The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by marbena claristiani, 2023-07-03 07:02:58

Gerobak Salvo

Gerobak Salvo

46 Saudagar segera menarik si Bungsu ke ruang makan. Di atas meja besar tersaji berbagai hidangan lezat. Si Bungsu menikmatinya sambil bercakapcakap dengan saudagar. Seusai makan, si Bungsu digiring ke ruangan penyimpanan harta. Pintu masuk ruangan itu dipenuhi ukiran emas. Si Bungsu terpukau. Ketika pintu dibuka oleh dua penjaga berbadan kekar, sinar terang menyembur. Ratusan benda berkilauan berderet rapi membentuk labirin. Dinding ruangan berlapis emas dan bertabur berlian, zamrud, dan batu-batu berharga lainnya. Di atas separuh lantai ruangan berserakan aneka perhiasan. “Sebagian besar barang di ruangan ini diwariskan atau diberikan padaku. Kamu tahu, beberapa dari harta ini bahkan tidak berharga di tempat asalnya.” Si Bungsu masih terperangah, seperti berada di dunia lain. “Jadi, apa yang dicuri dari sini? Hebat sekali Tuan bisa mengetahui ada yang hilang dari harta sebanyak ini,” ujar si bungsu. Saudagar mengernyitkan alisnya, agak tersinggung dengan ucapan si Bungsu. “Orang pikir ambil saja sedikit dari tumpukan perhiasan yang berserakan itu, pasti tidak ada yang tahu. Salah besar! Yang mulanya sedikit, lamakelamaan jadi banyak. Lagi pula di antara harta


47 yang berserakan itu ada beberapa perhiasan yang kuingat,” tutur saudagar. Saudagar lalu menceritakan masalah yang dialami satu bulan terakhir. Suatu pagi, ia mencari beberapa perhiasan di ruangan itu, tetapi tidak ditemukannya. Ia menanyakan kepada para penjaga. Mereka tidak mendengar atau melihat apa pun yang mencurigakan. Satu minggu berlalu, pencuri itu tetap beraksi. Suatu kali, saudagar bersama beberapa penjaga tinggal di dalam ruangan. Perhiasan tetap utuh. Tetapi, begitu para penjaga hanya berjaga di depan pintu, keesokan pagi didapati ada perhiasan yang hilang. “Mengapa Tuan tidak menyuruh para penjaga terus berada di dalam ruangan harta?” tanya si Bungsu. “Anak muda, apakah ada yang bisa kuat menahan godaan sebesar itu? Bayangkan saja, sepanjang hari menatap tumpukan harta. Bisa jadi malah muncul pencuri-pencuri baru,” kata Saudagar. Sudah puluhan orang mencoba memecahkan masalah ini, semuanya gagal. Saudagar senang dengan kehadiran si Bungsu dan berharap banyak padanya. Timbul rasa iba dalam hati si Bungsu. Ia bertekad menangkap pencuri itu. Kini ia sadar, betapa egois dirinya, tak pernah memikirkan perasaan orang


48


49 yang ia curi. Ia berjalan pelan memutari ruangan. Sejurus ia berhenti dan tersenyum. “Aku punya ide, Tuan!” Malam senyap. Perlahan salah satu bagian lantai di pojok ruangan harta terangkat. Si pencuri berjingkat tanpa menimbulkan suara. Tanpa mengulur waktu, ia memasukkan sejumlah benda antik dan perhiasan ke dalam karung. Sejenak ia memandang sekitar. Ada benda baru di antara tumpukan harta: sebuah tas usang. Tunggu dulu... di dalam tas yang setengah terbuka itu tampak patung singa emas menggigit berlian sebesar kepalan tangan. “Wah... cantik sekali!” gumam si pencuri. Ditariknya patung itu. “ADA PENCURI!” Pintu ruangan harta terbuka. Para penjaga menyerbu masuk. Si Bungsu dan Saudagar mengikuti. Pencuri sangat kaget, tak bisa berkutik. Dua penjaga segera mengikat tangan pencuri. Saudagar menghampiri pemuda lusuh di hadapannya. “Masukkan dia ke kamar di pojok sana. Besok aku akan menyerahkannya ke polisi.” Si Bungsu menatap kepergian pencuri. Dalam hati ia berjanji tak akan mencuri lagi. “Anak muda, tasmu ajaib sekali. Tak kusangka ia bisa berteriak. Maukah kau menjual tas itu kepadaku? Berapa pun harganya akan kubayar,” Saudagar membujuk.


50 Si bungsu terdiam, lalu berkata, “Terima kasih, Tuan, aku tidak berniat menjualnya. Tas ini warisan dari orang tuaku.” “Ah, aku mengerti. Kalau begitu terimalah hadiah dariku. Silakan ambil perhiasan yang kau suka.” Mendengar ucapan saudagar, si Bungsu berangan-angan. Ia membayangkan banyak perhiasan yang akan ia bawa pulang ke desanya. Tiba-tiba bayangan ibunya melintas. Si bungsu memandang kedua tangannya. “Tuan sangat murah hati, terima kasih. Menjelang kematiannya, ibu memberi kami hadiah sesuai dengan apa yang telah dikerjakan tangan kami. Sebenarnya, bukan tanganku yang menangkap pencuri, melainkan tas ini. Jadi, aku tidak pantas menerima hadiah dari Tuan.” Saudagar mengagumi ketulusan si Bungsu. Ia mencari cara yang tepat untuk berterima kasih kepada si Bungsu. “Baiklah, aku akan beri tasmu hadiah.” Lalu saudagar itu menyuruh dua penjaga memenuhi tas si Bungsu dengan emas dan perhiasan. Si Bungsu tak dapat menolak lagi. *** Dalam perjalanan pulang ke desanya, si Bungsu kembali melewati kota. Tiba-tiba ia teringat bapak berjanggut panjang yang memberikan lembaran pengumuman kepadanya. Tanpanya, tas si Bungsu


51 akan tetap kosong. Ia bertanya kepada semua orang yang dijumpainya, tetapi tak ada seorang pun yang mengenal bapak berjanggut panjang. Si bungsu melanjutkan perjalanan. Hatinya meluap dalam kegembiraan. Namun, ada satu pertanyaan yang belum terjawab. “Apa yang harus tanganku lakukan selanjutnya?” Ia menatap tas dan mengelusnya. “Nanti kau pasti akan mengajariku.” *******


52 LONCENG YANG BERHENTI BERBUNYI Cantik benar lonceng perunggu itu. Ukiran sulursulur berbuah anggur menghiasi bagian atas dan bawahnya. Di tengah ada pahatan lilin megah. Ia tampak anggun di dekat langit biru, digantung pada menara yang mengungguli tinggi semua bangunan di desa. Di bawah menara, sebagian penduduk berkerumun. Semua mata tertuju kepada lonceng. Hati mereka bergelora, tak sabar ingin mendengar suaranya. Menurut kabar yang tersiar, lonceng besar itu punya kekuatan. Dentangnya bisa membawa sukacita bagi siapa saja yang mendengar. TENG, TENG, TENG, TENG, TENG…. Untuk pertama kali setelah diletakkan di atas menara, lonceng itu bersuara. Sorak-sorai dan tepuk tangan penduduk membahana, mengiringi nyanyian lonceng. Mereka saling berpelukan, ada yang menangis haru. Hati mereka sangat bahagia.


53 Angin menghantar bunyi lonceng ke seluruh desa. Penduduk yang ada di rumah, sekolah, toko, dan ladang pun ikut bergembira. Bahkan bunyi lonceng itu menyapa mereka yang paling kecil dan terlupakan, yaitu keluarga tikus. “Ayah, aku mendengar suara indah!” teriak anak sulung tikus. Telinga ayah tikus bergerak-gerak. “Aku juga, Nak. Ayo, kita dengarkan lebih jelas.” Keluarga tikus ke luar dari liang – selokan kering yang kotor. Mereka berjajar di pinggir jalan, memandang ke arah lonceng. “Merdu sekali, hatiku jadi tenang rasanya,” ucap ibu tikus sambil memegang tangan suaminya. Keluarga tikus larut dalam nyanyian lonceng. Kebahagiaan mereka berbeda dengan saat mendapati tumpukan makanan di tempat sampah. Sulit dilukiskan kebahagiaan yang timbul dari hati terdalam, lalu menjalari tubuh. Anak-anak tikus merengek, “Ayah, Ibu, ayo kita pindah ke dekat suara itu!” Mereka saling berpandangan dan tersenyum. Setelah mengemasi barang seadanya, mereka menyusuri selokanselokan hingga tiba di bawah menara lonceng. Rumah baru mereka kini di balik tembok menara. Mereka bertemu dengan sejumlah keluarga tikus lain yang telah lebih dahulu bermukim di sana. Tikus-tikus menjadi makhluk yang segera menikmati nyanyian lonceng sebelum gemanya menyebar ke segenap penjuru desa.


54 Setiap hari lonceng berdentang saat matahari terbit, tengah hari, dan matahari terbenam. Ketika lonceng berbunyi, semua berhenti sejenak untuk merasakan sukacita yang mengalir. Dalam hati mereka bergumam, “Semoga lonceng ini berdentang selamanya.” *** Waktu berlalu. Desa itu berkembang menjadi kota. Lonceng masih bertengger di atas menara, tetapi penampilannya kini terlihat membosankan, kalah cemerlang dengan benda-benda berlapis emas dan perak. Nyanyiannya juga sudah ketinggalan zaman dibandingkan kekayaan harmoni konserkonser musik yang sering digelar di kota itu. Dahulu lonceng dipuji, sekarang dihujat. “Berisik! Tidak ada gunanya lonceng itu berdentang tiga kali sehari!” gerutu orang-orang. Lonceng sama sekali tidak kehilangan kekuatannya. Hanya hati penduduk yang telah beralih. Berdansa dengan iringan musik meriah, disertai gelak tawa dan hidangan lezat sepertinya jauh lebih membahagiakan daripada sekadar mendengar dentang lonceng. Suatu hari lonceng berhenti berdentang. Tikustikus berkumpul di bawah menara. “Tuan Lonceng, mengapa hari ini Anda diam saja?” tanya seekor tikus.


55 “Maafkan aku tikus kecil, aku hanya bisa bersuara kalau ada yang menarik taliku,” sahut Lonceng. Tikus-tikus berubah murung. Lonceng berusaha menghibur, “Tenang saja. Orang-orang kota ini biasa mendengar suaraku. Mereka pasti bertanya-tanya mengapa aku kali ini senyap. Lalu, mereka akan ke sini dan membunyikanku.” Sekilas terpancar harapan di mata tikus-tikus. Mereka kembali masuk liang. Satu hari berlalu. Tidak ada seorang pun yang mendekati lonceng untuk menarik talinya. Hari berganti hari. Tetap sunyi. Sebagian penduduk kota malah berujar, “Syukurlah sekarang tidak ada lagi suara yang mengganggu.” “Sudah waktunya lonceng butut itu ditaruh di museum. Tidak cocok lagi untuk kota kita yang maju ini.” Dalam kesedihan, tikus-tikus berkerubung lagi di bawah menara. Seekor tikus muda angkat bicara, “Tidak ada cara lain, orang-orang kota ini harus kita bujuk untuk membunyikan lonceng.” “Apa kamu yakin mereka mau?” tanya tikus tua. “Melihat kita saja mereka sudah jijik,” ucap seekor tikus kecil. Mereka berembuk. Semua setuju meminta bantuan manusia.


56 Keesokan pagi puluhan tikus menyebar ke seluruh penjuru kota. Mereka bercicit memohon kepada setiap orang yang mereka jumpai untuk membunyikan lonceng. Tubuh tikus-tikus itu sangat kecil, begitu pula suara mereka. Orang-orang berlalu lalang tanpa memperhatikan tikus-tikus itu. Malah tikus-tikus itu harus pandai menghindar kalau tak ingin tubuh mereka terinjak kaki-kaki manusia. Pantang menyerah, tikus-tikus mendekati rumah-rumah penduduk. Pintu-pintu rumah diketuk tangan-tangan kecil mereka. Lagi-lagi suaranya tak terdengar, tenggelam dalam kebisingan kota. “Usaha kita sia-sia,” keluh beberapa tikus. “Ayo, kita langsung dekati saja orang-orang itu,” ajak seekor tikus. Kini tikus-tikus masuk ke rumah-rumah penduduk. Mereka memanjat ke tubuh orang-orang yang sedang berbaring. Di dekat telinga mereka berkata, “Tuan, maukah Anda membunyikan lonceng?” “Aaaarrrgh, ada tikus!” Teriakan yang sama merambat dari satu rumah ke rumah lain. Di seluruh kota terdengar, “Tikus! Tikus!” ***


57


58 Keesokan pagi balai kota dipenuhi penduduk. “Pak Wali Kota, kita punya masalah serius dengan tikus-tikus!” “Makhluk menjijikkan itu berani menyerbu ke rumah-rumah!” “Bahkan menggerayangi tubuh kami!” Warga bersahut-sahutan melontarkan keluhan. Wali Kota berdiri di podium, “Tenang, Ibu dan Bapak sekalian. Saya mengerti perasaan Anda semua. Apakah ada di antara Ibu dan Bapak yang mengetahui dari mana tikus-tikus ini berasal?” Penduduk saling pandang. “Tadi malam ketika melewati menara lonceng, saya lihat banyak tikus. Mungkin mereka berasal dari situ, Pak,” kata seorang bapak tua. “Kalau demikian, ayo kita ke sana untuk menyelesaikan masalah ini!” seru Wali Kota. Berbondong-bondong warga pergi ke menara lonceng, mengikuti Wali Kota. Melihat rombongan manusia menuju ke arah lonceng, seekor tikus berujar, “Tuan Lonceng, akhirnya mereka datang! Mereka ingat kepadamu! Tentu sebentar lagi Anda akan kembali berbunyi!” Tikus-tikus lain melompat kegirangan, bersorak senang. Pintu menara dibuka. Warga berebut masuk. Ratusan tikus menyambut mereka. “Aaaaarrrrgggghhh...!” teriak ibu-ibu. Sementara kaum pria sibuk menghentakkan kaki, mengayunkan tongkat kayu untuk mengusir


59 dan membunuh hewan pengerat itu. Tikus-tikus berpencar. Sejurus kemudian semua lenyap ke liang-liang di balik tembok. “Menara ini jadi sarang tikus. Robohkan saja!” teriak warga. “Ya, betul! Loncengnya juga sudah tidak berguna. Buang saja,” dukung yang lain. Mereka terus mendesak Wali Kota. “Tidak semudah itu. Menara dan lonceng ini punya nilai sejarah. Kita bisa memanfaatkannya sebagai objek wisata dan menjadi sumber pemasukan kota kita.” Segera pintu, jendela, dan semua liang yang ada di menara ditutup rapat untuk mencegah tikus-tikus keluar dari menara lonceng. Wali Kota menarik napas dalam, puas dengan jalan keluar yang diambilnya. Kerumunan warga berangsur meninggalkan menara lonceng. “Teman-teman, kemari! Mereka sudah pergi,” panggil Lonceng. Tikus-tikus menaiki tangga menara, berkumpul di samping Lonceng. “Mengapa kalian ingin sekali aku berbunyi kembali?” tanya Lonceng keheranan. Sunyi. Isakan terdengar. Seekor tikus tua memberanikan diri maju. Ia menunduk dan membuka topinya. “Tuan Lonceng, kami hanya makhluk sangat kecil. Manusia selalu membenci kami. Sepanjang hidup kami harus bersembunyi di tempat kotor


60 dan gelap. Kami makhluk yang terlupakan di muka bumi ini. Namun, hati kami terhibur setiap kali mendengar dentangmu dari bawah menara. Bersamamu kami tidak lagi merasa terbuang.” Hari berganti. Bulan menjelang. Tahun datang dan pergi. Waktu terus bergulir. Tangga kayu di dalam menara lapuk dan hancur. Tak ada satu makhluk pun yang dapat mencapai lonceng. Di puncak menara, lonceng merana dalam kesendirian dan kesunyian. Janji Pak Wali Kota tak pernah terpenuhi. Malam hari tikus-tikus berkeliaran di jalan-jalan kota mencari makanan, tanpa berani mengganggu manusia lagi. Cerita keindahan suara lonceng diturunkan dari generasi ke generasi tikus. Terselip harapan suatu saat lonceng berdentang kembali. *******


61 GEROBAK SALVO Sejak kecil Salvo tinggal di gerobak. Ia hidup mengembara bersama ayahnya. Malam hari mereka tinggal di hutan. Ayah mengumpulkan benda-benda unik yang diperoleh sepanjang perjalanan, lalu menjualnya ke sebuah desa untuk mencukupi kebutuhan hidup. Ayah tak pernah membawa Salvo ke desa. Ia meninggalkan gerobak di perbatasan antara jalan masuk ke desa dan tepi hutan. Salvo dengan gembira bermain-main di dalam gerobak sambil melihat pemandangan sekitar. Dalam waktu setengah jam, Ayah sudah kembali. Ketika Salvo bertambah besar, ia tak mau lagi ditinggal kalau Ayah ke desa. Ia ingin ikut. Ayah tak tega menatap pandangan Salvo yang memelas. Kali ini, setelah memarkir gerobak, Ayah menggandeng Salvo menuju desa. Sambil melangkah, tiada henti Salvo menoleh ke kiri dan kanan. Untuk pertama kali ia melihat keramaian.


62 Ketika berada di depan sebuah kios, Salvo melihat sekelompok anak berlarian di taman. Kelihatannya menyenangkan. “Yah, aku mau bermain seperti mereka,” pinta Salvo. “Jangan, Salvo. Sebentar lagi kita harus pergi.” Salvo terdiam. “Biarkan dia bermain. Kau bisa mengobrol denganku di sini,” kata si pemilik kios kenalan Ayah. “Ya sudah. Jangan lama-lama, ya,” ujar Ayah kepada Salvo. Senyum Salvo mengembang. Ia berlari menyusul anak-anak. Pemilik kios menggelengkan kepala, “Sampai kapan kau mau menyembunyikannya?” Ayah tertunduk, sedih dan gundah. Anak-anak dengan cepat menerima kehadiran Salvo. Mereka bermain kejar-kejaran di taman, sampai kehausan. “Ayo, kita minum, setelah itu kita main lagi,” ajak salah seorang anak. Salvo ingin ikut, ia mengabaikan pesan ayahnya. Anak-anak lain sudah masuk ke sebuah bangunan mungil di samping taman. Salvo masih mematung di luar. Kenapa harus masuk? Ada apa di dalam? “Salvo, ayo ke sini!” ajak seorang anak. Perlahan disertai keraguan Salvo melangkah. Mata Salvo menjelajah. Mulutnya menganga.


63 “Di mana ini?” Seorang anak menyahut, “Ini rumahku.” “Ru… mah…? Apa itu?” Anak-anak saling berpandangan. “Tempat kita makan, main, mandi, dan tidur setiap hari dengan orang tua dan saudara kita. Kamu juga punya kan?” kata anak yang lain. Salvo tertunduk, tak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba ia teringat ayahnya. Salvo keluar, lalu berlari masuk ke taman. Ia terus berlari sambil mencari-cari, sampai ia menemukan sosok ayahnya di seberang taman. “Ayo, Salvo. Hari sudah siang, kita harus segera berangkat,” ajak Ayah begitu melihat anaknya datang. Mereka berjalan keluar desa menuju ke arah hutan. Ketika Ayah hendak menaikkan Salvo ke dalam gerobak, Salvo menepis tangan Ayah. “Tidak mau,” rengeknya. “Ada apa, Nak?” Ayah tidak mengerti. Tangis Salvo pecah. Badan mungilnya terduduk di tanah. “Anak-anak tadi punya rumah. Ayah, aku juga mau punya rumah tempat kita bisa makan, main, mandi, dan tidur,” Salvo terisak. Penuh iba Ayah menatap buah hatinya. Inilah mengapa ia enggan mengajaknya ke desa. Ayah tak mau Salvo tahu, orang seharusnya tinggal di rumah, bukan di gerobak. Dan ia tidak mungkin mampu menyediakan rumah bagi mereka.


64 “Salvo, anakku sayang, kenapa kamu ingin rumah, padahal kamu punya gerobak ajaib?” seru Ayah sambil bergaya seperti penyihir baik dalam dongeng. Salvo tertegun memandang Ayah, “Gerobak ajaib?” “Betul, Salvo. Gerobak ini bisa pergi ke mana saja. Kalau tinggal di rumah, kita tidak bisa ke mana-mana,” tutur Ayah. Hup! Salvo lompat ke dalam gerobak. “Ayo, Yah, kita berangkat!” Ayah tersenyum lega. “Mau ke mana?” “Aku mau ke sebuah negeri antah-berantah yang pernah Ayah ceritakan waktu aku masih kecil,” ujar Salvo. Ayah panik. “Ah, jaraknya jauh sekali. Kalau kamu ke sana, sekali jalan saja usiamu akan bertambah dua tahun,” terpaksa Ayah mengarang alasan. Salvo belum mengerti, tetapi Ayah segera menyambung, “Ayo kita pergi ke sungai di tengah hutan, memancing ikan.” Ayah menyusul Salvo masuk ke dalam gerobak. “Sekarang kita sebut ke mana kita akan pergi. Lalu, kita pejamkan mata sampai tertidur nyenyak. Saat itulah gerobak ajaib akan membawa kita pergi tanpa terlihat. Ketika bangun, kita sudah sampai di tujuan,” Ayah menjelaskan sambil membelai-belai rambut Salvo.


65 Selang beberapa saat, dengkur halus Salvo terdengar. Ayah segera bangkit. Perlahan ia keluar dari gerobak dan mulai menariknya ke tepi sungai di tengah hutan. Salvo bangun pagi melihat Ayah sedang memancing ikan. Benar-benar gerobak ajaib! *** Mereka mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Bermalam di satu hutan ke hutan lain. “Ayah, sudah lama kita tidak ke desa yang pertama kali aku kunjungi. Aku ingin bermain lagi dengan anak-anak di sana,” kata Salvo suatu malam. “Baiklah. Ayah juga sudah lama tidak bertemu pemilik kios kenalan Ayah. Ayo, kita tidur sekarang, supaya besok pagi kita sudah tiba di sana,” ajak Ayah. Saat Salvo sudah terlelap, Ayah menarik gerobak. Perjalanan malam itu sangat melelahkan. Napas Ayah terengah-engah. Penglihatannya makin buram. Genggaman Ayah terlepas dari tangkai gerobak. BRUUUK! Ayah tersungkur. Terang menyambut saat Ayah membuka mata. Ia berdiri. Tubuhnya terasa sangat ringan. Ayah mengamati sekitarnya. Ke mana pun mata memandang, yang tampak hanya deretan rumahrumah, mengikuti lengkungan bukit awan. Tatapan Ayah berhenti pada sebuah rumah indah di depannya. Di pintu rumah tampak seorang


66 pria berjubah putih berkilap. Wajahnya terselubung cahaya. Pria itu membuka tangan kanannya ke samping, mempersilakan Ayah masuk, “Selamat datang di rumahmu!” Ayah berjalan mendekati pria itu, lalu berlutut dan menangis tersedu-sedu. “Kasihanilah aku, Tuan. Aku telah berbohong kepada anakku tentang gerobak ajaib. Padahal, gerobak itu tidak bisa bergerak ke mana-mana kalau tidak kutarik. Sekarang anakku berada di hutan seorang diri. Aku harus kembali untuk menolongnya,” Ayah meratap. Sang pria berkata, “Aku sudah tahu semuanya.” Hening sejenak. “Baiklah. Kuberi kau kesempatan untuk menyelesaikan tugasmu. Tetapi kamu tidak dapat terlihat lagi oleh siapa pun, termasuk anakmu. Demikian juga gerobakmu akan menghilang dari pandangan waktu kau menariknya. Antarkan putramu ke mana saja ia ingin pergi. Dan ingat, kalau ia pergi ke negeri antah-berantah mana pun, usianya akan bertambah dua tahun, sesuai perkataanmu kepadanya. Setelah selesai tugasmu, kau akan kembali ke sini.” Ayah mengangguk penuh rasa terima kasih. Sejurus kemudian, Ayah merasa melayang-layang. Ia mendapati dirinya sudah berada di hutan kembali. Salvo masih tidur nyenyak. Ayah segera menarik gerobak. Untuk pertama kali, Ayah me-


67 rasa gerobak itu sangat ringan. Bahkan Ayah bisa berlari sekencang angin dan menembus segala yang merintangi jalan. Ayah tertawa, “Seandainya kamu bisa melihat ini, Salvo!” Ayah menempatkan gerobak di samping kios kenalannya, sesuai permintaan Salvo. Saat Salvo membuka mata di pagi hari, ia mengenali tempat itu. Namun, ia tidak melihat ayahnya. Salvo segera keluar dari gerobak, mendatangi kios. “Selamat pagi, Pak. Apakah Ayah saya ada di sini?” “Tidak, Nak. Mungkin ia sedang berkeliling desa. Kapan kalian datang? Aku tidak lihat,” tanggap pemilik kios yang berkumis lebat. “Tentu saja Bapak tidak bisa melihatnya karena kami naik gerobak ajaib,” kata Salvo bangga. “Gerobak ajaib?” terdengar suara di belakangnya. Salvo menoleh. Seorang bangsawan paruh baya menatap tajam ke arahnya. Kalung emas menggantung di lehernya. Cincin berlian tersemat di jari-jari tangannya. Jubah hijau yang ia kenakan amat tebal, bersulam benang emas. Saat ia berkacak pinggang, tampak ikat pinggangnya berhiaskan batu zamrud. Di belakangnya bersiaga sepuluh pengawal. Pemilik kios membungkuk dengan hormat. “Tuan, apa yang dapat saya lakukan untuk Tuan?” tanya pemilik kios.


68 “Kami sedang dalam perjalanan, tetapi perbekalan kami habis dan kami sangat lelah. Tolong sediakan makanan dan penginapan bagi kami,” kata Bangsawan. “Oh, baiklah, Tuan,” jawab pemilik kios seraya membungkuk. Dalam benaknya terbayang setumpuk uang yang bakal diterimanya. “Tadi kamu katakan gerobak ajaib, ceritakan kepadaku,” ujar Bangsawan sambil mengajak Salvo duduk di depan kios. Mata Salvo tidak beralih dari si bangsawan. Bangsawan itu melemparkan senyum penuh arti padanya. *** Bangsawan berhasil menenangkan Salvo agar tidak pergi mencari ayahnya. Ia membujuk Salvo agar bermalam bersamanya di penginapan. Ia hendak membuktikan kebenaran cerita sang bocah. Setelah Salvo tidur di atas kasur yang empuk, Bangsawan memerintahkan seorang pengawalnya untuk tidur di dalam gerobak. Sebelum tidur, pengawal itu sudah mengatakan kepada gerobak, ia ingin pergi ke tempat patung menari berada. Seperti biasa, Ayah datang di malam hari. Ia mendengar ada yang mengucapkan permohonan dari dalam gerobak. Tetapi, ketika Ayah akan menarik gerobak, ia terkejut. Bukan Salvo yang tidur di dalamnya. Ayah menghilang dalam gelap malam.


69 Keesokan pagi, pengawal melaporkan kepada majikannya bahwa tidak terjadi apa-apa semalam. Bangsawan berpikir keras. Mungkin gerobak hanya mau menerima perintah Salvo. Ia menemui Salvo yang tengah menyantap sarapan pagi. “Nak, kamu sudah menikmati tidur yang nyenyak dan makanan yang lezat. Sekarang kamu harus membantuku mendapatkan patung menari. Aku ingin benda itu untuk menambah koleksiku,” ujar Bangsawan. “Tentu, Tuan. Aku bisa mencari patung menari dengan gerobakku nanti malam,” tanggap Salvo penuh keyakinan. *** Sebelum tidur malam itu, Salvo berkata perlahan, “Aku ingin ke tempat patung menari berada.” Patung menari terletak di tengah kolam sangat besar. Seorang gadis dari pualam putih berbalut sehelai kain. Ia dapat menari dengan lemah gemulai seringan bulu. Air kolam ikut tersihir meniru gerakan patung menari. Cipratannya membasahi padang bunga di sekelilingnya. Percikan air kolam membangunkan Salvo. Perlahan ia keluar dari gerobak menuju ke tengah kolam. Tinggi air sebatas dagunya. Dengan semangat Salvo menjangkau patung setinggi manusia itu. Ia mampu mengangkatnya hanya dengan satu telapak tangan. Salvo merasa tubuhnya menjadi ringan sampai mampu menapak di air.


70


71 Patung tak berhenti menari di dalam gerobak. Salvo menanti matahari terbenam, agar ia mengantuk dan gerobak dapat membawanya kembali ke tempat bangsawan menginap di desa. Ketika fajar merekah, gerobak Salvo telah terparkir tepat di sisi penginapan. Salvo beranjak dari gerobak. “Tuan, aku berhasil!” teriaknya. Para pengawal bergegas menghampiri arah suara. Mereka terkejut. Salvo berubah lebih tinggi. Ia bukan lagi anak berusia enam tahun. Persis seperti perkataan Ayah: jika pergi ke negeri antahberantah mana pun, usia Salvo akan bertambah dua tahun. Bangsawan tak ambil peduli. Ia lebih terpaku pada patung di gerobak Salvo. Sulit dipercaya ia kini memilikinya. Patung itu segera diambil dan diciumnya, lalu ia memeluk Salvo. “Nak, mari ikut denganku tinggal di rumah besar dan indah,” bujuk Bangsawan. Salvo ragu-ragu. Meski merasakan segelintir kemewahan hidup, Salvo selalu memikirkan Ayah yang tak kunjung kelihatan. Bangsawan berusaha memengaruhinya, “Sudah hampir dua hari berlalu. Pasti telah terjadi sesuatu pada ayahmu. Atau jangan-jangan, ia sudah melupakanmu.” Salvo terdiam. Separuh menyangkal, separuh membenarkan. Tidak pernah Ayah meninggalkannya selama ini. Berlinang air mata, Salvo berjongkok.


72 Bangsawan membungkuk, memegang bahu anak itu. “Kalau kamu tetap di sini, kamu akan tinggal sendirian di gerobak. Kalau kamu ikut aku, kamu bisa tinggal di rumah.” Rumah. Sebuah kata yang sangat berarti bagi Salvo. Betapa ia sangat mendambakannya. Ia memeluk kaki Bangsawan. Salvo duduk bersama Bangsawan dalam kereta kuda. Gerobak ajaib turut dibawa. Tak lepas mata Salvo menatap pemandangan sekelilingnya. Jauh berbeda dengan perjalanan bersama Ayah di dalam gerobak. *** Rumah Bangsawan sangat megah dan luas. Seorang perempuan bergaun putih berpadu biru muda tampak berdiri di balkon. Bangsawan melihat ke arah perempuan itu dan berteriak senang, “Aku pulang!” Perempuan itu tersenyum lebar dan bergegas keluar rumah. Salvo menatap Bangsawan, “Pu… lang? Apa maksudnya?” Bangsawan tersentak, “Kamu tidak tahu?” Salvo menggeleng perlahan. “Itu yang kamu ucapkan saat sampai di rumahmu.” Perempuan tadi menyambut Bangsawan. Mereka berpelukan dan saling memberi kecupan kecil.


73 “Sayang, lihat yang kubawa untukmu.” Bangsawan menggiring istrinya ke gerobak Salvo. “Patung menari! Bagaimana kau bisa mendapatkannya?” tanya perempuan itu penuh kekaguman. “Anak kecil yang kubawa itu membantuku,” kata Bangsawan seraya menunjuk Salvo yang masih duduk di kereta kuda. “Nanti saja ceritanya. Banyak sekali yang harus kita persiapkan,” lanjut Bangsawan. Bangsawan lalu berbicara kepada beberapa pengawal. Mereka memindahkan patung dan gerobak. Kemudian, Bangsawan mengajak Salvo berkeliling rumah. “Nak, kamu bukan saja bisa tinggal di rumahku ini. Bahkan aku akan memberikanmu satu rumah, khusus untukmu.” “Benarkah?” tanya Salvo setengah percaya. “Ya, asalkan kamu bersedia membantuku mencarikan benda-benda yang kuminta,” Bangsawan mengutarakan syaratnya. “Itu mudah. Siap, Tuan!” seru Salvo kegirangan. Mereka berhenti di depan sebuah pintu. Bangsawan membukanya. “Ini kamarmu,” katanya sambil tersenyum. Ruangan yang luas lengkap dengan aneka perabot dan tempat tidur besar yang mewah. Salvo berlari masuk, menyentuh benda-benda di dalamnya.


74 “Tetapi, kamu tidak boleh ke luar dari kamar ini sesukamu, kecuali aku datang menjemputmu,” tegas Bangsawan. Sejurus ia menutup pintu kamar dan menguncinya dari luar, sementara Salvo masih sibuk mengamat-amati isi kamarnya. *** Suatu malam, orang-orang kaya dan terpandang berkumpul di rumah Bangsawan atas undangannya. Mereka ingin menyaksikan kegemulaian patung menari. Decak kagum bercampur tepuk tangan meriah membahana. Patung yang sungguh memikat hati. “Menakjubkan! Aku kira patung menari hanya isapan jempol,” ucap seorang pejabat. “Pangeran pasti iri kepadamu,” kata seorang teman Bangsawan seraya mengacungkan gelas anggur. Bangsawan dan istrinya menuai pujian bertubitubi. Mereka puas menjadi sorotan. Sebelum tidur, istri Bangsawan menagih kisah suaminya menemukan patung menari. Bangsawan menceritakan gerobak ajaib Salvo. “Kau simpan di mana gerobaknya?” tanya sang istri. “Di dekat gudang senjata,” jawab Bangsawan. “Anak itu?” tanya istrinya lagi. “Ia tidur di kamar tamu.”


75 Istrinya mengernyit, “Kenapa tidak ditempatkan bersama para pelayan?” “Sayangku, anak itu tidak boleh bergaul dengan banyak orang. Nanti kalau ia bercerita tentang gerobaknya, tentu mereka akan berusaha merebutnya dari kita,” Bangsawan menjelaskan sambil memainkan janggut tipisnya. “Tenanglah, aku sudah mempertimbangkan segalanya. Anak itu akan selalu melayani kita,” kata Bangsawan seraya mematikan lampu. Di atas ranjang dalam kegelapan, Bangsawan membayangkan sebentar lagi banyak benda antik nan ajaib akan menjadi koleksinya. Dengan bangga ia akan memamerkannya dalam pesta-pesta meriah. Para tamu akan membungkuk hormat kepadanya dan sejuta sanjungan akan diterimanya. *** Salvo melewati hari-harinya di dalam kamar. Setiap waktu makan, seorang pelayan akan membawakan aneka makanan lezat. Tetapi, si pelayan tidak bicara sepatah kata pun, sesuai perintah Bangsawan. Terkadang Salvo merasa bosan. Namun, hasrat untuk memiliki rumah sendiri seperti yang dijanjikan Bangsawan membuatnya bertahan. Hasrat itu pula yang makin mengikis ingatan Salvo akan Ayah.


76 Bangsawan hanya sesekali menjenguk, sekadar menyapa dan menyampaikan keinginannya kepada Salvo. Malam hari Salvo akan dibawa keluar oleh pengawal dan dihantar ke dalam gerobak. Ia dibiarkan sendirian di sana, sampai keesokan pagi. Bulan berganti bulan, bagai awan tertiup angin. Salvo dan gerobaknya telah menempuh empat belas perjalanan ke sejumlah negeri antah-berantah. Kini ia berusia tiga puluh enam tahun. Rumah impian Salvo tak kunjung terwujud. Suatu kali, ia memberanikan diri bertanya kepada Bangsawan. “Kamu belum bisa memiliki rumah itu. Masih ada dua puluh benda lagi yang harus kamu carikan untukku,” ujar Bangsawan. Salvo tercenung. Kata-kata Bangsawan terngiang di telinganya. Masih ada dua puluh benda. “Ah, aku pasti sudah sangat tua saat selesai mengumpulkannya,” kata Salvo dalam hati. Tiba-tiba Salvo tersadar. Betapa hidupnya berlalu dalam kesepian. Salvo terkenang masa-masa gembira bersama Ayah. Matanya berkaca-kaca. Malam hari, seperti biasa beberapa pengawal mengantarnya ke gerobak. Setelah ia tinggal sendirian, Salvo menarik napas panjang. “Ayah, aku merindukanmu,” jerit hatinya. Ia memejamkan mata. Salvo berbisik, “Aku ingin ke tempat Ayah berada.”


77 Salvo terbangun. Ia melompat dari gerobak. Di hadapannya berdiri sosok pria yang tak asing lagi. Pria itu tersenyum hangat kepadanya. “Ayah!” Lama mereka berpelukan erat. Keduanya saling menatap penuh cinta. Ayah mengalihkan pandangan, Salvo mengikuti gerak kepala ayahnya. Di hadapan mereka tampak sebuah rumah indah yang nyaman. Seorang pria dengan wajah terselubung cahaya dan berjubah putih berkilap berdiri di muka pintu. Ia membuka tangan kanannya ke samping, “Selamat datang di rumahmu, Salvo.” “Rumahku?” tanya Salvo keheranan. Ayah menepuk lembut punggung putranya, “Nak, di sini tersedia rumah bagi semua orang.” Salvo berteriak penuh kegirangan, “AKU PULANG!” *******


78 Tentang Penulis Della Tristani Djajadi, lulusan Fakultas Seni Rupa ITB yang gemar melukis dengan kata-kata dan bercerita dengan gambar. Sejak kecil terpikat dunia dongeng yang membuka banyak ruang untuk aneka interpretasi dan refleksi. Melalui kisah-kisah, penulis hendak mengajak para pembaca menapaki jalan manis nan imajinatif untuk lebih menghayati realitas.


Click to View FlipBook Version