan, pada
saat ayahnya ketahuan selingkuh.

Ia terkadang dilema antara batas hormat dan kecewa. Sebesar
apapun rasa kecewa itu, Mama Devin selalu berkata untuk me­maaf­
kan ayahnya. Memang benar, seorang ibu adalah malaikat berw­ ujud
yang sengaja dititipkan Tuhan ke bumi.

***

"Abang ke kelas, ya. Itu mulut jangan manyun terus, makin jelek
tau gak!" Ucap Revan pada Jizca di parkiran.

"Iyaaa, Bang Revan yang gantengg!" Jizca menekan kata 'ganteng'
dengan sengaja.

Jizca berjalan berlainan arah dengan abangnya. Ia berjalan
cukup santai karena ini masih pagi. Ia melirik dinding di sisi kanan
dan kiri yang dipenuhi lukisan-lukisan menarik.

"Heh, lo berhenti!" ucap seseorang di belakang Jizca.

33

Jizca pun berhenti dan menoleh ke belakang. Tiga senior ber­
tubuh ideal menghampirinya, yang tengah yang paling cantik.

"Ada apa?" Jizca dengan nada imutnya yang khas.
"Gak usah sok imut lo!" Senior itu mulai mendekati Jizca.
Korid­ or masih sepi. Satu dua orang murid yang melewati me­lihat
mereka. Di SMA ini sudah biasa jika ada murid baru yang di­labrak
kakak kelas, sudah tidak aneh lagi.
"Kakak mau apa?" Tanya Jizca yang kini mengerutkan dahinya.
"Lo masih anak baru di sini! Gak usah kecentilan! Pake diantar
jemput Revan segala!" Ucap senior itu.
"Memangnya kenapa? Kakak siapanya?" mata Jizca meneliti
penampilan tiga seniornya itu.
"Gue calon pacarnya Revan! Paham lo?"
Jizca ingin menahan tawanya, namun ia tidak sanggup. "Haha­
ha­hahahaha…" akhirnya tawa Jizca pecah seketika, "Mana dia mau
sama cewek kayak kakak!" tambah Jizca setelah tawanya mereda.
"Heh! Kurang ajar, ya! Lo sama gue jelas cantikan gue kemana-
mana!" Senior itu naik pitam karena ulah Jizca.
"Cantik, sih! Tapi, kayaknya bego. Di sekolahin gak berp­ en­
didik­an. Miris!" Jizca tersenyum miring, lalu berbalik kembali
melangkah.
"Berani ya lo sama gue?" Senior itu menarik tas yang melekat di
punggung Jizca sehingga langkah Jizca tertahan.
"Kenapa? Senior-senior kayak kakak tuh, harus dilawan. Kalau
bisa musnahin sekalian, biar gak besar kepala! Di sini juga semua
murid sama-sama bayar! Jadi, gak usah berlagak sok-sokan paling
berkuasa, kak." Jizca berucap tenang, murid-murid mulai ber­
datangan. Beberapa dari mereka menonton bahkan ada yang me­
rekam videonya.
Pelabrakan memang sudah biasa, tetapi baru kali ini ada murid
baru yang melawan seniornya.
"Jaga mulut lo, ya!" Senior itu menunjuk tepat di depan wajah
Jizca.

34

"Siap!" ucap Jizca datar. Ia kembali berbalik, namun sebuah
tangan mencekalnya.

"Lo siapa?" Senior itu terlihat benar-benar marah, wajahnya me­
merah, dua senior di sampingnya ikut-ikutan memelototi Jizca.

"Saya Jizca Adaraisa. Kalau perlu, tanya sama cowok yang kakak
kagumi itu, siapa saya." Jizca berbalik dan melangkah menuju anak
tangga. Beberapa murid yang menonton tampak melongo, semen­
tara senior tadi kembali ke kelasnya dengan wajah yang merah.
Baru kali ini dia dilawan oleh anak baru, padahal selama dua tahun
terakhir tidak ada yang berani melawannya.

"Jizca!"
Lagi-lagi Jizca berbalik menoleh kebelakang, "Hai!" Jizca ter­
senyum, Devin menyusul langkahnya menaiki anak tangga.
"Eh, iya ini." Jizca membuka ritsleting tasnya, lalu memberik­ an
sebuah toples yang di dalamnya terdapat cupcake.
"Apa?" Devin menaikan sebelah alisnya.
"Cupcake."
"Ya, gue tau. Dalam rangka apa lo kasih gue ini?"
"Minta maaf. Kita temenan aja. Gue bosen di-bully sama lo."
Devin terkekeh, "Thanks!"
"Aduh…." Jizca meringis ketika dari arah depan, ada dua orang
cewek yang menabrak bahunya.
"Ups, sorry," ucap cewek itu tersenyum palsu.
Cewek itu melihat Jizca dari atas sampai bawah kemudian me­
lihat Devin. "Hai Vin, kok jalan sama topeng monyet, sih?" Tanya
cewek itu kemudian terkekeh.
Tangan Jizca sudah gatal ingin menampar mulut cewek itu,
"Kalau dia topeng monyet lo apaan? Kutil biawak?" Devin ber­
ucap dengan nada dingin, dan Jizca tidak kuat menahan tawanya.
"Hahahaha… kutil biawak. Hahaha!"
Cewek itu mencebikkan bibir, lalu kembali melangkahkan
kakinya.

35

"Itu temen sekelas lo, Vin?" Tanya Jizca melihat punggung cewek
itu yang mulai menjauh.

"Bisa jadi. Gue lupa. Tapi dia kenal gue, jadi kemungkinan iya."
"Lo jahat banget sumpah!" Jizca kembali terkekeh.
"Gue belok, ya!" Devin berbelok ke arah kanan sementara Jizca
masih berjalan lurus. Ia menatap ke lapanganan. Ada beberapa siswa
bermain basket di sana, sepertinya kelas 12.
Senyum di bibir Jizca tidak hilang. Ia menunggu sampai cowok
itu masuk ke kelasnya dan hilang di balik pintu.

Eh, tadi itu Devin belain gue?
Senyum di bibir Jizca semakin merekah. Ah… pagi yang
sempurna, dengan orang yang hampir sempurna.

***

Devin menyeka keringat di dahinya setelah peluit panjang tanda
permainan telah usai dibunyikan. Hari ini jadwal kelasnya bero­ lah­
raga dengan materi tentang basket. Banyak siswi SMA Gerbang yang
men­ onton pertandingan kelasnya. Tentu saja ia menjadi sorotan,
tak hanya karena kemampuannya yang lebih menonjol dari teman-
teman­nya yang lain, tetapi faktor wajahnya juga bisa membuat
siapapun meleleh karenanya.

"Kok rame banget, sih?" Tanya Jizca pada Bella yang kini sudah
mengganti baju olahraga dan bersiap menuju lapangan.

"Gak tau. Mungkin memang di sini kayak begini kali, ya? Tiap
ada yang pelajaran olahraga bakal ditontonin?" Bella balik bertanya.

Jizca hanya mengedikkan bahunya.
"Ah... ini gue dapet foto cogan yang dari tadi cetak poin itu!"
Seorang cewek yang barusan berbicara itu terlihat histeris me­
mamerk­ an foto yang didapatnya.
"Duh, namanya siapa, sih?" Tanya yang satunya lagi.
"Yang jelas, dia kelas sepuluh IPA 1 itu!"
Cewek-cewek itu tertawa, terlihat gembira.

36

"Cewek di sekolah ini memang pada kehausan cowok gitu?
Lebay banget," komentar Jizca.

Bella hanya terkekeh mendengarnya, dan ketika mereka me­
nuruni tangga, mereka berpapasan dengan Devin dan juga teman-
temannya.

"Hai, Vin!" Sapa Bella dengan senyum di bibirnya, sementara
Devin hanya mengangkat kedua alisnya dan teman-temannya Devin
yang heboh bercuit.

Mau yang kiri apa yang kanan?

Yang kiri cantik

Yang kanan imutnya kebangetan.
Ya kira-kira seperti itu cuitan dari teman-temannya Devin.
Jizca menautkan kedua alisnya mendengar ocehan cowok-cowok
ters­ebut. Hanya satu detik tatapannya bertemu dengan mata tajam
milik Devin, dan entah kenapa Jizca merasa salah tingkah.
Pikirannya tentang Devin secepat mungkin Jizca singkirkan.
Giliran kelasnya yang harus mengikuti pelajaran olahraga. Karena
ini di­nilai, maka Jizca harus bisa fokus. Sama seperti kelas lainnya,
materi yang didapat adalah olahraga basket. Mereka melakukan
praktik secara langsung, dan tentu saja Tim Jizca diuntungkan
karena terdapat Bella di dalamnya.
"Woaahhh! Keren! Lo keren, Bell! Lo jago banget! Jadi tim kita
menang, deh!" ucap Jizca setelah pertandingan usai. Kini mereka
berada di kantin, karena tepat setelah olahraga selesai, bel istirahat
berbunyi.
"Iya, dong! Dan lo mesti bangga punya temen berbakat kayak
gue, Ca!" Bella terkekeh kemudian memasukan cilok ke mulutnya.
"Pantes aja lo tinggi. Gue kira lo ngemil tiang listrik." Jizca
tertawa.
"Jangan tiang listrik! Kasian tiang listrik sering ditabrak, masa
gue camil juga." Mereka tertawa bersama. Mata Jizca tertuju pada
sosok tinggi nan tampan tak jauh dari depannya, sedang memilih

37

minum­an dingin lalu memberikan selembar uang berwarna ungu
pada salah satu ibu kantin.

"Bang Evan!" Teriak Jizca cukup keras. Suasana kantin yang
ramai membuat suara Jizca teredam. Akhirnya cewek itu meng­
hampiri Revan yang mulai menjauh dari tempatnya berdiri. Sedang­
kan Bella masih duduk di tempatnya.

"Bang!" Ucap Jizca setelah ia menghadang jalan abangnya itu.
"Kenapa?" Tanya Revan kebingungan.
"Hari ini Jey mau kumpul teater, tungguin ya?"
"Hmm."
"Ih jutek amat, sih!"
"Bukannya Natasha sakit?" Tanya Revan pada adiknya itu.
"Oh, masih sakit, ya? Yah... berarti gak jadi, dong." Jizca
mengerucutkan bibirnya.
"Oh iya, tadi lo dilabrak kakak kelas?" Tanya Revan penasaran,
karena kelasnya menggosipkan hal tersebut.
"Iya. Resek banget tuh cewek! Abang jangan mau sama dia!"
"Terus lo lawan?"
"Iyalah. Masa gue diemin gitu aja. Pasti dia lagi malu sekarang."
Revan terkekeh, "Good job my darling!" ucap Revan sambil me­
ngac­ ak rambut adiknya itu.
"Nih, buat lo." Revan memberikan minuman dingin yang tadi
ia beli.
"Terus abang gak minum?"
"Gue puasa." Revan terkekeh lagi, "Abang duluan, ya."
Jizca mengangguk. Abangnya itu berjalan melewati koridor
menuju gedung kelas 12, dan Jizca kembali ke tempat duduknya di
kantin.
"Pacar?" Tanya Bella menaikan sebelah alisnya.
"Bukan, dia abang gue. Memang cocok ya jadi pacar?" Jizca ter­
senyum samar.
"Gak. Kegantengan buat lo." Bella kini terkekeh dan Jizca me­
nger­ ucutk­ an bibirnya.

38

"Devin ganteng ya, Bell." Jizca berucap setengah menggumam.
"Hah? Apa? Gue gak salah denger?" ucap Bella antusias.
"Gue yang salah, udah ngomong ke lo." Jizca bangkit dari
duduknya.
"Haha, iya, dia ganteng. Lo lihat aja, sodaranya juga cantik gini."
Bella tertawa dan ikut bangkit, mereka berjalan beriringan menuju
kelas.
"Terserah lo aja Bell." ucap Jizca datar.
"Yah, jangan ngambek dong! Dasar baperan!" Bella merangkul
Jizca dan mereka mulai menaiki anak tangga.
"Nah, tuh Devin!" Ucap Bella semakin antusias. Dan lagi-lagi,
Jizca merasa salah tingkah.
"Senjaaa!" Teriak Bella penuh minat, Sang Empu yang punya
nama kini menoleh. Bella melambaikan tangannya agar Devin
menghampiri.
"Lo apa-apaan, sih?" Jizca setengah panik, entah karena apa,
firasatnya tidak enak, dan kini Devin hanya berjarak beberapa meter
dari mereka.
"Bell, jangan panggil gue Senja di sini, Devin aja udah." ucap
Devin setelah berada di depan mereka.
"Ups, iya, sorry." Bella tersenyum.
"Ada apa?" Tanya Devin memerhatikan keduanya.
Jantung Jizca dag dig dug tak karuan. Ia takut Bella mengatakan
ucapannya tadi, dan kini ia siap lari.
"Hmm… anu," Bella melirik Jizca dengan tatapan menggoda
dan Jizca menatap dengan tatapan ingin mencekik perempuan itu.
"Lo pulangnya latihan basket?" Tanya Bella menahan tawa
karena wajah Jizca yang sudah pucat.
Jizca lega mendengar ucapan Bella, ia tidak mengucapkan
apa yang sebelumnya mereka bicarakan. Tapi ia heran, mengapa
jantungn­ ya masih berdegup tidak karuan.
"Gak, gue mau antar Natasha ke dokter. Lo mau ikut?" Tanya
Devin pada Bella.

39

"Gak, deh. Gue mau basket soalnya," Bella menggelengkan
kepalanya.

"Get well soon, buat kak Natasha, ya." tambah Bella.
Devin menganggukkan kepalanya.
"Eh, iya Vin, KATA JIZCA LO GANTENG." Bella tertawa dan
mel­ihat kesampingnya, namun Jizca sudah tidak ada di sana. Ia ber­
lari menuju kelasnya dengan wajah yang sangat merah, sementara
Bella tertawa sangat puas di depan Devin.
Devin terkekeh, "Bilangin ke Jizca, dia juga cantik." Devin
berbalik setelah berucap demikian, dan kini Bella mematung di
tempatnya.
"Heh, monyet! Lo gak boleh baperin tuh cewek. Dia baperan!"
Teriak Bella pada Devin yang mulai menjauh sementara cowok itu
tidak menggubrisnya.
Bella menggelengkan kepalanya pelan, lalu menuju kelas, di
sana Jizca sedang duduk dengan kepala yang ia tenggelamkan di
atas meja.
"Bella lo jahat banget." ucapnya masih dengan posisi yang sama.
Bella terkekeh, "Emang, kan gue udah bilang sewaktu-waktu
gue bakal jahat."
"Sialan!" Kini Jizca mengangkat kepalanya dan melipat tangan­
nya di bawah dada.
"Kata Devin, lo juga cantik."
Jizca membulatkan matanya, "Serius lo?" Tanyanya antusias,
sementara Bella mengedikkan bahunya, lalu kini sibuk dengan
ponselnya.
"Jangan terlalu dibawa serius. Kadang dia suka bercanda." ucap
Bella tanpa melihat cewek itu.
"Oh, becanda, ya?" Jizca menganggukkan kepalanya dan terl­ihat
lesu.

Devin suka becanda, ya? Haha… becanda doang ternyata.

40

Chapter 4

Lembaran demi lembaran, hiliran demi hiliran, sentuhan
demi sentuhan, tak dapat buat utuh patahan yang tak
terletak pada ruangnya. Dekapan yang seharusnya terasa
hangat, sentuhan yang seharusnya membuat detak, tak
membuat arti karena Sang Tuan Hati nyatanya sudah mati.

"Bang di mana?" Jizca menelpon abangnya. Bel sekolah
sudah berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu, namun
batang hidung abangnya ini belum tampak sama sekali.
"Abang ada kelas tambahan, sekitar dua jam. Terus nanti abang
mau jenguk Natasha ke rumah sakit. Tadi dia ngabarin masuk
rumah sakit. Mau ikut?"

"Hmm, mau deh, tapi nunggunya lama." Jizca mencebikkan
bibirn­ ya kesal.

"Bareng sama Devin aja, gimana? Dia juga pasti ke sana."
"Ah, Jey malu."
"Malu?" Revan terkekeh, "Sejak kapan lo punya malu?" lagi-lagi
Revan terkekeh.

41

"Ish, lo nyebelin. Ya udah, bye."
Jizca mengakhiri panggilan, ia menggigit bibir bawahn­ya,
"Nung­gu atau ikut Devin, ya? Tapi, Devin belum tentu masih di se­
kolah." Jizca bergumam sendiri, ia mengotak-atik ponselnya, men­
cari nomor tidak jelas yang beberapa hari sempat menelponnya.
Melihat nomornya saja ia sudah merasa salah tingkah. Bagai­
mana jika menelponnya? Ia terus-menerus menatap layar pon­sel­nya
itu.
"Ah, gue nunggu abang aja lah." ucap Jizca kemudian me­
masukan ponselnya ke sakunya.

Drtt.. Drtt..
Tak lama setelah dimasukan, Jizca kembali merogoh saku­nya
yang kini bergetar, menampilkan sebuah panggilan masuk.
"Kenapa, bang?" Tanya Jizca berharap kelas tambahan abangn­ ya
itu tiba-tiba dibatalkan.
"Ke kelas abang dulu Jey. Abang punya titipan." ucap Revan
kemudian menutup telponnya.
"Ih, masa harus ke gedung kelas 12? Kan serem." ucap Jizca
bergidik, namun ia tetap melangkah.
Ia menyusuri koridor gedung kelas 12. Entah mengapa ia me­
rasa auranya seram, bukan seram karena hantu, tetapi lebih men­
cekam seperti aura kelas tingkat akhir yang ketakutan menuju ujian
nasional. Ini membuat para senior menjadi lebih serius.
Jizca sampai di pintu kelas yang terdapat tulisan 12 IPA 2. Ia
mengetuk pintu tersebut dan seorang senior cowok membuka pintu
itu, setelah mengintip ternyata tidak ada guru di dalamnya.
"Ada perlu apa, dik?" Tanya senior yang terlihat sedikit beranta­
kan itu.
"Hmm, mau ke Kak Revan," ucap Jizca seraya melirik abang­nya
yang sedang terpejam di meja pojok dengan earphone terpasang di
telinganya.

42

"Mau nembak? Mending jangan. Kamu pulang aja. Gak akan
diterima. Belum ada cewek yang pernah dia terima, kayaknya dia
homo," bisik senior cowok itu.

Jizca menautkan kedua alisnya, "Bisa tolong dipanggilin Kak
Revannya, Kak?" Tanya Jizca.

"Ah, kamu dibilangin keras kepala. Ya udah siap-siap patah
hati, ya! Revan udah punya Natasha," ucapnya kemudian sedikit ter­
kekeh.

"Vannn, ada yang nyariin tuh!" Seketika Revan membuka mata­
nya lalu tersenyum ke arah Jizca.

"Heh, lo jangan ngeduain Natasha sama dedek gemas, dong!
Mentang-mentang dia gak masuk," ucap senior cowok itu lagi.

"Itu adik gue, geblek!" Revan bangkit dan mengambil sebuah
buku bersampul coklat dari dalam tasnya.

"Adik lo? Bukannya adik lo yang anuu," senior itu melirik ke
arah celana Revan.

"Berisik, lo! Sana minggat, jangan godain dia," Revan meng­
hampiri Jizca.

"Nih, nanti minta tolong kasih ke Devin sekalian, buku punya
Natasha," ucap Revan pada Jizca.

"Abang punya adik lagi?" Tanya Jizca seraya mengambil buku
dari tangan Revan.

"Punyaaa! Disabunin tiap hari malah!" Lagi-lagi ucap senior itu.
"Berisik setan!" Revan melirik ke arahnya, "Ya udah sekarang lo
balik lagi aja, ya!"
"Tapi, bang," Jizca menunduk, "Jey malu, masa harus telepon
Devin, sih,"
"Mana handphone lo?"
"Eh, buat apa?"
"Abang pinjam dulu bentar," ucapnya terlihat serius.
Jizca mengeluarkan ponselnya dan memberikan benda tipis itu
pada abangnya.

43

Revan mengotak-atik ponsel milik Jizca dan merapatkan­nya
pada telinga, tak lama abangnya pun membuka suara.

"Halo Vin, lo masih di sekolah, kan? Mau ke rumah sakit? Gue
nitip adik gue ya, kasian kalau harus nunggu di sini dua jam." ucap
Revan, dan kini Jizca masih membulatkan matanya tanpa berkedip.

"Haha iya, kayaknya adik gue grogi." Revan terkekeh.
"Bang, kok abang ngomong gitu?" Protes Jizca setelah Revan
me­nutup teleponnya.
"Abisnya dia tanya kenapa yang telepon abang. Ya udah sana ke
kantin. Dia lagi makan."
"Ish!" Jizca mencebikkan bibirnya lalu berbalik melangkah,
sementara Revan tersenyum miring melihat kelakuan adiknya.
"Kalau dia ngapa-ngapain lo, colok aja matanya!" teriak Revan
pada Jizca yang mulai menjauh dan Jizca hanya mengangkat
jempolnya tanpa menoleh lagi.

***

Jizca masuk ke kantin dan melihat satu persatu orang yang ada di
dalamnya. Kantin masih cukup ramai, terbukti dengan setiap meja
di sana yang terisi semua, dan akhirnya Jizca menangkap sosok yang
ia cari. Devin berada pada bangku paling pojok, ia tidak sendiri, ia
bersama teman satu kelasnya.

Devin tampak sibuk dengan ponselnya. Sepertinya ia sedang
ber­main game, ia hanya sedikit terkekeh disela candaan teman-
teman­nya itu.

Jizca menghampiri dengan ragu dan Devin sepertinya tidak
men­ yadari kehadiran Jizca.

"Mau ke siapa?" Tanya salah satu di antara mereka. Belum
sempat Jizca menjawab, salah seorang di sana sudah berc­ eletuk lagi,
"Ini kan cewek kelas seberang yang imut itu."

Dari mana cowok itu tahu gue cewek kelas seberang yang imut?
Batin Jizca.

44

"Oh, yang ketemu di tangga, ya?" Tanya yang satunya lagi.

Mereka siapa, sih? Sok kenal ketemu di tangga.
Pikiran Jizca buntu. Ia pun masa bodo dengan ucapan yang
dilontarkan teman-teman Devin.
"Devin," ucap Jizca ragu, Devin hanya merespons, "Apa?" Se­
men­tara matanya masih tertuju fokus pada layar ponsel.
"Oh, maunya sama yang ganteng dia," celetuk salah satu teman
Devin.
"Vin, lo ih, nih cewek kasian dikacangin gini," temann­ ya me­
nyikut Devin.
"Dikacangin? Ya udah tinggal gue makan, dong," celetuk yang
lainnya.
Kini Devin melirik Jizca, lalu memasukan ponselnya ke saku
seraya bangkit.
"Gue duluan, ya." ucap Devin pada teman-temannya, dan
menga­ mbil helm full face di atas meja.
"Woi, itu helm gue, Vin," teriak temannya.
"Besok gue balikin. Kasian nih cewek gak pakai helm, nanti kalau
jatuh bisa geger otak," ucap Devin lalu melanjutkan langkahnya.
Mereka berjalan beriringan menuju parkiran. Tidak ada per­
cakapa­ n sama sekali sepanjang koridor hingga sampai parkiran.
"Nih, pakai." Devin menyodorkan helm full face berwarna putih
yang sebelumnya ia ambil di atas meja kantin.
Jizca menerima helm yang diberikan Devin. Tangannya yang
dingin tidak sengaja bersentuhan dengan Devin, menimbulk­an
lipatan di dahi cowok itu.
"Lo kenapa? Grogi?" Devin terkekeh sedikit. Jizca tidak meng­
gubrisn­ ya.
Jizca memakai helm itu, tetapi beberapa saat kemudian me­
lepask­ an­nya lagi, "Nih, gue gak jadi pakai helm," Jizca men­ yodor­kan
helm itu pada Devin.
"Kenapa?" Devin menautkan kedua alisnya,
"Helmnya bau," ucap Jizca tidak minat.

45

"Astaga." Kini Devin terkekeh hampir tertawa. Kemudian ia
melepas helm yang dipakainya.

"Ya udah pakai punya gue, gak bau." Devin menyodorkan helm
itu pada Jizca.

"Terus lo?"
"Gue gak usah, biar lo aja. Gue kalau jatuh gak akan geger otak
terus jadi bego kok."
"Kenapa? Karena lo udah bego, ya?" Jizca terkekeh, namun
kekehann­ya langsung terhenti ketika menatap mata tajam milik
Devin, Jizca justru langsung tertunduk.
Tanpa basa-basi lagi Jizca menaiki motor tinggi milik Devin,
dan mereka melaju dengan cepat, sangat cepat.
"Devin kalau gini caranya, gue bisa geger otak tanpa jatuh dulu.
Ubun-ubun gue bisa pecah di dalam helm ini!" Protes Jizca.
Dan kini Devin menghentikan motornya secara mendadak.
"Ih, lo sengaja ya?" Tuduh Jizca.
"Sengaja apa? Ada kucing lewat." Balas Devin.
"Ah, alasan! Cowok kan kebiasaannya gitu! Modus ngerem nge­
dadak biar punggungnya kena..." Jizca menggantung kalimatnya.
"Kena apa?" Tanya Devin pura-pura tidak tahu.
"Udah jalan lagi aja, jangan ngebut-ngebut!" Lagi-lagi Jizca salah
tingkah. Rona merah pipinya tidak bisa ia sembunyikan. Dan ia ber­
syukur Devin tidak menoleh ke belakang. Tapi, sepertinya Jizca lupa
bahwa ada kaca sepion, Devin tersenyum melihat pipi cewek itu
yang memerah.

***

Devin membuka salah satu pintu kamar rumah sakit dan Jizca
mengikutinya dari belakang. Di sana ada Mama Devin sedang
duduk dan Natasha yang terbaring. Tidak selemah dugaan Jizca,
kakak cantik itu terlihat baik-baik saja, senyumnya tergambar di
bibir ketika mereka sampai.

46

"Natasha kenapa dibawa ke rumah sakit, Ma?" tanya Devin
setelah mencium tangan mamanya. Diikuti Jizca yang menyusul
mencium tangan Mama Devin.

"Kakak kamu ini ternyata kena gejala demam berdarah Vin.
Mama kaget waktu tahu. Jadi dokter anjurin untuk dirawat dua
sampai tiga hari," ucap Yulia lembut, "Ini temanmu?" Kemudian
Yulia menyelidik Jizca dari atas sampai bawah sambil tersenyum.

"Dia ini adiknya Revan lho, Ma." ucap Natasha kemudian men­
coba duduk.

Mama Devin menganggukkan kepalanya, "Oalah, pantas aja
cantik. Satu kelas sama Devin?"

"Gak Tante, kami beda kelas." Jizca menyelipkan anak rambut­
nya ke belakang telinga.

"Oh iya kak, ini ada titipan dari abang." Jizca kemudian mem­
buka tasnya dan memberikan buku bersampul cokelat, yang
langsung diambil Natasha dengan cepat.

"Thanks, ya!"
"Kalian sudah makan?" Tanya Mama Devin,
"Belum, Ma. Kami mau cari makan sekalian," ucap Devin cepat
yang langsung dapat respons tatapan dari Jizca.
"Di seberang rumah sakit ini ada tempat makan. Tadi mama
makan di sana, lumayan enak masakannya."
"Oke, nanti Devin balik lagi ke sini."
"Gak usah. Kamu langsung pulang aja. Di rumah gak ada siapa-
siapa."
"Iya, lo pulang aja. Nanti kalau di sini malah buat ricuh lagi."
ucap Natasha sewot.
Devin menatap geli kakaknya itu, "Siap. Yang lama ya di sini,
rumah adem tanpa teriakan lo." Devin terkekeh lalu mengisyaratkan
Jizca keluar. Jizca mengangguk, kemudian pamit.
"Devinnn! Adik laknat lo, ya! Gue kutuk lo jadi kecap baru tau
rasa!" Natasha berteriak dengan kesal, sementara Devin tidak mem­
perd­ ulikannya sama sekali.

47

"Kakak lo hebat ya, Vin," ucap Jizca setelah keluar ruangan.
Devin menaikan sebelah alisnya, "Hebat apanya?"
"Ya hebat, bisa ngutuk lo jadi kecap. Kalau Bang Revan gak bisa."
Jizca tersenyum di akhir kalimatnya.
Ada yang aneh sama otak cewek ini, batin Devin. Ia menggigit
bibir bawahnya untuk menutupi senyum yang terukir diwajahnya.
Mereka pun berjalan menuju kafe yang ada di seberang rumah
sakit. Ketika sampai mereka langsung duduk di bangku yang paling
dekat dengan pintu keluar.
Devin memesan dua porsi burger, segelas red velvet, dan caramel

macchiato.
Mereka pun makan tanpa obrolan. "Bukannya lo udah makan

tadi di kantin?" Tanya Jizca setelah selesai makan.
"Udah," jawab Devin singkat.
Jizca menganggukkan kepalanya dengan pelan. Langit sore

ini terasa lebih gelap dari biasanya. Benar saja, tak lama kemudian
rintik hujan mulai turun. Membuat mereka terjebak dalam kafe itu.

Jizca menelungkupkan kepalanya di atas meja. Ia canggung
tidak tahu ingin membahas apa. Ditambah jika ia berbicara, ia akan
bertemu dengan mata tajam milik Devin.

Ia merogoh sakunya ketika sebuah panggilan masuk dan Jizca
ber­syukur atas itu, karena keheningan bisa terpecahkan.

"Jey lagi di tempat makan Bang, yang seberang rumah sakit,"
ucap Jizca ketika menerima telepon dari Revan.

"Apa? Abang gak jadi ke rumah sakit?" Jizca mulai panik.
"Ih, kok lo gitu, sih! Terus Jey pulang sama siapa? Pokoknya
jemput gak mau tau!" Kini Jizca merengek pada abangnya.
"Oke, Jey tunggu sampai hujannya reda." Jizca menutup telepon
dengan bibir yang ia kerucutkan. Mood-nya hancur seketika.
"Kenapa?" tanya Devin membuka obrolan.
"Bang Evan gak jadi ke sini."
Devin menganggukkan kepalanya, "Tapi, dijemput kan?"
"Iya, nanti kalau hujannya reda," ucap Jizca kaku.

48


Click to View FlipBook Version