The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

SETIAP PERKARA DINILAI BERDASARKAN NIAT(PDF)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by kamarul01335, 2022-12-02 08:15:40

SETIAP PERKARA DINILAI BERDASARKAN NIAT(PDF)

SETIAP PERKARA DINILAI BERDASARKAN NIAT(PDF)

SAINS TEKNOLOGI KEJURUTERAAN DALAM ISLAM

12/2/2022 SEGALA PERKARA
DINILAI
BERDASARKAN
NIAT

AHMAD FAHMAN BIN AHMAD
JUNAIDI (15DET20F1028)
MUHAMMAD KAMARUL HAFIZ BIN
ABU BAKAR (15DET20F1038)

1.0 PENGENALAN

1. Pengertian Niat

Secara bahasa, niat berasal dari bahasa Arab nawaa-yanwi-niyyatan (--). Di mana lafaz
ini mempunyai beberapa makna, di antaranya ialah al- qoshdu (suatu maksud/tujuan)
dan al-hifzhu (penjagaan). Sedangkan secara istilah, para ulama berbeza pendapat
dalam mendefinisikan niat. Kalangan al-Malikiyyah mendefinisikan niat sebagai suatu
tujuan dari suatu perbuatan yang hendak dilakukan oleh seorang manusia. Dan dengan
makna ini, maka niat muncul sebelum perbuatan itu sendiri. Imam al-Qarafi al-Maliki
(w. 684 H) menjelaskannya di dalam kitabnya adz-Dzakhirah:
‫هي قَ ْص ُد ال ِإ ْن َسا ِن ِبقَ ْل ِب ِه َما ُي ِري ُدهُ ِب ِف ْع ِل ِه‬

Niat adalah tujuan yang diinginkan oleh hati manusia melalui perbuatannya. Sedangkan
kalangan asy-Syafi'iyyah mendefinisikan niat sebagai suatu tujuan dari suatu muncul
bersamaan dengan perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana didefinisikan oleh imam al-
Jamal (w. 1204 H) dalam Hasyiah al-Jamal 'ala al-Manhaj:

‫َق ْص ُد ال َّ ي ْش ٍء ُم ْق َ َتَنا ِب ِف ْع ِل ِه‬

Tujuan untuk melakukan suatu perbuatan, yang bersamaan dengan perbuatan tersebut

2. Niat: Syarat Atau Rukun Ibadah?

Berdasarkan hakikat dan pengertian dari niat sebagaimana telah dijelaskan, para
ulama akhirnya berbeda pendapat, apakah niat merupakan syarat ibadah atau
rukun ibadah? Bagi para ulama yang berpendapat bahwa niat merupakan maksud
di hati yang muncul sebelum perbuatan yang dimaksudkan dilakukan, maka niat
dikatagorikan sebagai syarat. Sedangkan para ulama yang berpendapat bahwa niat
merupakan maksud hati yang mesti muncul bersamaan dengan perbutan yang
dimaksudkan, maka mereka mengkatagorikan niat sebagai rukun. Sebab,
sebagaimana telah diketahui dalam ilmu Ushul Fiqih, bahwa syarat dan rukun
merupakan suatu hal yang menjadi sebab sahnya suatu ibadah, namun masing-
masing berada pada posisi yang berbeda dalam ibadah tersebut. Jika sebab sahnya
ibadah tersebut dilakukan sebelum ritual ibadah dilakukan, seperti bersuci dari
hadats dengan berwudhu sebelum shalat, maka wudhu merupakan syarat sah
ibadah. Sedangkan jika sebab sahnya ibadah tersebut dilakukan dalam rangkain
ritual ibadah, seperti rukuk dan sujud dalam shalat, maka rukuk dan sujud
merupakan rukun shalat. Atas dasar inilah, para ulama berbeda pendapat tentang
posisi niat dalam suatu ibadah seperti shalat, puasa, haji, berwudhu, dan lainnya,
apakah menjadi syarat sah nya ibadah atau sebagai rukun.

Mazhab Pertama: Syarat sah ibadah Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali,
berpendapat bahwa kedudukan niat dalam ibadah adalah syarat sah, dan bukan
rukun. Sebab dalam pandangan mereka, niat itu harus sudah ada di dalam hati
sebelum suatu ibadah dilakukan. Dan apa-apa yang harus sudah ada sebelum
ibadah dilakukan, namanya syarat dan bukan rukun

Mazhab Kedua: Rukun ibadah. Mazhab Syafi'i dan Mazhab Maliki, berpendapat bahwa
niat adalah rukun ibadah. Karena niat bagi mereka merupakan tekad untuk
mengerjakan sesuatu yang beriringan dengan pengerjaannya. Artinya, niat itu dilakukan
bersamaan dengan perbuatan, bukan dikerjakan sebelumnya. Dan apa-apa yang sudah
masuk di dalam perbuatan, maka posisinya bukan syarat tetapi rukun.

Mazhab Ketiga: Syarat dan rukun sekaligus. Sebagaian ulama Hanbali sebagaimana
diriwayatkan oleh Abdul Qadir bin Umar asy-Syaibani (w. 1135 H) berpendapat bahwa
niat merupakan syarat dan rukun sekaligus. Dalam arti keberadaannya harus ada
sebelum shalat dan juga di dalam shalat.

3. Fungsi Niat

Untuk memahami fungsi niat dalam ibadah, maka perlu dipahami terlebih dahulu
bahwa perbuatan manusia setidaknya dapat dibedakan menjadi dua; ibadah dan
selain ibadah. Maksud dari perbuatan yang berbentuk ibadah adalah bahwa
perbuatan tersebut merupakan sebuah ritual ibadah yang memiliki ketentuan
khusus. Seperti shalat, yang di dalam ritualnya terdapat rukuk dan sujud.
Sedangkan maksud dari perbuatan selain ibadah adalah perbuatan manusia yang
tidak berbentuk ritual ibadah. Seperti makan, minum, berjalan, berlari, dan lainnya

Dalam suatu hadits, Nabi saw bersabda:

‫حُ َد َممْناسَيدَِانم َبُْیوع ِن ُىصإْتيَ ُفَبسََرمهُماْسانَأ ِوَعوآَيالا َْامنل َ َربألْ ٍِةتنل‬:‫عَإن َلَممرَىارواااْبلله َِألِنإهْعام َلاموَاَمرخاُُلَسالطِبواِاللحِِّنه َبيد َاثَوْرَِمِننتيْني ََأضوَبِآإ َاناوَنَلملاُْعه ِبتل َُكدِع ْهنِّال ُْلهجالََْهمقُرت ِا ُرمهَ ٍلِئل‬.‫جَِهٍرُ(ت)ص(ُ)ه ِ ُإ‬:‫َی ْن ِك ُِهح َصْهعجالَرُىَنتف ُِأهاه ِلِمإْْْلجلهََِتىُرتاعُالهللُِميإلَِْهلهؤ ِىَموَِونَْْمر ُاَنسسيل َهأوِِمال ي ََِْیهبجُ َقَ َفر ِِحوإهَْلُفلْْي‬
‫روأيب ن يوفالصححس ْي نيحيمهمسالالملبذین انل محنجأاجصبحنالمكتسلبم‬،‫االلبنيخاسرابيو‬.
‫القش ْتي‬ ‫بردزیة‬ ‫بن‬ ‫المغ ْتة‬ ‫بن‬ ‫إبراهيم‬
‫المصنفة‬

Daripada Amirul Mukminin Abu Hafsin 'Umar ibn al-Katthab r.a. beliau berkata: Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda:
Bahawa sesungguhnya setiap amalan itu bergantung kepada niat, dan bahawa
sesungguhnya bagi setiap orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya
menuju kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya.
Barangsiapa yang hijrahnya kerana dunia yang dia mahu mencari habuannya, atau
kerana seorang perempuan yang dia mahu kahwininya, maka hijrahnya ke arah
perkara yang ditujuinya itu. Hadis ini diriwayat oleh dua orang Imam Ahli Hadis;
Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Barzirbah al-
Bukhari dan Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairie al-Naisaburi
dalam kitab sahih mereka berdua yang merupakan antara kitab yang paling sahih
(Al-Imam al-Bukhari meriwayatkannya pada bahagian awal kitab sahihnya, juga
dalam Kitab Iman dan beberapa tempat lain dalam kitab sahihnya. Al-Imam Muslim
meriwayatkannya dalam Kitab al-Imarah Bab : ‫إنما الأعمال‬
)‫ بالنية‬ ‫ ) باب قوله‬hadis nombor 1908)

2.0 QAWAID FIQHIYYAH

Bacbjb

Pada dasarnya qawaid fiqhiyyah yang dibuat para ulama berpangkal dan menginduk

kepada lima qaidah asasiyyah (qawaid asasiyyah al-khamsah). Kelima qaidah pokok

ini melahirkan bermacam-macam qaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama

menyebut kelima qaidah asasiyyah ini dengan qawaid al-kubra.

Adapun qawaid asasiyyah tersebut adalah sebagai berikut:41

Qaidah pertama:
‫الأ ُمو ُُر بِمقاص ِدُ َها‬
Segala perkara tergantung

Qaidah kedua:
‫اليقين لا يزال بالشك‬
Keyakinan tidak dapat dihapuskan dengan keraguan.
Qaidah ketiga:
ُ‫ال َم َش َّق ُةُ تَ ْج ِل ُبُ التَّي ِسي َر‬
Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan.
Qaidah keempat:
‫ال َّض َرا ُُر يُ َزا ُُل‬
Kemudharatan (bahaya) itu wajib dihilangkan.
Qaidah kelima
‫ال َعادَةُُ ُم َح َّك َم ُة‬
Adat kebiasaan dijadikan hukum.
Adapun qaidah yang keenam, merupakan tambahan oleh Ibnu Nujaim adalah :
42 ‫لا ثواب إلا بالنيات‬
Tidak ada pahala kecuali dengan niat
Memperhatikan terhadap qaidah keenam di atas, maka menurut al-Suyuthi telah

masuk pada bagian cabang qaidah yang pertama. Karena tujuan itu sama dengan niat.

Kalau seseorang mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan keridhaan Allah atau untuk

ibadah, atau apapun saja yang baik karena Allah, maka akan mendapat pahala. Begitu

pula sebaliknya, kalau niat atau tujuannya untuk yang tidak baik, maka tidak mendapat

pahala.

‫الأ ُمو ُرُ بِ َُم َقُ ا ِ ُص ِدُ َها‬

Segala perkara tergantung kepada tujuannya.

1. Dasar Qaidah dari Al-Qur’an

a.ُQur’anُsurahُal-Bayyinah ayat 5 :
ُ‫أُ ِم ُروا ِإ َّلاُ ِل َي ْعبُدُوا ال ّل ّّ َُّ ُم ْخ ِل ِصي َُن َل ُهُ ال ِدّي َن‬
‫ُح َن َفاء‬ ‫َويُ ِقي ُموا ال َّصََلةَُ َويُ ْؤتُوا ال َّز َكاةَُ َوذَ ِل َكُ ِدي ُُن‬ ‫َو َما‬
ُ‫ا ْل َق ِّيُ َم ِة‬

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan

ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka

mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.

44

b.ُQur’an surah al-Baqarah ayat 225:

maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak
menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa
yang kamu perbuat.

d.ُQur’anُsurahُal-Nisa ayat 100:
‫الأَ ْر ِ ُض ُم َرا َغم ُا‬
‫َعلى ه ال ّلُ َو َكا َُن‬ ‫َو َر ُسو َِلو ِهَُم ثُن َّمُيُيَُهدْا ِِرج ْْكُرهُُفِا ْلي َم ْوَسبِ ُيتُ ِلُفَقَه ُْدال َوِّلُقَ ََيُع ِجأَدُْ ْجفُِرهي‬ ُ‫ال ّل‬ ‫ه‬ ‫إِ َلى‬ ُ‫ا‬ ‫ُم َها ِجر‬ ُ‫َب ْي ِت ِه‬ ‫ِمن‬ ُ‫يَ ْخ ُر ْج‬ ‫َو َمن‬ ‫َو َسعَ ُة‬ ‫ُا‬ ‫َك ِثير‬
‫ه ال ّلُ َغفُور اُ َّر ِحيم ُا‬

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini

tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya

dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,kemudian kematian

menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap

pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

e.ُQur’anُsurahُal-Nisa ayat 114:
ُ‫أَ ِفْوَُميِْإر َك ْثِص َضيَالَُر ُِتحُِّمهبَُنْيالََنُّن ُّْلجالَوفََنّاا َسُهِ ْ ْمُوسُ إِ ََلوُفاَمنُ َْمنؤ ِتْنُيَي ْفِهُأَ َع َأمَ ُْلَْرُجذَبِرِل ُا َُكَصداََع ْبَقتَِةُظ َغيأاَمْءاُو‬
ُ‫لا َخ ْي َر‬
ُ‫َم ْع ُروف‬

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan

dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau

mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian

karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang

besar.

f.ُQur’anُsurahُal-Ahzab ayat 5 :
‫ا ْد ُعو ُه ُْم ِل ِّبَا ِئ ِه ْمُ ُه َُو أَ ْق َس ُُط ِعنُدَ ال ِّل ّّ َُّ َُفإِن َلّ ْمُ تَ ْعلَ ُموا‬
‫َعلَ ْي ُك ُْم‬ ُ‫قَُلوُ َلوْيبُ ُكَسُْم‬ ‫فِي ال ِدّي ُِن َو َم َوا ِلي ُك ُْم‬ ‫ُج َنآا َباُحءفِ ُهي ُْمَما َفإِأَ ْْخخ َو َطاأنُْتُ ُكم ُْم‬
ُ‫َو َكا َن‬ ‫ِب ُِه َو َل ِكن َّما تَعَ َّمدَ ُْت‬
‫ال ّل ّّ َُّ َغفُور ُا َّر ِحيم ُا‬

Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak

mereka;

itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak

mereka,maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-

maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi

(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang.

1. Dasar Qaidah dari hadis Rasulullah SAW.

a. Hadis riwayat Muslim dari Umar bin Khattab r.a. Rasulullah bersabda:
ُ‫ ف َم ْن‬، ‫ َوإِنَّ َما ل ِا ْم ِر ُئ َما نَ َوى‬، ‫ِإ َنّ َما الأَ ْع َما ُُل ِبال ِنُّيَّا ُِت‬
ُُّ‫َِهو َْجر َر ُستُوُهُ ِل ِلُِهدُ ْنَف َيِهاُ ْجيُ َر ِتُصُهُيبُإِ َهَلاىأَ ِاُول ا ِّلْم ّ َّرأََة‬ َُّ ّّ ‫َكا َن ْتُ ِه ْج َرتُهُُ ِإلَى ال ِّل‬
‫ َو َم ُْن َكانَ ُْت‬، ُ‫َو َر ُسو ِل ِه‬
43 ‫َيتَ َز َّو ُج َها َف ِه ْج َرُ تُهُُ ِإ َلى َما َها َج َُر إِ َل ْيه‬

Bahwasanya setiap perbuatan (amal) tergantung kepada niatnya. Setiap orang

mendapatkan apa yang diniyatkannya. siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-

Nya, maka hijrahnya tersebut karena Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang berhijrah

karena ingin memperoleh harta dunia atau karenaperempuan yang akan dinikahinya,

maka hijrahnya tersebut karena hal tersebut.

3.0

MEMAHAMI KONSEP NIAT DALAM BERIBADAH

Manusia ialah hayawannathiq. Keistimewaan manusia ialah, ia dapat berpikir. Secara
anatomis, hewan pun memiliki otak. Sehingga bisa dikatakan hewan pun
berpikir.Namun hewan tidaklah nathiq, tidak berbicara.Sedangkan manusia dapat
berbicara. Kemampuan manusia berbahasa inilah yang menjadi bukti kongkret
bahwa manusia dapat berpikir analitis. Manusia mampu menyadari adanya dirinya
sekaligus menyadari apa yang ia lakukan. Sehingga, manusia mampu memperbaiki
kualitas hidupnya. Dan sehebat apapun manusia, manusia tidak akan mampu hidup
sendiri. Karena manusia adalah makhluk sosial. Manusia hidup bersama, bahu
membahu.Tapi, karena perbedaan, manusia akan sampai pada konflik. Jika tak ada
aturan hukum, kehidupan manusia akan kacau (chaos).
Hukum sebagai aturan ini pun takakan luput dari daya manusia yang suka bertanya
untuk mencari jawaban. Maka dari itu fiqih muncul sebagai rujukan dalam tatanan
kehidupan manusia sehari-hari yang bersinggungan dengan hukum. Yang
berdasarkan Al-quran, Assunah dan ijma ulama yang menjadi prodak Hukum Islam,
karena beragamnya ijtihat para ulama perlu kiranya adanya pengkajian tentang fiqih
perbandingan guna mempeluas wawasan dan hazanah keilmuan

A. Niat dalam Beribadah
Niat ialah bermaksud melakukan sesuatu (Wahbah, 1985:225). Niat dalam beribadah
difungsikan untuk membedakan antara satu ibadah dengan yang lain agar tidak
terjadi kerancuan. Sebab, terkadang terdapat suatu tindakan dimana hanya dapat
dibedakan dengan niatnya.
Dalam hukum Islam, niat mengambil porsi yang begitu besar. Dasar pijakan
hukumnya ialah firman Allah Swt. Sekaligus sabda Rasululloh Saw, yaitu:
) 5: ُّْ ‫اىج ُخ‬... ) ّ‫َوُ َبُّ أُُ ِشّ ُّوا ِإلا ا ِىُ عُ َّ ّْ ُجذُوا ا ال َّل َُّ ُخّ ّْيِ ِ ُص ىَهُُ اى ُِذ‬
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas mentaatiNya
semata-mata karena (menjalankan) agama” (Q.S. Al-Bayyinah:5) (Al-Qur‟an dan
Terjemahnya, 2005:303)
ُُ‫زفق عي ه‬... ) ‫(إُِ ا ب ال ْعُ ب ُهُ ثِبى اب ِرىَُإِ اُّ َب َُّ ىِنُ ِّوُ ا ْشّ ِّ ُئ َبُّ َّى َّي‬
“Setiap tindakan tergantung dari niatnya dan setiap orang mendapat hasil sesuai
tujuannya”
Berdasarkan ayat dan hadits tersebut di atas, para fuqoha‟ memiliki kesimpulan yang
berbeda-beda. Perbedaan tersebut dibandang dari banyak sisi dan berbeda-beda tiap
babnya. Seperti niat wudhu‟, disebutkan oleh Ibnu Rusyid bahwa sebab perbedaan
pendapat tersebut ialah ambiguitas niat sebagai ma‟qulah al-ma‟na atau ghair
ma‟qulah al-ma‟na (Muhammad, 1995:30).

B Niat ialah bermaksud melakukan sesuatu. Niat dalam beribadah difungsikan untuk
membedakan antara satu ibadah dengan yang lain agar tidak terjadi kerancuan

4.0 KAEDAH FIQH (Setiap Perkara Dinilai Berdasarkan Tujuan Atau Niat
(‫) الأمور بمقاصدها‬
Setiap Perkara Dinilai Berdasarkan Tujuan Atau Niat (‫) بمقاصدها الأمور‬
Niat merupakan perkara yang sangat penting dalam Islam yang menentukan halatuju bagi
tindakan dan perbuatan seseorang (Muhammad Mushfique, 2016). Hal ini dinyatakan
dalam hadis Riwayat Muslim daripada Abu Hurairah RA bahawa Nabi Muhammad SAW
bersabda:

‫إن الله لا ينظر إلى ُصو ُرك ْم َوَأ ْه َواِل ُك ْم َوَل ِك ْن َي ْن ُظ ُر ِإ َلى ُق ُلو ِب ُك ْم َوَأ ْع َماِل ُكم‬
Maksudnya: “Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada rupa dan harta kamu. Akan
tetapi Allah SWT melihat kepada hati dan amalan kamu”. [Riwayat Muslim (2564)]

‫انما الأعمال بالنيات وانما لكل امرء ما نوى‬
Maksudnya: “Sesungguhnya setiap amalan itu bergantung kepada niat, dan sesungguhnya
kedudukan bagi amalan tersebut adalah tertakluk kepada apa yang diniatkan".
[Riwayat al-Bukhari (1)]

Kaedah ini menjelaskan bahawa setiap perkara diambil kira berdasarkan niatnya (Mohd
Fauzi & Mohd Sobri, 2010; Mohd Azli et. al. 2020). Maksud sesuatu lafaz atau perbuatan
seseorang mukmin adalah tergantung pada niat individu tersebut yang mana niat itu juga
yang akan menentukan ganjaran yang diterima disisi Allah SWT. Amalan seseorang diterima
Allah atau tidak bergantung kepada niatnya. Hukum-hukum syarak dalam perkara dan
urusan manusia akan terbentuk berdasarkan tujuan atau niat disebaliknya. Sehinggakan
ulama’ fiqh mempunyai pandangan yang sama bahawa sesuatu perbuatan yang tidak dapat
dilaksanakan selepas berniat melakukannya disebabkan oleh suatu kesukaran (masyaqqah)
yang mendatang tetap diberi ganjaran disisi Allah.
Terdapat 4 kaedah pecahan daripada kaedah asas ‫ بمقاصدها الأمور‬iaitu:

Kaedah 1: Sesuatu lafaz berdasarkan niat orang yang melafazkannya

Kaedah ini bermaksud sesuatu niat itu perlu ditentukan oleh orang yang melafazkan kata
tersebut bagi mengelakkan kekeliruan atau kesamaran semasa memahaminya terutamanya
bagi perkataan-perkataan atau lafaz-lafaz yang mempunyai pelbagai maksud dari segi
bahasa, syarak atau adat penggunaannya.
Contohnya: Seorang suami yang melafazkan perkataan talak berulang kali semasa
menceraikan isterinya yang mempunyai masalah pendengaran. Maka, si suami tersebut
perlu menjelaskan tujuan beliau mengulang lafaz talak tersebut sama ada bermaksud

menambah bilangan talak atau untuk menjelaskan kehendaknya menceraikan isterinya
yang pekak tersebut.

Kaedah 2: Niat seseorang dalam sumpah dapat mengkhususkan lafaz umum/ lafaz am
tetapi tidak mengumumkan lafaz khusus/ lafaz khas
Kaedah ini bermaksud lafaz yang umum boleh dikhususkan oleh orang yang melafazkan
atau penutur tersebut merujuk kepada niatnya semasa bersumpah.
Contohnya: Sumpah yang dilakukan oleh seorang individu yang mengatakan “Demi Allah,
aku tidak akan bercakap dengan seseorang”. ‘Seseorang’ yang dimaksudkan oleh individu
tersebut adalah merujuk kepada individu tertentu iaitu hanya kepada Hassan. Maka,
sumpah tersebut hanya berlaku pada Hassan sahaja dan tidak melibatkan orang lain.

Kaedah 3: Amalan fardhu tidak terlaksana dengan niat sunat
Kaedah ini bermaksud sesuatu amalan yang wajib (fardhu) tidak sah sekiranya dilakukan
dengan niat amalan sunat (melainkan dalam beberapa amalan tertentu yang dipersetujui
ulama).
Contohnya: Individu yang ingin melakukan solat fardhu subuh mesti ditunaikan dengan
lafaz niat solat fardhu subuh dan tidak sah solat subuh seseorang yang berniat solat sunat
qabliah.

Kaedah 4: Amalan yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan namun sekiranya dijelaskan dan
sekiranya tersalah akan menyebabkan amalan tersebut terbatal.
Contohnya: Seseorang yang berniat solat berimamkan Luqman namun kemudiannya
menyedari bahawa individu yang diikuti bukan Luqman maka tidak sah solat individu
tersebut.

3.0 KESIMPULAN
(HUBUNGAN ANTARA NIAT DAN TINGKAH LAKU DALAM TEORI TINGKAH LAKU
TERANCANG)

Hubungan Antara Niat dan Tingkah Laku Menurut TPB

Theory of Planned Behavior (TPB) yang dikembangkan oleh Ajzen (1985) merupakan
kerangka berfikir konseptual yang bertujuan untuk menjelaskan faktor yang menentukan
tingkah laku tertentu dengan lebih sempurna. Perhatian utama TPB adalah pada niat
seseorang yang merupakan kesediaan dan petunjuk tahap kesanggupan seseorang yang
berusaha untuk melakukan sesuatu. Teori ini telah menetapkan tiga faktor yang
mempengaruhi niat dalam bertingkah laku:
1) Sikap terhadap tingkah laku tertentu (attitude toward behaviour; ATB)

2) Norma subjektif (subjective norm; SN)

3) Persepsi terhadap kawalan tingkah laku (perceived behavior control; PBC)

Rajah 1: Theory of Planned Behaviour, TPB

Rajah 1 menerangkan secara ringkas mengenai TPB. Tingkah laku terhasil disebabkan oleh
dorongan niat, manakala niat pula dipengaruhi oleh tiga faktor iaitu ATB, SN dan PBC.
Menurut TPB, terdapat empat perkara yang menunjukkan kepentingan niat dalam
membentuk tingkah laku iaitu: (1) Niat dianggap sebagai perantara faktor-faktor pendorong
yang mempunyai kesan yang ketara pada suatu tingkah laku. (2) Niat menunjukkan tahap
kekuatan

seseorang untuk berani bertingkah laku, semakin kuat niat seseorang untuk melakukan
sesuatu, maka akan semakin kuat juga kemungkinan tingkah laku tersebut dilakukan. (3)
Niat juga menunjukkan tahap usaha seseorang yang dirancang untuk bertingkah laku. (4)
Niat adalah faktor yang paling hampir yang berhubungan dengan tingkah laku selanjutnya.

TPB mengemukakan bahawa tingkah laku itu merupakan fungsi daripada maklumat penting
atau keyakinan penting yang relevan dengan tingkah laku tersebut. Keyakinan itu pula
dikategorikan kepada tiga iaitu yang pertama, keyakinan tingkah laku (behavioral beliefs)
dianggap mempengaruhi sikap terhadap tingkah laku (ATB). Kedua, keyakinan normatif
(normative beliefs) sebagai penentu norma subjektif (SN). Dan yang ketiga, keyakinan

control (control beliefs) yang menjadi asas bagi persepsi terhadap kawalan tingkah laku
(PBC). Gambarannya secara ringkas adalah seperti yang ditunjukkan dalam rajah 2 berikut:

Rajah 2.: Kategori Keyakinan Yang Mempengaruhi Tingkah Laku
Oleh yang demikian, dapat disimpulkan bahawa intention menurut TPB mempunyai
perspektifnya yang tersendiri. Ia menekankan rasional tingkah laku manusia dan juga
kepercayaan bahawa sasaran perubahan tingkah laku berada di bawah kendali
kesedaran individu. Oleh sebab itu ia banyak digunakan oleh para pengkaji dalam
bidang pemasaran dan kepenggunaan untuk mengkaji faktor yang mempengaruhi niat
bertingkah laku pengguna dalam memilih produk atau perkhidmatan yang ditawarkan.

Hubungan Antara Niat dan Tingkah Laku Menurut Perspektif Islam
Menurut Al-Ghazaliy (2000), niat merupakan pendorong atau pemotivasi pertama
untuk bertingkah laku dengan membangkitkan kekuatan untuk berkehendak yang
seterusnya menggerakkan anggota badan bertingkah laku. Secara terminologi, menurut
para ulama seperti Al-Munawiy (1972), Al-Suyuthiy (1995), Ibn Hajar (1997) dan Al-
Zuhailiy (2007), niat mempunyai pengertian (‫) الله لوجه ابتغاء ال ّ يشء قصد‬, ertinya: (bertekad
dan bermaksud dengan sengaja terhadap sesuatu mengharapkan keredhaan Allah).
Kesimpulannya, definisi niat dalam Islam adalah merupakan suatu keazaman serta
dorongan hati untuk melakukan sesuatu dengan sengaja, bertujuan untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT semata-mata serta memperoleh reda dan ganjaran daripada-Nya
tanpa mencampurinya dengan tujuan lain atau mengharapkan pujian manusia.
Hubungan antara niat dan tingkah laku menurut perspektif Islam pula telah ditegaskan
dalam al-Quran, Sunah Nabi SAW dan Ijmak Ulama. Niat yang ikhlas semata-mata
beroleh reda Allah

SWT dalam segala amalan (tingkah laku) menjadi asas penerimaan amal tersebut.
Antara ayat al-Quran yang menyatakan kepentingan niat adalah:
Pada hal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah dengan
mengikhlaskan ibadat kepada-Nya, lagi tetap teguh di atas tauhid dan supaya mereka
mendirikan sembahyang serta memberi zakat, dan yang demikian itulah Agama yang
benar. (Surah al-Bayyinah: 5)

Menurut Ibn al-Najjar (1993) dalam menghuraikan ayat tersebut, keikhlasan tidak akan
tercapai melainkan dengan niat dan tekad melakukannya semata-mata mahu beroleh
reda Allah SWT. Menurut perspektif Islam, keimanan serta akidah merupakan asas
utama yang melandasi seluruh ucapan serta tingkah laku manusia, ia juga yang akan
menentukan sama ada sah atau tidak sah, diterima atau ditolak dan kelayakan
mendapat pahala atau tidak sesuatu tingkah laku yang dihasilkan itu.

Kepentingan niat juga telah ditegaskan oleh Nabi SAW melalui sebuah hadis:

Setiap tingkah laku (dinilai) hanya dengan apa yang diniatkan, dan setiap orang hanya
akan mendapatkan apa yang telah dia niatkan, maka barang siapa yang hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya adalah untuk Allah dan Rasul-Nya, dan
barang siapa yang hijrahnya kerana dunia yang hendak dia raih atau kerana wanita yang
hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya. (Dikeluarkan
oleh al-Bukhariy: 1)

Al-Nawawiy (2000) menghuraikan hbaadhiassianiddaennaghalni umsuelm, leatfaikzp(‫ا‬e‫ َم‬n‫ِإ َن‬d)adpaaltammahjaodriitsi para
ulama yang berkata: Menurut ahli tersebut

digunakan bagi memberi makna membatasi, iaitu dengan menetapkan sesuatu yang

disebutkan sahaja serta menafikan selainnya. Oleh itu, hadis ini memaksudkan bahawa

tingkah laku seseorang hanya akan dinilai (diperhitungkan) berdasarkan apa yang

diniatkannya sahaja. Bahkan, sesuatu amalan itu juga tidak akan dihisab apabila ia tidak

disertai niat bagi mendapatkan reda Allah SWT. Firman Allah SWT:

Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku dan ibadatku, hidupku dan matiku, hanyalah
untuk Allah Tuhan yang memelihara dan mentadbirkan sekalian alam. (Surah al-An’am:
6)

Kepentingan niat dalam bertingkah laku juga telah menjadi ijmak para ulama. Menurut
Abdullah Qasim al-Wasyli (2009), para ulama bersepakat bahawa segala perbuatan dan
tingkah laku orang bukan Islam adalah tidak sah, tidak benar serta tidak diterima di sisi
Allah SWT. Ia berdasarkan firman Allah SWT:

Bandingan (segala kebaikan amal dan usaha) orang-orang yang kufur ingkar terhadap
Tuhannya ialah seperti abu yang diterbangkan angin pada hari ribut yang kencang;
mereka tidak memperoleh sesuatu faedah pun dari apa yang mereka telah usahakan
itu. Sia-sianya amalan itu ialah kesan kesesatan yang jauh dari dasar kebenaran. (Surah
Ibrahim: 18)

Selain itu, menurut perspektif Islam semua perkara dalam Islam termasuk niat dalam
bertingkah laku mesti berdasarkan panduan yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-
Nya

(hukum syarak). Sungguhpun jika tingkah laku seseorang itu hanya untuk mencari reda
Allah SWT, akan tetapi sekiranya tingkah laku tersebut bercanggah dengan hukum
syarak maka ianya juga ditolak malah dianggap berdosa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
SAW dalam sebuah hadis:

Aku telah tinggalkan untuk kamu semua dua perkara. Kamu semua tidak akan sesat
selama berpegang kepada keduanya. (Iaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya
(Dikeluarkan oleh Malik: 1707)

Hadis ini jelas menunjukkan bahawa berpegang dengan al-Quran dan al-Sunah yang
merupakan sumber kepada hukum syarak adalah jaminan terhindar dari kesalahan
serta kesesatan. Segala yang dihasilkan oleh orang Islam sama ada dalam bentuk niat di
hati sanubari atau dalam bentuk tingkah laku, kedua-duanya mesti selari dengan hukum
syarak serta bersesuaian dengan kehendak Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Di samping itu, tatacara berniat juga perlu terikat dengan hukum syarak bagi
mengesahkan sesuatu niat serta mengesahkan juga tingkah laku yang hendak
ditampilkan kerana pengesahan sesuatu tingkah laku itu bergantung kepada
pengesahan berniat. Niat dalam Islam mengandungi beberapa parameter penting
seperti tempat berniat, masa berniat, cara berniat, syarat berniat, jenis niat dan tahap
niat.

Jelas bahawa, elemen atau parameter niat dalam Islam adalah lebih terperinci
berbanding elemen-elemen intention seperti yang dinyatakan dalam TPB. Intention
menurut TPB tidak menjelaskan apakah hakikat niat secara khusus manakala prosesnya
sama ada dari sudut masa, cara, syarat, jenis dan tahap juga adalah terlalu ringkas tidak
seperti konsep niat menurut perspektif Islam. Tuntasnya, hukum syarak menjadi
penentu segala tingkah laku yang ingin dihasilkan, bahkan hukum syarak juga perlu
menjadi kayu ukur seluruh proses berniat sehingga terhasilnya tingkah laku tertentu
sama ada ianya diterima atau tidak.

Kesimpulannya, menurut perspektif Islam niat dan tingkah laku mempunyai hubungan
yang amat signifikan sama seperti TPB. Namun terdapat perbezaan antara perspektif
TPB dan perspektif Islam seperti yang akan dibincangkan dalam perenggan berikut.

Analisis Hubungan Antara Niat Dan Tingkah Laku Dalam Tpb Menurut Perspektif Islam

Setelah membahaskan hubungan antara niat dan tingkah laku menurut TPB dan
menurut perspektif Islam. Kertas kerja ini seterusnya menganalisis hubungan antara
niat dan tingkah laku dalam TPB menurut perspektif Islam.

Menurut perspektif Islam, sesuatu tingkah laku itu hanya diterima sebagai ibadat jika
sekiranya ia memenuhi dua syarat utama, iaitu yang pertama niat yang tulus ikhlas
semata-mata kerana Allah SWT dan kedua menepati kehendak-Nya (hukum syarak)
serta berdasarkan konsep dan tatacara berniat dalam Islam. Dua syarat ini berasaskan
firman-Nya:

Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Tuhan yang Maha Esa, barangsiapa yang
mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah dia beramal ibadah
dengan amalan yang soleh dan tidak menyekutukan Robbnya dalam amal ibadahnya
dengan suatu apapun. (Surah Al-Kahfi: 110)

Ibnu Kathir (2001) dalam menghuraikan ayat: “Maka hendaklah dia mengerjakan amal
yang soleh”; Menyatakan, maksudnya adalah mematuhi kehendak Allah SWT dengan
mengikuti petunjuk Nabi SAW. Dan “tidak menyekutukan seorangpun dalam beribadah

kepada Tuhannya”; Maksudnya selalu mengharapkan keredaan Allah semata dan tidak
berbuat syirik pada-Nya.
Ayat tersebut menyimpulkan bahawa terdapat dua perkara yang menjadi syarat sama
ada sesuatu tingkah laku itu diterima atau tidak diterima sebagai ibadah. Dua syarat
tersebut adalah: Pertama, ikhlas semata-mata kerana mengharapkan reda Allah SWT.
Amal ibadat hanya akan dinilai dan beroleh ganjaran sekiranya dilaksanakan dengan
niat untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, bukan kerana pandangan
manusia atau untuk menunjuk-nunjuk kebaikan yang dilakukan (riyak). Kedua,
menepati hukum syarak serta tatacara berniat menurut perspektif Islam.
Ketiga-tiga faktor iaitu ATB, SN dan PBC yang mempengaruhi niat menurut TRA dan
TPB, perlu mestilah menjadi asas kepada faktor pembetukkan niat. Keyakinan
bertingkah laku mesti dipastikan agar berpaksikan untuk beroleh reda Allah SWT
semata-mata.
ATB tidak boleh berpaksikan penilaian individu, sikap orang Islam terhadap segala
perintah Allah SWT tidak dapat tidak mesti menyukai apa yang diperintahkan biarpun
ianya bertentangan dengan pandangan peribadinya. Begitu juga dengan SN, perlu
segera dihilangkan dorongan-dorongan yang berpunca daripada pihak selain Allah SWT
agar niat serta tingkah laku yang ditampilkan ikhlas semata-mata kerana Allah SWT.
Seterusnya hal yang sama juga berkenaan dengan PBC, biar apapun persepsi seseorang
itu terhadap sesuatu tingkah laku sama ada susah atau senang, ianya tetap perlu
dilaksanakan sekiranya ia perintah yang wajib serta perlu ditinggalkan sekiranya ia
haram, ke arah memperoleh reda Allah SWT.

Rajah 3: Reda Allah Sebagai Asas Keyakinan yang Mempengaruhi
Niat Bertingkah Laku
Rajah 3 menjelaskan rumusan penilaian semula terhadap TRA dan TPB, Analisis kertas
kerja ini menilai semula bahawa bahawa reda Allah SWT perlu dijadikan perkara yang
menjadi asas kepada pembentukan ATB, SN dan PBC sebelum seseorang itu
menampilkan niat untuk bertingkah laku.
Elemen kedua yang menghubungkan antara niat dan tingkah laku menurut perspektif
Islam adalah hukum syarak. Hal ini menegaskan bahawa, semua perkara yang dihasilkan
oleh orang Islam sama ada dalam bentuk niat di hati sanubarinya atau dalam bentuk
tingkah lakunya, mesti selari dengan hukum syarak dan bersesuaian dengan kehendak
Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Oleh sebab itu, walaupun sekiranya niat seseorang itu betul serta ikhlas semata-mata
beroleh reda Allah SWT, namun tingkah laku yang ditampilkan tidak betul serta tidak
memenuhi kehendak hukum syarak maka Islam tidak menerimanya. Begitu juga
sebaliknya, jika niat seseorang itu tidak betul manakala tingkah lakunya betul, maka hal
yang demikian juga tidak diterima dalam Islam. Apatah lagi jika kedua-duanya sekali
tidak betul, niat bukan kerana Allah SWT dan tingkah laku tidak memenuhi hukum
syarak.
Kesimpulannya, keabsahan tingkah laku memerlukan kepada keabsahan niat, manakala
keabsahan niat pula memerlukan kepada keabsahan tingkah laku.

Jadual 1: Ringkasan hubungan antara niat dan tingkah laku yang sah menurut perspektif
Islam

Jadual 1 menyimpulkan perbahasan ini secara ringkas, item dalam kolum niat dan kolum
tingkah laku yang bertanda (√) menunjukkan ianya betul dan tepat menurut hukum syarak
manakala tanda (Ⅹ) menunjukkan bahawa ianya salah dan tidak menepati hukum syarak.
Dalam kolum status, tanda (√) memberi isyarat bahawa ianya sah dan diterima manakala
tanda (Ⅹ) membawa maksud ianya tidak sah dan tidak diterima menurut perspektif Islam.

Kesimpulan
Kertas kerja ini mempunyai dua tujuan. Pertama, mengenal pasti hubungan antara niat dan
tingkah laku menurut TPB. Kedua, menganalisis ketepatannya menurut perspektif Islam.
Hasil kerta kerja ini mendapati serta merumuskan bahawa hubungan antara niat dan
tingkah laku menurut TPB berbeza bahkan tidak bertepatan menurut perspektif Islam. Asas
kepada teori ini tidak mengambil kira sama ada ia bertepatan dengan kehendak al-Quran
dan al-Sunah ataupun tidak.
Niat bertingkah laku seseorang itu mestilah mengambil kira dua elemen penting iaitu reda
Allah SWT dan hukum syarak agar ia bertepatan menurut perspektif Islam. Oleh yang
demikian, kajian berkaitan niat bertingkah laku khususnya berkaitan orang Islam dalam
melaksanakan hukum hakam Islam yang menggunakan TPB haruslah mengambil kira kedua-
dua elemen tersebut.

6.0 RUJUKAN

Asyqar, U. S. (2006). Fiqih niat. Gema Insani.

Isnan Ansory, L. Fiqih Niat (Vol. 389). Lentera Islam.

binti Abd Halim, A. H., binti Mohamad, N., & bin Mahzir, M. N. (2021). KAEDAH FIQH.

Najib, S. H. A. HUBUNGAN ANTARA NIAT DAN TINGKAH LAKU DALAM TEORI TINGKAH LAKU
TERANCANG (THEORY OF PLANNED BEHAVIOUR: TPB): ANALISIS MENURUT PERSPEKTIF
ISLAM.

Kahfi, S. (2019). MEMAHAMI KONSEP NIAT DALAM BERIBADAH HINGGA ISTITHA’AH
HAJI DALAM STUDI FIQH. Tadris: Jurnal Penelitian dan Pemikiran Pendidikan Islam, 13(2),
11-21.

Azhari, F. (2015). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah.

7.0 LAMPIRAN


Click to View FlipBook Version