Yes! Komputernya menyala.
Untunglah1 Aku tahu aku tidak cukup berat untuk menekan tombol ‘Power.
Apa aku cukup kuat untuk mengetik?
Layar monitor yang berwarna biru cerah menyambutku. Dengan jantung
berdebar-debar, aku turun ke keyboard dan mulai melompat-lompat menekan
huruf-huruf.
Ya! Aku cukup berat untuk menekan tombol huruf.
Aku berhenti, berdiri di atas tombol Enter. Apa yang akan kuketik? Pesan apa
yang akan kutulis di layar?
Apa? Apa? Apa?
Sementara aku panik berpikir, kudengar “Gary” bergerak di tempat tidur di
belakangku Ia mengerang. Sebentar lagi ia bangun
Cepat! kataku dalam hati. Ketik sesuatu Ketik apa saja!
Begitu bangun dan tempat tidur ia akan langsung melihatnya.
Aku meloncat ke tombol-tombol huruf dan mulai melompat-lompat, mengeja
pesanku.
Sulit sekali melakukannya. Mata lebahku tidak dibuat untuk membaca huruf-
huruf. Dan aku terus saja terjatuh di celah antara tombol-tombol.
Setelah melompat delapan atau sembilan kali, aku jadi terengah-engah.
Tapi aku berhasil menyelesaikan pesanku tepat ketika “Gary” duduk di tempat
tidur dan menggeliat.
Aku terbang di depan monitor dan bersusah payah membaca ketikanku:
AKU BUKAN LEBAH. AKU GARY
POLONG AKU.
Dengan penglihatanku yang kabur, kulihat aku salah menekan huruf T, yang
kutekan malah huruf P Aku ingin kembali dan memperbaikinya. Tapi rasanya
lelah sekali. Mendengung saja susah.
Apa mereka bisa mengerti?
Apa mereka akan membaca pesan itu dan melihatku berdiri di atas monitor dan
memahaminya?
“Gary” pasti mengerti. Aku tahu Dirk Davis pasti bisa memahaminya.
Dengan susah payah aku naik ke atas monitor dan mengamati “Gary” bangun
dan tempat tidur.
Ini dia, kataku bersemangat. Disibakkannya rambutnya yang menutupi mata. Ia
menguap. Menggeliat lagi
Sebelah sini! desakku
Dirk tolong lihat layar komputer!
Dirk. sebelah sini!
Diambilnya ceana jeans lusuh dan lantai dan dipakainya Lalu diambilnya kaus
kusut.
Ayolah, kataku, melompat-lompat di atas monitor Baca layarnya... tolong
19
APA ia akan membacanya?
Ya! Sambil mengucek-ucek matanya, “Gary” terseok-seok menuju komputer.
Yes! Yes!
Aku nyaris meledak kegirangan ketika kulihat dia terpicing menatap layar.
“Ayo, Gary’ Baca! Baca!”cicitku.
Ia terpicing lagi menatap layar, keningnya berkerut. "Apa semalam kubiarkan
tulisan itu?” gumamnya, menggeleng-geleng “Wow Aku pasti Sedang kacau”
Ia mengulurkan tangan dan mematikan komputer. Lalu ia berbalik dan berjalan
ke luar kamar.
Saking kagetnya, aku terjatuh dari monitor, terbanting keras di meja di samping
keyboard. Percuma saja segala: kerja kerasku tadi.
Kenapa sih Si "Gary” itu? Apa ia tidak bisa membaca?
Aku harus bicara dengan dia, kataku dalam hati, menenangkan diri. Aku harus
berkomunikasi dengannya, bagaimanapun caranya.
Kuangkat sayapku dan terbang mengejarnya. Kuikuti dia di dapur, lalu
menyelinap keluar dari pintu belakang bersamanya.
Ketika ia melintasi rerumputan, aku mulai mendengung-dengung di dekat
kepalanya tapi ia tidak memedulikanku.
Diseberangnya pekarangan dan dibukanya pintu garasi kami. Ia lalu masuk ke
dalam dan mengeluarkan skateboard lamaku.
Paling tidak sudah dua tahun tidak kugunakan skateboard itu. Pamanku
memberikannya sebagai hadiah ulang tahunku yang kesepuluh, dan kakiku
hampir patah waktu mencoba menaikinya. Sejak itu, kusingkirkan skateboard
itu jauh-jauh dan tidak mau menyentuhnya lagi.
“Jangan naiki benda itu!” seruku pada “Gary”. “Bahaya Badanku bisa luka. Dan
aku ingin badanku tetap utuh!”
Tentu saja “Gary” tidak mengetahui aku ada. Ia malah membawa skateboard itu
ke depan rumah dan meletakkannya di tanah.
Sesaat kemudian, tampak Kaitlyn dan Judy berjalan di trotoar. Kutunggu
mereka mulai cekikikan dan mengolok-olok aku yang baru.
“Hai, Gary,” kata Kaitlyn. Diusapnya rambut ikalnya dari dahi dan tersenyum.
“Kami terlambat mengikuti les skateboard, ya?”
“Gary” tersenyum lebar. “Tidak, Kaitlyn,” jawabnya dengan suaraku. “Mau
mendahului ke taman bermain seperti kemarin?”
Aku tidak mempercayai pendengaranku. Les skateboard? Mendahului ke taman
bermain seperti kemarin? Apa-apaan nih?
“Kuharap kau tidak keberatan, Gary,” kata judy. “Kami cerita ke anak-anak lain
- misalnya Gail dan Louie - betapa jagonya kau. Mereka semua bilang tidak
sabar ingin belajar dari kau juga. Boleh tidak? Karena kalau tidak, kami akan
menelepon mereka, dan..."
“Tidak masalah, Jude,” potong “Gary”. “Ayo kita pergi”
“Aku” yang baru melompat ke skateboard dan meluncur mulus di trotoar. Judy
dan Kaitlyn bergegas menyusulnya.
Selama sedetik aku tak bisa bergerak saking kagetnya. Tapi lalu kuputuskan
untuk mengikuti mereka.
Sambil melewati mereka, aku terus bergumam pada diri sendiri, “Aku tak
percaya! Lutz si Kikuk akan mengajarkan cara main skateboard. di taman
bermain? Semua anak menunggu kedatangannya? Apa-apaan ini?”
Beberapa menit kemudian, kami berempat sampai di taman bermain. Banyak
yang menunggu “Gary”. Diletakkannya skateboard-nya dan mulai memberi
petunjuk tentang ber-skateboard.
Aku mendengung mendekatinya dan berteriak-teriak di telinganya lagi. "Dirk!”
teriakku: “Dirk Davis! mi aku. Gary Lutz yang sebenarnya!”
Dengan sangat tenang diusirnya aku.
Kucoba lagi bicara dengannya. Sekali ini ditepisnya aku kuat-kuat, aku jatuh
berputar-putar ke tanah.
Kulupakan rasa sakitku dan bangun. Aku sadar Dirk takkan membantuku.
Harapanku cuma Ms Karmen. Lagi pula, dia yang punya peralatannya. Cuma
dia yang bisa membalikkan apa yang telah diperbuatnya.
Aku terbang ke pohon dan mencoba menentukan akan terbang ke mana. Saat
kau jadi serangga, segalanya tampak berbeda. Benda-benda yang bagi manusia
tampak kecil, bagi lebah tampak besar. Jadi aku ingin memastikan dulu supaya
aku tidak kacau dan terbang ke arah yang salah.
Aku berdiri di daun besar dan memandangi blok rumahku sampai aku yakin ke
mana harus pergi. Ketika bersiap-siap terbang, tiba-tiba ada bayangan besar
menimpa kepalaku. Mula-mula kukira bayangan burung kecil. Tapi aku lalu
tahu itu capung.
“Tenang saja,” kataku pada diri sendiri. “Capung termasuk serangga, kan? Dan
serangga tidak memakan sesamanya, kan?”
Kurasa tidak ada yang memberitahukan hal itu pada si capung.
Sebelum aku sempat bergerak, ia menukik, menggigit perutku, dan merobekku
jadi dua.
20
Aku terkesiap untuk terakhir kalinya dan menunggu segalanya jadi gelap.
Beberapa detik kemudian aku baru sadar capung itu membelok dan pergi ke
arah lain.
Khayalanku sudah ke mana-mana. Selalu begitu kalau aku terlalu lelah.
Kutarik napas dalam-dalam, bersyukur badanku masih utuh. Kuputuskan untuk
menggunakan sisa tenagaku untuk menemui Ms. Karmen di kantor Person-to-
Person Vacations.
Aku terbang ke atas, menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mengamati lalu lintas
capung, lalu cepat-cepat melaju.
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, aku terbang di atas papan nama
jalan yang menunjukkan bahwa aku berhasil sampai di blok yang benar. Roach
Street
Aku terbang di sepanjang trotoar sampai tiba di gedung Person-to-Person. Aku
lalu duduk di teras dan memikirkan bagaimana caranya masuk ke dalam.
Untunglah, sambil beristirahat di atas semen yang hangat itu, kulihat ada tukang
pos sedang berjalan di jalan itu. Ia berhenti di tiap rurnah yang dilaluinya.
Cepat-cepat aku terbang ke pintu masuk Person-to-Person dan memeriksanya.
Sesuai dengan harapanku, di tengah pintu ada celah untuk surat.
Aku terbang ke kenop pintu dan menunggu. Perlahan-lahan tukang pos tadi
berjalan menuju gedung kantor Person-to-Person.
“Cepat” jeritku “Kaukira aku mau seharian di sini?" Tentu saja ia tidak bisa
mendengarku.
Diaduk-aduknya isi tasnya dan dikeluarkannya setumpuk surat. Lalu, pelan-
pelan, diulurkarinya tangannya dan dibukanya celah surat.
Sebelum tukang pos itu sempat bereaksi, aku menukik di depan hidungnya dan
menyelinap masuk ke celah itu. Ketika aku terbang, kudengar ia terkesiap, aku
tahu ia tadi melihatku. Tapi sekali ini aku beruntung. Aku bergerak cepat sekali,
tukang pos itu tak sempat memukulku.
Keberuntunganku masih bertahan waktu aku menaiki tangga.
Aku baru saja sampai di atas ketika prntu menuju Person-to-Person Vacations
terbuka, dan seorang anak perempuan seumurku keluar. Rambutnya panjang
dan merah ikal, wajahnya tampak serius. Apa ia sedang berpikir untuk bertukar
tempat dengan seseorang?
"Pulanglah!” teriakku. “Dan jangan kembali lagi. Jauhi tempat itu! Lihat apa
yang terjadi pada diriku!”
Meskipun aku sudah menjerit-jerit, anak itu menoleh pun tidak. Tapi
dibiarkannya pintu terbuka cukup lama. sehingga aku bisa masuk ke kantor
Person-to-Person.
Aku terbang melintasi ruang tunggu dan melihat Ms. Karmen. Ia duduk di kursi
yang sama seperti waktu aku pertama kali bertemu dengannya dulu.
Aku melesat tepat ke arahnya... dan menghantam sesuatu yang keras.
Tubuhku sakit bukan main. Aku jatuh ke lantai, kepalaku pusing.
Ketika pikiranku mulai jernih, aku teringat pada dinding kaca yang memisahkan
Ms. Karmen dan ruang tunggu. Seperti kumbang bulan Juni yang goblok, aku
tadi menabraknya!
Kugoyang diriku untuk menjernihkan pikiran. "Ms. Karmen!” seruku. “Ms.
Karmen. Ini saya... Gary Lutz. Lihat apa yang terjadi! Anda bisa menolong
saya? Bisa?”
21
Ms. KARMEN sedikit pun tidak mengalihkan perhatiannya dari pekerjaannya.
Sekali lagi aku tersadar tak ada yang bisa mendengar suara seranggaku yang
mencicit ini.
Sambil mengerang pasrah, aku jatuh ke kursi dan bergelung jadi bola kecil.
Percuma saja aku datang jauh-jauh, pikirku. Aku berhasil menemukan satu-
satunya orang di dunia ini yang mungkin bisa menolongku. Dan ia tidak bisa
mendengarku.
“Aku menyerah,” bisikku sedih. "Percuma saja. Aku harus membiasakan diri
untuk jadi lebah selamanya! Tak mungkin aku bisa memperoleh badanku yang
dulu.”
Seumur hidup belum pernah aku sesedih itu. Aku berharap semoga ada orang
datang, pergi ke kursi itu, dan mendudukiku.
Aku tersentak dari pikiran-pikiran suram itu ketika mendengar suara aneh. Aku
duduk tegak dan, mendengarkan.
“Heh. Heh.” Kedengarannya mirip suara orang bernapas. Tapi kok bisa?
Suaranya keras sekali!
Aku terbang dan kursi dan mengitari ruangan, berusaha mengetahui dari mana
suara itu berasal. Sempat kukitari ruangan itu dua kali sebelum aku mengetahui
sumber suara itu.
Ms. Karmen sedang membungkuk untuk mengambil sesuatu yang jatuh ke
lantai. Hidung dan mulutnya hanya beberapa senti dari permukaan meja Dan
mikrofon yang digunakannya untuk bicara dengan orang-orang telah
menangkap suara napasnya!
Tiba-tiba aku mendapat ide cemerlang Kalau aku bisa masuk ke sisi lain kaca
itu, mikrofon itu bisa kugunakan supaya Ms. Karmen bisa mendengarku.
Aku melesat ke dinding dan terbang lurus ke langit-langit. Sial. Lembaran kaca
itu sampai ke atas. Tak ada celah yang bisa kumasuki.
Aku terbang ke tempat pertemuan kaca itu dengan permukaan meja Ms.
Karmen. Yes! Ada celah kecil di kaca Aku ingat ia pernah memberikan album
foto melalui celah itu pada kunjungan pertamaku ke kantor ini.
Celah itu tidak lebar. Tapi cukup untuk badan lebahku yang kecil bulat.
Aku melesat melalui lubang itu dan melompat ke bagian atas mikrofon.
“Ms. Karmen!” teriakku, kudekatkan mulutku ke besi keras itu. “Ms. Karmen!”
Matanya terbelalak. Mulutnya ternganga heran. Dipandanginya ruang tunggu,
mencari-cari orang yang berbicara
“Ini Gary Lutz!” seruku. “Saya berada di mikrofon Anda”
Ms. Karmen memelototi mikrofon Matanya lalu terbelalak takut. "Apa-apaan
ini? Siapa yang melakukan hal ini? Ini lelucon, ya?”
"Bukan!” teriakku. "Ini sama sekah bukan lelucon. Ini benar-benar saya... Gary
Lutz”
“Tapi tapi ,“ ia tergagap, tak ada kata-kata lain yang keluar “Apa leluconnya?
Bagaimana caramu melakukannya?”
Suaranya keras sekali, gelombang suaranya nyaris menyapuku dari mikrofon.
“Anda tidak usah berteriak!” seruku. “Saya bisa mendengar Anda”
“Aku tidak percaya ini!” serunya dengan suara gemetar. Dipandanginya aku.
"Ini salah Anda” teriakku marah. “Anda mengacaukan operasi pertukarannya.
Waktu Anda melakukan penukaran, salah satu lebah tetangga saya pasti masuk
ke mesin itu. Jadi, bukannya menempatkan saya ke dalam badan Dirk Davis,
Anda malah menempatkan saya ke dalam seekor lebah”
Ms Karmen mengerjapkan mata, lalu ditepuknya keningnya “Sekarang semua
jadi jelas” serunya. “Itu sebabnya tubuh Dirk Davis berkelakuan aneh.”
Diambilnya beberapa kertas dari mejanya dan dimasukkannya ke dalam tasnya
“Saya betul-betul minta maaf," katanya. “Saya merasa sangat tidak enak, Gary.
Kami belum pernah kacau begini. Saya harap.... saya harap paling tidak kau jadi
dapat pengalaman menarik.”
“Pengalaman menarik?" jeritku. “Seperti mimpi buruk! Anda takkan percaya
mendengar apa yang saya alami. Saya diserang pintu kasa, kucing, pemukul
lalat - sebut saja! Mobil Anda sendiri nyaris melindas saya!”
Wajahnya jadi pucat pasi “Oh, tidak,” serunya, suaranya berbisik. "Maafkan
saya. Sa - saya tidak tahu.”
“Yah, sekarang bagaimana?” tanyaku tidak sabaran.
“Bagaimana apa?”
“Bagaimana kalau Anda kembalikan saya ke badan saya yang dulu! Anda bisa
melakukannya. Sekarang juga?”
Ms. Karmen berdeham “Yah, sebetulnya bisa,” jawabnya pelan “Biasanya saya
langsung bisa mengembalikanmu ke keadaan semula. Tapi ada masalah kecil
dalam kasusmu ini.”
“Masalah apa?” desakku.
"Dirk. Davis,” jawab Ms. Karmen. “Kelihatannya ia sangat menyukai badanmu
yang dulu. Ia juga menyukai rumah dan orangtuamu. Ia malah menyukai
adikmu, Krissy!”
“Jadi?" teriakku. “Jadi apa maksudnya?”
Ms. Karmen berdiri dan mendorong masuk kursinya .“Artinya,” katanya, “Dirk
Davis tidak mau memberikan badanmu yang lama. Katanya ia tidak mau
kembali ke kehidupannya yang dulu. Ia ingin berada di dalam badanmu untuk
selamanya.”
22
“APA?" Aku menjerit, melompat-lompat marah di atas mikrofon
“Seperti saya bilang tadi," kata Ms. Karmen. "Dirk Davis ingin seumur hidup
berada di dalarn badanmu."
“Tapi ia tidak boleh begitu, kan?"
“Masalah ini sangat menyusahkan,” jawabnya, digigit-gigitnya bibirnya. "Ia
tidak bilang begitu dalam perjanjian kami. Tapi kalau ia tidak mau keluar dari
badan dan hidupmu, saya tidak bisa berbuat apa-apa."
Ms. Karmen menatapku penuh simpati "Maafkan saya mengenai hal ini, Gary,”
katanya pelan. “Saya rasa di masa depan saya akan lebih berhati-hati. "
“Masa depan saya bagaimana? Apa yang sekarang harus saya lakukan?”
ratapku.
Ms. Karmen mengangkat bahu. "Saya tidak tahu. Mungkin kau bisa kembali,
menunggu di dalam sarang. Siapa tahu Dirk Davis berubah pikiran."
“Kembali ke sarang?!” Antenaku langsung berdiri tegak, bergetar karena
marah. “Anda tahu bagaimana rasanya hidup di dalam sana? Berdesak-desakan
dalam gelap dengan lebah-lebah berbulu itu? Siang-malam mendengarkan
dengungan yang memekakkan telinga?”
“Itu salah satu cara untuk bertahan hidup,” jawab Ms. Karmen blak-blakan.
“Sa - saya tidak peduli!” kataku tergagap. “Saya tidak mau kembali ke sana!
Tidak mau!”
“Ini tragis. Tragis!” seru Ms. Karmen. “Nanti malam saya pikirkan kasusmu,
Gary. Saya janji. Mungkin saya bisa dapat akal untuk mengambil badanmu dari
Dirk.”
Diseberanginya ruangan dan dibukanya pintu kantor. “Saya bingung sekali.
Sangat bingung,” gumamnya. Ia lalu keluar, dibantingnya pintu kuat-kuat.
Dengan badan bergetar marah pada Dirk Davis, aku melompat ke meja. “Hei,
tunggu!” seruku. “Anda mengurung saya di dalam!"
Saking bingungnya, Ms. Karmen sampai lupa padaku!
Aku terbang ke atas dan mulai mengejarnya. Tapi aku lalu sempat menoleh ke
mejanya. Formulir Dirk Davis tergeletak di atas tumpukan kertas. Alamatnya
tertulis di samping namanya. Ta tinggal di Eastwood Avenue nomor 203.
Eastwood Avenue dekat dengan toko komputer, jadi aku tahu letaknya.
“Mungkin Dirk Davis yang lama tahu cara mengambil badanku!” kataku pada
diri sendiri.
Tak ada salahnya dicoba. Aku menyelinap dari celah di kaca. Kuperiksa seluruh
ruang peralatan itu dan terbang mengitari ruang tunggu. Tak ada jalan keluar.
Tak ada jendela yang terbuka. Tak ada celah di pintu.
Sekali lagi, aku terjebak.
Kebingungan, aku berdengung mengelilingi ruang tunggu. Kemudian aku
berbalik melewati celah di kaca Aku memeriksa seluruh ruangan peralatan ini.
Semua jendela tertutup rapat.
Aku terbang melewati kalender dan tidak sengaja mehhat tanggal. "Oh, tidak!”
teriakku “Sekarang hari Jumat! Akhir pekan Ms. Karmen bisa tidak kembali
selama dua hari.
Selama dua hari itu, aku tahu, aku bisa mati kelaparan!
Aku harus keluar! Aku pergi ke dinding yang jauh dan melihat pintu yang
tadinya tidak kulihat. Aku melesat melewatinya.
Ternyata ruangan itu kamar mandi kecil. Dengan satu jendela kecil. Yang
terbuka sedikit. Memang itu yang kuperlukan.
“Hore” teriakku. Aku melesat keluar dari jendela dan terbang ke udara terbuka.
Lalu aku belok kanan dan menuju Eastwood Avenue. Untunglah letaknya tidak
terlalu jauh. Terbang-terbang begini mulai membuatku kecapekan.
Dengan mudah kutemukan rumah Dirk Davis. Sesampainya di sana, kulihat
“Dirk” - atau siapa pun dia sekarang - sedang berdiri di halaman depan. Aku
mengenalinya karena pernah melihat fotonya di album Person-to-Person.
“Hei!” teriakku. ‘Hei, ehm... Dirk!”
Anak laki-laki yang tinggi dan tampan itu berbalik dan menatapku. Mulutnya
terbuka, kelihatannya ia mengatakan sesuatu.
Tapi aku tidak mengerti perkataannya sedikit pun. Yang kudengar cuma suara
dengungan.
“Aku Gary Lutz!" teriakku dengan suara kecilku “Kau bisa bantu aku
mengeluarkan Dirk Davis dari badanku?"
Anak itu memandangiku. Ia lalu meringis.
Aku bingung Kenapa ia meringis?
“Hei, kau bisa mendengarku!” teriakku.
Sekarang “Dirk” memberi isyarat dengan tangannya.
“Kau mau kuikuti” tanyaku. Aku merasa girang “Kau membawaku ke suatu
tempat untuk memperoleh bantuan?”
“Dirk” meringis lagi. Ia lalu berbalik dan berjalan ke samping rumah. Aku tidak
tahu ke mana kami pergi. Tapi aku tahu aku harus mengikutinya.
“Dirk” berhenti di halaman belakang. “Hum," katanya. “Hum.” Ditunjuknya
rumpun mawar dan meringis. Lalu dibenamkannya hidungnya ke dalam salah
satu bunga “Hummmmmmm,” katanya “Nyanmmmmmm.”
Aku ternganga kaget. "Tentu saja!” teriakku.
“Kau dapat pikiran lebah sementara aku dapat badannya!”
“Dirk” tidak bilang apa-apa. Tapi ketika ditariknya wajahnya dari bunga itu,
ujung hidungnya berlumuran serbuk sari berwarna kuning.
“Dirk” tampak agak terkejut. Dan kecewa. Kurasa ia menginginkan lidahnya
yang panjang dan bisa untuk menyedot - lidah yang sekarang terjulur di
wajahku.
“Kau tidak bisa membantuku,” gumamku. “Kau lebih parah dibandingkan aku!”
"Hum?” jawabnya. “Hum?”
Ia tampak agak tolol dengan hidung kuning begitu. Tapi aku kasihan padanya.
Ia dan aku punya otak yang berada di badan yang salah. Aku tahu sekali apa
yang dirasakannya.
“Aku akan pergi mencari bantuan untuk kita berdua,” kataku. “Kalau aku bisa
memperoleh hadanku kembali, mungkin kau juga bisa memperoleh badanmu.”
Sambil mendengung keras, aku terbang keluar dari halaman rumah keluarga
Davis. Ketika menjauh, kurasa aku mendengar “Dirk” membalas dengunganku.
Aku menoleh dan melihat ia membenamkan wajahnya ke dalam bunga mawar
lain. Mungkin sekali ini ia bisa mengambil serbuk sarinya.
Aku menuju rumahku sendiri. Sekali mi aku berniat memaksa Dirk Davis
mengembalikan badanku.
Ketika membelok ke jalan rumahku, tiba-tiba kudengar suara yang sudah
kukenal datang dari balik pohon.
“Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku, man!”
Aku tak percaya. Suara itu suara Marv. Tapi ia sedang bicara dengan siapa?
Aku melesat ke balik pohon untuk mengetahuinya. Aku kaget ketika melihat
Marv sedang bicara denganku - atau Dirk Davis, di dalam badanku. Barry dan
Karl berdiri di sampingnya.
Hati-hati, Dirk! pikirku. Lari! Lari!
Tolong jangan biarkan mereka menghajar badanku!
Tapi aku terlambat.
Bary, Marv, dan Karl mengepungnya, bersiap- siap untuk menghajarnya sampat
babak belur.
23
AKU terbang mendekat.
“Hati-hati, Dirk! Hati-hati!” jeritku.
Tapi aku kaget. Ketiga raksasa jelek itu tidak bergerak mengepung "Gary” -
mereka mundur menjauhinya
“Jangan ganggu aku!" teriak Marv “Kubilang aku minta maaf.”
“Kami minta maaf,” ratap Barry. “Jangan pukul kami lagi, Gary! Tolong!”
Karl merengek-rengek di belakangnya, hidungnya berdarah.
“Kalian payah,” kudengar “Gary” bicara. “Pergi jauh-jauh sana. Cari kegiatan
lain.
“Oke! Oke!” teriak Marv, “Tapi jangan pukul-pukul lagi, ya, Gary?”
"Gary” mengangguk dan berjalan pergi.
Aku tidak percaya ini! pikirku girang. Barry, Marv, dan Karl takut padaku!
Kuputuskan untuk ngerjain mereka juga.
Aku menukik dan mendarat di hidung Barry, mendengung sekeras dan segalak
mungkin.
“Hiii” ia menjerit terkejut, dan memukul hidungnya sendiri.
Aku terlalu gesit baginya. Aku sudah pindah ke kuping Karl.
Karl berteriak dan jatuh telentang ke dalam rumpun mawar berduri.
Aku lalu terbang mengitari Mary
“Pergi!” teriaknya marah
Aku terbang masuk ke mulutnya.
Jeritannya nyaris membuatku tuli. Tapi tidak apa-apa!
Marv mulai meludah, tercekik, dan tersedak-sedak.
Aku terbang tinggi ke udara, tertawa keras sekali sampai antenaku hampir
copot. Itulah kejadian paling mengasyikkan sejak aku jadi lebah!
Kuamati ketiga gorila itu kabur. Lalu aku terbang ke blok rumahku.
"Gary" membiarkan jendela terbuka, aku jadi bisa masuk ke dalam. Ia sedang
berbaring di tempat tidurku, membaca salah satu komikku, dan makan biskuit
berlapis madu.
Madu itu baunya enak sekali, aku jadi sadar aku sudah lapar lagi. Kuingatkan
diriku untuk hinggap dibunga dan makan serbuk sari kalau keluar nanti.
Tapi, sementara itu, ada yang harus kulakukan. Aku terbang dan mendarat di
telinga Gary.
“Hei, kau! Dirk Davis!” teriakku sekuat tenaga. “Aku perlu bicara denganmu!”
Diangkatnya tangannya dan dijentikkannya aku
Aku mendengung marah dan terbang lagi ke telinganya. "Hei, kau! Aku ingin
badanku! Kau harus keluar dari badanku. Sekarang juga!"
"Gary" melipat komiknya dan diayunkannya ke arahku. Aku mendengung
marah dan frustasi. Sekali ini aku tidak mau menyerah. Tidak mau! Aku harus
memaksanya mendengarku.
Aku melesat naik dan mendarat di kepalanya. Lalu aku turun ke telinganya yang
sebelah dan mencobanya lagi. "Aku takkan berhenti mengganggumu sampai
kau keluar dari badanku!" jeritku. "Kau dengar itu?"
Ia menghela napas dan mengangkat bahu. "Tolong berhentilah merecokiku,"
katanya. "Kau tidak melihat aku sedang santai?"
"Kau bisa mendengarku?"
"Yeah. Tentu," gumamnya. "Aku bisa mendengarmu."
“Oya?” Saking terkejutnya, aku sampai hampir jatuh dan kupingnya
“Ya, aku bisa mendengarmu dengan jelas. Aneh, heh? Aku tidak tahu kenapa.
Tapi kurasa ada sel-sel lebah yang bercampur dengan sel-sel manusiaku waktu
kita bertukar badan. Sekarang aku jadi bisa mendengar semua suara kumbang
kecil.”
“Sel-sel manusiamu? Itu sel-sel manusiaku” teriakku.
Dirk mengangkat bahu.
“Cukup basa-basinya,” kataku. "Kapan kau mau keluar dari badanku?"
“Takkan pernah,” jawabnya Diambilnya komiknya dan mulai membaca lagi.
“Aku suka badanmu. Aku tidak mengerti kenapa kau mau menukarnya dengan
badan lebah.
“Itu bukan mauku!” jeritku.
“Kehidupanmu di sini enak,” lanjutnya. “Maksudku, orangtuamu asyik. Krissy
adik yang baik. Dan Claus kucing yang hebat Sayang kau tidak menyadari
semua itu ketika berada di dalam badanmu, yang sekarang jadi badanku”
“Itu bukan badanmu! Itu badanku! Kembalikan!” Aku mulai mendengung-
dengung marah di sekeliling kepalanya, menukik di depan hidungnya,
menabrak kupingnya, dan mengepak-ngepakkan sayapku di matanya.
Dirk Davis tidak bergeming.
"Kenapa sih kau ini?" teriakku. “Kau sekarang jadi aku. Mestinya kau takut
pada lebah!”
“Gary” tertawa “Kau lupa sesuatu,” katanya. “Aku bukan kau Aku cuma berada
di dalam badanmu Isinya ya tetap aku. Aku paling tidak takut pada lebah!”
“Dan, sekarang,” katanya lagi, “Pergilah, oke? Enyah. Aku sibuk”
Dengan badan kaku karena marah dan kecewa, aku terpuruk diam di seprai.
“Gary” mengangkat komiknya “Sebetulnya aku tidak suka menepukmu,”
katanya “Tapi bisa saja kalau terpaksa”
Aku mengelak tepat ketika komik itu menghantam seprai. Lalu aku terbang lagi
ke luar jendela.
Selama beberapa menit, aku terbang tanpa tujuan, asyik mengenang-ngenang
nasibku yang malang.
Akhirnya aku teringat betapa laparnya aku. Aku bertengger di atas bunga lili
jingga besar dan mengisap serbuk sarinya.
Lumayan, pikirku sambil minum. Tapi biskuit berlapis madu pasti lebih enak.
“Apa yang mesti kulakukan sekarang?” tanyaku. “Apa seumur hidup aku mesti
jadi lebah terus?”
Kuangkat kepalaku dari bunga jingga itu dan memandang sekelilingku.’ “Dan
berapa lama hidupku?”
Aku teringat satu halaman di Buku Pengetahuan tentang Lebah-ku.
“Umur seekor lebah biasanya tidak panjang. Ratunya bisa hidup selama lima
tahun, tapi lebah pekerja dan lebah jantan mati pada musim gugur.”
Musim gugur?
Sekarang sudah hampir bulan Agustus!
Kalau tetap berada di badan lebah ini, berarti umurku tinggal satu bulan, atau
paling lama dua bulan!
Dengan sedih kupandangi rumahku. “Gary” telah menyalakan lampu kamàrku,
lampu itu berkelip-kelip di keremangan senja.
Betapa inginnya aku berada di sana! Kenapa, kenapa aku bisa begitu tolol
sehingga mengira lebih enak berada di dalam badan orang lain?
Aku lalu mendengar dengungan. Kuintip dari balik bunga. Kulihat ada lebah.
Ia melompat ke bungaku. Dua lebah lain segera mengikutinya. Lalu tiga lagi.
Mereka mendengung marah.
“Pergi” teriakku
Aku mencoba pergi.
Tapi sebelum aku sempat bergerak, mereka sudah mengerubungiku
Aku tidak bisa bergerak. Lebah-Iebah itu telah menawanku
"Jangan bawa aku ke sarang lagi!” jeritku. Jangan bawa aku pulang!”
Tapi aku jadi ngeri bukan main ketika mereka mulai menyeretku.
24
AKU berontak sekuat tenaga. Tapi mereka mengarahkan sengatnya padaku.
Apa mereka semacam lebah polisi? Apa mereka kira aku mencoba kabur dari
sarang?
Aku tidak sempat mendiskusikannya dengan mereka. Mereka mengangkatku.
Di depan, di belakang, di sampingku ada lebah.
Kami terbang melewati jendela kamarku. “Tolong!" seruku.
“Gary” mengangkat pandangannya dari piring berisi biskuit berlapis madu. Ia
tersenyum dan melambai.
Aku marah sekali, rasanya seperti mau meledak. Tapi aku lalu mendapat ide.
Ide gila. Ide karena putus asa.
Aku mendengung sekeras-kerasnya. Lalu melesat ke luar dari barisan dan
masuk ke jendela kamarku yang terbuka.
Apa lebah-lebah lain mengikutiku?
Ya!
Mereka tidak mau membiarkanku kabur.
“Gary” terduduk ketika melihatku dan pengikut-pengikutku yang mendengung-
dengung. Digulungnya komiknya, bersiap-siap untuk menepuk kami.
Kukitari kamar, lebah-lebah lain mengikuti.
"pKeluar! Keluar!” jerit “Gary”.
Jumlah kami kurang banyak, pikirku. Aku mau gerombolan besar.
Aku terbang ke luar jendela. Yang lain mengikuti.
Sekarang aku jadi lebah paling depan. Secepat mungkin kubawa rombonganku
kembali ke garasi Mr Andretti, dan masuk melalui lubang di kasa.
Aku sempat ragu di pintu masuk sarang. Kutarik napas dalam-dalam.
Apa aku benar-benar mau kembali ke dalam?
Aku tahu tidak ada pilihan lain. “Ayo, Lutz!” teriakku pada diri sendiri.
Aku melesat memasuki lubang pintu masuk. Lalu aku mulai terbang membabi
buta di dalam sarang, mendengung marah, menabrak dinding, menabrak lebah-
lebah lain.
Sarang itu jadi heboh.
Suara dengungan berubah jadi deruan biasa Lalu jadi deruan keras. Lalu jadi
deruan yang memekakkan telinga!
Aku terbang berputar-putar, makin lama makin cepat. Kutabrakkan diriku ke
dinding sarang yang lengket, tunggang-langgang, melesat, mendengung marah.
Seluruh sarang sekarang menggemuruh.
Aku telah mengubah lebah-lebah itu jadi gerombolan yang marah.
Aku terbang keluar dari sarang. Menuju senja yang mulai gelap. Keluar dari
lubang di kasa, naik, naik, dan pergi
Lebah-lebah itu berkerumun mengejarku, seperti awan hitam di langit biru
kelabu.
Kami melesat naik. Naik, naik.
Awan mendengung-dengung berbentuk corong.
Naik,naik.
Kubawa mereka ke jendela kamar.
Kami saling bergesekan, melesat cepat di udara, meriyerbu kamar “Gary”.
“Hah” Ia terlonjak dari tempat tidur.
Ia tidak sempat bicara
Aku mendarat di rambutnya. Gerombolan murka itu mengikuti, mendengung-
dengung marah, mengurungnya, mengerubuti kepala, wajah, dan bahunya
“T-tolong!” Teriakan lemahnya dikalahkan oleh deruan dengung lebah “Tolong
aku!”
Aku mendarat di ujung hidung Gary
“Sudah cukup?” tanyaku. “Kau mau mengembalikan badanku?"
"Tidak mau!” teriaknya “Aku tidak peduli apa yang akan kaulakukan pádaku!
Kau takkan memperoleh badanmu lagi! Sekarang sudah jadi milikku dan akan
kupertahankan untuk selamanya!”
Woooo! Aku tak percaya pada pendengaranku.
Maksudku, ia sudah dikerubungi lebah! Tapi tetap saja ngotot.
Aku tidak tahu mesti bagaimana lagi.
Lebah-lebah lain mulai tidak berminat. Beberapa lebah pergi ke piring madu.
Sebagian besar terbang ke luar jendela yang terbuka.
“Kau tidak bisa lolos begitu saja, Dirk!” jeritku. Sambil melolong marah, aku
berputar. Lalu kutusukkan dalam-dalam penyengatku yang tajam ke bagian
samping hidung “Gary”.
“Aduuuuh!” Ia berteriak melengking dan memegangi hidungnya.
Lalu ia terhuyung-huyung dan jatuh ke tempat tidur.
“Asyiiiik!” teriakku girang.
Sesaat aku merasa menang.
Seekor lebah kecil telah mengalahkan musuh yang besar! Aku menang! Aku
telah memenangkan pertarungan melawan raksasa!
Kegembiraanku tidak bertahan lama.
Tiba-tiba kusadari apa yang telah kulakukan. Aku teringat apa yang akan terjadi
pada lebah setelah menyengat seseorang.
“Aku akan mati,” gumamku lemah. “Aku telah menyengat orang, dan sekarang
aku akan mati!”
25
MAKIN lemah.
Kurasakan tenagaku makin berkurang.
Makin lama makin lemah.
“Apa yang telah kulakukan?” tanyaku dalam hati “Kuberikan nyawaku supaya
bisa menyengat Dirk Davis! Kenapa aku bisa tolol begini?
Dengan susah payah kukepakkan terus sayapku, supaya bisa tetap melayang.
Aku tahu ajalku sudah sampai. Tapi aku ingin tetap hidup selama mungkin.
Mungkin, pikirku, sambil merasakan tenagaku terkuras, mungkin aku sempat
mengucapkan selamat tinggal pada keluargaku.
“Mom! Dad! Krissy!” dengungku iemah. “Di mana kalian?”
Susah sekali rasanya bernapas. Aku merasa sangat lelah, sangat lemah.
Aku terbang ke luar jendela dan jatuh ke rerumputan.
Kurasa aku mengenali sosok pohon maple tua tempat aku biasa membaca buku
dan mengintai Mr Andretti. Tapi penglihatanku jelek sekali, sulit rasanya
memastikan apa pun. Seluruh dunia berputar dalam bayangan kelabu.
Aku tidak kuat lagi mengangkat kepala. Bayangan kelabu itu makin lama makin
gelap.
Sampai akhirnya dunia sama sekali tidak kelihatan lagi.
***
Pelan-pelan aku duduk. Tanah serasa berputar-putar.
Di mana aku?
Di halaman belakang rumahku.
Kukedipkan mataku, berusaha memfokuskan pandangan, menunggu mataku
bisa melihat dengan jelas.
"Itu pohon maple tua! teriakku. "Dan itu rumahku. Dan itu rumah Mr Andretti”
Apa aku masih hidup?
Apa aku benar-benar masih hidup, duduk di halaman belakang rumahku,
memandangi semua tempat yang kukenal itu?
Apa kekuatanku sudah pulih?
Kuputuskan untuk mencobanya. Kucoba mengembangkan sayap dan terbang ke
udara.
Tapi entah kenapa, sayapku sepertinya tidak bergerak. Tubuhku terasa berat dan
aneh.
Aku mengerutkan kening dan menunduk, memeriksa diriku untuk melihat apa
yang tidak beres.
“Woooo!” aku berteriak kaget. Aku melihat dua lengan, dua kaki, dan tubuhku
yang kurus.
Dengan terengah-engah, kusentuh wajahku. Mata tambahanku sudah tidak ada.
Antena dan lapisan bulu-bulu halusku juga tidak ada. Aku malah merasakan
rambut! Dan kulit manusia yang halus!
Aku melompat-lompat kegirangan “Aku jadi manusia lagi. Aku jadi aku! Aku
jadi aku!”
Kubentangkan tanganku dan kupeluk diriku sendiri. Lalu aku menari-nari di
halaman belakang, mencoba lengan dan kakiku.
Bisa! Bisa digerakkan!
Tak habis-habisnya aku berpikir betapa indahnya jadi manusia lagi!
“Tapi bagaimana terjadinya” tanyaku pada din sendiri “Apa yang terjadi pada
Dirk Davis”
Sesaat aku terpikir jangan-jangan Dirk terpaksa masuk ke dalam badan lebah
seperti aku dulu.
Mungkin tidak, pikirku.
Tapi apa yang telah terjadi?
Bagaimana caranya aku bisa memperoleh badanku lagi?
Apa karena sengatan lebah? Apa kejutan karena sengatan ini mengembalikan
kami semua ke badan masing-masing?
“Aku harus menelepon Ms Karmen supaya tahu” pikirku.
Tapi sekarang in aku ingin sekali menemui keluargaku.
Aku bergegas menaiki tangga belakang dan masuk ke rumah. Ketika berlari
melintasi dapur, aku bertabrakan dengan Krissy Seperti biasa, ia sedang
menggendong Claus.
“Lihat-lihat dong kalau lari!” bentak Knissy. Mungkin dikiranya aku akan
membalas bentakannya dan berusaha menyingkirkannya. Tapi aku malah
menyambar bahunya dan memeluknya kuat-kuat. Lalu kucium pipinya.
“Hii! Jijik” teriaknya dan diusapnya pipinya. Aku tertawa bahagia.
"Jangan kauberi kutumu padaku, tolol” teriak Krissy.
“Kau yang tolol” balasku
“Bukan, kau yang tolol!” ulangnya
“Kau brengsek!" teriakku.
Senang sekali rasanya bisa mengolok-oloknya lagi. Kuejek-ejek dia lagi. Lalu
bergegas menaiki tangga untuk menemui orangtuaku.
Aku bertemu mereka ketika mereka sedang keluar dari kamarku.
"Mom! Dad!” seruku. Aku bergegas mendatangi mereka, ingin memeluk
mereka.
Tapi mereka kira aku cuma ingin masuk ke kamarku.
“Jangan masuk, Gary,” kata ayahku “Kaubiarkan jendelamu terbuka lagi, ada
segerombolan lebah masuk”
“Sebaiknya kau ke sebelah,” kata Mom “Panggil Mr. Andretti. Ia pasti tahu cara
mengeluarkannya.”
Aku tidak tahan lagi. Kupeluk leher ibuku dan kucium beliau. "Mom, aku rindu
sekali pada Mom!”
Mom membalas pelukanku, tapi kulihat ia saling melirik curiga dengan ayahku.
“Gary?" katanya. "Kau baik-baik saja? Kenapa kau rindu padaku padahal
seharian kau di rumah terus?”
Aku cepat-cepat berpikir. “Maksudku, aku rindu ingin berduaan dengan Morn.
Kita perlu melakukan sesuatu bersama-sama.”
Mom meraba dahiku “Tidak Tidak panas,” katanya pada Dad.
“Gary,” kata Dad tidak sabaran. “Maukah kau lari sebentar memanggil Mr.
Andretti? Kalau lebah-lebah itu tidak dikeluarkan, malam ini kau bisa tidak
tidur!”
“Lebah” tanyaku enteng “Hei, tidak masalah. Biar kubereskan”
Kuulurkan tanganku dan kubuka pintu kamar. Tapi Dad keburu mencengkeram
tanganku “Gary” serunya kaget “Kenapa kau ini? Di kamarmu ada lebah! L-E-
B-A-H. Kau tidak ingat ya... kau kan takut lebah”
Kupandangi beliau dan kupikirkan apa yang barusan diucapkannya. Aku
terkejut, sekarang aku sama sekali tidak takut pada lebah! Aku malah sudah
tidak sabar ingin melihat mereka lagi.
“Tenang saja, Dad,” kataku. “Kurasa aku pasti sudah bisa mengatasi rasa
takutku, atau apalah.”
Kubuka pintu dan masuk ke kamar. Tampak gerombolan lebah tadi sedang
mengerumuni piring berisi madu dan biskuit yang ada di tempat tidur.
“Hai, teman-teman!” kataku riang. Sudah waktunya pergi!”
Aku berjalan menuju tempat tidur dan melambai-lambaikan tangan, berusaha
mengusir mereka keluar dari jendela, Beberapa lebah mendengung marah
padaku.
Aku tertawa sendiri. Lalu kuangkat piring berisi biskuit dan madu itu dan
kutumpahkan isinya ke luar jendela. "Ambil sana!” kataku.
Pelan-pelan kugiring mereka keluar dan jendela.
"Selamat tinggal!" seruku. "Terima kasih! Jaga sarang madunya, ya!
Kuusahakan berkunjung. Secepat mungkin!"
Setelah lebah terakhir pergi, aku berbalik dan melihat orangtuaku. Mereka
berdiri diam di pintu, memandangiku, kaku karena kaget.
“Dad?” kataku “Mom?”
Ayahku berkedip dan tampaknya tersadar lagi. Diseberanginya kamar dan
dipegangnya bahuku. "Gary? Kau baik-baik saja?”
“Baik,” jawabku, tersenyum bahagia. “Baik.”
26
PETUALANGAN gila itu terjadi kira-kira sebulan yang lalu.
Sekarang sudah hampir musim gugur. Aku sedang duduk di tempat
kesayanganku di bawah pohon maple tua di halaman belakang, membaca buku
sambil mengunyah keripik taco.
Aku suka sekali kemari. Semua bunga musim gugur bermekaran, dan halaman
rumahku tampak indah sekali.
Beberapa hari terakhir liburan musim panasku kuhabiskan dengan bersantai di
sini. Tentu saja, aku juga sering pergi ke taman bermain.
Kemarin aku bertemu dengan anak perempuan berambut merah yang pernah
kulihat keluar dari kantor Person-to-Person. Kami mengobrol dan aku berhasil
tidak tersandung atau yang semacamnya. Kelihatannya ia baik. Kuharap ia tidak
merencanakan bertukar badan dengan orang lain!
Percakapan kami dan banyak hal lain membuatku sadar bahwa kehidupan
singkatku sebagai lebah benar-benar telah mengubahku.
Pertama-tama, aku jadi menghargai keluargaku. Orangtuaku baik sekali. Dan
adikku lumayan. Untuk ukuran seorang adik.
Dan sekarang, aku tidak takut lagi pada hal-hal yang dulu kutakuti. Kemarin,
aku lewat begitu saja di dekat Maw, Barry, dan Karl. Aku tidak diapa-apakan.
Malah, kalau ingat aku pernah menakut-nakuti mereka, aku hamplr meledak
tertawa.
Aku sama sekali tidak takut lagi pada mereka. Dan aku juga berbeda dalam hal-
hal lain.
Aku sekarang jauh lebih mahir berolahraga, naik sepeda, dan lainnya Dan
sekarang aku jago main skateboard. Aku malah masih mengajar Judy dan
Kaitlyn bermain-main denganku terus. Gail dan Louie juga.
Kemarin dulu, aku bertemu Dirk Davis di taman bermain. Mula-mula aku tidak
mau bicara dengannya. Tapi ternyata ia lumayan baik.
Ia minta maaf padaku. “Maaf, aku pernah mencoba mencuri badanmu,”
katanya. “Tapi aku punya banyak masalah juga. Lebah itu mengacaukan semua
ujian matematikaku di sekolah musim panas”
Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Sekarang Dirk dan aku berteman
Jadi kesimpulannya, hidupku kembali normal.
Aku merasa baik-baik saja, normal.
Sebetulnya aku malah merasa jauh lebih baik daripada sekadar normal
Enak sekali rasanya duduk di halaman belakang sini, membaca dan bersantai,
mencium udara segar, menikmati bunga-bunga.
Mmmmmmm.
Bunga-bunga hollyhock itu menakjubkan.
Maaf, aku harus bangun dan memandangnya dari dekat.
Bunga di dekat tanah itu bagus sekali.
Kurasa aku akan berlutut untuk mencicipinya.
Kau tahu cara menyedot serbuk sari?
Aku tahu cara yang paling baik. Tidak sesulit kelihatannya.
Kerutkan bibirmu dan julurkan lidahmu seperti ini, lihat?
Lalu benamkan wajahmu ke dalam bunga dan sedot semua serbuk sari yang kau
mau.
Cobalah.
Ayo.
Mmmmmmmmmm.
Ayo. Gampang kok Betul!
End
Edit & Convert by: Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu