The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by gagasmedia, 2022-03-15 05:05:38

BIRU KELANA

Della Dartyan

dengan tanah, memandang lautan awan yang berada tepat
di bawah kakiku, dan mencium aroma dunia. Aku mengisi
penuh paru-paru dengan udara sejuk dan bersih ini. Udara ini
bukan hanya mengisi paru-paru, tapi isi kepalaku.

Kembali aku membatin tentang kuasa Tuhan yang luar
biasa. Tuhan semesta alam. Aku merasa kecil ketika melihat
dunia yang luar biasa luas dari atas sini.

Apalah aku hanya seorang manusia biasa bila dibanding
dengan alam yang Tuhan telah ciptakan. Apalah aku hanya
seorang manusia biasa bila dibandingkan dengan bermiliar-
miliar manusia lainnya di semesta ini. Apalah aku yang hanya
mampu mengeluh tanpa tahu berjuang. Jika dunia lebih luas
dari yang kukira, tentu harapanku akan lebih luas juga, bukan?

Aku tersenyum. Baru kali pertama aku merasakan optimis
yang besar bisa kuyakini. Rasanya telur yang tadi retak sudah
mulai mengelupas dengan sendirinya. Aku bisa mencium bau
kehidupan baru di depan mataku.

“Uhuy! Dikit lagi, ayo, Del,” kata Wilson menyalipku
dengan semangat ‘45. Aku dengan gesit mengikutinya.

Rasanya langkah ke puncak kali ini lebih ringan dari
biasanya. Seperti ada dorongan energi tambahan merasuk
padaku. Bukan hanya padaku, tapi pada teman-temanku yang
rata-rata dengan senyum semringah mereka berjalan di bela
kangku.

Akhirnya aku tiba di Kenteng Songo, sebuah tanah lapang
yang cukup luas dengan jarak pandang tak terbatas. Seakan
berada di pulau dengan lautan awan mengitarinya. Ada
sebuah tugu di tengah-tengah tanah lapang yang bertuliskan
“Puncak Kenteng Songo (3142 mdpl)”. Seakan tak percaya

49
­ ­ ­­ ­

pada diri sendiri, aku bersimpuh untuk sembah sujud. Air
mata mengucur di pipiku, tak kuasa menahan tangis haru.
Tak henti-hentinya aku berterima kasih kepada Sang Pencipta
karena atas kuasanya aku bisa berada di puncak semesta.

Pada akhirnya, dengan kakiku sendiri aku bisa berada di
sini. Tuhan, terima kasih atas apa yang Kau berikan kepadaku.

Aku membatin pada diri sendiri, inilah jawaban dari
Tuhan kepadaku. Bukan seberapa tinggi gunung yang kita
daki, tapi justru makna dari sebuah proses. Karena proses
adalah pencapaian terpenting. Ketika kita sudah berada
pada puncak tertinggi dan mendapati bahwa setiap langkah-
langkah kecil memiliki makna.

“Del, selamat, ya,” kata Bob sambil memelukku. Aku
masih menyimpan tangis haruku.

“Thank you, Bob, udah kasih semangat terus dari tadi.
Gua udah hampir nyerah padahal.”

“Ah, gua tahu lo bisa, kok, makanya gua yakin. Gua aja
yakin, masa lo nggak yakin sama diri lo sendiri?” Aku pun
tersenyum mendengar ucapannya.

“Woi, selamat ya!” Wilson berlari menubruk dan me
meluk erat kami. Disambut Daniel, Fatma, dan Tono. Kami
berpelukan saling menyelamati satu sama lain. Haru sekali
rasanya bisa bersama-sama mereka sampai di atas sini.

Kenteng Songo kali ini sedang ramai oleh para pendaki.
Kami pun harus sabar untuk mengantre berfoto di tugu Ken
teng Songo atau berfoto bersama plakat bertuliskan “Merbabu
3142 mdpl”. Bukan sembarang plakat tentunya, setiap
gunung mempunyai plakat kramat mereka sendiri-sendiri,
dengan info seberapa tinggi gunung itu menjadi achievement

50
­ ­­ ­ ­

tersendiri bagi para pendaki. Ya, anggap saja sarjana dengan ­­ ­ ­ ­­ ­­­ ­­ ­
sertifikat S1 di tangannya.

Setelah sesi foto-foto selesai, kami sarapan dengan roti
perbekalan masing-masing sambil menikmati hamparan
samudra awan. Dari Puncak Kenteng Songo aku bisa melihat
puncak-puncak gunung tetangga yang terlihat gagah dari
kejauhan, yang terdekat tentu saja Gunung Merapi, lalu ada
Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Suatu saat nanti aku akan berada di puncak gunung-
gunung itu.

Aku duduk sambil menyeruput kopi dari tumbler Tono.
Nikmat sekali mengopi di atas ketinggian ini. Merayakan
keberhasilan melawan diri sendiri. Melewati limit. Seakan
bangga akan diriku sendiri, aku tersenyum memandang
dunia.

Gunung ini sudah berhasil kudaki. Sesuatu yang dulu aku
kira sebuah hal yang sangat tak mungkin bisa kulakukan.
Namun, rupanya Tuhan berkehendak lain, aku diberi keper
cayaa­­ n untuk berada di atas sini. Sebuah impian yang hanya
bisa kujadikan angan-angan di atas kepalaku, akhirnya bisa
kujejaki juga. Kalau gunung saja berhasil kudaki, aku pasti bisa
menggapai mimpi dan angan-anganku juga!

Rasa optimis lagi-lagi menyelimutiku. Bergerumul di
dadaku siap untuk meledak. Sepertinya aku siap untuk me
mulai hari esok dengan lebih baik.

Nggak sabar kirim fotoku di puncak Merbabu ke Papa!
Semoga bisa menjadi penyemangat juga untuknya agar lekas
sembuh.

51

­ ­­“Udah pada siap turun?” kata Bob. “Siap!” Kami menye
rukannya bersamaan.

***

52


Click to View FlipBook Version