Selain itu warga juga mulai mengalami penyakit aneh, seperti
gatal-gatal, sakit kepala yang berulang-ulang, perut sering mual,
muntah, pembengkakan di beberapa bagian tubuh dan beberapa
ibu sering mendadak pingsan (Lutfillah, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian tim terpadu yang dikirim oleh
pemerintah pusat disimpulkan bahwa PT. NMR telah mencemari
lingkungan di Teluk Buyat. Tim Terpadu Penanganan Kasus Buyat
juga menemukan laporan audit internal Newmont yang
dibeberkan dalam harian New York Times . Dalam laporannya
tertanggal November 2004, Tim Terpadu mencurigai adanya
pembuangan 33 ton merkuri langsung. Kecurigaan tersebut
ternyata terbukti kebenarannya pada laporan audit internal
Newmont yang dipaparkan dalam artikel New York Times
berjudul ”Mining Giant Told it Put toxic Vapors Into Indonesia’s
Air”. Dalam laporan tersebut ditunjukkan pada 1998 mercurry
scrubber tidak berfungsi dengan baik dan baru diperbaiki
pertengahan tahun 2001 sehingga merkuri menguap ke udara dan
tidak ditangkap sebagai kalomel. Dalam penjelasan lebih lanjut
disebutkan bahwa 33 ton merkuri yang seharusnya dikumpulkan
dan dikirim ke PPLI selama 4 tahun, ternyata 17 ton diantaranya
terlepas di udara dan 16 ton dilepaskan ke Teluk Buyat
(Lutfillah, 2011).
Pencemaran Air 36
Berikan Jawaban Terbaikmu….!!!
1. Bagaimana suatu perairan dikatakan tercemar?
2. Bagaimana pupuk dan pestisida dapat mencemari perairan?
3. Bagaimana hubungan antara polutan, BOD, COD, dan DO?
4. Bagaimana tragedi Minamata ataupun teluk Buyat bisa terjadi?
5. Mengapa pencemaran air memiliki dampak negatif terhadap
kesehatan manusia?
Ayo Semangatlah…!!!
Cari dan amati
pencemaran air
yang ada di
lingkungan
sekitarmu!
37 Pencemaran Air
Cr (VI)
Cr (VI)
BAB II
PENCEMACr (RVI)AN
Cr (VI) AIR
BAB III
PENCEMARAN AIR OLEH Cr (VI)
Cr (VI)
Cr (VI)
Cr (VI)
Cr (VI)
BAB III Pencemaran Air
Oleh Cr (VI)
Tahukah Kamu???
Tragedi pembuangan limbah Cr secara illegal telah terjadi di China
selama berbulan-bulan di dekat waduk Yunnan. Pada bulam maret 2011,
truk mulai mengangkut tanah yang berwarna hitam dan kuning menuju
tanah berpasir barat desa. Tidak ada yang mengetahui bahwa tanah
tersebut kemudian dibuang di pinggir jalan. Limbah tersebut diam-diam
meracuni pasokan air utama masyarakat. Air hujan yang jatuh
terkontaminasi limbah Cr yang kemudian mengalir ke waduk membuat
waduk menjadi beracun karena mengandung Cr (VI) 200 kali lebih tinggi
dari yang diperbolehkan. Akibat pembuangan limbah secara illegal
terjadilah hal yang mulai aneh. Pertama sekitar 70 ekor kambing gunung
mati secara misterius. Babi para petani menderita perut bengkak yang
kemudian juga mati. Air dari sumur berubah baunya menjadi aneh dan
kemeja putih menjadi kuning setelah dicuci. Para warga mulai takut
mengkonsumsi air sumur. Masalah terus berlanjut, tiga tanaman utama di
desa Yangqiying dan Zhaishang juga terkena dampak. Daun tembakau
berubah menjadi kuning dan berbintik, sedangkan padi dan jagung
menunjukkan pertumbuhan yang buruk. Akankah hal demikian juga dialami
oleh Indonesia? (dikutip dari www.theguardian.com).
Mungkin kita semua sudah tidak asing dengan kata krom
atau juga disebut dengan kromium dan disingkat dengan Cr,
namun tahukah anda apa yang dimaksud dengan Cr? Pernahkah
anda mengetahui keberadaan Cr serta perannya? Cr adalah salah
Pencemaran Air Oleh Cr (VI) 38
satu unsur alami yang keberadaannya dapat bermanfaat ataupun
berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Cr sering digunakan
sebagai paduan logam keramik, stainless steel dan juga pelapisan
logam. Cr memiliki nilai yang tinggi di dunia industri karena
mengkilat seperti cermin, tahan lama, dan anti karat.
A Keberadaan Cr (VI) di Lingkungan
Menurut Cahyonugroho dan Hidayah (Tanpa Tahun) kata
krom berasal dari bahasa Yunani (Chroma) yang berarti warna.
Dalam kimia, krom mempunyai nomor atom (NA) 24 dan
mempunyai berat atom (BA) 51,996 (Gambar 3.1). Logam krom
yang biasa disingkat dengan Cr pertama kali ditemukan oleh
Vagueline pada tahun 1797. Cara memperoleh logam Cr diketahui
setelah satu tahun logam ini ditemukan.
Gambar 3.1 Keberadaan Cr dalam Sistem Periodik
(Sumber: Sneddon, 2012)
Terdapat beberapa tambang Cr di berbagai dunia sebagai
bentuk alami bijih kromat (FeCr2O4), di antaranya di Afrika
Selatan, Zimbabwe, Finlandia, India, Kazakhstan, dan Filipina. Cr
tidak stabil dalam lingkungan oksigen dan bila terkena udara
39 Pencemaran Air Oleh Cr (VI)
segera menghasilkan lapisan oksida yang impermeable terhadap
kontaminasi oksigen lebih lanjut (Sneddon,2012).
Cr merupakan salah satu logam berat yang keberadaannya
dapat ditemui di lingkungan. Sifat Cr sangat tergantung pada
struktur molekul senyawanya, terutama pada keadaan
oksidasinya (atau bilangan oksidasi). Cr adalah elemen yang
keberadaannya dapat ditemui terutama dalam dua bagian
oksidasi yang berbeda, yaitu heksavalen dilambangkan sebagai
Cr (VI) dan trivalent dilambangkan sebagai Cr (III). Unsur Cr
dengan bilangan oksidasi nol sangat jarang ditemukan secara
alami. Oksidasi lain dari Cr tidak stabil sehingga tidak ditemukan
dalam lingkungan alam. Keadaan oksidasi Cr memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap transportasi dan nasib Cr serta pada
jenis dan biaya perlakuan yang dibutuhkan untuk mereduksi
konsentrasi Cr menjadi kurang dari standar baku mutu (Hawley
et al., 2004).
Cr memasuki lingkungan melalui dua cara, yaitu proses
alam dan aktivitas manusia. Peningkatan Cr (III) terutama
disebabkan oleh industri penyamakan kulit, tekstil, dan baja.
Seperti halnya Cr (III), peningkatan Cr (VI) juga terjadi oleh
aktivitas industri penyamakan kulit, tekstil, dan baja, selain itu
juga disebabkan oleh industri elektro painting dan pabrik kimia
(Sneddon, 2012).
Pencemaran air tanah dapat terjadi karena rembesan
tambang kromat, pembuangan alat dan perlengkapan
pertambangan dan industri yang tidak tepat. Cr dapat
mempengaruhi kualitas udara melalui produksi batubara yang
pada akhirnya juga dapat menyebabkan pencemaran air dan
tanah (Sneddon, 2012).
Pencemaran Air Oleh Cr (VI) 40
B Limbah Industri Penyamakan Kulit Mengandung Cr
(VI)
Menurut Turista (2010) dilihat dari asal bahan pencemar,
maka sumber dari sifat air limbah industri penyamakan kulit
dapat dibedakan berdasarkan tahapan prosesnya sebagai
berikut.
1. Perendaman.
Air limbah perendaman mengandung sisa daging, darah, bulu,
garam mineral, debu, kotoran lain dan bakteri anthrax.
Selain itu bahan perendaman juga mengandung bahan organik
yang akan mempengaruhi BOD, COD, dan SS.
2. Buang bulu dan pengapuran.
Limbah cair berwarna putih kehijauan, kotor dan berbau
menyengat. Limbah ini mempunyai PH 9-10 dan mengandung
kalsium, natrium sulfida, albumin, bulu, sisa daging dan
lemak, berpengaruh terhadap air, tanah dan udara, yaitu
pada BOD, COD, SS, alkalinitas, sulfida, N-organik, N-
amonia dan gas H2S.
3. Air limbah buang kapur.
Dari proses buang kapur mempunyai beban polutan yang lebih
kecil dibanding dengan air limbah buang bulu dan pengapuran.
Limbah ini akan menyebabkan pencemaran air dengan
indikator BOD,COD, DS dan N-amonia yang mencemari
udara.
4. Air limbah pengikisan protein.
Air limbah ini menyebabkan pencemaran air yang akan
ditunjukkan dengan tingginya nilai BOD, COD, DS dan lemak.
41 Pencemaran Air Oleh Cr (VI)
5. Air limbah pikel dan Cr.
Pikel adalah suatu cairan yang terdiri dari campuran antara
asam dengan garam dapur yang berfungsi untuk
mengawetkan kulit (Gumilar et al., 2010 dalam Anggara,
2013). Pikel berfungsi untuk meningkatkan kecepatan
meresapnya zat penyamak sehingga dapat menghindari
kerusakan rajah, dan merupakan proses awal yang sangat
penting pada tahapan pengolahan kulit (Judoamidjojo, 1981
dalam Anggara, 2013). Proses ini menghasilkan limbah cair
yang mengandung protein, sisa garam, mineral dan Cr valensi
3 yang bila tercampur dengan alkali akan terbentuk Cr
hidroksida.
6. Air limbah gabungan termasuk pencucian.
Air limbah ini mempunyai volume ± 30 l/kg; pH 7,5-10; total
solid 10.000-25.000 mg/l, suspended solid 1.250-6.000 mg/l
dan BOD 2.000-3.000 mg/l.
7. Air limbah pengecatan dasar penggemukan.
Air limbah hasil ini akan menyebabkan pencemaran berupa
BOD, COD, DS, Cr, sisa samak nabati, pewarna dan lemak.
Pada umumnya karakteristik limbah cair yang dihasilkan
industri kulit berwarna keruh dan berbau tidak sedap, karena
biasanya masih terkandung sisa-sisa daging serta darah, bubur
kapur, bulu halus, protein terlarut, sisa garam, asam, sisa cat
dan zat samak Cr (Yazid, dkk., 2007). Giacinta (2013)
menyatakan bahwa sebagian besar limbah yang ditimbulkan
merupakan limbah cair yang mengandung logam berat Cr.
Industri penyamakan kulit menghasilkan limbah yang
mengandung Cr (III) dan Cr (VI) yang sangat beracun. Industri
Pencemaran Air Oleh Cr (VI) 42
penyamakan kulit merupakan sumber utama pencemaran Cr dan
menghasilkan Cr (VI) berkisar antara 40-25.000 mg/ l air
limbah (Benazir et al., 2009). Gambar limbah industri
penyamakan kulit disajikan pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Limbah Industri Penyamakan Kulit
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2010)
Selama beberapa dekade terakhir pembuangan Cr (VI) ke
ekosistem perairan telah menjadi keprihatinan di semua daerah
penyamakan kulit di India (Haydar et al., 2007). Secara
signifikan polutan ini dimasukkan ke dalam sistem air dari unit
pengolahan limbah kulit sebagai hasil dari penyamakan kulit Cr.
C Bahaya yang Ditimbulkan oleh Cr (VI)
Cr adalah polutan yang umum di antara polutan logam
berat dari limbah industri dan paling beracun (Benazir et al.,
2009). Logam berat merupakan polutan lingkungan yang berada
di mana-mana dan terus-menerus yang bertambah ke lingkungan
melalui kegiatan manusia (Teitzel dan Mathew, 2003 dalam
Benazir et al., 2009). Cr termasuk kontaminan logam yang ada di
43 Pencemaran Air Oleh Cr (VI)
alam, terutama jenis anion Cr (VI) yang sangat beracun dan
dapat larut dan anion Cr (III) yang kurang beracun dan kurang
larut (James, 2002 dalam Benazir et al., 2009). Cr (VI) sebagai
elemen transisi yang biasanya digunakan secara luas dalam
penyamakan, finishing logam, penyulingan minyak bumi, besi dan
industri baja, produksi kimia anorganik, dan pengolahan tekstil
dan produksi pulp (Srinath et al, 2002;. Meriah dan Tebo, 2002
dalam Benazir et al., 2009).
Interaksi Cr dengan sistem biologi sangat berbeda dan
kompleks. Toxikokinetik dari Cr (VI) menunjukkan bahwa
penetrasi ke membran biologis memiliki tingkat yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Cr (III). Berdasarkan kajian literatur
Vankar dan Bajpai (2007) diperoleh bahwa sekitar 10% dari Cr
(VI) yang tertelan diserap dalam saluran pencernaan.
Karsinogenisitas Cr (VI) telah didokumentasikan dengan baik.
Dalam berbagai kasus telah dilaporkan adanya ulserasi kulit dan
kontak alergi dermatitis. Seperti halnya pengamatan yang
dilakukan Vankar dan Bajpai (2007) di daerah penyamakan kulit
juga mengakibatkan demikian.
Vankar dan Bajpai (2008) menyatakan bahwa menghirup
Cr dapat menyebabkan toksisitas akut, iritasi dan ulserasi
septum hidung dan sensitisasi pernafasan. Kontak kulit dapat
menghasilkan keracunan sistemik, kerusakan atau bahkan luka
bakar yang parah, gangguan penyembuhan luka atau goresan, dan
jika tidak segera diobati dapat menyebabkan ulserasi serta
alergi kronis. Eksposur mata dapat menyebabkan kerusakan
permanen. Pada umumnya Cr (VI) lebih mudah diserap ke dalam
sel daripada Cr (III).
Pencemaran Air Oleh Cr (VI) 44
Toksisitas Cr dalam berbagai limbah industri telah
didokumentasikan dengan baik. Senyawa Cr (VI) menimbulkan
risiko kesehatan bagi manusia, tanaman, hewan dan ikan (Srinath
et al, 2002;. dan Lee & Jones, 1998 dalam Benazir et al., 2009).
Cr bersifat karsinogenik dan mutagenik sehingga Amerika
Serikat Environment Protection Agency (USEPA) telah
menetapkanya sebagai polutan prioritas atau polutan kelas A
(Srinath et al, 2002;. Lee & Jones, 1998 dalam Benazir et al.,
2009).
Pada konsentrasi tinggi, logam berat seperti Cr dapat
merusak membran sel, mengubah spesifisitas enzim, mengganggu
fungsi seluler dan kerusakan struktur DNA (Bruins et al., 2000
dalam Benazir et al., 2009). Cr (VI) mengaktifkan p53 oleh
spesies oksigen reaktif (ROS) dimediasi reaksi radikal bebas
yang terjadi selama pengurangan oksidatif Cr (VI) dalam sel.
Kerusakan oksidatif dianggap sebagai mekanisme penting dalam
genotoxicity Cr (VI) sehingga diperlukan remediasi Cr sebelum
dibuang. Hawley et al (2004) menyatakan bahwa Cr (VI) jauh
lebih mobile dan lebih sulit dihilangkan dari air daripada Cr
(III).
Cr (VI) merupakan bentuk Cr paling berbahaya. Akumulasi
Cr pada manusia terkonsentrasi di tulang, darah, dan organ. Pada
manusia dampak negatif Cr dapat menyebabkan masalah
kesehatan, diantaranya adalah reaksi alergi, ruam kulit, iritasi
hidung dan mimisan, bisul, melemahkan sistem kekebalan tubuh,
perubahan materi genetik, kerusakan ginjal dan hati, dan bahkan
dapat mengakibatkan kematian (Snodden, 2012). Contoh
penyakit kulit akibat pencemaran Cr (VI) disajikan pada Gambar
3.3.
45 Pencemaran Air Oleh Cr (VI)
Gambar 3.3 Penyakit Kulit Akibat Pencemaran Cr (VI)
(Sumber: http://www.galli.in/, 2013)
D Batas Ambang Cr (VI) di Lingkungan
Pada proses alami konsentrasi terlarut total Cr dalam air
tanah biasanya di bawah 10 mg/L (Richard dan Bourg, 1991
dalam Hawley et al., 2004). Di daerah yang tercemar,
konsentrasi Cr (VI) biasanya mencapai 300 hingga 500 mg/L
(CRWQCB, 2000; Maxwell, 1997 dalam Hawley et al., 2004) dan
telah dilaporkan mencapai 14g/L (Palmer dan Wittbrodt, 1991
dalam Hawley et al., 2004).
Standar India menetapkan bahwa toleransi maksimum
dari total Cr untuk pasokan air publik adalah 0,05 mg/L. Badan
perlindungan lingkungan telah memutuskan tingkat maksimum
yang diizinkan Cr (VI) di badan air adalah 50 μg/dm3, dalam air
minum 3 μg/dm3 dan Cr (III) 100 μg/dm3 (Lee dan Jones, 1998 ,
Palmer dan Puis, 1994 dalam Benazir et al., 2009).
Standar peraturan federal menetapkan total Cr dalam air
minum adalah 100 mg/L. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan
Negara Bagian California telah menetapkan standar 50 mg/L.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001
menetapkan standar 0.05 mg/L.
Pencemaran Air Oleh Cr (VI) 46
E Percemaran Cr (VI) di Sungai Badeg Kota Malang
Sungai Badeg terletak di jalan Kolonel Sugiono Gang VIII,
kelurahan Ciptomulyo, kecamatan Sukun, Kota Malang. Sungai
Badeg merupakan anak sungai Brantas dan bermuara di sungai
Brantas. Berdasarkan hasil wawancara dengan warga setempat
diketahui bahwa nama Badeg berasal dari bahasa jawa yang
artinya bau tidak enak yang sangat menyengat. Pemberian nama
Badeg kepada sungai tersebut dikarenakan sungai ini memiliki
karakteristik bau busuk yang sangat menyengat.
Selain baunya yang menyengat, karakteristik lain sungai
Badeg adalah airnya yang berbusa, berwarna keruh, kadang
keputihan, keunguan, dan keabu-abuan (Gambar 3.4). Hal ini
mengindikasikan bahwa sungai badeg telah tercemar. Menurut
Priza dan Kurnia (2009) berdasarkan informasi dari warga
setempat sungai Badeg merupakan sarana pembuangan limbah
pabrik. Setidaknya, ada tiga pabrik yang membuang limbahnya ke
sungai ini, yaitu PT Kasin dan PT Usaha Loka, keduanya bergerak
dibidang pengolahan kulit, dan PT Nasional yang bergerak
dibidang pengolahan karet. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ketiga
perusahaan itu ada dan berdiri sebelum ada pemukiman
penduduk. Izin mereka juga lengkap dan sesuai prosedur.
Bahkan, warga yang ada di sekitar bantaran sungai itu yang
mayoritas tidak memiliki IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan
bahkan ada juga yang membangun rumah di lokasi tanah
pemerintah yang bukan hak mereka.
47 Pencemaran Air Oleh Cr (VI)
Gambar 3.4 Sungai Badeg Kota Malang
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
Menurut Priza dan Kurnia (2009) sebenarnya pemerintah
sudah mengupayakan untuk mengawasi pengolahan limbah pabrik
itu sebelum dibuang ke sungai, tetapi biaya pengolahan limbah
itu lebih besar daripada biaya operasional pabrik itu sendiri
sehingga dapat menyebabkan kebangkrutan. Selain itu masalah
pendangkalan dan lambatnya aliran sungai juga disebabkan
seluruh limbah rumah tangga warga Ciptomulyo yang dialirkan ke
sungai tersebut. Hal ini menambah tingkat pencemaran sungai
Badeg.
Berdasarkan ciri fisik maupun wawancara dengan warga
menunjukkan bahwa sungai Badeg telah tercemar. Penulis
berusaha memastikan hal tersebut dengan mengambil sampel air
sungai Badeg untuk dianalisis parameter kimianya dan hasilnya
dibandingkan dengan standar baku mutu air kelas II peraturan
pemerintah Republik Indonesia nomor 82 tahun 2001. Hal ini
sesuai dengan Kementerian Lingkungan Hidup (2012) yang
menentukan kualitas air sungai di Indonesia berdasarkan baku
mutu air kelas II peraturan pemerintah Republik Indonesia
Pencemaran Air Oleh Cr (VI) 48
nomor 82 tahun 2001. Hasil analisis kimia aliran sungai Badeg
pada Desember 2012 menunjukkan bahwa BOD, COD, DO, TSS
nya sangat jauh dari standar baku mutu dan mengandung logam
berat Cr (VI) dengan konsentrasi tinggi. Perbandingan tersebut
dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Perbandingan Standar Baku Mutu Air Kelas II PP
RI No. 82 Tahun 2002 dengan Hasil Analisis
Sampel Sungai Badeg Desember 2012
Parameter Standar Baku Mutu Hasil Analisis Sampel Air
Air Kelas II Sungai Badeg
BOD 3 mg/L
COD 25 mg/L 331,935 mg/L
DO 4 mg/L 544,000 mg/L
TSS 50 mg/L
Cr (VI) 3,577 mg/L
0,05 mg/L 400 ppm
1,261 mg/L
49 Pencemaran Air Oleh Cr (VI)
Berikan Jawaban Terbaikmu….!!!
1. Bagaimana cara Cr (VI) mencemari air?
2. Bagaimana suatu perairan dikatakan tercemar Cr (VI) dan
bagaimana cara mengetahuinya?
3. Mengapa Cr (VI) lebih toksik bila dibandingkan dengan Cr (III)?
4. Bagaimana Cr (VI) dapat masuk ke dalam tubuh manusia?
5. Mengapa pencemaran Cr (VI) dapat membahayakan kesehatan
manusia atau makhluk hidup lainnya?
Ayo Semangatlah…!!!
Pelajarilah apa
penyebab
terjadinya
pencemaran air
yang telah kamu
amati pada bab
sebelumnya!
Pencemaran Air Oleh Cr (VI) 50
BAB IV
BIOREMEDIASI Cr (VI)
BAB IV Bioremediasi
Cr (VI)
Tahukah Kamu???
Pada awal tahun 1980an masih belum banyak diketahui interaksi antara
limbah beracun dan hidrosfer. Minimnya pengetahuan inilah yang
membatasi usaha perbaikan lingkungan tercemar. Kasus pertama dan
terbaik mengenai bioremediasi telah didokumentasikan pada tahun 1979.
Pada tahun 1979 di Bemiji, Minnesota, sebuah pipa minyak mentah pecah
dan mencemari tanah. Hal inilah yang mendasari adanya penelitian yang
terfokus pada bagaimana minyak mentah menyebar di tanah dan air
tanah. Ilmuwan mempelajari bahwa pelarutan bahan kimia beracun dari
minyak mentah dengan cepat terdegradasi oleh populasi mikroba alami.
Setelah beberapa tahun, air tanah yang terkontaminasi berkurang secara
signifikan akibat degradasi oleh mikroba. Hal ini menunjukkan bahwa
terjadi bioremediasi secara alami (intrinsik) pada tanah yang tercemar
tanpa adanya campur tangan manusia (dikutip dari U.S Geologycal
Survey).
A Prinsip Bioremediasi
Bioremediasi merupakan suatu proses untuk memperbaiki
kualitas lingkungan yang memburuk karena adanya kontaminan
dengan melibatkan agen biologis (tumbuhan, fungi, kapang,
Bioremediasi Cr (VI) 51
bakteri maupun enzim yang dihasilkannya). Kontaminan yang
dimaksud adalah bahan pencemar atau limbah yang masuk ke
dalam lingkungan. Berdasarkan lokasinya, bioremediasi dapat
dilakukan melalui dua cara, yaitu in situ dan ex situ.
1. Bioremediasi in situ merupakan perbaikan lingkungan
menggunakan agen bioremediasi yang dilakukan di lingkungan
tercemar itu sendiri.
2. Bioremediasi ex situ adalah perbaikan lingkungan
menggunakan agen bioremediasi yang dengan pemindahan zat
tercemar serta pencemar untuk dilakukan pengolahan di
tempat lain.
Bioremediasi adalah pemanfaatan jasa makhluk hidup
seperti mikroba (bakteri, fungi, khamir) tumbuhan hijau atau
enzim yang dihasilkan untuk pemulihan polutan melalui proses
metabolisme mereka (Widyati, 2008). Mikroba tertentu dapat
memanfaatkan polutan sebagai sumber energi untuk
pertumbuhan mereka (Alexander, 1977 dalam Widyati, 2008).
Priadie (2012) menjelaskan bahwa bioremediasi merupakan upaya
untuk menurunkan kadar polutan menggunakan mikroorganisme
yang telah dipilih untuk ditumbuhkan pada polutan tersebut.
Enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi
struktur polutan beracun menjadi tidak kompleks sehingga
menjadi metabolit yang tidak beracun dan tidak berbahaya
ketika proses bioremediasi berlangsung. Pada bioremediasi
terjadi biotransformasi atau biodetoksifikasi senyawa toksik
menjadi senyawa yang kurang toksik atau tidak toksik. Proses
utama pada bioremidiasi adalah biodegradasi, biotransformasi
dan biokatalis.
52 Bioremediasi Cr (VI)
Bioremediasi terjadi secara efektif apabila kondisi
lingkungan memungkinkan adanya pertumbuhan dan aktifitas
mikroba. Pada aplikasinya sering dilakukan manipulasi terhadap
parameter lingkungan untuk mendukung pertumbuhan mikroba
sehingga bioremediasi terjadi lebih cepat. Terdapat dua
pendekatan pada bioremediasi, yaitu biostimulasi dan
bioaugmentasi.
1. Biostimulasi
Biostimulasi melibatkan identifikasi dan penyesuaian faktor
fisik dan kimia tertentu (seperti suhu, pH, kadar air, kadar
nutrisi, dan lain-lain) yang dapat menghambat laju degradasi
kontaminan oleh mikroorganisme asli di daerah yang terkena
kontaminan, setelah factor fisiko kimia sesuai, biodegradasi
kontaminan berlanjut dengan memuaskan (Chambers, et al.,
1991; Kosteck and Calabrese, 1991 dalam Abdulsalam et al.,
2011). Contoh proses penambahan nutrisi bakteri pada bak
aerasi biologi pengolahan limbah cair industri penyamakan
kulit menggunakan lumpur aktif disajikan pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Proses Penambahan Nutrisi Pada Bak Aerasi
Biologi
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2010)
Bioremediasi Cr (VI) 53
2. Bioaugmentasi
Bioaugmentasi melibatkan penambahan konsentrasi yang
tinggi dari populasi mikroba tertentu ke daerah yang
terkontaminasi untuk meningkatkan laju biodegradasi
kontaminan dalam tanah atau air yang terkena dampak
kontaminan sehingga degradasi meningkat (Chambers, et al.,
1991; Kosteck and Calabrese, 1991; Malakootian, et al., 2009
dalam Abdulsalam et al, 2011).
Bioremediasi pada prinsipnya merupakan eliminasi
pencemar lingkungan dari tempat tercemar melalui proses
biodegradasi yang disengaja (Yazid dkk., 2007). Terdapat
beberapa kelebihan dalam proses tersebut, antara lain biomassa
yang digunakan relatif murah dan dapat didaur ulang, memiliki
kapasitas yang tinggi dalam pengikatan logam serta selektif
dalam mengikat logam kontaminan. Bioremediasi logam berat
dalam limbah industri dapat dilakukan oleh mikroba karena
beberapa mikroba memiliki mekanisme detoksifikasi logam
berat. Mekanisme detoksifikasi yang dapat dilakukan oleh
bakteri antara lain biosorpsi, bioakumulasi, reduksi, solubilisasi
(terasosiasi dengan oksida sulfida atau ferrous iron), presipitasi
dan metilasi. Biosorpsi, reduksi secara enzimatik dan reduksi
abiotik yang bergabung dengan reduksi sulfat merupakan cara
potensial untuk detoksifikasi kromium (Yazid dkk., 2007).
Adeniji (2004) menjelaskan bahwa logam-logam
nonbiodegradable yang dapat diubah melalui penyerapan,
metilasi, dan kompleksasi, dan perubahan keadaan valensi adalah
faktor kunci remediasi logam. Transformasi mempengaruhi
mobilitas dan bioavailabilitas logam. Pada konsentrasi rendah,
54 Bioremediasi Cr (VI)
logam dapat berfungsi sebagai komponen penting dalam proses
kehidupan, memiliki fungsi penting dalam produktivitas enzim,
namun di atas konsentrasi ambang tertentu, logam dapat
menjadi racun bagi banyak spesies. Mikroorganisme dapat
mempengaruhi reaktivitas dan mobilitas logam sehingga dapat
digunakan untuk detoksifikasi beberapa macam logam tertentu
dan mencegah kontaminasi logam lebih lanjut.
Priadie (2012) menjelaskan bahwa bioremediasi
merupakan upaya untuk menurunkan kadar polutan menggunakan
mikroorganisme yang telah dipilih untuk ditumbuhkan pada
polutan tersebut. Enzim-enzim yang diproduksi oleh
mikroorganisme memodifikasi struktur polutan beracun menjadi
tidak kompleks sehingga menjadi metabolit yang tidak beracun
dan tidak berbahaya ketika proses bioremediasi berlangsung.
Biotransformasi atau biodetoksifikasi senyawa toksik menjadi
senyawa yang kurang toksik atau tidak toksik berlangsung pada
proses bioremediasi. Proses utama pada bioremidiasi Cr (VI)
adalah biotransformasi, reduksi, dan biosorpsi.
B Konsorsium Bakteri Sebagai Agen Bioremediasi
Pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh faktor biotik dan
faktor abiotik. Faktor biotik meliputi mutualisme, antagonisme,
dan sinergisme. Faktor abiotik meliputi faktor fisik dan kimia.
Limbah tersusun dari komponen fisika, kimia, dan biologi. Limbah
mengandung bakteri dimana bakteri merupakan komponen biologi
yang kehadirannya berupa komunitas yang terbentuk atas
Bioremediasi Cr (VI) 55
banyak spesies. Kehadiran spesies mikroba tertentu dipengaruhi
oleh ada atau tidaknya anggota spesies lain dari komunitas itu.
Interaksi beberapa spesies yang ada dalam komunitas terjadi
satu sama lain, bentuk interaksi dapat berupa interaksi yang
terarah dari hubungan positif sampai interaksi negatif (Atlas &
Bartha, 1998).
Secara alamiah terdapat bakteri yang berpotensi sebagai
pengurai dan dapat diperoleh dengan melakukan isolasi dari
limbah itu sendiri, kemudian dikultur secara murni di
laboratorium secara in vitro (Labeda, 1990 dalam Sutanto,
2010). Isolasi bakteri dari limbah tersebut menghasilkan
bakteri lokal yang dikenal dengan istilah bakteri indigen. Bakteri
indigen memiliki kemampuan adaptasi lebih baik daripada bakteri
dari tempat lain karena sudah mengenal lingkungan itu sendiri.
Bakteri indigenous merupakan bakteri yang diperoleh dari
hasil isolasi yang dilakukan oleh laboratorium bersangkutan
(Cahyonugroho dan Hidayah, 2009). Bakteri yang cocok dalam
proses remediasi air limbah yang diinginkan dapat ditentukan
melalui isolasi bakteri yang baik dan benar (Priadie, 2012).
Pemilihan bakteri hasil isolasi menjadi prinsip yang dapat
memberikan kinerja penurunan kadar polutan secara optimal
(Thompson et al, 2005 dalam Priadie, 2012). Secara alami
bakteri indigen yang diinginkan terdapat dalam jumlah yang lebih
sedikit daripada bakteri yang tidak diinginkan, sehingga perlu
dilakukan proses isolasi untuk memperbanyak bakteri yang
dimaksud (Barrow and Feltham , 2003 dalam Priadie 2012).
Isolasi bakteri bertujuan untuk mendapatkan bakteri yang
diinginkan dengan cara mengambil sampel mikroba dari
lingkungan yang tercemar. Sampel tersebut kemudian dikultur/
56 Bioremediasi Cr (VI)
dibiakkan menggunakan media universal atau media selektif,
tergantung tujuan yang ingin dicapai (Tortora, 2010 dalam
Priadie, 2012).
Bakteri indigen yang diperoleh dikombinasikan untuk
mendapatkan tingkat optimasi remediasi. Menurut Cahyonugroho
dan Hidayah (2009) isolat bakteri terbaik yang dipilih dapat
dikombinasikan dalam suatu konsorsium. Dijelaskan lebih lanjut
bahwa konsorsium bakteri merupakan kumpulan dari sejumlah
organisme sejenis yang membentuk suatu komunitas dari
sejumlah populasi yang berbeda. Mikroorganisme dapat
berasosiasi dengan organisme lain secara fisik melalui dua
mekanisme, yaitu keberadaan suatu organisme yang umumnya
memiliki ukuran lebih kecil (sebagai ectosymbiont) pada
permukaan organisme lainnya yang umumnya berukuran lebih
besar, dikenal dengan istilah ectosymbiosis. Mekanisme lainnya
adalah keberadaan suatu organisme (endosymbiont) pada
organisme lain, dikenal dengan istilah endosymbiosis (Anonim,
2008 dalam Cahyonugroho dan Hidayah, 2009). Secara umum,
konsorsium diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni
konsorsium yang sifatnya positif (mutualisme, syntrofisme,
protokooperasi, dan komensalisme), maupun negatif (predasi,
parasitisme, amensalisme, dan kompetisi).
Konsorsium bakteri indigen berpotensi lebih efektif
dalam meremediasi limbah. Menurut Suarsini (2007) konsorsium
bakteri inidigen lebih efektif dalam meremediasi limbah cair
rumah tannga. Sutanto (2010) menyatakan bahwa konsorsium
bakteri indigen lebih efektif dalam meremediasi limbah cair
nanas. Benazir et al. (2009) telah menetapkan peran dan
Bioremediasi Cr (VI) 57
efisiensi dari B. subtilis, P. aeruginosa dan S. cerevisiae dalam
penyerapan, akumulasi, degradasi dan detoxifikasi Cr dalam
limbah penyamakan kulit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa semua
organisme, konsorsium dan sel amobil ditemukan efektif dalam
menanggulangi Cr. Selain itu Cahyonugroho dan Hidayah (2009)
menjelaskan bahwa pada proses biosorpsi menunjukkan bahwa
dengan menggunakan konsorsium bakteri Enterobacter cloacae
dan Pseudomonas fluorescens terhadap limbah Cr memiliki
kemampuan penyisihan logam Cr yang lebih baik dibandingkan
dengan bakteri Enterobacter cloacae dan Pseudomonas
fluorescens yang tidak dikonsorsium.
C Biotransformasi Cr (VI) menjadi Cr (III)
Cr (VI) dapat direduksi melalui reaksi redoks enzimatik
yang sering dilakukan oleh mikroorganisme sebagai bagian dari
proses metabolismenya. Secara nonmetabolisme Cr (VI) juga
dapat direduksi oleh reaksi yang terjadi pada permukaan bakteri
(Fein et al. dalam Hawley et al., 2004). Hal ini telah
dipostulatkan oleh Fein, et al. (2001) dalam Hawley et al. (2004)
sebagai jalur dominan untuk reduksi pada pengaturan geologi
alam. Selain itu reduksi Cr juga dapat terjadi melalui
pengendapan (presipitasi) intraseluler (Cervantes et al., 2001
dalam Hawley et al., 2004). Namun, sebagian besar penelitian
telah difokuskan pada mekanisme pertama, di mana reduksi Cr
terjadi secara metabolik dengan adanya donor elektron dalam
jumlah besar. Interaksi biologis diperlukan dalam reduksi
58 Bioremediasi Cr (VI)
senyawa kimia, diantaranya penggunaan molase, asam laktat, dan
formula eksklusif seperti Hidrogen Release Compound (HRC),
dan keju whey. Bahan kimia tersebut menyediakan sumber
karbon di lingkungan, tetapi transformasi biologi dibutuhkan
untuk menghasilkan hidrogen dalam suasana anaerob (Hawley et
al., 2004). Proses reaksi redoks transformasi Cr disajikan pada
Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Proses Reaksi Redoks Transformasi Cr
(Sumber: Hawley et al., 2004)
Secara enzimatik bakteri dapat mereduksi Cr (VI) melalui
dua jalur, yaitu aerobik dan anaerobik (Hawley et al., 2004).
Jalur reduksi khrom nonbiologis bersaing dengan jalur biologis.
Dalam kondisi anaerobik, reduksi biologis berjalan lambat
sehingga reduksi abiotik secara nonbiologis oleh Fe (II) atau
hidrogen sulfida (H2S) diperkirakan mendominasi. Lingkungan
aerobik penting dalam reduksi mikroba secara kinetik (Fendorf
et al., 2001 dalam Hawley et al., 2004). Faktor primer yang
mempengaruhi laju reduksi adalah konsentrasi oksigen, kondisi
pH dan geokimia (Hawley et al., 2004).
Bioremediasi Cr (VI) 59
Mikroorganisme selalu hadir dalam lingkungan. Peran
mereka dalam reduksi Cr masih diteliti sampai saat ini. Peran
permukaan bakteri dalam reduksi Cr merupakan topik yang
menarik, alat-alat baru untuk memantau transformasi telah
dikembangkan, seperti spectromicroscopy inframerah (FTIR
Beamline) (Holman et al., 1999 dalam Hawley et al., 2004) dan
disertai dengan proses remediasi biologi/ reduksi kimia.
Melalui kombinasi beberapa mekanisme mikroorganisme
dapat mengkatalisis reaksi redoks, diantaranya reduksi
enzimatik ekstraseluler, reduksi nonmetabolik oleh permukaan
bakteri, reduksi intraseluler dan pengendapan (presipitasi).
Mikroorganisme yang mampu mereduksi Cr (VI) menjadi Cr
(III), diantaranya adalah bakteri (Psuedomonas, Micrococcus,
Escherichia, Enterobacter, Bacillus, Aeromonas,
Akhromobacter, Desulfomamaculum, Acitenobacter,
Aerococcus, dan Achromobacter) (McLean dan Beveridge, 1999
dalam Hawley et al., 2004, Srinath et al., 2001 dan Zhu et al.,
2008 dalam Joutey, 2015), alga (Cervantes et al., 1994 dalam
Hawley et al., 2004), ragi, dan jamur (Hawley et al., 2004).
Reaksi reduksi eksternal yang dimediasi secara biologis
masih memerlukan adanya donor elektron eksternal, seperti Fe,
Mn, atau materi organik teroksidasi (Hawley et al., 2004). Lebih
lanjut dijelaskan bahwa proses ini sama seperti reduksi kimia,
tetapi dimediasi secara biologis dengan demikian secara kinetik
menguntungkan reaksi nonbiologis, khususnya dalam kondisi
aerobik. Sebagai alternatif, bakteri pereduksi sulfur dirangsang
untuk menghasilkan H2S, yang berfungsi sebagai reduktor.
Menurut Rahman, et.al (2007) dalam Sajidan (2010) menyatakan
60 Bioremediasi Cr (VI)
bahwa reduksi Cr(VI) terjadi karena selain pertumbuhan,
mikrorganisme akan menghasilkan produk samping yang berupa
H2S. Peningkatan jumlah sel mikroorganisme akan meningkatkan
produksi H2S yang akan mempercepat reduksi Cr(VI). H2S yang
dihasilkan bakteri akan bereaksi dengan Cr untuk membentuk
kromium sulfida yang bersifat tidak stabil dalam larutan dan
akan lebih cepat terdeposit untuk membentuk Cr(OH)3 yaitu Cr
(III). Hal ini disebut sebagai reduksi Cr (VI) secara tidak
langsung.
Secara tidak langsung, reduksi Cr (VI) menjadi Cr (III)
dibantu oleh bakteri pereduksi sulfat, sering disebut sebagai
sulfat reducing bacteria (SRB) dan bakteri pereduksi besi,
sering disebut sebagai iron reducing bacteria (IRB). SRB dan
IRB merupakan anggota penting mikroorganisme anaerobik.
Reduksi Cr (VI) oleh biogenik sulfida dan Fe (II) yang dihasilkan
oleh SRB dan IRB terjadi 100 kali lebih cepat daripada CRB
saja. SRB menghasilkan H2S, yang berfungsi sebagai reduktor Cr
(VI) yang melibatkan tiga tahap, yaitu reduksi sulfat, reduksi
kromat oleh sulfide, dan yang terakhir pengendapan Cr (VI) oleh
sulfida. Berikut reaksi kimia yang terjadi pada proses reduksi Cr
(VI) oleh SRB yang dikutip dari Philip (2012):
Reduksi Sulfat
SRB 1/2HS- + H2O + CO2
1/2SO42+ + CH2O + 1/2H+
Reduksi kromat oleh sulfida
8CrO42- + 3HS- + 17H2O 8Cr(OH)3 + 3SO42- + 11OH-
Presipitasi Cr (VI) oleh Sulfida
Cr6+ + 3HS- CrS3 + 3H+
Bioremediasi Cr (VI) 61
Reduksi Cr (VI) oleh Fe (II) terjadi ketika IRB
mereduksi Fe (III) menjadi Fe (II), yang pada gilirannya Fe (II)
mereduksi Cr (VI) menjadi Cr (III) (Viti dan Giovannetti, 2007;.
Somasundaram et al., 2011 dalam Joutey et al., 2015). Berikut
reaksi kimia yang terjadi pada proses reduksi Cr (VI) oleh IRB
menurut Philip (2012):
C6H12O6 + 24Fe(III) + 12H2O IRB
6HCO3- + 24Fe(II) + 3OH-
3Fe2+ + HCrO4- + 8H2O 3Fe(OH)3 + Cr(OH)3 + 5H+
Fein et al. (2001) dalam Hawley et al. (2004)
menunjukkan bahwa reduksi Cr juga dapat dikatalisis oleh
permukaan bakteri. Sel eukariotik dan prokariotik dapat
melakukan transport aktif Cr (VI) melewati membran sel mereka
(Hawley et al., 2004). Pada ragi, Cr (VI) dapat masuk melalui
sistem permeabel yang merupakan metode nonspesifik transport
ion untuk anion, seperti fosfat (PO43-) dan SO42-(Cervantes et
al, 2001 dalam Hawley et al., 2004). Lebih lanjut dijelaskan
bahwa Cr merupakan racun bagi ragi karena dapat menghambat
penyerapan SO42-. Perbedaan retensi (penyimpanan) Cr (VI)
pada alga telah dipelajari dan dilaporkan. Alga hijau menyimpan
lebih banyak Cr daripada alga merah atau coklat (Cervantes et
al., 1994 dalam Hawley et al., 2004). Pada umumnya Cr (III)
tidak diambil oleh sel karena tidak larut air.
Dampak dari berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat
reduksi mikroba telah dihitung melalui studi laboratorium,
termasuk oksigen terlarut, konsentrasi karbon organik, pH dan
tingkat pemuatan massa Cr (Hawley et al., 2004). Meskipun
62 Bioremediasi Cr (VI)
reduksi biologi dapat berlangsung secara aerobik atau
anaerobik, konsentrasi oksigen merupakan faktor utama yang
sangat mempengaruhi reaksi reduksi. Dalam kondisi anaerobik,
terjadi kompetisi antara mekanisme reduksi abiotik dan biotik.
Seiring berjalannya waktu, pH dapat meningkat karena
mineralisasi bahan organik menjadi CO2, yang meningkatkan
konsentrasi HCO3-, atau karena reaksi redoks mengkonsumsi
asam (Hawley et al., 2004). Penentuan secara optimal tingkat
muatan Cr (VI) dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi
influen atau faktor pengenceran. Penentuan tersebut
menghasilkan kasus spesifik, seperti kondisi lingkungan
menentukan mekanisme mana yang akan mendominasi dalam
sistem (Hawley et al., 2004).
Strategi bioremediasi digunakan untuk remediasi Cr (VI)
termasuk monitored natural attenuation (MNA), biostimulasi,
dan bioaugmentasi (Hawley et al., 2004). MNA sering dievaluasi
pada lokasi tercemar sebagai pilihan dasar remediasi dan telah
diterapkan pada site Superfund seperti Quality Plating
Superfund Site, Missouri (USEPA, 1995 dalam Hawley et al.,
2004). Biostimulasi, juga dikenal dapat meningkatkan
bioremediasi, dengan menyuntikkan oksigen dan/ atau nutrisi
untuk menstimulasi mikroorganisme indigen (Hawley et al.,
2004). Biostimulasi dipilih sebagai bagian dari teknologi
pengolahan akhir untuk fasilitas elektroplating Cr di Kansas pada
tahun 1999 (Ace Services Superfund Site) (USEPA, 1999 dalam
Hawley et al., 2004). Perencanaan biostimulasi melibatkan
sirkulasi air yang diubah oleh sumber karbon melalui daerah yang
terkontaminasi untuk menstimulasi aktivitas bakteri.
Bioremediasi insitu bertujuan untuk mengurangi konsentrasi
Bioremediasi Cr (VI) 63
sumber Cr (VI) sehingga dapat mengurangi pompa dan jangka
waktu pengolahan pada lokasi tercemar (Hawley et al., 2004).
Bioaugmentasi mengacu pada injeksi dan pemeliharaan kultur
mikroorganisme ke permukaan yang tercemar (Hawley et al.,
2004). Bioaugmentasi mungkin tidak diperlukan setelah jumlah
kultur indigen pendegradasi Cr (VI) berada di lingkungan karena
dalam beberapa kasus kultur indigen lebih unggul dalam
mereduksi Cr (VI), karena mereka telah menyesuaikan diri
dengan kondisi lingkungan (McLean dan Beveridge, 1999 dalam
Hawley et al., 2004).
64 Bioremediasi Cr (VI)
Berikan Jawaban Terbaikmu….!!!
1. Apa kelebihan bioremediasi bila dibandingkan dengan metode
perbaikan lingkungan yang lain?
2. Mengapa bakteri bisa digunakan sebagai agen bioremediasi?
3. Mengapa bakteri indigen lebih efektif untuk meremediasi
pencemaran?
4. Faktor apasajakah yang mempengaruhi berlangsungnya
bioremediasi dan bagaimana mereka dapat mempengaruhi
bioremediasi?
5. Bagaimana Cr (VI) dapat direduksi menjadi Cr (III)?
Ayo Semangatlah…!!!
Kemukakan ide
kreatif kamu
terkait dengan
teknik dan aplikasi
bioremediasi
lingkungan tercemar
sekitar kamu
menggunakan
konsorsium bakteri
indigen!
Bioremediasi Cr (VI) 65
BAB V
APLIKASI BIOREMEDIASI Cr (VI)
MENGGUNAKAN KONSORSIUM
BAKTERI INDIGEN
BAB V Aplikasi Bioremediasi
Cr (VI) Menggunakan
Konsorsium Bakteri Indigen
Tahukah Kamu???
Mikroba pereduksi Cr (VI) pertama kali dilaporkan pada tahun 1970an.
Pada tahun 1970an beberapa strain Pseudomonas bersifat anaerob
fakultatif diisolasi dari limbah lumpur yang terkontaminasi kromat.
Bakteri tersebut mampu mereduksi kromat dan dikromat selama
pertumbuhan anaerobnya. Sejak saat itu beberapa bakteri dengan
kemampuan mereduksi Cr (VI) yang luar biasa telah diisolasi dari sampel
tanah yang terkontaminasi Cr dan yang tidak terkontaminasi Cr. Litertaur
mengenai reduksi Cr (VI) oleh bakteri telah banyak dilaporkan. Sebagian
besar bakteri tersebut diisolasi dari lingkungan tercemar Cr, namun
ternyata bakteri resisten Cr juga dapat diisolasi dari lingkungan dengan
sedikit kontaminan Cr atau bahkan tidak terkontaminasi sama sekali
(dikutip dari Kamaludeen, 2003).
A Teknik Penelitian Bioremediasi Cr (VI)
Menggunakan Konsorsium Bakteri Indigen
Beberapa teknik dasar yang digunakan dalam penelitian
bioremediasi Cr (VI) menggunakan bakteri indigen diantaranya
adalah:
Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsium 66
Bakteri Indigen
1. Observasi mengenai karakterisasi isolat Bakteri Indigen
Berpotensi Pereduksi Cr (VI)
Observasi dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan
dan untuk menentukan 3 lokasi pengambilan sampel yang
dilakukan dengan teknik sampling terpilih, yaitu berdasarkan
kondisi perairan di sungai Badeg, dari masing-masing lokasi
dilakukan 3 kali pengambilan. Sampel yang telah diambil diujikan
di laboratorium kimia untuk mengetahui BOD, COD, dan
kandungan Cr. Kondisi lapangan sungai Badeg disajikan pada
Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Sungai Badeg
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
a. Pengambilan sampel
Pengambilan sampel menggunakan botol sampel steril
dilengkapi dengan tutup dan bervolume 120 ml. Pengambilan
sampel dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi
67 Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsium
Bakteri Indigen
bakteri dari luar limbah. Sampel diambil dari 3 lokasi dengan 3
kali ulangan sehingga diperoleh volume 1080 ml (9 x 120 ml).
Sampel dibawa ke laboratorium mikrobiologi menggunakan media
transport, yaitu botol yang berisi sampel dimasukkan ke dalam
termos es supaya pertumbuhan bakterinya terhambat sebelum
perlakuan. Pengambilan sampel air sungai Badeg disajikan pada
Gambar 5.2.
Gambar 5.2 Pengambilan Sampel
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
b. Propagasi bakteri indigen
Semua sampel limbah yang telah diambil dihomogenkan
menggunakan magnetic stirrer. Mengambil 10% dari setiap botol
dan ditampung menjadi satu gelas piala kemudian dihomogenkan
Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsium 68
Bakteri Indigen
lagi. Memasukkan 50 ml air limbah ke dalam 450 ml medium Luria
Bertani cair yang ditambah dengan K2Cr2O7 (Gambar 5.3) dan
diinkubasi dengan suhu 37o C selama 5 x 24 jam.
Gambar 5.3 Memasukkan limbah ke medium Luria Bertani
Cair yang ditambah K2Cr2O7
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
c. Penapisan bakteri pereduksi
Melakukan pengenceran seri dari 10-1 sampai 10-13
menggunakan air pepton 0,1%. Teknik pengenceran disajikan
pada Gambar 5.4. Dari suspensi yang telah diencerkan ini
dinokulasikan sebanyak 0,1 ml ke media lempeng Luria Bertani
yang telah ditambahkan konsentrasi K2Cr2O7 menggunakan
mikropipet. Biakan bakteri diinkubasi pada suhu 37oC selama
1x24 jam. Pengamatan terhadap morfologi koloni bakteri yang
tumbuh dilakukan setelah inkubasi meliputi pengukuran diameter
bakteri, warna, bentuk, tepian, elevasi, bentuk pada medium
69 Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsium
Bakteri Indigen
miring, dan respirasi koloni, kemudian dilanjutkan dengan
pengamatan sifat sitologi bakteri meliputi gerak, Gram, bentuk
sel, ukuran (mm), endospora, dan kapsula.
Limbah yang
ditambahkan K2Cr2O7
dari tahap propagasi
bakteri indigen
9 ml air dan
pepton
seterusnya
sampai 1/1013
(10-13)
Gambar 5.4 Teknik Pengenceran Bertingkat
(Sumber: modifikasi dari http://suka-suka-surya.blogspot.com/,
2012)
d. Identifikasi dan pemilihan bakteri paling potensial
mereduksi Cr (VI)
Isolat bakteri yang mampu tumbuh dominan pada medium
selektif dengan konsentrasi Cr paling tinggi merupakan bakteri
yang paling berpotensi untuk mereduksi Cr (VI). Isolat bakteri
diidentifikasi berdasarkan karakterisasi kemudian dideterminasi
sampai tingkat spesies. Karakter yang diamati meliputi karakter
biokimiawi (potensial reduksi), karakter morfologi koloni (warna
koloni, elevasi koloni, diameter koloni, dan bentuk koloni pada
medium miring) dan sitologi (pewarnaan Gram, bentuk sel, ukuran
Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsium 70
Bakteri Indigen
sel, ada tidaknya spora, ada tidaknya kapsula, respirasi, dan
gerak bakteri), serta karakter fisiologis bakteri (menggunakan
perangkat media MicrobactTM GNB 12A/B/E, 24 Identification
Kits yang meliputi uji reaksi lisin dekarboksilase, ornitin
dekarboksilase, produksi H2S, fermentasi glukosa, manitol,
xilosa, β-galaktosidase (ONPG), produksi indol, hidrolisis urase,
reaksi Voges-Proskaeur (VP), penggunaan sitrat, triptopan
deaminase (TDA), pencairan gelatin, penghambatan malonat,
fermentasi inotisol, sorbitol, rhamnosa, sukrosa, laktosa,
arabinosa, adonitol, rafinosa, dan dihidroksilase arginin.
Selanjutnya dilakukan pemilihan bakteri yang paling
berpotensi untuk digunakan pada penelitian tahap selanjutnya,
yaitu bioremediasi secara in vitro. Data yang diperoleh dianalisis
statistik menggunakan Anava ganda untuk mengetahui perbedaan
pengaruhnya. Selain analisis statistik juga dilakukan perhitungan
persentase efisiensi reduksi dengan rumus sebagai berikut:
Persentase Efisiensi Reduksi = x 100%
2. Pengujian Reduksi secara In Vitro
Langkah kerja yang dilakukan dalam pengujian
bioremediasi secara in vitro adalah sebagai berikut.
a. Menyiapkan biakan isolat bakteri terpilih yang berumur 24
jam, yang akan digunakan sebagai inokulum. Biakan ini
dicocokkan dengan standar Mc Farland menggunakan kartu
Wickerham (Gambar 5.5).
71 Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsium
Bakteri Indigen
Gambar 5.5 Penyocokan Biakan Isolat Bakteri dengan
Standar Mc Farland Menggunakan Kartu Wickerham
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014)
b. Memasukkan 150 ml limbah industri penyamakan kulit ke
dalam botol volume 300 ml, kemudian disterilkan
menggunakan autoklaf dalam suhu 121º C selama 15 menit
dengan tekanan 15 psi. Pengujian dikerjakan secara aseptik
terhadap limbah industri penyamakan kulit yang disterilkan,
sehingga pengaruh faktor biotik selain perlakuan ditiadakan.
c. Menambahkan suspensi inokulum dengan rasio 1:10 ke dalam
limbah industri penyamakan kulit yang telah disiapkan di
dalam botol yang masing-masing diisi 150 ml (A, B, dan C
@150 ml; A+B, B+C, A+C @ 75 ml; dan A+B+C @ 50 ml).
Sebagai kontrol hanya ditambahkan 150 ml akuades steril.
d. Mempertahankan faktor-faktor abiotik agar berlangsung
proses aktivitas bioreaksi secara optimum, putaran shaker
100 rpm.
e. Mengamati parameter yang digunakan dalam analisis air
limbah untuk uji reduksi, yaitu kadar khrom (VI) (hari ke-0
Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsium 72
Bakteri Indigen
sampai hari ke-7), dan BOD, COD, serta DO (hari ke-0 dan
hari ke-7).
f. Melakukan pengocokan dalam jedah waktu 12 jam (100 rpm
selama 10 menit), sedangkan pada fermentor besar dilakukan
pengocokan terus menerus selama inkubasi, dan dihentikan
saat pengambilan data.
B Hasil Isolasi Bakteri Indigen Pereduksi Cr (VI)
Isolat bakteri yang ditemukan berpotensi dalam
mereduksi Cr adalah sebanyak 8 isolat. Tipe pertumbuhan isolat
bakteri pada agar miring disajikan pada Gambar 5.6. Adapun
rincian hasil pengamatan morfologi isolat bakteri adalah seperti
pada Tabel 5.1.
Gambar 5.6 Tipe Pertumbuhan Isolat Bakteri Pada Medium
Agar Miring
(Sumber: Dokumentasi Pribadi 2014)
73 Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsium
Bakteri Indigen
Tabel 5.1 Hasil Pengamatan Morfologis Isolat Bak
Ciri Morfologi A B C m
Warna Koloni Kuning Kuning Putih Be
bening bening
Bentuk Koloni Bundar Bundar M
Bundar dengan 0
Tepi Koloni Licin
Elevasi Koloni Licin tepi Timbul
Mengkilap/Suram Datar menyebar Mengkilap
Diameter Koloni Mengkilap Seperti 0,3 cm
Kepekatan Koloni 0,4 cm Tidak
Tidak benang pekat
Tipe pekat Datar
Pertumbuhan Mengkilap Pedang
Berduri 0,33 cm
pada Agar Tidak
Miring pekat
Pedang
Keterangan: Koloni yang diamati adalah koloni yang ditumbuhkan
(Sumber: Dok. Pribadi, 2014)
Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Mengg
Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsiu7m4
Bakteri Indigen
kteri
D E F G H
Kuning Kuning
Putih Kuning Putih susu keputihan
Bundar
Bundar Bundar Bundar Bundar dengan
dengan dengan dengan
Licin tepi
tepi tepi tepi Timbul menyebar
menyebar menyebar menyebar Mengkilap
0,2 cm Berombak
ercabang Tak Tak Tidak
beraturan beraturan pekat Timbul
Datar Mengkilap
Mengkilap Timbul Timbul
0,43 cm Mengkilap Mengkilap 0,4 cm
0,43 cm Tidak
Tidak 0,4 cm pekat
pekat Tidak Tidak
pekat pekat
Pedang Berduri Pedang Pedang Berduri
n pada medium NA pada suhu 30ºC selama 1x24 jam
gunakan Konsorsium Bakteri Indigen
m4
Limbah industri penyamakan kulit mengandung Cr baik Cr
(III) ataupun Cr (VI). Pada lingkungan yang sesuai, Cr (III)
ataupun Cr (VI) dapat mengalami transformasi melalui reaksi
oksidasi ataupun reduksi. Cr (III) akan teroksidasi menjadi Cr
(VI) yang sifatnya lebih toksik jika ada oksidator yang sesuai.
Adanya kandungan Cr (VI) pada limbah inilah yang menyebabkan
ditemukannya bakteri yang resisten terhadap Cr (VI). Hal ini
sesuai dengan pendapat Atlas dan Bartha yang menyatakan
bahwa bakteri tahan logam dapat ditemukan dalam lingkugan
alamiah atau lingkungan buatan yang mengandung ion logam
dalam konsentrasi tinggi. Mikroorganisme yang mampu hidup
dalam media yang mengandung Cr (VI) juga dapat berperan
sebagai reduktor logam berat Cr (VI) menjadi Cr (III) (Sajidan
dkk, 2010). Selanjutnya Joutey et al (2015) menjelaskan bahwa
plasmid bertanggung jawab terhadap sebagian besar resistensi
Cr (VI), sedangkan gen Cr (VI) reduktase ditemukan pada
plasmid dan kromosom utama.
Bakteri memiliki beberapa mekanisme resistensi
terhadap kromat, diantaranya adalah: (1) Mampu mengatur
mekanisme penyerapan seperti sistem transportasi penyerapan
sulfat yang terlibat dalam awal akumulasi sel (Brown et al., 2006
dalam Joutey et al., 2015); (2) Reduksi ekstraseluler Cr (VI)
menjadi Cr (III), yang kemudian dihapus melalui reaksi dengan
gugus fungsional pada permukaan sel bakteri (Ngwenya dan
Chirwa, 2011 dalam Joutey et al., 2015); (3) Reduksi Cr (VI)
menjadi Cr (III) dalam membran sel, biasanya diawali oleh
adsorpsi Cr (VI) ke kelompok fungsional yang terletak pada
permukaan sel bakteri (Opperman dan Heerden, 2008; Joutey
75 Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsium
Bakteri Indigen
et al., 2013 dalam Joutey et al., 2015). (4) Reduksi intraselular
Cr (VI) menjadi Cr (III) dan penggaraman Cr (III) ke luar sel.
Reduksi intraseluler menjaga konsentrasi Cr (VI) di sitoplasma
tetap rendah dan memfasilitasi akumulasi kromat dari media
ekstraseluler ke dalam sel. Reduksi intraseluler Cr (VI) menjadi
Cr (III) dapat menghasilkan spesies oksigen reaktif (ROS) dan
stres oksidatif sehingga menyebabkan kerusakan protein dan
DNA. (5) Kemampuan untuk menghadapi stres oksidatif oleh
kromat dengan mengaktifkan enzim yang terlibat dalam
pengambilan ROS (misalnya, katalase, superoksida dismutase)
(Ackerley et al., 2006; Cervantes dan Garcia, 2007 dalam
Joutey et al., 2015). Untuk lebih jelasnya mekanisme resisten Cr
(VI) oleh bakteri ditunjukkan pada Gambar 5.7.
CrO42- memiliki kesamaan struktur dengan sulfat (SO42-)
sehingga pada beberapa spesies mampu melintasi membran sel
melalui sistem transportasi sulfat (Ksheminska et al., 2005
dalam Joutey et al., 2015). Dalam kondisi fisiologis normal,
setelah melintasi membran Cr (VI) bereaksi secara spontan
dengan reduktan intraseluler (misalnya, askorbat dan
glutathione) untuk menghasilkan intermediet singkat Cr (V) dan/
atau Cr (IV), radikal bebas, dan produk akhir berupa Cr (III). Cr
(V) mengalami siklus redoks satu elektron untuk regenerasi Cr
(VI) dengan mentransfer electron oksigen. Proses ini
menghasilkan spesies oksigen reaktif (ROS), termasuk oksigen
tunggal (O) dan superoksida (O2-) (Cheng et al., 2009 dalam
Joutey et al., 2015), hidroksil (OH) dan radikal hidrogen
peroksida (H2O2) (McNeill dan McLean, 2012 dalam Joutey et
al., 2015) yang dengan mudah bergabung dengan kompleks DNA-
Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsium 76
Bakteri Indigen
protein. Cr (IV) mengikat bahan selular dan menghalangi fungsi
normal fisiologis mereka (Cervantes et al., 2001 dalam Joutey et
al., 2015). Efek genotoksik ion Cr tidak dapat semata-mata
disebabkan oleh aksi ROS, tetapi kompleks kationik intraseluler
Cr (III) juga melakukan interaksi elektrostatis dengan gugus
fosfat bermuatan negatif DNA, yang dapat mempengaruhi
replikasi, transkripsi dan menyebabkan mutagenesis (Cervantes
et al., 2001 dalam Joutey et al., 2015). Selain itu, Cr (III) juga
mengganggu replikasi DNA dan meningkatkan laju kesalahan
transkripsi DNA serta dapat mengubah struktur dan aktivitas
enzim melalui reaksinya dengan karboksil dan tiol kelompok
(Cervantes et al., 2001 dalam Joutey et al., 2015).
Gambar 5.7 Mekanisme Transportasi, Toksisitas, Resistansi
dan Reduksi Kromat oleh Mikroba
(Sumber: Joutey et al., 2015)
77 Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsium
Bakteri Indigen
Keterangan:
(a) Penyerapan jalur sulfat yang juga digunakan oleh kromat untuk memasuki
sel(b) reduksi ekstraseluler Cr (VI) menjadi Cr (III), di mana bentuk logam
tidak melewati membran. (c) Membran terikat reduktase kromat. (d) reduksi
intraseluler Cr (VI) menjadi Cr (III) dapat menghasilkan spesies oksigen
reaktif (ROS) dan stres oksidatif sehingga menyebabkan kerusakan protein
dan DNA. (e) transpor aktif kromat dari sitoplasma melalui protein ChrA. (f)
detoksifikasi enzim untuk melindungi terhadap stres oksidatif (g) perbaikan
DNA untuk melindungi terhadap kerusakan yang dihasilkan oleh turunan
kromium (Modifikasi dari Diaz et al., 2008 dalam Joutey et al., 2015).
C Isolat Bakteri Indigen yang Paling Berpotensi
dalam Mereduksi Cr (VI)
Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa setiap
isolat bakteri indigen yang berhasil diisolasi memiliki kemampuan
yang berbeda dalam mereduksi Cr (VI). Ringkasan data
kemampuan setiap isolat bakteri indigen dalam menurunkan
kadar Cr (VI) disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Ringkasan Data Penurunan Kadar Cr (VI) oleh
Setiap Isolat Bakteri Indigen dan Notasi
Bilangannya
Isolat Kadar Cr (VI) Penurunan Kadar
E H-0 H-3 Cr (VI)
C
F 2.501 1.758 0.743a
H 0.679ab
G 2.485 1.806 0.663ab
D 0.680ab
B 2.479 1.816 0.763ab
A 0.637bc
Kontrol 2.496 1.816 0.591c
0.517d
2.538 1.776 0.201e
2.485 1.848
2.490 1.899
2.493 1.977
2.481 2.280
Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsium 78
Bakteri Indigen
Meskipun isolat C dan isolat G tidak berbeda signifikan
dengan isolat F dan H, yang ditandai dengan notasi ab, tetapi
isolat tersebut dipakai sebagai isolat uji karena memiliki
kemampuan yang tinggi dalam mereduksi Cr (VI). Selanjutnya
histogram ringkasan persentase efisiensi optimasi setiap isolat
bakteri indigen dalam mereduksi Cr (VI) disajikan pada Gambar
5.8.
Gambar 5.8 Histogram Efisiensi Kemampuan Setiap Isolat
Bakteri Indigen dalam Mereduksi Cr (VI)
Isolat bakteri yang memiliki kemampuan tertinggi dalam
mereduksi Cr (VI) dianggap sebagai bakteri yang paling potensial
dalam mereduksi Cr (VI). Pada tahap ini, dipilih 3 isolat bakteri
paling potensial dalam mereduksi Cr (VI) yang akan digunakan
dalam tahap bioremediasi in vitro. Berdasarkan Gambar 5.8
diketahui bahwa isolat C, E dan G memiliki nilai persentase
efisiensi optimasi lebih tinggi dibandingkan isolat lain, yaitu
isolat G sebesar 30,05%; isolat E sebesar 29,70% dan isolat C
sebesar 27,34%.
79 Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsium
Bakteri Indigen
D Identifikasi dan Karakterisasi 3 Isolat Bakteri
Indigen yang Paling Berpotensi dalam Mereduksi
Cr (VI)
Telah diketahui bahwa isolat bakteri indigen C, E, dan G
merupakan isolat bakteri indigen yang paling berpotensi dalam
mereduksi Cr (III). Dari rangkaian identifikasi yang telah
dilakukan diketahui jenis spesies dari ketiga isolat tersebut.
Isolat C adalah Enterobacter gergoviae, isolat E adalah Vibrio
parahaemoliticus, dan isolat G adalah Pseudomonas stutzeri.
Berikut karakter ketiga isolat tersebut.
1. Spesies Enterobacter gergoviae
Berdasarkan hasil pengamatan karakteristik ciri
morfologi, spesies ini mempunyai warna koloni putih dan
berbentuk bundar. Sel berbentuk basil dengan ukuran diameter
0,13 µm. Bakteri ini bersifat Gram negatif, dan termasuk
bakteri anaerob fakultatif. Foto hasil pengamatan E. gergoviae
yang meliputi pewarnaan Gram dan pertumbuhan pada medium
lempeng yang dibuat dengan menggunakan metode garis zig-zag
ditunjukkan pada Gambar 5.9. Hasil identifikasi secara
fisiologis ditunjukkan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Hasil Identifikasi Fisiologis Bakteri Indigen E.
gergoviae
Karakteristik Hasil
Oksidase -
Motility -
Nitrate -
Lysine +
Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsium 80
Bakteri Indigen
Lanjutan Tabel 5.3
Karakteristik Hasil
Ornithine +
H2S -
Glucose +
Mannitol +
Xylose +
ONPG +
Indole -
Urease +
V-P +
Citrate +
TDA -
Gelatin -
Malonate -
Inositol -
Sorbitol -
Rhamnose -
Sucrose -
Lactose -
Arabinose -
Adonitol -
Raffinose -
Salicin -
Arginine -
Keterangan: + (positif): bakteri bereaksi positif terhadap reagen
- (negatif): bakteri bereaksi negatif terhadap reagen
81 Aplikasi Bioremediasi Cr (VI) Menggunakan Konsorsium
Bakteri Indigen