The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by marbena claristiani, 2023-07-03 07:02:58

Gerobak Salvo

Gerobak Salvo

GEROBAK SALVO dan Kisah Lainnya Della T. Djajadi


Gerobak Salvo dan Kisah Lainnya 1019003103 © 2019-PT Kanisius PENERBIT PT KANISIUS (Anggota IKAPI) Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, INDONESIA Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349 E-mail : [email protected] Website : www.kanisiusmedia.co.id Cetakan ke- 3 2 1 Tahun 21 20 19 Editor : C. Erni Setyowati Ilustrator : Della T. Djajadi Desainer Isi : Oktavianus ISBN 978-979-21-6272-1 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, tanpa izin tertulis dari Penerbit. Dicetak oleh PT Kanisius Yogyakarta


iii Daftar Isi Daftar Isi............................................................................ iii Kaki yang Kuat............................................................... 1 Gaun Tuan Putri ............................................................ 7 Bunga Mahkota.............................................................. 19 Sinar Kebaikan............................................................... 27 Tas Si Bungsu................................................................... 38 Lonceng yang Berhenti Berbunyi......................... 52 Gerobak Salvo................................................................. 61


1 KAKI YANG KUAT Anak-anak masih lelap. Para ayah belum bersiap kerja. Kaum ibu baru bangun. Namun si pengirim pesan sudah berangkat. Menapaki jalan gelap dan sepi. Pemuda jangkung itu tidak gemetar menerobos udara dingin. Kaus lengan panjang tipis putih dan celana longgar sudah cukup. Padahal ia seperti ranting pohon yang rapuh. Setiap hari pengirim pesan menempuh perjalanan panjang. Ia harus menyusuri jalan, padang rumput, melewati hutan, hingga menyeberangi sungai. Namun keluhan tidak pernah terucap dari mulutnya. Malah ia selalu tersenyum sambil sering kali menatap ke bawah. Apakah ia memandangi jalan yang terbuat dari emas? Oh, bukan. Ia sangat mengagumi teman seperjalanannya: Kaki yang kuat. Bersama sepasang kaki yang kuat, rasanya tak ada tempat yang terlalu jauh. Tidak ada juga kebosanan, karena si pengirim pesan akan 1


2


3 melompat, menghentak, dan menyeret kakinya. Keluar bunyi seperti buk, keteprak, prak, sret yang ia susun jadi ritme. Itu sudah cukup menghiburnya. Hampir sepenuh waktu pengirim pesan bergantung pada kakinya. Sayang adakalanya yang diandalkan justru merasa keberatan. Nah, itulah yang dirasakan si Kaki. “Auw, auw…, aduuuh…! Kenapa kita yang kerja keras terus? Yang lain seenaknya saja. Lihatlah Tangan, apa kerjanya?” keluh kedua Kaki. “Hai, Tangan, bisakah kalian berbuat sesuatu?” tanya Kaki. “Apa maksudnya?” Tangan balik bertanya. “Kalian tidak pernah membantu kami. Semua beban kami yang tanggung,” kata Kaki. “Tidak juga, kami menolong Bahu membawa tas,” jawab Tangan dengan bangga. Mereka memang sesekali mengepit tas selempang yang penuh surat. Kaki mencibir, “Ah, itu tidak seberapa dibandingkan pekerjaan kami.” Tangan sedikit jengkel mendengarnya. “Ya sudah, kami diam saja.” Tangan terkulai. “Hah? Kenapa ini? Tanganku seperti tidak bertenaga,” si pengirim pesan terkejut dan bingung. Ia coba mengayunkan kedua tangannya kuat-kuat. Sia-sia. “Aku tidak bisa jalan cepat tanpa mengayunkan tangan.”


4 Si pengirim pesan lesu. Ia merasa sangat tidak nyaman. Jalannya melambat. “Kita jadi harus kerja lebih lama dari biasanya. Kalau begini sama saja artinya beban kita tambah berat. Berarti Tangan itu…,” kata Kaki. “Kalian bilang apa barusan?” tanya Tangan bersemangat. “Baiklah, Tangan, ternyata kalian membantu kami juga,” Kaki mengakui. “Pernyataanmu kedengarannya seperti setengah hati…,” keluh Tangan kepada Kaki. Tetapi Tangan kasihan kepada si empunya. Perlahan mereka menguat lagi. Si pengirim pesan tersenyum lebar. “Ah, kedua tanganku pulih!” Ia berjalan sangat cepat dengan tangan diayun tinggi. Seperempat perjalanan berlalu tenang. Tahutahu Kaki kembali berceloteh. “Aku pikir lebih baik tidak ada Perut,” ucap Kaki kiri. “Kau benar, hanya gumpalan lemak. Malah memberatkan kita,” sahut Kaki kanan. “Tuan-tuan, saya mendengar perbincangan kalian yang tak pantas. Tanpa saya yang mencerna makanan, kalian tidak mungkin melanjutkan perjalanan,” ujar Perut. “Omong besar, sama seperti ukurannya,” canda kedua Kaki sambil terkekeh-kekeh.


5 Kruyuk, kruyuk. Si pengirim pesan memegang perut. “Ah, lapar! Pantas tadi kedua tanganku jadi lemas,” gumamnya. Ia berhenti sebentar mengeluarkan bekal dari tasnya. Dua roti isi dilahap cepat. “Ayo, sekarang jalan lagi!” Pengirim pesan melangkah dan terus melangkah. Tidak beristirahat sedikit pun. Setelah beberapa lama, kakinya gemetar. Ini tak pernah terjadi. “Kaki yang kuat, apa yang terjadi denganmu?” Jatuh terduduk di tengah jalan, si pengirim pesan meratap. Kaki bersusah payah bangkit, tetapi gagal. “Lihatlah, Kaki, makanan tadi masih belum kucerna. Kalian jadi payah kan,” kata Perut penuh kemenangan. Merasa kasihan kepada si empunya, Perut lalu mengajak seluruh bagian pencernaan bekerja. Beberapa saat kemudian si pengirim pesan kembali segar. Kakinya tegap seperti sedia kala. “Te… terima kasih Tuan Perut,” ucap Kaki malu-malu. Perut berguncang melepas tawa. Baru saja beberapa belas meter berjalan, tibatiba Kaki berseru, “Mata! Merekalah yang paling enak. Hanya bersantai di atas. Tidak perlu menahan beban. Tidak adil!” Mata marah. Kelopaknya menutup. Gelap menguasai. gedubrak! Si pengirim pesan tersungkur.


6 “Aaaaaargh! Aduh... aku berdarah terantuk batu!” teriak Kaki kanan. “Aku juga lecet tergores,” Kaki kiri ikut bersuara. Dengan menyesal mereka memohon, “Ampun, ampuni kami. Berkat kalian selama ini kami terhindar dari bahaya. Maafkanlah kami!” Si pengirim pesan membuka mata. Meski merasa sakit di kedua kakinya yang luka, ia memaksakan berdiri. Sambil membersihkan pakaian yang terkena tanah, si pengirim pesan berkata seorang diri, “Hari ini badanku aneh sekali….” Langkah pengirim pesan sedikit pincang. Perjalanan menjadi dua kali lebih lama. Walau demikian, ia berhasil mengantar semua surat. Tidak ada yang protes karena kedatangannya yang terlambat. Hanya beberapa orang sempat bertanya, “Tumben, kok datangnya siang?” Pengirim pesan tersipu, “Eh, entahlah… Tadi tubuh saya seperti saling bertengkar. Sekarang sudah kompak lagi.” Selama perjalanan pulang, Kaki tidak menggerutu sedikit pun. Mereka sadar, sebenarnya mereka bukan keberatan beban. Mereka hanya lupa. Lupa kalau mereka tidak sendirian. Lupa bahwa mereka adalah Kaki yang kuat. *******


7 GAUN TUAN PUTRI Sebuah menara di ruang pesta? Pangeran menajamkan pandangan. Astaga, ternyata seorang putri! Memakai gaun yang terbuat dari jajaran kristal runcing dan panjang. Wajah jelita sang putri hampir tenggelam di bawah mahkota berlian setinggi bocah sepuluh tahun. Tak heran dari jauh ia tampak seperti menara. Sang Putri hanya berdiri, sesekali tersenyum kepada para undangan. Padahal lantai dansa luar biasa meriah dan menyenangkan. Sayang sekali kalau dilewatkan. Pangeran segera menghampiri Putri. “Bersediakah Tuan Putri berdansa dengan saya?” Pangeran membungkuk dan mengulurkan tangan. Putri tertawa, “Pangeran, mungkinkah berdansa dengan pakaian seperti ini?” “Hmmm... tentu sulit,” sahut Pangeran, “tetapi untuk apa hadir di pesta dansa jika tidak berdansa?”


8 Putri menatap dalam sepasang mata cokelat Pangeran. Ada keteguhan dan kepolosan yang membuatnya terpana. Ia menyambut tangan Pangeran. Sejurus kemudian, mereka menari. Gerakan mereka tampak amat kaku lantaran gaun Tuan Putri. “Auw! Apa itu?” teriak Pangeran. “Hati-hati, gaun ini sangat tajam,” kata Putri. Pangeran mengernyitkan alis, lalu tertawa. Putri pun tersenyum geli. Baru kali ini ada yang nekat berdansa dengannya. *** Di bawah bulan purnama yang berwarna keemasan mereka menikah. Pangeran berbaju zirah kesatria dan jubah bulu angsa, sedangkan putri berbalut gaun putih dengan ribuan mutiara berbentuk bunga. Keduanya bersinar bahagia, menyaingi terang rembulan. Semenjak itu Putri pindah ke istana Pangeran. Ia turut membawa ratusan gaun antiknya. Alhasil kamar mereka menjadi sempit, penuh lemari raksasa. Pangeran tidak pernah keberatan, asalkan istrinya senang. Ia pun membebaskan Putri berpenampilan sesuka hati. Gaun yang paling berbeda dan mencolok selalu menjadi pilihan Putri. Ia begitu ingin diperhatikan sampai sering menyusahkan sekitarnya. Misalkan


9 pada jamuan makan dengan tamu-tamu kerajaan Putri memakai gaun bertaburkan serbuk emas yang mudah beterbangan. Sebagian besar jatuh di hidangan sehingga para tamu enggan menyantapnya. Kejadian lain, saat Putri mengenakan gaun berhiaskan puluhan lonceng kecil. Ia kurang sehat hari itu. Di tengah pentas drama, hidung Putri gatal. Tiap kali ia bersin, lonceng-lonceng di gaunnya ikut berbunyi. Meski sangat terganggu, para aktor dan hadirin hanya dapat memaklumi sang Putri. Tuan Putri pernah sesak napas, kepanasan, lecet, dan nyeri karena gaun-gaunnya. Namun, itu bukan masalah baginya. Lebih baik tidak nyaman daripada tidak menjadi pusat perhatian. Lama-kelamaan Pangeran tidak tahan. Ia merasa tersiksa akibat gaun-gaun aneh istrinya. Setiap kali akan menghadiri acara bersama Tuan Putri, Pangeran risau bukan main. Ia takut terjadi sesuatu yang memalukan. Suatu malam Pangeran mengajak istrinya bicara. “Sayang, apa kamu punya gaun yang biasa saja?” tanya Pangeran. Putri diam sebentar, “Rasanya ada beberapa.” “Pakai gaun-gaun itu saja, ya,” kata Pangeran dengan lembut. “Ada apa dengan gaun-gaun yang selama ini kukenakan?” Putri balik bertanya.


10 “Gaun itu menyulitkanmu bergerak, bukan?” jawab Pangeran. “Awalnya aku sempat berpikir sepertimu, Cintaku. Tetapi segalanya berubah sejak kita bertemu. Kamu mengajakku berdansa saat aku memakai gaun kristal runcing, dan ternyata aku bisa. Aku sadar gaun itu bukan penghambat,” Putri mengenang. Panjang lebar Pangeran memaparkan berbagai alasan, tetapi Putri selalu menyanggah. Bahkan, Pangerah beralih merayu istrinya, tetapi sia-sia. “Suamiku terkasih, aku tidak mau berhenti memakai gaun-gaun itu. Lagi pula, sampai sekarang aku masih baik-baik saja,” kata Putri seraya menyisir rambutnya. “Aku mau keluar sebentar,” ucap suaminya lesu. Pangeran keluar kamar menyusuri lorong. Tubuhnya dihempaskan ke sofa ruang duduk. Rasa kecewa dan kesal bercampur aduk. Lama ia menatap lukisan di langit-langit. Perlahan ia bangkit, berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke belakang istana. Dahinya ditempelkan ke kaca. “Hhhhh…, aku harus bagaimana?” Pikiran Pangeran melayang ke hutan luas jauh di sana. Ia teringat permukiman penduduk di balik hutan itu. Mendadak wajahnya cerah. ***


11 Putri merasa ada yang mengguncang-guncangkan tubuhnya. Ia paksa membuka mata walaupun terasa berat. Samar-samar tampak wajah Pangeran. “Ehhhm…, ada apa, Cintaku?” tanya Putri. “Sayang, besok temani aku berburu di hutan, ya,” Pangeran membujuk. Putri hampir melompat dari ranjang, “Berburu?” Suaminya mengangguk penuh semangat. Melihat Pangeran berseri-seri, Putri tersenyum manis, “Tentu, Cintaku.” Padahal, dalam hati ia sangat resah. Belum pernah ia melakukan kegiatan semacam ini. Keesokan harinya, pagi-pagi benar rombongan pengawal dan anjing pemburu telah siap di halaman istana. Pangeran juga sudah duduk di atas kudanya. Kemudian putri datang. Ia tampil bagai sekuntum mawar merah besar yang dipenuhi renda. Pangeran ternganga, “Sa..sayang, gaun itu.…” “Indah, bukan? Aku pilih ini supaya aku mudah terlihat di antara hijaunya hutan,” kata Putri beralasan. Di atas kuda, putri sama sekali tidak tenang. Aneka serangga yang berusaha mendekati gaun bak bunga mawar membuatnya gatal. Tak henti Putri mengibaskan tangan dan menggaruk. Kegelisahan Putri membuat kudanya mengamuk. Putri jatuh dan terlempar ke semak rimbun. “Tuan Putri!” para pengawal panik. Putri buru-buru bangun, “Saya tidak apa-apa.”


12


13 Sreeek! Terdengar bunyi kain sobek. Makin putri memaksa keluar dari semak, makin keras suara itu. “Beribu-ribu maaf, Tuan Putri. Seandainya Tuan Putri terus bergerak, ada kemungkinan gaun Tuan Putri koyak seluruhnya. Izinkanlah kami membantu,” ucap seorang pengawal. Dengan sangat hati-hati, para pengawal memotong bagian gaun yang tersangkut di antara semak-semak. “Astaga! Apa yang terjadi?” tanya Pangeran. Ia memandangi gaun Putri yang compang-camping. “Hanya kecelakaan kecil akibat kudaku,” jawab Putri tersenyum kecut. “Maafkan aku, Sayang. Seharusnya tadi aku diam di sisimu. Biarkan para pengawal saja yang mengejar hewan buruan.” Putri menyentuh pipi Pangeran, “Cintaku, ini bukan salahmu.” Senja hari Putri duduk di tepi tempat tidur. Ia mengusap-usap gaunnya yang rusak. Pangeran duduk di sebelahnya, lalu mencium tangan istrinya. “Kamu masih sedih?” Putri menyandar ke bahu Pangeran. “Tidak. Harusnya aku tahu gaun ini terlampau ringkih.” “Aku ada ide supaya kamu ceria. Besok kita pergi ke desa. Cukup dekat dari hutan tadi. Kita menyapa rakyat, sekalian melihat-lihat.” Putri senang sekali mendengarnya. ***


14 Pangeran menahan tawa sekuatnya. Putri tampak sangat besar, seolah ada meja bundar kerajaan di bawah gaunnya. Pundaknya begitu lebar, melebihi seorang panglima kekar. “Sayang, ini desa yang padat. Jalanannya tidak terlalu luas, apalagi di sekitar pasar dan permukiman,” tutur Pangeran. “Wah, gaun pilihanku tepat sekali. Orangorang jadi bisa melihatku dari jauh tanpa perlu berdesakan,” tanggap Putri. Rakyat gembira menyambut rombongan kerajaan. Mereka segera mengerubuti Pangeran dan Putri. Mata mereka berbinar, takjub akan penampilan Tuan Putri. Hati Putri berbunga-bunga. Ia tak henti menebar senyum. Setelah berjumpa dengan rakyat di jalan utama, Pangeran dan Putri mengunjungi pasar. Dalam sekejap, gaun Putri berubah dari pembuat kagum menjadi sumber masalah. Waktu Putri melintas, buah-buahan berjatuhan. Pot dan guci pun tidak sedikit yang retak. Roti tercecer di tanah. Gelas dan piring pecah berkeping-keping. Gaun Tuan Putri penyebabnya. Pasar porak-poranda. Pangeran, terlebih Putri, meminta maaf sebesar-besarnya. Mereka mengganti semua kerugian. Bahkan Pangeran dan para pengawal turun tangan merapikan kios mereka. Putri ingin membantu juga, tetapi tidak bisa. Ia tak mampu membungkuk apalagi berjongkok, lantaran


15 gaunnya yang besar yang kaku. Putri hanya diam, menyaksikan orang lain membersihkan kekacauan yang dibuatnya. Selama perjalanan pulang ke istana, Putri menangis. “Oh, Cintaku, seumur hidup aku tak pernah semalu ini.” Pangeran mendekap istrinya. “Aku merasa terbakar oleh tatapan rakyat. Pasti mereka berpikir aku putri yang ceroboh,” lanjut Putri. Pangeran merenung beberapa saat. “Waktu kecil, setiap kali aku sedih, aku pergi ke danau. Melihat airnya yang berkilauan, aku langsung damai. Bagaimana kalau kita ke sana besok pagi? Tanpa pengawal, tanpa siapa pun. Hanya kamu dan aku.” Putri mengangguk-angguk. Ada senyum samar di wajahnya. Pagi itu matahari bersinar menyilaukan, demikian juga Tuan Putri. Gaunnya merupakan untaian rantai besi dan perak, dengan aksesori bola-bola baja ringan. Putri terlihat seperti hendak pergi berperang. Pangeran terbelalak, kehabisan kata-kata. “Kamu bilang melihat air danau yang berkilau membuat damai. Siapa tahu ditambah gaun yang berkilau, aku makin sukacita,” ujar Putri santai. Pangeran sekuat tenaga mendayung perahu ke tengah danau. Pemandangan di sana sungguh tiada


16 tara. Selain berkilau, air danau itu jernih. Sepintas mata Putri menangkap seekor ikan warna-warni yang berenang-renang di sekitar perahu. “Cintaku, ada ikan cantik menghampiri kita!” seru Putri. Spontan, ia berdiri, ingin melihat lebih jelas. Pijakannya tidak seimbang. Byuur! Perahu terbalik. Secepat kilat Pangeran naik ke permukaan danau. “Sayang!” teriak Pangeran. Putri tak kunjung muncul. Pangeran menarik napas, lalu menyelam. Untung danau itu tidak dalam, ia menemukan Putri di dasarnya. Pangeran mencoba mengangkat Putri ke permukaan. Gagal, gaunnya terlalu berat. Putri panik. Napasnya terengah-engah. Pangeran memberi isyarat agar Putri tenang. Susah payah ia berjuang melepaskan rantai-rantai besi yang saling membelit di gaun. Akhirnya Pangeran berhasil membebaskan Putri dari gaunnya. Mereka selamat. *** Beberapa hari sejak kejadian tersebut, Putri enggan meninggalkan kamar. Perasaannya campur baur. Sementara itu, Pangeran berjalan hilir mudik di ruang duduk. “Aku memang ingin istriku mendapat pembelajaran soal gaunnya, tapi tidak kusangka sekeras ini! Malah gara-gara aku, ia hampir tewas!” kata Pangeran kepada dirinya.


17 Setelah menenangkan diri, Pangeran masuk ke kamar. Ia berlutut di dekat istrinya yang sedang berbaring. “Sayang, hatiku hancur melihatmu tak bersemangat. Pergilah ke pesta dansa bersamaku malam ini. Kenakan gaun terbaikmu. Lakukan apa saja yang menjadikanmu bergairah kembali.” Putri memalingkan pandangan ke Pangeran. Suaminya tampak putus asa. “Baiklah, Cintaku,” ucap Putri semanisnya. Pangeran mengecup kening Putri. Keringat dingin mengucur saat Pangeran menanti Putri. “Ini hanya sebuah pesta dansa. Putri sudah sering menghadirinya. Selama ini gaunnya tidak bermasalah,” Pangeran berusaha menenangkan hatinya. Ia khawatir bila Putri mengalami kecelakaan lagi di acara ini, maka istrinya bisa makin patah harapan. “Ayo, kita berangkat!” ajak Putri lembut. Pangeran membalikkan badan. Ia terkesima. Putri memakai gaun sederhana dengan warna bak langit siang berserakan bintang, cerah berkilauan. Justru dengan gaun seperti ini kecantikan alami putri makin terpancar. Pangeran dan Putri menari begitu lincah dan anggun di lantai dansa bagaikan sepasang merpati meluncur di udara, penuh kebebasan dan kemesraan. Malam itu gaun Tuan Putri adalah gaun yang paling tidak mencolok di antara perempuan-


18 perempuan lainnya. Namun, ia menyita perhatian dari seluruh raja, ratu, pangeran, putri, dan semua undangan yang datang ke pesta dansa tersebut. *******


19 Bunga Mahkota Di gunung yang tinggi, tumbuhlah bunga yang sangat indah. Harumnya semerbak melebihi mawar dan melati. Ia memiliki putik bulat putih laksana mutiara dan kelopak seperti mahkota raja. Sekilas tampak keemasan, tetapi warnanya dapat berubah-ubah. Siapa saja yang melihat Bunga Mahkota akan mengakui keanggunan bunga itu. Suatu hari datang seorang pemuda ke atas gunung. Ia begitu terpesona pada Bunga Mahkota. “Aku belum pernah melihat bunga secantik ini,” ujar sang pemuda seraya memetik bunga itu. “Kalau kujual, pasti aku bisa membelikan obat untuk ayahku.” Dengan riang pemuda itu menuruni lereng gunung sambil menggenggam Bunga Mahkota di tangannya. Tiba-tiba angin bertiup kencang. Sang pemuda berusaha menahan topi di kepalanya agar tidak terbang tertiup angin. Bunga Mahkota dalam genggaman tangannya terlepas. Bunga Mahkota melayang terbawa angin.


20 “Wahai, Angin yang baik, terima kasih engkau telah menyelamatkanku. Tolong bawa aku kembali ke atas gunung yang tinggi di sana,” pinta Bunga Mahkota. “Aku hendak bertiup ke selatan lebih dulu, menuruni lereng gunung ini menuju ke lembah di depan sana. Ada sejumlah tempat yang ingin aku kunjungi,” jawab Angin. “Oh, betapa malangnya aku. Baiklah, aku mengikutimu. Nanti setelah perjalananmu selesai, antarkan aku ke gunung, ya,” rengek Bunga Mahkota. Ketika melewati sebuah taman di lereng gunung, tampak seorang gadis memetik beberapa tangkai Bunga Mawar. “Lihat perempuan itu, seenaknya saja memetik bunga-bunga merah di taman,” ujar Bunga Mahkota dengan geram. “Hai, bunga yang cantik,” sapa Bunga Mawar. “Oh, engkau mengajakku berbicara? Namaku Bunga Mahkota. Aku berasal dari gunung tinggi. Siapa namamu?” tanya Bunga Mahkota. “Kami bunga mawar. Kami tumbuh di taman ini,” sekuntum bunga mawar tersenyum kepada Bunga Mahkota. “Mengapa kalian membiarkan diri dipetik oleh perempuan tadi?” Bunga Mahkota kembali bertanya. “Oh, perempuan itu namanya Meta, putri pemilik taman ini. Setiap hari ia memetik beberapa


21 dari antara kami untuk diletakkan di kamar ibunya. Ibu Meta sudah lanjut usia dan lumpuh. Dulu ia yang menanam bunga-bunga mawar di taman ini. Sekarang, kami dengan senang hati membiarkan diri kami dipetik Meta, supaya bisa menyenangkan hati ibunya,” tutur bunga mawar. “Bukankah lebih enak tetap berada di taman, mendengarkan kicauan burung dan menikmati kehangatan sinar matahari pagi?” Bunga Mahkota mengutarakan isi hatinya. “Ya, memang betul. Tetapi bagi kami, membuat hati manusia menjadi gembira karena memandang kami, itu jauh lebih menyenangkan,” kata Bunga Mawar. “Ah, aku tidak mau. Tadi pagi aku dipetik seorang pemuda yang naik ke atas gunung. Untunglah angin bertiup kencang dan melepaskanku dari genggaman tangannya. Sekarang aku bebas. Aku mau kembali ke tempat asalku,” tandas Bunga Mahkota sambil melambaikan daunnya kepada Bunga Mawar. Angin menerbangkannya lagi. Di antara padang ilalang, terdapat hamparan bunga dandelion. Ketika Angin yang membawa Bunga Mahkota menyusurinya, tampaklah sebuah keluarga. Ayah dan ibu mengajari anak-anak meniup Dandelion. Alangkah senang hati mereka, menyaksikan benih-benih Dandelion mengangkasa di langit biru.


22 “Halo... Bunga Emas. Mau ikut terbang bersama kami?” ajak benih Dandelion. “Namaku Bunga Mahkota. Aku tidak suka terbang ke mana-mana. Aku ingin kembali ke puncak gunung, ke rumahku,” ujar Bunga Mahkota dengan ketus. “Mengapa engkau mau dijadikan mainan mereka?” tanya Bunga Mahkota kepada Dandelion. “Kami tak seindah bunga lain. Tidak harum pula. Walau tak punya banyak kelebihan, kami senang sekali bisa berbagi kebahagiaan dengan manusia, sebelum kami diterbangkan angin ke segenap penjuru untuk melahirkan bunga dandelion yang baru,” benih Dandelion menjelaskan dengan riang. “Ah, aku bingung dengan kehidupan kalian. Tadi aku bertemu Bunga Mawar yang lebih suka dipetik dari taman supaya bisa memberi kegembiraan kepada pemilik taman. Sekarang aku bertemu Bunga Dandelion yang senang menghibur orang,” kata Bunga Mahkota sambil menggoyanggoyangkan kelopaknya. Sejurus kemudian, angin mengerahkan segenap kekuatannya. Benih Dandelion menari-nari di udara. Bunga Mahkota ikut terbawa dalam pusaran angin. “Hei, Angin, hati-hati! Jangan sampai kelopakku hancur! Ayo bergerak lebih cepat, supaya aku bisa segera tiba di puncak gunung,” teriak Bunga Mahkota dalam embusan angin.


23 “Selamat tinggal,” salam benih-benih Dandelion yang sudah mendarat di tempat-tempat baru. Angin membawa Bunga Mahkota ke sebuah desa. Saat melewati suatu kawasan, Bunga Mahkota meminta angin berhenti sejenak. Ia tidak memercayai penglihatannya. Seorang perempuan tampak menyiram puluhan Bunga Lavender dengan air panas dalam sebuah wadah. Perempuan itu lalu menumbuk setangkup lavender kering. Bunga Mahkota terperanjat. Ia mendekati sekumpulan bunga lavender yang terbujur, menanti diolah. “Kasihan sekali kalian, disiksa begitu kejam.” “Bunga manis, kami tidak disiksa. Manusia sedang membuat parfum dan minyak pengharum dari tubuh kami. Kata mereka, aroma kami sangat menyejukkan hati yang gelisah,” jelas Lavender tersipu. “Lagi-lagi, berkorban demi kepentingan orang!” gerutu Bunga Mahkota. Lavender tersenyum kecil, “Bukan berkorban, melainkan memberi sepenuh hati.” Nada suara Bunga Mahkota meninggi, “Sudahlah, tak ada gunanya berpanjang kata dengan kalian. Ayo, Angin! Kita lanjutkan perjalanan.” Bunga Mahkota melambung di udara. Sekumpulan Lavender itu kini kelihatan seperti titiktitik ungu. Angin melaju kencang, meninggalkan desa.


24


25 “Tinggal satu tempat lagi sebelum sampai di puncak gunung,” ucap Angin. Bunga Mahkota lega mendengarnya. Selang beberapa saat, Angin sampai di kaki gunung tujuan mereka. Sebuah bangunan putih menarik perhatian Bunga Mahkota. Lama ia tertegun. “Ayo, kita mampir ke dalamnya.” Melalui jendela yang terbuka, angin mengiringi Bunga Mahkota masuk. Tidak banyak yang dapat dilihat. Deretan bangku kosong. Lilin-lilin mungil menyala. Rangkaian bunga lili menghiasi altar. “Aneh. Tak ada satu orang pun di sini. Untuk apa kalian dipajang?” tanya Bunga Mahkota. “Salam, bunga jelita! Untuk menghormati Sang Pencipta, kami dipersembahkan,” sorak bungabunga Lili. “Hah! Siapa itu?” “Ia adalah Pemberi Kehidupan bagi kita semua. Karena itu kami mempersembahkan segenap hidup kami kepada-Nya.” “Dari semua bunga yang pernah kujumpai, kalian paling bodoh. Kalian dapat hidup lebih lama seandainya tidak dipotong dan dibawa kemari. Kalian menyerahkan diri untuk sesuatu yang tidak jelas. Kalian akan mati sia-sia,” ucap Bunga Mahkota seraya mengikuti angin pergi. Tiba di puncak gunung, Bunga Mahkota terhempas di tanah.


26 “Terima kasih, Aangin. Aku sudah sampai di rumahku,” ujar Bunga Mahkota dengan lirih. “Aku telah melihat kehidupan bunga-bunga lain di bawah gunung ini. Semuanya menyedihkan. Beruntung aku akan hidup lebih lama dari mereka. Iya, aku tak perlu menghiasi pot di meja manusia, dirusak anak- anak, disiksa, apalagi disia-siakan. Sekarang aku bisa menikmati matahari dan kicauan burung lagi...,” lanjut Bunga Mahkota. Matahari menyinari puncak gunung. Bunga Mahkota tergeletak di tanah tanpa daya. Kelopakkelopaknya berkerut, warna keemasannya memudar. Putik bunganya yang bagaikan mutiara terurai ke tanah. Suaranya tak terdengar lagi. *******


27 SINAR KEBAIKAN Anon benci kegelapan. Setiap malam tiba, ia menyalakan lilin sebanyak mungkin di rumah. “Aduuuh, Anon! Satu ruangan lilinnya satu aja,” tegur ibunya. “Kurang terang, Bu,” keluh Anon. “Kamu boleh pakai beberapa lilin, tapi saat kamu ada di ruangan itu. Buat apa ruangan terang sekali kalau tidak digunakan,” timpal Ayah. Anon tak pernah mendebat orang tuanya. Ia menyisakan satu lilin di setiap ruangan. Di kamar tidurnya, Anon mengamati lilin di meja. Sinarnya cantik, meski agak redup. “Seandainya ada sinar yang jauh lebih terang dari lilin,” ia membatin. Anon meniup lilin itu, lalu berbaring. Matanya menerawang berusaha mengalahkan kegelapan sampai ia tertidur. *** Menggenggam obor, Anon bergegas pulang. Hari sudah gelap. Terlalu lama ia


28 berkunjung ke rumah teman. Ketika hampir mencapai rumah, Anon berhenti. Seorang perempuan dewasa berdiri di mulut jembatan. Sepertinya ia mau menyeberang ke desa tetangga. Jalan paling singkat memang lewat jembatan kayu itu, tetapi… “Bu, tunggu sebentar!” Anon buru-buru mencegah. Setengah terengah karena berlari, Anon menatap perempuan tadi. “Maaf, Bu. Apakah Ibu mau pergi ke desa seberang?” “Betul, Nak..” Suaranya begitu manis dan lembut, penuh sikap keibuan. Anon mengulurkan obor. “Bawa ini, Bu. Tanpa penerangan, Ibu bisa tersandung.” Perempuan itu kelihatan khawatir. “Kamu sendiri bagaimana?” “Saya ingat semua jalan di sini. Lagi pula, rumah saya sudah lumayan dekat. Ibu lebih memerlukannya daripada saya,” jawab Anon. Perempuan itu mengambil obor yang disodorkan Anon. “Kamu baik sekali, terima kasih.” Muka Anon memerah. Ia tersipu. Tangan kanan perempuan sibuk merogoh saku baju. “Untukmu.”


29 Anon mengamati benda sebesar telapak tangan. Bentuknya tabung pipih dari kaca. Dengan ragu, Anon mengambilnya. “Ia akan terus menyala, jika kamu sering melakukan hal seperti malam ini. Sinarnya jauh lebih terang dari lilin,” ujar perempuan itu lirih. Anon mendongak. Tak lagi dijumpainya perempuan tadi. Di tangannya tabung kaca itu memancarkan sinar yang luar biasa terang. Sinarnya mengalahkan semua sinar obor yang terpasang di rumah-rumah. Anon kegirangan. Cepat-cepat ia pulang dan menuturkan pengalamannya kepada sang ayah. Tabung kaca itu diletakkan di atas meja kamarnya. Diliputi sinar terang ia terlelap. *** Keesokan harinya, sinar dari tabung kaca itu sirna. Diterangi sebatang lilin, Anon tak bisa belajar sama sekali. Benaknya sibuk memikirkan perkataan perempuan misterius semalam. “Apa yang kamu pikirkan, An?” tanya Ayah. Remaja itu tersadar dari lamunannya. “Soal tabung kaca, Yah. Kata perempuan itu, tabung kaca akan menyala kalau aku sering melakukan hal seperti semalam. Aku harus sering berbuat seperti semalam supaya tabung kaca bisa bersinar lebih lama. Tetapi, apa maksudnya, ya?” Alis Ayah terangkat. “Hmmm, kemarin katamu, kamu memberikan obormu kepada perempuan itu.


30 Mungkin kamu perlu melakukan hal yang sama ke orang lain.” “Oh, bisa jadi begitu, Yah!” seru Anon semangat. Ia memeluk ayahnya seraya mengucapkan terima kasih. Lalu Anon menghampiri ibunya di dapur. Beberapa roti ia bungkus. “Ayah, Ibu, aku tidak makan di rumah malam ini. Aku mau cari orang yang perlu obor,” Anon bergegas keluar rumah. Satu per satu jalan desa dikelilingi Anon. Tetapi orang-orang sudah membawa alat penerangan sendiri. Di tengah jalan, ia malah bertemu seorang pengemis yang minta makanan. Anon menolak membagi rotinya. Ia perlu bekal yang cukup untuk melanjutkan pencarian. Sampai larut malam, usaha Anon gagal. Demikian yang berlangsung tiap malam. Anon ingin membantu orang yang tidak membawa obor. Namun, ia berhadapan dengan orang-orang yang butuh pertolongan lain. Tidak satu pun ditanggapi Anon. “Mereka hanya akan menghambat tujuan utamaku,” gumam Anon. Bahkan, sekarang Anon jarang membantu ibunya di rumah. Ia pun tidak lagi menikmati santap malam bersama ayah dan ibunya. Saat malam tiba, Anon selalu pergi ke luar sambil mengacungkan obor. Seminggu lewat. Tabung kaca tidak lagi bersinar. Anon amat sedih, tetapi ia enggan menyerah.


31 Malam itu sama seperti malam-malam sebelumnya. Semua yang dijumpai Anon sudah memegang obor. Putus asa, Anon berjalan lunglai. Di mulut jembatan ia duduk. Perlahan ia mengeluarkan tabung kaca dari tasnya. Ia berharap bisa bertemu pemberi tabung kaca dan bertanya kepadanya. Terasa kehadiran seseorang. Anon menaikkan pandangan. Seorang pengemis mendekatinya dengan tatapan penuh derita. “Saya tak punya uang, ini saja untuk Bapak,” kata Anon seraya menyerahkan separuh bekalnya. Di mata Anon pengemis itu kelihatan sangat putus asa, mengingatkannya pada dirinya sendiri. “Terima kasih, Anak muda.” Pengemis berjalan lambat, hingga lenyap dalam kegelapan. Bersamaan dengan itu, tabung kaca di dalam tas Anon kembali bersinar. Anon kaget bercampur senang. Ia berlari pulang. Anon menyerbu masuk rumah. Diletakkannya tabung kaca di atas meja makan. Bergegas ia ke dapur membantu ibunya yang tengah membereskan dapur. Anon segera mengambil alih seluruh pekerjaan rumah yang belum sempat diselesaikan ibunya. Sejurus ia melirik ke tabung kaca. Sinarnya bertambah terang. Usai merapikan dapur, Anon memijat tangan dan kaki ayahnya. Ayah pasti lelah setelah seharian bekerja di ladang. Sinar dari tabung kaca itu makin terang.


32 “Aha, jawabannya adalah berbuat baik!” teriak Anon penuh kegirangan. Ayah tertawa lebar mendapati putranya telah memperoleh jawaban. Meski ibunya kurang mengerti, ia ikut senang putranya kembali ceria seperti sedia kala. *** Sejak itu, setiap kali ada kesempatan berbuat baik, Anon segera menyambut. Awalnya ia melakukan itu demi tabung kaca bersinar di malam hari. Lama-kelamaan berbuat baik jadi kebiasaan Anon. Di kalangan penduduk desa, Anon kini dikenal sebagai anak baik hati. Tetapi tidak demikian di mata Manto. Ia yakin, Anon hanya cari simpati. Keduanya berteman cukup baik sebelum Anon menjelma jadi malaikat desa. Suatu malam, Manto melintas di depan rumah Anon. Dari kejauhan ia melihat cahaya sangat terang memancar dari balik jendela kamar Anon. Penasaran, Manto mengintip. Dari tirai yang sedikit tersingkap, Manto melihat tabung kaca di meja yang bersinar terang sekali. Manto ingin sekali memiliki tabung kaca itu. Tak perlu repot membakar lilin setiap malam. Kesempatan yang ditunggu akhirnya tiba. Di hari ulang tahunnya Anon mengundang beberapa teman bermain ke rumahnya, termasuk


33 Manto. Ketika Anon lengah, dengan sigap Manto menyelinap ke kamar Anon dan memasukkan tabung kaca ke dalam tasnya. Ketika hari beranjak gelap, perlahan-lahan Manto mengeluarkan tabung kaca dari tasnya. “Mengapa tidak menyala? Mana sinarnya?” gerutu Manto. Tabung kaca itu diputar dan dikocok berulang kali. Sia-sia usaha Manto. Mulai malam itu Manto memupuk kebencian terhadap Anon. Ia berharap hal buruk menimpa temannya itu. Bahkan ia merancang berbagai rencana untuk mengerjai Anon. Makin hari, makin keji pikiran Manto. Makin lama, makin gelap sekelilingnya. *** Manto tidak menyadari, bahkan Anon belum sempat mengetahui keunikan tabung kaca itu. Kebaikan akan membuatnya bersinar, sedangkan kejahatan menyebabkan tabung kaca melepaskan kegelapan. Gelap betul! Manto tak mampu melihat apa pun. Ia berusaha bangun dan mencari tempat tidurnya. Tidak ada! Tangannya terentang ke depan, mencoba meraba tembok. Tidak ada! Perlahan ia berjalan menuju pintu kamar. Tidak ada juga! Ke mana saja ia memandang, yang tampak hanya hitam pekat. “TOLOOONG!” teriaknya.


34 Orang tua Manto terkejut mendengar teriakan anak mereka. Secepat mungkin mereka menuju arah suara. Keduanya gemetar. Mereka tidak menemukan kamar Manto, melainkan ruangan gelap hitam tak berujung. “Manto, Manto, di mana kamu?” tanya ibunya ketakutan. Makin keras Manto berteriak, “TOLOOONG, TOLOOONG!” Pintu rumah digedor. Ayah Manto membukakan pintu. Para tetangga datang, lengkap dengan obor. “Ada apa, Pak?” tanya mereka bersamaan. Ramai-ramai mereka mencoba masuk ke ruangan gelap gulita itu. Baru beberapa langkah, semua berhenti. Obor mereka tetap bercahaya, tetapi gagal menerangi sekitar. Tak tampak apa-apa, selain hitam pekat. “Mengapa gelap sekali di sini?” Mereka berbalik. Kehilangan nyali untuk melangkah lebih jauh. Di tengah kebingungan, muncul Anon. “Eh, Anon. Kamu dengar teriakan Manto juga?” tanya Pak Darso, salah seorang tetangga. Setelah menjelaskan persoalannya dengan cepat, Pak Darso berpesan, “Kamu jangan masuk ke situ. Sinar obor saja tak mampu menembusnya. Kita tunggu, coba cari cara lain.” Anon sangat ingin menolong Manto. Tetapi ia sendiri kehilangan tabung kacanya beberapa


35 hari lalu. Karena tadi tergesa-gesa berangkat, di tangannya hanya ada sebatang lilin. Ah, aku harus menolong Manto. Anon menerjang masuk dalam kegelapan. Meringkuk di sudut ruangan, Manto menutup wajahnya. Anon samar-samar melihat temannya. Ia berjalan mendekat. Perlahan-lahan sekelilingnya berangsur terang. Mungkin tabung kaca itu mulai bekerja, sangka Manto. Ia mengangkat wajahnya. Bukan, sinar ini bukan dari tabung. “A… Anon? Ka… kamu bersinar!” Anon merangkul Manto. Seketika kegelapan sirna. Manto masih berada di kamarnya. Keduanya beranjak keluar kamar. Ayah dan ibu Manto memeluk dan menciumi anak tunggal mereka. Tak henti mereka berterima kasih kepada Anon. “Bagaimana kamu bisa menembus kegelapan itu?” tanya para tetangga kagum. “Anon bersinar. Terang sekali! Semua jadi kelihatan lagi,” tutur Manto. Mereka menatap Anon. Wajahnya memang berseri-seri, tetapi tidak mungkin bisa menerangi seluruh ruangan kamar yang gelap pekat. “Ah, Manto, kamu salah lihat. Sinarnya dari lilin yang kubawa,” ucap Anon. Orang-orang tak lagi bertanya. Semua sudah lelah dan ingin lekas pulang. Walau sebenarnya


36


37 dalam hati mereka masih menyimpan tanya: cahaya lilin bisa mengalahkan obor? *** Keesokan pagi, dalam perjalanan ke sekolah Manto bertemu dengan Anon. Ia menyodorkan tabung kaca. “Maafkan aku. Aku mencurinya,” ujar Manto sambil menunduk. Anon menghela napas. Ia memandangi tabung kaca di tangan Manto. Senyumnya merekah. “Buatmu saja. Teruslah berbuat kebaikan, nanti tabung kaca ini akan bersinar.” Manto kehilangan kata-kata. Ia hanya dapat menatap lekat Anon. Sekali lagi ia melihat Anon bersinar. Bukan lantaran cahaya matahari pagi, tetapi sinar yang memancar keluar dari sekeliling tubuhnya. Bersama mereka melangkah menuju sekolah. Tak jauh dari pintu gerbang sekolah, mereka berjumpa dengan pengemis tua yang biasa mangkal di situ. Anon memberi nasi bungkus yang sudah disiapkan dari rumah. Dari jauh, Pak Darso menyaksikannya. “Anak yang baik,” bisik Pak Darso. Tiba-tiba ia memandang dengan takjub. Perkataan Manto semalam benar. Anon bersinar. Sungguh, sinar terindah yang pernah ia lihat. *******


38 Tas si Bungsu Seorang ibu tua terbaring sakit menanti ajal. Ia memanggil ketiga anaknya satu per satu untuk masuk ke kamarnya. Kepada putra sulung, ia berkata, “Tanganmu tiada henti menggarap ladang. Dengan demikian ladang itu adalah milikmu.” Sang ibu lanjut memanggil anak kedua, “Putriku, tanganmu selalu mengurus rumah. Oleh karena itu rumah ini adalah milikmu.” Sedangkan kepada si bungsu, ibunya berkata, “Oh, tanganmu sering mengambil sesuatu yang bukan milikmu. Bukalah lemari baju itu. Ambillah tas kain milik almarhum ayahmu. Ia mendapatkan tas itu sebagai hadiah setelah menyelamatkan seorang penyihir di kota. Mungkin tas ini dapat menolongmu.” Perlahan sang ibu menutup mata, menarik napas panjang untuk terakhir kali. Kehidupan berjalan terus. Tak lama setelah pemakaman, ketiga bersaudara


39 ini melakukan rutinitas keseharian mereka. Si sulung menggarap ladang, si gadis mengurus rumah tangga, dan si bungsu kembali mencuri di pasar, rumah makan, dan tempat keramaian lainnya. Sebenarnya, ia tak perlu melakukan perbuatan buruk itu karena kedua kakaknya mampu mencukupi kebutuhan si bungsu. Suatu hari meletuslah amarah kakak perempuannya. “Kalau kamu tidak berhenti mencuri, lebih baik kamu pergi dari rumahku!” Si Bungsu menatap tajam kakaknya, “Rumahmu? Ini rumah ayah dan ibu yang sekarang jadi milik kita bertiga!” Sang kakak menceritakan pesan terakhir ibu mereka. “Rumah ini sekarang milikku, tetapi karena aku belum menikah, tidak masalah jika kamu dan Kakak masih tinggal di sini.” Siang hari, ketika kakak sulung mereka pulang dari ladang, si Bungsu menuturkan kepada kakak sulungnya tentang rumah mereka. “Jika itu perkataan Ibu, kita harus mematuhinya. Lagi pula saudari kita masih mengizinkan kita tinggal di sini, dan penghasilan dari ladangku tetap aku bagi dengan kalian. Tak perlu kita meributkan hal ini.” “Apa? Ladangmu?” si Bungsu sangat geram karena menganggap ibunya pilih kasih.


40 “Apa yang diberikan Ibu kepadamu?” tanya kedua kakaknya hampir bersamaan. “Aku hanya mendapat sebuah tas kain tua ini,” jawab si Bungsu sambil menunjukkan warisan yang diperolehnya. “Kamu sangat beruntung! Tas itulah yang membuat Ayah bisa membeli rumah, ladang, dan menghidupi kita,” sahut si Sulung. “Tetapi sangat disayangkan Ayah tidak pernah menceritakan cara menggunakan tas itu,” sergah si anak perempuan. “Aku juga tak pernah tahu tentang tas ini,” keluh si Bungsu. “Ayah menceritakannya sekilas kepadaku sewaktu kamu masih bayi. Setelah ayah meninggal, kisah tas itu ikut terkubur bersama Ayah,” lanjut si Sulung. “Kalau begitu, aku akan pergi ke kota menemui penyihir yang pernah ditolong Ayah. Aku ingin menanyakan cara menggunakan tas ini kepadanya,” tekad si Bungsu. *** Keesokan harinya si bungsu pamit kepada kedua kakaknya. Dibawanya tas kain tua itu dan diisi dengan bekal makanan. Kakak sulungnya memberi sejumlah uang. Perjalanan ke kota sangat jauh sehingga si Bungsu lekas lelah. Bekal makanan yang


41 seharusnya cukup untuk sehari sampai ia tiba di perbatasan, sudah habis menjelang sore. Si Bungsu berandai-andai, “Mungkin tas ini bisa mengabulkan permintaanku.” Sejenak ia memejamkan mata, lalu membuka tasnya. Tidak ada yang berubah. Setiba di desa lain, si Bungsu segera memesan makanan mewah dan lezat. Ia juga memilih tempat penginapan yang mahal. Dalam sekejap uang pemberian kakak sulungnya tak tersisa sepeser pun. Si Bungsu merogoh-rogoh tas, berharap masih ada uang terselip. Tas itu kosong. Ia menyesal telah menghambur-hamburkan uang. Segera muncul niat untuk mencuri. Di tengah keramaian pasar, si Bungsu berjalan perlahan, pura-pura melihat aneka barang dagangan. Tampak seorang ibu tengah asyik memilih buah sambil mengobrol dengan pedagang. Ibu itu tidak menyadari tas belanjanya tergeser ke belakang dan setengah terbuka. Dengan tenang dan gesit si Bungsu menyambar dompet wanita itu. “PENCURI” terdengar teriakan nyaring. Orang-orang tersentak, menoleh ke arah sumber suara. Mereka semua menatap si Bungsu dengan penuh kecurigaan. “Oh... eh... Anda salah paham. Aku hanya memungut dompet yang terjatuh, bukan hendak mencuri...,” si Bungsu membela diri.


42 “Itu dompetku, pasti terjatuh dari tas. Terima kasih, Nak,” kata ibu pemilik dompet. Dalam hati si bungsu jengkel karena gagal mencuri. Aha, ada mangsa lain – seorang anak kecil yang sedang memegangi tas ibunya. Dengan mudah si Bungsu berhasil membujuk anak itu untuk menyerahkan tas kepadanya. Tetapi, lagi-lagi terdengar suara melengking dari belakang si Bungsu, “PENCURI!” Kepada orang-orang di sekitarnya yang menatap dirinya dengan tajam, si Bungsu dengan tenang berkata, “Oh, aku sedang bermain dengan anak ini.” Lalu ia segera beranjak dari tempat tersebut. Seraya berjalan si Bungsu berpikir, siapa yang terus mengawasinya, mungkinkah ada orang yang mencurigai dan terus membuntutinya? Namun, ia tak melihat satu orang pun di dekatnya. Seingatnya, teriakan nyaring itu selalu ia dengar dari belakangnya. Sejenak si Bungsu menghentikan langkahnya. “Jangan-jangan…,” ia menoleh kepada tas di punggungnya. Akalnya menolak untuk percaya. Hanya ada satu cara untuk membuktikannya. Pasar agak sepi karena hari sudah siang. Tanpa membuang waktu, si Bungsu menarik tas seorang perempuan. Menggelegarlah suara, “PENCURI!” Benar, tas yang dibawanya itulah yang berteriak, tas kain Ayah yang diwariskan Ibu ke-


43 padanya. Sebelum orang-orang mengerumuninya, si Bungsu cepat melempar tas curiannya, lalu berlari sekencang mungkin ke arah hutan. Diterangi cahaya api unggun, si Bungsu mengamati tas tua miliknya. “Ayo bicara!” serunya sambil mengguncangguncang tas itu. “Kamu hanya bisa memberi peringatan jika aku mencuri. Katanya kamu yang memberi ayahku kekayaan. Bagaimana mungkin? Tak ada gunanya!” Si Bungsu membanting tas itu ke tanah. “HUAAAA!” tas itu menangis keras seolah hendak membangunkan seluruh penghuni hutan. Si Bungsu amat panik. Setelah beberapa saat, ia berhasil membujuk tas itu untuk berhenti meraung. *** Keesokan pagi, si Bungsu meneruskan perjalanan ke kota bersama tas ajaibnya. Suasana kota amat berbeda dengan di desa. Walau hari menjelang malam, orang-orang masih berjalan simpang-siur, masing-masing sibuk sendiri. Si Bungsu memegang perutnya. Ia belum makan sejak pagi tadi. Bagaimana caranya bisa makan? Mencuri pasti tidak mungkin dilakukannya lantaran tas yang bertengger di bahunya. Si bungsu memberanikan diri meminta tolong kepada orang-orang di kota, tetapi tidak ada yang


44 mau membantunya dengan sepenuh hati. Beberapa orang memberikan satu-dua koin logam dan sebagian lain berlalu tanpa menoleh kepadanya. Uang yang terkumpul masih jauh dari cukup untuk bisa membeli makanan, apalagi membayar penginapan. Si bungsu berniat mencuri lagi, di saat bersamaan terdengar lengkingan keras, “ADA PENCURI!” Meledaklah amarah si Bungsu. “Kurang ajar! Aku baru memikirkannya, belum melakukannya, tetapi kamu....” “Ampun! Ampuni aku, Tuan!” Si bungsu mengira tas yang meminta ampun, betapa terkejutnya ia mendapati seorang pemuda sebayanya bersujud di belakangnya. Si bungsu terpaku, matanya lekat pada sang pemuda. Orangorang sekitar berkerumun menyaksikan. “A… aku baru membuka tas, belum mengambil apa-apa. Tolong... jangan sakiti aku,” pemuda itu memelas. Si Bungsu makin bingung, ia belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Kerumunan orang yang mengelilingi keduanya saling berbisik. Seorang petugas keamanan memecah kerumunan, menghampiri si Bungsu dan pemuda itu. “Tuan berteriak ada pencuri?” tanya petugas keamanan. Si Bungsu setengah mengangguk, masih bingung. Petugas mengalihkan pandangan ke


45 pemuda, lalu membawanya pergi untuk diperiksa. Kerumunan bubar, si Bungsu masih mematung. Plok! Seorang bapak menepuk pundak si Bungsu. “Halo, Nak,” sapanya, “aku tadi melihat semuanya. Sebenarnya, tasmu itu kan yang berteriak?” Keringat dingin mengucur. Si Bungsu takut bapak ini akan melakukan hal-hal buruk karena tahu rahasianya. Tetapi bapak berjanggut panjang itu hanya tersenyum, lalu memberikan secarik kertas kusam kecokelatan. “Aku rasa ini akan berguna bagimu,” katanya. Si Bungsu mengamati kertas di tangannya, terdapat tulisan besar: “DICARI!” Ia melihat ke sekitarnya, bapak itu telah menghilang. Si bungsu meneruskan membaca tulisan di kertas, ternyata sebuah pengumuman. Seorang saudagar paling kaya di kota sedang mencari orang yang dapat menangkap pencuri harta pusaka miliknya. Tersedia imbalan besar. Mata si Bungsu berbinar. Si Bungsu berjalan mantap menuju tempat tinggal saudagar. *** Tidak sulit mencari tempat tinggal saudagar yang megah bagai istana kerajaan. Seluruh penduduk mengenal saudagar yang berlimpah harta, tetapi murah hati itu. Kedatangan si Bungsu disambut baik.


Click to View FlipBook Version