The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

novel Bella Anjani

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by gagasmedia, 2022-02-16 02:46:37

IF I

novel Bella Anjani

"Kalau gak reda? Tetep nungguin?"
"Jangan ngomong gitu!" Jizca semakin sebal.
"Jey?" panggil Devin.
"Hmm, iya?"
Devin diam sementara Jizca menunggu apa yang akan diucap­
kan cowok itu.
"Gak apa-apa, manggil aja."
Kemudian hening.
Hujan semakin deras. Jizca mulai merasa bosan, sementara
Devin terlihat asik dengan ponselnya.
"Lo jomlo, ya?" Tanya Devin disela aktivitasnya bermain ponsel.
"Ya, katain aja terus. Udah kebal gue sama bully-an lo." Jizca kini
menatap wajah cowok itu.
"Gue gak ngatain lo Jizca, gue cuma nanya," Mata Devin masih
fokus pada layar ponselnya.
"Terserah, deh. Memang lo punya pacar?" Jizca mulai penasaran.
"Ada," ucap Devin singkat. Entah kenapa wajah Jizca berubah
kec­ ewa mendengarnya.
"Tapi bentar lagi juga putus. Lihat aja." Devin kini menatap
Jizca, dan memasukan ponselnya ke saku.
"Kenapa?" Tanya Jizca semakin penasaran.
"Kenapa, ya? Nanti deh, kapan-kapan gue kasih tau." ucap Devin
yang menatap mata cewek di depannya itu dengan lekat. Sementara
Jizca kini terpejam.
"Lo kenapa, sih?" Tanya Devin bingung.
"Jangan lihatin gue kayak gitu. Takut." Jizca masih mem­ e­jamk­ an
matanya.
"Gue biasa aja," Devin menggeleng pelan.
"Jey, Bella cantik, ya." ucap Devin yang langsung membuat mata
Jizca terbuka.
"Bella? Iya cantik. Saudara lo, kan?" Tanya Jizca penasaran.
"Saudara? Dia bilang kalau gue saudaranya?" Devin sedikit ter­
kekeh.

49

"Iya, dia bilang gitu, benarkan?"
"Oh, saudara ya? Iya mungkin."
"Lah? Kok gitu?"
Devin kini terdiam. Ponsel di sakunya bergetar menampilkan
seb­ uah telepon masuk.
"Nih, gue pasti diputusin," ucap Devin pada Jizca dan mem­per­
lihat­kan nama di layar ponselnya.

Nadaa is calling.
"Pacar lo?" Tanya Jizca tidak minat.
Devin menganggukkan kepalanya dan menempelkan ponsel
ters­ ebut ke telinganya.
"Iya iya, terus kamu maunya apa?" Tanya Devin sedikit frustrasi.
Aku maunya kita putus aja! Jizca mendengar cewek yang di
seberang telepon Devin itu sedikit berteriak.
"Oke! Fine!" Ucap Devin pasrah.

Tuh kan, benar kamu selingkuh! Buktinya kamu sama sekali gak

pertahanin aku!
Cewek itu mematikan telponnya dan mata Devin terpejam

sekarang, sementara Jizca menahan tawanya.
"Jiahh beneran diputusin!" Ucap Jizca kemudian tertawa. Devin

membuka matanya.
"Tapi, kok lo tau bakal diputusin, sih?" Jizca pun menjadi

semakin penasaran.
"Dia cewek ke enam yang dapat surat." Devin jawab dengan

nada datar.
"Surat?" Jizca terlihat kebingungan sementara Devin enggan

membahasnya.
Pintu kafe terbuka. Seorang cewek dengan membawa payung

merah masuk. Pakaiannya sedikit basah karena hujan. Ia berjalan
mendekati meja Jizca dan Devin. Jizca melihat cewek itu sementara
Devin tidak, karena Devin duduk membelakangi pintu.

"Oh jadi ini ya selingkuhan baru lo?" Cewek itu datang marah-
marah dan menggebrak meja, membuat Jizca kaget.

50

"Nadaa?" Tanya Devin melipat dahinya.
"Iya? Apa? Lo ketauan selingkuh! Puas lo?" Tanya cewek
bernama Nadaa itu.
"Lo jadi cewek jangan keganjenan, ya!" Ucap Nadaa yang kini
melirik Jizca.
"Lah siapa yang keg---"

Byurr…
Belum sempat Jizca meneruskan kalimatnya segelas red velvet
sengaja di tumpahkan oleh cewek itu. Mulut Jizca menganga ketika
cairan dingin itu tumpah sempurna pada seragam yang ia pakai,
orang-orang yang ada di sana memperhatikan mereka.
Devin juga terlihat kaget dengan apa yang dilakukan oleh
mantan barunya itu, "Asal lo tau Nad, gue gak selingkuh tapi gue
bers­ yukur bisa putus dari lo!" Ucap Devin kelewat tajam.
Devin merangkul Jizca yang masih mematung di tempatnya,
lalu membawa Jizca keluar dari kafe itu.
"Lah? Salah gue apa?" Tanya Jizca ketika sampai di luar.
Devin membuka jaket miliknya lalu menutupkan jaket itu di
kepala Jizca. Mereka berjalan di bawah derasnya hujan, kembali me­
nuju rumah sakit. Tanpa sepengetahuan Devin, kini jantung Jizca
berdegup semakin tidak karuan.

Terima kasih hujan, telah meredam suara detakan jantung

yang kelewat keras ini menjadi sunyi yang tak seorangpun dapat
mendengarnya, kecuali aku, batin Jizca disela matanya terpejam

***

Devin menunggu Jizca di depan toilet rumah sakit. Saat keluar, jaket
miliknya sudah melekat di tubuh Jizca dan terlihat kebesaran. Jizca
memasukan seragam miliknya ke tas. Jam sudah menunjukan pukul
17.30, namun hujan tak juga reda.

"Mau pulang?" tanya Devin. Ia terlihat bersalah, karenanya juga
Jizca jadi kedinginan.

51

Jizca menganggukkan kepalanya. Ia sudah lelah dan ingin
segera tidur di rumah.

"Tunggu di sini sebentar," ucap Devin beranjak dari tempatnya.
Ia menuju kamar Natasha dan meminjam kunci mobilnya.

Devin kembali tak lama, ia langsung mengajak Jizca pulang.
Ketika di dalam mobil, ia pun menelepon Revan agar tidak usah
men­jemputn­ ya.

"Baju lo masih basah, Vin," ucap Jizca memperhatikan seragam
yang dikenakan cowok itu. Devin kemudian ke luar dari mobil
menuju bagasi dan kembali masuk setelah mengambil paper bag
berwarna coklat tua.

Ia membuka kancing seragam, lalu melepaskannya. Sontak Jizca
menutup matanya, pipinya pun memerah.

"Kenapa sih, cowok kalau ganti baju suka gak tau tempat?"
Protes Jizca yang masih menutup matanya.

"Karena cowok itu gak ribet. Cukup kaus dan gak pakai tali-
tali yang dikaitin," ucap Devin datar, sementara pipi Jizca terlihat
semakin memerah.

"Udah belum?" Jizca tidak menanggapi topik sebelumnya.
"Udah. Sekarang lo udah bisa buka mata." Devin kemudian me­
nyalak­ an mesin mobilnya. Jizca pun menghirup napas lega. Devin
sudah mengenakan kaus putih polos tanpa lengan dan sedikit me­
nerawang, memperlihatkan sekilas tubuhnya yang atletis.
Jarak antara rumah sakit ke rumah Jizca cukup jauh. Jizca tidak
kuasa menahan kantuknya, meskipun suara radio terdengar keras,
ia tetap terlelap.
"Awhhh!" Ringis Jizca ketika dahinya terpentok dashboard
mobil, tak lama setelah itu, suara klakson dari belakang terdengar
sangat nyaring dan berulang-ulang.
Jizca yang bangun dari tidurnya secara terpaksa terlihat bingung.
Mobil di belakang mereka tak henti-hentinya menyalakan klakson.
"Kenapa Vin?" Tanya Jizca bingung, kabut sedikit menghalangi
pemandangan jalanan,

52

"Di depan ada tabrakan. Lo lihat deh, kalau aja gue gak ngerem,
pasti beruntun sampai belakang." jelas Devin.

Kini Jizca menyipitkan matanya. Benar saja, orang-orang
semakin banyak yang berkumpul, jalanan jadi macet total.

"Sial!" Devin memukul kemudinya. Aura seram menyelimuti
Jizca, ia ketakutan dan Devin sadar akan hal itu.

"Sorry, gara-gara lo nganterin gue, kita jadi kejebak macet kayak
gini," ucap Jizca pelan.

"Gak apa-apa. Gue yang harusnya minta maaf," ucap Devin kini
melembut.

"Pukul berapa sekarang?" Tanya Jizca hati-hati.
"Setengah delapan kurang," ucap Devin setelah melirik jam
tangannya.
Jizca menganggukkan kepalanya. Ia sudah beberapa kali me­
ngua­ p dan kini memeluk tasnya.
"Kalau lo mau tidur, tidur aja, nanti kalau udah sampai gue
bangunin."
Lagi-lagi Jizca hanya menganggukkan kepalanya.
"Vin?" ucap Jizca pelan.
Devin meliriknya.
"Lo lagi enak diajak ngobrol gak?" Jizca tidak memalingkan
tatapannya dari tas yang ia peluk.
"Kenapa?" Tanya Devin masih memerhatikan Jizca.
"Hmm.. lo beneran saudaraan sama Bella?"
Devin terdiam sesaat, "Oh, itu. Iya gue saudaraan. Kenapa?"
Devin mulai penasaran.
Jizca menggelengkan kepalanya. "Cuma tanya. Oh iya, waktu itu
kenapa lo datang ke rumah Bella buat maksa minta nomor gue?"
tanya Jizca kembali penasaran.
Devin hanya tersenyum miring, "Mau tau?" Devin menaik­ an
sebelah alisnya dan Jizca menatap wajah cowok itu, berharap Devin
benar memberitahunya.
"MO-DUS," ucap Devin menekankan setiap suku katanya.

53

"Modus biar bisa ketemu Bella?" tanya Jizca bingung.
Devin tidak menjawabnya.
"Lo suka sama Bella, Vin?" Jizca langsung bertanya tanpa aba-
aba dan sedikit lancang.
"Suka? Hmm, suka ya? Bisa dibilang gitu." ucap Devin datar.
Jizca kira Devin tidak akan menjawabnya, lebih tepatnya ia berh­ arap
Devin tidak menjawabnya. Entah mengapa air muka Jizc sekarang
berubah kecewa.
"Kenapa gak ditembak Vin?"
"Gue gak mau kehilangan dia, Jey. Gue gak mau dia jadi
mantan gue. Gue harus temuin dulu orang yang selama ini selalu
ganggu hubungan gue. Kalau udah ketemu, mungkin gue baru bisa
ngutarain perasaan gue." jelas Devin.
"Sorry, ya gue lancang nanya kayak gini," ucap Jizca pelan.
"Santai aja." Devin kini mulai menyalakan mesin mobilnya
dan melaju dengan pelan, jalanan sudah tidak semacet tadi. Jizca
Kembali memejamkan matanya. Sementara Devin fokus menatap
jalanan.
"Jey, bangun," ucap Devin menepuk bahu perempuan itu.
"Eh, udah sampai? Gue kira lo Bang Evan, manggil gue Jey
mulu." Jizca terkekeh, hujan sudah berhenti.
"Makasi ya, Vin. Jaketnya nanti gue balikin kalau udah dicuci."
tambah Jizca.
"Lo mau masuk dulu?"
Devin diam sejenak, "Boleh? Gue mau numpang salat."
Jizca terpaku sejenak, "Gue kira lo nakal dan lupa Tuhan. Bella
bilang nakal lo kebangetan," ucap Jizca sementara Devin diam.
"Nakal asal tau batasan. Lagian banyak orang suci yang punya
masa lalu gelap, kan?" Devin mematikan mesin mobilnya, lalu turun.
Jizca mengetuk pintu rumah yang langsung disambut mama­
nya. Raut lega terpancar di wajah wanita paruh baya itu. Pasalnya
Jizca tidak pernah pulang semalam ini, pukul 20.45. Mama Jizca
melihat Devin dari atas sampai bawah, dan sedikit mengerutkan

54

dahi ketika Jizca memakai jaket yang ia duga pasti milik cowok itu,
sementara Devin hanya memakai kaus putih oblong.

"Eh, ayo masuk," ucap Mama Jizca mempersilahkan.
Revan ke luar dari kamarnya. Sepertinya ia habis mandi karena
rambutnya masih basah dan handuk kecil di pundaknya.
"Hei, Vin!" Ia menjabat tangan Devin dan langsung duduk di
sofa sebelahnya.
"Bang, gue gak akan lama. Mau numpang salat aja." ucap Devin
santai.
"Woahh, tobat lo? Haha, ya udah tuh di sana. Belok kiri ya,
jangan ke kanan karena itu kamar adik gue." ucap Revan terkekeh.
Devin mengikuti instruksinya. Beberapa menit kemudian,
ia kembali ke ruang tamu. Mama Jizca menyuguhkan beberapa
camilan. Dan tak lama, sebuah mobil masuk ke halaman, disusul
langkah kaki seorang laki-laki paruh baya yang masuk ke rumah.
"Eh, ada tamu." ucap laki-laki yang ternyata adalah Ayah Jizca.
Devin tersenyum dan menjabat tangan laki-laki yang baru
datang. "Teman kamu, Van?"
"Temannya Jey, Yah," ucap Revan seraya mengambil toples kue
di depannya.
"Saya mau pamit Om dan Tante," Devin hendak beranjak dari
duduknya.
"Lho, saya datang kok kamu malah pulang? Di sini dulu aja
sebentar." ucap Ayah Jizca hangat.
Devin tersenyum kaku. Ia sudah lama tidak berada di tengah
keluarga lengkap yang bahagia, dan sekarang ia merasakannya lagi.
Aura kebahagiaan dari keluarga Jizca.
"Jey kemana?" tanyanya melihat sekitar dan tidak menemukan
anak perempuan satu-satunya itu.
"Tidur kali. Dia kan kebo. Ada temannya, eh dia malah tidur,"
ucap Revan kemudian terkekeh.

55

"Siapa yang bilang kebo? Jey dengar tau!" Jizca ke luar kamar
dengan mengenakan piyama berwarna coklat, kemudian duduk
bergabung di antara mereka.

“Maaf yaa, Vin, di sini tuh bakalan aneh kalau enggak ada yang
ribut,” ujar Mama Jizca memaklumi keributan yang sering terjadi
antara Revan dan Jizca. “Ayo, makan dulu semuanya, Mama udah
bikinin masakan paling spesial.”

“Sering-sering ke sini ya, Vin. Biar Tante sering bikin masakan
spesial,” lanjut Ayah Jizca disusul tawa semua orang yang berada di
ruangan.

Mereka duduk di kursi dengan satu meja makan berukuran
cukup besar yang terbuat dari kayu dibalut plamir, yang membuat
tampilan­nya semakin cantik. Makanan yang dihidangkan tak kalah
lezat dan menggugah selera.

Ada perasaan hangat menyelimuti Devin. Dalam waktu ber­
sama­an hatinya tercubit, entah kapan ia akan kembali mer­asak­ an
ke­bers­ama­an dan kehangatan dalam sebuah keluarga. Bagin­ya
sekarang, hal tersebut hanya sebuah angan yang tidak akan pernah
terc­ apai.

Hal ini juga membuat Devin menyadari beberapa hal, bahwasa­
nya merasa cukup dengan satu pasangan serta saling me­nerima
setiap kekurangan yang dimiliki pasangan dan mencoba menj­adi
lebih baik adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Karena hidup
bukan semata-mata ego tentang dirinya, tetapi juga tentang perasaan
orang-orang yang ia sayangi, dan yang menyayanginya.

56


Click to View FlipBook Version