The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by gagasmedia, 2022-03-15 05:05:38

BIRU KELANA

Della Dartyan

@delladartyan

VI

Prolog

Selimut Malam

 
Aku tidak bisa tidur,
otakku berkejaran dengan dunia.
Tolong beri aku tenang!
Impianku terlalu besar untuk kujamah.
Keegoisan menggerogoti imanku.
Dosakah aku? Jika aku menutup mata, menutup telinga?

Bunyi-bunyi dari relung hati selalu menemaniku
Kadang terlalu berisik untuk kudengar sendiri.
Selalu ingin tahu, menasihati ini dan itu, atau kadang aku
berkelana jauh dengan imajinasinya. Menyenangkan?
Tentu saja
 
Selimut malam menerobos angan dan asa.
Melampaui batas rindu.
Berbincang dengan molekul-molekul yang tak kasat mata,
dan di sinilah aku menyambut bisikan-bisikan pasir yang
telah lama menghantui. Seperti menyapa sahabat lama,
akhirnya aku menemukan duniaku.

***

1

­ ­­Mimpi itu terus menghantuiku. Kaki yang terseok-seok,
berpijak pada tanah yang berkerikil. Curam. Selangkah demi
selangkah merangkak berjalan. Tangan ini sudah beku oleh
dingin, dan kotor karena menggapai apa pun yang ada di
depan mata untuk menopang badan. Napasku terengah-engah
berusaha melawan rasa lelah dan menyerah. Namun, aku
terus merangkak tanpa henti pada tanah dengan kemiringan
empat puluh lima derajat ini, rasanya aku bisa mencium tanah
yang tepat di depanku.

Lalu, aku memberanikan diri untuk menengok ke be
lakang. Sudah berapa jauh aku melangkah? Aku melihat gum
palan awan sejajar dengan tubuhku. Ah, bukan gumpalan,
melainkan lautan awan di depan mataku. Setinggi inikah aku?

Dan semburat malu-malu dari sang mentari muncul di
ufuk timur. Sekejap menghangatkan tubuh bekuku. Hangat.
Indah. Perasaan tenteram yang kurindukan. Syahdu sekali.

Aku terbangun. Dengan rasa gundah dan penasaran.
Ada kilatan rasa rindu di dalamnya, seperti sahabat lama
yang sudah terlalu lama menyapa.
Gunung? Apakah aku harus ke sana?

***

2

#1
Titik TerenPdearhjaAladnaalnah Awal Mula

Pernahkah kamu mengalami titik terendah dalam hidup?
Tiba-tiba dunia berputar begitu cepat, kamu merasa sial,
gagal, dan segala emosi negatif bercampur jadi satu. Kamu
merasa berada di bawah, jatuh ke titik terendah. Sesuatu
yang tidak bisa diprediksi kapan terjadi, dan kamu hanya bisa
menghadapinya lalu memilih: terus jatuh atau bangkit.

Titik terendah dalam hidupku terjadi pada tahun 2016.
Ketika segalanya menjadi sangat kelam dan aku merasa
tersesat kehilangan arah. Dimulai dengan pupusnya kisah
asmaraku dengan seseorang yang sudah berbagi kisah hidup
denganku selama enam tahun. Klise, kisah patah hati selalu
menjadi topik utama dalam perjalanan kelam banyak orang.

Malangnya, belum berapa lama aku patah hati, kabar
duka datang dari papa. Waktu itu papa tiba-tiba terkena
serangan jantung dan ternyata mengalami banyak komplikasi
di pencernaan. Sehingga papa harus mondok di rumah sakit
selama sebulan.

Kesehatannya berangsur-ansur turun dan kurus ceking.
Aku ingat sekali, dulu aku harus mengiming-imingi Papa
dengan hal-hal yang disukainya hanya agar dia mau makan.

3

Menyiksa sekali melihat Papa yang dulu bisa lahap makan ­ ­ ­­ ­ ­ ­
apa pun, tetapi ketika sakit, makan sesuap saja pasti berakhir
muntah.

Pada saat bersamaan, kuliahku terancam gagal karena
bersitegang dengan salah satu dosen gara-gara absensi. Salah
ku sendiri, sih, untuk mulai masuk dunia entertainment di
waktu yang salah. Aku pikir bagus juga untuk pengalihan
pikiran daripada galau-galauan mending melakukan pekerja
an positif. Ya, meskipun berdampak pada keabsenanku untuk
mengikuti bimbingan skripsi. Rasanya apa pun yang ku
lakukan saat ini selalu mengantarku untuk terjun bebas ke
sebuah jurang yang lebih dalam.

Semua seperti hujan batu yang memorak-porandakan
duniaku kala itu. Aku seperti hilang arah. Jalan di depanku
gelap dan tak berujung. Segala sesuatu di dalam kepalaku ber
celoteh ramai. Bingar. Aku butuh jeda.

Hingga suatu hari, dengan impulsif, aku ingin menonton
sebuah pertunjukan teater.

Kebetulan Teater Koma mengadakan pegelaran bertajuk
“Opera Kecoa”. Aku datang seorang diri ke acara tersebut.
Entahlah, aku hanya ingin sendiri dan mencari hiburan
semata. Anggap saja sebagai pengalihan dari isi kepalaku yang
pengang.

Sebenarnya hal lain yang mendasariku untuk datang
nonton teater adalah rasa penasaran. Sudah lama aku ingin
nonton teater, tapi nggak pernah kesampaian, ya, lebih tepat
nya menonton teater bukan proritasku kala itu. Aku suka film,
bahkan aku bisa nonton berbagai macam film dalam sehari.
Aku penasaran bagaimana pertujukan teater yang diaksikan

4

­­ ­langsung oleh para aktor yang tanpa perlu “take two” atau
ulang adegan. Segalanya bisa dimainkan indah hanya dengan
satu kali take.

Aku duduk di barisan paling depan menonton Teater
Koma. Mengamati setiap detik adegannya. Baru kali ini aku
terpesona dengan setiap momen yang dilakonkan para aktor.
Ajaib sekali pertunjukan ini. Emosiku naik turun karenanya.
Seperti hipnotis!

Aku baru tahu bahwa akting seorang aktor bisa membius
para penonton. Seolah-olah aku masuk ke dalam dunia yang
mereka ciptakan. Aku bisa merasakan rasa bahagia, tangis
pilu bahkan luapan amarah yang dirasakan para aktor.

Pengalaman seperti ini bisa aku dapatkan ketika menonton
beberapa film. Hanya saja, dengan menonton secara langsung
pertunjukan teater seperti ada keajaiban seni peran dan
membuat sensasi tersendiri dalam diriku. Ada gelitik bunga-
bunga rasa antusias menjalar di dadaku. Yang aku tahu pada
saat itu aku jatuh cinta pada dunia keaktoran.

Esoknya, aku menelepon manajerku. Menceritakan pe
ngalaman pertamaku menonton teater.

“Mas Boy, gua mau belajar seni peran, dong! Teater! Gua
mau!” kataku.

“Hah? Ada apa lo tiba-tiba pengin belajar teater?” katanya,
setengah tak percaya.

“Tadi habis nonton Teater Koma, bagus banget! Pengin
kayak mereka.”

“Ya udah, ntar gua cariin,” katanya mengkhiri obrolan
telepon kami.

5

Tak lama kemudian, keinginanku berwujud nyata. Aku
didaftarkan oleh manajerku di sebuah sanggar, Teater Peqho.
Sebuah sanggar yang juga menyediakan kelas akting dan
workshop untuk film-film bergengsi di tanah air.

Aku memakirkan mobilku tepat di seberang jalan Teater
Peqho, memandangi sanggar seni yang berada di lantai dua
itu dari kaca spionku. Ada rasa enggan untuk membuka pintu
mobilku dan melangkah masuk ke sana.

Bagaimana jika aku terlihat bodoh ketika bergabung
dengan mereka?

Aku menggelengkan kepalaku. Bersungut-sungut dengan
diriku sendiri.

Ini, kan, yang kamu mau, Della? Keluar dari mobilmu dan
cari kebahagiaanmu sendiri!

Aku terdiam mendengar isi hatiku. Dari dulu aku selalu
berada di zona nyaman tanpa pernah merasakan mencoba
hal-hal baru seperti ini. Kupikir, dengan berjalan di jalur
yang sudah ada, hidupku pun akan aman dan tertata sesuai
dengan apa yang kurencanakan. Namun, jalan yang sudah
kurencanakan kini gelap dan rusak sehingga memaksaku
untuk berbalik arah dan mengambil jalan yang lain.

Masuk dalam sanggar teater seperti ini memicu mental
dan adrenalinku. Sisi introver dalam diriku seakan meronta
untuk tetap tinggal di dalam mobil. Aku menengok kembali
ke lantai dua yang sudah terlihat ramai. Perutku kembali
mulas membayangkan aku akan menjadi orang baru dan
pusat perhatian dalam kelompok teater itu.

Sudahlah, pulang saja! Jangan paksain sesuatu yang bukan
keahlianmu.

6

­ ­­ ­Kemudian, entah dari mana datangnya tanganku refleks
membuka pintu mobil dan kakiku melangkah keluar.
Sepertinya badanku berkhianat dengan isi pikiranku.

Awal mula masuk ke teater, rasanya minder sekali berada
di lingkungan seniman. Namun, lama kelamaan momok me
nakutkan itu hilang. Karena orang-orang yang berada di sana,
luar biasa menyenangkan. Tak perlu waktu lama untuk men
jadikan Teater Peqho sebagai rumah keduaku. Tempat aku
bisa mencurahkan hati dan pikiran menjadi sebuah karya
seni.

Aku sedikit terkejut bahwa aku yang introver ini bisa
melawan rasa gugupku ketika tampil di depan banyak orang.
Makin lama aku makin jatuh cinta dengan dunia seni peran
karena aku bisa menjelajah rasa dari karakter yang satu dengan
karakter yang lain. Bagiku mempunyai tempat berpijak seperti
Teater Peqho menjadi sebuah pelarian terbaik. Pada saat itu,
aku merasa betul-betul hilang arah. Kuliahku yang gagal
membuatku semakin tidak tahu akan seperti apa hidupku ke
depannya. Aku tidak punya apa pun untuk bertopang pada
dunia.

Aku tidak pernah merasakan patah hati yang begitu dalam.
Dulu, aku yakin bahwa dia satu-satunya orang untukku di
masa depan, tapi ternyata dunia berkata lain. Rasanya hatiku
tiba-tiba padam dan luka-luka sayatan itu masih basah oleh
tangis. Sehingga sulit bagiku membuka diri untuk orang lain.

Aku tidak pernah merasa berjalan sangat pincang, ketika
papa menjadi sangat lemah dan harus menjalani recovery yang
membutuhkan waktu cukup lama. Sosok papa yang selalu
menjadi bahu sadaranku, kuat, dan selalu menjadi motivasiku

7

untuk bergerak lebih maju pun sirna. Bahkan tawa yang
kurindukan sedikit kurasakan karena ia pun harus berjuang
untuk dirinya sendiri.

Lalu, mimpi-mimpi itu muncul. Mimpi merasakan rindu
disentuh oleh kedamaian. Mimpi berada di puncak semesta.
Seakan nyata dan aku betul-betul tenggelam di dalamnya.
Ada rasa haus dalam diriku untuk mencari nirwana dalam
mimpiku. Meredakan segala hiruk pikuk di kepalaku.

Helmy Wilson, seorang Ambon manise yang masih kental
sekali logatnya, adalah teman teaterku yang kali pertama
mempunyai ide untuk naik gunung bareng. Waktu itu, sehabis
latihan teater, kami belum beranjak pulang ke rumah. Ngobrol
ke sana kemari berbagi kisah dan cerita.

“Kalian harus cobain ke Semeru! Terakhir gua ke sana
setengah mati buat sampai puncak. Berat banget. Tapi indah
banget di sana. Asli, “ celetuk Wilson.

“Susah nggak naik gunung itu?” kataku sambil teringat
mimpi-mimpiku, tentang berada di negeri awan. Padahal aku
sendiri sampai usia segini pun belum pernah naik gunung.

“Nggaklah, nggak ada yang susah. Yang penting niatnya,”
kata Wilson kemudian.

“Bukannya capek ya, naik gunung itu?” kata Fatma, satu-
satunya teman cewek di teater yang tertarik dengan obrolan
naik gunung ini.

Aku bisa menyimpulkan, dia sama-sama buta soal gunung.
“Capek, sih, pasti. Tapi pengalamannya pasti nggak akan
lupa,” kata Bob sambil menghentikan petikan ukulele. Sosok
yang kata-katanya selalu bijak.

8

“Lo udah pernah, Bob?” tanyaku. ­ ­­
“Udahlah, naik gunung itu ngangenin!”
“Ya udah, yuk, kita nanjak!” kata Wilson dengan muka
semringah.
“Takut ah, takut nggak kuat” ujar Fatma.
“Tenang, ada trik tersendiri supaya bisa sampai puncak.
Percaya deh ama gua,” kata Wilson penuh percaya diri.
“Gua ikut! “ Teriakan Daniel membuat semua orang se
rentak membelalakkan mata. Dia memang suka membuat
kehebohan sendiri. Sosok blasteran Ceko dengan tinggi
hampir dua meter.
“Gua juga udah lama nggak naik gunung. Asli ngangenin,”
kata Tono salah satu senior kami di Peqho.
“Ya, udah, yuk! Tapi gua masih baru banget, nih,” sahutku
semangat meski sedikit ragu.
“Lo bakal ketagihan, Del, percaya, deh,” ujar Wilson yang
langsung diiakan oleh Bob.
Malam itu kami berenam membahas cerita-cerita tentang
gunung. Cerita-cerita yang membuatku makin bersemangat
untuk pergi menyapa mimpiku. Ada ketakutan, itu pasti.
Apalagi banyak cerita-cerita mistis yang sering kudengar.
Dalam pikiranku, apa aku bisa ya bertahan di tengah hutan
belantara dan gunung yang luar biasa besar itu. Kalau nyasar
gimana? Kalau mau pipis gimana? Kalau ada ular gimana?
Dan masih banyak kalau-kalau yang lainnya.
Aku teringat dulu Papa pernah bercerita tentang gunung
yang pernah ia daki. Gunung Gede, salah satu gunung ter
nama di Indonesia. Dia bercerita bahwa ia pernah mendaki
berdua bersama seorang sahabat karibnya yang kini sudah

9

tiada. Mereka sampai di puncak dengan segala suka duka, ­ ­ ­ ­­­ ­ ­
tetapi sayangnya, sahabat karib Papa sakit dan tidak mampu
melanjutkkan perjalanan, hingga ia harus membopong turun
sahabatnya seorang diri ke bawah. Dulu, ketika papa men
ceritakan itu aku sama sekali tidak terbayang bagaimana rasa
nya. Aku hanya senang mendengar certita-cerita petualangan
Papa ketika muda.

Bisa dikatakan aku termasuk beruntung karena mem
punyai masa kecil yang luar biasa menyenangkan di Yogya,
kota kelahiranku, dan kemudian pindah ke Bali sewaktu aku
SMP. Aku yang anak tunggal ini selalu mendapat kasih sayang
luar biasa dari Papa dan Mama. Kami keluarga yang seder
hana, tapi aku selalu merasa kaya akan cinta dari mereka.
Mereka tipe orangtua yang bisa menjadi sahabat dan teman
berbincang. Mereka juga yang membuatku suka traveling.

Gimana aku nggak suka traveling, dari masih balita saja
aku sudah diajak road trip bersama mereka. Orangtuaku suka
sekali road trip mengendarai mobil dari kota ke kota. Semasa
kami tinggal di Bali, setiap tahun kami selalu menghabiskan
lebaran di Bandung, kota asal Papa, dan Yogya, kota asal
Mama. Kami road trip dari Bali menuju Yogya, lalu ke
Bandung. Perjalanan yang memakan waktu berjam-jam
lamanya di mobil itu menjadi memori yang indah. Aku suka
sekali mendengarkan mereka berceloteh ditemani lagu-lagu
The Beatles, memandangi kota demi kota dari balik jendela
mobil, mencoba jajanan-jajanan sepanjang perjalanan kami
dan beristirahat di berbagai pom bensin. Ah, masa-masa itu,
ingin sekali aku ulang kembali.

***

10

­ Esoknya, kami mengadakan pertemuan lagi untuk mem
bahas tetek bengek tentang gunung. Hal ini diawali dengan
voting. Gunung mana yang akan kami datangi.

“Udah, Semeru saja. Puncak tertinggi di Jawa itu,” ujar
Wilson antusias.

“Yang cetek aja dulu, kasihan nih, Della, Fatma, sama
Daniel belum pernah naik gunung. Ntar kaget,” kata Bob
kemudian.

“Merbabu saja, bagus itu. Kangen gua, Merbabu. Buat
jadi gunung pertama nggak terlalu berat dibanding Semeru.
Jangan langsung yang tinggilah. Pengenalan dulu sama medan
di gunung,” sahut Tono menengahi.

“Nah, cakep! Setuju, tuh. Gunung-gunung yang cetek
aja dulu dijelajahi. Nanti baru gongnya di Semeru,” ujar Bob
seraya minta persetujuan yang lain.

“Gua belum pernah naik gunung, sih. Tapi benar kata Kak
Tono, kenalan sama medan dulu, baru ke Semeru. Pengin
banget gua ke Semeru. Ya, anggap saja nanti kalau udah sampai
Semeru berati gua udah lulus jadi anak gunung. Sekarang
belajar saja dulu di gunung-gunung yang lain,” kataku.

“Ya udah, Merbabu nih, ya!” kata Wilson.
“Berangkat!” sahutku antusias.

***

Merbabu, gunung yang berada di Kabupaten Semarang,
provinsi Jawa Tengah, ini akan menjadi gunung pertama yang
akan kujejaki. Gunung yang mempunyai ketinggian 3145
mdpl ini cukup populer di kalangan para pendaki. Sangat
mudah mencari infomasi tentang Merbabu.

11

Hampir tiap hari kuhabiskan waktu untuk mencari info
di internet soal gunung ini. Mulai dari baca-baca blog tentang
pendakian Gunung Merbabu hingga menonton vlog. Ya,
namanya pemula, masih luar biasa buta soal gunung. Namun,
dengan ngepoin gunung ini, setidaknya aku bisa sedikit
mengerti isi pembicaraan di grup Whatsapp ataupun saat
rapat.

“Kita mau lewat jalur yang mana, nih, enaknya?” kata Bob
memimpin rapat kecil kami, persiapan untuk ke Merbabu.

“Kemarin gua lewat Wekas, enak tuh pemandangannya,
bagus banget,” sahut Wilson.

“Wah, kalau lewat Wekas ada jembatan setan, lumayan
bahaya juga buat pemula. Jangan lupa kita bawa tiga orang
pemula, lho,” kata Tono. Sementara aku, Fatma, dan Daniel
lirik-lirikan.

“Lewat Selo aja, jalurnya aman buat pemula. Kita bisa
jalan dari Yogya, ntar gua ajak teman gua, si Dancor, buat
jagain kita. Dia udah sering lewat Selo, tuh,” kata Bob.

“Oke, Selo ya jadinya. Nah, sekarang siapa yang punya
tenda?” kata Wilson.

“Yang pasti bukan gua,” sahutku.
“Gampang itu tenda, bisa kita sewa nanti di Yogya. Ada
tempat peminjaman peralatan gunung langganan si Dancor.
Butuh dua tenda saja, kan, buat kita. Bisa pinjam kompor juga
kita di sana nanti,” kata Bob.
“Peralatan masak gua aja. Ntar gua bawa wajan sama panci,
deh. Masing-masing bawa piring, gelas, sama sendok, garpu,
ya,” ujar Wilson dengan mata berkilat-kilat penuh semangat.

12

“Eh, ntar ada masak gitu di gunung?” tanyaku heran. Ya,
maklum baru kali pertama.

“Ya, iyalah, kalau nggak, kita mau makan apa?” sahut
Wilson.

“Kalau gitu, gua aja yang masak, ya! Senang nih, gua,
ada masak-masakan,” seruku sambil mulai mencatat dengan
bloknot kecil. Apa saja yang harus dibawa dan disiapkan.

Rapat kecil kami membuahkan perencanaan yang
matang untuk berangkat ke Merbabu. Kami mendaki tanpa
menggunakan porter dan guide, jadi semua perlengkapan
harus lengkap dan perencanaan harus matang.

Aku kebagian menjadi seksi konsumsi alias tukang
masak dan mempersiapkan segala bahan pangan dari hasil
urunan grup— per orang kena jatah lima puluh ribu rupiah.
Bob sebagai leader penunjuk jalan. Ia pun mempersiapkan
peralatan gunung, ditemani Wilson. Tono sebagai seksi
dokumentasi. Lalu, Fatma ditugasi membantuku dalam me
masak nanti. Daniel sebagai seksi entertainment, tugasnya
hanya menghibur di kala kami letih dan capek, semacam
pemberi semangat.

***
Ngomong-ngomong soal biaya, aku tersadar bahwa aku belum
punya satu pun peralatan gunung. Banyak juga, ya, yang harus
dibeli untuk pemula ini. Bisa tekor kalau aku kalap membeli
hal-hal yang nggak penting untuk dibeli.

Hasil tanya-tanya teman dan petugas di toko, barang-
barang utama yang harus dibeli oleh pendaki pemula, adalah
berikut ini.

13
­ ­­

• Carrier
Tas backpack ukuran jumbo ini wajib dipunyai oleh
seorang pendaki. Tentu saja, untuk membawa semua
keperluan gunung. Ukurannya macam-macam,
tergantung kebutuhan kita. Yang pasti makin banyak
bawaan, makin berat gendongan kita nanti. Ini perlu
diperhatikan juga. Kalau carrier terlalu berat, bisa
berpengaruh dengan performa ketika nanjak nanti.
Disarankan juga untuk yang bertulang belakang
bengkok atau skoliosis menggunakan carrier khusus,
sehingga tidak mudah pegal saat membawanya.

• Sepatu gunung
Medan di gunung sangatlah berbeda dengan alam
bebas biasa. Kadang jalur yang kita lewati itu curam dan
licin. Maka diperlukan sol yang bisa mencengkeram
pijakan kita. Ada banyak merek sepatu gunung dengan
banyak model dan pilihan. Saranku, pilihlah sepatu
gunung yang ringan. Lalu, ketika sudah membelinya,
pakailah terlebih dahulu beberapa waktu agar waktu
dipakai di gunung nanti sepatu sudah lentur dan tidak
meleceti kaki.

• Jaket gunung
Cuaca di atas gunung itu luar biasa dingin, pastinya
diperlukan jaket khusus untuk menghangatkan tubuh.
Belilah jaket yang berfungsi menahan angin dan water
resistant agar sewaktu hujan tidak mudah tembus ke
baju dalam. Biasanya jaket gunung berwarna cerah,
bukan untuk gaya-gayaan, tetapi supaya kita mudah
dilihat saat malam.

14

• Sleeping Bag ­
Belilah yang berbahan polar bulu angsa karena
mampu menghangatkan tubuh sewaktu tidur. Suhu
dingin di gunung bisa menyebabkan hipotermia, lho.

• Matras
Berfungsi sebagai alas tenda. Pilihlah matras yang
nyaman dan tebal, apalagi kalau tenda berada di atas
tanah yang berbatu.

• Long john
Baju untuk menghangatkan tubuh ini wajib digunakan
ketika suhu sudah mulai dingin. Walaupun sudah
menggunakan jaket, suhu dingin di atas gunung
masih bisa menembusnya.

• Trekking pole
Buatku, trekking pole berfungsi sekali untuk membantu
kita ketika menghadapi jalur yang sulit. Berfungsi
untuk menopang badan dan keseimbangan.

• Head lamp atau senter
Saranku langsung membeli head lamp saja karena
mempermudah penerangan perjalanan ketika malam
hari dan tanpa mengganggu fungsi tangan.

Nah, kalau sudah punya barang-barang penting di atas,
sisanya tinggal melengkapi pernak-pernik gunung lainya,
seperti baju yang cepat menyerap keringat, sarung tangan,
kupluk, peralatan makan, selimut alumunium foil yang guna
nya untuk berjaga-jaga ketika diserang hipotermia, pisau
serbaguna, kacamata hitam, dan jas hujan.

***

15

­Aku menjadi orang yang paling bawel bertanya tentang
persiapan naik gunung di grup Whatsapp yang kami beri
nama “Sunrise Hunter”. Ya tentu saja, pengalaman pertama
naik gunung membuatku super-excited. Dalam bayanganku,
sebentar lagi aku sudah bisa melihat indahnya Merbabu
seperti foto-foto dan video yang sudah aku kepoin selama ini.

GRUP CHAT

Peralatan gunung udah lengkap
gua beli, nih.
Ketikku di grup.
Mantap! Jangan lupa bahan
makanan juga. Btw masih rajin
cardio kan, lo? Tulis Bob.

Masihlah. Minimal 5 km tiap hari,
sampe ngos-ngosan gua.

Hal terpenting yang harus dilakukan apalagi untuk pemula
sepertiku adalah persiapan fisik. Biasanya badan akan kaget
ketika kita mulai mendaki gunung. Jantung berdebar kencang,
napas ngos-ngosan, sampai kepala berkunang-kunang, pusing,
dan muntah. Untuk mencegah hal itu terjadi, maka dilakukan
persiapan fisik, apalagi bagi yang jarang olahraga.

Persiapan fisik cukup mudah. Mulailah dengan cardio
atau lari minimal lima kilometer, selama dua minggu sebelum

16

naik gunung. Ditambah olahraga-olahraga ringan lainnya ­ ­­ ­­ ­
agar menambah stamina. Sehingga ketika hari H naik gunung
nanti, badan nggak akan kaget dan fisik kita pun jadi nggak
gampang capek atau loyo.

H-1 sebelum keberangkatan ke Yogya, aku mengecek lagi
kelengkapanku sebelum akhirnya dimasukkan ke carrier.
Cara paling mudah adalah menjejerkannya sambil mengecek
kembali barang yang kurang, lalu jika sudah lengkap, satu per
satu dimasukkan ke carrier.

Aku merebahkan diriku ke kasur, menatap langit-langit
dan kembali bergelut dengan pikiranku sendiri. Ada rasa antu
sias yang membuat perutku mulas saking senangnya. Mem­
bayangkan besok adalah sebuah petualangan baru untukku.

Petualangan baru atau alasanmu untuk kabur dari dirimu
sendiri? Hati kecilku kembali memanipulasi perasaan.

Seperti tertinju oleh rasa kalut di ulu hati.
Kosong.
Hampa.
Perasaan itu sering sekali kurasakan. Apalagi dengan
banyaknya hal yang kuyakini meruntuhkan duniaku. Rasanya
segala yang ada di hadapanku layaknya tembok kokoh dan
tak bisa kutembus. Berat.
Gelap .
Jarak pandangku terbatas. Dan sering kali aku diselimuti
rasa sepi. Tak ada lagi yang bisa kupercaya. Bahkan dengan
langkahku sendiri. Aku memejamkan mataku dan mencoba
menghiraukan semua ingar bingar di kepalaku.

17

Lari saja terus... dan lihat, apa itu dapat memecahkan
semua masalahmu?

Aku membuka mataku kembali dan termenung.
Aku rasa aku juga berhak untuk berbahagia, apalagi
untuk diriku sendiri. Jika esok adalah jawaban dari semua
masalahku, aku harus berlari mengejarnya.

***

18

#2
Menggapai Puncak Impian

Ingar-bingar Stasiun Yogyakarta pagi itu penuh sesak,
dipadati oleh berbagai macam orang dengan tujuannya
masing-masing. Turis-turis lokal, sanak keluarga melepas
rindu, pedagang asongan, porter panggul, dan kami berenam
dengan carier besar-besar ini menerobos kerumunan di peron
kedatangan.

Aku yang masih tertatih-tatih dengan carrier baruku
berusaha menjaga keseimbangan badan. Carier ini memang
sudah didesain sedemikian rupa sehigga tidak mudah pegal
ketika dipanggul. Namun, tetap saja kalau belum terbiasa,
rasanya kayak gendong anak SD.

Kami menggunakan taksi menuju rumah Apip, pamannya
Daniel, di daerah Sleman. Ia merupakan pengusaha batik
Pekalongan. Ia memiliki rumah bergaya joglo dengan kamar-
kamar kecil yang disewakan untuk turis-turis, dan dengan
baik hati ia mengizinkan kami untuk menginap gratis. Se
sampainya di sana kami beristirahat sebentar, lalu kembali
membicarakan perjalanan kami esok hari menuju Selo.

Dancor, teman karib Bob, akhirnya datang dan bergabung
bersama kami. Kesan pertama ketika kali pertama bertemu

19
­­

dengan Dancor, nih, anak nyeni banget. Rambutnya gimbal
ala Bob Marley dan baju gombrong-gombrong. Naik gunung
sudah bukan hal baru untuknya, dia bercerita bahwa dirinya
sudah dua kali mendaki Merbabu.

“Pemandangan paling bagus, sih, lewat Selo, ya. Kita nanti
nginap di Sabana 1, saja,” katanya.

“Nah, tapi di sana nggak ada mata air, kita harus bawa dari
bawah,” sahut Bob.

“Ya, kalau gitu seorang bawa wajib satu botol minum
kemasan yang gede, ya.”

“Memangnya cukup? Kita, kan, masak juga, lho,” ujarku
sambil mengingat lagi menu masak di atas gunung nanti.

“Nanti bawa water bladder gua aja buat masak,” kata
Dancor kemudian.

***
Kami lalu mengecek lagi semua keperluan untuk terakhir
kali. Mumpung masih di kota, masih bisa beli peralatan yang
tertinggal. Dancor menghubungi seseorang yang bertempat
tinggal di basecamp Merbabu. Memastikan kembali kondisi di
Merbabu aman untuk kami daki.

Aku melipir untuk menelepon Mama, mengabari bahwa
sudah sampai di Yogya dan akan berangkat naik gunung
besok. Sebenarnya berat untuk Mama melepasku pergi
kemarin. Anak satu-satunya, perempuan pula, pergi untuk
naik gunung. Bahkan ketika ide itu terlontar dari mulutku,
Mama sempat bertanya, “Kamu yakin? Ini bukan sekadar ke
luar kota, Dek. Ini gunung, hutan belantara.”

20

Aku meyakinkan dia bahwa sudah sekian lama aku
memimpikan bisa berada di puncak ancala dan ada perasaan
yang sulit sekali aku bisa gambarkan, seakan semua jawaban
dari pertanyaanku tentang dunia ada di sana.

Mama hanya bisa menuruti kehendakku dengan
memberikan izin. Aku tahu tidak semudah itu dia memberi
izin, hanya saja aku bisa menebak isi pikiran Mama. Yang
penting aku bahagia. Anak semata wayangnya yang sudah
cukup banyak berubah murung belakangan ini.

Sebenarnya, kalau di hadapan Mama, aku berusaha
sedemikian rupa agar kelihatan baik-baik saja atau kelihatan
bahagia. Namun, tentu saja Mamaku bukan orang kemarin
sore yang tahu ada yang nggak beres sama diriku. Mama
satu-satunya orang yang bisa kujadikan bantal tangisan dan
kuluapkan isi hatiku kepadanya. Mungkin karena aku anak
tunggal, hubunganku dengan Mama seperti sahabat juga.
Begitupun dengan Papa, aku dekat sekali dengannya.

Papa juga alasanku untuk kuat dan bangkit dari keter
purukan. Setelah sebulan dirawat di rumah sakit, papa pulang
ke rumah, tapi masih sangat perlu mendapatkan atensi
khusus. Pencernaannya masih kurang bagus, terlihat masih
kurus kering dan sering muntah. Mama mendadak berubah
menjadi suster yang 24 jam siap sedia di samping Papa.

“Nanti, kalau sudah sampai puncak Merbabu, Dedek
kirim fotonya sama Papa, yah,” kataku disambut anggukan
lemah Papa kala itu.

***

21
­ ­­

­ ­ ­ ­­Esoknya, kami diantar oleh salah satu karyawan Paman Apip
menuju basecamp Selo. Perjalanan dari Yogyakarta menuju
Selo sekitar dua jam. Kecamatan Selo masuk wilayah Boyolali,
Jawa Tengah, berada di tengah-tengah Gunung Merbabu dan
Gunung Merapi. Untuk menuju Selo dari Kota Boyolali bisa
menggunakan bus kecil jurusan Cepogo/Selo. Bus kecil ini
tidak parkir di Terminal Boyolali, tapi biasanya menunggu
penumpang di Pasar Sapi.

Sesampainya di Selo, kami disambut kabut tipis dan cuaca
dingin. Aku suka sekali pemandangan seperti ini, sudah lama
aku tak merasakannya. Sejauh mataku memandang terlihat
nuansa hijau yang menenteramkan mata, pohon-pohon
rindang di sepanjang jalan, dan rumah-rumah sederhana
yang terasa hangat. Disertai dengan hawa dingin yang menye
jukkan,

Basecamp Pak Bari adalah salah satu dari rumah warga
setempat yang dijadikan basecamp resmi Merbabu. Ada
banyak basecamp memang di sini yang menawarkan tempat
pemberhentian sementara untuk para pendaki sebelum
mendaki ke puncak. Biasanya basecamp-basecamp ini buka
24 jam, menyediakan sewa peralatan gunung, dan layanan
informasi-informasi tentang Merbabu.

Rumah Pak Bari cukup sederhana, tapi luas untuk me
nampung banyaknya pendaki yang memilih untuk istirahat di
rumahnya. Aku mengamati dinding-dinding rumah Pak Bari
yang penuh oleh tempelan stiker-stiker gunung yang ditempel
organisasi-organisasi pencinta alam. Di salah satu sudutnya
tertempel foto-foto dari para pendaki yang sudah berhasil
sampai di puncak Merbabu.

22

Pak Bari, seorang pria paruh baya yang terlihat masih bugar,
dengan sangat ramah menyapa kami dan mempersilakan
kami masuk untuk beristirahat di rumahnya.

“Cuaca hari ini lagi nggak bagus, tadi hujan dan anginnya
kencang. Kapan mau naik? Saran saya lebih baik besok pagi
saja. Takut badai kalau malam ini hujan lagi,” kata Pak Bari.

“Iya, Pak, rencananya juga kami mau bermalam di sini
dulu sehari, sambil persiapan naik, Pak,” kata Dancor yang
sepertinya sudah cukup lama mengenal Pak Bari.

“Nggih, anggap saja rumah sendiri, ya. Kalau butuh apa-
apa, bilang saja ke saya atau orang rumah. Kamar mandinya
ada di bawah,” kata Pak Bari kepada kami semua.

Setelah berterima kasih kepada Pak Bari, aku menggelar
sleeping bag di pojok ruang tamu, begitupun Fatma, sementara
yang lainnya hanya menaruh tas di dekat kami.

“Mau tidur siang, Del? Masih siang bolong gini. Nggak
mau jalan-jalan di sekitar sini?” kata Bob.

“Nggak tidur, gelaran doang, sih, biar orang tahu ini
lahan gua. Takut ntar ada banyak pendaki datang, kita nggak
kebagian tempat.”

“Hahaha, nggaklah Del, taruh tas saja di sini, dijamin
aman, kok. Nggak akan ada yang mindah-mindahin juga.
Asal bawa barang berharga aja kalau mau ditinggal tasnya.”

“Oh, gitu ya, ya udah gua lipat dulu, deh, ini sleeping bag
biar nggak kotor.”

“Gua tunggu depan, ya,” kata Bob seraya berjalan ke pintu
depan.

23

Kami pun berjalan-jalan menyusuri jalan turunan dari
rumah Pak Bari. Sepanjang jalan di kanan kiri kami disuguhi
perkebunan warga setempat seperti daun kol, wortel, dan
kentang. Udara yang begitu bersih membuatku berkali-
kali menarik napas panjang mengisi paru-paru. Cuaca yang
sejuk walaupun terik siang hari. Warga desa yang terkadang
berpapasan dengan kami menyapa dengan ramah. Tenteram
sekali rasanya.

Aku dan Fatma mampir di sebuah warung sembako untuk
membeli keperluan masak. Sayur sop dan perkedel adalah
menu wajib yang sudah kurencakan akan dimasak ketika
di gunung nanti. Untungnya aku lumayan bisa diandalkan
dalam urusan masak-memasak. Setidaknya kami bisa makan
sehat dan menghindari untuk makan mi instan ketika di atas
gunung.

Malamnya kami menikmati bintang di jalanan depan
basecamp. Aku terpana melihat kerlip-kerlip bintang yang
bertaburan di langit malam. Terang benderang sekali bintang-
bintang ini. Bob bilang di atas nanti akan lebih indah lagi, kalau
beruntung kita bisa menikmati milky ways. Membayangkan
bahwa besok aku akan berada di atas gunung membuat
perutku mulas saking excited.

Sebentar lagi aku akan berada dekat dengan bintang-
bintang di atas sana.

***
Kami berangkat pukul 7.30 pagi dari basecamp, setelah itu
mendaftar masing-masing di pos jaga. Tak lama kami sampai
ke gerbang yang bertuliskan “Jalur Pendakian Selo”. Banyak

24

pendaki berfoto di gerbang pendakian ini untuk sekadar ­­ ­­ ­
pengingat bahwa di gerbang inilah dimulainya petualangan
ini.

“Teman-teman, kita berdoa dulu sebelum mulai pen
dakian.” Bob memberi aba-aba kepada kami untuk mem
bentuk sebuah lingkaran kecil. Dengan khusyuk kami berdoa
menurut kepercayaan masing-masing.

Ya Tuhan, lindungilah kami. Tuntunlah jalan kami nanti
agar bisa kembali pulang dengan selamat.

“Kita harus ada yel-yel, deh,” usul Wilson.
“Kayak Pramuka aja pakai yel segala,” kata Tono dengan
alis berkerut tak setuju.
“Biar solid kita,” jawab Wilson kembali.
“Gini aja, kan, kita bertujuh, nih. Yelnya ‘pergi 7, pulang
7’. Kita, kan, nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kita lagi
di gunung. Ya, sebagai pengingat, kalau apa pun yang terjadi,
kita pergi bertujuh, ya pulang harus bertujuh lagi.” Usulan Bob
membuat kami semua mengangguk setuju termasuk Tono.
“Kalau tiba-tiba pulangnya jadi berdelapan gimana? Tapi
yang satu lagi nggak kelihatan,” tanya Daniel dengan mimik
muka polosnya, disambut tawa dari kami semua.
Kami lalu membentuk lingkaran, menyatukan tangan
kami, meneriakkan yel yang baru saja kami sepakati. “Pergi
7, pulang 7!”
Memasuki gerbang adalah menuju dunia lain yang jauh
dari ingar-bingar. Kami disuguhi rimbunan pohon-pohon
besar yang tertutup lumut dan membentuk payung-payung,
menjadikan perjalanan kami teduh oleh sinar matahari.

25

Vegetasi yang tertutup rapat, barisan pohon-pohon pinus
membentuk gugusan yang indah menemani perjalanan kami.
Track perjalanan yang berupa tanah padat masih landai,
walaupun makin lama makin menanjak.

Begini rasanya berada di hutan belantara, pikirku sesaat
sambil tersenyum kepada diri sendiri. Suara burung entah apa
bersaut-sautan merdu. Udara bersih mengisi paru-paruku.
Terpaan angin sejuk menggelitik leherku. Menyenangkan
sekali bersentuhan dengan alam seperti ini.

Belum ada setengah jam berjalan, Fatma sudah minta
berhenti. Jantungnya nggak kuat katanya. Berdetak terlalu
kencang dan ngos-ngosan. Kami menenangkannya, bahwa
hal itu sangatlah wajar, dan Fatma juga mengaku kurang
latihan sebelum naik Merbabu. Jadi secara fisik masih sangat
kaget tiba-tiba harus berjalan terus dan menanjak.

Setelah tenang, kami melanjutkan perjalanan, walaupun
setiap lima belas menit sekali Fatma minta berhenti. Aku
sama sekali nggak keberatan karena aku pun masih perlu
beradaptasi dengan lingkungan, dan untungnya jantungku
lumayan masih terkendali berkat latihan lari sebelum pergi ke
Merbabu.

Di saat-saat istirahat itulah kami berbagi camilan dan
celotehan, terutama Daniel yang sedari tadi menyanyi.
Memang nggak sia-sia memberi dia tugas sebagai entertainer,
selain suaranya memang merdu dan dia menyanyi seriosa bak
pertunjukan opera, kami bisa berhemat baterai JBL sound
untuk di atas nanti.

Kami berjalan menyusuri jalan setapak dengan lebar
kurang lebih setengah meter. Aku cukup kaget juga, ternyata

26

naik gunung tak sesulit yang kukira. Kupikir aku harus
menerobos hutan belantara yang lebat. Namun, ternyata
kami hanya perlu menelusuri jalan setapak yang cukup lebar
ini. Bahkan petunjuk-pentunjuk arah sudah terpasang rapi
memudahkan para pendaki untuk sampai ke puncak dengan
selamat.

“Gua baca banyak artikel soal pendaki yang tersesat. Kok,
bisa, ya? Kan, jalurnya udah enak banget, nih. Nggak perlu
nerobos hutan. Plang penunjuk arah juga udah jelas banget,”
tanyaku pada Dancor yang kebetulan jalan di sebelahku.

“Rata-rata yang nyasar itu pendaki yang nakal karena
coba jalur baru yang masih hijau, Del. Atau bisa juga track
cukup sulit, jadi jalurnya nggak kelihatan. Merbabu apalagi
via Selo memang punya jalur yang cukup mudah daripada
gunung-gunung yang lain.” Aku mengangguk mendengarkan
penjelasan Dancor.

Setelah melewati jalur yang mudah, kini jalur di hadapanku
makin lama makin menanjak. Jantungku yang semula aman-
aman saja, makin berdetak kencang ngos-ngosan. Keringat
dingin mulai mengucur di pelipisku.

Ngapain, sih, capai-capai naik gunung? Apa, sih, yang kau
cari? Sana balik. Mumpung belum jauh.

Aku menggelengkan kepala. Menepis pikiran yang mulai
memanipulasiku.

“Del, mau nggak?” Wilson menyodoriku koyo yang sudah
dipotong kecil-kecil. Alisku berkerut heran.

“Buat apaan?” tanyaku kemudian.
“Gua udah potongin kecil-kecil buat ditaruh di hidung
kayak gini.” Wilson kemudian menempelkan potongan koyo

27

­ ­­­ ­ ­itu ke batang hidungnya. “Biar napasnya enak. Jadi plong,
gitu, lho.”

Aku tak menjawab, tapi langsung kupraktikkan seperti
yang Wilson lakukan tadi. Rasa hangat dari koyo yang
tertempel membuat napasku jadi lega. Fungsinya seperti
inhaler untuk hidung mampet.

“Lumayan juga ide lo,” kataku kepada Wilson.
“Berhenti bentar boleh, nggak?” ujar Fatma dengan muka
kepayahan dan basah oleh keringat. Mau nggak mau kami
mengikutinya untuk beristirahat kembali.
“Ada yang mau nggak?” Tono menawari kami roti sobek.
Aku menggeleng sopan. Perutku masih aman dari rasa lapar.
“Gua taruh di sini ya kalau ada yang mau. Gua mau pipis
dulu.” Tono menaruh roti sobeknya di sebuah batu besar.
Aku duduk menyandar pada sebuah pohon dan me
mejamkan mata. Enak sekali rasanya mendengar nyanyian
hutan seperti ini. Gemerisik angin yang menerobos rimbun
pepohonan, kicau burung yang bersahut-sahutan, lalu suara
serangga-serangga hutan yang terdengar merdu.
“Roti gua ke mana? Tadi gua taruh di sini.” Suara Tono
membuatku membuka mata. Teman-temanku yang lain pun
ikut mencari ke mana perginya si roti.
“Ada yang nyuri roti lo, Ton. Tuh!” Bob menunjuk ke salah
satu batang pohon besar. Seekor monyet bertengger dengan
manis sambil asyik menyantap roti sobek milik Tono. Rupa
nya sedari tadi kami diikuti teman kecil ini. “Berarti Pos 1
bentar lagi, nih. Itu monyet memang selalu ada di jalur ini
untuk minta upah jalan atau minta camilan sama pendaki-
pendaki yang lewat,” kata Bob.

28

­­ ­ ­ ­ ­“Ini beneran sebentar lagi, apa lo cuma mau nyenengin
kita doang?” kataku membayangkan berapa lama lagi per
jalanan kami.

“Beneran bentar lagi. Yuk, lanjut jalan.” Bob memberi
kami aba-aba untuk melanjutkan kembali perjalanan kami.

Setelah setengah jam mendaki jalur yang lumayan nanjak,
akhirnya aku bisa menjejakkan kakiku di Pos 1 Merbabu.
Rupanya Pos 1 hanya berupa sepetak lahan kecil yang di tengah-
tengahnya ada plang dengan tulisan “Pos 1 Dok Malang”. Aku
langsung menyelonjorkan kaki dan menyandarkan tubuhku
ke pohon yang cukup rindang. Duh, nikmat betul rasanya bisa
meluruskan kaki begini.

Ada banyak pendaki yang baru turun gunung melewati
kami dan mereka menyapa memberi semangat, padahal kenal
juga nggak. Bahkan ada juga yang memberi bekal kue milik
nya dengan sukarela karena bagi mereka, kami lebih mem
butuhkan untuk perbekalan.

“Kalau di gunung semua orang jadi teman, saling bantu,
jiwa sosialnya langsung tinggi,” kata Wilson. Aku mengangguk
setuju. Di gunung seluas ini hanya kami manusia-manusia
yang saling menggantungkan diri satu sama lain. Tidak heran
bahwa kami jadi berjiwa sosial tinggi.

“Udah jam 10 nih, geng,” ujar Bob mengingatkan kami
kalau sebelumnya sudah tiga jam lamanya kami berjalan.
Harusnya hanya sekitar dua jam saja sudah bisa sampai Pos
1 dari gerbang masuk, tapi karena tadi kami kebanyakan
berhenti, maka cukup memakan banyak waktu untuk sampai
di Pos 1.

29

Setelah puas selonjoran, kami melanjutkan perjalanan ­­ ­­ ­ ­ ­­ ­
kami. Dari Pos 1 ke Pos 2 track mulai menanjak nonstop.
Hanya sedikit ‘bonus’ atau jalanan landai untuk sekadar meng
istirahatkan dengkul. Pepohonan rimbun mulai tertinggal di
belakang kami, berganti dengan jalur yang bervegetasi sedikit
terbuka. Pemandangan pun mulai memanjakan mata.

“Boleh nggak sih tidur siang bentar di sini? Enak banget
ini gua,” kata Tono dari atas dahan pohon yang menggelantung
rendah ke tanah tempat kami beristirahat.

“Silakan, nanti kita tinggalin,” kata Bob berseloroh.
“Katanya pergi 7, pulang 7,” sahut Tono lagi sambil
merem-merem.
Aku memilih untuk beristirahat sambil berdiri dan
bertumpu pada stick gunung. Badanku sudah mulai panas dan
kalau duduk sebentar bisa keterusan enaknya macam Tono.
“Aduh, lapar, nih,” ujar Daniel.
“Sabar, kita makan di Pos 3, ya. Pas, nih, ini jam 11, sampai
Pos 2 jam 12-anlah. Habis itu ke Pos 3 dekat, kok, dari Pos 2,”
kata Bob.
“Semua aja lo bilang dekat, Bob,” kataku misuh-misuh.
“Kalau mau makan, cepat, istirahatnya jangan lama-
lama. Yuk, jalan,” ujarnya lagi sambil berdiri dan bersiap jalan
kembali.
Untuk menuju Pos 2 rupanya kami harus melewati tan
jakan terjal, dengan kemiringan hampir enam puluh derajat.
Medannya masih berupa tanah padat dan sudah menyerupai
gundukan tangga. Rasanya aku bisa mencium dengkulku
sendiri ketika menaiki undakan-undakan ini. Bahkan ada

30

­­­ ­­ ­­tanjakan yang sampai harus memanjat bak Spiderman demi
melewati undakan-undakan curam. Medan yang terjal penuh
tanjakan ini disebut tikungan macan.

“Nggak ada macan, kan, ya di sini?” kataku sambil
celingukan. Entah mengapa disebut tikungan macan, aku
terbelalak ketika kali pertama mendengar namanya.

“Haha, nggak, Del, namanya doang tikungan macan.
Mungkin dulu pernah ada, tapi sekarang udah nggak. Ya,
namanya di hutan, macan pasti ada, tapi di sisi lain hutan
belantara sana. Nggak di jalur pendakian, tenang aja,” ujar
Dancor menenangkan.

Aku mengamati wilayah hutan belantara yang disebut
Dancor. Wilayah dengan vegetasi yang tertutup sangat
rapat oleh pepohonan dan cukup jauh dari jalur tempat aku
berdiri. Habitat alami bagi para penduduk hutan yang kian
hari semakin terdesak oleh pembangunan. Rumah bagi para
satwa liar yang tak terjamah oleh manusia.Setelah melewati
tikungan macan, kami pun sampai di “pos bayangan” yang
ternyata kami belum menyentuh Pos 2 sama sekali. Mungkin
dinamakan pos bayangan sebagai tempat kami istirahat dari
tikungan-tikungan macan tadi. Aku kembali meluruskan
kaki dan merebahkan tubuh ke carier. Rasa lapar mulai
merongrong perutku. Aku mengeluarkan telur asin untuk
kumakan, berguna sekali sebagai camilan penambah energi.

“Mbak, mau nata de coco, nggak?” ujar seorang pria yang
sedang duduk beristirahat tak jauh dariku.

“Eh, Mas nggak apa-apa, nih, kok, dikasih nata de coco?”
kataku sambil menerima wadah semangkuk besar.

31

“Nggak apa-apa Mbak, kan, saya juga mau turun. Dari ­­ ­
pada berat carier, sekalian ringanin.”

“Makasih ya, Mas. Niel mau nggak?” kataku menawari
Daniel. Tak perlu ditanya Daniel langsung menghampiri,
lantas menyerobot wadahnya.

“Barengan makannya sama yang lain, jangan maruk!”
ujarku.

“Maruk itu apa?” katanya kemudian.
“Egois!” kata Bob sambil ikut menyerobot nata de coco.
Dan isi semangkok besar itu lenyap nggak sampai lima menit
untuk kami bagi rata suapannya.
“Kemarin malam anginnya lumayan kenceng, di bawah
berangin juga, nggak?” kata si pendaki yang berbaik hati
membagikan makanan tadi.
“Nggak, sih, eh ini Mas naik sendirian?” tanya Bob.
“Iya, saya naik sendiri. Selalu sendiri kalau naik gunung.
Enak, lho.”
“Nggak takut, ya, Mas, sendirian gitu?” tanyaku
“Wah, apa yang mesti ditakutin? Nggak ada apa-apa, asal
kitanya niat baik. Sampai atas juga banyak temannya nanti.
Nih, lagi istirahat juga ketemu kalian, kan.”
Iya juga, ya, batinku. “Nggak kesepian, Mas, jalan sendiri
gitu?” tanya Wilson kemudian.
“Haha, ya ndak, toh. Kadang malah enak jalan sendiri.
Bisa ngobrol sama diri sendiri, sesuatu yang mungkin nggak
dilakuin kalau dalam kondisi ramai.”
Ngobrol dengan diri sendiri adalah hal yang sulit kulaku
kan akhir-akhir ini. Aku merasa belum tahu tujuan hidupku,

32

yang kulakukan hanya menjalankan kakiku saja dan meng ­­ ­ ­­ ­ ­ ­
ikuti arusnya. Namun, bukannya hidup perlu sebuah tujuan
utama? Seperti sekarang, langkah kakiku bergerak menuju
Pos 2, kemudian pos-pos selanjutnya, hingga bermuara ke
puncak Merbabu.

Sudah kubilang, kamu hanya berlari dari jalur yang sudah
ditentukan. Sampai kapan kamu akan kabur ke dunia khayal,
lalu kembali ke realitas? Setelah sampai puncak Merbabu, lalu
apa yang akan kamu lakukan?

Aku mendesah memikirkan jawaban untuk pertanyaan
dari batinku.

“Pos 2 sudah dekat kok dari sini, saya duluan, ya. Pengin
minum es teh manis di basecamp Pak Bari,” ujar pendaki nata
de coco itu pamit sekaligus membuyarkan lamunanku.

“Yuk, kita juga jalan,” kata Bob seraya berdiri.
Benar saja, hanya berjalan dua puluh menit kami sampai
di Pos 2 Pandean. Pos ini tidak terlalu besar dan diselimuti
tanaman-tanaman yang mengakar. Kami memutuskan ber
istirahat sebentar saja di sini karena ingin mengejar makan
siang di Pos 3.
Perjalanan menuju Pos 3 termasuk berat karena jalan
nya menanjak dan terjal, juga medan yang berupa batuan-
batuan besar dan licin. Vegetasi pun makin terbuka, sudah
mulai jarang pepohonan rimbun menemani perjalanan
kami berganti padang berbatu besar-besar, luas dan gersang.
Sepanjang perjalanan dari Pos 2 ke Pos 3 kami banyak diam.
Mungkin pengaruh capai dan terlalu lapar sehingga nggak
mau buang energi untuk berbicara. Bahkan Daniel pun tak
melaksanakan tugas sebagai seksi entertainer menyanyikan
lagu-lagu penyemangat saking laparnya.

33

Setelah satu setengah jam perjalanan sampailah kami di
Pos 3 yang cukup lapang, betul-betul luas sekali. Bahkan bisa
membangun beberapa tenda di sini kalau memang sudah
kelelahan dan bermalam di Pos 3. Waktu menunjukkan pukul
setengah dua siang. Lumayan terlambat untuk makan siang.
Kami buru-buru mengeluarkan alat masak, lantas aku dengan
gesit menata bahan-bahan untuk dimasak.

Kami berbagi tugas—Wilson secara suka rela membantu
untuk memasak nasi, aku memasak sop dan menggoreng
perkedel, sementara Fatma membantuku memotong-motong
wortel dan kentang untuk bahan sop. Untung saja kami
membawa dua kompor, jadi satu kompor bisa untuk menanak
nasi dan satunya kupakai memasak. Bahan untuk perkedel
sengaja sudah aku buat di basecamp Pak Bari, sudah setengah
jadi, tinggal dicampur dengan kentang dan digoreng saja. Di
samping menghemat waktu memasak, juga meminimalisasi
sampah.

Setengah jam kemudian masakan matang, lalu kami
makan bertujuh ditemani playlist lagu-lagu gunung dari
Dancor. Banda Neira, Fourtwenty, bahkan Dewa19 bergantian
menemani makan siang kami, di ketinggian lebih dari 1800
mdpl ini. Nikmat sekali rasanya, makan sop dan perkedel
seadanya dengan rasa luar biasa. Dengan kondisi capai, lapar,
maka mau masakan cuma telur goreng saja pasti nikmat.

Jam di handphone-ku sudah menunjukkan pukul tiga
sore, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 4 atau Sabana
1, tempat kami akan mendirikan tenda. Tentu saja, medan
dari Pos 3 menuju Sabana 1 bukan main terjalnya. Katakanlah
empat kali lipat tikungan macan. Saking terjalnya, nggak
jarang aku kembali merangkak naik macam Spiderman.

34

Jalurnya bukan lagi tanah, tapi batu-batuan besar dan kerikil.­ ­ ­ ­ ­­­ ­ ­ ­
Ada pula yang mengharuskan kami naik menggunakan tali
tambang saking curamnya, sudah bukan ketemu dengkul lagi,
sih, ini namanya.

Pemandangan bunga edelweiss mulai terlihat oleh mata.
Ini kali pertama aku melihat bunga yang legendaris itu. Karena
terlalu jauh dan dengan medan yang sulit, jadi agak susah
untuk mendatangi bunga-bunga edelweiss. Namun, setidak
nya pemandangan itu bisa memberikan sedikit semangat
untuk melewati tanjakan setan ini.

Jalur di depanku sudah bukan lagi tanah datar. Namun,
tanjakan-tanjakan curam yang sangat berbahaya kalau tak
hati-hati dalam melangkah. Tanganku sudah kotor sekali
menggapai dahan-dahan dan batuan yang bisa kupegang
sebagai penyeimbang untuk naik.

Kayaknya aku sudah menanjak cukup tinggi, deh.
Dengan takut-takut aku mengengok ke belakang. Benar
saja, pemandangan di belakangku luar biasa indahnya. Nun
jauh di sana, Merapi dengan gagahnya menyapa, ditutupi
kabut putih tipis dan langit yang biru cerah. Pemandangan
yang aku nggak akan pernah lihat setiap hari.
Pos 3 terlihat kecil di bawah, cukup jauh juga kami sudah
nanjak. Awan-awan sudah mulai sejajar denganku. Aku me
mejamkan mata sebentar untuk memasukkan udara segar
ke paru-paru. Sedikit berbesar hati pada diri sendiri karena
sudah bisa sampai di titik ini.
Dancor dan Bob sudah jauh di depan, aku menyusul di
belakang mereka, dilanjutkan Daniel dan Tono, kemudian
Wilson menemani Fatma di belakang. Kami berkutat pada

35

tanjakan-tanjakan curam yang ada di hadapan masing-
masing. Sesekali kami berhenti untuk mengambil napas. Berat
juga harus memanjat terus-terusan begini.

Pada akhirnya, kakiku sampai di sebuah padang rumput
luas sekali dengan berlatar belakang Gunung Merapi. Mataku
tak berkedip memandang hamparan rumput hijau yang indah.
Lagit sore berubah jingga dan awan-awan menggulung sejajar
dengan pandanganku.

Sudah setinggi ini ya, aku?
Sabana 1 atau Pos 4 adalah tempat favorit para pendaki
untuk mendirikan tenda. Biasanya para pendaki mendirikan
tenda di Sabana 1 atau di Sabana 2. Karena sudah sore hari dan
sebentar lagi gelap, kami memutuskan bermalam di Sabana 1.
Bob mulai mencari lahan strategis untuk mendirikan
tenda. Dancor memberi kode agar mendirikan tenda di bawah
dua buah pohon yang rindang. Sehingga sedikit membantu
kami kalau ada badai, setidaknya pohon-pohon ini bisa kuat
menahan terpaan angin. Ada lima atau enam tenda yang juga
berada di camp Sabana 1 dengan jarak yang lumayan berjauh-
jauhan. Bob, Dancor, dan Wilson mulai mendirikan tenda
untuk kami, sementara aku dan Fatma memulai persiapan
memasak untuk makan malam.

***
“Tuh, milky way!” kata Bob dari luar tenda.

Aku bergegas memakai jaket gunung setelah berganti baju
dengan berlapis-lapis long john sebagai penghangat malam.
Angin dingin yang menusuk tulang langsung berembus
ketika aku membuka ritsleting tenda. Dingin sekali! Gigiku

36

gemeretak menahan dingin. Aku tak menyangka akan
sedingin ini, walaupun Bob pernah mengingatkan suhu
dingin di atas gunung disertai angin. Dancor membuat api
unggun di antara tenda kami untuk menghangatkan diri.

Aku mendongakkan muka ke atas untuk melihat apa yang
dibicarakan Bob. Gugusan bintang-bintang bergemerlapan di
angkasa. Membentuk sebuah aliran seperti sungai panjang.
Aku belum pernah melihat bintang-bintang sebanyak ini
seumur hidupku. Seakan tak percaya oleh mataku sendiri, aku
masih menatap langit dengan terpana.

Ya Allah, sungguh indah sekali ciptaanmu. Beruntungnya
aku bisa melihat ini secara langsung.

Ditemani api ungun, kami bersantai menyanyikan lagu-
lagu Coldplay sambil menikmati bintang-bintang yang
berpendar. Daniel anteng tiduran sambil nyanyi di hammock.
Kami duduk mengitari api unggun sambil sesekali berceloteh
riang. Bibirku tanpa sadar selalu menyunggingkan senyuman.
Hormon dopamin seakan menguasai tubuhku saat itu.
Perasaan bahagia yang tak bisa diungkap dengan kata-kata.
Seminggu seperti ini pun aku sanggup.

Aku dan Fatma memilih tidur lebih awal karena besok
hari besar bagi kami, yaitu summit attack. Karena kami
bermalam di Sabana 1, kami harus memberikan waktu lebih
untuk perjalanan dari Sabana 1 ke Sabana 2.

Para lelaki memilih untuk menghabiskan malam mereka
lebih lama. Sayup-sayup masih kudengar canda tawa mereka
dari luar tenda. Aku dan Fatma sudah bergelung di sleeping
bag masing-masing. Makin malam suhu di Sabana 1 ini makin
dingin, jari-jari tangan dan kakiku beku. Padahal aku sudah
memakai sarung tangan dan kaus kaki berlapis-lapis.

37

­­ ­ ­ ­­Besok, aku akan melihat puncak semesta dengan mata
kepalaku sendiri.

Aku memejamkan mata berusaha untuk tidur. Namun,
dingin yang menusuk tulang ini mengganggu keinginan
tidurku. Matras seakan tidak ada gunanya, aku masih meng
gigil kedinginan di balik sleeping bag. Pada akhirnya, capai
mengalahkan rasa dingin. Aku pun terlelap.

***
Pukul tiga dini hari, alarm handphone-ku berdering nyaring.
Aku bangun dengan mata sepet, rasanya masih kurang tidur.
Hanya saja summit attack menggelitik adrenalin, mataku
langsung terbelalak, segera aku membangunkan Fatma.

Ngomong-ngomong soal handphone, keterbatasan sinyal
di gunung membuat fungsinya hanya sebagai kamera, musik,
dan alarm. Waktu pun tidak terbuang sia-sia hanya untuk
men-scroll sesuatu yang nggak penting. Kadang mengenal
dunia luar lewat medsos itu penting, tapi seiring berjalannya
waktu, keberadaan medsos bisa menjadi sebuah kebiasaan
yang tanpa disadari menyita sebagian besar waktu. Jadi,
rasanya menyenangkan sekali bisa mempergunakan waktu
melakukan kegiatan yang berguna dan mengobrol dengan
teman-teman tanpa gangguan notifikasi dari handphone. Ya,
anggap saja detoks medsos.

Aku memakan telur asin dan setangkap roti untuk
sarapan. Kemudian, mengganti baju luarku, lalu menggosok
gigi. Enaknya kalau di gunung, mau sekucel apa pun, bahkan
nggak mandi sekali pun nggak akan ada orang yang peduli.

“Ada yang mau kopi?” ujar Bob

38

“Gua mau,” kataku sambil duduk di sebelah Bob me ­ ­ ­­ ­ ­
nunggu kopi tubruk racikannya.

Semua orang bersiap-siap untuk summit attack kecuali
Dancor. Ia lebih memilih untuk stay di tenda dan menjaga
barang-barang kami.

“Lo nggak apa-apa, Dancor, nggak ikutan summit attack?”
tanyaku.

“Nggak apa-apa, Del, gua juga udah sering naik Merbabu,
mampir ke puncak juga. Tenang aja, kan, gua ikut juga buat
bantuin Bob jagain kalian,” sahut Dancor sambil mengaduk
kopi buatannya sendiri.

“Iya, nih, rasanya jadi nggak adil aja nggak sampai puncak
bareng-bareng,” kata Wilson kemudian.

“Tenang, Dancor udah keseringan ke puncak Merbabu.
Udah bosan dia,” kata Bob kemudian.

“Haha, iya, udah tenang aja, puncak nggak akan lari ke
mana-mana. Gua masih bakalan sering datang ke Merbabu.
Paling kalian summit attack sejam, dua jam, udah balik ke sini
lagi,” kata Dancor menenangkan rasa nggak enak kami semua.

Setelah bersiap-siap, kami kemudian membentuk lingkar
an dan berdoa dipimpin Bob. Kali ini suasananya terasa
syahdu. Angin dingin seakan membangunkan kami dari
rasa kantuk. Hanya diterangi cahaya dari headlamp masing-
masing, kami berjalan menyusuri kegelapan.

Lumayan cukup menakutkan bagi pendaki pemula
sepertiku, berjalan di kegelapan sepenuhnya dan hanya ber
modalkan headlamp yang terpasang di kepala. Mataku tak bisa
menangkap visual apa pun di kanan kiri saking gelapnya. Aku

39

bergidik sesekali membayangkan hal-hal buruk dari makhluk ­ ­ ­ ­ ­­ ­ ­ ­
tak kasat mata mencoba mempermainkan pikiranku.

Fokus, Del, fokus. Nggak akan ada apa-apa. Aku men
coba memfokuskan diri dengan cara tak menoleh ke kanan-
kiri, dan hanya melihat cahaya dari headlamp yang menyoroti
langkah-langkah kakiku.

“Pokoknya lo harus selalu di belakang gua ya, Del,” kata
Bob yang berjalan paling depan sebagai leader.

“Oke.” Aku mengikuti sarannya. Di belakangku ada
Wilson, dilanjutkan Fatma, lalu Daniel, dan terakhir Tono
sebagai sweeper atau yang bertugas memastikan keberadaan
setiap anggota agar tidak ada yang ketinggalan.

Langkah-langkah kami menembus kegelapan. Tak ada
satu pun dari kami yang mengucapkan sepatah kata. Kami
tenggelam dalam pikiran masing-masing. Andrenalinku ter
pacu, rasa takut dan excited jadi satu. Udara dingin menembus
kulit, padahal aku sudah pakai baju berlapis-lapis, tetap saja
dingin menggerogoti tulang. Setiap napas yang aku embuskan
keluar asap saking dinginnya.

Kami melewati tenda-tenda pendaki yang terlihat sedang
bersiap-siap untuk melakukan summit atack. Perjalanan dari
Sabana 1 ke Sabana 2 masih berupa tanjakan tanpa bonus,
seperti bukit-bukit yang tanpa ujung, tapi masih ringan
daripada jalur dari Pos 3 ke Sabana 1. Lumayan untuk me
manaskan tubuh dari suhu dingin. Untung saja perjalanan
kali ini diringankan karena kami tidak membawa carrier,
hanya membawa tas-tas kecil untuk menaruh makanan kecil,
kamera, dan botol air minum. Carrier kami tinggalkan di
tenda. Enak juga nggak bawa carrier, ringan sekali jalannya.

40

­ ­­ ­ ­Walaupun tetap harus berhadapan dengan jalanan menanjak,
setidaknya tidak ada beban berat yang harus kupanggul
seperti sehari sebelumnya.

Angin dingin kembali berembus menggoda bulu kuduk.
Aku masih tak berani untuk menoleh ke kanan dan kiri.
Pikiranku masih dipenuhi oleh cerita-cerita mistis orang-
orang ketika naik gunung.

Jangan mikir macam-macam. Kan, niatnya baik, kalau di
pikirin makin kejadian. Ayo, fokus!

Sama hantu, kok, takut, gimana mau jadi pendaki?Aku
menggelengkan kepala, jengkel pada perdebatan dari diri
sendiri.

Dalam hal yang berhubungan dengan dunia mistis dan
makhluk yang tak kasatmata, aku memang penakut sekali.
Dulu, waktu SMP, aku jarang ikut kegiatan perkemahan se
kolah karena takut untuk berkemah di tempat yang angker.
Sekarang, berani-beraninya aku malah naik gunung.

“Sampai, nih, di Sabana 2,” kata Bob sambil menyenter
plang bertuliskan ‘Sabana 2 (2858 mdpl). Puncak (916 m, 1
jam 15 menit )’.

“Dikit lagi dong, ya!” kata Fatma sambil ngos-ngosan
mengambil napas.

“Dikit lagi, tapi justru rintangannya ada di atas nanti,
nanjaknya lumayan, lho,” ujar Tono.

“Kita istirahat di sini dulu, ya. Lumayan, nih, sambil ambil
napas,” kata Bob.

Aku merebahkan tubuh ke tanah yang dingin, menatap
langit yang masih diterangi bintang-bintang. Ada rasa bangga
tersulut tiba-tiba di benakku.

41

Sudah sampai di 2858 mdpl. Sudah sejauh ini aku me ­­­ ­ ­ ­ ­ ­­ ­
langkah. Ternyata aku bisa juga sampai sini.

Aku tersenyum sendiri. Perasaan ini meningkatkan
semangatku untuk segera sampai puncak. Aku bisa merasa
kan sesuatu yang menggelitik perutku, perasaan yang sulit di
jabarkan. Mungkin bisa diibaratkan seperti sebutir telur, lalu
telur itu tak sengaja retak, semakin lama retakan itu membesar,
dan sedikit lagi aku bisa merasakan keluar dari cangkang.

Dari dulu, aku selalu merasa bahwa aku orang paling
jauh dari yang namanya keberuntungan. Entah di setiap per
lombaan atau undian, tak pernah sekali pun aku menjadi
pemenang. Pernah sekali, itu zaman masih SD, ikut undian
antar RT dan RW dalam acara Syawalan di Yogya. Pada
waktu itu untuk kali pertama aku menang undian utama,
mendapatkan sebuah lukisan cantik yang sampai sekarang
masih dipajang di ruang tamu rumah kakekku.

Di sekolah aku bukan termasuk orang yang menonjol
untuk jadi sorotan utama. Ya, sedang-sedang saja. Makanya
aku cenderung pesimis dalam berbagai hal. Bagiku, lebih baik
pesimis daripada terlalu optimis, toh, aku juga nggak pernah
dapat apa yang kumau.

Mungkin tidak kali ini, rasanya aku bisa mendapatkan apa
yang kumau. Membuktikan pada diri sendiri bahwa diri ini
nggak secemen itu.

Yakin? Jangan terlalu optimis, kalau nanti jatuh, sakit
rasanya.

Batinku kembali berdebat sendiri. Aku mulai kedinginan
karena terlalu lama duduk diam. Sepertinya teman-temanku
merasakan hal yang sama. Daniel berlari-lari di tempat men

42

coba menghangatkan badan. Tono meniup-niup tangannya ­ ­­ ­ ­­ ­
agar tetap hangat. Fatma masih bergelung memeluk kakinya
di tanah. Wilson sedari tadi menyeruput kopi hangat dari
tumbler.

“Mari teman-teman, tantangan yang sebenarnya baru
dimulai,” kata Bob akhirnya bangun dan bersiap untuk me
lanjutkan perjalanan.

***
Jalur dari Sabana 2 ke puncak memang ‘hanya’ 916 meter lagi,
tapi kami harus melewati Watu Lumpang, sebuah batu seperti
lumpang atau tempat untuk menumbuk. Track yang berat dan
curam membuat kami harus merayap menggapai apa pun
di depan mata. Aku sudah tidak peduli tangan kotor karena
harus memegang tanah, batu, atau akar pohon untuk mem
bantuku merayap.

Kata orang summit attack merupakan perjalanan yang
sesungguhnya. Medannya yang paling berat, juga berisiko
tinggi. Beruntung, Merbabu merupakan gunung yang mem
punyai medan summit attack yang ramah untuk pendaki
pemula sepertiku, tapi tetap saja berbahaya kalau tergelincir
dan kalau jatuh bisa berisiko fatal.

Aku berusaha mengatur napas yang sudah mulai ngos-
ngosan. Kupaksakan diriku untuk terus merayap perlahan-
lahan. Dalam diam aku memimpikan berada di Kenteng
Songo, Puncak Merbabu. Selangkah demi selangkah. Berat
sekali rasanya.

Apa aku bisa sampai ke sana? Ke puncak? Rasanya napasku
cuma sampai di sini. Capai banget, nggak kuat.

43

Ah, gitu aja nyerah! Gimana mau menggapai mimpi, kalau ­­ ­­ ­ ­ ­ ­ ­ ­ ­­
baru berjuang beberapa langkah, sudah menyerah?

Aku tertantang dengan batinku sendiri, tapi tetap saja,
rasanya terlalu capai untuk melanjutkan langkah. Aku ter
duduk sambil berusaha mengatur napas. Aku bisa melihat
Fatma jauh di bawahku, sedang duduk kecapaian ditemani
Tono dan Daniel. Wilson tepat di bawahku sedang ber
istirahat. Bob yang berada di posisi paling depan berbalik, lalu
mendatangiku.

“Del, aman, kan?” kata Bob memastikan keadaanku.
“Aman, Bob, cuma gua nggak kuat kayaknya. Napas kayak
mau putus.”
“Kuat, kok, lo. Istirahat dulu aja. Pelan-pelan, nggak ada
yang ngejar ini, yang penting sampai puncak.”
Aku seperti menghiraukan perkataan Bob. Pesimis pada
diri sendiri.
Ini sudah limit dari dirimu, Della. Sudah, nggak usah di
lanjutkan lagi. Tunggu mereka semua turun, toh kamu sudah
sampai di sini. Memang mau cari apalagi di atas sana?
Kamu sudah sampai di atas sini. Coba kamu lihat sekeliling
mu. Sapaan Tuhan kepadamu, kamu sendiri nggak menyangka
sudah sampai di sini, kan? Tinggal sedikit lagi sampai puncak.
Jadi, untuk apa menyerah? Terobos limitmu sendiri Della, dan
lihatlah apa yang bisa kamu lakukan.
Aku kemudian memandang sekitar. Takjub. Sedari tadi
aku hanya fokus dengan langkahku, terlalu capai sampai aku
melupakan pencapaian pada diri sendiri. Aku sudah sampai
setinggi ini. Sejajar dengan awan lebat yang mengelilingi
gunung ini. Aku duduk termanggu. Memandang sekitarku

44

sambil menarik napas dalam-dalam. Udara sejuk ini mengisi ­ ­ ­ ­ ­­­ ­­­ ­­­
paru-paruku, seakan memberi tiupan semangat untukku.

Sang mentari mulai terbit dari ufuk timur. Sinar keemas
annya menerpa wajahku perlahan. Pelan-pelan ia mulai me
mancarkan sinarnya. Awan di sekitarnya ikut menari bersama,
memantulkan cahaya jingga. Baru kali ini aku betul-betul
menikmati sunrise seindah ini. Sungguh indah kuasamu Tuhan.

Seperti diingatkan kembali apa tujuan utamaku di sini,
aku kembali memantapkan langkah. Menggapai tanah yang
ada di hadapku, merangkak naik ke atas. Aku seperti bisa
mencium bau tanah.

Tunggu, rasanya aku tidak asing dengan pemandangan ini.
Mencium bau tanah, merangkak, dan berjuang dengan apa
yang ada di hadapku.

Aku teringat mimpi-mimpiku yang membawaku nekat
untuk mendaki gunung. Seperti déjà vu! Aku tersenyum.
Tuhan punya maksud lain untuk memberikan mimpi-mimpi
itu padaku. Sebagai pertanda jalan apa yang harus kutempuh.

Dengan mantap aku melanjutkan langkah, sesekali
berhenti untuk tertunduk dan mengatur napas. Aku menengok
ke atas, puncak masih sama sekali tak terlihat oleh mata. Sinar
matahari mulai menyerbak, memancarkan kehangatan. Aku
mematikan headlamp. Sudah tak terpakai lagi sepertinya.

Selangkah demi selangkah aku merayap naik. Capai
sekali, rasanya ingin kuhentikan langkah sampai di sini. Ku
paksakan terus melangkah dan melawan rasa lelah yang mulai
menguasaiku. Aku tidak memedulikan tanganku yang sudah
kotor bercampur tanah. Keringat mulai mengucur di dalam
jaket, tapi sesekali aku bergidik kedinginan ketika angin

45

meniup tubuh. Napasku mulai naik turun tak beraturan. ­­­ ­ ­­ ­­ ­ ­
Tenggorokanku kering dan tercekat. Haus sekali. Tak kuat
lagi melangkah, aku kemudian duduk, meminum bekal airku.
Berharap air bisa jadi pendorong semangatku.

Lemah sekali diriku ini. Begini saja masa nggak sanggup?
Dari bawah, teman-temanku bergerombol duduk ber
istirahat. Aku dan Bob mengungguli pendakian lumayan jauh
di atas mereka.
“Masih jauh ya, ini, Bob?”
“Dekat, kok. Jalan saja, Del, pelan-pelan.”
Aku melongok kembali ke atas puncak. Masih tak terlihat.
Karena tak terlihat rasanya masih jauh sekali. Padahal kemarin
dari Pos 3 aku sudah bisa melihat puncak Gunung Merbabu.
Seperti dekat. Seperti betul-betul di atas kepalaku.
Seperti impian, kan? Puncak gunung itu seperti impianmu,
yang berada di atas kepalamu. Namun, kalau kau tak berjuang
untuk selangkah demi selangkah sampai ke puncak, impianmu
akan tetap berada di atas kepala. Kau tidak akan pernah bisa
menginjakkan kakimu untuk sampai di atas sana.
Aku seperti tertampar pada diri sendiri. Sekelebat aku
mengingat sosok orangtuaku. Bagaimana mereka menye
limutiku dengan kebahagiaan semasa kecil. Selalu meng
utamakan diriku dibanding diri mereka sendiri. Cinta kasih
mereka betul-betul hangat seperti sang mentari pagi yang
menghangatkanku dari dingin.
Mereka berdua hanya punya aku. Anak semata wayangnya.
Siapa lagi yang akan membahagiakan mereka kalau bukan
aku?

46

Tertatih-tatih aku melangkah, jantungku berdetak ken ­­ ­ ­ ­
cang. Kucoba mengatur napasku yang naik turun tak keruan.
Capai sekali. Aku berusaha tak memikirkan apa pun lagi.
Hanya mencoba fokus dengan jalan yang ada di hadapanku.
Jalan yang kuyakini menuju puncak impianku.

“Nah, ini Watu Lumpang, Del, berarti bentar lagi sampai
puncak, nih,” kata Bob menyunggingkan senyum terbaiknya.
Berusaha menyemangatiku.

Dengan napas tersengal-sengal, akhirnya aku sampai pada
tanah lapang yang lumayan besar. Cukup untuk beberapa
tenda di sini. Ada papan bertuliskan Watu Lumpang (2858
mdpl), jarak dari Watu Lumpang ke puncak menurut papan
kurang lebih 504 meter lagi, dan dapat ditempuh kira-kira tiga
puluh lima menit.

Sambil menunggu teman-temanku dari bawah sana, ku
rebahkan tubuhku ke tanah. Aku tak peduli betapa kotornya
badanku. Langit di hadapanku bewarna oranye bercampur
merah. Aku sampai lupa mengedipkan mata saking terpana.
Biasanya aku melihat awan-awan berada di atasku. Kali ini
aku melihat awan-awan itu bergumpal-gumpal berada di
bawahku.

Sungguh indah kuasamu Tuhan. Aku beruntung bisa me
nikmati langsung keajaibanmu. Menjadikanku dekat dengan-
mu.

Tak henti-hentinya aku menyebut nama Tuhan. Bersyukur
aku bisa berada di sini.

“Watu Lumpang, nih!” Teriakan Wilson mengagetkanku
dari lamunan.

47

­­ ­­ ­ ­ ­ ­ ­Disusul nyanyian Daniel yang menandakan ia sudah
sampai Watu Lumpang. Fatma tidak berkata apa-apa, hanya
duduk terengah-engah, tapi dengan wajah berpuas diri. Lalu,
muncul si sweeper, Tono, yang menghampiri kami sambil me
nawari sebungkus roti.

Kami beristirahat kira-kira lima belas menit masih di
temani oleh nyanyian dari Daniel. Kali ini ia menyanyikan
lagu India untuk membakar semangat katanya. Dedikasinya
untuk menjadi seksi entertain nggak main-main.

“Mari teman-teman, kita lanjutkan perjuangan kita se
bentar lagi,” ujar Bob.

Aku berdiri menyemangati diri sendiri.
Yak! Sedikit lagi.
Berbeda dengan tanjakan-tanjakan sebelumnya yang
kondisi jalur tanah padat, tanjakan menuju puncak ini mem
punyai jalur tanah yang cukup berpasir. Jadi, harus dua kali
lipat berhati-hati agar tidak tergelincir, dan karena tanahnya
berpasir, otomatis kaki ini jadi lebih berat untuk melangkah.
Tanjakannya pun tidak begitu tajam sehingga tidak perlu
merangkak naik, tapi tetap saja ada momen aku harus men
cium dengkul sendiri.
Setengah perjalanan aku memutuskan untuk beristirahat.
Duduk sambil berbalik badan, menikmati pemandangan di
hadapanku. Gugusan bukit-bukit hijau tertutup oleh samudra
awan. Untuk kali pertama aku bisa memandang dunia seluas
ini. Tak terbatas.
Dengan jarak pandang setinggi ini, beda rasanya ketika
kau melihat awan dari atas pesawat, yang dibatasi oleh jendela
berkaca tebal. Sekarang aku di sini, bersentuhan langsung

48


Click to View FlipBook Version