The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Redaksi Kavling, 2024-06-07 05:49:25

BOOKLET KETAWANGGEDE EDISI I 2024

Ketawanggede edisi I 2024[1]

EDITORIAL K etawanggede EDISI I Tahun 2024 HitamPutihBrawijaya FEATURE OPINI Noda-noda Kuning di Kampus Biru Babak Baru Persoalan Lama Berebut Parkir di “Kampus Hijau” Parkiran Universitas Brawijaya, Misteri yang Sulit Dipecahkan


i SALAM REDAKSI Manusia Akan Selalu Merusak Bumi, Setidaknya Itulah yang Terjadi Hingga Sekarang. Jika berpikir kerusakan bumi disebabkan oleh revolusi industri, anda salah. Perusakan ini telah bermula jauh sebelum era industrialisasi, dimana manusia memulai untuk bertani dan meninggalkan cara hidup mereka yang lawas. Manusia meninggalkan cara hidup seperti hewan lain berburu dan meramu serta mulai membuka lahanlahan pertanian serta beternak hewanhewan santapan mereka. Cara-cara ini mengakibatkan bertambahnya gas rumah kaca akibat adanya deforestasi dan metana yang melonjak naik akibat kotoran hewan ternak. Kerusakan minor ini meningkat pesat dengan adanya revolusi industri yang Paul J. Crutzen menamainya sebagai era antroposen. Era ini ditandai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt pada akhir abad 18. Penemuan ini sekaligus menandai peningkatan gilagilaan konsentrasi gas rumah kaca akibat pembakaran batubara dalam skala besar. Waktu ini juga menandai terjadinya patahan hebat kondisi ekologis dari era holosen menuju antroposen. Dalam tiga abad terakhir, pertumbuhan populasi manusia telah mengalami peningkatan drastis hingga sepuluh kali lipat. Selama periode ini, populasi manusia telah memelihara sekitar 1,4 miliar ternak sapi, yang menghasilkan metana, salah satu penyumbang gas rumah kaca. Selain itu, manusia telah menggunakan sebagian besar permukaan tanah yang tersedia, mengubah ekosistem seperti hutan hujan tropis, mengalihkan sungai, dan membangun bendungan besar. Konsumsi manusia juga telah menyebabkan penurunan signifikan dalam populasi ikan di perairan laut. Di bidang pertanian, penggunaan pupuk nitrogen telah meningkat drastis, melebihi tingkat alami yang ada di ekosistem terestrial. Penggunaan energi juga telah meningkat secara dramatis, menyebabkan emisi SO₂ naik lebih dari dua kali lipat dari tingkat alami dan meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi yang tertinggi dalam lebih dari 400.000 tahun.


ii SALAM REDAKSI Fotografer : Fitra Fahrur Dalam epos antroposen ini, hampir seluruh aspek kehidupan manusia menimbulkan jejak karbon, termasuk dunia pendidikan yang menjadi penyumbang gas rumah kaca yang cukup besar. Penggunaan energi yang hampir tiap waktu di dunia pendidikan di seluruh dunia menyumbang gas rumah kaca yang membuat intensitas keluhan terhadap suhu udara belakangan ini bertambah. Kondisi seperti ini akan bertambah terus menerus, mengingat animo terhadap pendidikan semakin tinggi. Ironi memang, untuk menjadikan manusia terdidik memerlukan tumbal berupa kerusakan lingkungan secara masif yang membuat manusia tidak bisa menempatinya, entah sampai kapan. Dunia pendidikan ini juga termasuk kampus yang sedang kita jalani ini. Dalam lingkungan perguruan tinggi, energi digunakan untuk berbagai keperluan operasional seperti penerangan, pemanas ruangan, pendinginan, operasional laboratorium, komputer, dan fasilitas-fasilitas lainnya entah primer, sekunder, bahkan tersier yang masih diakomodir. Untuk mereduksi jejak karbon yang timbul dari kebutuhan operasional kampus tersebut diciptakan sebuah konsep yang dinamai green campus. Konsep ini dimulai pada tahun 1980-an, perguruan tinggi mulai memperhatikan dampak lingkungan dari operasi mereka sendiri. Mereka memulai upaya untuk mengurangi konsumsi energi, mengelola limbah, dan memperkenalkan kurikulum yang berfokus pada keberlanjutan. Sumber: canva.com


ii SALAM REDAKSI Fotografer : Fitra Fahrur Pada eksekusinya, penerapan konsep kampus hijau, termasuk di UB tidak berjalan mulus. Benturan-benturan akibat kondisi geografis dan kepentingan di tingkat Universitas membuat impian kampus sustainable ini harus terkubur terlebih dahulu. Pemahaman minim civitas akademika juga menggembosi laju UB menuju kampus yang benar-benar hijau. Melalui Ketawanggede di paruh pertama 2024 ini kami mencoba merekam apa yang menjadi batu sandungan UB menuju kampus hijau. Karena kami peduli terhadap usaha-usaha yang dilakukan Universitas Brawijaya yang setidaknya berusaha menuju hal tersebut, meskipun hanya dengan berjalan pelan. Dengan buletin ini, kami berharap jalan pelan kampus ini tidak tersandung di tengah jalan. Untuk merekam batu-batu sandungan itu, kami mewawancarai narasumber yang kami anggap kompeten untuk menjelaskan masalah ini. Hal ini sekaligus menunjukkan masih adanya penghargaan kami terhadap kepakaran yang belakangan ini seringkali kalah pamornya oleh video- video pendek yang entah darimana sumbernya. Akhir kata, kami berharap agar buletin ini kelak akan menjadi catatan perjalanan UB dalam menuju kampus hijau. Kalaupun kelak universitas ini berbelok arah tujuan, buletin ini akan menjadi catatan sejarah bahwa kampus ini pernah berusaha menjadi green secara sustainability, bukan yang lain. AhmadAhsani Taqwiim Sumber: canva.com


@lpmkavling10 www.kavling10.com [email protected] SUSUNAN REDAKSI @lpmkavling10 Pembimbing Dr. Mondry S.P., M.Sos., Dr. Aji Setyanto, S.S., M.Litt. Penanggung Jawab Adila Amanda Pemimpin Redaksi Dimas Candra P. Redaktur Pelaksana Ahmad Ahsani Taqwiim Reporter Samuel Leonardo Wilson, Ahmad Ahsani Taqwiim, Dimas Candra Infografis Departemen Litbang Kavling 10 Layouter Rafi Maruf N, Fitra Fahrur Editor Dimas Candra P, Ahmad Ahsani Taqwiim Ilustrator Gracia Cahyadi, Fitra Fahrur Fotografer Khairul Ihwan, Asa Amirsyah Alkindi Kolumnis Hoshi Amalia Az-zahra, Muhammad Rafi Azzamy iii


| DAFTAR ISI SALAM REDAKSI i SUSUNAN REDAKSI DAFTAR ISI EDITORIAL iii iv INFOGRAFIS iv DAFTAR ISI ILUSTRASI 1 APA KATA MEREKA? OPINI KOLASE FOTO FEATURE Manusia Akan Selalu Merusak Bumi, Setidaknya Itulah yang Terjadi Hingga Sekarang. Babak Baru Persoalan Lama BERITA 3 Ketertinggalan UB Menghijaukan Kampus 6 8 10 12 13 Berebut Parkir di “Kampus Hijau Parkiran Universitas Brawijaya, Misteri yang Sulit Dipecahkan 16 Candi Sumberawan, Okupasi Perusahaan, dan Budaya Mutual Aid 19 Sumber: canva.com


1 EDITORIAL Babak Baru Persoalan Lama Keseriusan Universitas Brawijaya (UB) untuk menjadi Green Campus perlu dipertanyakan ulang. Persoalan ini bukanlah barang baru. Sempat menjadi tema pada dies natalis UB ke60, Green Campus and Green Entrepreneur seolah hanya jadi angin lalu. Tema tersebut tak ayal hanya jadi omong kosong yang tak dieksekusi secara tuntas. Terbukti, tak ada kebijakan yang benar-benar mengakomodasi harapan itu. Setengah hati Green Campus UB juga terlihat dari bagaimana kebijakannya dalam kuota penerimaan mahasiswa baru. Alih-alih memecahkan masalah kepadatan, UB justru dengan bangga menerima predikat perguruan tinggi negeri dengan mahasiswa baru terbanyak di Indonesia. Memang, tak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa menjadi salah satu sumber pendanaan utama bagi UB semenjak menjadi PTN-BH. Namun sayang, penerimaan belasan ribu mahasiswa baru tak diimbangi dengan fasilitas yang memadai. Hal ini tercermin dalam Raja Brawijaya 2023. Mahasiswa baru terpecah di berbagai lokasi sebab ruang yang tak mencukupi. Fotografer: Khairul Ihwan


2 EDITORIAL Aneh tapi nyata, rangkaian Raja Brawijaya 2023 diwarnai dengan aksi paper mob, seakan lupa dengan aksi simbolik rektor dan jajarannya yang menaiki sepeda angin pada pembukaan Raja Brawijaya 2023. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor di UB imbas penerimaan besar-besaran jelas tak bisa dihindari. Alhasil, persoalan menahun macam kurangnya lahan parkir semakin menjadi. Sayang, fasilitas transportasi publik yang seharusnya bisa menjadi solusi justru tak tersedia. Selter-selter dibiarkan menganga dan Beam jelas bukan jawaban. Tantangan UB terkait Green Campus tak berhenti hanya pada soal kepadatan. Ruang terbuka hijau, misalnya. Di tengah meningkatnya emisi gas buang karena peningkatan kendaraan bermotor, ia bahkan tak mencapai kata cukup di UB. Dan ketika tak ada lagi lahan kosong di UB sebab padatnya bangunan, gedung auditorium baru justru didirikan. Dengan segudang pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai, maka tak heran bila peringkat UB dalam UI Green Metric mengalami penurunan. Ironisnya, penurunan peringkat ini terjadi saat UB gembar-gembor soal kampus hijau. Memang, penurunan peringkat bukan berarti UB tak melakukan usaha apa pun. Namun, hal ini menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan UB tak semasif perguruan tinggi lain. Penurunan peringkat adalah sinyal bagi pejabat kampus untuk mengevaluasi kebijakannya. Awal tahun ini, jajaran wakil rektor baru telah dilantik. Ini artinya persoalan lama ini telah memasuki babak baru. Sebuah tanda tanya besar, apakah rektor bersama wakil-wakil barunya mampu untuk melakukan perubahan signifikan atau justru akan berakhir sama seperti tahun-tahun dan rezim-rezim sebelumnya. Apakah tulisan UB Go for Green Change yang terpampang di seberang Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik akan menjadi kenyataan atau akan menjadi pajangan yang dihiasi oleh sampah-sampah berserakan di bawahnya seperti saat ini. Tak ada pilihan lain. UB harus segera berbenah. Soal Green Campus tak bisa disepelekan. Bukan semata demi kepentingan akreditasi atau beradu gengsi dengan perguruan tinggi lain. Green Campus adalah kebutuhan dan keharusan. Segala kebijakan harus berpatokan pada kelestarian lingkungan. Oleh karenanya, evaluasi kebijakan harus segera dilakukan. Redaksi


3 BERITA Ketertinggalan UB Menghijaukan Kampus MALANG-KAV.10. Dalam lingkungan perguruan tinggi, energi diperlukan untuk berbagai keperluan operasional penunjang perkuliahan. Untuk mereduksi dampak terhadap lingkungan akibat hal tersebut, perguruan tinggi menerapkan konsep yang biasa disebut green campus yang telah dijalankan di Universitas Brawijaya (UB) sejak tahun 2015 saat Wakil Rektor 4 masih dijabat Sasmito Djati. Namun beberapa tahun belakangan, UB mengalami tren penurunan pada pemeringkatan UI Green Metric jika dibandingkan dengan kampus-kampus lain di Indonesia. Kepadatan Mahasiswa dan TerbatasnyaLahan Tren penurunan tersebut, menurut Wakil Rektor 4 bidang Bidang Perencanaan, Kerjasama, dan Internasionalisasi, Andi Kurniawan disebabkan oleh keterbatasan lahan yang dimiliki UB. Salah satu pekerjaan rumah UB dalam mewujudkan green campus adalah ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) yang masih minim di UB. Andi menjelaskan bahwa dengan lahan yang terbatas dan jumlah mahasiswa yang sangat banyak UB sudah terlalu padat. “Kita (luas lahan UB, red.) cuma 54 hektare. Mahasiswa kita 72.000, yang aktif di kampus biasanya sekitar 50.000- 60.000, dosen kita kurang lebih 3.000, tendik (tenaga pendidik, red.) kita kurang lebih 2.500-3.000 maka UB ini (tergolong, red.) padat karena tanahnya terbatas,” jelasnya. Menurutnya dengan kondisi ini, sulit untuk UB menambah rasio luas area terbuka terhadap populasi kampus yang merupakan salah satu parameter UI GreenMetric. Dengan kepadatan mahasiswa yang ada, salah satu upaya yang dilakukan pihak rektorat dalam mengatasi masalah ini adalah dengan pemecahan kampus. “Karena melihat dari aktivitas yang ada, kampus veteran ini sudah crowded,” jelas Andi. Pemecahan kampus ini, seperti yang kita ketahui bersama, menghasilkan UB kampus Dieng, Kampus Kediri, dan Kampus Kepanjen.


4 BERITA Sumber: canva.com I Nyoman Suluh Wijaya selaku Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota juga mengamini adanya permasalahan ini di UB. Perbandingan jumlah mahasiswa aktif dan ketersediaan lahan di UB menurutnya sudah sangat tidak ideal. “Kalau kita bicara standarnya, standar RTH privat itu, kita itu seharusnya sudah masuk 10- 20% dari luasannya, tapi kita kan nggak sampai segitu” jelasnya. Lebih jauh, menurut Nyoman jika permasalahan kepadatan mahasiswa ini terus berlanjut masalah tidak akan hanya berhenti di kampus saja, tetapi juga Kota Malang. “Bukan hanya bebannya di (Universitas, red.) Brawijaya saja. Tapi itu nanti akan menjadi beban di Kota Malang maupun di wilayah sekitar Kota Malang,” imbuhnya. Menyikapi masalah ini, Nyoman berpendapat bahwa seharusnya manajemen gedung kampus sudah mulai dipikirkan atau mulai didesain oleh level universitas. Manajemen disini adalah dengan mengatur penggunaan ruangan dalam gedung antar departemen atau fakultas. “Jadi harapannya itu, ruang kelas itu bisa dipakai seluruh prodi (program studi, red.),” sambung Nyoman. Melalui manajemen ini nantinya tidak ada jurusan atau program studi yang kekurangan ruang, sementara program studi lain memiliki ruang tidak terpakai. Sumber: canva.com Nyoman juga menjelaskan bahwa masalah keterbatasan lahan ini juga mengakibatkan sistem drainase di kampus biru yang buruk. Ia menuturkan hampir seluruh lahan di UB sudah menjadi lahan terbangun, baik itu gedung maupun bangunan lain. Dengan kondisi lahan tersebut menjadikan UB tidak punya daerah penampung air karena tidak memiliki lahan yang tersisa. Tiadanya daerah penampung air ini juga yang menyebabkan genangan air tiap hujan. “Ini jadi masalah juga sehingga air yang jatuh dari hujan, itu gak bisa langsung meresap ke tanah, dengan begitu akhirnya jadi genangan di UB,” tuturnya. Genangan ini, menurut Nyoman, juga disebabkan oleh limpasan air yang semakin hari semakin besar. Menyoroti masalah ini, Alexander Tunggul Sutanhaji, Dosen Teknik Lingkungan UB memiliki pandangan lain. Menurutnya genangan air yang terus terjadi di UB tiap musim hujan dikarenakan kurang efektifnya sumur resapan yang dibangun di UB. Sumursumur ini dibangun di areal kampus untuk menampung limpasan air hujan untuk diresapkan ke dalam tanah. Ketidakefektifan sumur resapan ini, tuturnya, adalah karena tanah di kampus UB tergolong tanah liat. “Tanahnya liat, jadi percuma, (air, red.) nggak bisa meresap ke dalam tanah juga, bisa meresap pun kecil sekali,” jelasnya. Sistem Drainase yang Kurang Memadai


Tapi ke depan sepertinya kita harus mereformasi itu (kurikulum, red.),” tuturnya. Senada dengan Andi, Tunggul sepakat bahwa edukasi mengenai keberlanjutan lingkungan perlu dimasukkan dalam kurikulum. Lebih jauh, Tunggul menuturkan bahwa saat ini kurikulum mengenai konsep sustainable tidak secara langsung masuk ke dalam kurikulum. Saat ini konsep sustainable ini masuk ke seluruh mata kuliah yang menurutnya terlalu mengambang. Lebih jauh, Tunggul menuturkan bahwa setiap program studi harus memiliki mata kuliah khusus tentang lingkungan terutama dalam hal kesadaran lingkungan. “Kalau (menurut, red.) saya perlu ya setiap program studi harus ada mata kuliah tentang lingkungan terutama dalam hal kesadaran lingkungan,” jelasnya. Penulis: Ahmad Ahsani Taqwiim Editor: 5 BERITA Namun senada dengan Nyoman, Tunggul juga sepakat bahwa permasalahan ini tidak juga selesai karena keterbatasan ruang terbuka hijau. “Karena kampus ini terbatas luasnya itu, sehingga ruang terbuka hijau-nya kan juga kecil dibandingkan kampus-kampus lain,” kata Tunggul. Oleh sebab ini juga, membuat UB tidak bisa bersaing dengan kampus-kampus lain dalam skor UI Green Metric. Absennya Kesadaran CivitasAkademika Faktor yang juga menjadi batu sandungan UB menuju green campus adalah kesadaran individu tiap civitas akademika yang masih minim. Andi menjelaskan bahwa problematika penting dalam konsep green campus dan sustainability adalah menanamkan kesadaran dan mindset. Untuk saat ini, tutur Andi, usaha UB dalam menyadarkan civitas akademiknya adalah dengan membentuk Center for Sustainable Development di bawah Wakil Rektor 1. Secara garis besar, badan ini bertujuan untuk mengakselerasi tujuan pembangunan berkelanjutan. Menurutnya, badan ini juga bertugas untuk mengembangkan kurikulum proses pengajaran untuk edukasi konsep sustainable. Namun untuk edukasi, hingga saat ini Andi menuturkan bahwa memang pengajaran sustainability belum dimasukkan ke dalam kurikulum. “Kalau sekarang (edukasi tentang sustainability, red.) lebih ke substantif, tidak perlu ada mata kuliah khusus atau ada pertemuan khusus. Dimas Candra Pradana


6 Infografis Fotografer : Ilham Ketertinggalan Progres UB dalam Mewujudkan Kampus Hijau 01 02 Meski sudah 13 tahun ikut serta dalam UI Green matric peringkat UB masih tampak fluktuatif setiap tahunnya. Dalam 4 tahun terakhir peringkat ub secara nasional mengalami penurunan dari 13, lalu 16 dan terakhir 20. Pada pemeringkatan 2023 UB berada di peringkat 140 internasional dan 20 nasional 0 2000 4000 6000 8000 10000 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 0 50 100 150 200 250 300 350 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 Trackrecord peringkat UB dalam UI green matric 3326 point 3426 point 4128 point 5562 point 5191 point 5575 point 5725 point 7150 point 7450 point 8035 point 8160 point Trackrecord nilai UB dalam UI green matric 3351 point 3507 point 3962 point Progres nilai UB juga tampak fluktuatif setiap tahunnya. Dalam empat tahun terakhir terlihat perkembangan nilai UB tidak konsisten dengan ada tahun yang mendapat pertambahan point besar seperti 2020 dan yang kecil seperti 2023. -445 point -156 point -25 point +100 point +700 point +1434 point -371 point +384 point +150 point +1425 point +300 point +585 point +125 point


Penilaian mahasiswa terhadap UB sebagai green campus keselarasan luas area dengan jumlah populasi 78% 66% 54% 66% upaya mengurangi penggunaan kertas dan plastik. integrasi mata kuliah dengan tema lingkungan dan keberlanjutan upaya mendorong penggunaan transportasi kampus 52% menekan penggunaan emisi karbon dan gas rumah kaca Berdasarkan survei kami, terdapat lima indikator green campus yang dirasa masih bermasalah di Universitas Brawijaya yaitu kepadatan kampus, transportasi kampus, pengurangan sampah, integrasi mata kuliah bertema lingkungan dan keberlanjutan, dan penekanan emisi karbon dan gas rumah kaca. Perbandingan luas kampus dengan jumlah mahasiswa : Memenuhi : Tidak Memenuhi Luas Kampus Jumlah Mahasiswa UB UGM UNDIP UI 0 50 100 150 200 250 300 350 UB UGM Undip UI UI Undip UGM UB 0 20000 40000 60000 80000 UI Undip UGM UB 36.000 40.298 61.440 320 Ha 74.935 200 Ha 183 Ha 48 Ha Infografis 7


Pendapat akademisi terkait UB sebagai green campus “...pertama berkaitan dengan ruang terbuka hijau, terus pengelolaan airnya, kemudian penggunaan energi alternatif itu kelemahan kita (red: UB).” -Alexander Tunggul Sutanhaji, Dosen Teknik Lingkungan “Kesadaran sustainabel itu telah lama ada di UB. UB telah melakukan ikhtiar-ikhtiar untuk mewujudkan itu, tapi benturan dengan kepentingan pragmatis pembangunan kepentingan UB juga terjadi.” - Andi Kurniawan, Wakil Rektor 4 “Kita harus mulai aware bahwa mahasiswa tidak hanya butuh ruang di dalam gedung, mahasiswa juga butuh susasana yang nyaman di kampus. Kan tidak hanya di dalam juga tapi ruang luarnya semestinya juga tersedia.” -I Nyoman Suluh Wijaya, Dosen Perencanaan Wilayah Kota Infografis 8


Apa Kata Mahasiswa? Belum terlaksana secara maksimal. Green campus yang digembar-gemborkan masih sebatas lahan hijau dan resapan air yang terdapat di lingkungan UB. Sementara itu, mahasiswa tentu masih memilih menggunakan transportasi bermesin ketimbang berjalan kaki atau bersepeda. Noy- Mahasiswi FEB Masih banyak sampah berserakan di UB, vendor di UB masih menggunakan plastik dalam perdagangan, densitas kendaraan di UB masih terlalu tinggi sehingga emisi karbon pasti juga masih tinggi. UB menurut saya masih belum terasa sebagai green campus Rizqi- Mahasiswa FIB Saya kira fasilitas untuk mencapai itu masih kurang memadai. Regulasinya juga belum sesuai apalagi enforcementnya belum kuat. Kalaupun benar UB urutan 13, maka saya tidak kaget. Standard di Indonesia memang buruk, tidak heran lagi. Fikri- Mahasiswa FP Sebetulnya UB sudah mencetuskan program zero waste action. Tapi implementasinya masih sangat kurang. Contohnya titik tempat sampah masih sangat kurang apalagi di titik krusial, contohnya rektorat. Alisya Anarga- Menteri Lingkungan Hidup EM UB Apa Kata Mereka? 9


7 Ilustrasi


8


7 12 KOLASE Fotografer: Khairul Ihwan


13 FEATURE Berebut Parkir di “Kampus Hijau” Universitas Brawijaya kian sesak. Emisi gas buang tak terhindarkan, lahan parkir jadi rebutan. MALANG-KAV.10 Sekitar pukul 07.00 pagi, arus kendaraan bermotor di Universitas Brawijaya (UB) memasuki masa sibuknya. Silih berganti, kendaraan keluar dan masuk UB. Tak semua yang masuk memiliki kepentingan untuk berkegiatan di UB. Beberapa hanya menjadikan UB sebagai jalan pintas. Pemilihan UB sebagai jalan pintas bukan tanpa alasan. Posisi UB sangatlah strategis. UB berada tepat di antara Jalan Soekarno Hatta dan Jalan Veteran. Melewati UB akan memangkas waktu sekaligus jarak tempuh. Gerbang utama Veteran, gerbang masuk KPRI, gerbang Pandjaitan, dan gerbang keluar Watugong adalah yang paling sibuk. Imbasnya, kemacetan di gerbang KPRI dan Jalan Watugong kerap kali terjadi. Dampaknya tak hanya dirasakan di luar UB. Problem utama justru terjadi di internal UB sendiri. Besarnya arus kendaraan bermotor yang melewati UB tak sesuai dengan konsep Kampus Hijau. “Itu (besarnya arus kendaraan di UB, red.) tidak green, itu tidak baik,” ujar Andi Kurniawan selaku Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerja Sama, dan Internasionalisasi. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Alexander Tunggul Sutanhaji, Dosen Teknik Lingkungan UB. Menurutnya, emisi gas buang yang dihasilkan kendaraan bermotor di UB berdampak pada pencemaran lingkungan. Besarnya arus kendaraan bermotor, kata Tunggul, juga akan mengganggu kegiatan akademik di UB. “Kalau kendaraan masih lalu lalang, itu kan belum kondusif juga untuk akademik,” jelasnya. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Alexander Tunggul Sutanhaji, Dosen Teknik Lingkungan UB. Menurutnya, emisi gas buang yang dihasilkan kendaraan bermotor di UB berdampak pada pencemaran lingkungan.


14 Fotografer : Ilham Soal tingginya angka kendaraan bermotor ini tak lepas dari besarnya jumlah mahasiswa di UB. Dilansir dari laman resmi milik UB, 72.448 jumlah mahasiswa Diploma 3 hingga Doktor S3 di UB pada November 2023. Jumlah ini tersebar ke beberapa kampus UB dengan mayoritas berada pada kampus utama Veteran. Lagu Lama Lahan Parkir Masalah lain soal tingginya angka kendaraan bermotor di UB adalah minimnya lahan parkir. Andi menuturkan bahwa jumlah lahan parkir yang tersedia di kampus Veteran masih belum mencukupi. “Memang kita sudah menghitung, tidak cukup lahan parkir (yang tersedia, red.),” imbuhnya. Persoalan minimnya lahan parkir tak hanya terjadi di kampus utama Veteran. Kampus Dieng juga mengalami hal serupa. Beberapa mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), ujar Andi, mengeluhkan soal tidak adanya lahan parkir di Kampus Dieng. “Kami tidak punya tempat parkir,” kata Andi menirukan keluhan mahasiswa FKH. Lebih lanjut Andi menjelaskan bahwa lahan parkir di Kampus Dieng bukannya tidak tersedia, melainkan memang tidak berada di fakultas mahasiswa yang mengeluh. “Kami cek (kampus, red.) Dieng, ada tempat parkir,” ucap Andi. Meski begitu, Andi memaklumi keluhan civitas academica yang menginginkan lahan parkir di fakultasnya masing-masing. “Cuma, apakah salah orang ingin parkir cepat? Ya, nggak salah,” tuturnya.Salah satu solusi untuk menyikapi minimnya lahan parkir adalah dengan membangun parkir tersentral. UB bukannya tak memiliki. Parkir tersentral tiga lantai berdiri tepat di dekat Fakultas Peternakan (Fapet). Namun dalam praktiknya, parkir tersentral ini belum efektif. Hal ini diakui oleh Andi. Menurutnya, kemiringan yang terlalu curam menjadi penyebab tak maksimalnya penggunaan parkir tersentral. “Terlalu curam ternyata (kemiringannya, red.). Padahal parkir itu (kemiringan yang disarankan, red.) hanya 10 derajat, ini ternyata lebih dari 10 derajat. Sehingga tidak semua bisa berani naik,” paparnya. Langkah Baru untuk Masalah Lama Untuk mengatasi permasalahan kepadatan kendaraan bermotor dan minimnya lahan parkir, kebijakan pembatasan penggunaan kendaraan roda empat bagi mahasiswa UB diterapkan. Di awal, kebijakan ini menuai banyak protes. Meskipun begitu, Andi menjelaskan bahwa kebijakan ini diambil setelah mendapatkan data bahwa mayoritas kendaraan roda empat yang melalui UB bukanlah milik civitas academica. “60 persen mobil yang ada di kampus itu bukan punya (civitas academica, red.) UB. 60 persen itu (hanya, red.) orang lewat,” paparnya. Selain itu, Andi pun menambahkan bahwa persoalan infrastruktur tetap menjadi salah satu fokus dari pihak rektorat. Pembangunan parkir tersentral baru telah direncanakan dari tahun lalu. Lokasinya berada di dekat Poliklinik UB. Namun ia menjelaskan bahwa belum ada yang mau menawar pembangunan parkir tersentral. FEATURE


Penulis: Editor: 15 Fotografer : Fitra “Sudah kita lelang, enggak ada yang menawar. Mungkin (karena, red.) kemurahan, mungkin. Jadi enggak ada yang menawar, ini lelang ulang,” jelas Andi. Andi turut menuturkan bahwa pihak rektorat juga berencana membangun parkir tersentral lain di dekat gazebo UB pada tahun 2025. Selain itu, penataan parkir besi dan evaluasi parkir tersentral di dekat Fakultas Peternakan juga akan dilakukan. Sementara itu Tunggul memberikan pandangan berbeda. Menurutnya, persoalan densitas kendaraan bermotor dan minimnya lahan parkir bisa dikurangi dengan membangun parkiran di luar UB yang disebutnya sebagai kantong-kantong parkir. Nantinya, civitas academica perlu berjalan kaki untuk masuk ke dalam kampus. “Kalau (kendaraan bermotor, red.) langsung (berhenti di kantongkantong parkir, red.) akhirnya akan memperkecil emisi gas buang (dalam kempus, red) juga,” kata Tunggul. Lebih lanjut, Andi juga bercerita bahwa salah satu upaya untuk mengurai masalah ini adalah dengan berjalan kaki. Ia membandingkan luas lahan kampus utama Veteran dengan perguruan tinggi lain seperti Universitas Gadjah Mada dan Universitas Udayana. Menurutnya, kampus utama Veteran sangat mungkin untuk dijangkau dengan berjalan kaki. “Jadi salah satu bentuk uji coba yang dilakukan adalah jalan kaki. Saya sendiri juga jalan kaki. Menghitung, apakah separah itu, sih, jalan kaki di kampus (Veteran, red.) UB? Ternyata keliling kampus (Veteran, red.) UB itu cuma 7000 langkah,” imbuhnya. Meski begitu, Andi mengatakan bahwa transportasi publik di dalam kampus tetap diperlukan. Fasilitas transportasi umum yang beroperasi di dalam kampus akan dikembangkan. “Pak Rektor (Widodo, red.) juga memberikan arahan untuk mengembangkan kendaraan yang muter di kampus, rencananya tanpa awak,” pungkasnya. Dimas Candra Pradana Ahmad Ahsani Taqwiim FEATURE Fotografer: Khairul Ihwan


Parkiran Universitas Brawijaya, Misteri yang Sulit Dipecahkan 16 OPINI Penulis : Hoshi Amalia Az-zahra (Kontributor) Universitas Brawijaya, atau yang akrab disebut sebagai Unibraw atau kampus biru, memegang peranan penting dalam lanskap pendidikan Indonesia. Selain sebagai lembaga pembelajaran, Universitas Brawijaya telah menjadi pusat kegiatan akademik yang ramai dengan kehadiran mahasiswa, staf, dosen, dan pengunjung dari berbagai latar belakang. Keberadaannya bukan hanya mencerminkan prestise akademik, tetapi juga mencerminkan peranannya sebagai pilar dalam pengembangan masyarakat dan kawasan sekitarnya. Populasi mahasiswa yang terus bertambah dari tahun ke tahun, terutama dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap pendidikan tinggi, membuat Universitas Brawijaya menghadapi tantangan besar dalam mengelola mobilitas kendaraan di sekitar kampus. Di tahun 2023, rekor pencapaian baru dimana Universitas Brawijaya menerima 18.000 mahasiswa baru dari berbagai jalur masuk. Hal ini tentu memicu munculnya masalah yang semakin krusial dan belum teratasi dengan baik. Lantas apakah hal ini sudah dianggap biasa oleh pihak kampus? Masalah parkir menjadi sorotan utama, mengingat keterbatasan lahan dan peningkatan jumlah kendaraan yang harus diakomodasi setiap harinya. Fotografer: Khairul Ihwan


17 OPINI Respons negatif yang muncul dari kalangan mahasiswa turut mengkritisi hal ini. Dampak ini dirasakan langsung oleh salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang menggunakan mobil sebagai kendaraan utama. “Menurut aku pribadi itu ga efektif dan malah menyulitkan mahasiswa yang gabisa dan ga diizinkan buat naik motor dan harus naik gocar buat berangkat ke kampus. Jadinya itu boros banget. Apalagi di Malang pas cuacanya lagi nggak nentu itu, tiba-tiba hujan jadi nggak bisa berangkat ke kampus dan walaupun sudah dibuat aturan pembatasan itu juga nggak memengaruhi lahan parkir”, ungkapnya. Pro dan kontra terhadap kebijakan ini juga dirasakan oleh mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. “Jika dengan alasan minim parkiran ya saya memang setuju, tapi di beberapa fakultas terutama saya mahasiswa Fisip pun jika membawa motor parkir di fakultas lain karena di Fisip sangat penuh dengan kendaraan motor dan sangat masuk ke dalam. Tetapi jika melihat parkiran mobil di Fisip itu masih sangat-sangat luas untuk dapat parkir mobil. Mungkin dapat dipertimbangkan lagi terkait kebijakan tersebut, karena tidak ada kampus yang memberlakukan kebijakan penggunaan mobil terhadap mahasiswa”, ungkapnya. Situasi ini menggambarkan sebuah masalah sistemik yang perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak terkait. Peningkatan jumlah kendaraan yang tak sebanding dengan kapasitas lahan parkir yang terbatas telah menciptakan situasi yang tidak bisa diabaikan lagi. Akibat dari krusialnya masalah lahan parkir Universitas Brawijaya, terjadi dampak yang meresahkan bagi seluruh masyarakat kampus. Ribuan suara aspirasi mahasiswa sudah terdengar tidak asing di lingkungan kampus terkait hal ini. Mereka terus menerus mengeluhkan hal yang itu-itu saja. Dampaknya tidak hanya dirasakan secara langsung dalam bentuk kesulitan mencari tempat parkir, tetapi juga secara tidak langsung dalam bentuk gangguan terhadap kelancaran aktivitas akademik. Hal ini dirasakan langsung oleh Sabrina, salah satu mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis. “Belum ada tanggapan dari pihak kampus, masalah ini malah membuat mahasiswa jadi kesusahan, banyak yang parkir sembarang bahkan penuh di jalanan. Alhasil kadang jadi telat masuk kelas dan mau keluar masuk jadi susah juga”, ungkapnya. Universitas Brawijaya, di awal perkuliahan semester genap dikejutkan dengan membuat kebijakan prosedur terbatasnya akses penggunaan mobil di lingkungan kampus. Kebijakan ini menimbulkan berbagai respons dan perdebatan di kalangan mahasiswa. Upaya Universitas Brawijaya untuk berusaha menertibkan arus masuk dan keluar serta meminimalkan penggunaan kendaraan yang berujung mempersempit jalan utama kampus, terutama salah satu bentuk pihak kampus menanggapi masalah kurangnya lahan parkir.


Situasi ini menggambarkan sebuah masalah sistemik yang perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak terkait. Peningkatan jumlah kendaraan yang tak sebanding dengan kapasitas lahan parkir yang terbatas telah menciptakan situasi yang tidak bisa diabaikan lagi. Akibat dari krusialnya masalah lahan parkir Universitas Brawijaya, terjadi dampak yang meresahkan bagi seluruh masyarakat kampus. Ribuan suara aspirasi mahasiswa sudah terdengar tidak asing di lingkungan kampus terkait hal ini. Mereka terus menerus mengeluhkan hal yang itu-itu saja. Dampaknya tidak hanya dirasakan secara langsung dalam bentuk kesulitan mencari tempat parkir, tetapi juga secara tidak langsung dalam bentuk gangguan terhadap kelancaran aktivitas akademik. Hal ini dirasakan langsung oleh Sabrina, salah satu mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis. “Belum ada tanggapan dari pihak kampus, masalah ini malah membuat mahasiswa jadi kesusahan, banyak yang parkir sembarang bahkan penuh di jalanan. Alhasil kadang jadi telat masuk kelas dan mau keluar masuk jadi susah juga”, ungkapnya. Universitas Brawijaya, di awal perkuliahan semester genap dikejutkan dengan membuat kebijakan prosedur terbatasnya akses penggunaan mobil di lingkungan kampus. Kebijakan ini menimbulkan berbagai respons dan perdebatan di kalangan mahasiswa. 18 OPINI Fotografer: Khairul Ihwan


19 OPINI Sumber : Budosen.id Candi Sumberawan, Okupasi Perusahaan, dan Budaya Mutual Aid Negara adalah perusak sejati yang bekerjasama dengan iblis bernama Perusahaan. Dalam memori kolektif orang-orang Desa Toyomarto, pemerintah Indonesia tidak ada bedanya dengan pemerintah Israel yang memonopoli sumber air masyarakat Palestina. Kisah ini begitu panjang, tapi setidaknya kita dapat memahaminya dalam pelipatan sejarah yang padat. ... Pada mulanya mata air dan ritus-ritus kepercayaan, lalu dalam beberapa waktu terbangun lah Candi di sekitarnya, tumbuh peradaban yang semakin kompleks di sekitar candi itu, masyarakat memanfaatkan mata air sebagai sumber penghidupan dan candi sebagai penanda peradaban. Sebagaimana sabda Deleuze dan Guattari dalam Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia, sistem ekonomi kapitalis, selalu mensyaratkan perluasan teritorial usaha atau kerja atau produksi, di mana perluasan itu tak pernah ada batasannya. Ketiadaan batas ini dapat kita pahami dengan mudah, menggunakan asumsi religius bahwa manusia memiliki hawa nafsu yang tak terhingga dan keserakahan yang tidak ada duanya. Seperti yang anda duga, perusahaanperusahaan mulai memasuki dan menduduki mata air di Desa Toyomerto, lalu membuat klaim bahwa mata air itu miliknya, karena ia tidak dimiliki oleh siapa-siapa. Padahal masyarakat telah menggunakan mata air itu sejak lama, sejak kerajaan Majapahit masih eksis, lebih jauh yakni saat kepercayaan Kapitayan mulai berkembang di abad 8 Masehi. Keberadaan masyarakat di sekitar mata air, jauh lebih tua dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), bahkan jauh lebih tua dari buyut-buyut pendiri perusahaan tersebut. Penulis : M. Rafi Azzamy Fotografer: Asa Amirsyah


20 OPINI Betapa kurang ajarnya—atau dalam istilah orang jawa: Ngelamak!—orangorang di Perusahaan itu saat mereka dengan mudahnya mengklaim kepemilikan mata air masyarakat, kemudian dengan biadabnya justru masyarakat asli sana lah yang menjadi pekerjanya. Tapi sebelum melangkah lebih jauh, darimana datangnya kepemilikan ini? Sejak kapan manusia bisa memiliki sumber daya bumi seperti tanah dan air? Barangkali masalah kepemilikan ini dijelaskan oleh Karl Marx dalam suatu kerangka mutakhir yang ia sebut sebagai “Akumulasi Primitif”. Dalam konteks perampasan mata air masyarakat oleh PDAM, kita dapat memahami akumulasi primitif sebagai proses pemisahan manusia dari kondisi kerjanya, suatu kondisi terberi yang memungkinkannya bekerja (alam, ekosistem tempat tinggal, dll). Akumulasi primitif, secara umum bekerja dalam setidaknya 4 skema: 1) Separasi atau penyingkiran manusia dari kondisi kerjanya (insting alamiahnya dalam bertahan hidup dan berhubungan dengan alam); 2) Kapitalisasi berupa transformasi kondisi kerja menjadi kapital yang dirampas; 3) Proletarianisasi manusia yang bekerja untuk hidup menjadi manusia yang bekerja dalam relasi upahan (buruh); 4) Komodifikasi hasil kerja buruh menjadi barang yang tidak dikonsumsi langsung, melainkan diputar dalam suatu medan bernama ‘pasar’. Dalam kacamata ini, proses perampasan mata air di Toyomarto dapat dipahami sebagai proses separasi masyarakat dari sumber dayanya selama ini—melalui berbagai instrumen birokrasi dan surat kepemilikan. Kemudian mata air itu dijadikan aset sang perampas untuk dibangun, menjadi misalnya pipa-pipa perairan komersil. Masyarakat sekitar dapat mengakses mata air rampasan tersebut bukan sebagai pemilik, melainkan hanya menjadi pekerja upahan, dimana ia akan bekerja dan menghasilkan komoditas sebagaimana “permintaan” pasar, dan tentu hasil keuntungan penjualannya semakin memperkaya sang perampas mata air. Ini adalah skema jauh yang bisa diperkirakan saat PDAM berhasil merampas atau mengokupasi (merebut) keseluruhan mata air di Desa Toyomarto. “Perhutani Jancok!,” barangkali adalah ungkapan implisit masyarakat Desa Toyomarto saat makhluk biadab dan durjana bernama Perhutani tiba-tiba melakukan okupasi dan membangun loket berbayar di ritus mereka, Candi Sumberawan. Tanpa ada kontribusi sama sekali dalam perawatan candi sepanjang sejarah, Perhutani menjadi perampok yang mengambil keuntungan pariwisata candi sampai sebanyak 65%, dan nahasnya tindakan Perhutani ini mendapat justifikasi bahkan perlindungan dari Negara melalui undang-undangnya. Sejak tahun 2017 hingga hari ini, terhitung sudah tiga kali posko loket di Candi Sumberawan dirobohkan oleh warga. Selain karena keuntungan dari loket itu diambil oleh Perhutani, loket tersebut juga menarik uang dari masyarakat yang hendak melakukan ritual keagamaan.


21 OPINI Fotografer: Asa Amirsyah Alkindi Jika ada sebuah indikator rigid tentang kriteria manusia yang masuk neraka, dapat dijamin bahwa orang-orang Perhutani telah memenuhinya. Sekali lagi, keberadaan masyarakat di sekitar Candi Sumberawan sudah jauh lebih tua dari umur Perhutani yang masih muda itu, bahkan jauh lebih tua dari umur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bayangkan saja, saat Hayamwuruk datang ke Toyomarto di abad 16 lalu membangun candi di sekitar mata air, Soekarno belum jadi zigot, bahkan orang tuanya belum kawin. Tapi hari ini anak-cucu Sukarno beserta negara yang ia proklamasikan yang konon katanya merdeka itu, justru merampas mata air masyarakat, sudah kita tidak tidak tahu seberapa banyak dosa mereka. Adalah “Mutual Aid”, suatu bentuk inisiasi komunal yang dilakukan oleh masyarakat Toyomarto yang hidup bersama di sekitar Candi Sumberawan dan mendapat penghidupan dari mata air. Mereka membentuk kelompok tani, kolektif pengelola air, dan kelompok penghayat kepercayaan, untuk saling bergotong-royong. Dengan bentuk inisiasi komunal inilah masyarakat Toyomarto masih bisa bertahan dari arus globalisasi dan gelombang perampasan dari setan bernama PDAM serta Perhutani


Click to View FlipBook Version