The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Jurnal Ilmiah Pesantren Vol. 5 No. 1 Tahun 2019

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Mas Qowi, 2019-01-10 00:23:28

Jurnal Ilmiah Pesantren

Jurnal Ilmiah Pesantren Vol. 5 No. 1 Tahun 2019

dan kejujuranya dalam menukilkan riwayat Kemudian Imam Thabari menyebutkan
tersebut, tetapi mayoritas ulama membenarkan beberapa riwayat yang membenarkan kisah
kejujuranya dan mangakui penguasaanya diatas, diantaranya:
terhadap kitab Taurat.
،‫ ثني أبي‬:‫ قال‬،‫حدثني محمد بن سعد‬-
7. Tarjih dengan dalil ishmah nubuwah
Ini adalah metode khusus yang digunakan ،‫ ثني أبي عن أبيه‬:‫ قال‬،‫ ثني عمي‬:‫قال‬
Imam Thabari dalam tafsir, tarjih adalah
mengutamakan pendapat yang paling benar ‫ ﴿وَذَا ال ُن ّو ِن ِإذ‬:‫ قوله‬،‫عن ابن عباس‬
diantara pendapat-pendapat lain, dan tarjih
ini bersifat relatif yang mana ulama memilih .‫ غضب على قومه‬:‫َذّه َ َب مُغ َا ِضب ًا﴾ يقول‬
pendapat yang paling benar menurut ijtihad
dan kecenderunganya masing-masing. Dan :‫ سمعت أبا معاذ يقول‬:‫ قال‬،‫حدثت عن الحسين‬-
yang dimaksud dengan ishmah nubuwah
adalah penjagaan terhadap reputasi kenabian, ﴿ :‫ سمعت ضحاك يقول في قوله‬:‫ قال‬،‫ثنا عبيد‬
ini berdasar pada salah satu dari sifat kenabian
yaitu selalu terjaga dari keburukan, maka Imam .‫ِإذ َذّه َ َب مُغ َا ِضب ًا﴾ أما غضبه فكان على قومه‬
Thabari mengutamakan satu pendapat yang
menurutnya benar di dalam tafsirnya dengan Dan Imam menyimpulkan setelah
dalil menjaga sifat kenabian dari keburukan30. menyebutkan riwayat diatas, bahwa mensifati
Metode yang seperti penjelasan di atas nabi Yunus AS dengan kondisi marah adalah
bisa di lihat di dalam tafsirnya surat Al anbiya tidak benar, sedangkan nabi adalah utusan Allah
ayat 87 : yang diciptakan khusus untuk membimbing
kaumnya agar beriman kepada Allah, maka
‫﴿وَذَا ال ُن ّو ِن ِإذ َذّه َ َب مُغ َا ِضب ًا ف َظَ َ ّن َأن َل ّن‬ Imam menjelaskan bahwa kemarahan yang
dirasakan oleh nabi Yunus adalah hal yang
‫َن ّ ْقدِرَ ع َل َيْهِ ف َن َادَ ٰى ف ِي ال ُ ّظل ُم َا ِت َأن َلّا ِإل َٰه َ ِإ َلّا‬ manusiawi, dimana ia mengalami kesulitan
﴾َ‫َأن َت ُسبْح َان َ َك ِإنِّي ُكن ُت مِ َن ال َ ّظال ِم ِين‬ dalam menghadapi kaumnya, maka kemarahan
disini adalah marah yang sangat wajar untuk
Ayat diatas menceritakan tentang kisah para nabi dan berbeda dengan marahnya
nabi Yunus yang pergi meninggalkan kaumnya manusia lainya32.
dalam keadaan marah karena telah menyakitinya, Itulah cara Imam Thabari mengutamakan
dan kemudianAllah SWT memberinya hukuman kesimpulan dengan dalil melindungi sifat
dengan memberi perintah kepada seekor ikan kenabian dari keburukan yang tidak pantas.
paus untuk menelanya, atas perbuatanya yang
meninggalkan perintah kepada kaumnya tanpa 8. Tarjih dengan dalil ijma’
izin Allah31. Metode tarjih yang kedua ini juga cara
khusus yang digunakan Imam Thabari dalam
30 Husain Ali Alharbi, Manhaj Imam Thabari fi Tarjih, (Amman, Dar mentafsirkan Al Qur’an, setelah menguraikan
Janadiriah, 2007) hal., 121.
31 Thabari, Op. Cit., 93-96. 32 Nasir Makarim As Syairazi, Tafsir Amtsal, (Lebanon, Muassasah
Bi’tsah, 1991), hal., 87.

615

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 5, Nomor 1, Januari-Juni 2019

beragam pendapat para ulama mengenai tafsir :‫ قال‬،‫ ثنا مروان‬:‫ قال‬،‫حدثنا أبو كريب‬-
suatu ayat, Imam mengutarakan pendapatnya
dengan mengutamakan pendapat yang ،‫ عن سعيد بن جبير‬،‫ثنا مسلم الملائي‬
berdasarkan ijma para ulama dan kesepakatanya
mengenai suatu perkara, maka ijma ulama selalu ‫ ﴿وَلَا ي ُبْدِي َن زِ ين َتَه ُ َ ّن ِإ َلّا‬:‫عن ابن عباس‬
menjadi perhatian khusus Imam Thabari dalam
tafsirnya, agar terhindar dari pendapat yang .‫ ا�لكحل والخاتم‬:‫ قال‬، ﴾‫مَا َظهَر َ مِ ْنه َا‬
menurutnya benar tapi menyalahi ijma’, hal
ini merupakan bukti kehati-hatian Imam dalam ‫ ثنا‬:‫ قال‬،‫ ثنا أبو عاصم‬:‫ قال‬،‫حدثنا ابن بشار‬-
menentukan suatu hukum33.
Seperti yang terdapat pada tafsirnya surat ‫ عن‬،‫ عن عبد ال� ل�ه بن مسلم بن هرمز‬،‫سفيان‬
An nur ayat 31: ‫ ﴿وَلَا ي ُبْدِي َن زِين َتَه ُ َ ّن‬:‫سعيد بن جبير في قوله‬

﴾‫﴿وَلَا ي ُبْدِي َن زِين َتَه ُ َ ّن ِإ َلّا مَا َظهَر َ مِ ْنه َا‬ .‫ الوجه وا�لكف‬:‫ قال‬،﴾‫ِإ َلّا مَا َظهَر َ مِ ْنه َا‬

Ayat tersebut berisi larangan terhadap Riwayat diatas menyebutkan arti
wanita, agar tidak menunjukkan perhiasanya yang berbeda-beda, riwayat yang pertama
kecuali apa yang terlihat, dan ulama berbeda mengartikan perhiasan yang terlihat itu adalah
pendapat dalam arti perhiasan, dan Imam sejenis baju, gelang kaki, dan juga gelang
Thabari memaparkan semua pendapat ulama tangan.
tentang arti perhiasan dan memberikan Riwayat kedua menyebutkan arti perhiasan
kesimpulan pendapat di akhir penjelasanya. dengan baju, dan yang ketiga dengan celak mata
Pendapat para ulama dalam riwayat, diantaranya: dan cincin, sedangkan riwayat yang terakhir
mengartikan perhiasan wanita yang terlihat itu
‫ ثنا هارون بن‬:‫ قال‬،‫حدثنا ابن حميد‬- dengan wajah dan juga telapak tangan34.

‫ عن‬،‫ عن أبي إسحاق‬،‫ عن الحجاج‬،‫المغيرة‬

:‫ قال‬،‫ عن ابن مسعود‬،‫أبي الأحوص‬ Dan Imam Thabari membenarkan riwayat
‫ وما‬،‫ فالظاهرة منها الثياب‬،‫الز ينة ز ينتان‬ yang terakhir dengan tafsiran bahwa perhiasan
.‫ الخلخالان والقرطان والسواران‬:‫خفى‬ wanita yang boleh diperlihatkan adalah bagian
tubuhnya yaitu wajah dan telapak tangan,
:‫ قال‬،‫ أخبرنا ابن وهب‬:‫ قال‬،‫حدثني يونس‬- kesimpulan ini berdasar pada ijma’ ulama
‫ عن‬،‫ عن أبي إسحاق الهمداني‬،‫أخبرني الثوري‬ yang menentukankan hukum dan batasan aurat
‫ ﴿وَلَا‬:‫ أنه قال‬،‫ عن عبد ال� ل�ه‬،‫أبي الأحوص‬ wanita saat shalat, dan ini menjadi pacuan
.‫ هي الثياب‬:‫ قال‬،﴾‫ي ُبْدِي َن زِين َتَه ُ َ ّن ِإَلّا مَا َظهَر َمِ ْنه َا‬ batasan aurat untuk wanita sehari-hari35.

33 Alharbiy, Op. Cit., 107. Maka dari sini jelas bahwa seluruh tubuh
wanita merupakan aurat yang harus ditutupi
616 kecuali wajah dan telapak tangan. Meskipun

34 Thabari, Op. Cit., 397-402
35 Thabari, Op. Cit., 400.

ayat diatas memiliki beberapa interpretasi yang Tafsir Thabari memiliki keunggulan
semuanya mempunyai potensi kebenaran, maka dikarenakan ia merupakan buku tafsir pertama
suara ulama lah yang menentukan hukum suatu yang diciptakan dengan penjelasan yang sangat
perkara, maka dalam ayat tersebut diatas ulama lengkap dan detil dengan menggunakan metode
sepakat bahwa harta wanita yang harus ditutupi tahliliy yang komprehensif , bahkan banyak
adalah seluruh tubuhnya terkecuali wajah dan ulama melihat dan berpendapat bahwa metode
telapak tanganya, dan batasan ini adalah batasan yang digunakan oleh mufassir yang datang
aurat wanita dalam mendirikan shalat dan juga setelah Imam Thabari hanya mengikuti gaya dan
dalam kehidupan sehari-hari. metode penafsiran yang digunakan oleh Imam
Thabari, dari penafsiran berdasarkan riwayat
D. KESIMPULAN nabi atau shahabah, syair arab, kisah israiliyat,
Tafsir Thabari selalu menjadi rujukan hukum nahwu dan sharf, dan lain lain.
utama para ulama yang ingin mengkaji tafsir bil
ma’tsur, dan tidak jarang pula menjadi rujukan Dan disini penulis hanya menyebutkan
bagi yang ingin mendalami tafsir bil ra’yi, metode-metode yang sangat umum yang
dan ulama pun mengakui keagungan buku ini digunakan oleh Imam Thabari dalam tafsirnya,
karena tafsiran dan penguraian ayat-ayat yang studi metode tafsir Thabari merupakan studi
sangat jelas dan detil, dan juga keunggulanya penting untuk menjaga kemurnian tafsir
dibanding buku tafsir lainya. alqur’an, maka metode-metode ini merupakan
pedoman dan batasan yang harus dipakai oleh
mufassir atau mujtahid kontemporer agar tidak
kehilangan arah, dan terhindar dari tafsiran yang
berdasarkan pada niat atau pemikiran-pemikiran
yang sesat.

617

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 5, Nomor 1, Januari-Juni 2019

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Muhammad Mahmud. 2006. Ahruf
Sab’ah dan wa Ushulul Qira’at, Cairo:
Dzahabiy, Muhammad Husain. 2000. Tafsir wal Dar Shabuni.
Mufassirun, Beirut: Dar el Yusuf.
Rabi’, Amal Muhammad Abd Rahman. 2001.
Thabari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir. 2010. Israiliyat Fi Tafsir Thabari, Cairo:
Jamiul Bayan An Ta’wil Ay Alqur’an, Majlis A’la.
Cairo: Darussalam.
Alharbi, Husain Ali. 2007. Manhaj Imam
Ad Dimasyqi, Imaduddin Abil Fida’ Ismail Bin Thabari fi Tarjih, Amman: Dar
Umar bin Katsir. 2004. Tafsir Qur’anil Janadiriah.
Adzim, Riyadh: Darussalam.
As Syairazi, Nasir Makarim. 1991. Tafsir
Suyuti, Jalaluddin. 2009. Itqan fi Ulum Qur’an, Amtsal, Lebanon: Muassasah Bi’tsah.
Riyadh: King Fahd Press.

Salam, Muhammad Zaghlul. 1952. Pengaruh
Alqur’an dalam perkembangan Sastra
Arab, Cairo: Dar Ma’arif.

618

PARADIGMA TEKSTUAL ATAU KONTEKSTUAL DALAM PENAFSIRAN
QURAISH SHIHAB;

AYAT-AYAT YANG DISINYALIR MISOGINIS SEBAGAI STUDI KASUS

TEXTUAL OR CONTEXTUAL PARADIGM IN THE INTERPRETATION OF
QURAISH SHIHAB;

THE VERSES THAT ARE INDICATED BY MISOGYNISTS AS CASE
STUDIES

Izzatu Tazkiyah

Dosen Tafsir UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
[email protected]

ABSTRACT
Anyone agrees that the Qur’an has the spirit of egalitarianism. Sex differences do not make
one of them superior to others. Both have equal rights in education, politics, social and economic.
However, the existence of several verses that seem to take sides make the interpreter play a key
role in the meaning. Therefore, prior text involvement that binds the mindset of the interpreter is
aware or not is a decisive aspect. This study aims to uncover the interpretation of verses that are
misogynistic by feminists. The primary source is the interpretation of al-Misbah by Quraish Shihab.
By using textual and contextual approaches, at least this research found several points. First, in
interpreting the verse which is indicated misogynist classical interpreters tend to be literalist, while
modern interpreters are more contextualist. Second, Hawa was created from the same type as the
prophet Adam, not from his ribs. Third, taking care of the household is the responsibility of the wife,
but this obligation does not make women’s rights - in the public and domestic spaces - isolated.

Keyword: Adam-Hawa,Misogynist, interpretation, textual-contestative, and Quraish Shihab

ABSTRAK
Siapa pun mengamini bahwa al-Qur’an memiliki semangat egalitarianisme. Perbedaan
jenis kelamin tidak menjadikan salah satunya lebih unggul dari lainnya. Keduanya memiliki hak
yang setara dalam pendidikan, politik, sosial, dan ekonomi. Namun keberadaan beberapa ayat
yang seolah-olah memihak ini menjadikan penafsir memegang peran kunci pada pemaknaannya.
Karenanya, keterlibatan prior text yang mengikat pola pikir penafsir tersadari atau tidak menjadi
aspek yang cukup menentukan. Penelitian ini bertujuan menyingkap penafsiran ayat-ayat yang

619

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 5, Nomor 1, Januari-Juni 2019

disinyalir misoginis oleh kalangan feminis. Sumber primernya adalah tafsir al-Misbah karya Quraish
Shihab. Dengan menggunakan tekstual dan kontekstual sebagai pendekatan, setidaknya penelitian
ini menemukan beberapa poin. Pertama, Dalam menginterpretasi ayat yang disinyalir misoginis
penafsir klasik cenderung bersikap literalis, sementara penafsir modern lebih kontektualis. Kedua,
Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan nabi Adam bukan dari tulang rusuknya. Ketiga,
mengurus rumahtangga adalah tanggungjawab istri, tetapi kewajiban tersebut tidak menjadikan
hak-hak wanita–dalam ruang publik dan domestik–terpasung.

Kata Kunci: Adam-Hawa, Misoginis, tafsir, tekstual-kontestual dan Quraish Shihab

PENDAHULUAN dan salah satunya adalah persamaan dan
Sejak empat belas abad lampau, Islam
telah menghapuskan diskriminasi berdasarkan keadilan, persamaan antara sesama manusia
kelamin. Islam melihat bahwa segala sesuatu
diciptakanAllah sesuai dengan kodratnya. Begitu baik pria ataupun wanita, dan keadilan dengan
halnya manusia, antara laki-laki dan perempuan memberikan keseimbangan di antara keduanya.1
sebagai individu dan jenis kelamin memiliki Siapa pun menyepakati bahwa pada
kodratnya masing-masing. Dalam al-Qur’an pun dasarnya, al-Qur’an menegaskan konsep
dijelaskan adanya perbedaan anatomi antara laki- keadilan dan kesetaraan status antara laki-
laki dan perempuan.Al-Qur’an bahkan mengakui laki dan perempuan. Sejalan dengan ini
bahwa perbedaan genre tersebut memiliki Ashgar Ali Engineer berpendapat bahwa al-
perannya tersendiri. Kalaupun memang terdapat Qur’an memiliki semangat egalitarianisme.
perbedaan antara pria dan wanita karena fungsi Perbedaan jenis kelamin tidak menjadikan
dan peran yang diemban masing-masing, maka salah satunya lebih unggul dari yang lainnya.
seharusnya perbedaan itu tidak perlu dianggap Keduanya memiliki hak yang setara dalam
yang satu memiliki kelebihan atas yang lain, bidang pendidikan, politik, sosial, dan
melainkan perbedaan tersebut dipahami untuk ekonomi. Keduanya pula berhak memiliki
saling membantu, melindungi, dan melengkapi sekaligus mengelola hartanya masing-masing.
satu sama lain. Keberadaan beberapa ayat yang seolah-olah
Sejarah telah merekam bahwa Islam lahir memihak ini menjadikan penafsir memegang
di tengah masyarakat Jahiliyah. Masa di mana peran kunci pada pemaknaannya, apakah ia
seorang ibu melahirkan bayi wanita kemudian berjiwa emansipatoris atau diskriminatif.2
bayi itu dikubur dalam keadaan hidup-hidup Keterlibatan prior text yang mengikat pola pikir
atau jika hidup ia hanya akan menanggung penafsir—disadari atau tidak—juga menjadi
cercaan, celaan, dan hidup dalam keadaan aspek yang sangat menentukan.3
hina-dina. Momentum ini kemudian menjadi
bukti bahwa Islam menjunjung tinggi harkat 1 Selengkapnya baca Muhammad Baltaji, Makânah al-Mar’ah fî al-
dan martbat wanita, bukan mendiskriminasi Qur’ân al-Karîm wa al-Sunnah al-Shahîhah (Kairo: Dâr al-Salâm,
wanita. Islam mempunyai prinsip-prinsip 2000), Cet. I, 62-67. Baca juga Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi
Bias Gender dalam Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta; LKiS Yogyakarta,
620 1999), Cet. I, 1-2.
2 Budi Munawwar Rachman, “Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu
Gender dan Feminisme di Indonesia” dalam Siti Ruhaini Dzuhayatin,
Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 34-35.
3 Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’ān Klasik dan
Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 3.

PARADIGMA TEKSTUAL ATAU KONTEKSTUAL DALAM PENAFSIRAN QURAISH SHIHAB; AYAT-AYAT YANG DISINYALIR MISOGINIS
SEBAGAI STUDI KASUS
(Izzatu Tazkiyah)

Paradoks yang terdapat di antara semangat misoginis (menurut kalangan feminis), tentu

normatif al-Qur’an yang egaliter dan penafsiran membutuhkan ekstra kehati-hatian dalam

para elit agama periode klasik terhadap ayat- menafsirkannya. Upaya ini dilakukan agar

ayat yang terkesan diskriminatif inilah yang interpretasi yang dihasilkan tersebut lebih

menjadi lahan basah para mufasir feminis. komprehensif sehingga tidak terjebak ke dalam

Dengan analisis gender, mereka mengkritisi pembacaan teks yang tekesan rigid.

penafsiran ayat-ayat yang berkenaan dengan Berdasarkan hal di atas, penulis akan

perempuan yang selama ini menurutnya melacak sejauhmana penafsiran Quraish

diinterpretasikan secara sepihak. Beberapa ayat Shihab menjawab klaim kalangan feminisme

yang secara tekstual mengunggulkan laki-laki yang menganggap keberadaan “ayat-ayat

di atas perempuan, seharusnya dipahami beserta yang disinyalir misoginis.” Pemilihan tafsir

konteksnya. Karena itu, ia tidak bisa dipaksakan Misbah sebagai objek kajian dengan melihat

pada konteks yang berbeda dengan realitas beberapa pertimbangan. Pertama, bahwa tafsir

sosial yang berbeda pula. ini dianggap mampu menjembatani titik temu

Oleh karena itu, untuk menghindari antara tafsir konvensional dan tafsir modern.

dari kesalahpahaman dalam menafsirkan teks Kedua, tafsir karya ulama nusantara yang dinilai

yang disinyalir mengarah kepada misoginis, cukup reprensentatif. Ketiga, tafsir Misbah

maka perlu kiranya mereinterpretasi teks sebagai salah satu tafsir yang bercorak sosial

(red: al-Qur’an atau hadits). M. Quraish kemasyarakatan agaknya mampu menjawab

Shihab menegaskan bahwa menafsirkan al- kegelisahan penulis. Beberapa pertimbangan

Qur’an sebagaimana tafsiran ulama salaf tidak dasar ini menjadi pijakan penulis, untuk

sepenuhnya benar jika tidak didasarkan pada kemudian pembaca mampu memetakannya.

dinamika pemahaman yang kian berkembang.

Di sisi lain, menafsirkannya sejalan dengan

perkembangan zaman dengan menghapus ajaran Tekstual dan Kontekstual; Sebuah Pendekatan

salaf juga berpotensi negatif.4 Oleh karenanya dalam Mereinterpretasi al-Qur’an

perlu pemaduan gagasan pemikiran ulama Al-Qur’an adalah sebuah teks. Seperti teks

klasik ataupun kontemporer. Gagasan tersebut lainnya yang juga membutuhkan penafsiran.

kemudian diterima secara selektif dengan Proses penafsiran tidak pernah usai, sebagai

batasan tertentu sehingga tidak terlampau jauh buktinya ribuan bahkan jutaan karya tafsir terus

dari hakikat yang sebenarnya. bermunculan dari era klasik hingga kini. Hal

Dengan demikian, interpretasi di sini ini lantaran para sarjana muslim menganggap

mempunyai peranan yang cukup signifikan al-Qur’an sebagai teks yang kompleks, semakin

terutama dalam menyelesaikan problem umat digalih maka semakin menghadirkan makna-

yang senantiasa dinamis. Bagaimana teks dapat makna baru. Hal ini sangat nampak ketika para

dipahami dengan pemahaman yang selaras sarjana muslim turut serta mengembangkan

dengan visi dan misinya. Terlebih dalam teori-teori dan menawarkan cara-cara baru

menjawab ayat-ayat yang disinyalir mengarah dalam memahami al-Qur’an.

4 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung; Mizan, 2009), 141.

621

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 5, Nomor 1, Januari-Juni 2019

Di antara pendekatan baru yang ramai dan tidak menutup kemungkinan untuk
diperbincangkan di kalangan muslim progresif menghadirkan penafsiran lainnya, sambil
dewasa ini adalah pendekatan tekstual dan mempertahankan makna berpijak riwayat.7
kontekstual. Pendekatan tekstual yaitu sebuah Artinya bahwa kalangan ini masih memiliki
pendekatan studi al-Qur’an yang menjadikan kemungkinan memproduksi makna secara
lafal-lafal al-Qur’an sebagai obyek. Pendekatan longgar. Berbeda dengan kalangan kedua yang
tersebut menekankan analisisnya pada sisi memahami makna literal secara rigid tanpa
kebahasaan dalam memahami al-Qur’an. Dalam berupaya mempertimbangkan kompleksitas
prakteknya, pendekatan ini dilakukan dengan maknanya. Pada masa modern ini, kelompok
memberikan perhatian pada ketelitian redaksi kedua sering dihubungkan dengan aliran
dan bingkai teks ayat-ayat al-Qur’an.5 Dengan salafisme kontemporer.8
demikian, jika melihat model pendekatan ini Sementara pendekatan kontekstual
sejatinya sudah banyak dipergunakan oleh mendasarkan pada pandangan ontologis bahwa
ulama-ulama salaf dalam menafsirkan al- al-Qur’an adalah kitab suci yang relevan di
Qur’an yaitu dengan cara menukil hadits atau setiap masa dan tempat. Para ulama modernis
pendapat ulama yang berkaitan dengan makna mencoba mengaitkan al-Qur’an dengan masalah
lafal yang sedang dikaji. dan kebutuhan modern. Hal ini pada akhirnya
Dalam pemaknaan yang sederhana, menuntut pemaknaan atau penafsiran baru atas
pendekatan ini dapat diasosiasikan dengan beberapa teks al-Qur’an dengan menafsirkan
tafsir bi al-ma’tsur. Teks yang dihadapi al-Qur’an berdasarkan pada pengalaman, nilai,
kemudian ditafsirkan sendiri dengan teks gagasan dan norma modern. Gagasan tersebut
baik dari al-Qur’an atau hadits.6 Penafsiran tentu sangat berbeda dengan pemahaman
tekstual menekankan pada pemahaman teks, penafsir tradisional (red: tekstual).
dan kurang mengaitkan dengan situasi lahimya Secara etimologi istilah kontekstual
teks, maupun dengan sosio-kultural yang berasal dari kata benda bahasa Inggris yaitu
menyertainya. Dengan demikian kesan yang context yang diindonesiakan dengan kata
ditimbulkannya mengarah pada pemahaman ”konteks.” Dalam Kamus Besar Bahasa
yang rigid dan sempit, sehingga sulit untuk Indonesia kata ini setidaknya memiliki dua
dikontekskan dengan masa sekarang. Pada arti. Pertama, bagian suatu uraian atau kalimat
akhirnya pembacaan tersebut akan sulit juga yang dapat mendukung atau menambah
diterima dan diterapkan di tengah masyarakat. kejelasan makna dan kedua situasi yang ada
Abdullah Saeed dalam hal ini, memetakan hubungannya dengan suatu kejadian.9 Dari
kalangan tektualis ke dalam dua tipologi. sini dapat dipahami bahwa kontekstual adalah
Pertama, kalangan tekstualis lunak (soft menarik suatu bagian atau situasi yang memiliki
textuliasm) dan kedua tekstualis keras (hard keterkaitan dengan suatu kata atau kalimat
textualis). Kalangan pertama mendasarkan sehingga dapat menambah dan mendukung
makna literal sebagai basis makna teksnya makna kata atau kalimat tersebut.

5 M.Fauzan .Zenrif, Sintesis paradigm Studi Al-Qur’an, (Malang: 7 Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in the Twenty-First Century: A
UIN- Malain Press, 2008), hlm. 51. Contextualis Approach (New York: Routledge, 2014), 36
6 Suryadilaga, M.Alfatih dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta:Teras, 8 Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in the Twenty-First Century,
2005), hlm 84. 36-37.
9 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 485.
622

PARADIGMA TEKSTUAL ATAU KONTEKSTUAL DALAM PENAFSIRAN QURAISH SHIHAB; AYAT-AYAT YANG DISINYALIR MISOGINIS
SEBAGAI STUDI KASUS
(Izzatu Tazkiyah)

Secara terminologi Noeng Muhadjir ada dalam kandungan al-Qur’an (ma fi al-

menegaskan bahwa kata kontekstual memiliki Qur’an) dan kondisi sosio-historis, kultural

tiga pengertian: Pertama, upaya pemaknaan yang mengitarinya (ma ḫaula al-Qur’an).11

dalam rangka mengantisipasi persoalan dewasa Kalangan kontekstualis cenderung melihat

ini yang umumnya mendesak, sehingga arti al-Qur’an sebagai way of life yang semestinya

kontekstual identik dengan situasional. Kedua, diimplementasikan secara berbeda seiring

pemaknaan yang melihat keterkaitan masa dengan kebutuhan masyarakat modern,

lalu, masa kini, dan masa mendatang atau selama tidak melanggar hal-hal fundamenatlis

memaknai kata dari segi historis, fungsional, dalam Islam. Para penganut pendekatan

serta prediksinya yang dianggap relevan. ini beranggapan agar para ulama tidak saja

Ketiga, mendudukkan keterkaitan antara teks mempertimbangkan kondisi sosial, politik,

al Qur’an dan terapannya.10 kultural disaat wahyu diturunkan namun

Dapat dipahami bahwa pendekatan juga menariknya dengan konteks kekinian.12

kontekstual berarti pendekatan yang semata- Karenanya, kaidah yang mereka sandarkan

mata tidak hanya melihat keumuman lafadz adalah al-‘ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi-khusus

tetapi lebih dipengaruhi latar belakang turunnya al-sabab, tafsir dengan pendekatan ini secara

teks. Teks harus dipahami sesuai dengan sosio- teknisnya popular disebut dengan tafsir bi al-

kultur masyarakat dimana teks itu lahir. Hal ini ra’yi.

karena seringkali ditemukan kekeliruan dalam P e n d e k a t a n m o d e l i n i , b a n y a k

memahmi sebuah teks, terlebih ketika teks dipergunakan oleh ulama-ulama kontemporer.

dijauhkan dengan konteksnya. Mereka menilai bahwa interprtasi al-Qur’an

Di antara faktor yang diperlukan dalam dengan pendekatan kontekstual sangat

menafsirkan al-Qur’an secara kontekstual diperlukan agar rahasia isi kandungan al-Qur’an

adalah asbabun-nuzul suatu ayat. Aspek sosio dapat terkuak dari kesembunyiannya. Hal ini

historis (asbabun- nuzul) menjadi sangat agar al-Qur’an sebagai moral umat manusia

urgen karena dapat memberikan pengarahan diharapkan selalu aktual dan kontekstual dengan

pada implikasinya. Selain itu, melalui aspek perkembangan zamannya. Al-Qur’an tidak akan

ini menjadi petunjuk untuk menafsirkan dan kehilangan momentumnya dalam merespon

memungkinkan penarikan ayat tersebut ke realitas sejarah umat manusia kapan dan

dalam situasi sosial yang berbeda. Karena dimanapun, jika dibedah secara kontekstual.13

itu, aspek sosio-historis suatu ayat menjadi Dengan demikian, dapat disimpulkan

persyaratan prinsipil dalam menafsirkan al- secara sederhana bahwa tafsir kontekstual

Qur’an, terutama untuk menerapkan ke dalam adalah sebuah paradigma berfikir baik cara,

pelbagai perbedaan ruang dan waktu manusia. metode maupun pendekatan yang berorientasi

Tanpanya usaha memahami al-Qur’an secara pada konteks kesejarahan. Istilah “kontekstual”

komprehensif menjadi tidak mungkin dicapai. secara umum berarti kecenderungan suatu

Meminjam istilah Amin al-Khuli dalam 11 Amin al-Khuly, al-Tafsir Ma’âlim Hayâtuh/ Tafsir manhajuhu al-
memahami penafsiran kontekstual yang Yaum (Kairo: Maktabah Usrah Hai’ah ‘Ammah Mashriyah, 2003),
38-39.
10 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: 12 Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in the Twenty-First Century, 43.
Rake Sarasin, 2000), Edisi IV, hlm. 263-264. 13 U. Safrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Dalam
al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 147.

623

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 5, Nomor 1, Januari-Juni 2019

aliran atau pandangan yang mengacu pada menyelesaikan program doktoral dengan
dimensi konteks yang tidak hanya bertumpu
pada makna teks secara lahiriyah (literal), tepat, namun ia juga berhasil meraih predikat
tetapi juga melibatkan dimensi sosio-historis
teks dan keterlibatan subjektif penafsir dalam summa cum laude.17 Dengan pencapaiannya
penafsirannya.
hingga akhirnya beliau dinobatkan sebagai
Dinamika Intelektual M. Quraish Shihab
Quraish Shihab dilahirkan di Rappang, orang pertama di Asia Tenggara yang meraih
Sulawesi-Selatan, tepatnya tanggal 16 Februari
1944.14 Ia adalah putra dari Abdurrahman gelar doctor dalam ilmu-ilmu al-Qur’an di
Shihab, seorang guru besar dalam bidang tafsir
yang pernah menjadi rektor IAIN Alauddin- Universitas tertua di dunia itu.
Makassar serta tercatat sebagai salah satu Pada tahun 1984 M, Quraish kembali
pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) di
Ujungpandang. Selain mengenyam pendidikan ke tanah air dan mengajarkan ilmunya di
dasar di Ujungpandang Quraish kecil juga Fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana IAIN
dididik ayahnya untuk mempelajari al-Qur’an.15 Syarif Hidayatullah. Tak hanya itu, kesibukan
di luar kampus pun memadati aktivitasnya,
Pada tahun 1958, Quraish berangkat ke beberapa jabatan penting diantaranya; Ketua
Kairo-Mesir- untuk ngangsu kaweruh dengan MUI pusat (sejak 1984 M.), anggota Lajnah
para ulama Azhar, berkat bantuan beasiswa Pentashih al-Qur’an Departemen Agama (1989
yang diberikan oleh Pemerintah Sulawesi M.), anggota Badan Pertimbangan Pendidikan
Selatan. Sesampainya di Mesir ia tidak langsung Nasional (1989 M.), Mentri Agama Kabinet
duduk dibangku kuliah karena ijazahnya hanya Pembangunan VIII (1998 M.).18 pada tahun
diterima di kelas II Tsanawiyah, Sembilan tahun 1999, saat itu kabinet Presiden Abdurrahman
kemudian, tahun 1967 M. pendidikan strata satu Wahid, ia diangkat sebagai Duta Besar Luar
diselesaikan di Universitas al-Azhar fakultas
Ushuluddin Jurusan Tafsir-Hadits. Tiga tahun Biasa dan Berkuasa penuh untuk Mesir.
kemudian, 1969, ia berhasil menyabet gelar Meski disibukkan dengan pelbagai
magister di universitas yang sama.16
aktivitas akademik maupun non akademik,
Setelah menyelesaikan pascasarjananya, Shihab masih menyempatkan dirinya untuk
Quraish pulang ke Indonesia, namun tak lama menuangkan ide-ide briliannya ke dalam
kemudian ia kembali ke Mesir dan menepuh tulisan, baik di media massa maupun di buku.
program doktoralnya. Hanya dua tahun, 1982 M, Wajar kemudian bila Shihab dianggap sebagai
waktu yang dibutuhkannya untuk menyelesaikan penulis yang produktif karena lebih dari lima
pendidikan strata tiga itu. Tak hanya mampu belas buku telah mewujud di tengah-tengah
masyarakat Indonesia di antaranya; Tafsir
14 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran al-Manar: Keistimewaan dan kelemahannya
Wahyu, 6. (1984), Filsafat Hukum Islam (1987), Mahkota
15 Saiful Amir Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an (Yogyakarta; Tuntutan Ilahi; Tafsir Surah al-Baqarah (1988),
Pustaka Insan Madani, 2008), 236. Membumikan Al-Qur’an; Funsi dan Peran
16 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992),
Wahyu, 6-7. Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan
(1994) keduanya berasal dari kumpulan
624 makalah dan ceramah, Studi Kritis al-Manar

(1994), dan sebagainya.19

17 Saiful Amir Ghofur, Profil Para Mufassir, 237.
18 M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam al-Qur’an, 7.
19 Howard M. Fredelspiel, kajian al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud
Yunus hingga Quraish Shihab, alih bahasa Tajul Arifin (Bandung;

PARADIGMA TEKSTUAL ATAU KONTEKSTUAL DALAM PENAFSIRAN QURAISH SHIHAB; AYAT-AYAT YANG DISINYALIR MISOGINIS
SEBAGAI STUDI KASUS
(Izzatu Tazkiyah)

Di antara sekian banyak karya

Shihab, tafsir al-Misbah merupakan karya Menulusuri Makna dan Historisitas Terma

monumentalnya. Sebab melalui karya ini Misoginis

namanya kian tersohor di kalangan intelek Misoginis berasal dari bahasa Inggris

maupun masyarakat pada umumnya. Ia pun (misoginy) yang berarti hater of women, atau

dikenal sebagai salah seorang mufasir Indonesia kebencian terhadap perempuan.22 Sedangkan

karena kepiawaiannya mendalami teks al- menurut Kamus Ilmiah Populer menyebutkan,

Qur’an bahkan ia juga telah mampu menulis terdapat tiga ungkapan berkaitan dengan

tafsir al-Qur’an secara utuh 30 juz dengan rinci istilah tersebut di antaranya; pertama, misogin

dan mendetail hingga 15 volum. berarti benci akan perempuan, kedua misogini

Seperti tafsir kalsik pada umumnya, bermakna perasaan benci pada perempuan dan

tafsir al-Misbah juga diawali dengan pengantar ketiga misoginis adalah laki-laki yang benci

yang di dalamnya mencakup; nama surah kepada perempuan.23 Secara terminologis

dan nama lain surah, jumlah ayat, sesekali istilah ini juga digunakan untuk doktrin-

Quraish juga menyertakan penjelasan tentang doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara

perbedaan perhitungan–jumlah ayat–. Tak kasat mata memarginalkan derajat perempuan.

hanya itu, ia bahkan menyebutkan tempat turun Sementara dalam Kamus Besar Bahasa

surah, makiyyah atau madaniyyah disertai Indonesia diartikan orang yang membenci

pengecualian ayat-ayat yang tidak termasuk wanita.24 Dari definisi-definisi tersebut dapat

dalam kategori, nomor surat berdasarkan ditarik sebuah kesimpulan bahwa ayat-ayat

urutan mushaf dan urutan turun, tema pokok, yang disinyalir misoginis berarti ayat-ayat

keterkaitan-munasabah-antara surah sebelum keberpihakan laki-laki terhadap perempuan.

dengan sesudahnya dan sebab turunya ayat.20 Dengan kata lain, ayat-ayat misoginis adalah

Selesai memberi pengantar, Shihab ayat-ayat yang mema ndang the second being

kemudian menafsirkan dengan menganalisis perempuan.

secara kronologis dan menguraikan berbagai Sebelum jauh melacak akar sejarah

aspek yang terkandung dalam ayat-ayat al- munculnya terma misoginis, penulis akan

Qur’an sesuai dengan urutan bacaan mushaf. terlebih dahulu menelisik laku pemikir pra Islam

Hal itu dilakukan untuk membuktikan bahwa dalam memandang kedudukan perempuan.

ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Qur’an Sejarah merekam bahwa sebelum al-Qur’an

mempunyai keserasian yang sempurna dan diturunkan ke muka bumi ini terdapat sekian

merupakan satu kesatuan yang tak dapat banyak peradaban besar yang mengitari Jazirah

dipisah-pisahkan.21 Dengan demikian akan lebih Arab seperti; Yunani, Romawi, India, dan Cina.

menghasilkan pemahaman utuh dan tentunya Selain itu dunia juga sudah mengenal agama-

akan menghindarkan diri dari kesalah-pahaman agama di antaranya; Yahudi, Nasrani, Buda,

dalam menafsirkan firman Tuhan. Zoroaster, dan sebagainya.

Mizan, 1996), 296-298. 22 Jhon Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta;
20 Saiful Amir Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, 239-240. Gramedia, 1986), 382.
21 Saiful Amir Ghofur, Profil Para Mufassir alQur’an, 241. 23 Tim Pusaka Agung, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya; Pustaka
Agung Harapan, t.t), 417.
24 Lihat, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai
Pustaka, 1996) Cet. VIII, 660.

625

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 5, Nomor 1, Januari-Juni 2019

Sejenak napak tilas kedudukan bahwa “racun, ular, dan api tidak lebih jahat
perempuan di Yunani, dalam masyarakat Yunani daripada wanita”.27 Sementara itu dalam petuah
yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran Cina kuno diajarkan”Anda boleh mendengar
filsafatnya, tidak banyak menyinggung tentang pembicaraan wanita tetapi sama sekali jangan
hak dan kewajiban wanita. Di kalangan elit, mempercayai kebenarannya”.28
wanita ditempatkan (disekap) dalam istana-
istana. Sementara di kalangan bawah nasib Lain halnya dengan ajaran Yahudi,
wanita sangat menyedihkan, karena mereka martabat wanita sama dengan pembantu.
diperjual-belikan. Sedangkan mereka yang Ayah berhak menjual anak perempuan kalau
berumah-tangga sepenuhnya berada di bawah ia tidak mempunyai saudara laki-laki, ajaran
kekuasaan suaminya, mereka tidak memiliki mereka menganggap wanita sebagai sumber
hak-hak sipil, bahkan hak warispun tidak ada, laknat karena dialah yang menyebabkan Adam
inilah gambaran kehidupan perempuan di era terusir dari surga. Sementara dalam pandangan
Yunani.25 pemuka/pengamat Nasrani ditemukan bahwa
wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan
Beda halnya dalam peradaban Romawi, manusia. Pada abad ke-5 M. diselenggarakan
wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasan suatu konsili yang memperbincangkan apakah
ayahnya. Setelah menikah, kekuasaan tersebut wanita mempunyai ruh atau tidak? Akhirnya
pindah ke tangan sang suami. Kekuasaan ini ditemukan sebuah kesimpulan bahwa wanita
mencakup kewenangan menjual, mengusir, tidak mempunyai ruh yang suci. Bahkan pada
menganiaya, dan membunuh. Keadaan tersebut abad ke-6 M. diselenggarakan suatu pertemuan
terus berlangsung hingga abad ke-4 Masehi. untuk membahas apakah wanita manusia atau
Meski pada zaman Constantine terjadi sedikit bukan manusia?
perubahan yaitu dengan diundangkannya hak
pemilikan terbatas bagi wanita, namun dengan Dari pembahasan ini disimpulkan
catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui bahwa wanita adalah manusia yang diciptakan
oleh keluarga (red; suami atau ayah).26 semata untuk melayani laki-laki. Sepanjang
abad pertengahan nasib wanita tetap sangat
Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih memprihatinkan. Bahkan hingga tahun 1805
baik dari peradaban-peradaban Yunani dan perundang-undangan Inggirs mengakui hak
Romawi. Hak hidup seorang wanita yang suami untuk menjual istrinya dan sampai tahun
bersuami harus berakhir pada saat kematian 1882 wanita Inggris belum lagi memiliki hak
suaminya. Istri harus dibakar hidup-hidup pemilikan harta benda secara penuh, dan hak
pada saat mayat suaminya dibakar. Hal puruk menuntut ke pengadilan.29
yang menimpa perempuan ini baru berakhir
pada abad ke-17 M. wanita pada masayarakat Hemat penulis, hal ini mengguratkan
Hindu ketika itu sering dijadikan sesajen bahwa wanita mempunyai sejarah kelam
bagi apa yang mereka namakan dewa-dewa. di masa silam, terbukti eksistensi mereka
Petuah sejarah kuno mereka mengatakan dianggap namun hak-hak mereka dirampas.
Gambaran di atas memberi kesimpulan bahwa
25 M. Qusraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 296.
26 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 297. 27 Muhammad Imarah, Tahrir al-Mar’ah baina al-Islam wa al-Gharb
(Kairo; Dar al-Kutub Mishriyah, 2009), 53.
626 28 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 297.
29 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 298.

PARADIGMA TEKSTUAL ATAU KONTEKSTUAL DALAM PENAFSIRAN QURAISH SHIHAB; AYAT-AYAT YANG DISINYALIR MISOGINIS
SEBAGAI STUDI KASUS
(Izzatu Tazkiyah)

sejatinya laku misoginis sudah mewujud jauh Adam,32 hal inilah yang menjadikan penafsiran

sebelum al-Qur’an diturunkan. Lebih lanjut mereka cenderung mengsuperiorkan laki-laki

Nasarudin Umar menegaskan bahwa budaya ketimbang perempuan.

memarginalkan perempuan inilah dikonstruksi Menurut Nasarudin Umar, secara

oleh mitos. Mulai dari mitos tulang rusuk teologis ada empat hal yang berpotensi menjadi

asal-usul kejadian perempuan sampai mitos- faktor terbentuknya anggapan stereotip terhadap

mitos disekitar menstruasi, dimana mitos- perempuan di antaranya; pertama tujuan

mitos tersebut cenderung lebih mengesankan penciptaan perempuan untuk melengkapi hasrat

perempuan sebagai the second creation and dan keinginan Adam di surga. Kedua, tempat

the second sex.30 Pengaruh mitos-mitos ini penciptaan manusia pertama di surga yang ada

kemudian mengendap di bawah alam sadar di alam gaib sehingga melahirkan berbagai

perempuan sekian lama sehingga pada akhirnya mitos yang merendahkan perempuan. Ketiga,

perempuan menerima kenyataan dirinya sebagai asal-usul kejadian perempuan berasal dari tulang

subordinasi laki-laki dan tidak layak sejajar rusuk Adam. Keempat, penyebab jatuhnya

dengannya. Adam dari surga ke bumi dalam drama kosmik

Mitos-mitos perempuan memang agak adalah godaan perempuan, cerita ini melahirkan

rumit dipecahkan karena bersinggungan dengan konsep dosa warisan yang dibebankan kepada

persoalan agama. Meminjam stetemen Zaitunah perempuan.33 Persoalan-persoalan teologis

Subhan jika suatu mitos dituangkan kedalam tersebut yang diduga melahirkan pandangan

agama maka pengaruhnya akan bertambah kuat, misoginis yang merugikan perempuan.

karena kitab suci bagi pemeluknya bukan lagi Statement bahwa adanya misoginis

mitos melainkan bersumber dari Tuhan.31 Pada dalam sebuah teks (menurut kalangan feminis)

akhirnya sejumlah mitos pun tidak dapat ditolak sejatinya lebih kepada ketidakpuasan mereka

karena sudah menjadi bagian dari kepercayaan terhadap penafsiran yang seolah menyudutkan

dalam suatu agama. Pengaruh cerita-cerita kedudukan perempuan. Karena itu, menurut

dalam berbagai kitab suci meningkat statusnya penulis sendiri tidak ada teks yang mengarah

menjadi sebuah keyakinan. kepada misoginis karena yang ada hanyalah

Adapun di dunia Timur ‘term misoginis’ pembacaan feminis sendiri terhadap teks yang

mewujud di tengah masyarakat muslim yang seolah-olah memarginalkan perempuan.

diprakarsai oleh Qasim Amin, Fetima Mernissi,

Nawal Sa’dawi, Rif’at Tahtawi dan lain-lain. Reinterpretasi Teks terhadap Ayat-ayat

Tokoh-tokoh feminis muslim inilah yang yang disinyalir Misoginis; Asal kejadian

mulai mengenalkan terma misoginis, hingga Perempuan sebagai Studi Kasus

menjalar pada teks suci, menurut mereka Al-Qur’an adalah rahmat bagi semesta

penyebab utama penafsiran teks Tuhan lebih alam diturunkan ke muka bumi dengan misi

berpihak pada laki-laki tidak lain karena sejak membawa pencerahan. Menurut Quraish Shihab

dahulu kala para mufasir didominasi oleh kaum 32 Selengkapnya baca Jamal al-Bana, al-Mar’ah al-Muslimah baina
Tahrir al-Qur’an wa Taqyîd al-Fuqahâ’, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 12-
30 Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an 14. Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in the Twenty –First Century,
(Jakarta; Paramadina, 1999) Cet. I, 88. 71-72.
31 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir 33 Nasarudin Umar, Teologi Jender Antara Mitos dan Kitab Suci,
al-Qur’an, 17-18. Cet. I, 154-155.

627

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 5, Nomor 1, Januari-Juni 2019

dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an yang As. yaitu Hawa.36 Interpretasi tersebut berbeda
disinyalir berpihak laki-laki, perlu ditelaah dengan ulama modern seperti Muhammad
lebih lanjut sebab dugaan kaum feminis tersebut Abduh dan al-Qasimi yang memaknai kata
berarti berseberangan dengan misi di mana al- “nafs” dengan arti “jenis”,37 sehingga menurut
Qur’an diturunkan, yaitu mewujudkan keadilan Shihab ayat ini akan sama dengan penjelasan
dan persamaan di dalam masyarkat.34 Qs. al-Hujurat:13.38

Di antara ayat al-Qur’an yang menjadi Menyikapi dari perbedaan penafsiran
objek kaum feminis adalah Qs. al-Nisa (4): 1 tersebut, Shihab melihat bahwa para penafsir
yaitu ayat tentang asal kejadian perempuan. klasik cenderung memahami istri Adam (red;
Hawa) diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan
ٍ‫ي َاا ّيُه َاالن ّا ُس ا َت ّقُوارَ َب ّكُ ْم الَ ّذِي خَل َقَكُ ْم مِ ْن ن َ ْف ٍس وَا ِحدَة‬ ini kemudian melahirkan pra konsepsi negatif
terhadap perempuan, dengan menyatakan
‫وَخَل َ َق مِ ْنه َا زَ ْو َجهَاوَب َ َ ّث مِ ْنه ُمَا رِجَالًا َكث ِيْرا ً وَن ِسَاء ًا‬ bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki,
tanpa lelaki perempuan tidak mungkin ada.39
Artinya; Hai sekalian manusia, Senada dengan stetemen ini al-Qurtubi juga
bertakwalah kepada Tuhanmu yang menegaskan bahwa istri Adam itu diciptakan
telah menciptakan kamu dari nafs dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang
yang satu (sama), dan darinya Allah bengkok dan karena itu wanita bersifat “auja”
menciptakan pasangannya dan dari (bengkok atau tidak lurus).40 Selain itu, Shihab
keduanya Allah memperkembang- menegaskan bahwa pernyataan ini boleh jadi
biakkan lelaki dan perempuan yang bersumber pada hadits yang memaparkan:
banyak.
Sebagaimana dipaparkan Quraish Saling pesan memesanlah untuk berbuat
baik kepada perempuan, karena mereka
Shihab dalam tafsirnya bahwa mayoritas diciptakan dari tulang rusuk yang
mufasir klasik memahami kata “nafs wahidah” bengkok. (HR. At-Tirmidzi dari Abu
dengan makna Adam As.35 Sejalan dengan ini, Hurairah).
Shihab mengutip penafsiran al-Tarbasi–salah
seorang ulama tafsir bermadzhab Syi’ah (abad 36 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 299-300.
ke-6 H.)–yang mengemukakan demikian dalam 37 Dalam hal ini Muhammad Abduh menafsirkan kata “nafs wahidah”
tafsirnya bahwa kebanyakan ulama tafsir sepakat dengan beragam makna selengkapnya baca, Tafsir al-Manâr (Kairo:
dalam mengartikan kata tersebut dengan Adam. Dar al-Manâr, 1947), Cet. II, Jilid IV, 323-325.
Kalangan ini menganggap bahwa nafs adalah 38 Qs. Al-Hujurat: 13 ini mengurai tentang penciptaan manusia dari
Adam, juga memahami kata “zaujaha” makna jenis yang sama yaitu ayah dan ibu pertemuan antara sel telur dengan
harfiahnya “pasangannya” kepada istri Adam sperma. Hanya saja penekanan pada ayat tersebut lebih pada persamaan
hakikat kemanusian.
34 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 297. 39 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 300.
35 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2008), 40 Baca juga Abu ’Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-
358. Bandingkan dengan mufasir klasik seperti Abu Ja’far Muhammad Qurttubi, Jâmi’li Ahkâm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah,
bin Jarir al-Tabari, Jâmi’al-Bayân ‘an Ta’wîl Ay al-Qur’an (Kairo: Dâr 1935), Cet. II, Jilid V, 2.
Hijr, 2001), Cet. I, Jilid VI, 339. Imad al-Din Abi al-Fida’ Isma’il bin
Kathir al-Dimisqi, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azim (Kairo: Maktabah Aulâd
al-Shaikh li al-Turâth, 2000), Cet. 1, Jilid III, 334.

628

PARADIGMA TEKSTUAL ATAU KONTEKSTUAL DALAM PENAFSIRAN QURAISH SHIHAB; AYAT-AYAT YANG DISINYALIR MISOGINIS
SEBAGAI STUDI KASUS
(Izzatu Tazkiyah)

Dalam hal ini Shihab mengkritisi atau unsur penciptaannya berbeda dengan

ulama klasik yang cenderung literalis karena unsur lelaki. Senada dengan ini, Shihab sepakat

semestinya hadits di atas dipahami secara dengan Rashid Ridla yang berkesimpulan

metaforis sebagaimana ulama kontemporer, bahwa ide ini muncul dari ide yang termaktub

bahkan sebagian kalangan menolak kebenaran dalam Perjanjian Lama (kejadian II:21-22)

hadits tersebut. Riwayat-riwayat tersebut “ketika Adam tidur terlelap, maka diambil

banyak dijumpai dalam tafsir-tafsir klasik dan oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu

kitab sejarah Islam; Ibn Hisyam, al-Thabari dan ditutupkannya pula tempat itu dengan daging.

sebagainya.41 Untuk menguatkan pendapatnya, Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari

Shihab meminjam stetemen Rashid Ridha Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan.”45

dalam tafsir al-Manarnya bahwa jika saja tidak Dari stetemen ini, Rasid Ridla nampaknya ingin

ada cerita penciptaan perempuan di dalam menunjukkan bahwa mayoritas ulama klasik

al-Kitab, maka tidak akan pernah ada cerita sedikit banyak terpengaruh oleh budaya luar

semacam itu di dalam dunia intelektual Islam.42 Islam, yang penyebarannya melalui Israiliyyaât,

Sementara ulama modern menganggap yaitu dongeng-dongeng yang berasal dari

bahwa hadits di atas memperingatkan pada Yahudi dan Nasrani.

kaum Adam agar menyikapi perempuan Quraish Shihab melihat cukup banyak

dengan penuh bijaksana, sebab adanya sifat, ayat al-Qur’an mendukung pendapat yang

karakter, dan kecenderungan mereka yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam

yang tidak sama dengan laki-laki.43 Kaum dan Hawa, serta persamaan kedudukannya, di

Adam tidak akan mampu mengubah karakter antaranya; (QS. al-Isra’:70). Secara tegas ayat

dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka ini mengatakan bahwa Allah memuliakan anak-

memaksakan justru akan berakibat fatal, seperti anak Adam tanpa pengecualian, tentu anak-anak

halnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Adam di sini pemaknaannya cukup global yang

Sejalan dengan ini, Shihab mengutip pendapat meliputi laki-laki dan perempuan, demikian

At-Thabathaba’i dalam tafsirnya bahwa ayat pula dengan penghormatan yang diberikan

tersebut menegaskan perempuan (istri Adam) Tuhannya.46

diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, Ayat tersebut juga dianggap memiliki

dan ayat tersebut tidak sedikitpun mengarah keterkaitan dengan Qs. Ali Imran [3]: 195

bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk “Sebagian kamu adalah sebagian yang lain”.

Adam.44 Artinya bahwa sebagian kamu (hai umat

Dengan penafsiran di atas, Quraish manusia yang berjenis lelaki) berasal dari

Shihab menunjukan bahwa tidak ada satupun pertemuan ovum dan sperma, dan sebagian

petunjuk yang pasti dari ayat al-Qur’an yang yang lain.47 Ayat ini menunjukkan bahwa

dapat mengantarkan kita untuk menyatakan keduanya sama-sama manusia yang tidak

bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk memiliki perbedaan dari aspek penciptaan.

41 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 301. Dengan demikian nampak bahwa firman Tuhan
42 Rashid Ridha, Tafsir al-Manar, (kairo: Dar al-Manar: 1947), Jilid
IV, 93. 45 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 301.
43 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 300-301. 46 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 301-302.
44 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 405. 47 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 405.

629

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 5, Nomor 1, Januari-Juni 2019

tersebut upaya al-Qur’an untuk mengikis segala [4]: 34 dan Al-Ahzab [33]: 33. Kedua ayat ini
pandangan yang membedakan laki-laki dengan acapkali dijadikan dasar untuk menghalangi
perempuan, terlebih dalam bidang kemanusiaan. aktivitas perempuan di ranah publik dan
domestik. Kita awali pendedahannya dimulai
Dari penafsiran Quraish Shihab di dengan surat al-Ahzab: 33,
atas dapat disimpulkan bahwa ia mencoba
mengkombinasikan dua pendekatan–tekstual dan … ٰ‫وَق َرۡنَ ف ِي ب ُي ُوت ِكُ َ ّن وَلَا ت َب َرّ ۡج َن ت َب َُرّ َج ٱ ۡلج َٰهِل َِي ّةِ ٱ ۡل ُأول َ ۖى‬
kontekstual–sekaligus. Pendekatan tekstualnya
terlihat ketika Shihab mengaitkan penafsiran Dalam menafsirkan potongan ayat ini
ayat al-Qur’an dengan ayat lainnya dan juga Shihab menghadirkan pro-kontra ulama. Di
dengan hadits. Dalam tataran ini interpretasi antaranya imam al-Qurtubi yang memaparkan
Quraish Shihab dapat dikategorikan sebagai bahwa potongan ayat tersebut menandaskan
soft textualism. Karena dalam penafsirannya, perintah perempuan untuk berdiam diri di
ia tidak mengamini pendapat mufasir klasik rumah. Menurutnya meskipun perintah ini
sepenuhnya. Sebaliknya, ia menerima dengan diserukan kepada istri Nabi, namun sejatinya
selektif dan bahkan mengkritisi penafsiran berlaku juga untuk kaum perempuan pada
ulama klasik. Meskipun kritik yang disampaikan umumnya.48 Sejalan dengan ini, Ibn al-‘Arabi
tersebut masih dalam normatif dan kurang juga menyampaikan pendapat yang sama dalam
menyentuh konteks sosio historis dan sosio tafsirnya.49
kultur di masa mufasir klasik hidup.
Sementara al-Maududi mempunyai
Sementara dengan pendekatan pandangan yang sedikit berbeda dengan
kontekstual, Shihab dalam hal ini sejalan dengan berkesimpulan bahwa ayat ini menunjukan
mufasir modern seperti Muhammad Abduh, perintah wanita untuk berdiam diri di rumah
Rasid Ridha, al-Thabathaba’i dan lainnya semata-mata agar terjaga kehormatanya dan
yang berkesimpulan bahwa sayyidah Hawa tidak mengabaikan kewajibannya, kalaupun
diciptakan dari jenis yang sama sebagaimana memiliki kebutuhan mendesak dan menuntutnya
nabi Adam diciptakan. Karena tidak ada teks pergi ke luar rumah maka wanita diperbolehkan
yang secara eksplisit menunjukkan bahwa Hawa dengan syarat mereka mampu melindungi
diciptakan dari tulang rusuk Adam. Mereka kehormatannya.50 Di sini al-Maududi tidak
menyepakati anggapan bahwa Hawa tercipta menggunakan kata “darurat” tetapi “kebutuhan”.
dari Adam karena terpengaruh dari unsur Dengan demikian bahwa ada peluang bagi kaum
budaya yang berkembang subur di luar Islam. Hawa untuk menjalani aktivitas di luar rumah.

Keterlibatan Perempuan dalam Wilayah Untuk menguatkan argumen di atas,
Domestik dan Publik Shihab meminjam stetemen Sayyid Qutb yang
beranggapan bahwa “waqarna fi buyutikunna”
Menyoal tentang feminis dan isu-
isunya pasti tak akan luput dengan persoalan 48 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 11, 266. Selengkapnya
kedudukan perempuan dalam public maupun baca Abu Abdillah al-Qurtubi, Jâmi li Ahkâm al-Qur’an, (Riyad: Dar
domestik. Di antara ayat al-Qur’an yang Alam al-Kitab, 2003), Vol XIV, 178-179.
menjadi legitimasi mereka adalah Qs. al-Nisâ’ 49 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 11, 266.
50 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 11, 266.
630

PARADIGMA TEKSTUAL ATAU KONTEKSTUAL DALAM PENAFSIRAN QURAISH SHIHAB; AYAT-AYAT YANG DISINYALIR MISOGINIS
SEBAGAI STUDI KASUS
(Izzatu Tazkiyah)

bukan berarti memasung kebebasan wanita menyebabkan dampak negatif bagi dirinya

untuk berdiam diri di rumah melainkan untuk maupun lingkungannya.

menegaskan kembali bahwa rumahtangga Sementara dalam menafsirkan Qs.

adalah tugas utamanya.51 Selain itu, Quraish juga Al-Nisa’[4]: 34, “al-rijâlu qawwâmûn ‘ala

mengahadirkan pendapat Sa’id Hawwa untuk al’nisâ’bimâ faddallahu ba’dahum ‘alâ ba’dl”

mempertegas kebolehan wanita berkecimpung dipaparkan bahwa kata “al-rijâl” memiliki

di ranah publik, Sa’id Hawwa dengan jelas beragam makna, sebagian mengartikannya

menguraikan apa yang dimaksud dengan dengan “laki-laki” jamak dari kata “al-rijl” dan

“kebutuhan wanita” baik sifatnya prinsipil mayoritas ulama lain memahaminya dengan arti

maupun tidak seperti belajar, bekerja dan “para suami”. Sebagaimana disampaikan dalam

mengunjungi orang tua.52 Karena itu, Qs. al- tafsirnya, pada awalnya Shihab sepakat dengan

Ahzab: 33 ini bukanlah dalil normatif yang mayoritas ulama, namun kemudian beralih

mengekang kebebasan perempuan. pandangan ketika menemukan makna yang

Dalam konteks sejarahnya bahkan berbeda dalam pernyataan Thahir ibn Ashur

digambarkan begitu jelas bagaimana keterlibatan bahwa kata “al-rijâl” tidak selalu digunakan

perempuan dalam ruang publik di masa dalam bahasa Arab ataupun al-Qur’an dengan

Rasul seperti saudagar sukses Khadijah binti makna suami, berbeda dengan “imra’ah”/”al-

Khuwailid. Sayyidah Aishah adalah sosok nisâ’ dipahami dengan arti istri.55

perempuan sangat dalam pengetahuannya Terlepas dari polarisasi makna “al-

bahkan ia juga diikenal sebagai politikus rijal”,56 Shihab nampaknya ingin menegaskan

handal. Selain itu, Zinab binti Jahsy aktif bahwa yang menjadi penekanan dalam potongan

bekerja sampai pada menyamak kulit binatang53 ayat ini adalah kata “qawwam” yang seringkali

dan masih banyak aktivitas perempuan yang disalah-pahami oleh banyak orang. Tidak sedikit

memperlihatkan ruang gerak mereka di ranah ulama bahkan yang mengartikan kata “qawwam”

publik. dengan makna kepemimpinan. Mekipun

Quraish Shihab menggarisbawahi ia kurang sepakat dengan arti tersebut tapi

tentu tidak setiap pekerjaan perempuan di era setidaknya dalam terminologi “kepemimpinan”

sekarang telah mewujud di masa awal Islam. ini tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian,

Namun demikian uraian di atas menunjukan pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan.57

bahwa Islam sama sekali tidak memasung Shihab menegaskan ketika kata qawwam

kebebasan wanita untuk berkarya baik dalam dipahami bahwa laki-laki atau suami adalah

ranah domestik maupun publik, swasta ataupun pemimpin dalam rumahtangganya, tidak berarti

pemerintah.54 Hanya saja, pekerjaan tersebut menjadikan posisi istri sebagai the second being,

semestinya dilakukan dengan terhormat, sopan, namun karena kelebihan yang dimiliki laki-laki

mampu memelihara agamanya dan menghindari lebih menunjang pada kepemimpinan. Seperti

diri dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat 55 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 403-404.
56 Lihat perbedaan ulama dalam memahami kata al-rijal dan al nisa’,
51 M. Quraish Shihab, Konsep Wanita Menurut al-Qur’an, Hadith, 3-4. al-dzakar dan al untsa selegkapnya bisa merujuk buku Zaitunah Subhan,
52 M. Quraish Shihab, Konsep Wanita Menurut al-Qur’an, Hadith, 6 al-Qur’an dan Perempuan, 15-28.
53 M. Quraish Shihab, Konsep Wanita Menurut al-Qur’an, Hadith, 6 57 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 404.
baca pula: Muhammad Imarah, Tahrir al-Mar’ah baina al-Gharbi wa
al-Islam, 26-30.
54 M. Quraish Shihab, Konsep Wanita Menurut al-Qur’an, Hadith, 4.

631

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 5, Nomor 1, Januari-Juni 2019

halnya kelebihan wanita yang menunjang pada Salah satu hadits meriwayatkan bahwa
pemberi rasa damai dan tenang kepada laki-laki/ Rasul menjahit sendiri pakaian beliau yang
suami serta lebih mendukung fungsinya untuk sobek, memerah susu kambing untuk sarapan,
mendidik dan membesarkan anak-anak.58 dan terlibat membantu istri-istri beliau
dalam urusan rumahtangga.61 Hadits tersebut
Lebih jauh Shihab menambahkan mengguratkan bahwa keikutsertaan Nabi dalam
pernyataannya di atas dengan Qs. Al-Baqarah mengemban kebutuhan keluarga. Keberhasilan
[2]: 228 “wa li al-rijâli ‘alaihinna darajah”. perkawinan tidak mungkin tercapai tanpa
Jika ditafsirkan secara tekstual, ayat ini perhatian bahkan pengorbanan timbal balik
seolah mengunggulkan laki-laki. Adanya di antara keduanya. Tentu saja aktivitas
satu tingkatan lebih yang dimiliki oleh kaum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih,
Adam. Namun bila dicermati lebih lanjut, memerlukan seorang penanggungjawab serta
pandangan tersebut sangat keliru, sebab dalam pengambil keputusan terakhir, jika kata sepakat
konteks hubungan suami istri, ayat ini justru melalui musyawarah tidak tercapai.62 Karena
menunjukkan bahwa suami mempunyai hak itu, lanjutan ayat di atas menegaskan bahwa
dan kewajiban lebih terhadap istri, keduanya para suami mempunyai satu derajat (tingkatan)
dalam keadaan seimbang, bukanlah sama.59 atas mereka para istri.
Hal ini seirama dengan penuturan Muhammad
bahwa persamaan hak dan kewajiban di antara Sejalan dengan ini, Shihab sepakat
laki-laki dan perempuan adalah persaman yang dengan al-Thabari menuturkan “derajat”
saling melengkapi satu sama lain (al-musâwah yang dimaksud adalah derajat kepemimpinan.
al-takammuli).60 Kepemimpinan yang dimaksud adalah yang
berlandaskan kelapangan dada suami untuk
Dengan demikian, tuntunan ini menuntut meringankan kewajiban istri.63 Meksi ayat
kerjasama yang baik yaitu pembagian peran ini disusun dalam redaksi berita, tetapi
yang adil antara suami dan istri walau tidak maksudnya adalah perintah bagi para suami
ketat. Sehingga melahirkan kerjasama yang untuk memperlakukan istri mereka dengan
harmonis antara keduanya, bahkan anggota sikap terpuji, agar mereka dapat memperoleh
keluarga seutuhnya. Memberi nafkah memang derajat itu. Thahir Ibn Asyur juga sependapat
kewajiban suami, akan tetapi tidak berarti dengan pandangan al-Thabari bahwa derajat
istri tidak diperbolehkan untuk bekerja. yang dimaksud adalah kemampuan lebih yang
Ketika penghasilan suami kurang dapat diberikan oleh Allah; segi akal ataupun fisik,
memenuhi kebutuhan keluarga, maka seorang dan dari kelebihannya itu agar kaum Adam
istri dianjurkan untuk dapat meringankan menuntun dan mengayomi istri penuh dengan
beban suami. Sementara di sisi lain, meski kesabaran dan lapang dada.64
istri memiliki tanggungjawab untuk mengelola
rumah tangganya, bukan berarti suami 61 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 310.
melepaskan tanggungjawabnya seorang diri. 62 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 459.
63 Ibn Jarir al-Thabary, Tafsir al-Thabary Jami’ al-Bayan ‘an Tawil
58 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 405. Ayat al-Qur’an (Kairo; al-I’lan, 2000), 378.
59 M. Qurash Shihab, Tafsir al-Misbah, 458. 64 Thahir Ibn ‘Asyur, Tafsir Tahrir wa al-Tanwir, (Tunis; Dar al-
60 Muhammad Imarah, Tahrir al-Mar’ah, 17-18. Tunisiyah, 1984), jilid II, 402.

632

PARADIGMA TEKSTUAL ATAU KONTEKSTUAL DALAM PENAFSIRAN QURAISH SHIHAB; AYAT-AYAT YANG DISINYALIR MISOGINIS
SEBAGAI STUDI KASUS
(Izzatu Tazkiyah)

Peranan seorang istri sebagai ibu PENUTUP

rumahtangga adalah untuk menjadikan rumah itu Secara ringkas dapat dikatakan

sebagai ‘sakan’yakni tempat yang menenangkan bahwa perspektif kesetaraan gender dalam

dan menentramkan seluruh anggotanya. Bintu penelitian kajian al-Qur’an maupun Hadits

Syathi’ bahkan menegaskan bahwa perempuan ditujukan untuk menganalisis ulang teks-

Muslim tidak hanya menjadi pengikut dan teks yang beredaksi misoginis, dalam upaya

berada di bawah perlindungan laki-laki, tetapi kontekstualisasi penafsiran ayat-ayat al-Qur’an

juga merupakan struktur pendukung bagi laki- yang tidak saja mempertimbangkan konteks

laki, keluarga dan masyarakat.65 sosio-historis dalam memahaminya, tetapi

Dari penafsiran kedua ayat di atas dapat juga dengan menarik signifikansinya bagi

disimpulkan bahwa Shihab memadukan secara konteks sosiologis yang terjadi pada masa kini.

elegan pendekatan tekstual dan kontekstual. Sehingga pada akhirnya tetap didapatkan makna

Meskipun pendekatan tekstualnya tidak secara pesan-pesan al-Qur’an dimensi keadilan dan

meluas dipaparkan dan terlihat condong kesetaraan derajat antara sesama manusia akan

pada pendekatan kontekstual. Kenyataan tersampaikan.

ini, dibuktikan ketika di awal penafsirannya Penulis sejalan dengan M. Quraish
ia sepakat dengan penafsiran klasik yang Shihab, bahwa anggapan yang selama ini
memahami kata “al-rijal” sebagai pemimpin. diyakini oleh feminis tentang teks yang
Namun kemudian ia berbalik pandangan saat mengarah pada misoginis itu sangat keliru.
menemukan makna baru kata “al-rijal” yang Karena agama Islam tidak pernah menempatkan
ditawarkan oleh Thahir ibn ‘Asyur. kedudukan perempuan di bawah subordinasi
laki-laki. Al-Qur’an menempatkan kaum laki-
Penulis melihat bahwa penafsiran yang laki dan perempuan sebagai dua jenis makhluk
dihadirkan ini tidak berarti menunjukan ketidak- yang mempunyai status yang sama, baik dalam
konsistenan Quraish Shihab dalam mendekati posisi dan kapasitasnya sebagai pengabdi
teks, namun demikian upaya ini dilakukan Tuhan maupun sebagai wakil Tuhan (khalifah).
agar menghasilkan makna yang komprehensif. Adanya perbedaan dalam beberapa hal antara
Hal ini terlihat, ketika ia kemudian mengamini al-Qur’an dan Hadits tidak berarti keduanya
pendapat al-Thabari dalam memahami makna tidak sejalan apalagi bertentangan.
“darajah” sebagai satu tingkatan lebih atas
suami untuk meringankan beban seorang istri. Oleh karena itu, dalam menyikapinya
Sementara dalam pendekatan kontekstualnya, ia butuh pemahaman yang mendalam. Kita perlu
sependapat dengan al-Maududi dan Said Hawa memadukan penafsiran klasik untuk membaca
bahwa meskipun mengurus keluarga adalah kondisi sosio-kultur di mana teks itu diturunkan
kewajiban seorang istri, namun kewajiban dan penafsir kontemporer agar penafsiran itu
tersebut tidak memasung hak-hak istri untuk selaras dengan kekinian (red: tekstual dan
beraktivitas baik di ranah publik maupun kontekstual). Dengan demikian penafsiran yang
domestik. dihasilkan tidak keluar dari koridor Syar’i dan
jargon shalih li kulli zaman wa li kulli makan
65 Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender Wanita dalam Al- akan tercipta sebagaimana adanya. Wa Allahu
Qur’an, Hadits dan Tafsir diterjemahkan dari buku berbahasa Inggris: a’lam bi al-shawâb.
Women in the Qur’an, Traditions, and Interpretation penerjemah HM.
Muchtar Zoerni (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), 340-341.

633

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 5, Nomor 1, Januari-Juni 2019
DAFTAR PUSTAKA

Agung, Tim Pustaka. (tt). Kamus Ilmiah Populer Imarah, Muhammad. 2009. Tahrir al-Mar’ah
Surabaya: Pustaka Agung Harapan. baina al-Islam wa al-Gharb. Kairo: Dar
al-Kutub Mishriyah.
Al-Dzahaby, Husein. (tt). Al-Tafsir wa al-
Mufassirun. Kairo: Dar al-Hadits. Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian
Kualitatif . Yogyakarta: Rake Sarasin.
Al-Khuly, Amin. Al-Tafsir Ma’lim Hayatuh/
Tafsir manhajuhu al-Yaum, (Kairo: M. Alfatih dkk, Suryadilaga. Metodologi Ilmu
Maktabah Usroh Ammah Mashriyah, Tafsir, Yogyakarta:Teras, 2005.
2003)
Ridha, Rashid. Tafsir al-Manar, Kairo: Dar al-
Al-Nisabury, Ahmad al-Wahidy. 1991. Asbab Manar: 1947.
al-Nuzul. Libanon: Dar al-Fikr.
Safrudin, U. Paradigma Tafsir Tekstual
Al-Thabary, Ibn Jarir. 2000. Tafsir al-Thabary dan Kontekstual Dalam al-Qur’an,
Jami’al-Bayan ‘an Tawil Ayat al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Kairo: al-I’lan.
Shihab, M. Quraisy. Membumikan al-Qur’an;
Asyur, Ibn Thahir. 1984. Tafsir Tahrir wa al- Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Tanwir. Tunis: Dar al-Tunisiyah. Kehidupan Masyarakat, Bandung; Mizan,
2009.
Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi
Gender Wanita dalam Al-Qur’an, Hadits Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian Studi
dan Tafsir diterjemahkan dari buku Bias Gender dalam Tafsir al-Qur’an,
berbahasa Inggris: Women in the Qur’an, Yogyakarta; LKiS Yogyakarta, 1999.
Traditions, and Interpretation penerjemah
HM. Muchtar Zoerni (Bandung: Pustaka Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Hidayah, 1994) Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Depdikbud. 1996. Kamus Besar Bahasa Pustaka:1988.
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Umar, Nasarudin. Argumen Kesetaraan
Fredelspiel, Howard M. 1996. Kajian al-Qur’an Gender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta;
di Indonesia dari Mahmud Yunus hingga Paramadina, 1999.
Quraish Shihab, alih bahasa Tajul Arifin,
Bandung: Mizan. ------Nasarudin. Teologi Jender Antara Mitos
dan Kitab Suci, Jakarta; Pustaka Insani,
Ghofur, Ghofur Saiful. 2008. Profil Para 2002
Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani. Zenrif, M.Fauzan. Sintesis paradigm Studi
Al-Qur’an, Malang: UIN- Malain Press,
Hasan Shadily, Jhon Echol. 1986. Kamus 2008.
Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia.

634

POLA INTERAKSI PERLINDUNGAN ALLAH S.W.T TERHADAP
MANUSIA DARI GANGGUAN SYAITAN

(Studi Literasi Tafsir Qur’an Surah An-Naas)

THE INTERACTION PATTERNS OF ALLAH PROTECTION TOWARDS
MANKIND FROM SYAITAN’S INTERFERENCE
(literacy studies of QS. An-Naas)

Safa’at Ariful Hudha

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected]

ABSTRACT
The aim of writing this paper is to reveal the patterns of Allah protection towards mankind
from the syaitan’s interference and his viciousness through interaction of the relationship between
Allah and human. The nature of Allah that consist of tauhid rububiyah, mulkiyah and tauhid
uluhiyah are the basis of attachment relationship between Khaliq and makhluq, both of them are
interacting one another.
Those three natures of Allah are contained in QS. An-Naas, the 114thsurah in the Holy
Qur’an. As a makhluq, Human who were being created by the Khaliq were highly recommended
to seek refuge only unto Him, The Protector and The Sovereign Lord of mankind, and the only one
God who has to worship, ask for his protection from the viciousness of syaitan khannas, which was
whispering into the chest and invisible by the man.

Keywords: Interaction, Allah’s Protection

ABSTRAK
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengungkapkan tentang pola perlindungan Allah S.W.T
terhadap manusia dari kejahatan dan gangguan syaitan melalui beberapa hubungan interaksi yang
dimiliki Allah kepada manusia. Sifat Allah S.W.T yang meliputi tauhid rububiyah, mulkiyah dan
tauhid uluhiyah menjadi dasar adanya hubungan keterikatan antara khaliq dan makhluq, dimana
keduanya saling berinteraksi satu sama lain. Ketiga sifat tersebut tertuang dalam surah an-Naas, surah
ke 114 di dalam kitab Al-Qur’an. Manusia sebagai makhluq ciptaan Sang khaliq sangat dianjurkan
untuk memohon perlindungan hanya kepada-Nya yang Maha memelihara dan Maha menguasai atas
diri manusia sekaligus menjadi satu-satunya Tuhan yang pantas ia sembah, memohon perlindungan
dari segala bentuk gangguan dan bisikan dari Syetan khannas, yang merasuk ke dalam dada dan
tidak terlihat oleh manusia.

Kata Kunci: Interaksi, Perlindungan Allah

635

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 5, Nomor 1, Januari-Juni 2019

PENDAHULUAN Surah An-naas juga merupakan surah
Interaksi merupakan sebuah tindakan terakhir sekaligus penutup di dalam AlQur’an
meskipun bukan surah/ayat terakhir yang
yang terjadi antara dua atau lebih sesuatu diwahyukan kepada Rasulullah S.A.W, hal
yang dapat saling mempengaruhi, ataupun tersebut merujuk kepada Mushaf Ustmani
bereaksi satu yang lain.1 Interaksi dalam kamus dimana sistematika penyusunan dan
besar bahasa indonesia didefinisikan sebagai penulisannya tidak berdasarkan runtutan
hal saling melakukan aksi, berhubungan, turunnya wahyu Al-Qur’an. Penamaan surah
mempengaruhi, antarhubungan. Interaksi sosial An-naas sendiri diambil dari kalimat terakhir
berarti hubungan sosial yang dinamis antara pada ayat pertama (Qul a’uudzu birabbinnaas),
orang perseorangan dan orang perseorangan, yang berarti manusia. Surah ini terdiri dari
dan antara kelompok dan kelompok. Interaksi 6 ayat pendek dengan isi dan kandungan
dapat terjadi apabila antara dua hal yang saling berupa anjuran agar manusia, sebagai makhluq
berhubungan terdapat kontak dan komunikasi dan hamba ciptaan Allah S.W.T senantiasa
satu sama lainnya. Komunikasi tersebut memohon dan meminta perlindungan hanya
merupakan penyampaian suatu informasi kepada Allah S.W.T terhadap segala pengaruh
dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap buruk, bisikan, godaan serta hasutan syaitan
informasi yang disampaikan. kepada manusia itu sendiri.

Perlindungan secara harfiah berasal dari Surah an-Naas diturunkan oleh Allah
kata lindung, yaitu meminta pertolongan kepada S.W.T ketika Rasulullah Muhammad S.A.W
Tuhan Yang Mahakuasa supaya selamat dari sakit parah karena terkena sihir oleh Labid
atau terhindar dari godaan, bencana dan dosa. bin A’shom seorang Yahudi, yang meletakkan
Perlindungan selanjutnya dimaknai sebagai sebuah tali dengan sebelas simpul kemudian
tempat berlindung. Dalam hal ini maka maksud diletakkan di dalam kotak yang ditindih dengan
dari tempat berlindung itu sendiri adalah Tuhan batu kemudian disimpan ke dalam sumur bani
Yang Mahakuasa.2 Meminta perlindungan, Dzarwan. Rasulullah mengetahui hal tersebut
atau dalam bahasa Arab disebut dengan ketika beliau didatangi oleh dua malaikat,
ta’awudz adalah meminta pertolongan kepada yang satu duduk di arah kepala, sedang yang
satusatunya dzat yang bisa menhindarkan dan satu duduk di arah kaki. Kedua malaikat
menyelamatkan manusia dari segala sifat buruk tersebut kemudian berdialog mengabarkan
dan jahatnya syaitan. apa yang terjadi kepada Rasululah melalui
percakapannya, bahwa penyakit yang diderita
Surah An-Naas merupakan surah ke 114 oleh Rasulullah berasal dari sihir diletakkan
di dalam mushaf Al-Qur’an, termasuk dalam di dalam sumur. Kedua malaikat tersebut
kategori surah Makkiyah yaitu surah yang kemudian mengisyaratkan kepada Rasulullah
diwahyukan kepada Rasulullah Muhammad untuk mengeringkan sumur yang dimaksud dan
S.A.W ketika berada di tanah Makkah mengeluarkan kotak yang berada dibalik batu
Almukarramah. Surah ini merupakan satu dari kemudian membakarnya.3
dua surah Mu’awwidzatain (pelindung diri),
yang saling berurutan tata letaknya dimana 3 Jalaluddin As-Suyuthi, Sebab Turunnya Al-Qur’an, Gema Insani
sebelumnya didahului dengan surah Al-Falaq. Press

1 Amri Marzali, Interaksi Antar Etnik di beberapa Propinsi di Indonesia,
Departemen P & K. Hal. 8
2 Kamus Besar Bahasa Indonesia online, http://kbbi. web.id/

636

POLA INTERAKSI PERLINDUNGAN ALLAH S.W.T TERHADAP MANUSIA DARI GANGGUAN SYAITAN (Studi Literasi Tafsir Qur’an Surah An-Naas)
(THE INTERACTION PATTERNS OF ALLAH PROTECTION TOWARDS MANKIND FROM SYAITAN’S INTERFERENCE
(Literacy studies of QS. An-Naas)) (Safa’at Ariful Hudha)

Pagi harinya, Ammar bin Yasir dan berarti tidak ada resiko dan akibatnya, baik

para sahabat diutus oleh Rasulullah untuk akibat yang baik maupun akibat yang buruk.

mencari apa yang dimaksud. Setibanya di Sebagai makhluk yang lemah, dengan

sumur itu tampaklah airnya yang merah. Air dihadapkan oleh berbagai masalah yang

itu kemudian ditimbanya lalu diangkat batu menimpanya, manusia hampir pasti akan

dan diambillah gulungan tali yang berada di mencari perlindungan sebagai tameng dalam

dalam kotak. Kemudian turunlah kedua surah hidupnya. Tidak mungkin bisa dipungkiri

mu’awwidatain, surah Al-Falaq dan surah bahwa masalah-masalah tersebut adalah output

Annaas, dan setiap kali Rasulullah membaca dari resiko dan akibat yang ditimbulkan oleh

satu ayat dari kedua surah tersebut maka adanya gesekan yang terjadi dalam hubungan

terurailah satu simpul tali yang ada dalam kotak antar sesama manusia. Gesekan-gesekan

sihir tersebut.4 tersebut bukanlah kehendak manusia secara

murni melainkan adanya faktor dari luar,

faktor tersebut tidak lain adalah godaan dari

PEMBAHASAN para syaitan yang akan terus membisiki dan

Manusia sebagai makhluq ciptaan Tuhan mengajak manusia menuju ke jalan yang tidak

memiliki hubungan yang tidak akan terlepas diridhoi oleh Allah S.W.T.

dari-Nya, yaitu hablum-minallah. Sementara Melalui ajaran Rasulullah Muhammad

itu, manusia pun hidup di tengahtengah manusia S.A.W, yang juga menjadi uswah hasanah

yang mana dengan adanya hal tersebut maka sebagai suri tauladan bagi seluruh umatnya, kita

secara tidak langsung ia memiliki hubungan diajarkan tentang bagaimana cara untuk hidup

yang erat pula dengan sesama manusia, dan menghadapi permasalahan di tengahtengah

atau hablum-minan-naas. Tidak ada satupun manusia tersebut. Cara tersebut adalah dengan

manusia yang dapat membebaskan diri dari memohon dan meminta perlindungan dari Allah

hubungan ikatan antar sesama manusia. S.W.T sebagaimana telah dijelaskan dengan

Agama sebagai pedoman hidup, selain turunnya surah An-naas. Penjelasan yang

dari mengatur hubungan manusia dengan tertuang dalam surah itu mengandung beberapa

Allah S.W.T sebagai ilah-nya, juga mengatur pola interaksi bagaimana cara Allah melindungi

tali hubungan dengan sesama manusia sebagai manusia dari segala bentuk gangguan dan

makhluk sosial. Hubungan antar sesama godaan yang muncul dari syaitan.

manusia itu sendiri bukanlah suatu perkara

yang mudah. Baik menurut satu kelompok 1. Allah sebagai Rabbun-naas (Pemelihara

belum tentu baik menurut kelompok yang Manusia)

lain. Langkah yang ditempuh pun memiliki Allah adalah ar-Rabb, dalam bahasa

perbedaan antara satu dengan yang lainnya. arab berasal dari kata rabba yang memiliki arti

Dari berbagai ragam dan macam perbedaan memelihara, kemudian dengan penambahan

inilah maka kita sebagai pribadi manusia tidak huruf alif dan lam di depan kalimat itu sehingga

dapat menyisih dari pribadi manusia yang lain, terbaca menjadi ar-Rabb yang secara mutlak

dan selalu berhubungan dengan mereka bukan berubah menjadi isim ma’rifah. Isim ar-Rabb

4 KHQ Shaleh, HAA Dahlan, MD Dahlan, Asbabun Nuzul Latar dengan penambahan dua huruf tersebut hanya
Belakang historis turunnya ayat-ayat AlQur’an, CV Diponegoro diperuntukkan untuk nama dan kebesaran Allah
Bandung. Hal. 628 S.W.T. Kalimat rabb tidak dapat disematkan

637

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 5, Nomor 1, Januari-Juni 2019

kepada dzat selain-Nya, kecuali bila kalimat berada di dunia berada di bawah pengaturan dan
tersebut dipakai sebagai mudhof seperti kata kehendak-Nya, tidak ada fenomena yang keluar
rabbul-baiti yang berarti pemilik rumah, dan dan terlewat dari kuasa Allah seperti tidak ada
sebagainya. Pengkhususan tersebut terjadi suatu wujud di bagian manapun di dunia ini
karena penambahan huruf alif dan lam dalam yang dapat bergerak sedikit pun tanpa izin-Nya.7
kalimat rabba menunjukkan kepada sifat
generalisasi yang bermakna pemelihara segala Penjelasan mengenai ar-rabb yang
sesuatu, dan tidak ada makna lain kecuali dimiliki oleh Allah menjadi satu landasan
pemelihara seluruh alam semesta, yaitu Allah bahwa Dialah satu-satunya Dzat yang hanya
itu sendiri.5 mampu memberikan pemeliharaan kepada
seluruh makhluq. Maka sebagai makhluq yang
Sedangkan kalimat rabbun-naasi, sebagai dikaruniai kesempurnaan, manusia sangatlah
surah ini diawali, dengan penambahan idhofah dianjurkan untuk meminta perlindungan
(mudhof, dan mudhof ilaihi), maka terjadi hanya kepada-Nya dari semua segi keburukan,
pengkhususan makna lagi, namun tetap kejahatan dan kemungkaran. Tidak ada satupun
memiliki esensi yang sama dimana Allah benda yang dapat disekutukan dan disejajarkan
sebagai pemelihara manusia, yang memelihara dengan Allah, yang dapat memberikan naungan
manusia, yang bisa menolak godaan syaitan. dan perlindungan dari segala keburukan yang
ada di alam dunia. Dialah satu-satunya Dzat
Memelihara berarti tidak akan dibiarkan yang dapat mengatur, memelihara dan merawat
terlantar, baik lahir maupun bathinnya, luar dan manusia dengan sebaik-baiknya, menaungi
dalamnya, jasmani dan rohaninya dan segala hal seluruh kebutuhan dan hajat hidupnya termasuk
yang berkaitan langsung dengan hidup manusia untuk memiliki rasa aman dalam dirinya.
itu sendiri.6 Allah juga mengurus segala hal
yang menjadi takdir manusia, sebagai penjamin Namun demikian, sifat memelihara,
rizqi bagi seluruh makhluq ciptaannya, “dan merawat dan mengurus saja belumlah cukup
tidak ada suatu binatang melata pun di bumi untuk mendasari perlindungan yang dibutuhkan
melainkan Allah lah yang memberi rizkinya.” oleh manusia, karena sesuatu yang mengurus,
(QS. Huud : 6) merawat dan memelihara belumlah tentu
mempunyai hak untuk memiliki. Sebagaimana
Sifat Ar-raab merupakan bukti kebesaran seorang manajer dalam sebuah perusahaan, dia
Allah, dalam ilmu aqidah kita menyebutnya hanya mempunyai hak untuk mengatur dan
dengan tauhid rububiyah. Allah sebagai khaliq mengurus karyawannya tanpa mempunyai hak
memiliki kekuasaan untuk menciptakan segala kepemilikan. Maka turunlah ayat selanjutnya
sesuatu, Allah pulalah Dzat yang memberikan yang menerangkan bahwa Allah S.W.T selain
rizki bagi setiap makhluq ciptaannya termasuk rabb juga menjadi malik, malikin-naasi,
manusia. Dia juga memiliki kekuasaan begitulah ayat kedua dari surah An-naas
untuk mengatur semesta alam dan seluruh tersebut, atau sebagai raja, penguasa serta
isinya, termasuk juga untuk melindungi dan pemilik dari apa yang diurus dan dipeliharaNya.
menghancurkan, meninggikan dan menurunkan
segala sesuatu yang Ia kehendaki. Semua yang 7 Muhammad Taqi Misbah, Monoteisme: Tauhid sebagai sistem nilai
dan akidah Islam, Lentera. Hal. 20
5 Ma’na ar-rububiyah wa adillatuha wa ahkamiha wa ibtholil-ilhaad
fiiha

6 HAMKA, Tafsir Al-Azhar

638

POLA INTERAKSI PERLINDUNGAN ALLAH S.W.T TERHADAP MANUSIA DARI GANGGUAN SYAITAN (Studi Literasi Tafsir Qur’an Surah An-Naas)
(THE INTERACTION PATTERNS OF ALLAH PROTECTION TOWARDS MANKIND FROM SYAITAN’S INTERFERENCE
(Literacy studies of QS. An-Naas)) (Safa’at Ariful Hudha)

2. Allah sebagai Malikun-naas (Penguasa rabb, yang memelihara. Tetapi juga sebagai

Manusia) malik yaitu dzat yang memiliki atas apa yang

Al-Malik merupakan salah satu dari dipeliharanya. Jika Ia sebagai pemilik sudah

99 asma’ul husna yang dimiliki oleh Allah barang tentu akan memberikan segala sesuatu

S.W.T yaitu pemilik yang memiliki, sebagai yang dibutuhkan oleh apa yang dimilikinya,

raja yang mutlak atas diri manusia. Tauhid apapun yang menjadi hajat hidupnya akan

Mulkiyah Allah S.W.T berlaku sebagai pemilik dipenuhi-Nya dengan tetap mengikuti dasar dan

dan juga penguasa terhadap seluruh alam hukum yang berlaku sesuai dengan ketetapan

semesta. Sebagai Pemimpin dan raja maka Allah yang telah dibuatnya melalui syari’at dan

memiliki kekuasaan yang penuh untuk membuat agama-Nya. Sebagai raja maka sudah pasti

hukum dan segala bentuk perintah, meletakkan Allah juga akan melindungi apa yang dipelihara

segala macam larangan dan peringatan. Perintah dan diurus-Nya, tidak juga akan menelantarkan

dan larangan tersebutlah yang seharusnya makhluqnya sekalipun ia selalu lupa untuk

kita patuhi dan taati sebagai manusia yang mengenal siapakah Dzat yang berkuasa penuh

mengabdikan dirinya sebagai hamba kepada raja untuk memilikinya.

dan pemimpinnya. Sebagaimana tertulis dalam Maka sifat penisbatan Allah S.W.T

surah Ali Imron 26, Allah S.W.T berfirman: sebagai ar-rabb yang memelihara itu, juga

“Katakanlah (wahai Muhammad), wahai al-malik yang berkuasa sebagai raja yang haq

Tuhan yang mempunyai kuasa pemerintahan, dan mutlak belumlah genap tanpa adanya

Engkaulah yang memberi kuasa pemerintahan suatu bentuk penghormatan daripada sesuatu

kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan yang diurus dan dimilikinya. Kemudian

Engkaulah yang mencabut kuasa pemerintahan diikutilah dengan turunnya ayat selanjutnya

dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah yaitu ilaahin-naasi, dimana Allah bukan saja

juga yang memuliakan siapa yang Engkau sebagai fasilitator bagi manusia, namun lebih

kehendaki dan Engkaulah yang menghinakan dari itu bahwa Allah adalah Tuhan sesembahan

siapa yang Engkau kehendaki. Dalam kekuasaan manusia.

Engkaulah saja adanya segala kebaikan.

Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas 3. Allah sebagai Ilahun-naas (Tuhan

tiaptiap sesuatu.” Manusia)

Dari ayat diatas dapat diambil suatu Kalimat Ilah jika merujuk kepada kamus

hikmah bahwa Allah adalah satu-satunya bahasa arab pada umumnya, berasal dari 3 huruf

penguasa yang memiliki kekuasaan mutlak yang terangkai menjadi 1 kalimat, yaitu huruf

untuk memerintah dan berkehendak, Dialah alif, lam dan haa atau dibaca aliha. Kalimat

yang mampu memberi dan mencabut segala tersebut memiliki beberapa makna, tetapi

sesuatu yang dikehendakinya, dari-Nya pulalah makna yang sesuai dengan teks dan konteks dari

segala kebaikan itu berasal. Dengan demikian ayat Ilahin-naasi dalam surah An-naas lebih

maka jelaslah bahwa tidak ada yang pantas dapat dimaknai sebagai sesuatu yang diabdi,

untuk dimintai perlindungan dari segala yang disembah oleh manusia. Ilah berarti

keburukan kecuali hanya dari-Nya semata. juga Al-ma’bud atau sesuatu yang disembah,

Sifat Allah yang kedua ini sangat manusia mengabdikan dirinya untuk beribadah

berkaitan erat terhadap sifat yang pertama tadi kepada-Nya.

sebagaimana dijelaskan bahwa Allah adalah

639

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 5, Nomor 1, Januari-Juni 2019

Ilahun-naas yang dalam surah An-naas kami menyembah, dan hanya kepada-Mu lah
tersebut berarti yang menguasai hati mereka kami memohon pertolongan”. Maka semakin
dengan keagungan-Nya. Manusia tidak akan jelas adanya bahwa sifat Allah sebagai ilah,
mengetahui keadaaan dan batas kekuasaanNya. al-ma’bud bagi manusia menjadi wasilah dan
Sedangkan Allah selalu mengetahui apa yang perantara dalam berinteraksi untuk memohon
terdapat di dalam hati manusia.8 perlindungan dari segala kejahatan dan mara
bahaya yang selalu membisiki dalam hati
Sebagaimana jelas diterangkan dalam manusia itu sendiri.
AlQur’an surah adz-Dzaariyat : 56 : “Dan
tidaklah Aku (Allah) ciptakan Jin dan Manusia Ketiga sifat Allah yang telah diterangkan
kecuali untuk beribadah kepada-Ku”, bahwa di atas memiliki hierarki tersendiri dalam
penciptaan Jin dan Manusia tidak ada tujuan penyebutannya. Penyebutan sifat rububiyah
lain kecuali menjadikan Allah sebagai al- disebutkan terlebih dahulu dengan maksud
ma’bud, dalam ayat lain juga diterangkan karena hal tersebut merupakan nikmat Allah
mengenai perintah tersebut, “Hai manusia, yang luar biasa yang dianugerahkan kepada
sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu seluruh hamba-Nya. Barulah setelahnya
dan orang-orang sebelummu, agar kamu diikuti oleh sifat mulkiyah, atau malikiyah
bertakwa.” (Al-Baqarah : 21) yaitu yang merajai, yang memiliki. Hal
tersebut dikarenakan seorang hamba baru bisa
Terdapat hubungan yang erat antara merasakan hal tersebut setelah ia mau berpikir
tauhid rububiyah dengan tauhid uluhiyah, terhadap nikmat-nikmat yang telah diberikan
tauhid rububiyah menjadi bukti wajibnya Allah melalui sifat rububiyah-Nya. Kemudian
tauhid uluhiyah dan tauhid uluhiyah mencakup ditutup dengan yang ketiga berupa penyebutan
pada tauhid rububiyah. Penjelasan mengenai sifat uluhiyah Allah, sebab, setelah manusia
hubungan keduanya dapat diuraikan secara mau mengetahui dan berpikir secara mendalam
gamblang yaitu dengan mengakui bahwa mengenai kekuasaan dan keagungan Allah
Allah adalah Dzat yang Maha Mencipta, Maha dalam kedua sifat yang sebelumnya, maka ia
Mengatur dan memberi rizqi, itulah yang akan mengerti bahwa hanya Allah-lah yang
termaktub dalam tauhid rububiyah, setelah wajib ditaati, diagungkan dan disembah.10
mengetahui tentang ke-Agungan Allah melalui
tauhid rububiyah maka menjadi kewajiban Setelah mengetahui bentuk pola interaksi
bagi manusia untuk menyembah Allah tanpa Allah S.W.T dalam melindungi manusia
menyekutukan-Nya dengan apapun di dunia.9 melalui ketiga jenis tauhid yang diwakili oleh
asma’-asma’ yang telah tersebut di atas, Allah
Bertauhid uluhiyah berarti mengesakan sebagai rabb, malik dan ilah. Datang pertanyaan
Allah S.W.T dengan memberikan segala bentuk dari apakah manusia meminta perlindungan
peribadatan hanya kepada-Nya, menyeru di dari-Nya, mengapa manusia harus meminta
dalam do’a dan ibadah dengan menjadikan- perlindungan kepada-Nya. Maka pertanyaan
Nya sebagai satu-satunya tempat bergantung seperti demikian terjawab melalui ayat ke-4
dan memohon pertolongan. Seperti yang telah sampai dengan ayat yang ke-6 sebagaimana
difirmankan Allah dalam surah al-fatihah penjelasannya sebagai berikut.
ayat 5 yang bermakna “hanya kepada-Mu lah
Allah S.W.T adalah tempat berlindung
8 Terjemah Tafsir Al-Maraghi, CV Toha Putra. Hal 473 dari kejahatan dan bisikan syaitan, Rasulullah
9 Muhammad bin ‘abdul Wahab, Tafsir surati an-naas. Muasasatu ar
risalah, Riyadh. Hal. 21 10 Tafsir Al-Maraghi

640

POLA INTERAKSI PERLINDUNGAN ALLAH S.W.T TERHADAP MANUSIA DARI GANGGUAN SYAITAN (Studi Literasi Tafsir Qur’an Surah An-Naas)
(THE INTERACTION PATTERNS OF ALLAH PROTECTION TOWARDS MANKIND FROM SYAITAN’S INTERFERENCE
(Literacy studies of QS. An-Naas)) (Safa’at Ariful Hudha)

pernah bersabda dalam kitab Ash-Shahihain, membisiki manusia dari golongan Jin, dan

dari Anas tentang kisah kunjungan Shafiyyah terkadang pula adalah syaitan dari golongan

kepada Nabi ketika beliau tengah beri’tikaf. manusia.

Sabda beliau kurang lebih memiliki arti Imam Muhammad ‘Abduh memberikan

seperti demikian : penjelasan mengenai kedua golongan yang suka

“Sesungguhnya syaitan itu mengalir menggoda itu terdapat dua macam :

dalam tubuh anak Adam seperti aliran 1. Dari kalangan jin. Makhluk yang tidak

darah. Dan sesungguhnya aku khawatir dia bisa kita lihat, tetapi manusia dapat

akan memasukkan sesuatu ke dalam hati merasakan pengaruhnya dalam jiwa yang

kalian berdua– atau beliau mengatakan: merupakan akibat dari perbuatannya.

‘kejahatan’.”11 Pada diri setiap orang itu terdapat syaitan.

Dalam ayat ke-4 dari surah An-naas Syaitan inilah yang selalu menggiring

disebutkan bahwa syaitan yang sering manusia ke jurang kejahatan.

mengganggu manusia adalah syaitan yang 2. Dari kalangan manusia. Godaan mereka

membisiki dan biasa bersembunyi. Sa’id bin dapat kita saksikan dengan mata kepala

Jubair mengatakan dari Ibnu ‘Abbas : kalimat sendiri, dan dapat didengar melalui

khannas di akhir ayat itu bisa juga dimaknai telinga.14

dengan syaitan yang selalu bercokol di dalam Mengetahui hal tersebut maka tidak ada

hati manusia, dimana jika manusia lengah dan cara lain untuk dapat memohon perlindungan

lalai, maka dia akan memberikan bisikan, dan kepada siapapun dan apapun juga kecuali

jika manusia berdzikir kepada Allah maka kepada Allah S.W.T yang telah jelas diterangkan

syaitan itu akan bersembunyi.12 dalam surah di atas, bahwa Dialah sebagai

Syaitan dengan sifat khannas-nya yang pemelihara, raja serta sebagai Tuhan yang harus

berarti biasa bersembunyi mempunyai satu disembah oleh Manusia.

segi yang menunjukkan bahwa ia bersembunyi,

apabila mendapatkan kesempatan yang tepat,

ia pun beraksi dan menyampaikan bisikan. KESIMPULAN

Dari satu sisi menunjukkan kelemahan syaitan Surat An-naas merupakan salah satu dari

menghadapi orang yang menyadari tipu surah mu’awwidzatain yang diwahyukan kepada

dayanya yang merasuk ke dada.13 Rasulullah S.A.W ketika beliau mengalami

Dalam kitab lain juga disebutkan bahwa sakit yang agak parah dikarenakan terkena sihir

khannas juga memiliki makna setan yang dari seorang Yahudi. Surah ini berisi anjuran

tidak tampak dan selalu menggoda. Syaitan kepada manusia agar memohon perlindungan

tersebut selalu masuk ke dalam hati manusia hanya kepada Allah S.W.T dari segala kejahatan

untuk menjerumuskan ke jurang kejahatan syaitan. Dalam surah tersebut juga terkandung

melalui bisikan-bisikannya. Selanjutnya godaan tentang bagaimana Allah berinteraksi kepada

yang syaitan lakukan dilakukannya dengan makhluq ciptaannya terutama manusia. Ayat

membisiki dalam dada manusia. Lalu diperjelas pertama sampai dengan ketiga sangat jelas

lagi oleh Allah bahwasanya syaitan itu terdiri menerangkan pola interaksi tersebut sebagai

dari dua golongan, yang terkadang datang untuk dasar keimanan manusia bahwasanya Allah

11 Hadist Nabawi 14 Tafsir Al-Maraghi
12 Tafsir Ibnu Katsir. Hal. 582
13 Tafsir fi zhilalil Qur’an. Hal. 384

641

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 5, Nomor 1, Januari-Juni 2019

adalah dzat yang benar-benar dapat memberi DAFTAR PUSTAKA
perlindungan kepada manusia. Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Terjemah

Pola interaksi tersebut terbagi menjadi Tafsir Al-Maraghi, diterjemahkan oleh
3 yang disebutkan secara berurutan, Allah Bahrun Abu Bakar, Lc, Drs. Hery
sebagai rabbun-naas, malikun-naas, dan juga Noer Aly, K. Anshori Umar Sitanggal.
sebagai ilahun-naas. Rabbun-naas berarti Semarang: CV Toha Putra.
bahwa Allah sebagai pemelihara, pengatur As-Suyuthi, Jalaluddin. 2010. Asbabun Nuzul;
segala urusan hidup dan kehidupan manusia, Sebab Turunnya Al-Qur’an. Jakarta:
baik yang bersifat lahir maupun bathin, masa Gema Insani Press.
lampau ataupun yang akan datang semua sudah HAMKA. 1988. Tafsir Al-Azhar. Jakarta:
diatur oleh Allah. Malikun-naas berarti Allah Pustaka Panjimas.
merupakan satusatunya yang memiliki juga Kamus Besar Bahasa Indonesia online, http://
merajai manusia, Dialah yang meletakkan kbbi.web.id/
dasar-dasar hukum melalui syariat agama, dan Marzali, Ali dan Tim. 1989. Interaksi Antar
sebagai raja memang sudah sepantasnya untuk Etnik di beberapa Propinsi di Indonesia.
dipatuhi serta ditaati. Selanjutnya Allah sebagai Departemen Pendidikan & Kebudayaan
Ilahun-naas yang mana memiliki makna bahwa Misbah, Muhammad Taqi. 1996. Monoteisme :
hanya Dialah satusatunya yang pantas untuk Tauhid sebagai Sistem Nilai dan Akidah
disembah, hanya Dia yang harus dimintai Islam. Jakarta: Penerbit Lentera.
perlindungannya, hanya Dia pula yang pantas Muhammad bin ‘abdul Wahab. 1414 H. Tafsir
untuk menerima penghormatan tersebut tanpa surati an-naas. Riyadh: Muassasatu ar
terkecuali, bahwa segala puji hanya milik Allah. risalah.
Muhammad bin Abdurrahman, Makalah tentang
Penyebutan ketiga sifat tersebut Ma’na ar-rububiyah wa adillatuha wa
merupakan bukti interaksi Allah terhadap ahkamiha wa ibtholil-iltihaad fiiha.
manusia sebagai pelindung, bukti bahwa Dia 16/10/2011 – 1432/11/18 dapat diakses di
tidak akan menelantarkan seluruh makhluq- https://islamhouse.com/ar/books/373094/
Nya kecuali semua berada dalam genggaman Terjemah Al-Qur’anul Karim
kekuasaan-Nya. Maka sebagai umat yang Sayyid Quthb. 2003. Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an:
beriman kepada Allah haruslah kita memohon Di Bawah Naungan Al-Qur’an. Jakarta
perlindungan hanya kepada-Nya dari segala Robbani Press.
bujuk rayu dan bisikan jahat syaitan yang Shaleh, K.H.Q, H.A.ADahlan, Prof. DR. H.M.D
senantiasa bercokol di dalam hati setiap Dahlan. 1994. Asbabun Nuzul: Latar
manusia. Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat
Al-Qur’an. Bandung: CV. Diponegoro.

642


Click to View FlipBook Version