— Democracy Project —
pada suatu saat, ketika golongan militer sudah mulai established
atau puas oleh kondisi yang ada, pada ketika itu mereka sudah
kehilangan kemampuannya untuk menjadi penggerak modere-
nisasi. Dan golongan baru harus tampil.
Tetapi bagaimanakah bentuk pergantian kekuasaan dan go-
longan militer kepada golongan baru itu? Bagaimana keduduk-
an minoritas intelektual sebelum dan sesudah pergantian itu?
Dan apakah peranan intelektual dalam pengendalian modere-
nisasi seluruhnya sebagai proses yang panjang? Mungkinkah
begini: Peranan intelektual ialah membuat kondisi di mana ti-
dak ada satu golonganpun (yang kuat) yang akan pernah me-
rasa puas walaupun proses moderenisasi berjalan terus. Untuk
ini jangan sampai suatu golongan mampu berkuasa absolut.
Jadi harus ada bargaining dalam struktur kekuasaan (politik
dan ekonomi). Jangan sampai suatu golongan memegang kedua
macam kekuasaan itu sekaligus.
Nah, bila ketidakpuasan selalu ada, maka proses pemba-
haruan akan dirasakan sebagai keperluan yang terus menerus
oleh pihak yang berkuasa.
4 Juni 1971
Generasi Muda dan Status Oposisi
Status oposisi ialah kedudukan dari mereka yang secara politis
berlawanan dengan pemerintah yang ada, yaitu penguasa yang
sedang memegang kekuasaan efektif. Tugas oposisi ialah mela-
kukan kontrol (pengawasan) terhadap jalannya pemerintahan
dan memberikan oreksi-koreksi yang perlu. Karena itu oposisi
260 Pergolakan Pemikiran Islam
— Democracy Project —
yang sehat adalah oposisi yang berperan sebaik-baiknya dalam
arti bermanfaat bagi penyempurnaan jalannya pemerintahan.
Dan penguasa yang sehat adalah penguasa yang merasakan
adanya oposisi sebagai kepentingan dan karenanya bersikap
menghargai. Penguasa yang sehat akan menganggap kaum
oposisi sebagai partner, walaupun pada suatu saat bukan mus-
tahil kaum oposisi inilah yang mendepak mereka dari kursi
pemerintahan.
Tetapi apa yang digambarkan di atas adalah suatu type ide-
al dari suatu sistem yang bernama “check and balance”. Seca-
ra konkrit yang kita lihat adalah oposisi yang tidak sehat ser-
ta juga pemerintah yang tutup telinga terhadap suara oposisi.
Jadi jauh dari yang ideal. Kenyataan ini kita temui di Inggris,
Amerika Serikat, India, Filipina dan lain negara lagi. Pokoknya
tidak ada yang mencapai type ideal. Hanya kita dapat mengata-
kan bahwa hubungan oposisi pemerintah di Inggris jauh lebih
sehat daripada di Filipina, misalnya.
Agaknya pada kategori terakhir di atas lah sejarah Indo-
nesia Merdeka berada. Tugas oposisi belum dihargai oleh pe-
merintah ataupun oleh mereka yang sedang melakukan peran-
an oposisi. Pihak pemerintah menganggap oposisi sebagai pe-
rongrong kewibawaannya dan menjegal program-progranmya,
sedang pihak oposisi di lain pihak menganggap pemerintah
sebagai musuh yang harus selalu ditemukan kelemahan-kele-
mahannya (kalau perlu dicari-cari) dan kemudian dihantam
habis-habisan tanpa memperhatikan faktor-faktor obyektif yang
mendasarinya. Kekuasaan pemerintahan silih berganti dari
suatu kekuasaan politik. Pada kekuasaan politik yang lain, dan
hubungan pemerintah oposisi hampir dapat dikatakan menun-
Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 261
— Democracy Project —
jukkan sesuatu ciri-ciri yang tetap. Agaknya, bisa ditemukan
dua sebab yang bersifat historis dan kultural: Pertama dalam
struktur kebudyaan kita belum ada tempat untuk oposisi. Pi-
kiran-pikiran yang sewaktu-waktu menunjukkan sesuatu yang
“dissent’ mungkin masih bisa dihargai. Tetapi pelembagaannya
dalam suatu status atau peranan yang dari awal memang seca-
ra politis berlawanan akan ditolak bulat-bulat. Jiwa kolektivis-
me masyarakat Indonesia dan sikap paternalistik yang masih
kuat merupakan inti dari struktur kebudayaan yang demikian.
Sebab, kedua ialah kebiasaan untuk meneruskan alam pikiran
yang hidup di zaman perjuangan melawan penjajahan Belanda
kepada alam merdeka. sekarang. Pemerintahan yang ada selalu
saja dilihat sebagai kekuasaan penindas, yang dicurigai policy-
policynya, dicari kelemahan-kelemahannya dan ditumbangkan.
Pemimpin-pemimpin Indonesia sekarang masih banyak yang
merupakan generasi zaman penjajahan atau paling sedikit me-
nempuh pendidikan politik yang berkarakteristik alam koloni-
al, dan ini terlanjutkan terus di alam merdeka tanpa disadari.
Sebab kedua ini terutama merupakan penyebab kekurangan-
kekurangan pihak oposisi: sedang yang pertama tadi terutama
sebagai penyebab kekurangan mereka yang sedang memerintah.
Tentunya ada interdependensi antara kekurangan-kekurangan
pada pihak oposisi dengan pihak pemerintah.
Bagi generasi muda Indonesia, sebab-sebab kultural meru-
pakan masalah berat yang harus dihadapi dengan tekun, sedang
sebab kedua yang disebabkan oleh warisan-warisan historis za-
man kolonial akan menipis dengan sendirinya dimakan waktu
dan bisa diharapkan bahwa generasi kepemimpinan mendatang
akan menganggap pemerintah sebagai miliknya sendiri, meski-
262 Pergolakan Pemikiran Islam
— Democracy Project —
pun mereka berada di pihak oposisi. Karena itu bila generasi
muda Indonesia menginginkan suatu arah kehidupan politik
yang setahap demi setahap maju ke sistem politik demokrasi,
tugas mereka adalah merombak struktur kebudayaan yang ada
sekarang. Beberapa jalan mungkin bisa ditempuh. Pertama de-
ngan mengadakan “shock-shock kebudayaan” secara terus me-
nerus untuk menggoncangkan tradisi-tradisi yang sudah beku.
Pikiran-pikiran yang “nyleneh” tidak usah ragu-ragu dikeluar-
kan. Orang seperti WS Rendra yang secara beruntun terus me-
nimbulkan kejutan-kejutan dalam masyarakat, termasuk dalam
masyarakat seniman sendiri, sangatlah penting. Dalam tingkat
yang lebih rendah bisa kita saksikan juga orang-orang seperti
Ali Sadikin, Sjafruddin Prawiranegara dan beberapa lainnya.
Suatu masyarakat yang sudah hampir kehilangan dinamik, di
mana pikiran-pikiran yang berlawanan dianggap selalu jelek,
sangat diperlukan orang-orang urakan macam di atas. jalan
kedua yang mungkin bisa ditempuh ialah dengan membangun
suatu struktur politik yang merangsang perubahan struktur
kebudayaan yang ada sekarang. Jalan ketiga ialah dengan terus
melakukan sikap oposisional (walaupun tidak berstatus oposisi)
yang sehat terhadap pemerintah oleh “the uncommitted genera-
tion” yaitu mereka yang berjuang di luar lingkaran kekuasaan
parpol dan Golkar serta menganut cita-cita pembaharuan. Da-
lam kerangka inilah orang-orang seperti Arief Budiman, Nono
Anwar Makarim, Marsilam Simandjuntak, Jusuf A. R. Dari ge-
nerasi muda oposisi serta kekuatan-kekuatan bebas di Yogja-
karta bisa dinilai dan dihargai.
4 Juni 1971
Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 263
— Democracy Project —
Kalah dan Menang (Dari Pemilu 1971)
Kekalahan PNI sejauh yang saya amati, disebabkan oleh empat
hal. Pertama, tema utama PNI disaingi Golkar; kedua: tenaga-
tenaga pokok PNI di pamongpraja tidak sempat kampanye;
ketiga, watak pamongpraja yang penguasa oriented berhasil
besar menggilas pendukung-pendukung marginal PNI; keem-
pat, sumber solidaritas dan superioritas PNI (Sukarno) tidak
dikampanyekan lagi.
Ada pula yang menjadi sebab kekalahan Parmusi? Saya
lihat ada beberapa sebab utarna. Pertama, sumber solidari-
tas dan superioritas Parmusi (Natsir dan teman-temannya)
disingkirkan dan dimusuhi; kedua: tema demokrasinya tak
terpakai (hilang); ketiga, tema-tema ideologis (agama) tidak
ada lagi.
Sekarang, apakah yang menyebabkan NU beroleh keme-
nangan? Pertama, tema-tema agama (fatwa ulama dan lain-
lain) dipakai; kedua, NU menjadi pelopor terdepan tema de-
mokrasi, sehingga merebut hati massa Masyumi yang tidak
fanatik (bukan Muhammadiyah) serta massa PNI yang agak
santri; ketiga, sumber solidaritas dan superioritas sejak dulu
(Idham Chalid dan lain-lain) masih dipakai, demikian juga
ulama-ulama; keempat, massanya yang bodoh tapi fanatik rela-
tif sukar diubah oleh tema-tema keagamaan dari Golkar yang
kurang meyakinkan.
Kalau dalam Pemilu 1971 ini Golkar ternyata unggul, pasti
ada sebab-sebabnya pula. Dan ini banyak sekali. Saya bisa se-
but yang penting saja. Pertama, tema utamanya bisa merebut
massa PNI serta eks massa PKI yang sebagian besar sudah jera
dengan PKI (massa yang bodoh dan tidak fanatik); kedua, Gol-
264 Pergolakan Pemikiran Islam
— Democracy Project —
kar berhasil baik memonopoli pamongpraja; ketiga, Golkar juga
berhasil menggunakan sebagian kekuatan-kekuatan tradisional;
keempat, berhasil memperoleh bantuan finansial yang kuat (sia-
pa bisa menandingi?); kelima, mendapat kebebasan berkam-
panye yang jauh lebih luas; keenam, berhasil menghilangkan
kekuatan-kekuatan utama parpol khususnya PNI dan Parmusi;
ketujuh: keberhasilan pemerintah dalam pembangunan; kedela-
pan, cara kerja Golkar moderen, baik yang menyangkut perso-
nil maupun operasional.
Di sisi keberhasilan Golkar yang luar biasa itu secara
kuantitatif, saya melihat beberapa kelemahan Golkar (kualita-
tif) pertama, jumlah yang diperoleh relatif kurang wajar, dan
ini karena diperoleh bukan lewat fair competitive terutama
di masa kampanye; kedua, di dalam tubuh Golkar terdapat
heterogenitas; ketiga, Golkar tidak otonom (masih didikte);
keempat, suara yang diperoleh bukan hasil sebagai kekuatan
politik, tapi karena suplai finansial dan politis dan kekuatan
aparatur negara; kelima, di dalam tubuh Golkar banyak kaum
oportunis dan profitir.
Saya kira tanggungjawab yang dipikul Golkar dengan ke-
menangan mutlak yang diperoleh dalam Pemilu yang baru lalu
terlampau berat. Dikatakan terlampau berat karen sebenarnya
kemampuan membangun Golkar agak jauh di bawah tingkat
kemenangannya. Selain karena kelemahan-kelemahan Golkar
yang disebut tadi, juga karena kekuatan pendukung Golkar se-
benarnya sebagian besar masih terdiri dari unsur-unsur yang
tidak berorientasi pada pembangunan. Inilah yang harus di-
pikirkan dalam meletakkan tanggungjawab dan harapan yang
terlalu besar pada Golkar. Harapan yang berlebih-lebihan amat
Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 265
— Democracy Project —
berbahaya. Tapi mudah-mudahan orang Indonesia cepat jadi
realistis, sehingga harapan yang digantungkan pada Golkar
berada pada tingkat yang wajar saja.
Jangan berharap pada Golkar setinggi angka yang dipero-
lehnya dalam pemilu yang lalu itu!
18 Juli 1971
Orang-orang Abangan Tradisional
Pada umumnya pemikiran orang-orang abangan tradisional
tidak konsisten antara sikapnya dalam masalah moderenisasi
kebudayaan dengan kehidupan beragama. Dalam hidup budaya
politik orang seperti Wonohito cenderung mempertahankan
status quo struktur kebudayaan yang ada dan menolak pe-
nerapan konsepsi-konsepsi yang telah lama berkembang di
Barat. Sebaliknya dalam hidup keagamaan mereka menerima
sepenuhnya konsepsi keagamaan masyarakat Barat dan meng-
hantam tradisi-tradisi keagamaan orang-orang Muslim tanpa
kenal kompromi. Bahkan dalam politik mereka memutlakkan
kompromi dengan tradisi yang ada.
Kita kaum intelektual harus berusaha agar pikiran kita
konsisten dalam arti memiliki metode-metode pendekatan
yang seragam.
6 September 1971
266 Pergolakan Pemikiran Islam
— Democracy Project —
“Teologi Politik”
Banyak sekali tulisan-tulisan tentang politik, termasuk usaha-
usaha pemecahan masalahnya, tidak berlandaskan pada hakekat
politik itu sendiri. Karena itu yang dibicarakan sebenarnya
bukan lagi politik melainkan impian-impian kosong tentang
politik. Inilah yang saya lihat dari tulisan-tulisan Wignya Pra-
narka, Soe Hok Gie, juga dari hasil-hasil seminar Universi-
tas Parahiyangan. Mereka tidak mau melihat politik sebagai
politik. Mereka tidak cukup berendah hati untuk sementara
memandang politik sebagai kenyataan obyektif. Karena itu yang
mereka tulis bukan lagi analisa politik atau problem solving di
bidang politik. Saya cenderung menamakannya “teologi politik”.
Dan sebagai orang yang menganut suatu tuntunan tertentu atau
memiliki cita-cita tertentu bagi masa depan kehidupan ini, saya
adalah di antara merka yang setuju dan menganut “teologi
politik” yang demikian.
Saya menerima dan menganutnya sebagai “teologi politik”,
tap! menolaknya sebagai konsep pemecahan masalah apalagi
sebagai petunjuk-petunjuk memahami kenyataan politik yang
ada.
17 Oktober 1971
Perkemahan Kaum Urakan di Parangtritis
Bermula, istilah “urakan” dalam arti yang konstruktif saya
dengar pertama kali dalam sebuah diskusi keciI di rumah Dr.
Mukti Ali pada bulan Juli 1970 (hampir satu setengah tahun
yang lalu). Dalam diskusi yang bertopik “Beberapa Masalah
Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 267
— Democracy Project —
Moderenisasi” tersebut, W. S. Rendra menyatakan perlunya
pemimpin yang urakan dalam usaha mempercepat proses mo-
derenisasi masyarakat Indonesia. Ide “urakan” ini diulangi lagi
oleh Rendra sebulan kemudian dalam artikelnya “Gerakan
Mahasiswa dan Ludruk” di harian Kompas. Dalam diskusi
ataupun dalam artikel tersebut Rendra menekankan bahwa
“kekurangajaran” atau humor kasar orang-orang urakan bisa
berfungsi sebagai penyegar dan pembaharu kebudayaan. “Per-
hatikanlah orang-orang urakan seperti Ali Sadikin, Semar, Ken
Arok, Joko Tingkir dan lain-lain. Dengan kekurangajarannya
pada tradisi dan nilai-nilai halus masyarakat, mereka mampu
mengungkapkan frustrasi dan impian-impian akan perbaikan
yang semula terpendam di bawah sadar karena tertahan pera-
saan atau nilai-nilai halus”, demikian Rendra.
Dan rupanya Rendra sudah benar-benar mantap dengan
ide urakannya tersebut. Dalam drama “Dunia Azwar” yang
dipentaskan di Jakarta dan Yogyakarta, dia gambarkan kehi-
dupan kaum urakan yang selalu mengadakan pemberontakan
atau cubitan-cubitan terhadap establishment yang ada. Seba-
gai follow-up-nya pada tanggal 16 sampai dengan 18 Oktober
yang lalu telah berlangsung perkemahan kaum urakan di pan-
tai lautan Hindia, dengan tempat rendevouz Nyai Loro Kidul
dengan Sutawijaya (Raja Mataram yang pertama). Tempat itu
berjarak 28 kilometer dari Yogyakarta dan desanya bernama
Parangtritis. Hampir 200 peserta dari Yogya, Surabaya, Malang,
Bandung, Jakarta, Kudus, Semarang berkumpul dalam kemah-
kemah dan rumah-rumah pondokan serta mengadakan aktifi-
tas-aktifitas sesuai dengan bidangnya masing-masing di bawah
teriknya matahari dan di tengah dinginnya malam. Acara-aca-
268 Pergolakan Pemikiran Islam
— Democracy Project —
ra yang disodorkan Rendra yaitu mengadakan renungan batin,
mengekspresikannya dalam macam-macam bentuk (ungkapan),
diskusi tentang cinta, lomba skets, karya-karya puisi dan seba-
gainya. Sayang sekali tokoh-tokoh yang seharusnya datang dan
memimpin acara-acara seperti Sardono, Asrul Sani dan M. T.
Zen tidak datang sehingga hampir semua acara terpusat pada
tokoh Rendra yang beruntung telah sedikit diperingan tugas-
nya dengan kedatangan Arief Budiman walau hanya sehari.
Inilah kira-kira faktor pokok yang mengakibatkan perkemah-
an kaum urakan ini kurang mencapai apa yang diperkirakan
semula. Faktor lain yang mungkin bisa disebutkan ialah belum
terciptanya intimitas di antara peserta yang begitu banyak da-
lam waktu yang sangat pendek, di samping belum meratanya
rasa ikut bertanggungjawab akan kesuksesan perkemahan itu
pada peserta-peserta luar Bengkel Teater. Faktor kedua ini me-
nyebabkan acara-acara spontanitas kurang berjalan baik. Keke-
cewaan mungkin bisa ditumpahkan pada mereka yang kurang
Spontan atau kurang berani dalam mengkespresikan diri, seba-
gai manifestasi rasa bertanggungjawab atau sense of belonging
pada perkemahan tersebut. Sebenarnya rasa bertanggungjawab
atau sikap partisipatif bisa lebih daripada hanya seruan moral
yaitu dengan pembagian-kekuasaan dalam menentukan policy,
isi acara dan sebagainya. Tentu saja kalau memang mengingin-
kan agar mereka yang datang dari luar tidak bersikap sebagai
penonton atau “tamu yang diundang”.
Apakah manfaat yang bisa diambil dari perkemahan yang
begitu banyak pesertanya yang hampir semua aktifitasnya ber-
sandar pada kekuatan seorang tokoh? Apakah manfaat yang
bisa diambil dari perkemahan yang terbuka untuk umum, yang
Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 269
— Democracy Project —
saya kira sebagian besar bukan seniman, yang sebagian besar
bukan urakan otentik (tapi semuanya ingin disebut urakan),
yang masih banyak terseret oleh ungkapan-ungkapan klise da-
lam artikel-artikel kesenian atau kitab-kitab agama, yang be-
lum semuanya sungguh-sungguh mengadakan renungan batin
untuk menangkap apa yang hilang dari kehidupan sehari-hari?
Namun demikian, bagi pribadi-pribadi yang tidak mau me-
nyerah pada keadaan tentu banyak manfaat yang bisa digali,
Sumber kekayaan rohani ada di mana-mana, dalam kekurangan
maupun kesempurnaan. Tidak ada ukuran umum untuk hal-
hal yang individual sekali. Yang jelas kini ide urakan makin
tersebar. Orang menjadi lebih berani untuk menilai atau me-
ragukan kebudayaan yang sudah mapan. Dalam diskusi panel
pada konperensi studi regional dosen-dosen Kristen se Jawa-
Kalimantan-BaIi, Ridwan Saidi dari pimpinan PB HMI berka-
ta bahwa cara-cara urakan diperlukan untuk pembangunan di
samping media pendidikan. Malahan tokoh muda Islam ter-
sebut mencontohkan adegan cium dalam drama-drama untuk
melawan tabu tertentu dalam masyarakat kita. Menjadi perta-
nyaan, apakah mereka yang meniru-niru ingin jadi urakan be-
tul-betul faham akan tujuannya?
27 Oktober 1971
Kebudayaan Jawa Penghambat Kemajuan?
Mengapa kebudayaan Jawa yang paling banyak disebut sebagai
penghambat kemajuan? Sebabnya mungkin bisa dicari pada
kenyataan bahwa kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang
270 Pergolakan Pemikiran Islam
— Democracy Project —
paling lengkap dan menyeluruh. Lantas? Karena lengkap dan
menyeluruh, dia sukar berubah!
2 Desember 1971
Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air 271
— Democracy Project —
Bagian 3
Dari Dunia
Kemahasiswaan
dan Keilmuan
— Democracy Project —
Kritik Orang-Dalam terhadap Himpunan
Mahasiswa Islam
Hampir setahun yang lalu sewaktu berlangsung Maperma di
sebuah fakultas UGM, terjadi sedikit pertengkaran antara be-
berapa anggota panitia yang menjadi anggota HMI dengan
beberapa anggota panitia lain yang menjadi anggota PMKRI
dan GMKI. Mereka bertengkar tentang bentuk cocarde yang
akan dipakai oleh seksi keamanan. Persoalannya sederhana
saja; yang anggota HMI menginginkan bentuk cocarde yang
mirip-mirip bentuk bulan-bintang, sedang pihak GMKI dan
PMKRI menginginkan bentuk yang menyerupai salib. Kei-
nginan mereka itu memang tidak disampaikan terus terang.
Dan kelanjutannya tentu saja dihasilkan kompromi yang tidak
memilih kedua-duanya. Namun sebelumnya kedua belah pihak
masih saja bersitegang leher.
Di kesempatan lain, dalam kesibukan panitia Maperma itu
juga, telah terjadi perselisihan antara anggota panitia utusan
HMI plus simpatisan-simpatisannya dengan anggota-anggota
panitia utusan PMKRI dan GMKI. Masalahnya juga tidak kalah
sederhananya. Yang pertama menghendaki agar Maperma dise-
lenggarakan dalam suatu urutan hari di mana hari Raya Qur-
ban termasuk dalam urutan itu. Yang kedua menghendaki agar
dipilih waktu yang jauh sebelum itu atau agak jauh sesudah
itu. Maksudnya agar terhindar dari hari yang “berbahaya” yaitu
273
— Democracy Project —
Hari Raya Qurban. Maksud kedua belah pihak juga sederhana.
Yang pertama bermaksud ingin mendemonstrasikan kebesaran
syiar Islam di kalangan mahasiswa-mahasiswa baru. Hari Raya
Qurban dianggap momentum terbaik sesuai dengan ilmu psi-
kologi massa. Diperkirakan 80 persen dari mahasiswa baru
akan dipersilakan berbaris menuju lapangan sebagai cerminan
kekuatan Islam. Sedang pihak kedua kurang senang dengan
cara-cara demonstratif semacam itu yang akan merupakan
penampilan “potret mayoritas” dan “potret minoritas”. Apalagi
waktu itu cama-cami abangan yang setidak-tidaknya mungkin
bisa dipengaruhi untuk ditarik ke agama mereka, telah “digi-
ring” menjadi seolah-olah “santri”. Memang sejak akhir tahun
1965 dalam setiap Maperma tak ada kemungkinan bagi orang
yang tidak atau belum taat beragama, apalagi yang belum ber-
agama, untuk menampakkan secara terus terang pribadinya.
Apakah yang dapat kita tarik dari peristiwa ini? Pertama,
bahwa gambaran tentang Islam dari anggota dan aktifis HMI
terlalu lahiriah atau simbolis. Perjuangan Islam disamakan de-
ngan mempertengkarkan kertas yang digunting mirip bulan-
bintang dan di samping itu hati sudah bangga bila sudah ber-
hasil membuat seorang mahasiswa jongkok berdiri melakukan
sholat meskipun hatinya sebenamya tidak sholat. Kedua, bah-
wa aktifis-aktifis HMI telah terseret pikirannya pada masalah-
masalah kecil yang kurang berarti bagi suksesnya perjuangan
(malah mungkin merugikan perjuangan). Kita telah melupakan
masalah strategis dan melalaikan teori perjuangan. Sayang, kita
mahasiswa Islam kurang sadar bahwa kita memikul suatu missi
sejarah, dengan menjadikan diri kita pejuang-pejuang funda-
mental, radikal dan idealis murni. Dua syarat harus dipenuhi
274 Pergolakan Pemikiran Islam