— Democracy Project —
sakan betapa besar arti pergulatan itu bagi diri Ahmad Wahib
sendiri dan bagi teman-teman sejawatnya. Bahkan mungkin
bagi perkembangan Islam sendiri, di sini!
Begitu kuat keterlibatan Ahmad Wahib kepada penentuan
masa depan agama yang dicintainya itu, terasa bagi kita. Pada-
hal, tetap saja tidak jelas apa visinya akan masa lampau agama
tersebut. Kalau ia dapati kekurangan sedemikian mendasar di
dalamnya, mengapakah Ahmad Wahib tidak menolaknya? Bah-
kan sebaliknya, ia lebih dalam mencintainya-bagaikan orang
mencintai pelacur walaupun tahu apa yang dilakukan pelacur
itu sehari-hari.
Berpikir Nisbi
Dalam pernyataannya bahwa ia harus meragukan adanya Tu-
han untuk dapat lebih merasakan makna kehadiran-Nya (hal.
23, 30 dan 47 umpamanya), jelas menunjukkan kebutuhannya
sendiri kepada Tuhan yang itu-itu juga – bukannya Tuhan
yang lain hasil buatanya sendiri. Inilah yang merupakan inti
kehadiran Ahmad Wahib dalam kehidupan kaum muslimin
kita di permulaan tahun tujuhpuluhan: ketundukannya yang
penuh kepada Yang Mutlak, dengan mengunakan cara-cara
berpikir nisbi.
Selebihnya menarik terutama sebagai kesaksian historis
akan potensinya yang besar di bidang pemikiran keagamaan,
seandainya ia tidak mati begitu muda. Betapa ia mengerti ha-
kikat ‘kebidataan –Nya NU, sambil tetap tidak mampu mele-
paskan diri dari belenggu kecintaan kepada HMI. Betapa pan-
dainya ia memaki kawan seiring, karena kepengecutan mereka
Sejumlah Komentar 375
— Democracy Project —
dalam menanggung konsekuensi logis pemikiran mereka. Teta-
pi sambil merasa ketakutan, bahwa ia akan menganiaya mere-
ka dengan tuntutan-tuntutan terlalu berat. Dan betapa Ahmad
Wahib mampu mengajukan begitu banyak pertanyaan funda-
mental kepada teman-teman seagamanya, padahal ia sendiri
sangat kekurangan pengetahuan dasar tentang pemikiran ke-
agamaan itu sendiri!
Ia menyadari bahwa keterlibatannya kepada ‘pembaharuan
Islam’ justru muncul dari kenyataan begitu besarnya kemelut
kehidupan kaum muslimin sendiri. Dengan kata lain, Ahmad
Wahib sedalam-dalamnya menyadari bahwa hanya satu-dua
orang saja yang akan mampu mengikutinya. Sisanya, tetap saja
berada dalam kamelut mereka.
Toh ia tak juga mau meninggalkan upaya meningkatkan
keimanan mereka, meskipun ia tahu akan gagal total. Dilaku-
kannya itu tidak lain karena kecintaannya kepada Islam yang
apa adanya ‘sebagaimana tampak di pelupuk matanya. Upaya-
nya memberontak tidak lain karena ketakutan akan irelevansi
‘Islam apa adanya’ itu bagi orang lain di kemudian hari, bukan
bagi dirinya.
Ternyata, kalau dilihat dari sudut ini, Ahmad Wahib meru-
pakan sisi lain dari mata uang yang sama: kekuatan akan ero-
si keimanan kaum muslimin di kemudian hari. Wajah satunya
lagi, adalah kuatnya kecenderungan sementara lulusan dan je-
bolan disiplin ilmiah eksakta untuk mengajukan ‘kebenaran’
Islam secara formal.
Ahmad Wahib sendiri adalah dari kelompok ‘jebolan ek-
sakta’, yang kemudian lari ke filsafat. Tetapi ia menolak forma-
376 Pergolakan Pemikiran Islam
— Democracy Project —
lisme seperti itu. Namun tetap saja ia melakukan kerja mengu-
kuhkan kehadiran Islam, seperti kaum ‘formalis’ itu.
Mengukuhkan Agama
Memang, sedalam-dalamnya Ahmad Wahib adalah seorang
muslim dengan keimanan penuh. Pemberontakan yang dilaku-
kannya justru bertujuan mengukuhkan agama yang diyakininya
itu. Bak tukang batu yang menghantamkan palunya ke tembok,
untuk menguji kekuatan dan daya tahan tembok tersebut. Siapa
dapat mengatakan menjadi ‘muslim bergolak dan pemberontak’
seperti Ahmad Wahib ini lebih rendah kadarnya dari ‘kemus-
liman’ mereka yang tidak pernah mempertanyakan kebenaran
agama mereka sekalipun?
Kutipan berikut dari catatan harian Ahmad Wahib dengan
tepat menggambarkan kesimpulan itu. ‘’Aku bukan nasionalis,
bukan katolik. Aku bukan budha, bukan protestan, bukan wes-
ternis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah
semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku
ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu
kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan
dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya
berangkat. Memahami manusia sebagai manusia”, (hal. 46 ).
Alangkah mulianya pribadi Ahmad Wahib, dan alangkah sem-
purna kemuslimannya.
Abdurrahman Wahid
Tempo, 19 September 1981
Sejumlah Komentar 377
— Democracy Project —
Pergolakan Pemikiran Islam
Catatan Harian Ahmad Wahib
Ketika ia sedang sibuk-sibuknya mencari Tuhan, secara tiba-
tiba sebuah sepeda motor menabraknya dari belakang. Dan
hari itu juga, 31 Maret 1973, Ahmad Wahib, calon reporter
majalah Tempo menghadap Tuhan. Apakah ia bertemu dengan
Tuhan yang dicarinya? Tidak jelas. Komunikasi dengannya
telah terputus untuk selama-lamanya.
Tetapi Wahib pergi bagaikan harimau yang meninggalkan
belang. Belangnya berupa catatan harian (Caha) yang telah ter-
tumpuk rapi seperti buku. Tumpukkan kertas itu nyaris menja-
di saksi bisu akan kehadiran fikiran-fikirannya apa yang segar
dan relatif fundamental, kalau tidak Djohan Effendi menyim-
pannya. Lewat kerjasama dengan Ismed Natsir dan LP3ES ce-
ceran caha itu muncul dalam bentuk buku dengan judul me-
rangsang, Pergolakan pamikiran Islam
Wahib dan Tuhan yang Lain
Dalam konteks ber-Tuhan, bagaimanakah kita harus mengerti
tentang Wahib? Seorang anak kiyai Madura, dibesarkan di-
kalangan pesantren dan menyerap dalam-dalam kultur santri
– meskipun kemudian sekolah di fakultas Ilmu Pasti dan Alam
Universitas Gajah Mada – tiba-tiba berkata: “Apakah Tuhan
besar karena manusia merasa kecil di hadapan ombak yang
gemeruh bergelora? Adakah Tuhan agung karena manusia tak
berdaya di hadapan alam yang luas, laut yang tiada bertepi?
Kalau begitu Tuhan besar karena kekecilan manusia. Alangkah
378 Pergolakan Pemikiran Islam
— Democracy Project —
sederhananya ke-Tuhanan yang semacam itu. Aku tak mau
Tuhan yang seperti itu. Aku mau cari Tuhan yang lain.”
Dalam bagian lain, Wahib bertanya lebih dalam: “Tuhan,
bisakah aku menerima hukum-hukum-Mu tanpa meragukan-
nya terlebih dahulu? Murkakah Engkau bila aku berbicara de-
ngan-Mu dengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak yang
Engkau sendiri berikan kepadaku dengan kemampuan-kemam-
puan bebasnya sekali?”
Bagaimanakah kita mengerti tentang ini? Seorang anak ki-
yai yang tentu saja cukup faham dengan diktum Tuhan “zali-
kal kitaabulaaraiba fiihim hudan lil muttaqiin”? telah kafirkah
Wahib?
Tidak! Wahib seorang pencari Tuhan yang intens. Intensitas
ini bukan karena ingkar adanya Tuhan, tetapi karena keyakin-
annya yang mendalam tentang adanya Tuhan. Jadi, meskipun
dengan nakal ia berucap, “bagaimana orang disuruh dengan su-
karela percaya pada Tuhan ada, kalau tidak boleh memikirkan
kemungkinan benarnya kepercayaan, bahwa Tuhan tidak ada”,
tetapi toh berkali-kali kita pergoki fikiran-fikiran yang meng-
hunjuk sebaliknya. Pada halaman 53 dia bahkan berdo’a kepada
Tuhan yaang sedang dicarinya: “Tuhan, aku mohon kekuatan
dari-Mu untuk maju”. Dan pada halaman 114-115 dia mengha-
rapkan lahirnya bimbingan Tuhan (wahyu): “Saya yakin, bahwa
wahyu Tuhan turun terus secara tak langsung pada manusia-
manusia yang berusaha setelah Muhammad”.
Wahib melihat faktor Tuhan dan masalah-masalah ke-Tu-
hanan sangat penting bagi manusia. Mengapa? Karena teologi-
lah yang mamberikan integrasi terhadap pemikiran dan sikap-
sikap yang telah riel dalam berbagai sektor kehidupan. Teologi
Sejumlah Komentar 379
— Democracy Project —
adalah generalis yang paling tinggi dan meliputi. Inilah ceceran
caha yang dikutip Syu’bah Asa dalam Tempo, 14 April 1973.
Dengan sikap itu ia melahirkan tesis, bahwa sistem teologi
Islam yang berkembang dewasa ini tidak cukup relevan mem-
berikan jawaban terhadap permasalahan-permasalahan kema-
nusiaan. Ia tidak mampu lagi menimbulkan dialog dan kehi-
langan daya gugahnya. Karena ia masih berbicara dengan ba-
hasa abad ke-17 dan sama sekali tidak memenuhi syarat-syarat
bahasa abad ke-20.
Tetapi bentuk Tuhan bagaimanakah yang dicari? Pertanya-
an ini tidak terjawab. Ia telah pergi menuju Tuhan. Tetapi dari
cahanya ada kesan, ia mencari Tuhan yang lain dan menelan
luluh dalam bagan perkembangan intelektualnya. Sejauh inte-
lektualnya berkembang, sejauh itu pula berkembang konsep ke-
Tuhanannya. Tuhan begitu mempribadi dalam dirinya. Ia tidak
dipengaruhi oleh konsep Tuhan tentang manusia. Sebaliknya,
konsep Tuhan sangat besar dipengaruhi oleh perkembangan
intelektual dan kepribadiannya.
Belum Selesai
Wahib memang fenomen yang belum selesai, seperti dikatakan-
nya sendiri. “Aku bukan Wahib, aku adalah me-Wahib” (hal.
55). Pernyataan itu berbau ekstensialis itu tidak kontradiktif de-
ngan sikap teologisnya, seperti juga terhadap bagan operasional
praktis dari teologi (ajaran dan hukum-hukum Islam).
Islam baginya bukanlah sesuatu yang telah sempurna. Ba-
nyak hal yang harus dikembangkan. Bahkan dalam beberapa
bagian meskipun diakui bahwa ia belum terjun pada fondamen
380 Pergolakan Pemikiran Islam
— Democracy Project —
yang lebih mendasar dari ajaran-ajaran Islam – ajaran Islam ti-
dak senafas dengan nilai budaya modern, hanya karena dalam
Islam ada unsur penyerahan.
Pertanyaan ini memang tidak aneh. Sebab hal itu diajukan
pada tahun 1969, pada saat mana modernisasi telah menjadi
mitos dalam alam pembangunan Indonesia. Mungkin ia akan
bependapat lain, andaikata ia masih hidup dan membaca “Py-
ramids of Sacrifice”, Berger tentang pengelabuan mitos moder-
nisasi atau indictment (tuduhan) 19 kaum intelektual interna-
sional (termasuk 6 orang anggotanya dari AS, sang kampiun
modernisasi) tentang betapa modernisasi yang berlangsung saat
ini telah melahirkan kepincangan, eksploitasi dan penindasan.
Indictment itu di beri judul seram, “The Perversion of Science
and Technology”.
Oleh karena itu ia tidak puas dengan format sistematika
Islam dewasa ini. Ia harus diubah sesuai dengan kondisi keki-
nian, instansi Islam yang sering disebut-sebut setelah teologi
adalah Fiqh. Di matanya, fiqh itu tidak lebih dari fiqh peris-
tiwa, bukan fiqh hakekat. Konsekuensinya, dia hanya berdaya
laku untuk suatu peristiwa dan sama sekali terlepas dari unsur-
unsur keabadiannya.
Diagnosanya adalah karena fiqh itu hanya merangkum bu-
nyi nash (ayat Qur’an) dan bukan berpangkal pada apa yang
menyebabkan mungkinnya nash-nash itu. Untuk itu ia meng-
anjurkan perubahan gaya tafsir sesuai dengan pergerakan ni-
lai-nilai dan budaya. ‘’Kita bukan saja memerlukan perema-
jaan interpretasi, tetapi yang lebih penting lagi ialah gerakan
transformasi,” ujarnya (hal. 57). Dengan yang terakhir ini ber-
arti melepaskan diri dari dominasi huruf guna menuju sumber
Sejumlah Komentar 381
— Democracy Project —
hukum yang lebih relevan. Sumber itu, di samping Qur’an dan
Hadits, juga kondisi sosial.
Kondisi sosial sebagai salah satu sumber dalam Islam (ini
betul-betul baru) erat kaitanya dengan tesis Wahib tentang se-
jarah Muhammad dan struktur masyarakat serta kondisi sosio-
kultural di zamannya sebagai bahan dasar untuk mengetahui
Islam. Dan secara mengejutkan disebutnya, justru Qur’an dan
Hadits-lah yang menjadi alat untuk memahami sejarah Mu-
hammad. Dalam hal yang terakhir ini tampaknya lebih dari
sekedar baru. Ia merupakan penawaran ber-Islam secara radi-
kal.
Mengapa? Karena dengan menempatkan sejarah Nabi se-
bagai sumber, maka Qur’an dan Hadits tidak lagi diajarkan se-
bagai rumus-rumus abstrak, melainkan berada dalam kerangka
seluruh setting sosio-historis. Dengan cara ini, setiap muslim
akan terhindar dari formalis-formalis dan situasi yang forma-
litas. Sebab ajaran Islam harus dipindahkan kedalam situasi-si-
tuasi yang berlainan, yang memang telah menjadi realitas yang
tak terelakkan. Maka penafsiran yang ditawarkan adalah “ade-
quate reinterpretation of the normative image”.
Dengan menempatkan sejarah Muhammad sebagai sentral,
setiap muslim dapat bertugas melakukan historical direction. Ini
penting, agar aktivitas spiritual dan intelektual manusia muslim
ikut berbicara (hal. 111). Hanya dengan melaksanakan tugas ini
dan memahami tugas historical direction ini – sebagai pangilan
sekaligus kedatangan Tuhan pada diri kita – kita bisa mema-
hami wahyu Allah yang komplit. Fikiran ini terasa aneh.
Historical directing yang dimaksud adalah usaha pemanu-
siaan segala urusan yang seharusnya memang menjadi tugas
382 Pergolakan Pemikiran Islam
— Democracy Project —
manusia, meskipun tetap berada pada dasar-dasar wahyu. De-
mikianlah, baik masalah aqidah, akhlaq maupun syari’ah dan
khilafah harus melalui proses historical direction, yang sepe-
nuhnya menjadi urusan manusia. Maka jika Nabi dan sahabat
pernah membangun negara teokrasi, bukanlah karena perintah
Tuhan, melainkan adaptasi situasional. Oleh karena itu manusia
muslim dewasa ini bisa memilih lain, yang berada dengan apa
yang dilakukan Nabi dan sahabatnya (hal. 116)
Dinamika Pemahaman Islam
Fikiran-fikiran keagamaan yang diajukan di atas merupakan
tahap pemanasan menuju fikiran percobaan kearah memahami
Islam. Pada halaman 121 – 126 ia mengajukan: fikiran-fikiran
fundamental tentang itu. Islam sebagai ajaran Allah, ujarnya,
adalah tunggal dan terlepas dari ruang dan waktu. Rasulullah
yang membawa Islam meruang dan mewaktu. Karena itu, tidak
semua tindakan Nabi’ identik dengan ajaran Allah. Nabi/Rasul
adalah penterjemah ajaran langit pada realitas bumi.
Oleh karena itu ajaran Islam berstatus sebagi perintah mut-
lak harus diikuti. Sedangkan modusnya Muhammad berstatus
sebagai contoh kondisional yang harus dimengerti dan diam-
bil pelajaran. Tetapi keduanya memang telah menyatu kedalam
tindak-tanduk Muhammad, ia telah meruang dan mewaktu.
Itulah sebabnya bagi Wahib, Islam tidak bisa difahami dengan
mengabaikan sejarah dan kondisi sosio – kultural di masa Mu-
hammad.
Itulah juga yang disebut historical setting dari Muhammad.
Jadi, hubungan historical setting Muhammad dengan manusia
Sejumlah Komentar 383
— Democracy Project —
muslim adalah hubungan kreatif. Tanpa kreativitas, manusia
muslim takkan pernah berkembang. Sebab ia akan terpancang
pada situasi dan alam fikiran bentuk islam yang telah meruang
dan mewaktu di masa 14 abad yang lalu. Jelaslah, ujarnya, pe-
mahaman Islam adalah sekedar penafsiran kita terhadap foto
ajaran Islam, yaitu sejarah Nabi. Dan Islam sekedar sebuah
sumber semangat yang menggairahkan, sekaligus penuh dengan
gairah-gairah besar. Dengan gairah besar, Islam menerangi se-
gala masalah dan bukannya menerangkan.
Kreativitas muslim-dalam arti tidak menelan bulat-bulat
apa yang dikerjakan Rasul, melainkan dengan menafsirkan-
nya sesuai dengan perkembangan zaman adalah proses usaha
muslim dalam bentuk Islam yang tidak berbentuk itu. Pem-
bentukan itu adalah semata-mata urusan pribadi. Tapi bentuk
itu sendiri bukanlah Islam (hal. 127). Dengan mengatakan ini
tampak jelas hubungan Islam yang meruang dan mewaktu di-
zaman Nabi dan Islam yang meruang dan mewaktu di masa
kini. Usaha memberikan ruang dan waktu bagi Islam yang se-
suai dengan kondisi kekinianlah, inti kreativitas manusia mus-
lim. Suatu pemahaman dinamis terhadap Islam.
Wahib, HMI dan Pembaharuan Islam Indonesia
Apakah Wahib seorang pembaharu? Dari banyak pengaku-
annya ia menggolongkan diri kedalam kelompok pembaharu.
Dan melihat cahanya, tampak bahwa ia berusaha keras untuk
berfikir dan mengajukan ide-ide segarnya tentang Islam dan
teologi. Dasar-dasar pemikiran tentang bagaimana Islam harus
di fahami, menurut saya, adalah sentral dari fikiran-fikiran
384 Pergolakan Pemikiran Islam
— Democracy Project —
reformasi keagamaannya. Ia nyaris berhasil secara relatif leng-
kap, apabila konsepsi teologis yang ditawarkan menemukan
wujudnya yang relatif jelas.
Tetapi yang pasti, Wahib adalah seorang pencari yang in-
tens, tak kunjung lelah. Seseorang yang berusaha merumuskan
kembali sumber-sumber Islam dan bagaimana cara beragama
dalam konteks kekinian. Itu dilakukan bukan dengan pijakan
kaki di luar, tetapi sepenuhnya pada ajaran-ajaran Islam. Catat-
an penting yang bisa diajukan adalah, bahwa ia berhasil meng-
konstruksikan kembali sistematika Islam, justru dengan mene-
mukan hal-hal yang selama ini tak diperhatikan.
Anjuran untuk melihat sejarah Muhammad serta kondisi
sosio-kultural sebagai sumber Islam, secara implisit juga meng-
anjurkan agar situasi sosio-kultural, ekonomi dan politik saat
ini merupakan sumber ajaran juga. Sebab bentuk Islam masa
Muhammad adalah Islam yang meruang dan mewaktu pada
masanya. Dan adalah kewajiban muslim dewasa ini untuk me-
lakukan hal yang sama bagi situasi sekarang. Tapi bentuk itu
sendiri bukanlah Islam. Islam adalah ajaran yang universal,
yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu.
Inilah mungkin dimensi kebaruan dari reformasi Wahib,
yang agak berbeda dengan reformis-reformis lainnya. Reformis
non Wahib selama ini tampaknya masih tegak pada sistematika
Islam yang telah ada, tidak berusaha merekonstruksikannya.
Tetapi tentunya Wahib tidak sendirian. Meskipun ia me-
miliki kepadatan orisinilitas berfikir, tetapi toh itu dibentuk
bersama-sama dengan lainnya. Mukti Ali, Djohan Effendi, Da-
wam Raharjo dalam Limited Group disatu fihak serta Larso,
Sudjoko Prasodjo di HMI di lain fihak. Dan kemudian secara
Sejumlah Komentar 385
— Democracy Project —
tiba-tiba Nurcholish Majid muncul dengan gagasan pembaha-
ruan yang menghebohkan. Tokoh terakhir ini muncul dengan
mengejutkan dan serentak menimbulkan kontroversi di kalang-
an tokoh-tokoh senior Islam. Fikiran-fikiran pembaharuan di-
anggap sebagai sesuatu yang berbahaya, baik di HMI maupun
di kalangan ummat Islam. Tokoh-tokoh senior itu bersikeras
membandung fikiran itu dan harapannya justru terletak pada
pundak Nurcholish. Tetapi justru sebaliknya yang terjadi.
Wahib dan Djohan pada akhirnya harus keluar dari HMI
setelah merasa, bahwa tindakan itu akan lebih baik bagi dirinya
dan juga bagi HMI. Tapi fikiran-fikiran baru itu telah terlan-
jur disulut. Ia telah mulai menyala di kalangan HMI. Ia adalah
refleksi dari perbedaan fundamental antara fikiran-fikiran para
tokoh senior dengan yang junior. Konflik itu terjadi, manaka-
la dialog terjadi secara formalitas, tidak saling mendengarkan.
Tapi bagaimanakah nasib fikiran-fikiran itu di kalangan HMI
dewasa ini?
Fachry Ali
Kompas, 17 September 1981
Pergolakan Pemikiran Islam
Pada tanggal 11 Desember 1981, kebetulan saya mendapat gilir-
an menjadi imam dan khatib pada Masjid Arif Rahman Hakim
yang terdapat di sebelah kantor Rektor Universitas Indonesia,
jalan Salemba Raya, Jakarta.
386 Pergolakan Pemikiran Islam
— Democracy Project —
Masjid Arif Rahman Hakim itu sendiri merupakan suatu
monumen Islam dan monumen nasional. Monumen Islam ka-
rena merupakan masjid dengan gaya arsitektur baru, walaupun
serba sederhana tetapi bersih dan menarik. Santri-santrinya bu-
kan sembarang santri, akan tetapi mahasiswa fakultas eksakta
yanag suara azannya tidak kalah dengan suara azan TVRI yang
itu-itu juga (suatu tape yang karena sering sekali kita dengar
terasa kehilangan sebagian dari daya tarik yang diperlukan).
Monumen nasional karena Masjid Arif Rahman Hakim didiri-
kan untuk mengenang pahlawan mahasiswa yang gugur dalam
demontrasi melawan Orde Lama, tersungkur oleh peluru Cak-
rabirawa yang pada tahun 1965 merupakan suatu lambang ke-
kuasaan yang telanjang tanpa tedeng aling-aling atau kamuflase
yang di pakai oleh setiap kekuasaan.
Saya masih ingat ketika saya menghormat jenazah Arif
Rahman Hakim yang lewat di muka rumah saya di jalan Di-
ponegoro. Saya lupa tidak mengibarkan bendera sebagaimana
dianjurkan, saya ditegur oleh seorang mahasiswa yang meng-
antar jenazah tersebut dalam iring-iringan yang penuh khidmat
dan khusyu’; segera anak saya memasang bendera setengah ti-
ang sebagai partisipasi atas suatu jiwa besar yang telah menulis
sejarah kemahasiswaan di Indonesia dengan darahnya. Seusai
saya shalat Jum’at, dengan khutbah yang mengingatkan kepa-
da suasana natalan menurut Islam dengan ayat-ayat suci Al
Qur’an dari Surat Maryam serta kupasan Ilmiah tentang kehi-
dupan Yesus seperti yang dilakukan oleh sarjana-sarjana ilmi-
ah Barat yang bukan misionaris, saya berjumpa dengan tokoh-
tokoh masjid UI, Dawud Ali S. H., yang sejak lama saya kenal,
dan dr. Nurhay Abdul Rahman, tokoh kedokteran internasional
Sejumlah Komentar 387
— Democracy Project —
yang masih muda dan sangat aktif. Dari pertemuan sesudah
Jum’at itu, terjadilah omong-omong yang bermacam-macam,
akhirnya sampai kepada menyinggung buku yang baru terbit
berjudul Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad
Wahid, dengan suntingan Drs. Djohan Effendi dan Ismet Nat-
sir, dan dengan kata pengantar H.A. Mukti Ali.
Karena nampaknya para jema’ah Masjid Arif Rahman Ha-
kim sangat merasakan akibat dari penerbit buku tersebut, maka
pada waktu itu juga saya meminta sebuah naskah yang kebetul-
an barsedia. Dengan rasa terima kasih kepada pengurus Masjid
ARH UI, saya pulang dengan membawa buku Pergolakan Pe-
mikiran Islam-nya Ahmad Wahib yang dikatapengantari H.A.
Mukti Ali.
Setelah sampai dirumah buku tersebut saya telaah. Ben-
tuknya, menarik. Tehniknya sangat baik, berwarna dasar hijau
tua dan garis hijau muda, serta gambar tangan yang terkepal,
diterbitkan oleh LP3ES.
Setelah buku tersebut saya baca selayang pandang, karena
tebalnya 350 halaman, walaupun dengan format saku, saya jadi
ingat peristiwa 10 tahun yang lalu ketika Sdr. Drs. Nurcholish
Majid memulai kampanye pembaharuan pemikiran Islam di
Taman Ismail Marzuki dengan rayuan dan tepuk tangan yang
riuh dari para hadirin.
Karena merasa bertanggung jawab atas pemikiran generasi
muda terhadap Islam yang menjadi agama sebagian besar dari
penduduk Indonesia, maka saya tulislah catatan-catatan yang
kemudian diterbitkan oleh Bulan Bintang dengan judul Koreksi
Terhadap Drs. Nurcholish Madjid Tentang Sekularisme.
388 Pergolakan Pemikiran Islam
— Democracy Project —
Kejadian itu telah berlalu sepuluh tahun yang lampau; saya
mendapat teguran mengapa saya bersifat keras terhadap pemi-
kiran seorang muda yang mestinya diberi dorongan untuk ber-
fikir dan menggali kebenaran. Saya menjawab bahwa kasusnya
bukan kasus pemuda berfikir dan menggali kebenaran, akan te-
tapi kasus propaganda anti-Islam yang mendapat bantuan dari
orang-orang yang tidak suka kepada kebenaran, dan berusaha
untuk menjauhkan Islam dari bumi dan iklim Indonesia ini.
Buku koreksi terhadap Drs. Nurcholish Majid tersebut
mendapat perhatian karena ternyata dicetak ulang.
Akan tetapi golongan anti-Islam yang keberat-beratan ma-
sih terus melakukan tugasnya, menyiarkan citra yang memu-
akkan tentang Islam, dengan mengambil pendapat-pendapat
Orientalis dan orang-prang Barat yang sekuler.
Pada tahun 70-an, terbit buku Islam Dipandang Dari Segala
Aspeknya, karangan Prof. Dr. Harun Nasution, waktu itu dosen,
sekarang Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta.
Buku tersebut telah mengusap wajah Islam dari debu yang
basah, sehingga wajahnya nampak dalam keadaan seburuk-
buruknya. Pada waktu itu orang bertanya-tanya, mengapa se-
orang dosen IAIN menulis buku semacam itu? Bukankah itu
berarti harakiri bagi umat Islam, menghabisi hayatnya dengan
tangan sendiri?
Banyak pembaca-pembaca buku tersebut meminta kepada
saya untuk menulis sanggahan, karena merasakan kesalahan-
kesalahan yang terdapat di dalamnya, Tetapi diwaktu itu saya
merasa segan untuk mengadakan bantahan secara terbuka,
karena tindakan semacam itu hanya akan menggembirakan
orang-orang yang tidak suka kepada Islam.
Sejumlah Komentar 389
— Democracy Project —
Maka saya tulislah suatu koreksi intern dicetak dengan
stensil dalam jumlah yang sangat terbatas, dengan harapan
bahwa yang berwajib nanti akan menarik buku tersebut dari
peredaran secara bijaksana dengan tidak usah mengeruhkan
suasana antara para mahasiswa dan pembaca. Waktu itu yang
menjadi menteri agama adalah Prof. (DR.) H.A. Mukti Ali.
(DR. Di antara tanda kurung saya pinjam dari tuan Husseri,
pendiri aliran Phenomenologi). Ternyata catatan saya tersebut
yang juga disetujui oleh Prof. Bustami A. Gani dari IAIN tidak
ada efeknya sama sekali. Maka terpaksa saya menerbitkan buku
berjudul Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution. Buku tersebut
juga mendapat perhatian dari para mahasiswa dan pembaca.
Sekarang, telah 10 tahun berlalu, orang sudah lupa kepada
ide pembaharuan pemikiran Islam serta pencekokan orientalis
terhadap mahasiswa. Orang sedang sibuk mempersoalkan Ke-
batinan yang mengadakan sarasehan pada tanggal 25 s.d. 27
Nopember 1981, sibuk membicarakan Fatwa MUI mengenai
perayaan natal bersama, serta sibuk membincangkan mengga-
nasnya kristenisasi dalam bentuk-bentuk baru dalam masya-
rakat.
Dalam kesibukan semacam itu, dalam suasana Islam didak-
wa sebagai fanatik, tidak terbuka, suatu dakwaan yang mende-
ngung dalam upacara menyambut tahun 1402 Hijrah secara
resmi, kita dihadapkan dengan buku baru: Pergolakan Pemikir-
an Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib dengan kata pengan-
tar, Prof. (Dr.) H.A. Mukti Ali. (sekali lagi, Dr. Dalam tanda
kurung saya pinjam dari tuan Husserl).
Kita kenal Prof. (Dr.) H.A. Mukti Ali, Menteri Agama yang
hampir saja menyetujui Undang-Undang Perkawinan Sekuler,
390 Pergolakan Pemikiran Islam
— Democracy Project —
Menteri Agama yang menganjurkan Kebatinan dimasukkan saja
kedalam Departemen Agama, dan sekarang menjadi anggota
Dewan Pertimbangan Agung serta guru besar IAIN Yogyakar-
ta, kita kenal Drs. Djohan Effendi, seorang doktorandus dari
IAIN yang naik tinggi kedudukannya dalam kalangan sekreta-
riat negara, yang juga salah seorang tokoh muda Ahmadiyah
Lahore.
Akan tetapi, walaupun penyuntingnya dan penulis kata
pengantarnya adalah orang-orang yang mestinya berbuat un-
tuk agamanya pada waktu Islam disalahfahamkan di tanah air
kita, mereka itu bukan mengarahkan perhatiannya ke segi yang
memperhatikan itu, akan tetapi malah menunjukkan kebangga-
annya dalam menerbitkan buku Pergolakan Pemikiran Islam.
Tulisan saya ini tidak untuk membantah isi buku Pergo-
lakan Pemikiran Islam yang diantarkan oleh Prof. (Dr.) H.A.
Mukti Ali. Saya percaya bahwa dikalangan muda sudah banyak
orang yang bersedia membantah isi buku tersebut.
Saya hanya ingin memperkenalkan buku tersebut kepada
umum agar mereka berhati-hati pada waktu membacanya.
Pertama, saya mempertanyakan niat baik dari pengantar
kata dan penyunting yang adalah seorang anak muda yang saya
belum pernah membaca karyanya, akan tetapi nampaknya su-
dah puas dengan menyunting peningalan Ahmad Wahib ter-
sebut. Sedang pengantar kata, saya merasa heran bahwa buku
semacam itu diberinya kata pengantar, tanpa memberikan gam-
baran tentang isinya atau penilaian serta petunjuk bagi pem-
bacanya, yang semua itu saya artikan persetujuan atau setidak-
tidaknya rasa acuh tak acuh (indifference)
Sejumlah Komentar 391
— Democracy Project —
Kedua, buku tersebut memberi gambaran kepada seorang
pemuda yang cerdas, tetapi tidak dapat bimbingan, barang kali
malah mendapat dorongan untuk ngelantur dalam kesesatan-
nya.
Ahmad Wahib mencaci pesantren sebagai sarang homosek-
sualitas; dan pada waktu yang sama memuji-muji Romo A dan
B, yang bersifat ramah kepadanya.
Bukankah ini suatu pandangan yang sangat dangkal? Ho-
moseksualitas bukan hanya monopoli pesantren, yang saya
akui memang ada gejala semacam itu. Tetapi ini gejala sosial.
Dimana pada suatu masyarakat terkumpul hanya satu jenis,
maka terjadilah homoseksual. Entah itu di pesantren atau di
penjara, atau dikapal. (Saya tambah lagi, bahkan gereja atau di
asrama seminari).
Dengan gambaran yang sangat sederhana ini kita dapat
mengukur alangkah tidak adilnya perasaan Ahmad Wahib yang
muda itu yang mestinya harus dipimpin dan tidak dibiarkan
dalam kesesatannya.
Soal-soal hukum, soal metafisika, soal sosiologi agama,filsa-
fat, dan bermacam-macam soal yang ditulis oleh Ahmad Wahib
dengan suntingan yang baik dari Djohan Effendi, sesungguh-
nya dapat dengan mudah diatasi jika seseorang memakai pe-
ngetahuan filsafat. Tetapi saya sangat menyangsikan apa yang
dikerjakan oleh Limited Group yang berdialog tanpa bahan dan
tanpa alat.
Buku Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad
Wahib, yang disunting oleh Djohan Effendi dan Ismed Natsir,
dengan kata pengantar H.A. Mukti Ali, merupakan halaman
yang suram dalam kehidupan Islam di zaman orde baru ini.
392 Pergolakan Pemikiran Islam