NOVEL
LELAKI
HARIMAU
LELAKI HARIMAU
© Eka Kurniawan
GM 20101140028
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lt 5
Jl. Palmerah Barat 29–37
Jakarta Pusat 10270
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
Anggota IKAPI, Jakarta, 2004
Cetakan pertama (cover baru) Agustus 2014
Layout isi: Noviprastya
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
www.gramediapustakautama.com
ISBN: 978-602-03-0749-7
Sanksi Pelanggaran Pasal 72:
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedark an, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak
cipta atau hak terkait sebagai dimaksud dalam Ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dicetak oleh Percetakan Gramedia, Jakarta
Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan
LELAKI
HARIMAU
Eka Kurniawan
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Satu
Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, Kyai Jahro tengah
masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya, ditemani aroma asin yang
terbang di antara batang kelapa, dan bunyi falseto laut, dan badai
jinak merangkak di antara ganggang, dadap, dan semak lantana.
Kolamnya menggenang di tengah perkebunan cokelat, yang
meranggas kurang rawat, buah-buahnya kering dan kurus tak
lagi terbedakan dengan rawit, hanya berguna bagi pabrik tempe
yang merampok daunnya setiap petang. Di tengah perkebunan,
mengalir sungai kecil penuh dengan ikan gabus dan belut,
dikelilingi rawa yang menampung tumpahan arus kala banjir.
Orang-orang datang, selang berapa lama selepas perkebunan di
nyatakan bangkrut tumbang, untuk memberi patok-patok dan
menanam padi di rawa-rawa itu, mengusir eceng gondok dan
rimba raya kangkung. Kyai Jahro datang bersama mereka, me
nanam padi untuk satu musim, terlalu banyak minta diurus dan
menggerogoti waktu. Kyai Jahro yang bahkan tak mengenal apa
makna bintang waluku mengganti padi dengan kacang yang lebih
tangguh, tak minta banyak urus, namun dua karung kacang tanah
di musim panen tak alang membuatnya bertanya-tanya, dengan
cara apa ia mesti memamahnya. Demikianlah petak tersebut ber
akhir menjadi kolam, dilemparkan ke sana benih mujair dan
nila, dan jadi kesenangannya untuk memberi pakan setiap senja,
melihat mulut mereka cuap-cuap di permukaan air menggenang.
1
Ia tengah melemparkan dedak yang dimintanya dari peng
gilingan padi, serta daun singkong dan pepaya, dan ikan-ikan
menyundul riang, kala ia mendengar deru mesin motor di suatu
jarak, di antara deretan batang cokelat, pekak di telinganya. Ia
terlalu mengenal bunyi itu untuk memaksanya menoleh, seakrab
bunyi beduk dari surau lima kali sehari, sebab ia bisa mendengar
nya lebih dari itu sebagaimana telinga tetangga lain telah ber
sahabat dengannya. Itu Honda 70 milik Mayor Sadrah, dengan
warna merahnya yang masih cemerlang, penjelajah jejalan setapak
di antara rumah, mengantarkan pemiliknya ke surau, mengirim
istri pemiliknya ke pasar, dan kala lain sekadar berputar-putar
di antara dinding rumah tetangga, dan setiap senja yang tak ada
kerjaan, Mayor Sadrah akan membawanya berkeliling ke tempat-
tempat yang lebih senyap.
Kini umurnya lewat delapan puluh, Mayor Sadrah itu, dengan
tubuh tetap bugar. Bertahun lampau berhenti dari dinas militer,
pensiun dan berdiri di hari Kemerdekaan pada rombongan para
veteran, dan pemerintah kota konon telah memberinya sepetak
tanah di taman makam pahlawan sebagai balasan atas peng
abdiannya, yang sering disebutnya sebagai undangan untuk se
gera mati. Lelaki ini menggiring motornya, berbelok dan berhenti
di tepi tegalan kolam, membunuh mesinnya dan mengusap
mulutnya yang tersembunyi di balik kumis gelap, sebab tanpa
gerakan itu serasa ia bukan dirinya. Kyai Jahro belum juga me
noleh, hingga Mayor Sadrah berdiri di sampingnya, dan mereka
berbincang tentang hujan badai semalam, yang untung tidak
datang saat perusahaan jamu memutar film di lapangan bola,
namun jelas hampir bikin patah hati para pemilik kolam.
Hujan badai semacam itu pernah datang berbulan-bulan lalu,
satu minggu tak ada henti, seolah pipa-pipa pemadam kebakaran
2
yang ada di muka bumi tercurah serentak di sana. Sungai kecil
yang dijejali lebih banyak lumpur daripada arus itu meluap se
tinggi satu depa, melemparkan angsa-angsa yang menghuninya
ke muara, dan menenggelamkan kolam-kolam dengan sempurna.
Masihlah untung jika ikan-ikan itu hanya tertukar-tukar, barang
kali anak tetangga sendiri yang bakalan memakannya, sebagian
besar hengkang entah, dan ketika air mereda, mereka hanya di
sisakan bekicot dan batang pisang yang berlayar dari udik. Kyai
Jahro menoleh pada Mayor Sadrah dan berkata, kini ia telah
bersiap dengan jala yang akan mencungkupi kolamnya, me
lindungi ikan-ikan dari banjir macam mana pun.
Itulah kala seorang lelaki tua mengayuh sepeda membungkuk
menghindari dahan-dahan cokelat yang terulur di atas jalan se
tapak dan berseru memanggil Kyai Jahro. Sepedanya melaju ken
cang, nyaris tanpa kendali, dan tanpa rem, namun sang penge
mudi terlampau mahir untuk tidak membuatnya terjerembab.
Ma Soma, ia guru mengaji anak-anak di surau, melompat sejenak
sebelum sepeda membentur tegalan, dan dengan tangan meng
genggam kuat stang, sepeda itu berhenti terlonjak, serupa kuda
yang ditarik tali kekang. Dengan hidung tersengal-sengal, ia mem-
beritahu mereka bahwa Margio telah membunuh Anwar Sadat.
Ia mengatakannya dalam satu kesan agar Kyai Jahro bergegas
untuk memimpin salat jenazah, sebab itulah salah satu tugasnya
sepanjang tahun-tahun terakhir.
“Demi Tuhan,” kata Mayor Sadrah selepas satu ketercekatan
kacau yang pendek. Sejenak mereka bertukar pandang, seolah-
olah itu sebuah lelucon dan mereka tak juga menemukan di
bagian mana terdapat kekonyolannya. “Tadi siang aku melihatnya
men enteng samurai bangka berkarat sisa perang. Anak celaka,
kuharap ia tak mengambilnya selepas kurampas benda celaka
itu.”
3
“Memang tidak,” kata Ma Soma. “Bocah itu menggigit putus
urat lehernya.”
Tak seorang pun pernah mendengar seseorang membunuh
dengan cara seprimitif itu. Ada dua belas pembunuhan yang
mereka kenal sepanjang sepuluh tahun terakhir sejarah kota,
dan mereka mempergunakan golok atau pedang. Tak ada
pistol, tak ada keris, apalagi gigitan. Ada ratusan kasus orang
saling menggigit, terutama jika dua perempuan berduel, tapi
tak satu pun berakhir dengan kematian. Berita itu jauh lebih
menakjubkan, disebabkan pelaku dan korbannya. Mereka terlalu
mengenal baik si bocah Margio maupun si tua Anwar Sadat,
dua makhluk yang tak akan terpikirkan ambil bagian dari suatu
drama tragis semacam itu, tak peduli senafsu apa pun Margio
ingin membunuh seseorang, dan semenyebalkan apa pun lelaki
yang bernama Anwar Sadat.
Masih lenyap beberapa waktu saat mereka tercenung, serasa
hilang sadar, mencium bau amis darah yang menggelosor dari
leher serupa pipa ledeng yang bocor, dan seorang bocah berjalan
panik sempoyongan, dihantam kesembronoannya sendiri, dengan
mulut dan gigi penuh warna merah, semacam moncong ajak
men inggalkan sarapan paginya. Tamasya itu, yang berkelayap di
kepala mereka, terlalu memesona untuk memercayainya. Bahkan
Kyai Jahro yang saleh dibikin lupa membisikkan innalillahi,
Mayor Sadrah bergumam tak ada maksud, juga lupa mengusap
mulutnya yang ternganga, sementara Ma Soma jemu berdiri di
tentang keduanya. Ia mengangkat sepeda itu berbalik, memberi
pertanda pada mereka untuk bergegas, dan bergeraklah mereka,
menjadi lebih panik seolah pembunuhan itu belum terjadi dan
mereka hendak mencegahnya.
Adalah benar Mayor Sadrah melihat bocah itu menenteng sa
murai tadi siang di pos ronda, saat ia masih mengenakan sarung
4
pulang dari salat di surau. Semua orang membicarakan samurai
itu sekarang, menjelaskan bahwa niat membunuh itu telah jauh
ada di kepalanya. Pos ronda itu berdiri di tengah permukiman,
di depan pabrik batu bata yang tak lagi hidup dan hanya meng
hasilkan belukar serta anak-anak jin. Samurai itu tergantung di
tangan si bocah, yang berjalan lalu lalang di sekitar, meninggalkan
garis sengkarut di tanah. Lain waktu ia duduk di bangku,
menebas-nebaskan samurai ke kentongan kayu dan tiang, tanpa
menyisakan jejak terkelupas. Beberapa orang melihatnya, dan tak
peduli, sebab samurainya telah rongsok dan berkarat, tak akan
mempan mengiris leher ayam paling pesakitan sekalipun.
Selepas perang puluhan tahun lampau, ada banyak samurai
ditinggalkan Jepang dan dipelihara orang-orang sebagai hiasan
dan jimat, namun sebagian besar terbengkalai dan rusak oleh
udara penuh garam, sebagaimana diingat Mayor Sadrah. Ba
rangkali Margio menemukannya di pembuangan sampah, atau
terselip di satu tempat di dalam pabrik batu bata. Mayor Sadrah
melihatnya dan tak mengabaikan serongsok apa pun benda itu
tetaplah sebuah samurai, meskipun ia tak memberi kecurigaan
berlebihan bocah itu berniat bengis menghentikan hidup Anwar
Sadat. Tak ada tanda-tanda mereka berselisih, sebanyak yang di
ketahui semua orang di sekeliling rumah mereka.
Ia meminta samurai itu lebih karena khawatir Margio mabuk
arak ketan putih dan membikin keributan yang tak perlu. Anak-
anak ini doyan mabuk, dan tak terhitung berapa banyak masalah
sepele datang karena itu. Ia tak membunuh orang dengan
samurai rongsok tersebut, tapi barangkali mabuk membuatnya
memukul anjing tetangga, dan si tetangga balas melemparnya
dengan batu, dan meletuplah keributan. Lagi pula tadi malam
peru sahaan jamu memutar film di lapangan bola, dan di setiap
5
kerumunan selalu mengancam iblis culas memancing perkelahian
anak-anak, yang akan bertele-tele hingga esok dan berhari-hari
kemudian. Bagaimanapun Mayor Sadrah punya alasan cukup
untuk mencemaskan samurai telanjang yang ditenteng orang di
tepi jalan, tak peduli sejinak apa pun benda itu.
“Kenapa?” tanya Margio, enggan menyerahkan mainannya.
“Lihat, sekadar besi tua tak ada guna.”
“Tapi kau bisa bunuh orang dengan itu jika kau mau,” kata
Mayor Sadrah.
“Itulah maksudku.”
Bahkan meskipun anak itu dengan jelas berkata bermaksud
membunuh orang, Mayor Sadrah mengabaikan pesan yang gam
blang tersebut. Ia membujuknya, dan setelah satu ancaman akan
membawanya ke rayon militer, ia berhasil memperoleh samurai
itu dan membawanya pulang, melemparkannya begitu saja ke
atas kandang anjing di belakang rumah.
Sepanjang sore Mayor Sadrah segera melupakan episode sa
murai berkarat tersebut, tak melihat tanda-tanda petaka, barang
kali karena ia telah sepuh dan tak lagi waspada. Kini ia rada me
nyesal telah merampas senjata tak ada guna itu. Dengan senjata
usang di tangan Margio, barangkali Anwar Sadat tak akan mati
berapa kali pun itu menebas lehernya, kecuali menyisakan memar
dan patah tulang. Ia bergidik membayangkan bagaimana bocah
itu memeluk Anwar Sadat dan rahangnya kuat mencengkeram
leher.
Sore itu ia telah menyuruh anak-anak tersebut untuk rehat,
jika perlu bersenang-senang di akhir pekan mencari betina,
sebab besok pagi ia akan mengajak mereka berburu babi seperti
biasa. Biasanya mereka menurut, tak mabuk di Sabtu malam
ketika musim berburu datang, sebab mereka tak akan diajak
6
atau hendak menyerahkan diri pada moncong dan taring babi.
Mereka akan berbondong-bondong ke pesisir, menyeret betina-
betina liar, atau menemui perempuan baik-baik di rumah mereka,
dengan sekantung jeruk dan senyum malu-malu. Mereka akan
pulang seb elum pukul sepuluh, menjadi begitu manis dan patuh
demi babi, dan tidur pulas hingga muadzin membangunkan
mereka di kala subuh. Anak celaka, pikir Mayor Sadrah atas
ingatannya pada Margio, bukannya rehat dan bersiap untuk
perburuan berikut, malahan ia pergi ke rumah Anwar Sadat dan
membunuhnya, meski semua orang sering berpikir Anwar Sadat
sedikit mirip dengan babi.
Perburuan babi itu telah menjadi kesenangan mereka sejak
tahun-tahun yang tak lagi diingat, masa ketika Mayor Sadrah
masih pemimpin militer di kota mereka. Anwar Sadat sendiri
penuh antusias di setiap musim panen berakhir kala orang tak
lagi terikat pada tanah yang sejenak dibiarkan gembur kembali,
meski dirinya tak pernah ambil bagian mengangkat tombak dan
berlari naik-turun bukit, namun selalu menyediakan bagi mereka
truk yang mengangkut rombongan hingga tepi rimba raya, serta
nasi kotakan berlauk telur mata sapi. Tiga kali setahun mereka
memperoleh kemeriahan ini, sekali musim pergi dua atau tiga
kali di hari Minggu yang tak berbadai, dan di antara itu mereka
menjinakkan ajak-ajak petarung dan melatih mereka mengurung
mangsa.
Di antara gerombolan pemburu yang hingga tahun-tahun ter
akhir masih dipimpin Mayor Sadrah, Margio bolehlah disebut
jagoannya. Ia masih punya warisan luka di punggungnya disabet
taring babi, namun semua kawannya tahu berapa babi menyerah
diterjang tombaknya, sebelum diseret ke arah perangkap dan di
jebak hidup-hidup. Mereka tak menginginkan babi yang mati,
7
maka meskipun tubuh telah berhadap-hadapan dengan babi yang
meradang, mereka tak akan berusaha membunuhnya. Mereka
akan melukainya, sedikit saja, sebelum memaksanya terjebak.
Di antara perburuan yang penuh muslihat melawan binatang
yang jelas tak ada otak itulah, Margio dikenal sebagai penggiring,
dengan larinya yang tangguh dan tombaknya yang tanpa ampun.
Mereka tak menginginkan babi mati, sebab mereka akan meng
adunya dengan ajak dalam satu pertunjukan umum selepas
musim berburu berakhir. Tak banyak yang punya cukup nyali
mengambil tugas sebagai penggiring, yang mesti berlari sama
cepat di samping si babi, dan dengan cara itulah Margio dipuja.
Beberapa minggu ke belakang, Mayor Sadrah mendengar
kabar buruk itu, ketika seseorang memberi tahu Margio
minggat. Minggat, sebab tak seorang pun di rumahnya tahu ke
mana ia pergi, pun kawan-kawan mainnya tak ditinggali pesan
macam mana pun. Beberapa kawan sempat mencarinya ke
pesisir, tempat ia sering menghilang dan ikut nelayan menarik
jaring atau berb uru ikan pari, namun tak seorang pun di sana
mengetahuinya. Itu waktu-waktu ketika satu rombongan sirkus
berhenti di lapangan bola dan membuat pertunjukan selama
dua minggu, dan akhirnya semua orang bersepakat barangkali
Margio ikut rombongan sirkus tersebut ke kota-kota yang tak
tentu. Ini membuat panik Mayor Sadrah yang telah bersiap
dengan ajak-ajak bengis menyongsong musim perburuan, sebab
tempat penggiring itu hampir pasti tak tergantikan. Demikianlah
perburuan pertama minggu lalu berakhir mengecewakan,
mereka hanya menangkap dua ekor babi yang terperangkap lebih
karena kecerdikan ajak- ajak, hingga di hari yang sama mereka
mendengar Komar bin Syueb mati.
Lelaki itu ayah Margio, dan kematiannya membuat si anak
hilang kembali ke rumah. Tak ada yang lebih senang dengan
8
kepulangannya selain Mayor Sadrah, sakit hati pada beberapa
ekor babi yang lolos gemilang. Namun tempo itu pun Mayor
Sadrah tak berani mengajaknya kembali masuk hutan Minggu
berikutnya, menghormati hari-hari berkabung bocah itu. Ia
datang saat rombongan perburuan turun dari truk, dengan dua
ekor babi di dalam sangkar menguik-nguik, dan puluhan ekor
ajak terikat satu sama lain oleh tali kulit. Ia melambaikan tangan
pada mereka, namun saat itu ayahnya belum juga dimakamkan.
Namun, tak lama selepas pemakaman Komar bin Syueb,
Margio telah datang ke rumah Mayor Sadrah dan menepuk ajak-
ajak di pekarangan rumah penuh sayang. Ia jongkok di sana,
mendekapi binatang itu satu-satu, membersihkan kotoran di
telinga mereka, dan membiarkan binatang-binatang itu menggigit
ujung celana dan sandal jepitnya. Tak ada aroma berkabung
sedikit jua di wajahnya, malahan ia begitu senang tak kepalang,
seolah memp eroleh taruhan besar tak disangka-sangka.
Telah lama Mayor Sadrah tahu bocah itu tak akur dengan
ayahnya, dan barangkali berharap melihatnya mati. Ia telah
mengenalnya sejak keluarga itu pertama kali datang dan Margio
masihlah bocah ingusan yang menenteng kantung kelereng dan
mengadu bersama kawan-kawan sebayanya. Ia juga mengenal
ayahnya, dan telah sering melihatnya bagaimana lelaki bengis itu
memukul si bocah untuk kejahilan-kejahilan sepele. Bocah itu
terlalu lugu untuk menyembunyikan rasa senangnya, pikir Mayor
Sadrah, dan saat si bocah melihatnya datang, Margio tanpa ragu
bertanya apakah masih ada perburuan minggu depan. Ia ingin
ikut, bahkan meskipun harus menenteng bekal dan tak diberi
tempat sebagai penggiring.
Tentu saja Mayor Sadrah memberinya tempat sebagai peng
giring.
9
Namun sudah jelas Minggu besok ia tak akan ada di sana,
menggiring babi sebagaimana maunya. Anak celaka, pikir Mayor
Sadrah. Sewaktu Mayor Sadrah membawa pulang samurai itu,
menopangnya di bahu dengan kaki diselimuti sarung serasa
hidup di zaman kalifah penuh perang, tak terpikirkan olehnya
Margio akan ambil bagian jika memang ada perkelahian. Ada
banyak perkelahian anak-anak, mabuk atau tidak. Mereka
begitu mudah bikin perkara, hanya karena salah senggol di
depan panggung dangdut, atau kepala menghalangi gambar di
film layar tancap, atau disebabkan gadis pujaan hati berjalan
dengan lelaki lain. Hidup damai sepanjang sejarah republik dan
segala urusan perang diurusi para prajurit membuat anak-anak
itu terlalu sembrono mengumbar perkelahian, katanya suatu
waktu. Selama bertahun-tahun memimpin militer kota, tugas
paling menyibukkannya adalah melerai perkelahian-perkelahian
ini. Bahkan sejauh yang ia tahu, dalam perkelahian-perkelahian
ini Margio tidaklah menonjol, meskipun semua orang tahu
ketangguhannya.
Ia anak pemurung yang tak betah di rumah, tapi sesungguhnya
anak yang manis dan santun. Ia tak terlalu bodoh menyia-
nyiakan kekuatan tubuhnya dalam perkelahian, dan sepanjang
hari mengambil kerja serabutan untuk menyia-nyiakannya dalam
bungkus rokok dan botol bir, tapi tetap saja ia anak manis
meski pemurung. Semua orang tahu ia membenci ayahnya,
dan semua yakin ia bisa menghabisinya, tapi sampai Komar bin
Syueb mati ia tak pernah mencobanya sedikit pun. Ia sungguh
tak banyak polah. Maka ketika mendengar Margio membunuh,
bagaimanapun Mayor Sadrah masih belum memercayainya.
Keyakinan bahwa anak itu tak berbahayalah yang kemudian
membuatnya lupa siang hari itu Margio telah mengungkapkan
10
maksudnya membunuh orang. Ketika sore datang, selepas mem
beri ajak-ajak itu dengan goreng jeroan ayam yang diperolehnya
dari tempat pemotongan, ia mengeluarkan Honda 70 itu. Motor
tersebut diperolehnya bertahun-tahun lampau dari kepala polisi,
tanpa surat-surat dan plat nomor namun percayalah tak sekali
pun memperoleh surat tilang. Kepala polisi barangkali menyita
nya dari tangan pencuri, dan berbulan-bulan tak seorang pun
mengakuinya, hingga beralih ke tangan Mayor Sadrah. Banyak
motor serupa itu, hingga seringkali kepala polisi menawari lelaki
tersebut motor-motor dari jenis-jenis yang lebih baru, namun
Mayor Sadrah bertahan dengan bebek tuanya. Barangkali kesan
kunonya yang ia sukai, meskipun mesinnya sering ngadat dan
suaranya lebih pekak dari mesin penggiling padi.
Ia akan berkeliling kota hingga tepi pesisir dan tegalan-tegalan
sawah, jalan setapak perkebunan, tanpa helm dan hanya menge
nakan sandal jepit. Ia menyukai angin sore, memuja tamasya ko
tanya, membalas orang-orang yang menyapa di tepi jalan. Sekali
dua ia berhenti di bengkel, meminta orang mengencangkan
sekrup-sekrup motornya, lain kali berhenti di warung dan me
minta segelas kopi, sebelum kembali berkelana dengan pipa
mengepul di mulutnya mengalahkan kepul knalpot. Ia hanya
hend ak mampir sebentar waktu melihat Kyai Jahro di kolamnya,
ketika tamasya sore itu mesti berakhir dengan kabar yang dibawa
Ma Soma.
Mayor Sadrah segera memburu motornya yang tergolek di batang
kelapa, mengangkang di atasnya dan berusaha mengengkolnya,
susah payah selalu begitu, dan beberapa kali hidup untuk mati lagi.
Kemudian, sekali ada kesempatan mesinnya hidup, ia menahan
gas kencang, membuat mesinnya menderu-deru serupa genderang
kaleng. Ia memberi isyarat pada Sang Kyai untuk segera duduk,
11
cemas mesin mati lagi, dan Sang Kyai terhenyak di belakangnya
selepas mencuci tangan dan kaki di pancuran, serta melemparkan
pakan tersisa ke dalam kolam. Motor itu bergerak merangkaki
setapak membukit, licin oleh hujan semalam, tampak payah
kelebihan beban, lebih ringkih dari keledai demam, hingga kaki
keduanya mesti menggapai tanah kasih bantuan tenaga. Lajunya
sedikit kencang kala bertemu jalan lurus-datar di tepian lapangan
bola, diikuti Ma Soma dengan sepeda onta di suatu jarak.
“Mencuri ayam, itulah satu-satunya kelakukan jahil anak itu,”
kata Kyai Jahro. “Dan ayam-ayam itu milik ayahnya sendiri.”
Dan itu bukan lagi rahasia. Semua orang di kampung itu tahu
Margio sering mencuri ayam ayahnya, bukan karena butuh ayam
itu, tapi lebih karena jengkel pada ayahnya. “Tak tahulah aku apa
isi usus anak itu hingga terpikir menggerogoti leher orang,” kata
Mayor Sadrah.
Anwar Sadat sendiri kini mengambang kaku di lantai ruang
tengah rumahnya yang benderang namun murung oleh duka
tanpa ampun, penuh senggukan isak perempuan-perempuan
cengeng, tenggelam di balik kain batik cokelat. Kain batik itu
bergelombang mengikuti bentuk tubuhnya, digenangi kuyup
warna merah, dan darah itu masih juga mengapung di lantai.
Beku dan gelap. Tak seorang pun punya nyali membuka tirai
yang memisahk an dunia hidup dan mati itu, sebab mereka tahu
di sana ada luka menganga, koyak, lebih bengis dari segala hantu.
Memikirk annya pun telah bikin orang mual dan menyingkir.
Ada dua orang polisi datang bersama mobil patroli dengan
lampu masih berputar-putar merah, meski sirinenya telah mati
dibunuh. Keduanya termangu di pintu, hanya mereka berdua
yang sempat menyingkap kain tersebut, sejenak saja, sebelum
bergegas menutupnya kembali dan tak beroleh kesempatan
12
memb awa mayat itu untuk satu pemeriksaan, kini masih di sana
tak ada kerja dan hanya cari-cari muka. Istri Anwar Sadat telah
men olak pemeriksaan macam apa pun atas mayat tersebut. Itu
benar, semua orang tahu dengan cara apa lelaki itu mati, dan tahu
pula siapa yang melakukannya. Anwar Sadat tak membutuhkan
pem eriksaan, dan satu-satunya yang harus diberikan kepadanya
tak lain adalah memandikannya, menyumpal luka itu dengan
kapas, menyalatkannya, dan segera menguburkannya.
Tampaknya ia tak akan dikuburkan sampai besok pagi.
Maharani, anak bungsunya sekolah di luar kota dan tak akan
datang sampai besok subuh. Cukup dramatis, sebab gadis itu
masih di rumah ini semalam. Ia ada di sini sepanjang minggu
mengisi liburan panjangnya, sebelum sekonyong pamit pergi tadi
pagi. Orang-orang harus membayangkan tragedi itu sampai ke
pond okan Maharani, saat si gadis barangkali masih kecapekan
dan tengah memuntahkan isi tasnya. Ia akan memasukkan
barang-barang itu kembali ke tas, atau mengabaikannya sama
sekali, dengan banjir air mata dan beribu pertanyaan sebab tahu
pasti ayahnya masih bugar saat ditinggalkannya. Tak seorang pun
memberi tahu Anwar Sadat dibunuh, hanya pemberitahuan
singkat bahwa ia mati, dan kini si gadis barangkali tengah
mengejar bis atau kereta terdekat.
Di rumah duka, beberapa perempuan bergerombol memenuhi
pekarangan dan teras rumah, berbisik satu sama lain dan
membikin-bikin cerita sendiri di antara mereka. Ada halaman
luas di depan rumah, berhias lima batang kelapa cina dan
sebatang belimbing tempat anak-anak kecil bermain, di sana
ada ayunan ban mobil tergantung di dahannya. Di tepi jalanan
ada flamboyan yang agung dengan sampah kelopaknya terserak
di hamparan rumput jepang serupa karpet, tempat anak-anak
13
kecil bertarung dan berguling-guling dan segerombolan kalkun
berkeliaran. Di kedua sudut terdapat kolam kecil, dengan ikan-
ikan mas gemuk serta bunga padma, dan air mancur mungil
memercik-mercik. Di tepian kolam dan di tengahnya terdapat
beberapa patung batu, perempuan-perempuan setengah telanjang
mencuci baju dan anak-anak yang berenang pura-pura, semuanya
dihasilkan dari tangan penuh bakat Anwar Sadat sendiri.
Satu lagi karya seninya yang dikenali tetangga adalah
kentongan kayu berbentuk penis tergantung di depan rumah. Itu
pengganti bel bagi tetamu. Bertahun-tahun lalu ia datang sebagai
jebolan institut seni, menjual lukisan di pinggir pantai, sebelum
kawin dan menetap. Ia selalu bilang sebagai pemuja Raden Saleh,
dan memajang beberapa reproduksi pelukis agung itu di rumah
nya, termasuk pertarungan harimau dan banteng itu, dan tanpa
malu-malu meniru semua metodenya. Ia sama sekali tak tergang
gu oleh kenyataan reputasi seninya hanya dikenal di antara orang
sekitar rumah belaka.
Ia kawin dengan seorang gadis calon bidan, yang suatu kali
datang kepadanya minta dilukis potret, pewaris hampir separuh
tanah desa dan hanya seorang janda tua bernama Ma Rabiah
sem asa hidup bisa memecundanginya dalam kepemilikan atas
tanah. Lukisan itu membuat si gadis jadi jauh lebih cantik dari
aslinya, dan si gadis jatuh cinta kepadanya. Anwar Sadat tak
memb iarkan si gadis patah hati dan sesegera mengawininya, dan
menemukan dirinya cukup kaya untuk tak lagi terlalu bernafsu
mengejar kemasyhuran seni macam apa pun, ditopang warisan
sang istri yang kemudian bekerja sebagai bidan di rumah sakit.
Tapi tentu saja ia masih melukis dan membuat patung, sebagian
besar lukisan potret orang yang dikenalnya, dan tiruan-tiruan
sembrono atas mahakarya Raden Saleh. Mayor Sadrah termasuk
14
yang masih memiliki potret dirinya di rumah, namun lebih
banyak perempuan-perempuan cantik ditumpahkan ke atas
kanvasnya.
Di tengah waktu luangnya yang melimpah-limpah, sebab
sesungguhnya ia tak punya pekerjaan sejak berhenti menjual
lukisan, ia merupakan teman bermain catur Mayor Sadrah, spon
sor klub sepak bola kota, dan berburu perempuan. Kelakuannya
yang terakhir, dilakukan lebih bergairah daripada melukis, me
nemukan gadis-gadis dan meniduri mereka, kadang-kadang
janda dan istri orang jika mau. Ini juga bukan rahasia, sebab
tak banyak rahasia tersimpan di telinga penduduk kota. Meski
begitu, kesan tanpa moral dalam dirinya tak menyembunyikan
rasa hormat orang padanya, dan di setiap pertemuan mereka
akan melimpahinya kesempatan berpidato, dan ia selalu tampak
seb agai tukang bicara yang cerdas. Ia pandai bergaul, dan dengan
cara inilah orang memaafkannya, ditambah kenyataan kebanyak
an sahabatnya juga tidak menjalani hidup dengan baik.
Pagi itu tak satu orang pun melihat malaikat maut telah ber
tengger di bahunya. Ia setan bahagia yang tak pernah terlihat
muram, seolah tahun kematiannya tak pernah dicatatkan. Ia
datang ke warung serabi untuk sarapan, sebagaimana biasa, dan
berdesak-desakan dengan anak-anak berseragam sekolah yang
cemas lonceng sekolah segera berdentang. Semua orang yang
bertemu dengannya bisa mendengar leluconnya yang penuh
semangat, dengan mulut dijejali goreng tempe dan serabi. Anwar
Sadat duduk di bangku kecil itu, di depan tungku yang membara,
sementara si penjual menuang adonan ke cobek di atas tungku,
membolak-balik gorengan di wajan penuh minyak mendidih,
dan Anwar Sadat menjawili dagu gadis-gadis berseragam sekolah
hingga mereka merengek akan kecabulannya, menjauhinya sebab
ia bisa dengan tiba-tiba menyosor mencium pipi mereka.
15
Mereka masih akan mengingatnya dengan baik, ia mengena
kan kolor putih polos dan singlet Toko Mas ABC. Tubuhnya
tambun dan sedikit loyo, disebabkan waktu dan kekurangan
gerak, meski ia akan membanggakan kemaluannya yang sekukuh
tanduk, dan tak menyembunyikan semangatnya yang meletup-
letup. Pagi itu ia bicara banyak mengeluhkan anak bungsunya,
yang baru saja menjinjing tas melenggang ke terminal bis tak
mau diantar dan memutuskan pergi meninggalkan sisa liburan
tanpa alasan.
Semalaman, selepas melihat film di lapangan bola, gadis itu
tak mau bicara dengan siapa pun. Ia tak menyentuh makan ma
lamnya, tidak menongkrongi televisi sebagaimana biasa, dan se
panjang malam tak membiarkan radionya berbunyi, juga sebagai
mana biasa. Ia bahkan tak keluar tengah malam untuk buang
air, dan Anwar Sadat bertanya-tanya gadis itu tampaknya tak juga
salat Subuh, sebab setahunya si bungsu itu cukup saleh. Ia keluar
dari kamar pagi itu, tidak juga bicara, dengan mata murung
berk aca-kaca. Anwar sadat tak tahu apa yang terjadi, dan takut
menga jukan pertanyaan, takut gadis itu dongkol kepadanya dan
pertanyaan hanya membuat kemarahan meledak tak karuan.
Ia bertanya-tanya apakah ia telah berbuat suatu dosa, dan tak
menemukan apa pun. Si bungsu hanya lewat di mukanya,
menenteng handuk dan ke kamar mandi. Ini di luar kebiasaan
pula, sebab Maharani tak menghabiskan banyak waktu di sana,
masuk kamar dan berias seadanya, seolah terlalu percaya dirinya
secantik semestinya. Tapi kemudian ia keluar menenteng tas,
tanpa sarapan pagi, dan berkata pendek, “Aku mesti pergi.”
Mata sendu dan wajah murung itu seolah mengerti ayahnya
akan mati di sore hari. Tapi ia meninggalkan Anwar Sadat begitu
rupa, tak mau diantar ke terminal bis, seolah waktu begitu me
16
limpah bagi mereka untuk berjumpa kembali. Bagaimanapun
Anwar Sadat tak berhenti mengeluhkan kepergian Maharani
di warung serabi itu, mengatakannya tidak dengan cara yang
sedih, meskipun benar ia sedih dengan kepergian anak gadis itu,
namun lebih ketara sebagai upaya tak tersembunyikan untuk
memb anggakan anak bungsunya.
Anwar Sadat punya tiga anak perempuan dari istrinya, yang
lahir di awal-awal perkawinan mereka kala keduanya masih
penuh nafsu untuk saling menghabisi di tempat tidur. Bertahun-
tahun kemudian banyak orang lupa pada nama perempuan ini,
Kasia, dan lebih mengenalnya dengan sebutan yang lebih umum
sebagai Bu Bidan. Anwar Sadat beruntung tak punya anak dari
gundik-gundiknya, sebab anak-anak haram jadah selalu akan jadi
petaka sebuah keluarga daripada gundiknya sendiri. Hasratnya
untuk berlaku nakal, tampaknya sempurna diwariskan pada
anak-anaknya, selain tanpa ragu dunia juga mewariskan wajah
menarik untuk mereka.
Lelaki ini tampan selengkapnya, telah memesona banyak gadis
sejak kedatangannya dahulu kala, bahkan di umur tua ketika
tubuhnya membengkak dan rambutnya tinggal segenggam demi
segenggam, ia tetap pujaan para pecinta liar. Ketampanan ini me
rupakan suatu kontras yang ajaib berhadapan dengan istrinya.
Kasia berhidung bengkok serupa paruh beo, dengan rahang yang
terlalu tinggi, ditambah sikap dingin ningratnya, yang membuat
nya tampak lebih sebagai penyihir jahat daripada putri ayu, meski
tentu saja ia sesungguhnya tak buruk-buruk amat, namun jelas ia
jenis perempuan membosankan bagi kebanyakan lelaki. Banyak
orang percaya seniman kapiran ini mengawininya lebih karena
uang yang dimilikinya, dan dengan uang itu Anwar Sadat bisa
meniduri banyak perempuan, sebagian besar akhirnya diketahui
17
si istri yang memilih tak peduli, sejauh ia tak bikin anak di
tempat lain.
Si sulung Laila mewarisi kenakalan semacam ini sepenuhnya.
Cantik dengan dada yang menyerobot menggoda, kulit selembut
potongan keju, dengan wajah lembab dan sedikit keangkuhan
pura-pura. Pada umur enam belas tahun, ia sudah terlalu montok
sebagai anak sekolah, dada dan pahanya jadi sasaran jahil teman
lelaki dan gurunya, hingga suatu hari ayahnya menemukan gadis
itu telah bunting. Anwar Sadat berlepotan cari dukun untuk
mengeluarkan isi perutnya, sebab istrinya tak mau melakukan
itu, dan sekolah tak mau menerima gadis bunting. Segera setelah
ia keluar dari sekolah, Anwar Sadar segera menggiringnya ke
hadapan penghulu, disandingkan dengan teman sekelas yang
konon menanam benih, namun dua hari setelah perkawinannya,
teman sekelas itu memergoki Laila di tempat tidur bersama lelaki
lain.
Itu skandal kota paling menghebohkan, yang membikin Anwar
Sadat sendiri merah mukanya, dan Kasia menghilang beberapa
hari ke rumah kerabat. Kedua lelaki itu, yang meniduri Laila
dua hari setelah perkawinan dan si teman sekelas, kemudian
hengkang meninggalkan dirinya. Sejak itu orang menyebutnya
sebagai Si Janda dengan bisikan tambahan, “ia bisa dipakai.”
Maesa Dewi, adiknya dan yang tercantik di antara mereka
bertiga, bagaimanapun tak sekurang ajar itu. Ia tak semontok
kakaknya, dengan roman lembut misterius, dan penampakan
yang lebih santun, dan penampakan lahiriah ini masih bertahan
sampai hari ketika Anwar Sadat mati, dan barangkali hingga
bertahun-tahun kemudian, sebab begitulah dirinya. Maesa Dewi
menyelesaikan sekolah tanpa keributan, semua orang percaya
ia masih perawan saat itu, hingga ia membujuk ayahnya untuk
18
mengirim dirinya sekolah ke universitas dan pergi. Si Cantik ini,
di luar dugaan telah pulang dalam setahun tanpa gelar diploma
apa pun, malahan menenteng bayi merah dan seorang pemuda
pengangguran yang kemudian kawin dengannya. Tak seorang
pun berbisik tentangnya bahwa ia bisa dipakai, sebab tampaknya
ia hanya tidur dengan pemuda itu dan tidak dengan yang lain.
Tapi kedua kasus anak perempuan ini telah membangkitkan ke
curigaan orang-orang yang berpikir dirinya saleh bahwa mereka
memang nakal dan tak karuan.
Dengan sedikit hasrat moral yang tersisa, itulah bagaimana
Anwar Sadat menyayangi dan memuja anak bungsunya, yang tak
menunjukkan kecenderungan nakal berlebihan. Setiap semes
ter ia membawa laporan guru yang memuji-muji kecerdasannya,
yang tak pernah diperbuat kedua kakaknya, dan satu-satunya
dari rumah itu yang dibawa sekolah untuk lomba matematika.
Anwar Sadat telah berhasil membujuk istrinya untuk menjual
sepetak tanah guna mengirimnya ke universitas, meskipun Kasia
tak lagi percaya ada yang waras di antara ketiga anak perem
puannya, sebagaimana orang-orang masih sering bertaruh suatu
hari Maharani akan pulang membawa bayi merah, tak peduli me
reka telah mengenal gadis itu dan tak ada tanda-tanda ia akan
membawa bayi merah.
Dan gadis inilah yang tanpa henti dibicarakan Anwar Sadat di
warung serabi setelah kepergiannya yang tergesa. Ia menceritakan
hal-hal remeh yang dibawa pulang liburan anaknya. Mah arani
meninggalkan pisau lipat untuk ayahnya, sisir besar untuk ibunya
yang berambut ikal, dan kotak musik bagi keponaka n kecilnya.
Tanpa ragu Anwar Sadat menceritakan lelucon-lelucon yang
dibikin si gadis, meskipun sebagian orang telah mendengarnya
langsung dari mulut Maharani sepanjang liburan itu. Kasia telah
19
berusaha menyumpal bualan berlebihan ini, dan kedua anak
perempuannya tak menyembunyikan api kecemburuan mereka,
tapi hanya Margio tampaknya yang bisa menghentikannya.
Kini ia berbaring mati, menanti kuburannya selesai digali dan
keranda dibersihkan, dan terutama menunggu anak bungsunya
kembali, untuk memamerkan luka menyedihkan itu seolah
berharap tangis yang lebih kencang, lebih sedu dari yang telah
diberikan Kasia, Laila, dan Maesa Dewi. Lihatlah mereka, Kasia
duduk sayu, lebih kusut dari hari biasanya, bersimpuh di lantai
menggigiti ujung kain yang bergelung di pangkuannya, tak ada
yang tahu mengapa ia membawa kain, barangkali ia ingin ikut
tenggelam dalam kematian. Dan di sampingnya Si Janda Laila,
mencoba menghibur ibunya dengan cara sia-sia, sebab dirinya
sendiri membutuhkan satu penghiburan, baru terbangun dari
ambruk yang tak sadar sebelum orang memercikkan air putih
ke mukanya. Yang paling terguncang adalah Maesa Dewi, masih
menggerung dengan tangis meletup-letup, serasa ada air men
didih di dalam lambungnya, mendekap bayi kecilnya yang me
nangis tak karu-karuan, sebab perempuan inilah yang pertama
melihat Anwar Sadat terpenggal leher.
Perempuan pelayat menambah-nambah beban duka tersebut,
mengiringi mereka dalam tangis yang lebih lirih, lebih sendu,
serupa paduan yang membagi siapa yang mesti meraung lebih
kencang. Mata mereka bengkak membiru, bahkan masih bisa
bersedih pada lelaki yang jelas tak setia itu. Dan orang-orang ini,
tak seorang pun sejak Ma Soma yang masih berkeliaran di sekitar
surau menemukan mayat Anwar Sadat, membawanya dari tempat
pembunuhan di dekat sofa dan menutupinya dengan kain batik
tersebut, mengambil urus mayat itu semestinya, sementara Ma
Soma ambil sepeda dan mencari Kyai Jahro. Kain itu ia te
20
mukan di kamar lukisnya, ditulis berdasarkan rancangannya
sendiri, tak akan pernah dibayangkan Anwar Sadat itu dibuat
untuk menutupi mayatnya. Hingga kemudian Kyai Jahro dan
Mayor Sadrah datang, dan orang-orang menoleh pada mereka
bagai mata yang memohon ampun, atau barangkali berharap
pertolongan. Sang Kyai masih berkerabat dengan istri Anwar
Sadat, dan dengan segera mengambil kendali atas rumah duka
itu.
Bersama Mayor Sadrah, ia menggotong tubuh tersebut, tanpa
menanggalkan tirai penutupnya, membentuk bayangan jejak
merah dari rumah ke halaman. Beratnya mencapai delapan
puluh kilo, pikir Mayor Sadrah, seandainya itu seekor babi
pasti habis dicabik ajak. Mereka membawanya ke bangku di
tepi sumur, telah dipersiapkan Ma Soma bersama setumpuk
handuk, sabun sulfur, dan air kembang, serta tak lupa borak. Di
sanalah Sang Kyai membuka kain penutup, perlahan seolah akan
memperoleh kejutan tak ada sangka-sangka, disaksikan beberapa
lelaki, terkuak dan mempertontonkan rahasianya. Meluncur
istigfar dari mulutnya, berkali-kali mohon ampun, yang lain
ikut bergumam, demi melihat luka tercabik-cabik di leher yang
pasi. Mereka menjadi saksi darah itu masih menggelontor tak
ada habis, beriak-riak, dengan gelembung udara meletup-letup.
Tamasya itu memualkan, lebih bengis dari mimpi buruk, bikin
beberapa orang men yingkir.
Mayor Sadrah memeriksanya, didorong rasa takjub yang
kekanak-kanakan, berharap tahu dengan cara apa Margio telah
menghabisinya, dan benar adanya urat leher itu telah putus,
menggelayut serupa kabel radio yang poranda. Lebih ganas dari
yang kubayangkan, pikirnya, demi melihat leher itu sesungguh
nya hampir putus. Seperti penyembelihan yang tidak tuntas.
21
“Ayahnya mati beberapa hari kemarin menyusul anak kecilnya
yang lewat seminggu selepas dilahirkan,” kata Kyai Jahro.
“Kupikir bocah ini jadi gila.”
“Tanpa alasan apa pun, ia gila menggigit orang dengan cara
ini,” kata Mayor Sadrah.
Udara menjadi dingin dan di kejauhan Mayor Sadrah men
dengar ajak-ajaknya mulai melolong minta dikandangkan, atau
mereka telah mencium bau amis darah ini dibawa angin senja ke
hidung pemakan daging mereka. Sebelum gelap merayap turun
dan menjejak di tanah, Kyai Jahro menyuruh orang mengangkut
berember-ember air, maka bunyi pompa menderu menumpahkan
air, dan Ma Soma datang setelah menghilang sejenak bersama
berkantung-kantung kapas. Kyai Jahro sendiri yang membasuh
luka tersebut, dengan cara demikian khidmat, percaya ia bisa
menghentikan arus merah tak ada henti itu, seolah rekahan ter
sebut sekadar luka kesandung anak kecil, dan mulutnya bergu
mam memanjatkan doa. Sikap dinginnya bahkan membuat
Mayor Sadrah yang teruji ganasnya perang gerilya, dan pernah
melihat mayat hidup yang lebih poranda diterjang mortir,
terpesona tanpa pamrih. Hampir saja dikatakan untuk tidak
ambil peduli atas luka tersebut, mengingatkan Sang Kyai bahwa
mayat itu pada akhirnya akan membusuk di dalam kuburnya.
Tangan Sang Kyai masih menari, menyambut gumpalan kapas
dan membenamkannya di sana, seketika berubah warna demikian
dramatis, sebelum membalutnya, menyembunyikannya di balik
kain kasa, dan kini itu tampak serasa luka kecil manusia hidup,
dengan kain kasa melilit sebagai kalung. Sementara ia bekerja,
orang-orang memandikan mayat tersebut, menelanjanginya dari
pakaian, menggosoknya dan membiarkannya wangi kembang.
Ada bau borak menguap dari tubuhnya, mengambang kelabu di
kepala orang-orang.
22
Ma Soma membawa kain kafan dari surau dan mereka mem
balutnya di tempat itu juga. Tak patut membiarkannya telanjang
sepanjang malam, kata Kyai Jahro sembari melanjutkan, jika
si gadis Maharani masih ingin melihat wajah ayahnya, mereka
masih bisa membuka ikatan kafan pucuk kepalanya. Tapi seandai
nya si gadis tahu bagaimana rupa ayahnya, barangkali ia tak sudi
melihatnya, sebagaimana terjadi atas ibu dan kedua kakaknya,
sebab mereka akan kehilangan nafsu makan untuk hari-hari yang
tak tentu, dan mimpi buruk tak ada henti. Tiga orang bergegas
membopongnya ke surau, sebab gelap sungguh telah turun dari
langit, membawa udara dingin dan rasa hening, dan mereka ber
siap untuk salat jenazah, bersama magrib yang segera datang, di
udara yang bertambah-tambah remang.
Di luar tabiatnya yang berlebihan atas perempuan, Anwar
Sadat sesungguhnya pengunjung surau yang taat. Seandainya
ia tak ke mana-mana, sebab ia selalu merasa sibuk dan pergi ke
mana-mana, Anwar Sadat tak akan pernah lupa untuk pergi ke
surau sepanjang waktu-waktu salat yang wajib. Malahan ia sen
dirilah yang memukul beduk, dan melantunkan adzan, atau
komat, meski tak seorang pun memercayakan ruang imam un
tuknya. Perilaku saleh ini sebagian barangkali karena rasa segan
oleh kenyataan bahwa sebagian besar kerabat istrinya merupakan
para penghidup surau, beberapa di antaranya haji dan kyai dan
guru mengaji. Sebagian alasan lain adalah rasa segan yang di
timbulkan oleh kenyataan bahwa surau itu berdiri di pekarangan
samping rumahnya, dibangun mertuanya bertahun-tahun
sebelum ia sendiri datang dan menjual lukisan. Untuk alasan-
alasan yang masuk akal, tak ada orang yang sungguh percaya ia
bersahabat dengan Tuhan.
Pembunuhan itu, sebagaimana kemudian diyakini semua
orang, terjadi tepat pada pukul empat sepuluh menit, sebab se
23
puluh menit sebelumnya Margio masih bersama beberapa kawan
dan sepuluh menit setelahnya, ia telah bersama mereka pula,
dalam keadaannya yang mengejutkan. Mereka bergerombol di
lapangan bola, melihat beberapa orang totoan merpati, hiruk-
pikuk oleh teriakan dan desing peluit di ekor para burung. Anak-
anak bermain dengan merpati-mereka sendiri, yang tak bisa
pulang di sejarak tapal batas desa, dan karenanya hanya diter
bangkan dari satu ujung lapangan untuk memburu betinanya
yang diayun di tangan si anak, di ujung lain lapangan. Merpati-
merpati terbaik diterbangkan dari desa-desa tetangga, dibawa
dengan ojek yang ngebut, dan terbang kecil di tepian awan, se
belum menukik mengenali betinanya. Sepuluh menit sebelum
pembunuhan, Margio ada di sana, berbaring di rumput melihat
bintik-bintik kecil hitam dan cokelat di angkasa.
Laila juga ada di sana, malahan berkesempatan ngobrol
dengannya. Laila ada curiga kepergian Maharani yang mendadak
ada urusannya dengan Margio, sebab selama satu minggu itu ia
melihat mereka berdua, setiap hari, dan di malam hari Margio
lah yang menemaninya di depan layar film perusahaan jamu.
Margio mengelak dan bersikeras ia tak ada urusan dengan
kepergian Maharani, bahwa gadis itu bukan gadis ingusan untuk
tahu kapan ia ingin pergi dan kapan terus di sini, meski ketika
ia menjawab itu, Laila bisa melihat wajahnya yang murung dan
sendu. Laila tak lagi banyak tanya, dan seperti yang lain, ia tak
punya prasangka Margio akan membunuh ayahnya.
Tiba-tiba Margio berkata pada Agung Yuda, begundal desa
kawan mainnya, “Aku ada pikiran memalukan.”
Ia tak menjelaskan apa pikiran memalukan itu dan malahan
mengajak Agung Yuda ke warung minum Agus Sofyan di pojok
lapangan bola. Ia bilang punya sedikit uang dan ingin segelas
bir. Warung itu dulunya kantin untuk para pegawai perkebunan
24
dan desa, menyediakan makan siang dan sayuran serta lauk bagi
ibu-ibu yang enggan memasak, namun karena terpencil disulap
menjadi tongkrongan para begundal. Menyendiri di tepian
perkebunan cokelat, Agus Sofyan mulai menjual bir dan arak,
kadang ada bungkus-bungkus kecil ganja dan pil tidur yang dijual
lebih diam-diam, mendesak tempat itu menjadi tempat mabuk
dan kencan mesum, pengganti pos ronda di kala siang.
Laila Si Janda sering di sana, menjadi sasaran bocah-bocah liar
yang meraba tubuhnya di pojok warung dan ia hanya cekikikan,
lain waktu jika ia sedang berbaik hati, Laila mau diajak pergi ke
tempat tidur dengan cuma-cuma. Beberapa perempuan barang
kali mau diajak ke kebun cokelat, ditiduri di sana, tapi tidak
Laila. Di warung itulah, saat itu Laila masih menonton totoan
merpati, Margio minta sebotol bir dingin pada Agus Sofyan,
maksudnya bir dengan botol direndam di antara balok-balok es
dan bukan bir yang diberi balok-balok es. Sebab rasanya berbeda,
begitu ia selalu bilang, dan paling emoh memaksakan diri pada
bir yang tidak dingin. Ia dan Agung Yuda berbagi sebotol bir,
Margio sendiri yang menuangkannya ke dalam dua gelas, duduk
di bangku kecil di belakang warung, dan sementara bir berbuih,
ia berkata lagi.
“Aku takut kali ini sungguh-sungguh kubunuh seseorang.”
Beberapa waktu sebelum minggat, Agung Yuda telah men
dengar Margio berniat membunuh ayahnya. Ia mengaku
tubuhnya ada isi, dan sanggup membunuh tak ada ragu. Agung
Yuda tak pernah tanya apa isinya, sebab ia pikir tanpa isi apa
pun, seorang penggiring babi bisa membunuh siapa pun dengan
enteng. Meski begitu, tentu saja tak seorang pun yang mendengar
nya, percaya pada omongan Margio. Ia yang paling manis dan
santun di antara mereka, itu benar. Semua orang tahu ayahnya
25
kasar minta ampun, terutama pada ibunya, dan betapa Margio
mengasihani ibunya, namun Margio sangatlah pengalah pada se
mua polah si ayah, sebagaimana ia selalu menjadi penengah pada
cekcok antarteman.
Bahkan jika benar hasrat itu ada, omong kosong ia menga
takannya sekarang, saat Komar bin Syueb telah diuruk tanah
perm akaman. Tak ada tanda-tanda Komar bin Syueb hidup lagi,
dan Margio harus membunuhnya kembali, sebagaimana tak ada
tanda-tanda ia punya musuh. Bahkan musuh tak tahu malu pun
akan digampar kawan-kawannya, dan Margio tak perlu turun
tangan, sebab ia anak manis dan santun.
Mereka tak berkata-kata lagi, sebab Agung Yuda tak membalas
apa katanya, duduk mencicipi minuman mereka, dengan mata
memandang perkebunan cokelat yang compang-camping oleh
tegalan sawah dan kolam dan kebun kacang. Di sana kegelapan
sudah datang, dan kabut nyamuk tengah merajalela, namun di
tepian rawa tetaplah benderang, dengan orang-orang mengurusi
peliharaan mereka. Saat itu ia melihat pula Kyai Jahro menenteng
daun singkong dan pepaya, dan satu kantung semen berisi
dedak. Ayahnya pernah menanam padi pula di sana, namun
jelas tak ada bakat bertani, kini terbengkalai dan hanya tersisa
batang-batang singkong yang tak minta diurus, daunnya rontok
oleh kawanan domba yang melabrak-labrak. Margio tak pernah
punya niat mengambil alih petak tanah itu, juga sekarang ketika
ayahnya telah mati.
Selama bertahun-tahun, di masa ia masih sekolah yang
bangunannya megah sejak masa kolonial di ujung lapangan bola,
itu tempat mereka minggat dari pelajaran yang membosankan,
bersembunyi di antara batang-batang dan cecabang cokelat untuk
belajar mengisap rokok, suatu kali mencampurnya dengan bunga
26
kecubung bikin mereka teler, dan membaca buku stensilan Anny
Arrow, jika bukan petualangan mesum Nick Carter. Roman ka-
cangan dan komik juga terlarang di sekolah, dan tak seorang
pun berani bicara tentang Si Buta dari Gua Hantu, atau Panji
Tengkorak yang menenteng peti mati kekasihnya, di belakang
meja belajar, maka mereka harus membacanya di kebun cokelat.
Lain waktu di sana merupakan tempat perkelahian, kencan
monyet, dan sekali-dua ada pembunuhan di antara para begundal
terminal. Musuh utama mereka adalah mandor, yang selalu curiga
mereka merampok buah cokelat dan kelapa, dan sesungguhnya
kadang memang benar, hingga seringkali mereka harus ambil
lari berkejaran dengan mandor yang ngebut bersepeda, jika ter
tangkap, mereka akan menyeretnya di telinga dan menyerahkan
nya pada guru olah raga yang bengis. Kadang-kadang, perkebun
an beralih fungsi di malam hari, saat orang tanpa kakus buang
kotoran di sana. Margio masih memandangnya dan melihat
tahun-tahun susah dirinya seperti ada di sana.
Agung Yuda salah satu saksi yang melihat betapa bocah itu
senang tanpa ampun ketika pulang dan melihat ayahnya mati.
Ia pikir dengan kematian Komar bin Syueb semua persoalan di
rum ahnya akan berakhir. Kini ia menyaksikan betapa itu omong
kosong. Agung Yuda berpikir, Margio hanya sedikit kecewa dan
semua ocehannya tentang pikiran memalukan dan membunuh
orang tak berdasar sama sekali. Semacam orang yang tak tahu
mesti ngomong apa lagi.
Ada Laksmana Raja di Laut dari radio dua band milik Agus
Sofyan, tergantung di dekat pintu, kekayaan warung yang mem
buat siang dan sore dan malam jadi semangat, suaranya cempreng
dan kencang, pada putaran volume terujung. Panasonic model
kuno, tanpa colokan listrik membuat pemiliknya mesti mengakali
27
sendiri bagaimana mengalirkan arus ke dalamnya. Penutup wa
dahnya telah hengkang entah ke mana, suatu kali dipakai orang
untuk kipas-kipas dan lupa dikembalikan, membuat kabel-ka
belnya menjuntai tak karuan. Tapi benda setengah bangkai itu
cukup untuk membuat bising separuh lapangan bola, dan di
hari tertentu orang bergerombol mendengarkan siaran liga sepak
bola, sisanya memberi mereka lagu dari satu stasiun yang bersetia
pada dangdut dan sedikit lagu pop. Kebisingannya ditambah-
tambah oleh teriakan orang di totoan merpati, yang terlampau
semangat berharap menang taruhan.
Agung Yuda mengeluarkan separuh bungkus Marlboro dari
sakunya, memberi Margio satu batang, yang hanya diputar-putar
di antara jemari tanpa menyulutnya. Ia mahir melakukan itu,
mempelajarinya dengan bolpen di kala bosan pada sekolah, dan
beberapa kawan menirunya, mencobanya dengan rokok tersulut.
Malahan Margio menyeruput tanpa sisa birnya, lalu berdiri
hendak pergi.
“Aku lupa harus jumpa Anwar Sadat,” katanya, pendek, dan
seolah tanpa pertanda.
Ia menyulut rokok itu sebelum pergi. Bahkan dengan rang
kaian tanda-tanda tak langsung semacam itu, Agung Yuda tak
bisa menangkap kesan Margio hendak membunuh Anwar Sadar.
Ia melihatnya melangkah, jelas kakinya tersentak ragu, antara ke
hendak pergi dan keinginan untuk tetap bersama Agung Yuda di
bangku itu, namun setelah menoleh sejenak pada kawannya, ia
berlalu dengan rokok tergigit di celah bibir. Rokok itu merepet,
lebih banyak diisap angin daripada mulutnya, dengan kepul asap
dibawa angin sore ke belakang kepalanya. Agung Yuda masih
mengekorinya, hanya dengan tatapan, tak ada pula tanda tanya
di kepalanya.
28
Dua puluh menit setelah itu barulah Agung Yuda menyesal
telah membiarkannya pergi, serasa ia ditahan tangan nasib
bahwa peristiwa itu memang harus terjadi dan tak seorang
pun boleh menghalanginya. Ia masih terbenam di bangkunya,
berpikir dirinya tak punya urusan dengan Anwar Sadat sehingga
tak ada nafsu untuk mengikuti Margio. Birnya masih separuh
gelas, telah menjadi kebiasaan mereka untuk minum sececap
demi cecap, hingga segelas bir bisa mengawani perbincangan
lama berjam-jam, namun dengan kepergian Margio bersegera ia
menghabiskannya tanpa sisa. Beberapa butir meleleh di bibirnya,
dan ia mengelap dengan ujung kemejanya, serta melemparkan
puntung rokok ke tanah, menggerusnya dengan alas sandal. Di
dalam warung duduk perempuan genit yang menggoda dirinya,
Agung Yuda melingkarkan tangan di lehernya dan perempuan
itu tertawa-tawa, hingga tangan si lelaki merayap ke balik kutang
dan meremas daging di dalam sana.
Perempuan itu menggelinjang dan memaki, gesit tangannya
mengibas, tapi Agung Yuda telah pergi tertawa-tawa. Ia kencing
di tiang listrik, berjalan ke lapangan bola, dan belum juga sadar
waktu telah semakin dekat Anwar Sadat mati di tangan Margio.
Di waktu yang sama, Anwar Sadat tengah memberi makan
kalkun peliharaannya, memaksa mereka lebih gembur dari se
mestinya, berharap bisa memotongnya di Lebaran yang akan
datang, dengan nasi sisa dapur. Di sampingnya bekerja Ma Soma
menyapu halaman surau, berarti halaman rumahnya sendiri, dari
daun-daun belimbing yang rontok kuning, serta buahnya mem
busuk dijejali belatung, lembek oleh hujan terlampau melimpah.
Mereka tak saling lempar kata, hanya mengetahui keberadaan
satu sama lain, sebelum Ma Soma pergi untuk membersihkan
bak mandi surau yang telah rimbun oleh lumut dan pakis, dan
29
Anwar Sadat masuk ke dapur rumahnya mengembalikan piring
kotor.
Tak ada orang di rumah selain dirinya dan Maesa Dewi, kini
tengah tergolek bergelung di atas tempat tidur menemani anak
kecilnya tidur siang. Tak banyak yang diperbuat perempuan ini,
sejak kepulangannya menenteng bayi merah dan calon suami,
kecuali menemani anaknya tidur dan menghabiskan nasi di
lemari dapur. Suaminya telah diusir Kasia untuk mencari
pekerjaan, dan pergi memperoleh pekerjaan sebagai manajer
bioskop yang hampir bangkrut, di luar kota dan hanya pulang
sebulan sekali membawa uang yang segera dihabiskan Maesa
Dewi dan anaknya dalam seminggu pertama. Kasia tak lagi mau
memikirkannya, dan Anwar Sadat tak bisa membantu banyak
sejauh keuangan utama mereka masih dipegang Kasia, dan
membiarkan ibu dan anak itu menjadi benalu bagi keduanya,
sebagaimana juga dilakukan oleh Laila.
Margio telah datang namun Anwar Sadat tak melihat bocah
itu telah luntang-lantung di pekarangan, tampak cemas dan pasi
tak karuan. Ia berdiri bersandar ke pohon belimbing, memandang
kedalaman rumah Anwar Sadat, dan melihat lelaki itu berkelebat.
Sesungguhnya sangatlah meragukan Margio berhasrat mem
bunuhnya. Beberapa orang di lapangan bola melihatnya, dan
Ma Soma kemudian menenteng keranjang sampah membuang
lumut dan pakis ke belumbang memergokinya, dan bersaksi ia
tak bersenjata. Ia harus membawa pisau atau golok atau tali,
bagaimanapun, untuk membunuh Anwar Sadat kecuali ia telah
yakin bisa membunuhnya dengan sekali gigit. Ketika Ma Soma
lewat sekali lagi, mereka pun tak bertukar kata, Margio hanya me
nendangi ayunan ban mobil, tak ada gairah dan nyaris pergi me
ninggalkan pekarangan. Ia masih di sana beberapa waktu, serupa
30
pencuri mencari celah, mengamati pergerakan orang-orang
dan bercuriga pada mereka, merasa diri tengah diawasi. Orang-
orang di lapangan bola tentu melihatnya, tapi mereka terlampau
mengenal Margio untuk diberi kecurigaan. Tak seorang pun
peduli, dan Ma Soma tampaknya tak akan kembali, terdengar
ia sedang menimba air sumur di surau untuk memenuhi bak
mandi. Pintu rumah terbuka dan tampak Anwar Sadat cari
angin, Margio bergerak.
Itu hampir pukul empat sepuluh menit, Anwar Sadat berke
hendak meninggalkan rumah dan cari kawan berbincang di
lapangan bola. Ia tak begitu doyan merpati, sebagaimana tak ada
nafsu pada sabung ayam, namun sekali-dua ia datang untuk me
nontonnya, dan bertaruh demi satu persahabatan. Ia masih me
ngenakan kolor dan singlet Toko Mas ABC yang dikenakannya
di warung serabi tadi pagi, dan akan mati dengan kostum yang
sama. Demi melihat Margio berjalan ke arahnya, Anwar Sadat
tertahan kaki, tak bergerak memapasi pintu, menunggu bocah
itu, berpikir barangkali ada sesuatu urusan. Waktu itu ia berpikir
tentang Maharani. Sebagaimana Laila, Anwar Sadat tahu gadis
itu bersama bocah ini semalam di pemutaran film pabrik jamu,
dan ia berharap memperoleh penjelasan mengapa gadis itu
sekonyong pergi. Ia menunggu sampai Margio masuk dan berdiri
di depannya, dan ia tak berkata apa pun tentang Maharani. Wa
jahnya masih pasi dan bibirnya menggigil, seolah Anwar Sadatlah
yang hendak tumpahkan bencana kepadanya.
Seperti kemudian menjadi pengakuannya pada polisi, ia me
mang membunuhnya dengan cara menggigit putus urat lehernya.
Tak ada senjata lain untuk melakukannya, ia bilang. Tadinya ia
berpikir untuk memukulnya, tahu pasti Anwar Sadat telah begitu
loyo dan tak ada tenaga untuk melawan. Tapi Margio meragukan
31
pukulannya sendiri bisa membuat tamat lelaki itu. Tidak juga per
caya pada cengkeramannya untuk mencekik Anwar Sadat. Tidak
pula mengangkat kursi dan menghantamnya, sebab ia pikir hanya
bikin patah tulang dan akan terlalu ribut untuk membangunkan
Maesa Dewi. Ia tak melihat Maesa Dewi di kamarnya yang ter
tutup, tapi tahu perempuan itu ada di kamarnya sebagaimana
hari-hari lain.
Pikiran itu datang sekonyong-konyong, semacam wahyu ce
merlang yang meletup di otaknya. Ia bilang ada isi di dalam
tubuhnya, sesuatu yang tak sekadar jeroan usus, yang menggelosor
keluar dan menggerakkan seluruh raganya, mengendalikannya
dan mengajak dirinya membunuh Anwar Sadat. Sesuatu itu
sangatlah kuat, ia berkata pada polisi, sehingga ia memang tak
butuh senjata macam mana pun. Ia mendekap erat Anwar Sadat,
yang terkejut dan berusaha meronta, namun dekapan itu kuat di
bawah lengannya, tangan Margio menjuntai ke atas merenggut
rambut Anwar Sadat bikin kepalanya tak banyak kutik. Saat
itulah Margio menancapkan gigi-giginya di leher kiri Anwar
Sadat, seperti ciuman kekasih yang membara ke permukaan
kulit di baw ah telinga, mendengus dan hangat penuh nafsu, dan
lelaki itu masih terpana untuk tahu apa yang diperbuat Margio.
Meski begitu, rasa sakit yang sejenak, menusuk menyentak
dadanya, memb uat Anwar Sadat menggeliat dengan kaki gaduh
menendang kursi, menggulingkannya. Suara kursi menghantam
lantai dan pekikan kecil Anwar Sadat membangunkan Maesa
Dewi yang terbangun dan bertanya dari kamar, “Papa, apa itu?”
Anwar Sadat tak ada daya untuk menjawabnya, kecuali
lolongan kasar mangsa yang hampir binasa. Margio membalasnya
dengan satu gigitan mematikan, mencengkeram dan merenggut
segumpal daging, yang membuat rompal lehernya. Segumpal
32
daging itu tercerabut dari sana, dengan serat-serat koyak segar
menjulur tipis, dan darah menyembur tak ada kendali. Sepotong
daging tanpa rasa, kini tertinggal di mulut Margio yang segera
menyepahkannya ke lantai dan berguling-gulinglah itu di sana.
Anwar Sadat mulai terbang, kerongkongannya bunyi sendiri,
wajah Margio mandi darah memancur dari sana.
“Papa, apa itu?” Maesa Dewi mengulang pertanyaannya.
Anwar Sadat telah mengepakkan sayap dan terseret arus badai
ketidaksadaran. Margio masih mendekapnya, menjaganya dari
tenggelam lebih jauh dan jatuh. Demi mendengar suara Maesa
Dewi, nada tinggi dan penuh kecemasan, serta bebunyi selimut
yang dihentakkan dan ranjang berderak serta kaki menjejak ke
lantai, Margio kembali menyarangkan giginya ke rekahan merah
gelap dan basah itu, ciuman kedua yang lebih mematikan dan
dikuasai nafsu. Mengatupkan rahang kuat, memperoleh segum
pal daging di mulutnya, dan menyepahkannya ke lantai. Ia me
lakukannya kembali, perulangan yang jadi monoton tanpa irama,
hingga rekahan itu semakin dalam dan compang-camping, bagai
didorong rasa lapar yang tak kepalang dan kerakusan memaharaja,
meninggalkan jejak letupan-letupan serta gelembung darah
terjun bebas tumpah ke bumi.
Ia hampir memenggalnya, menggergaji leher itu hingga batang
tenggorokan Anwar Sadat telah tampak, sekilas berwarna gading
sebelum banjir oleh merah, saat pintu kamar tidur terkuak
dan Maesa Dewi berdiri di sana, mengenakan pakaian tidur
satin putih dengan motif bunga peoni, pipinya berhias garis
peninggalan lipatan bantal, matanya setengah redup namun
bersegera insaf, dan tangannya yang ramping terangkat, jemari
menutup bibirnya yang terkuak kecil melontarkan kata tanpa
bunyi.
33
Tamasya itu tak mungkin lenyap dari mata Maesa Dewi, ba
rangkali hingga bertahun-tahun dan generasi-generasi kemudian,
lebih brutal dari film horor mana pun yang pernah dilihatnya
bersama Anwar Sadat di video. Ia menyaksikan leher yang se
paruh koyak, bahkan leher sapi yang dipotong pada Hari Kurban
tak seganas itu, dengan gumpalan-gumpalan daging berge
limpangan di lantai, serasa kuah makaroni yang tumpah. Lantai
itu putih keramik, warna merahnya kontras serupa bendera na
sional. Dan masih berdiri di sana adalah Margio, roman mukanya
hampir tak lagi dikenali, tertutup topeng kental yang cair dan
lengket, dan kotor pula tangan dan kemejanya. Sejenak mereka
saling memandang di batas kesadaran yang paling ganjil, di satu
keadaan ketika mereka berdua menyadari apa yang sesungguhn ya
terjadi.
Ada hawa aneh berputar di kepala Maesa Dewi, semacam
bau bawang putih pekat mengapung menciptakan awan kelabu
menggenang di antara rambutnya yang meriap jatuh ke bahu,
begitu berat dan mengajaknya melayang. Rasa campur aduk
yang lain bergejolak di perutnya, rasa asam yang basi, terkocok
oleh keributan serangga yang masuk entah dengan cara apa,
berdengung dan mengaduk-aduk ususnya. Maesa Dewi melihat
bayangan cemerlang yang tak dikenalinya, memancar memberi
silau kepada matanya, mendesaknya ke belakang dan suatu
benturan menghantam kepalanya saat itu menentang dinding
pintu di belakang, menghentikannya sejenak sebelum merosot
dan tumbang ke lantai. Tubuhnya terhempas di sana, tak serupa
tidur yang tenteram, namun serasa seorang putri yang dikutuk
sekonyong jadi batu. Ia bahkan lupa bagaimana cara menjerit,
dan lupa sekarang ada di mana. Semua potongan peristiwa itu
menimbulkan keributan yang membangunkan anak kecilnya,
34
kini anak itu duduk dan membuka mulut lebar, menangis tanpa
aba-aba, ngompol, memanggil ibunya tidak dengan namanya
namun jelas tak membangunkan Maesa Dewi dari tidur kedua,
di lantai dan tanpa selimut.
Margio mengendorkan belitannya, melepaskan pelukan atas
Anwar Sadat, dan mendapati sejumput rambut lelaki itu rontok
di tangannya. Tubuh Anwar Sadat sejenak menari, tanpa irama
pengiring, sebelum condong meliuk dan berdebam ke lantai di
seret beban tubuhnya sendiri. Margio memandangnya, menje
lajahinya hingga cukup yakin lelaki itu mati sempurna. Bahkan
seandainya penggerogotan leher itu tak membuat Anwar Sadat
bertemu malaikat maut pemangsanya, benturan kepalanya ke
lantai cukup untuk memberinya rasa ajal. Di sanalah ia telentang,
dengan pusar menguap di balik singlet Toko Mas ABC yang ter
singkap, serupa lelaki tua tuna daya yang memperoleh serangan
ganas ajak liar, sebagaimana kemudian ditemukan Ma Soma dan
orang-orang, berselimut bau amis dan nada riuh kematian.
Hampir ambruk pula Margio, bagai ular boa kekenyangan.
Betapapun itulah hasil jerih payahnya, ia harus mengakui betapa
dirinya terpesona oleh mahakarya tersebut, lebih menggetarkan
jiwa daripada reproduksi murahan lukisan Raden Saleh yang ter
gantung di atas televisi. Badai puyuh serasa memutar kepalanya,
dan ia lupa di mana arah pintu, meraba-raba sebab dunia
menjadi gelap tiba-tiba. Seperti Anwar Sadat, ia menari sejenak,
terbang meliuk-liuk dan tak empas oleh sepasang kaki yang
cukup tangguh, sebelum memandu dirinya pada punggung sofa
yang seketika penuh tanda jejak warna merah. Margio menyeret
dirinya keluar, merayap sejengkal demi sejengkal dan roboh di
teras samping.
Sesuatu di mulutnya mengingatkan dirinya pada pembantaian
yang belakangan baru ia sadari maknanya, dan dengan naluri
35
asali menggiringnya untuk menjauh. Margio berdiri lagi, terseok
tak sungguh tegak, merayap ke bawah pohon belimbing dan
menyepahkan daging leher Anwar Sadat yang tersisa di mulutnya.
Ia melihatnya terlempar ke tanah, sebesar potongan tahu, dan itu
bikin seluruh isi perutnya meluap naik, mengganas di tenggo
rokannya, pahit dan asam. Bertopang pada batang pohon, bocah
itu muntah-muntah, berisi mie yang dimakannya tadi pagi. Butuh
beberapa tempo ia menghentikan gejolak di lambungnya, masih
mengohek walau tak ada lagi isi perut, berjalan meninggalkan
pohon belimbing, dituntun suara ramai para petaruh dan peluit
di ekor merpati.
Saat itulah Ma Soma keluar dari surau dan melihatnya mera
yap dengan tangan berlepotan darah. Ia hampir berlari mengejar
nya, cemas namun segera tertegun, melihat tanda jejak yang
menggumpal sepanjang pekarangan, menuju rumah Anwar Sa
dat. Ia melihat genangan yang melimpah di ambang pintu, dan
kakinya memaksa diri membawa ke sana, melihat mayat yang
khidmat menunggu. Ada kekosongan yang tak dimengerti kepa
lanya, sebelum suatu bisikan menjelaskan segalanya, memapah
Maesa Dewi ke sofa, dan mengambil kain batik untuk meneng
gelamkan mayat Anwar Sadat. Seseorang yang lain, di tepi la
pangan bola, melihat Margio dan bergumam.
“Demi Tuhan, Margio dipukul orang hingga berdarah.”
Keriuhan sejenak terhenti, kepala-kepala menoleh, Margio
berjalan ke arah mereka menghentikan mobil dan motor yang
terp ukul cakram rem dan para pengemudi menatapnya serasa
jumpa setan kepagian. Burung-burung berhenti terbang, anak-
anak berhenti berlari, menyiratkan waktu yang berhenti dipatok.
Mereka melingkarinya, menjaga jarak serasa ia akan meledak,
tergagap-gagap sebelum salah satu dari mereka, Agung Yuda,
memperoleh satu kalimat jernih.
36
“Siapa memukulmu?”
Margio, tentu saja tak memahami pertanyaan tersebut, tak
buka mulut menjawabnya. Wajah-wajah itu dikenalinya, sekaligus
tak dikenalinya, ada rasa asing berkelebat. Agung Yuda, yang ke
pala bebalnya tak juga bisa memperoleh penjelasan penuh makna
atas serentetan peristiwa yang semestinya telah dimengerti jauh
sebelum terjadi, mendekatinya, menciuminya dengan hidung
bukan anjingnya, memastikan itu sungguh-sungguh darah dan
bukan cat tembok, meyakini dirinya bahwa ia melihat wajah
tragis yang tak lagi manis dan santun itu, hingga ia menemukan
penjelasan yang gamblang, tercekat ketika menyadarinya, dan
meletup dalam kata-kata penuh makna.
“Ia tak terluka.” Itulah penjelasan yang paling sempurna.
Kini, ketika malam telah runtuh ke bumi mengapungkan
bintang-bintang dan bulan sepotong tergantung enggan, lampu-
lampu dinyalakan di pelataran rumah dan pinggir jalan, dan codot
tak lagi tampak beterbangan disebabkan hitam yang menghapus
hitam tubuhnya, Margio diseret Joni Simbolon ke rayon militer.
Selalu begitu sebelum seseorang dibawa ke kantor polisi, sebab
tanpa itu para prajurit tak punya lagi keriangan di dunia republik
yang tak ada perang. Mereka mengurungnya di dalam sel,
mengganti pakaiannya dengan seragam hitam bau kapur barus
dan lemari kayu, meringkuk di satu dipan menghadapi susu
hangat yang tak dicecapnya, menghadapi sepiring nasi ikan tong
kol yang tak dilumatnya.
Mayor Sadrah mengunjunginya selepas salat jenazah, memas
tikan mereka tak mengasarinya, sebab para prajurit piket selalu
gatal menghadapi mangsa tangkapan. Mereka masih menghor
mati veteran tua ini, dan akan mendengarkan apa katanya, maka
37
ia bergegas ke sana, melihat orang-orang masih berkerumun
penuh tanya di seputar patung Siliwangi dan tiang bendera,
menoleh padanya berharap ia membawa satu kisah yang lebih
menakjubkan.
“Aku menahannya, menghindari satu pembalasan dendam
yang tak perlu,” kata Joni Simbolon pada Mayor Sadrah.
“Omong kosong, ketiga anaknya perempuan,” kata veteran
tua itu.
Tapi masih ada sejumlah kerabat, dan siapa pun yang bakalan
tak suka kebengisan terjadi di sekitar mereka. Mayor Sadrah
menyuruh mereka mengurungnya di sana, sebelum subuh polisi
mengambilnya. Ia bertanya-tanya tentang gadis itu, Maharani,
jika pagi besok ia pulang dan menemukan ayahnya mati, dan
berjumpa pembunuhnya yang telah mengawani dirinya semalam
melihat film perusahaan jamu. Tragedi itu demikian gamblang,
siapa yang mati dan siapa yang kirim petaka, namun ia masih
mencari-cari iblis jahat di belakang itu, suatu motif rahasia, yang
tak diketahui siapa pun. Istrinya, yang ada di antara perempuan
pelayat dan ikut dirinya ke rayon militer, membisikkan sesuatu
yang telah jadi pengetahuan orang, bahwa gadis itu tergila-gila
pada Margio. Tapi Mayor Sadrah tak melihat suatu pertanda
Anwar Sadat menghalangi mereka.
Kakinya membawa ke sel tersebut, berdiri di pintu menatap
nya menggigil di dipan, dan berharap menguak rahasia ter
sembunyi ia bertanya, tapi suaranya lenyap oleh kegetiran berat,
sebelum Margio menoleh dan mengerti pertanyaannya.
“Bukan aku,” kata Margio tenang dan tanpa dosa. “Ada hari
mau di dalam tubuhku.”
Dua
Harimau itu putih serupa angsa, ganas sebengis ajak. Mameh
pernah melihatnya suatu kali, sejenak, keluar dari tubuh Margio,
seperti bebayang. Sebelumnya tak pernah ia melihat itu, pun
setelahnya. Hanya satu pertanda bahwa harimau itu masih ada
di sana, dan Mameh tahu, meski ia tak tahu apakah orang lain
tahu. Pertanda itu hanya tampak di dalam gelap, di mata Margio,
yang mendadak berkilau kuning, serupa milik kucing. Awalnya
Mameh takut melihat mata itu, dan lebih cemas harimaunya
sungguh keluar dari sana, namun bersama berlalunya waktu,
dan sebab terlampau sering melihat sepasang cahaya dalam
gelap itu, ia tak lagi cemas. Itu bukan musuhnya, ia tak akan
melukainya, dan sebaliknya, barangkali harimau itu ada di sana
untuk melindungi mereka.
Margio sendiri menemukannya suatu pagi, kala terbangun
dari tidur seorang diri di surau, berminggu lalu sebelum ia
minggat. Bukan kopi hangat mengepul di atas tatakan, bukan
pula sepiring nasi goreng sarapan pagi, tapi seekor harimau
putih rebah di samp ingnya, tengah menjilati kakinya sendiri. Ia
terbangun disebabkan ekor si harimau yang menari, menyapu
kaki telanjangnya, dan sejenak ia pikir itu tepukan tangan Ma
Soma membangunkannya, mengajaknya salat Subuh. Tapi
ternyata hari telah pagi, dan di luar hujan turun dengan wajah
39
semesta yang kelabu, nyata semalam hujan besar dan tak ada
orang datang di kala subuh. Tentu saja ia rada terkejut, demikian
terguncangnya hingga apa yang bisa ia lakukan hanya diam
tercekat, dan memandang takjub pada binatang gempal yang
iseng sendiri itu.
Ia tahu binatang ini tak sungguh-sungguh hidup. Sepanjang
dua puluh tahun hidupnya, ia telah keluar masuk rimba raya di
pinggiran kota, dan tak pernah menemukan harimau semacam
itu. Ada harimau pohon yang kecil, ada babi, dan ada ajak, tapi
tak ada harimau putih hampir sebesar sapi. Itu mengingatkan
dirinya pada kakeknya, bertahun-tahun lampau. Matanya dibikin
berkaca-kaca, dan tangannya terulur perlahan, mencoba meraih
kaki depan si harimau. Benda itu sungguh-sungguh ada di sana,
dengan bebulu selembut kemoceng, kuku-kukunya tersembunyi
pertanda suatu tawaran bersahabat, dan kaki terangkat, tangan
Margio meraihnya lagi, dan kaki si harimau menepuk kecil,
serupa anak kucing genit bermain-main. Margio meraihnya gesit,
namun si harimau menghindar berguling, lalu mengambil kuda-
kuda, siap menyerang, sebelum Margio sempat menghindar, ia
telah menubruknya, dan di sana mereka berguling-guling dan
hanya karena Margio tak sanggup menahan beban binatang itu
mereka berhenti. Margio masih berbaring, si harimau kembali
menjilati kakinya, bersimpuh di sampingnya. Lembut Margio
menepuk bahunya, sambil menyapa.
“Kakek?”
Dahulu kakeknya tinggal jauh di desa. Sebuah motor ojek bisa
mengantarkannya ke tepi hutan, tempat deretan warung yang
dikenal orang sebagai Pasar Jumat menjadi tempat pemberhentian
segala kendaraan, sebab berikutnya adalah jalan tanah membukit.
Gerobak sapi barangkali bisa memaksakan diri, tapi pemilik
40
ojek enggan melakukannya. Untuk mengunjungi sang kakek,
Margio harus berjalan kaki naik bukit melintasi hutan angsana
dan cengkih, jejalanan dihias pula pohon mahoni, hingga rimba
liar yang hanya diakrabi para pemburu. Satu jam perjalanan
melintasi hamparan bukit itu, Margio sangat mengenalnya,
sebagaimana babi-babi korbannya kelak juga mengenalnya. Di
seberang bukit terdapat sebuah perkampungan, berbatasan
dengan sebuah pesantren yang memiliki sawah-sawah dan kolam
ikan, tapi kakeknya tidak tinggal di kampung itu. Margio bisa
melepas lelah di sana, beberapa orang telah dikenalnya setelah
berkali melewatinya, dan ia akan melanjutkan perjalanan
sebelum sore jatuh, sebab ia mesti melintasi sungai lebar dan
tak ada rakit setelah petang tiba. Rakitnya terbuat dari lonjoran-
lonjoran bambu, diikat pada satu kawat yang membentang dari
satu tepi sungai ke tepi lain. Pengemudinya berdiri di haluan,
dengan menarik tambang kawat ia menyeret rakit perlahan, dan
jika arus membuat rakit tak terkendali, ia akan mempergunakan
galah panjang. Sungainya dalam dan berair tenang, tak ada
buaya, namun ada Tikar Penggulung, binatang mitologis yang
tak pernah ditemukan, namun sungguh ditakuti anak-anak.
Rakitnya mampu membawa puluhan orang, kadang sapi dan
domba dan berkarung-karung padi dan hasil bumi, dan mereka
cukup membayar sepuluh perak untuk sekali lintas. Turun dari
rakit bukan akhir perjalanan Margio, ia mesti naik bukit lagi
di jalan setapak yang licin betul, dan di puncak bukit ia akan
melihat hamparan sawah mahaluas. Di tengah keluasan itulah
terdapat sebuah kampung, penuh tetanam dan rumah-rumah,
dengan nyiur menyundul langit, serupa oase gurun pasir, dan di
sana kakeknya tinggal.
Pada umur delapan tahun, Margio telah melakukan perjalanan
itu seorang diri untuk pertama kali. Selepas itu ia akan memper
41
gunakan setiap kesempatan untuk pergi ke sana, berjumpa ka
keknya, tak peduli waktu perjalanan yang bisa merampok separuh
harinya. Perjalanannya selalu merupakan saat-saat menyenang
kan, dan setiap kali berkunjung ia akan membawa pulang se
tandan pisang, atau sekeranjang durian, atau sekarung duku,
yang pasti bikin senang Mameh, juga ibu dan ayahnya. Kadang-
kadang jika ia begitu ingin pergi namun tak ada uang untuk ojek,
ia akan berjalan pula sampai Pasar Jumat, dan terus berjalan
sampai rum ah kakek, dan tetap senang. Demikian seringnya
ia melalui setapak itu, lain waktu ia menjelajah beberapa jalan
baru, membuatnya cepat bersahabat dengan banyak penghuni
kampung serta jin-peri penghuni rimba, dan di kala ia menjadi
bagian pemb uru babi, orang tak akan cemas tersesat selama ia
ada bersama mereka.
Kakeknya tinggal bersama nenek di sebuah pondok, tetap
bugar bahkan hingga ketika orang menemukannya telah mati
dengan damai di atas tempat tidurnya. Sehari-hari ia mengurus
sawah dan kebun, sebelum kelak sawah dan kebun itu lenyap
dijual ayahnya tanpa bekas. Margio sangatlah menyukai kakekn ya,
yang tak bongkok meski rambutnya perak tanpa cela, sebab sang
kakek akan membawanya ke parit kecil dan menyebutnya sebagai
kerajaan jin. Jangan sekali-kali menggoda gadis jin, katanya
selalu, namun jika seorang gadis jin jatuh cinta kepadamu,
ambillah sebab itu anugerah. Kakeknya bilang, gadis-gadis jin
sangatlah cantik, dan ia selalu berharap suatu kali berjumpa
dengan gadis jin, dan berharap pula salah satu dari mereka jatuh
cinta kepadanya, meskipun kemudian tampaknya itu tak pernah
datang, walau berkali ia mendatangi parit kecil tersebut.
Di atas segalanya, harimau kakek merupakan kisah yang pa
ling menakjubkan.
42