The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by amiina614, 2021-04-26 23:29:27

Modul Bahan Belajar - Pedagogi - 2021

Modul Bahan Belajar - Pedagogi - 2021

4) Pandangan Benjamin Samuel Bloom (1913-1999) dan David Krathwohl
(1921-2016) terhadap Belajar.

Bloom dan Krathwohl menekankan perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai
individu (sebagai tujuab belajar), setelah melalui peristiwa- peristiwa belajar.
Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum dalam tiga kawasan yang biasa
disebut dengan Taksonomi Bloom (Siregar & Nara). Secara ringkas, ketiga
kawasan taksonomi Bloom tersebut sebagai berikut:

a) Kawasan kognitif

Anderson dan Krathwohl (2001) melakukan revisi kawasan kognitif. Terdapat 6
tingkatan pada kawasan kognitif, yaitu:

• Mengingat, meningkatkan ingatan atas materi yang disajikan dalam bentuk
yang sama diajarkan.

• Mengerti, mampu membangun arti dai pesan pembelajaran, termasuk
komunikasi lisan, tulisan maupun grafis.

• Memakai, menggunakan prosedur untuk mengerjakan latihan maupun
memecahkan masalah

• Menganalisis, memecah bahan-bahan ke dalam unsur-unsur pokoknya dan
menetukan bagaimaa bagian-bagian saling berhubungan satu sama lain dan
kepada seluruh struktur

• Menilai, membuat pertimbangan berdasarkan kriteria standar tertentu.
• Mencipta, membuat suatu pokok yang baru dengan mengatur kembali unsur-

unsur atau bagian-bagian ke dalam suatu pola atau struktur yang belum
pernah ada
b) Kawasan afektif

Kawasan afektif terdiri dari 5 tingkatan, yaitu:
• Penerimaan (receiving), meliputi kesadaran akan adanya sesuatu, ingin

menerima, dan memperhatikannya.
• Pemberian respons (responding), meliputi sikap ingin merespons, puas dalam

memberi respons.

Pedagodi | 39

• Pemberian nilai atau penghargaan (valuing), meliputi penerimaan terhadap
suatu nilai, memililih sistem nilai yang disukai dan memberikan komitemen
untuk menggunakan nilai tertentu.

• Pengorganisasian (organization), meliputi menghubungkan nilai- nilai yang
dipercayainya.

• Karakterisasi (characterization), meluputi menjadikan nilai-nilai sebagai bagian
pola hidupnya.

c) Kawasan psikomotor
• Peniruan, kemampuan mengamati gerakan.
• Penggunaan, kemampuan mengikuti pengarahan, gerakan pilihan dan

pendukung.
• Ketepatan, kemampuan memberikan respons atau melakukan gerak dengan

benar.
• Perangkaian, kemampuan melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan

benar.
• Naturalisasi, melakukan gerakan secara rutin dengan menggunakan energi

fisik dan psikis yang minimal.

b. Implikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran

Teori humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih
praktis. Teori ini dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan
psikoterapi dari pada bidang pendidikan, sehingga sukar meterjemahkannya ke
dalam langkah-langkah yang lebih konkrit dan praktis. Namun karena sifatnya
yang ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka teori humanistik mampu
memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung
tercapainya tujuan tersebut. Semua komponen pendidikan termasuk tujuan
pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-
citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu, sangat
perlu diperhatikan bagaimana perkembangan peserta didik dalam
mengaktualisasikan dirinya, pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri.

40 | Pedagodi

Pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar perlu
diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran. Karena seseorang
akan dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri
dan dapat membuat pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia akan
berkembang. Dengan demikian teori humanistik mampu menjelaskan bagaimana
tujuan yang ideal tersebut dapat dicapai.

Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah
belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan
pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai
tujuannya. Meskipun teori humanistik ini masih sukar diterjemahkan ke dalam
langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbangan
teori ini amat besar. Ide-ide, konsep- konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang
telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami
hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu mereka dalam
menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan,
penentuan materi, pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan alat
evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.

Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap
secara ketat, sebagaimana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan
secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi belajar yang diatur dan ditentukan, serta
pengalaman-pengalaman belajar yang dipilih untuk peserta didik, mungkin saja
berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi peserta didik (Rogers dalam
Snelbecker, 1974). Hal tersebut tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut
teori ini, agar belajar bermakna bagi peserta didik, diperlukan inisiatif dan
keterlibatan penuh dari peserta didik sendiri. Maka peserta didik akan mengalami
belajar eksperiensial (experiential learning).

Pada teori humanistik, guru diharapkan tidak hanya melakukan kajian bagaimana
dapat mengajar yang baik, namun kajian mendlam justru dilakukan untuk
menjawab pertanyaan bagaimana agar peserta didik dapat belajar dengan baik.
Jigna dalam jurnal CS Canada (2012) menekankan bahwa “To learn well, we must
give the students chances to develop freely”. Pernyataan ini mengandung arti

Pedagodi | 41

untuk menghasikan pembelajaran yang baik, guru harus memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk berkembang secara bebas.
Pendidikan modern mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan
pendidikan tradisional. Pada pendidikan modern, peserta didik menyadari hal-hal
yangterjadi dalam proses pembelajaran, hal ini menunjukkan hubungan dua arah
antara guru dan peserta didik. Sementara itu, dalm pendidikan tradisional Proses
belajar terjadi secara stabil, dimana peserta didik dituntut untuk mengetahui
informasi melalui buku teks, memahami informasi yang mereka dapatkan tesebut
dan menggunakan informasi terbut dalam aktivitas keseharian peserta didik.
Sedangkan dalam pendidikan modern, peserta didik memanfaatkan teknologi
untuk membuat kognisi, pemahaman dan membuat konten pembelajaran menjadi
lebih menarik dan lebih berwarna.
Pada penerapan teori humanistic ini adalah hal yang sangat baik bila guru dapat
membuat hubungan yang kuat dengan peserta didik dan membantu peserta didik
untuk membantu peserta didik berkembang secara bebas. Dalam proses
pembelajaran, guru dapat menawarkan berbagai sumber belajar kepada peserta
didik, seperti situs-situs web yang mendukung pembelajaran. Inti dari
pembelajaran humanistic adalah bagaimana memanusiakan peserta didik dan
membuat proses pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik. Dalam
prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan peserta didik untuk
berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan
peserta didik secara aktif dalam proses belajar.

42 | Pedagodi

Rangkuman

1. Teori belajar behavioristik

Teori belajar behavioristik menyatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah
laku. Seseorang dianggap belajar jika ia telah mampu menunjukkan perubahan
tingkah laku. Pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran
atau output yang berupa respons. Stimulus adalah sesuatu apa saja yang
diberikan oleh guru kepada peserta didik, dan respon berupa reaksi atau
tanggapan yang dihasilkan oleh peserta didik terhadap stimulus yang diberikan
oleh guru. Penguatan (reinforcement) adalah faktor penting dalam belajar.
Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Bila
penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respons akan semakin
kuat. Demikian juga jika penguatan dikurangi (negative reinforcement) maka
respons juga akan menguat.

Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai
aktifitas “mimetic” yang menuntut peserta didik untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan
dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada
hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban yang benar
menunjukkan bahwa peserta didik telah menyelesaikan tugas belajarnya.

2. Teori Belajar kognitif

Pengertian belajar menurut teori belajar kognitif adalah perubahan persepsi dan
pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan
dapat diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang memiliki pengetahuan
dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya.
Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru
beradaptasi dengan struktur.

kognitif yang telah dimiliki seseorang. Menurut teori kognitif, ilmu pengetahuan
dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan
dengan lingkungan. Proses ini tidak terpatah-pata, terpisah-pisah, tapi melalui
proses yang mengalir, bersambung-sambung, dan menyeluruh.

Pedagodi | 43

Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, keterlibatan peserta didik secara aktif
amat dipentingkan. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu
mengkaitkan pengetahuan baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki
peserta didik. Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika
tertentu, dari sederhana ke kompleks. Perbedaan individual pada diri peserta didik
perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar
peserta didik.

3. Teori Belajar Konstruktivistik

Pandangan konstruktivistik yang mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha
pemberian makna oleh peserta didik kepada pengalamannya melalui asimilasi dan
akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan
mengarah kepada tujuan tersebut. Oleh karena itu pembelajaran diusahakan agar
dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal
pada diri peserta didik. Peserta didik diberikan kesempatan untuk
mengembangkan ide-idenya secara luas.
Sementara peranan guru dalam belajar konstruktivistik adalah membantu agar
proses pengkonstruksian pengetahuan oleh peserta didik berjalan lancar. Guru
tidak mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu
peserta didik untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih
memahami jalan pikiran atau cara pandang peserta didik dalam belajar.

4. Teori Belajar Humanistik

Menurut teori humanistik tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses
belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahmai lingkungan dan dirinya sendiri.
Teori humanistik bersifat eleksitk, maksudnya toeri ini dapat memanfaatkan teori apa
saja asal tujuannya tercapai.
Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa
untuk berpikir induktif. Teori ini juga amat mementingkan faktor pengalaman dan
keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. Semua komponen pendidikan termasuk
tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang
dicita- citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu, sangat
perlu diperhatikan bagaimana perkembangan peserta didik dalam mengaktualisasikan
dirinya, pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri.

44 | Pedagodi

Pembelajaran 2. Karakter Peserta Didik

Sumber. Modul Pendidikan Profesi Guru. Modul 1. Konsep Dasar Ilmu Pendidikan
Penulis. Isniatun Munawaroh, M.Pd.

Kompetensi

Setelah mempelajari keseluruhan materi pada kegiatan belajar 2, Anda diharapkan
mampu menerapkan beragam karakteristik peserta didik sebagai pijakan dalam
mendesain pembelajaran yang inovatif untuk mendukung tugas keprofesian
sebagai pendidik, yang mempesona yang dilandasi sikap berwibawa, tegas,
disiplin, penuh panggilan jiwa, disertai dengan jiwa kesepenuhatian dan
kemurahatian.

Indikator Pencapaian Kompetensi

Adapun indikator pencapaian kompetensi untuk mendukung kompetensi yang
diharapkan,

1. Menjelaskan pengertian karakteristik peserta didik;
2. Menjelaskan pengertian kemampuan awal peserta didik;
3. Mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik;
4. Menentukan kegiatan pembelajaran yang kondusif berdasarkan hasil

identifikasi kemampuan awal peserta didik; dan
5. Menjelaskan ragam/macam-macam karakteritik peserta didik.

Uraian Materi

1. Pengertian Karakteristik Peserta Didik
Apa itu karakteristik peserta didik? Karakteristik berasal dari kata karakter yang
berarti ciri, tabiat, watak, dan kebiasaan yang dimiliki oleh seseorang yang sifatnya
relatif tetap. Karakteristik peserta didik dapat diartikan keseluruhan pola kelakukan
atau kemampuan yang dimiliki peserta didik sebagai hasil dari pembawaan dan
lingkungan, sehingga menentukan aktivitasnya dalam mencapai cita-cita atau

Pedagodi | 45

tujuannya. Informasi terkait karakteristik peserta didik sangat diperlukan untuk
kepentingan-kepentingan dalam perancangan pembelajaran. Hal ini sebagaimana
yang dikemukakan oleh Ardhana dalam Asri Budiningsih (2017: 11) karakteristik
peserta didik adalah salah satu variabel dalam desain pembelajaran yang
biasanya didefinisikan sebagai latar belakang pengalaman yang dimiliki oleh
peserta didik termasuk aspek-aspek lain yang ada pada diri mereka seperti
kemampuan umum, ekspektasi terhadap pembelajaran dan ciri-ciri jasmani serta
emosional siswa yang memberikan dampak terhadap keefektifan belajar.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman atas karakteristik
peserta didik dimaksudkan untuk mengenali ciri-ciri dari setiap peserta didik yang
nantinya akan menghasilkan berbagai data terkait siapa peserta didik dan sebagai
informasi penting yang nantinya dijadikan pijakan dalam menentukan berbagai
metode yang optimal guna mencapai keberhasilan kegiatan pembelajaran.

2. Ragam Karakteristik Peserta Didik

Uraian yang akan disajikan berikut ini memaparkan tentang pentingnya dan
ragam/jenis karakteristik peserta didik. Suatu proses pembelajaran akan dapat
berlangsung secara efektif atau tidak, sangat ditentukan oleh seberapa tinggi
tingkat pemahaman pendidik tentang karakteristik yang dimiliki peserta didiknya.
Pemahaman karakteristik peserta didik sangat menentukan hasil belajar yang
akan dicapai, aktivitas yang perlu dilakukan, dan assesmen yang tepat bagi
peserta didik. Atas dasar ini sebenarnya karakteristik peserta didik harus menjadi
perhatian dan pijakan pendidik dalam melakukan seluruh aktivitas pembelajaran.
Karakteristik peserta didik meliputi: etnik, kultural, status sosial, minat,
perkembangan kognitif, kemampuan awal, gaya belajar, motivasi, perkembangan
emosi, perkembangan sosial, perkembangan moral dan spiritual, dan
perkembangan motoric.

Agar Anda memperoleh gambaran yang jelas tentang ragam karakteristik peserta
didik tersebut, maka ikuti paparan berikut:

a. Etnik
Negara Indonesia merupakan negara yang luas wilayahnya dan kaya akan
etniknya. Namun berkat perkembangan alat transpotasi yang semakin modern,

46 | Pedagodi

maka seolah tidak ada batas antar daerah/suku dan juga tidak ada kesulitan
menuju daerah lain untuk bersekolah, sehingga dalam sekolah dan kelas tertentu
terdapat multi etnik/suku bangsa, seperti dalam satu kelas kadang terdiri dari
peserta didik etnik Jawa, Sunda, Madura, Minang, dan Bali, maupun etnik lainnya.
Implikasi dari etnik ini, pendidik dalam melakukan proses pembelajaran perlu
memperhatikan jenis etnik apa saja yang terdapat dalam kelasnya. Data tentang
keberagaman etnis di kelasnya menjadi informasi yang sangat berharga bagi
pendidik dalam menyelenggarakan proses pembelajaran. Seorang pendidik yang
menghadapi peserta didik hanya satu etnik di kelasnya, tentunya tidak sesulit yang
multi etnik. Contoh Pak Ardi seorang pendidik di kelas 6 Sekolah Dasar yang
peserta didiknya terdiri dari etnik Jawa semua atau Sunda semua, tentunya tidak
sesulit ketika menghadapi peserta didik dalam satu kelas yang multi etnik. Jika
Pak Ardi melakukan proses pembelajaran dengan peserta didik yang multi etnik
maka dalam melakukan interaksi dengan peserta didik di kelas tersebut perlu
menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh semua peserta didiknya.
Kemudian ketika memberikan contoh-contoh untuk memperjelas tema yang
sedang dibahasnya juga contoh yang dapat dimengerti dan dipahami oleh
semuanya.

b. Kultural

Meskipun kita telah memiliki jargon Sumpah Pemuda yang mengakui bertumpah
darah yang satu tanah air Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia dan
menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Namun peserta didik kita
sebagai anggota suatu masyarakat memiliki budaya tertentu dan sudah barang
tentu menjadi pendukung budaya tersebut. Budaya yang ada di masyarakat kita
sangatlah beragam, seperti kesenian, kepercayaan, norma, kebiasaan, dan adat
istiadat. Peserta didik yang kita hadapi mungkin berasal dari berbagai daerah yang
tentunya memiliki budaya yang berbeda-beda sehingga kelas yang kita hadapi
kelas yang multikultural.

Implikasi dari aspek kultural dalam proses pembelajaran ini pendidik dapat
menerapkan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural menurut Choirul
(2016: 187) memiliki ciri-ciri: 1) Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan
menciptakan manusia berbudaya (berperadaban). 2). Materinya mangajarkan

Pedagodi | 47

nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis
(kultural). 3) metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan
dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalisme). 4).
Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang
meliputi aspek persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.

Atas dasar definisi dan ciri-ciri pendidikan multikultural tersebut di atas, maka
pendidik dalam melakukan proses pembelajaran harus mampu mensikapi
keberagaman budaya yang ada di sekolahnya/kelasnya. Misalnya Pak Irwan
seorang pendidik disalah satu SMA ketika menjelaskan materi pelajaran dan
dalam memberikan contoh-contoh perlu mempertimbangkan keberagaman
budaya tersebut, sehingga apa yang disampaikan dapat diterima oleh semua
peserta didik, atau tidak hanya berlaku untuk budaya tertentu saja.

c. Status Sosial

Manusia diciptakan Tuhan dengan diberi rizki seperti berupa pekerjaan,
kesehatan, kekayaan, kedudukan, dan penghasilan yang berbeda- beda. Kondisi
seperti ini juga melatar belakangi peserta didik yang ada pada suatu kelas atau
sekolah kita. Peserta didik pada suatu kelas biasanya berasal dari status sosial-
ekonomi yang berbeda-beda. Dilihat dari latar belakang pekerjaan orang tua, di
kelas kita terdapat peserta didik yang orang tuanya wira usahawan, pegawai
negeri, pedagang, petani, dan juga mungkin menjadi buruh. Dilihat dari sisi jabatan
orang tua, ada peserta didik yang orang tuanya menjadi pejabat seperti presiden,
menteri, gubernur, bupati, camat, kepala desa, kepala kantor atau kepala
perusahaan, dan Ketua RT. Disamping itu ada peserta didik yang berasal dari
keluarga ekonomi mampu, ada yang berasal dari keluarga yang cukup mampu,
dan ada juga peserta didik yang berasal dari keluarga yang kurang mampu.

Peserta didik dengan bervariasi status ekonomi dan sosialnya menyatu untuk
saling berinteraksi dan saling melakukan proses pembelajaran. Perbedaan ini
hendaknya tidak menjadi penghambat dalam melakukan proses pembelajaran.
Namun tidak dapat dipungkiri kadang dijumpai status sosial ekonomi ini menjadi
penghambat peserta didik dalam belajar secara kelompok. Implikasi dengan
adanya variasi status-sosial ekonomi ini pendidik dituntut untuk mampu bertindak
adil dan tidak diskriminatif. Contohnya dalam proses pembelajaran pendidik

48 | Pedagodi

jangan sampai membeda- bedakan atau diskriminatif dalam memberikan
pelayanan kepada peserta didiknya, dan juga dalam memberikan tugas-tugas
yang sekiranya mampu diselesaikan oleh semua peserta didik dengan latar
belakang ekonomi sosial yang sangat beragam.

d. Minat
Minat dapat diartikan suatu rasa lebih suka, rasa ketertarikan pada suatu hal atau
aktivitas. Hurlock (1990: 114) menyatakan bahwa minat merupakan suatu sumber
motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan yang dipilihnya.
Apabila seseorang melihat sesuatu yang memberikan manfaat, maka dirinya akan
memperoleh kepuasan dan akan berminat pada hal tersebut. Lebih lanjut
Sardiman, (2011: 76) menjelaskan bahwa minat sebagai suatu kondisi yang terjadi
apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan
dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Oleh karena
itu apa yang dilihat seseorang sudah tentu akan membangkitkan minatnya sejauh
apa yang dilihat itu mempunyai hubungan dengan kepentingan orang tersebut.

Atas dasar hal tersebut sebenarnya minat seseorang khususnya minat belajar
peserta didik memegang peran yang sangat penting. Sehingga perlu untuk terus
ditumbuh kembangkan sesuai dengan minat yang dimiliki seorang peserta didik.
Namun sebagaimana kita ketahui bahwa minat belajar peserta didik tidaklah sama,
ada peserta didik yang memiliki minat belajarnya tinggi, ada yang sedang, dan
bahkan rendah.

Untuk mengetahui apakah peserta didik memiliki minat belajar yang tinggi atau
tidak sebenarnya dapat dilihat dari indikator minat itu sendiri. Indikator minat
meliputi: perasaan senang, ketertarikan peserta didik, perhatian dalam belajar,
keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran, manfaat dan fungsi mata
pelajaran. Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas maka akan diuraikan dalam
paparan berikut.

Perasaan senang, seseorang peserta didik yang memiliki perasaan senang atau
suka terhadap mata pelajaran tertentu akan memperlihatkan tindakan yang
bersemangat terhadap hal tersebut. Contohnya, peserta didik yang gemar dengan
mata pelajaran Matematika, maka peserta didik tersebut akan merasa

Pedagodi | 49

bersemangat dan terus mempelajari ilmu yang berkaiatan dengan Matematika,
tanpa ada perasaan terpaksa dalam belajar. Ketertarikan peserta didik, ini
berkaitan dengan daya gerak yang mendorong peserta didik untuk cenderung
merasa tertarik pada orang, benda, kegiatan, dapat berupa pengalaman yang
dirangsang oleh kegiatan itu sendiri, Perhatian dalam belajar, perhatian atau
konsentrasi dapat diartikan terpusatnya mental seseorang terhadap suatu objek.
Peserta didik yang memiliki minat terhadap objek tertentu, maka peserta didik
tersebut dengan sendirinya peserta didik tersebut memperhatikan objek tersebut.
Contohnya peserta didik yang memiliki minat pada seni musik maka peserta didik
tersebut akan memperhatikan ketika terdengar bunyi musik, bahkan gemar
mendatangi konser-konser music. Peserta didik merasa lebih mudah dan
bersemangat dalam belajar jika diiringi dengan alunan music.

Keterlibatan belajar, keterlibatan atau partisipasi peserta didik dalam belajar
sangat penting, karena apabila peserta didik terlibat aktif dalam belajar maka
hasilnya tentu akan baik. Ketelibatan belajar akan muncul manakala tertarik pada
objek yang dipelajari yang kemudian merasa senang dan tertarik untuk melakukan
kegiatan dari objek tersebut. Manfaat dan fungsi mata pelajaran, jika manfaat dari
apa yang dipelajari oleh peserta didik dapat diketahui dan dipahami secara jelas,
maka akan menumbuhkan motivasi peserta didik. Manfaat dari mata pelajaran
tertentu sebenarnya tidak hanya untuk sekarang tapi bisa manfaat untuk masa
mendatang, atau manfaat bukan hanya saat di sekolah tetapi bisa manfaat ketika
sudah bekerja atau dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, minat belajar merupakan faktor penting dalam proses
pembelajaran, dan perlu untuk selalu ditingkatkan. Implikasinya dalam proses
pembelajaran terutama menghadapi tantangan abad 21, pendidik dapat
menerapkan berbagai model pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable
learning), menantang dan inovatif, menyampaikan tujuan/manfaat mempelajari
suatu tema/mata pelajaran, serta menggunakan beragam media pembelajaran.

Contoh aplikasi dalam pembelajaran, Pak Ardi seorang pendidik dari salah satu
sekolah A, hari itu sudah disepakti membahas tema H, Pada saat melakukan
proses pembelajaran, diawal pembelajaran terlebih dahulu mengemukakan tema
yang akan dipelajarinya, menyampaikan tujuan pembelajaran yang diharapkan

50 | Pedagodi

dimiliki, dan manfaat yang peserta didik peroleh setelah mempelajari tema H.
Kemudian untuk melihat kemampuan awal peserta didiknya dilakukan pre tes/tes
awal terlebih dahulu. Setelah tahap-tahap tersebut dilakukan kemudian Pak Ardi
melakukan tahap inti yaitu membahas tema H melalui media permainan ular
tangga yang menjadi kesukaannya peserta didik tentang materi H yang telah
disiapkan (Belajar melalui media permainan Ular Tangga). Suasana kelas tampak
antusias, aktif, dan menyenangkan. Setelah materi dipahami dan waktunya cukup
maka Pak Ardi mengakhiri pelajaran dengan kegiatan penutup.

Berdasarkan ilustrasi tentang apa yang dilakukan Pak Ardi tersebut, peserta didik
tumbuh minatnya untuk belajar. Dengan dimilikinya minat belajar yang tinggi oleh
peserta didik maka hasil belajar tentunya akan menjadi lebih baik.

a. Perkembangan Kognitif

Tingkat perkembangan kognitif yang dimiliki peserta didik akan mempengaruhi
guru dalam memilih dan menggunakan pendekatan pembelajaran, metode, media,
dan jenis evaluasi. Taman Kanak-kanak yang peserta didiknya sekitar berumur 5-
6 tahun, sudah tentu berbeda pendekatan, metode, dan media yang digunakan
ketika menghadapi peserta didik. Sekolah Dasar yang peserta didiknya berusia 7-
11 tahun, dan peserta didik Sekolah Menengah Pertama yang usianya berkisar
12-14 tahun dan juga peserta didik Sekolah Menengah Atas atau Sekolah
Menengah Kejuruan, yang umumnya berusia 15-17 tahun, karena dilihat dari
perkembangan intelektualnya jelas berbeda. Menurut Piaget perkembangan
intelektual anak usia Taman Kanak-Kanak berada pada taraf pra operasional
konkrit sedangkan peserta didik Sekolah Dasar berada pada tahap operasional
konkrit, dan peserta didik Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah
Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan pada tahap operasional formal. Tahap-
tahap perkembangan intelektual peserta didik menurut Piaget dalam Masganti
(2012: 83) secara lengkap dapat disajikan sebagai berikut:

0,0 - 2,0 Tahun Tahap Sensorimotorik
2,0 – 7,0 Tahun Tahap Preoperasional
7,0 – 11,0 Tahun Tahap Operasional kongkret
11,0 – 15,0 Tahun Tahap Operasional formal

Pedagodi | 51

Berdasarkan teori perkembangan dari Piaget tersebut, selanjutnya dapat diketahui
tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual.
Ruseffendi dalam Dwi Siswoyo, dkk. (2013: 101) menyebutkan sebagai berikut: 1).
Bahwa perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu
terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya setiap manusia akan mengalami
urutan tersebut dan dengan urutan yang sama; 2). Bahwa tahap-tahap
perkembangan didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental
(pengurutan, pengekalan, pengelompokkan, pembuatan hipotesis dan penarikan
kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual. 3) Bahwa gerak
melalui melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration),
proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman
(asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi). Uraian lebih lanjut
tentang perkembangan koginitif dari Piaget dapat Anda dicermati pada kegiatan
belajar 3 tentang Teori Belajar Kognitif.

b. Kemampuan/pengetahuan awal

Selanjutnya kita akan mengkaji tentang kemampuan/pengetahuan awal peserta
didik. Kemampuan awal atau entry behavior menurut Ali (1984: 54) merupakan
keadaan pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki terlebih dahulu oleh
peserta didik sebelum mempelajari pengetahuan atau keterampilan baru.
Pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki terlebih dahulu maksudnya
adalah pengetahuan atau keterampilan yang lebih rendah dari apa yang akan
dipelajari. Contohnya Siswa sebelum mempelajari tentang pembagian maka siswa
tersebut harus mengusai terlebih dahulu tentang konsep pengurangan.
Kemampuan awal bagi peserta didik akan banyak membawa pengaruh terhadap
hasil belajar yang dicapainya. Oleh karena itu seorang pendidik harus mengetahui
kemampuan awal peserta didiknya. Jika kemampuan awal peserta didik telah
diketahui oleh pendidik, maka pendidik tersebut akan dapat menetapkan dari
mana pembelajarannya akan dimulai. Kemampuan awal peserta didik bersifat
individual, artinya berbeda antara peserta didik satu dengan lainnya, sehingga
untuk mengetahuinya juga harus bersifat individual.

Cara untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik dapat dilakukan melalui
teknik tes yaitu pre tes atau tes awal dan teknik non tes seperti wawancara. Melalui

52 | Pedagodi

wawancara dan tes awal maka kemampuan awal peserta didik dapat diketahui.
Kemampuan menjawab tes awal dapat dijadikan dasar untuk menetapkan materi
pembelajaran. Sebagai contoh: Ardi seorang pendidik tingkat Sekolah Dasar,
ketika akan melaksanakan proses pembelajaran topik tentang darah, diawali
dengan melakukan tes awal/pre tes terlebih dahulu. Setelah peserta didik
menjawab soal-soal yang diberikan akan terlihat soal-soal mana yang bisa dijawab
dengan baik dan soal-soal mana yang tidak dapat dijawab dengan baik. Misalnya
saja soal yang membahas golongan darah dan fungsi darah sudah dapat dijawab
dengan baik, namun peserta didik belum mampu menjawab soal-soal yang
berkaitan dengan komponen-komponen darah, proses peredaran darah, dan
penyakit yang mempengaruhi peredaran darah. Atas dasar data ini maka Pak Ardi
dalam melakukan pembelajarannya difokuskan pada komponen- komponen
darah, proses peredaran darah, dan penyakit yang mempengaruhi peredaran
darah, sedangkan golongan darah dan fungsi darah tidak perlu dibahas detail lagi.
Di samping hal tersebut di atas untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik
dapat dilakukan melalui analisis instruksional/pembelajaran. Dalam melakukan
analisis pembelajaran guru harus menentukan hierarkhi kemampuan yang akan
dicapainya. Kemampuan yang lebih rendah itulah sebagai kemampuan awalnya
(entry behavior). Contohnya saat Pak Yudi akan melakukan pembelajaran tentang
topik darah, hierarkhi kemampuan yang akan dicapai peserta didik yaitu siswa
dapat menjelaskan darah, golongan darah, komponen darah, fungsi darah, dan
penyakit yang mempengaruhi peredaran darah. Berdasarkan hierarkhi
kemampuan ini maka kemampuan menjelaskan pengertian darah akan menjadi
kemampuan awal yang harus dimiliki ketika akan membahas golongan darah, dan
seterusnya.

Pedagodi | 53

c. Gaya belajar

Gaya belajar menurut Masganti (2012: 49) didefinisikan sebagai cara yang
cenderung dipilih seseorang untuk menerima informasi dari lingkungan dan
memproses informasi tersebut. DePorter dan Hemacki dalam Masganti (2012; 49)
gaya belajar adalah kombinasi dari cara menyerap, mengatur dan mengolah
informasi. Dari dua pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa gaya belajar
adalah cara yang cenderung dipilih/digunakan oleh peserta didik dalam menerima,
mengatur, dan memproses informasi atau pesan dari komunikator/pemberi
informasi. Gaya belajar peserta didik merupakan hal yang penting untuk
diperhatikan dalam melakukan proses pembelajaran karena dapat mempengaruhi
proses dan hasil belajarnya. Gaya belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu
visual, auditif, dan kinestetik. Hal ini juga diungkapkan oleh Connell (dalam Yaumi:
2013: 125) yaitu visual learners, auditory learners, dan kinesthetic learners.

Pertama, peserta didik visual yaitu peserta didik yang belajarnya akan mudah dan
baik jika melalui visual/penglihatan. Atau dengan perkataan lain modalitas
penglihatan menjadi modal utama bagi peserta didik yang memiliki gaya belajar
ini. Peserta didik kelompok ini memiliki kesulitan jika pembelajaran dilakukan
melalui presentasi verbal tanpa disertai gambar-gambar atau simbol visual.
Peserta didik bergaya belajar visual memiliki kekuatan visual, sehingga seorang
pendidik ketika melakukan proses pembelajaran perlu menggunakan strategi
pembelajaran dan media yang dapat mempermudah proses belajar mereka.
Misalnya guru ketika melakukan proses pembelajaran dapat menggunakan media
visual seperti: gambar, poster, diagram, handout, powerpoint, peta konsep, bagan,
peta, film, video, multimedia, dan televisi. Di samping itu peserta didik dapat diajak
untuk melakukan observasi/mengunjungi ke tempat-tempat seperti: museum dan
tempat-tempat peninggalan sejarah. Kegiatan lainnya dapat juga mengajak
peserta didik untuk membaca buku-buku yang berilustrasi visual, menggunakan
warna untuk menandai hal-hal penting dari isi bacaan.

Kedua, Peserta didik auditori, yaitu mereka yang mempelajari sesuatu akan
mudah dan sukses melalui pendengaran. Alat dria pendengaran merupakan modal
utama bagi peserta didik bergaya belajar ini. Peserta didik yang bergaya belajar
auditori akan menyukai penyajian materi pembelajarannya melalui ceramah dan

54 | Pedagodi

diskusi. Mereka juga memiliki kekuatan mendengar sangat baik, senang
mendengar dan kemampuan lisan sangat hebat, senang berceritera, mampu
mengingat dengan baik materi yang didiskusikan, mengenal banyak lagu dan
bahkan dapat menirukannya secara cepat dan lengkap. Namun demikian peserta
didik yang bertipe belajar auditori mudah kehilangan konsentrasi ketika ada suara-
suara ribut di sekitarnya, tidak suka pada tugas membaca, dan mereka tidak suka
pada jumlah kelompok yang anggotanya terlalu besar. Oleh karena itu pendidik
dalam melakukan proses pembelajaran selain melakukan presentasi/ceramah
juga dapat: 1) menggunakan media rekaman seperti kaset audio/CD audio
pembelajaran, 2) peserta didik diajak untuk berpartisipasi dalam diskusi, 3)
upayakan suasana belajar jauh dari kebisingan atau keributan, dan 3) dapat
menggunakan musik untuk mengajarkan suatu topik/materi pelajaran tertentu.

Ketiga, Peserta didik dengan gaya belajar kinestetik, adalah peserta didik yang
melakukan aktivitas belajarnya secara fisik dengan cara bergerak,
menyentuh/meraba, dan melakukan. Peserta didik tipe belajar melalui anggota
tubuhnya atau menggunakan fisik lebih banyak dari pada melihat dan
mendengarkan, seperti senang bergerak/berpindah ketika belajar, mengoyang-
goyangkan kaki, tangan, kepala, gemar/suka menulis dan mengerjakan sesuatu
dengan tangannya, banyak menggunakan bahasa non verbal/bahasa tubuh, suka
menyentuh sesuatu yang dijumpainya. Sebaliknya peserta didik yang bergaya
belajar kinestetik sulit berdiam diri dalam waktu lama, sulit mempelajari sesuatu
yang abstrak, seperti rumus- rumus, dan kurang mampu menulis dengan rapi.
Oleh karena itu jika pendidik menghadapi peserta didik bergaya belajar kinestetik
maka dalam proses pembelajarannya 1) dapat menggunakan objek nyata untuk
belajar konsep baru, dan 2) mengajak peserta didik untuk belajar mengeksplorasi
lingkungan.

Menentukan peserta didik bergaya belajar visual, auditori, atau kinestetik memang
tidaklah mudah. Namun guru perlu mengetahui gaya belajar yang dimiliki peserta
didiknya. Connel (dalam Yaumi 2013: 127) memberikan cara dengan
menggunakan angket Gaya Belajar Anak. Dalam angket ini peserta didik diberikan
sepuluh pertanyaan yaitu 1). Bagaimana kebiasaan anda dalam belajar sesuatu
yang baru? 2). Apa yang biasa anda lakukan di dalam rumah pada waktu
senggang? 3) Apa yang biasa anda lakukan pada akhir pekan?, 4). Bagaimana

Pedagodi | 55

cara yang terbaik bagi anda dalam mengingat nomor telepon, 5). Apa yang anda
perhatikan ketika menonton film?, 6). Ketika anda membaca bukju ceritera apa
yang paling diperhatikan? 7). Bagaimana anda menceriterakan kepada seseorang
tentang binatang yang luar biasa yang pernah anda lihat? 8). Saya baru
memahami sesuatu itu bagus sekali setelah saya .... 9) salah satu kebiasaan saya
untuk menghabiskan waktu adalah .... 10). Ketika saya bertemu dengan orang
baru, saya biasa mengingat....

Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diketahui kecenderungan gaya
belajar yang dimilikinya. Dengan diketahuinya gaya belajar yang dimiliki peserta
didik, maka akan berimplikasi terhadap model pembelajaran, strategi, metode, dan
media pembelajaran yang akan digunakan. Contoh, Bu Santi sebagai guru disuatu
kelas memiliki peserta didik 30, dari jumlah tersebut diketahui ada 2 jenis gaya
belajar yang dominan dimiliki peserta didiknya yaitu 18 peserta didik yang bergaya
belajar visual dan 12 peserta didik bergaya belajar auditori. Bu Santi akan lebih
tepat jika dalam melakukan pembelajarannya tidak klasikal tetapi kelompok, yaitu
kelompok peserta didik yang dominan bergaya visual dan kelompok peserta didik
yang dominan bergaya belajar auditori. Kelompok belajar yang dominan bergaya
belajar visual pembelajarannya bisa dilakukan misal melalui multimedia
pembelajaran dan membaca modul atau buku paket, sedangkan yang dominan
bergaya belajar auditori pembelajarnnya diputarkan CD audio pembelajaran, dan
mendiskusikan suatu topik secara verbal.

Perlu diingat bahwa gaya belajar seseorsng tidsk terkotsk-kotsk drcsrs terpisah-
pisah, namun gaya belajar sesorang merupakan gabungan dari beberapa gaya
belajar meskipun terkadang ada salah satu yang lebih dominan.

a. Motivasi

Motivasi telah banyak didefinisikan oleh para ahli, diantaranya oleh Wlodkowski
(dalam Suciati, 1994:41) yaitu suatu kondisi yang menyebabkan atau
menimbulkan perilaku tertentu, dan yang memberi arah dan ketahanan
(persistence) pada tingkah laku tersebut. Motivasi kadang timbul dari dalam diri
individu itu sendiri (motivasi instrinsik dan kadang motivasi itu muncul karena faktor
dari luar dirinya sendiri (motivasi ekstrinsik). Disamping itu motivasi peserta didik
dalam belajar kadang tinggi, sedang, atau bahkan rendah. Motivasi belajar yang

56 | Pedagodi

tinggi dari peserta didik akan tampak dari ketekunannya dalam belajar yang tidak
mudah patah untuk mencapai keberhasilan meskipun banyak rintangan yang
dihadapinya. Motivasi yang tinggi dari peserta didik dapat menggiatkan aktivitas
belajarnya. Seseorang memiliki motivasi tinggi atau tidak dalam belajarnya dapat
terlihat dari tiga hal: 1) kualitas keterlibatannya, 2) perasaan dan keterlibatan
afektif peserta didik, 3) upaya peserta didik untuk senantiasa memelihara/menjaga
motivasi yang dimiliki.

Seorang pendidik pada abad 21 ini perlu memahami motivasi belajar peserta
didiknya dan bahkan harus selalu dapat menjadi motivator peserta didiknya,
karena pada abad 21 ini banyak godaan di sekeliling peserta didik seperti game
pada computer personal, dan game online, dan film-film pada pesawat televisi
ataupun lewat media massa atau sosial lainnya. Upaya yang dapat dilakukan
pendidik untuk memotivasi peserta didik diantaranya: menginformasikan
pentingnya/manfaat mempelajari suatu topik tertentu, menginformasikan
tujuan/kompetensi yang akan dicapai dari proses pembelajaran yang
dilakukannya, memberikan humor, menggunakan media pembelajaran, dan juga
memberi reward/hadiah/pujian. Misal Pak Fikri selaku pendidik Sekolah Dasar,
meminta kepada peserta didiknya untuk belajar secara berkelompok
mendiskusikan suatu topik. Setelah berdiskusi masing-masing kelompok untuk
melaporkan hasil diskusinya, misal kelompok 1 diminta melaporkan /
mempresentasikan hasil diskusinya lebih dahulu. Setelah presentasi selesai guru
kemudian memberi pujian dengan mengatakan bagus sekali presentasi kalian.
Kemudian giliran kelompok berikutnya, setelah presentasi selesai Pak Fikri
kembali memuji peserta didiknya dengan mengatakan hebat, kelompok kalian
hebat. Dari tindakan guru seperti itu tentunya peserta didiknya akan menjadi lebih
semangat atau termotivasi dalam belajarnya.

Pedagodi | 57

b. Perkembangan emosi
Emosi telah banyak didefinisikan oleh para ahli, diantaranya Kartono dalam
Sugihartono (2013: 20) mendefinisikan emosi sebagai tergugahnya perasaan yang
disertai dengan perubahan-perubahan dalam tubuh, misalnya otot menegang, dan
jantung berdebar. Dengan emosi peserta didik dapat merasakan senang/gembira,
aman, semangat, bahkan sebaliknya peserta didik merasakan sedih, takut, dan
sejenisnya.

Emosi sangat berperan dalam membantu mempercepat atau justru memperlambat
proses pembelajaran. Emosi juga berperan dalam membantu proses
pembelajaran tersebut menyenangkan atau bermakna. Goleman, (dalam
Sugihartono, 2013: 21) menyatakan bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan
saraf otak kurang mampu “merekatkan” pelajaran dalam ingatan. Suasana emosi
yang positif atau menyenangkan atau tidak menyenangkan membawa pengaruh
pada cara kerja struktur otak manusia dan akan berpengaruh pula pada proses
dan hasil belajar. Atas dasar hal ini pendidik dalam melakukan proses
pembelajaran perlu membawa suasana emosi yang senang/gembira dan tidak
memberi rasa takut pada peserta didik. Untuk itu bisa dilakukan dengan model
pembelajaran yang menyenangkan (enjoy learning), belajar melalui permainan
(misalnya belajar melalui bermain monopoli pembelajaran, ular tangga
pembelajaran, kartu kwartet pembelajaran) dan media sejenisnya.

c. Perkembangan sosial
Perkembangan sosial menurut Hurlock, (1998: 250) adalah kemampuan anak
untuk berinteraksi dengan lingkungannya, bagaimana anak tersebut memahami
keadaan lingkungan dan mempengaruhinya dalam berperilaku baik kepada dirinya
sendiri maupun kepada orang lain. Dari pernyataan ini dapat ditegaskan bahwa
perkembangan sosial peserta didik merupakan kemampuan peserta didik untuk
menyesuaikan diri terhadap norma-norma dan tradisi yang berlaku pada kelompok
atau masyarakat, kemampuan untuk saling berkomunikasi dan kerja sama.
Perkembangan sosial peserta didik dapat diketahui/dilihat dari tingkatan
kemampuannya dalam berinteraksi dengan orang lain dan menjadi masyarakat di
lingkungannya.

58 | Pedagodi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial yaitu keluarga,
kematangan, teman sebaya, sekolah, dan status sosial ekonomi. Agar diperoleh
gambaran yang lebih jelas kelima faktor tersebut akan dipaparkan pada bagian
berikut.

1) Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh
terhadap aspek-aspek perkembangan anak termasuk aspek perkembangan
sosialnya. Keluarga merupakan tempat yang baik bagi sosialisasi anak karena
sebagian besar waktu yang ada dihabiskan anak di dalam keluarga. Anggota
keluarga terutama orang tua akan dijadikan model bagi anaknya. Oleh karena
itu orang tua perlu menerapkan pola asuh yang tepat kepada anaknya.

2) Kematangan, untuk dapat bersosialisasi dengan baik diperlukan kematangan
fisik dan psikis sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial.

3) Pengaruh teman sebaya, Teman sebaya menjadi orang-orang penting dalam
sosialisasi anak karena interaksi mereka membuat anak mengerti mengenai
hubungan sosial yang lebih dari pada hubungan dengan anggota keluarganya.
Biasanya pendapat teman sebaya sangat diperhatikan dan didengarnya.
Melalui teman sebaya anak dapat belajar menyesuaikan diri dengan tuntutan
sosial, membantu anak-anak mencapai kemandiriannya, dan juga konsep diri
anak. Oleh karena itu orang dewasa (guru dan orang tua) perlu mendampingi
dan mengawasinya agar anak tidak terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.

4) Sekolah, merupakan lembaga yang ikut mempengaruhi perkembangan sosial
anak karena salah satu fungsi dari lembaga ini adalah mengembangkan
kemampuan anak untuk dapat hidup bermasyarakat.

5) Status sosial ekonomi, kehidupan sosial anak banyak dipengaruhi oleh kondisi
ekonomi keluarganya, Status ekonomi keluarga tentunya akan mempengaruhi
norma yang ditanamkan orang tua kepada anaknya, seperti pola hidup
sederhana dan cara penampilan anak sehingga hal ini akan mempengaruhi
anak dalam memilih teman.

Faktor-faktor tersebut di atas perlu diperhatikan dan dipahami pendidik dalam
menyelenggarakan proses pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan pendidik
untuk mengembangkan sikap sosial peserta didik menurut Masganti (2012: 124)
antara lain a). melaksanakan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif
akan mengembangkan sikap kerjasama dan saling menghargai pada diri peserta

Pedagodi | 59

didik, menghargai kemampuan orang lain, dan bersabar dengan sikap orang lain,
b) Pembelajaran kolaboratif. Pembelajaran kolaboratif akan mengembangkan
sikap membantu dan berbagi dalam pembelajaran. Siswa yang pintar bersedia
membantu temannya yang belum memahami materi pelajaran. Model
pembelajaran ini akan menumbuhkan sikap saling menyayangi. Menurut pendapat
penulis, disamping melalui dua model pembelajaran tersebut dapat juga dilakukan
melalui kegiatan penugasan kepada peserta didik untuk melakukan wawancara
kepada orang tokoh masyarakat. Melalui kegiatan ini akan muncul kemampuan
untuk berinteraksi dengan orang yang lebih tua.

d. Perkembangan Moral dan Spiritual

Dalam kehidupan bermasyarakat termasuk masyarakat di lingkungan sekolah
pasti mengenal moralitas, bahkan moralitas ini dijadikan sumber/acuan untuk
menilai suatu tindakan atau perilaku karena moralitas memiliki kriteria nilai (value)
yang berimplikasi pada takaran kualitatif, seperti: baik-buruk, benar-salah, pantas-
tidak pantas, wajar-tidak wajar, layak-tidak layak, dan sejenisnya. Moralitas dalam
diri peserta didik dapat tingkat yang paling rendah menuju ke tingkatan yang lebih
tinggi seiring dengan kedewasaannya. Kohlberg (dalam Suyanto, 2006: 135),
Sunardi dan Imam Sujadi (2016: 7-8) perkembangan moral anak/peserta didik
dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu 1) preconventional, 2) Conventional, 3)
postconventional.

Tahap Preconventional (6 - 10 th), yang meliputi aspek obedience and punisment
orientatation, orientasi anak/peserta didik masih pada konsekvensi fisik dari
perbuatan benar-salahnya yaitu hukuman dan kepatuhan atau anak menilai baik
– buruk berdasarkan akibat perbuatan; dan aspek naively egoistic orientation;
orientasi anak/peserta didik pada instrumen relatif. Perbuatan benar adalah
perbuatan yang secara instrumen memuaskan keinginannya sendiri.
Kepedualiannya apakah mendatangkan keuntungan atau tidak atau anak menilai
baik-buruk bendasarkan kontrak/imbal. jasa. Pada tahap pra konvensional peserta
didik memiliki rasa takut akan akibat negatif dari perbuatannya.

Tahap Conventional, (10 – 17 th) yang meliputi aspek good boy orientation,
orientasi perbuatan yang baik adalah yang menyenangkan, membantu, atau
disepakati oleh orang lain. Anak patuh pada karakter tertentu yang dianggap alami,

60 | Pedagodi

menjadi anak baik, saling berhubungan dan peduli terhadap orang lain atau orang
menilai baik-buruk berdasarkan persetujuan orang lain. Aspek authority and social
order maintenance orientation; orientasi anak pada aturan dan hukum. Hukum dan
perintah penguasa adalah mutlak dan final, penekanan pada kewajiban dan tugas
terkait dengan perannya yang diterima di masyarakat atau orang memilai baik-
buruk berdasarkan ketertiban sosial. Dari uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa
pada tahap conventional peserta didik memiliki perasaan rasa bersalah bila
berbeda derbeda dengan orang lain.

Tahap post conventional (17 – 28 th), tahap pasca konvensional ini meliputi
contractual legalistic orientation, orientasi orang pada legalitas kontrak sosial.
Orang mulai peduli pada hak individu, dan yang baik adalah yang disepakati oleh
mayoritas masyarakat. Orang menilai baik-buruk, benar-salah berdasarkan hukum
yang berlaku. Tahap selanjutnya yang merupakan tahap puncak dari tahap pasca
konvensional yaitu tahap conscience or principle orientation, pada tahap ini
orientasi orang adalah pada prinsip-prinsip etika yang bersifat universal. Baik-
buruk harus disesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip etika intisari dari prinsip
yang sifatnya universal atau orang menilai baik-buruk berdasarkan hati nurani.

Ketiga tahap perkembangan moral tersebut di atas, akan dialami oleh peserta didik
kita, meskipun tidak selalu bertambahnya usia peserta didik juga menyebakan
berpindahnya tahap perkembangan moral yang lebih tinggi. Implikasi dari tahap
perkembangan moral dalam proses pendidikan antara lain tahap ketiga yaitu post
conventional khususnya aspek ke 6 sebaiknya menjadi tujuan yang kita lakukan.

Pendidik disamping perlu memahami perkembangan moral peserta didiknya juga
perlu dan penting memahami perkembangan spiritualnya. Istilah spiritual pada
beberapa tahun terakhir sangat banyak dibicarakan orang manakala dimunculkan
istilah kecerdasan spiritual (spiritual intelegence). Kecerdasan spiritual ini bersifat
individu dan perlu dikembangkan khususnya dalam proses pembelajaran.
Kecerdasan spiritual menurut Zohar dan Marshal (dalam Mustafa-Alif) meliputi
kemampuan untuk menghayati nilai dan makna, memiliki kesadaran diri, fleksibel
dan adaftif, cenderung memandang sesuatu holistik, dan cenderung mencari
jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi hidupnya.

Pedagodi | 61

Upaya yang dapat dilakukan pendidik untuk mengembangkan sikap religius antara
lain dengan: 1) Metode keteladanan, pendidik memberi contoh langsung/menjadi
percontohan kepada peserta didiknya, baik dalam berbicara, berperilaku, maupun
lainnya. Melalui percontohan/keteladanan akan lebih berkesan pada peserta didik
dibandingkan hanya dengan kata- kata. 2) Metode pembiasaan, metode ini berarti
peserta didik diharapkan melakukan perulangan untuk hal-hal yang sifatnya baik,
seperti berdoa sebelum melakukan kegiatan belajar, membaca buku, 3) Metode
nasehat, pendidik diharapkan memberikan nasihat tentang kebenaran kepada
peserta didiknya secara konsisten. 4) Pembinaan akhlak, pendidik diharapkan
dapat selalu membina akhlak atau budi pekeri yang mulia peserta didiknya, seperti
sikap rendah hati, hormat pada orang yang lebih tua dan sabar.

e. Perkembangan Motorik

Salah satu faktor penting dalam perkembangan individu secara keseluruhan yang
perlu dikenali dan dipahami pendidik adalah faktor perkembangan motorik peserta
didiknya. Perkembangan motorik menurut Hurlock diartikan perkembangan
gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf, dan otot yang
terkordinasi. Perkembangan motorik merupakan proses yang sejalan dengan
bertambahnya usia secara bertahap dan berkesinambungan, dimana gerakan
individu meningkat dari keadaan sederhana, tidak terorganisir, dan tidak terampil,
kearah penguasaan keterampilan motorik yang kompleks dan terorganisir dengan
baik.

Perkembangan motorik menurut Santrock (2011: 242) dikelompokkkan menjadi
motorik kasar dan motorik halus. Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas akan
dijelaskan sebagai berikut:

Motorik kasar; gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian
besar atau seluruh anggota tubuh yang dipengaruhi oleh kematangan anak itu
sendiri. Contoh perkembangan motorik kasar anak yaitu, anak pada usia 3 tahun
gemar melakukan gerakan seperti melompat, berlari ke depan dan ke belakang.
Usia 4 tahun anak masih melakukan gerakan sejenis namun mereka menjadi lebih
berani, seperti berani melompat dari tempat tinggi atau bergelantung. Mereka juga
berani memanjat alat untuk memperlihatkan kemampuannya. Usia 5 tahun, anak
mengembangkan jiwa petualang yang lebih besar lagi dibandingkan dengan ketika

62 | Pedagodi

ia berusia 4 tahun, mampu berlari dengan kencang dan senang berlomba, seperti
balapan lari dan balapan sepeda, usia 6 tahun dapat menggunakan palu. Pada
usia 7 tahun tangan-tangan anak sudah lebih mantap, pada usia 10 atau 11 tahun
anak dapat memanjat, melompati tali, berenang, dan dapat memukul bola tenis
melewati net. Keterampilan motorik kasar ini banyak melibatkan aktivitas otot,
biasanya anak laki-laki lebih unggul dibandingkan anak perempuan.

Motorik halus: gerakan yang menggunakan otot halus, atau sebagian anggota
tubuh tertentu yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih.
Perkembangan motorik halus anak usia 3 tahun missal bermain puzzle sederhana,
tapi kadang tidak disangka dapat membangun menara tinggi dengan
menggunakan balok. Pada usia 4 tahun koordinasi motorik halus sudah
memperlihatkan kemajuan yang bersifat substansial dan menjadi lebih cermat.
Pada usia 5 tahun, koordinasi motorik halus anak telah memperlihatkan kemajuan
yang lebih jauh lagi. Tangan, lengan, dan tubuh, semuanya bergerak di bawah
komando mata. Pada usia 6 tahun, anak dapat menempel, mengikat tali sepatu,
mengancingkan pakaian. Pada usia 7 tahun, tangan anak sudah lebih matap. Di
usia 7 tahun anak lebih suka menggunakan pensil dibanding menggunakan krayon
untuk menulis. Pada usia 8 sampai 10 tahun, tangan anak-anak sudah dapat
digunakan secara mandiri dengan lebih tenang dan tepat, anak-anak sudah dapat
menulis daripada sekedar mencetak kata-kata. Pada usia 10 sampai 12 tahun
anak- anak dapat melakukan gerakan-gerakan kompleks, rumit, dan cepat.
Keterampilan motoric halus biasanya perempuan lebih unggul disbanding anak
laki-laki.

Kedua jenis keterampilan motorik sebagaimana dijelaskan di atas, penting untuk
dikenali dan dipahami guru agar proses pembelajaran yang dilakukan dapat
mengembangkan potensi dan memaksimalkan hasil peserta didiknya. Disamping
itu dengan dikenali dan dipahaminya perkembangan motorik anak, pendidik dan
sekolah dapat menggunakan strategi pembelajaran, metode yang tepat, dan dapat
menyediakan, memanfaatkan alat, media, dan sumber belajar yang memadai.

Pedagodi | 63

Rangkuman

Agar materi yang telah dipelajari dapat lebih dipahami, maka Anda dapat
membaca rangkuman berikut:
Peserta didik dalam suatu kelas atau sekolah memiliki karakteristik yang berbeda-
beda. Perbedaan-perbedaan yang ada perlu dikelola secara baik. Namun jika
perbedaan tersebut tidak dikelola secara baik, maka akan menimbulkan
permasalahan-permasalahan dalam pembelajaran. Karakteristik peserta didik
banyak ragam yaitu: etnik, kultural, status sosial, minat, perkembangan kognitif,
kemampuan awal, gaya belajar, motivasi, perkembangan emosi, perkembangan
sosial dan perkembangan moral dan spiritual, dan perkembangan motorik

64 | Pedagodi

Pembelajaran 3. Keterampilan Berpikir Tingkat
Tinggi

Sumber. Buku Pegangan Pembelajaran Berorientasi pada Keterampilan Berpikir
Tingkat Tinggi.
Penulis. Yoki Ariyana, MT., Dr. Ari Pudjiastuti M.Pd., Reisky Bestary, M.Pd., Prof.
Dr. Zamroni, Ph.D.

Kompetensi

Pemerintah mengharapkan para peserta didik mencapai berbagai kompetensi
dengan penerapan HOTS atau Keterampilan Bepikir Tingkat Tinggi. Kompetensi
tersebut yaitu berpikir kritis (criticial thinking), kreatif dan inovasi (creative and
innovative), kemampuan berkomunikasi (communication skill), kemampuan
bekerja sama (collaboration), dan kepercayaan diri (confidence). Lima hal yang
disampaikan pemerintah yang menjadi target karakter peserta didik tersebut pada
sistem evaluasi, yaitu dalam UN dan juga merupakan kecakapan abad 21.
Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi (High Order Thinking Skills/HOTS) juga
diterapkan menyusul masih rendahnya peringkat Programme for International
Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science
Study (TIMSS) dibandingkan dengan negara lain, sehingga standar soal UN
ditingkatkan untuk mengejar ketertinggalan.

Pengembangan pembelajaran berorientasi pada keterampilan berpikir tingkat
tinggi atau Higher Order Thinking Skill (HOTS) merupakan program yang
dikembangkan sebagai upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) dalam upaya
peningkatan kualitas pembelajaran dan meningkatkan kualitas lulusan. Program
ini dikembangkan mengikuti arah kebijakan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang pada tahun 2018 telah terintegrasi Penguatan Pendidikan
Karakter dan pembelajaran berorientasi pada Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
atau Higher Order Thinking Skill (HOTS).

Pedagodi | 65

Pembelajaran keterampilan berpikir tingkat tinggi, dikembangkan dengan tujuan
mengembangkan kompetensi guru sehingga mampu mengembangkan
pembelajaran berorientasi pada Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi;

Indikator Pencapaian Kompetensi

Indikator pencapaian kompetensi pada pembelajaran keterampilan berpikir tingkat
tinggi, adalah.

1. Guru mampu menjelaskan konsep HOTS;
2. Guru mampu merancang pembelajaran HOTS; dan
3. Guru mampu menganalisis kompetensi dasar.

Uraian Materi

1. Konsep Berpikir Tingkat Tinggi
Keterampilan berpikir tingkat tinggi yang dalam bahasa umum dikenal sebagai
Higher Order Thinking Skills (HOTS) dipicu oleh empat kondisi berikut.
a. Sebuah situasi belajar tertentu yang memerlukan strategi pembelajaran yang

spesifik dan tidak dapat digunakan di situasi belajar lainnya.
b. Kecerdasan yang tidak lagi dipandang sebagai kemampuan yang tidak dapat

diubah, melainkan kesatuan pengetahuan yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang terdiri dari lingkungan belajar, strategi, dan kesadaran dalam
belajar.
c. Pemahaman pandangan yang telah bergeser dari unidimensi, linier, hirarki
atau spiral menuju pemahaman pandangan ke multidimensi dan interaktif.
d. Keterampilan berpikir tingkat tinggi yang lebih spesifik seperti penalaran,
kemampuan analisis, pemecahan masalah, dan keterampilan berpikir kritis
dan kreatif.
Menurut beberapa ahli, definisi keterampilan berpikir tingkat tinggi salah satunya
dari Resnick (1987) adalah proses berpikir kompleks dalam menguraikan materi,
membuat kesimpulan, membangun representasi, menganalisis, dan membangun
hubungan dengan melibatkan aktivitas mental yang paling dasar. Keterampilan ini

66 | Pedagodi

juga digunakan untuk menggarisbawahi berbagai proses tingkat tinggi menurut
jenjang taksonomi Bloom. Menurut Bloom, keterampilan dibagi menjadi dua
bagian. Pertama adalah keterampilan tingkat rendah yang penting dalam proses
pembelajaran, yaitu: mengingat (remembering), memahami (understanding), dan
menerapkan (applying), dan kedua adalah yang diklasifikasikan ke dalam
keterampilan berpikir tingkat tinggi berupa keterampilan menganalisis (analyzing),
mengevaluasi (evaluating), dan mencipta (creating).

Transfer of
Knowledge

Keterampilan
Berpikir Tingkat

TInggi

Problem Critical and
Solving Creative
Thinking

Gambar 3. Aspek Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi 1
Pembelajaran yang berorientasi pada Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi adalah
pembelajaran yang melibatkan 3 aspek keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu:
transfer of knowledge, critical and creative thinking, dan problem solving. Dalam
proses pembelajaran keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak memandang level
Kompetensi Dasar (KD), apakah KD nya berada pada tingkatan C1, C2, C3, C4,
C5, atau C6.

a. Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi sebagai Transfer of Knowledge
Keterampilan berpikir tingkat tinggi erat kaitannya dengan keterampilan berpikir
sesuai dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor yang menjadi satu kesatuan
dalam proses belajar dan mengajar.

1) Ranah Kognitif
Ranah kognitif meliputi kemampuan dari peserta didik dalam mengulang atau
menyatakan kembali konsep/prinsip yang telah dipelajari dalam proses

1 Afandi & Sajidan. 2017. Stimulasi Keterampilan Tingkat Tinggi. UNSPRESS.

Pedagodi | 67

pembelajaran yang telah didapatnya. Proses ini berkenaan dengan kemampuan
dalam berpikir, kompetensi dalam mengembangkan pengetahuan, pengenalan,
pemahaman, konseptualisasi, penentuan, dan penalaran. Tujuan pembelajaran
pada ranah kognitif menurut Bloom merupakan segala aktivitas pembelajaran
menjadi enam tingkatan sesuai dengan jenjang terendah sampai tertinggi.

Tabel 4. Proses Kognitif sesuai dengan level kognitif Bloom.

PROSES KOGNITIF DEFINISI

C1 L Mengingat Mengambil pengetahuan yang relevan dari
ingatan
C2 O Memahami Membangun arti dari proses pembelajaran,
T termasuk komunikasi lisan, tertulis, dan gambar
Melakukan atau menggunakan prosedur di
C3 S Menerapkan/ dalam situasi yang tidak biasa
Mengaplikasikan Memecah materi ke dalam bagian-bagiannya dan
menentukan bagaimana bagian-bagian itu
C4 Menganalisis terhubungkan antarbagian dan ke struktur atau
tujuan keseluruhan
H Membuat pertimbangan berdasarkan kriteria atau
standar
C5 O Menilai/ Menempatkan unsur-unsur secara bersama-
T Mengevaluasi sama untuk membentuk keseluruhan secara
koheren atau fungsional; menyusun kembali
S unsur-unsur ke dalam pola atau struktur baru

C6 Mengkreasi/
Mencipta

Anderson dan Krathwoll melalui taksonomi yang direvisi memiliki rangkaian
proses-proses yang menunjukkan kompleksitas kognitif dengan menambahkan
dimensi pengetahuan, seperti:

1) Pengetahuan faktual, Pengetahuan faktual berisi elemen-elemen dasar yang
harus diketahui para peserta didik jika mereka akan dikenalkan dengan suatu
disiplin atau untuk memecahkan masalah apapun di dalamnya. Elemen-
elemen biasanya merupakan simbol-simbol yang berkaitan dengan beberapa
referensi konkret, atau "benang-benang simbol" yang menyampaikan
informasi penting. Sebagian terbesar, pengetahuan faktual muncul pada level
abstraksi yang relatif rendah. Dua bagian jenis pengetahuan faktual adalah:
• Pengetahuan terminologi meliputi nama-nama dan simbol-simbol verbal
dan nonverbal tertentu (contohnya kata-kata, angka-angka, tanda-tanda,
dan gambar-gambar).

68 | Pedagodi

• Pengetahuan yang detail dan elemen-elemen yang spesifik mengacu pada
pengetahuan peristiwa-peristiwa, tempat-tempat, orang-orang, tanggal,
sumber informasi, dan semacamnya.

2) Pengetahuan konseptual, Pengetahuan konseptual meliputi skema-skema,
model-model mental, atau teori-teori eksplisit dan implisit dalam model-model
psikologi kognitif yang berbeda. Pengetahuan konseptual meliputi tiga jenis:
• Pengetahuan klasifikasi dan kategori meliputi kategori, kelas, pembagian,
dan penyusunan spesifik yang digunakan dalam pokok bahasan yang
berbeda;
• Prinsip dan generalisasi cenderung mendominasi suatu disiplin ilmu
akademis dan digunakan untuk mempelajari fenomena atau memecahkan
masalah-masalah dalam disiplin ilmu; dan
• Pengetahuan teori, model, dan struktur meliputi pengetahuan mengenai
prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi bersama dengan hubungan-
hubungan di antara mereka yang menyajikan pandangan sistemis, jelas,
dan bulat mengenai suatu fenomena, masalah, atau pokok bahasan yang
kompleks.

3) Pengetahuan prosedural, "pengetahuan mengenai bagaimana" melakukan
sesuatu. Hal ini dapat berkisar dari melengkapi latihan-latihan yang cukup rutin
hingga memecahkan masalah-masalah baru. Pengetahuan prosedural sering
mengambil bentuk dari suatu rangkaian langkah-langkah yang akan diikuti. Hal
ini meliputi pengetahuan keahlian-keahlian, algoritma-algoritma, teknik-teknik,
dan metode-metode secara kolektif disebut sebagai prosedur-prosedur.
• Pengetahuan keahlian dan algoritma spesifik suatu subjek.

Pengetahuan prosedural dapat diungkapkan sebagai suatu rangkaian
langkah-langkah, yang secara kolektif dikenal sebagai prosedur. Kadangkala
langkah-langkah tersebut diikuti perintah yang pasti, di waktu yang lain
keputusan-keputusan harus dibuat mengenai langkah mana yang dilakukan
selanjutnya. Dengan cara yang sama, kadang-kadang hasil akhirnya pasti,
dalam kasus lain hasilnya tidak pasti. Meskipun proses tersebut bisa pasti atau
lebih terbuka, hasil akhir tersebut secara umum dianggap pasti dalam bagian
jenis pengetahuan.

Pedagodi | 69

• Pengetahuan teknik dan metode spesifik suatu subjek.

Pengetahuan teknik dan metode spesifik suatu subjek meliputi pengetahuan
yang secara luas merupakan hasil dari konsensus, persetujuan, atau norma-
norma disipliner daripada pengetahuan yang lebih langsung merupakan suatu
hasil observasi, eksperimen, atau penemuan. Bagian jenis pengetahuan ini
secara umum menggambarkan bagaimana para ahli dalam bidang atau disiplin
ilmu tersebut berpikir dan menyelesaikan masalah-masalah daripada hasil-
hasil dari pemikiran atau pemecahan masalah tersebut.

• Pengetahuan kriteria untuk menentukan kapan menggunakan prosedur-
prosedur yang tepat.

Sebelum terlibat dalam suatu penyelidikan, para peserta didik diharapkan
dapat mengetahui metode-metode dan teknik-teknik yang telah digunakan
dalam penyelidikan-penyelidikan yang sama. Pada suatu tingkatan nanti
dalam penyelidikan tersebut, mereka dapat diharapkan untuk menunjukkan
hubungan-hubungan antara metode-metode dan teknik-teknik yang mereka
benar-benar lakukan dan metode-metode yang dilakukan oleh peserta didik
lain.

4) Pengetahuan metakognitif, Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan
mengenai kesadaran secara umum sama halnya dengan kewaspadaan dan
pengetahuan tentang kesadaran pribadi seseorang. Penekanan kepada
peserta didik untuk lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap pengetahuan
dan pemikiran mereka sendiri. Perkembangan para peserta didik akan menjadi
lebih sadar dengan pemikiran mereka sendiri sama halnya dengan lebih
banyak mereka mengetahui kesadaran secara umum, dan ketika mereka
bertindak dalam kewaspadaan ini, mereka akan cenderung belajar lebih baik.
• Pengetahuan strategi.

Pengetahuan strategi adalah pengetahuan mengenai strategi-strategi umum
untuk pembelajaran, berpikir, dan pemecahan masalah.

• Pengetahuan mengenai tugas kognitif, termasuk pengetahuan kontekstual
dan kondisional.

70 | Pedagodi

Para peserta didik mengembangkan pengetahuan mengenai strategi-strategi
pembelajaran dan berpikir, pengetahuan ini mencerminkan baik strategi-
strategi umum apa yang digunakan dan bagaimana mereka menggunakan.
• Pengetahuan diri.
Kewaspadaan diri mengenai keluasan dan kedalaman dari dasar pengetahuan
dirinya merupakan aspek penting pengetahuan diri. Para peserta didik perlu
memperhatikan terhadap jenis strategi yang berbeda. Kesadaran seseorang
cenderung terlalu bergantung pada strategi tertentu, dimana terdapat strategi-
strategi lain yang lebih tepat untuk tugas tersebut, dapat mendorong ke arah suatu
perubahan dalam penggunaan strategi.
Kombinasi dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 5. Kombinasi Dimensi Pengetahuan dan Proses Kognitif

Berdasarkan tabel 2 di atas, Jailaini dkk. mengutip dari Anderson, L. W., &
Krathwohl, D. R. menjelaskan pengkategorian HOTS yang lebih modern tidak lagi
hanya melibatkan satu dimensi (dimensi proses kognitif saja), tetapi HOTS
merupakan irisan antara tiga komponen dimensi proses kognitif teratas
(menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta) dan tiga komponen dimensi
pengetahuan tertinggi (konseptual, prosedural, dan metakognitif). Sehingga dalam
perumusan indikator pembelajaran di luar irisan tersebut dalam taksonomi Bloom
revisi tidak dapat dianggap sebagai HOTS. Sebagai contoh, indikator
pembelajaran yang memuat proses kognitif mengevaluasi (memeriksa,
mengkritisi), tetapi pada dimensi pengetahuan berada pada level faktual
(penggunaan lambang, simbol, notasi), bukan merupakan indikator dari HOTS. Hal

Pedagodi | 71

tersebut karena level faktual pada dimensi pengetahuan tidak termasuk bagian
dari HOTS.

Gambar 4. Kombinasi dari dimensi pengetahuan dan proses kognitif 2
Dengan melihat gambar 3 di atas, maka dapat dipahami bahwa untuk mencapai
dimensi proses pengetahuan tertentu, wajib melewati dimensi proses
pengetahuan di bawahnya yang menunjang, tidak langsung menuju dimensi yang
akan dituju, dengan kata lain dalam mencapai tujuan tertentu, wajib melewati jalan
atau tangga yang di bawahnya sebagai penunjang atau mendukung dimensi
proses pengetahuan tersebut.
2) Ranah Afektif
Kartwohl & Bloom juga menjelaskan bahwa selain kognitif, terdapat ranah afektif
yang berhubungan dengan sikap, nilai, perasaan, emosi serta derajat penerimaan
atau penolakan suatu objek dalam kegiatan pembelajaran dan membagi ranah
afektif menjadi 5 kategori, yaitu seperti pada tabel di bawah.

2 Sumber: Iowa State University. Centre for Excellence
72 | Pedagodi

Tabel 6. Ranah Afektif DEFINISI
PROSES AFEKTIF
A1 Penerimaan semacam kepekaan dalam menerima rangsangan atau
stimulasi dari luar yang datang pada diri peserta didik.
A2 Menanggapi suatu sikap yang menunjukkan adanya partisipasi aktif
untuk mengikutsertakan dirinya dalam fenomena tertentu
A3 Penilaian dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu
A4 Mengelola cara.
A5 Karakterisasi memberikan nilai, penghargaan, dan kepercayaan
terhadap suatu gejala atau stimulus tertentu.
konseptualisasi nilai-nilai menjadi sistem nilai, serta
pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimiliki.
keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki
seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan
tingkah lakunya.

Kata kerja operasional yang dapat digunakan dalam ranah afektif dapat dilihat
pada tabel dilampiran.

3) Ranah Psikomotor
Keterampilan proses psikomotor merupakan keterampilan dalam melakukan
pekerjaan dengan melibatkan anggota tubuh yang berkaitan dengan gerak fisik
(motorik) yang terdiri dari gerakan refleks, keterampilan pada gerak dasar,
perseptual, ketepatan, keterampilan kompleks, ekspresif, dan interperatif.
Keterampilan proses psikomotor dapat dilihat pada tabel di bawah.

Tabel 7. Proses Psikomotor

PROSES DEFINISI
PSIKOMOTOR
P1 Imitasi Imitasi berarti meniru tindakan seseorang.
P2 Manipulasi Manipulasi berarti melakukan keterampilan atau menghasilkan
produk dengan cara mengikuti petunjuk umum, bukan berdasarkan
P3 Presisi observasi. Pada kategori ini, peserta didik dipandu melalui instruksi
untuk melakukan keterampilan tertentu.
P4 Artikulasi Presisi berarti secara independen melakukan keterampilan atau
menghasilkan produk dengan akurasi, proporsi, dan ketepatan.
P5 Naturalisasi Dalam bahasa sehari-hari, kategori ini dinyatakan sebagai “tingkat
mahir”.
Artikulasi artinya memodifikasi keterampilan atau produk agar
sesuai dengan situasi baru, atau menggabungkan lebih dari satu
keterampilan dalam urutan harmonis dan konsisten.
Naturalisasi artinya menyelesaikan satu atau lebih keterampilan
dengan mudah dan membuat keterampilan otomatis dengan
tenaga fisik atau mental yang ada. Pada kategori ini, sifat aktivitas
telah otomatis, sadar penguasaan aktivitas, dan penguasaan

Pedagodi | 73

PROSES DEFINISI
PSIKOMOTOR
keterampilan terkait sudah pada tingkat strategis (misalnya dapat
menentukan langkah yang lebih efisien).

Kata kerja operasional yang dapat digunakan pada ranah psikomotor dapat dilihat

seperti pada tabel dilampiran.

b. Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi sebagai Critical and Creative
Thinking

John Dewey mengemukakan bahwa berpikir kritis secara esensial sebagai sebuah
proses aktif, dimana seseorang berpikir segala hal secara mendalam, mengajukan
berbagai pertanyaan, menemukan informasi yang relevan daripada menunggu
informasi secara pasif (Fisher, 2009).

Berpikir kritis merupakan proses dimana segala pengetahuan dan keterampilan
dikerahkan dalam memecahkan permasalahan yang muncul, mengambil
keputusan, menganalisis semua asumsi yang muncul dan melakukan investigasi
atau penelitian berdasarkan data dan informasi yang telah didapatkan sehingga
menghasilkan informasi atau simpulan yang diinginkan.

Tabel 8. 6 Elemen dasar tahapan keterampilan berpikir kritis, FRISCO [4]

ELEMEN DEFINISI

F Focus Mengidentifikasi masalah dengan baik.

Alasan-alasan yang diberikan bersifat logis atau tidak untuk

R Reason disimpulkan seperti yang telah ditentukan dalam

permasalahan.

Jika alasan yang dikembangkan adalah tepat, maka alasan

I Inference tersebut harus cukup sampai pada kesimpulan yang

sebenarnya.

S Situation Membandingkan dengan situasi yang sebenarnya.

Harus ada kejelasan istilah maupun penjelasan yang

C Clarity digunakan pada argumen sehingga tidak terjadi kesalahan

dalam mengambil kesimpulan.

Pengecekan terhadap sesuatu yang telah ditemukan,
O Overview

diputuskan, diperhatikan, dipelajari, dan disimpulkan.

74 | Pedagodi

Berfikir kreatif merupakan kemampuan yang sebagian besar dari kita yang terlahir
bukan pemikir kreatif alami. Perlu teknik khusus untuk membantu menggunakan
otak kita dengan cara yang berbeda. Masalah pada pemikiran kreatif adalah
bahwa hampir secara definisi dari setiap ide yang belum diperiksa akan terdengar
aneh dan mengada-ngada bahkan terdengar gila. Tetapi solusi yang baik mungkin
akan terdengar aneh pada awalnya. Namun demikian, solusi tersebut jarang
diungkapkan dan dicoba.

Berpikir kreatif dapat berupa pemikiran imajinatif, menghasilkan banyak
kemungkinan solusi, berbeda, dan bersifat lateral. [19]

Keterampilan berpikir kritis dan kreatif berperan penting dalam mempersiapkan
peserta didik agar menjadi pemecah masalah yang baik dan mampu membuat
keputusan maupun kesimpulan yang matang dan mampu dipertanggungjawabkan
secara akademis.

c. Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi sebagai Problem Solving
Keterampilan berpikir tingkat tinggi sebagai problem solving diperlukan dalam
proses pembelajaran, karena pembelajaran yang dirancang dengan pendekatan
pembelajaran berorientasi pada keterampilan tingkat tinggi tidak dapat dipisahkan
dari kombinasi keterampilan berpikir dan keterampilan kreativitas untuk
pemecahan masalah.

Keterampilan pemecahan masalah merupakan keterampilan para ahli yang
memiliki keinginan kuat untuk dapat memecahkan masalah yang muncul pada
kehidupan sehari-hari. Peserta didik secara individu akan memiliki keterampilan
pemecahan masalah yang berbeda dan dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Menurut Mourtos, Okamoto, dan Rhee [16], ada enam aspek yang dapat
digunakan untuk mengukur sejauh mana keterampilan pemecahan masalah
peserta didik, yaitu:

1) Menentukan masalah. Mendefinisikan masalah, menjelaskan permasalahan,
menentukan kebutuhan data dan informasi yang harus diketahui sebelum
digunakan untuk mendefinisikan masalah sehingga menjadi lebih detail, dan
mempersiapkan kriteria untuk menentukan hasil pembahasan dari masalah
yang dihadapi;

Pedagodi | 75

2) Mengeksplorasi masalah. Menentukan objek yang berhubungan dengan
masalah, memeriksa masalah yang terkait dengan asumsi, dan menyatakan
hipotesis yang terkait dengan masalah;

3) Merencanakan solusi. Peserta didik mengembangkan rencana untuk
memecahkan masalah, memetakan sub-materi yang terkait dengan masalah,
memilih teori prinsip dan pendekatan yang sesuai dengan masalah, dan
menentukan informasi untuk menemukan solusi;

4) Melaksanakan rencana. Pada tahap ini peserta didik menerapkan rencana
yang telah ditetapkan;

5) Memeriksa solusi. Mengevaluasi solusi yang digunakan untuk memecahkan
masalah; dan

6) Mengevaluasi. Pada langkah ini, solusi diperiksa, asumsi yang terkait dengan
solusi dibuat, memperkirakan hasil yang diperoleh ketika
mengimplementasikan solusi dan mengomunikasikan solusi yang telah dibuat.

2. Kompetensi Keterampilan 4Cs (Creativity, Critical Thinking, Collaboration,
Communication)

Pembelajaran abad 21 menggunakan istilah yang dikenal sebagai 4Cs (critical
thinking, communication, collaboration, and creativity). 4Cs adalah empat
keterampilan yang telah diidentifikasi sebagai keterampilan abad ke-21 (P21) yaitu
keterampilan yang sangat penting dan diperlukan untuk pendidikan abad ke-21.

Tabel 9. Peta Kompetensi Keterampilan 4Cs Sesuai dengan P21 [10]

FRAMEWORK 21st KOMPETENSI BERPIKIR P21
CENTURY SKILLS
Creativity Thinking and Peserta didik dapat menghasilkan, mengembangkan, dan
innovation mengimplementasikan ide-ide mereka secara kreatif baik
secara mandiri maupun berkelompok.
Critical Thinking and Peserta didik dapat mengidentifikasi, menganalisis,
Problem Solving menginterpretasikan, dan mengevaluasi bukti-bukti,
argumentasi, klaim, dan data-data yang tersaji secara luas
Communication melalui pengkajian secara mendalam, serta merefleksikannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Collaboration Peserta didik dapat mengomunikasikan ide-ide dan gagasan
secara efektif menggunakan media lisan, tertulis, maupun
teknologi.
Peserta didik dapat bekerja sama dalam sebuah kelompok
dalam memecahkan permasalahan yang ditemukan.

76 | Pedagodi

a. Kerangka Kerja enGauge 21st Century Skill
Perkembangan ilmu kognitif menunjukkan bahwa hasil yang diharapkan dalam
pembelajaran akan meningkat secara signifikan ketika peserta didik terlibat dalam
proses pembelajaran melalui pengalaman dunia nyata yang otentik. Keterampilan
enGauge Abad ke-21 dibangun berdasarkan hasil penelitian yang terus-menerus
serta menjawab kebutuhan pembelajaran yang secara jelas mendefinisikan apa
yang diperlukan peserta didik agar dapat berkembang di era digital saat ini.

Gambar 5. The enGauge list of 21st century skills3

3 Metiri Group. 2003. enGauge 21st Century Skills: Helping Students Thrive in the Digital Age
Pedagodi | 77

1) Digital Age Literacy/Era Literasi Digital
• Literasi ilmiah, matematika, dan teknologi dasar
• Literasi visual dan informasi
• Literasi budaya dan kesadaran global

2) Inventive Thinking/Berpikir Inventif
• Adaptablility dan kemampuan untuk mengelola kompleksitas
• Keingintahuan, kreativitas, dan pengambilan risiko
• Berpikir tingkat tinggi dan alasan yang masuk akal

3) Effective Communication/Komunikasi yang Efektif
• Keterampilan, kolaborasi, dan interpersonal
• Tanggung jawab pribadi dan sosial
• Komunikasi interaktif

4) High Productivity/Produktivitas Tinggi
• Kemampuan untuk memprioritaskan, merencanakan, dan mengelola hasil
• Penggunaan alat dunia nyata yang efektif
• Produk yang relevan dan berkualitas tinggi

b. Kerangka konsep berpikir abad 21 di Indonesia
Implementasi dalam merumuskan kerangka sesuai P21 bersifat mutidisiplin,
artinya semua materi dapat didasarkan sesuai kerangka P21. Untuk melengkapi
kerangka P21 sesuai dengan tuntutan Pendidikan di Indoensia, berdasarkan hasil
kajian dokumen pada UU Sisdiknas, Nawacita, dan RPJMN Pendidikan Dasar,
Menengah, dan Tinggi, diperoleh 2 standar tambahan sesuai dengan kebijakan
Kurikulum dan kebijakan Pemerintah, yaitu sesuai dengan Penguatan Pendidikan
Karakter pada Pengembangan Karakter (Character Building) dan Nilai Spiritual
(Spiritual Value). Secara keseluruhan standar P21 di Indonesia ini dirumuskan
menjadi Indonesian Partnership for 21 Century Skill Standard (IP-21CSS)

78 | Pedagodi

Tabel 10. Indonesian Partnership for 21 Century Skill Standard (IP-21CSS) [4]

Framework 21st IP-21CSS Aspek
Century Skills

Creativity Thinking and • Berpikir secara kreatif
innovation • Bekerja kreatif dengan lainnya
• Mengimplementasikan inovasi

• Penalaran efektif

Critical Thinking and 4Cs • Menggunakan sistem berpikir

Problem Solving • Membuat penilaian dan keputusan

• Memecahkan masalah

Communication and • Berkomunikasi secara jelas

Collaboration • Berkolaborasi dengan orang lain

• Mengakses dan mengevaluasi informasi

Information, Media, ICTs • Menggunakan dan menata informasi
and Technology Skills • Menganalisis dan menghasilkan media

• Mengaplikasikan teknologi secara efektif

• Menunjukkan perilaku scientific attitude

Character (hasrat ingin tahu, jujur, teliti, terbuka dan
Building penuh kehati-hatian)
• Menunjukkan penerimaan terhadap nilai

Life & Career Skills moral yang berlaku di masyarakat

• Menghayati konsep ke-Tuhanan melalui

Spiritual ilmu pengetahuan

Values • Menginternalisasikan nilai-nilai spiritual

dalam kehidupan sehari-hari

Pedagodi | 79

Rangkuman
Materi-materi yang disiapkan pada pembelajaran keterampilan berpikir tingkat
tinggi adalah membahas tentang pengertian HOTS, karakteristik, aspek, dimensi
pengetahuan dan dimensi konsep berpikir.
Pada materi Pengembangan Pembelajaran Berorientasi HOTS juga membahas
tentang kegiatan pembelajaran yang melibatkan aktifitas peserta didik dengan
menggunakan model-model pembelajaran dalam mencapai kecakapan abad 21.
Sedangkan materi Penilaian Berorientasi HOTS, materi ini membahas tentang
pengembangan penyusunan penilaian pengetahuan dalam pembelajaran
berorientasi HOTS.

80 | Pedagodi

Pembelajaran 4. Desain Pembelajaran

Sumber. Buku Pegangan Pembelajaran Berorientasi pada Keterampilan Berpikir
Tingkat Tinggi.
Penulis. Yoki Ariyana, MT., Dr. Ari Pudjiastuti M.Pd., Reisky Bestary, M.Pd., Prof.
Dr. Zamroni, Ph.D.

Kompetensi

Desain pembelajaran yang dikembangkan perlu diperhatikan langkah-langkah
yang sistematis yang mengajak guru untuk merunut alur desain pembelajaran,
kompetensi guru pada Pembelajaran desain pembelajaran adalah guru mampu
mengembangkan desain pembelajaran berdasarkan kurikulum 2013.

Indikator Pencapaian Kompetensi

Indikator pencapaian kompetensi pada embelajaran desain pembelajaran adalah,

1. Guru mampu menganalisis kompetensi dasar;
2. Guru mampu menentukan target kompetensi dari setiap kompetensi dasar;
3. Guru mampu menentukan IPK;
4. Guru mampu mengembangkan pembelajaran; dan
5. Guru mampu mengembangkan tujuan pembelajaran.

Uraian Materi

1. Analisis SKL, KI, dan KD
a. Analisis Standar Kelulusan (SKL) dan Kompetensi Inti (KI)
Analisis Standar Kelulusan (SKL) dan Kompetensi Inti (KI) merupakan hal penting
yang harus dilakukan oleh guru sebelum melaksanakan proses pembelajaran.
Dasar dalam melakukan analisis adalah Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016
tentang SKL dan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi.
Berdasarkan Lampiran Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016 yang dimaksud
dengan Standar Kompetensi Lulusan adalah kriteria mengenai kualifikasi

Pedagodi | 81

kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Standar Kompetensi Lulusan terdiri atas kriteria kualifikasi kemampuan peserta
didik yang diharapkan dapat dicapai setelah menyelesaikan masa belajarnya di
satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dan
berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2016, Kompetensi Inti (KI)
merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan
yang harus dikuasai peserta didik. Kompetensi Inti dirancang untuk setiap kelas.
Melalui kompetensi inti, sinkronisasi horizontal berbagai kompetensi dasar antar
mata pelajaran pada kelas yang sama dapat dijaga. Selain itu sinkronisasi vertikal
berbagai kompetensi dasar pada mata pelajaran yang sama pada kelas yang
berbeda dapat dijaga pula.

Analisis dilakukan di awal tahun pelajaran, bukan pada saat proses tahun
pelajaran berjalan. Tanpa melakukan analisis terhadap SKL dan KI dikhawatirkan
proses pembelajaran yang dilaksanakan tidak jelas arah tujuannya.

Adapun tujuan melakukan analisis pada SKL dan KI adalah:

1) Analisis SKL

Tujuan analisis SKL untuk mengetahui arah capaian setiap peserta didik dalam
menuntaskan pembelajaran yang dilakukan. Selama menjalani proses
pembelajaran peserta didik harus mampu memenuhi sikap, pengetahuan, dan
keterampilan yang sudah ditetapkan pada Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016
pada setiap jenjang pendidikan.

2) Analisis KI

Tujuan analisis KI untuk mengetahui apakah KI yang telah dirumuskan menunjang
dalam pencapaian SKL. Terdapat empat KI yaitu KI sikap spiritual (KI-1), KI sikap
sosial (KI-2), KI pengetahuan (KI-3), dan KI keterampilan (KI-4).

Langkah Analisis SKL dan KI yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Membaca dan memahami Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016 tentang

Standar Kompetensi Lulusan dan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2016
tentang Standar Isi;
2) Melihat tuntutan yang ada pada deskripsi SKL dan KI;

82 | Pedagodi

3) Memperhatikan:
a) dimensi pengetahuan pada SKL dan KI;
b) komponen pengetahuan/keterampilan pada SKL dan KI;
c) tempat penerapan yang digambarkan pada SKL dan KI.
d) Melihat keterkaitan antara SKL dengan KI.

b. Analisis Kompetensi Dasar (KD)
Analisis Kompetensi Dasar (KD) merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh
guru sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Dasar dalam melakukan
analisis adalah Permendikbud Nomor 37 Tahun 2018 tentang KI/KD.

Hal pertama dalam melakukan analisis KD adalah dengan menentukan target
yang akan dicapai sesuai dengan Kompetensi Dasar, dengan cara memisahkan
target kompetensi dengan materi yang terdapat pada KD.

Poin-poin yang harus diperhatikan pada saat menentukan target KD:

1) Tidak mengubah deskripsi pada KD
2) Memisahkan setiap kompetensi/kata kerja yang ada pada KD
3) Memisahkan setiap materi pada KD (jika bukan satu kesatuan)
4) Memisahkan setiap proses pencapaian (jika tidak satu kesatuan)
5) Menuliskan target jika ada kata “dan/atau” menjadi target yang terpisah

Tabel 11. mementukan Target Kompetensi Dasar

NO KOMPETENSI DASAR TARGET KD
KD PENGETAHUAN <Target pengetahuan yang diamanatkan oleh KD>
<Target keterampilan yang diamanatkan oleh KD>
<KD Pengetahuan>
KD KETERAMPILAN

<KD Keterampilan>

Dalam analisis KD setelah guru juga harus mampu menentukan tingkat
kompetensi KD (C1 s.d. C6), dengan langkah sebagai berikut,
1) Tidak berpatokan hanya pada kata kerja yang ada pada KD
2) Membaca secara keseluruhan deskripsi pada KD
3) Jika ada dua kata kerja pada KD, maka tingkat kompetensi pada KD tersebut

ada dua.

Pedagodi | 83

2. Perumusan Indikator Pencapaian Kompetensi
Pengembangan indikator dan materi pembelajaran merupakan dua kemampuan
yang harus dikuasai oleh seorang guru sebelum mengembangkan RPP dan
melaksanakan pembelajaran. Analisis yang dilakukan guru terhadap SKL, KI, dan
KD dapat membantu guru dalam mengembangkan IPK yang dijadikan dasar
dalam menentukan pembelajaran dengan meningkatkan nilai-nilai karakter melalui
kegiatan literasi dan pengembangan keterampilan Abad 21. Pendidik dapat
merumuskan indikator pencapaian kompetensi pengetahuan terkait dengan
dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif serta indikator keterampilan
berkaitan tidak hanya keterampilan bertindak, tetapi juga keterampilan berpikir
yang juga dikatakan sebagai keterampilan abstrak dan konkret.

Pengembangan IPK memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Tentukanlah proses berpikir yang akan dilakukan oleh peserta didik untuk
mencapai kompetensi minimal yang ada pada KD;

b. Rumusan IPK menggunakan kata kerja operasional (KKO) yang bisa diukur;
c. Dirumuskan dalam kalimat yang simpel, jelas, dan mudah dipahami;
d. Tidak menggunakan kata yang bermakna ganda;
e. Hanya mengandung satu tindakan;
f. Memperhatikan karakteristik mata pelajaran, potensi, dan kebutuhan peserta

didik, sekolah, masyarakat, dan lingkungan/daerah.
IPK dikategorikan menjadi tiga, yaitu IPK kunci, IPK pendukung, dan IPK
pengayaan.

a. Indikator Kunci

• Indikator yang sangat memenuhi kriteria UKRK (Urgensi, Keterkaitan,
Relevansi, Keterpakaian).

• Kompetensi yang dituntut adalah kompetensi minimal yang terdapat pada
KD.

• Memiliki sasaran untuk mengukur ketercapaian standar minimal dari KD.
• Dinyatakan secara tertulis dalam pengembangan RPP dan harus

teraktualisasi dalam pelaksanaan proses pembelajaran, sehingga
kompetensi minimal yang harus dikuasai peserta didik tercapai
berdasarkan tuntutan KD mata pelajaran.

84 | Pedagodi

a. Indikator Pendukung
• Membantu peserta didik memahami indikator kunci.
• Dinamakan juga indikator prasyarat yang berarti kompetensi yang
sebelumnya telah dipelajari peserta didik, berkaitan dengan indikator kunci
yang dipelajari.

b. Indikator Pengayaan

• Mempunyai tuntutan kompetensi yang melebihi dari tuntutan kompetensi
dari standar minimal KD.

• Tidak selalu harus ada.
• Dirumuskan apabila potensi peserta didik memiliki kompetensi yang lebih

tinggi dan perlu peningkatan yang baik dari standar minimal KD.
• Indikator kunci harus menjadi fokus perhatian guru dalam pelaksanaan

penilaian karena indikator kuncilah yang menjadi tolok ukur dalam
mengukur ketercapaian kompetensi minimal peserta didik berdasarkan
Kompetensi Dasar. Dengan kata lain, indikator kunci adalah indikator
yang harus diujikan kepada peserta didik (dinilai).
• Sedangkan indikator pendukung dan indikator pengayaan dalam
melakukan penilaian disesuaikan dengan tingkat kebutuhan pemahaman
peserta didik terhadap indikator kunci yang telah diberikan.

c. Langkah Desain Pembelajaran
Desain pembelajaran yang dikembangkan perlu diperhatikan langkah-langkah
yang sistematis yang mengajak guru untuk merunut alur desain pembelajaran
berorientasi pada keterampilan bepikir tingkat tinggi.

Langkah-langkah strategis yang perlu diperhatikan dapat dilihat sebagai berikut:

a. Menentukan dan menganalisis kompetensi dasar yang sesuai dengan tuntutan
Permendikbud Nomor 37 Tahun 2018 tentang Kompetensi Dasar yang menjadi
sasaran minimal yang akan dicapai dan menentukan target yang akan dicapai
sesuai dengan Kompetensi Dasar dengan cara memisahkan target
kompetensi dengan materi yang terdapat pada KD sesuai dengan format di
bawah.

Tabel 12. Format pasangan Target KD pengetahuan dan keterampilan

Pedagodi | 85

NO KOMPETENSI TARGET KD
DASAR <Target pengetahuan yang diamanatkan oleh KD>
<Target keterampilan yang diamanatkan oleh KD>
KD PENGETAHUAN
<KD Pengetahuan>

KD KETERAMPILAN
<KD Keterampilan>

b. Proyeksikan dalam sumbu simetri seperti pada pembelajaran berorientasi
pada keterampilan tingkat tinggi. Kombinasikan dimensi pengetahuan dengan
proses berpikir.

c. Perumusan indikator pencapaian kompetensi dapat dilakukan dengan
mengikuti langkah sebagai berikut:

1) Perhatikan dimensi proses kognitif dan dimensi pengetahuan yang menjadi

target yang harus dicapai peserta didik;

2) Tentukan KD yang akan diturunkan menjadi IPK;

3) Menggunakan kata kerja operasional yang sesuai untuk perumusan IPK

agar konsep materi dapat tersampaikan secara efektif. Gradasi IPK

diidentifikasi dari Lower Order Thinking Skills (LOTS) menuju Higher Order

Thinking Skills (HOTS);

4) Merumuskan IPK pendukung dan IPK kunci, sedangkan IPK pengayaan

dirumuskan apabila kompetensi minimal KD sudah dipenuhi oleh peserta

didik.

Tabel 13. Format Perumusan IPK

TINGKAT PROSES PIKIR DAN INDIKATOR MATERI DAN
KD KOMPETENSI KETERAMPILAN PENCAPAIAN SUBMATERI
KOMPETENSI
KD Proses Berpikir dan
KD Pengetahuan IPK Pendukung:
dimensi pengetahuan:
Dimensi IPK Kunci:
Pengetahuan: <Gradasi dimensi IPK Pengayaan :

Proses proses berpikir>
Berpikir:

KD Keterampilan Langkah Proses IPK Pendukung:
Tingkat Proses IPK Kunci:
Keterampilan: Keterampilan:
IPK Pengayaan:
<Gradasi dimensi

Keterampilan>

d. Merumuskan tujuan pembelajaran, apakah peningkatan kognitif, psikomotor,

atau afektif. Perumusan tujuan pembelajaran harus jelas dalam menunjukkan

kecakapan yang harus dimiliki peserta didik. Tujuan pembelajaran

86 | Pedagodi

mengisyaratkan bahwa ada beberapa karakter kecakapan yang akan
dikembangkan guru dalam pembelajaran. Selain itu, tujuan pembelajaran ini
juga bertujuan untuk menguatkan pilar pendidikan.
e. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran berdasarkan model pembelajaran:
(1) Pahami KD yang sudah dianalisis;
(2) Pahami IPK dan materi pembelajaran yang telah dikembangkan;
(3) Pahami sintak-sintak yang ada pada model pembelajaran, rumuskan

kegiatan pendahuluan yang meliputi orientasi, motivasi, dan apersepsi.
(4) Rumuskan kegiatan inti yang berdasarkan pada:

• IPK;
• Karakteristik peserta didik;
• Pendekatan saintifik;
• 4C (creativity, critical thinking, communication, collaboration); dan
• PPK dan literasi.
(5) Rumuskan kegiatan penutup yang meliputi kegiatan refleksi baik individual
maupun kelompok.
• memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;

• melakukan kegiatan tindak lanjut;
• menginformasikan rencana kegiatan pembelajaran untuk pertemuan

berikutnya; dan
• Kegiatan penutup dapat diberikan penilaian akhir sesuai KD

bersangkutan.
(6) Tentukan sumber belajar berdasarkan kegiatan pembelajaran;
(7) Rumusan penilaian (formatif dan sumatif) untuk pembelajaran yang

mengaju kepada IPK.
Implementasi pada poin poin e (Langkah-langkah kegiatan pembelajaran
berdasarkan model pembelajaran:), dapat diperhatikan dengan format dibawah
untuk mengimplementasikannya.

Pedagodi | 87


Click to View FlipBook Version