The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Bahan Ajar Mata Kuliah
Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara

FAKULTAS HUKUM
UNVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by felix.eko.76, 2021-08-18 23:08:06

HUKUM ACARA PTUN

Bahan Ajar Mata Kuliah
Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara

FAKULTAS HUKUM
UNVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

Keywords: e-book Hukum Acara PTUN

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara i

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahan ajar dalam bentuk
e-modul untuk mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dapat diselesaikan pada
semester ini. Bahan ajar ini menjadi penting baik bagi dosen pengajar maupun mahasiswa sebagai
bahan pegangan selama satu semester ketika dosen mengajar maupun mahasiswa mengikuti
perkuliahan mata kuliah ini.

Bahan ajar dalam bentuk e-modul yang teah disusun ini, tentunya belum sepenuhnya
memenuhi harapan semua pihak, oleh karena itu setiap ada perkembangan baru setiap semester
Bahan Ajar ini diharapkan dapat lebih disempurnakan disesuaikan dengan bahan-bahan hukum
yang lebih baru dan berlaku pada saat itu.

Terakhir, bahan ajar dalam bentuk e-modul ini selesai dirampungkan oleh penulis berkat
kerjasama tim pengajar dan tim pengarah yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan
saran dan masukan yang membangun kepada penulis. Begitupun kepada Dekan Fakultas Hukum
Universitas Singaperbangsa yang tak henti-hentinya mendorong dan menyemangati penulis untuk
menyelesaikan bahan ajar ini. Maka dari itu, ucapan terimakasih disampaikan kepada Dekan
Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa, Tim Pengajar, dan Tim Pengarah, smeoga bahan ajar
ini dapat dipergunakan sebagai salah satu bahan untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi
dosen dan mahasiswa yang menempuh mata kuliah ini.

Karawang, Agustus 2021
Penyusun

Dr. Wahyu Donri T. SH., M.Hum.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ii

DAFTAR ISI i
ii
Kata Pengantar ……………………………………………………………….………… 1
Daftar Isi ……………………………………………………………………………….. 1
A. IDENTITAS MATA KULIAH ……………………………………………………… 1
B. DESKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN ……………………………………….. 2
C. TUJUAN MATA KULIAH ………………………………………………………….. 2
D. MANFAAT MATA KULIAH ………………………………………………………. 3
E. ORGANISASI MATERI ……………………………………………………………. 4
F. METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES PEMBELAJARAN ……. 4
G. TUGAS-TUGAS ……………………………………………………………………. 6
H. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN ………………………………………………….
I. BAHAN PUSTAKA ………………………………………………………………… 8
8
Pertemuan I 13
A. Pendahuluan …………………………………………………………………………. 19
B. Sejarah dan Latar Belakang Terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara …………… 20
C. Negara Hukum dan Peradilan Tata Usaha Negara …………………………………… 20
D. Rangkuman …………………………………………………………………………..
E. Latihan ……………………………………………………………………………….. 21
F. Daftar Pustaka ……………………………………………………………………….. 21
25
Pertemuan II 27
A. Pendahuluan …………………………………………………………………………. 30
B. Tujuan Pembentukan PTUN …………………………………………………………. 30
C. Dasar-Dasar Hukum PTUN …………………………………………………………. 30
D. Asas-Asas PTUN …………………………………………………………………….
E. Rangkuman …………………………………………………………………………. 31
F. Latihan ………………………………………………………………………………. 31
G. Daftar Pustaka ………………………………………………………………………. 32
34
Pertemuan III 34
A. Pendahuluan ………………………………………………………………………… 34
B. Subjek Sengketa TUN ……………………………………………………………….
C. Objek Sengketa TUN ……………………………………………………………….. 36
D. Rangkuman …………………………………………………………………………. 36
E. Latihan ……………………………………………………………………………….. 40
F. Daftar Pustaka ………………………………………………………………………. 41
41
Pertemuan IV 42
A. Pendahuluan ………………………………………………………………………….
B. Kewenangan Absolut …………………………………………………………………
C. Kewenangan Relatif …………………………………………………………………
D. Rangkuman ………………………………………………………………………….
E. Latihan ………………………………………………………………………………
F. Daftar Pustaka ………………………………………………………………………..

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 1

A. IDENTITAS MATA KULIAH

Nama Mata Kuliah : Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Kode Mata Kuliah : HK61226

SKS : 2 SKS

Semester : IV

Status Mata Kuliah : Wajib

Tim Pengajar : 1. Dr. Imam Budi Santoso, S.H., M.H.

2. Rohendra Fathammubina, S.H., M.H.

3. Dr. Aslan Noor, S.H., M.H.

4. Dr. Sofyan Iskandar, S.H., M.H.

5. Dr. Wahyu Donri T. S.H., M.Hum.

B. DESKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN
Mata kuliah ini merupakan mata kuliah Wajib, yang pada hakekatnya merupakan

pendalaman dari salah satu substansi yang terdapat dalam mata kuliah Hukum Acara, yakni
mengenai Peradilan Tata Usaha Negara. Karena itu bahasan dalam mata kuliah ini meliputi
berbagai istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, asas-asas
Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, sejarah pengaturan Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara di Indonesia; Pemeriksaan Persiapan dan Pemeriksaan di Sidang, Hukum
Acara Formil dan Proses Dismisal, Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara, cara
penyelesaian cara mengajukan gugatan, pembuktian, cara melakukan upaya hukum, dan
eksekusi.

Mata kuliah ini berusaha sejauh mungkin untuk menghubungkan konsep- konsep hukum
yang ada dibidang acara secara teori dengan realitas yang terjadi di dalam masyarakat. Karena
itu, dalam perkuliahan dipergunakan berbagai contoh kasus yang terjadi di dalam masyarakat.

C. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu menganalisis dan memecahkan

masalah-masalah yang berkaitan dengan perkara-perkara yang dapat dilakukan melalui litigasi
maupun non litigasi, disamping itu diharapkan mahasiswa mampu membuat berkas perkara
hukum dan mampu membuat Karya Tulis Ilmiah sesuai dengan kajian bidang ilmu hukum dan
mempublikasikannya pada halaman jurnal nasional maupun internasional.

Dengan demikian maka, mahasiswa diharapkan mampu menganalisa berbagai masalah
yang berkaitan dengan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara yang timbul dan ada dalam

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 2

kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan mengembangkan sikap religius, rasa ingin tahu,
kritis, logis dalam menyelesaikan masalah-masalah Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata
Usaha Negara serta peduli terhadap lingkungan masyarakat.

D. MANFAAT MATA KULIAH
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan mata kuliah yang bersifat

teoritis dan praktis, sebagai pendalaman dari mata kuliah lain dalam kelompok mata
kuliah keahlian hukum, terutama Hukum Acara, khususnya substansi Tata Usaha Negara.
Karena itu, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha selain memberikan manfaat teoritis bagi
mahasiswa, yakni mahasiswa dapat memahami seluk-beluk istilah dan pengertian-
pengertian Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, asas-asas Acara dan Praktek
Peradilan Tata Usaha Negara, sejarah pengaturan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara di Indonesia; Pemeriksaan Persiapan dan Pemeriksaan di Sidang, Hukum Acara
Formil dan Proses Dismisal, Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara, cara
penyelesaian cara mengajukan gugatan, pembuktian, cara melakukan upaya hukum, dan
eksekusi.

E. ORGANISASI MATERI
Materi kuliah terdiri dari beberapa pokok bahasan dan sub pokok bahasan, yang dapat

digambarkan sebagai berikut :
1. Pendahuluan
a. Negara Hukum dan Peradilan Administrasi
b. Penamaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
c. Sistematika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
d. Pengertian Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
2. Karakteristik dan Prinsip-Prinsip Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
a. Karakteristik Perbedaan dan Persamaan antara Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara dengan Peradilan Perdata
b. Prinsip-Prinsip/Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
3. Alur Penyelesaiaan Sengketa Tata Usaha Negara
a. Upaya Administratif
b. Gugatan Langsung ke Peradilan Tata Usaha Negara
c. Hukum Acara Formil

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 3

4. Pemeriksanaan Sengketa Tata Usaha Negara
a. Pemeriksaan Persiapan
b. Proses Dismissal/Rapat Permusyawaratan
c. Kompetensi

5. Pengajuan Gugatan
a. Pengertian
b. Elemen-Elemen dalam Surat Gugatan
c. Alasan Mengajukan Gugatan
d. Pengajuan Gugatan
e. Perwakilan dalam Sengketa Tata Usaha Negara

6. Pembuktian dan Beban Pmebuktian
a. Pembuktian
b. Beban Pembuktian

7. Putusan
a. Pengertian Putusan
b. Putusan Peradilan Tata Usaha Negara
c. Isi Putusan
d. Susunan putusan

8. Upaya Hukum dan Eksekusi
a. Upaya Hukum
b. Eksekusi

F. METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES PEMBELAJARAN
Metode perkuliahan yang digunakan yaitu metode Problem Based Learning.

Mahasiswa belajar (learning) menggunakan masalah sebagai basis pembelajaran. Dosen
bukan mengajar (teaching), tetapi memfasilitasi mahasiswa belajar.

Pada semester ini, pembelajaran yang masih menggunakan metode media daring,
maka kelas akan dibuka melalui aplikasi Zoom Meeting, Google Classroom, dan
menggunakan WhatsApp sebagai media komunikasi.

Perkuliahan Pokok-pokok Bahasan dan sub-sub pokok bahasan dipaparkandengan
alat bantu papan tulis, power point slide, dan penyiapan bahan bacaan tertentu yang
dipandang sulit diakses oleh mahasiswa. Mahasiswa sudah mempersiapkan diri (self
study) sebelum mengikuti perkuliahan dengan mencari bahan materi, membaca, dan
memahami pokok-pokok bahasan yang akan dikuliahkan sesuai dengan arahan

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 4

(guidance) dalam Block Book. Perkuliahan dilakukan dengan proses pembelajaran dua
arah, yakni pemaparan materi, tanya jawab, dan diskusi.

Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas, baik discussion task, study task, maupun
problem task sebagai bagian dari self study. Tugas-tugas dikerjakan sesuai dengan
petunjuk yang terdapat pada setiap jenis tugas-tugas.

G. TUGAS-TUGAS
Mahasiswa diwajibkan untuk membahas, mengerjakan dan mempersiapkantugas-

tugas yang ditentukan di dalam Buku Ajar. Tugas-tugas terdiri dari tugas mandiri yang
dikerjakan di luar perkuliahan, tugas yang harus dikumpulkan, dan tugas yang harus
dipresentasikan.

H. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN
Ujian-ujian terdiri dari ujian tertulis dalam bentuk essay dalam masa tengah semester dan

akhir semester. Penilaian meliputi aspek hard skills dan aspek soft skills. Penilaian hard skill
dilakukan melalui tugas-tugas (TT), UTS, dan UAS. Penilaian soft skill meliputi penilaian atas
kehadiran, keaktifan, kemampuan presentasi, penguasaan materi, argumentasi, disiplin, etika dan
moral berdasarkan pada pengamatan dalam tatap muka selama perkuliahan.

Kriteria Penilaian KOMPONEN PERSENTASE

NO KEHADIRAN 10 %
. TUGAS INDIVIDU 20%
1. UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) 30 %
2. UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS) 40 %
3. 100 %
4. TOTAL

1. Penilaian Hard Skill BERDASARKAN STATUTA UNSIKA
GRADE
A SKOR DESKRIPSI
85 - 100. Komponen Penilaian berupa Kehadiran, Keaktifan
A- saat perkuliahan, Penugasan serta Hasil UTS dan

UAS Mahasiswa sangat baik

80 – 84 Komponen Penilaian berupa Kehadiran, Keaktifan
saat perkuliahan, Penugasan serta Hasil UTS dan

UAS Mahasiswa hampir sangat baik

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 5

B+ 75 – 79 Komponen Penilaian berupa Kehadiran, Keaktifan

saat perkuliahan, Penugasan serta Hasil UTS dan

UAS Mahasiswa lebih baik

B 70 – 74 Komponen Penilaian berupa Kehadiran, Keaktifan

saat perkuliahan, Penugasan serta Hasil UTS dan

UAS Mahasiswa baik

B- 65-69 Komponen Penilaian berupa Kehadiran, Keaktifan

saat perkuliahan, Penugasan serta Hasil UTS dan

UAS Mahasiswa hampir baik

C+ 60-64 Komponen Penilaian berupa Kehadiran, Keaktifan

saat perkuliahan, Penugasan serta Hasil UTS dan

UAS Mahasiswa lebih dari cukup

C 50-59 Komponen Penilaian berupa Kehadiran, Keaktifan

saat perkuliahan, Penugasan serta Hasil UTS dan

UAS Mahasiswa cukup

D 40-49 Komponen Penilaian berupa Kehadiran, Keaktifan

saat perkuliahan, Penugasan serta Hasil UTS dan

UAS Mahasiswa kurang

1. Penilaian Soft Skills

KRITERIA: Ketepatan cara komunikasi

GRADE SCORE DESKRIPSI

Bagus 61-80 Informasi yang disampaikan dapat diterima
Cukup 41-60 dengan baik oleh peserta diskusi
Kurang ≤40
Informasi yang disampaikan kurang dapat
diterima isi dan maknanya

Tidak mampu memberikan informasi pada
orang lain

KRITERIA: Berani mengemukakan pendapat

GRADE SCORE DESKRIPSI

Bagus 61-80 Mengemukakan pendapat dengan baik
Cukup Kurang berani mengemukakan pendapat
Kurang 41-60 Tidak berani mengemukakan pendapat
≤40

GRADE SCOR KRITERIA: Menghargai pendapat orang lain
E DESKRIPSI

Bagus 61-80 Mampu menghargai pendapat orang lain
Cukup Kurang dapat menghargai pendapat orang lain
Kurang 41-60
≤40 Tidak menghargai pendapat orang lain

SCOR Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 6
GRADE E
KRITERIA: Kerjasama
Bagus 61-80 DESKRIPSI
Cukup
Kurang 41-60 Kerjasama kelompok baik
≤40 Kerjasama kelompok kurang
Tidak ada kerjasama kelompok

I. BAHAN PUSTAKA
Wajib:
1. Amrah Muslimin, 1985, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan
Hukum Administrasi, Alumni, Bandung.
2. Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(Buku II), Sinar Harapan, PT.
3. Kuntjoro Purbopranoto, 1985, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, Alumni, Bandung.
4. Marbun, SF, 1997, Peradilan Administratif Negara dan Upaya Administratif di PT,
Liberty, PT.
5. ________, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, PT.
6. Martiman Prodjohamidjojo, 1996, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia PT,
PT.
7. Riawan Tjandra, 1995, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atmajaya,
PT.
8. Suparto Wijoyo, 1997, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administratif, Airlanggga
University Press, Yagyakarta.
9. Suwarma Al Muchtar, 1999, Peradilan Tata Usaha Negara, Epsilon Grup, Bandung.
10. Siti Soetami, A, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT Refika Aditama,
PT.
11. Wiyono, R, 2008, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, PT.
12. Zairin Harahap, 1997, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT Raja Grafindo
Persada, PT.
13. Darwan Prinst, Strategi Menangani Perkara Tata Usaha Negara, PT Mandar Maju
14. Agung Susanto, 2000, Hukum Acara Perkara Konstitusi (Prosedur Berperkara Pada
Mahkamah Konstitusi), PT Mandar Maju

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 7

Peraturan Perundang-undangan:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta Amandemennya.
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
4. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 8

PERTEMUAN I
SEJARAH DAN LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA PERADILAN TATA USAHA

NEGARA

A. PENDAHULUAN

Pada pertemuan pertama perkuliahan disajikan Bahan kajian untuk memberikan
pemahaman tentang Sejarah dan Latar Belakang Terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara
dan Pengertian Negara Hukum.

Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan perkuliahan pertama adalah
mahasiswa memahami Sejarah dan Latar Belakang Terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara
dan Pengertian Negara Hukum.

Materi perkuliahan pertama Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ini sangat
penting dipahami untuk memudahkan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas dan
menjadi dasar pada pemahaman perkuliahan kedua. Selain itu juga menghindari terjadinya
pengulangan penjelasan terhadap konsep-konsep yang berulang kali diketemukan dalam bahan
kajian pada perkuliahan kedua, ketiga, dan keempat.

B. SEJARAH DAN LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA PERADILAN TATA
USAHA NEGARA

Berdasarkan sejarah yang ada, di zaman pemerintahan Hindia Belanda tidak dikenal
adanya Peradilan TUN sebagai suatu lembaga yang berdiri sendiri, yang diberi kewenangan
untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa di bidang Tata Usaha Negara. Peradilan saat
itu dilakukan oleh hakim administrasi yang khusus memeriksa perkara administrasi, maupun
hakim perdata.

Sejak Indonesia merdeka sampai dengan tahun 1986, Indonesia belum mempunyai suatu
lembaga Peradilan Administrasi Negara yang berdiri sendiri. Namun demikian hal itu tidak
menjadi penghalang perkara-perkara yang berkaitan dengan administrasi dapat diselesaikan,
karena buktinya walaupun Peradilan Administrasi Negara belum ada, telah banyak perkara
administrasi negara yang dapat diselesaikan. Untuk penyelesaian perkara administrasi negara
dilakukan oleh berbagai macam badan peradilan yang masing-masing mempunyai batas
kompetensi tertentu dengan prosedur pemeriksaan yang berbeda.

Sebagaimana diketahui dalam praktek, dikenal adanya 3 lembaga yang melakukan
fungsi seperti lembaga Peradilan TUN yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Peradilan
Pegawai Negeri, dan Peradilan Bea Cukai. Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) merupakan
satu-satunya lembaga yang dianggap dapat menyelesaikan sengketa administrasi yang
berkaitan dengan perpajakan.

Pada masa Penjajahan Hindia Belanda, tidak terdapat suatu instansi/badan Peradilan
yang secara khusus, mandiri memeriksa dan menyelesaikan suatu sengketa di bidang
Administrasi/Tata Usaha Negara. Hanya dalam pasal 134 ayat (1) Indische Staatsregel- ing
(I.S) dan pasal 2 Reglement op de rechterlijke Organisatie en het beleid der Justitie (R.O)
disebutkan sebagai berikut:

1. Perselisihan Perdata diputus oleh Hakim biasa menurut Undang-Undang.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 9

2. Pemeriksaan serta penyelesaian perkara Administrasi menjadi wewenang lembaga
Administrasi itu sendiri.
Maka berdasarkan ketentuan tersebut di atas dalam hal memberikan perlindungan

hukum bagi administrabelle, pemerintah hanya dimungkinkan memakai Sistem Administratief
Beroep sistem mana paralel dengan sistem yang dipergunakan di Nederland. Dalam sistem
Administratief Beroep ini, yang berwenang memeriksa dan memutus suatu perkara atau
sengketa dalam bidang Administrasi adalah Instansi yang secara hirarkhis lebih tinggi atau
instansi lain di luar instansi yang telah memberikan Keputusan pertama itu. Instansi yang
bersangkutan tidak saja berwenang memeriksa segi rechtmatigheid, tetapi juga berwenang
memeriksa, meneliti dan mempertimbangkan segi doelmatigheid-nya suatu Keputusan
instansi bawahan. Kemudian instansi itu dapat mengganti atau merubah Keputusan
Administrasi pertama itu, dan membuat Keputusan baru.

Lain halnya bilamana mempergunakan sistem Administratief Rechtspraak. Dalam
sistem ini yang berwenang memeriksa dan memutus suatu sengketa adalah Hakim. Adapun
yang diperiksa atau diteliti hanya terbatas pada segi rechtmatigeheid suatu Keputusan Badan
Administrasi Negara atau Badan Tata Usaha Negara. Di samping itu peradilan ini hanya
berwenang membatalkan suatu Keputusan Administrasi dan memberi hukuman berupa denda
(uang), tetapi tidak berwenang membuat suatu Keputusan baru sebagai pengganti dari
keputusan terdahulu yang dibatalkan itu. Sedangkan dalam hal timbulnya sengketa mengenai
Wewenang mengadili antara Pengadilan dengan Badan-badan Tata Usaha menurut pasal 138
ayat (2) Indische Staatsregeling (IS) diputus oleh Gubernur General dengan persetujuan Raad
van Nederlands Indie menurut aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan Ordonantie. Akan
tetapi Ordonantie sebagaimana dimaksud ternyata tidak pernah ada.

Di samping itu dalam beberapa hal, yakni menyangkut sengketa pajak-pajak tertentu -
sejak 1 Januari 1916 - berdasarkan Ordon- nantie dalam Staastblad 1915. Nomor 707,
terdapat suatu Pengadilan Tata Usaha. Istimewa - berkedudukan di Jakarta, dinamakan
Raadvan Beroep voor belastingzaken. Sedang susunan Pembandingan dalam perkara Pajak -
dalam Staatsblad 1912 No. 29.

Pada saat zaman pemerintahan Jepang berkuasa tidak banyak perhatian terhadap
kelengkapan perangkat hukum yang diberlakukan. Saat itu diundangkan UU Nomor 1 tahun
1942, di mana pemerintahan Jepang menjalankan kekuasaan dan pemerintahan militernya
(Gunseibu)1. Pasal 3 dari UU tersebut menyebutkan dalam aturan peralihan yakni “Semua
badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang- undang dari pemerintah
yang dahulu, tetap diakui sah bagi sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan
aturan pemerintah militer”. Dengan demikian pendudukan Jepang masih tetap berlaku IS dan
RO.

Setelah Indonesia Merdeka, untuk pertama kali ketentuan mengenai perkara/sengketa
Tata Usaha Negara ini dicantumkan dalam pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948
tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman Dan Kejaksaan, di mana Pasal 66
menyebutkan:

1 Sudikno Mertokusumo, 1971, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undanganya di Indonesia Sejak 1942: dan

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 10

“Jika dengan Undang- Undang atau berdasar atas Undang-Undang tidak ditetapkan
badan-badan Kehakiman lain untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara dalam
soal Tata Usaha Pemerintahan, maka Pengadilan Tinggi dalam tingkatan pertama dan
Mahkamah Agung dalam tingkatan kedua memeriksa dan memutus perkara-perkara
itu”.

Kemudian Pasal 67 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 menyebutkan:
“Badan-badan Kehakiman dalam peradilan Tata Usaha Pemerintahan yang
dimaksudkan dalam Pasal 66 berada dalam pengawasan Mahkamah Agung serupa
dengan yang termuat dalam Pasal 55”.

Akan tetapi undang-undang ini tidak jadi berlaku. Dalam perkembangan selanjutnya,
sehubungan dengan berlaku nya Undang-undang Dasar Sementara 1950, di mana dalam
Undang-undang Dasar ini terdapat juga pasal-pasal yang mengatur sengketa Tata Usaha,
antara lain :
Pasal 108 UUDS 1950:

Pemutusan tentang sengketa yang mengenai Hukum Tata Usaha diserahkan kepada
Pengadilan yang mengadili perkara Perdata ataupun kepada alat-alat perlengkapan lain,
tetapi jika demikian seboleh-bolehnya dengan jaminan yang serupa tentang Keadilan
dan Kebenaran.

Pasal 142 UUDS 1950:
Peraturan-peraturan, Undang-undang dan Ketentuan-ketentuan yang sudah ada pada
tanggal 17 Agustus 1950, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai Peraturan-
peraturan dan Ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang- undang
dan Ketentuan-ketentuan Tata Usaha atas kuasa UUD ini.

Dari kedua pasal tersebut di atas dapat disimpulkan terdapat kemungkinan 3 (tiga)
macam cara untuk menyelesaikan suatu sengketa Tata Usaha Negara. Yaitu pertama, segala
penyelesaian dan pemutusan sengketa Tata Usaha diserahkan kepada Pengadilan Perdata.
Kedua, segala sengketa Tata Usaha penyelesaian dan pemutusannya diserahkan kepada badan
pemutus yang dibentuk secara istimewa. Ketiga, dengan menentukan satu atau beberapa
macam sengketa Tata Usaha yang penyelesaiannya diserahkan kepada pengadilan Perdata dan
badan khusus yang dibentuk secara istimewa.

Kemudian berdasarkan atas ketetapan Majelis Permusyawa ratan Rakyat Sementara
(MPRS) Republik Indonesia Nomor ll/MPRS/1960 yang memerintahkan agar segera
diadakan suatu Peradilan Administrasi Negara, maka oleh Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional (LPHN) pada tahun 1960 telah disusun suatu naskah Rancangan Undang-undang
(RUU) tentang Peradilan Administrasi Negara.

Selanjutnya pada tahun 1964 dengan diundangkannya Undang- undang Nomor 19
tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman - di mana dalam pasal
7 ayat (1) disebutkan bahwa salah satu dari lingkungan Peradilan adalah Peradilan
Administrasi Negara, maka sebagai tindak lanjut daripada pasal 7 ayat (1) tersebut, oleh
Menteri Kehakiman Republik Indonesia, dengan Surat Keputusan Nomor J.S.8/12/17
tertanggal 16 Februari 1965 dibentuklah Panitia Kerja Penyusun RUU Peradilan Tata Usaha
Negara.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 11

Kemudian oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) dalam sidang Plenonya
ke-6 pada tanggal 10 Januari 1966 telah pula disahkan suatu RUU tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Namun patut disayangkan bahwa Rancangan Undang-undang tersebut tidak
sempat diajukan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
Karenanya oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong pada tahun 1967 RUU tersebut
diusulkan sebagai usul inisiatif, dan usul inisiatif itu ternyata tidak sempat diselesaikan karena
adanya perubahan Orde Lama ke Orde Baru.

Pada masa Pemerintahan Orde Baru, dengan diundangkannya Undang-undang Nomor
14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti
daripada Undang-Undang Nomor 19 tahun 1964 - di mana dalam Undang-undang Nomor 14
tahun 1970, pasal 10 ayat (1) disebutkan :

“Bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan antara
lain Peradilan Tata Usaha Negara.”

Berhubung karena eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara itu telah dijamin dalam
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970, maka sebagai tindak awal, Persatuan Sarjana Hukum
Indonesia (PER-SAHI) telah mencoba mengambil prakarsa/inisiatif, dalam musyawarah
Nasional awal Agustus 1972 di Parapat Sumatra Utara membahas masalah Peradilan
Administrasi Negara tersebut sebagai respon positif menyambut kehadiran Peradilan
Administrasi Negara itu. Kemudian untuk persiapan selanjutnya - oleh Departemen
Kehakiman Republik Indonesia bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Pajajaran
Bandung pada tahun 1975 telah mengadakan suatu penelitian mengenai Peradilan Tata Usaha
Negara.

Mengingat begitu pentingnya jaminan akan eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara
secara juridis - maka dalam Tap MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara, bidang hukum, sub jaminan itupun telah pula dipatrikan. Bahkan Presiden
Soeharto dalam pidatonya di hadapan sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanggal
16 Agustus 1978 yang diulangi beliau kembali pada peringatan Nuzul Qur'an di Masjid
Istiqlal, di mana antara lain beliau menjelaskan bahwa tugas besar dalam tahapan ketiga
Pembangunan jangka panjang bukan hanya meneruskan dan meluaskan pembangunan, tetapi
juga mempertegas wajah keadilan di segala lapangan.

Dari pendapat tersebut di atas telah memberi bayangan dan keyakinan kepada warga
masyarakat akan wajah khusus dari periode Pembangunan Lima Tahun, (1978 - 1983) wajah
khusus meratakan keadilan. Kepala Negara secara kongkrit menunjuk tiga (3) mekanisme
untuk meratakan keadilan itu, yakni:

1. Penyelesaian perkara seadil-adilnya dan secepat-cepatnya;
2. Bantuan Hukum untuk mereka yang kurang mampu; dan
3. Segera akan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari uraian tersebut di atas, maka nyatalah bahwa keinginan untuk merumuskan dan
mewujudkan suatu Peradilan Administrasi Negara yang sudah dimulai sejak tahun 1948 telah
berlangsung lama. Baik yang dilakukan oleh kalangan yudikatif, eksekutif, maupun dari
kalangan perguruan tinggi dan kalangan profesi.

Dengan dituangkannya keinginan rakyat tersebut dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Tap MPR Nomor IV/MPR/1978 mengenai

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 12

Garis-garis Besar Haluan Negara di bidang Hukum, sub d - yang menyebutkan bahwa - perlu
dibentuk segera adanya Peradilan Tata Usaha Negara, maka hal ini berarti rakyat telah
mengamanatkan agar peradilan itu dilaksanakan dalam Pelita III. Amanat ini dalam tahun
1982 telah dicoba dilaksanakan oleh Pemerintah-dengan diwakili Menteri Kehakiman Ali
Said, SH tanggal 31 Mei 1982 telah disampaikan Rancangan Undang-undang tentang
Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara - dalam Rapat Paripurna ke 30
masa sidang ke 4 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Rancangan Undang- undang
itu diajukan dalam suatu paket bersama RUU Hankam dan Perubahan Undang-undang Pokok
Pers. Akan tetapi, mengingat sempitnya waktu (dua setengah bulan) ternyata satu dari ketiga
paket itu, yaitu RUU Peradilan Tata Usaha Negara - dalam rapat terakhir Panitia Khusus
(Pansus) DPR tanggal 4 September 1982 antara Pemerintah dengan DPR telah disepakati
untuk tidak menyelesai kannya, dengan pertimbangan mengingat materi dari RUU itu
dianggap sangat berat dan merupakan hal baru dalam susunan/tata hukum kita.

Dengan demikian, keinginan yang sudah lama dirindukan oleh rakyat dan Bangsa
Indonesia itu menjadi mentah kembali, tetap menjadi impian dan belum terujudkan. Ketika itu
timbul silang pendapat yang berkisar pada persoalan, apakah DPR yang baru (1983 - 1988)
akan melanjutkannya kembali. Ada asumsi yang mengatakan bahwa DPR yang baru tidak
akan terikat dengan hasil kerja DPR yang lama. Sebab DPR baru itu membawa kedaulatan
Rakyat yang memilihnya, dan bahkan berwenang mutlak untuk merubah produk legistlatif
sebelumnya. RUU PTUN tersebut baru diajukan kembali oleh Pemerintah kepada DPR 16
April 1986 melalui surat Presiden No. R.04/PU/IV/1986. RUU itu merupakan
penyempurnaan - dari RUU yang pernah diajukan sebelumnya pada tahun 1982. Diajukannya
kembali RUU tersebut ternyata banyak mendapat sambutan positip dari masyarakat. Hampir 8
(delapan) bulan lamanya pembahasan RUU itu berlangsung, dan banyak di antara anggota
masyarakat memberikan masukan terhadap RUU itu. Pada tanggal 20 Desember 1986,
akhirnya DPR memberikan persetujuan atas RUU itu dan pada tanggal 29 Desember 1986
diundangkanlah Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Penjelasannya dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1986 Nomor 77 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3344. Memang UU No. 5 tahun
1986 ini menurut pasal 145 dinyatakan mulai berlaku sejak diundangkan, tetapi
pelaksanaannya secara efektif akan diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya
lima tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.

Selama ini sementara Peradilan Tata Usaha Negara belum dapat diujudkan, tidak jarang
ditemui adanya rasa kesombongan dan penggunaan wewenang yang melampaui batas
kekuasaan dari Badan Tata Usaha Negara. Tindakan-tindakan tersebut kadangkala sering
dirasakan melukai rasa keadilan rakyat sebagai warga dari suatu Negara Hukum. Banyak
langkah dan perbuatan Badan Tata Usaha Negara yang dirasakan tidak menyenangkan dan
tidak memuaskan. Perbuatan tersebut antara lain : Pertama, karena Badan Tata Usaha Negara
dianggap sering mengeluarkan Keputusan yang sifatnya "onjuist" tidak tepat atau tidak betul.
Onjuisheid timbul karena ketidaktepatan interpretasi terhadap suatu Undang-undang yang
sedang dipersoalkan. Misalnya suatu permohonan ijin ditolak, padahal menurut si-pemohon
semua persyaratan sesuai dengan ketentuan Undang-undang sudah dipenuhi, masalahnya
menjadi like and dislike - di sini peranan seorang administrator menjadi sangat menentukan -
sehingga terbukalah kesempatan yang sangat luas untuk kemungkinan menyalahgunakan

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 13

kekuasaan. Kedua, perbuatan/keputusan Badan Tata Usaha Negara itu dianggap melanggar
Undang-undang (onwetmatig) atau melanggar hukum (onrechtmatig) sebagaimana halnya
banyak dialami oleh rakyat kecil/pedagang kecil di pinggir jalan yang diusir oleh para aparat
yang memang berwenang bertindak. Memerintahkan para pedagang itu untuk meninggalkan
tempat terlarang tersebut adalah wetmatig, tetapi mengangkat barang-barang mereka itu
secara kasar ke atas truk - kemudian menghancurkannya dan membuangnya begitu saja,
adalah "onrechtmatig". Apalagi jika Keputusan yang onrechtmatig itu terjadi pada tingkat
tinggi - seperti seorang Menteri mengeluarkan Peraturan Menteri yang ternyata
bertentangan/melanggar Ketentuan Undang-undang? Siapa lagi yang harus memberikan
perlindungan terhadap masyarakat? Belum lagi timbulnya ketidakpuasan masyarakat itu
disebabkan karena Badan Tata Usaha Negara telah berbuat "ondoelmatig" tidak efisien.

Memang bahaya kehidupan masyarakat itu datangnya tidak saja dari para pejabat yang
melakukan perbuatan pidana, tetapi yang lebih berbahaya justru datangnya dari para Pejabat
Administrasi Negara yang melakukan deteournement de peuvoir, ultra vires, penyalahgunaan
kekuasaan administratif yang dipercayakan oleh rakyat dan negara kepadanya - sehingga
dalam hal ini seorang guru Besar dalam bidang ilmu Hukum Administrasi Prof. Dr. Mr.
Prajudi Admosudirdjo pernah memperingatkan bahwa bilamana usaha menanggulangi
pengembangan Peradilan Administrasi Negara yang baik itu tidak berhasil, maka akan
lenyaplah segala cita-cita Demokrasi Pancasila kita.

Agar suasana kehidupan bernegara itu teratur, maka diperlukan adanya "rules of the
game" - yaitu aturan permainan yang disebut Hukum. Bagi permainan politik, hukumnya
adalah Hukum Konstitusi atau Hukum Tata Negara. Sedang bagi petugas negara yang
mengurus dan melayani kepentingan-kepentingan rakyat, berlaku Hukum Administrasi
Negara. Semua permainan itu harus ada wasitnya, yaitu yang disebut Peradilan.

Bagi warga negara yang sadar akan hak dan kepentingannya, akan melakukan kegiatan-
kegiatan politik - dan kegiatan politik tersebut akan berakhir dengan dikeluarkannya
Keputusan-keputusan Badan Konstitusi (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan Badan
Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden). Sesudah proses politik itu berakhir
dengan dicapainya Keputusan-keputusan dan Perumusan-perumusan yang merupakan
kehendak rakyat, maka barulah mulai proses Administrasi. Administration begin where
politics ends. Bilamana Administrasi Negara juga ikut bermain politik, maka di sinilah akan
timbul kesulitan untuk menarik suatu garis batas - karena siapa lagi yang akan merealisir
daripada Keputusan- keputusan yang merupakan kehendak rakyat itu ?

C. NEGARA HUKUM DAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan
atau pengertian negara hukum itu harus berkembang mengikuti perkembangan sejarah manusia.
Sejarah perkembangan politik dan hukum, pada dasarnya yang mendorong lahir dan
berkembangnya konsepsi negara hukum. Konsep negara hukum mulai berkembang dengan
pesat sejak akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Di Eropa Barat Kontinental, Immanuel Kant
dan Friedrich Julius Stahl menyebutnya dengan istilah Rechtsstaat, sedangkan di negara-negara
anglo saxon, A.V Dicey menggunakan istilah rule of law. Seperti yang telah disebutkan pada
bab sebelumnya, unsur-unsur negara hukum yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl, dua

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 14

unsur diantaranya merupakan konsep negara hukum yang dikemukakan oleh Immanuel Kant,
yaitu : (1) Adanya perlindungan terhadap hak-hak manusia; (2) Adanya pemisahan kekuasaan
dalam negara.2

Unsur-unsur rule of law menurut A.V. Dicey sebagaimana yang dikutif oleh S.F
Marbun3, adalah sebagai berikut:

1. Supremasi aturan-aturan hukum (the absolute supremacy or predominance of regular
law);

2. Kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law, or the equal subjection
of all classes to the ordinary law of the land administreted by ordinary law courts);

3. Adanya jaminan terhadap hak-hak manusia (a formula expressing the fact that with us the
law of constitution, the rules wich in foreign countries naturally form parts of a
contituational code, are not the cource but the consequence of the rights of indivifuals as
defined and enforced by the countries).

Apa yang dirumuskan oleh F.J. Sthal dan A.V. Dicey tersebut adalah dalam arti klasik.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya pada zaman modern di abad ke-20, unsur Negara
Hukum itu telah pula mengalami perkembangan sebagaimana dirumuskan oleh The
Internasional Commisional of Jurists pada Konggres Athena 1955, dan oleh Internasional Of
Jurists pada Konggresnya di Bangkok 1965 - yang merumuskan syarat/unsur-unsur negara di
bawah Rule Of Law, sebagai berikut:

1. Perlindungan Kontitusional dalam arti bahwa Konstitusi selain menjamin hak-hak
individu, harus menentukan pula cara proseduril untuk memperoleh perlindungan atas hak-
hak yang dijamin itu.

2. Badan Kehakiman yang bebas (indevendent and impertial tribunals).
3. Pemilihan umum yang bebas.
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5. Kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi
6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Di sini terlihat adanya perluasan terhadap konsepsi Rule of Law tersebut. Di samping
hak-hak politik, hak-hak sosial dan ekonomi juga harus diperhatikan, diakui dan dipelihara.
Bahkan dalam perkembangannya akhir-akhir ini persyaratan tersebut semakin direntang -
sehingga soal-soal kelaparan, pengangguran dan kemiskinan - sering dikaitkan dengan konsep
Negara Hukum. Suatu Negara Hukum baru dapat dinyatakan berjalan dengan baik, apabila
persyaratan terakhir ini juga dipenuhi.

Bilamana dilihat dari rumusan tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa makna
dari suatu Negara Hukum itu adalah jika seseorang mempunyai hak terhadap negara dan hak-
hak itu diakui oleh Undang-undang dan untuk merealisasikan perlindungan atas hak-hak itu,
maka kekuasaan negara harus dipisah-pisahkan atas berbagai tangan, yakni badan pembuat
Undang-undang, badan penyelenggara dan badan peradilan. Badan peradilan tersebut harus

2 Moh. Kusnardi, Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, Hlm. 132.
3 S.F Marbun, Peradilan Administrasi Negara, Hlm. 9.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 15

bebas dan merdeka kedudukannya. Dengan demikian akan dapat memberikan perlindungan
hukum terhadap semua warganegara yang merasa haknya dirugikan sekalipun hal itu dilakukan
oleh alat negara sendiri. Di samping itu untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan
umum dengan kepentingan perseorangan agar berjalan selaras dan rasa keadilan dalam
masyarakat terpelihara serta dapat ditingkatkan yang sekaligus merupakan public service
negara terhadap warganya. Dalam hal inilah arti penting/urgensi kehadiran suatu Peradilan
Administrasi Negara diperlukan.

Di samping itu, suatu negara Hukum juga menghendaki agar setiap tindakan penguasa
harus menurut dan didasarkan atas hukum, tidak didasarkan atas kemauan dari Penguasa itu
belaka. Dengan demikian Kekuasaan Penguasa tersebut akan dapat dibatasi dalam arti
terkontrol dan di lain pihak hak-hak asasi warga negara akan terlindungi dari kemungkinan
tindakan sewenang-wenang penguasa. Adapun Hukum yang dimaksud di atas bukanlah sekedar
Hukum dalam arti formil atau hukum yang sudah memenuhi prosedur pembentukannya dan
dibuat oleh pembentuk Undang-undang (legislatief), melainkan hukum yang hidup di
masyarakat (living law) dan hukum yang adil (just law). Menurut hemat kami, di sinilah justru
sangat diperlukan sikap kehati-hatian dan kejelian dalam menangkap serta memberi arti akan
makna Negara Hukum. Sebab, jika hanya berpegang pada hukum yang formil, maka akan sulit
rasanya untuk menarik garis pemisah antara Negara Diktator atau Totaliteir dengan Negara
Hukum atau Rule of Law. Karena bukankah di negara Diktator pun juga dijalankan hukum
sekalipun Hukumnya adalah Hukum yang dibuat menurut selera si diktator atau sang penguasa
itu sendiri?

Pada Konsep Negara hukum (rechtsstaat) kemudian dikembangkan oleh S.W.
Couwenberg menjadi sepuluh unsur, yaitu:4

1. Pemisahan antara negara dan masyarakat sipil, pemisahan antara kepentingan umum dan
kepentingan khusus perorangan dan pemisahan antara hukum publik dan hukum privat.

2. Pemisahan antar negara dan gereja.
3. Adanya jaminan dan hak-hak kebebasan sipil.
4. Persamaan terhadap undang-undang.
5. Adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan negara dan dasar sistem hukum.
6. Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politika dan sistem checks and balances.
7. Asas legalitas.
8. Ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman yang tidak memihak dan

netral.
9. Prinsip perlindungan bagi rakyat terhadap penguasa oleh peradilan yang bebas dan tidak

memihak dan berbarengan dengan prinsip tersebut diletakkan prinsip tanggung gugat
negara secara yuridis.
10. Prinsip pembagian kekuasaan, baik yang bersifat territorial maupun vertikal.

Berdasarkan konsep negara hukum tersebut, Indroharto menyatakan bahwa menurut
hukum positif yang berlaku memang telah diletakkan prinsip-prinsip dasar cita-cita negara
hukum seperti:

4 Ibrahim R, Sistem Pengawasan Konstitusional Antara Kekuasaan Legislative Dan Eksekutif Dalam Pembaruan
Undang-Undang Dasar 1945, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2003, Hlm. 22.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 16

1. Asas legalitas, dimana pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain dalam
melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum

2. Dihormatinya hak-hak manusia yang tercermin dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 tentang kebebasan beragama yang merupakan salah satu hak yang paling
asasi diantara hak-hak asasi manusia.

3. Pembagian kekuasaan negara dan wewenang pemerintah menurut undang- undang dasar
1945 dan peraturan perundang-undangan artinya kekuasaan Negara tidak
dikonsentrasikan dalam satu tangan, melainkan berada dalam berbagai macam tangan
aparat-aparat kenegaraan yang selalu menjaga terlaksananya roda pemerintahan ini
selalu dalam keadaan keseimbangan dan saling mengawasi.

4. Adanya kekuasaan kehakiman yang bebas, yang terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah seperti yang telah diatur dalam undang-undang dasar 1945 maupun Undang-
Undang Nomor 14 tahun 1970 dimana suatu perbuatan pemerintah dapat diajukan
kemuka pengadilan untuk dinilai apakah perbuatan yang bersangkutan itu bersifat
melawan hukum atau tidak. 5

Berkaitan dengan uraian tersebut, asas legalitas dan kekuasan kehakiman memegang
peranan penting dalam sebuah negara hukum. Kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan
bebas tanpa dipengaruhi oleh pihak manapun, berdiri pada posisi netral tidak boleh memihak,
dan menempatkan semua orang sama dimata hukum. Menanggapi hal tersebut Soetandyo
Wignjosoebroto berpendapat, mengutip pandangan aliran positivisme, bahwa orang hanya
berpolemik tentang rechtsstaat, namun tidak sampai menerjemahkan dan mengartikan
rechtsstaat sebagai negara hukum dan tidak sampai mempersoalkan ikhwal hakikat dan status
hukumnya itu sendiri. Oleh karena itu, ia mengartikan negara hukum sebagai negara yang
menata seluruh kehidupan di dalamya berdasarkan atas aturan-aturan hidup yang telah
dipositifkan secara formal sebagai undang-undang. Oleh sebab itu, telah berkepastian sebagai
satu-satunya hukum yang berlaku di suatu wilayah suatu negeri.6

Prinsip negara hukum yang meletakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka dan terpisah dengan lembaga lainnya, didasari adanya pemikiran yakni;

1. Pemegang kekuasaan kehakiman harus netral terhadap segala bentuk sengketa antara
pemegang kekuasaan dan rakyat. Karenanya kekuasaan kehakiman harus lepas dari
pengaruh kekuasaan lainnya.

2. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang lemah dibanding kekuasaan
legislatif dan eksekutif. Maka perlu penguatan secara normatif, misalnya larangan
segala bentuk campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman.

3. Kekuasaan kehakiman akan menjamin tidak dilanggarnya prinsip setiap kekuasaan
tunduk pada hukum.

4. Dalam konteks demokrasi, untuk menjamin terlaksananya undang-undang sebagai
wujud kehendak rakyat, diperlukan badan netral yaitu kekuasaan kehakiman yang
mengawasi, menegakkan atau mempertahankan undang- undang.7

5 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang, Hlm. 38.
6 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode Dan Dinamika Masalah, Elsam, Jakarta, 2002, Hlm.

474.
7 Efendi Ibnususilo, Perspektif Independensi Kekuasaan Kehakiman Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia,

Jurnal Mahkamah Nomor 1 Vol. 3 April 2011, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Hlm. 1.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 17

Dengan demikian dapat dipahami bahwa, unsur esensial dari sebuah negara hukum
adalah adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka serta adanyapemisahan kekuasaan. Ajaran
pemisahan kekuasaan yang kemudian diterapkan pada kekuasaan mengadili secara terpisah
sehingga dapat memberikan jaminan terhadap setiap kebebasan individu dan serta mencegah
kesewenang-wenangan dari badan dan atau pejabat negara.

Secara konstitusional, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana yang
telah tertuang pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Karakter negara hukum Indonesia adalah
negara hukum Pancasila yang meliputi keserasian hubungan antara pemerintah dan warga
masyarakat berdasarkan hukum. Hubungan fungsional yang proporsional tersebut dapat
dilihat dari prinsip-prinsip penyelenggaraan sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir.

Sebagai salah satu unsur penting dalam setiap pengakuan negara hukum, diakuinya
eksistensi kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka dari kekuasaan lainnya. Jaminan
kekuasaan kehakiman tersebut secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Tahun
1945 telah ditentukan, bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh lembaga sebuah Lembaga
Mahkamah Agung serta badan peradilan yang berada di bawahnya, baik yang terdapat pada
peradilan umum, pada peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara8
dan dilakukan juga oleh sebuah mahkamah konstitusi.

Dalam kaitannya Peradilan Administrasi Negara itu dengan Pembangunan, memang
semula terasa adanya keragu-raguan. Kekhawatiran mana agaknya bersumber pada pendapat -
sebagaimana perkembangan yang terjadi di negara-negara Perancis, Belanda, Jerman dan lain-
lainnya. Di mana perkembangan Peradilan Administrasi itu menurut Dr. C.F.G. Sunaryati
Hartono, SH. dapat menimbulkan kekhawatiran yang bersumber pada:9

1. Akan merupakan manifestasi daripada falsafah indivi dualisme, sehingga dengan
demikian akan bertentangan dengan Pancasila.

2. Akan merupakan pengawasan yang terlalu ketat terhadap kebijaksanaan lembaga-
lembaga pemerintah sehingga akan menghambat jalannya pemerintahan yang efektif
dan efisien.

3. Akan menyulitkan pelaksanaan politik pemerintah khusus nya dalam hal pengambilan
keputusan.

Sesungguhnya apa yang dikhawatirkan sebaimana tersebut di atas, tidaklah proposional.
Sebab, sebagai konsekuensi dari suatu negara Hukum dan diterimanya Pancasila sebagai
falsafah negara - sudah barang tentu hal tersebut dapat dirumuskan dan disesuaikan dengan
Pancasila itu sendiri. Kekhawatiran lainnya adalah jika dikaitkan dengan Pembangunan, di
mana dalam era pembangunan sekarang ini sangat dibutuhkan suatu mekanisme pemerintah
yang efektif dan efisien, sehingga dengan adanya Peradilan Administrasi ini dikhawatirkan
pula akan timbul hambatan dalam pelaksanaan Pembangunan. Padahal sesuai dengan makna
Negara Hukum itu sendiri - bukankah pembangunan yang sekarang sedang dilaksa nakan itu
menuntut supaya berjalan di atas aturan permainan yang sudah ditetapkan ? - dan bukankah

8 Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
9 Mahkamah Agung, Perkembangan Peradilan Tata USAHA Negara dan Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha
Negara dilihat dari Beberapa Sudut Pandang, 2011, Hlm. 39.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 18

Peradilan Administrasi dapat digunakan sebagai sarana yang efektif untuk menegakkan aturan
yang sudah menjadi konsesus Nasional itu?

Diakui bahwa sesuai dengan masa transisi - di mana kelengkapan perangkat perundang-
undangan belum sempurna, sehingga pada masa sekarang terlihat adanya kecenderungan
untuk mengutamakan tujuan - dan untuk mencapai tujuan tersebut sering ditempuh berbagai
cara kebijaksanaan dengan tanpa mempertim bangkan alasan hukumnya. Bahkan tidak jarang
pula terlihat kecenderungan - terhadap hal-hal yang sudah ada aturan-aturan hukumnya
sekalipun, kebijaksanaan itu dikeluarkan, demi tujuan.

Dan apakah kebijaksanaan itu merupakan tujuan yang paralel dengan tujuan negara?
juga apabila ada pihak-pihak yang merasa keberatan karena dirugikan, maka selama kita
berkeinginan menye lesaikan persoalan itu dengan cara damai (tertib), bukan dengan jalan
paksaan dan kekuatan - satu-satunya jalan penyelesaian harus kembali kepada jalan Hukum.
Di sinilah dirasakan mutlak betapa pentingnya Peradilan Administrasi. Dengan Peradilan
Administrasi ini diharapkan terujudnya kepastian Hukum. Karena melalui kesempatan
mengajukan gugatan ke sidang pengadilan atas tindak-tindak administratif pejabat yang
berlebihan, masyarakat diberi jaminan hukum.

Peradilan Administrasi ini tidak akan menimbulkan stagnasi bagi pembangunan. Sebab,
jika akan dipersoalkan - terutama dalam hal kebijaksanaan politik, - kebijaksanaan pemerintah
yang mana yang tidak menyangkut politik ? Bukankah pembangunan itu sendiri merupakan
bagian dari politik ? Ini jika diamati bahwa pembangunan itu bukan sekedar usaha yang
bersifat tehnis belaka, melainkan mengandung alternatif/pilihan. Politik menyuruh kita -
siapapun untuk melakukan pilihan terhadap beberapa kemungkinan keputusan atau langkah
yang akan diambil. Pilihan bisa bersifat tehnis - tetapi juga bisa bersifat nilai. Maka dalam hal
ini harus dibedakan perbuatan pemerintah di bidang perencanaan dan di bidang pelaksanaan.
Seperti dinyatakan oleh Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, SH. Perbuatan Pemerintah dibidang
Perencanaan tidaklah patut untuk diadili oleh Peradilan Administrasi, tetapi tidaklah berarti
bahwa perbuatan- perbuatan pemerintah dalam Pelaksanaan tidak boleh disidangkan oleh
Peradilan Administrasi. Sebab, sekali rencana pemerintah telah dituangkan ke dalam kaedah-
kaedah hukum, maka di dalam suatu Negara Hukum - Pemerintah terikat pada apa yang telah
ditetapkan sebagai hukum yang berlaku. Jika ternyata di kemudian hari dibutuhkan untuk
merubah sesuatu – hukumnya pun hendaknya dirubah terlebih dahulu. Di sinilah letak makna
suatu Negara Hukum, sehingga dalam segala hal tidak mengabaikan kepastian hukum bagi
warga negaranya.

Sesuai dengan tujuan Peradilan Administrasi Negara, yaitu agar supaya terpelihara rasa
keadilan masyarakat (sebagai public service negara terhadap warganya) dapat ditingkatkan
dan agar supaya keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan
dapat terjalin dengan sempurna, kiranya perwujudan Peradilan Administrasi tersebut tidak
bertentangan dan bahkan tidak akan menghambat lajunya roda pembangunan -sebagaimana
dinyatakan oleh Kepala Negara di depan sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia tanggal 16 Agustus 1978 sebagai berikut: Pembangunan yang kita laksanakan
adalah pembangunan manusia seutuhnya. Ini berarti bahwa kita berusaha untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan manusia juga secara utuh, tidak saja kebutuhan-kebutuhan fisik

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 19

kebendaan, akan tetapi juga tuntutan hati nurani.

Tuntutan hati nurani yang tiada henti-hentinya yaitu terwujudnya keadilan, khususnya
keadilan di lapangan hukum. Karena itulah dalam usaha kita agar pembangunan makin
menyentuh segi-segi yang dalam, agar asas pemerataan menuju keadilan dalam trilogi
pembangunan makin terwujud, maka pemerataan kesempatan memperoleh keadilan hukum
juga harus kita pertegas pelaksanaannya. Ini antara lain akan kita lakukan dengan
mengusahakan penyelesaian-penyelesaian perkara di pengadilan secepat-cepatnya dan seadil-
adilnya. Untuk itu diperlukan adanya peraturan-peraturan hukum dan penertiban hukum, baik
yang menyangkut tata cara/ penyelesaian perkara maupun menambah badan-badan peradilan
dan tenaga-tenaga penegak hukum dan keadilan yang diperlukan.

Di samping itu perhatian khusus juga akan diberikan kepada Bantuan Hukum bagi
mereka yang kurang mampu. Demikian pula akan diusahakan terbentuknya Peradilan Tata
Usaha Negara yang dapat menampung dan menyelesaikan perkara- perkara yang
berhubungan dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat/petugas aparatur
negara maupun untuk memberikan kepastian hukum bagi setiap pegawai negeri.

Oleh sebab itu kehadiran akan Peradilan Tata Usaha Negara - pada masa itu sudah
merupakan Conditio sine qua non sifatnya. Keperluan akan adanya Peradilan Tata Usaha
Negara ini juga pernah diungkapkan oleh Sarono, SH) dalam makalah beliau di hadapan
Munas PERSAHI di Prapat, Sumatra Utara awal Agustus 1972 yang antara lain:10

“.... rasanya tidak berlebihan mengatakan bahwa di dalam bidang Hukum Administrasi
Negara berlaku Hukum rimba (law of the jungle) yang bilamana tidak diberantas
melalui Peradilan Administrasi yang berani bertindak tegas, pasti akan menjurus
menjadi semacam "rule of law the jungle". Jadi bukan anarki semata-mata. Karena itu,
mendirikan suatu Peradilan Administrasi Negara adalah merupakan suatu urgensi yang
dewasa ini tidak boleh ditunda-tunda terlalu lama, dan Peradilan Administrasi Negara
itu adalah merupakan sarana control on the administration".

D. RANGKUMAN
Menurut F.J. Stahl suatu negara hukum Formal harus memenuhi 4 unsur penting yaitu:

1. Adanya Perlindungan HAM;
2. Adanya Pemisahan / Pembagian Kekuasaa;
3. Setiap tindakan pemerintah harus didasrkan pada peraturan ;perundang- undangan yang

berlaku;
4. Adanya Peradilan TUN.

Peradilan TUN diciptakan untuk menyelasaikan sengketa antara Pemerintah dan Warga
negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan
pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Menyelesaikan sengketa bila
terjadi benturan kepentingan antara badan/ pejabat TUN dengan warga masyarakat dimana hak

10 Ibid, hlm.42

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 20

dan kewajiban asasi masyarakat diletakan dalam keserasian, keselarasan dan keseimbangan
antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat bersama.

E. LATIHAN

1. Jelaskan Peradilan Administrasi itu menurut Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, SH. dapat
menimbulkan kekhawatiran yang bersumber pada hal apa saja?

2. Sebutkan 10 Unsur Konsep Negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan oleh S.W.
Couwenberg!

3. Sebutkan unsur-unsur rule of law menurut A.V. Dicey!

F. DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah Razali, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Raja Grafindo Persada,
Cetakan Kesembilan 2004.

2. Anang Sulistyono, Mariyadi, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia,
Universitas Malang, 2001.

3. Hadjon Philipus M, et, at, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Cet. V, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1997.

4. W. Riawan Tjandra, Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 2002.

5. Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2001.

6. Indroharto, Usaha Memahami UU No. 5 Tahun 1986
7. Soetami Siti A, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama, Jakarta,

cetakan ke-empat edisi Revisi 2005
8. Tjakranegara, Soegijatno R, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia,

Sinar Grafika, Cetakan ke-Empat 2002
9. Undang Undang Dasar 1945 setelah Amandemen
10. Undang-undang No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 21

PERTEMUAN II
TUJUAN PEMBENTUKAN PTUN, DASAR-DASAR HUKUM PTUN, DAN ASAS-ASAS

PTUN

A. PENDAHULUAN

Pada pertemuan kedua ini, perkuliahan disajikan Bahan kajian untuk memberikan
pemahaman tentang Tujuan Pembentukan PTUN, Dasar-Dasar Hukum PTUN, dan Asas-Asas
PTUN. Materi ini masih bagian dari pertemuan pertama sebagai penjelasan lebih lanjut terkait
keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara

Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan perkuliahan kedua ini adalah
mahasiswa memahami apa yang menjadi Tujuan Pembentukan PTUN, Dasar-Dasar Hukum
PTUN, dan Asas-Asas PTUN

Materi perkuliahan kedua Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ini sangat penting
dipahami untuk memudahkan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas dan menjadi dasar
pemahaman perkuliahan. Selain itu juga menghindari terjadinya pengulangan penjelasan
terhadap konsep-konsep yang berulang kali diketemukan dalam bahan kajian pada perkuliahan
ketiga, dan keempat.

B. TUJUAN PEMBENTUKAN PTUN

Tujuan dibentuknya Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
negara yaitu untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang badan atau pejabat Tata
Usaha Negara.

Di dalam melakukan tindakan hukum publik badan/pejabat tata usaha negara mempunyai
peranan sebagai pelaku hukum publik yang menjalanksan kekuasaaan hukum publk yang
dijelmakan dalam kualitas penguasa (authorities) seperti halnya badan-badan tata usaha negara
dan berbagai jabatan yang diserahi wewenang penggunaan kekuasaan publik.11 Wujud dari
pelaksanaan urusan pemerintahan dapat berupa tindakan hukum yang berupa tindakan hukum
yang berkaitan dengan tindakan material dan berbagai tindakan hukum yang berupa keputusan
hukum tata negara.12 PTUN menjalankan peranan yang sangat penting dalam melakukan fungsi
kontrol terhadap tindakan badan atau pejabat administrasi negara agar tidak bertindak
melampaui kewenangan yang dimilikinya.13 Pengawasan hukum melalui peradilan administrasi
dilakukan menurut proses acara peradilan administrasi, bermula dari gugatan dan berakhir
dengan putusan.

Dipandang dari “kelebagaan” yang dikontrol dan yang melaksanakan kontrol dapat
dibedakan menjadi kontorl intern (intern control) dan kontrol ekstern (external control).
Kontrol intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan/organ yang scara structural

11 Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha negara sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol
Pemerintah, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1996, hlm. 29.

12 Loc. cit.
13 iBID., hlm. 51.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 22

masih termasuk organisasi dalam lingkungan pemerintah. Misalnya pengawasan yang
dilakukan oleh pejabat atasan secara hirarkis. Bentuk kontrol semacam ini dapat digolongkan
sebagai jenis kontrolteknis-administratif atau “built-in control”. Kontrol ekstern adalah
pengawasan yang dilakukan oleh badan/organ secara struktur organisasi berada di luar
pemerintah dalam arti eksekutif. Misalnya kontrol yang dilakukan secara langsung seperti
kontrol keuangan yang dilakukan oleh BPK, kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat
melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) termasuk media masa dan kelompok
masyarakat yang berminat pada bidang tertentu, kontrol politis yang dilakukan oleh MPR, dan
DPR (D) terhadap pemerintah (eksekutif). Kontrol Peradilan (judicial control) antara lain
peradilan umum, maupun peradilan administrasi, badan lain seperti Ombudsman Nasional.14
Dari perspektif negara hukum, upaya peningkatan perlindungan terhadap hak-hak individu
tersebut dilakukan dengan cara membatasi kekuasaan pemerintah (penguasa).

Apabila dihubungkan dengan pengawasan terhadap pemerintah, terlihat bahwa
pengertian umum pengawasan masih tetap relevan, alasannya: Pertama, pada umumnya
sasaran pengawasan terhadap pemerintah yaitu pemeliharaan atau penjagaan agar negara
hukum kesejahteraan dapat berjalan dengan baik dan dapat pula membawa kekuasaan
pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan masyarakat kepada pelaksanaan yang baik
pula dan tetap dalam batas kekuasaannya. Kedua, tolak ukurnya yaitu hukum yang mengatur
dan membatasi kekuasaan dan tindakan pemerintah dalam bentuk hukum material maupun
hukum formal (rechtmatigheid). Ketiga, adanya pencocokan antara perbuatan dan tolak ukur
yang telah ditetapkan. Keempat, jika terjadi tanda-tanda akan terjadi penyimpangan terhadap
tolak ukur tersebut dilakukan tindakan pencegahan. Kelima, apabila dalam pencocokan
menunjukkan telah terjadi penyimpangan dari tolak ukur, kemudian diadakan koreksi melalui
tindakan pembatalan, pemulihan terhadap akibat yang ditimbulkan dan mendisiplinkan pelaku
kekeliruan.15

Untuk membatasi kekuasaan dan tindakan pemerintah dalam menjalankan fungsi
pemerintahan dan menciptakan iklim ketertiban dan kepastian hukum serta memberikan
pengayoman kepada masyarakat, maka dilahirkanlah Undang-Undang No. 5 Thaun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam konsiderans menimbang, lahirnya undang-undang
ini dilatarbelakangi oleh:16

1. Bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa
yang sejahtera, aman, tenteram, serta tertib, yang serasi, seimbang, serta selaras antara
aparatur di bidang tata usaha negara dan para warga masyarakat.

2. Bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut, dengan jalan mengisi kemerdekaan
melalui pembangunan nasional secara bertahap, diusahakan untuk membina,
menyempurnakan, dan menertibkan aparatur di bidang tata usaha negara, agar mampu
menjadi alat yang efisien, efektif, bersih, serta berwibawa, dan yang dalam melaksanakan

14 Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung: Alumni,
2002, hlm. 92

15 Ibid., hlm. 90-91
16 Ali Abdullah, Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Amandemen, Jakarta:
Kencana, 2015, hlm. 7.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 23

tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian
untuk masyarakat.
3. Bahwa meskipun pembangunan nasional hendak diciptakan suatu kondisi sehingga setiap
warga masyarakat dapat menikmati suasana serta iklim ketertiban dan kepastian hukum
yang berintikan keadilan, dalam pelaksanaannya ada kemungkinan timbul benturan
kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara badan atau pejabat tata usaha negara dan
warga masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan
nasional.
4. Bahwa untuk menyelesaikan sengketa tersebut diperlukan Peradilan Tata Usaha Negara
yang mampu menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga
dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, khusunya dalam hubungan antara
badan atau pejabat tata usaha negara.

Dalam konteks pembatasan kekuasaan pemerintah (negara) dengan tujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu seperti dikemukakan di atas, berlaku
suatu prinsip dalam praktik penyelenggaraan negara dalam perspektif asas negara hukum
modern (negara hukum kesejahteraan), yaitu bahwa tidak ada kekuasaan negara yang boleh
dibiarkan bebas tanpa pembatasan dan pengawasan.17 Mengingat begitu dominannya peran
negara dalam konsep welfare state, maka setiap kali perlu ada kontrol terhadap tindakan hukum
aparatur negara agar tidak menjauhkan dari usaha-usaha mewujudkan kesejahteraan
masyarakat.

Pada asasnya, setiap bentuk campur tangan pemerintah dalam pergaulan sosial harus
berpedoman pada peraturan perundang-undangan sesuai dengan tuntutan asas legalitas sebagai
konsekuensi dari asas negara hukum. Akan tetapi, kelemahan asas legalitas yang sangat
mengutamakan kepastian hukum mengakibatkan asas ini cenderung membuat pemerintah
menjadi lamban dalam bertindak.18 Dalam hal-hal tertentu ketika situasi dan kondisi
mengharuskan pemerintah bertindak demi menghindari kerugian yang lebih besar yang secara
logis diperkirakan akan terjadi, pemerintah memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk
bertindak atas inisiatif sendiri, meskipun harus menyimpangatau mengabaikan undang-
undang.19 Oleh karena itu, badan atau pejabat tata usaha negara dalam melakukan tindakan
administrasi negara diberikan kebebasan tanpa harus terikat oleh adanya peraturan
perundangan yang disebut dengan diskresi atau freies ermessen sepanjang tidak menimbulkan
penyalahgunaan kewenangan sehingga merugikan rakyat.

Menurut ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan bahwa:

(1) Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang
(2) Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk:

a. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. Mengisi kekosongan hukum;
c. Memberikan kepastian hukum;

17 Hotma P. Sitorus, Asas Negara Hukum: Peraturan Kebijakan, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik,
Jakarta: Erlangga, 2010, hlm. 140.

18 Ibid., hlm. 157.
19 Ibid., hlm. 39

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 24

d. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan
kepentingan umum.

Tentu saja dalam perspektif negara hukum pejabat tata usaha negara dalam mengambil
tindakan itu selalu ada batasan dan alasannya.

Jika ada pengakuan bahwa kekuasaan penguasa bersumber dari hukum, berarti kekuasaan
penguasa bukan merupakan kekuasaan yang bersifat mutlak (absolut) atau tanpa batas,
melainkan kekuasaan yang dibatasi oleh hukum. Konsekuensi atas pengakuan yang demikian
mengandung arti bahwa penguasa tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Di pihak lain,
pembatasan kekuasaan penguasa oleh hukum berdampak positif terhadap hak-hak rakyat atau
warga negara, sebab jika kekuasaan penguasa dibatasi oleh hukum, penguasa dengan
sendirinya tidak dapat bertindak sewenang-wenang sehingga pengakuan dan perlindungan hak-
hak rakyat akan dapat diwujudkan.20

Pemerintah selaku pelaksana kekuasaan di bidang eksekutif dalam melaksanakan urusan
pemerintahan tidak boleh lagi ada penyimpangan kekuasaan, karena Undang-Undang Peradilan
Tata Usaha Negara ini pembentukannya bertujuan:21

1. Agar badan/pejabat tata usaha negara tidak bertindak sewenang-wenang melakukan
perbuatan yang dapat merugikan warga negara.

2. Agar badan/pejabat tata usaha negara benar-benar melaksanakan tugas dan kewajiban yang
diberikan oleh undang-undang kepadanya.

3. Agar badan/pejabat tata usaha negara dalam mengeluarkan produk berupa surat keputusan
sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).

Adapun menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 bahwa tujuan Undang-
Undang Administrasi Pemerintahan adalah:

1. Menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan;
2. Menciptakan kepastian hukum;
3. Mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang;
4. Menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
5. Memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur pemerintahan;
6. Melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangandan menerapkan AUPB; dan
7. Memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga masyakat.

Oleh karena itu, segenap tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara harus diuji terhadap norma-norma kelayakan dan kepatutan.

Intinya, tata pemerintahan (tata kelola) yang baik sebagai konsep dari good governance.
Dan apabila dihubungkan dengan kepentingan rakyat banyak, maka tujuan good governance itu
yakni: pertama, untuk mewujudkan berbagai kepastian, kemudahan dan “keberhasilan”

20 Hotma P. Sitorus, Op.cit., hlm. 49
21 Dianis Kesuma, Diklat Kemahiran Hukum Acara PTUN, Jakarta: Universitas Pancasila, 2010, hlm. 1.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 25

(transparansi serta akutabilitas) dalam pelayanan publik; dan kedua, untuk memberikan
perlindungan kepada rakyat dari tindakan sewenang-wenang dari pemerintah.22

C. DASAR-DASAR HUKUM PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara merupakan syarat mutlak dalam konsep negara
hukum (rechtsstaat), karena menjadi indikator kualitas demokrasi dalam pembagian kekuasaan
negara (machtsverdeling). Tidak perlu ditolak pendapat yang menyatakan bahwa kehadiran
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dipengaruhi oleh konsep conseil de’etat Perancis
dan Administrative Rechtspraak Nederland, yang di negaranya juga dipengaruhi oleh kultur
budaya dan sejarah hukum negara asalnya. Namun, juga tidak perlu dimunculkan superioritas
kekhasan Peradilan Tata Usaha Negara yang seakan-akan terlepas dari pengaruh negara lain,
karena akan menutup studi komparasi bagi perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara.23

Dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) berbunyi bahwa
negara Indonesia adalah Negara Hukum, dan selanjutnya dipertegas dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Sebelum berlaku Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman, dimaksudkan untuk mengadili adanya benturan kepentingan antara
individu, kelompok, dan badan atau pejabat tata usaha negara. Dalam ketentuan Pasal 10
Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tersebut badan peradilan tidak saja Peradilan Tata Usaha
Negara, akan tetapi badan-badan peradilan lain.

Pada 29 Maret 2004, diundangkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Perubahan itu dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagai lanjutan dari reformasi kekuasaan kehakiman yaitu
Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 yang merevisi Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ternyata tidak sesuai
lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
tersebut diganti dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Meskipun Undang-Undang no. 4 Tahun 2004 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dan
diganti dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, namun ketentuan-ketentuan
pelaksanaannya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan ini dinyatakan tetap berlaku.
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 63 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menegaskan bahwa pada saat undang-undang ini berlaku, semua ketentuan yang

22 Endra Wijaya dan Ali Abdullah, Dinamika Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Lentera Hukum Indonesia,
2011, hlm. 1.

23 W. Riawan Tjandra, Op.cit., hlm. 118.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 26

merupakan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

Di dalam Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 18 Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009, pada pokoknya menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
suatu Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh suatu Mahkamah Konstitusi.

Di samping itu dalam ketentuan Pasal 21 disebutkan bahwa:
1. Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada

di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
2. Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) untuk maisng-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-
undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.

Sebelum diundangkan ketentuan tersebut dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur mengenai pembinaan organisasi, administrasi,
dan keuangan bagi para hakim dilakukan oleh Departemen Kehakiman. Mahkamah Agung
hanya diberikan kewenangan pembinaan dari segi teknis yudisial terhadap apra hakim. Hal itu
membawa dualism pembinaan terhadap para hakim yang sering menimbulkan keraguan
terhadap independensi dan kebebasan para hakim. Selanjutnya, untuk menindaklanjuti
ketentuan tersebut, Pasal 2 ayat (1) Keppres RI No. 21 Tahun 2004 menyatakan bahwa
organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan
Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Pengadilan
Tinggi, PengadilanTinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha
Negara, terhitung sejak 31 Maret 2004 dialihkan dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia ke Mahkamah Agung.24

Dengan berlakunya ketentuan tersebut, maka pengadilan-pengadilan yang disebutkan di
atas bukan lagi di bawah kekuasaan Kementerian Hukum dan HAM, melainkan menjadi di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 21 ayat (1)
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan bahwa
organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang
berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Undang-Undang No. 5 Tahun1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang sudah
dilakukan dua kali perubahan yaitu Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang
No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, memuat peraturan-peraturan tentang kedudukan, susunan,
kekuasaan, serta Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang
ini dapat disebut sebagai suatu hukum acara dalam arti luas, karena undang-undang ini tidak
saja mengatur cara-cara berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi sekaligus juga
mengatur tentang kedudukan, susunan, dan kekuasaan dari Peradilan Tata Usaha Negara.

24 W. Riawan Tjandra, Hukum Acara PTUN, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2005, hlm. 5-6.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 27

Undang-Undang yang mengatur hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara yang
berlaku untuk di Pengadilan TUN dan Pengadilan Tinggi TUN yaitu:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
2. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara
3. Undang-Undang No. 5 Tahun 2009 tentang Perubaha Kedua Atas Undang-Undang No. 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
4. Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Adapun undang-undang yang mengatur hukum acara bagi kasasi dan peninjauan
kembali, yaitu:

1. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.

14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
3. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Meskipun dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 18 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi dan dalam kenyataannya ada pengadilan lain di
bawah pengawasan Mahkamah Agung selain disebutkan di atas yaitu Pengadilan Pajak yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Terhadap
putusan pengadilan pajak tidak tersedia upaya hukum banding maupun kasasi sehingga
putusannya langsung mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewisde). Dengan
demikian, Mahkamah Agung hanya berwenang memeriksa dan mengadili terhadap upaya hukum
peninjauan kembali.

Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut untuk mengisi kekosongan
hukum Mahkamah Agung telah mengeluarkan berbagai macam Surat Edaran Mahkamah Agung.

Untuk dapat memahami Hukum Acara PTUN ini, tidak cukup hanya mempelajari pasal-
pasal yang tersurat, tetapi kita juga harus memahami asas-asas yang terkandung di dalamnya dan
sekaligus mempelajari penjelasannya.

D. Asas-Asas Peradilan Tata Usaha Negara
Ada dua perbedaan penting yang terdapat pada UU PTUN dengan peradilan umum untuk

perkara perdata, antara lain:25
1. Pada Peradilan TUN, hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna
memperoleh kebenaran material dan untuk undang-undang ini mengarah pada ajaran
pembuktian bebas.
2. Suatu gugatan TUN pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan TUN
yang disengketakan.

25 W. Riawan Tjandra, Op.Cit, hlm.2.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 28

Selain dari pendapat di atas, ada beberapa hal lagi yang menyebabkan peradilan TUN
berbeda dengan peradilan lainnya. Hal ini dapat tergambar dari beberapa asas yang dianut dari
peradilan TUN ini sendiri. Ada beberapa asas umum atau prinsip- prinsip umum yang berlaku
dalam proses peradilan menurut Syahran Basya, yaitu:26

1. Kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan diperadilan Judex Facti
(peradilan Tk.I) maupun kasasi dengan MA sebagai puncaknya;

2. Musyawarah untuk mencapai mufakat dalam mencari dan mendapatkan kebenaran dan
keadilan;

3. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai salah satu ciri khas negara
hukum berdasarkan Pancasila;

4. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan;
5. Keterbukaan persidangan (Peradilan terbuka untuk umum);
6. Kemampuan memberikan keputusan yang berdasarkan keadilan.

Disamping hal tersebut di atas, terdapat juga prinsip-prinsip lain yang penting sebagai
tambahan, yaitu:

1. Prinsip Non diskriminasi yang mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.
2. Pengadilan tidak boleh menolak, memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih hukum

tidak ada/kurang jelas (Pasal 22 AB).
3. Seorang hakim tidak diperbolehkan memeriksa/memutuskan perkara apabila terdapat

hubungan darah sampai derajat ketiga/semenda.
4. Setiap orang yang bersangkutan perkara berhak memperoleh bantuan hukum (dalam TUN;

perdata tidak diwajibkan).

Spesifikasi hukum acara TUN terlihat dari asas-asas khusus yang menjadi landasan
operasional negara acara PTUN dan ini juga sebagai bagian yang menyebabkan peradilan dalam
hukum acara TUN menjadi spesial dan berbeda dengan beberapa peradilan lain, yaitu:

1. Asas Praduga Rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid = praesumptio iustae causa).
Asas ini mengandung makna bahwa tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtmatig
sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN
yang digugat (pasal 67 ayat 1 UU No.5 Tahun 1986);

2. Asas Pembuktian Bebas, dimana hakim yang menetapkan beban pembuktian;
3. Asas Keaktifan Hakim (dominus litis), berguna untuk menyeimbangkan kedudukan para

pihak;
4. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat erga omnes.

Dari asas-asas tersebut terdapat beberapa ciri-ciri khusus PTUN, yaitu:

1. Sifat atau karakter Keputusan TUN yang mengandung Prasumptio iustae causa, dimana
KTUN selalu dianggap sah selama belum ada putusan pembatalan.

2. Asas perlindungan terhadap kepentingan umum atau publik yang menonjol di samping
perlindungan terhadap individu.

3. Asas self respect atau self obidence dari aparatur pemerintah terhadap putusan- putusan
peradilan administrasi.

26 Mustafa Bachsan, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 21.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 29

Asas-asas di atas dikutip dari buku W. Riawan Tjandra dan buku Philipus M. Hadjon
dkk. Dimana sifat dan karakteristik dari Putusan TUN yang mengandung asas presumption
iustea causa, dimana semua putusan (Beschiking) dari Putusan TUN itu dianggap sah sebelum
ada putusan pengadilan yang mengatakan tidak sah. Asas-asas umum penyelenggaraan Negara
lain yang juga berhubungan dengan penyelanggaraan pemerintahan yaitu :27 Undang Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotismo (KKN), UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Segara
dilakukan perubahan terhadap UU No 5/86 Jo UU No. 9 Tahun 2004 Pasal 53 ayat 2 “Keputusan
TUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, Asas-asas
yang dimaksud tersebut adalah:28

1. Asas Kepastian Hukum, Yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggara negara;

2. Asas tertib penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi Landasan keteraturan,
Keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara;

3. Asas Kepentingan Umum, Yaitu asas yang mendahulukan Kesejahteraan umum dengan cara
yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;

4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, Jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan
negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia Negara;

5. Asas opportunitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik
dan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku;

7. Asas Akuntabilitas, Yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pemikiran Crince le Roy, oleh Kuntjoro Purbopranoto dirumuskan 13 asas
pemerintahan yang baik yang harus tetap diperhatikan administrasi negara. Ketiga belas asas
tersebut adalah:29

1. Asas kepastian negara (principle of legal);
2. Asas keseimbangan (security principle of proportionality);
3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality);
4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation);
6. Asas tidak mencampuradukkan kewenangan (principle of nonmisuse of competence);
7. Asas permainan yang layak (principle of fairplay);

27 Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm.
51.

28 Ibid, 51-62.
29 W. Riawan Tjandra, Op.Cit., hlm. 69

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 30

8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness of prohibition od
arbitrariness);

9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation);
10. Asas meniadakan akibat-akibat dari suatu keputusan yang batal (principle of undoing the

consequences of unnulled decision);
11. Asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi (principle of protecting the personal way

of life);
12. Asas kebijaksanaan (sapientia); dan
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).

E. RANGKUMAN

Dasar konstitusional pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah UUD 1945
Pasal 24 Ayat 2, UU No 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman dan UU No 5 tahun 1986
Tentang Peradilan TUN Jo UU No 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan terhadap UU No 5 tahun
1986. keberadaan Asas-asas Umum Pemerintahan yang layak (AAUPL) dalam peradilan TUN
telah tertuang dalam UU No 9 tahun 2004 Pasal 53 ayat 2 ” Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum Pemerinthan yang baik” yang dimaksud
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi atas kepastian hukum, tertib
penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas.

F. LATIHAN

1. Sebutkan Dasar Hukum lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara?
2. Sebutkan Tujuan dibentuknya PTUN?
3. Sebutkan Asas-asas Umum dan Prinsip-Prinsip umum yang berlaku dalam proses

peradilan menurut Syahran Basya?
4. Sebutkan dan jelaskan asas-asas umum Pemerintahan yang baik menurut UU No. 9

Tahun 2004 perubahan terhadap UU No. 5 Tahun 1986?

G. DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah Razali, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Raja Grafindo Persada,
Cetakan Kesembilan 2004.

2. Anang Sulistyono, Mariyadi, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia,
Universitas Malang, 2001.

3. Hadjon Philipus M, et, at, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Cet. V, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1997.

4. W. Riawan Tjandra, Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 2002.

5. Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2001.

6. Indroharto, Usaha Memahami UU No. 5 Tahun 1986
7. Soetami Siti A, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama, Jakarta,

cetakan ke-empat edisi Revisi 2005
8. Tjakranegara, Soegijatno R, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Sinar

Grafika, Cetakan ke-Empat 2002
9. Undang Undang Dasar 1945 setelah Amandemen
10. Undang-undang No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 31

PERTEMUAN III
SUBJEK DAN OBJEK SENGKETA TATA USAHA NEGARA

A. PENDAHULUAN
Pada perkuliahan ketiga ini, mahasiswa menerima materi tentang Subjek dan Objek

Sengketa Tata Usaha Negara. Dengan pemahaman subjek dan objek sengketa, mahasiswa
mengetahui para pihak atau hal yang akan disengketakan dalam Peradilan Tata Usaha Negara.

Capaian Pembelajaran pada pertemuan ketiga ini, mahasiswa diharapkan dapat
menjelaskan apa yang dimaksud dengan sengketa, subjek, dan objek, pada Peradilan Tata Usaha
negara.

B. SUBJEK DAN OBJEK SENGKETA TATA USAHA NEGARA
1.1. Subjek yang Bersengketa

Rumusan pengertian sengketa TUN pada Pasal 1 angka 10 pada perubahan kedua
Undang-undang Peradilan TUN (UU No. 51 Tahun 2009) dapat disimpulkan bahwa unsur-
unsur sengketa TUN terdiri dari:

1. Subjek yang bersengketa adalah orang atau badan hukum privat di satu pihak dan badan
atau pejabat TUN di lain pihak.

2. Objek sengketa adalah putusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN.
Dalam ketentuan Pasal 1 Poin 11 Undang-Undang PTUN, yang dimaksud dengan

Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha
negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan. Selanjutnya Pasal 1 poin 12
UU PTUN, yang dimaksud dengan Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara
yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dikaitkan dengan subjek PTUN, maka yang
termasuk dalam subjek PTUN adalah sebagai berikut:

1. Pihak penggugat.
Yang dapat menjadi pihak penggugat dalam perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara
adalah setiap subjek hukum, orang maupun badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di Pusat maupun di Daerah (Pasal 53 ayat (1) jo
Pasal 1 angka 4 UU No 5 tahun 1986).

2. Pihak tergugat.
Pihak tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya
(Pasal 1 angka 6 UU No 5 tahun 1986).

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 32

3. Pihak Ketiga yang berkepentingan.

Dalam ketentuan Pasal 83 UU PTUN berbunyi selama pemeriksaan berlangsung, setiap
orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh
Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas
prakarsa hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai:
pihak yang membela haknya; atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang
bersengketa. Selanjutnya Pasal 118 ayat 1 UU PTUN menyatakan apabila pihak ketiga
yang belum pernah ikut serta atau diikut sertakan selama waktu pemeriksaan sengketa
yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan gugatan perlawanan
terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili
sengketa tersebut pada tingkat pertama.

1.2. Objek Sengketa

Objek sengketa TUN adalah Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
TUN. Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkrit, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 ayat 9).

Unsur-unsur pengertian istilah KTUN sebagai objek sengketa TUN menurut UU No. 5
Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 51 Tahun 2009 ialah:

1. Penetapan tertulis, terutama menunjukkan pada isi, bukan bentuk keputusan yang
dikeluarkan. Persyaratan ini untuk memudahkan dalam pembuktian. Jadi nota atau
memo dapat disamakan dengan penetapan tertulis dengan syarat:1) Badan atau Pejabat
TUN mana yang mengeluarkannya; 2) Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan
tersebut; 3) Kepada siapa tulisan tersebut ditujukan dan apa yang ditetapkan di
dalamnya;

2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN;
3. Berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan;
4. Bersifat kongkrit, individual, dan final;
5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Pasal angka 3 dan Pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No.9 Tahun 2004 jo UU
No.51 Tahun 2009 mencoba menginterpretasikan konsepsi Hans Kelsen dengan
menyebutkan objek sengketa TUN adalah KTUN yang memiliki kriteria (untuk dapat diadili
melalui PTUN) adalah:30

1. Secara Substansial: merupakan penetapan tertulis yang harus jelas:
a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;
b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan tersebut;
c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya

2. Dari segi pembuatannya: dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN dalam rangka
melaksanakan kegiatan yang bersifat eksekutif (urusan pemerintahan);

30 W. Riawan Tjandra, Op.Cit, hlm. 13-14.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 33

3. Wujud materialnya: berisi tindakan hukum TUN yaitu tindakan melanggar hukum
administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan baik dipusat maupun di daerah;

4. Dari segi sifatnya: konkrit, individual, dan final;
5. Dari segi akibatnya: menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum

perdata.

KTUN yang dimaksud dalam Undang-undang Peradilan TUN ini sebagaimana yang
tersirat dalam isi UU No.5 Tahun 1986 dan dua UU perubahannya memiliki beberapa unsur
yang mesti dipahami dandiingat, yaitu suatu penetapan tertulis, dikeluarkan oleh badan atau
pejabat TUN, berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan,
bersifat kongkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata.

Satu hal lagi yang mesti dipahami adalah, selain ketentuan pada Pasal 1 angka 9 UU
No.51 Tahun 2009tentang perubahan kedua UU Peradilan TUN, perlu juga dipahami bahwa
KTUN tidak hanya tertulis, tetapi sikap diamnya badan atau pejabat TUN juga bisa
dijadikan objek dalam sengketa TUN, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU
No. 5 Tahun 1986.

Ada beberapa Keputusan TUN yang tidak termasuk pengertian Keputusan menurut
Undang-Undang No 5 Tahun 1986 Jo UU No 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No
5 Tahun 1986 tentang PTUN. Yaitu yang disebut pada pasal 2:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;

3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masihmemerlukan persetujuan;

4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikuluarkan berdasrkan ketentuan Kitab Undang
undang Hukum pidana dan Kitab undang undang Hukum acara Pidana atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat perdata;

5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan
peradilan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;

7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum.

Demikian juga yang ditentukan dalam pasal49 UU No 1986 Pengadilan TUN tidak
berwenang memeriksa dan memutuskan Keputusan-keputusan TUN yang dikeluarkan:

a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa
yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasrkan peraturan perundangan
yang berlaku.

Untuk lebih memahami apa itu KTUN yang bisa menjadi sengketa dalam peradilan
TUN dapat dijabarkan dalam rumus sebagai berikut:

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 34

KTUN = (Pasal 1 angka 9 + Pasal 3) –
(Pasal 2 + Pasal 49)

Skema Kompotensi Absolut PTUN
Pasal 47: sengketa TUN

Psl 1(10): timbul dari KTUN

KTUN ialah:- Ps.1 (9)
Pengecualian (-) ps.2
Pengecualian (+)ps.3

C. RANGKUMAN
Keputusan-keputusan Hukum Tata Usaha Negara adalah merupakan penetapan tertulis

yang dikeluarkan oleh badan-badan atau Pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan atas (peraturan
perundang- undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final). Objek dari Peradilan
TUN adalah perbuatan-perbuatan yang merupakan manifestasi dari fungsi eksekutif, jadi
kegiatan yang bersifatpenyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh siapa saja.

Membahas Objek dan Subjek juga berhubungan dengan kompetensi dan bisa dibahas
sekaligus dalam modul ini agar menghemat materi penyampaian sehingga bisa langsung
beracara dan mahasiswa akan lebih mudah memahaminya.

D. LATIHAN
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan sengketa TUN ?
2. Jelaskan siapa saja Subjek dan Objek PTUN ?
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan konkret, individual dan final ?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kewenangan atributif, delegasi dan mandat?
5. Keputusan TUN apa saja yang bukan merupkan pengertian keputusan TUN menurut
Undang-undang?

E. DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah Razali, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Raja Grafindo Persada,
Cetakan Kesembilan 2004.
2. Anang Sulistyono, Mariyadi, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia,
Universitas Malang, 2001.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 35

3. Hadjon Philipus M, et, at, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Cet. V, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1997.

4. W. Riawan Tjandra, Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma
Jaya, Yogyakarta, 2002.

5. Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2001.

6. Indroharto, Usaha Memahami UU No. 5 Tahun 1986
7. Soetami Siti A, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama, Jakarta,

cetakan ke-empat edisi Revisi 2005
8. Tjakranegara, Soegijatno R, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia,

Sinar Grafika, Cetakan ke-Empat 2002
9. Undang Undang Dasar 1945 setelah Amandemen
10. Undang-undang No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 36

PERTEMUAN IV
KEWENANGAN ABSOLUT DAN KEWENANGAN RELATIF

A. Pendahuluan
Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara

dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif
berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan
wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk
mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.31

Pada perkuliahan keempat ini, mahasiswa menerima materi tentang Kewenangan
Absolut dan Kewenangan Relatif. Dengan pemahaman kewenangan absolut dan
kewenangan relatif, mahasiswa mengetahui kewenangan para pihak yang akan
disengketakan atau bersengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara.

Capaian Pembelajaran pada pertemuan keempat ini, mahasiswa diharapkan dapat
menjelaskan apa yang dimaksud dengan kewenangan absolut dan kewenangan relative pada
Peradilan Tata Usaha negara.

B. Kompetensi Absolut

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 Amandemen mengatur kekuasaan kehakiman yang
sebelumnya diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 dan diganti dengan
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan sekarang telah diganti dengan Undang-Undang No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam ketentuan yang baru ini kekuasaan
kehakiman (judicial power) berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Pasal 18
menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh suatu Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh suatu Mahkamah Konstitusi.

Kompetensi absolut suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang berkaitan
untuk mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok sengketa. Adapun
yang menjadi obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata
Usaha Negara (Beschikking) Yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat TUN. Sebagaimana
disebutkan dalam pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No.
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan perbuatan Badan/Pejabat
TUN lainnya baik perbuatan materiil (material daad) maupun penerbitan peraturan
(regeling) masing-masing merupakan kewenangan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.

Kompetensi absolut Pengadilan TUN diatur dalam pasal 1 angka 10 UU No. 51
tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, yang menyebutkan:

“Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata

31 S.F.Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2003, hal:59.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 37

Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau
Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1
angka 9 UU No. 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final sehingga menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Dari rumusan pasal tersebut, persyaratan keputusan TUN yang dapat menjadi obyek
di Pengadilan TUN meliputi:

1. Penetapan tertulis;
2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
3. Berisi tindakan hukum TUN;
4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Bersifat konkrit, individual dan final; dan
6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Keenam persyaratan tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat dijadikan obyek
sengketa di Peradilan TUN, keputusan TUN harus memenuhi keenam persyaratan tersebut.

Selain itu kompetensi Peradilan TUN termasuk pula ketentuan yang terdapat dalam
ketentuan pasal 3 UU Peratun, yaitu dalam hal Badan/Pejabat TUN tidak mengeluarkan
suatu keputusan yang dimohonkan kepadanya sedangkan hal itu merupakan kewajibannya.

Dalam praktek keputusan-keputusan badan/Pejabat TUN yang berpontesi
menimbulkan sengketa TUN, yaitu antara lain:

1. Keputusan tentang Perijinan
Secara yuridis suatu ijin adalah adalah merupakan persetujuan yang diberikan

pemerintah (Badan/Pejabat TUN) kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk
melakukan aktivitas tertentu. Menurut Prof. Dr. Pilipus M. Hadjon, SH2 tujuan
diadakannya perijinan pada pokoknya adalah :

a. Mengarahkan atau mengendalikan aktivitas tertentu (misalkan: ijin prinsip, IMB,
ijin pertambangan, ijin pengusahaan hutan, ijin berburu, dsb);

b. Mencegah bahaya atau gangguan (misalkan: gangguan/ herder ordonantie, amdal,
dsb);

c. Melindungi obyek tertentu (misalkan: ijin masuk obyek wisata, cagar budaya,
dsb);

d. Distribusi benda atau barang lelang (misalkan: ijin trayek, ijin perdagangan satwa
langka, dsb);

e. Seleksi orang atau aktivitas tertentu (misalkan: SIM, ijin memiliki senjata api, ijin
penelitian, dsb).

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 38

2. Keputusan tentang Status Hukum, Hak dan Kewajiban
a. Status hukum perorangan atau Badan Hukum Perdata, misalkan: akta kelahiran,
akta kematian, akta pendirian/pembubaran badan hukum, KTP, Ijazah, Sertifikat
(Tanda Lulus Ujian), dsb);
b. Hak/ Kewajiban perorangan atau Badan Hukum Perdata terhadap suatu barang
untuk jasa, misalkan: pemberian/pencabutan hak atas tanah, hak untuk melakukan
pekerjaan, dsb).

3. Keputusan tentang Kepegawaian
a. Keputusan tentang mutasi PNS, dimana pegawai yag dimutasi keberatan karena
merasa dirugikan, menghambat karier atau karena mutasi itu dianggap hukuman
disiplin terselubung;
b. Keputusan tentang hukuman disiplin PNS, dimana pegawai yang bersangkutan
menganggap hukuman itu tidak sesuai prosedur atau tidak adil;
c. Keputusan tentang pemberhentian PNS, misalnya dalam rangka perampingan
pegawai atau likuidasi suatu instansi, dsb.

Akan tetapi kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan
dalam pasal 1 angka 9 UU No. 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dibatasi oleh ketentuan pasal 2, Pasal 48, Pasal
49 dan Pasal 142 Undang-Undang Peradilan tersebut, sehingga Pembatasan terhadap objek
sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut dibedakan menjadi: Pembatasan langsung,
pembatasan tidak langsung dan pembatasan langsung bersifat sementara:

1. Pembatasan Langsung
Pembatasan langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama sekali

bagi Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus sengketa dan
menyelesaikan sengketa tersebut. Hal tersebut disebutkan secara tegas dalam penjelasan
Undang-Undang Peratun yaitu :

a. Pasal 2 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara
1) Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
2) Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum.
3) Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan.
4) Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana
atau peraturan perundang- undangan lain yang bersifat hukum pidana.
5) Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
6) Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia.
7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah,
mengenai hasil pemilihan umum.

b. Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 39

Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan tata usaha negara yang
disengketakan itu dikeluarkan:

1) Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan
luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

2) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

2. Pembatasan Tidak Langsung
Pembatasan tidak langsung adalah pembatasan yang masih membuka

kemungkinan bagi PT.TUN untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
administrasi dengan ketentuan seluruh upaya administratif yang tersedia telah ditujukan
terlebih dahulu oleh Orang/ Badan Hukum Perdata.

Pembatasan tidak langsung tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 48 UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peratun sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 9
Tahun 2004 dan UU No. 51 tahun 2009 yang berbunyi:

a. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundang- undangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya
administratif yang tersedia.

b. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya
adminisratif yang bersangkutan telah digunakan.

Berdasarkan pembatasan tidak langsung tersebut, jika upaya administratif
(administratief beroep) yang tersedia telah ditempuh dan pihak Penggugat masih
dirugikan, maka secara tegas dalam ketentuan pasal 51 ayat 3 Undang-Undang
Peardilan Tata Usaha Negara yang berbunyi sebagai berikut : ”Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Ngara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di
tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48.”

3. Pembatasan Langsung yang Bersifat Sementara

Pembatasan ini bersifat langsung karena tidak terbuka kemungkinan sama sekali
bagi Peratun untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya, akan tetapi hal tersebut
hanya bersifat sementara karena kompetensi absolut Peradilan TUN tersebut berlaku
bagi sengketa Tata Usaha Negara yang sedang diadili oleh Peradilan Umum pada saat
terbentuknya Peradilan TUN, hal tersebut diatur dalam pasal 142 ayat (1) Undang-
Undang Peradilan TUN yang menyebutkan :

”Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut
Undang-undang ini belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum
tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.”

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 40

C. Kompetensi Relatif

kompetensi relatif adalah kewenangan dari pengadilan sejenis yang mana yang
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang bersangkutan. Dalam
kaitannya dengan Pengadilan Tata Usaha Negara, maka kompetensi relatifnya menyangkut
kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara yang mana yang berwenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tersebut. Apakah PTUN Ujung pandang, Surabaya,
Semarang, Bandung, Jakarta, Palembang, atau Medan, dan sebagainya.

Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang
menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa
suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat)
berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.

Untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, maka terlebih dahulu
harus diketahui ke mana gugatan harus diajukan, hal tersebut berkaitan dengan kewenangan
Pengadilan Tata Usaha negara masing-masing wilayah.

Untuk Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi relatifnya diatur dalam Pasal 6
UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9
Tahun 2004 dan UU NO. 51 tahun 2009 menyatakan:

1. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.

2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Provinsi.

Pada saat ini Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia baru terdapat di 26 Propinsi
dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara baru terdapat 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta,
Surabaya dan Makassar sehingga wilayah hukum PTUN meliputi beberapa kabupaten dan
kota. Sedangkan PT.TUN wilayah hukumnya meliputi beberapa provinsi, seperti PTUN
Jakarta yang meliputi wilayah kota yang ada di Daerah khusus ibu kota Jakarta Raya
sedangkan PT.TUN Jakarta meliputi beberapa Propinsi yang ada di pulau Kalimantan, Jawa
Barat dan DKI.

Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman
para pihak yang bersengketa yaitu Penggugat dan Tergugat diatur tersendiri dalam pasal 54
UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 9 tahun 2004 dan UU No. 51 tahun 2009 yang menyebutkan:

1. Tempat kedudukan Tergugat;
2. Tempat Kedudukan salah satu Tergugat;
3. Tempat kediaman Penggugat diteruskan ke Pengadilan tempat kedudukan Tergugat;
4. Tempat kediaman Penggugat, (dalam keadaan tertentu berdasarkan Peraturan

Pemerintah);
5. PTUN Jakarta, apabila tempat kediaman Penggugat dan tempat kedudukan Tergugat

berada diluar negeri;
6. Tempat kedudukan Tergugat, bila tempat kediaman Penggugat di luar negeri dan tempat

kedudukan Tergugat didalam negeri.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 41

Dengan ketentuan tersebut maka pada prinsipnya gugatan diajukan ke pengadilan
TUN di tempat kedudukan Tergugat sedangkan yang bersifat eksepsional di Pengadilan
TUN tempat kedudukan Penggugat diatur kemudian setelah ada Peraturan Pemerintah, akan
tetapi sampai sekarang ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum ada sehingga belum
dapat diterapkan.

D. RANGKUMAN
Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dimulai dengan lahirnya

Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang nomor 9 tahun 2004 dan Undang-Undang nomor 51
tahun 2009 serta mulai beroperasi pertama kali pada tanggal 14 Januari 1991 dengan
diterbitkan PP No.7 Tahun 1991 tentang penerapan Undang-Undang nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang- Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun
1990 tentang pembentukan PT.TUN Jakarta, Medan dan Ujung Pandang serta Keppres No.
52 Tahun 1990 tentang pembentukan PTUN Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan
Ujung Pandang, sekarang telah meliputi 4 Pengadilan Tinggi TUN serta 26 Pengadilan Tata
Usaha Negara.

Dalam Pasal 47 Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang nomor 9 tahun 2004 dan
Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 telah diatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem
peradilan di Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara.

Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan
perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan
mengadili. Pengadilan TUN mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha
negara di tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara untuk tingkat banding dan
Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi dan peninjauan kembali.

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam sistem peradilan di Indonesia masih
sangat relatif kecil. Yaitu hanya terhadap Keputusan TUN yang diterbitkan oleh Badan/
Pejabat TUN yang bersifat Konkrit, Individual dan Final, hal mana dibatasi pula baik oleh
Undang-Undang Peratun itu sendiri, lahirnya Undang-Undang baru maupun Yurisprudensi
MA RI.

E. LATIHAN
1. Jelaskan tempat kedudukan pengadilan berdasarkan Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo.
UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
!
2. Jelaskan susunan Pengadilan Tata Usaha Negara!
3. Sebutkan ciri-ciri negara hukum yang sejalan dengan kemandirian hakim dalam
memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara!
4. Jelaskan bahwa dalam praktek keputusan-keputusan badan/Pejabat TUN yang
berpontesi menimbulkan sengketa TUN!

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 42

F. DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah Razali, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Raja Grafindo
Persada, Cetakan Kesembilan 2004.
2. Anang Sulistyono, Mariyadi, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di
Indonesia, Universitas Malang, 2001.
3. Hadjon Philipus M, et, at, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Cet. V, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 1997.
4. W. Riawan Tjandra, Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma
Jaya, Yogyakarta, 2002.
5. Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2001.
6. Indroharto, Usaha Memahami UU No. 5 Tahun 1986
7. Soetami Siti A, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama,
Jakarta, cetakan ke-empat edisi Revisi 2005
8. Tjakranegara, Soegijatno R, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Di
Indonesia, Sinar Grafika, Cetakan ke-Empat 2002
9. S.F. Marbun. Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2003.
10. Philipus M. Hadjon, Pelaksanaan Otonomi Daerah dengan Perijinan yang Rawan
Gugatan. Makalah Temu Ilmiah HUT PERATUN XII, Medan, 2004.
11. Paulus Effendi Lotulung, Menyongsong Pengesahan RUU-AP, Makalah
Bimbingan Teknis Hakim PERATUN Seluruh Indonesia. Jakarta, 9 Juni 2009.
12. H. Yodi Martono Wahyunadi, Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Sistem Peradilan di Indonesia, artikel website PTUN Jakarta
13. Puslitbang Hukum dan Peradilan MA RI, Kumpulan Putusan Yurisprudensi
TUN, Cetak Kedua, Jakarta, 2005.
14. Undang Undang Dasar 1945 setelah Amandemen
15. Undang-undang No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004.


Click to View FlipBook Version