The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Tokoh Mpu Kuturan dianggap sebagai tokoh sentral dalam menata kehidupan masyarakat Bali baik dibidang religi dan sistem sosial. Namun berbagai spekulasi tentang Mpu Kuturan sebagai sosok atau jabatan menjadi perbincangan hangat oleh para cendikiawan. Ringkasan Disertasi ini memberikan informasi secara komprehensif terkait penyebutan istilah Kuturan dalam berbagai naskah, ideologi yang diajarkan serta implikasi pemikiran Mpu Kuturan sebagai sosok dan Kuturan sebagai istilah terhadap kehidupan masyarakat di Bali

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Suka Ardiyasa_ Official, 2023-04-04 03:12:12

RINGKASAN DISERTASI

Tokoh Mpu Kuturan dianggap sebagai tokoh sentral dalam menata kehidupan masyarakat Bali baik dibidang religi dan sistem sosial. Namun berbagai spekulasi tentang Mpu Kuturan sebagai sosok atau jabatan menjadi perbincangan hangat oleh para cendikiawan. Ringkasan Disertasi ini memberikan informasi secara komprehensif terkait penyebutan istilah Kuturan dalam berbagai naskah, ideologi yang diajarkan serta implikasi pemikiran Mpu Kuturan sebagai sosok dan Kuturan sebagai istilah terhadap kehidupan masyarakat di Bali

Keywords: Mpu Kuturan,Tradisi Teks di Bali,Senapati Kuturan

i


ii


iii RINGKASAN DISERTASI MPU KUTURAN DALAM TRADISI TEKS DI BALI I Nyoman Suka Ardiyasa NIM 1834161004 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA DENPASAR 2023


iv MPU KUTURAN DALAM TRADISI TEKS DI BALI Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Agama, Program Pascasarjana Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar I NYOMAN SUKA ARDIYASA NIM 1834161004 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA DENPASAR 2023


v LEMBAR PENGESAHAN Disertasi ini telah disetujui untuk Ujian Terbuka Pada Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar JUDUL MPU KUTURAN DALAM TRADISI TEKS DI BALI Disertasi ini telah disetujui oleh : PROMOTOR Prof. Dr. Drs. I Made Surada., M.A. NIP 19670206 199403 1 003 KOPROMOTOR Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma,MS NIP 19570618 198303 1 001 Mengetahui Direktur Ketua Program Doktor Program Pascasarjana Ilmu Agama Pascasarjana UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar Prof. Dr. Dra. Relin D.E., M.Ag. Prof. Dr. I Nyoman Subagia., M.Ag. NIP 1968080801 200112 2 002 NIP 19820111 200604 1 004


vi LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA UJIAN MPU KUTURAN DALAM TRADISI TEKS DI BALI Telah disetujui dan dinilai oleh Panitia Ujian Tertutup Disertasi Program Pascasarjana pada Tanggal 16 Pebruari 2023 Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Hindu Negeri I Gusti bagus Sugriwa Denpasar Nomor 326 Tahun 2023 Tanggal 09 Pebruari 2023 Dan dinyatakan lulus Panitia Penguji Ujian Hasil Disertasi Promotor : Prof. Dr. I Made Surada., M.A. Kopromotor : Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma., MS. Dewan Penguji : 1. Prof. Dr. I Nengah Duija., M.Si. 2. Prof. Dr. I Wayan Rasna., M.Pd. 3. Prof. Dr. Dra. Ni Ketut Srie Kusuma Wardhani., M.Pd. 4. Prof. Dr. Dra. Relin.DE., M.Ag 5. Dr. Made Sri Purnamawati., S.Ag., M.A., M.Erg. 6. Dr. Drs. I Wayan Sugita., M.Si. 7. Dr. I Nyoman Alit Putrawan., S.Ag., M.Fil.H.


vii PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : I Nyoman Suka Ardiyasa NIM : 1834161004 Program Studi : Program Doktor Ilmu Agama (S3) Dengan ini menyatakan bahwa Penelitian Disertasi dengan judul : Mpu Kuturan dalam Tradisi Teks di Bali” benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan bebas plagiat terhadap karya orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti ditemukan tanda-tanda plagiat, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku. Demikian surat pernyataan ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai mana mestinya. Singaraja, Maret 2023 Yang membuat Pernyataan, I Nyoman Suka Ardiyasa


viii KATA PENGANTAR Om Swastyastu, Rasa angayu bagia penulis haturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), karena atas asung kertha waranugraha-Nya, penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul Mpu Kuturan dalam Tradisi Teks di Bali. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi kewajiban dan tugas sebagai mahasiswa sebagai syarat ketentuan dalam memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Agama Program Pascasarjana Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar. Disertasi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya berkat kontribusi dari berbagai pihak. Oleh sebab dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Prof. Dr. Drs I Gusti Ngurah Sudiana., M.Si, Rektor Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menempuh studi pada Program Doktor Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa; 2. Prof. Dr. Dra Relin D.E, M.Ag., Direktur Pascasarjana Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar sekaligus sebagai dewan penguji yang telah memberikan fasilitas, bagi penulis selama menempuh studi di Progam Doktor Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar; 3. Dr. I Nyoman Alit Putrawan, S.Ag., M.Fil.H. Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar sekaligus dewan penguji, yang selalu memberi semangat dan dukungan akademis pada penulis; 4. Prof. Dr. I Made Surada., M.A. selaku Wakil Rektor I yang sekaligus Promotor yang telah membimbing secara intesif dan mengarahkan hingga terselesaikannya Disertasi ini. 5. Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma., M.S. selaku Kopromotor yang telah membimbing secara komprehensif hingga Disertasi ini terselesaikan dengan baik. 6. Prof. Dr. I Nyoman Subagia, S.Ag., M.Ag., Ketua Program Doktor, Program Pascasarjana, Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar yang telah memberikan kontribusi besar terkait dengan informasi, bimbingan serta tuntunan baik dari segi akademis maupaun non akademis, selama penulis menempuh studi. 7. Bapak dan Ibu Dosen yang berada di lingkungan Program Doktor, Program Pascasarjana, Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus


ix Sugriwa Denpasar yang telah memberikan pengetahuan yang utama selama penulis menempuh studi. 8. Jajaran Staf Pegawai di lingkungan Program Doktor, Program Pascasarjana, Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar yang banyak membantu penulis terkait dengan segala aspek yang memiliki relevansi dengan kepentingan administrasi akademik selama penulis menempuh studi di lingkungan Program Doktor; Disertasi ini adalah bagian dari proses belajar, sehingga sangat jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kritik bersifat membangun sangat diperlukan untuk penyempurnaan disertasi ini. Om Santih, Santih, Santih, Om. Denpasar, Maret 2023 Penulis


x ABSTRAK Tokoh Mpu Kuturan dianggap sebagai tokoh sentral dalam menata kehidupan masyarakat Bali baik dibidang religi dan sistem sosial. Namun berbagai spekulasi tentang Mpu Kuturan sebagai sosok atau jabatan menjadi perbincangan hangat oleh para cendikiawan. Disertasi ini akan membahas secara komprehensif terkait penyebutan istilah Kuturan dalam berbagai naskah, ideologi yang diajarkan serta implikasi pemikiran Mpu Kuturan sebagai sosok dan Kuturan sebagai istilah terhadap kehidupan masyarakat di Bali. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode teks kualitatif. Data primer dalam penelitian ini adalah teks yang meliputi naskah lontar, prasasti dan naskah cetakan lainnya yang terkait dengan topik. Teori yang digunakan untuk membedah persoalan dalam penelitian ini adalah Teori Filologi, Teori Semiotik dan Teori Ideologi. Hasil kajian menunjukan (1) bahwa penyebutan Mpu Kuturan dan istilah Kuturan ditemukan pada jenis naskah Tutur, Babad, Usadha, Kalpasastra, Kanda dan Prasasti. (2) Ideologi Kuturan ditemukan dalam berbagai aspek seperti sebagai seorang arsitek, peng-usadha, ahli pertanian, seoarang raja, nama tempat, nama golongan atau keturunan hingga sebagai seorang Senāpati Kuturan (pejabat penting pada masa kerajaan). (3) Implikasi Ideologi Mpu Kuturan bagi masyarakat Hindu di Bali dijumpai pada sistem teologi Masyarakat Bali, implikasi terhadap kehidupan sosial masyarakat, dan implikasi terhadap konsep tata ruang di Bali. Temuan penelitian ini terdiri dari temuan faktual dan teoretik. (1) temuan faktual bahwa Mpu Kuturan yang dijumpai dalam berbagai dimensi tokoh memiliki penggambaran yang berbeda-beda, disamping itu adanya perubahan tokoh Mpu Kuturan dari Abad ke VIII sampai abad ke-XII, dari Senāpati Kuturan (Jabatan pada Lembaga Pakirānkirān I jro Makabéhan) bertransformasi menjadi sosok tokoh orang yang dikenal memiliki berbagai ideologi. (2) Temuan teoretik penelitian ini memperkuat pernyataan Gadamer dalam teori Filologi bahwa penyalinan teks berulang-ulang pada sebuah topik dilatarbelakangi dari sebuah kejadian atau peristiwa penting dan sangat bernilai sehingga memunculkan banyaknya varian teks dan variasi teks yang ditemukan pada penelitian ini. Sedangkan pada teori semiontik, penelitian ini memperkuat tentang ikon, indeks, dan simbol. Kata Kunci : Mpu Kuturan, Tradisi Teks.


xi ABSTRACT The figure of Mpu Kuturan is considered a central figure in managing the lives of the Balinese people, both in the field of religion and the social system. However, various speculations about Mpu Kuturan as a figure or position became a hot topic of discussion among scholars. This dissertation will comprehensively discuss the mention of the term Kuturan in various texts, the ideology taught, and the implications of Mpu Kuturan's thinking as a figure and Kuturan as a term for people's lives in Bali. The method used in this study is a qualitative text method. The primary data in this study are texts, which include lontar manuscripts, inscriptions, and other printed texts related to the topic. The theories used to dissect the problems in this study are philological theory, semiotic theory, and ideological theory. The results of the study show that (1) the mention of Mpu Kuturan and the term Kuturan are found in the types of Tutur, Babad, Usadha, Kalpasastra, Kanda, and Inscription manuscripts. (2) The ideology of Kuturan is found in various aspects, such as being an architect, businessman, agricultural expert, king, place name, class name, or descendant of a Senpati Kuturan (an important official during the royal period). (3) The implications of Mpu Kuturan's ideology for the Hindu community in Bali are found in the Balinese theology system, the implications for the social life of the community, and the implications for the concept of spatial planning in Bali. The findings of this study consist of factual and theoretical findings. (1) factual findings that Mpu Kuturan found in various dimensions of the character has different depictions, besides that there is a change in the character of Mpu Kuturan from the VIII to the XII centuries, from Senapāti Kuturan (Position at the Pakirānkirān I jro Makabéhan) transformed into figures of people who are known to have various ideologies. (2) The theoretical findings of this study reinforce Gadamer's statement in the theory of philology that the copying of texts repeatedly on a topic has the background of an important event or event and is very valuable, giving rise to the many text variants and text variations found in this study. Meanwhile, in the semiontic theory, this study strengthens icons, indexes, and symbols. Kata Kunci: Mpu Kuturan, Tradisi Teks.


xii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...........................................................................i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING..................................ii LEMBAR TIM PENGUJI................................................................iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.................................. v KATA PENGANTAR....................................................................... vi ABSTRAK .......................................................................................viii ABSTRACT.......................................................................................ix DAFTAR ISI....................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1 BAB II PEMBAHASAN...................................................................iv 2.1. Mpu Kuturan dalam Berbagai Teks.............................................. 3 2.1.1 Mpu Kuturan dalam Naskah Tutur..................................... 3 2.1.2 Mpu Kuturan dalam Naskah Babad.................................... 4 2.1.3 Mpu Kuturan dalam Naskah Usadha.................................. 4 2.1.4 Mpu Kuturan dalam Naskah Kalpasastra ........................... 5 2.1.5 Istilah Kuturan dalam Naskah Prasasti............................... 5 2.2. Ideologi Mpu Kuturan dalam Tradisi Teks di Bali....................... 6 2.2.1 Ideologi Mpu Kuturan sebagai Tokoh Agama ................... 6 2.2.2 Ideologi Mpu Kuturan Sebagai Arsitek.............................. 7 2.2.3 Ideologi Mpu Kuturan Sebagai Penyembuh (PengUsadha)........................................................................................ 8 2.2.4 Ideologi Mpu Kuturan sebagai Ahli Pertanian ................... 8 2.2.5 Ideologi Mpu Kuturan Sebagai Seorang Raja .................... 9 2.2.6 Ideologi Kuturan sebagai Senāpati di Kerajaan ............... 10 2.2.7 Ideologi Kuturan sebagai Nama Tempat.......................... 10 2.2.8 Ideologi Kuturan Sebagai Keturunan (Watĕk)................. 11 2.2.9 Ideologi Kuturan sebagai Pendeta Siwa dan Buddha ....... 12 2.3. Implikasi Ideologi Mpu Kuturan bagi Masyarakat Hindu di Bali..................................................................................................... 13 2.3.1 Implikasi terhadap Teologi Masyarakat Bali.................... 13 2.2.2 Implikasi terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Bali.... 15 2.2.3 Implikasi terhadap Tata Ruang di Bali............................. 17 2.4. Temuan Penelitian....................................................................... 17


xiii BAB III PENUTUP.......................................................................... 19 3.1. Simpulan ..................................................................................... 19 2.1. Saran............................................................................................ 19 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BIODATA SINGKAT


xiv Pretima Mpu Kuturan pada Pura Agung Mpu Kuturan Singaraja


1 I PENDAHULUAN Tokoh Mpu Kuturan bagi masyarakat Bali telah dikenal secara luas dan memiliki peranan penting dalam menata sistem religi masyarakat Bali. Mpu Kuturan telah banyak melakukan revitalisasi Pura yang ada di Bali, seperti Pura Sakenan pada tahun 927 Çaka atau 1005 Masehi, melakukan Odalan Pemlaspasan, serta merevitalisasi bentuk Pura Besakih. Mpu Kuturan juga diyakini telah melakukan perubahan-perubahan dalam hal pemujaan, seperti menganjurkan pemakaian mantra-mantra bahasa Bali dan bahasa Sansekerta (Shastri, 1963 :50). Penyebutan Mpu Kuturan atas peranannya dalam berbagai dimensi tokoh dapat dijumpai dalam bentuk-bentuk naskah, seperti dalam naskah Prasasti, Babad, Usadha, Kanda, Kalpasastra, dan Tutur. Mpu Kuturan berada dalam dimensi ideologi yang berbeda-beda, seperti dikenal sebagai tokoh agama, arsitek beberapa pura di Bali, peng-usadha, hingga menjadi pejabat kerajaan yang bergelar Senāpati Kuturan yang merupakan pejabat penting di kerajaan pada waktu itu. Salah satu naskah yang menyebutkan peranan Mpu Kuturan sebagai pencetus pendirian méru di Besakih adalah naskah tutur koleksi Gedong Kirtya dengan Nomor III B/24/753 yang berjudul Mpu Kuturan, disebutkan Nihan lingira Mpu Kuturan riŋ Majapait, duk aŋawaŋuna Mѐru riŋ Basakih artinya inilah sabda Mpu Kuturan di Majapahit ketika akan mendirikan méru di Besakih. Penjelasan yang sama juga dapat dijumpai dalam naskah lontar yang berbentuk tutur dengan Nomor 172 IIIb/2 dengan judul Empu Kuturan koleksi Gedong Kirtya pada halaman pertama baris kedua disebutkan tentang Mpu Kuturan yang mendapatkan panugrahan Widhi Sastra berupa pengetahuan agama yang Beliau bawa ke Bali untuk menata tatanan masyarakat Bali. Naskah Babad Usana Bali koleksi Pusat Dokumentasi Bali dengan Nomor Kal 75 lembar kelima baris pertama juga menyebutkan peran Mpu Kuturan dalam menyempurnakan kahyangan yang ada di Bali seperti sad kahyangan, kahyangan tiga, dan Besakih sebagai kahyangan tertinggi. Ketiga naskah tersebut memberikan gambaran bahwa Mpu Kuturan merupakan sosok yang berjasa dalam memberikan konsep-konsep keagamaan yang dianut oleh masyarakat Bali serta menuntun masyarakat dalam mendirikan tempat suci baik berupa méru maupun pura kahyangan lainnya. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Watra bahwa Mpu Kuturan telah berjasa menawarkan konsep penggabungan kepercayaan Siwa, Budha, Waisnawa, dan sekte-sekte di Bali, yang


2 kemudian dilakukan paruman di Bedahulu Gianyar dan menyepakati adanya konsep tri murti sebagai simbol penyatuan sekte-sekte tersebut. (Watra, 2018 : 118). Pada dimensi lain, Mpu Kuturan juga diyakini sebagai seorang penyembuh atau peng-usadha. Hal ini dapat dijumpai dalam naskah berbentuk usadha, yaitu naskah Taru Premana Koleksi Gedong Kirtya dengan Nomor IIId 1854/12 pada bagian awal baris pertama dan kedua menyebutkan bahwa Mpu Kuturan sebagai seorang penyembuh yang mampu berkomunikasi dengan pohon-pohon yang bisa dijadikan obatobatan. Dalam naskah ini, disebutkan Mpu Kuturan mampu berbicara dengan tumbuhan terkait dengan kegunaan dan cara pemakaiannya. Pada naskah ini, Mpu Kuturan diberikan gelar Sang Prabu Mpu Kuturan yang identik dengan sebutan raja. Sebagai seorang penyembuh, Mpu Kuturan diyakini sangat sakti mandraguna karena bisa berbicara kepada tumbuhtumbuhan. Kesaktian yang dimiliki karena mendapatkan anugerah dari Dewa Ludra kepada Mpu Kuturan sehingga mampu menyembuhkan segala jenis penyakit. Berbeda dengan yang termuat dalam naskah prasasti satupun tidak ditemukan istilah Mpu Kuturan, yang ditemukan adalah istilah Senāpati Kuturan yang merupakan jabatan struktural pemerintah Bali Kuno yang tergabung dalam lembaga kerajaan yang disebut Pakirakira I Jro Makabéhan. Jabatan pada kerajaan Bali Kuno berdasarkan hirarkinya atau garis perintahnya dan wilayahnya dibagi menjadi dua, yaitu jabatan tingkat pusat dan jabatan tingkat desa. Prasasti-prasasti Bali, seperti Prasasti Sukawana, Prasasti Langgahan, Prasasti Bwahan, Prasati Sembiran, dan Prasasti lainnya yang dikeluarkan oleh Śri Mahārāja Haji Jayapangus yang berkuasa dari tahun 1099 Saka (1178 M) – 1103 Saka (1181 M) menyebutkan Kuturan sebagai seorang Senāpati memiliki kewenangan sangat tinggi dan diakui oleh seluruh wilayah kerajaan. Pejabat kerajaan yang bergelar Senāpati Kuturan bertugas mengatur tentang tata cara pelaksanaan upacara. Alih Aksara Prasasti Langgahan pada lembar IIIb juga ditemukan istilah Sang Senāpati Kuturan, merupakan pejabat tinggi kerajaan yang menghadiri Dewan Persidangan Istana yang wajib hadir menyaksikan anugerah paduka Śri Mahārāja kepada penduduk desa tertentu dalam wujud prasasti. Dari uraian data di atas, istilah Kuturan ditemukan dalam berbagai dimensi penokohan yang berbeda sesuai dengan jenis naskah dimana nama Kuturan dimuat. Jika merujuk pada kepercayaan masyarakat Bali yang bersumber dari naskah lontar, Mpu Kuturan dikenal sebagai sosok tokoh


3 agama yang berkontribusi besar dalam menata kehidupan beragama di Bali. Sedangkan jika disimak pada naskah Prasasti, istilah Kuturan ditemukan sebagai seorang pejabat kerajaan, nama golongan, dan nama tempat. Sehingga dari hasil penelusuran data tersebut, maka dipandang perlu dilakukan kajian secara mendalam terkait dengan naskah-naskah yang menyebutkan Kuturan dalam berbagai bentuk naskah. II PEMBAHASAN 2.1 Mpu Kuturan dalam Berbagai Teks Penyebutan Mpu Kuturan atau istilah Kuturan ditemukan dalam berbagai genere naskah yang dapat dijumpai pada beberapa perpustakaan lontar, seperti Gedong Kirtya Singaraja, Perpustakaan Pusat Dokumentasi Bali, dan Koleksi Masyarakat. Naskah-naskah tersebut, seperti tutur, babad, usadha, kalpasastra, kanda, dan keputusan-keputusan yang termuat dalam prasasti. Pada naskah lontar Mpu Kuturan, digambarkan sebagai sosok orang (Maha Pandita), sedangkan pada prasasti istilah Kuturan dijumpai sebagai Senāpati Kuturan (Jabatan). 2.1.1 Mpu Kuturan dalam Naskah Tutur Naskah tutur adalah naskah yang berisikan tentang ajaran-ajaran yang erat hubungannya dengan keagamaan dan etika. Naskah ini biasanya cendrung berisikan tatacara melakukan kegiatan keagamaan, seperti sarana upakara, mantra yang harus dipakai, serta larangan-larangan yang harus dihindari oleh umat dalam melaksanakan berbagai ritual upacara. Naskah tutur yang memuat Mpu Kuturan ditemukan pada empat judul naskah yang berbeda, yaitu pada naskah berjudul Mpu Kuturan dengan nomor B/2/172 koleksi Gedong Kirtya, naskah berjudul Mpu Kuturan dengan nomor IIIb/24/ 753 koleksi Gedong Kirtya, naskah berjudul Hempu Kuturan Koleksi Pusat Dokumentasi Bali tanpa nomor, dan naskah berjudul Mpu Kuturan dengan nomor Bab 108 koleksi Pusat Dokumentasi Bali. Pada naskah tutur, berisikan Mpu Kuturan memberikan penugarahan berupa tatacara pendirian méru, jenis méru, serta pedagingan yang harus diisi dalam mendirkan pelinggih méru. Pada naskah jenis ini, juga disebutkan Mpu Kuturan memberikan ajaran tentang tatacara pembutan pretima atau pralinggan widhi serta bahan-bahan yang bisa digunakan. Mpu Kuturan juga memberikan konsep tentang dewa-dewa yang harus distanakan pada pura yang ada di Bali, seperti dewa yang ada


4 di Pura Besakih, dewa yang ada Pura Ulun Danu, dan Kahyangan lainnya yang ada di Bali. 2.1.2 Mpu Kuturan dalam Naskah Babad Naskah babad yang menyebutkan Mpu Kuturan dijumpai pada dua naskah yang berbeda, yaitu Babad Pasek Gelgel koleksi Gedong Kirtya dan Babad Usana Bali koleksi Pusat Dokumentasi Bali. Pada naskah Babad Pasek Gelgel, Mpu Kuturan disebutkan sebagai putra dari Mpu Lampita dan Kakak dari Mpu Bradah. Usia Mpu Kuturan lebih tua dibandingkan Mpu Panabda. Mpu Kuturan juga disebutkan seorang sukla brahmacari dari usia muda yang bersepupu dengan Mpu Panabda. Mpu Kuturan digambarkan sebagai sosok seorang Mpu yang memiliki saudara diantaranya Mpu Bradah dan Mpu Panabda. Sedangkan pada Babad Usana Bali, digambarkan Mpu Kuturan sebagai seseorang pendeta yang datang dari Jawa; mendarat di Teluk Padangbai; mendirikan asrama; bertapa samedi yang diikuti murid-muridnya. Naskah ini juga memberikan informasitentang kedatangan Mpu Kuturan dari Jawa pada tahun saka 923 (1001 Masehi) serta alat yang digunakan untuk menyebrangi lautan Bali hingga sampai di Bali. Asal muasal berdirinya Pura Silaykuti yang hingga saat ini dikenal sebagai Pura Kahyangan Jagat tercantum jelas pada naskah ini. 2.1.3 Mpu Kuturan dalam Naskah Usadha Pada naskah Usadha, Mpu Kuturan ditemukan dalam naskah Tarupremana Nomor IIId 1854/12 serta Naskah Kaputusan Mpu Kuturan Nomor IIId 3752 koleksi Gedong Kirtya. Pada naskah Tarupremana, Mpu Kuturan disebut sebagai Sang Prabhu Mpu Kuturan yang menandakan bahwa Mpu Kuturan dianggap sebagai raja. Hal ini tercermin dari penggunaan kata ”Sang Prabhu” jika dicermati penggunaan istilah tersebut merujuk pada sebutan Raja. Raja dalam konteks naskah Tarupremana diartikan sebagai Mpu yang menguasai berbagai jenis tumbuhan serta bisa berkomunikasi dengan segala jenis tumbuhan. Mpu Kuturan juga disebutkan dalam naskah ini memiliki seorang anak bernama Ida Sang Marayasa yang membantu menulis hasil pembicaraanya dengan tanaman. Pada naskah Kaputusan, Mpu Kuturan berisikan anugerah dan keputusan Mpu Kuturan kepada umat manusia untuk memberikan pencerahan dan petunjuk terhadap pengobatan yang diderita oleh manusia, seperti penyakit tiwang, sakit perut, gigi, dan penyakit lainnya.


5 2.1.4 Mpu Kuturan dalam Naskah Kalpasastra Naskah Kalpasastra merupakan klasifikasi naskah yang tergolong naskah weda. Hal ini dijumpai dalam klasifikasi naskah koleksi Gedong Kirtya yang membagi naskah weda menjadi tiga bagian, yaitu weda, mantra, dan kalpasastra. Naskah kalpasastra sesuai dengan klasifikasi lontar di Gedong Kirtya terdiri dari naskah banten pangentas, naskah bebantenan, naskah caru suci, naskah indik galungan, naskah manca balikrama, naskah pacecaron, naskah pangabenan, naskah pawintenan, naskah plutuk, dan naskah sangkul putih. Penyebutan Mpu Kuturan ditemukan pada tiga naskah berbeda, yaitu naskah Hempu Kuturan nomor Ic. 4875, naskah Dharma Pemacul nomor Ic.3317 koleksi Gedong Kirtya, dan naskah Sri Purana nomor Bab 154 Koleksi Pusat Dokumentasi Bali. Ketiga naskah tersebut dapat digolongkan sebagai naskah Kalpasastra yang berisikan tentang beberapa sarana upakara yang digunakan dalam prosesi menanam padi dari proses penyiapan lahan hingga pascapanen. Mpu Kuturan juga memberikan penugerahan tentang pelaksanaan upacara yang dihaturkan kehadapan Sang Bhakā Bhūmi yang malinggih di Pura Ulun Suwi yang diyakini sebagai sumber kesejahteraan bagi masyarakat yang menanam padi di sawah. 2.1.5 Istilah Kuturan dalam Prasasti Mpu Kuturan dalam naskah prasasti tidak dijumpai sebagai seorang Mpu melainkan jabatan Senāpati Kuturan, yaitu sebutan jabatan yang tergabung dalam lembaga Majelis Parikaran-kiran I Jro Makabéhan yang bertugas untuk memberikan pertimbangan untuk segala keputusan yang diambil oleh raja. Kemudian, keputusan tersebut sampaikan oleh para Senāpati untuk diberlakukan pada seluruh wilayah kerajaan. Posisi Senāpati memiliki peran penting dalam lembaga ini sebab segala sesuatu yang akan putuskan oleh raja harus mendapatkan pertimbangan dari lembaga ini. Adapun naskah prasasti yang menyebutkan istilah Kuturan diantaranya Prasasti Bwahan D. No. 602, Prasasti Penida Kaja No. 603, Prasasti Sembiran C. No. 621, Prasasti Sukawana B. No. 624, Prasasti Pengotan C.1 No. 627, Prasasti Cempaga A. No. 631, Prasasti Dalung No. 662, Prasasti Bengkala No. 636, Prasasti Selat A. No. 625, Prasasti Bulian A. No. 633, Prasasti Sérai B No.649, Prasasti Pengotan, dan Prasasti Langgahan. Pada masing-masing prasasti, istilah Kuturan dapat dimaknai sangat beragam karena dijumpai dalam berbagai istilah, seperti Senāpati Kuturan (jabatan), watek kuturan (sebuah golongan), dan istilah ring kutur


6 (sebuah tempat). Mpu Kuturan sebagai Senāpati Kuturan pernah dijabat oleh delapan belas orang yang berbeda berdasarkan temuan naskah prasasti diantaranya sebagai berikut 1) Prasasti Bwahan D. No.602 Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Pu Nirjanma, 2) Prasasti Penida Kaja No.603, Senāpati Kuturan dijabat oleh Pu Nirjanma, 3) Prasasti Sembiran C. No 621, Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Pu Dijanmar, 4) Prasasti Sukawana B. No 624, Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Pu Nirjanma, 5) Prasasti Pengotan C.1 No. 627, Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Pu Wahita, 6) Prasasti Landih B-Nongan B. No.630, Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Pu Nirjana, 7) Prasasti Cempaga A No. 631, Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Mpu Nirjanma, 8) Prasasti Dalung No. 662, Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Pu Niyasa, 9) Prasasti Bengkala No. 636, Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Pu Janarma, 10) Prasasti Kediri No. 622, Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Mpu Nirjanma, 11) Prasasti Selat A No. 625, Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Mpu Nirjanma, 12) Prasasti Batunya B No.629, Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Mpu Nirjanma, 13) Prasasti Serai B No. 649, Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Mpu Nirjanma, 14) Prasasti Tondja No. 661, Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Mpu Nirjanma, 15) Prasasti Pengotan D. No.663, Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Pu Jitayoga, 16) Prasasti Pengotan, Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Pu Bodhisatwa, 17) Prasasti Batur Abang A, Sang Senāpati Kuturan di jabat oleh Dyah Kayop, dan 18) Prasasti Serai IIA Senāpati Kuturan dijabat oleh Dyah Kuting. Keseluruhan tokoh yang pernah menjabat sebagai Senāpati Kuturan bertugas sebagai penasehat raja dalam menata seluruh kehidupan masyarakat kerajaan pada masanya. Dari delapan belas tokoh yang pernah menjabat sebagai Senāpati Kuturan dan menjabat selama beberapa abad sudah pasti Kuturan sangat dikenal luas oleh seluruh masyarakat pada masa itu, baik karena ketokohannya maupun karena karya-karyanya dalam menata masyarakatnya. 2.2 Ideologi Mpu Kuturan dalam Tradisi Teks di Bali 2.2.1 Mpu Kuturan sebagai Tokoh Agama Pada naskah tutur, Mpu Kuturan digambarkan sebagai seorang tokoh agama yang mengajarkan tata cara pembuatan méru serta ajaran tentang tata krama sang ratu Bali, sedangkan naskah lontar Mpu Kuturan Nomor IIIb/24/753 koleksi Gedong Kirtya, sosok Mpu Kuturan digambarkan sebagai seorang tokoh agama yang mengajarkan tentang tata cara pembuatan pedagingan pada pelinggih méru dan pelinggih-pelinggih lainnnya, seperti Pelinggih Padmasana, Gedong Tarib, Gedong Sari, dan


7 Pelinggih lainnya. Naskah Hempu Kuturan nomor Bab 99 koleksi Pusat Dokumentasi Bali digambarkan sebagai tokoh agama yang memberikan ajaran tentang tatacara piodalan dan banten sesajen yang harus diaturkan serta disebutkan tentang tata kramaning menjadi pemangku. Mpu Kuturan juga memberikan nama-nama dewa yang berstana di Pura Kahyangan Jagat di Bali. Selanjutnya pada naskah lontar Mpu Kuturan nomor Bab 99 koleksi Pusat Dokumentasi Bali, Mpu Kuturan digambarkan sebagai sosok pendeta dari Majapahit yang mendirikan Pura Kahyangan Jagat di Bali. Mpu Kuturan ini disebutkan sebagai inisiatif dalam pembangunan méru yang ada di Besakih. Ajaran Mpu Kuturan dalam naskah ini berupa ajaran Brahmana Ulanda Kateng, Sarining Kanda Empat, Tutur Aji Pengukiran, serta tentang Kependetaan. Ajaran lain yang diajarkan oleh Mpu Kuturan adalah Purana Tatwa, Dewa Tatwa, Widisastra, menyempurnakan Kitab Kesuma Dewa, Padma Bhuwana-Prekempa dan Tingkahing Angwangun Kahyangan. Pada Prasasti, Senāpati Kuturan juga memegang beberapa jabatan, seperti Purohita/Bhagawanta (penasehat kerajaan), Senāpati, Dharmmādyaksa (Mahkamah Agung), dan bahkan sebagai ketua lembaga/ Majelis Pakira-kiran I Jro Makabehan. Dengan kapasitas dan otoritas yang dimiliki, maka Senāpati Kuturan dapat melakukan berbagai aktivitas menjaga kerajaan sesuai dengan tugas dan kewajibannya sebagai pendamping dan sekaligus orang dekat raja. 2.2.2 Ideologi Mpu Kuturan Sebagai Arsitek Mpu Kuturan memiliki ideologi sebagai arsitek dapat dijumpai dari peranannya dalam melakukan revitalisasi terhadap kawasan Pura Besakih yang mengadopsi konsep Gunung Semeru di Jawa. Mpu Kuturan juga membagi kawasan Pura Besakih menjadi tujuh Mandala. Mpu Kuturan juga memberikan rancangan pembuatan méru sesuai dengan tinggi pelinggih méru berdasarkan jumlah tumpang nya yaitu méru tumpang 2,3,5,9, dan 11. Istilah méru sangat erat kaitannya dengan nama Gunung Semeru yang menjulang tinggi di Jawa sehingga kemungkinan nama méru diambil dari nama Semeru yang berarti tinggi dan agung. Mpu Kuturan juga memberikan petunjuk tentang sarana yang harus diisi pada pondasi setiap pelinggih méru sesuai dengan jumlah tumpang-nya. Mpu Kuturan merancang konsep Catur Loka Pala di Besakih. Catur Loka Pala adalah konsep penataan penempatan empat pura (pengider bhuwana) yang mengitari Padma Tiga, yaitu mengikuti empat arah mata angin dan menjadikan gunung sebagai kiblat sebagai penghubung (penyade). Timur: Pura Gelap, Barat: Pura Ulun Kulkul, Utara: Pura Batu Madeg, dan


8 Selatan: Pura Kiduling Kreteg (empat pura ini simbolik empat kelopak sari bunga tunjung yang mengitari Padma Tiga). Selanjutnya, Catur Loka Pala (Dala) diadopsi sebagai Pelindung (Raksanam) Pulau Bali, yaitu empat pura yang mengelilingi Pulau Bali, dibagian Timur: Pura Lempuyang, Barat Pura Luhur Batukaru, Utara: Pura Pucak Manggu, dan Selatan Pura Andakasa. 2.2.3 Ideologi Mpu Kuturan Sebagai Penyembuh (Peng-Usadha) Mpu Kuturan memiliki ideologi sebagai penyembuh atau pengusadha ditemukan pada dua teks yang berbeda, yaitu pada Naskah Tarupramana Nomor IIId 1854/12 dan Naskah Kaputusan Mpu Kuturan Nomor IIId 3752 koleksi Gedong Kirtya. Kedua naskah tersebut tergolong Naskah Usadha yang berisikan tentang ajaran Mpu Kuturan terkait tatacara penyembuhan bagi orang yang sedang mengalami sakit. Pada naskah ini, Mpu Kuturan disebut dengan sebutan Sang Prabhu Mpu Kuturan yang memiliki konotasi sebagai seorang Raja. Mpu Kuturan dalam kedua naskah tersebut mengajarkan ilmu pengobatan kepada umat manusia melalui cerita tumbuhan yang bisa dijadikan obat berdasarkan hasil komunikasi Sang Prabhu Mpu Kuturan dengan Sang Hyang Ludra. Diceritakan dalam naskah tersebut semua tanaman yang dijumpai oleh Prabu Mpu Kuturan bisa diajak berbicara menyebutkan manfaat dirinya. Percakapan tersebutlah ditulis menjadi Naskah Tarupremana melalui bantuan putranya yang bernama Ida Sang Narayasa. Pada naskah Kaputusan Mpu Kuturan, disebutkan bahwa Mpu Kuturan mengajarkan ajaran pengobatan menghilangkan penyakit yang disebabkan oleh manusa sakti. Mpu Kuturan tidak hanya memberikan sarana pengobatan dalam bentuk tanaman, tetapi Beliau juga memberikan sebuah sarana berupa sesabukan (sejenis ikat pinggang) yang mampu memberikan perlindungan dari manusa sakti yang dibuat pada sebuah ikat pinggang yang berisikan gambar rerajahan (gambar magis). 2.2.4 Ideologi Mpu Kuturan sebagai Ahli Pertanian Mpu Kuturan memiliki ideologi sebagai ahli pertanian dijumpai dalam naskah Kalpasastra yang terdiri dari Naskah Hempu Kuturan Nomor 1c 4875 Koleksi Gedong Kirtya, Naskah Sri Purana Nomor Bab 154 Koleksi Pusat Dokumentasi Bali, dan Naskah Dharman Pemacul Nomor 1c 3317 Koleksi Pusat Dokumentasi Bali. Mpu Kuturan mengajarkan pemujaan terhadap Sang Bhaka Bhumi di Ulun Suwi. Sang Bhaka Bumi inilah yang menjaga dan menghidupi sawah hingga bisa


9 mendapatkan kesuburan bagi para petani sehingga menghasilkan panen yang melimpah. Mpu Kuturan juga membagi kedudukan para dewa yang ada di Bali termasuk Sang Bhaka Bumi yang berdiam di Pura Ulun Suwi. Beliau bertugas untuk memberikan kesuburan bagi tanah-tanah sawah sehingga untuk penghormatan kepada beliau wajib menghaturkan sesajen berupa guling, bebangkit, hingga upakara banten. Upacara tersebut oleh Mpu Kuturan diadopsi dari tradisi Majapahit, dimana sarana tersebut dihaturkan pada Gunung Semeru dengan Bhatara yang di Puja adalah Bhatara Pasupati. Sedangkan bagi masyarakat Bali, sarana upacara yang dihaturkan tersebut dihaturkan kehadapan Gunung Agung, Gunung dan Danau Batur, serta Pura Besakih. Selanjutnya jika menginginkan sarwa tanur tinuwuh (semua yang ditanam tubuh subur), maka wajib menghaturkan aci-aci ke Pelinggih Ulun Suwi berupa penyungsungan Dewa di Pura Mascéti yang dipuja adalah Bhatara Rambut Sedana dan Bhatari Sri. Jika banyak ditemukan sasab merana (hama), Mpu Kuturan juga menyampaikan agar melakukan pemujaan kepada Sang Bhaka Bhumi yang berstana di Hulun Suwi, para dewa-dewa yang berstana di Gunung Agung, di Batur, Limar Sari, Gedong, dan Ngarurah dengan mengaturkan sesajen. Selanjutnya agar pertanian tidak kekurangan air, maka para petani penting melakukan pemujaan kehadapan bhatarabhatari yang ada di gunung dan danau. 2.2.5 Ideologi Mpu Kuturan Sebagai Seorang Raja Mpu Kuturan memiliki ideologi Raja ditemukan dalam naskah Usadha Tarupremana koleksi Gedong Kirtya dan Naskah Usana Bali Pulina koleksi Pusat Dokumentasi Bali. Pada naskah Tarupremana, Mpu Kuturan disebut dengan Sang Prabhu Mpu Kuturan. Gelar Sang Prabhu, dalam hal ini sangat identik dengan sebutan raja dimana Prabhu biasanya identik dengan penyebutan Raja. Pada konteks naskah tersebut, raja yang dimaksud adalah raja tumbuhan dimana Mpu Kuturan mendapatkan penugrahan oleh Dewa Ludra mampu berkomunikasi dengan segala jenis tumbuhan. Oleh sebab itu, Mpu Kuturan diberi gelar Sang Prabhu atau raja segala tumbuhan. Selanjutnya pada naskah Usana Bali Pulina, juga dijumpai istilah Mpu Raja Kertha yang merupakan nama lain dari Mpu Kuturan. Jika dilihat dari penggunaan istilah Raja Kertha, Mpu Kuturan bergelar seorang Maha Pandita yang memberikan keputusan akan hal-hal strategis


10 terkait dengan penataan tatanan kehidupan masyarakat. Mpu Kuturan meletakan tonggak terkait dengan penataan pura yang ada di Bali, bahkan beliau disebutkan telah membangun dan menyempurnakan kahyangankahyangan penting lainnya. Oleh sebab itulah, Mpu Kuturan disebut sebagai Raja Kertha atau Maha Pandita utama. 2.2.6 Ideologi Kuturan sebagai Senāpati di Kerajaan. Istilah Mpu Kuturan pada prasasti tidak dijumpai, namun yang dijumpai adalah istilah Senāpati Kuturan. Senāpati Kuturan adalah jabatan struktural di kerajaan yang tergabung dalam Majelis Pakirānkirān I Jro Makabéhan. Istilah ini terbentuk atas dasar kata-kata kira-kira, jro, dan kabeh. Kira-kira berarti akal, daya upaya, dan siasat (Zoetmulder, 2011: 875). Pakirānkirān dapat berarti forum untuk menemukan upaya atau cara, dalam hal ini upaya atau cara memecahkan masalah yang dihadapi oleh kerajaan. Dengan kata lain, Pakirānkirān pada hakikatnya merupakan dewan atau majelis yang sekaligus berfungsi sebagai sidang tempat membahas masalah yang tengah dihadapi serta mencarikan upaya-upaya pemecahannya yang akan diwujudkan berupa keputusan raja atau kerajaan. (Semadi Astra, 1997 : 221). Sedangkan jro dapat berarti istana, (ruang) dalam; i jro berarti di istana, di dalam bagian ini memberikan penjelasan lokatif, yakni menunjukkan bahwa rapat-rapat yang diselenggarakan bertempat dalam ruang sidang yang terletak di lingkungan istana raja. Lembaga ini memiliki tugas memberikan pertimbangan kepada raja atas keputusan-keputusan penting yang akan disampaikan kepada masyarakat. Adapun jabatan-jabatan pada lembaga ini terdiri dari 1) Raja Mahārāja, 2) Senāpati, 3) Samgat, dan 4) Mpungku. Keempat pejabat tersebut termasuk Senāpati Kuturan merupakan pejabat yang bertugas menemukan upaya atau cara dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh kerajaan. Senāpati Kuturan berdasarkan data yang ditemukan pada sebagian prasasti ada 18 yang pernah menjabat sebagai Senāpati Kuturan diantaranya Pu Nirjanma, Pu Dijanmar, Pu Wahita, Pu Nirjana, Mpu Nirjanma sebanyak 6 kali, Pu Niyasa, Pu Janarma, Pu Jitayoga, Pu Bodhisatwa, dan Dyah Kayop sebanyak dua Kali.


11 2.2.7 Ideologi Kuturan sebagai Nama Tempat Ideologi Kuturan sebagai nama tempat dijumpai dalam istilah ring kuturan dalam beberapa prasasti. Istilah kuturan yang bermakna tempat dapat disimak dalam konteks kalimat yang termuat tersebut tercantum bahwa masyarakat Desa Pengotaan tidak dibebani biaya perjalanan apabila mereka menjaga bangunan suci seperti mereka menjaga kuturan. Konteks kalimat menjaga kuturan merujuk pada sebuah tempat yang harus dijaga oleh masyarakat Desa Pengotan. Selanjutnya jika disimak pada Prasasti Dalung, ditemukan istilah Dang Hyang Kutur terdapat dalam kalimat yang menunjukan perbatasan desa, yaitu sebuah perbatasannya yang bernama Danghyang Kutur. Perbatasan Danghyang Kutur bersebelahan dengan miluwatan pager sawah yang dalam konteks kalimat tersebut istilah kutur bisa dirujuk sebagai sebuah nama tempat. Hal ini sejalan dengan Monier-Williams (dalam Semadi Astra 1997: 260), bahwa Senāpati yang bertugas membantu raja yang tergabung dalam anggota dewan Majelis Permusyawaratan Paripurna Kerajaan biasanya berkedudukan di pusat kerajaan. Di antara jabatan-jabatan Senāpati yang tergabung dalam Dewan Mejelis, jabatan Senāpati Waranasi boleh dikatakan paling jelas menunjuk nama tempat atau wilayah kekuasaan pejabat yang bersangkutan. Kemudian dapat disusulkan jabatan-jabatan Senāpati Balémbunut, Senāpati Kuturan, dan Senāpati Wrsantén. Waranasi adalah nama lain Benares, India Utara. Akan tetapi, berkenaan dengan Waranasi yang tersebut dalam prasasti-prasasti Bali tidak bisa diidentifikasikan dengan Benares di India. Sebaliknya, nama itu dipandang sebagai nama tempat atau wilayah yang terdapat di Bali; meski patut diakui bahwa lokasinya sampai kini belum diketahui. Nama Balambunut mengingatkan kepada nama Simpatbunut (Goris, 1954a: 59) atau Sidembunut merupakan nama sebuah desa yang terdapat di Kabupaten Bangli. 2.2.8 Ideologi Kuturan Sebagai Keturunan (Watĕk) Ideologi Kuturan sebagai nama keturanan atau watĕk kuturan ditemukan pada enam prasasti yang berbeda diantaranya prasasti Bwahan D. No.602 pada lembar IVa baris keenam. Ditemukan juga istilah watĕk kuturan pada prasasti Dalung No.662 pada lembar IIIb baris ke 2, juga pada Prasasti Bengkala No. 636 C di lembar IIIb baris ke 6. Selanjutnya istilah kelompok kuturan dan oleh kuturan juga ditemukan pada prasasti


12 Selat A. No. 625 pada lembar IVa baris ke 6 dan lembar IV b pada baris 1. Istilah watĕk kuturan juga ditemukan pada Prasasti Bulian A No 633 pada lembar Vb baris ke 6. Istilah watĕk kuturan secara harfiah watĕk bermakna golongan, keturunan, sedangkan kuturan adalah nama sesorang Senāpati. Jika dilihat pada konteks kalimat di atas, dapat diartikan sebagai sebagai golongan/keturunan dari kuturan yang mempunyai kedudukan penting di masyarakat. Pada Prasasti Bwahan D. No.602 penyebutan watĕk kuturan dimaksudkan untuk masyarakat yang akan menghaturkan bunga-bungaan di panti bumi (tempat suci) tidak akan dihalangi oleh keturunan kuturan. Hal ini menunjukan bahwa watĕk kuturan atau golongan kuturan memiliki pengaruh yang sangat kuat di desa tersebut. Hal ini terlihat dari aktivitas yang dilakukan di masyarakat harus tidak boleh bertentangan dengan apa yang menjadi kebijakan kuturan. Jika disimak posisi kuturan dalam dalam kerajaan, menduduki posisi yang sangat penting, yaitu seorang Senāpati yang bertugas membantu raja dalam mengambil kebijakan serta memiliki pengaruh yang sangat kuat. Para Senāpati pada waktu itu mendapatkan wilayah kekuasaan untuk trahnya. Hal ini seperti dikatakan oleh Goris bahwa istilah jabatan-jabatan Senāpati memberikan indikasi sebagai nama sebuah pusat kekuasaan daerah serta sebagai pusat perekonomian bagi keturunannya. Sehingga dapat diasumsikan bahwa ring kuturan atau ring kutur merupakan sebuah wilayah kekuasaan yang diberikan kepada para pejabat Senāpati Kuturan beserta keturunannya. 2.2.9 Ideologi Kuturan sebagai Pendeta Siwa dan Buddha. Pada masa Bali Kuno agama Śiwa dan Buddha berkembang bersama-sama, bahkan dalam kedua agama itu terjadi hubungan yang sangat harmonis. Hal ini tercermin dari ungkapan mantra Nama Siwaya Namobuddhaya yang tersurat dalam Prasasti Landih A dan Nongan A memuja Dewa Śiwa tetapi juga memuja Buddha (Poeger, 1964:94). Bahkan dalam konteks yang lebih luas menunjukkan bahwa raja memberi perhatian dan perlindungan pada kedua agama itu. Ungkapan pujianpujian kepada Śiwa dan Buddha juga termuat dalam Prasasti Sabhaya (Ekawana, 1983:11-13). Selanjutnya, untuk membuktikan raja dan permaisuri menganut agama, dapat dilihat keterangannya dalam prasasti


13 yang keluarkan oleh raja, yakni berkenaan dengan perlindungan terhadap tempat-tempat pemujaan pada masa pemerintahan Sri Mahārāja Hājī Jayapangus. Pada prasasti yang dikeluarkan oleh raja, jelas ada titah raja agar para bhiksu atau pemuka agama baik kasiwan dan kasogatan untuk mengurus dengan baik tempat/wilayah pemujaan atau tempat-tempat yang dianggap sakral. Titah ini kemungkinan adalah sebagai sebuah kelanjutan dari titah raja yang dikeluarkan oleh raja-raja sebelumnya. Penempatan bhiksu kasiwan dan kasogatan sudah dilakukan oleh raja-raja sebelumnya (Ardika, 2013 : 221). Bahkan didasarkan atas temuan beberapa prasasti Bali Kuno yang tertua jelas disebutkan bahwa adanya perintah raja menempatkan beberapa Bhiksu, seperti Bhiksu Siwa Kangsi, Siwa Nirmala dan Siwa Prajña (Suarbhawa dkk, 2013 :9). Budiastra mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan raja dalam sidang Pakirakirān I Jero Makabehan selalu menyebut nama pendeta Śiwa (kasiwan) terlebih dahulu baru kemudian pejabat lainnya, hingga pendeta Buddha (kasogatan) (Budiastra, 1977:19-21). Sebagaimana diketahui bahwa dalam birokrasi pemerintahan Sri Mahārāja Hājī Jayapangus dua pemuka agama Śiwa (Kaśiwan) dan Buddha (Kasogatan) duduk dalam jabatan Struktural pemerintahan, dengan demikian segala keputusan yang diambil oleh raja harus melalui pemuka agama Kaśiwan dan Kasogatan untuk selanjutnya disahkan menjadi prasasti. Hal ini didukung oleh Semadi Astra bahwa dewan Pakirakirān I Jero Makabehan terdiri 16 orang pemuka agama Śiwa dan 12 orang pemuka agama Buddha. Keseluruhan pendeta yang terdiri 16 orang pemuka agama Śiwa dan 12 orang pemuka agama Buddha, walaupun demikian dari 16 pemuka agama tersebut satupuan tidak ada merujuk Senāpati Kuturan didalamnya. Petunjuk yang lain mengenai pembagian pendeta Śiwa maupun Buddha terkait agama apa yang dianut oleh Senāpati Kuturan dapat disimak pada Prasasti Pengotan kelompok pertama pada lembar VIIIa baris 6 dan lembar VIIIb baris 1, dimana dalam prasasti tersebut jabatan Sang Senāpati Kuturan dijabat oleh Mpu Bodhi Satwa. Jika disimak dari istilah Mpu Bodhi Satwa identik dengan Pendeta Buddha, namun kepastian agama yang dianut oleh Senāpati Kuturan apakah Pendeta Śiwa ataupun Buddha perlu dilakukan kajian lebih mendalam agar secara terang benderang mengetahui agama apa yang dianut oleh pejabat Senāpati Kuturan tersebut. Penelusuran melalui sumber-sumber naskah sangat diperlukan akan mendapatkan data yang lebih akurat mengenai agama yang dianutnya.


14 2.3 Implikasi Ideologi Mpu Kuturan bagi Masyarakat Hindu di Bali 2.3.1 Implikasi terhadap Teologi Masyarakat Bali Implikasi terhadap teologi masyarakat Bali tercermin dari berbagai ajaran yang dijadikan tuntunan hingga kini,salah satunya adalah pemujaan terhadap tri murti. Mpu Kuturan menawarkan konsep tri murti kepada masyarakat Bali ditengah-tengah banyaknya sekta yang berkembang pada waktu itu. Beberapa sumber mengatakan bahwa di Bali pernah berkembang sembilan sekte (paksa), yakni (1) Śiwa Siddhanta, (2) Pasupata, (3) Bhairawa, (4) Wesnawa, (5) Boddha atau Sogata, (6) Brahmana, (7) Rsi, (8) Sora atau penyembah-penyembah Surya, dan (9) Ganapatya atau penyembah-penyembah Ganesa (Goris, 1986:2-4), sedangkan Ton Jaya (1991:8) mengatakan enam agama sekta ortodok yang berkembang di Bali, yaitu (1) Agama Sambu, (2) Agama Brahma, (3) Agama Indra, (4) Agama Wisnu, (5) Agama Bayu, dan (6) Agama Kala. Dari pernyataan-pernyataan para peneliti sebelumnya tidak ditemukan secara jelas peran Mpu Kuturan atau Senāpati Kuturan dalam menyatukan sekte-sekte tersebut. Namun, Subandi menuliskan bahwa peranan Mpu Kuturan sangat besar dalam menyatukan sekte-sekte tersebut. Dimana pada waktu itu raja Airlangga pada tahun çaka 910 (988 M), mengutus Senāpati Kuturan untuk mengatasi kekacauan yang terjadi di Bali dan bertemu dengan Raja-Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bata Anyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga. Pertemuan ini akhirnya mencapai kata sepakat dengan keputusan sebagai berikut. (1) Paham dijadikan dasar di Bali, yang berarti di dalamnya telah mencakup seluruh paham sekte yang berkembang di Bali saat itu. (2) Pada setiap Desa Pakraman (Desa Adat) supaya dibangun Kahyangan Tiga, yaitu : Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem. (3) Setiap rumah tangga supaya di dirikan Rong Tiga sebagai tempat memuja tri murti. Brahma di mang kanan, Wisnu di mang kiri dan di tengah adalah Siwa sebagai Maha Gum atau Bhatara Gum. Rong Tiga itu selain sebagai tempat memuja tri murti, juga difungsikan untuk memuja roh leluhur. Ruang kanan untuk memuja leluhur laki-laki (purusa), mangkiri untuk memuja leluhur wanita (pradana) sedangkan mang di tengah-tengah untuk memuja leluhur yang sudah menyatu dengan Bhatara Gum (Subandi dalam Nurkancana, 1997 :139). Pada beberapa naskah, Mpu Kuturan juga memiliki andil besar dalam mendirikan dan mervitalisasi beberapa Pura Kahyangan Jagat yang


15 ada di Bali, seperti Pura Silayukti, Pura Samuan Tiga, Pura Sakenan, Pura Watu Klotok, pura Batukaru, dan Pura Ulawatu. Untuk menghormati jasajasa Mpu Kuturan, masyarakat Bali mendirikan Pelinggih Menjangan Seluang di setiap sanggah dadia yang ada di Bali. 2.3.2 Implikasi terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Bali Pada bidang sosial masyarakat Mpu Kuturan memberikan sumbangan pemikiran dalam hal pendirian desa Pakraman (Adat) di Bali dan sistem Subak. Secara implisit, kelompok masyarakat pertama kali ditemukan pada Sukawana AI (804 S, atau 882 M) dengan sebutan “bhiksu çiwakangçi” “makmit drbya haji. Ditemukan juga istilah banwa (banwa di turunyan) dan menyebut pula drbya haji yang ditemukan pada prasasti Trunyan AI (813 S, atau 822 M). Selanjutnya istilah desa dan kraman, pertama kali ditemukan pada prasasti Dausa Pura Bukit Indrakila BI (tahun 864 S, atau 942 M) yang ditulis dengan istilah karaman. Dari keterangan di atas, dapat dimengerti bahwa Bali memasuki masa sejarahnya paling tidak sejak abad ke-9. Berbagai keterangan mengenai desa di Bali muncul dari catatan-catatan berupa prasasti. Dengan keterangan-keterangan di atas, dapat diduga bahwa wujud desa pada masa itu lebih merupakan kelompok cikal bakal atau keturunan pendiri pemukiman yang sejak awal mendiami lokasi (wilayah) dan batas tertentu yang disebut banwa. Ada kelompok pengurus atau prajuru desa yang ditunjuk dari antara warga desa yang bertindak sebagai tetua desa (banwa). Dengan adanya nama yang semakin jelas kedudukannya (sejak abad kel0) dan peranan Senāpați Kuturan (awal abad ke-l l), maka dalam warga desa muncul dengan istilah karaman dan juga ada prajuru. Hal itu menunjukkan adanya hubungan yang semakin nyata antara warga desa (karaman) dan kekuasaan atas (raja). Adanya kewajiban memenuhi kepentingan raja, seperti membayar pajak, kerjabakti membersihkan jalan, membuat saluran air, membangun sawah, dan lain-lain menunjukkan adanya hubungan itu (Parimartha, 2003 : 9-10). Penjelasan di atas menunjukan bahwa Senāpati Kuturan memiliki peranan penting dalam mengatur dan memerintah masyarakat (karaman) kala itu sebab Senāpati Kuturan merupakan orang yang dipercaya oleh raja untuk melakukan pengaturan kepada masyarakat bersama-sama dengan Senāpati lainnya yang tergabung dalam majelis tinggi kerajaan untuk memenuhi kepentingan Raja. Babad Pasek juga menyebutkan secara terang benderang bahwa organisasi desa yang teratur (pakraman) muncul karena pengaruh kepemimpinan Mpu Kuturan yang membangun sistem


16 organisasi berlandaskan pura pemujaan yang disebut Kahyangan Tiga. Pada Babad Pasek, disebutkan bahwa di Bali Mpu Kuturan berparhyangan di Silayukti. Suatu ketika Beliau berkenan mengunjungi desadesa, mengajar dan memberi nasehat masyarakat Bali tentang silakrama, tatasusila, pengetahuan filsafat, kecil, karmapala, punarbhawa, terutama dalam hal membangun kahyangan-kahyangan, memperbaiki tempat pujaan (pelinggih-pelinggih) para bhatara (roh suci leluhur) di Bali, antara lain puseh, dalem, dan baleagung, penghuluan swi, jalan-jalan dan tata tertib desa dan Banjaran Bali semua itu ditulis dalam lontar Widhisastra dan Sangharayoga (Sugriwa, Babad Pasek, 1976 : 34-35). Istilah krama thani pertama kali ditemukan pada Prasasti Sukawana AI. Ditemukan kata Huma yang berarti sawah pada prasasti yang sama. Selanjutnya, dari Prasasti Pandak Badung tahun 1071 M juga terdapat kata Kasuwakan yang kemudian menjadi Kasubakan (Purwita, 1993:42). Secara faktual, diketahui di Bali adanya sistem irigasi yang disebut Kasubakan atau Subak pada tahun 1071 M dan hal ini didukung oleh prasasti Klungkung pada tahun 1072 M. Pada prasasti tersebut, disebutkan nama Subak, yaitu Subak Rawas dan tertulis "...masukatang huma di kedandan di errara di kasuwakan rawas...." yang artinya mengukur sawah di Kadandan pada Yeh Aa dalam Subak Rawas (Callenfels, 1926 dalam Purwita, 1993: 41). Pada prasasti Desa Batuan berangka tahun 994 S, 1022 M, disebutkan batas-batas nama desa (karaman) dengan istilah parimandala. Diungkapkan ateher parimandala cinaturdesa thani karaman ing baturan. Hal ini menujukan sebuah desa telah memiliki batas-batas yang mudah dimengerti dan karenanya memiliki pula aturanaturan yang mengatur kepentingan warganya. Di sini disebut, Desa Baturan diberikan oleh Senāpati Kuturan Mapanji Putuputu berupa sekomplek hutan (alas asukat) untuk membuat sawah-sawah diwilayah itu atas kehendak atau peranan raja. Hal ini menunjukan bahwa Senāpati Kuturan merupakan orang yang diminta untuk mengatur sistem pertanian khususnya kepada krama thani dalam membagi wilayahnya untuk bisa dijadikan sawah-sawah (Parimartha, 2003: 9). Terlebih-lebih posisi Senāpati Kuturan yang sangat strategis dalam majelis kerajaan membuat sistem tatanan masyarakat yang sangat kuat khususnya dalam pelaksanaan pertanian. Selanjutnya, naskah-naskah lontar yang tergolong Kalpasastra yang diterbitkan pada abad XII menyebutkan bahwa Mpu Kuturan berasal dari Majapahit yang bertugas memberikan pembagian kedudukan para dewa yang ada di Bali. Salah satunya adalah Sang Bhaka Bumi yang berstana di Pura Hulun Suwi. Sang Bhaka Bumi inilah yang menjaga dan


17 menghidupi sawah hingga bisa mendapatkan kesuburan bagi para petani. Hingga kini ciri sawah pada sistem subak selalu didirikan Pelinggih Hulunsuwi yang dijikan tempat memuja penguasa pertanian. 2.3.3 Implikasi terhadap Tata Ruang di Bali Mpu Kuturan dalam peranannya menata tata ruang di Bali dijumpai pada kosep Catur Loka Pala, Tri Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Pura Bale Agung dan Pura Dalem), Triangga, Trimandala, Hulu teban, Astabhumi, Asta Kosala-Kosali, Bamakerthi, dan Jananpaka. Keseluruhan konsep tersebut merupakan cikal-bakal penataan Pulau Bali dengan seluruh isinya yang berimplikasi pada letak geografis Bali dan kehidupan beragamanya. Seperti konsep Catur Loka yang dikenalkan oleh Mpu Kuturan, merupakan implikasi dari penyatuan sekte-sekte di Bali yang dahulunya terdapat enam sekte besar di Bali. Konsepsi Catur Loka Pala tak lepas dari konsep ruang yang menitik beratkan kepada esensi keseimbangan unsur semesta dengan merepresentasi arah mata angin. Selain sebagai konsep arsitektur, dalam Padma Bhuwana Tattwa, konsep Catur Loka Pala disebut-sebut sebagai konsep pemujaan terhadap Tuhan. 2.4 Temuan Penelitian Secara umum, dalam penelitian ini ditemukan dua kebaharuan dari penelitian terdahulu, yaitu secara faktual dan teoritik sebagai berikut. 1.Temuan Faktual Secara faktual penelitian ini menemukan bahwa Mpu Kuturan dijumpai dalam berbagai dimensi tokoh yang memiliki penggambaran yang berbeda-beda. Hal ini menepis anggapan bahwa Mpu Kuturan hanya sebagai seorang tokoh agama melainkan ditemukan dalam berbagai bidang penokohohan seperti sebagai seorang arsitek, peng-usadha, ahli pertanian, seorang raja, nama tempat, nama golongan atau keturunan hingga sebagai seorang Senāpati Kuturan. Secara faktual juga ditemukan bahwa adanya perubahan tokoh Mpu Kuturan dari Abad ke VIII sampai abad ke-XII, dari Senāpati Kuturan (Jabatan pada Lembaga Pakirānkirān Ratu Makabéhan) bertransformasi menjadi sosok tokoh orang yang dikenal memiliki berbagai ideologi. 2. Temuan Teoretik Secara teoretik, dalam penelitian ini ditemukan tiga hal penting, yaitu sebagai berikut. Pertama, memperkuat dan mengafirmasi pernyataan


18 Gadamer dalam teori Filologi bahwa penyalinan teks berulang-ulang pada sebuah topik dilatarbelakangi dari sebuah kejadian atau peristiwa penting dan sangat bernilai sehingga memunculkan banyaknya varian teks dan variasi teks yang ditemukan dalam penelitian ini. Hal ini menunjukan bahwa ada kekuatan yang menarik para penyalin/pengawi tertarik untuk menulis kembali teks terkait Mpu Kuturan dalam varian dan variasi teks yang berbeda. Hal ini dapat disimak dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa penyebutan Kuturan, Mpu Kuturan dan Senapati Kuturan dijumpai dalam bentuk naskah yang berbeda seperti naskah prasasti, naskah tutur, naskah usadha, naskah kalpasastra, naskah babad dan naskah kidung. Hal tersebut menegaskan bahwa pembacalah yang memproduksi teks kedalam teks karya-karya baru sehingga memunculkan variasi dan varian teks yang berbeda-beda serta setiap teks yang dihasilkan bersifat otonom. Kedua, penelitian ini juga memperkuat dan mengafirmasi bahwa variasi teks dan varian teks dalam ilmu kodikologi, bahwa penyalin teks mempunyai hak 40% untuk memasukan idoelogi penyalin kedalam teks yang mereka tulis sehingga walaupun teks memiliki kesamaan judul, sesungguhnya naskah tersebut merupakan naskah baru yang isinya adalah 40% ideologi penyalin. Oleh karena itu, dalam kasus penelitian Mpu Kuturan dalam tradisi teks di Bali ini, penyalinan teks yang berulang memunculkan bermacam-macam varian dan variasi teks yang melahirkan ideologi yang berbeda-beda meskipun memiliki kesamaan judul, teksnya sama dalam naskah yang berbeda atau naskah yang sama dalam teks yang berbeda. Ketiga, penelitian ini juga juga memperkuat dan mengafirmasi teori semiontik tentang ikon, indeks, dan simbol. Dalam hal ini, yang diperkuat adalah indeks dan ikon. Mpu Kuturan telah menjadi ikon bagi masyarakat Bali sebagai pencetus konsep desa pakraman di Bali. Hal ini sangat beralasan sebab jika menyebut desa pakraman di Bali selalu diidentikan dengan Mpu Kuturan. Hal ini menunjukan kecendrungan bahwa Mpu Kuturan menjadi ikon desa adat/pakraman di Bali. Namun dalam variasi dan varian teks yang ditemukan dalam penelitian ini, Ikon yang dimunculkan oleh tokoh Mpu Kuturan tidak hanya sebagai arsitek desa pakraman saja, melainkan ditemukan ikon-ikon yang berbeda seperti Ikon raja tumbuhan, peng-usadha, arsitek, nama tempat, tokoh agama dan seorang Senāpati dalam kerajaan. Oleh sebab itu, teks yang mucul dari varian dan variasi teks Mpu Kuturan ini merupakan simbol yang memunculkan Kuturan sebagai simbol Agama yang dijumpai sebagai Bhatara Mpu Kuturan yang diyakini melinggih di Pura Silayukti,


19 sedangkan sebagai simbol Budaya, Mpu Kuturan diyakini merancang banyak sekali produk budaya seperti pendirian pelinggih méru, menata desa pakraman, dan mencetuskan konsep tataruang di Bali sehingga terbangun Taksu Bali yang diwarisi hingga kini. III PENUTUP 3.1 Simpulan Berkenaan dengan penelitian Mpu Kuturan dalam tradisi teks di Bali, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Istilah Mpu Kuturan ditemukan pada jenis naskah tutur, babad, usadha, kalpasastra, kanda, dan prasasti. Pada naskah tutur, ditemukan pada 5 judul berbeda diantaranya naskah Mpu Kuturan sebanyak 3 judul, dan naskah Empu Kuturan sebanyak 2 judul. Pada Naskah Babad Mpu Kuturan ditemukan pada naskah Babad Pasek Gelgel dan Babad Usana Bali. Pada naskah yang tergolong Usadha, Mpu Kuturan ditemukan pada naskah Taru Premana dan naskah Kaputusan Mpu Kuturan. Pada Naskah Kalpasastra, Mpu Kuturan ditemukan pada Naskah Hempu Kuturan, Naskah Sri Purana, dan Naskah Dharman Pemacul. Mpu Kuturan dalam Naskah Prasasti ditemukan didalam 13 naskah yang berbeda yang dikeluarkan oleh Śri Mahārāja Haji Jayapangus Arkajacihna dengan istilah Senāpati Kuturan yang berarti sebuah jabatan. 2. Kuturan dalam berbagi naskah dijumpai berbagai aspek ideologi seperti ideologi sebagai seorang arsitek, peng-usadha, ahli pertanian, seoarang raja, nama tempat, nama golongan atau keturunan hingga, sebagai Pendeta Siwa dan Buddha dan sebagai seorang Senāpati Kuturan (pejabat penting pada masa kerajaan). 3. Implikasi pemikiran Mpu Kuturan bagi umat Hindu di Bali dapat dijumpai pada (a) sistem teologi masyarakat Bali, (b) sistem sosial yang meliputi desa pakraman dan sistem subak, dan (c) sistem tata ruang pulau Bali sehingga terbangun taksu Bali yang diwarisi hingga kini. 3.2 Saran Penelitian ini masih sangat jauh dari sempurna mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan penulis dalam penelusuran naskahnaskah yang memuat tentang Mpu Kuturan sehingga perlu dilakukan pendalaman secara serius sehingga peran Mpu Kuturan sebagai tokoh


20 penting bagi Bali dapat dibahas secara tuntas agar bisa ketahui oleh masyarakat luas. Adapun saran yang dapat saya sampaikan adalah sebagai berikut. 1. Kepada Pemerintah Provinsi Bali disarankan agar secara terusmenerus melakukan pendalaman dan pemetaan naskah-naskah yang memuat tentang Mpu Kuturan sehingga mendapatkan informasi secara komprehensif dan mendalam. 2. Kepada Kemeterian Agama khsususnya Direktorat Bimas Hindu Kementerian Agama disarankan agar bisa melakukan penelusuran sekaligus pendokumentasian tokoh-tokoh agama Hindu dalam berbagai bentuk seperti penelitian, seminar, diskusi, dan kegiatan lainnya. 3. Kepada STAH N Mpu Kuturan Singaraja sebagai tempat bertugas peneliti disarankan agar senantiasa mampu menghayati dan menjadikan spirit Mpu Kuturan untuk membangun rasa bangga dan militansi untuk bersama-sama memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan keagamaan. 4. Bagi para peneliti lainnya, disarankan agar dapat mengembangkan dan melakukan penelitian lebih lanjut sehingga lebih banyak sumbersumber data yang dapat dikaji dikembangkan sehingga pengetahuan secara komprehensif diperoleh.


21 I INTRODUCTION The figure of Mpu Kuturan for Balinese people has been widely known and has an important role in managing the religious system of the Balinese people. Mpu Kuturan has done a lot of revitalization of temples in Bali such as Sakenan Temple in 927 Çaka or 1005 AD, carried out Odalan Pemlaspasan, and revitalized the form of Besakih Temple. Mpu Kuturan is also believed to have made changes in terms of worship, such as recommending the use of Balinese and Sanskrit mantras (Shastri, 1963: 50). Mention of Mpu Kuturan for his role in various character dimensions can be found in manuscript forms such as in the Inscription, Chronicle, Usadha, Kanda, Kalpasastra, and Tutur Manuscripts. Mpu Kuturan was in different ideological dimensions, such as being known as a religious figure, architect of several temples in Bali, and businessman to become a royal official with the title Senāpati Kuturan who was an important official in the kingdom at that time. One of the texts that mention the role of Mpu Kuturan as the originator of the founding of méru in Besakih is the tutur text of the Gedong Kirtya collection number III B/24/753 entitled Mpu Kuturan, which mentioned Nihan lingira Mpu Kuturan riŋ Majapait, dukiŋ awaŋ una mѐru riŋ Basakih it means that this is what Mpu Kuturan said in Majapahit, when he was going to build a meru in Besakih. The same explanation can also be found in the ejection manuscript in the form of a tutur with Number 172 IIIb/2 with the title Empu Kuturan Gedong Kirtya Collection. Bali to organize Balinese society. Usana Bali Chronicle Manuscript from the collection of the Bali Documentation Center with Number Kal 75, the fifth sheet of the first line, also mentions the role of Mpu Kuturan in perfecting the kahyangan in Bali, such as sad kahyangan, kahyangan tiga and Besakih as the highest kahyangan. The three texts illustrate that Mpu Kuturan is a figure who is instrumental in providing religious concepts adhered to by the Balinese people, as well as guiding the community in establishing holy places, both in the form of méru and other kahyangan temples. This is in line with what was stated by Watra that Mpu Kuturan had contributed to the concept of merging the beliefs of Shiva, Buddhism, Vaishnava, and sects in Bali, which was then carried out by Paruman in Bedahulu Gianyar and agreed


22 on the concept of tri murti as a symbol of unification these sects. (Watra, 2018: 118). In another dimension, Mpu Kuturan is also believed to be a healer or entrepreneur; this can be found in usadha-shaped manuscripts, namely the manuscript Taru Premana Gedong Kirtya Collection with Number IIId 1854/12, where the beginning of the first and second lines mention that Mpu Kuturan is a healer who is able to communicate with trees that can be used as medicine. In this manuscript, it is mentioned that Mpu Kuturan is able to talk with plants about their uses and how to use them. In this text, Mpu Kuturan is given the title of Sang Prabu Mpu Kuturan, which is synonymous with the title of king. As a healer, Mpu Kuturan is believed to be very powerful because he can speak to plants. The supernatural power that is possessed because of a gift from God Ludra to Mpu Kuturan means that he is able to cure all kinds of diseases. In contrast to what is contained in the inscription text, the term Mpu Kuturan was not found; what was found was the term Senapati Kuturan, which was a structural position of the ancient Balinese government that was incorporated into a royal institution called Pakirākirān I Jro Makabéhan. Positions in the ancient Balinese kingdom were based on their hierarchy or command line, and their territory was divided into two parts, namely, (1) central-level positions and (2) village-level positions. Balinese inscriptions such as the Sukawana inscription, the Langgahan inscription, the Bwahan inscription, the Sembiran inscription, and other inscriptions issued by ri Mahrja Haji Jayapangus, who ruled from 1099 Saka (1178 AD) to 1103 Saka (1181 AD), mention Kuturan as a Senapāti who has very high authority and is recognized by the whole kingdom. The royal official who has the title Senāpati Kuturan is in charge of regulating the procedures for carrying out the ceremony. In the translation of the text of the Subscription Inscription on Sheet IIIb, the term Sang Senāpati Kuturan was also found, referring to a high-ranking royal official attending the Palace Council who was obliged to be present to witness the gift of His Majesty ri Mahārāja to certain villagers in the form of an inscription. From the description of the data above, the term Kuturan is found in various dimensions of different characterizations according to the type of text in which it is contained. When referring to Balinese beliefs originating from Lontar texts, Mpu Kuturan is known as a religious figure who made a major contribution to managing religious life in Bali. Meanwhile, if one looks at the inscription text, the term Kuturan is found as a royal official, group name, and place name. So from the results of


23 tracing the data, it is deemed necessary to carry out an in-depth study related to texts that mention Kuturan in various forms of text. II DISCUSSION 2.1 Mpu Kuturan in Various Texts The mention of Mpu Kuturan or the term Kuturan is found in various manuscript genres, which can be found in several lontar libraries such as the Gedong Kirtya Singaraja, the Bali Documentation Center Library, and the Community Collection. These texts include tutur, babad, usadha, kalpasastra, kanda, and decisions contained in the inscriptions. In the lontar manuscripts, Mpu Kuturan is described as a person (Maha Pandita), while in the inscriptions, the term Kuturan is found as Senāpati Kuturan (Occupation). 2.1.1 Mpu Kuturan in Tutur Manuscripts Tutur texts are texts that contain teachings that are closely related to religion and ethics. These texts usually tend to contain procedures for carrying out religious activities, such as ceremonial facilities, spells that must be used, and prohibitions that must be avoided by the people in carrying out various ceremonial rituals. The tutur text containing Mpu Kuturan was found in four titles in different manuscripts, namely the manuscript entitled Mpu Kuturan with number B/2/172 Gedong Kirtya collection, the manuscript entitled Mpu Kuturan with number IIIb/24/753 Gedong Kirtya collection, the manuscript entitled Hempu Kuturan Collection of the Bali Documentation Center is without a number, and the manuscript is titled Mpu Kuturan with Chapter number 108, the collection of the Bali Documentation Center. the form of the procedures for establishing méru, types of méru, and pedagingan, which must be filled in when setting up a pelinggih méru. In this type of manuscript, it is also stated that Mpu Kuturan provides teachings on procedures for making pretima or pralinggan widhi and the materials that can be used. Mpu Kuturan also gave a concept about the gods that must be placed in temples in Bali, such as the gods in Besakih Temple, the gods in Ulun Danu Temple, and other Kahyangan in Bali.


24 2.1.2 Mpu Kuturan in Chronicle (Babad) Manuscripts Chronicle texts that mention Mpu Kuturan are found in two different manuscript collections, namely the Babad Pasek Gelgel Gedong Kirtya Collection and the Babad Usana Bali Collection of the Bali Documentation Center. In the Babad Pasek Gelgel manuscript, Mpu Kuturan is mentioned as the son of Mpu Lampita and brother of Mpu Bradah. Mpu Kuturan is older than Mpu Panabda. Mpu Kuturan was also mentioned as a brahmacari sukla of a young age who was a cousin of Mpu Panabda. Mpu Kuturan is described as the figure of a Mpu who has siblings, including Mpu Bradah and Mpu Panabda. Meanwhile, in the Chronicle of Usana Bali, Mpu Kuturan is described as a priest who came from Java, landed in Padangbai Bay, and set up a boarding house and meditation followed by his students. This manuscript also provides information about the arrival of Mpu Kuturan from Java in the year Saka 923 (1001 AD) and the tools used to cross the seas of Bali to arrive in Bali. The origin of the founding of Silaykuti Temple, which until now was known as Kahyangan Jagat Temple, is clearly stated in this manuscript. 2.1.3 Mpu Kuturan in the Usadha Manuscript In the Usadha Mpu Kuturan manuscript, it was found in the Tarupremana manuscript Number IIId 1854/12 and the Mpu Kuturan Manuscript of Mpu Kuturan Number IIId 3752 in the Gedong Kirtya collection. In the Tarupremana manuscript, Mpu Kuturan is referred to as Sang Prabhu Mpu Kuturan, which indicates that Mpu Kuturan is considered a king. This is reflected in the use of the word Sang Prabhu, if we look closely at the use of the term referring to the title of King. Raja, in the context of the Tarupremana manuscript, is defined as Mpu, who masters various types of plants and can communicate with all types of plants. Mpu Kuturan is also mentioned in this manuscript as having a child named Ida Sang Marayasa who helped write the results of his conversations with plants. The Mpu Kuturan Kadecitan text contains the gift and decision of Mpu Kuturan to mankind to provide enlightenment and instructions for the treatment of diseases suffered by humans such as tiwang disease, stomach ache, toothache, and other diseases. 2.1.4 Mpu Kuturan in Kalpasastra Manuscripts The Kalpasastra manuscript is a classification of manuscripts belonging to the Vedic manuscripts; this is found in the classification of


25 the Gedong Kirtya manuscript collection, which divides the Vedic texts into 3 parts, namely Vedas, Mantras, and Kalpasastra. The Kalpasastra manuscripts according to the lontar classification in Gedong Kirta consist of Banten script pangentas, Burdentenan script, Caru Suci script, Indik Galungan script, Manca balikrama script, Pacecaron script, Pangabenan script, Pawintenan script, Plutuk script, and Sangkul Putih script. The mention of Mpu Kuturan is found in three different manuscripts, namely the Hempu Kuturan manuscript number Ic. 4875, the Dharma Pemacul manuscript number Ic. 3317 from the collection of gedong Kirtya and Sri Purana manuscript number Chapter 154 from the collection of the Bali Documentation Center. These three manuscripts can be classified as Kalpasastra texts, which contain several ceremonial tools used in the rice planting procession from the land preparation process to post-harvest. Mpu Kuturan also gave a briefing on the implementation of the ceremony, which was presented to the Bhakā Bhūmi who was malinggih at Ulun Suwi Temple, which is believed to be a source of welfare for people who plant rice in the fields. 2.1.5 The Term of Curse in the Inscription In the inscriptions, Mpu Kuturan is not found as a Mpu but as the position of Senapati Kuturan, that is, a position designation belonging to the Pakirānkirān I Jro Makabéhan, whose job it is to give consideration to all decisions taken by the king. Then the decision was conveyed by the Senāpati to be enforced throughout the kingdom. Senapāti's position has an important role in this institution, because everything that will be decided by the king must receive consideration from this institution. The inscription texts that mention the term Kuturan include the Inscription of Bwahan D. No. 602, Penida Kaja Inscription No. 603, Inscription of Sembiran C. No. 621, Inscription of Sukawana B. No. 624, Pengotan Inscription C.1 No. 627, Cempaga A. No. Inscription No. 631, Dalung Inscription No. 662, Bengkala Inscription No. 636, Inscription of Straits A. No. 625, Inscription of Bulian A. No. 633, Sérai B. Inscription No. 649, and Pengotan. In each of the inscriptions, the term Kuturan can be interpreted very differently because it is found in various terms such as Senapati Kuturan (a position), Watek Kuturan (a group), and term ring kutur (a place). Mpu Kuturan, also known as Senāpati Kuturan, was once held by 18 (eighteen) different people based on the findings of the inscription texts, including the following: 1) The inscription of Bhahan D. No. 602 Sang Senāpati


26 Kuturan was held by Pu Nirjanma, 2) The inscription of Penida Kaja No. 603, Senpati Kuturan, was held by Pu Nirjanma, 3) Inscription Sembiran C. No. 621, Sang Senāpati Kuturan, was held by Pu Dijanmar, 4) Inscription Sukawana B. No. 624, Sang Senāpati Kuturan, was held by Pu Nirjanma. 5) Pengotan Inscription C.1 No. 627, Sang Senāpati Kuturan, is held by Pu Wahita, 6) Landih B-Nongan B. Inscription No. 630, Sang Senpati Kuturan, is held by Pu Nirjana, 7) Cempaga A Inscription No. 631, Sang Senāpati Kuturan, is held by Mpu Nirjanma, 8) Dalung Inscription No. 662, Senāpati Kuturan, was held by Pu Niyasa, 9) Bengkala Inscription No. 636, Senāpati Kuturan, is held by Pu Janarma, 10) Kediri Inscription No. 622, Sang Senpati Kuturan, is held by Mpu Nirjanma, 11) Selat A Inscription No. 625, Sang Senāpati Kuturan, is held by Mpu Nirjanma, 12) Stone Inscription B No. 629, Sang Senpati Kuturan, is held by Mpu Nirjanma, 13) Serai B Inscription No. 649, Sang Senāpati Kuturan, is held by Mpu Nirjanma, 14) Tondja Inscription No. 661, Sang Senāpati Kuturan, is held by Mpu Nirjanma, 15) The Pengotan Inscription D. No. 663 of Sang Senpati Kuturan is held by Pu Jitayoga, 16) The Pengotan Inscription, Sang Senāpati Kuturan, is held by Pu Bodhisatwa, 17) Inscription Batur Abang A, Sang Senāpati Dyah Kayop holds Kuturan; 18) Inscription of Serai IIA Senāpati Kuturan holds Dyah Kuting. All figures who had served as Senāpati Kuturan served as advisors to the king in managing all the lives of the royal people at his time. Of the 18 figures who had served as Senāpati Kuturan and served for several centuries, it is certain that Kuturan was widely known by the whole community at that time, both because of his character and because of his works in managing society. 2.2 The Ideology of Mpu Kuturan in the Text Tradition in Bali 2.2.1 Mpu Kuturan as a Religious Figure In the tutur text, Mpu Kuturan is described as a religious figure who teaches procedure on the method of making méru and teachings on the manners of the Balinese queen, while in the lontar manuscript of Mpu Kuturan Number IIIb/24/753 of the Gedong Kirtya collection, the figure of Mpu Kuturan is described as a religious figure who teaches the procedures for making pedagingan to pelinggih méru and pelinggih pelinggih, such as Pelinggih Padmasana, Gedong Tarib, Gedong Sari and other Pelinggih. The manuscript of Hempu Kuturan, chapter 99 in the collection of the Bali Documentation Center, is described as a religious


27 figure who gives teachings on piodalan procedures and offerings that must be regulated and mentions kramaning procedures as stakeholders. Mpu Kuturan also gave the names of the gods who reside in the Kahyangan Jagat Temple in Bali. Furthermore, in Mpu Kuturan's lontar manuscript, Chapter 99 of the collection of the Bali Documentation Center, Mpu Kuturan is described as a priest from Majapahit who founded the Kahyangan Jagat Temple in Bali. Mpu Kuturan is said to have taken the initiative in the construction of a meru in Besakih. The teachings of Mpu Kuturan in this manuscript are the teachings of the Brahmin Ulanda Kateng, Sarining Kanda Empat, Tutur Aji Pengukiran, and about the Priesthood. Other teachings taught by Mpu Kuturan are the Purana Tatwa, Dewa Tatwa, Widisastra, perfecting the Book of Kesuma Dewa, Padma Bhuwana-Prekempa, and Tingkahing Angwangun Kahyangan. In the inscription, Senpati Kuturan also held several positions, such as Purohita or Bhagawanta (royal adviser), Senāpati, Dharmmādyaksa (Supreme Court), and even chairman of the institution / Majlis Pakira-kiran I Jro Makabehan). With the capacity and authority he has, Senāpati Kuturan can carry out various activities to maintain the kingdom in accordance with his duties and obligations as a companion and, at the same time, someone close to the king. 2.2.2 Ideology of Mpu Kuturan as an Architect Mpu Kuturan's ideology as an architect can be found in his role in revitalizing the Besakih Temple area, which adopted the concept of Mount Semeru in Java. Mpu Kuturan also divided the Besakih Temple area into seven mandalas. Mpu Kuturan also provided a design for making méru according to the height of the méru pelinggih based on the number of overlappings, namely méru overlapping 2, 3, 5, 9, and 11. The term méru is very closely related to the name of Mount Semeru, which towers high in Java, so it is possible that the name méru was taken from the name Semeru, which means high and majestic. Mpu Kuturan also gave instructions regarding the facilities that must be filled in the foundation of each méru pelinggih according to the number of overlappings. Mpu Kuturan designed the Catur Loka Nutmeg concept in Besakih. Catur Loka Pa La is the concept of structuring the placement of the four temples (pengider bhuwana) that surround Padma Tiga, namely following the four cardinal directions and making the mountain a Qibla as a link (rasade). East: Dark Temple, West: Ulun Kulkul Temple, North: Batu Madeg Temple, and South: Kiduling Kreteg Temple (these 4 temples symbolize


28 the 4 petals of the lotus flower that surround Padma Tiga). Furthermore, Catur Loka Dala was adopted as Protector (Raksanam) of the Island of Bali for the four temples that surround the island of East Bali: Lempuyang Temple, West of Luhur Batukaru Temple, North: Pucak Manggu Temple, and South: Andakasa Temple. 2.2.3 Ideology of Mpu Kuturan as a Healer (Peng-Usadha) Mpu Kuturan's ideology as a healer or entrepreneur is found in two different texts, namely the Tarupramana Manuscript Number IIId 1854/12 and the Mpu Kuturan Kadecitan Manuscript Number IIId 3752, the collection of Gedong Kirtya. Both of these manuscripts belong to the Usadha Manuscript, which contains the teachings of Mpu Kuturan regarding healing procedures for people who are experiencing pain. In this text, Mpu Kuturan is called Sang Prabhu Mpu Kuturan, which has the connotation of being a king. Mpu Kuturan teaches medicine to mankind in the two manuscripts through stories about plants that can be used as medicine, based on the results of Sang Prabhu Mpu Kuturan's communication with Sang Hyang Ludra. As told in the manuscript, all the plants that Prabu Mpu Kuturan met could be invited to talk about their benefits. This conversation was written into the Tarupremana Manuscript with the help of his son, Ida Sang Narayasa. In the text of the Kadecitan Mpu Kuturan, it is stated that Mpu Kuturan taught the teachings of medicine to get rid of diseases caused by human magic. Mpu Kuturan not only provided medical facilities in the form of plants, but he also provided a means in the form of sesabukan (a type of belt), which is capable of providing protection from human magic and is made on a belt containing a rerajahan image (magical image). 2.2.4 Ideology of Mpu Kuturan as an Agricultural Expert Mpu Kuturan's ideology as an agricultural expert is found in Kalpasastra manuscripts consisting of the Hempu Kuturan manuscript number 1c 4875 in the Gedong Kirtya Collection, the Sri Purana manuscript number Chapter 154 in the collection of the Bali Documentation Center, and the Dharman Pemacul manuscript number 1c 3317 in the collection of the Bali Documentation Center. Mpu Kuturan taught the worship of Sang Bhaka Bhumi at Ulun Suwi. The Bhaka Bumi is the one who looks after and supports the rice fields so that they can provide fertility for the farmers so as to produce an abundant harvest. Mpu Kuturan also divided the positions of the gods in Bali, including Sang


29 Bhaka Bumi, who resided in Ulun Suwi Temple. His duty is to provide fertility for paddy fields, so in honor of him, it is obligatory to make offerings in the form of pork roll, bebangkit, and upakara offerings. The ceremony was adopted by Mpu Kuturan from the Majapahit tradition, where the object was presented on Mount Semeru and the Lord in the Puja was Bhatara Pasupati. As for the Balinese, the means of the ceremony that is offered are presented in front of Mount Agung, Mount and Lake Batur, and Besakih Temple. Furthermore, if you want sarwa tanur tinuwuh (everything that is planted with thrives), then you have to give a symbol to Pelinggih Ulun Suwi in the form of worship of the gods at Mascéti Temple, who is worshiped by Bhatara Rambut Sedana and Bhatari Sri. If many sasab merana (pests) are found, Mpu Kuturan also conveys to worship Sang Bhaka Bhumi, who resides in Hulun Suwi, and the gods who reside on Mount Agung, in Batur, Limar Sari, Gedong, and Ngarurah by making offerings. Furthermore, so that agriculture does not lack water, it is important for farmers to worship Lord Bhatara in the mountains and lakes. 2.2.5 Ideology of Mpu Kuturan as a King Mpu Kuturan's ideology of Raja is found in the Usadha Tarupremana manuscripts of the Gedong Kirtya collection and the Usana Bali Pulina Manuscripts in the collection of the Bali Documentation Center. In the Tarupremana Mpu Kuturan manuscript, it is called Sang Prabhu Mpu Kuturan. The title of Sang Prabhu, in this case, is very synonymous with the title of the king whereas Prabhu is usually synonymous with the mention of the King. In the context of the text, the king in question is the king of plants where Mpu Kuturan received a gift from Dewa Ludra to be able to communicate with all kinds of plants. Therefore, Mpu Kuturan was given the title Sang Prabhu or the king of all plants. Furthermore, in the Usana Bali Pulina manuscript, the term Mpu Raja Kertha is also found which is another name for Mpu Kuturan. When viewed from the use of the term Raja Kertha, Mpu Kuturan has the title of a Maha Pandita who makes decisions on strategic matters related to structuring the order of people's lives. Mpu Kuturan laid a milestone related to the arrangement of temples in Bali, he is even said to have built


30 and perfected other important heavens. That is why Mpu Kuturan is called Raja Kertha or Maha Pandita Utama. 2.2.6 Ideology of Kuturan as Senapati in the Kingdom The term Mpu Kuturan on the inscription was not found; what was found was the term Senāpati Kuturan. Senapati Kuturan is a structural position in the kingdom and a member of the Assembly of Pakirankiran I Jro Makabéhan. This term is formed from the words approximately, jro, and kabeh. Roughly means reason, effort, and strategy (Zoetmulder, 2011:875). Pakirānkirān can mean a forum to find efforts or ways; in this case, efforts or ways to solve problems faced by the kingdom. In other words, Pakirānkirān is essentially a council or assembly that also functions as a meeting place to discuss the problems being faced and seek solutions to them, which will be manifested in the form of a king's or royal decree (Semadi Astra, 1997: 221). Meanwhile, jro can mean palace, "room," or "within; i jro means in the palace." In this section, it provides a locative explanation, namely indicating that the meetings were held in a courtroom located within the king's palace. This institution has the task of giving consideration to the king on important decisions that will be conveyed to the public. The positions in this institution consist of 1) King Mahārāja , 2) Senāpati , 3) Samgat, and 4) Mpungku. The four officials, including Senapati Kuturan, are officials whose job it is to find ways to solve the problems faced by the kingdom. Senapati Kuturan, based on the data found in some of the inscriptions, was one of 18 who had served as Senapati Kuturan, including Pu Nirjanma, Pu Dijanmar, Pu Wahita, Pu Nirjana, Mpu Nirjanma for six times, Pu Niyasa, Pu Janarma, Pu Jitayoga, Pu Bodhisatwa, and Dyah Kayop for two times. 2.2.7 Ideology of Kuturan as a Place Name The ideology of Kuturan as a place name is found in the term ring kuturan in several inscriptions. The term kuturan, which means place, can be seen in the context of the sentence, which says that the people of Pengotaan village are not burdened with travel expenses if they look after sacred buildings as they look after kuturan. The context of the sentence indicates that the kuturan refers to a place that must be guarded by the people of Pengotan Village. Furthermore, if you look at the Dalung Inscription, you can find the term Dang Hyang Kutur contained in a sentence indicating the border of the village, namely a border called


31 Danghyang Kutur. The Danghyang Kutur border is adjacent to the pager miluwatan rice fields. In the context of this sentence, the term kutur can be referred to as a place name. This is in line with Monier-Williams's assertion in Semadi Astra 1997: 260 that Senāpati , who is in charge of assisting the king, who is a member of the Royal Plenary Consultative Council, is usually located in the center of the kingdom. Among the positions of Senapati who are members of the Mejlis Council, the position of Senāpati Waranasi can be said to most clearly designate the name of the place or area of authority of the official in question. Then the positions of Senāpati Balémbunut, Senāpati Kuturan, and Senāpati Wrsantén could be proposed. Waranasi is another name for Benares, North India. However, regarding Waranasi, the Balinese inscriptions cannot be identified with those from Benares in India. Instead, the name is seen as the name of a place or area in Bali, although it should be admitted that its location is still unknown. The name Balambunut is reminiscent of the name Simpatbunut (Goris, 1954a: 59) or Sidembunut, which is the name of a village located in Bangli Regency. 2.2.8. The ideology of Kuturan as an offspring (Watĕk) The ideology of Kuturan as a hereditary name or watek kuturan were found in six different inscriptions, including the inscription of Bwahan D. No. 602 on sheet IVa in the sixth line. The term watek kuturan was also found on the Dalung inscription No. 662 on sheet IIIb line 2 and on the Bengkala Inscription No. 636 C in sheet IIIb line 6. Furthermore, the terms of the group of Kuturan and by Kuturan are also found in the Selat A inscription (No. 625 on sheet IVa in line 6 and on sheet IVb in line 1). Furthermore, the term watĕk kuturan is also found in the Bulian A inscription no. 633 on sheet Vb line 6. The term watĕk kuturan literally watĕk means class, or descent, while kuturan is the name of someone named Senpati. If seen in the context of the sentence above, it can be interpreted as a group/descendant of kuturan who have an important position in society. On the Inscription of Bwahan D. No. 602, the mention of watĕk kuturan is intended for the people who will offer flowers at the earth's pantry (holy place) not to be hindered by the descendants of the kuturan. This shows that the watĕk kuturan or the kuturan group has a very strong influence in the village. This can be seen from the activities carried out in the community that must not conflict with the ban policy. If you look at the position inside the kingdom, he occupied a very important


32 position, namely that of a Senāpati whose job it was to assist the king in making policies and who had very strong influence. The Senāpati at that time got the dominion for his breed. This is as stated by Goris, who says that the terms of Senāpati's positions give an indication of the name of a regional power center as well as an economic center for his descendants. So it can be assumed that the ring kuturan, or ring kutur, is a territory that is given to Senāpati Kuturan officials and their descendants. 2.2.9 Ideology of Kuturan as Priest of Shiva and Buddha During Ancient Bali, the Shiva and Buddhist religions developed together; even within the two religions, there was a very harmonious relationship. This is reflected in the expression of the mantra Nama Siwaya Namobuddhaya, which is written in the Landih A and Nongan A inscriptions, which worship Lord Shiva but also worship Buddha (Poeger, 1964:94). Even in a broader context, it shows that the king pays attention to and protects the two religions. Expressions of praise for Shiva and Buddha are also contained in the Sabhaya Inscription (Ekawana, 1983:11– 13). Furthermore, to prove that the king and empress adhered to religion, the statement can be seen in the inscription issued by the king, namely regarding the protection of places of worship during the reign of Sri Mahārāja Hājī Jayapangus. In the inscription issued by the king, it is clear that there is a king's order that monks or religious leaders, both ka siwan and kasogatan, take good care of places of worship or areas of worship that are considered sacred. This decree is possibly a continuation of the king's decree issued by the previous kings. The placement of Ka siwan and kasogatan monks had been done by previous kings (Ardika, 2013: 221). In fact, based on the findings of some of the oldest ancient Balinese inscriptions, it is clearly stated that there was an order from the king to place several monks, such as Shiva Kangsi, Shiva Nirmala, and Shiva Prajña (Suarbhawa et al., 2013: 9). Budiastra said that the king's policies in the Pakirakirān I Jero Makabehan session always mentioned the name of the priest Shiva (ka siwan) first and then other officials, up to the Buddhist priest (kasogatan) (Budiastra, 1977:19–21). As it is known, in the government bureaucracy of Sri Mahārāja Hājī Jayapangus, two Śiwa (Kaśiwan) and Buddhist (Kaśiwan) religious leaders sat in structural positions of government, thus all decisions taken by the king had to go through Kaśiwan and Kasogatan religious leaders to then be ratified as inscriptions. This is supported by Semadi Astra's assertion that the Pakirākirān I Jero Makabéhan council


33 consisted of 16 Shiva religious leaders and 12 Buddhist religious leaders. The entire clergy consisted of 16 Shiva religious leaders and 12 Buddhist leaders, although none of the 16 religious leaders referred to Senpati Kuturan. Another clue regarding the division of Shiva and Buddhist priests and which religion is adhered to by Senāpati Kuturan can be seen in the first group of Pengotan inscriptions on sheet VIIIa line 6 and sheet VIIIb line 1, wherein these inscriptions the position of Senāpati Kuturan is held by Mpu Bodhi Animals. If you listen to the term Mpu Bodhi Satwa, it is synonymous with Buddhist priests. However, the certainty of the religion adhered to by Senāpati Kuturan, whether Priest Shiva or Buddha, needs to be studied more in-depth so that it is clear what religion the official Senāpati Kuturan adheres to. Tracing through manuscript sources is very necessary to get more accurate data about the religion he adheres to. 2.3 The Ideological Implications of Mpu Kuturan for Hindu Communities in Bali 2.3.1 Implications for Balinese Theology The implications for Balinese theology are reflected in various teachings that have been used as a guide until now, one of which is the worship of the tri murti. Mpu Kuturan offered the concept of the tri murti to the Balinese in the midst of the many sects that were developing at that time. Some sources say that Bali has developed nine (9) sects, namely: (1), Śiwa Siddhanta, (2). Pasupata, (3). Bhairawa, (4). Wesnawa, (5). Boddha or Sogata, 6 Brahmins, (7). Rsi, (8). Sora or Surya worshippers, and (9). Ganapatya or devotees of Ganesha (Goris, 1986:2-4), while Ton Jaya (1991:8) says there are six (six) orthodox sect religions developing in Bali, namely: (1) Sambu Religion, (2) Brahma Religion, (3) Indra Religion, (4) Vishnu Religion, (5) Bayu Religion, and (6) Kala Religion. From the statements of the previous researchers, it was not clear what the role of Mpu Kuturan or Senāpati Kuturan was in uniting these sects. However, Subandi wrote that the role of Mpu Kuturan was very important in uniting these sects. Where at that time, King Airlangga, in the year 988 M, sent Senāpati Kuturan to overcome the chaos that occurred in Bali and meet with Kings Udayana Warmadewa and Gunapriya Dharmapatni. On the basis of this assignment, Mpu Kuturan invited all sect leaders to a meeting that was held in Bata Anyar (Samuan Tiga). This meeting reached an agreement with the decisions of Tri Sadaka and Kahyangan Tiga. This


34 meeting finally reached an agreement with the following decisions: (1) The ideology was established in Bali, which meant that it included all sect understandings that were developing in Bali at that time. (2) In each Pakraman Village (customary village), build Kahyangan Tiga, namely: Bale Agung Temple, Puseh Temple, and Dalem Temple. (3) Every household should set up Rong Tiga as a place to worship the Tri Murti. Brahma is on the right mandible, Vishnu is on the left mandible, and in the middle is Shiva, also known as Maha Gum or Bhatara Gum. Apart from being a place to worship Tri Murti, Rong Tiga is also used to worship ancestral spirits. The right room is for worshiping male ancestors (purusa); the left room is for worshiping female ancestors (pradana); and the room in the middle is for worshiping ancestors who have merged with Bhatara Gum (Subandi in Nurkancana, 1997: 139). In several manuscripts, Mpu Kuturan also played a major role in establishing and revitalizing several Kahyangan Jagat temples in Bali, such as Silayukti Temple, Samuan Tiga Temple, Sakenan Temple, Watu Klotok Temple, Batukaru Temple, and Uluwatu Temple. To honor Mpu Kuturan's services, the Balinese people built Pelinggih Menjangan Seluang in every sanggah dadia in Bali. 2.3.2 Implications for the Social Life of Balinese People In the social field, the community of Mpu Kuturan contributed ideas regarding the establishment of customary (traditional) villages in Bali and the Subak system. Implicitly, this group of people was first discovered in Sukawana AI (804 S, or 882 AD) with the title "bhiksu çiwakangçi" "makmit drbya haji . Furthermore, the term banwa (called banwa in Turunyan) was found, and it also mentions drbya haji, which is found in the Trunyan AI inscription (813 S or 822 AD). Furthermore, the terms desa and kraman were first found in the inscription Dausa Pura Bukit Indrakila BI (864 S or 942 AD), which was written with the term karaman. From the information above, it can be understood that Bali entered its historical period at least since the 9th century. Various details about villages in Bali emerge from records in the form of inscriptions. With the above information, it can be surmised that the form of the village at that time was more of a group of forerunners, or descendants of the founders of the settlement, who from the beginning inhabited the location (area) and within certain limits, which were called banwa. There is a group of administrators, or village prajuru, appointed from among the villagers who act as village elders (banwa). With the existence of a name whose


35 position became increasingly clear (since the 10th century) and the role of Senāpați Kuturan (early in the 3rd century), villagers came up with the term karaman, also spelled "prajuru. This shows that there is an increasingly real relationship between the villagers (karaman) and the power over them (the king). The existence of obligations to fulfill the king's interests, such as paying taxes, cleaning roads, making waterways, building rice fields, and so on, shows that there is a relationship (Parimartha, 2003: 9–10). The explanation above shows that Senāpati Kuturan had an important role in organizing and governing the community (karaman) at that time because Senāpati Kuturan was a person entrusted by the king to make arrangements for the community together with other Senāpati who were members of the royal high assembly to fulfill the king's interests. Furthermore, Babad Pasek also clearly states that an orderly village organization (pakraman) arose due to the influence of the leadership of Mpu Kuturan, who built an organizational system based on a temple of worship called Kahyangan Tiga. In the Babad Pasek, it is stated that in Bali, Mpu Kuturan stayed in Silayukti. Once he designed to visit villages, teach, and give advice to the Balinese about silakrama, morals, philosophy, karmapala, punarbhawa especially in terms of building temples and repairing the shrines (pelinggih-pelinggih) of the bhatara (holy spirits/ancestors) in Bali, including: puseh, dalem, and baleagung; penghuluan swi; streets and village rules; and Balinese Banjaran, all of which are written in the papyrus of Widhisastra and Sangharayoga (Sugriwa, Babad Pasek, 1976: 34–35). Furthermore, the term krama thani was first found in the Sukawana AI inscription, and then the word Huma, which means rice fields, was also found in the same inscription. Furthermore, from the Pandak Badung Inscription in 1071 AD, there is also the word Kasuwakan, which later became Kasubakan (Purwita, 1993:42). Factually, it is known that in Bali there was an irrigation system called Kasubakan or Subak in 1071 AD, and this is supported by the Klungkung inscription in 1072 AD. "Erarra in Kasuwakan Swamp... ", which means measuring the rice fields in Kadandan on Yeh Aa in Subak Rawas (Callenfels, 1926, in Purwita, 1993: 41). In the Batuan Village Inscription dated 994 S, 1022 AD, the boundaries of the village name (karaman) are mentioned with the term parimandala. Disclosed ateher parimandala cinaturdesa thani karaman ing baturan. This shows that a village already has boundaries that are easy to understand and therefore also has rules governing the interests of its


36 citizens. Here it is stated that Baturan Village was given by Senāpati Kuturan Mapanji Putuputu in the form of a complex of forests (alas asukat) to make rice fields in that area at the behest or request of the king. This shows that Senāpati Kuturan was the person who was asked to regulate the agricultural system, especially to krama thani in dividing his territory so that it could be used as rice fields (Parimartha, 2003: 9). Moreover, Senāpati Kuturan's very strategic position in the royal assembly made the system of social order very strong, especially in the implementation of agriculture. Furthermore, the lontar manuscripts belonging to the Kalpasastra, which were published in the XII century, stated that Mpu Kuturan came from Majapahit, whose job it was to provide the distribution of the positions of the gods in Bali. One of them is Sang Bhaka Bumi, who resides in Pura Hulun Suwi. The Bhaka Bumi is the one who looks after and supports the rice fields so that they can provide fertility for the farmers. Until now, the characteristics of rice fields in the subak system have always established P inggih Hulunsuwi, which is a place to worship the ruler of agriculture. 2.3.3 Implications for Spatial Planning in Bali Mpu Kuturan's role in managing spatial planning in Bali is found in the concepts of Catur Loka Pala, Tri Kahyangan Tiga (Puseh Temple, Bale Agung Temple, and Dalem Temple), Triangga, Trimandala, Hulu teban , Astabhumi, Asta Kosala-Kosali, Bamakerthi, and Jananpaka. The whole concept is the forerunner of the arrangement of the island of Bali with all its contents, which have implications for the geographical location of Bali and its religious life. Like the concept of Catur Loka introduced by Mpu Kuturan, it is an implication of the unification of sects in Bali, where there were six major sects. The conception of Catur Loka Pala is inseparable from the concept of space, which emphasizes the essence of the balance of the elements of the universe by representing the cardinal directions. Aside from being an architectural concept, in Padma Bhuwana Tattwa, the concept of Catur Loka Pala is mentioned as the concept of worshiping God. 2.4 Research Findings In general, this study found two innovations from previous research that are factually and theoretically as follows.


Click to View FlipBook Version