97 UJI SENSITIVITAS HANDSANITIZER DENGAN KANDUNGAN TRICLOSAN TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus HANDSANITIZER SENSITIVITY TEST WITH TRICLOSAN CONTENT AGAINST Staphylococcus aureus Supriani 1*) , Muhamad Fauzi Ramadhan 1) , Uswatun Khasanah1) , Laela Umu Sofiyah1) , Kholifatun Nadariyah1) 1 Stikes Serulingma Cilacap Jln. Raya Maos-Cilacap No. 505 Cilacap 53272 Indonesia * e-mail: [email protected] ABSTRAK Bakteri terdapat di tanah, air, udara hingga di dalam tubuh manusia dan hewan. Bakteri dalam usus dan dalam vagina merupakan bakteri yang bermanfaat bagi manusia yang bertugas menjaga fungsi kedua organ tersebut tetap berjalan dengan maksimal. Hand sanitizer digunakan sebagai alternatif dalam membersihkan tangan secara cepat, terlebih jika dalam perjalanan atau posisi sedang di luar rumah. Penggunaannya yang simpel dan dapat ditaruh dimana saja hand sanitizer semakin digemari untuk digunakan, meskipun dapat mengurangi jumlah kuman, tetapi belum pasti dapat mencegah penyebaran virus. Penelitian ini menggunakan hand sanitizer dalam bentuk sediaan spray yang mengandung alkohol sebagai antiseptik dengan kadar 70% dan mengandung desinfektan lain seperti Triclosan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui konsentrasi Triclosan yang terkandung dalam hand sanitizer dapat menghambat bakteri Staphylococcus aureus dengan metode penelitian eksperimental. Hasil penelitian menyatakan bahwa formula konsentrasi 0,2% Triclosan memiliki aktifitas antibakteri tertinggi dengan zona hambat 32,5±3,7 mm yang memiliki perbedaan yang bermakna (p<0,05) baik dengan kelompok kontrol negatif 0±0 mm dan juga kontrol positif 15±0,29, namun formula konsentrasi 0,2% Triclosan tidak menunjukan perbedaan yang bermakna (p<0,05) dengan formula konsentrasi 0,1% Triclosan. Kata kunci: bakteri Staphylococcus aureus, hand sanitizer,Triclosan ABSTRACT Bacteria are found in soil, water, air and in the bodies of humans and animals. Bacteria in the intestines and in the vagina are beneficial bacteria for humans whose job is to keep the functions of these two organs running optimally. Hand sanitizer is used as an alternative in cleaning hands quickly, especially if you are traveling or in a position outside the home. Its use is simple and can be placed anywhere hand sanitizer is increasingly popular for use, although it can reduce the number of germs, it is not certain that it can prevent the spread of the virus. This study uses a hand sanitizer in the form of a spray that contains alcohol as an antiseptic with a concentration of 70% and contains other disinfectants such as Triclosan. The purpose of this study was to determine the concentration of Triclosan contained in hand sanitizers that could inhibit Staphylococcus aureus bacteria using experimental research methods. The results of the study stated that the 0.2% Triclosan concentration formula had the highest antibacterial activity with an inhibition zone of 32.5±3.7 mm which had a significant difference (p<0.05) both with the negative control group 0±0 mm and also the control group. positive 15±0.29, but the concentration formula of
98 0.2% Triclosan did not show a significant difference (p<0.05) with the formula concentration of 0.1% Triclosan. Keywords: Staphylococcus aureus, hand sanitizer,Triclosan PENDAHULUAN Organisme bersel satu yang ada di muka bumi ini dengan jumlah populasi terbanyak diantaranya bakteri. Bakteri terdapat di tanah, air, udara hingga di dalam tubuh manusia dan hewan. Bakteri tidak semua berbahaya bahkan banyak yang bermanfaat untuk kesehatan. Bakteri dalam usus dan dalam vagina merupakan bakteri yang bermanfaat bagi manusia yang bertugas menjaga fungsi kedua organ tersebut tetap berjalan dengan maksimal. Bakteri juga dapat menyebabkan penyakit muncul dalam tubuh kita, bakteri ini yang merupakan bakteri berbahaya karena bisa menyebabkan penyakit ringan hingga berat (Shu, 2013). Bakteri dapat menyebar dan menyebabkan penyakit dengan cara bersentuhan antar kulit dan benda yang mengandung bakteri, melalui udara, kontaminasi silang makanan, selain itu juga dapat dengan cara lain salah satunya dengan kontak seksual. Salah satu rumah ternyaman bagi bakteri adalah tangan manusia, terdapat 5 ribu bakteri pada kedua tangan setiap waktu. Oleh karena itu bersentuhan tangan langsung atau memegang benda dapat menjadi medium penyebaran bakteri (Mukti, 2021; Shu, 2013). Pencegahan penyebaran bakteri dapat dilakukan dengan cara sering mencuci tangan dengan sabun di air mengalir serta dapat dengan cara penggunaan hand sanitizer. Hand sanitizer memiliki 2 jenis yaitu dalam bentuk gel dan spray. Kebersihan tangan bukan salah satu cara pencegahan penyebaran bakteri, selain itu juga dapat dengan mengurangi menyentuh mata, hidung dan mulut, makan makanan yang dimasak dengan sempurna, sayuran dan daging harus tersimpan terpisah, daging olahan dipastikan dimasak dengan matang, dan sebagainya (Izkar Ramadhan, 2013; Mukti, 2021; Noviardi et al., 2018; Shu, 2013) Hand sanitizer digunakan sebagai alternatif dalam membersihkan tangan secara cepat, terlebih jika dalam perjalanan atau posisi sedang di luar rumah. Penggunaannya yang simpel dan dapat ditaruh dimana saja hand sanitizer semakin digemari untuk digunakan, meskipun dapat mengurangi jumlah kuman, tetapi belum pasti dapat mencegah penyebaran virus. Kandungan alkohol yang cukup tinggi yang digunakan sebagai basis dalam pembuatan hand sanitizer efektif membersihkan tangan sekaligus membunuh kuman, bakteri, atau mikroorganisme yang bersembunyi di bawah kotoran pada tangan. Alkohol yang terdapat pada hand sanitizer dapat bekerja secara maksimal jika langsung kontak dengan bakteri, jika kondisi tangan terlalu kotor sehingga menutupi bakteri maka kerja dari alkohol kurang maksimal, sehingga penggunaan hand sanitizer kurang dianjurkan jika kondisi tangan terlalu kotor (Wati, 2015; Wijaya, 2013) Spray merupakan salah bentuk sediaan hand sanitizer yang digemari karena mudah digunakan, lebih ringan ditangan, cepat menyebar di seluruh permukaan tangan dan tidak menimbulkan rasa lengket ditangan. Penelitian ini menggunakan hand sanitizer dalam bentuk sediaan spray yang mengandung alkohol sebagai antiseptik dengan kadar 70% dan mengandung desinfektan lain seperti Triclosan. Alkohol sebagai desinfektan mempunyai aktivitas bakterisidal, yang bekerja terhadap berbagai jenis bakteri, tetapi tidak terhadap virus dan jamur, tetapi alkohol merupakan pelarut organik sehingga dapat melarutkan lapisan lemak dan sebum pada kulit, dimana lapisan tersebut berfungsi sebagai pelindung terhadap infeksi mikroorganisme. Triclosan memiliki sifat antibakteri (membunuh atau memperlambat) pertumbuhan bakteri dan sering digunakan untuk membunuh bakteri pada kulit (Shu, 2013) Mikroorganisme pada tangan memiliki habitat yang terbagi menjadi flora menetap
99 (resident) dan sementara (transient). Habitat mikroorganisme resident flora yang sering terdapat pada tangan adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Enterococcus faecalis berkoloni di lapisan kulit yang lebih dalam dan tahan terhadap pengangkatan mekanis. Transient Flora terdiri dari Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa yang berkoloni di lapisan superfisial kulit dalam waktu singkat (Mukti, 2021). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk menguji efektivitas Triclosan dengan konsentrasi 0,05 %, 0,1 % dan 0,2 % terhadap bakteri Staphylococcus aureus. METODE A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan membuat perbandingan zona hambat beberapa konsentrasi Triclosan untuk mengetahui tingkatan daya hambat terhadap bakteri Staphylococcus aureus . Metode pengujian zona hambat terhadap bakteri salah satunya yang digunakan berupa uji difusi. Penelitian ini dilakukan di labortorium Biologi, Laboratorium teknologi farmasi STIKES Serulingmas Cilacap. B. Alat dan Bahan a. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: pengaduk, autoklaf, cawan petri, kompor, gelas ukur, beker glas, tabung reaksi, incubator, lampu spirtus, Laminar Air Flow (LAF), lemari pendingin, ose bulat, oven, timbangan analitik, jangka sorong. b. Bahan Penelitian ini menggunakan bahan aktif Triclosan dengan konsentrasi 0,2%, 0,1% dan 0,05%, alkohol 96%, Smooth Filler, Aquadest, wapred plastic, nutrient agar, medium agar, biakan Staphylococcus aureus, kertas saring. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian diawali dengan hasil pembuatan hand sanitizer dengan bahan Triclosan konsentrasi 0,05%, 0,1% dan 0,2% , Alkohol 96%, Smooth Filler, aquadest dan parfum. Pembuatan hand sanitizer dengan cara mencampur Triclosan dengan sebagian alkohol 96%, kemudian tambahkan parfum menjadi campuran I, selanjutnya mencampur sebagian alkohol 96 % dengan aquadest serta smooth filler menjadi campuran II, kemudian dicampur dengan campuran I. Pembuatan media dengan bahan nutrien agar 3225 mg, mengukur aquades 150 ml. Memasukan media Na ke dalam erlenmeyer tambahkan sedikit aquades digoyang sampai larut, tambahkan sisa aquades goyang sampai larut, tutup dengan kapur tohor dan dibungkus dengan aluminium foil kemudian disterilkan dengan autoklaf dengan suhu 121°C dg tekanan 1 atm selama 15 menit. Setelah 15 menit keluarkan dari autoklaf dan siap untuk dituang ke cawan petri, dalam menuang media dilakukan di LAF yang sudah disterilkan kemudian tunggu sampai memadat, kemudian menanam bakteri Staphylococcus aureus dan dibungkus menggunakan wapred plastic. Setelah terbungkus masukan kedalam inkubator dengan suhu 28°C salama 1x24 jam. Uji sensitivitas Triclosan pada hand sanitizer dilakukan dengan metode difusi sumuran dengan cara membuat sumuran atau lubang pada media padat yang telah diinokulasi. Penggoresan media dilakukan sambil memutar dengan sudut kurang lebih 60° supaya tergores merata ke seluruh media. Cawan petri dibuat sumuran dengan pipet tetes, untuk masingmasing cawan petri dibuat 4 lubang sumuran. Kemudian memasukan bahan uji sebanyak 150 µm pada setiap lubangnya, dengan kelompok perlakuan kontrol positif, kontrol negativ, konsentrasi 0,05 %, 0,1% dan 0,2% dengan 4 kali replika untuk masing-masing perlakuan. Selanjutnya diinkubasi selama 2x 24 jam pada suhu 37°C, pengukuran dilakukan setelah 2x24 jam. Terbentuknya zona bening menunjukkan adanya aktivitas antibakteri dari Triclosan yang
100 terdapat dalam hand sanitizer yg diidentifikasi sebagai zona hambat. Kemudian diukur luas diameternya menggunakan jangka sorong manual dan dihitung rata-ratanya, disajikan pada table di bawah ini : Tabel 1. Rata-rata zona hambat Triclosan dalam hand sanitizer Nama Zona Hambat (mm) Kontrol Positif 15±0.29* Kontrol Negatif 0±0 Konsentrasi 0,05% 26.4±2.5*a Konsentrasi 0,1% 28.5±0.5*a Konsentrasi 0,2% 32.5±3.7*a Keterangan: * menunjukan perbedaan signifikan (p<0,05) dengan kontrol positif negatif a menunjukan perbedaan signifikan (p<0,05) dengan kontrol positif Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa formula konsentrasi 0,2% Triclosan memiliki aktifitas antibakteri tertinggi dengan zona hambat 32,5±3,7 mm yang memiliki perbedaan yang bermakna (p<0,05) baik dengan kelompok kontrol negatif 0±0 mm dan juga kontrol positif 15±0,29, namun formula konsentrasi 0,2% Triclosan tidak menunjukan perbedaan yang bermakna (p<0,05) dengan formula konsentrasi 0,1% Triclosan. Triclosan memiliki efek bakteriostatik pada konsentrasi rendah dengan hambatan sistesis asam lemak. Secara umum Triclosan dapat menghambat enzim fatty acid biosynthesis gene I (FabI) yang memiliki fungsi penting dalam sintesis asam lemak dan ketahanan bakteri, sehingga hand sanitizer yang mengandung Triclosan memiliki daya hambat lebih kuat dibandingkan dengan hand sanitizer tanpa Triclosan (Heath, dkk., 2000). Triclosan merupakan inhibitor pengikat lambat yang dapat menonaktifkan enzim melalui pembentukan FabI-NAD yang stabil, non kovalen-kompleks terner Triclosan serta banyak digunakan sebagai aditif antibakteri dalam berbagai produk, baik produk konsumsi, kosmetika seperti pembersih wajah, sabun cuci tangan dan hand sanitizer. FabI sebagai target intraseluler Triclosan, dengan aksi antimikroba yang dihasilkan dari gangguan nonspesifik membran seluler. Triclosan memiliki spektrum kerja yang luas yaitu efektif terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif. KESIMPULAN Hasil penelitian ini menyatakan bahwa hand sanitizer yang mengandung Triclosan sentitif terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Formula konsentrasi 0,2% Triclosan memiliki aktifitas antibakteri tertinggi dengan zona hambat 32,5±3,7 mm yang memiliki perbedaan yang bermakna (p<0,05) baik dengan kelompok kontrol negatif 0±0 mm dan juga kontrol positif 15±0,29, namun formula konsentrasi 0,2% Triclosan tidak menunjukan perbedaan yang bermakna (p<0,05) dengan formula konsentrasi 0,1% Triclosan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih kepada Stikes Serulingmas Cilacap yang mendukung kegiatan ini dengan supportnya. Terimakasih untuk LP2M Stikes Serulingmas Cilacap yang telah memberikan ijin sehingga kegiatan penelitian dapat berjalan dengan lancar. DAFTAR PUSTAKA Febriyenti. (2020). PEMBUATAN HANDSANITIZER. In Journal of Chemical Information and Modeling (Vol. 2, Issue 1). Izkar Ramadhan. (2013). EFEK ANTISEPTIK BERBAGAI MERK HAND SANITIZER TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus. Jurnal : Jurnal Ilmu Kesehatan, 1–62.
101 Marhamah, M., Ujiani, S., & Tuntun, M. (2019). Kemampuan Sabun Antiseptik Cair yang Mengandung Triclosan yang Terdaftar di BPOM dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli. Jurnal Kesehatan, 10(1), 17. https://doi.org/10.26630/jk.v10i1.1228 Mukti, A. W. (2021). Uji Aktivitas Antibakteri Sediaan Hand Sanitizer Yang Di Produksi Secara Lokal Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus. Pharmaceutical Journal of Indonesia, 6(2), 137–141. https://doi.org/10.21776/ub.pji.2021.006.02.10 Noviardi, H., Himawan, H. C., & Anggraeni, R. (2018). FORMULASI DAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI SEDIAAN GEL HAND SANITIZER DARI EKSTRAK ETANOL BIJI MANGGA HARUM MANIS ( Mangifera indica L.) TERHADAP Escherichia coli DAN Staphylococcus aureus. Jurnal Farmamedika (Pharmamedica Journal), 3(1), 1–9. https://doi.org/10.47219/ath.v3i1.20 Pratiwi, S. U. T. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Erlangga. Rohmani, S., & Kuncoro, M. A. A. (2019). Uji Stabilitas dan Aktivitas Gel andsanitizer Ekstrak Daun Kemangi. JPSCR : Journal of Pharmaceutical Science and Clinical Research, 4(1), 16. https://doi.org/10.20961/jpscr.v4i1.27212 Shu, M. (2013). Formulasi Sediaan Gel Hand Sanitizer Dengan Bahan Aktif Triklosan 0,5% Dan 1%. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 2(1), 1–14. Soedarmo, S. P. S., Garna, H., Hadinegoro, S. R. S., & Satari, H. I. (2008). Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Umaya, B. (2017). Uji Efektivitas Produk Antiseptik Hand Sanitizer Terhadap Daya Hambat Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus Secara In Vitro. Wati, H. . (2015). Pengaruh Berbagai Larutan Antiseptik Dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Dari Swab Telapak Tangan. In Skripsi Program Sarjana. WHO. (2009). WHO Guidelines: on Hand Hygiene in Health Care, First Global Patient Safety Challenge Clean Care is Safer Care. WHO. Wijaya, J. I. (2013). Formulasi Sediaan Gel Hand Sanitizer Dengan Bahan Aktif Triklosan 1,5% Dan 2%. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 2(1), 1–14.
102 INOVASI KREATIF PRODUK PANGAN FUNGSIONAL GRANOLA BAR DENGAN BAHAN IKAN GABUS DAN KACANG HIJAU SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN UNTUK MENCEGAH STUNTING CREATIVE INNOVATION OF FUNCTIONAL FOOD PRODUCTS GRANOLA BAR WITH INGREDIENTS OF SNAKEHEAD FISH AND GREEN BEANS AS ADDITIONAL FOODS TO PREVENT STUNTING Pradina Arifah Nurcahyani 1), Pramita Yuli Pratiwi1*). 1) Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Surakarta, Jl. Ksatrian No. 2 Danguran Klaten, Jawa Tengah 57425, Indonesia *email: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan pemanfaatan bahan alam sebagai pangan fungsional yang kaya akan protein. Adapun yang menjadi latar belakang penelitian ini adalah dikarenakan masih tingginya angka stunting di Indonesia. Rendahnya asupan gizi sejak janin hingga bayi usia 2 tahun, serta kurangnya nutrisi ibu saat hamil dan menyusui. Keduanya memiliki hubungan yang erat seperti yang kita tahu bahwasanya ibulah yang menjadi peran penting untuk pertumbuhan anaknya dengan asupan gizi yg cukup. Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena yang paling erat hubungannya dengan proses kehidupan. Berbagai enzim, hormon pengangkut zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya merupakan protein. Jika pola asupan protein tercukupi, maka proses pertumbuhan akan berjalan lancar dan juga akan menyebabkan sistem kekebalan tubuh bekerja dengan baik. Protein menjadi kandungan yang sangat tepat untuk menekan angka pertumbuhan stunting, terutama yang diolah sebagai pangan fungsional. Pangan fungsional sebagai makanan perndamping memberikan nutrisi bagi tubuh. Granola Bar yang diberi nama produk “Probar” adalah makanan tambahan yang terbuat dari kacang hijau dan ikan gabus yang telah dihaluskan serta dicampur dengan gandum utuh dan madu. Ditujukan untuk ibu hamil dan menyusui sebagai pemenuhan gizi seimbang agar janin tumbuh sehat dan bayi lahir dengan selamat. Probar sebagai produk pangan fungsional yang kaya akan protein menghasilkan mayoritas responden menyukai formula Probar dengan rentang nilai keseluruhan (overall) 1,87 yang berarti masih dalam rentang rata-rata nilai sangat suka. Probar mengandung 4,8% kadar air, 2,2% kadar lemak, dan 0,15% kadar abu. Kata kunci: Stunting, protein, granola, ikan gabus, kacang hijau ABSTRACT This study aims to describe the use of natural ingredients as functional foods that are rich in protein. The background of this research is because the stunting rate is still high in Indonesia. Low nutritional intake from fetus to baby aged 2 years, as well as lack of maternal nutrition during pregnancy and breastfeeding. Both of them have a close relationship as we know that it is the mother who plays an important role for the growth of her child with adequate nutritional intake. Protein is a very important nutrient, because it is most closely related to life processes. Various enzymes, hormones transport nutrients and blood,
103 intracellular matrix and so on are proteins. If the pattern of protein intake is adequate, then the growth process will run smoothly and will also cause the immune system to work properly. Protein is a very appropriate content to suppress stunting growth rates, especially those processed as functional food. Functional foods as complementary foods provide nutrition for the body. Granola Bar which is given the product name "Probar" is a food additive made from mashed green beans and snakehead fish mixed with whole wheat and honey. Intended for pregnant and lactating women as a fulfillment of balanced nutrition so that the fetus grows healthy and the baby is born safely. Probar as a functional food product that is rich in protein results in the majority of respondents liking the Probar formula with an overall score of 1.87, which means that it is still within the average range of very like values. Probar contains 4.8% moisture content, 2.2% fat content, and 0.15% ash content. Keywords: Stunting, protein, granola, snakehead fish, green beans PENDAHULUAN Angka prevalensi stunting Nasional Indonesia telah mengalami penurunan pada tahun 2017 hingga 2019. Menurunnya angka stunting di Indonesia merupakan kabar baik, namun angka tersebut masih diatas 20% dimana menurut WHO negara yang kritis stunting adalah negara yang angka prevalensi stunting nasionalnya adalah diatas 20%. Dan di Indonesia pada tahun 2019, prevalensi stunting nasionalnya adalah 27,67% atau 7 Juta anak Indonesia mengalami stunting dan dapat diibaratkan bahwa 1 dari 3 balita di Indonesia telah menderita stunting. Stunting adalah ketika balita lebih pendek dari standar tinggi balita seumurnya. Stunting disebabkan oleh kekurangan gizi dalam waktu yang lama pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari janin sampai anak berusia 2 tahun. Selain mengalami pertumbuhan terhambat, stunting juga seringkali dikaitkan dengan penyebab perkembangan otak yang tidak maksimal (Kementerian Kesehatan RI, 2019). Jika situasi ini dibiarkan, mereka bisa menjadi generasi yang hilang. Masih perlu kerja keras semua pihak untuk melakukan segala upaya penurunan stunting. Kementerian Kesehatan telah menyusun strategi nasional dalam menurunkan angka stunting. Strategi tersebut antara lain adalah dengan intervensi gizi spesifik atau langsung menyasar anak yakni untuk anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Upaya yang dilakukan diantaranya pemberian obat atau makanan untuk ibu hamil atau bayi berusia 0-23 bulan. Juga intervensi gizi sensitif yang dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan diluar sektor kesehatan, antara lain penyediaan air bersih atau sanitasi, pendidikan gizi, dan ketahanan pangan dan gizi. Perlunya membangkitkan kesadaran semua pihak akan pentingnya pencegahan stunting, apalagi dengan adanya bencana non alam pandemi Covid-19. Hal ini menjadi momentum tepat untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), sejalan dengan upaya mewujudkan pemulihan kesehatan dan pemerataan yang berkelanjutan. Optimalisasi penanganan masalah gizi pada anak balita dapat dilakukan melalui diversifikasi pengembangan formula makanan tambahan dengan mempertimbangkan aspek gizi, manfaat kesehatan, daya terima, daya tahan serta keunggulan sumber daya pangan lokal. Salah satu bahan pangan lokal yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai makanan tambahan guna membantu upaya pemerintah mengurangi angka stunting yaitu ikan gabus (Chana striata), dan kacang hijau (Vigna radiata). Dan tujuan dari penelitian ini adalah menciptakan produk pangan fungsional berbasis tepung ikan gabus (Chana striata), tepung kacang hijau (Vigna radiata) serta madu guna perbaikan status gizi pada anak usia 1-2 tahun untuk menekan angka pertumbuhan stunting.
104 METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan berupa tahap persiapan bahan, proses pembuatan tepung ikan gabus, dan tepung kacang hijau, serta penelitian lanjutan berupa, pembuatan produk, dan pengujian produk yang bertujuan untuk mengevaluasi produk dan menentukan kadar (Ningtyas, 2006). Proses Pembuatan Tepung Ikan Gabus Bahan yang digunakan pada penelitian ini termasuk ikan gabus segar, kacang hijau, dan gandum utuh didapatkan dari penjual pasar Kartasura, Sukoharjo. Sebanyak 0,784 kg ikan gabus segar dicuci bersih menggunakan lemon untuk menghilangkan lendir dan bau amis, lalu pisahkan bagian kepala, ekor, isi perut, sisik, serta sirip. Ikan dibelah dibagian punggung dan cuci kembali sebanyak 3x replikasi. Dilakukan pengukusan (pasteurisasi) ikan selama 30 menit pada suhu 900C untuk menginaktifasi enzim dan membunuh mikroba yang bersifat patogen dan tidak membentuk spora. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan menunjukkan pengukusan selama 30 menit diperoleh kadar albumin tertinggi sebesar 24,25%. Setelah proses pasteurisasi dilanjutkan pemisahan daging dari kulit dan tulang/duri. Daging yang diperoleh dikeringkan menggunakan oven selama 30 menit pada suhu 90°C lalu dialnjutkan selama 15 menit dengan suhu 120°C dan didaptkan sebanyak 73 gram. Selanjutnya ikan yang telah kering dihaluskan menggunakan blender dan dilakukan pengayakan agar diperoleh butiran tepung yang seragam dengan ayakan 20 mesh dan didapatkan rendemen sebanyak 66,7 gram (Sari et al., 2014). Proses pembuatan tepung kacang hijau menggunakan 250 gram kacang hijau dicuci bersih, dan rendam selama 15 menit, setelah itu ditiriskan. Sangrai kacang hijau menggunakan suhu rendah selama 20 menit guna menginaktifkan enzim yang terdapat pada kacang hijau. Haluskan kacang hijau menggunakan grinder yang betujuan untuk memperkecil ukuran bahan agar lolos dalam pengayakan nomor 80 mesh dan dihasilkan rendemen sebanyak 108 gram (Fathonah, 2018). Pembuatan Sediaan Produk Probar Proses pembuatan produk diawali dengan membuat flakes yang selanjutnya dicampur dengan gandum utuh dan madu untuk dicetak menjadi bar. Pertama, mentega (diambil sebagai dari bahan) dan susu bubuk dicampur menggunakan mixer, ditambahkan tepung terigu dan tepung maizena sedikit demi sedikit. Ditambahkan tepung ikan gabus dan ikan tepung kacang hijau sambil diaduk. Dimasukkan santan, sirup gula, vanili, baking powder, dan natrium benzoat, serta sisa mentega yang dilelehkan. Diaduk sampai menjadi adonan. Adonan dicetak pada loyang oven menggunakan piping bag, dibentuk bulat pipih. Adonan dioven selama 30 menit pada suhu 1200C atau sampai matang dan kering. Campur sereal dengan gandum utuh dan madu dengan perbandingan 1:1:3. Dioven dengan suhu 1200C selama 30 menit atau sampai madu terkaramelisasi lalu dimasukkan ke dalam lemari pendingin. Tahap Pengujian Produk Pada pengujian produk dilakukan analisis sifat kimia dari produk “Probar” dan evaluasi sediaan berupa uji organoleptis, uji hedonik. Analisis Sifat Kimia Kadar Air, Metode Oven Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 0,5-1 gram contoh yang telah ditepungkan dimasukkan dalam cawan yang telah ditimbang dan selanjutnya dikeringkan dalam oven bersuhu 100-1050 C selama 6 jam. Cawan yang telah berisi contoh tersebut selanjutnya dipindahkan ke dalam desikator, didinginkan dan ditimbang. Pengeringan dilakukan sampai
105 diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal dikurangi berat akhir. Penetapan kadar air basis basah berdasarkan perhitungan dengan persamaan: Kadar air (% bb) = x 100% Keterangan : % bb = kadar air per bahan basah (%) W = bobot bahan awal sebelum dikeringkan (g) W1 = bobot contoh + cawan kosong kering (g) W2 = bobot cawan kosong (g) (Nadia, 2010). Kadar Abu, Metode Pengabuan Kering Pengukuran kadar abu ditentukan dengan menggunakan alat tanur. Cawan porselen dipanaskan terlebih dahulu dalam tanur, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Contoh sebanyak 3-5 gram di dalam cawan porselen dibakar sampai tidak berasap dan diabukan dalam tanur bersuhu 6000 C sampai berwarna putih (semua sampel telah menjadi abu) dan berat konstan. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar abu produk dapat dilihat pada persamaan: Kadar abu (%bb) = x 100% Keterangan : %bb = kadar abu per bahan basah (%) W = bobot bahan awal sebelum diabukan (g) W1 = bobot contoh + cawan kosong setelah diabukan (g) W2 = bobot cawan kosong (g) (Saprudin et al., 2019). Kadar Lemak, Metode Soxhlet Metode yang digunakan didalam analisis lemak adalah metode ekstrasi soxhlet. Pertama, labu lemak yang akan digunakan dikeringkan di dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Contoh sebanyak 5 gram dalam bentuk tepung dibungkus dengan kertas saring kemudian kertas saring yang berisi contoh tersebut dimasukkan ke dalam alat ekstrasi soxhlet. Alat kondensor diletakkan di atasnya dan labu lemak diletakkan di bawahnya. Pelarut petrolum benzene dimasukkan ke dalam alat ekstrasi soxhlet sampai contoh terendam. Selanjutnya dilakukan refluks selama minimal 6 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi dan pelarut ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstrasi dipanaskan di dalam oven pada suhu 1500 C hingga mencapai berat konstan, kemudian didinginkan di dalam desikator. Selanjutnya labu beserta lemak di dalamnya ditimbang dan berat lemak dapat diketahui. Perhitungan kadar lemak dapat dilihat pada persamaan: Kadar lemak (%bb) = x 100% Keterangan: %bb = kadar lemak per bahan basah (%) W = bobot contoh (g) W1 = bobot labu lemak + lemak hasil ekstraksi (g) W2 = bobot labu lemak kosong (g) (Pargiyanti, 2019). Uji Organoleptis Uji organoleptik yang digunakan adalah uji pengamatan terkait warna, bau, dan rasa, serta uji kesukaan (hedonik). Uji hedonik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis pada formula produk yang dibuat. Atribut yang digunakan adalah penilaian keseluruhan (overall) dengan menggunakan skala 1 (sangat suka) sampai 5 (tidak disukai).
106 Pengujian dilakukan oleh 30 panelis tidak terlatih (non standar). Panelis menilai produk secara subyektif dan spontan tanpa membandingkan antar sampel (Anonim, 2013). Analisa Data Jenis penelitian yang dilakukan bersifat eksperimental. Percobaan eksperimen merupakan suatu penelitian dengan melakukan kegiatan percobaan (experiment) yang bertujuan untuk mengetahui gejala atau pengaruh yang timbul sebagai akibat dari adanya perlakuan tertentu atau eksperimen tersebut. Gejala yang dimaksud pada penelitian ini adalah berupa uji organoleptik, uji hedonik, dan uji analisis kimia. Hasil data penelitian ini disajikan dalam bentuk narasi, teks, dan tabel HASIL DAN PEMBAHASAN Salah satu metode yang diperhatikan untuk pembuatan produk adalah penyiapan bahan. Setiap bahan yang digunakan pastilah harus bersih dan pengolahannya harus benar terutama untuk produk pangan, karena selain tampilan dari produk, rasa menjadi parameter penting untuk menarik konsumen. Formula dibuat dengan metode trial dengan referensi bahan dasar sereal dari penelitian terdahulu. Formula dibuat dalam 150 gram jumlah keseluruhan bahan dengan rancangan sebagai berikut : Tabel 1. Formula produk Probar Bahan Formula Tepung ikan gabus (gr) 5 Tepung kacang hijau (gr) 12,5 Tepung terigu (gr) 4 Tepung maizena (gr) 7,5 Susu bubuk coklat (gr) 5 Baking powder (gr) 0,5 Vanili (gr) 0,05 Natrium benzoat (gr) 0,05 Santan kelapa bubuk (gr) 2 Gula halus (gr) 5 Mentega (gr) 25 Madu (ml) 100 Gandum utuh (gr) 50 Keseluruhan proses pembuatan produk meliputi persiapan bahan, perancangan formula atau pengaturan komposisi bahan, pencampuran dan pengovenan. Semua bahan sesuai formula dicampur sampai menjadi adonan yang siap dicetak. Setelah adonan jadi kemudian dicetak bentuk bulat pipih dan selanjutnya di oven selama 30 menit pada suhu 1200 C. sebelum di oven, loyang untuk mencetak produk diolesi mentega terlebih dahulu agar hasil produk tidak lengket atau menempel pada loyang Bahan pada produk Probar adalah bahan pilihan yang mengandung tinggi protein, hal tersebut sudah dibuktikan melalui banyak penelitian terdahulu. Ikan gabus, kacang hijau, dan madu dapat menjadi perpaduan yang sangat baik sebagai pangan fungsional untuk menekan angka kenaikan stunting yang kaya akan protein. Uji Organoleptis Penilaian organoleptik hedonik dilakukan untuk mengetahui kesukaan produk di pasaran. Salah satu uji organoleptik yang sering digunakan untuk tujuan pengembangan produk adalah uji kesukaan (hedonik). Hasil uji hedonik merupakan respon kesukaan konsumen terhadap rangsangan motorik indra penglihatan, peraba, pembau, dan perasa tanpa membandingkan dengan produk sejenis (Muliany, 2005). Tabel 2. Hasil uji organoleptis produk Probar
107 Warna Coklat gelap Bau Bau khas sereal gandum Rasa Rasa dominan khas gandum dan kacang hijau Atribut yang diuji adalah kenampakan, bau, rasa dan tekstur dengan uji peringkat hedonik. Skala yang digunakan adalah skala 1 (sangat suka), skala 2 (suka), skala 3 (agak suka), skala 4 (netral), skala 5 (tidak suka). Hasil uji kesukaan didapatkan dengan total keseluruhan (overall) adalah 1,87 yang berarti dalam rentang sangat suka. Analisis Proksimat Analisis kimia dilakukan terhadap formula probar terpilih. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar air (metode oven), kadar abu (metode pengabuan kering), dan kadar lemak (metode Soxhlet). Analisis tersebut dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia yang terkandung pada produk probar. Tabel 3. Hasil analisis proksimat produk Probar Sampel Parameter Persyaratan (SNI 2886:2015) Hasil Probar Kadar Air Maks. 4% 4,8% Kadar Abu Maks. 0,1% 0,15% Kadar Lemak Maks 38% 2,2% KESIMPULAN Probar merupakan produk nutrasetikal pangan fungsional yang mengandung 2 bahan dasar yang kaya akan protein seperti ikan gabus dan kacang hijau, serta bahan lain yang mengandung banyak gizi seperti gandum utuh dan madu. Probar memiliki manfaat untuk memcukupi kebutuhan gizi ibu dan janin guna mencegah stunting. Kelebihan probar salah satunya adalah mudahnya dalam mengkonsumsi. Probar sebagai produk pangan fungsional yang kaya akan protein telah melewati uji fisik dengan warna coklat gelap, bau khas sereal coklat dengan rasa dominan kacang hijau dan gandum. Hasil uji organoleptis hedonik menghasilkan mayoritas responden menyukai formula Probar dengan rentang nilai keseluruhan (overall) 1,87 yang berarti masih dalam rentang rata-rata nilai sangat suka. Probar mengandung 4,8% kadar air, 2,2% kadar lemak, dan 0,15% kadar abu. Hasil berikut menunjukkan bahwa probar layak untuk dilakukan pengujian lanjutan sehingga dapat menghasilkan produk yang lebih baik lagi. Probar dengan bahan ikan gabus dan kacang hijau ditujukan untuk menjadi alternatif pilihan ibu dalam memilih makanan yang dapat disajikan secara cepat dan praktis untuk memenuhi gizi ibu dan janin. DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2013). Pengujian Organoleptik. Program Studi Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarang, 31. Blondo, B. B., Gabus, I., Beras, D. A. N., & Oryza, M. (2016). PERBAIKAN STATUS GIZI ANAK BALITA DENGAN INTERVENSI BISKUIT BERBASIS BLONDO, IKAN GABUS (Channa striata), DAN BERAS MERAH (Oryza nivara). Jurnal Gizi Dan Pangan, 10(2), 85–92. https://doi.org/10.25182/jgp.2015.10.2.%p Fathonah, S. (2018). Teknologi penepungan kacang hijau dan terapannya pada biskuit. Jurnal Kompetensi Teknik, 10(1), 12–21. https://doi.org/10.15294/jkomtek.v10i1.17361 Fatmawati, & Mardiana. (2014). Tepung Ikan Gabus Sebagai Sumber Protein (Food Supplement). Jurnal Bionature, 15(1), 54–60. Kemenkes RI. (2018). Buletin Stunting. Kementerian Kesehatan RI, 301(5), 1163–1178. Kementerian Kesehatan RI. (2019). Laporan Pelaksanaan Integrasi Susenas Maret 2019 dan SSGBI Tahun 2019. 69. Kementerian PPN/Bappenas. (2019). Kajian Sektor Kesehatan Pembangunan Gizi di
108 Indonesia. In Kementerian PPN/Bappenas. Mardiana, & Fatmawati. (2014). Analisa Tepung Ikan Gabus sebagai Sumber Protein. Octopus: Jurnal Ilmu Perikanan, 4(1), 235–243. Marwanto, E. (2012). Teori Biaya Produksi. 1–35. http://www.ekomarwanto.com/2012/04/teori-biaya-produksi.html Nadia, L. (2010). Analisis Kadar Air Bahan Pangan. Bahan Ajar, 218. www.ut.ac.id Ningtyas, K. R. (2006). Optimasi Formulasi Breakfast Meal Flakes ( Pangan Sarapan ) Pisang Dengan Penambahan Labu Kuning Optimize Formulation the Breakfast Meal Flakes ( Food Breakfast ) Bananas With the Addition of Pumpkins. Pengolahan Pangan, 3(2), 32–37. Nurhidayanti, A., & Dewi, S. A. (2017). Pembuatan Flakes Dengan Variasi Tepung Gandum Dan. Jurnal Teknologi Pangan, 8(2), 163–170. Sari, D. K., Marliyati, S. A., Kustiyah, L., Khomsan, A., & Gantohe, T. M. (2014). Uji Organoleptik Formulasi Biskuit Fungsional Berbasis Tepung Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus). Agritech: Jurnal Fakultas Teknologi Pertanian UGM, 34(2), 120–125. https://doi.org/10.22146/agritech.9501 Pargiyanti, P. (2019). Optimasi Waktu Ekstraksi Lemak dengan Metode Soxhlet Menggunakan Perangkat Alat Mikro Soxhlet. Indonesian Journal of Laboratory, 1(2), 29. https://doi.org/10.22146/ijl.v1i2.44745 Saprudin, D., Palupi, C. A., & Rohaeti, E. (2019). Evaluasi Pemberian Unsur Hara Besi pada Kandungan Asam Amino dan Mineral dalam Biji Jagung. Jurnal Kimia Riset, 4(1), 49. https://doi.org/10.20473/jkr.v4i1.11774 Teja, M. (2019). Stunting Balita Indonesia Dan Penanggulangannya. Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, XI(22), 13–18.
109 PERSEPSI PASIEN MENURUT B-IPQ (Brief Illness Perception Questionnaire) VERSI INDONESIA DAN PROFIL PENGOBATAN PASIEN CLD (Chronic Liver Disease) DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PONTIANAK PATIENT'S PERCEPTION ACCORDING TO B-IPQ (Brief Illness Perception Questionnaire) INDONESIAN VERSION AND TREATMENT PROFILE OF CLD (Chronic Liver Disease) PATIENTS IN PONTIANAK REGIONAL GENERAL HOSPITAL M. Akib Yuswar1*), Eka Kartika Untari1) , Luh Ketut Purnima1), Widyaningsih Bandem1) Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura, Pontianak, Indonesia Email : [email protected] ABSTRAK CLD (Chronic Liver Disease) merupakan penyakit hati kronis ditandai dengan kematian jaringan hati yang berangsur dari waktu ke waktu dengan prevalensi 3,5% diseluruh Indonesia. Pasien CLD rata-rata mempunyai persepsi negatif terhadap penyakitnya, maka dari itu instrumen B-IPQ sangat tepat untuk mengukur persepsi pasien yang mengidap penyakit kronis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pasien CLD terhadap penyakitnya dan pengaruh banyaknya regimen terapi terhadap persepsi pada pasien CLD di RSUD dr. Soedarso dan RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie Kota Pontianak. Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental menggunakan metode potong lintang (crosssectional). Pengumpulan data menggunakan instrumen kuesioner B-IPQ sebagai data primer. Jumlah sampel 37 pasien penderita CLD (Chronic Liver Disease) diambil dengan teknik Purposive sampling. Hasil pengukuran persepsi pasien dengan instrumen B-IPQ versi Indonesia mendapatkan nilai rata rata 56,32 yaitu berada diatas batas tengah 40, Hasil uji chi square nilai p value yang didapatkan lebih besar nilainya dibandingkan 0,05 yaitu 0,602. Kesimpulan dari penelitian ini pasien mempunyai persepsi negatif terhadap penyakitnya dan tidak ada hubungan antara banyaknya jumlah obat yang digunakan dengan persepsi nya terhadap penyakit yang di derita. Kata Kunci: B-IPQ versi Indonesia, CLD (Chronic Liver Disease), Persepsi pasien ABSTRACT CLD (Chronic Liver Disease) is a chronic liver disease characterized by death of liver tissue. Mostly CLD patients have negative perception of their disease, therefore the B-IPQ instrument is very appropriate for measuring the perceptions of patients suffering from CLD. This study aims to determine the perceptions of CLD patients on their disease and the influence of the number of therapeutic regimens on perception of CLD patients in RSUD Dr. Soedarso and RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie Pontianak city. This study is a nonexperimental study using a cross-sectional method. Data collection uses the B-IPQ questionnaire as primary data. The sample of 37 patients with CLD (Chronic Liver Disease)
110 was taken by Purposive sampling technique in December 2018 until January 2019. The results of the measurement of the perception of patients with the Indonesian version of the BIPQ instrument get an average value of 56.32 which is above the middle limit value of 40. The results of the chi-square test, p-value obtained is 0.602 greater than 0.05. The conclusion of this study is that patients have negative perceptions of their disease and there is no relationship between the number of drugs used and their perception of the illness. Keywords : Indonesian version of B-IPQ, CLD (Chronic Liver Disease), patient perception PENDAHULUAN Pasien yang menderita suatu penyakit memiliki pemahaman atau pemikiran sendiri dalam rangka untuk memahami dan menanggapi masalah yang dihadapi.(1) Persepsi penyakit merupakan reaksi atau respon kognisi dan emosi yang terdiri dari 5 dimensi yaitu identitas, penyebab, durasi, konsekuensi dan kontrol. Persepsi penyakit dapat menjadi penuntun individu dalam memilih strategi pengendalian penyakit, yaitu manajemen diri.(2) Apabila persepsi pasien terhadap penyakit yang diderita negatif maka kualitas hidup pasien akan rendah, sedangkan apabila persepsi pasien terhadap penyakit yang diderita positif maka kualitas hidup pasien akan tinggi.(3) Sangat diperlukan suatu instrumen agar dapat memahami persepsi penyakit yang dapat membantu pasien mengenal penyakitnya dari sisi psikologis. B-IPQ merupakan instrumen yang berupa kuesioner pendek yang dapat memberikan gambaran kondisi rasa sakit yang dialami pasien. Instrumen ini sangat mudah dan cepat untuk diselesaikan sehingga cocok untuk pasien dengan penyakit kronik dan berumur lanjut serta pasien dengan keterbatasan membaca dan menulis.(4) Instrumen B-IPQ merupakan kuesioner singkat mengenai persepsi penyakit yang pertama kali digunakan di London pada lima penyakit berbeda seperti asma, infark miokard, ginjal, diabetes mellitus (DM) tipe 2 dan diagnosis awal stress serta sudah melewati uji validitas dan reliabilitas, terbukti cocok untuk penyakit tersebut.(5) Penyakit hati kronik adalah suatu penyakit nekroinflamasi hati yang berlanjut dan tanpa perbaikan paling sedikit selama 6 bulan.Penyakit hati kronik dapat asimtomatik atau disertai gejala-gejala seperti mudah lelah, malaise dan nafsu makan berkurang. Serum aminotransferase dapat meningkat secara sementara atau menetap. Ikterus sering tidak ditemukan, kecuali pada kasus - kasus stadium lanjut. Keadaan ini dapat disertai splenomegali, limfadenopati, berkurangnya berat badan, dan demam.(6) Untuk itu perlu dilakukan penilaian persepsi pasien terhadap penyakit CLD dengan menggunakan instrumen B-IPQ. Disisi lain, istrumen B-IPQ belum pernah digunakan di Indonesia untuk penyakit CLD. Agar bisa diterapkan di Indonesia terlebih dahulu instrumen B-IPQ perlu dilakukan uji validitas dan reliabilitas. METODE Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimenta menggunakan metode potong lintang (cross-sectional) yaitu metode penelitian yang mengamati status pajanan dan luaran dalam satu waktu sehingga efisien waktu dan biaya. Pengumpulan data dilakukan secara prospektif yaitu menggunakan instrumen kuesioner sebagai data primer. Sampel pada penelitian ini berjumlah 37 pasien penderita CLD (Chronic Liver Disease). dengan cara non Probability sampling dengan teknik Purposive sampling. Kriteria sampel pasien dengan riwayat penyakit CLD, Pasien yang menjalani rawat inap pada bulan Desember 2018-Januari 2019, Pasien berusia ≥17-85 tahun, pasien dapat membaca dan memahami instrument B-IPQ versi Indonesia, pasien bersedia berpartisipasi dalam penelitian
111 ini secara sukarela. Sedangkan pasien yang tidak mengisi instrumen B-IPQ versi Indonesia dengan lengkap dan jelas tidak menjadi sampel penelitian ini. Pada penelitian ini, data karakteristik pasien dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel berupa persentase. Uji validitas dilakukan dengan metode Pearson correlation (nilai korelasi ≥ 0,3) sedangkan uji reliabilitas menggunakan teknik Internal consistency (Cronbach alpha coefficient ≥ 0,7) dan uji chi square (p value 0,05).(7) HASIL PENELITIAN Sampel dalam penelitian ini berjumlah 37 pasien, seluruh pasien dianalisis karakteristiknya secara deskriptif, dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1 Karakteristik Pasien Karakteristik Kategori N % Jenis Kelamin Laki laki 29 78,37 Perempuan 8 21,63 18-24 3 8,2 25-34 2 5,4 Usia (Tahun) 35-44 4 10,8 45-54 12 32,4 55-64 10 27 65-74 5 13,5 ≥75 1 2,7 SD 8 21,6 Pendidikan SMP 5 13,5 Terakhir SMA 21 56,8 Sarjana 3 8,1 Wiraswasta 21 56,7 PNS 1 2,7 Pekerjaan Petani 6 16,2 Buruh 3 8,1 Pensiunan 2 5,4 Pelajar 2 5,4 Tidak bekerja 2 5,4 Variasi jumlah ≤5 30 81,1 Obat >5 7 18,9 Penyakit Ada 30 81,08 Penyerta Tidak 7 18,92 Data karakteristik pasien CLD (Chronic Liver Disease) di RSUD dr Soedarso dan RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie Pontianak berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan terkhir, pekerjaan, variasi jumlah obat dan penyakit penyerta. Tabel 2 Data pengobatan Pasien No Golongan Nama Obat N % 1 Diuretik Furosemid 9 11,6 8 Spironolakton 9 11,6 8 2 Antivirus Sebivo® 6 7,79 3 Antiamuba Metronidazol 4 5,19 4 Antibiotik Sefotaksim 6 7,79 Seftriakson 3 3,89 Rifampisin 1 1,29 5 Multivitamin Liverprime® 3 3,89 Vitamin K 4 5,19 Metilcobalam in 3 3,89 6 Hepatoprotektor Hepamax® 9 11,6
112 8 Prohepar® 3 3,89 Curcuma CFC® 16 20,7 7 Ursodeoxych olic acid 1 1,29 Data profil pengobatan pasien CLD (Chronic Liver Disease) di RSUD dr. Soedarso dan RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie Pontianak. Tabel 3 Data karakteristik klinik No Pengukuran Rata-rata 1 SGPT 57,48 U/L* 2 SGOT 108,09 U/L* 3 Serum Kreatinin 1,077 mg/dl 4 Ureum 37,81 mg/dl* Nilai data karakteristik klinik pasien CLD (Chronic Liver Disease) di RSUD dr. Soedarso dan RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie Pontianak. Tabel 4. Hasil uji validitas Item pertanyaan Korelasi Nilai Batas Kesimpulan X1 0,885 0,3 Valid X2 0,844 0,3 Valid X3 0,480 0,3 Valid X4 0,571 0,3 Valid X5 0,865 0,3 Valid X6 0,645 0,3 Valid X7 0,598 0,3 Valid X8 0,828 0,3 Valid Hasil uji validitas instrumen BIPQ versi Indonesia pasien CLD (Chronic Liver Disease) di RSUD dr. Soedarso dan RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie Pontianak. Tabel 5. Hasil uji reliabilitas Hasil uji reliabilitas instrumen B-IPQ versi Indonesia semua item pertanyaan pada pasien diabetes melitus di RSUD dr. Soedarso dan RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie Pontianak. Tabel 6. Hasil uji reliabilitas tiap item pertanyaan Butir pertanya an Cronbach’s Alpha Nilai Batas Kesimp ulan X1 0,828 0,7 Reliabel X2 0,836 0,7 Reliabel X3 0,878 0,7 Reliabel X4 0,869 0,7 Reliabel X5 0,832 0,7 Reliabel X6 0,870 0,7 Reliabel X7 0,866 0,7 Reliabel X8 0,839 0,7 Reliabel Cronbach's Alpha N of Items .870 8
113 Hasil uji reliabilitas tiap item pertanyaan instrumen B-IPQ versi Indonesia pada pasien diabetes melitus di RSUD dr. Soedarso dan RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie Pontianak. Tabel 7. Data Hasil Instrumen B-IPQ Versi Indonesia Item 1-8 No Nomor item pertanyaan Sko r X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 X 8 tota l Rata2 7, 10 7. 59 6. 51 7. 78 6. 02 7. 83 6, 37 7, 08 56,3 2 Hasil perhitungan nilai rata rata skor total tiap item pertanyaan instrumen B-IPQ versi Indonesia yang telah diisi oleh pasien rawat inap di RSUD dr. Soedarso dan RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie Pontianak. Instrumen B-IPQ versi Indonesia terdiri atas 9 item yaitu pada item 1-8 memiliki skala 0-10 dengan deskriptor endpoint dan pada item 9 (Gambar 1) pasien diminta untuk membuat daftar apa yang mereka yakini sebagai faktor penyebab utama dari penyakit CLD mereka.(8) Gambar 1 Faktor yang diyakini sebagai penyebab timbulnya penyakit CLD (Chronic Liver Disease) Tabel 8. Distribusi persepsi pasien terhadap penyakit dan jumlah terapi yang digunakan Hasil uji chi-square untuk melihat adanya hubungan antara banyaknya obat yang digunakan dan persepsi pasien terhadap penyakitnya di RSUD dr. Soedarso dan RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie Pontianak. PEMBAHASAN 1. Karakteristik Pasien Sampel penelitian yaitu pasien CLD (Chronic Liver Disease) di RSUD dr. Soedarso Kota Pontianak dan RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie ini terdiri dari berbagai macam 0 10 20 30 40 jumlah pasien jumlah pasien Banyaknya obat Persepsi Pasien CLD P Value Negatif Positif Jumlah 0,607 ≤5 27 (93,1%) 2 (6,9%) 29 (100%) >5 7 (87,5%) 1 (12,5%) 8 (100%) Total 34 (91,9%) 3 (8,1%) 37 (100%)
114 karakteristik seperti jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, pekerjaan,variasi jumah obat dan penyakit penyerta. Setiap karakteristik tersebut akan dibahas sesuai dengan data biodata pasien yang telah diisi sebelumnya. Pasien pada penelitian ini seperti pada tabel 1 yaitu data karakteristik pasien, dapat diketahui bahwa pada saat pengambilan sampel, jumlah pasien laki laki lebih banyak yaitu 29 pasien (78,37%) dibandingkan perempuan. Hal ini sesuai data Riskesdas 2013(9) yang mengatakan berdasarkan jenis kelamin prevalensi CLD laki laki lebih tinggi dibanding perempuan karena kebiasan pola hidup laki-laki yang kurang sehat seperti merokok dan pengkonsumsian alkohol. Rentang umur pasien dikelompokkan berdasarkan infodatin yaitu berkisar umur ≥18 tahun - ≥75 tahun. Rentang Pasien terbanyak berada pada kategori usia 45-54 tahun yaitu 20 pasien (54,1%). Menurut penelitian tambunan(10) diketahui bahwa kasus terbanyak terjadi pada kelompok usia 50-59 tahun. Hal ini berarti usia lanjut yang mengidap penyakit CLD semakin banyak dijumpai terutama disebabkan oleh kecenderungan menurunnya kapasitas fungsional baik pada tingkat seluler maupun pada tingkat organ sejalan dengan proses menua. Pada penelitian ini, jenjang pendidikan SMA menempati posisi tertinggi pendidikan terakhir pasien yaitu 21 pasien (56,7%). Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan tidak berpengaruh terhadap kejadian CLD namun yang berpengaruh ialah pengetahuan tentang kesehatan.(11) Pekerjaan pasien penderita CLD (Chronic Liver Disease) yang terbanyak yaitu wiraswasta sebanyak 21 pasien (56,7%). Hal ini sama hasilnya dengan penelitian yang dilakukan oleh lamtota(12) mendapatkan pekerjaan terbanyak adalah wiraswasta. Namun pada penelitian Malau(13) mendapatkan pekerjaan yang terbanyak yaitu petani. Penelitian mengenai karakteristik pekerjaan pada pasien CLD mendapatkan hasil yang berbeda-beda hal ini disebabkan oleh mayoritas pasien yang menjalani pengobatan rawat inap juga berbeda. Variasi jumlah obat pada penderita CLD (Chronic Liver Disease) yang terbanyak yaitu ≤5 variasi jumlah obat yaitu 30 pasien (81,1%) dan pasien yang mendapatkan pengobatan >5 macam obat sebanyak 7 pasien (18,9%), Terapi yang diberikan pada pasien didasarkan pada tingkat keparahan penyakit, komplikasi yang muncul serta penyakit penyerta yang diderita pasien.(14) Berdasarkan penelitian ini pasien CLD yang paling banyak adanya menderita penyakit penyerta yaitu 30 pasien (81,02%). Komplikasi yang banyak diderita pasien CLD yaitu Hipertensi portal. Menurut European Association for the Study of the Liver Ketika sel-sel hati sudah mengalami sirosis, maka akan timbul berbagai kemungkinan komplikasi antara lain hipertensi portal, ascites, spontaneous bacterial peritonitis (SBP), varises esofagus, dan ensefalopati hepatik. penelitian tambunan et all (14) mendapatkan hasil sebanyak 50% pasien CLD mempunyai penyakit penyerta, dan penelitian Imelda (15) sebanyak 88,7%. 2. Profil penggunaan obat Berdasarkan tabel 2 yaitu data pengobatan pada pasien CLD (Chronic Liver Disease) 3 obat yang paling banyak digunakan oleh pasien CLD yaitu curcuma CFC®, Furosemid dan Spironolakton, Hepamax® dan prohepar®. Curcuma CFC® sebanyak 16 pasien (20,7%). Curcuma CFC® merupakan suplemen herbal untuk memelihara kesehatan liver yang isinya adalah temulawak. Menurut penelitian yang dilakukan marinda (15) Efek kurkumin sebagai antioksidan yang mampu mencegah kerusakan sel hepar. Curcumin juga mampu meningkatkan gluthation S-transferase (GST) dan mampu menghambat beberapa faktor proinflamasi, ekspresi gen dan replikasi virus hepatitis B melalui down-regulation dari PGC1α, sehingga curcumin dapat dijadikan alternatif hepatoprotektor pada pasien hepatitis kronis. Furosemid dan spironolakton merupakan obat golongan diuretik yang juga banyak diberikan oleh pasien CLD (Chronic Liver Disease) angka jumlah pasien yang diberi obat tersebut sama yaitu 9 pasien CLD (11,68 %). Penggunaan diuretik pada pasien penyakit hati
115 bertujuan untuk mengurangi edema pada hati yang mengalami ketidaknormalan fungsi hati. Ada beberapa pasien yang diberikan kombinasi antara Furosemid dan Spironolakton. Furosemid merupakan obat untuk mengurangi cairan berlebih dalam tubuh (edema) yang disebabkan oleh kondisi seperti gagal jantung, penyakit hati, dan ginjal. Spironolakton adalah antagonis aldosterone yang bertindak terutama pada tubulus distal untuk meningkatkan diuresis dan hemat kalium. Apabila dengan dosis maksimal spironolakton diuresisnya belum tercapai maka dapat dikombinasikan dengan furosemid.(16) Hepamax® dan prohepar® digunakan oleh 9 pasien CLD (11,68 %). Hepamax merupakan suplemen yang digunakan untuk menjaga kesehatan fungsi hati, dan membantu untuk menormalkan kadar SGOT dan SGPT di dalam hati. Selain itu pada penelitian Junaidi A, et all(17) Silymarin yang merupakan kandungan dari obat hepamax memiliki khasiat dalam pengobatan pasien pada gangguan hati terutama pada pasien faktor risiko alkoholik. Prohepar yang mengandung Ekstrak Echinacea juga berasal dari tumbuhan alami Echinacea Purpurea. Echinacea digunakan untuk merangsang sel-sel kekebalan tubuh untuk melawan virus dan bakteri yang menginfeksi hati.(18) 3. Karakteristik klinis Pada tabel 3 rata-rata kadar SGPT yang dihasilkan oleh pasien CLD (Chronic Liver Disease) di RSUD dr. Soedarso dan RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie kota Pontianak yaitu 57,48 U/L hal ini menunjukkan bahwa rata rata pasien yang menjalani rawat inap mempunyai kadar SGPT yang tinggi, karena nilai rujukan untuk SGPT/ALT yang normal yaitu pada laki-laki : 0-50 U/L, perempuan : 0-35 U/L. SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) atau juga dinamakan ALT (Alanin Aminotransferase) merupakan enzim yang banyak ditemukan pada sel hati serta efektif untuk mendiagnosis destruksi hepatoseluler.(19) Rata-rata kadar SGOT yang dihasilkan oleh pasien rawat inap CLD (Chronic Liver Disease) di RSUD dr. Soedarso dan RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie kota Pontianak yaitu 108,09 U/L, hal ini menunjukkan bahwa rata rata pasien yang menjalani rawat inap mempunyai kadar SGOT yang tinggi, karena nilai normal kadar SGOT yaitu Laki-laki: 0-50 U/L Perempuan: 0-35 U/L. SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau juga dinamakan AST (Aspartat Amino transferase) merupakan enzim yang dijumpai dalam otot jantung dan hati, sementara dalam konsentrasi sedang dijumpai pada otot rangka, ginjal dan pankreas.(20) Kadar ureum dengan nilai normal Laki-laki: 8-20 mg/dL, perempuan: 6-20 mg/dL, pada penelitian ini kadar rata-rata ureum didapatkan nilai yang tinggi yaitu 37,81 mg/dL. Kadar Serum kreatinin dengan nilai normal Laki-laki: 0,7-1,3 mg/dL, perempuan: 0,6- 1,1 mg/dl. nilai rata-rata kadar serum kreatinin yang didapatkan normal yaitu 1,077 mg/dL Pemeriksaan kadar ureum dan serum kreatinin bertujuan untuk mendeteksi adanya Sindrom Hepatorenal. Sindrom hepatorenal yang merupakan suatu keadaan dimana terjadinya gangguan fungsi ginjal pada pasien dengan sirosis hepatis lanjut atau gagal hati fulminan, yang ditandai dengan menurunnya laju filtrasi ginjal tanpa adanya penyebab yang lain. Ciriciri adanya sindrom hepatorenal yaitu Peningkatan ringan BUN (ureum) dan kreatinin serum, menurunnya ekskresi air setelah pemberian cairan, ekskresi natrium urin yang rendah, hipotensi arterial, aktifitas plasma rennin meninggi, kadar norepinefrin plasma tinggi, refrakter ascites, tidak ada hepatomegaly, peningkatan vascular resistive index ginjal.(21) 4. Uji Validitas Uji validitas dilakukan menggunakan 30 pasien penyakit CLD (Chronic Liver Disease). Uji validitas instrument dilakukan sebelum pengujian reliabilitas, karena hanya pada item yang sudah valid saja yang dapat secara bersama sama dihitung reliabilitasnya.
116 Kuesioner dikatakan valid jika nilai r hitung lebih besar dari r tabel (0,3) pada taraf kepercayaan 95%.(22) kedelapan item pertanyaan dalam instrumen B-IPQ tersebut valid karena masing masing item mempunyai nilai korelasi >0,3 dengan metode Pearson correlation pada taraf kepercayaan 95% (tabel 4) sehingga dapat dipahami oleh pasien penyakit CLD (Chronic Liver Disease) dan dapat digunakan untuk mengukur persepsi pasien terhadap penyakit CLD. Løchting (2013) menyebutkan bahwa instrumen ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dan digunakan lintas-nasional dengan demikian dapat dikatakan bahwa instrumen ini sudah memenuhi segala aspek untuk menggambarkan persepsi penyakit dari seorang pasien serta tentunya mudah dipahami oleh pasien.(8) 5. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas menggunakan 30 pasien CLD (Chronic Liver Disease). Hasil uji reliabilitas seluruh item pertanyaan didapatkan nilai Cronbach alpha coefficient ialah 0.870 > 0.7 (tabel 5) pada taraf kepercayaan 95%. Pada hasil uji reliabilitas masing-masing item pertanyaan didapatkan nilai >0,7 (tabel 6). Nilai koefisien reliabilitas atau alpha (cronbach) yang baik adalah diatas 0,7 sebab sudah dikatakan cukup andal dan nilai diatas 0,8 dikatakan andal.(20) hal ini mengindikasikan bahwa 8 item instrument B-IPQ versi Indonesia tersebut reliabel dan bersifat konsisten untuk mengukur persepsi penyakit pada pasien CLD (Chronic Liver Disease). 6. Penilaian Instrumen B-IPQ versi Indonesia Berdasarkan nilai rata-rata dari keseluruhan item (tabel 7) tersebut diketahui nilai rata rata yang didapatkan yaitu 56,324 yang diyakini bahwa penyakit hati kronis masih dianggap sebagai ancaman, karena berada di atas batas tengah yaitu 40 dengan rentang nilai total ratarata 0 s/d 80. Menurut penelitian Løchting(2013)(8), menyatakan bahwa skor yang lebih tinggi menunjukkan bahwa penyakit tersebut dianggap sebagai ancaman. Gambar 1 merupakan grafik hasil pengelompokan faktor-faktor yang diyakini oleh pasien sebagai penyebab utama terjadi penyakit CLD (Chronic Liver Disease). Tiga faktor utama yang diyakini sebagai faktor penyebab penyakit CLD (Chronic Liver Disease) adalah pola makan sebanyak 35 pasien, pola hidup 31 pasien dan penyakit penyerta 28 pasien. Menurut Depkes (2017) (23) faktor yang diyakini sebagai penyebab penyakit hati yaitu pola makan seperti konsumsi alkohol, penyakit penyerta seperti Infeksi virus hepatitis dan kanker, pengkonsumsian obat obatan tertentu dan genetik atau keturunan. 7. Persepsi Pasien terhadap penyakitnya dan jumlah terapi yang digunakan Berdasarkan distribusi persepsi pasien terhadap penyakitnya (Tabel 8) dapat diketahui mayoritas pasien mempunyai persepsi negatif terhadap penyakitnya yakni sebanyak 34 pasien (91,9%) sedangkan yang mempunyai persepsi positif terhadap penyakitnya yaitu sebanyak 3 pasien (8,1%). Diketahui jumlah pengobatan ≤5 yang mempunyai persepsi negatif sebanyak 27 pasien (93,1%) dan yang mempunyai persepsi positif yaitu sebanyak 2 pasien (6,9%), sedangkan yang jumlah pengobatannya >5 yaitu yang mempunyai persepsi negatif 7 pasien (87,5%) dan persepsi positif sebanyak 1 pasien (12,5%). Hal ini disebabkan oleh persepsi masing masing individu pasien dan kualitas hidup pasien itu sendiri. Ketakutan, stigma dan kesalah pahaman dari pengetahuan pasien. Menurut riskesdas (2013) mengingat penyakit ini adalah penyakit kronis, dimana pada saat orang tersebut terinfeksi kondisi masih sehat tetapi penularan terus berjalan.(9) Nilai p value pada gambar 4 merupakan hasil dari analisis bivariate dengan pengujian chi-square. Analisis bivariate adalah teknik analisa yang untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel terikat nya yaitu variasi jumlah obat yang meliputi pasien menerima obat ≤5 dan >5 sedangkan variabel bebas nya yaitu persepsi pasien yang terukur menurut B-IPQ. Dari hasil uji chi-square tersebut nilai p value
117 yang didapatkan 0,607 yang lebih besar nilainya dibandingkan 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat adanya hubungan yang signifikan antara banyaknya obat yang digunakan dengan persepsi pasien terhadap penyakitnya. KESIMPULAN Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen B-IPQ versi Indonesia yang terdiri dari 8 item pertanyaan dinyatakan valid dan reliabel untuk mengukur persepsi penyakit CLD. Persepsi pasien CLD (Chronic Liver Disease) rawat inap di RSUD dr. Soedarso Pontianak dan RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie Pontianak negatif, karena nilai rata rata jumlah yang didapatkan 56,324 berada diatas nilai batas tengah yaitu 40. Hasil uji chi-square yang telah dilakukan menyatakan tidak adanya hubungan antara banyaknya jumlah obat/terapi yang digunakan dengan persepsi terhadap penyakit yang di derita, karena nilai yang didapatkan yaitu 0,607 sangat jauh berada diatas 0,05. DAFTAR PUSTAKA 1. Lensi R., Surjaningrum E. Hubungan antara Persepsi Penyakit dengan Manajemen Diri pada Penderita Diabetes yang Memiliki Riwayat Keturunan. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental; 2014, 03(01). 2. Hair JF, Black WC, Babin BJ, Anderson RE. Multivariate data analysis a global perspective.7th ed. Pearson Prentice Hall; 2010. 3. Hadisa N, Susanti R, Robiyanto. Uji Validitas dan Reliabilitas B-IPQ Versi Indonesia Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di RSUD Soedarso Pontianak. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi; 2017: 7(04). 4. Sugiyono. Statistika untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung; 2010. 5. Hadisa N, Susanti R, Robiyanto. Uji Validitas dan Reliabilitas B-IPQ Versi Indonesia Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di RSUD Soedarso Pontianak. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi; 2017: 7(04). 6. Akbar N. Diagnostik Hepatitis Akut dan Kronis. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM; 2007. 7. Priyatno D. Teknik Mudah dan Cepat Melakukan Analisis Data Penelitian dengan SPSS dan Tanya Jawab Ujian Pendadaran. Yogyakarta: Gaya Media; 2010. 8. Løchting I., Garratt AM., Storheim K., Werner EL., Grotle M. Evaluation of the Brief Illness Perception Questionnaire in SubAcute and Chronic Low Back Pain Patients: Data Quality, Reliability and Validity. J Pain Reli; 2013, 02(03). 9. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Pedoman pewawancara petugas pengumpul data. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta; 2013. 10. Tambunan A, Mulyadi Y, Kahtan MI. Karakteristik Pasien Sirosis Hati di RSUD Dr. Soedarso Pontianak Periode Januari 2008 – Desember 2010. [Skripsi]. Pontianak: Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura; 2011. 11. Lubis AF. Ekonomi kesehatan. Medan: USU press; 2009. 12. Lamtota I. Profil pasien sirosis hati yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan [serial online] 2014 (diunduh 5 Mei 2015). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://repository.usu.ac.id/ handle/123456789/40085. 13. Malau DL. Karakteristik penderita sirosis hati yang dirawat di RSUD Sidikalang tahun 2007-2011 (serial online) 2013 (diunduh 5 Mei 2015). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/38147. 14. Farida Y, Andayani TM, Ratmasari. Analisis penggunaan obat pada komplikasi sirosis hati. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi. 2014; 4(2).
118 15. Marinda FD. Hepatoprotective effect of curcumin in chronic hepatitis. Jurnal Majority: 2014; 3(7). 16. Moore KP, Aithal, GP. Guidelines on the Management of Ascites in Cirrhosis, Gut BMJ Journals: 2006; 55. 17. Junaidi A, Rmadhania ZM. Potensi silymarin (hepamax) sebagai suplemen dan terapi penunjang pada gangguan liver. Farmaka: 2013; 16(01). 18. Gad SS. Silymarin and Curcumin has a Potential Hepato-Protective Effect against Chemically-Induced Liver Dysfunction.Virology dan Immunology Journal. 2017; 1(01). 19. Sosrosumihardjo R, Astuti G, Yusra. Pemeriksaan laboratorium pada penyakit hati. Dalam Buku ajar ilmu penyakit hati . Editor Ali S, Nurul A, Laurentinus AL, Sjaifoellah N. Jakarta: Jayabadi; 2007. 20. David C. Dugdale. Creatinine blood test. 8 April 2013. Available from:https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003475.html 21. Dugdale DC. Creatinine blood test [Internet]. Dicitasi 8 April 2013. Tersedia dari: https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003475. html. 22. Low Back Pain Patients: Data Quality, Reliability and Validity. J Pain Reli: 2013;02(03). 23. Direktorat Bina Farmasi komunitas dan klinik. Pharmaceutical care untuk penyakit Hati. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2007.
119 PERBANDINGAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK ETANOL DAUN DAN BUAH KAPULAGA (Amomum compactum)DENGAN METODE DPPH (1,1-DIFENIL-2-PIKRILHIDRAZIL) COMPARISON OF ANTIOXIDANT ACTIVITY OF KAPULAGA’S (Amomum compactum) LEAVES AND FRUIT ETHANOL EXTRACT WITH DPPH METHOD (1,1-DIFENIL-2-PICRYLHYDRAZIL) Pramita Yuli Pratiwi 1*) , Farisya Nurhaeni 2) , Aditya Fitriasari 2) , Tikadyan Herdyaningtyas 2) 1 Program Studi D3 Farmasi Jurusan Farmasi, Poltekkes Kementerian Kesehatan Surakarta Jl. Kesatrian No.2, Danguran, Kec. Klaten Selatan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah 57425, Indonesia 2 Program Studi D3 Farmasi, Politeknik Kesehatan Bhakti Setya Indonesia, Jl. Janti Jl. Gedongkuning No.336, Modalan, Banguntapan, Kec. Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55198, Indonesia * e-mail: [email protected] ABSTRAK Antioksidan merupakan senyawa yang mempunyai molekul yang dapat memberikan elektronnya secara cuma-cuma kepada molekul radikal bebas dan dapat memutuskan reaksi berantai dari radikal bebas. Antioksidan banyak terdapat didalam tanaman, salah satunya tanaman kapulaga. Tanaman kapulaga merupakan tanaman herba yang digunakan sebagai bumbu masakan dan memiliki manfaat untuk mengobati berbagai macam penyakit. Beberapa senyawa kimia yang terdapat dalam tanaman kapulaga berkhasiat sebagai antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antioksidan tanaman kapulaga. Buah dan daun kapulaga diekstraksi dengan metode remaserasi dengan penyari etanol 96%. Ekstrak yang diperoleh kemudian diuji kandungan fitokimia dan aktivitas antioksidannya.Uji kandungan fitokimia terhadap kandungan flavonoid, polifenol dan saponin dilakukan dengan metode tabung (reaksi warna). Penentuan aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH(1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)secara spektrofotometri pada panjang gelombang 520 nm. Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa buah dan daun kapulaga positif mengandung flavonoid, polifenol dan saponin. Ekstrak etanol buah kapulaga dan daun kapulaga memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat dengan nilai IC50masing-masing berturut-turut sebesar 30,81dan 45,85 µg/ml. Kata kunci : Antioksidan, Buah kapulaga, Daun kapulaga (Amomum compactum), DPPH ABSTRACT Antioxidants are compounds that have molecules that can donate electrons for free to free radical molecules and can break the chain reaction of free radicals. Antioxidants are found in many plants, one of which is cardamom. Cardamom is a herbaceous plant that is used as a spice in cooking and has benefits for treating various diseases. Several chemical compounds found in cardamom plants are efficacious as antioxidants. This study aims to determine the antioxidant activity of cardamom plants. Cardamom fruit and leaves were extracted by remaceration method with 96% ethanol extract. The extract obtained was then
120 tested for its phytochemical content and antioxidant activity. The phytochemical content test on the content of flavonoids, polyphenols and saponins was carried out using the tube method (color reaction). Determination of antioxidant activity was carried out using the DPPH(1,1- diphenyl-2-picrylhydrazyl) method spectrophotometri at a wavelength of 520 nm. The results of phytochemical screening showed that cardamom fruit and leaves were positive for flavonoids, polyphenols and saponins. The ethanol extract of cardamom fruit and cardamom leaf has very strong antioxidant activity with IC50 values of 30.81 and 45.85 g/ml, respectively. Key words : Antioxidant, Cardamom fruit, Cardamom leaf (Amomum compactum), DPPH PENDAHULUAN Banyak penyakit yang dipicu oleh radikal bebas. Radikal bebas bisa terbentuk ketika komponen makanan diubah menjadi bentuk energi melalui proses metabolisme. Radikal bebas memiliki reaktivitas yang sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekitarnya (Winarsi, 2007). Senyawa kimia yang dapat membantu tubuh melawan oksigen reaktif adalah antioksidan (Winarsi, 2007). Antioksidan merupakan zat yang berfungsi melindungi dari serangan radikal bebas. Antioksidan membantu menghentikan proses perusakan sel dengan cara memberikan elektronnya kepada radikal bebas. Antioksidan akan menetralisir radikal bebas, sehingga mempunyai kemampuan untuk mencuri elektron dari sel DNA. Sumber antioksidan dapat ditemukan secara alami di makanan sehari-hari, misal pada buah-buahan dan sayur-sayuran, salah satunya terdapat dalam buah kapulaga(Amomum compactum). Buah kapulaga dan daun kapulaga (Amomum compactum) memiliki potensi sebagai tanaman obat, namun sebagian masyarakat belum banyak yang mengetahui. Buah kapulaga mengandung minyak atsiri, flavonoid, saponin, polifenol, mangan, pati, gula, lemak, protein dan silika sedangkan di dalam daunnya mengandung flavonoid dan vitamin C (Winarsi, 2014). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Indriani (2016) yaitu uji aktivitas antimikroba fraksi etil asetat buah kapulaga dengan KLT-Bioautografi hasil menunjukkan bahwa fraksi tersebut mampu menghambat pertumbuhan mikrobaSalmonella typi, Escherichia coliyang ditandai dengan adanya zona hambat bening pada area sekitar noda lempeng yang diinokulasi pada medium. Penelitian mengenai aktivitas antioksidan pada daun dan buah kapulaga (Amomum compactum) belum banyak dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan guna mengetahui aktivitas antioksidan daun dan buah kapulaga dengan metode DPPH (1,1- difenil-2-2-pikrihidrazil). METODE Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender (Miyako), lemari pengering, maserator, cawan porselen, labu takar (Pyrex), aluminium foil, pisau, kain flannel, kipas angin (Miyako), neraca analitik (Ohaus), botol hitam, mikropipet(Socorex), pipet tetes, tabung reaksi,alat-alat gelas, rotary evaporator(Heidolph), dan spektrofotometri UV-Vis Mini 1240 (Shimadzu). Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah daun dan buah kapulaga. Senyawa pembanding yang digunakan adalah kuersetin. Radikal bebas yang digunakan senyawa DPPH, sebagai larutan penyari etanol teknis 96% dan pelarut untuk uji aktivitas
121 antioksidan etanol pro analisis 96%. Bahan skrining fitokimia H2SO4 2N (Merck), aquadest, HCl 2N (Merck), FeCl3 (Merck). Jalannya Penelitian 1. Pengumpulan Bahan Buah yang digunakan adalah masih terlihat segar, besar, warna merah keunguan dan daun kapulaga yang digunakan adalah tidak terlalu hijau tua dan tidak terlalu muda dan masih utuh yang didapat dari dari Samigaluh, Kulon Progo. 2. Determinasi Tanaman Determinasi daun kapulaga dilakukan unutk memastikan bahwa yang digunakan sesuai kepustakaan yang ada dan tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan sampel. Kebenaran sampel adalah syarat mutlak dalam penelitian yang harus dipenuhi. Determinasi tanaman dilakukan di Laboratorium Sistematik Tumbuhan Fakultas Biologi UGM,Yogyakarta. 3. Pembuatan Serbuk Simplisia Sebelum dilakukan pembuatan serbuk simplisia, buah dan daun kapulaga dilakukan sortasi basah terlebih dahulu untuk memisahkan dari kotoran bahan simplisia. Buah dan daun dicuci dengan air mengalir dan dipotong kecil-kecil kemudian ditiriskan.Seribu gram bobot simplisia basah, ditimbang kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari dengan ditutupi kain hitam 2-3 jam kemudian dimaksukkan ke dalam almari pengering dengan suhu 40◦C sehingga diperoleh simplisia kering. Simplisia yang telah kering tersebut kemudian dilakukan sortasi kering untuk memisahkan benda asing dan pengotor yang tertinggal di dalam simplisia kering. Daun kapulaga tersebut kemudian diblender untuk mendapatkan serbuk simplisia kemudian diayak dengan ayakan ukuran 20/40, sedangkan untuk buah kapulaga diayak dengan ayakan 8/24. Buah dan daun kapulaga memiliki derajat kehalusan yang berbeda karena untuk memperoleh hasil penyarian yang baik dan tepat (Depkes, 1986). 4. Penyarian Serbuk Simplisia Penyarian serbuk dilakukan dengan cara remaserasi sebanyak 2x terhadap serbuk buah dan daun kapulaga. Serbuk simplisia dengan berat 50 gr dipindah ke maserator, ditambah dengan 500 ml etanol 96%, diaduk selama 30 menit lalu di diamkan selama 24 jam. Setelah didiamkan selama 24 jam, kemudian disaring, dan filtrat disimpan dalam botol coklat (filtrat I). Ampas kemudian disari dengan500 ml etanol 96%,seperti cara yang telah dilakukan sebelumnya sehingga diperoleh filtrat II. Kemudian filtrat tersebut dicampur menjadi 1 wadah botol coklat kemudian dienapkan semalam 24 jam. Kemudian dievaporasi dengan rotary evaporator hingga didapat cairan yang kental. Cairan kental tersebut kemudian diangin-anginkan dengan bantuan kipas anginhingga diperoleh ekstrak kental. Sisa air ekstrak kental dapat dikurangi dengan cara ditutup dengan aluminium foil yang dilubangi kecil kecil dan dimasukkan kedalam eksikator selama 1 minggu. Perhitungan randemen dapat dilakukan dengan menggunakan rumus : Randemen Ekstrak 5. Pembuatan Larutan a. Larutan stok DPPH 0,3 mM. Larutan stok DPPH yang akan dibuat berkonsentrasi 0,3 mM dengan menimbang 5,914 mg DPPH dilarutkan dalam etanol p.a sampai50 ml. b. Larutan Stok Sampel. Masing-masing sampel dibuat dengan kadar 0,1% (b/v) sebanyak 10 ml. 10 mg ekstrak kering ditimbang dan dilarutkan kedalam etanol p.a hingga 10 ml digojok sampai homogen. c. Baku Pembanding (Kuersetin). Larutan dibuat dengan kadar 0,01 % (b/v). Sebanyak 10 mg kuersetin dilarutkan dengan etanol dalam labu takar 10 ml, digojok sampai homogen. Pipet 1 ml larutan kuersetin dimasukkan ke dalam
122 labutakar 10 ml lalu ditambahkan etanol p.a sampai 10 ml digojog kembali hingga homogen. 6. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum DPPH Panjang gelombang dimana suatu larutan zat uji memiliki serapan maksimum (disebut panjang gelombang serapan maksimum) merupakan ciri khas dari zat uji tersebut dalam metode spektrofotometri. Panjang gelombangmaksimum dari senyawa DPPH akan digunakan untuk mengukur absorbansi dari sampel selanjutnya. Pengukuran dilakukan dengan cara mengambil 1 ml DPPH ditambahkan dengan etanol p.a dalam labu takar 5 ml, kemudian diukur panjang gelombang maksimum. 7. Penentuan Aktivitas Penangkapan Antioksidan denganSpektrofotometri menggunakan DPPH. Penentuan aktivitas antioksidan dilakukan dengan mengambil 50 µl ekstrak dengan berbagai macam konsentrasi. Konsentrasi untuk buah kapulagasebesar 26, 28, 30, 32, 34 µg/ml dan untuk daun kapulagasebesar 20, 30, 40, 50, 60 µg/ml. Masing-masing konsentrasi yang akan diuji kemudian dimasukkan ke labu takar 5 ml ditambah DPPH 0,3 mM sebanyak 1 ml dan ditambah etanol p.a hingga 5 ml. Kemudian campuran digojok kuat secukupnya, didiamkan kurang lebih 30 menit dan diukur absorbansinya. Setiap sampel konsentrasi dilakukan replikasi tiga kali. Penentuan aktivitas penangkapan radikal bebas dihitung nilai persen antioksidan. Persen aktivitas antioksidan : Absorbansi kontrol adalah serapan radikal DPPH, sedangkan absorbansi sampel adalah serapan radikal DPPH setelah diberi perlakuan sampel (Mintowati dan Dewi, 2010). Aktivitas penangkapan radikal bebas ditetapkan dengan menggunakan persen penghambatan yang dihitung menggunakan nilai absorbansi sampel yang dibandingkan dengan nilai absorbansi DPPH sebagai kontrol. Skrining fitokimia 1. Flavonoid Uji flavonoid dilakukan dengan pereaksi H2SO4. Indikator positif apabila terjadi perubahan warna menjadi kuning, merah atau coklat (Harborne, 1996). 2. Polifenol Beberapa tetes lautan ekstrak ditambah 5 ml aquadest, dipanaskan dalam waterbath 10 menit. Setelah dingin ditambahkan pereaksi besi (III) klorida 3 tetes. Jika terjadi warna hijau-hitam menunjukkan adanya polofenol (Harborne, 1996). 3. Uji Saponin Larutan ekstrak etanol dimasukkan kedalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml aquadest,digojok kuat selama 30 detik. Tabung dibiarkan dalam posisi tegak selama 30 menit, apabila terbentuk buih tinggi 1-10 cm dari permukaan cairan, dan buih tersebut tetap stabil ketika ditambahkan HCl 2N maka menunjukkan adanya saponin pada ekstrak(Harborne, 1996). Cara Analisis Data Data berupa absorbansi sampel untuk mencari persen aktivitas antioksidan yang akan dibandingkan dengan konsentrasi ekstrak untuk memperoleh persamaan garis regresi linier digunakan untuk mencari nilai IC50sebagai parameter untuk menunjukkan aktivitas antioksidan. Data kemudian diolah menggunakan analisis uji OneWay Anava.
123 HASIL DAN PEMBAHASAN Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kapulaga dan daun kapulaga yang diperoleh dari Samigaluh, Kulon Progo. Determinasi tanaman dilakukan di Laboratorium Sistematika Tumbuhan Fakultas Biologi UGM, dengan tujuan untuk memastikan bahwa tanaman yang digunakan adalah benar-benar tanaman kapulaga. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman yang diambil adalah benar tanaman kapulaga dengan nama spesies Amomum compactum solan. Pembuatan Ekstrak Bagian tanaman yang digunakan adalah buah kapulaga dan daun kapulaga. Bahan disortasi basah kemudian dicuci bersih dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran dan senyawa pengganggu. Buah dan daun kapulaga dipotong kecil-kecil kemudian dirajang dan dijemur pada sinar matahari langsung selama 24 jam yang ditutup dengan kain hitam agar senyawa aktif tidak teroksidasi oleh sinar matahari langsung. Setelah itu, dimasukkan dalam lemari pengering pada suhu 40˚C sampai didapatkan simplisia kering agar tidak mudah ditumbuhi jamur. Simplisia buah kapulaga diayak dengan ayakan 8/24, sedangkan untuk daun kapulaga diayak dengan ayakan 20/40. Buah dan daun kapulaga memiliki derajat kehalusan yang berbeda karena untuk memperoleh hasil penyarian yang baik dan tepat (Depkes, 1986). Penyarian pada masing-masing sampel dilakukan dengan cara remaserasi. Cara penyarian ini dipilh karena peralatannya sederhana,lebih mudah pengerjaannya dan tidak membutuhkan waktu yang lama, serta memungkinkan untuk bahan yang tidak tahan terhadap pemanasan. Sebanyak 50 gram buah kapulaga dan daun kapulaga diremaserasi dengan cairan penyari etanol 96% (2 x 500ml). Etanol 96% merupakan pelarut dengan polaritas yang cukup tinggi sehingga mampu menyari sebagian besar senyawa kimia yang berpotensi sebagai antioksidan (Depkes, 1986). Filtrat yang diperoleh kemudian disaring dan ditampung di gelas beaker. Filtrat dimasukkan dalam botol kaca berwarna gelap adalah untuk menghindari terjadinya reaksi senyawa antioksidan tertentu dengan sinar ultraviolet dan cahaya matahari. Remaserasi termasuk ekstraksi dingin, sehingga zat aktif yang diinginkan tidak terdegradasi oleh panas. Sistem ekstraksi yang digunakan ini akan menarik senyawa-senyawa yang relatif polar seperti antioksidan. Filtrat yang diperoleh dipekatkan denganrotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental. Proses penguapan menggunakan rotary evaporator terdapat di Lampiran 3. Ekstrak cair yang diperoleh kemudian dipindahkan kedalam cawan porselen yang telah ditara dan diberi label bobot cawan, kemudian dianginanginkan dengan kipas angin hingga sisa air pada ekstrak menguap. Ekstrak kental dalam cawan porselen tersebut ditutup dengan aluminium foil, kemudian dilubangi bagian atasnya dan selanjutnya dimasukkan kedalam eksikator selama satu minggu atau lebih. Eksikator berupa bejana yang diberi gamping aktif tertutup rapat. Penyimpanan dalam eksikator bertujuan agar sisa air yang masih ada didalam ekstrak dapat terserap oleh gamping aktif yang berada didalam eksikator. Rendemen Randemen merupakan presentase perbandingan antara berat total ekstrak yang diperoleh dengan berat awal simplisia kering. Hasil ekstraksi bagian tumbuhan yang berbeda akan menghasilkan randemen yang berbeda pula. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa randemen ekstrak etanol buah kapulaga sebesar 8,94% dan daun kapulaga sebesar 9,7%. Dari hasil tersebut diketahui bahwa randemen ekstrak etanol daun kapulaga lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak etanol buah kapulaga. Hal ini menunjukkan bahwa daun kapulaga memiliki banyak kandungan zat yang dapat tersari oleh etanol lebih banyak dibandingkan dengan ekstrak buah kapulaga. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
124 Panjang gelombang setiap senyawa bersifat spesifik sehingga dalam penetapan nilai serapan diperlukan penentuan panjang gelombang senyawa yang dimaksud terlebih dahulu. Pada uji potensi ini akan ditentukan panjang gelombang maksimum dari DPPH. Panjang gelombang maksimum adalah panjang gelombang dimana terjadi eksitasi elektrolik pada serapan maksimum. Pembacaan serapan yang dilakukan pada bilangan gelombang maksimum akan didapatkan kesalahan pembaca yang paling kecil atau akurat. Penentuan panjang gelombang maksimum DPPH dilakukan rentang panjang gelombang 200-900 nm. Menurut Molyneux (2004), DPPH mampu bekerja pada panjang gelombang maksimum (λ maks) antara 515-520 nm, Panjang gelombang DPPH yang dihasilkan adalah 520 nm, maka panjang gelombang DPPH tersebut dapat digunakan untuk mengukur absorbansi pada sampel. Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH Senyawa antioksidan secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu senyawa yang dapat menunda, memperlambat atau mencegah terjadinya proses oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Winarsi,2007). Pengujian antivitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan DPPH. Metode uji DPPH merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari subtansi yang berperan sebagai antioksidan. Metode DPPH dipilih karena merupakan metode yang sederhana, mudah, dan menggunakan sampel dalam jumlah sedikit dan waktu yang digunakan lebih singkat. DPPH bersifat radikal bebas sehingga tidak stabil. Larutan DPPH dalam etanol berwarna ungu dan akan mengikat atom H dari senyawa antioksidan sehingga menjadi dirinya stabil dan warnanya berubah menjadi kekuningan. Pada penelitian ini, pengujian antioksidan dilakukan pada buah dan daun kapulaga serta kuersetin sebagai pembanding dengan berbagai konsentrasi, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm yang merupakan panjang gelombang maksimum DPPH. Dilakukan juga pengukuran absorbansi kontrol digunakan untuk tujuan kalibrasi sebagai larutan pembanding dalam analisis fotometri. Sampel diukur absorbansinya dengan 5 konsentrasi dan setiap konsentrasi dilakukan replikasi sebanyak 3 kali. Data absorbansi diperoleh kemudian dihitung persen kadar aktivitas antioksidan. Absorbansi yang diperoleh dihitung aktivitas antioksidan yang dibutuhkan untuk menginhibasi 50% radikal bebas. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktifitas antioksidannya (Winarsi, 2014). Hasil Pengukuran Kuersetin Tabel 1. Data Pengukuran Absorbansi Kuersetin Dari data pada tabel 1 hasil uji aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi maka semakin rendah absorbansinya, sedangkan aktivitas antioksidannya semakin tinggi. Konsentrasi sampel (µg/ml) Absorbansi Aktivitas antioksidan (%) I II III I II III Kontrol 0,583 0,585 0,582 Rata-rata absorbansi kontrol=0,583 0,4 0,456 0,454 0,458 21,78 22,13 21,44 0,8 0,387 0,384 0,389 33,79 34,13 33,28 1,2 0,307 0,310 0,305 47,37 46,43 47,68 1,6 0,288 0,284 0,286 50,60 51,29 50,94 2,0 0,206 0,208 0,205 64,67 64,32 64,84 Persamaan Regresi Linier dan Nilai IC50 (µg/ml) y=24,648x +13,569 r = 0,987 IC50=1,474 y=25,385x + 13,278 r =0,991 IC50=1,445 y=26,115x + 12,298 r =0,987 IC50=1,474
125 Untuk nilai r hitung pada tabel product moment untuk 5 data dengan taraf signifikasi 5% yaitu 0,878. Nilai r hitung dari ketiga replikasi yaitu 0,987 ; 0,991 ; 0,987 lebih besar dari r tabel (0,878) sehingga persamaan regresi linier tersebut bisa dapat dipergunakan untuk menghitung nilai IC50. Berdasarkan hasil rata-rata dari ketiga nilai IC50 kuersetin sebesar 1,46 µg/ml. Hal ini menunjukkan kuersetin memiliki antioksidan yang sangat kuat karena nilai IC50 kurang dari 50 µg/ml (Winarsi, 2014). Kuersetin merupakan senyawa tunggal dan murni serta memiliki sifat antioksidan yang sangat kuat dibandingkan dengan buah dan daun kapulaga. Hasil Pengukuran Buah Kapulaga Tabel 2. Data Pengukuran Absorbansi Ekstrak Etanol Buah Kapulaga Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai r hitung yang diperoleh semua nilai r hitungnya diatas nilai r tabel. Sehingga dari persamaan regresi linier ketiganya dapat dipergunakan untuk menghitung nilai IC50.Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata dari ketiga nilai IC50 yang diperoleh dari ketiga persamaan linier, diperoleh nilai IC50 sebesar 30,81 µg/ml. Buah kapulaga dapat dikatakan antioksidan sangat kuat karena nilai IC50 kurang dari 50 µg/ml. Hasil Pengukuran Daun Kapulaga Tabel 3. Data Pengukuran Absorbansi Ekstrak Etanol Daun Kapulaga Konsentrasi sampel (µg/ml) Absorbansi Aktivitas Antioksidan (%) I II III I II III Kontrol 0,547 0,543 0,550 Rata- rata absorbansi kontrol= 0,553 20 0,421 0,418 0,416 23,86 % 24,41 % 24,77 % 30 0,384 0,389 0,391 30,56 % 29,65 % 29,29 % 40 0,341 0,336 0,332 38,33 % 39,24 % 39,96 % 50 0,260 0,258 0,263 52,98 % 53,34 % 52,44 % 60 0,245 0,251 0,240 55,69 % 54,61 % 56,69 % Persamaan Regresi Linier dan Nilai IC50 (µg/ml) y=0,9608x +5,852 r =0,934 IC50=45,44 y=0,9409x + 6,614 r =0,908 IC50=46,11 y=0,9699x +5,384 r =0,946 IC50=46,0 Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai r hitung yang diperoleh semua nilai r hitungnya diatas nilai r tabel. Sehingga dari persamaan regresi linier ketiganya dapat dipergunakan untuk menghitung nilai IC50. Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata dari ketiga nilai IC50 yang diperoleh dari ketiga persamaan linier, diperoleh nilai IC50 sebesar 45,85 µg/ml. Buah kapulaga dapat dikatakan antioksidan sangat kuat karena nilai IC50 kurang dari 50 µg/ml. Konsentrasi (µg/ml) Absorbansi Aktivitas Antioksidan (%) I II III I II III Kontrol 0,589 0,580 0,585 Rata- rata absorbansi kontrol= 0,584 26 0,480 0,477 0,478 17,80 18,32 18,15 28 0,386 0,390 0,383 33,90 33,21 34,41 30 0,307 0,301 0,305 47,43 48,45 47,77 32 0,276 0,269 0,265 52,73 53,93 54,62 34 0,221 0,226 0,222 62,15 61,30 61,98 Persamaan Regresi Linier dan Nilai IC50 (µg/ml) y=5,3765x – 118,49 r = 0,930 IC50=31,33 y=5,274x – 115,42 r = 0,913 IC50=31,36 y=5,395x - 118,42 r =0,926 IC50=29,74
126 Dari data hasil uji aktivitas antioksidan menunjukkan semakin tinggi konsentrasi maka semakin rendah absorbansinya. Sedangkan aktivitas antioksidannya semakin tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh penurunan intensitas warna DDPH. Menurut Winarsi (2014), buah dan daun kapulaga dilaporkan memiliki potensi antioksidan flavonoid, bahkan tidak sedikit mengaplikasikannya kepada individu yang mengalami penyakit degeneratif. Senyawa antioksidan dalam buah kapulaga yang telah diteliti adalah flavonoid dan vitamin C. Kandungan flavonoid di dalam buah kapulaga sebesar 129 mg/g dibandingkan dengan daun kapulaga (Winarsi, 2014). Analisis Data dengan OneWay Anova Sebelum dilakukan uji Anova, dilakukan uji normalitas dengan uji skewness dan kurtosis. Data dapat dikatakan normal jika hasil perhitungan menunjukkan ratio skewness dan kurtosis masih berada pada range -2 sampai +2. Hasil dari skewness dan kurtosis untuk skewness adalah dengan standar eror nya -0,448/0,717 = -0,624, untuk kurtosis -1,714/1,400 = -1,224. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa data tersebut normal. Hasil SPSS dapat dilihat pada Lampiran 11. Karena data normal, maka diuji Anova. Uji analisis variasi (Anova) satu jalan menggunakan SPSS dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil nilai descriptives menunjukkan nilai rata rata IC50 buah kapulaga adalah 30,81µg/ml, daun kapulaga 45,85 µg/ml dan kuersetin adalah 1,45 µg/ml. Hasil analisa Test of Homogenity of varincess menunjukkan angka taraf signifikan adalah 0,059. Jika probabilitas > 0,05 maka Ho diterima dan jika nilai probabilitas <0,05 maka Ho ditolak (ada perbedaan). Nilai probilitas yang diperoleh sebesar 0,059>0,05 maka Ho diterima sehingga disimpulkan bahwa dari buah dan daun kapulaga tersebut homogen. Uji anova dilakukan untuk menguji ketiga sampel mempunyai rata rata (mean) berbeda atau sama. Jika taraf signifikan <0,05 maka rata-rata ketiga varian tersebut memang berbeda nyata dan jika taraf signifikan >0,05 maka rata rata ketiga varian tersebut sama. Hasil analisa post hock test nilai probabilitas/taraf signifikan sebesar 0,000 (0,000<0,05) maka ratarata ketiga data tersebut memang berbeda nyata artinya IC50 kuersetin, IC50 buah kapulaga, IC50 daun kapulaga tidak memiliki hubungan satu sama lain. IC50 kuersetin 1,45 µg/ml lebih besar daripada IC50 buah kapulaga 30,81 µg/ml dan daun kapulaga 45,85 µg/ml. Uji Fitokimia Uji fitokimia dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keberadaan senyawa metabolit sekunder dalam sampel. Senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada sampel dilakukan pengujian secara kualitatif menggunakan berbagai macam pereaksi. Adapun hasil uji fitokimia dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia No Jenis uji Hasil Keterangan Buah Daun 1 Uji Flavonoid Pereaksi H2S04 2N + + Terbentuk warna kuning kecoklatan 2 Uji Saponin 5 ml aquadest gojog kuat + HCl 2N + + Terbentuk busa 4 cm selama 3 menit 3 Uji Polifenol Pereaksi FeCl3 + + Terbentuk warna hijau kehitaman
127 Buah dan daun kapulaga menunjukkan reaksi positif terhadap uji flavonoid. Karena hasil uji flavonoid pada sampel yang berwarna kuning setelah ditambah H2SO4 terjadi reaksi perubahan warna menjadi kuning, merah, atau coklat setelah ditambah pereaksi H2SO4. H2SO4 pada uji berekasi membentuk gelembung gelembung yang merupakan gas H2 yang berfungsi untuk mereduksi inti benzopiron yang terdapat pada struktur flavonoid sehingga terbentuk perubahan warna menjadi kuning, merah, atau coklat. Uji polifenol dengan reagen menunjukkan bahwa sampel bereaksi positif. Karena pada uji polifenol ini menunjukkan perubahan warna pada larutan sampel yang diberi pereaksi FeCl3 dari kuning menjadi warna hijau kehitaman sampai hitam. Perubahan warna terjadi ketika penambahan FeCl3 yang bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil yang ada pada senyawa polifenol. Pada penambahan FeCl3 pada ekstrak uji menghasilkan warna hijau kehitaman yang menunjukkan bahwa sampel mengandung senyawa polifenol. Uji saponin menunjukkan reaksi positif dari kedua sampel tersebut karena setelah diambah aquadest 10 ml kemudian tutup digojog kuat terbentuk busa stabil 3 menit dengan tinggi 4 cm dari permukaan cairan, maka menunjukkan adanya saponin. Ketika ditambahkan dengan HCl 2N, buih tidak akan hilang. Timbulnya busa menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai kemampuan membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak buah dan daun kapulaga mengandung golongan senyawa flavonoid, saponin, polifenol. Ketiga golongan tersebut yang kemungkinan bertanggungjawab terhadap aktivitas antioksidan ekstrak buah dan daun kapulaga yang kuat. Antioksidan flavonoid menunjukkan manfaatnya bagi kesehatan melalui efeknya sebagai antioksidan fitokimia, yaitu berkaitan dengan gugus hidroksil fenolik yang terikat pada stukturnya. Dalam beberapa tahun ini, flavonoid dilaporkan sebagai penangkap radikal bebas yang sangat menarik terutama penyakit yang diakibatkan oleh reaktivitas radikal bebas. Bermacam macam senyawa fenolat, seperti flavonoid, memiliki kapasitas antioksidan jauh lebih kuat dibandingkan dengan vitamin C dan E (Winarsi, 2014). Saponin memiliki struktur kimia yang menghasilkan busa ketika dicampur dengan air. Saponin dapat mengikat air serta lemak dan minyak. Dalam saluran cerna, saponin menghasilkan emulsi molekul yang larut dalam lemak. Secara khusus saponin mengikat asam empedu dan membantu menghilangkannya dari tubuh, mencegah kolesterol diserap kembali (Indriani, 2016). Antioksidan polifenol memiliki tanda khas yaitu memiliki banyak banyak gugus fenol dalam molekulnya. Polifenol memiliki peran yang baik untuk kesehatansalah satunya dapat mengurangi resiko penyakit jantung, pembuluh darah dan kanker (Indriani, 2016). Aktivitas antioksidan ekstrak buah kapulaga lebih kuat dibandingkan dengan daun kapulaga. Hal ini kemungkinan karena perbedaan jumlah kandungan senyawa aktif didalam kedua ekstrak tersebut. Namun dalam penelitian ini belum diketahui secara pasti kandungan senyawa aktif di dalam ekstrak buah dan daun kapulaga sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa ekstrak etanol buah kapulaga memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat dengan nilai IC50 sebesar 30,81 µg/ml. Sedangkan ekstrak etanol daun kapulaga memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat dengan nilai IC50 sebesar 45,85 µg/ml. Ada perbedaan yang signifikan aktivitas antioksidan antara ekstrak etanol buah kapulaga dan daun kapulaga dengan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi pada buah kapulaga. Kandungan senyawa yang berpotensi antioksidan pada ekstrak etanol buah kapulaga maupun ekstrak etanol daun kapulaga antara lain senyawa flavonoid, saponin dan polifenol.
Prosiding Webinar dan Call For Papers ““ENTREPENEURSHIP KEFARMASIAN DI MASA PANDEMI DENGAN PEMANFAATAN E-COMMERCE” No ISSN : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx 128 DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI, 1986, Sediaan Galenik, Departemen Kesehatan RI,Jakarta. Departemen Kesehatan RI, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Gandjar,1.G., dan Rohman,A., 2009, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Harborne, J.B. 1996, Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, ITB, Bandung. Hartanti, S., 2013, Herbal Sayur dan Buah untuk Hidup Sehat, Cetakan Pertama, Transidea Publisher, Yogyakarta Indriani, 2015, Uji Aktivitas Antimikroba Fraksi Etil Asetat Biji Kapulaga (Amomum compactum S.,) Kumalaningsih, S., 2006, Antioksidan Alami, Trubus Agrisarana, Surabaya. Molyneux, P., 2004, The Use of The Stable Free Radical Diphenylpicrylhidrazyl (DPPH) for Estimatining Antioxidant Activity,J. Technol. Sci. 26(2) : 211-219. Musarofah, 2015, Tumbuhan Antioksidan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Putra,W.S., 2011, Kitab Tanaman Herbal Nusantara, Katahati, Yogyakarta. Kusuma,S., dan Rina, R., 2015, Antioksidan Alami dan Sintetik, Cetakan Pertama, Andalas University, Padang. Sulihandari,H dkk., 2013, Herba Sayur dan Buah Ajaib ,Trans Idea Plubishing Yogyakarta Winarsi,H.,2007, Antioksidan Alami dan Radikal Bebas, Cetakan kelima, Penerbit Kanisius, Yogyakarta Winarsi,H.,2014, Antioksidan Daun Kapulaga, Cetakan satu, Graha Ilmu, Yogyakarta. Yuliana, P., 2014, Perbandingan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Pelepah Batang, Kelopak dan Bunga Jantung Pisang Kapok (Musa paradisaca L,) dengan Metode DPPH (1,1-difenil-2-2 pikirilhidrazil), Karya Tulis Ilmiah, Program D3 Farmasi Politeknik Kesehatan Bhakti Setya Indonesia, Yogyakarta.