The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by cicik.wulandari, 2022-03-10 20:37:38

GOOSEBUMP - KENAPA AKU TAKUT LEBAH

GOOSEBUMP - KENAPA AKU TAKUT LEBAH

R.L. Stine
Kenapa Aku Takut Lebah
(Goosebumps #17)

PIKIRANNYA BETUL TAPI BADANNYA SALAH
Gary si Kikuk merasa sebal pada dirinya sendiri. Selama ini dia selalu menjadi
bulan-bulanan teman-temannya. Dia takut binatang, tak bisa berolahraga, dan
tingkahnya serba kikuk. Bahkan adiknya sendiri, Krissy, tak menyukainya.
Rasanya Gary ingin sekali menjadi orang lain.
Keinginan Gary untuk meninggalkan kehidupannya hampir menjadi kenyataan.
Ada anak lain yang mau bertukar badan dengannya selama seminggu.
Gary sudah tak sabar lagi menunggu saat itu. Tapi, sesuatu yang menakutkan
terjadi padanya. Kesalahan teknis terjadi pada saat proses pertukaran.
Akibatnya, tubuh Gary yang baru bukanlah tubuh manusia lagi!!!
Goosebumps
Ya! Dijamin kalian pasti ber-goosebumps-ria alias merinding ketakutan kalau
membaca seri ini. Soalnya, seri goosebumps memang menyajikan kisah-kisah
horor yang super seram dan mengerikan! Tidak percaya? Baca saja sendiri,
kalau berani!!!

Alih bahasa: Diniarty Pandia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26 Jakarta

Edit & Convert by: Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

1

KALAU kau takut lebah, aku harus memperingatkan kau — banyak lebah
dalam cerita ini. Jumlahnya ratusan.

Sampai bulan kemarin, aku takut lebah Dan kaubaca cerita mi, kau akan tahu
kenapa.

Semuanya diawali pada bulan Juli ketika aku mendengar ada dengungan yang
menakutkan, dengungan lebah.

Aku terduduk tegak dan mencari-cari di sekelilingku Tapi di mana-mana tidak
kelihatan ada lebah. Suara dengungan yang mengerikan itu tidak mau berhenti.
Kedengarannya malah makin keras.

"Mungkin si Andretti lagi," kataku dalam hati "Merusak suasana, seperti biasa."

Dari tadi aku asyik membaca setumpuk komik di awah pohon maple besar di
halaman belakang rumahku. Anak-anak lain mungkin punya kegiatan lain yang
lebih baik di siang hari musim panas yang gerah dan lengket ini - misalnya
pergi berenang dengan teman-temannya.

Tapi aku tidak. Namaku Gary Lutz, dan aku harus berterus terang. Aku tidak
punya banyak teman akrab. Bahkan adikku yang berusia sembilan tahun,
Krissy, tidak terlalu suka padaku. Hidupku payah.

"Kenapa begitu?" aku sering bertanya-tanya sendiri. “Apa yang sebenarnya
tidak beres pada diriku? Kenapa anak-anak menjulukiku Lutz si Kikuk? Kenapa
semua orang selalu mengolok-olokku?”

Kadang-kadang aku berpikir mungkin ini disebabkan oleh penampilanku. Pagi
itu, lama aku memandangi cermin. Kupandangi diriku paling tidak selama
setengah jam.

Kulihat wajah tirus panjang, hidung berukuran sedang, dan rambut pirang lurus.
Memang tidak tampan, tapi tidak juga jelek.

Nnnggg.

Aku tidak tahan mendengar suara itu! Dan kedengarannya makin dekat.

Aku tiarap. Lalu kuintai sekitar pohon maple. Aku ingin melihat lebih jelas
halaman rumah tetanggaku.

Oh, tidak, pikirku. Aku benar. Suara. berdengung-dengung itu datangnya dari
lebah-lebah Mr. Andretti.

Tetanggaku mulai lagi. Ia selalu berada di halaman belakang rumahnya, di
samping garasi, sibuk mengurusi lebah-lebahnya.

Bagaimana ia bisa mengurusi mereka setiap han tanpa takut disengat? tanyaku
dalam hati. Apa ia tidak geli?

Aku herlutut dan maju beberapa senti. Meskipun aku ingin melihat Mr. Andretti
dengan jelas, aku tidak mau ia sampai melihatku.

Terakhir kali ia memergokiku mengawasinya, ia benar-benar keterlaluan.
Kelakuannya seolah-olah ada hukum yang melarang orang duduk di halaman
belakang rumahnya sendiri!

"Aoa-apaan ini?” teriaknya keras-keras. “Apa ada yang memulai siskamling
tanpa memberitahu aku? Jangan-jangan sekarang FBI merekrut anak sepuluh
tahun jadi mata-mata?”

Kalimat terakhir itu benar-benar bikin aku panas, karena Mr. Andretti tahu pasti
aku berumur dua belas tahun. Keluargaku bertetangga dengannya seumur
hidupku. Sial bagiku. Aku kan takut lebah.

Sebaiknya aku langsung berterus-terang. Aku juga takut pada beberapa hal lain,
misalnya anjing, anak-anak berbadan besar yang jahat, kegelapan, suara-suara
keras, dan berenang di laut. Aku bahkan pada Claus, kucing goblok milik
Krissy.

Tapi aku paling takut pada lebah. Sialnya, karena tetanggaku peternak lebah,
selalu saja ada lebah di dekatku. Lebah-lebah yang berbulu, memendengung,
menyengat.

"Meong!”

Aku terlonjak ketika Claus mengendap-endap di belakangku. “Kenapa kau
mengikuti aku seperti itu?"seruku.

Ketika aku bicara, Claus mendekat dan menggosok-gosokkan badannya ke
kakiku. Lalu dibenamkannya kukunya yang panjang dan seruncing jarum ke
kulitku.

“Aduh!” jeritku. “Pergi!” Aku tidak mengerti kenapa Krissy. bisa sayang sekali
pada makhluk itu.

Katanya Claus menerkamku karena “suka” padaku. Yah, aku cuma bisa bilang
aku tidak suka padanya!

Dan aku harap ia tidak dekat-dekat denganku!

Setelah akhirnya berhasil mengusir Claus, aku kembali mengamati tetanggaku.
Ya, aku takut lebah. Tapi juga tertarik.

Sepertinya aku tidak bisa berhenti mengamati Mr. Andretti. Ia meletakkan
sarang-sarang lebahnya di tempat yang tertutup kawat kasa di belakang
garasinya. Aku jadi merasa lumayan aman. Dan sepertinya ia cukup ahli. Malah
ia berkelakuan seolah-olah dialah orang yang paling ahli dalam soal lebah!

Hari ini Mr. Andretti mengenakan pakaian lebahnya yang biasa. Pakaian putih
dan topi dengan cadar kawat kasa untuk melindungi wajahnya. Pakaiannya
diikat di bagian pergelangan tangan dan kaki. Ta tampak seperti makhluk luar
angkasa di film horor.

Ketika tetanggaku dengan hati-hati membuka dan menutup sarang-sarang
lebahnya yang berbentuk seperti laci, kulihat ia sama sekali tidak memakai
sarung tangan.

Pernah, waktu aku bersama ayahku, Mr. Andretti menjelaskan pada kami.
“Begini, Lutz,” katanya. Lutz nama ayahku, Ken Lutz. Sebetulnya, selama
bercakap-cakap itu,, Mr. Andretti sepertinya menganggap aku tidak ada.

"Peternak-peternak lebah biasanya memakai sarung tangan,” katanya
menjelaskan. “Ada juga peternak yang berani memakai sarung tangan tanpa jari
supaya bisa lebih gampang bekerja.”

Mr. Andretti menepuk dadanya dan berkata, "Tapi peternak lebah yang luar
biasa - seperti saya lebih suka bekerja dengan tangan telanjang. Lebah-lebah
saya percaya pada saya. Anda tahu, Lutz, lebah jauh lebih pandai daripada yang
dikira orang."

Oh, tentu, kataku dalam hati waktu itu. Kalau mereka memang pandai, kenapa
mereka tetap saja kembali ke sarangmu dan membiarkan kau mencuri madu
mereka?

Nnnggg.

Dengungan dari sarang Mr. Andretti tiba-tiba dengar makin kuat dan
mengancam. Aku berdiri dan berjalan ke pagar pembatas halaman belakang
rumah kami. Kuamati tempat berlapis kawat kasa itu untuk melihat ada apa.

Aku lalu terkesiap.
Pakaian putih Mr. Andretti tidak tampak putih lagi. Pakaian itu jadi hitam!
Kenapa? Karena sekujur tubuhnya tertutup lebah!
Sementara aku terbelalak, makin banyak lebah terbang keluar dari sarangnya
Mereka merayapi lengan dan dada Mr. Andretti, di kepalanya juga ada.
Aku begitu jijik, rasanya ingin muntah! Topi dan cadar Mr Andretti berkilauan
dan bergerak-gerak seperti hidup!
Apa ia tidak takut disengat segitu banyak lebah?
Ketika aku bersandar di pagar, tiba-tiba Mr Andretti berteriak padaku,
"Gary—awas!”
Aku terpaku “Hah?”
“Lebah-lebahnya!” jerit Mr. Andretti. "Mereka tidak bisa dikontrol! Lari!”

2

SEUMUR-UMUR belum pernah aku lari secepat itu. Aku ngebut melintasi
halaman dan tersandung ketika naik tangga belakang rumahku.
Kubuka pintu kasa dan nyaris jatuh ke dalam rumah Aku lalu berhenti dan
bersandar di meja dapur, megap-megap.
Ketika akhirnya napasku normal lagi, kutajamkan telingaku. Aku masih bisa
mendengar dengungan marah lebah-lebah dari halaman sebelah. Lalu kudengar
suara lain.
"Ha ha ha!”

Ada orang tertawa terbahak-bahak di luar sana. Dan kedengarannya seperti Mr.
Andretti.

Pelan-pelan aku berbalik dan mengintip dari sela-sela pintu kasa. Tetanggaku
berdiri di bawah tangga belakang. Ia sudah melepaskan cadar lebahnya, dan
kulihat wajahnya nyengir lebar sekali.

"Ha ha! Mestinya kau lihat ekspresi wajahmu tadi Gary. Kau pasti tak percaya
betapa lucunya tampangmu! Dan larimu itu lho!”

Kupandangi dia “Maksud Anda lebah Anda tidak kabur?

Mr Andretti menepuk lututnya. "Tentu saja tidak! Aku selalu bisa mengontrol
lebah-lebah itu. Mereka keluar masuk, membawa nektar dan tepung sari dan
bunga-bunga”

Ia berhenti sebentar untuk mengusap keringat di keningnya. "Kadang-kadang
aku terpaksa keluar dan menangkapi beberapa lebah yang tersesat dengan
jalaku. Tapi sebagian besar lebah-lebah itu tahu bahwa sarangku adalah rumah
terbaik yang bisa mereka dapat!"

“Jadi ini semua cuma bercanda, Mr Andretti?” Aku berusaha kedengaran
marah. Tapi betapa sulit melakukannya kalau suaramu lebih gemetaran daripada
lututmu! “Tadi itu mestinya lucu?”

“Kurasa kejadian tadi akan menyadarkanmu untuk mempunyai kegiatan lain
dan berhenti mengamatiku seharian!” jawabnya. Ia lalu berbalik dan pergi.

Aku marah bukan main! Tipuan licik!

Rasanya sudah cukup tidak enak diganggui anak-anak seumurku. Sekarang
orang dewasa pun mau ikut-ikutan!

Kutinju meja dapur tepat ketika ibuku masuk. "Hai, Gary,” katanya, kerungnya
berkerut “Coba jangan hancurkan perabotan, oke? Aku mau bikin sandwich.
Kau mau?"

“Rasanya,” gumamku, duduk di atas meja.

“Kau mau yang biasa?"

Aku mengangguk. “Yang biasa” adalah selai kacang dan jeli, aku tidak pernah
bosan memakannya. Untuk makanan kecil, aku suk keripik taco, makin pedas
makin enak Sementara menunggu sandwich-ku dibuat, kubuka bungkusan
keripik dan mulai mengunyahnya.

"Uh-oh” Mom mengaduk-aduk isi kulkas. “Sepertinya kita kehabisan jeli.
Kurasa kita terpaksa pakai yang lain.’

Dikeiuarkannya stoples kaca kecil.

“Bagaimana kalau selai kacangmu dltambah ini?"

"Apa itu?” tanyaku.

"Madu.”

"Madu!” jeritku. “Tak sudi!”

***

Beberapa saat kemudian, aku merasa kesepian. Aku ngeluyur ke taman bermain
di sekolah. Ketika melewati ayunan, kulihat ada segerombolan teman
sekolahku.

Mereka berdiri di sekeliling lapangan softball, memilih-milih anggota regu
masing-masing. Kudatangi mereka. Mungkin, mungkin saja, mereka
memperbolehkan aku main.

"Gail dan aku jadi kapten,” kata anak laki-laki bernama Louie.

Aku berjalan mendekat dan berdiri di pinggir itu. Kedatanganku tepat pada
waktunya.

Louie dan Gail memilih anggota regu mereka satu per satu. Semua anak sudah
terpilih. Semua anak, kecuali satu. Aku berdiri sendirian di samping home plate.

Sementara aku berdiri dengan bahu membungkuk dan mata menunduk, para
kapten mulai bertengkar karena diriku. “Kau ambil dia, Gail,” kata Louie.

“Tidak. Kau yang ambil dia.”

"Tidak adil. Aku selalu ditempeli si Lutz!”

Ketika dua kapten itu bertengkar untuk memutuskan siapa yang akan
mengambilku kurasakan wajahku makin lama makin merah padam. Aku ingin
pergi saja. Tapi nanti mereka pasti bilang aku péngecut.

Akhirnya Gail menghela napas dan membelalakkan mata. “Oh, baiklah,”
katanya. “Kami ambil dia. Tapi ingat peraturan khusus Lutz. Ia dapat empat
strike, setelah itu langsung keluar!”

Aku menelan ludah dan mengikuti teman-teman sereguku masuk ke lapangan.
Aku beruntung. Gail mengirimku ke outfield.

“Pergi ke sebelah kanan, Lutz,” perintah Gail “Di samping pagar belakang.
Tidak ada yang memukul sampai sana.”

Beberapa anak rnungkin akan marah dipasang begitu jauh dari pusat permainan.
Tapi aku malah bersyukur. Kalau tidak ada bola yang dipukul ke arahku, aku
takkan punya kesempatan untuk menjatuhkannya, seperti yang biasa kulakukan.

Ketika mengamati pertandingan, pelan-pelan perutku terasa melilit. Aku dapat
giliran memukul terakhir. Tapi ketika akhirnya sampai giliranku, base-basenya
sudah penuh sesak.

Kuambil tongkat pemukul dan berjalan menuju plate. Teman-teman sereguku
mengerang. “Giliran Lutz?" teriak seseorang heran.

"Gampang!” teriak anak perempuan yang di first base. "Tidak bisa, tidak bisa,
tidak bisa!” Semua anggota regu lawan bersorak-sorak dan tertawa. Dari sudut
mataku kulihat Gail menutupi wajah dengan tangannya.

Kugeretakkan gigiku dan mulai berdoa. Tolong biarkan aku dapat walk. Tolong
biarkan aku dapat walk. Aku tahu aku takkan bisa memukul bolanya. Jadi satu-
satunya harapanku adalah mendapat walk.

Tentu saja aku gagal

Empat straight strike.

"Lutz si Kikuk!” Kudengar seseorang berteriak begitu. Anak-anak tertawa

Tanpa menoleh-noleh lagi, aku keluar dan lapangan dan tempat bermain. Aku
pulang menuju kamarku yang tenang dan damai. Mungkin kamarku itu tidak
sempurna, pikirku. Tapi paling tidak di rumah tak ada yang menjuluki aku
kikuk.

"Hei, lihat, teman-teman!” teriak seseorang ketika aku berbelok ke jalan menuju
rumahku.

"Hei.. wow... itu Lutz si Kikuk!" kata yang lain.

"Kelihatannya asyik, dude!”

Sial sekali nasibku. Suara-suara itu milik tiga begajul paling besar, paling jahat,
paling kuat di sekitar rumahku - Barry, Marv, dan Karl. Mereka seumur
denganku, tapi besarnya. paling tidak lima kali lipat besar badanku!
Anak-anak itu gorilla. Maksudku, buku-buku jari mereka rnenyentuh ke tanah!
Dan kalau sedang tidak berayun-ayun di ayunan ban di kandang gorilanya, apa
kegiatan favorit mereka?
Tepat Memukuli aku.
“Tolonglah, teman-teman,” kataku mengiba. “Seharian ini aku sudah sial
melulu.”
Mereka tertawa.
“Apa, Lutz?” teriak salah satu dari mereka dengan sikap mengancam. “Nih!”
Aku cuma sempat berkedip ketika kulihat tinju yang besar dan mengerikan
melaju tepat ke hidungku.

3

SEPULUH menit kemudian, yang terasa lama dan sakit, aku memasuki pintu
belakang rumahku. Untunglah, ibuku sedang berada di atas. Ia tidak melihat
hidungku yang berdarah, lenganku yang luka dan memar, dan bajuku yang
robek-robek. Aku tidak mau kalau Mom sampai mengomel mengancam akan
menelepon orangtua anak-anak itu. Kalau itu terjadi, Barry, Mary, dan Karl
betul-betul akan membunuhku kalau kami bertemu lagi.
Ketika aku mengendap-endap menaiki tangga, Claus si kucing menerkamku.
"Wooow!” Saking kagetnya, aku nyaris jatuh dari tangga. “Pergikau, monster!"
Kuusir kucing itu dan bergegas berjalan di loteng yang menuju kamar mandi.
Kupandangi cermin dan nyaris terlonjak. Aku kelihatan seperti habis ditabrak
mobil!

Kubersihkan hidungku dengan air es. Lalu kucuci semua noda darah dan
terseret-seret berjalan kekamarku.

Kubuka T-shirt-ku yang robek-robek dan kusembunyikan dibalik tempat tidur.
Lalu kupakai baju musim dingin yang bertangan panjang. Pasti nanti aku
kepanasan, tap baju itu bisa menutupi lenganku yang luka.

Di dapur di bawah, ada Mom dan Krissy. Mom sedang mengeluarkan mangkuk
adonan dan telur, Krissy sedang menalikan celemek besar di pinggangnya.
Seperti biasa, Claus sedang mendengkur dan tidur melingkar di kaki Krissy.
Kenapa ia bertingkah seperti anak kucing tanpa dosa di dekat Krissy, dan di
dekatku berubah jadi monster?

“Hai, Gary,” kata Mom. “Mau membantu kami membuat kue kacang?”

“Tidak, terima kasih,” kataku. “Tapi nanti aku mau menjilati mangkuknya."
Aku berjalan ke meja dan mengambil bungkus keripik taco yang tadi
kutinggalkan di sana.

“Yah, kalau begitu tolong ambilkan stoples selai kacang baru dari lemari dan
bukakan, ya,” kata Mom. Resep ini membutuhkan banyak selai kacang.”

“Kedengarannya enak,” kataku “Asal tidak pakai madu saja.”

Kubuka pintu lemari dan kukeluarkan selai kacang. Kucoba membuka tutupnya.
Kuputar sekuat tenaga, tapi tutup itu tidak mau bergerak. Kuhantam stoples itu
ke atas meja dan kucoba lagi memutar tutupnya. Tetap tidak bisa.

"Mom, ada kunci Inggris atau sesuatu yang bulat?" tanyaku. "Tutupnya tidak
mau bergerak!"

"Bagaimana kalau kaubasahi dengan air panas?" kata ibuku.

"Oh, t-tolong!” Krissy mendengus. Dilapnya tangannya ke celemek, berjalan
mendekat, dan disambarnya stoples itu dariku.

Dengan dua jari saja dibukanya tutup stoples.

Lau ia tertawa seperti orang gila. Ibuku juga mulai tertawa.

Percaya tidak? Ibuku sendiri menertawakan aku!

"Kurasa pasti tadi pagi kau lupa makan bubur gandum,” kata Mom.

"Aku mau pergi,” gumamku pada Mom dan Krissy. “Untuk selamanya."

Mereka berdua sedang tertawa. Kurasa mereka tidak mendengar ucapanku.
Dengan perasaan sengsara bukan main, aku keluar dari pintu depan lalu
kubanting pintunya kuat-kuat. Aku ingin bersepeda saja mengelilingi
lingkungan rumahku beberapa kali. Ketika aku pergi ke samping rumah dan
mengeluarkan sepeda dari garasi, perasaanku mulai lebih enakan.

Sepedaku benar-benar bagus. Baru, warnanya biru, giginya ada dua puluh satu,
dan badannya ramping dan hebat. Dad memberikannya sebagai hadiah ulang
tahunku yang kedua belas.

Aku melompat naik ke sepeda dan meluncur di jalan masuk. Ketika berbelok ke
jalan, kulihat ada beberapa anak perempuan berjalan di trotoar. Dari sudut
mataku, aku mengenali mereka.

Wow! pikirku. Itu Judy Donner dan Kaitlyn Davis!

Judy dan Kaitlyn teman sekolahku. Mereka manis-manis dan sangat populer.

Kuakui deh, aku sudah suka sekali pada Judy sejak kelas empat. Dan pernah,
waktu kelas lima sedang piknik, ia tersenyum padaku. Paling tidak, kurasa
padakulah ia tersenyum.

Jadi ketika kulihat anak-anak perempuan itu berjalan, kuputuskan inilah saatnya
untuk mencoba tampak hebat.

Kuputar topi baseball-ku sehingga bagian depannya ada di belakang. Lalu aku
bersidekap dan mulai mengayuh tanpa memegang setang.

Ketika melewati mereka, aku menoleh dan melemparkan senyumku yang paling
maut pada Judy dan Kaitlyn.
Belum lagi senyum indahku hilang, kurasakan sepatuku tertarik. Aku langsung
tahu tali sepatuku terlilit rantai sepeda!

Terdengar suara menggiling yang mengerikan. Sepedaku tersentak dan bergerak
tidak keruan - aku tidak bisa mengendalikannya!

"Gary...!” Kudengar Judy menjerit. “Gary, awas ada mobil!"

4

BRAAAAK.

Aku tidak melihat tiang lampu itu sampai aku menghantamnya.

Ketika aku terjungkal dari sepeda dan terbang ke samping, kudengar suara besi
remuk, pecah, dan bertebaran.

Aku jatuh tersungkur ke genangan lumpur yang dalam dan hangat.

Kudengar mobil itu melaju melewati aku.

Pelan-pelan kuangkat mukaku dari lumpur.

Kurasa aku tidak kelihatan terlalu hebat, pikirku pahit. Mungkin paling tidak
aku akan dikasihani.

Sama sekali tidak.

Aku bisa mendengar Judy dan Kaitlyn tertawa-tawa di belakangku. “Sepeda
bagus, Gary” kata seorang dari mereka, lalu bergegas pergi.

Seumur-umur belum pernah aku begitu malu. Kalau bisa, ingin rasanya aku
berakar di genangan lumpur itu dan mengubah diriku jadi pohon.

Mungkin itu bukan hidup yang paling menyenangkan di dunia ini. Tapi paling
tidak tak ada yang menertawakan pohon.

Aku serius. Pada saat itu, dengan senang hati aku mau bertukar peran dengan
pohon. Atau burung. Atau kumbang. Atau makhluk hidup apa saja yang ada di
planet ini.

Dengan pikiran menyedihkan itu, aku bangun dan pergi dari situ sebelum orang
lain datang. Kukerahkan tenagaku untuk mengangkat bangkai sepedaku. Untung
aku tidak perlu menyerethya jauh-jauh.

Untuk kedua kalinya di siang itu, aku mengendap-endap masuk rumah dan
menaiki tangga supaya aku bisa membersihkan diri sebelum sempat terlihat
orang. Sekarang, sambil mengamati bayanganku di cermin kamar mandi,
kulihat tidak mungkin aku bisa menyembunyikan semua luka dan baret itu dari
ibuku.

"Oh, masa bodohlah,” kataku, sambil membersihkan wajah dan tanganku dan
lumpur. “Biar saja Mom melihatnya. Aku akan membuatnya senang karena ada
yang bisa ditertawakannya lagi. Mom pasti suka!”

Aku kembali ke kamarku dan mengenakan pakaian bersihku yang terakhir. Lalu
aku memandang sekelilingku, berusaha menemukan sesuatu yang bisa
kukerjakan.

Kuputuskan untuk menyalakan komputerku. Main komputer adalah salah satu
hal yang paling kusukai. Kalau sedang asyik main, kadang-kadang aku bisa lupa
bahwa aku ini si tolol yang bernama Lutz si Kikuk. Di game komputer tak ada
yang menjuluki aku Lutz si Kikuk.

Kunyalakan komputer dan ingin mencoba game Planet Monstro. Sudah dua hari
aku macet. Monstro benar-benar game yang mengasyikkan.

Kalau sedang bermain, kau jadi tokoh bernama The Warrior, dan kau terjebak di
Planet Monstro. Kau harus meloloskan diri dari bermacam-macam situasi yang
mengerikan

Sebelum mulai main, kurasa sebaiknya kuperiksa dulu Computa Note, salah
satu buletin elektronik yang ada di komputerku.

Hari Senin yang lalu aku meninggalkan pesan di sana menanyakan apakah ada
yang tahu cara mengalahkan naga berkepala dua yang terus memakanku di
bulan ketiga belas Monstro. Kadang-kadang orang yang memainkan game yang
sama memberikan petunjuk.

Ketika memasuki Computa Note, kulihat di layar pesan-pesan yang
berhubungan dengan game komputer:

Kepada Arnold di Milwaukee: Kau sudah coba mengoleskan daun-daun
eucalyptus tumbuk di sekujur tubuhmu dalam game hutan tropis? Itu cara
alamiah untuk mengusir semut beracun di EcoScare 95. Dari Lisa di San
Fransisco.

Kepada R dari Sacramento: Satu-satunya cara untuk meloloskan diri dari banjir
di kapal ruang angkasamu dalam SpaceQuest 20 adalah dengan memompa
bajumu dan melayang pergi. Dari L di St. Louis.

Kepada Gary di Miliville: Coba tikam naga itu di antara matanya. Aku sukses
melakukannya. Dari Ted di Ithaca

Hebat, pikirku. Aku sudah lama mencoba menikam di antara kedua mata naga
itu. Tapi makhluk itu selalu memakanku sebelum aku sempat melakukannya!
Apa yang dilakukan “Ted di Ithaca” yang tidak kulakukan?
Kuputuskan untuk menulis pesan elektronik lagi, minta Ted menjelaskan
maksudnya. Tapi, ketika aku mulai mengetik, kulihat di bagian bawah layar
komputer ada pesan lain.
Kubaca. Lalu dengan sangat hati-hati kubaca lagi:
BERLIBUR DARI DIRIMU SENDIRI.
Bertukar tempat dengan seseorang selama seminggu!

5

Apa maksudnya?
Kutekan tombol Enter supaya aku bisa baca tulisan selanjutnya. Aku ingin
sekali mengetahui informasi lebih lanjut mengenai pesan itu. Inilah yang
kulihat:
BERLIBUR DARI DIRIMU SENDIRI.
Bertukar tempat dengan seseorang selama seminggu!
PERSON-TO-PERSON VACATIONS
113 Roach Street, Suite 2-B
atau telepon 1-800-555-SWAP

Bagaimana cara bekerjanya? tanyaku dalam hati. Bagaimana bisa dua orang
bertukar tempat tanpa mengalami bermacam-macam masalah?

Harus kuakui kedengarannya sangat gila.

Gila, tapi menarik.

Aku menguap dan menggaruk bagian belakang kepalaku. “Aduh!”

Tanganku menyentuh salah satu benjolan yang kudapat dari Barry, Mary, dan
Karl.

Sakit sekali. Tapi rasa sakit itu membantuku membuat keputusan. Aku sangat
siap untuk mengalami beberapa perubahan dalam hidupku.

“Aku tidak mau seumur hidup dipukuli terus!” kataku pada diri sendiri. “Juga
menabrak tiang lampu! Atau jadi orang yang paling akhir dipilih jadi anggota
regu!”

Kuambil selembar kertas dan kucatat alamat yang ada di layar komputer.
Sambil mencatat, aku tersadar alamat itu hanya beberapa blok dari sekolahku.
Aku tahu di mana letaknya. Aku bisa mampir di kantor Person-to-Person itu
besok.

Aku akan memeriksanya, kataku dalam hati.

Mengambil keputusan seperti itu sangat membantu perasaanku. Aku sudah
kembali merasa girang ketika turun lagi ke bawah. Tapi tidak lama. Waktu
keluargaku berkumpul untuk makan malam, ayahku melihat wajahku yang
babak belur.

“Gary!” serunya. “Kenapa kau?"

“Ehm,” kataku. “Kecelakaan kecil waktu naik Sepeda.” Aku mengerenyit ketika
mengucapkan kata “sepeda”. Aku teringat rongsokan sepedaku di sudut garasi.

“Aku sama sekali tidak percaya,” kata Mom. “Aku yakin kau tadi berkelahi
dengan anak-anak berbadan besar itu lagi. Kenapa sih kalian tidak bisa
menyelesaikan pertengkaran kalian dengan jalan damai?”

Krissy tertawa keras sekali sampai hampir tercekik makanan. “Gary ‘ tidak
bertengkar dengan anak-anak itu, Mom!” katanya. “Mereka yang senang
memukuli dia!”

Ibuku menggeleng-geleng marah. “Yah, kurasa kelakuan mereka keterlaluan!”
katanya. “Aku ingin sekali menelepon orangtua anak-anak itu sekarang
mengomeli mereka!

Aku mengerang keras. “Mom, aku benar-benar kelakaan waktu naik sepeda.
Kalau tidak percaya lihat saja ke garasi.”

Dad jadi mempercayaiku. Ia mulai menceramahiku soal keselamatan bersepeda
dan mengapa aku harus selalu memakai helm dan bahwa aku harus membayar
perbaikan sepedaku dengan uangku sendiri.

Tak lama, aku tidak lagi memperhatikan. Sambil memutar-mutar makanan di
piring, aku asyik memikirkan rencanaku untuk berganti peran dengan
menggunakan Person-to-Person Vacations.

Makin cepat makin baik, pikirku. Makin cepat keluar dari hidupku ini, makin
baik jadinya

Setelah makan malam, aku naik untuk main komputer lagi. Sepanjang malam
aku main Planet Monstro.

Aku terus mencoba menikam naga itu di antara kedua matanya. Tapi meskipun
kuikuti saran Ted dari Ithaca, aku tidak bisa melakukannya. Naga itu
memakanku dua puluh tiga kali.

Akhirya aku menyerah dan naik ketempat tidur. Saking capeknya, aku langsung
mulai tertidur. Aku berbalik dan menarik selimut sampai dagu.

Aku bergelung. Jari-jari kaki kananku menyentuh sesuatu.

“Hah?” kataku keras. Apaan tuh?”

Jantungku berdebar-debar.

Pelan-pelan kugerakkan jari-jari kakiku lagi.

“Ohhhhh.” Darahku membeku.

Aku melompat dan tempat tidur dan menjerit sekuat tenaga.

6

DENGAN panik kutarik selimutku dari tempat tidur. Diterangi cahaya suram
dan jendela, aku bisa melihat tikus itu - gemuk dan berbulu, matanya yang
merah bersinar-sinar menatapku.

Aku menjerit lagi.

Lalu kudengar suara tawa dan lorong. Suara tawa Krissy.

Perutku mulas. Aku berjalan ke sakelar dan menyalakan lampu.

Tikus itu masih melotot padaku dari tempat tidur. Tapi sekarang aku
mengenalinya. Tikus karet abu-abu Salah satu mainan kesayangan Claus

Di kamarnya di ujung lorong, Krissy tertawa melengking.

"Kuhajar kau, berandal” jeritku. Aku ingin pergi ke ujung lorong dan
menggebukinya. Tapi cepat-cepat kubatalkan.

Meskipun baru berumur sembilan tahun, Krissy lumayan kuat. Ada
kemungkinan besar ja bisa memukuliku.

Sambil menggeram marah, kusambar tikus itu dari tempat tidur dan
kulemparkan ke sudut kamar. Lalu, dengan jantung masih berdebar-debar
marah, kumatikan lampu dan masuk lagi ke balik selimut.

“Besok,” janjiku dalam hati di kamarku yang gelap. “Besok, kau, Gary Lutz,
akan mengecek iklan itu dan mengetahui apakah kau bisa mengubah hidupmu.
Meskipun cuma seminggu, pasti lebih baik dibandingkan hidupmu yang
sekarang ini!”

***

Keesokan harinya kutepati janjiku pada diri sendiri. Sesudah sarapan, aku
berjalan enam blok ke Roach Street dan mengamati nomor-nomor rumah,
berusaha menemukan nomor 113.

Kukira gedung yang kucari adalah gedung kantor dan kaca-kaca besar. Tapi
ketika akhirnya kutemukan nomor 113, ternyata gedungnya kecil dan berwarna
abu-abu, mirip dengan tempat dokter gigiku. Papan kecil di luarnya herbunyi:

PERSON-TO-PERSON VACATIONS

Kamar 2-B

Kubuka pintunya dan menaiki tangga. Di atas, kubuka pintu lain dan masuk ke
semacam ruang tunggu yang berkarpet cokelat dan berkursi kulit.
Di balik jendela kaca besar ada seorang wanita berambut hitam. Ia tersenyum
ketika aku masuk. Kudekati dia.

“Selamat siang,” katanya melalui mikrofon.

Aku terlonjak. Meskipun wanita itu berada tepat di depanku, suaranya keluar
dan pengeras suara di dinding.

"Uh ehm," aku tergagap gelisah. "Saya datang mk menanyakan soal pesan di
buletin elektronik."

"Oh ya, jawab wanita itu sambil tersenyum lagi. “Banyak orang yang
mengetahui kami dan komputer. Maaf saya berada di balik kaca ini. Peralatan-
peralatan di belakang saya rawan sekali, kami harus berhati-hati
melindunginya”

Kuintip ke balik bahu wanita itu. Aku bisa melihat meja-meja besi berkilat dan
dinding penuh peralatan elektrorik, termasuk benda yang tampak monitor
jantung, layar video, mesin sinar X, dan kamera-kamera. Kelihatannya seperti
barang-barang dan film Star Trek.

Perutku tiba-tiba terasa mulas Mungkin ini ide jelek pikirku. “Mu-mungkin
anak-anak jarang datang kemari, ya,” kataku terbata-bata. Aku mulai mundur ke
pintu.

"Tidak juga,” katanya. “Pelanggan kami banyak yang anak muda seperti kau.
Anak-anak banyak tertarik untuk bertukar tempat dengan orang lain selama
seminggu. Siapa namamu tadi?”

“Gary. Gary Lutz.”

"Senang berkenalan denganmu, Gary. Nama saya Karmen. Berapa umurmu.
Dua belas?”

Aku mengangguk.

"Coba kemari sebentar,” kata Ms. Karmen, ia memberi isyarat dengan
tangannya.

Dengan hati-hati aku berjalan mendekati ruang kaca itu. Ia membuka celah kecil
di bagian bawah jendelanya dan mengeluarkan sebuah buku. Kuambil buku itu;
ternyata album foto, seperti album foto pernikahan orangtuaku.

Kubuka dan kulihat-lihat isinya. “Foto anak-anak!” seruku. Semua kira-kira
seumur denganku.”

“Betul,” kata Ms. Karmen. “Mereka semua tertarik untuk bertukar peran dengan
orang lain selama seminggu.”

“Wow.” Kuamati foto-foto itu.
Banyak anak di foto-foto itu yang tampak besar dan kuat. Dan asyik. Anak-anak
seperti itu pasti tidak takut apa pun, kataku dalam hati. Aku ingin tahu
bagaimana rasanya jadi seperti mereka.

“Kau bisa pilih anak laki-laki atau bahkan anak perempuan, - tidak jadi masalah
- untuk bertukar tempat selama seminggu," kata Ms. Karmen.

“Tapi bagaimana caranya?” tanyaku. “Apa saya mengambil alih kamar
seseorang begitu saja dan tinggal di rumahnya selama seminggu? Bersekolah di
sekolahnya? Mengenakan pakaiannya?"

Wanita itu tertawa. “Jauh lebih menarik daripada itu, Gary. Dengan program
liburan kami ini, kau betul-betul jadi orang lain itu selama seminggu.”

“Hah?"

“Yang kami miliki,” kata wanita itu menjelaskan, “adalah cara yang aman dan
tidak sakit untuk menukarkan pikiran seseorang ke dalam badan orang lain.
Jadi, meskipun kau sendiri tahu siapa kau sebenarnya, orang lain tak ada yang
tahu. Orangtua anak itu pun tidak!”

Aku masih bingung. “Tapi.. badan saya bagaimana? Apa disimpan di sini?”

"Tidak, tidak. Kami di Person-to-Person ini akan mencari orang lain untuk
memakai badahmu selama seminggu itu.Orangtuamu takkan tahu kau
tidak ada!”

Aku menunduk memandangi badanku yang kerempeng dan ingin tahu siapa
yang mau meminjamnya selama seminggu. Ms. Karmen memajukan
badannya. “Bagaimana? Kau tertarik, Gary?”

Kutatap matanya yang cokelat tua, sambil menelan ludah. Keringat dinginku
menitik. Semua ini aneh sekali—dan menakutkan! “Uh,” kataku. “Entah! Saya
tidak yakin.”

"Jangan takut,” kata Ms. Karmen “Banyak orang yang butuh waktu untuk
membiasakan diri dengan ide penukaran badan. Kau boleh memikirkannya
selama mungkin.”

Ia mengeluarkan kamera kecil. “Tapi sementara itu bagaimana kalau kau
kupotret? Nanti kami bisa mencari tahu apakah ada yang tertarik untuk ada di
dalam badanmu selama seminggu.”

"Yah, kurasa tidak apa-apa,” jawabku.

Ia memotretku, cahaya blitz-nya menyala di depan mataku. “Tapi saya masih
belum tahu apakah saya mau ikut program ini.”

"Tidak ada paksaan,” kata Ms. Karmen. “Begini saja. Kau isi formulir tentang
gambaran dirimu. Lalu saya pasang fotomu di album kami Dan, kalau kami
dapatkan orang untuk bertukar tempat denganmu, aku akan menelepon untuk
menanyakan apakah kau sudah mengambil keputusan atau belum.”

“Oke,” jawabku. Apa salahnya? kataku dalam hati, Tak mungkin ia bisa
mendapat orang yang mau badanku selama seminggu!

Kuisi formulirnya selama beberapa menit. Aku harus menuliskan nama dan
alamatku. Lalu aku harus menceritakan tentang hobiku, bagaimana prestasiku di
sekolah, hal-hal seperti itulah. Setelah selesai, kuserahkan pada Ms. Karmen,
kuucapkan selamat tinggal, dan menuju pintu keluar.

Nyaris saja aku sampai di rumah tanpa mengalami masalah. Tapi satu setengah
blok dari rumah, aku bertemu dengan tiga orang yang paling kubenci di dunia
ini - Barry, Mary, dan Karl.

“Hei, teman-teman!” teriak Barry sambil tersenyum jelek. “Si Kikuk sedang
keluyuran. Itu berarti hajaran kita kemarin kurang kuat”

“Tidak,” kataku. “Hajaran kalian kuat. Hajaran kalian sangat kuat, teman-
teman!”

Kurasa mereka tidak percaya. Mereka serentak. menerkamku.

Setelah akhirnya mereka selesai - kira-kira lima menit kemudian - aku terbaring
di tanah. Dengan satu mata bengkak aku mengamati mereka pergi.

"Selamat bersenang-senang!” seru Mary padaku. Mereka bertiga tertawa
terbahak.
Aku duduk dan meninju tanah.
Aku sudah muak!” ratapku. “Aku ingin jadi orang lain—siapa saja”
Perlahan-lahan dan dengan kesakitan, kupaksa diriku bangun. “Aku akan
melakukannya,” kataku. "Dan tak ada yang bisa menghentikanku. Besok akan
kutelepon Person-to-Person Vacations Aku ingin mereka menempatkanku di
dalam badan seseorang. Sesegera mungkin!”

7

SELAMA beberapa hari berikutnya kerjaanku mengganti-ganti plester Band-
Aid dan berharap wanita dan Person-to-Person Vacations itu meneleponku.
Mula-mula, aku selalu lari untuk mengangkat telepon tiap kali berdering. Tapi
tentu saja itu bukan untukku. Biasanya dari salah satu teman-teman tolol Krissy,
ingin cekikikan dan bergosip
Suatu siang, aku sedang membaca buku fiksi ilmiah di tempatku yang biasa di
balik pohon maple besar. Kudengar ada suara, dan kuintip dari balik pohon.
Tentu saja, Mr. Andretti sedang berjalan melintasi halaman. Ia mengenakan
pakaian peternak lebahnya. Kuamati Mr. Andretti menuju tempat berkawat kasa
di dekat garasi dan membuka pintu-pintu kecil sarang lebahnya.
Nnnggg.
Kututup telingaku, tapi tetap saja terdengar dengungan yang keras dan
menggemuruh itu. Benci sekali aku pada suara itu. Kedengarannya sangat
menakutkan.

Aku bergidik dan memutuskan sudah waktunya masuk ke rumah.

Ketika aku berdiri, ada benda sebesar peluru melesat tepat ke hidungku.

Lebah!

Apa sekali ini lebah-lebahnya kabur betulan? Aku terkesiap dan melotot
memandang rumah si Andretti. Aku lalu hampir tercekik. Ada lubang besar di
kawat kasa yang mengelilingi tempat peternakan lebah.

Banyak sekali lebah beterbangan ke luar!

"Ow!” aku berteriak ketika seekor lebah mendarat di bagian samping kepalaku
dan mendengung keras di telingaku.

Dengan panik kukibaskan dia. Lalu aku lari ke rumah. Sesaat, saking
paniknya,aku terpikir untuk menelepon polisi atau mungkin dokter.

Tapi, ketika membanting pintu belakang, kudengar suara yang sangat kukenal.
“Ha ha ha!”

Sekali lagi, Mr. Andretti menertawaiku.

Kutinju tanganku. Ingin sekali rasanya kutinju hidung orang itu! pikirku.

Aku tersentak mendengar telepon berdering.

"Mengganggu terus!” teriakku sambil mengentakkan kaki menuju telepon. “Apa
teman-teman gila Krissy tidak punya kerjaan lain selain ngobrol
seharian di telepon?”

"Mau apa kau?” bentakku di telepon.

"Ini Gary, ya?" terdengar suara seorang wanita. "Gary Lutz?”

"Uh.. Ya,” jawabku kaget. “Saya Gary.”

“Hai, Gary. Ini Ms. Karmen. Dari Person-to-Per son Vacations. Ingat?"

Jantungku mulai berdebar-debar “Ya, saya ingat,” jawabku.

“Yah, kalau kau masih tertarik, kami sudah mendapatkan pasangan untukmu!"

“Pasangan?”

"Betul,” kata Ms. Karmen. “Kami menemukan anak laki-laki yang ingin
bertukar badan denganmu selama seminggu. Kau tertarik?”

Selama beberapa detik aku ragu. Tapi kemudian, ketika memandang ke luar dari
pintu belakang dapur, kulihat ada lebah gendut besar menghantam-hantamkan
dirinya ke bagian luar pintu kasa kami. “Ha ha!” Suara tawa mengejek Mr.
Andretti menggelegar dari halaman sebelah.

Mulutku menipis “Ya," kataku mantap “Saya sangat tertarik. Kapan kita
lakukan pertukarannya?

“Wah, sekarang juga bisa,” kata Ms. Karmert “Kalau kau tidak keberatan.”

Jantungku berdebar-debar kencang ketika aku berpikir. Siang itu orangtuaku
sedang pergi, dan Krissy sedang main ke rumah temannya. Saat yang tepat. Aku
takkan pernah dapat kesempatan yang seperti ini!

“Sekarang saja!” seruku.

“Bagus, Gary Dua puluh menit lagi saya akan sampai di rumahmu.”

“Saya tunggu."

Dua puluh menit berikutnya itu terasa lama sekali. Sementara menunggu, aku
mondar-mandir di ruang duduk, ingin tahu seperti apa badanku yang baru?
Seperti apa orangtuaku yang baru? Rumahku? Pakaianku? Apa aku punya
teman juga?

Waktu Ms Karmen tiba, aku sudah tidak keruan. Ketika bel pintu berbunyi,
tanganku basah kuyup oleh keringat sampai susah rasanya memutar kenop pintu
untuk menyilakannya masuk.

"Ayo kita ke dapur,” Ms. Karmen mengusulkan. "Aku ingin memasang
peralatanku di atas meja.”Dibukanya tas kecil dan dikeluarkannya beberapa
kotak hitam yang ada monitornya.

Kutunjukkan jalan ke dapur “Siapa anak yang mau bertukar tempat dengan
saya?” tanyaku.

"Namanya Dirk Davis”

"Dirk Davis," pikirku senang. Namanya saja sudah terdengar hebat. “Seperti apa
anaknya?”

Ms. Karmen membuka sebuah album foto putih. "Ini fotonya,” katanya,
diberikannya foto itu padaku.

Kupandangi foto anak laki-laki yang tinggi, pirang dan tampak atletis yang
mengenakan celana pendek Lycra hitam dan kaus biru ketat itu. Aku
mengedipkan mata karena terkejut.

"Ia kelihatan seperti pemain selancar” seruku. " Kenapa Ia sampai mau bertukar
badan denganku? Apa ini semacam tipuan?”

Ms. Karmen tersenyum. “Yah, terus terang, Sebenarnya ia tidak tertarik pada
badanmu, Gary. Ia ingin pikiranmu. Dirk perlu seseorang yang jago
matematika. Ia akan rnenghadapi ujian-ujian matematika yang sangat sulit di
sekolah musim panas-nya Ia ingin kau yang mengerjakannya”

"Oh,” kataku. Aku merasa lega. “Yah, biasanya saya, lumayan bisa
mengerjakan ujian matematika."

“Kami tahu, Gary. Person to-Person melakukan tugasnya. Kau jago matematika.
Dirk jago main skateboard.”

Aku duduk di meja.

Nnnggg

Seekor lebah mendengung tepat di bawah hidungku. “Hei!” teriakku, terlompat.
“Bagaimana lebah itu bisa masuk ke sini?"

Ms Karmen mengalihkan pandangannya dari peralatannya sekilas. “Pintu
belakangmu terbuka sedikit. Sekarang duduklah dan cobalah bersantai Aku
harus memasang tali pengikat ini di pergelangan tanganmu.”

Sambil melirik gelisah ke pintu belakang, aku duduk lagi. Ms Karmen
mengikatkan pita hitam di pergelangan tanganku. Lalu ia mengutak-atik kabel-
kabel yang dihubungkan dengan salah satu mesinnya

Nnngggg.

Ada lebah lagi terbang di depanku. Aku bergerak-gerak geli di kursi.

"Tolong duduk tenang-tenang, Gary. Kalau tidak peralatan ini tidak bisa
bekerja”

"Siapa yang bisa duduk tenang kalau ada banyak sekali lebah berdengung-
dengung di sini?” tanyaku. Kutundukkan pandanganku dan melihat tiga lebah
gendut berjalan melintasi meja.
Nnnggg.
Ada lebah lagi melewati mata kananku
"Kenapa sih lebah-lebah ini?” Aku mulai panik.
“Kalau tak kauperhatikan mereka," kata M. Karmen “mereka takkan
mengganggumu.” Diaturnya lagi mesinnya. “Lagi pula, Dirk Davis tidak takut
lebah. Dan, begitu saya menggerakkan sakelar ini, kau juga takkan takut lagi!”
"Tapi.. !“
ZZZAAAAPPPP!
Sinar putih yang menyilaukan menyambar di depan mataku.
Aku berusaha berteriak.
Tapi napasku tercekat di tenggorokan.
Cahaya itu main lama makin terang.
Lalu aku terbenam dalam kegelapan pekat.

8

ADA yang tidak beres.
Warna-warna kembali terlihat. Tapi semua tampak kabur.
Aku berusaha melihat dengan jelas. Tapi tampaknya pandanganku tidak bisa
terfokus.

Badanku yang baru rasanya juga tidak beres. Aku telentang, badanku terasa
ringan seperti bulu, rasanya seperti bisa melayang-layang.

Mungkinkah ini badan Dirk Davis yang tinggi dan berotot? Yang jelas rasanya
tidak begitu!

Apa mi semacam tipuan? tanyaku dalam hati. Apa foto Dirk Davis itu palsu?
Apa sebetulnya ia jauh lebih kecil daripada yang tampak di foto?

Kuulurkan satu tangan dan kucoba menyentuh perutku Tapi tanganku juga
terasa aneh sekali. Tanganku jadi kecil, dan lenganku sepertinya tertekuk-tekuk
di beberapa tempat sekaligus!

Ada apa? pikirku, gemetar ketakutan.

Kenapa aku merasa aneh begini?

“Woooo!” aku berteriak keras ketika akhirnya menyentuh badanku. “Hii”
Kulitku terasa lembut dan tertutup lapisan bulu halus.

"Tolong! Ms. Karmen! Tolong! Ada yang tidak beres!" Aku berusaha berteriak.

Tapi ada yang tidak beres pada suaraku. Kedengarannya kecil dan mencicit.
Cicitan tikus kecil.

Aku berguling sampai tertelungkup dan mencoba bangun. Kukembangkan
tangan-tanganku supaya seimbang.

Aku terkesiap ketika menyadari kakiku tidak menapak tanah!

Aku terbang!

"Apa yang terjadi pada diriku?” teriakku dengan suara kecil mencicit. Aku
melayang maju dan menabrak lemari dapur.

"Ow! Tolong aku”

Kugerakkan tangan baruku yang aneh, dan sadar ternyata aku bisa mengontrol
arah terbangku. Kurasakan beberapa otot aneh di punggungku bergerak. Untuk
mencoba otot-otot baruku, aku terbang ke jendela dapur.

Karena kelelahan, aku mendarat di bingkai jendela . Kutolehkan kepalaku ke
satu sisi. Aku lalu terkesiap karena takut.

Ada monster menyeramkan tampak di kaca jendela. Makhluk itu punya dua
mata besar yang melotot. Dan ia menatap tepat ke arahku.
Aku berusaha menjerit. Tapi tak ada suara yang keluar saking takutnya.
A - aku harus menjauh! pikirku.
Kugerakkan kakiku dan mulai lari. Monster di kaca itu lari juga.
Aku berhenti dan menatap kaca jendela. Monster itu berhenti dan balas
menatapku.
!Oh, tidak. Tolong - tidak’” teriakku “Semoga tidak benar!” Kuangkat tanganku
dan mencoba menutup mataku. Makhluk di jendela itu melakukan hal yang
sama.
Tiba-tiba aku tahu kenyataan yang sebenarnya. Monster di kaca itu - itu aku.
Ms. Karmen melakukan kesalahan. Salah besar. Dan sekarang aku terperangkap
di dalam badan lebah!

9

Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri di sana.
Aku tidak sanggup berhenti memandangi bayanganku.
Aku terus menunggu kapan bisa keluar dari mimpi buruk ini. Aku terus
menunggu untuk mengedipkan mata dan mendapati diriku di dalam badan Dirk
Davis yang besar dan berotot.
Tapi aku sama sekali tidak tampak seperti Dirk.
Aku punya dua mata besar - masing-masing di samping kepalaku - dan dua
antena kecil kurus mencuat dari dahiku.

Mulutku sangat menjijikkan. Aku punya semacam lidah panjang, yang segera
kuketahui bisa digerakkan ke segala arah dan dipanjang-pendekkan kalau aku
mau. Tapi aku tidak mau.

Badanku tertutup bulu hitam tebal. Di tiap sisinya ada tiga kaki. Dan jangan
lupakan sayap yang mencuat dari bahuku.

"Gawat!" teriakku. “Aku jadi kumbang! Aku jadi kumbang berbulu yang
menjijikkan! Ms. Karmen— ada yang tidak beres! Tolong saya!”

Kreeeeet.

Brak!

Apaan tuh?

Oh, tidak! Aku sadar Ms. Karmen baru saja keluar dari pintu dapur.

“Tidak... tunggu! Tunggu!” cicitku, Cuma diai satu-satunya harapanku!

Aku harus menyusulnya. Aku harus memberitahukan apa yang telah terjadi!

“Ms. Karmen!” cicitku. “Ms. Karmen!”

Dengan panik aku terbang keluar dari dapur menuju ruang duduk Aku bisa
melihat dari jendela, mobilnya masih diparkir di depan rumah.

Tapi pintu depan tertutup. Dan lebah tidak bisa membuka pintu. Aku
terperangkap di rumah sendiri!

Pintu belakang! Aku jadi ingat. Kata Ms. Karmen pintu itu tadi terbuka sedikit.

Ya! Dari situlah semua lebah itu bisa masuk ke dalam rumah!

Kukepakkan sayap baruku dan terbang kembali ke dapur. Sambil melayang, aku
sadar aku makin mahir mengontrol pola terbangku.

Tapi sekarang ini aku tidak peduli. Yang penting aku harus mengejar Ms.
Karmen sebelum ia pergi.

Aku melesat keluar dari celah sempit di pintu belakang. “Ms. Karmen!”
teriakku sambil terbang dari samping rumah “Ms Karmen! Tolong saya! Anda
melakukan kesalahan! Saya jadi lebah! Tolong saya!”

Suaraku kecil sekali, ia tidak bisa mendengarnya. Dibukanya pintu mobilnya
dan masuk ke dalam. Satu-satunya kesempatanku untuk kembali hidup normal
sebentar lagi akan pergi!
Apa dayaku? Bagaimana caranya menarik perhatiannya?
Aku berpikir cepat dan terbang menuju kepalanya. "Ms. Karmen!” teriakku di
teiinganya. “Ini Gary”
Ms. Karmen berteriak kaget. Ia lalu menggerakkan tangannya dan menepukku.
Kuat-kuat.
"Ow!" Sekujur badanku bergetar kesakitan Tepukannya membuatku terjatuh ke
jalan. Aku mendarat di trotoar dengan bunyi pluk yang menyakitkan.
Kugelengkan kepalaku supaya mataku bisa melihat dengan jelas lagi. Saat
itulah aku sadar aku punya satu set mata kecil ekstra yang berbehtuk segitiga di
atas kepalaku. Kugunakan mataku itu untuk memandang lurus ke atas.
Aku lalu menjerit ngeri.
Kulihat ban mobil menggelinding ke arahku.
Mr. Karmen akan melindasku. Aku akan dilumatkan seperti lebah saja!

10

"OH!” Aku terpaku karena panik.
Meskipun mata lebahku kabur, aku bisa melihat telapak-telapak ban ketika ban
itu menggelinding pasti ke arahku.
Makin dekat. Makin dekat.
Aku harus bergerak! kataku dalam hati.

Terbang! Terbang!

Tapi karena panik, aku lupa cara menggunakan otot baruku.

A—aku akan terlindas! pikirku.

Aku berteriak lemah.

Mobil itu berhenti.

“Hah?" Sekujur badanku gemetaran Tapi entah bagaimana caranya aku bisa
juga memaksa diriku bangun. Terbang ke udara.

Ya. Sekarang aku terbang.

Aku bisa melihat Ms Karmen di dalam mobiL Ia sedang memasang sabuk
pengaman. Ia tadi menghentikan mobil untuk memasang sabuk pengarnan!

“Hei, sabuk pengaman benar-benar menyelamatkan hidup!” kataku pada diri
sendiri.

Aku berteriak memanggilnya. Tapi tentu saja ia tidak bisa mendengarku.
Kuamati mobil itu meluncur pergi sampai tidak kelihatan lagi.

Lalu, dengan lelah dan kaget, aku terbang ke semak lilac di dekat situ dan
mendarat di daunnya. "Nyaris saja!” kataku pada diri sendiri, sambil megap-
megap. “Aku bisa terbunuh di luar sini!”

Seekor ulat hijau merayap naik ke batang bunga dan mulai ribut mengunyah
daun tempat aku beristirahat. Sebelum ini belum pernah aku mengamati ulat.
Dari dekat, tampak jelek sekali. Agak mirip naga. Tapi lebih menakutkan.

"Jangan dekati aku!” teriakku dengan suara kecil. Ulat itu menoleh pun tidak.
Mungkin ia tidak mendengar teriakanku.

Aku segera melupakan ulat itu ketika mendengar suara langkah kaki datang dan
jalanan depan. Kuputar kepalaku dan kugunakan mata sampingku untuk melihat
siapa yang datang.

"Mom!" jeritku. “Mom! Sebelah sini!”

Ia tidak bisa mendengarku. Ia bergegas menaiki dan masuk ke rumah.

Tiba-tiba aku merasa sedih sekali. Ibuku sendiri tidak mengenaliku.

Dengan putus asa kukepakkan sayapku dan terbang dari daun. Aku menuju
bagian depan rumah mendengung-dengung di dekat jendela depan.

Sekarang aku sudah bisa mengontrol sayapku. Tapi apa yang kuithat di dalam
rumah cukup untuk membuatku jatuh ke tanah lagi

Ibuku sédang berbicara denganku di ruang duduk. Atau paling tidak, begitulah
yang dikira beliau Tapi aku tahu itu bukan aku. Aku terjebak di
luar. Tapi siapa yang berada di dalam sana deng ibuku? Apa Dirk Davis
berhasil masuk ke dalam badanku?

Aku mendarat di pinggir jendela dan memandang ke dalam rumah. Ibuku
sedang bicara. Anak itu mengangguk-angguk dan tertawa. Ia mengatakan
sesuatu pada Mom. Kalau kuperhatikan benar-benar, aku bisa membaca gerakan
bibirnya.

"Hei, Mom, beli keripik taco? Aku lapar sekali.”

Pasti Dirk yang bicara di dalam badanku.

Ibuku tersenyum padanya dan menepuk tangannya. Kubaca gerakan bibirku dan
melihat dia memanggil ibuku “Mom” lagi. Kok bisa-bisanya ia berkelakuan
begitu? Kok bisa-bisanya ia memanggil ibu-ku “Mom”?

Kalau saja lebah bisa menangis - yang sekarang - kutahu tidak bisa - saat itu
juga pasti aku sudah meraung-raung. Memangnya anak itu menganggap dirinya
siapa? Selain itu, ibu macam apa ibuku! kok sampai tidak tahu bahwa ada orang
yarg sama sekali tidak dikenal berada di dalam badan anaknya?

Ketika mengamati “diriku” dan ibuku bercakap cakap di ruang duduk, pikiranku
jadi kacau. Seperti orang gila, kuhantam-hantamkan badan seranggaku ke kaca

“Nngg!” teriakku “Nngg! Nngg! Nngg! Ini aku, Gary. Lihat ke luar sini! Tolong
aku!”

Berkali-kali kuhantamkan diriku ke kaca. Tapi orang yang di dalam rumah tak
ada yang melihat.

Beberapa memt kemudian, Mom membawakan bungkus keripik taco untuk
diriku yang baru. Kuamati “Gary” merobek bungkusan itu dan mengambil
segenggam keripik. Remah-remah berjatuhan ke karpet ruang duduk ketika ia
mengunyah keripik- keripik pedas itu.

Aku tersadar aku lapar.

Tapi lebah makan apa? tanyaku dalam hati. Dengan putus asa, kucoba
mengingat-ingat semua hal pernah kubaca tentang makhluk itu. Aku teringat
ulat lapar tadi, yang mengunyah-ngunyah daun. Tapi aku yakin lebah tidak
makan daun.

Mereka makan apa? Serangga lain? Ugh! Pikiran itu membuatku bergidik. Bisa
mati aku kalau harus makan serangga!

Aku mendengung-dengung di halaman, berharap melihat sesuatu - apa saja -
yang bisa kumakan. Ketika terbang, kusadari ternyata aku sudah terbiasa
dengan penglihatan baruku yang aneh dan sudah belajar bagaimana
menggunakan mataku yang berbeda-beda itu.

Aku teringat sesuatu yang pernah kubaca di buku bergambar lama yang berjudul
Buku Pengetahuan tentang Lebah. Kata buku itu tiap mata lebah punya beribu-
ribu lensa kecil yang letaknya berdekatan. Tapi, karena tidak punya pupil, lebah
tidak bisa memfokuskan matanya.

Menarik, pikirku Tapi tidak terlalu menolong. Kalau aku bisa ingat soal
penglihatan lebah, kenapa aku tidak ingat apa yang mereka makan?

Aku duduk di semak-semak lagi untuk berpikir. Dan tiba-tiba, aku tersadar oleh
bau enak di dekatku. Kuputar kepalaku dan melihat ada bunga kuning yang
indah.

Lalu aku teringat hal lain yang pernah kubaca. “Serbuk sari,” kataku kuat-kuat.
“Lebah makan serbuk sari. Dan mereka memperolehnya dari bunga!

Dengan girang aku terbang dan berputar-putar di dekat bunga itu. Kucoba
membuka mulutku - sebelum teringat bahwa aku tidak lagi punya mulut seperti
itu.

Sebagai gantinya, aku punya lidah aneh yang panjang Tapi bagaimana cara
menggunakannya untuk mengambil serbuk sari dari bunga?

Aku sama sekali tidak tahu!

Sambil berputar-putar di udara, aku sadar aku makin kelelahan. Kalau tidak
segera makan, aku bisa pingsan.

Aku mulai merasa pusing. Aku nyaris tidak sadar di mana aku berada.

Makin lama aku makin bingung otakku jad kabur, aku jadi mulai ragu apakah
aku memang pernah jadi anak manusia. Mungkin sebetulnya dari dulu aku ini
sudah jadi lebah, dan aku cuma bermimpi pernah jadi anak manusia
Brak!
Ada orang yang menutup pintu mobil, aku jadi sadar dari kekacauan pikiraanku.
Kuputar kepalaku untuk melihat.
Dad.
Beliau menutup pintu garasi. Sekarang beliau sekarang menyeberangi jalan
masuk dan menuju pintu belakang rumah.
"Dad” jeritku “Dad. ini aku Gary. Tolong aku!”
"Hai, Gary,” kata Dad.

11

“DAD! Dad bisa mendengarku!” teriakku girang “Dad - Dad harus
menolongku!”
Hatiku hancur waktu Dad berjalan melewatiku dan bicara dengan si Gary palsu.
Dengan putus asa aku mendengung-dengung mengitari kepala mereka.
“Kelihatannya Andretti kehilangan salah satu pekerjanya,” kata ayahku sambil
tertawa. Dipukulnya aku dengan gulungan koran.
Nyaris saja. Aku melesat pergi.
“Uh, betul,” Si Gary palsu tertawa juga, pura-pura tahu apa yang dibicarakan
Dad. “Andretti."
“Ayo, kita bantu menyiapkan makan malam," kata ayahku. Dipegangnya
bahuku. “Ya, Nak?”

“Tentu, Dad."

Seperti dua sahabat karib, ayahku dan anak palsunya melintasi halaman dan
membuka pintu.

“Tunggu!” teriakku. “Tunggu!”
Seperti roket ruang angkasa, aku melesat mengejar mereka. Kalau aku melaju
secepat mungkin kurasa aku bisa menyelinap di celah pintu sebelum pintunya
ditutup. Cepat, lebih cepat, dan...

BRAK!

Pintu kasa itu terbanting menutup, tepat mengenai badan lebahku yang kecil.
Sekali lagi, aku diliputi kegelapan pekat.

"Ohhhhh. Di mana aku? Apa yang terjadi? Apa masih tetap jadi lebah?”

Dengan kepala pusing, aku berupaya untuk sadar kembali. Ketika bisa
membuka mata, aku sadar aku masih jadi lebah - lebah yang kecil, rapuh, agak
terluka - dan yang nyaris saja gepeng terjepit pintu kasa.

Sekarang aku telentang di rerumputan di halaman rumah kami. Keenam kakiku
menendang-nendang udara.

Waktu jadi manusia dulu aku kikuk -dan jadi lebah pun tetap kikuk!” ratapku.
Aku mencoba membalikkan diriku “Baru sejam jadi lebah aku sudah nyaris
terbunuh. Dua kali!”

Tiba-tiba aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku harus ke kantor Ms. Karmen
dan menceritakan apa yang telah terjadi.

Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya. Tapi aku tahu harus kucoba.

Aku menggeram pelan, dan dengan mengerahkan tenaga, kubalikkan diriku
sehingga bertumpu di perut. Kugunakan kelima mataku untuk memeriksa
keadaanku. Kedua sayapku kelihatannya bisa digerakkan. Dan keenam kakiku
masih ada semua.

"Oke,” kataku pada diri sendiri. “Kau bisa melakukannya. Terbanglah ke kantor
Person-to-Person dan masuk ke dalam.”

Kukepakkan sayapku dan mulai terbang. Tapi aku baru naik kira-kira dua senti
dari tanah ketika kudengar suara yang membuat darahku jadi beku.

Itu Claus si kucing. Dikeluarkannya kuku-kukunya yang panjang tajam dan
menerjang.
Aku mencicit ketika ia menerkamku, menyambarku dengan satu tangan, dan
mulai mencengkeram badanku.

12

KETIKA cakar kucing itu mencengkeramku, kulihat mulutnya yang
mengerikan terbuka lebar.
Sengat dia! Sengat dia!

Pikiran itu berputar-putar di kepalaku
Tapi ada yang mencegahku. Ada sesuatu yang melarangku supaya jangan
menggunakan penyengatku.
Tiba-tiba aku teringat hal lain yang kubaca dalam Buku Pengetahuan tentang
Lebah. Lebah madu mati begitu menggunakan sengatnya.
Tidak usah ya! pikirku.
Aku masih berharap bisa tetap hidup sampai semua ini berlalu. Dan kembali ke
badanku yang lama.
Jadi, kalau tidak boleh menggunakan sengatku, aku harus mencari akal.
Dengan bunyi gigi yang bergemeretak keras, Claus mengatupkan mulutnya
yang besar. Ditundukkannya kepalanya, bersiap-siap untuk memakan
korbannya - aku.
Tepat pada saat itu, aku menerobos keluar dari cakarnya dan meloloskan din
dan giginya yang bergemeretakan.

Aku mencoba melesat naik. Tapi kucing itu mengayunkan cakarnya dan
memukulku sampai jatuh.

Claus mempermainkan aku seolah-olah aku ini mainan tikus yang selalu
diberikan Krissy padanya sebagai hadiah Natal.

Dengan sisa-sisa tenaga, kubentangkan sayapku, melesat ke atas, dan terbang
secepat mungkin. Aku memandang ke belakang dengan salah satu mataku,
tampak kucing itu terduduk kaget di rumput.

Selama sedetik, aku merasa senang sekali karena bisa menang. “Kau berhasil,
Gary!” kataku bangga. “Kau, lebah kecil mungil, berhasil mengalahkan kucing
besar yang jahat”

Saking bangganya dengan diriku sendiri, aku terbang berputar-putar.
Kukembangkan sayapku lebar-lebar dan mulai berputar pelan di udara.

Zapp!

Oh, tidak! Apa itu?

Aku menabrak sesuatu! Tapi apa? Benda itu tidak keras seperti dinding ataupun
pohon. Benda itu malah terasa lembut dan lengket, seperti kain. Dan semua
kakiku terbelit di benda itu.

Aku berusaha keras membebaskan diri. Akul menggeliat dan mendorong. Tapi
kakiku tidak bisa bergerak.

Aku terperangkap.

“Ha ha ha!”

Suara tawa menggelegar itu membuat sekujur badanku bergetar.

Aku segera sadar di mana aku berada

Aku tertangkap jala si Andretti.

Perasaan putus asa membuatku terpuruk di dalam jala putih itu

Aku tahu pasti apa yang akan terjadi.

Ia akan memasukkan aku ke sarang lebahnya - dan aku takkan pernah bisa
keluar dari sana

13

“SUDAH waktunya pulang, sayangku yang mendengung-dengung,” senandung
Mr. Andretti. “Sudah waktunya untuk kembali bekerja, Sayang.” Ia
menertawakan sendiri kata-katanya yang konyol. “Sayangku! Ha ha! Oh, bagus,
kan?"

Nnggg. Nngggg.

Mendengar suara mendengung-dengung keras itu, aku tahu aku bukan satu-
satunya lebah yang ditangkap Mr. Andretti. Malah kulihat dari mata kananku,
ada lebah yang mirip denganku. Ia berada tepat di depanku, dan menggerak-
gerakkan antenanya ke wajahku

Wooo! Monster seram!

Kaki-kakiku yang berbulu gemetar ketakutan Aku berputar-putar, berusaha
melarikan din darinya.

Akhirnya aku bisa juga berbalik ke arah lain. Tapi kulihat aku jadi berhadap-
hadapan dengan lebah lain. Dan lebah lain lagi. Tiap lebah tampak lebih
menakutkan dibandingkan temannya tadi.

Mata mereka semua besar-besar dan menonjol, antenanya menyeramkan! Dan
mereka semua mendengung marah padaku.

Suara dengungan menakutkan itu terdengar makin keras karena Mr. Andretti
menangkap lebih banyak lebah di jalanya. Tiba-tiba, jala itu bergetar naik turun,
naik-turun - seperti gempa dahsyat - sampai aku tidak bisa berpikir lagi!

Karena jala itu bergetar, pijakan kakiku jadi terlepas dan aku jatuh ke tengah
geromboian lebah yang menggeliat-geliat di dasar jala

Woooo! Aku menimpa setumpuk lebah berbulu yang bergerak-gerak. Dan
selagi aku masih tergagap ketakutan, lebah-lebah jatuh menimpaku.

Mimpi buruk yang merayap-rayap dan mendengung-dengung!

Belum pernah aku setakut itu Aku menjerit dengan suaraku yang kecil. Kucoba
memanjat bagian samping jala, tapi kakiku tertindih badan lebah lain Aku benci
sekali merasakan bulu-bulu mereka yang menjijikkan itu!

Meskipun takut, aku tahu aku harus melarikan diri. Aku harus pergi dari sini.
Aku harus pergi ke kantor Ms Karmen dan meminta ia menolongku.

Lalu pikiran yang paling mengerikan terlintas di benakku. Tiba-tiba aku
tersadar, kalau tidak bisa melarikan diri, seumur hidup bisa-bisa aku jadi lebah
terus.

Ketika Mr. Andretti membawaku dan lebah-lebah lain menyeberangi halaman
belakang rumahnya, aku mulai mendengung dan gemetaran karena panik.
Bagaimana hal ini bisa sampai terjadi pada diriku? tanyaku dalam hati.
Bagaimana aku bisa sebodoh itu sehingga mau bertukar badan dengan orang
lain? Kenapa aku tidak senang dengan badanku yang sangat sehat dulu?

Mr. Andretti membuka pintu ruang berkawat kasa di samping garasinya. “Kita
sudah sampai sayangku,” katanya.

Jalanya mulai bergetar. Kurasa Mr. Andretti sedang menumpahkan isinya pelan-
pelan. Diambilinya kami satu per satu - para tawanannya ini - dari bagian
samping jala dan dimasukkannya ke dalam sarang lebahnya.

Ketika Andretti meraih lebah-lebah itu, mereka mulai mendengung lebih keras
daripada biasanya. Akhirnya sampai pada giliranku untuk diambil dari jala.

Ketika kulihat ujung jari Andretti menggapaiku aku mundur, berpegangan di
jala. Tiba-tiba aku teringat omongannya yang sombong bahwa ia tidak pernah
menggunakan sarung tangan karena lebah-lebahnya “percaya” padanya.

Kuamati jari-jarinya terulur ke arahku.

Pasti asyik kalau kutusukkan sengatku ke dalam kulitnya yang lembut dan halus
itu, pikirku.

Tusuk tidak, ya?

Sengat tidak, ya?

Bagaimana?

14

AKU tidak menyengatnya.

Aku tidak mau mati.

Memang, sekarang ini segalanya tampak mengerikan bagiku Tapi aku masih
punya harapan, Walaupun tipis.

Mungkin, entah bagaimana caranya, aku bisa menemukan jalan keluar dari
penjara lebah ini dan kembali ke badanku sendiri. Kelihatannya hampir tidak
mungkin. Tapi kuputuskan akan terus berusaha.

"Masuklah teman kecilku," kata Mr. Andretti. Dibukanya bagian sarang
lebahnya yang berbentuk laci
dan dimasukkannya aku.

"Ohhhh,” erangku. Gelap sekali di dalam sarang itu. Dan sangat
membingungkan.

Ke mana aku harus bergerak? Apa yang harus kulakukan?

Udara terasa panas dan lembap. Ke mana pun aku menoleh, terdengar suara
dengungan yang bergemuruh dan memekakkan telinga.

“A - aku tidak tahan!" teriakku. Aku bisa merasa pikiranku mulai kacau!

Di sekelilingku, lebah-lebah berjalan cepat-cepat dalam kegelapan. Aku tidak
bergerak karena ketakutan.

Tiba-tiba aku sadar aku masih lapar. Kalau tidak segera makan, aku tahu aku
takkan sanggup menemukan jalan keluar dari sini!

Aku berbalik dan mulai mencoba memeriksa keadaan.

Melalui mata kiriku, kulihat ada lebah lain melotot ke arahku. Aku langsung
berhenti berjalan. Apa lebah saling menyerang di dalam sarang mereka?
pikirku.

Aku tidak ingat pernah membaca soal itu di buku lebahku. Tapi lebah ini benar-
benar tampak seperti siap tempur.

“Tolong, biarkan aku sendirian,” aku memohon dengan suara kecil. “Tolong,
jangan ganggu aku.”

Lebah itu melotot padaku. Belum pernah aku melihat mata yang begitu besar
dan begitu marah!

Pelan-pelan, aku mundur menjauh darinya. "Uh...” cicitku gelisah. “Aku harus
pergi. Aku.... um... aku harus kerja."

Lebah itu membelalakkan matanya dan melambaikan antenanya dengan sikap
mengancam. Aku yakin ia ingin menyengatku. Aku berbalik dan terbang
secepat mungkin. Aku berusaha bersembunyi.

Saking takutnya, aku sampai tidak bisa bergerak.

Bagaimana kalau aku bertabrakan dengan lebah lain? Memikirkan apa yang
akan terjadi saja aku sudah tidak sanggup.

Aku tahu aku harus bergerak. Aku harus menemukan makanan.

Dengan badan gemetar ketakutan, aku berjingkat-jingkat ke tempat terbuka
Dengan gelisah kupandang sekelilingku.

Di dinding di kejauhan, kulihat segerombolan lebah sedang sibuk membangun
sesuatu. Sarang madu.

Dan di mana ada sarang madu, kataku dalam hati berarti ada madu.

Aku benci cairan manis lengket itu. Tapi aku tahu aku harus memakannya.
Sekarang juga!

Setenang mungkin, aku merayap mendekat dan bergabung dengan lebah-lebah
pekerja itu. Dari sudut mataku kulihat mereka melakukan perbuatan menjijikkan
dengan mulut mereka.

Mula-mula, mereka menggunakan kaki mereka untuk mengambil serpihan-
serpihan kecil benda yang tampak seperti lilin dari perut mereka Lalu mereka
jejalkan lilin itu ke mulut dan menggerak-gerakkan rahang mereka seperti mesin

pengunyah kecil. Akhirnya, mereka ludahkan lilin itu dan mereka gunakan
untuk membangun bagian sarang madu yang sedang mereka kerjakan.

Hii! Kelihatannya menjijikkan sekali. Aku jadi mual!

Tapi aku bisa apa? Aku harus makan madu - meskipun madunya dilapisi ludah
lebah.

Kuputar kepalaku dan berlatih menggerakkan lidahku. Lalu kusedot genangan
madu.

Menakjubkan! Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menyukai madu.
Segera saja aku sudah asyik menyedotnya seperti menyedot susu cokelat.

Sesaat kernudian, aku sudah lumayan mahir menggerakkan lidahku, yang
sebetulnya lebih mirip tabung lentur daripada lidah biasa. Benar-benar alat yang
tepat untuk menyedot madu.

Kalau aku berhasil keluar, kurasa sekarang aku sudah lumayan bisa
menggunakannya untuk mengumpulkan nektar dan serbuk sari. Bahkan aku bisa
saja menjadi pekerja terbaik di seluruh sarang lebah ini!

Aku berusaha tersenyum, tapi kemudian nyaris tersedak madu.

Apa-apaan aku ini?

Apa yang kupikirkan? Ternyata aku mulai merasa seperti lebah betulan!

Aku harus keluar dan tempat ini. Sebelum terlambat!

Aku langsung ingin mencari jalan keluar. Tapi mendadak aku merasa capek
sekali. Lelahnya...

Apa karena madu tadi? Atau karena perasaan tegang karena takut?

Aku hampir tidak sanggup membuka mata. Suara dengungan yang
menggemuruh terdengar makin keras.

Sambil menghela napas lelah, aku jatuh ke sekumpulan badan berbulu.

Aku terbenam ke dalam kegelapan sarang yang hangat, dikelilingi suara
dengungan tanpa henti. Kuhirup bau manis madu dan bersandar pada sauara-
saudaraku.

Aku sekarang seperti mereka juga, kataku lemah pada diri sendiri. Aku bukan
lagi anak manusia. Aku lebah. Lebah yang mendengung. Lebah yang terbenam
ke dalam sarang gelap yang hangat. Rumahku.
Terbenam... terbenam...

15

AKU tersentak bangun dan berusaha menyingkirkan seekor lebah dari mukaku.
Beberapa saat kemudian aku baru ingat. Aku tidak sedang berbaring halaman
belakang rumahku, sambil berusaha, mengusir lebah-lebah. Aku sekarang jadi
lebah - lebah yang terperangkap di dalam sarang!
Aku melompat bangun, maju selangkah, dan segera berhadap-hadapan dengan
lebah lain! Aku tidak tahu apa dia lebah yang kulihat kemarin malam. Tapi ia
kelihatan sama marahnya. Matanya yang besar melotot marah. Dan ia bergerak
cepat ke arahku.
Cepat-cepat aku berbalik dan terbang. Tentu saja aku tidak tahu mau pergi ke
mana.
Sarang itu sepertinya terdiri dari banyak lorong yang panjang dan gelap. Di
sekelilingku, gerombolan-gerombolan lebah sedang membangun sarang madu
Sambil bekerja, mereka mendengung-dengung terus. Suaranya benar-benar
bikin aku gila!
Aku mulai mencari jalan keluar. Aku berjalan kesana kemari, keluar masuk
sarang madu yang gelap dan lengket.
Berkali-kali kujulurkan lidahku dan menyedot madu. Aku mulai agak bosan
dengan cairan manis itu.
Tapi aku tahu aku harus menjaga kondisi badan kalau mau kabur dari sarang.

Sambil mencari jalan keluar, kuperhatikan tampaknya setiap lebah punya tugas
tertentu, kalau
membangun sarang madu, ya mengurusi bayi sang ratu atau apalah. Dan lebah-
lebah kecil itu tidak pernah berhenti bekerja! Mereka “sibuk bagai lebah” dari
pagi sampai malam.

Sambil melesat menembus kegelapan pekat, aku mulai kehilangan harapan.

Tidak ada jalan keluar, pikirku. Tidak ada. Dengan perasaan muram, aku
mendarat di sarang yang lengket. Dan ketika aku mendarat, tiga lebah besar
bergerak di depanku.

Mereka mendengung marah, menabrakkan badan mereka yang berbulu dan
lembap ke badanku. Jelas lebah-lebah itu marah padaku.

Mungkin karena aku tidak melakukan “tugas”ku.Tapi apa tugasku? Bagaimana
caraku memberitahu lebah-lebah itu bahwa aku tidak tahu apa yang mestinya
kulakukan?

Kucoba menyelinap di antara mereka, tapi mereka bergerak menutupi jalanku.

Tiga lebah besar. Aku jadi teringat pada Barry, Marv dan Karl.

Aku mundur ketika salah satu lebah mengarahkan sengatnya padaku.

Ia bersiap-siap membunuhku! Dan aku tidak tahu apa salahku!

Aku menjerit dan berbalik. Secepat keenam kakiku bisa bergerak, aku melesat
kembali ke lorong sempit dan berbelok di pojokan.

"Oh!” Aku menabrak lebah lain. Untung ia sedang terburu-buru, dan tampaknya
tidak melihatku.

Aku menarik napas lega. Lalu sebuah ide terlintas di pikiranku. Ke mana lebah
itu pergi terburu-buru begitu? Apa ia membawa sesuatu ke tempat?
Mungkinkah ia pergi ke tempat yang belum sempat kuperiksa?

Kuputuskan untuk mengikutinya dan mencari tahu ada apa. Aku perlu
mengetahui segala suatu tentang sarang ini. Mungkin, siapa tahu, bisa
membantuku kabur.

Cepat-cepat kukejar lebah itu. Kukira aku bisa cepat menemukannya. Tapi ia
sama sekali sudah tidak kelihatan.

Kucari-cari di antara sarang-sarang madu, aku tidak bisa menemukannya. Tak
lama kemudian, aku menyerah.
Hebat, Lutz si Kikuk, ejekku pada diri sendiri. Perasaanku tidak keruan.
Kujulurkan lidahku dan kusedot madu banyak-banyak untuk sumber tenaga.
Lalu kumulai pencarian tanpa akhirku lagi.
Woooo! Aku berhenti ketika sampai di tempat yang tampaknya pernah kulihat.
Aku yakin itulah tempat Andretti memasukkanku untuk pertama kalinya ke
sarang ini.
Segerombolan lebah yang mendengung-dengung marah langsung menyerbuku.
"Hei..!" teriakku marah ketika mereka mendesakku.
Mereka menjawab dengan dengungan marah.
Apa yang mereka lakukan? Apa mereka menyerangku? Apa mereka akan
serentak menyengatku?
Mereka mengepungku. Aku tidak bisa melarikan diri.
Tapi bagaimana caranya melawan semua lebah ini? Mati aku, pikirku. Habislah.
Sambil menghela napas pasrah, kupejamkan mataku dan mulai gemrtaran.
Dan menungg mereka mengeroyokku.

16

AKU menunggu dilumatkan.
Dan menunggu lagi.

Ketika kubuka mataku, lebah-lebah marah itu telah bergeser ke pinggir sarang.
Mereka tidak memperhatikan aku.

Kulihat ada seekor lebah, berdiri di tengah-tengah sarang. Ia sedang menari
melompat-lompat, berputar-putar.

Aneh! pikirku. Lebah-lebah lain mengamatinya dengan cermat, seolah-olah
merupakan hal yang paling menarik di seluruh dunia.

“Lebah-lebah itu. tidak peduli padaku,” kataku pada diri sendiri. “Mereka tadi
menyingkirkanku supaya lebah itu bisa menari”

Aku tersadar telah membuang-buang waktu Aku harus terus mencari jalan
keluar.

Kucoba mendesak keluar dari gerombolan lebah itu, tapi lantai sarang sekarang
sudah penuh sesak sehingga susah untuk bergerak.

Lebah itu berdansa makin cepat Digerakkannya badannya ke kanan. Lebah-
lebah lain menatapnya dengan cermat.

Ada apa?

Pada saat itu, aku teringat sesuatu dan Buku Pengetahuan tentang Lebah-ku
Aku ingat bahwa lebah mengirim utusan untuk mencari makanan. Utusan itu
lalu “menari” untuk memberitahu lebah-lebah lain tempat makanan itu!

Kalau utusan itu sedang melaporkan di mana bisa memperoleh makanan, berarti
ia baru saja keluar dari sarang. Itu artinya ada jalan keluar dari tempat ini.

Saking girangnya, aku hampir saja menari!

Tapi tidak sempat karena, tiba-tiba, semua lebah di sarang bangkit seperti awan
gelap. Kubentangkan sayapku dan terbang bersama mereka

Ketika kuikuti, lebah-lebah itu membentuk bansan lurus dan melesat ke luar
dari lubang kecil di sudut atas sarang.

Aku mendengung-dengung sampai kutemukan ujung barisan Lalu aku bersiap-
siap kabur.

Apa aku akan berhasil?

Aku jadi lebah paling ujung dan terbang ke luar dari lubang kecil itu menuju
tempat terbuka. Selama beberapa detik, kuamati lebah-lebah lain terbang
menjauh, sibuk mencari nektar dan serbuk sari.

Aku tahu aku tampak seperti mereka. Bedanya mereka mau dengan suka rela
kembali ke sarang lebah Andretti. Tapi aku tak mau, takkan mau. Paling tidak,
begitulah keinginanku.

“Aku di luar!” teriakku girang dengan suara kecilku. “Aku di luar! Aku bebas!"

Karena pusing tiba-tiba melihat cahaya terang dunia luar, aku terbang berputar-
putar di daerah peternakan lebah. Lalu aku menuju lubang di kawat kasa yang
pernah kulihat waktu aku masih jadi manusia.

Aku tahu lubang itu berada di dinding yang menghadap ke halaman rumahku.
Tapi ketika kudekati, aku berhenti dan terkesiap kecewa.

Lubang itu sudah ditambal. Mr Andretti sudah memperbaikinya!

"Oh, tidak!” ratapku. “Aku tidak mungkin terperangkap! Tidak mungkin!”

Jantungku mulai berdebar-debar tidak keruan. Sekujur tubuhku bergetar.
Kupaksa diriku supaya tenang dan memandang sekelilingku.

Lebah-lebah tadi sudah tidak ada di dalam tempat berkasa ini. Mereka sudah
pergi ke luar untuk mengumpulkan serbuk sari. Dan itu berarti pasti ada jalan
keluar lain.

Aku tidak bisa berpikir dengan jemih karena terlalu lelah, capek terbang terus
dari tadi. Aku duduk beristirahat di atas sarang.

Pada saat itulah, pintu di antara daerah berkasa dan garasi terbuka “Selamat
pagi, lebah kecil temanku,” kata Mr Andretti menggelegar “Kenapa kau
berbaring di atas sarang? Kenapa tidak sibuk membuat madu untukku? Kau
sakit, ya? Kau tahu di sini tidak boleh ada lebah sakit."

Dengan lemah kulihat Mr. Andretti mendekat. Bayangannya yang hitam besar
menimpaku.

Aku mencoba bergelung jadi bola dan menghilang Tapi percuma saja. Jari-
jarinya yang besar terjulur tepat ke arahku!

Aku berteriak ngeri. Tapi tentu saja ia tidak bisa mendengarnya. Apa yang akan
dilakukannya padaku? tanyaku dalam hati. Diapakannya lebah-leba yang sakit?

17

DIAPAKANNYA lebah-lebah yang sakit? pikirku lagi, gemetar ketakutan.

Mungkin dibuangnya ke tong sampah, pikirku. Atau lebih gawat lagi...
dijadikannya makanan burung atau kodok.

Meskipun capek, aku tahu aku tidak boleh menunggu untuk mengetahuinya.
Aku harus keluar!

Tepat ketika jari-jari Mr. Andretti akan mencengkeramku, aku melesat terbang
dan mendengung-dengung di sekeliling kepalanya Pada saat itu juga, kulihat
lebah-lebah lain terbang masuk melalui lubang kecil di kasa. Lubang itu terletak
di pojokan, dekat langit-langit.

Aku mendengung di dekat wajah Mr. Andretti sekali lagi. Lalu bergegas
menuju lubang. Ketika berusaha menjejalkan diriku keluar dari lubang itu, aku
bertabrakan dengan lebah lain yang masuk. Ia melotot dan mendengung marah
padaku.
Aku mundur ketakutan dan berpegangan pada kasa. Aku harus menunggu
barisan panjang lebah yang masuk ke dalam. Rasanya lama bukan main.

Ketika akhirnya aku yakin lebah terakhir sudah masuk, aku lompat maju dan
melesat keluar dari lubang Aku berada di langit terbuka!

“Sekali ini aku benar-benar bebas!" jeritku girang, lupa pada rasa lelahku. “Dan
si Andretti takkan pernah bisa menangkap lebah ini lagi!”

Aku mendarat di daun dan kubiarkan matahari pagi menghangatkan punggung
dan sayapku. Hari yang indah - hari yang indah untuk menemukan orang yang
bisa membantuku kembali ke badan manusiaku!

Seperti roket, aku melejit ke udara dan memandang berkeliing. Kukenali suara
deritan ketika ayahku membuka pintu belakang.

Dengan napas terengah-engah, aku melesat maju.

Ayahku berseru, “Selamat tinggal, Sayang! Bilang pada anak-anak sampai
ketemu nanti malam” dan dilepaskannya pintu itu.

Aku meluncur cepat ke dalam rumah. Pintunya terbantmg keras. Nyaris saja
gepeng lagi.

Aku bersenandung senang. Bahagia sekali rasanya kembali ke rumah sendiri
dan keluar dari sarang yang gelap dan lengket itu Aku mendarat di meja dan
memandang dinding-dinding di sekelilingku yang sudah kukenal itu.

Kenapa sebelum ini aku tak pernah menyadari betapa indahnya rumahku?

Srek, srek, srek.

Ada orang datang ke dapur! Aku terbang ke kusen jendela supaya bisa melihat
lebih jelas.

Krissy!

Mungkin aku bisa membuatnya mendengar suaraku.

“Krissy! Krissy!” dengungku. “Di sini, di dekat jendela. Ini aku, Gary!”

Betapa senangnya aku ketika ia menoleh dan menatap ke arahku.

“Ya!" teriakku girang. “Ya... Ini aku! Ini aku!”

“Oh, hebat,” erang Krissy “Salah satu lebah konyol Andretti masuk ke sini
lagi.”

Oke, memang bukan reaksi yang kuharapkan. Tapi ia tetap melihatku, kan?
Mungkin, pikirku, kalau aku terbang ke bahunya dan bicara di telinganya, ia
akan bisa mengerti perkataanku.

Dengan jantung menggetarkan sekujur badan, aku terbang dari kusen jendela
dan melaju menuju adikku. “Krissy!” dengungku sambil mendekati bahunya
“Kau harus mendengarkan aku”

“Aaaaiii!”

Krissy menjerit keras sekali, aku sampai takut kaca jendela jadi pecah. “Enyah
kau, lebah”

Ia mengibas-ngibaskan tangannya, berusaha mengusirku.
“Ow!” Aku berteriak ketika ia menghantamku. Dengan badan sakit bukan main,
aku kehilangan kontrol dan mendarat keras di permukaan meja.
Kuangkat pandanganku, saat itu kulihat Krissy menyambar pemukul lalat dari
dalam lemari sapu.
“Jangan, Krissy, jangan!” jeritku. "Jangan yang itu! Kau takkan mau
melakukannya pada abangmu sendiri”
Adikku mengangkat pemukul lalat itu dan menghantamkannya tepat ke
sampingku. Aku bisa merasakan embusan anginnya. Dan seluruh meja terasa
bergetar.
Aku menjerit dan cepat-cepat berguling ke samping.
Aku tahu, Krissy paling sadis kalau sudah memegang pemukul lalat.
Ia yang paling jago di keluarga kami. Pukulannya tak pernah meleset.
Mata di atas kepalaku berputar-putar ngeri. Dan samar-samar, kuhhat sosok
pemukul lalat itu terangkat untuk menghantamku lagi. Dan lagi.

18

“STOP, Krissy!” jeritku. “Stop! Kau membuatku remuk!”
Dengan napas tersentak, aku jatuh dari atas meja. Aku terbanting keras di lantai
dan bersusah payah bangun.
Sekarang aku merasa marah. Kenapa Krissy mesti haus darah begitu? Kenapa
tidak dibukanya saja jendela dan mengusirku ke luar?
Sambil mendengung lemah, aku terbang dari atas lantai. Kupulihkan kekuatan
dan terbang membabi buta di sekeliling ruangan, kutabrak dinding dan lemari

untuk menunjukkan pada Krissy betapa marahnya aku. Lalu aku melesat ke luar
dapur.

Dengan perasaan marah bukan main, aku naik tangga ke kamarku. Kalau adikku
tidak mau membantu, aku minta pertolongan orang lain saja Yaitu, si Gary
baru!

Matahari pagi sudah tinggi di langit Tapi. “Gary” masih tidur pulas di tempat
tidurku.

Aku makin marah waktu melihatnya berbaring begitu damai, begitu nyaman.

“Bangun, pemalas!” dengungku. Ia tidak bergerak. Ia tidur dengan mulut
ternganga, kelihatan benar-benar seperti orang tolol.

“Hii! Jelek sekah!” Aku yakin mulutku tak pernah menganga waktu aku tidur.

Kuputuskan untuk melakukan sesuatu Aku mendarat di kepala “Gary” dan
berjalan-jalan di wajahnya. Aku yakin kaki-kaki kecilku akan menggelitiknya
dan membuatnya terbangun.

Percuma. Ia tidak bergerak.

Bahkan meskipun kumasukkan satu kakiku ke hidungnya, “Gary” tetap tidur
pulas.

Kenapa ia kelelahan begitu?” pikirku. “Apa ia membuat badanku kecapekan?"

Dengan marah, aku lari melintasi wajah “Gary” dan masuk ke sela-sela
rambutnya. Lalu aku merayap ke telinganya. “NNGGG!” teriakku sekeras
mungkin. “NNGGG! NNGGG! NNGGG!”

Luar biasa, si “Gary” baru itu tak bergerak Sedikit pun.

Nasib. Dirk Davis temyata orang yang paling pulas sedunia!

Aku menghela napas dan menyerah. Aku merayap dari telinga “Gary” dan
terbang mengitari kamarku, kupandangi tempat tidur, lemari, dan komputerku.

"Kornputerku!” teriakku girang. “Mungkin aku bisa menuliskan pesan di
layarnya! Mungkin aku bisa memberitahu orangtuaku apa yang telah terjadi
padaku!”

Aku menukik ke komputer, mendengung-dengung bersemangat.


Click to View FlipBook Version