Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 47 karena adanya kejenuhan sehingga senyawa aktif pada sampel tidak terlarut sempurna. Tingginya konsentrasi sampel tidak selalu menghasilkan diameter zona hambat semakin besar, hal ini dapat dipengaruh oleh beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas suatu senyawa aktif antimikroba selain senyawa aktif berdifusi di dalam media juga dipengaruhi oleh jumlah mikroba yang diujikan, kecepatan tumbuh mikroba uji, dan tingkat sensitifitas mikroba terhadap aktivitas senyawa aktif antimikroba (Erlyn, 2016). Pengujian antibakteri pada penelitian ini menggunakan kontrol positif yaitu amoxicillin, amoxicillin merupakan antibiotik turunan amino penisilin yang bersifat bakterisidal yang dapat mengobati berbagai infeksi pada bagian kulit, telinga, saluran kemih, pneumonia, dan faringitis streptokokus yang disebabkan oleh bakteri Gramnegatif dan Gram positif. Pada penelitian ini menggunakan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri gram negatif dan gram positif. Pemilihan jenis bakteri ini sesuai dengan kontrol positif yang digunakan yaitu antibiotik yang bersifat sprektrum luas sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif dan gram positif. Antibiotik merupakan senyawa kimia yang terbuat dari bakteri atau jamur yang memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme (Mayda dan Lestari, 2019). Mekanisme kerja amoxicillin sebagai antibakteri yang bersifat spektrum yang luas yaitu mengikat enzim transpeptidase pada membran sitoplasma bakteri sehingga terjadi ketidakmampuan enzim mengkatalisis reaksi transpeptidasi dalam membentuk dinding sel, hal ini menyebabkan dinding sel yang terbentuk tidak sempurna, karena ketidaksempurnaan peptidoglikon yang terbentuk maka dinding sel bakteri mudah mengalami kerusakan (Pratiwi, 2017). Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi n-heksan, fraksi etilasetat dan fraksi sisa batang akar kuning terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dapat dilihat ekstrak etanol memiliki aktivitas antibakteri paling aktif kemudian diikuti fraksi sisa, fraksi etilasetat dan fraksi n-heksan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa senyawa aktif batang akar kuning lebih banyak terlarut pada pelarut polar, hal ini dapat dilihat dari hasil rendemen pada fraksi sisa memiliki presentasi rendemen lebih tinggi yaitu sebesar 84,4 %. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Ekstrak etanol batang akar kuning memiliki daya hambat terhadap bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 2,5%, 5% dan 10% dengan diameter zona hambat rata-rata secara berurutan 6,96 mm, 7,11 mm dan 9,18 mm dengan kategori sedang, terhadap bakteri Staphylococcus aureus 8,21 mm, 9,95 mm dan 12,16 mm dengan kategori sedang dan kuat. 2. Fraksi sisa batang akar kuning memiliki aktivitas antibakteri paling kuat terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. UCAPAN TERIMA KASIH Tim peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional atas pendanaan pada penelitian ini. pada Skim PKPT (Penelitian Kerjasama antar Perguruan Tinggi dengan nomor kontrak/SPPK: 191/SP2H/AMD/LT/DRPM/2019 Tanggal 12 November.
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 48 DAFTAR PUSTAKA Alfiah R.R., Siti K. dan Masnur T. (2015). Efektivitas Ekstrak Metanol Daun Sembung Rambat (Mikania Micrantha Kunth) Terhadap Pertumbuhan Jamur Candida albicans. Jurnal Protobiont, 4(1), 52-57. Christiani S., A. Fridianti dan R. Rusli. (2015). Aktivitas Antibakteri Akar Karamunting (Melastoma malabathricum), Prosiding, Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1: Samarinda. Erylin P. (2016). efektivitas Antibakteri Fraksi Aktif Serai (Cymbopogon citrates) Terhadap Bakteri Streptococcus mutans. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 6(2), 111-125. Fahdi F., Harwitavia dan Herviani S. (2019). Uji Aktivitas Antibakteri Dari Ekstrak Etanol Daun Peria Laut (Colubrina asiatica L.) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Jurnal Penelitian Farmasi Herbal, 2(1), 19-23. Furi M., Enda M. dan Zuhriyah. (2015). Isolasi dan Karakterisasi Terpenoid dari Ekstrak Etil Asetat Kulit Batang Meranti Kunyit (Shorea eonica). Jurnal Penelitian Farmasi Indonesia, 3(2), 38-42. Galappathie. (2014). Comparative Antimicrobial Activity of South East Asian Plants Used in Borneo Folkloric Medicine. Journal of Herbal Medicine, 73(10), 2210- 8033. Hanani E., 2015, Analisis Fitokimia, ECG, Jakarta. Ifriana F.N. dan Kumala W. (2018). Pengaruh Ekstrak Biji Pala (Mysristica fragrans Houtt) Sebagai Antibakteri Terhadap Pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa. Jurnal Biomedika dan Kesehatan, 1(3), 172-178. Jawetz M. dan Adelberg. (2005). Mikrobiologi Kedokteran Fakultas Kedokteran edisi pertama, EGC, Jakarta. Jawetz. (2008). Mikrobiologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Edisi 23, EGC, Jakarta. Kuete V., Ango P., Fosto G., Kapche G. dan Dzoyem J. (2011). Antimicrobial Activities of the Methanol Exstract and Compounds from Artocarpus communis (Moraceae). Journal of BMC Complementary and Alternative Medicine, 11(1), 42-46. Maida S. dan Lestari K.A. (2019). Aktivitas Antibakteri Amoksisilin Terhadap Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif. Jurnal Pijar MIPA, 14(3), 189-191. Melodita R. (2011). Identifikasi Pendahuluan Senyawa Fitokimia dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Cincau Hitam (Mesona palustris bl.) Dengan Perlakuan Jenis Pelarut. Skripsi, Universitas Brawijaya, malang. Mujipradana. (2018). Aktivitas Antibakteri Dari Ekstrak Ascidian Herdmania momus Pada Mikroba Patogen Manusia. Jurnal Ilmiah Farmasi, 7(3), 2302-2493. Niasono A.B., Hadri L. Dan Triosono P. (2019). Resitensi Antibiotik Terhadap Bakteri Eschericia coli yang Diisolasi dari Peternakan Ayam Pedaging di Kabupaten Subang Jawa Barat. Jurnal Veteriner, 20(2), 187-195. Noorcahyati, Sulandjari dan Widyatmani S.D. (2016). Asosiasi Akar Kuning (Fibraurea tinctoria Lour.) Dengan Tumbuhan Berpotensi Obat di Samboja, Kalimantan Timur. Jurnal Hutan Tropis, 4(3), 232-239. Nugroho A. (2017). Teknologi Bahan Alam, Lambung Mangkurat University Press, Banjarmasin. 74-75 Petrovska B.B. (2012). Historical Review of Medical Plants Usage. Pharmacognosy Review, 6 (11), 1-5.
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 49 Pratiwi R.H. (2017). Mekanisme Pertahanan Bakteri Patogen Terhadap Antibiotik, Jurnal Pro-life, 4(3), 418-429. Rahmi Y., Darwawi, Mahdi A., Faisal J., Fakhrurazi dan Yudha F. (2015). Identifikasi Bakteri Staphylococcus aureus Pada Preputium dan Vagina Kuda (equus cabailus). Jurnal Medika Veterinaria, 9(2), 154-158. Republik Indonesia. (2000). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 55/MENKES/SK/I/2000 tentang Pengesahan Buku Parameter Standart Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Jakarta. Republik Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 88 tahun 2013 tentang Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku obat Tradisional, Jakarta. Roy M., Long L., Xiaojuan X., Peitu F., Mao Y. dan Jing L. (2018). Lycorie: A Prospective Natural Lead for Anticancer Drug Discovery. Journal of Biomedicine and Pharmacotheraphy, 107(16), 615-624. Salim M., Yahya, Hotnida S., Tanwirotun N. dan Marini. (2016). Hubungan Kandungan Hara Tanah Dengan Produksi Senyawa Metabolit Sekunder Pada Tanaman Duku (Lansium domesticum Corr Var Duku) dan Potensinya Sebagai Larvasida. Jurnal Vektor Penyakit, 10(1), 11-18. Santoso U., Medriana U. dan Mauritz P.M. (2020). Aktivitas Antibakteri dan Antijamur Ekstrak Batang Akar Kuning (Fibraurea chloroleuca Miers) Terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Candida albicans. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada, 20(2), 194-208. Sarfina J., Nurhamidah dan Dewi H. (2017). Uji Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak daun Ricinus communis L. (Jarak Kepyar). Jurnal Pendidikan dan Ilmu Kimia, 1(1), 66-70. Sumampouw O.J. (2018). Uji Sensitivitas Antibiotik Terhadap Bakteri Escherichia coli Penyebab Diare Balita di Kota Manado. Journal of Current Pharmaceutical Sciences, 2(1), 104-110. Supomo, Hayatus S., Eka S.S., Kintoko dan Hardi A.W. (2020). Karakterisasi Parameter Spesifik dan Parameter Non Spesifik Akar Kuning (Fibraurea tinctoria). Jurnal Ilmiah Ibnu Sina, 5(2), 416-425. Supriningrum R., Nurul F. dan Yenni E.P. (2019). Karakterisasi Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak Etanol Daun Putat (Planchonia Valida). Jurnal AI Ulum Sains dan Teknologi, 5(1), 6-12. Tan T.Y.C., June C.L., Norsyaidatul A.M.Y., Bee P.T. dan Ami F.S.M. (2020). Malaysian Herbal Monograph Development and Challenges. Jounal of Herbal Medicine, 23(15), 100380. Utami R., Armon F., Indah P. dan Mustika F. (2017). Penetapan Kadar Berberin dari Ekstrak Etanol Akar dan Batang Sekunyit (Fibraurea tinctoria Lour.) dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 3(2), 115-119. Wongbutdee J. (2009). Phylogical Effect of Berberine, Review article. Thai Pharmaceutical and Health Science Journal, 4(1), 78-83. Zalizar L., Rahayu, Suujono and Nor. (2019). Potency of Fibraurea tinctora Lour. Exstract as Anti-bacterial Agents Towards Pathogenic Bacteria. The 2nd International Conference on Natural Resources and Life Sciences (NRLS). IOP Conf. Series: Earth Environ. Sci. 293 012026.
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 50 PEMANFAATAN EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH ( Hylocereus Polyrizus) DALAM FORMULASI TINTED LIP DAN CHEEK BALM UTILIZATION OF RED DRAGON FRUIT SKIN EXTRACT (Hylocereus Polyrizus) IN FORMULATIN TINTED LIP AND CHEEK BALM Pradea Indah Lukito1*), Youstiana Dwi Rusita1) Program Studi Analisis Farmasi dan Makanan Poltekkes Kemenkes Surakarta *Korespondensi:[email protected] ABSTRAK Konferensi BPOM pada tahun 2020 mengenai temuan kosmetik illegal dan berbahaya yang beredar di Indonesia mencapai lebih dari 10 miliar rupiah. Jumlah kosmetik yang berbaya yang beredar dalam jumlah yang banyak tersebut dapat mempengaruhi kondisi konsumen yang menggunakan. Pemanfaatan limbah kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) dapat diolah menjadi suatu ekstrak yang kaya akan pigmen alami dan berbagai senyawa aktif baik bagi Kesehatan. Tujuan penelitian ini yaitu memformulasikan ekstrak kulit buah naga menjadi suatu bahan pewarna fungsional dalam formula tinted lip dan cheek balm serta menganalisis aktivitas antioksidannya. Variasi formula yaitu formula 1, 2, 3,dan 4 dengan kandungan ekstrak kulit buah naga merah berturut-turut yaitu 0, 5, 10 dan 20%. Uji yang dilakukan meliputi uji organoleptic, uji homogenitas, uji daya oles, uji titik leleh dan uji antioksidan. Hasil uji organoleptis pada formula 1 yaitu bewarna putih, formula 2, 3 dan 4 bewarna magenta terang hingga gelap sesuai tingginya konsentrasi ekstrak. Tekstur semua formula yaitu lembut dan beraroma segar khas grapefruit. Hasil uji homogenitas dari semua formula yaitu homogen. Uji daya oles semua formula memenuhi persyaratan. uji daya oles menempel pada kulit. Hasil uji titik leleh pada formula telah memenuhi persyaratan yaitu titik leleh yang baik berkisar antara 50°C-70°C. Hasil yang diperoleh dari uji antioksidan pada Formula 1,2,3,dan 4 berturut-turut yaitu 2,911 ppm;145,8 ppm; 27,78 ppm; dan 24,51 ppm. Kata kunci : Formula tinted lip and cheek balm, ekstrak kulit buah naga, uji formula fisik, uji antioksidan ABSTRACT The BPOM conference in 2020 regarding the findings of illegal and dangerous cosmetics circulating in Indonesia reached more than 10 billion rupiah. The number of expensive cosmetics that are circulating in large quantities can affect the condition of consumers who use them. Utilization of red dragon fruit peel waste (Hylocereus polyrhizus) can be processed into an extract that is rich in natural pigments and various active compounds that are good for health. The purpose of this study was to formulate
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 51 dragon fruit peel extract into a functional coloring agent in tinted lip and cheek balm preparations and to analyze its antioxidant activity. Variations of formulas are formulas 1, 2, 3, and 4 with the content of red dragon fruit peel extract, respectively, 0, 5, 10 and 20%. The tests carried out included organoleptic tests, homogeneity tests, greasing tests, melting point tests and antioxidant tests. The results of the organoleptic test on formula 1 were white, formulas 2, 3 and 4 were light to dark magenta according to the high concentration of the extract. The texture of all formulas is soft and has a fresh, grapefruit aroma. The results of the homogeneity test of all formulas are homogeneous. Test the greasing power of all formulas meet the requirements. test the ability to stick to the skin. The results of the melting point test on the preparation have met the requirements, namely a good melting point ranging from 50°C-70°C. The results obtained from the antioxidant test in Formula 1,2,3, and 4, respectively, were 2,911 ppm; 145.8 ppm; 27.78 ppm; and 24.51 ppm. Keywords: Tinted lip and cheek balm formula, dragon fruit peel extract, physical preparation test, antioxidant test PENDAHULUAN Buah naga termasuk buah pendatang baru yang cukup popular, hal ini dapat disebabkan oleh penampilannya yang eksotik, rasanya yang manis menyegarkan dan manfaat kesehatan yang dikandungnya. Tanaman buah naga berasal dari Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, sekarang sudah dibudidayakan diberbagai Negara seperti Indonesia. Konsumsi buah naga merah di Indonesia semakin tinggi. Buah naga mulai popular sejak tahun 2000 di Indonesia, dimana dalam satu tanaman biasanya menghasilkan 1 kg buah. Satu hektar tanaman buah naga akan menghasilkan sekitar 6-7 ton buah naga sekali musim panen bahkan dapat mencapai lebih dari 50 ton per tahun dan menghasilkan kulit berkisar 30- 35 % dari buahnya (Kristianto, 2008). Konsumsi buah naga yang terus meningkat, tentunya menghasilkan limbah dari kulitnya, karena kulit buah naga selama ini masih dianggap limbah. Kulit buah naga merah mengandung antioksidan cukup tinggi, sehingga perlu adanya altenatif untuk memanfaatkan kulit buah naga merah. Pemanfaatan yang dapat dilakukan adalah dengan mengekstrak sehingga akan diperoleh ekstrak yang dapat dimanfaatkan sebagai pewarna makanan, kosmetik, dan tekstil. Berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan kandungan kulit buah naga yaitu flavonoid, vitamin A, C, E dan polifenol (Handayani, 2014). Hal ini juga didukung dengan penelitian Noor (2016) bahwa ekstrak kulit buah naga merah memiliki kandungan berupa vitamin C, flavonoid, tannin, alkaloid, steroid dan antosianin. Antosianin merupakan zat warna yang berperan memberikan warna merah dapat dijadikan altenatif pengganti pewarna sintesis yang baik digunakan untuk pewarna alami kosmetik (Handayani, 2012). Undang-Undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 1 ayat 4 menyebutkan bahwa formula farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Kosmetika merupakan bahan atau formula yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital luar) atau gigi dan membrane mukosa mulut, terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan mem[erbaiki bau badan atau melindungi serta memelihara tubuh pada kondisi baik (BPOM No 18 tahun 2015). Produk kosmetik
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 52 sangat diperlukan oleh manusia, khususnya wanita. Kosmetik pada dasarnya terbuat dari bahan dasar yang berkhasiat, bahan aktif ditambah bahan tambahan lain seperti bahan pewarna dan bahan pewangi. Produk – produk tersebut dipakai secara berulang setiap hari, sehingga diperlukan persyaratan aman untuk dipakai (Tranggono, 2007). Tinted lip dan cheek balm merupakan jenis kosmetik dekoratif untuk bibir dan pipi. Beragam jenis kosmetik beredar dipasaran tidak jarang kosmetik tersebut mengandung bahan berbahaya sehingga memberi efek samping bagi wanita seperti iritasi, anemia, kanker dan masalah pernafasan. Bahan berbahaya yang terkandung dalam tinted lip dan cheek balm umumnya adalah pewarna sintetik. Seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan gaya hidup yang back to nature, maka pewarna alami yang dapat digunakan dalam formula tinted lip dan cheek balm dan tinted lip dan cheek balm adalah kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus L). Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pemanfaatan Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus Polyrhizus) dalam Pembuatan tinted lip dan cheek balm”. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini yaitu memformulasikan ekstrak kulit buah naga menjadi suatu bahan pewarna fungsional dalam formula tinted lip dan cheek balm serta menganalisis aktivitas antioksidannya. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif eksperimental dengan pengambilan sampel secara random sampling. Parameter pengujian yang dilakukan meliputi uji mutu fisik (organoleptic, homogenitas, tekstur, daya oles, dan uji titik leleh) serta analisis antioksidan dengan metode spektrofotometri UV-Vis pada 4 variasi formula dengan kandungan ekstrak liofilisat buah naga merah masing-masing 0, 5, 10, dan 20 %. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan formula lip and cheek balm dari ekstrak kulit buah naga merah (Hylocereus Polyrhizus) telah dilakukan di Laboratorium Jurusan Analisis Farmasi Dan Makanan Poltekkes Kemenkes Surakarta. Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental yang meliputi pembuatan sedian tinted lip and cheek balm, pemeriksaan mutu fisik formula yang meliputi uji organoleptis, uji homogenitas, uji daya lekat, uji titik leleh dan uji antioksidan terhadap variasi konsentrasi ekstrak kulit buah naga dalam formula tinted lip and cheek balm yang telah dibuat. 1. Hasil pembuatan formula tinted lip and cheek balm Formula tinted lip and cheek balm dibuat menggunakan bahan Shea Butter, Sunflower Oil, Grapefruit Essensial Oil, White Beeswax dan ekstrak kulit buah naga merah. Formula lip and cheek balm dibuat dengan memodifikasinya formula menjadi 4 variasi formula. Konsentrasi ekstrak kulit buah naga merah yang ditambahkan masingmasing formula 1 (tidak ditambahkan dengan ekstrak), formula 2 (5%), formula 3 (10%) dan formula 4 (20%). Semakin tinggi konsentrasi ekstrak kulit buah naga merah yang ditambahkan warna yang dihasilkan pada lip and cheek balm semakin magenta gelap.
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 53 Gambar 1. Hasil Pembuatan formula Tinted Lip And Cheek Balm Formula tinted lip and cheek balm menghasilkan warna yang berbeda pada tiap formula. Formula 1 bewarna putih karena tidak memiliki kandungan ekstrak kulit buah naga merah, Formula 2 berwarna magenta cerah, Formula 3 berwarna magenta dan Formula 4 berwarna magenta gelap. Warna yang dihasilkan ekstrak kulit buah naga merah yaitu moderat red dan dark moderat pink. Warna ini disebabkan adanya kandungan antosianin yang dipengaruhi oleh pH ekstrak (Saati, 2005). Semakin banyak konsentrasi ekstrak yang ditambahkan maka semakin pekat warna yang dihasilkan. 2. Hasil Uji Fisik Uji mutu fisik yang dilakukan meliputi uji organolepti dengan melakukan pengamatan pada warna, aroma dan tekstur formula, uji homogenitas uji daya oles dan uji titik leleh. Uji fisik dilakukan setelah 1 hari penyimpanan. Berikut hasil uji fisik dari formula tinted lip and cheek balm: Table 1. Hasil uji Fisik Formula Uji organoleptis Uji homogenita s Uji daya oles Uji titik leleh Warna Aroma Tekstur F1 Putih Segar khas grapefruit Lembut Homogen Tidak berwarna, menempel di kulit 57°C F2 Magenta terang Segar khas grapefruit Lembut Homogen Bewarna magenta muda, menempel dikulit 55°C F3 Magenta Segar khas grapefruit Lembut Homogen Bewarna magenta, menempel dikulit 54°C F4 Magenta gelap Segar khas grapefruit Lembut Homogen Bewarna magenta gelap, menempel dikulit 52°C Uji homogenitas bertujuan untuk memastikan bahan-bahan yang digunakan tercampur merata secara homogen pada formula. Homogenitas berpengaruh terhadap
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 54 efektivitas terapi karena berhubungan dengan kadar zat aktif pada saat pemakaian diasumsikan akan sama. Hasil pemeriksaan homodenitas formula tinted lip and cheek balm menunjukkan bahwa formula homogeny setelah penyimpanan selama 1 hari. Hal ini ditunjukkan dengan warna yang merata, tidak terdapat gelembung dan tidak adanya butir-butir kasar pada plastik mika. Gambar 2. Hasil uji homogenitas formula lip and cheek balm Uji daya oles bertujuan untuk memastikan bahwa formula memiliki daya oles yang baik sehingga mudah diaplikasikan pada bibir dan pipi. Uji ini dilakukan dengan masing-masing variasi formula formula tinted lip and cheek balm dioleskan pada punggung tangan dan diamati banyaknya warna yang menempel. Hasil uji daya oles pada formula formula 1 tidak bewarna dan menempel di kulit. Pada formula formula 2, formula 3 dan formula 4 bewarna dan menempel di kulit. Sehingga uji daya oles pada formula F1, F2, F3 dan F4 memiliki daya oles yang baik karena dapat menempel pada kulit tangan dan mampu memberikan efek melembabkan pada kulit tangan. Gambar 4. Hasil uji daya oles formula lip and cheek balm Uji titik leleh dilakukan dengan formula tinted lip and cheek balm ditempatkan dalam kaca arloji kemudian dimasukkan ke dalam oven suhu 50°C, didiamkan kemudian diamati apakah lip and cheek balm sudah mulai meleleh. Setelah itu suhu dinaikkan 1°C dan diamati pada suhu berapa mulai meleleh. Berdasarkan SNI 16-5769-1998 titik leleh yang baik berada di antara 50°C-70°C. Berdasarkan hasil uji titik leleh, diperoleh titik leleh berkisar antara 52°C-57°C. Hal F1 F2 F3 F4
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 55 ini menunjukkan bahwa titik leleh formula telah memenuhi persyaratan yaitu titik leleh yang baik berkisar antara 50°C-70°C. Perbedaan titik leleh antar formula disebabkan karena perbedaan julah ekstrak dan Shea Butter yang ditambahkan, semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan maka titik leleh formula semakin menurun atau rendah. 3. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Pengaruh senyawa antioksidan pada ekstrak kulit buah naga merah yang ditambahakan dalam formula tinted lip and cheek balm dapat diketahui dengan melakukan uji aktivitas antioksidan. Pengujian aktivitas antioksidan formula tinted lip and cheek balm ekstrakkulit buah naga merah dilakukan dengan metode DPPH. Standar yang digunakan dalam penelitian ini adalah standar asam askorbat . Tabel 2. Kurva kalibrasi asam askorbat Konsentra si Absorbansi % Inhibisi Persamaan Regresi Linear IC50(ppm) 0,5 0,525 -2,53 y = 24,428 x – 15,922 R 2 = 0,998 2,698 1 0,467 8,78 2 0,356 30,46 4 0,088 82,81 Persamaan regresi linier tersebut diperoleh dari plot sumbu x dan y, yang disajikan dalam grafik berikut: Gambar 3. Grafik kurva kalibrasi asam askorbat Dari persamaan yang diperoleh maka IC50 pada formula tinted lip and cheek balm yaitu sebagai berikut : Tabel 3. Hasil Aktivitas antioksidan formula tinted lip and cheek balm Formula Rerata Absorbansi Rerata % inhibisi Persamaan Regresi Linear IC50(ppm) F1(0%) 0,208 59,37 y = -6,64x + 69,33 R 2 = 1 2,911 F2(5%) 0,115 77,43 y = -0,19x + 77,72 R 2 = 1 145,8 F3(10%) 0,151 70,5 y = -0,78x + 71,67 R 2 = 1 27,78 F4(20%) 0,21 58,97 y = -0,39x+ 59,56 R 2 = 1 24,51 Berdasarkan hasil uji aktivitas antioksidan asam askorbat diperoleh nilai IC50 sebesar 2,698 ppm. Nilai IC50 pada formula 1 sebesar 2,911 ppm tergolong antioksidan sangat kuat, formula 2 sebesar 145,8 ppm tergolong antioksidan lemah, formula 3
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 56 sebesar 27,78 ppm tergolong antioksidan sangat kuat, formula 4 sebesar 24,51 ppm tergolong antioksidan sangat kuat. Nilai IC50 yang semakin kecil maka aktivitas antioksidannya akan semakin kuat, hal tersebut menunjukkan bahwa sampel memiliki aktivitas antioksidan sangat kuat (Molyneux,2004). Nilai IC yang dihasilkan formula 2, formula 3 dan formula 4 memiliki nilai IC lebih tinggi dibandingkan dengan IC asam askorbat, seharusnya semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka aktivitas antioksidannya juga semakin tinggi. Hal ini mungkin disebabkan karena proses pemanasan saat memformulasikan ekstrak yang menyebabkan rusaknya zat aktif pada ekstrak. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka Ekstrak kulit buah naga merah (Hylocereus Polyrhizus) dapat dimanfaatkan dalam pembuatan sediaan lip and cheek balm. Perbedaan penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga merah mempengaruhi warna yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan maka semakin gelap warna yang dihasilkan, Hasil uji organoleptis warna pada Formula 1,2,3, dan 4 berturut-turut bewarna putih, magenta terang, magenta dan magenta gelap. Formula lip and cheek balm pada ke-empat formula bertekstur lembut, beraroma segar khas grapefruit, homogen sera mempunyai daya oles yang baik karena dapat menempel dikulit. Hasil uji titik leleh pada formula 1, 2, 3, dan 4 berturut-turut yaitu 57, 55, 54 dan 52°C. Hasil uji aktivitas antioksidan Formula 1,2,3, dan 4 berturut-turut 2,911 ppm (aktivitas antioksidan sangat kuat); 145,8 ppm (aktivitas antioksidan sedang); 27,78 ppm (aktivitas antioksidan sangat kuat); dan 24,51 ppm (aktivitas antioksidan sangat kuat) DAFTAR PUSTAKA ATSDR, 1992. Agency for Toxic Substances and Disease Registry. Toxicological Profile for Antimony. U.S. Department of Health and Human Services, Public Health Service, Atlanta, USA. BPOM RI. 2015. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika. Jakarta Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. (1981). Daftar Komposisi Bahan Makanan: Jakarta Handayani, A.P dan A. Rahmawati. 2012. Pemanfaatan Kulit Buah Naga (Dragon Fruit) sebagai Pewarna Alami Makanan Pengganti Pewarna Sintetis. Jurnal Bahan Alam Terbarukan. Vol 1 :19-24 Handayani, S. 2014. Kandungan Kimia Beberapa Tanaman dan Kulit Buah Bewarna Serta Manfaatnya Bagi Kesehatan. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta Herman, 2010. Identifikasi Pewarna Rhodamin Pada Minuman Ringan Tanpa Merk yang Dijual Di Pasar Sentral Kota Makasar. Vol.1, No.1, Mei 2010, Hal 33-36 IARC, International Agency for Research on Cancer, 1990. Chromium, Nickel and welding. Vol. 49. IARC, Lyon, France. Kooyers, TJ., and W.W. (2004). Toxicological aspects and health risk associated with hydroquinone in skin bleaching formula. Nederlands Tijdschrift Voor Geneeskunde, 148, 768-771. Kristianto, 2008. Buah Naga Pembudidayaan di Pot dan di Kebun. Jakarta : Penebar Swadaya
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 57 Molyneux P. 2004. The Use of the stable Free Radical Diphenylpicryl-Hydrazyl (DPPH) for Estimating Antioxidant Activity. Songklanakarin Journal of Science and Technology (26 December 2003): 211-19 Oktaviani, E. P., E. Purwajatiningsih, dan F. S. Pranata. 2014. Kualitas dan Aktivitas Antioksidan Minuman Probiotik dengan Variasi Ekstrak Buah Naga Merah (Hyloreceus polyrhizus). Jurnal Teknobiologi 1(1):1-15 Oktiarni, Dwita, Devi Ratnawati, Desy Zahra Anggraini. 2012. “Pemanfaatan Ekstrak Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus Polyrhizus sp.) Sebagai Pewarna dan Pengawet Alami Mie Basah”. Jurnal Gradient. Vol. 8(2): 819-824 Panjuantiningrum, F. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Naga Merah Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Putih. Tesis Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Park, H., and K.K (2011). Association of blood mercury concentrations with atopic dermatitis in adults: A population-based study in Korea. Environmental Research, 111, 573-578 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republic Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor Hk.03.1.23.07.11.6662 Tahun 2011 Tentang Persyaratan Cemaran Mikrobaa Dan Logam Berat Dalam Kosmetika Retno Iswari Tranggono, Fatma Latifah. 2007. Buku Pegangan Pengetahuan Kosmetik. Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama Retno Iswari Trenggono DR, Fatma Latifa. 2007. Kosmetika Jakarta : PT Gramedia Pustaka Umum Rostamailis, 2005., Perawatan Badan, Kuit Dan Rambut, 120-121, PT Rineka Cipta, Jakarta. Rostamailis. 2005. Penggunaan Kosmetik. Dasar Kecantikan dan Berbusana yang Serasi. Jakarata : PT Rineka Cipta Thyssen, J.P., Johansen, J.D., Menne, TT., 2007. (2007). Contact allergy epidemics and their controls. Contact Dermatitis, 56, 185-195. Tranggono dan Latifah. 2007. Buku Pengangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. Editor : Jhosita Djadjadisastra. Jakarta : Penerbit Pustaka Umum Wahyuni, Rekna. 2011. “Pemanfaatan Kulit Buah Naga Supermerah (Hylocereus Costaricencis) Sebagai Sumber Antioksidan dan Pewarna Alami Pada Pembuatan Jelly”. Jurnal Teknologi Pangan. Vol. 2 No.1, hlm 68-85 Wiedersberg, S., C.S Leopold, and R.H.G (2008). Bioavailability and bioequivalence of topical glucocorticoids, European Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics, 68, 453-466. Wu, Li-Chen, Hsu, Hsiu-Wen, Chen, Yun-Chen, Chiu, Chih-Chung, Lin, Yu-In and Annie Ho, Ja-An. 2006. Antioxidant and antiproliferative activities of red pitaya. Food Chemistry, 95: 319-327 Yulyuswarni. (2018). Formulasi Ekstrak Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus Polyrhizus) sebagai Pewarna Alami dalam Sediaan Lipstick. Jurnal Analis Kesehatan, Vol. 7 No. 1.
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 58 PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI TERHADAP AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN FLAVONOID TOTAL EKSTRAK ETANOL 70% DAUN TANDUI (Mangifera rufocostata Kosterm.) COMPARISON OF EXTRACTION METHODS ON ANTIOXIDANT ACTIVITY AND TOTAL FLAVONOID CONTENT OF 70% ETHANOL EXTRACT OF TANDUI LEAVES (Mangifera rufocostata Kosterm.) Revita Saputri1), Eka Fitri Susiani1) , Zulfa1) , Dewi Gita Ramadhanty1) 1Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Borneo Lestari Banjarbaru, Jl. Kelapa Sawit 8 Bumi Berkat, Kel. Sei. Besar, Kec. Banjarbaru Selatan, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia Email : 1 [email protected] ABSTRAK Tandui (Mangifera rufocostata Kosterm.) merupakan tumbuhan khas dari Kalimantan Selatan yang memiliki potensi sebagai antioksidan. Tumbuhan Tandui mengandung senyawa flavonoid yang diketahui berperan dalam menangkal radikal bebas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui membandingkan metode ekstraksi (maserasi dan sokletasi) terhadap aktivitas antioksidan dan kadar flavonoid total pada ekstrak etanol 70% daun tandui (Mangifera rufocostata Kosterm. Daun tandui diperoleh dari daerah Barabai, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Penentuan kadar flavonoid total dilakukan secara spektrofotometri didasarkan pada kemampuan flavonoid membentuk kompleks dengan AlCl3 sedangkan Aktivitas antioksidan ditentukan menggunakan metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil). Hasil penelitian diperoleh kadar flavonoid total dengan metode maserasi sebesar 1,6849 mg/g kuersetin dan kadar flavonoid total dengan metode sokletasi sebesar 1,4886 mg/g kuersetin. Hasil penelitian aktivitas antioksidan dengan metode maserasi menunjukkan IC50 sebesar 5.126 ppm dan dengan metode sokletasi sebesar 5.739 ppm. Hasil aktivitas antioksidan dan kadar flavonoid total dari ekstrak etanol 70% daun tandui menggunakan metode maserasi lebih tinggi dibandingkan metode sokletasi meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan dilihat dari nilai IC50. Ekstrak etanol 70% daun tandui memiliki potensi sebagai antioksidan alami dan masuk dalam kategori kuat. ABSTRACT Tandui (Mangifera rufocostata Kosterm.) Is a typical plant from South Kalimantan has benefits as an antioxidant. known contain flavonoid compounds that have properties as free-radical scavengers. The Purpose of this study was to comparise extraction methods (maceration and soxhletation) on antioxidant activity and total flavonoids content of 70% ethanol Tandui leaves (Mangifera rufocostata Kosterm.). The sample were Tandui leaves from Barabai, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. The determination of total flavonoid content done by spectrophotometry based on the ability of flavonoids to form complexes with AlCl3 and the antioxidant activity determined using the DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) method. The results of this
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 59 study showed that total flavonoids contetnt by the maceration method was 1,6849 mg/g of quercetin and total flavonoids contetnt by soxhletation method was 1,4886 mg/g of quercetin. The results of Antioxidant activity of IC50 by maceration method was 5.126 ppm and by soxhletation method was 5.739 ppm. It shows that the antioxidant activities and total flavonoids content of 70% ethanol extract tandui leaves using maceration method has higher than soxhletation method, although it has no significant difference antioxidant activity compared maceration method and soxhletation methods seen from the IC50 value. The 70% ethanol extract tandui leaves has the potential as a natural antioxidant and it can be classified as very strong antioxidant. Keywords : Flavonoids content, Antioxidant, Maceration, Soxhletation, Tandui Leaves (Mangifera rufocostata Kosterm.) PENDAHULUAN Tumbuhan Tandui (Mangifera rufocostata Kosterm.) yang merupakan tumbuhan khas dari Kalimantan Selatan yang termasuk dalam genus Mangifera keluarga Anacardiaceae. Daun tandui yang diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70%, memiliki aktivitas antioksidan dengan IC50 sebesar 60,7042 ppm (Saputri et al., 2019). Aktivitas antioksidan tersebut diduga berkaitan erat dengan adanya senyawa flavonoid yang terkandung pada daun tandui. Hasil identifikasi kandungan senyawa pada ekstrak etanol 70% daun tandui (M. rufocostata) positif mengandung senyawa flavonoid (Rachman, 2018; Saputri et al., 2019). Flavonoid merupakan salah satu senyawa polifenol yang mempunyai sifat antioksidan dengan mekanisme kerja menyumbangkan satu atau lebih elektron sehingga dapat meredam radikal bebas (Dewi et al., 2018). Metode ekstraksi yang digunakan pada proses ekstraksi dapat berpengaruh terhadap senyawa yang terkandung dalam ekstrak (Nurhasnawati, 2017). Metode ekstraksi akan menentukan banyaknya zat yang dapat tersari. Maserasi dan sokletasi merupakan 2 metode yang lazim digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan metode ekstraksi maserasi dengan sokletasi terhadap aktivitas antioksidan dan kadar flavonoid total dari ektsrak etanol 70% daun tandui. Aktivitas antioksidan dianalisi menggunakan metode DPPH (2,2-Diphenyl-1-Picrylhydrazil) dan penentuan kadar flavonoid total pereaksi AlCl3 dengan pembanding kuersetin. METODE PENELITIAN Bahan Alumunium klorida (AlCl3) (Merck®), Asam asetat anhidrat (Merck®), asam klorida (Merck®), asam sulfat (Merck®), aquadest (Onemed®), daun tandui (Mangifera rufocostata Kosterm.), DPPH (2,2 diphenyl – 1 - picylhydrazyl) (Merck®), etanol 70% (Onemed®), FeCl3 (Arkitos®), gelatin 1% (Oxoid®), kloroform (Merck®), kuersetin (Sigma aldrich®), metanol p.a (Emsure®), natrium asetat (Merck®), NaCl (Merck®), dan serbuk magnesium (Merck®). Pembuatan Sampel Tumbuhan Tandui (M. rufocostata) diperoleh Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Determinasi dilakukan di Laboratorium Dasar FMIPA Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru dan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor. Pembuatan Ekstrak Pembuatan ekstrak dengan metode maserasi menggunakan serbuk simplisia daun Tandui yang ditimbang sebanyak 200 g, ditambahkan dengan pelarut etanol 70%
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 60 sebanyak 1 L dengan perbandingan 1:5. Filtrat dipekatkan hingga diperoleh ekstrak kental dengan bobot yang tetap. Bobot ekstrak yang dihasilkan sebesar 55,3989 g dengan persentase rendemen ekstrak sebesar 27,6995%. Pembuatan ekstrak menggunakan metode sokletasi menggunakan serbuk simplisia sebesar 25 gram yang disokletasi pada suhu 60-70°C sebanyak 25-30 siklus. Hasil ekstraksi dipekatkan hingga menjadi ekstrak kental dengan bobot yang tetap. Bobot ekstrak yang diperoleh sebesar 14,1052 g dengan persentase rendemen ekstrak sebesar 18,8069%. Skrining Fitokimia Skrining fitokimia pada ekstrak etanol 70% daun Tandui yang dilakukan meliputi uji senyawa alkaloid, fenol, flavonoid, saponin, steroid, tanin, dan triterpenoid. Penentuan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol 70% Daun Tandui dengan Metode DPPH A. Pembuatan Reagen Larutan DPPH Larutan DPPH dibuat dengan konsentrasi 0,4 mM dalam pelarut metanol p.a. larutan DPPH disimpan dalam wadah yang terlindung dari cahaya matahari. B. Panjang Gelombang maksimum 1 mL larutan DPPH 0,4 mM ditambahkan 4 mL metanol p.a. kemudian diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 450- 650 nm (Musa et al., 2016; Ulfah, 2016; Putri et al., 2019). C. Penentuan Aktivitas Antioksidan Ekstrak etanol 70% Daun Tandui Ekstrak etanol 70% daun tandui yang berasal dari metode ekstraksi maserasi dan sokletasi, masing-masing dibuat dalam seri konsentrasi 2, 4, 6, 8, 10 ppm. Masingmasing konsentrasi larutan uji dari masing-masing metode ekstraksi dipipet sebanyak 4 mL dan ditambahkan larutan DPPH 0,4 mM sebanyak 1 mL lalu dihomogenkan dan dibiarkan selama 20 menit dalam tabung reaksi yang telah dilapisi aluminium foil. (Mulangsri et al, 2017; Sutomo et al., 2017; Budikafa et al., 2019). Serapan diukur pada panjang gelombang maksimum dengan spektrofotometer UV-Vis. D. Penentuan Aktivitas Antioksidan Pembanding Kuersetin Kuersetin ditimbang sejumlah tertentu kemudian di encerkan hingga diperoleh seri konsentrasi yaitu 1, 2, 3, 4, 5 ppm (Saputri et al., 2019). Larutan kuersetin dalam berbagai konsentrasi masing-masing dipipet sebanyak 4 mL kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi yang dilapisi aluminium foil. Masing-masing tabung ditambahkan larutan DPPH 0,4 mM sebanyak 1 mL kemudian dikocok dan didiamkan selama 20 menit di tempat gelap. Serapan diukur menggunakan spektrofotometer UVVis pada panjang gelombang maksimum yang telah ditetapkan (Mulangsri et al, 2017; Sutomo et al., 2017; Budikafa et al., 2019). Penentuan Flavonoid Total A. Penentuan panjang gelombang maksimum Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan cara diambil sebanyak 0,5 mL larutan kuersetin 50 ppm yang ditambahkan dengan aquadest sebanyak 2,8 mL, metanol sebanyak 1,5 mL, AlCl3 10% sebanyak 0,1 mL dan 0,1 mL natrium asetat 1 M yang didiamkan selama 30 menit dan dilakukan pembacaan gelombang maksimum dengan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 350-450 nm (Indradi et al., 2017). B. Penentuan kurva baku kuersetin
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 61 Penentuan kurva baku kuersetin dilakukan menggunakan larutan seri kadar kuersetin sebesar 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm. Masing-masing larutan seri diambil sebanyak 0,5 mL yang ditambahkan dengan aquadest sebanyak 2,8 mL, metanol sebanyak 1,5 mL, AlCl3 10% sebanyak 0,1 mL dan ditambahkan 0,1 mL natrium asetat 1M yang didiamkan selama 30 menit dan dilakukan pembacaan absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum (Indradi et al., 2017). C. Penentuan flavonoid total Masing-masing ekstrak etanol 70% daun Tandui dengan metode maserasi dan sokletasi ditimbang sebanyak 10 mg kemudian dilarutkan dalam 10 mL methanol p.a. selanjutnya masing-masing larutan sampel diambil sebanyak 0,5 mL kemudian ditambahkan dengan aquadest sebanyak 2,8 mL, metanol sebanyak 1,5 mL, AlCl3 10% sebanyak 0,1 mL dan natrium asetat 1M sebanyak 0,1 mL. Didiamkan selama 30 menit dan dilakukan pembacaan absorbansi (Indradi et al., 2017). Analisis Data Aktivitas antioksidan pada sampel ditentukan oleh besarnya hambatan serapan radikal DPPH dari perhitungan persentase (%) inhibisi serapan DPPH dengan menggunakan rumus: %Inhibisi = Abs.Blanko–Abs.Sampel x 100% Abs.Blanko Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai IC50 dari persamaan regresi yang telah didapat. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol 70% Daun Tandui (Mangifera rufocostata Kosterm.) Tabel 1. Data Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol 70% Daun Tandui (Mangifera rufocostata Kosterm.) No. Jenis Uji Pereaksi Maserasi Sokletasi Keterangan 1. Alkaloid Dragendoff (-) (-) Tidak terbentuk endapan jingga Mayer (-) (-) Tidak terbentuk endapan putih-kekuningan Wagner (-) (-) Tidak terbentuk endapan cokelat-kemerahan 2. Flavonoid Serbuk Mg + HCl pekat + Amilalkohol (+) (+) Terbentuk warna merah, jingga/kuning pada lapisan amilalkohol 3. Fenol FeCl3 3% (+) (+) Terbentuk warna hitamhijau kebiruan 4. Saponin Aquadest + HCl 2N (+) (+) Terbentuk busa/buih yang stabil selama 10 menit setelah penambahan HCl 2N 5. Tanin Aquadest + Gelatin 1% dalam NaCl (+) (+) Terbentuk endapan putih 6. Steroid dan Triterpenoid Pereaksi LiebermanBuchard (-) (-) Tidak terbentuk warna biru-hijau atau cincin violet/kecoklatan Keterangan: (+) = mengandung senyawa uji; (-) = tidak mengandung senyawa uji.
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 62 Panjang Gelombang (nm) Sampel Konsentrasi (ppm) Rerata % Inhibisi ± SD IC50 (ppm) 514 Kuersetin Ekstrak Maserasi Ekstrak Sokletasi 1 2 3 4 5 2 4 6 8 10 2 4 6 8 10 18,112 ± 0,127 31,462 ± 0,073 49,149 ± 0,320 71,896 ± 0,073 89,753 ± 0,073 27,965 ± 0,134 43,018 ± 0,067 57,448 ± 0,067 69,583 ± 0,134 80,902 ± 0,375 22,559 ± 0,134 37,650 ± 0,067 53,870 ± 0,067 66,316 ± 0,178 78,802 ± 0,134 2,556 5,126 5,739 Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Tabel 2. Hasil Uji Kuantitatif Ekstrak Etanol 70% Daun Tandui (Mangifera rufocostata Kosterm.) Hasil Penentuan Flavonoid Total Ekstrak Etanol 70% Daun Tandui Tabel 3. Kadar Flavonoid Total Ekstrak Etanol 70% Daun Tandui Metode Maserasi Sampel Absorbansi Sampel QE (b%/b) QE (b%/b) ± SD Ekstrak Maserasi 0,295 0,278 0,289 1,7467 1,6096 1,6983 1,6849 ± 0,06953 Tabel 4. Kadar Flavonoid Total Ekstrak Etanol 70% Daun Tandui Metode Sokletasi Sampel Absorbansi Sampel QE (b%/b) QE (b%/b) ± SD Ekstrak Sokletasi 0,275 0,281 0,233 1,5854 1,6338 1,2467 1,4886 ± 0,210913
63 PEMBAHASAN Skrining fitokimia merupakan uji dalam tahap pendahuluan untuk memberi gambaran dari golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak dengan melihat reaksi pengujian warna. Hasil skrining fitokimia ekstrak etanol 70% daun Tandui seperti pada tabel I. menunjukkan positif terhadap senyawa flavonoid, tanin, saponin, dan fenol. Uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol 70% daun Tandui hasil maserasi dan sokletasi dilakukan dengan menggunakan metode penangkapan radikal DPPH yang dipilih karena lebih efektif dan efisien (Maesaroh et al, 2018). Prinsip dari metode ini adalah adanya donasi atom hidrogen (H˙ ) dari substansi yang diujikan kepada radikal DPPH menjadi senyawa non radikal diphenyl picrylhydrazine yang ditunjukkan oleh perubahan warna. Perubahan warna yang terjadi adalah perubahan warna dari ungu menjadi kuning, dimana intensitas perubahan warna DPPH berbanding lurus dengan aktivitas antioksidan untuk meredam radikal bebas tersebut (Rahmawati et al., 2015). Kuersetin digunakan sebagai pembanding karena merupakan senyawa golongan flavonoid yang bersifat sebagai antioksidan dan terkandung pada genus Mangifera (Kanwal et al., 2010; Nganggu, 2016). Persamaan regresi linier pada pembanding kuersetin yaitu y = 18.372x – 3.0401, persamaan regresi linier pada ekstrak dengan metode maserasi diperoleh yaitu y = 6,6219x + 16,052 dan persamaan regresi linier pada ekstrak dengan metode sokletasi diperoleh yaitu y = 14,115x + 9,4943. Hasil uji aktivitas antioksidan pada kuersetin tergolong sangat kuat dengan nilai IC50 sebesar 2,889 ppm. Nilai IC50 dari ekstrak hasil dari metode maserasi adalah sebesar 5,126 ppm dan nilai IC50 dari daun Tandui hasil ekstraksi dengan metode sokletasi adalah 5,739 ppm. Berdasarkan nilai IC50 yang diperoleh menunjukkan bahwa metode maserasi maupun metode sokletasi tidak terdapat perbandingan/perbedaan yang signifikasn terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak etanol 70% daun Tandui dan termasuk dalam antioksidan yang sangat kuat. Penetapan kadar flavonoid total ekstrak etanol 70% daun Tandui (M. rufocostata) menggunakan senyawa pembanding atau standar yaitu kuersetin. kuersetin merupakan flavonoid golongan flavonol yang memiliki gugus keto pada atom C-4 dan juga gugus hidroksil pada atom C-3 dan C-5 yang bertetangga (Sari & Ayuchecaria, 2017). Pada prosennya, penambahan larutan AlCl3 membentuk kompleks yang stabil dengan gugus ortohiroksil pada cincin A- atau B- dari senyawa-senyawa flavonoid (Haeria et al., 2016). Panjang gelombang maksimum yang didapatkan pada penetapan kadar flavonoid total adalah 440 nm. Persamaan regresi linier yang diperoleh dari hasil pengukuran absorbansi larutan standar pada berbagai konsentrasi kurva baku yaitu y = 0,0124x + 0,0784 dengan nilai koefesien korelasi (r) sebesar 0,9985. Hasil persentase rata-rata kadar flavonoid yang didapatkan dari ekstrak etanol 70% daun tandui metode maserasi sebesar 1,6849 (b%/b) dan hasil metode sokletasi sebesar 1,4886 (b%/b) dapat lihat pada tabel II dan tabel III. Gambar 1. Panjang Gelombang Maksimum kuersetin pada Pada Penetapan Kadar Flavonoid Total Hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar flavonoid total pada metode maserasi lebih besar dibandingkan metode sokletasi. Hasil yang didapatkan berbeda dengan penelitian Rosita 0.3 350 380 410 440 470 Absorbansi Panjang Gelombang (nm) (440 nm)
64 et al (2017), dimana ekstrak etanol 95% Daun Binjai (Mangifera caesia) yang merupakan satu genus dengan Tandui menunjukkan kadar flavonoid total dengan metode sokletasi lebih besar dibandingkan dengan metode maserasi (78,1 µg/mg > 30,3 µg/mg. Perbedaan hasil tersebut diduga akibat adanya pemanasan pada proses sokletasi sehingga mempengaruhi kadar flavonoid pada daun Tandui. Menurut Sa’adah et al., (2017) proses pemanasan dapat mengakibatkan penurunan kadar total flavonoid sebesar 15-78%. Oleh karena itu, diduga senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun Tandui tidak tahan terhadap pemanasan serta proses sokletasi yang tidak maksimal. Namun diduga, aktivitas antioksidan yang sangat kuat dari ekstrak etanol 70% daun Tandui berkaitan dengan adanya senyawa flavonoid yang terkandung didalamnya. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa 1. Ekstrak etanol 70% daun Tandui (Mangifera rufocostata Kosterm.) memiliki kandungan senyawa flavonoid, tanin, saponin, dan fenol. 2. Aktivitas antioksidan dari ekstrak etanol 70% daun Tandui (Mangifera rufocostata Kosterm.) yang diekstraksi dengan metode maserasi dan sokletasi termasuk dalam kategori sangat kuat dengan nilai IC50 masing-masing sebesar 5,126 ppm dan 5,739 ppm, sehingga metode ekstraksi sokletasi dan maserasi tidak memberikan perbandingan/perbedaan yang signifikan terhadap aktivitas antioksidan. 3. Hasil kadar flavonoid total ekstrak etanol 70% daun Tandui dengan metode maserasi diperoleh rata-rata sebesar 16,8494 mg/QE g dengan persentase 1,6849 (b%/b) dan hasil kadar flavonoid dengan metode sokletasi rata-rata sebesar 14,8870 mg/QE g dengan persentase sebesar 1,4886 (b%/b). DAFTAR PUSTAKA Ahmad, A., R. Juwita, S. A. D. Ratulangi, A. Maik. 2015. Penetapan Kadar Fenolik dan Flavonoid Total Ekstrak Metanol Buah dan Daun Patikala (Etlingera elatior (Jack) R.M.SM). Pharm Sci Res. 2(1): 1-11 Budikafa, M. J., Rumiyati, S. Riyanto, A. Rohman. 2019. 2,2’-Diphenyl-1picrylhydrazyl and 2,2’-azinobis-(3-ethylbenzothiazoline-6-sulfonic acid) Scavenging Assay of Extract and Fractions of Rambutan (Nephelium lappaceum L.) Seed. J. Pharm. Sci. 18 (2): 145-152. Dewi, S. R., N. Ulya., & B. D. Argol. 2018. Kandungan Flavonoid dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Pleurotus ostreatus. Jurnal Rona Teknik Pertanian. 11(1): 1-11. Haeria, H., & A. T. U. D. Pine. 2016. Penentuan Kadar Flavonoid Total dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Bidara (Ziziphus spina-christi L.). Journal of Pharmaceutical and Medicinal Sciences. 1(2): 57-62. Indradi, R. B. I. Fidrianny, & K. R. Wirasutisna. 2017. DPPH Scavenging Activities and Phytochemical Content of Four Asteraceae Plants. International Journal of Pharmacognosy and Phytochemical Research. 9(6): 755-759. Jin, L., Y. Zhang, L. Yan, Y. Guo, L. Niu. 2012. Phenolic Compounds and Antioxidant Activity of Bulb Extracts of Six Lilium Species Native to China. Molecules. 17: 9361- 9378. Khairiah, K., I. Taufiqurrahman, D. K. T. Putri. 2018.Antioxidant Activity Test of Ethyl Acetate Fraction of Binjai (Mangifera caesia) Leaf Ethanol Extract. Dental Journal. 51 (4): 164-168.
65 Kanwal, Q., H. Hussain, H. L. Siddiqui, A. Javaid. 2010. Antifungal Activity of Flavonoid Isolated from Mango (Mangifera indica L.) Leaves. Natural Product Research. 24 (20): 1907-1914. Maesaroh, K., D. Kurnia, J. A. Anshori. 2018. Perbandingan Metode Uji Aktivitas Antioksidan DPPH, FRAP dan FIC Terhadap Asam Askorbat, Asam Galat dan Kuersetin. Chimica et Natura Acta. 6 (2): 93-100. Mulangsri, D. A. K., A. Budiarti, E. N. Saputri. 2017. Aktivitas Antioksidan Fraksi Dietileter Buah Mangga Arumanis Mangifera indica L.) dengan Metode DPPH. Jurnal Pharmascience. 4 (1): 85-93. Musa, K.H., A. Abdullah, A. AlHaiqi. 2016. Determination of DPPH Free Radical Scavenging Activity: Application of Artificial Neural Networks. Food Chemistry. 194: 705-711. Nganggu, Y. P. H. 2016. Uji Aktivitas Antioksidan Menggunakan Metode Radikal DPPH (1,1-Difenil-2-Pikrilhidrazil) Dan Penetapan Kadar Fenolik Total Fraksi Etil Asetat Ekstrak Etanol Daun Benalu Scurrula ferruginea (Jack) Danser pada Tanaman Tabebuia aurea (Manso) Benth. & Hook. F. Ex. S. Moore. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Nurhasnawati, H., Sukarmi, F. Handayani. 2017. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan Sokletasi Terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Jambu Bol (Syzygium malaccense L.). Jurnal Ilmiah Manuntung. 3 (1): 91-95. Purwaningsih, S. 2012. Aktivitas Antioksidan dan Komposisi Kimia Keong Matah Merah (Cerithidea obtusa). Ilmu Kelautan. 17 (1): 39-48. Putri, A.D., I. Taufiqurrahman, N. Dewi. 2019. Antioxidant Activity Of Binjai Leaves (Mangifera caesia) Ethanol Extracts. Jurnal Kedokteran Gigi. 4 (1): 55-59. Rachman, G.M. 2018. Studi Farmakognostik Simplisia Daun dan Kulit Batang Tandui (Mangirefa Rufocostata Kosterm.) Asal Barabai Kalimantan Selatan. Skripsi. Program Studi Sarjana Farmasi, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Borneo Lestari, Banjarbaru. (Tidak dipublikasikan). Rahmawati, A. Muflihunna, L. M. Sarif. 2015. Analisis Aktivitas Antioksidan Produk Sirup Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Dengan Metode DPPH. Jurnal Fitofarmaka Indonesia. 2 (2): 97-101. Rahmiyani, I. & L. Nurdianti. 2016. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Mangga Mangifera indica L. Var. Gedong Menggunakan Metode DPPH. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. 16 (1): 17-23. Rosita, J.M., I. Taufiqurrahman, & Edyson. 2017. Perbedaan Total Flavonoid Antara Metode Maserasi dengan Sokletasi pada Ekstrak Daun Binjai (Mangifera caesia). Dentino Jurnal Kedokteran Gigi. 1(1): 100-105. Senja, R. Y., E. Issusilaningtyas, A. K. Nugroho, E. P. Setyowati. 2014. The Comparison of Extraction Method And Solvent Variation on Yield And Antioxidant Activity of Brassica oleracea L. var. capitata f. rubra Extract. Traditional Medicine Journal. 19 (1): 43-48. Sa`adah, H., H. Nurhasnawati., V. Permatasari. 2017. Pengaruh Metode Ekstraksi Terhadap Kadar Flavonoid Ekstrak Etanol Umbi Bawang Dayak (Eleutherine Palmifolia (L.) Merr) Dengan Metode Spektrofotometri. Borneo Journal of Pharmascientech. 1(1): 1- 9. Sari, A. K & N. Ayuchecaria. 2017. Penetapan Kadar Fenolik Total Dan Flavonoid Total Ekstrak Beras Hitam (Oryza Sativa L.) Dari Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina. 2(2): 327-335.
66 Saputri, R., T.M.R. Melati, Fitriyanti. 2019. Antioxidant Activity of Ethanolic Extract from Tandui Leaves (Mangifera rufocostata Kosterm.) by DPPH Radical Scavenging Method. Borneo Journal of Pharmacy. 2 (2): 114-118. Supriatna, D., Y. Mulyani, I. Rostini, M. U. K. Agung. 2019. Aktivitas Antioksidan, Kadar Total Flavonoid dan Fenol Ekstrak Metanol Kulit Batang Mangrove Berdasarkan Stadia Pertumbuhannya. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 10 (2): 35-42. Sutomo, S. Wahyuono, E.P. Setyowati, S. Rianto, A. Yuswanto. 2014. Antioxidant Activity Assay of Extracts and Active Fractions of Kasturi Fruit (Mangifera casturi Kosterm.) Using 1,1Diphenyl-2-Picrylhidrazyl Method. Journal of Natural Products. 7: 124-130. Ulfah, S. 2016. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Rambutan (Nephelium lappaceum Linn.) dengan Metode DPPH (2,2-Difenil-1Pikrilhidrazil). Skripsi. Universitas Islam Negeri
67 UJI HEDONIK BISKUIT BEKATUL (Rice bran) DENGAN PEWARNA ALAMI SECANG (Caesalpinia sappan L) HEDONIC TEST OF BEKATUL (Rice bran) BISCUIT WITH SECANG (Caesalpinia sappan L) NATURAL DYES Indri Kusuma Dewi 1), Riska Nur Aini 2*) Jurusan Farmasi dan PUI Pujakesuma Poltekkes Kemenkes Surakarta, Indonesia Jurusan Jamu Poltekkes Kemenkes Surakarta, Indonesia e-mail: [email protected] ABSTRAK Biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari adonan lunak, relatif renyah bila diptahkan, penampang potongnya bertekstur padat, dan biasanya terbuat dari tepung terigu yang melalui proses pemanasan dan pencetakan. Bekatul (Rice bran) adalah lapisan terluar dari beras yang terlepas saat proses penggilingan gabah (padi) atau hasil samping penggilingan padi yang terdiri dari lapisan aleuron, endosperm dan germ, dari penggilingan padi dihasilkan beras kusam dan sekam. Beras kusam akan disosoh dua kali, penyosohan awal menghasilkan dedak dan penyosohan kedua menghasilkan bekatul. Secang merupakan tanaman yang sudah lama banyak digunakan sebagai obat tradisional. Adanya komponen brazilin memberikan warna spesifik dari kayu secang yaitu warna merah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hasil uji hedonik biskuit bekatul (Rice bran) dengan pewarna alami secang (Caesalpinia sappan L). Metode yang digunakan adalah observasional dengan rancangan penelitian kuantitatif. Hasil uji hedonik warna panelis menyukai formula 1 dengan nilai sebesar (73,33%), menyukai rasa pada formula 1 dan 2 dengan nilai sebesar (46,67%), menyukai bau pada formula 1 dengan nilai sebesar (46,67%), menyukai bentuk pada formula 1 dan 3 dengan nilai sebesar (53,33%). Kata kunci: Bekatul, biskuit, pewarna secang, hedonik ABSTRACT Biscuits are a kind of food made from soft dough that would be relatively crunchy when it crushed. It has a densely textured cross-section and usually made from wheat flour through a heating and molding process. Bekatul (Rice bran) is the outermost layer of rice released during the rice milling process or can be described as a by-product of rice milling, consisting of layers of aleurone, endosperm, and germ from rice milling resulting in dull rice and husks. Dull rice will be polished twice, the first will produces “dedak” and the second produces bekatul (Rice bran). Secang is a plant that has long been used as traditional medicine. Secang wood has a red hue due to the presence of a brazilin component. The purpose of this study was to determine the hedonic test results of bekatul (Rice bran) biscuits with natural dye secang (Caesalpinia sappan L). The observational method is used with a quantitative research design. The results of the hedonic color test, the panelists liked formula 1 with a value of (73.33%), liked the taste in formulas 1 and 2 with a value of (46.67%), liked the smell in formula 1 with a value of (46.67%), liked the shape in formulas 1 and 3 with a value of (53.33%). Keywords: Rice Bran, Biscuit, Secang Natural Dyes, Hedonic
68 PENDAHULUAN Biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu yang melalui proses pemanasan dan pencetakan. Dalam syarat mutu biskuit, gizi yang terkandung dalam biskuit adalah air maksimal 5%, protein minimal 9%, Karbohidrat minimal 70%, Abu maksimal 1,6%, serat maksimal 0,5 %, Kalori minimal 40 kkl/100 gr, logam berbahaya tidak ada, bau, rasa, warna normal, bahan – bahan biskuit perlu persyaratan tertentu seperti aromannya sedap, mampu menghasilkan tekstur yang baik serta tidak menghasilkan reaksi pencoklatan yang tidak diinginkan (Pancawati, 2006). Kemajuan teknologi memiliki peran dalam pengembangan biskuit yang bervariasi. Pengembangan dapat dilakukan dengan menambakan bahan-bahan yang memiliki nilai gizi seperti bekatul. Bekatul atau rice bran banyak mengandung komponen nilai gizi dan nutrisi setelah diolah menjadi bubuk bekatul yang halus dan diproses secara higienis. Bekatul atau rice brand memiliki kandungan seperti karbohidrat, protein, mineral, lemak, vitamin B kompleks (B1, B2, B3, B5, B6 dan B15), inositol, fitat, asamferulat, gamaorizanol, fitosterol, tokorienol, asam amino, asam lemak tak jenuh, dan serat (Jaelani, 2014). Hasil biskuit yang didapatkan selanjutnya perlu dilakukan uji hedonik. Uji hedonik merupakan uji untuk mengetahui tingkat kesukaan terhadap produk minuman jamu instan yang terdiri dari warna, bau, bentuk, dan rasa (Dewi dkk., 2016). METODE Penelitian dilakukan di Laboratorium Jurusan Jamu Poltekkes Kemenkes Surakarta pada bulan April - Juni 2021. Bahan baku yang digunakan adalah tepung bekatul, telur, margarine, gula halus, tepung terigu, vanili, soda kue, dan ekstrak secang. Peralatan yang digunakan adalah oven, loyang, cetakan, baskom, spatula, timbangan analitik, dan saringan. Pembuatan ekstrak secang dilakukan dengan metode rebusan. Proses pembuatan ekstrak secang di awali dengan menimbang 250 gram kayu secang dan dimasukkan dalam 150ml air yang sudah mendidih. Kemudian diaduk hingga air berubah warna menjadi merah. Pembuatan biskuit bekatul dengan pewarna alami secang yaitu telur, gula, margarine, soda kue dan vanili sesuai dengan yang telah diformulaskan kemudian dihomogenkan menggunakan mixer selama 3 menit. Setelah homogen, ditambahkan tepung bekatul, tepung terigu dan ekstrak secang dengan formulas yang telah diformulasikan diaduk hingga tercampur seluruhnya. Kemudian dicetak dan dipanggang ke dalam oven pada suhu 160oC selama 40 menit. Biskuit yang dihasilkan dilakukan uji tingkat kesukaan meliputi warna, bau, bentuk, dan rasa. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji hedonik biskuit bekatul dengan pewarna alami secang terdapat pada tabel 1 formula 1, tabel 2 formula 2, dan tabel 3 formula 3. Tabel 1. Hasil Uji Hedonik Biskuit Bekatul dengan Pewarna Alami Secang Formula 1 No. Indikator Sangat tidak suka (%) Kurang suka (%) Suka (%) Sangat suka (%) Total (%) 1. Warna 6,67 20 73,33 0 100 2. Rasa 0 53,33 46,67 0 100 3. Bau 6,67 26,67 46,67 20 100 4. Bentuk 0 20 53,33 26,67 100
69 Tabel 2. Hasil Uji Hedonik Biskuit Bekatul dengan Pewarna Alami Secang Formula 2 No. Indikator Sangat tidak suka (%) Kurang suka (%) Suka (%) Sangat suka (%) Total (%) 1. Warna 6,67 33,33 60 0 100 2. Rasa 0 53,33 46,67 0 100 3. Bau 13,33 26,67 33,33 26,67 100 4. Bentuk 0 20 33,33 46,67 100 Tabel 3. Hasil Uji Hedonik Biskuit Bekatul dengan Pewarna Alami Secang Formula 3 No. Indikator Sangat tidak suka (%) Kurang suka (%) Suka (%) Sangat suka (%) Total (%) 1. Warna 6,67 33,33 53,33 6,67 100 2. Rasa 0 46,67 40 13,33 100 3. Bau 6,67 33,33 33,33 26,67 100 4. Bentuk 0 13,33 53,33 33,33 100 Uji hedonik merupakan sebuah pengujian dalam analisa sensori organoleptik yang digunakan untuk mengetahui besarnya perbedaan kualitas diantara beberapa produk sejenis dengan memberikan penilaian atau skor terhadap sifat tertentu dari suatu produk dan untuk mengetahui tingkat kesukaan dari suatu produk. Tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik, misalnya sangat suka, suka, agak suka, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka (Putri dkk., 2018). Uji hedonik dilakukan terhadap tampilan fisik biskuit bekatul meliputi warna, bau, rasa, bentuk kepada responden tidak terlatih yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan berusia 17 tahun berjumlah 15 panelis di Dukuh Salakan RT 10 / RW 01, Salakan, Teras, Boyolali. Panelis tidak terlatih terdiri dari sekelompok yang berkemampuan rata-rata dan tidak terlatih secara formal, tetapi mempunyai kemampuan untuk membedakan dan mengkomunikasikan reaksi penilaian hedonik yang diujikan (Ayustaningwarno, 2014). Hasil uji hedonik pada biskuit bekatul dengan pewarna alami secang, menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai warna biskuit formula 1 tanpa penambahan pewarna secang dengan nilai 73,33% dibandingkan dengan biskuit formula 2 yang diberi tambahan pewarna secang sebanyak 15gram dengan nilai 60% dan formula 3 yang diberi tambahan pewarna secang sebanyak 20gram dengan nilai 53,33% pada skala suka. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Azliani dkk. (2018) yang menyatakan bahwa penambahan 4% ekstrak secang pada kue cubit paling disukai oleh panelis dibandingkan dengan penambahan ekstrak secang 2% dan 3%. Semakin tinggi penambahan secang maka semakin merah warna yang dihasilkan. Biskuit formula 1 menghasilkan warna coklat kekuningan, formula 2 menghasilkan warna coklat, dan formula 3 menghasilkan warna coklat kemerahan. Warna coklat pada biskuit dipengaruhi oleh penambahan tepung bekatul, semakin banyak tepung bekatul yang ditambahkan maka warna biskuit semakin gelap (Damayanti dkk., 2020). Penambahan pewarna alami secang membantu memperbaiki warna pada biskuit, akan tetapi dalam penelitian pewarna secang yang digunakan jumlahnya sedikit sehingga kurang dapat memperbaiki warna biskuit pada formula 2 dan formula 3. Hasil uji hedonik rasa menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai biskuit formula 1 dan formula 2 yaitu sebanyak 46,67% dibandingkan dengan rasa biskuit formula 3 sebanyak 40% pada skala suka. Perbedaan antara rasa biskuit dengan penambahan 45gram dan 50gram tepung bekatul memiliki rasa yang sama, sedangkan penambahan 55gram tepung bekatul biskuit terasa lebih pahit. Hal ini sejalan dengan penilitian Fitriani dkk. (2019) yang
70 menyatakan bahwa semakin besar penambahan bekatul, rasa manisnya semakin berkurang dan rasa pahit bekatul mulai terasa. Kandungan bekatul yang tinggi pada formula 3 menyebabkan biskuit tidak disukai oleh panelis karena rasa yang dihasilkan lebih pahit dibandingkan dengan biskuit formula 1 dan formula 2. Uji hedonik bau menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai bau biskuit pada formula 1 sebanyak 46,67% dibandingkan dengan biskuit formula 2 dan formulasi 3 sebanyak 33,33% pada skala suka. Hal ini sejalan dengan penelitian Trihaditia dkk. (2018) yang menyatakan bahwa panelis tidak terlalu menyukai bau dari bekatul karena rata-rata panelis belum pernah mencoba olahan dari bekatul. Bekatul memiliki bau khas yang tengik sehingga semakin banyak kandungan bekatul semakin kuat bau tengik pada biskuit (Trihaditia dkk., 2020). Kandungan bekatul pada biskuit formula 2 dan formula 3 lebih tinggi dibandingkan dengan formula 1, hal ini menyebabkan bau khas tengik bekatul yang dihasilkan lebih kuat, sehingga panelis lebih menyukai bau biskuit formula 1. Uji hedonik bentuk menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai bentuk biskuit formula 1 dan formulasi 3 sebanyak 53,33% dibandingkan dengan biskuit formulasi 2 sebanyak 33% pada skala suka. Biskuit hendaknya terdapat variasi bentuk agar mengundang selera panelis, untuk menghasilkan bentuk biskuit yang bervariasi dan beragam dapat menggunakan aneka cetakan biskuit (Fajiarningsih, 2013). Biskuit formula 1 berbentuk daun dan biskuit formula 3 bebentuk belah ketupat lebih disukai oleh panelis dibandingkan biskuit formula 2 yang berbentuk love. Penilaian terhadap bentuk dianggap sebagai penilaian yang subjektif sebab merupakan respon setiap panelis yang memiliki persepsi yang sama terhadap objek yang dipilih (Hermadayanti, 2017). KESIMPULAN Hasil uji hedonik biskuit bekatul dengan pewarna alami secang meliputi hasil uji hedonik warna menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai biskuit formula 1 yaitu sebanyak 73,33% pada skala suka. Uji hedonik rasa menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai biskuit formula 1 dan formula 2 yaitu sebanyak 46,67% pada skala suka. Uji hedonik rasa menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai biskuit formula 1 yaitu sebanyak 46,67% pada skala suka. Uji hedonik bentuk menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai bentuk biskuit formula 1 dan formula 3 sebanyak 53,33% pada skala suka. DAFTAR PUSTAKA Azliani, N. and Nurhayati, I. 2018. Pengaruh Penambahan Level Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) sebagai Pewarna Alami terhadap Mutu Organoleptik Kue Cubit Mocaf. Jurnal Dunia Gizi, 1(1). 45. Ayustaningwarno, F. (2014). Teknologi Pangan, Teori Praktis dan Aplikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Damayanti dkk., 2010. Pengaruh Penambahan Tepung Komposit Terigu, Bekatul dan Kacang Merah terhadap Sifat Fisik Cookies. Journal Of Nutrition College. 9(1). 180-186. Dewi, Indri Kusuma, dan Titik Lestari. 2016. Formulasi dan Uji Hedonik Serbuk Jamu Instan Antioksidan Buah Naga Super Merah (Hylocereus costaricensis) dengan Pemanis Alami Daun Stevia (Stevia rebaudiana bertoni M.). Jurnal Ilmu Kesehtan. 149–156. Fajiarningsih, H. 2013. Pengaruh Penggunaan Komposit Tepung Kentang (Solanum tuberosum L) terhadap Kualitas Cookies. Food Science and Culinary Education Journal. Fitriani, N. dkk., 2019. Mutu Organoleptik Cookies dengan Penambahan. Media Kesehatan gizi. 26. Hermadayanti, Yudithia Tri. 2017. Kajian Perbandingan Tepung Kacang Koro Pedang
71 (Canavalia ensiformis) dengan Tepung Terigu dan Jenis Gula pada Karakteristik Cookies Green Tea. [SKRIPSI]. Bandung: Fakultas Teknik Universitas Pasundan. Jaelani, Ahmad. 2014. Donat Bekatul (Dotul) Sebagai Makanan Alternatif Yang Enak, Murah, Bergizi, dan Ekonomis. Widyaswara Balai Diklat Keagamaan Surabaya. 24. Pancawati, Suratmi. 2006. Pengaruh Bahan dan Konsentrasi Limbah Padat Sari Apel terhadap Kualitas Biskuit. [SKRIPSI]. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. 1. Putri, R. M. S. dan Hermiza M. 2018. Uji Hedonik Biskuit Cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) dari Perairan Indragiri Hilir. Jurnal Teknologi Pertanian. 7(2). 19– 29. Trihaditia, Riza dkk., 2018. Penentuan Formulasi Optimum Pembuatan Penambahan Tepung Terigu Menggunakan Metode RSM (Response Surface Method). Agroscien. 8(2). pp. 212–230.
72 GAMBARAN PENGGUNAAN OBAT OFF LABEL PADA PASIEN RAWAT JALAN DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT THE USE OF OFF LABEL MEDICINES IN OUTCOME PATIENTS IN A HOSPITAL PHARMACEUTICAL INSTALLATION Rosaria Ika Pratiwi 1)* , Adila Prabasiwi 2) , Sari Prabandari 3) 1 Prodi Farmasi Politeknik Harapan Bersama, Jl. Mataram No. 9 Kota Tegal, Indonesia 2,3Prodi Farmasi Politeknik Harapan Bersama, Jl. Mataram No. 9 Kota Tegal, Indonesia * e-mail: [email protected] ABSTRAK Saat ini penggunaan obat secara off label sudah banyak terjadi di seluruh dunia. Penelitian di Amerika membuktikan bahwa 21% peresepan dari 725 juta peresepan adalah off label. Penggunaan off label ini 73% di antaranya tidak ada data ilmiah, hanya 27% yang memiliki data ilmiah kuat. Obat off label merupakan obat yang diresepkan dan dijual di pasaran tetapi digunakan tidak sesuai dengan indikasi dan belum mendapatkan persetujuan dari FDA. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penggunaan obat secara off label pada pasien rawat jalan ditinjau dari off label indikasi, off label dosis, dan off label cara pemakaian di instalasi farmasi Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, menggambarkan penggunaan obat secara off label pada pasien rawat jalan ditinjau dari off label indikasi, off label dosis, dan off label cara pemakaian di instalasi farmasi Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Subyek penelitian ini meliputi dua dokter spesialis dan Kepala instalasi farmasi Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal. Analisis data menggunakan buku DIH (Drug Information Handbook) dan jurnal terkait. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat penggunaan obat secara off label pada pasien rawat jalan di instalasi farmasi Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal dengan kategori off label indikasi antara lain : metformin, siproheptadin, selekoksib - rofekoksib, aspirin, simvastatin, dan alprazolam, off label dosis adalah kodein, dan off label cara pemakaian adalah misoprostol. Kata kunci: Obat Off Label, Pasien rawat jalan, Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal ABSTRACT Currently, the use of off-label drugs has occurred throughout the world. Research in America proves that 21% of prescriptions from 725 million prescriptions are off-label. The use of this off-label is 73% of which there is no scientific data, only 27% have strong scientific data. Off-label drugs are drugs that are prescribed and sold in the market but are used not according to indications and have not received approval from the FDA. The purpose of this study was to describe the off-label use of drugs in outpatients in terms of off-label indications, off-label dosages, and off-label usage methods in the pharmacy installation of Mitra Siaga Hospital Tegal. This study is a qualitative descriptive study, describing the offlabel use of drugs in outpatients in terms of off-label indications, off-label dosages, and offlabel usage methods in the pharmacy installation of Mitra Siaga Hospital Tegal. The data needed in this study are primary data and secondary data using data collection techniques
73 through observation, interviews, and documentation studies. The subjects of this study included two specialist doctors and the head of the pharmacy installation at Mitra Siaga Hospital Tegal. Data analysis used the DIH (Drug Information Handbook) book and related journals. Based on the results of the study, there was off label drug use in outpatients at the Mitra Siaga Tegal Hospital pharmacy with off label indication categories including: metformin, cyproheptadine, selekoxib - rofecoxib, aspirin, simvastatin, and alprazolam, off label doses were codeine. , and off the label how to use is misoprostol. Keywords: Off Label Drugs, Outpatients, Mitra Siaga Hospital Tegal PENDAHULUAN Obat off label merupakan obat legal yang digunakan dengan indikasi, dosis, dan rute administrasi di luar spesifikasi produk yang telah disetujui (Purwadi & Sinuraya, 2018). Obat off label disebut pula obat di luar indikasi yang tertera dalam label atau berada di luar persetujuan Lembaga izin edar seperti Badan POM dan FDA (Food and Drug Administration). Penyebab penggunaan obat off label ini adalah kurangnya respon klinis pada pengobatan sebelumnya, kontraindikasi dengan obat alternatif lain seperti tersedianya obat yang disetujui sesuai indikasi, serta pasien dengan pengobatan alternatif karena alasan klinis (Ningrum et al., 2020). Penggunaan obat off label tersebar luas dan terjadi di bangsal medis maupun bedah, serta pada anak-anak yang sakit kritis (Tefera et al., 2017). Penggunaan obat off label pada anak- anak tampaknya menjadi kebutuhan agar dapat memberikan perawatan yang memadai pada pasien. Pada tahun 2007 peraturan pediatri mulai berlaku di Eropa dengan tujuan meningkatkan kesehatan anak-anak dengan memberikan fasilitas pengembangan dan ketersediaan obat-obatan untuk anak berusia 0-17 tahun untuk memastikan bahwa obat-obat yang digunakan pada anak memiliki kualitas tinggi dan ketersediaan informasi tentang penggunaan obat pada anak-anak (Corny et al., 2016). Berdasarkan studi yang dilakukan di bangsal rawat inap rumah sakit pendidikan di Australia, terdapat 32% penggunaan obat off label dari 887 obat yang diresepkan, dan terdapat 57% dari 300 pasien rawat inap pediatrik menerima setidaknya satu obat off label (Ballard et al., 2013). Penggunaan obat off label terjadi pula pada pasien anak rawat jalan di rumah sakit pendidikan India, dari total 405 obat yang diresepkan 7,9% digunakan secara off label (Bhadiyadara et al., 2015). Rumah sakit anak di Swedia terdapat pula penggunaan obat off label, dari 11.294 resep pasien anak sebanyak 49% resep diberikan obat secara off label (Kimland et al., 2012). Penggunaan antibiotik yang tidak rasional pada anak telah menjadi praktik yang umum dicatat. Penggunaan golongan obat tersebut memerlukan perhatian khusus karena absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat pada anak berbeda dengan orang dewasa, serta tingkat maturasi organ yang berbeda sehingga dapat terjadi perbedaan respon terapeutik dan efek sampingnya. Begitu pula dengan penggunaan obat of -label pada anak terjadi karena tidak lengkapnya data farmakokinetik, farmakodinamik, dan efek samping dari suatu obat karena penelitian klinik pada anak cukup sulit dan tidak sesuai dengan etika dan moral penelitian. Penggunaan obat secara off label harus didasarkan pada pengalaman medisinal yang ada dan bukti bukti ilmiah atau pustaka yang dipublikasikan yang dapat dipercaya (Akbar et al., 2017). Berdasarkan hasil dari beberapa studi yang dilakukan, prevalensi penggunaan obat off label pada populasi anak berkisar 35%-75%. Obat-obat off label yang sering digunakan pada populasi pediatrik antara lain antibiotik, obat saluran pernapasan, obat kardiovaskuler, obat
74 saluran percernakan, dan antihistamin (Purwadi & Sinuraya, 2018). Penggunaan off label terdapat pula di RSUD Ulin Banjarmasin pada kriteria dosis sebanyak 98,9%, kriteria usia sebanyak 24,8%, kriteria indikasi sebanyak 1,3% dan kriteria rute pemberian tidak ada kasus off label, dan golongan obat dengan tingkat kejadian off label tertinggi di Poliklinik anak yaitu golongan obat batuk dan pilek dengan persentase sebesar 23,7% (Ariati et al., 2015). Prevalensi penggunaan obat off label pada anak di apotek Kota Yogyakarta sebesar 21% yang diklasifikasikan sebagai off-label usia sejumlah 91 (11,1%) penggunaan dan off-label indikasi sejumlah 7 (0,8%). Jenis obat paling dominan digunakan secara off label antara lain pseudoefedrin sejumlah 47(5,7%), tripolidin 20 (2,4%) dan dekstrometorfan 14 (1,7%) dari total penggunaan obat (Setyaningrum et al., 2017). Di bangsal anak salah satu rumah sakit umum di Jawa Tengah terdapat penggunaan obat off label dengan proporsi 42 (1,63%) pemberian obat masuk dalam kategori off-label indikasi dan 351 (13,63%) pemberian obat masuk dalam kategori off-label usia. Obat yang paling banyak diresepkan secara off-label adalah salbutamol (3,11%) yang belum atau tidak memiliki evidence, asam valproat (2,14%) yang memiliki high level of evidence untuk tidak digunakan pada bayi dan neonatus, dan ondansetron (1,26%) yang memiliki evidence tingkat high evidence untuk digunakan pada kondisi gastroenteristis, selain karena hal-hal yang tercantum dalam marketing authorization (Cholisoh & Rohmah, 2020). Di Puskesmas Sleman pada pasien anak terdapat penggunaan obat-obat off label sebanyak 62 kasus (20,87%), yang terdiri dari 49 kasus (16,50%) off label cara pemberian, 8 kasus (2,69%) off label indikasi, dan 5 kasus (1,68%) off label usia (Akbar et al., 2017). Melihat adanya penggunaan obat off label secara global di berbagai negara, diperlukan penelitian tentang penggunaan obat secara off label pada pasien ditinjau dari off label indikasi, off label dosis, dan off label cara pemakaian. Penelitian ini dilakukan di rumah sakit Mitra Siaga Tegal karena berdasarkan data resep pasien rawat jalan tahun 2017 terdapat penggunaan obat off label. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan obat secara off label pada pasien rawat jalan ditinjau dari off label indikasi, off label dosis, dan off label cara pemakaian di instalasi farmasi Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal. METODE Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan subyek penelitian Dua dokter spesialis di rumah sakit Mitra Siaga Tegal dan kepala instalasi farmasi rumah sakit Mitra Siaga Tegal. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Data primer didapat dengan wawancara mendalam dengan dokter spesialis dan kepala instalasi farmasi rumah sakit. Data sekunder diambil dari resep pasien rawat jalan di instalasi farmasi rumah sakit pada bulan Oktober – Desember 2017. Analisis data yang digunakan bersifat deskriptif. Data ini dikumpulkan dari berbagai sumber berupa hasil wawancara dan data penggunaan obat secara off label pada resep pasien rawat jalan, kemudian dianalisis menggunakan buku DIH (Drug Information Handbook), EBM (Evidence Based Medicine), Off Label Drug Workshop and Training, jurnal lain yang terkait serta referensi lain yang mendukung. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Penggunaan Obat Off Label Indikasi Obat dikategorikan sebagai off label indikasi apabila obat diberikan untuk indikasi yang lain dari yang tercantum pada label atau leaflet yang mendapat izin edar dan izin penjualan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala instalasi farmasi, terdapat
75 penggunaan obat off label indikasi di Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal. Informasi indikasi merupakan hal penting dalam pengobatan guna menjamin penggunaan obat yang tepat. Informasi yang tepat mengenai manfaat obat dapat meminimalisir terjadinya medication error. Kategori obat off label yang memiliki persentase paling tinggi dalam penelitian ini yaitu off label indikasi. Berikut ini merupakan obat-obat kategori off label indikasi berdasarkan hasil observasi : 1. Metformin Metformin merupakan obat antidiabetik oral golongan biguanid yang bekerja secara langsung pada hepar dengan menurunkan produksi glukosa hati. Pada penelitian ini ditemukan bahwa metformin digunakan secara off label indikasi untuk PCOS (Polycystic Ovary Syndrom) dalam mengatasi ketidakseimbangan hormon pada wanita dikarenakan peningkatan hormon androgen dan gangguan ovulasi. 2. Siproheptadin Siproheptadin merupakan golongan antihistamin untuk mengobati berbagai jenis alergi. Pada penelitian ini ditemukan bahwa siproheptadin digunakan secara off label indikasi untuk penambah nafsu makan karena efek siproheptadine pada pusat makan hipotalamus melalui aksi kerja anti histamin dan anti serotoninnya. 3. Selekoksib – Rofekoksib Selekoksib – Rofekoksib merupakan obat analgetik – antipiretik golongan anti inflamasi non steroid (AINS) COX-2 selektif yang memiliki efek terapi penghambatan biosintesis prostaglandin. Pada penelitian ini ditemukan bahwa selekoksib – rofekoksib digunakan secara off label indikasi untuk pengobatan kanker usus dan kanker payudara dengan cara mempengaruhi gen dan jalur yang terlibat dalam peradangan dan transformasi maligna tumor tetapi tidak berpengaruh pada jaringan normal. 4. Aspirin Aspirin merupakan obat analgetik – antipiretik golongan anti inflamasi non steroid (AINS) mampu mengatasi rasa nyeri dan demam selama terjadi inflamasi yang bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim siklo-oksigenase dengan proses asetilasi. Pada penelitian ini ditemukan bahwa aspilet digunakan secara off label indikasi untuk mencegah terjadinya penyakit kardiovaskular yaitu sebagai anti trombotik, dikarenakan asam asetilsalisilat dapat mencegah proses pertumbuhan tromboksan dan pada akhirnya terjadi pencegahan dalam proses pembekuan darah serta mencegah penyumbatan pada saluran peredaran darah atau biasa disebut dengan agregasi platelet. 5. Simvastatin Simvastatin merupakan obat golongan statin yang berfungsi untuk menurunkan kadar kolesterol dengan cara menghambat enzim pembentuk kolesterol sehingga kadar kolesterol dalam darah berkurang. Pada penelitian ini ditemukan bahwa simvastatin digunakan secara off label indikasi untuk mengurangi risiko terjadinya serangan jantung, dengan cara mengurangi penyumbatan pembuluh darah yang disebabkan oleh timbunan plak (aterosklerosis). 6. Alprazolam Alprazolam merupakan obat golongan benzodiazepin yang berfungsi sebagai antiansietas, hipnotik, amnestik, dan muscle relaxant dengan cara berikatan dengan reseptor gamma aminobutyric acid (GABA) yang merupakan neurotransmiter dan hormon otak, bertugas menghambat reaksi yang tidak menguntungkan. Pada penelitian ini ditemukan bahwa alprazolam digunakan secara off label indikasi untuk nyeri neuropatik dengan cara hambatan re-uptake norepinefrin juga meningkatkan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik dan menyebabkan penurunan jumlah reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi aktivitas adenilsiklasi sehingga nyeri berkurang. b. Penggunaan Obat Off Label Dosis
76 Obat dikategorikan sebagai off label dosis apabila obat diberikan dengan dosis yang lain dari label atau leaflet yang telah mendapat izin edar dan izin penjualan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala instalasi farmasi, terdapat penggunaan obat off label dosis di Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal. Informasi dosis merupakan hal penting dalam pengobatan karena profil farmakokinetik dan farmakodinamik setiap rentang usia individu berbeda-beda. Pada penelitian ini yang termasuk kategori obat off label dosis yaitu kodein. Kodein merupakan golongan opioid, efek kodein terjadi apabila kodein berikatan secara agonis dengan reseptor opioid di berbagai tempat di susunan saraf pusat (SSP). Penggunaan kodein dalam dosis rendah sebagai antitusif yang bekerja pada susunan saraf pusat dengan menekan pusat batuk. Dosis kodein sebagai antitusif pada anak usia 2 – 6 tahun adalah 1 mg/kg BB perhari, anak usia 6 – 12 tahun adalah 5 – 10 mg tiap 4 – 6 jam, dan dewasa adalah 10 – 20 mg tiap 4 – 6 jam. Pada penelitian ini ditemukan bahwa kodein digunakan secara off label dosis untuk diare. Penggunaan kodein dalam dosis 30 mg per hari digunakan untuk mengobati diare karena kodein memiliki efek samping konstipasi yang berguna untuk pengobatan diare dengan cara memperlambat pergerakan cairan yang melewati jejunum. c. Penggunaan Obat Off Label Cara Pemakaian Obat dikategorikan sebagai off label cara pemakaian apabila obat diberikan tidak sesuai dengan rute pemberian yang terdapat dalam label. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala instalasi farmasi, terdapat penggunaan obat off label cara pemakaian di Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal. Informasi cara pemakaian merupakan hal penting dalam pengobatan karena cara pemberian dapat mempengaruhi efek farmakologi suatu zat. Pada penelitian ini yang termasuk kategori obat off label cara pemakaian yaitu misoprostol. Misoprostol merupakan obat untuk mencegah dan mengobati tukak lambung karena merupakan sitoprotektif saluran gastro intestinal dengan menghambat sekresi asam lambung. Pada penelitian ini ditemukan bahwa misoprostol digunakan secara off label cara pemakaian untuk induksi persalinan melalui intravaginal dengan cara mematangkan serviks dan memacu kontraksi miometrium, hal ini disebabkan semakin cepat interaksi aktin-miosin yang bermanfaat pada mulainya kontraksi uterus. Tabel 1. Profil Penggunaan Obat Off Label Berdasarkan Kategorinya Kategori Off Label Nama Obat Penggunaan Resmi Kasus Resep Indikasi Metformin Antidiabetik oral menurunkan produksi glukosa hati PCOS (Polycystic Ovary Syndrom) dalam mengatasi ketidakseimbangan hormon pada wanita Siproheptadin Pengobatan berbagai jenis alergi Penambah nafsu makan Selekoksib - Rofekoksib Analgetik – antipiretik golongan anti inflamasi non steroid (AINS) Pengobatan kanker usus dan kanker payudara Aspirin Analgetik – antipiretik golongan anti inflamasi non steroid (AINS) Anti trombotik (anti platelet) Simvastatin Menurunkan kadar kolesterol Mengurangi risiko serangan jantung Alprazolam Antiansietas, hipnotik, amnestik, dan muscle relaxant Nyeri neuropatik Dosis Kodein Dosis rendah sebagai antitusif Dosis besar untuk pengobatan diare Cara Pemberian Misoprostol Secara oral mengobati tukak lambung Intravaginal untuk induksi persalinan
77 Berdasarkan hasil wawancara dengan dokter spesialis jantung dan dokter spesialis saraf di rumah sakit Mitra Siaga Tegal, obat off label digunakan dalam peresepan disebabkan oleh obat yang lama kurang efektif, adanya outcome terapi yang baik, dan informasi baru yang lebih cepat didapatkan daripada informasi dari FDA. Dokter dalam melakukan peresepan obat off label didasarkan atas pertimbangan pengalaman penggunaan obat sebelumnya yang telah terbukti menghasilkan outcome terapi, jurnal ilmiah terbaru, diskusi, dan evidence based medicine. Kurangnya informasi terkait dengan penggunaan obat secara off label memberikan dampak bagi farmasis maupun bagi pasien. Bagi farmasis dapat mengakibatkan adanya kesalahan dalam pemberian konseling informasi edukasi (KIE) dan menimbulkan terjadinya permasalahan (komplain) profesi kesehatan lain kepada farmasis. Sedangkan dampak bagi pasien mengakibatkan berkurangnya kepatuhan pasien dalam menggunakan obat sehingga pasien takut minum obat dan menghentikan terapi, selain itu dapat terjadi kegagalan terapi dan keamanan penggunaan obat diragukan. Oleh karena itu diperlukan peningkatan peran farmasis dalam mengikuti perkembangan terbaru terkait informasi obat dan menanyakan secara langsung kepada penulis resep atau teman sejawat apabila terdapat resep yang mengandung obat off label sehingga farmasis dapat memberikan informasi yang tepat kepada pasien. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat penggunaan obat secara off label pada pasien rawat jalan di instalasi farmasi Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal dengan kategori off label indikasi antara lain : metformin, siproheptadin, selekoksib - rofekoksib, aspirin, simvastatin, dan alprazolam, off label dosis yaitu kodein, dan off label cara pemakaian yaitu misoprostol. DAFTAR PUSTAKA Akbar, R., Setyaningrum, N., & Estiningsih, D. (2017). Kajian Penggunaan Obat Off-Label pada Anak di Puskesmas Sleman. INPHARNMED Journal (Indonesian Pharmacy and Natural Medicine Journal), 1(1), 21–33. Ariati, A. L., Kartinah, N., & Intannia, D. (2015). Gambaran Penggunaan Obat Off-Label Pada Pasien Pediatrik Rawat Jalan Di RSUD Ulin Banjarmasin Periode JanuariDesember 2013. Jurnal Pharmascience, 2(1), 58–64. Ballard, C. D. J., Peterson, G. M., Thompson, A. J., & Beggs, S. A. (2013). Off-label use of medicines in paediatric inpatients at an Australian teaching hospital. Journal of Paediatrics and Child Health, 49(1), 38–42. https://doi.org/10.1111/jpc.12065 Bhadiyadara, S. N., Rana, D. A., Malhotra, S. D., & Patel, V. J. (2015). Off-label and unlicensed drug use in paediatric outpatient department - A prospective study at a tertiary care teaching hospital. Journal of Young Pharmacists, 7(3), 164–170. https://doi.org/10.5530/jyp.2015.3.5 Cholisoh, Z., & Rohmah, S. A. (2020). Penggunaan Obat Off-Label dan Unlicensed pada Bayi dan Neonatus di Bangsal Anak. Pharmacon: Jurnal Farmasi Indonesia, 17(1), 61– 69. https://doi.org/10.23917/pharmacon.v17i1.10828 Corny, J., Bailey, B., Lebel, D., & Bussières, J. (2016). Mother-Child Tertiary Care Hospital. Paediatr Child Health, 21(2), 83–88. Kimland, E., Nydert, P., Odlind, V., Böttiger, Y., & Lindemalm, S. (2012). Paediatric drug use with focus on off-label prescriptions at Swedish hospitals - A nationwide study. Acta Paediatrica, International Journal of Paediatrics, 101(7), 772–778.
78 https://doi.org/10.1111/j.1651-2227.2012.02656.x Ningrum, H. O., Ariyani, H., & Muthaharah, M. (2020). Studi Literatur Pola Penggunaan Obat Off-Label Pada Pasien Obstetri Dan Ginekologi. JCPS (Journal of Current Pharmaceutical Sciences), 4(1), 273–281. Purwadi, F. V., & Sinuraya, R. K. (2018). Penggunaan Obat Off-label pada Anak-Anak. Farmaka, 16(Vol 16, No 1 (2018): Farmaka (Juni)), 54–60. http://jurnal.unpad.ac.id/farmaka/article/view/16843 Setyaningrum, N., Gredynadita, V., & Gartina, S. (2017). Penggunaan Obat Off-Label pada Anak di Apotek Kota Yogyakarta. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 4(1), 30. https://doi.org/10.29208/jsfk.2017.4.1.169 Tefera, Y. G., Gebresillassie, B. M., Mekuria, A. B., Abebe, T. B., Erku, D. A., Seid, N., & Beshir, H. B. (2017). Off-label drug use in hospitalized children: A prospective observational study at gondar university referral hospital, northwestern Ethiopia. Pharmacology Research and Perspectives, 5(2), 1–6. https://doi.org/10.1002/prp2.304
79 ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIAYA PERAWATAN DAN TARIF INA-CBG’S PADA PASIEN HIDROSEFALUS ANAK DENGAN TINDAKAN VENTRIKULAR SHUNT (Penelitian Dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya) Analysis of Factor Affecting the Total Cost and INA-CBGs Claim in Pediatrics Hydrocephalus Patient With Ventricular-Shunt Procedure (Research in Dr. Soetomo Teaching Hospital Surabaya) Shofiatul Fajriyah1*, Didik Hasmono2 , Wihasto Suryaningtyas3 , Nun Zairina4 1Fakultas Farmasi Institut Bhakti Wiyata Kediri, 2Departemen Farmasi Klinis Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, 3Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 4 Instalasi Farmasi RSUD Dr.Soetomo Surabaya *Korespondensi: [email protected] ABSTRAK Hidrosefalus secara patologis didefinisikan meningkatnya volume cairan serebrospinal pada intrakranial. Di Indonesia, presentase angka kematian bayi post neonatal yang disebabkan oleh hidrosefalus sebesar 5,8% (Departemen Kesehatan Indonesia, 2008). Penanganan pada pasien hidrosefaus meliputi terapi farmakologis dan tindakan bedah. Prosedur pembedahan pada pasien hidrosefalus anak di RSUD Dr Soetomo adalah dengan pemasangan ventrikular shunt. Pengaturan tarif prosedur ventrikular shunt telah diatur dengan jelas dalam permenkes no 59 tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, namun belum diketahui jumlah selisih antara biaya total perawatan yang dikeluarkan oleh rumah sakit dengan tarif INA-CBG’s. Perbedaan tarif pada INA-CBGs didasarkan pada komorbiditas dan komplikasi. Selain faktor komorbiditas dan komplikasi, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan biaya total perawatan. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor penyakit, faktor obat, faktor pembedahan dan faktor LOS. Tujuan Penelitian ini adalah menganalisis biaya total perawatan pasien hidrosefalus anak yang dikeluarkan oleh rumah sakit terkait dengan tarif paket INACBGs dan faktor yang berkorelasi terhadap biaya total perawatan pasien hidrosefalus anak dengan tindakan ventikular shunt. Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain retrospektif terhadap pasien yang dirawat pada periode Januari 2014-September 2015 . Kriteria inklusi adalah pasien hidrosefalus anak dengan tindakan ventrikular shunt untuk pertama kali, dengan asuransi kepesertaan BPJS. Analisis deskriptif dilakukan untuk melihat perbedaan biaya total perawatan dan tarif INA-CBGs pada 40 pasien. Korelasi faktor terhadap biaya total dianalisis menggunakan uji korelasi bivariate spearmann. Terdapat selisih antara biaya total perawatan dan biaya perkiraan tarif INA-CBGs pada 40 pasien, dimana 19 pasien mempunyai biaya total perawatannya lebih kecil bila dibandingkan dengan perkiraan tarif INA-CBGs dan 21 pasien mempunyai biaya total perawatannya lebih besar dibandingkan dengan perkiraan tarif INA-CBGs. Total perkiraan nilai klaim INA-CBGs lebih besar dibandingkan dengan total biaya perawatan sebesar 3,90%. Faktor yang berkorelasi terhadap biaya total adalah LOS, jumlah komorbid, jumlah komplikasi, tindakan operasi dan durasi penggunaan antibiotik. Kata kunci : Hidrosefalus anak, ventrikular shunt, biaya total perawatan, INA-CBGs, analisis faktor
80 ABSTRACT Hydrocephalus with Ventricular-Shunt Procedure is one of the diseases covered by BPJS with Indonesian Case Based Groups (INA-CBGs) system. Some researches suggests there is a differences between the total treatment cost and INA-CBGs claim. It is unclear whether or not the claim of INA-CBGs has already in conformity with the total treatment cost in pediatrics patients suffering from Hydrocephalus with Ventricular-shunt procedure in RSUD Dr.Soetomo. There are many factor that may affect the differences between both cost such us disease factors (diagnose, comorbidities, complication), surgery procedure factors, drug factors and LOS. Aim the research is to analyze the differences between the total cost and INA-CBGs claim and the factors that correlate the difference between both cost. This research was an observational study with retrospective study design of patients treated in the period January 2014-September 2015. Inclusion criteria were are pediatric patient who diagnosed hydrocephalus and got ventricular-shunt procedure for first time and covered by BPJS insurance. Descriptive analysis was conducted to analyze the differences between the total cost and INA-CBGs claim in 40 patients. Factors that correlates the total cost were analyzed using Spearmen Correlation Analysis. Ethical clearence was reviewed by Ethical Board Dr. Soetomo Teaching Hospital Surabaya. The analysis showed that there was difference between the total cost and INA-CBGs claim. Total real medical cost lower than total of the estimated claim INA-CBGs was 3,90%. The factors that correlate the total cost were Length of Stay (LOS), the number of comorbidities, the number of complications, surgery procedures, duration of antibiotic therapy. Keywords: Pediatric hydrocephalus, ventricular shunt, total cost of care, INA-CBGs, factor analysis PENDAHULUAN Hidrosefalus secara patologis didefinisikan meningkatnya volume cairan serebrospinal pada intrakranial. Akumulasi cairan tersebut dapat menyebabkan pembengkakan sistem ventrikular dan pada akhirnya memicu kerusakan otak yang disebabkan oleh menurunnya aliran darah dan terganggunya metabolisme jaringan yang tertekan oleh cairan tersebut (Murgas & Snowden, 2014). Insiden keseluruhan hidrosefalus adalah 0.5-4 per 1000 kelahiran hidup. Insiden penyakit hidrosefalus sebagai penyakit tunggal atau kongenital adalah 0.5-1.5 per 1000 kelahiran hidup. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pasien hidrosefalus anak sekitar 38.00-39.900 yang dirawat di rumah sakit per tahunnya, dengan total biaya perawatan 1.4-2.0 milyar dolar (Nielsen & Breedt 2013). Biaya perawatan pasien hidrosefalus di Amerika Serikat merupakan pengeluaran yang besar, yang dapat menghabiskan hampir satu milyar per tahunnya (Hornig & Greene, 2010; Torbey, 2011). Di Indonesia, presentase angka kematian bayi post neonatal yang disebabkan oleh hidrosefalus sebesar 5,8% (Departemen Kesehatan Indonesia, 2008). Penanganan pada pasien hidrosefaus meliputi terapi farmakologis dan tindakan bedah. Prosedur pembedahan pada pasien hidrosefalus anak di RSUD Dr Soetomo adalah dengan pemasangan ventrikular shunt. Sedangkan apabila ditemukan tanda infeksi pada cairan serebrospinal, maka dilakukan pemberian antibiotika dan drainase eksternal (External Ventricular Drainage). Standar tarif pelayanan pasien hidrosefalus dengan prosedur ventrikular shunt dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 59 tahun 2014.). RSUD dr. Soetomo merupakan salah
81 satu Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) III yang menggunakan pola pembayaran paket INA-CBG’s. Meskipun standar tarif telah ditetapkan, belum diketahui jumlah selisih antara biaya total perawatan yang dikeluarkan oleh rumah sakit dengan tarif INA-CBG’s pada kasus hidrosefalus anak. Sebagaimana telah disebutkan bahwa tarif pada 39 kelompok yang terlalu rendah adalah layanan bedah orthopedi, bedah saraf dan layanan rawat jalan dengan pemeriksaan penunjang sehingga diperlukan evaluasi dan penyesuaian tarif baru INA-CBGs (Wibowo, 2014). Penggolongan tarif prosedur tindakan ventrikular shunt, perbedaan tarif pada INACBGs didasarkan pada komorbiditas dan komplikasi. Selain faktor komorbiditas dan komplikasi, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan biaya total perawatan terhadap tarif INA-CBGs baik secara langsung maupun tak langsung. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor penyakit, faktor obat, faktor pembedahan dan Length of Stay (LOS). Berdasarkan masalah diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis biaya total perawatan pasien hidrosefalus anak yang dikeluarkan oleh rumah sakit terkait dengan tarif paket INA-CBGs dan menganalisis faktor yang berkaitan dengan biaya total perawatan pasien hidrosefalus anak dengan tindakan ventikular shunt. Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui selisih antara biaya total perawatan dengan tarif paket INACBGs di RSUD Dr.Soetomo Surabaya dan faktor yang berkorelasi terhadap biaya total perawatan sehingga dapat memberikan pertimbangan kepada rumah sakit untuk mengevaluasi kebijakan terkait efisiensi biaya perawatan pasien hidrosefalus anak. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan adalah penilitian observasional dengan desai penelitian retrospektif. Deskriptif karena penelitian dilakukan untuk memotret suatu kondisi atau frnomena yang terjadi pada suatu kelompok subjek tertentu. Observasional karena peniliti melakukan pengamatan atau pengukuran terhadap variabel tanpa melakukan intervensi (Notoatmojo, 2010). Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Sampel pada penelitian ini adalah pasien hidrosefalus anak yang dirawat pada bulan Januari 2014 sampai September 2015. Kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien anak dengan diagnosis hidrosefalus yang mendapatkan tindakan ventrikular shunt untuk pertama kali, pasien tersebut dirawat dengan asuransi BPJS dan pasien dengan data lengkap. Tidak terdapat kriteria eksklusi dalam penelitian ini. Kriteria drop out adalah pasien pulang paksa, pasien meninggal dunia dan yang mengalami perubahan diagnosa selama perawatan yang tidak sesuai dengan kriteria inklusi. Variabel bebas dalam penelitian ini meliputi jumlah komorbid, jumlah komplikasi, jenis diagnosa, waktu tunggu acara operasi, tindakan operasi, durasi penggunaan antibiotik dan LOS. Sedangkan Variabel tergantungnya adalah biaya total perawatan. Biaya total perawatan adalah Biaya perawatan total yang dikeluarkan menurut perspektif rumah sakit yakni biaya langsung (direct medical cost) yang meliputi biaya administrasi, biaya sarana akomodasi, biaya pelayanan medis, biaya penunjang medis. Tarif INA-CBGs adalah Tarif/nilai yang diklaimkan oleh rumah sakit kepada BPJS dengan menggunakan aplikasi INA-CBGs 4.0. Nilai klaim belum terverifikasi oleh IKPK dan BPJS. Faktor-faktor yang berkorelasi meliputi faktor meliputi jumlah komorbid, jumlah komplikasi, jenis diagnosa, waktu tunggu acara operasi, tindakan operasi, durasi penggunaan antibiotik dan LOS. Data berupa riwayat rekam medis serta seluruh pembiayaan terkait pengobatan pasien. Dari data yang diperleh kemudian dilakukan analisis deskriptif dan analisis statistik. Analisis deskriptif dilakukan untuk melihat perbedaan biaya total perawatan dan tarif INA-CBGs pada 40 pasien. Analisis statistik digunakan uji korelasi bivariate spearmann untuk mengetahui korelasi faktor terhadap biaya total.
82 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah pasien yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 40 orang. Adapun karakteristik pasien hidrosefalus anak dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Karakteristik Sampel Pasien Karakteristik Pasien Jumlah Pasien (N=40) Persentase (%) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 27 13 67,5 32,5 Umur Neonatus (0-28 hari) Infant (28 hari-12 bulan) Child (1-12 tahun) 4 26 10 10 65 25 Jenis Asuransi JKN PBI Non PBI 10 30 25 75 Kelas Perawatan 1 2 3 5 9 26 12,5 22,5 65,0 Waktu masuk rumah sakit Januari 2014-Agustus 2014 September 2014-Agustus 2015 12 28 30 70 Jenis Diagnosa Communicating Hydrocephalus Non communicating Hydrocephalus (Obstructive) Multilobulated Hydrocephalus Congenital Hydrocephalus 12 21 4 3 40 52,5 10 7,5 Jumlah komorbid Tanpa komorbid 1 2 3 4 5 11 28 1 6 2 2 15 27,5 2,5 15 5 5 Jumlah komplikasi Tidak ada komplikasi 1 2 3 30 7 2 1 75 17,5 5 2,5 Waktu Tunggu acara operasi 0 hari 1-3 hari 4-6 hari 7-9 hari 10-12 hari 14-22 hari 33 – 48 hari 6 9 9 6 4 3 3 15 22 22 15 10 7,5 7,5 Tindakan operasi Satu kali acara operasi Dua kali acara operasi 35 5 87,5 12,5 Penggunaan Antibiotik Pemakaian antibiotik dengan komorbid infeksi Pemakaian antibiotik tanpa komorbid infeksi 7 33 17,5 82,5 LOS 5-10 11-20 21-35 36-70 18 14 4 4 45 35 10 10 Dari data diatas menunjukkan pasien hidrosefalus anak yang paling banyak berjenis kelamin laki-laki sebesar 67,5% dengan umur Infant (28 hari-12 bulan) sebesar 65%, dengan keikutsertaan asurasi BPJS terbesar adalah non PBI sebesar 75%, dengan kelas perawatan terbesar kelas 3 sebesar 65%. Diagnosa pasien hidrosefalus anak terbesar adalah non
83 communicating hydrocephalus sebesar 52,5%, jumlah komorbid yang paling besar adalah satu komorbid sebesar 27,5%, dan tidak disertai komorbid sebesar 75%. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan biaya total perawatan dan tarif INA-CBGs dan faktor yang berkaitan dengan biaya total perawatan pasien hidrosefalus anak di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Tarif INA-CBGs pada penelitian ini diperoleh dari data hasil gruping INA-CBGs yang dilakukan oleh petugas pengkodean diagnosis atau tindakan/prosedur di bagian rekam medis. Tarif INA-CBGs yang didapatkan pada penelitian ini merupakan nilai klaim sebelum dilakukan verifikasi oleh pihak IKPK dan BPJS. Hasil gruping tersebut dijadikan sebagai perkiraan tarif INA-CBGs. Biaya total perawatan pada penelitian ini diperoleh dari rincian biaya perawatan pasien dan rincian biaya farmasi. Biaya total perawatan dan tarif INA-CBGs dari 40 pasien pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 2 Tabel 2. Selisih antara biaya total perawatan dan tarif INA-CBGs Biaya Total Perawatan Tarif INA-CBGs (versi rumah sakit) Selisih Presentase Total 859.200.557 892.745.649 33.545.092 3,90% Rata-rata 22.318.641 21.480.014 838.627 Keterangan : a. Selisih = (tarif INA-CBGs – Biaya total Perawatan) Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara biaya total perawatan dengan tarif INA-CBGs dari 40 pasien yaitu biaya tarif INA-CBGs lebih besar jika dibandingkan dengan biaya total perawatan yang dikeluarkan oleh rumah sakit. Namun, tidak semua pasien menunjukkan selisih positif, dimana 21 dari 40 pasien menunjukkan nilai negatif (-) dan 19 pasien dengan nilai positif. Dari ketujuh kode INA-CBGs, kelompok pasien yang memiliki selisih positif yaitu pada kelompok prosedur Prosedur Ventrikular Shunt Sedang (G-1-11-II) sebesar 38,5% dan Prosedur Ventrikular Shunt Berat (G-1-11-III) sebesar 133%. Sedangkan kelompok pasien yang memiliki selisih negatif yaitu pada kelompok Prosedur Ventrikular Shunt Ringan (G-1-11-I) sebesar -23,87%, Prosedur Kraniotomi Sedang (G-1-10-II) sebesar -13,7%, Prosedur Kraniotomi Berat (G-1-10-III) sebesar -31,23%, Tumor Sistem Persarafan & Gangguan Degeneratif Sedang (G-4-11-II) sebesar -62,23% dan pada kelompok Neonatal, BBL Group-5 dengan anomali mayor atau kondisi herediter sedang (P-8-14-II) sebesar -755, 0%. Hasil selisih per kelompok kode INACBGs dapat dilihat di tabel 3. Pasien mendapatkan tindakan ventrikulo peritoneal shunt sebesar 39 pasien, dan ventrikulo atrial shunt sebanyak 1 pasien. Ventrikular shunt merupakan prosedur utama yang menjadi masalah medis dan ekonomi yang signifikan pada pasien hidrosefalus (Patwardhan & Nanda, 2005) Tabel 3 Perbedaan Biaya total Perawatan dan Tarif INA-CBGs pada pasien hidrosefalus anak tiap kode INA-CBGs Kode INA-CBGs Kelas Jumlah pasien Total Nilai Klaim Hasil Koder RS Total Biaya Perawatan Selisih Total biaya % Prosedur Ventrikular Shunt Ringan (G-1-11-I) 1 2 25636782 26636919 -1.000.137 -23,87 2 5 80575992 87426032 -6.850.040 3 16 205254670 295079623 - 89.824.953 Prosedur Ventrikular Shunt Sedang (G-1-11-II) 1 2 73928000 53920671 20.007.329 38,50 2 2 54204327 33746478 20.457.849 3 2 52805600 42970478 9.835.122 Prosedur Ventrikular Shunt Berat (G-1-11-III) 1 0 0 0 0 133,15 2 1 66444600 26507545 39937055
84 3 4 205326496 90056092 115270404 Prosedur Kraniotomi Sedang (G-1-10-II) 1 0 0 0 0 -13,70 2 0 0 0 0 3 2 54099274 62687238 -8587964 Prosedur Kraniotomi Berat (G1-10-III) 1 1 32230408 52991499 -20761091 -31,23 2 0 0 0 0 3 1 26161800 31917235 -5755435 Tumor Sistem persarafan & Gangguan degeneratif sedang (G-4-11-II) 1 0 0 0 0 -62,23 2 1 7225700 19129101 -11903401 3 0 0 0 0 Neonatal, BBL Group-5 dengan anomali mayor atau kondisi herediter sedang (P-8-14-II) 1 0 0 0 0 -75,50 2 0 0 0 0 3 1 8852000 36131646 -27279646 Faktor yang diduga mempengaruhi biaya total perawatan pada penelitian ini meliputi faktor jumlah komorbid, jumlah komplikasi, diagnosa, waktu tunggu acara operasi, tindakan operasi, penggunaan antibiotik dan Length of Stay. Distribusi LOS dapat dilihat pada tabel 1. dimana jumlah hari rawat inap terbanyak yaitu 5-10 hari. Pada penelitian lain disebutkan bahwa lebih dari 50% pasien hidrosefalus yang dirawat mempunyai LOS tidak lebih dari 5 hari, dan hampir 50% pasien mempunyai LOS lebih dari 5 hari (Patwardhan & Nanda, 2005) Terdapat korelasi sedang antara LOS dan biaya total. LOS berkorelasi sangat kuat terhadap biaya ruang rawat inap. Semakin bertambah jumlah LOS, semakin bertambah pula biaya ruang rawat inap, dimana biaya ruang rawat inap dihitung per satuan hari. LOS juga berkorelasi kuat terhadap jasa pelayanan. Jasa pelayanan merupakan jasa konsultasi selama pasien dirawat inap. Semakin lama pasien dirawat inap maka semakin bertambah pula jasa pelayanannya. LOS berkorelasi rendah terhadap biaya tindakan medis non operatif. Biaya tindakan medis non operatif meliputi tindakan-tindakan yang bukan termasuk tindakan operasi, selama pasien tersebut dirawat inap, sebagai contoh pemasangan infus, pemasangan venflon, injeksi IM/SC/IV/IC, pengambilan sampel darah, perawatan luka dan lain-lain. Semakin panjang LOS maka semakin besar biaya tindakan medis non operatif, namun demikian besar biaya tindakan non operatif juga dipengaruhi oleh komorbid dan komplikasi yang dimiliki oleh pasien. LOS berkorelasi rendah terhadap biaya obat dan biaya alat kesehatan. Semakin bertambahnya LOS maka semakin besar biaya obat dan alat kesehatan, namun ada faktor lain yang mempengaruhi biaya obat dan biaya alat kesehatan misalnya komorbid dan komplikasi yang dimiliki oleh pasien. Data korelasi LOS dapat dilihat pada tabel 4 Tabel 5.18. Hasil Uji Korelasi LOS terhadap biaya total Variabel Sig. Koefisien Korelasi Keterangan LOS – Biaya Total 0,000 0,567 Korelasi sedang LOS - Biaya Rawat Inap LOS- Biaya tindakan medis non operatif 0.000 0.032 0.874 0.339 Korelasi sangat kuat Korelasi rendah LOS-biaya jasa pelayanan 0.000 0.679 Korelasi Kuat LOS-biaya obat 0.011 0.396 Korelasi rendah LOS-biaya alkes 0.011 0.397 Korelasi rendah Waktu tunggu acara operasi (TAO) tidak mempunyai korelasi terhadap biaya total, namun mempunyai korelasi kuat terhadap biaya pre operasi. Biaya pre operasi adalah biaya yang dihabiskan oleh pasien selama menunggu acara operasi. Biaya pre operasi dapat merupakan biaya ruang rawat inap, biaya tindakan medis non operatif yang dibutuhkan untuk menangani komorbid yang dimiliki pasien, dan biaya penunjang medis seperti pemeriksaan radiologi, laboratorium, obat, alkes dan lain-lain. Jumlah komorbid mempunyai korelasi rendah terhadap biaya pre operasi dan tidak mempunyai korelasi terhadap waktu TAO, hal itu
85 disebabkan terdapat beberapa pasien yang tidak mempunyai komorbid, mempunyai waktu TAO yang cukup lama. Lamanya waktu TAO mungkin disebabkan oleh kendala teknis keterbatasan ruang operasi, sehingga pasien harus mengantri untuk dioperasi. Waktu TAO sendiri mempunyai korelasi kuat terhadap LOS. Semakin panjang waktu TAO maka semakin panjang LOS pasien. Data korelasi LOS dapat dilihat pada tabel 5 Tabel 5. Hasil Uji Korelasi waktu TAO terhadap biaya total, LOS dan biaya preop No Variabel Sig. Koefisien Korelasi Keterangan 1 Waktu TAO – Biaya Total 0,184 0,214 Tidak ada korelasi 2 Waktu TAO – LOS 0,000 0,696 Korelasi Kuat 3 Waktu TAO – Biaya pre op 0,000 0,663 Korelasi Kuat Jumlah komorbid mempunyai korelasi sedang terhadap LOS dan mempunyai korelasi kuat terhadap biaya total. Semakin banyak jumlah komorbid yang dimiliki oleh pasien maka semakin panjang LOS pasien, dan semakin besar biaya perawatan total pasien. Adanya komorbid akan menambah biaya rawat inap, biaya pelayanan medis, biaya pemeriksaan, biaya obat, biaya alkes dan biaya penunjang medis lainnya. Data korelasi LOS dapat dilihat pada tabel 6 Tabel 6. Hasil Uji Korelasi komorbid terhadap biaya total Variabel Sig. Koefisien Korelasi Keterangan Jumlah komorbid – Biaya Total 0,000 0,619 Korelasi kuat Jumlah komorbid – LOS 0,000 0,549 Korelasi sedang Jumlah komorbid - waktu TAO 0,118 0,251 Tidak ada korelasi Jumlah komorbid – Biaya preop 0,021 0,363 Korelasi rendah Jumlah komplikasi yang dimiliki pasien mempunyai korelasi kuat terhadap lama hari pasien dirawat pasca operasi. Bertambahnya lama hari rawat pasca operasi akan menambah LOS dan biaya total perawatan pasien. Pasien tanpa komplikasi, hari rawat inap pasca operasi rata-rata adalah 5 hari. Semakin banyak jumlah komplikasinya maka semakin lama rawat inap pasca operasi. Sebagai contoh pasien dengan tiga komplikasi yaitu demam, terdapat pus, dan batuk, jumlah hari rawat inap pasca operasi adalah 24 hari. Data korelasi LOS dapat dilihat pada tabel 7 Tabel 7 Hasil Uji Korelasi komplikasi terhadap biaya total Variabel Sig. Koefisien Korelasi Keterangan Jumlah komplikasi – Biaya Total 0,001 0,522 Korelasi sedang Jumlah komplikasi – LOS 0,000 0,607 Korelasi kuat Jumlah komplikasi – jumlah hari postop 0,000 0,616 Korelasi kuat Tidak ada korelasi antara jenis diagnosa hidrosefalus dengan biaya total. Dari keempat diagnosa yaitu communicating hydrochepalus, non communicating hydrocephalus, multilobulated hydrocephalus dan congenital hydrocephalus mempunyai penanganan yang relatif sama dan mendapatkan tindakan operasi yang tidak jauh berbeda, sehingga tidak mempengaruhi biaya total perawatan. Data korelasi LOS dapat dilihat pada tabel 8 Tabel 8. Data jenis diagnosa dan biaya total Diagnosa Jumlah pasien Rata-rata biaya total Communicating Hydrocephalus 12 20.545.508 Non communicating Hydrocephalus (Obstructive) 21 20.744.971 Multilobulated Hydrocephalus 4 27.300.917 Congenital Hydrocephalus 3 22.602.139
86 Terdapat perbedaan biaya tindakan operasi antara kelompok pasien yang mendapatkan dua kali acara operasi dan satu kali acara operasi. Pasien dengan dua kali acara operasi mempunyai rata-rata biaya tindakan operasi lebih besar daripada yang mendapatkan satu kali acara operasi, biaya tindakan operasi tersebut akan mempengaruhi rata-rata biaya total perawatan. Sedangkan biaya alat VP-shunt antara dua kelompok tersebut relatif sama. Terdapat 5 pasien yang medapatkan dua kali acara operasi (tabel 9). Satu pasien mendapatkan tindakan ventrikulo subgaleal shunt kemudian mendapatkan tindakan VP-shunt. Tindakan ventrikulo subgaleal shunt merupakan tindakan operasi sementara sebelum dilakukan tindakan operasi definitif yaitu ventrikulo peritoneal shunt. Empat pasien mendapatkan tindakan EVD dan kemudian selanjutnya mendapatkan tindakan ventrikulo peritoneal shunt. Tindakan EVD ditujukan kepada pasien dengan adanya indikasi infeksi, sebelum dilakukan tindakan definitif yaitu VP-shunt. Pada tindakan EVD ini tidak dibutuhkan alat VP-shunt. Terdapat 35 pasien yang mendapatkan satu kali acara operasi. Pada 35 pasien ini terdapat 5 pasien yang mendapatkan dua jenis tindakan operasi dan 30 pasien yang mendapatkan satu tindakan operasi saja (tabel 10). Pasien dengan dua tindakan operasi, rata-rata biaya tindakan operasi lebih besar daripada pasien yang mendapatkan satu tindakan operasi saja, hal tersebut juga akan mempengaruhi biaya total perawatan (tabel 10). Lima pasien yang mendapatkan dua jenis tindakan operasi yaitu mendapatkan Endoskopi fenestrasi dan VP-shunt. Endoskopi fenestrasi akan menambah biaya tindakan operasi. Dari 30 pasien yang mendapatkan satu jenis tindakan operasi, 28 pasien mendapatkan VP-shunt, 1 pasien mendapatkan EVD Double set up/VP Shunt MP Kocher, dan 1 pasien mendapatkan Ventrikulo atrial shunt (VA-shunt) dikarenakan pasien tersebut terdapat hernia inguinalis lateralis yang tidak diindikasikan untuk mendapatkan tindakan VP-shunt. Tabel 9. Data jumlah acara operasi, biaya tindakan operasi, biaya alat VP-shunt dan biaya total perawatan Jumlah acara operasi Jumlah pasien Rata-rata biaya tindakan operasi Rata-rata biaya alat VP-shunt Rata-rata biaya total perawatan Satu kali acara operasi 35(87,50%) 3.950.000 6.010.994,2 19.518.320,5 Satu tindakan operasi 30 3.498.333,3 6.016.207,4 18.429.643,1 Dua tindakan operasi 5 6.660.000,0 5.979.655,0 26.050.384,4 Dua kali acara operasi 5(12,50%) 9.745.000 6.412.724,4 35.211.868,2 Terdapat korelasi sedang antara durasi penggunaan antibiotik terhadap biaya total, serta korelasi kuat terhadap biaya obat dan biaya antibiotik (tabel 11). Tabel 12 menujukkan bahwa penggunaan antibiotik pada pasien yang disertai penyakit penyerta infeksi mempunyai durasi pemakaian antibiotik yang lebih lama daripada pasien tanpa penyakit penyerta infeksi. Ratarata biaya antibiotik pada pasien dengan penyakit penyerta infeksi lebih besar daripada pasien yang tanpa penyakit penyerta infeksi, hal tersebut akan berpengaruh terhadap biaya total perawatan. Tabel 11. Hasil Uji Korelasi durasi penggunaan antibiotik terhadap biaya total Variabel Sig. Koefisien Korelasi Keterangan Durasi Penggunaan Antibiotik – Biaya Total 0,001 0,495 Korelasi sedang Durasi Penggunaan Antibiotik – Biaya Obat 0.000 0,614 Korelasi kuat Durasi Penggunaan Antibiotik – Biaya Antibiotik 0,000 0,735 Korelasi kuat Tabel 12. Durasi pemakaian antibiotik dengan atau tanpa komorbid infeksi Keterangan Jumlah pasien Rata-rata durasi pemakaian Antibiotik Rata-rata biaya antibiotik Rata-rata biaya total
87 Pemakaian antibiotik dengan komorbid infeksi Bronchopneumonia, meningoencephalitis 1 36 1.708.425 52.991.499 Pneumonia 1 30 1.187.038 27.672.181 pneumonia, sepsis, 1 17 1.627.675 27.740.805 TB Paru 1 35 501.289 27.366.113 ventikulitis, 2 27 2.643.676 40.864.335 ventrikulitis + abcess cerebri 2 16 125.449 27.614.923 Total 7(17,50%) 30 hari 1.082.948,6 34.840.133,1 Pemakaian antibiotik tanpa komorbid infeksi Antibiotik profilaksis 8 1 17.924,14 18.525.232,57 Antibiotik profilaksis + post op 1-2 hari 8 3 22.530,33 17.323.709,44 Antibiotik profilaksis + post op 4-19 hari 12 7 39.304,17 18.313.015,58 Antibiotik profilaksis + pre op + post op 5 11 179.436,80 21.234.681,20 Total 33(82,50%) 5 hari 51.426,5 18.530.897,1 Pada tabel 12 menunjukkan bahwa terdapat 7 pasien dengan penyakit penyerta infeksi yang membutuhkan terapi antibiotik terapi untuk menangani infeksi, disamping penggunaan antibiotik profilaksis untuk pembedahan. Terdapat 3 pasien yang menderita ventrikulitis, 1 pasien menderita bronchopeumonia, 1 pasien menderita TB paru, 1 pasien menderita pneumonia, 1 pasien menderita pneumonia dan sepsis. Pasien-pasien tersebut mendapatkan antibiotik terapi untuk menangani infeksi penyerta, sehingga membutuhkan LOS yang lebih lama dan biaya total perawatan yang lebih besar. Terdapat 13 pasien dimana pemakaian antibiotik terkait dengan pembedahan, tidak disertai dengan pengobatan infeksi lain. Durasi pemakaian antibiotik pada pasien ini beragam, seperti tertera pada tabel 12. Semakin lama durasi penggunaan antibiotik, maka semakin besar biaya antibiotik, dan semakin besar pula biaya total perawatan. Oleh karena itu diperlukan penggunaan antibiotik profilaksis yang tepat dan rasional, untuk menekan biaya perawatan pasien hidrosefalus anak. KESIMPULAN Berdasarkan pada penelitian analisis biaya perawatan total (cost analysis) yang dilakukan pada 40 pasien hidrosefalus anak dengan tindakan ventricular shunt, diperoleh kesimpulkan sebagai berikut ini; Terdapat perbedaan antara biaya total perawatan dan biaya perkiraan tarif INA-CBGs pada 40 pasien, dimana total perkiraan nilai klaim INA-CBGs lebih besar dibandingkan dengan total biaya perawatan sebesar 3,90%. Faktor yang mempunyai korelasi terhadap biaya pengobatan pasien hidrosefalus anak dengan tindakan ventrikularshunt adalah LOS, jumlah komorbid, jumlah komplikasi, tindakan operasi dan durasi penggunaan antibiotik DAFTAR PUSTAKA. Departemen Kesehatan Indonesia, 2008, Riset Kesehatan Dasar, Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Hornig GW., Greene C., 2010, Neurosurgical condition, In : Holcomb GW, Murphy JP, Ashcraft’s Pediatric Surgery, Saunders Elsevier, Philadelphi
88 Kementrian Kesehatan, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan,. Jakarta : Kementriaan Kesehatan Republik Indonesia Murgas YG., Snowden JN., 2014, Ventricular shunt infections: Immunopathogenesis and clinical management, Journal of Neuroimmunology 276 (2014) 1–8 Nielsen, N., Breedt, A., 2013, Hydrocephalus. In : Cartwright, C.C., Wallace D.C., Nursing Care of the Pediatric Neurosurgery Patient, Springer-Verlag, Berlin Patwardhan, RV., Nanda A., 2005, Implanted Ventricular Shunts In The United States: The Billion-Dollar-A-Year Cost Of Hydrocephalus Treatment, Neurosurgery 56:139-145 Torbey M.T., 2011, Hydrocephalus, In: Bhardwaj A., Mirski M.A., Handbook of Neurocritical Care, 2nd edition, Springer Bussiness Media, LCC Wibowo, B., 2014, INA CBGs Membuat Biaya Kesehatan Lebih efektif, Majalah Info BPJS Kesehatan, Media Internal Resmi BPJS Kesehatan, Edisi VIII, BPJS Kesehatan, Jakarta Pusat.
89 EVALUASI MUTU SIMPLISIA RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DI PASAR BESAR KLATEN QUALITY EVALUATION OF DRYED CURCUMA RHIZOMES (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) IN KLATEN TRADITIONAL MARKET Sinta Mulia 1*), Sunarmi 1) 1 Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surakarta, Jl. Kesatrian No.02 Danguran, Klaten Selatan, Klaten, Jawa Tengah, Indonesia *e-mail: [email protected] ABSTRAK Temulawak merupakan salah satu tanaman yang secara tradisional digunakan untuk meningkatkan nafsu makan, merangsang sekresi dan fungsi pankreas, mencegah pembentukan batu empedu, merangsang sel hati, serta hepatoprotektor. Kandungan kimia utama temulawak adalah kurkumin. Standarisasi bahan baku obat tradisional diperlukan untuk menjamin mutu, keamanan dan efek obat bahan alam tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu rimpang temulawak yang dijual di Pasar Besar Klaten meliputi susut pengeringan, kadar abu, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol dan bahan organik asing. Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan rancangan penelitian deskriptif. Sampel yang digunakan diambil dari 5 pedagang yang diberi identitas sebagai sampel A, B, C, D, dan E, pengujian dilakukan replikasi 3 kali. Hasil uji dibandingkan dengan standar mutu simplisia pada Materia Medika Indonesia (MMI) dan Farmakope Herbal Indonesia (FHI) II. Berdasarkan hasil pengujian menunjukkan bahwa sampel A, B, C, D, dan E memenuhi syarat mutu kadar sari larut air dengan hasil berturut-turut 14,25%±0,15%, 14,30%±0,23%, 14,35%±0,23%, 11,01%±2,80%, dan 11,16 ± 2,80%, kadar sari larut etanol dengan hasil berturut-turut 3,73%±0,44%, 4,51%±0,08%, 3,81%±0,47%, 4,48%±0,08%, 4,36%±0,13%, dan bahan organik asing dengan hasil berturut-turut 0,00%±0,00%, 0,00%±0,00%, 0,00%±0,00%, 0,14%±0,25%, 0,00%±0,00%. Namun, sampel A, B, C, D, dan E tidak memenuhi syarat mutu susut pengeringan dengan hasil berturut-turut 19,80%±0,69%, 20,00%±1,00%, 19,00%±1,73%, 20,33%±0,58%, 19,33%±0,58%, kadar abu total dengan hasil berturut-turut 10,33%±0,58%, 8,16%±2,36%, 14,00%±5,29%, 10,00%±2,00%, 11,33%±2,89%, dan kadar abu tidak larut asam dengan hasil berturut-turut 3,00%±1,00%, 2,33%±1,53%, 4,00%±3,46%, 2,33%±1,15%, 3,66%±2,08%. Kata kunci : simplisia, rimpang, temulawak, mutu, Farmakope Herbal Indonesia ABSTRACT Curcuma is one of the plants that traditionally used as appetite enhancer, stimulate the secretion and function of the pancreas, prevent the formation of gallstones, able to stimulate liver cells, as well a hepatoprotectors. Curcuma main chemical content is curcumin. Standardization of raw materials of traditional medicine is necessary to ensure the quality, safety and effect of the natural materials. This study aims to find out the quality of temulawak rhizomes sold in Besa Klaten Market including foreign organic matter, drying shrinkage, ash content, water soluble sari content and ethanol soluble sari content. The type of research used is quantitative with descriptive research design. The samples used were taken from 5 traders who were identified as samples A, B, C, D, and E, the test was replicated 3 times. The test
90 results were compared with simplisia quality standards in Indonesian Medical Materials (MMI) and Indonesian Herbal Pharmacopoeia (FHI) II. Based on the test results showed that samples A, B, C, D, and E met the quality requirements of soluble juice levels with successive results of 14.25%±0.15%, 14.30%±0.23%, 14.35%±0.23%, 11.01%±2.80%, and 11.16 ± 2.80%, ethanol soluble juice levels with successive results of 3.73%±0.44%, 4.51%±0.08%, 3.81%±0.47%, 4.48%±0.08%, 4.36%±0.13%, and foreign organics with consecutive results of 0.00%±0.00% , 0.00%±0.00%, 0.00%±0.00%, 0.14%±0.25%, 0.00%±0.00%. However, samples A, B, C, D, and E did not meet the requirements of shrinkage quality with successive results of 19.80%±0.69%, 20.00%±1.00%, 19.00%±1.73%, 20.33%±0.58%, 19.33%±0.58%, total ash content with successive results 10.33%±0.58%, 8.16%±2.36%, 14.00%±5.29%, 10.00%±2.00%, 11.33%±2.89%, and insoluble ash content of acids with successive results of 3.00%±1.00%, 2.33%±1.53% , 4.00%±3.46%, 2.33%±1.15%, 3.66%±2.08%. Keywords: dryed, rhizomes, curcuma, quality, Indonesian Herbal Pharmacopoeia PENDAHULUAN Tanaman obat secara umum dapat didefinisikan sebagai jenis tanaman yang sebagian, seluruh dan atau eksudat (isi sel) tanaman tersebut digunakan sebagai obat, bahan atau ramuan obat-obatan. World Health Organization (WHO) mendefinisikan tanaman obat sebagai tanaman yang digunakan dengan tujuan pengobatan dan merupakan bahan asli dalam pembuatan obat herbal (Kemendag RI, 2017). Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 dan 2018 menjelaskan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional di Indonesia sebesar 30,4% pada tahun 2013 dan mengalami peningkatan menjadi 31,4% pada tahun 2018. Sedangkan pemanfaatan ramuan jamu sebesar 49% pada tahun 2013 dan pada tahun 2018 sebesar 31,8%, pemanfaatan tanaman obat keluarga sebesar 24,6% pada tahun 2018. Permintaan tanaman obat untuk pasar dalam negeri berasal dari Industri dan usaha obat tradisional, Industri makanan, minuman, farmasi dan kosmetik, serta konsumsi langsung rumah tangga. Berdasarkan pada sumbernya, tanaman obat yang diperdagangkan di Indonesia dapat dibedakan menjadi tanaman obat hasil budidaya dan tanaman obat hasil pengambilan langsung (eksploitasi) dari hutan (Kemendag RI, 2017). Penggunaan tanaman obat untuk menjaga kesehatan tubuh semakin meningkat sejak adanya pandemi Corona Virus yang muncul pada tahun 2019 (covid-19), salah satunya dengan mengkonsumsi jamu dan empon - empon karena dipercaya dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Selama masa pandemi covid19, kebutuhan akan jamu melonjak seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya meningkatkan imunitas tubuh (BPOM RI, 2020). Penggunaan jamu bisa dilakukan dengan berbagai bentuk, segar ataupun kering (simplisia). Simplisia yang digunakan pun bisa berupa simplisia kasar maupun simplisia serbuk. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan (Kemenkes RI, 2017). Sehubungan dengan kompleksnya hal-hal yang melekat pada tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku obat bahan alam maka perlu dilakukan standarisasi terhadap bahan baku untuk menjamin konsistensi mutu, keamanan dan efek obat bahan alam tersebut (Ramadhan, 2017). Standarisasi obat tradisional dilakukan mulai dari bahan baku sampai dengan sediaan jadi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam proses standarisasi obat tradisional dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu standarisasi bahan sediaan (bisa berupa simplisia atau ekstrak terstandar/ bahan aktif yang diketahui kadarnya); Standarisasi produk (kandungan bahan aktif stabil atau tetap); Standarisasi proses (metode, proses dan peralatan
91 dalam pembuatan sesuai dengan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik) (Parwata, 2017). Simplisia dikatakan bermutu apabila memenuhi parameter mutu yang telah ditetapkan di Materia Medika Indonesia (MMI) dan atau Farmakope Herbal Indonesia (FHI). Syarat mutu adalah semua parameter uji yang tertera dalam monografi simplisia dan ekstrak yang bersangkutan (Kemenkes RI, 2017). Syarat mutu yang tertera di MMI dan atau FHI meliputi parameter spesifik dan non spesifik. Tujuan dari standarisasi sendiri adalah menjaga stabilitas dan keamanan, serta mempertahankan konsistensi kandungan senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia maupun ekstrak (Utami dkk, 2017). Temulawak merupakan tanaman obat asli Indonesia, yang secara empiris terbukti berkhasiat untuk kesehatan. Temulawak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional yang berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit (Balittro, 2017). Temulawak merupakan tanaman obat yang memiliki kandungan fitokimia kurkumin (Kemenkes RI, 2016). Berbagai penelitian menunjukkan kurkumin memiliki bermacam khasiat mulai dari antibakteri, antioksidan, antiinflamasi, antikanker, penurun gula darah dan juga sebagai immunomodulator (Kemenkes RI, 2020). Secara farmakologis temulawak mampu meningkatkan nafsu makan, merangsang sekresi dan fungsi pankreas, mencegah pembentukan batu empedu serta mampu merangsang sel hati, serta anti hepatotoksik (Santoso, 2008). Kurkumin merupakan senyawa golongan polifenol yang merupakan senyawa utama rimpang kunyit dan temulawak. Kurkumin juga terkandung dalam rimpang beberapa spesies kurkuma dari keluarga Zingiberaceae. Kunyit dan temulawak merupakan tanaman obat yang sangat umum dikenal masyarakat Indonesia dan menjadi bahan minuman kesehatan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hasil Riset Tumbuhan Obat dan Jamu yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2012, 2015 dan 2017, kunyit dan temulawak masuk dalam 10 jenis tanaman obat yang paling banyak digunakan oleh pengobat tradisional dari berbagai suku di Indonesia (Kemenkes RI, 2020). Mutu suatu simplisia berpengaruh pada efekivitas dan manfaat obat bahan alam. Simplisia yang digunakan sebagai bahan dan produk obat maka harus diupayakan memenuhi 3 paradigma yaitu mutu simplisia, keamanan dan manfaat (Endarini, 2016). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 23 September 2020 di Pasar Besar Klaten, terdapat 6 penjual bahan jamu yang menyediakan bahan jamu segar, simplisia maupun serbuk. Lima diantaranya menjual bahan jamu simplisia dan serbuk serta satu penjual menyediakan bahan jamu segar. Petugas Pasar Besar Klaten, Kusno menjelaskan bahwa permintaan jamu di Pasar Besar Klaten mengalami peningkatan namun tidak signifikan, hal ini dikarenakan para konsumen membeli jamu melalui penjual online ataupun Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sumarsi salah satu penjual rempah-rempah di Pasar Besar Klaten menjelaskan bahwa empon-empon seperti jahe, kencur, temulawak dan kunyit adalah bahan jamu yang diminati masyarakat di era pandemi covid-19. Sejauh ini belum ada penelitian terkait evaluasi mutu simplisia rimpang temulawak yang ada di Pasar Besar Klaten. Berdasarkan hal tersebut di atas, untuk menjamin kualitas simplisia rimpang temulawak yang digunakan masyarakat, maka perlu dilakukan Evaluasi Mutu Simplisia Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) di Pasar Besar Klaten. METODE Jenis dan rancangan penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Jurusan Jamu Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surakarta sejak September 2020 hingga Juni 2021. Simplisia temulawak diperoleh dari 5 pedagang jamu di Pasar Besar Klaten. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya aquades, asam klorida encer, klorofom, etanol 95%, kertas saring biasa, kertas saring bebas abu. Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya yaitu blender, timbangan analitik,
92 oven, desikator, labu bersumbat, kompor listrik, krus silikat, cawan, penjepit cawan, dan corong pisah. Pengujian mutu simplisia rimpang temulawak selain uji bahan organik asing dilakukan sesuai dengan prosedur pengujian mutu pada FHI II sebagai berikut : 1. Susut pengeringan Wadah/cawan ditimbang dan ditara. Serbuk simplisia rimpang temulawak ditimbang sebanyak 10 gram, dimasukkan ke dalam wadah yang telah ditara, lalu dikeringkan pada suhu 105o C selama 5 jam, dan ditimbang. Lalu dimasukkan pada desikator dan ditimbang pada selang waktu 1 jam sampai perbedaan antara dua penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25%. 2. Kadar abu total Serbuk simplisia rimpang temulawak ditimbang sebanyak 2 gram dan dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijar dan ditara, dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, didinginkan dan ditimbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, maka ditambahkan air panas, diaduk, dan disaring melalui kertas saring bebas abu. Kertas saring beserta sisa penyaringan dipijarkan dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan ke dalam krus, diuapkan dan dipijarkan hingga bobot tetap, lalu ditimbang. Kadar abu total dihitung terhadap bahan uji. 3. Kadar abu tidak larut asam Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dididihkan dengan 25 mL asam klorida encer selama 5 menit. Bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas, dan dipijarkan dalam krus hingga bobot tetap lalu ditimbang. Kemudian dihitung kadar abu yang tidak larut dalam asam terhadap berat bahan uji. 4. Kadar sari larut air Serbuk simplisia rimpang temulawak ditimbang sebanyak 5 gram. Dimasukkan ke dalam labu bersumbat, ditambahkan 100 mL air jenuh kloroform, dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Filtrat sebanyak 20 mL diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal beralas datar yang telah dipanaskan pada suhu 105o C yang telah ditara, diuapkan pada penangas air hingga kering. Residu dipanaskan pada suhu 105⁰ C di oven hingga bobot tetap. Kemudian kadar sari larut air dihitung terhadap berat bahan uji . 5. Kadar sari larut etanol Serbuk simplisia rimpang temulawak ditimbang sebanyak 5 gram. Dimasukkan ke dalam labu bersumbat, ditambahkan 100 mL etanol P, dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam lalu disaring. Filtrat sebanyak 20 mL diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal beralas datar yang telah dipanaskan pada suhu 105o C yang telah ditara, diuapkan pada penangas air hingga kering. Residu dipanaskan pada suhu 105⁰ C di oven hingga bobot tetap. Kadar sari larut air dihitung terhadap berat bahan uji. 6. Bahan Organik Asing Simplisia sebanyak 100 gram ditimbang kemudian diratakan. Dipisahkan sesempurna mungkin bahan organik dan pengotor lainnya yang terdapat pada simplisia. Kemudian ditimbang dan ditetapkan jumlahnya dalam persen terhadap simplisia yang digunakan (Khristanti, 2004). Tiap pengujian dilakukan replikasi sebanyak 3 kali dan dihitung rata-ratanya
93 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan uji mutu simplisia pada rimpang temulawak dari Pasar Besar Klaten terdapat pada tabel 1. Tabel 1. Hasil Pengujian Simplisia Rimpang Temulawak dari Pasar Besar Klaten Sampel Rata-rata (%)±SD (%) Susut pengeringan Kadar abu total Kadar abu tidak larut asam Kadar sari larut air Kadar sari larut etanol Bahan organik asing A 19,80 ±0,69* 10,33 ±0,58* 3,00 ±1,00* 14,25 ±0,15^ 3,73 ±0,44^ 0,00 ±0,00^ B 20,00 ±1,00* 8,16 ±2,36* 2,33 ±1,53* 14,30 ±0,23^ 4,51 ±0,08^ 0,00 ±0,00^ C 19,00 ±1,73* 14,00 ±5,29* 4,00 ±3,46* 14,35 ±0,23^ 3,81 ±0,47^ 0,00 ±0,00^ D 20,33 ±0,58* 10,00 ±2,00* 2,33 ±1,15* 11,01 ±2,80^ 4,48 ±0,08^ 0,14 ±0,25^ E 19,33 ±0,58* 11,33 ±2,89* 3,66 ±2,08* 11,16 ±2,80^ 4,36 ±0,13^ 0,00 ±0,00^ Keterangan = * : Tidak memenuhi syarat mutu ^ : Memenuhi syarat mutu n : 3 Berdasarkan tabel tersebut di atas, semua sampel memenuhi syarat mutu kadar sari larut air, kadar sari larut etanol dan bahan organik asing. Namun pada evaluasi mutu susut pengeringan, kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam tidak ada sampel yang memenuhi syarat mutu. Penelitian ini menggunakan simplisia rimpang temulawak yang diperoleh dari pedagang simplisia di Pasar Besar Klaten, Jawa Tengah. Terdapat lima penjual simplisia di Pasar Besar Klaten yang dijadikan sampel. Setelah semua sampel terkumpul dilakukan analisis susut pengeringan, kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, dan bahan organik asing. Pengujian tersebut digunakan untuk mengetahui kualitas simplisia rimpang temulawak yang berada di Pasar Besar Klaten. Berdasarkan hasil pengujian susut pengeringan simplisia rimpang temulawak menunjukkan hasil sampel A 19,80%±0,69%, sampel B 20,00%±1,00%, sampel C 19,00%±1,73%, sampel D 20,33%±0,58%, sampel E 19,33%±0,58%. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut semua sampel lebih dari 10% yang berarti tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan di FHI hal ini dikarenakan banyaknya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Menurut Najib dkk, (2017) pada penelitiannya yang berjudul “Standarisasi Ekstrak Air Daun Jati Belanda dan Teh Hijau” bahwa penetapan susut pengeringan merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam standarisasi tumbuhan yang berkhasiat obat dengan tujuan dapat memberikan batas maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Hasil di atas sesuai dengan penelitian Aziz, dkk (2019) yang menunjukkan bahwa hasil uji susut pengeringan simplisia rimpang temulawak sebesar 15,65% yang menyatakan bahwa hasil tersebut tidak sesuai dengan syarat mutu yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil uji kadar abu total yang diperoleh dapat menunjukkan hasil sebesar sampel A 10,33%±0,58%, sampel B 8,16%±2,36%, sampel C 14,00%±5,29%, sampel D
94 10,00%±2,00%, sampel E 11,33%±2,89%. Hasil perhitungan kelima sampel tersebut tidak ada yang memenuhi syarat kadar abu total simplisia rimpang temulawak karena semua hasil lebih dari 4,4% menurut MMI dan atau 4,8% menurut FHI hal ini dikarenakan tingginya kandungan mineral yang ada pada simplisia rimpang temulawak. Hasil ini sesuai dengan penelitian Aziz, dkk (2019) yang menunjukkan bahwa hasil uji kadar abu total simplisia rimpang temulawak sebesar 5,85% yang artinya tidak sesuai dengan syarat mutu yang telah ditetapkan. Kadar abu berhubungan dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Kadar abu tersebut dapat menunjukan total mineral dalam suatu bahan pangan. (Nurhidayah dkk., 2019). Berdasarkan hasil pengujian kadar abu tidak larut asam yang diperoleh menunjukkan hasil yaitu sampel A 3,00%±1,00%, sampel B 2,33%±1,53%, sampel C 4,00%±3,46%, sampel D 2,33%±1,15%, sampel E 3,66%±2,08%. Hasil perhitungan kelima sampel tersebut tidak ada yang memenuhi syarat kadar abu tidak larut asam simplisia rimpang temulawak karena semua hasil lebih dari 0,74% menurut MMI dan 0,7% menurut FHI hal ini dikarenakan banyaknya kandungan mineral dan anorganik yang terdapat pada simplisia. Hal ini sesuai dengan penelitian Aziz, dkk (2019) yang menyatakan bahwa hasil uji kadar abu tidak larut asam simplisia rimpang temulawak mendapatkan hasil sebesar 1,53% yang menunjukkan bahwa hasil tersebut tidak sesuai dengan syarat mutu yang telah ditetapkan. Penentuan kadar abu tak larut asam berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan bahan tersebut (Husna, 2014). Tingginya kadar abu tidak larut asam simplisia kayu manis dapat disebabkan oleh faktor budidaya dan pasca panen yang tidak benar sesuai dengan penelitian Rina dkk (2014) yaitu oleh faktor pengeringan dimana terjadi perubahan fisik maupun kimia simplisia. Pencucian juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya kadar abu tidak larut asam karena adanya pasir dan silika, sesuai dengan Isnawati (2004) yaitu tidak mencuci bagian tanaman yang diambil sehingga debu yang melekat pada bagian tanaman masih terbawa sampai pada proses pengabuan dengan suhu 550º C, umumnya adalah logam berat. Besar kecilnya kadar abu tersebut dapat dipengaruhi oleh cara dan lama penyimpanan simplisia oleh pedagang di pasar. Penyimpanan yang kurang baik misalnya dalam wadah terbuka dan tidak tertutup dapat mempengaruhi banyaknya cemaran bahan organik serta tingkat pengotoran oleh logam-logam silikat, demikian juga lama penyimpanan dapat mempengaruhi tingkat cemaran simplisia dimana semakin lama simplisia disimpan maka kemungkinan tercemar oleh bahan-bahan organik dan logam-logam silikat semakin besar. Berdasarkan hasil pengujian kadar sari larut air menunjukkan hasil yaitu sampel A 14,25%±0,15%, sampel B 14,30%±0,23%, sampel C 14,35%±0,23%, sampel D 11,01%±2,80%, sampel E 11,16%±2,80%. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil perhitungan kadar sari larut air memenuhi syarat yang telah ditetapkan yakni lebih dari 8,9% menurut MMI dan 9,1% menurut FHI. Sedangkan hasil perhitungan kadar sari larut etanol yaitu sampel A 3,73%±0,44%, sampel B 4,51%±0,08%, sampel C 3,81%±0,47%, sampel D 4,48%±0,08%, sampel E 4,36%±0,13%. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil perhitungan kadar sari larut etanol memenuhi syarat yang telah di tetapkan yakni lebih dari 3,6% menurut FHI dan lebih dari 3,5% menurut MMI. Hal ini sesuai dengan penelitian Manalu (2012) menyatakan bahwa hasil uji kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol berturut-turut sebesar 16,67% dan 4,57% yang menunjukkan bahwa hasil tersebut sesuai dengan syarat mutu yang telah ditetapkan. Penetapan kadar sari larut air dan etanol dilakukan untuk
95 memberikan gambaran awal jumlah senyawa yang dapat tersari dengan pelarut air dan etanol dari suatu simplisia (DepKes RI, 2000). Faktor utama yang menentukan mutu simplisia adalah kadar sari air dan kadar sari etanol yang menunjukkan adanya kandungan zat yang berkhasiat dalam simplisia. Kadar sari air dan etanol cukup tinggi ini menunjukkan bahan aktif yang terkandung dalam simplisia tidak banyak yang hilang selama proses pengeringan (Rina dkk., 2014). Berdasarkan pengujian bahan organik asing didapatkan hasil yaitu sampel A 0,00%±0,00%, sampel B 0,00%±0,00%, sampel C 0,00%±0,00%, sampel D 0,14%±0,25%, dan sampel E 0,00%±0,00%. Berdasarkan perhitungan tersebut maka semua sampel sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan yakni kurang dari 2% menurut MMI. Besar kecilnya kadar bahan organik asing dapat dipengaruhi oleh cara dan lama peyimpanan simplisia oleh pedagang di pasar. Cara penyimpanan simplisia yang kurang baik misalnya dalam wadah yang terbuka dan semakin lama simplisia disimpan dapat mengakibatkan kotoran yang mencemari simplisia semakin banyak (Khristanti, 2004). Hasil di atas sesuai dengan penelitian Mahrida (2001) pada pemeriksaan bahan organik asing rimpang temulawak yang mendapatkan hasil 0,17%, dapat dinyatakan bahwa hasil tersebut memenuhi syarat mutu yang telah ditetapkan. KESIMPULAN Hasil uji mutu simplisia rimpang temulawak di Pasar Besar Klaten berdasarkan susut pengeringan menunjukkan bahwa semua sampel tidak memenuhi syarat mutu yang ditetapkan di FHI, berdasarkan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam menunjukkan bahwa semua sampel tidak memenuhi syarat mutu yang ditetapkan di MMI dan FHI. Berdasarkan kadar sari larut air menunjukkan bahwa semua sampel memenuhi syarat mutu yang ditetapkan di MMI dan FHI. Pengujian mutu berdasarkan kadar sari larut etanol menunjukkan bahwa semua sampel memenuhi syarat mutu yang ditetapkan di MMI dan FHI kecuali sampel C yakni sebesar 3,221%. Sedangkan syarat mutu di MMI > 3,5% dan FHI >3,6% dan berdasarkan bahan organik asing menunjukkan bahwa semua sampel memenuhi syarat mutu yang ditetapkan di MMI. UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam terselesainya penelitian ini dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Aziz, Y. S., Ardyanto, M., Ikhza, M. (2019). Standarisasi Parameter Non Spesifik Simplisia Rimpang Kunyit (Curcumae domestica Rhizoma) dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) di Kabupaten Ponorogo. Jurnal Delima Harapan, 6(2), 89-94. Balittro. (2017). Temulawak. Berita Aktual. Edisi Februari. Jawa Barat: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. BPOM RI. (2020). Berita Aktual. Edisi Juli. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan. Endarini, L.H. (2016). Farmakognosi dan Fitokimia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Husna, N.E. (2014). Leubiem Fish (Canthidermis Maculatus) Jerky With Variation Of Production Methods, Type Of Sugar, And Drying Methods. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia. Universitas Syahkuala.
96 Isnawati, A. (2004). Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Daun Strobilanthus Crispus. Media Litbang Kesehatan. Kemendag RI. (2017). Info Komoditi Tanaman Obat. Edisi September. Jakarta: Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Kemenkes RI. (2016). Formularium Obat Herbal Asli Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan. (2017). Farmakope Herbal Indonesia Edisi 2. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan. (2017). Formularium Ramuan Obat Tradisional Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan. (2018). Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan. (2020). Curcumin, Aman Dikonsumsi Saat PAndemi Covid-19. Info Litbangkes. Edisi Maret. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Khristanti, C.R. (2004). Uji Standardisasi Biji Jinten Hitam (Nigella sativae Semen) Yang Beredar Di Pasar Tradisional Kodya Jogjakarta [Skripsi]. Jogjakarta: Universitas Sanata Dharma. Mahrida, R. (2001). 13.Cara Pembuatan Simpleks Yang Baik Dan Pemeriksaan Kualitatif Dan Kuantitatif Dari Rimpang Temu Lawak. In Fakultas farmasi universitas sanata dharma yogyakarta 2011. Manalu, L. P., Tambunan, A. H., & Nelwan, L. O. (2012). C dan RH 30%. Kata kunci : Kurkumin, mutu, pengeringan, standar, temu lawak. Jurnal Dinamika Penelitian Industri, 23(2), 99–106. Najib, A., Malik, A., Ahmad, A. R., Handayani, V., Syarif, R. A., & Waris, R. (2017). Standarisasi Ekstrak Air Daun Jati Belanda Dan Teh Hijau. Jurnal Fitofarmaka Indonesia, 4(2), 241–245. https://doi.org/10.33096/jffi.v4i2.268 Nurhidayah, Soekendarsi, E., & Erviani, A. E. (2019). Kandungan Kolagen Sisik Ikan Bandeng Chanos-Chanos Dan Sisik Ikan Nila Oreochromis Niloticus Collagen Content Of Chanos-Chanos And Oreochromis Niloticus Scal. Biologi Makassar, 4(1), 39–47. Parwata, O. A. (2017). Bahan Ajar Obat Tradisional. Udayana: Universitas Udayana. Ramadhan, A.K. (2017). Peran Standardisasi Dalam Konsistensi Mutu, Keamanan, dan Efek Obat Bahan Alam. Berita. Edisi Maret. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Rina, W., Guswandi, & Harrizul, R. (2014). Pengaruh Cara Pengeringan Dengan Oven, Kering Angin dan Cahaya Matahari Langsung Terhadap Mutu Simplisia Herba Sambiloto. Jurnal Farmasi Higea, 6(2), 126–133. Santoso, H.B. (2008). Ragam dan Khasiat Tanaman Obat. Jakarta: Agro Media Pustaka. Utami, Y.P., dkk. 2017. Standardisasi Simplisia Dan Ekstrak Etanol Daun Leilem (Clerodendrum minahassae Teisjm. & Binn.). Journal of Pharmaceutical and Medicinal Sciences. 2 (1): 32-39