SEPULUH MATERI
ULUMUL QUR’AN LENGKAP
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Pada Mata Kuliah Penggunaan IT Dalam Penafsiran Semester 3
Dosen Pembimbing : Amril Ahmad, MA
Disusun Oleh :
Dodik Nurul Yaman
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT PERGURUAN TINGGI AL-QUR’AN JAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2020-2021
DAFTAR ISI
BAGIAN 1 MUHKAM DAN MUTASYABIH
BAGIAN 2 AM DAN KHAS
BAGIAN 3 MUTHLAQ DAN MUKAYYAD
BAGIAN 4 MANTHUQ DAN MAFHUM
BAGIAN 5 MUBHAMAT DAN GHARIB
BAGIAN 6 MUSYKIL, MUHIM AL-IKHTILAF DAN TANAQUDH
BAGIAN 7 WUJUH AL – MUKHATABAH
BAGIAN 8 HAKIKAT DAN MAJAZ
BAGIAN 9 WUJUH WAN NAZHAIR (ISYTIRAK LAFZHY)
BAGIAN 10 AT-TARADUF FII AL-QUR’AN
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga tugas pada mata kuliah
Ulumul Qur’an yang membahas tentang “Lima Materi Ulumul Qur’an Lengkap” ini bisa selesai
dengan baik walupun masih banyak kekurangan didalamnya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga tugas ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga tugas ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa tugas ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami
sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya tugas
selanjutnya yang lebih baik lagi.
Pamulang, 18 November 2020
Penulis
BAGIAN 1 MUHKAM DAN MUTASYABIH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menurunkan al-Qur’an kepada hamba-Nya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi
semesta alam. Melalui ayat-ayat yang keterangannya tegas dan ciri-cirinya jelas, Allah
menetapkan bagi umat manusia pokok-pokok agama untuk menyelamatkan akidah mereka dan
menerangkan jalan lurus yang harus mereka tempuh.
Berdasarkan hal tersebut, al-Qur’an memuat apa yang dibutuhkan dalam seluruh aspek
kehidupan manusia, baik dalam urusan dunia maupun akhirat yang tujuan utamanya adalah
sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. Meski
demikian, tidak semua ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an langsung dapat dipahami oleh
manusia atau muhkam yaitu hanya mempunyai makna tunggal saja, melainkan ada pula yang
mutasyabih, dimana untuk dapat mengetahui maksud penurunannya, ayat-ayatnya perlu
ditakwilkan.
Untuk memahami hal tersebut, maka terlebih dahulu kita harus memahami apa itu
muhkam dan mutasyabih, kemudian bagaimana kriteria dan pembagian ayat-ayat muhkamat dan
mutasyabihat, serta bagaimana pendapat para ulama dalam menyikapinya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Muhkam dan Mutasyabihat?
2. Bagaiman ciri-ciri ayat Muhkam dan ayat Mutasyabihat didalam Al-Qur’an?
3. Jelaskan mengenai Mutasyabihat Lafdzi!
4. Sebutkan contoh ayat Muhkam dan Mutasyabihat!
5. Apa urgensi mempelajari Mutasyabih Lafdzi?
C. Tujuan
1. Mengetahui makna dari Muhkam dan Mutasyabih.
2. Mengetahui ciri-ciri dari ayat muhkam dan ayat mutasyabihat.
3. Mengetahui tenatng Mutasyabihat Lafdzi.
4. Mengetahui contoh ayat Muhkam dan ayat Mutasyabih.
5. Mengetahui urgensi mempelajari Muhkam dan Mutasyabih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Muhkam dan Mutasyabih
Muhkam dan Mutasyabbih adalah dua istilah yang saling bergandengan dan tidak bisa
dipisahkan antara keduanya.
Secara etimologi, muhkam adalah bahasa Arab dari akar kata ‘hakamtu ad-dabbah’ yang
artinya saya menahan binatang itu. Selanjutnya, jika dikatakan ‘hakamtu ad-dabbah wa
ahkamtuha’ maka artinya saya menahan binatang itu dan memasanginya hikmah, yaitu kendali
yang dipasang di leher binatang untuk mencegahnya supaya tidak lari. Dari sini muhkam bisa
berarti sesuatu yang dikokohkan, sesuatu yang jelas, dan pembeda antara yang hak dan yang
batil.
Sedangkan mutasyabbih berasal dari kata ‘tasyabbaha – yatasyabbahu –
tasyabbuhan’, yang artinya sesuatu yang menyerupai/mirip dengan sesuatu yang lain, atau bisa
juga diartikan sesuatu yang samar.[1]
B. Ciri-ciri Muhkam dan Mutasyabih beserta Contohnya
Ciri-ciri ayat muhkam adalah tetib dan susunan ayat-ayat Al-Qur’an itu rapi dan urut,
serta maknanya mudah dicerna akal pikiran karena artinya tidak samar, sehingga mudah
dipahami artinya oleh umat. Hal ini seperti keterangan pada ayat 1 surah Hud yang
artinya: “Suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi.”
Berikut adalah contoh dari ayat yang muhkam: َّيَ ََّا ََّي اعبَََّّّد
َ ََّه ََّاَّ ََّوّاَس
َّكََّّمَّ خل ََّق وال ََّ َََّّ ّمَن َب ََّل ك ََّم َّل ََّعّلَ ك ََّم ّتَّتَق َو َن
ََّال ََّ َََّّ ََّّكَم ََّذَّ َّي الن ََّ ََّا
ََّذيَّ َّن
ََّ ََّ رب
“Hai manusia, sembahlah tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu,
agar kamu bertakwa”. (Al-Baqarah: 21)
Ciri-ciri ayat Mutasyabih yaitu adanya kesamaran pada makna, kesamaran pada lafal dan
kesamaran pada lafal dan makna.
Berikut ini contoh ayat-ayat yang mutasyabbih:
“Dan buah-buahan serta rumput-rumputan.” (Q.S. Abasa ayat 31) وف ََّاَّّكََّوا ََّبَّا
ََّ ََّهة
Lafal َأ بpada ayat tersebut mutasyabih karena jarangnya digunakan, sehingga asing.
Kata أ َبdiartikan rumput-rumputan berdasarkan pemahaman dari ayat berikutnya:
َمت ََّا كََّّم َََّّّنَّعّاَم َّّكَّم
“Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu” (Q.S. Abasa ayat 32) َاعَّ َّل وََّّل
C. Mutasyabih Lafdzi
Mutasyâbih al-lafdzi atau disebut juga dengan kalimat identik dalam al-Qur’an banyak
sekali kita dapati.[2] Adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an secara rinci adalah
disebabkan oleh tiga hal yaitu: karena kesamaran pada lafal, pada makna, dan pada lafal dan
maknanya.
1. Kesamaran pada lafal
Sebab kesamaran pada lafal ini ada dua macam, sebagai berikut.
2. Kesamaran dalam lafal mufrad
Kesamaran dalam lafal mufrad (lafal yang belum tersusun dalam kalimat) maksudnya
yaitu terdapat lafal-lafal mufrad yang artinya tidak jelas, baik disebabkan lafalnya yang
gharib (asing), atau musytarak (bermakna ganda).
D. Contoh-contoh Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Para ulama menyebut contoh muhkam didalam AL-Qur’an diantaranya adalah ayat-
ayat nasikh, serta ayat-ayat yang menyebutkan tentang halal, haram, hudud, kewajiban-
kewajiban, janji dan ancaman. Dan contoh ayat mutasyabih didalam Al-Qur’an adalah ayat-
ayat mansukh, serta ayat-ayat yang berbicara tentang hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah.[3]
1. Ayat muhkam tentang janji Allah
َّح وسب ّحَّمَد ك رب ََّلَّعش ّيَ واَّ َََّّ َََّلَّ َّبَ َّ ََّكار
ََّ ا ََّ ََّ ََّ ََّنّبَك َّحق
ََََّّ ّذ واست
ََّ َََّّ ََََّّّ ََّغ
ف ََّا ّصَ ّبَرَّ و ّعَ ََََّّّلا ّفََ َّ ََّر
َّاَن د
Artinya : Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah
ampun untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.
2. Ayat muhkam tentang kehalalan
ََّّ ََّنَّ د ّوَ مَّب ّيَ َّن ََّ َّ ّحََّلََّ ََّلَّ َََّّ عَََّّّوا َّ وتَّال َّى ََّ يَ ََّا ََّي ََّ ّسَكلَّوا
َّطّيَّبَاَّض َ ََّ ّتَب خط ّيَ ا ََّن ََّ ََََّّّهَّ ع اََّ ّلَر ََّ َََّّه ََّا
َّو الن ََّ ََّا م
َش ل ََّ ََّّكَّمّط ََّ ََّ َاّم
ل
Artinya : “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang
nyata bagimu”.(Q.S Al-Baqarah: 168)
Artinya adalah indah dalam bentuk dan susunan kata serta maknanya. Al-Qur’an berada
di puncak nilai kefasihan dan sastra, berita-beritanya secara keseluruhan adalah benar dan
bermanfaat, tidakadadusta, kontradiksi dan main-main yang tidakadamanfaatnya,
hukumhukumnya secara keseluruhan adalah adil, tidak ada kedzaliman, kontradiksi atau
kesalahan.
E. Urgensi Mempelajari Muhkam dan Mutasyabih
1. Mempermudah dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
2. Dapat membedakan mana ayat muhkam (ayat yang jelas maknanya), dan mana ayat
mutasyabihat (ayat yang belum jelas maksudnya) .
3. Menambah pengetahuan kita tentang Al-Qur’an sehingga diharapkan keimanan kita
pun ikut bertambah.
4. Mengetahui hikmah diturunkannya ayat muhkam dan mutasyabihat.[4]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muhkam dan mutasyabih secara garis besar adalah, muhkam jelas maknanya dan
mutasyabih tidak jelas sehingga masih membutuhkan penafsiran untuk mendapatkan pengertian
yang lebih jelas. Adapun ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan mengenai ayat muhkam dan
mutasyabbihat adalah QS. Ali Imran ayat 7.
Ciri-ciri ayat muhkam adalah tetib dan susunan ayat-ayat Al-Qur’an itu rapi dan urut,
serta maknanya mudah dicerna akal pikiran karena artinya tidak samar, sehingga mudah
dipahami artinya oleh umat.Ciri-ciri ayat Mutasyabih yaitu adanya kesamaran pada makna,
kesamaran pada lafal dan kesamaran pada lafal dan makna.
B. Kritik dan Saran
Saya sebagai penulis menyadari masih banyak sekali terdapat kekurangan dalam
tulisan saya, besar harapan saya para pembaca dapat memberi koreksi dan masukan untuk tulisan
yang saya tulis, agar kedepannya saya bisa terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas
penulisan.
Untuk itu, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan dalam tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qatthan, Manna’. Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta Timur: Ummul Qura, 2019.
Dr. Subhi As-shalih. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. 8th ed. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Hikmatiar Pasya’. “Studi Metodologi Tafsir Asy-Sya’rawi” 1, no. 2 (2017): 17.
Yusuf, Mustain, and Munawir Munawir. “Arah Baru Pengembangan Ulumul
Qur’an.” MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 4, no. 2 (December 24, 2019):
193–204. https://doi.org/10.24090/maghza.v4i2.3434.
[1] Mustain Yusuf and Munawir Munawir, “Arah Baru Pengembangan Ulumul
Qur’an,” MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir4, no. 2 (December 24, 2019): 193–204,
https://doi.org/10.24090/maghza.v4i2.3434.[2] Hikmatiar Pasya’, “Studi Metodologi Tafsir Asy-
Sya’rawi” 1, no. 2 (2017): 17.[3] Manna’ Al-Qatthan, Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an(Jakarta
Timur: Ummul Qura, 2019). Hal. 338 [4] Dr. Subhi As-shalih, MembahasIlmu-Ilmu Al-Qur’an,
8th ed. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Hal. 372.
BAGIAN 2 AM DAN KHAS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah kita ketahui bersama bahwa Al-Quran dan assunnah merupakan sumber utama umat
islam. Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan kepada nabi kita yaitu baginda
Muhammad sallahu’alaihi wasalam dan Al-Qur’an menggunakan bahasa arab sedangkan bahasa
arab sendiri memliki beragam diale, sehingga tidak jarang kita sering menjumpai lafadz yang
memiliki banyak arti. Dalam Al-Qur’an banyak dijumpai istilah yang biasa di[akai untuk
menunjukan makna tertentu seperti lafadz ‘am, khas, mutlaq, muqayyad dan lain sebagainya.
Untuk bisa memahami dengan baik dan benar bahasa Al-Qur’an tersebut baik ulama ushul
fiqih, ulama tafsir, ulama lughah dan lain sebagainya telah mengadakan penelitian yang serius
terhadap beberapa lafadz, khususnya yang terkait dengan uslub atau gaya bahasa. Dari hasil
penelitian tersebut lalu dibuatlah beberapa kaidah atau ketentuan yang dapat memahami nash-
nash Al-Qur’an dengan baik dan benar.
B. Rumusan Masalah
1) Apa Saja Definisi dan Penjelasan Masing-Masing dari ‘Am dan Khash?
2) Sebutkan Contoh-Contoh ‘am dan khas Dalam Al-Qur’an!
C. Tujuan Pembelajaran
1) Mengetahui definisi dan penjelasann dari ‘am dank has
2) Mengetahui beberapa contoh ‘am dank hash dari Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisidan Penjelasan Am dan Khas
1. Pengertian ‘Am
Am menurut bahasa berarti merata atau yang umum. Am[1] menurut istilah suatu
lafadz yang mencakup semua hal yang pantas untuknya dengan tanpa
batas.2 Bentuknya (shighah):
1. Kata كلyang terletak di depan, seperti firman Allah Ta’ala (QS.Ar-Rahman:26)
Semua yang ada di bumi itu akan binasa َََّّ ك ل ّمَن علي ََََّّّاَّفا
ن
2. Kata التى,الذىbentuk musanna dan jamak
3. Kata اي,ماdan منbaik berupa kata syarat, pertanyaan, atau isim maushul (kata
sambung)
4. Kata jamak yang diidhofahkan
5. Kata yang dijadikan makrifat dengan ال
6. Ism jins yang diidhofahkan,
7. Kata nakiroh dalam konteks kalimat larangan,
8. Dan demikian yang terletak pada konteks kalimat syarat,
Macam-macam Am :
a. Al-Amm Al-Baqi Ala Umumih
Yaitu Am yang tetap seperti pada umumnya.
b. Al-Amm Al-Murad Bihi Al-Khusus
Yaitu sesuatu yang umum, sedangkan yang dimaksud adalah khusus.
c. Al-Amm Al-Makhsus
Yaitu sesuatu yang umum yang dikhususkan dan antara keduannya ada perbedaan-
perbedaan.
2. Pengertian Khas
Khas secara bahasa bentuk asal dari kata kerja خص, yang artinya tertentu atau
khusus.[2] Para ulama berpendapat dalam mendefinisakan khas. Menurut Mustafa
Said Al-khan memahami lafadz khas adalah setiap lafadz yang digunakan
menunjukan makna satu atas berapa satuan yang diketahui. Abdul Wahab Khalaf
menjelaskan lafadz khas adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukan satu orang
tertentu.Manna al-Qattan menyatakan bahwa “Khas adalah lawan kata am, karena itu
tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan.” Karena
Khas tidak dapat menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan
maka diperlukan adanya takhsis (pembatasan) tersebut. Takhsisadalah mengeluarkan
sebagian apa yang dicakup lafadz am.Fungsi takhsisadalah menentukan makna
lafadzam ditetapkan menjadi hukum.Lafadz yang ditakhsis(dikhususkan) dalam
hakikatnya bukan lafadz nya, namun maknayang timbul dari lafadz am tersebut.
Yang secara majas antara lafadz yang ditakhsisadalah lafadzam masih berhubungan
dalam penetapan hukum.[3]
Bentuk Takhsis (mukhassis)
Mukhassis artinya sebagai lafadz yang dapat memberi faedah takhsis, atau konotasi
lain dari takhsis.7 Mukhassis dibagi menjadi dua :
1. Mukhasis Muttasil
Mukhasis muttasil adalah lafadz yang bersambung. Takshis muttasil terbagi menjadi
lima bagian :
a. Istisna, yaitu mengecualikan lafadz am dengan adat atau alat
b. Syarat, yaitu lafadz yang berfaedah apabila bersambung dengan lafadz
yang lain, dan harus ada jawab kepada lafadz yang menjadi syarat (
c. Naat, yaitu lafadz yang mengikuti menjadi sifat dan menjelaskan
terhadap lafadz yang diikuti,
d. Ghayah, yaitu akhir batasan dari sesuatu. Contohnya firman Allah Ta’la
(QS.Al-Baqarah:222) وَََّّل َََّّت ق ََّربَََّّ ÷ ن حتىَّ ََّن
ي ََّ ر
طه ََّو
“Dan janganlah kamu mendekati mereka sehingga mereka itu suci.
e. Baddal ba’d min kulli, yaitu pengganti dari semua. Mukhasis Munfashil
Mukhasis munfhasil adalah ayat yang lain yang berada pada tempat yang
lain atau hadits atau ijmak atau qiyas. Contohnya :
a. Dikhususkan dengan Al-Qur’an
b. Dikhususkan dengan Hadis
c. Dikhususkan dengan ijma
d. Dikhususkan dengan qiyas
e. Al-Quran mengkhususkan As-Sunah tetapi itu sedikit jumlahnya.
KESIMPULAN
Pengertian ‘Am menurut bahasa berarti merata atau yang umum. lafadz yang meliputi
segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas, sedangkna pengertian
lafadz khash Para ulama berpendapat dalam mendefinisakan khas memahami lafadz khas adalah
setiap lafadz yang digunakan menunjukan makna satu atas berapa satuan yang diketahui.
DAFTAR PUSTAKA
Fathoni, Muhammad. “Am Dan Khas : Pengaruhnya Dalam Penafsiran AlQur’an” 04, no. 02
(2016).
Imam Suyuthi. Al-Itqon Fi Ulumil Qur’an. Solo: indiva pustaka, 2009. muslimin. “Urgensi
Memahami Lafaz Am Dan Khas Dalam Al-Qur’an” 23, no. 2 (2012).
[1] Muhammad Fathoni, “Am Dan Khas : Pengaruhnya Dalam Penafsiran Al-Qur’an” 04, no. 02
(2016): hal.339. 2imam suyuthi, Al-Itqon Fi Ulumil Qur’an (Solo: indiva pustaka, 2009), hal.143.
[2] muslimin, “Urgensi Memahami Lafaz Am Dan Khas Dalam Al-Qur’an” 23, no. 2 (2012):
hal.108.
[3] Fathoni, “Am Dan Khas : Pengaruhnya Dalam Penafsiran Al-Qur’an,”
hal.344-345. 7muslimin, “Urgensi Memahami Lafaz Am Dan Khas Dalam Al-
Qur’an,” hal.109.
BAGIAN 3 MUTHLAQ DAN MUKAYYAD
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Al-Quran juga menjadi
penjelasan (bayyinat). Dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda
(furqon) antara yang baik dengan yang buruk. Disinilah manusia mendapat petunjuk dari Al-
Quran. Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas dasar
pertimbangannya terhadap Al-Quran tersebut. Maka dari itu dalam makalah ini kami akan
membahas mengenai lafadz dari segi kandungan pengertiannya, diantaranya membahas tentang
mutlaq muqayyad.
Pembahasan tentang mutlaq dan muqayyad merupakan hal terpenting untuk dijelaskan
karena seseorang yang tidak mengerti akan perbedaan dari masing-masing keduanya sehingga
seseorang yang belajar tanpa mengetahui perbedaan dari mutlaq dan muqayyad akan terjadi
kesalahfahaman dalam mengartikan sebuah ayat atau kitab lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Muthlaq dan Muqayyad?
2. Bagaimana penjelasan terkait Muthlaq dan Muqayyad?
3. Bagaimana contoh Muthlaq dan Muqayyad dalam Al-Qur’an?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian Muthlaq dan Muqayyad
2. Dapat mengetahui penjelasan terkait Muthlaq dan Muqayyad
3. Dapat mengetahui contoh Muthlaq dan Muqayyad dalam Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Muthlaq dan Muqayyad
1. Muthlaq
Secara etimologi kata muthlaq berasal dari kata athlaqa yang bermakna: melepaskan atau
membebaskan. Menurut Manna` Khalil Al-Qathan dalam kitabnya Mabahits fi `Ulumil Qur`an,
mutlaq adalah lafadz yang hanya bisa menunjukan satu hakikat dan dia tidak terikat pada suatu
apapun. Jadi hanya menunjukan satu zat tanpa ditentukan. Lafaz mutlaq ini pada umumnya
berbentuk lafaz nakirah.[1] Seperti lafadz raqabah ( )رقبةdi dalam Surah An-Nisa ayat 92
َّ مؤَّ ََّمن ََََّّّة ف ََّت
َّرق ََّب ََّح
ََََّّّ ََّّة
رير
"(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman".
2. Muqayyad
Secara etimologi muqayyad berasal dari kata قيدyang berarti mengikat, membatasi dan
merintangi. Menurut Manna` Khalil Al-Qathan dan yang dimaksud dengan muqayad
adalah muqoyyad adalah sesuatu yang menunjukan hakikat namun dengan ikatan. Definisi
muqoyyad yang terdapat dalam studi Al-Qur’an adalah segala yang terdapat dalam lafadz-lafadz
yang menunjukan terhadap sesuatu yang sudah jelas Seperti lafadz raqabah ( )رقبةyang dibatasi
dengan lafadz iman dalam firman Allah,
َف ََّت رَّرق ََّب مَّ ََّؤَّ ََّمن َََّّّة
ََّح ََّي ََّة
ر
"(Hendaklah dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman". (An-Nisa:92)
B. Penjelasan Muthlaq dan Muqayyad
1. Muthlaq
Muthlaq menurut istilah ialah lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz itu apa adanya
tanpa memandang jumlah maupun sifatnya. Misalnya firman Allah QS Al-Mujadalah : 3
ق ََّالَّواَّرير رق ََّب منَّ ّقَبلَّّأَنَّّيَ َّتَّماسا
ف ََّت ََّح ََّة
Macam-Macam Lafadz Mutlaq
1. Sighat mutlaq[2]
Adalah isim nakirah yang hakiki dalam konteks kalimat positif bukan negatif.
Sementara isim nakirah tersebut bisa terdapat dalam stuktur kalimat:
a. Perintah dalam bentuk masdar
Kalimat perintah memiliki banyak gaya bahasa, salah satunya dengan masdar
ف ََّت ََّحرير رق ََّب ََََّّّة Contoh:
b. Perintah yang menggunakan kata kerja
Maka jika isim nakirah terdapat pada kalimat perintah yang menggunakan kata
kerja maka ia termasuk kepada lafadz mutlaq
Contoh: حرر
ََّ ََّ رق ََّب ََّة
c. Berita yang kekinian dan futuristik (mudar’i)
Jika isim nakirah berada dalam kalimat berita yang menggunakan kata kerja
transitif berbentuk al-mudar’i maka status lafadznya adalah mutlaq
Contoh:ََََََََََّّّّّّّّّّ ََّ ََّ أَّحررَّرق ََّب ََّة
2. Muqayyad
Muqayyad ialah lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz tersebut dengan dibatasi oleh
sifat, keadaan, dan syarat tertentu. Atau dengan kata lain, lafaz yang menunjukkan pada hakikat
lafaz itu sendiri, dengan dibatasi oleh batasan, tanpa memandang pada jumlahnya. Misalnya QS.
An-Nisa: 92
خََّّأ وَّ ََّم َّ ََّنَّ مَّ ََّؤَّخط ََّأ ََّرير رق ََّب مَّ ََّؤَّ ََّمن ََََّّّة ََّ َّكانَّل ّّمََ ّؤَم نََّّّأَنَّ ّيَقتَّل مَّ ََّؤ ََّ َّ ََّما
َََّّ ََّة ق ََّت ََّل ََّمن ََّ ََّمن
ََّ ََّ ََّ ف ََّت ََّ ََّ ََّ
اح ال
Contoh di atas adalah lafaz muqayyad yang dibatasi dengan sifat.
2. Sighat muqoyyad
a. Isim al-‘alam
b. Isyarah
Isyarah bisa menjadi taqyid yang menghilankan jenis kemutlaqkan lafadz mutlaq
secara menyeluruh
contoh أَّك ّرَم ه ََّو ّهَ ََّذا
مس ََّل َ ََّما
c. Sifat
Sifat (al-washf), atau lain-lain yang sejenis seperti syarat dan ghayah bisa menjadi
taqyid yang menghilangkan cakupan jenis kemutlaqan lafazh mutlaq secara
sebagian
Contoh: أَّك ّرَم ََّلَّمّاَ َ ََّا
مس
عرا ََّقي
3. Antara Muthlaq dan Muqayyad
Telah disepakati bahwa jika ada lafaz muthtlaq yang hukum dan obyeknya sama dengan
lafaz yang muqayyad, maka pengertian lafaz yang muthlaq tersebut disesuaikan dengan lafaz
yang muqayyad.
Pendapat mazhab Hanafiyah adalah jika lafaz muthlaq berbeda dengan muqayyad, dalam segi
hukum dan sebabnya, maka pengertian lafaz yang muthlaq tidak dapat disesuaikan dengan yang
muqayyad. Contoh perbedaan lafaz muthlaq dan muqayyad dari segi sebab tapi hukum keduanya
sama, adalah QS. An-Nisa’[4], 92:
َّّةَ َّ ََّمن ََّ مَّ ََّؤ رق ََّب مَّ ََّؤَّخط ََّأ ََّرير وَّ ََّم َّ ََّنَّ خط مَّ ََّؤَّ ََّ نَّّأَنَّ ّيَقتَّل كا ّنَل َّّمَ ّؤَم وَّما
ََّة ََّمن َََّّ ق ََّت ََّل ََّأ ََّمن ََّ
ََّ ََّ ف ََّت ََّ ََّ ََّ ََّ
ََّ
اح ا ل ََّ
dan QS. Al-Mujadalah [58], 3:
وال ََّ َََّّّنَ ّيَ ّظَاهرون ّمَن ساَّ ّهَّمَثَّمَّ ّيَعوَّدون ََّماَّق ََّالَّواَّرير رق ََّب ّمَنَّ ّقَبلَّّأَنََّّي ّتََّماسا
ََّذي ََّ ف ََّت ََّح ََّة
ئ
C. Contoh Lafadz Muthlaq dan Muqayad
Dalam status hukum dari lafaz mutlaq dan muqayad ini dapat dikategorikan dalam empat bentuk
di antaranya :[3]
1. Sebab dan hukumnya sama
Adakalanya ketika menelaah lafaz mutlaq dan muqayad yang terkandung dalam satu ayat dan
dalam ayat lain sama dalam hukum dan sebab. Maka dalam hal ini status lafaz mutlaq dibawakan
kepada lafaz yang muqayad.[4]
Hal ini dapat dilihat dalam contoh surat Al-Maidah ayat 3
Dan sebagaimana dalam surat Al-An`am ayat 145
2. Sebab dan hukumnya beda
Adakalanya antara lafaz mutlaq dan muqayad berbeda dalam hukum dan berbeda juga dalam
sebab. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan contoh sebagaimana dalam surat Al-Maidah ayat
38
Kemudian dalam surat Al-Maidah ayat 6 juga dikemukakan mengenai kata-kata “tangan”
3. Berbeda dalam sebab sama dalam hukum
Dalam hal ini ada dua bentuk[5]:
Pertama, taqyid atau batasannya hanya satu. Misalnya dalam pembebasan budak dalam hal
kafarah. Budak yang dibebaskan disyaratkan harus budak “beriman” dalam kafarah
pembunuhan tak sengaja. Allah berfirman dalam surat An-nisa` ayat 92
Sedangkan dalam kafarah zihar ia diungkapkan secara mutlaq, hal ini sebagaimana yang terdapat
dalam surat Al-Mujadilah ayat 3
4. Sebab sama dan berbeda dalam hukum
Dalam hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 6 :
ّكَمّرََّ ََّرجل ل ََّى ي ََّاأ َََّّ ّنَآَّ ََّمنَّ قََّّ ََّمتََّّ ََّمََّّ ََّلَّةَّّفَاغسلَّ كَّ ََّم َّ َّ ّيَََّ ََّدي َََّّّكََّ ََّمََّّ ّواَمسحوا
َّءوس ََََّّّك َّواَّص وجوَّه َّإ ََّلىَّاَّ َّلَ َّ ََّمرا َ ََّيه ََّاَّ وا ل ََّىَّالَّ ََّذا
ال ََّ َََّّ ََّذي
ََّفقَّّوَأ ََّم َّّوَأ
َّاَّ َّلَ َّ َّكََّ ََّعب َََّّ ََّينَّ ب ََّ ََّاَّف ََّاط ََّ ََّه ََّ ََّرواَّ ضىَّ َّعَلىَّرََّّأَو ََّءَّّأَح َّ ّكَم َّ م ّنَ طَّّأَوَّ ّلَم ستَََّّّم
َّ النَ ََّسا ّدَاج ّمَ ََّن ّاَلَّغّاَئ ََّ وَّ َّإَ َّ ََّنَّكَّ ََّنتََّّ ََّم وَّ َّإَ َّ ََّنَّكَّ ََّنتََّّ ََّمَّم ّرَجن أ َََّّ سف
ََّو ََّء
َّ ََّ ّفَ َّلَّمَّ ّتَ ّدَواَّما ََّ ََّءَََََّّّّفتي ََََّّ ََّمََّّمواَّصَّ ََّعيَّ كَّ ََّم ََّّ ََّيَّ َّ َّيَّريََّّ َََّّّ جَّ ََّعلَّ ََّمَّحرج ول
َّ َ ََّداَّ َّطََّ َّيَََّ ََّبا ََّّفاَّ ََّمسحوّاجَ وجوه ََّدي ََّّكَّ ََّن ّدَام َّل َّيلَّلا عل َََّّ ََّي منَّك ََّك
ََّمَّّوأَ هَّم ََّن
مَّر ََّ كَّول ََّيََّّ ّتََََّ ََّمََّّنَّ ََّعَّ َََّّ ََّمتهََّّعل َََّّ ََّي ََّّكَّ ََّمَّل َََّّ ََّعل ََّ َََّّّكََّ ََّمَّت ََّش ََّّكرون
يَّ ََه
ََّّري
َّدَّّلَي
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuh kakimu sampai kedua
mata kaki, dan jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya supaya kamu bersyukur”
Pada ayat yang telah tertera diatas dapat kita ketahui bahwasanya didalam ayt ini terdapat dua
lafadz mutlaq dan muqoyyad. Allah berkata dalam permasalahan whudu ََّوا وج ََّوه ََّ ك ََّم و
" َّفَاغسل
ا ََّ ََّي ََّدي ََّ ك ََّمAllah mengkoyyidkan tangan pada siku sedangkan saat Allah berbicara mengenai
masalah
tayyamum “ " َّفَا ََّمسح ََّوا وج ََّوه ك ََّم و ا ََّ َّيَ ََّدي ك ََّمAllah mnggunakan lafadz mutlaq
karna tangan disitu
tidak terikat pada apapun. Jadi sdapat dikatakan bahwa sebab pada lafadz mutlaq dan muqoyyad
itu sama saja karna adanya najis. Namun pada hukumnya berbeda karna pada wudhu dikatakan
memcuci tangan sampai siku sedangkan pada tayyamum tidak dikatakan demikian.[6]
Ada pendapat terkait hal inibahwa hal yang mutlaq tidak dibawa kepada yang muqoyyad karna
berlainan hukumnya. Namun Al-Gozali menukwil dari mayoritas ulama Syafi’iyah bahwa
mutlaq disini bisa dibawa kepada muqoyyad karna seabnya sama sekalipun hukumnya
berbeda.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mutlaq adalah lafadz-lafaz yang menunjukkan suatu hakekat tanpa ada batasan (qayid)
tertentu. Sedangkan muqayyad adalah lafadz-lafaz yang menunjukan suatu hakekat dengan ada
batasan (qayid) tertentu. Lafadz mutlaq menjadi tidak terpakai jika ada lafadz muqayyad yang
menjelaskan sebab dan hukum tersebut. Pembagian lafadz mutlaq dan muqayyad ada empat
bentukbentuk yang realistis yaitu: sebab dan hukumnya sama, sebab sama namun hukum
berbeda, sebab berbeda namun hukum sama, sebab dan hukum berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin Az-Zarkasy, Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an Juz II, Muhaqiq : Muhammad Abu
Fadhl Ibrahim (Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah Isa Al-Babi Al-Hali Wa Syirkaihi, 1957)
Fahdi bin Abdurrahman bin Sulaiman Ar-Rumi, Dirasat Fi Ulumil Qur’an, (Huquq At-
Thab’a Mahfudzah Lilmuallif, 2003)
https://WWW.tngkronganislami.net/mutlaq-dan-muqoyyad-dalam-Al-Qur’an-dan-hadis/
diakses pada tanggal 20 november 2017
Muhammad Bakar Ismail, Dirasat Fi Ulumil Qur’an (t.tp : Dar Al-Mannar, 1999)
Majmu’ah min Asatidzah Wa Al-Ulama’ Al-Mukhassisin, Mausu’ah Al-Qur’aniyah Al-
Mukhtashah, (Mesir : Al-Majlis Al-A’la Liay’uni Al-Islamiyah, 2002)
Manna’ Khalil Al-Qotthan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (t.
[1] Manna’ Khalil Al-Qotthan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (t.tp : Haramain, t.th), hal.245
[2] https://WWW.tngkronganislami.net/mutlaq-dan-muqoyyad-dalam-Al-Qur’an-dan-
hadis/ diakses pada tanggal 20 november 2017
[3] Majmu’ah min Asatidzah Wa Al-Ulama’ Al-Mukhassisin, Mausu’ah Al-Qur’aniyah Al-
Mukhtashah, (Mesir : Al-Majlis Al-A’la Liay’uni Al-Islamiyah, 2002), hal.165
[4] Manna’ Khalil Al-Qotthan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (t.tp : Haramain, t.th), hal.246
[5] Manna’ Khalil Al-Qotthan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (t.tp : Haramain, t.th), hal. 246-248
[6] Majmu’ah min Asatidzah Wa Al-Ulama’ Al-Mukhassisin, Mausu’ah Al-Qur’aniyah Al-
Mukhtashah, (Mesir : Al-Majlis Al-A’la Liay’uni Al-Islamiyah, 2002), hal. 166
[7] Manna’ Khalil Al-Qotthan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (t.tp : Haramain, t.th), hal.246
BAGIAN 4 MANTHUQ DAN MAFHUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-
Quran, sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Quran tersebut tidak
semuanya memberikan arti dan pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau
telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih
mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an
hanya dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga
pemahaman yang lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan
sebuah pembahasan tentang mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak
serta merta memberi makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para
mufassir membuat pembahasan ini untuk mempermudah kita memahami
kandungan teks.
Jika kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan beberapa ayat yang
memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, jugaada ayat yang maknanya
tersirat didalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua memahami dan
mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Quran, penulis akan
memaparkan sedikit penjelasan mengenai pengertian, pembagian, contoh dari
mantuq dan mafhum serta kehujahannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Manthuq dan Mafhum?
2. Bagaimana macam-macam Manthuq dan Mafhum?
3. Bagaimana contoh Manthuq dan Mafhum dalam ayat Al-Qur’an?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian Manthuq dan Mafhum
2. Dapat mengetahui macam-macam Manthuq dan Mafhum
3. Dapat mengetahui contoh Manthuq dan Mafhum dalam Al-Qur’an
A. Pengertian Manthuq dan Mafhum
Manthuq terambil dari kata nathaqa, yakni berucap. Manthuq adalah makna yang
dikandung oleh kata yang terucapkan.[1]Manna Al-Qaththan menjelaskan bahwa manthuq
adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh lafazh pada saat diucapkannya; yakni bahwa
penunjukan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan.[2] Sedangkan
menurut
Syafi’i, secara istilah manthuq adalah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu
sendiri.[3]
Mafhum terambil dari kata fahmu, yaitu memahami.[4] Secara
istilah mafhum (pemahaman) adalah arti yang tidak diperlihatkan oleh lafaz yang
diucapkan (yakni, petunjuk artinya keluar dari unsur-unsur huruf yang diucapkan).[5]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa manthuq adalah makna yang langsung ditunjukkan
oleh lafazh saat pengucapannya. Sedangkan mafhum adalah makna yang tidak
ditunjukkan oleh lafazh saat mengucapkannya,tetapi dari pemahaman ucapan tersebut.
B. Macam-Macam Mantuq dan Mafhum
Para ulama’ ushul fiqih membagi manthuq kepada tiga macam, yaitu nash, zhahir
dan muawwal.Sedangakan mafhum terbagi menjadi dua macam, yaitumafhum
muwafaqah dan mukhalafah (al- Qatthan, 2006: 358).6Penjelasannya sebagai
berikut:
A. Pembagian Manthuq
1. Nash, yaitu tidak mengandung kemungkinan takwil (pengalihan makna).
Nash terbagi menjadi dua:
• Sharih (jelas), yaitu apabila lafadz yang
digunakan menunjukkan dengan tegas dan jelas maknanya.
Bagian ini disebut dengan“Ibarah Al Nash”.
• Ghoirusharih (tidak jelas), yaitu manthuq yang maknanya
bukan muncul dari makna yang diletakkan untuknya, namun
demikian makna itu adalah sesuatu yang tidak terpisahkan
darinya. Contohnya: sepuluh adalah makna angka di atas
sembilan dan dibawah sebelas. Angka sepuluh juga merupakan
bilangan genap. Itulah manthuq yang ghairu sharih dan yang
sebenarnya bukan yang dimaksud dengan kata empat, tetapi
selama ia sepuluh, ia pasti genap.[6]
Manthuq ghairu sharih terbagi menjadi tiga, yaitu:
a) Dilalah Al Iqtidha’ atau yang dinamai oleh para
ulama’ bermazhab Syafi’i dengan “Lahn Al
Khithob” adalah teks yang tidak lurus/kurang tepat
maknanya kecuali kalau ada kalimat yang disisipkan
dalam teks itu.
b) Dilalah Al Ima’ dinamai juga “Dilalah At
Tanbih” yaitu teks yang dibarengi dengan lafadz
tertentu yang seandainya lafadz itu bukan “sebab” dari
ketentuan ayat, maka penyebutannya dalam teks tidak
bermakna dan hal yang demikian mustahil terdapat
dalam firman Allah atau sabda Rasul SAW.
c) Dilalah Al Isyaroh, yaitu makna yang ditarik dari
lafadz, namun bukan itu yang dimaksud oleh lafadh,
akan tetapi ia memiliki hubungan kelaziman dengan
konteks uraiannya.
2. Zhahir, yaitu lafadz yang menunjukkan sesuatu makna yang segera
bisa dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna
lain yang lemah (marjuh). Maka, dzhahir itu sama halnya dengan nash
dalam hal penunjukannya kepada makna yang berdasarkan pada
ucapan. Akan tetapi, dari segi lain ini berbeda dengannya karena nash
hanya menunjukkan satu makna secara tegas dan tidak mengandung
kemungkinan menerima makna lain. Sedangkan dhahir, selain
menunjukkan satu makna ketika diucapkan, ia juga memberikan
kemungkinan makna lain yang meskipun lemah.
3. Muawwal, yaitu sebuah lafadh yang diartikan dengan makna marjuh
karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna
rajah. Ada perbedaan antara muawwal dan dhahir; dhahir diartikan
dengan makna yang rajah sebab tidak ada dalil yang memalingkannya
kepada marjuh, sedangkan muawwal diartikan dengan makna marjuh
karena ada dalil yang memalingkan dari yang rajih.
B. Pembagian Mafhum
1. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama
dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz.
• Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama
hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang
tua tidak boleh hukumnya. firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’
ayat 23:
تَ َ ْن َ َْ ْ َْ َْ َْ هَ َْ ْرهَ والَ أ ف َْ َْ لَ َ َْه َْ َ َْ َت َق َْل فال
َْ م َْْ ا َْ ما
“ Maka Janganlah Sekali-kali kamu mengatakan kepada
keduanya ucapan “ah” dan janganlah kamu membentak
mereka”. (QS.Al-Isra’ :23)[7]
• Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama
hukumnya dengan yang diucapkan,
2. Mafhum Mukhalafah,
yaitu pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam
istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan).
Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat),
yaitu menggantungkan hukum pada dzat dengan salah satu sifat.
• Mafhum illat (sebab), yaitu menggantungkan atau
menghubungkan hukum sesuatu karena sebab (illatnya).
seperti pengharaman khamr karena memabukkan.[8]
• Mafhum al-‘adad, yaitu memperhubungkan suatu kepada
bilangan bilangan tertentu.
• Mafhum ghayat (tujuan), yaitu membatasi hukum dengan
kata “illa” atau “hatta”.
• Mafhum Hashr (pembatasan), yaitu pemahaman dari redaksi
yang menggunakan hashr (pembatasan)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manthuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh lafazh pada saat diucapkannya; yakni
bahwa penunjukan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan. Sedangkan
mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafaz tidak dalam tempat
pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut.
B. Saran
Kami sadar bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, dan kami mengharapkan
kepada pembaca sekalian agar tidak berpuas diri hanya dengan membaca makalah
kami, kedepannya kami lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah ini
dengan sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul hamid hakim. “Ushul Fiqh.” Jakarta: Maktabah Al-Adiyat Qatran, 1972.
Abu Zahrah, and Muhammad. “Ushul Fiqh,” 155. Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr al-Arab, n.d.
Al-Qaththan, Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Translated by Aunur Rafiq Al-Mazni.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004.
Al-Qatthan Manna’ Khalil. “Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an,” 365, 2002.
“Departemen Agama RI Al-Qur’an Dan Terjemahnya,” 79, n.d.
Karim, Syafi’i. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 1997.
M. Quraish shihab. “Kaidah Tafsir.” Jakarta: Lentera Hati, 2013.
M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2019.
Rosihon. Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
[1] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2019), hal.146.
[2] Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, trans. Aunur Rafiq Al-Mazni
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), hal.311.
[3] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal.177.
[4] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal.146.
[5] Rosihon, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
hal.235. 6Al-Qatthan, Manna, Mabahits Fi Ulum al-Qur’an
[6] Shihab, Kaidah Tafsir, 170.
[7] “Departemen Agama RI Al-Qur’an Dan Terjemahnya,” hal 79.
[8] Abdul hamid hakim, “Ushul Fiqh” (Jakarta: Maktabah Al-Adiyat Qatran, 1972).
MUBHAMAT DAN GHARIB
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
.Al-Quran adalah sumber hukum islam yang pertama.sehingga kita
hendaknya harus dapat memahami tentang kandungan di dalamnya. Alquran dengan
huruf-hurufnya, babbabnya, surat-suratnya dan ayat-ayatnya yang sama di seluruh
dunia, baik di Jepang, Brasilia, Iraq dan lain-lain. Andaikata ia bukan dari Allah Swt,
tentu terdapat perbedaan yang banyak.
Al-Quran adalah laksana sinar yang memberikan penerangan terhadap
kehidupan manusia, bagaikan pelita yang memberikan cahaya kearah hidayah
ma‟rifah. Al-Qur‟an juga adalah kitab hidayah dan ijaz (melemahkan yang lain). Ayat-
ayatnya tentu ditetapkan kemudian diperinci dari allah Swt. Yang maha bijaksana
dan maha mengetahui.
Oleh karena itu kita sebagai umat islam harus benar-benar mengetahui
kandungankandungan yang ada didalamnya dari berbagai aspek. Ulumul Qur‟an
adalah salah satu jalan yang bisa membawa kita dalam memahami kandungan Al-
Qur‟an.
Selain memahami Alqur‟an kita juga perlu mengetahui kaidah-kaidah yang
terkandung di dalamnya karena secara tidak langsung kaidah-kaidah inilah yang
akan mempermudah kita dalam memahami alquran lebih dalam.Untuk memahami
hal tersebut, maka terlebih dahulu kita harus memahami apa itu Mubhamat dan
Gharib, kemudian apa macam-macam, contoh, serta urgensi mempelajarinya..
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Mubhamat dan Gharib ?
2. Apa urgensi mempelajari Mubhamat dan Gharib ?
3. Sebutkan macam-macam serta contoh Mubhamat dan Gharib!
C. Tujuan
1. Mengetahui makna dari Mubhamat dan Gharib.
2. Mengetahui urgensi dari Mubhamat dan Gharib.
3 Mengetahui macam-macam serta contoh Mubhamat dan Gharib
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Mubhamat Dan Gharib Dalam Al-Quran
1. Mubhamat
Kata al-Mubhamat menurut bahasa, berasal dari kata al-ibham yang
menunjuk kepada makna tersembunyi dan tertutup. Kata al-Mubhamat berasal
juga dari kata abhama yang bermakna samar-samar. Artinya suatu lafaz yang
maknanya tidak jelas, sehingga untuk memahaminya diperlukan dalil lain. Adapun
menurut istilah memiliki makna yaitu semua lafaz yang termaktub dalam Al-Qur‟an
tanpa menyebutkannya secara spesifik atau sesuatu yang tertentu yang dikenal,
baik dari manusia maupun selainnya. Ilmu tentang mubhamat merupakan salah
satu disiplin ilmu Al-Qur‟an yang hanya bersumber pada penukilan (periwayatan),
tidak pada yang lain.[1]
Dari segi terminologis, mubham berarti semua kata benda yang terdapat
dalam AlQuran yang tidak dikenal dengan identitasnya yang pernah diketahui, baik
itu manusia ataupun lainnya.[2]
Kaidah pertama, “sesuatu yang mubham yang dinyatakan Allah bahwa hanya
Dia-lah yang mengetahuinya tidak perlu lai dicari tahu maknanya yang lain”
Kaidah kedua, “ pada dasarnya setiap yang mubham dalam Al-Quran itu tidak
perlu dipaksa-paksakan untuk mengetahui maknanya.”
Kaidah ketiga, “ pengetahuan tentang mubham semata-mata tergantung
riwayat, tidak ada tempat bagi rasio untuk mengetahuinya.”
2. Gharib
Gharib artinya aneh atau asing. Yang dimaksud gharib Al-Qur‟an adalah
bahasa-bahasa Al-Qur‟an yang memiliki asal-usul luar arab, sehingga orang-
orang arab yang membacanya merasakan sedikit kejanggalan dan rasa aneh.
Adanya bahasa-bahasa
“tidak asli” ini bukan berarti Al-Qur‟an mengandung bahasa asing, sebab
bahasabahasa ini telah di arabisasi (ta‟rib, yaitu proses netralisasi bahasa-
bahasa serapan kedalam bahasa arab).
Sedangkan menurut istilah ulama qurra‟, Gharib artinya sesuatu yang
perlu penjelasan khusus dikarenakan samarnya pembahasan atau karena
peliknya permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti maupun pemahaman
yang terdapat dalam Al-Qur‟an.[3] Imam as-Suyuthi berkata “Bagi orang yang
mendalami ilmu ini hendaknya kembali pada kitab-kitab para ahli sastra bahasa
Arab. Adapun para sahabat, meskipun tidak mendalami bidang ini , mereka
orang Arab asli yang fashih dalam berbahasa Arab dan sewaktu merekalah Al-
Qur‟an diturunkan. Mereka mencukupkan dengan bahasa mereka ketika ada
kata yang mereka anggap asing dan tidak berkomentar sedikitpun tentang itu
B. Macam-Macam dan Contoh Mubhamat dan Gharib dalam Al-Qur'an
1. Macam-Macam dan Contoh Mubhamat Dalam Al-Qur’an
Al-Ibham (ketidakjelasan) dalam beberapa ayat Al-Quran disebabkan oleh
berbagai hal, diantaranya:
a. Sudah dijelaskan dalam ayat lain.
b. Maksud yang diharapkan sudah jelas karena popularitasnya.
c. Sengaja menutupinya dengan tujuan menegaskan dan menguatkan perintah
menyayanginya.
d. Tidak ditemukan manfaat yang penting dari pengungkapannya secara jelas
e. Untuk menegaskan muatan yang bersifat global, sekaligus menunjukkan bahwa
hal itu tidak berkenaan dengan seseorang secara khusus.
f. Untuk mengagungkan dengan karakter yang lebih sempurna tanpa menyebutkan
namanya.
g. Untuk merendahkan karakter yang jelek.
2. Macam-Macam Dan Contoh Ghorib Dalam Al-Qur’an
a. Gharib pada lafal dan maknanya.
b. Gharib pada penempatan artinya di dalam kalimat Bisa saja lafalnya sering
digunakan dalam percakapan sehari-hari, akan tetapi pada konteks kalimat
tertentu makna yang dikandung lafal menjadi tidak sesuai apabila diartikan
dengan makna yang biasa dipahami.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mubhamat adalah lafadz atau ayat-ayat dalam Al-Qur‟an yang kurang jelas
maknanya untuk diketahui karena penyebutannya tidak dijelaskan secara rinci.
Adapun Gharib adalah lafadz di dalam Al-Qur‟an yang dianggap asing atau sulit
untuk dipahami.
2. Urgensi atau manfaat yang bisa kita ambil ketika
mempelajari mubhamat dan gharib dalam Al-Qur‟an yaitu agar mengetahui
maksud dan tujuan yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut sehingga akan
diperoleh suatu pemahaman yang mendalam baik dalam konteks kaidah,
bahasa, maupun tafsirannya.
3. Macam-macam mubhamat dibagi berdasarkan sebab sebabnya yaitu sudah
dijelaskan dalam ayat lain, sudah jelas karena popularitasnya, sengaja
menutupinya dengan tujuan menjaga nama baiknya, tidak ditemukan manfaat
yang penting dari pengungkapannya secara jelas, untuk menegaskan muatan
yang bersifat global(umum), untuk mengagungkan dengan karakter yang lebih
sempurna tanpa menyebutkan namanya, dan untuk menyindir karakter yang
jelek. Adapun macammacam gharib terbagi menjadi dua, yaitu gharib lafal pada
lafal dan maknanya dan Gharib lafal pada penempatan artinya di dalam kalimat.
aM.aknLaaf4alla)fبalْ َ yْaاnاagbdbiaann)gdgiaaprtigkhaanridbe: ngan makna rerumputan bagi binatang ternak
b. Lafal ) فاطرfathir) diartikan dengan makna menciptakan
c. Lafal ) حناناhananan) diartikan sebagai kasih sayang atau rahmat
d. Lafal ) افتحiftah) diartikan sebagai memutuskan (qadha)
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr.H. Salman Harun, dkk., Kaidah-Kaidah Tafsir. (Jakarta, PT QAF Media Kreativa,
2017 ) zulfahmi Syahri, “Problematika Bahasa Al-Qur‟an.” Jurnal Pendidikan Agama
Islam 4, no.1 (2009).
Adriana, “Perubahan Bunyi Pada Bacaan-Bacaan Gharib Dalam Alquran Menurut Tinjauan
Fonologi Arab.” Jurnal Bahasa dan Sastra 11, no.1 (2017).
Salim Hasan, Al-Tafaqquh: Journal of Islamic Law 1, no.1 (2020)
Imam Suyuthi, Studi Al-Quran Komprehensif. (Solo, Indiva Pustaka, 2008)
Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. 1,
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Jilid 15,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002),
Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 9terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta: Penerbit
Ibnu Katsir, 2011),
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Juz 22 terj. Bahrun Abubakar dkk.,
(Semarang:
PT. Karya Toha Putra, 1992)
As-Suyuthi, Jalaluddin. 2002. Samudra Ulumul Qur‟an Terj al-Itqan Fii „Ulumul
Qur‟an. Surabaya: PT Bina Ilmu
Al-Qur‟an Kemenag dan Terjemahannya
[1] Hasan, Salim “Mubhamat Al-Qur‟an.” Al-Tafaqquh: Journal of Islamic Law 1, no.1
(2020). Hal. 74.
[2] Prof.Dr.H. Salman Harun, dkk., Kaidah-Kaidah Tafsir. (Jakarta, PT QAF Media Kreativa,
2017 ) Hal. 795.
[3] Adriana, “Perubahan Bunyi Pada Bacaan-Bacaan Gharib Dalam Alquran Menurut
Tinjauan Fonologi Arab.” Jurnal Bahasa dan Sastra 11, no.1 (2017). Hal. 61.
BAGIAN 6
MUSYKIL, MUHIM AL-IKHTILAF DAN TANAQUDH
PEMBAHASAN
A. Definisi Musykil, Muhimal Ikhtilaf dan Tanaqud dalam Al-Qur’an
Pengertian Musykil
Secara bahasa, kata مشكلmerupakan isim fa’il dari أشكلyang artinya samar, tidak jelas. Adapun
arti musykil menurut Abu Bakar bin Muhammad bin Qosim adalah ‘telah bercampur dengan
lainnya.’Sedangkan menurut Ibnu Hatim dan Ibnu Mandzur, musykil berarti samar. Menurut
Fakhrurrazi, disebut musykil karena ia samar dan menyerupai yang lainnya. Adapun al-
Zabidi mengartikannya sebagai kesamaan dan keserupaan. Arti musykil ecara bahasa meliputi
persamaan (al-mumatsilah wa al-isytibah), percampuran (al-ikhtilath) dan kesamaran (al-iltibas).
Adapun arti musykil secara istilah, masing-masing ulama di bidang ilmu tersebut memberikan
definisi yang berbeda. Definisi musykil menurut ulama ushul fiqh diantaranya menurut al-Baji adalah
perkara samar yang membutuhkan pemahaman untuk mengetahui maksud yang dituju melalui
pemikiran dan perenungan. Sedangkan al-Syatibi mendefinisikannya sebagai sesuatu yang maknanya
samar dan belum dijelaskan maksudnya. Adapun Abdul Wahab mendefinisikannya sebagai lafaz yang
menunjukkan suatu makna, tetapi harus ada sesuatu yang menunjukkan maksud perkataan
tersebut. Mayoritas ulama ushul mendefinisikan musykil sebagai mutasyabih. Yakni sesuatu yang
belum jelas maknanya dan membutuhkan takwil.
Adapun definisi musykil menurut ulama hadis adalah atsar yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw
dengan sanad yang diterima, namun bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis yang jelas atau di
dalamnya terdapat makna-makna yang tidak diketahui banyak orang. Sedangkan
definisi musykil menurut ulama tafsir dan ilmu al-Qur’an adalah segala makna yang samar pada ayat
al-Qur’an, baik dari segi lafaz, makna, pertentangan (ta’arudh), bacaan atau i’rab.
Dari pengertian di atas, maka musykil al-Qur’an dipahami sebagai ayat-ayat al-Qur’an yang
maknanya tidak jelas (samar). Maksud yang dituju dari ayat tersebut tidak dapat diketahui kecuali
melalui pencarian dan pemikiran.
Pengertian Muhimul Ikhtilaf
Ikhtilaf memiliki beberapa makna yang saling berdekatan diantaranya; tidak sepaham atau tidak
sama, perbedaan jalan, perbedaan pendapat atau perbedaan manhaj yang ditempuh oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan yang lainnya. DR.Wasim Fathullah mendefinisikan ikhtilaf dalam penafsiran
al-Qur’an sebagai: Ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur’an dalam memahami penunjukan suatu ayat
atau lafazh al-Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah SWT dari ayat itu, dimana
sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang tidak disimpulkan oleh mufasir lainnya.
Definisi ini memberikan gambaran bahwa setiap perbedaan pemahaman dalam menafsirkan al-Qur’an,
sekecil apapun, maka ia dikategorikan sebagai sebuah ikhtilaf.
Pengertian Tanaqudh
Tanaqudh (kontradiksi) dalam Al-Qur’an adalah jika ada dua ayat yang saling bertolak-belakang,
yaitu petunjuk ayat yang satu menjadi penghalang bagi petunjuk ayat yang lain, seperti jika ayat yang
satu menetapkan akan sesuatu hal sementara ayat yang lain meniadakannya.
B. Sebab Ikhtilaf
Imam Az-Zarkasyi berkata di dalam kitab Al Burhan, perbedaan-perbedaan itu memiliki beberapa
sebab yaitu:
1. Terjadinya sesuatu yang diberitakan itu pada keadaan yang bermacam-macam dan perkembangan
yang berbeda-beda.
Karena perbedaan tempat,
Karena perbedaan keduanya dari sisi perbuatannya,
2. Karena ditinjau dari dua sisi dan dua iktibar yang berbeda,
C. Pandangan Ulama Tentang Musykil, Ikhtilaf, dan Tanaqud
1. Al-Kirmani
Al-Kirmani berpendapat bahwa “Perbedaan itu ada dua macam; Perbedaan kontradiksi,yaitu jika salah
satu dari keduanya berlawanandengan yang lain. Ini tidak terjadi di dalam Al-Qur’an. Berikutnya
adalahperbedaan talazum, yaitu perbedaan yang dapat bersesuaian pada salahsatu dari dua sisinya,
seperti perbedaan jumlah surat dan ayat, perbedaanhukum-hukum dari yang nasikh dan yang
mansukh, perbedaan antaraperintah dan larangan dan antara janji dan ancaman."
2. Al-Ustadz Abu Ishaq al-Isfarayini
Beliau berkata, “Jika ayat-ayat itu saling kontradiksi dan tidak mungkin dikumpulkan antara keduanya
maka dicarilah sejarahnya dan yang terdahulu ditinggalkan untuk melaksanakan yang kemudian.
Jadilah hal itu sebagai nasakh. Jika tidak diketahui sedangkan ijma’ umat ini mengamalkan salah
satu dari kedua ayat itu maka dengan ijma’ itu diketahuilah bahwa ayat yang menasakh adalah
ayat yang telah terjadi ijma’ untuk diamalkan.” Dia berkata, “Dan di dalam Al-Qur’an tidak ada
dua ayat pun yang berlawanan yang keadaannya keluar dari dua macam keadaan ini."
3. Ash-Shairafi
Beliau berkata, “Kaidah tentang perbedaan dan kontradiksi adalah jika suatu pembicaraan itu dapat
dinisbatkan kepada salah satu sisi maknanya maka tidak disebut sebagai kontradiksi. Tetapi
yangdimaksud dengan kontradiksi adalah jika berlawanan dengannya darisemua sisi. Di dalam Al-
Qur’an tidak ada satu ayat pun yang keadaannyaseperti ini. Tetapi yang ditemukan adalah adanya
nasakh dalam dua masayang berbeda.”
4. Al-Qadhi Abu Bakar
Beliau berkata, “Kontradiksi antara ayat-ayat danhadits-hadits itu tidak boleh terjadi dan akan
menolaknya.”
5. Lainnya berpendapat, “Qira’ah yang berbeda statusnya sama dengan status dua buah ayat,
seperti: َ وارجلكّمdengan qira’ahnashab (fathah) dan jar (kasrah). Karena itulah dikumpulkan
antara keduanya bahwa yang nashab maksudnya adalah membasuh dan yang jar adalah dengan
mengusap sepatu.”
BAGIAN 7
WUJUH AL – MUKHATABAH
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wujuh Al-Mukhatabat
Khithabat adalah bentuk jamak dari khitab, kata ini se-akar dengan kata khutbah yang berarti
penyampaian pidato/informasi, yang biasanya digunakan untuk penyampaian hal-hal yang bersifat
penting kepada sasaran tertentu.
Penyampaian tentang menikah dinamai khitbah karena penyampaian tersebut dinilai sebagai
sesuatu yang penting. Wahyu-wahyu Allah dalam Al-Quran yang disampaikan untuk umat manusia
dinamakan khitbah/khithabat karena apa dan bagaimana pun bentuk penyampaian-Nya, maka itu
adalah hal yang penting.1
B. Pembagian Khitab Al-Quran dan dalam Al-Quran
1. Mukhathib
a. Ucapan si Pengucap Sekaligus Pemiliknya
b. Ucapan Si Pengucap Tetapi Bukan Dia Pemiliknya
2. Mukhathab (lawan bicara)
a. ‘Am
‘Am dalam pengertian kebahasaan berarti menyeluruh. Dalam pandangan Ulama Ushul
Fiqih, yang dimaksud dengan istilah ‘Am adalah kata yang memuat seluruh bagian dari
kandungan lafadz, sesuai dengan pengertian kebahasaan tanpa pengecualian oleh kata lain.
‘Am adalah kata yang mencakup semua makna yang terkait tanpa batas.
b. Khas
Lafadz Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum.
Menurut istilah, definisi Al-khash adalah lafadz yang diciptakan untuk menunjukkan pada
perseorangan tertentu,
3. Khithab
Para Ulama Bahasa telah membuat suatu kaidah berkaitan dengan Al-khithab dengan
menggunakan fi’il (kata kerja). Masing-masing dari keduanya mempunyai tempat tersendiri yang
tidak ditempati oleh yang lainnya.
Khithab dengan menggunakan kata benda, berbeda konotasinya jika menggunakan kata
kerja.
a. Kaidah Al-khithab bi al-ism dalam Al-Quran
b. Kaidah al-khithab bi al-fi’il dalam Al-Quran
C. Pandangan Ulama dan Contoh Khitab dalam Al Quran
1 Abdul Wahab Kallaf,Ilmu Ushul Fiqh,Quwait:Darul Qalam,1997.
Menurut Al-Zarkasyi bantuk-bentuk khithab dalam al-Qur’an itu ada 33 sebagaimana dikutip
oleh Khalid Abd. Al-Rahman al-‘Ak kemudian ia menmasukkan benruk-bentuk khithab ini sebagai
kaidah tafsir. Penjelasannya sebagai berikut:2
Khithab ‘am (pembicaraan ditujukan kepada umum) dan yang dimaksudkan juga umum,
khithab seperti ini banyak dalam al-Qur’an.
Khithab khash (pembicaraan ditujukan kepada khusus) dan yang dimaksud juga khusus,
Khithab khash tapi yang dimaksud umum.
Khithab ‘Am tapi yang dimaksud khusus,
1. Khithab al-jins
2. Khithab al-Nau’ (macam)
3. Khithab al-‘ain (person)
4. Khithab al-madh (pujian)
5. Khithab al-dzamm (celaan)
6. Khithab al-karamah (penghormatan)
7. Khithab al-ihanah (penghinaan)
8. Khithab al-tahakkum (penghinaan yang berlebihan/menertawakan)
9. Khithab al-jam’ dengan menggunakan mufrad (tunggal)
10. Khithab mufrad dengan menggunakan jama’
11. Khithab mufrad dengan menggunakan tatsniyah.
12. Khithab untuk dua orang dengan menggunakan mufrad.
13. Khithab jam’ setelah mufrad. contoh
14. Khithab untuk seseorang, tetapi yang dimaksud orang lain.
15. Khithab I’tibar (mengambil pelajaran). Contoh
16. Khithab kepada seseorang, lalu pindah kepada orang lain. Contoh
17. Khithab Talwin (perubahan). Tsa’labi menyebut ini al-mutalawwin dan oleh ahli ilmu ma’ani
disebut al-iltifat
18. Khithab kepada benda mati tapi yang dimaksud adalah orang yang berakal.
19. Khithab memberikan motifasi
20. Khithab al-ighdhab (membuat marah)
21. Khithab al-Tasyji’ wa al-Tahridh (khithab untuk mendorong keberanian dan
menekankan), ya’ni mengnjurkan untuk berprilaku dengan sifat-sifat yang baik.
2 https://arhan65.wordpress.com/2011/12/01/kaidah-wujuh-al-mukhathabat/
22. Khithab al-Tanfir (menjauhkan)
23. Khithab al-Tahannun wa al-isti’thaf (khithab belas kasihan)
24. Khithab al-Tahabbub (ungkapat cinta)
25. Khithab al-Ta’jiz (melemahkan)
26. Khithab Al-Tahsir wa al-Talahhuf (supaya merasa rugi dan menyesal)
27. Khithab al-Takdzib (mendustakan)
28. Khithab al-Tasyrif (mamulyakan)
29. Khithab al-Ma’dum (kepada yang tidak ada)
DAFTAR PUSTAKA
Nor Ichwan,Memahami Bahasa Al-Qur`an, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2002.
Abdul Wahab Kallaf,Ilmu Ushul Fiqh,Quwait:Darul Qalam,1997.
Quraish Shihab,Kaidah Tafsir,Tangerang:Lentera Hati 2013.
Nashr Hamid Abu Zaid,Tekstualitas Al-Qur`an,Yogyakarta:PTLK is Pelangi Aksara,2005
Nashruddin Baidan,Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta,Pustaka Pelajar,2005).
https://arhan65.wordpress.com/2011/12/01/kaidah-wujuh-al-mukhathabat/
BAGIAN 8
HAKIKAT DAN MAJAZ
PEMBAHASAN
A. Definisi dan penjelasan Hakikat dan Majaz
1. Hakikat
Hakikat dalam pengertian bahasa, berasal dari bahasa Arab yang artinya nyata, kenyataan,
atau asli. Hakikat dari kata haqqa yang berarti tetap. Sebagai makna subjek (fā‟il) memiliki
arti yang tetap, atau sebagai objek (maf‟ūl) yang berarti ditetapkan. Hakikat berarti adalah
sebuah kata yang maknanya asli sebagaimana yang ditetapkan di dalam Al-Qur‟an.
Hakikat menurut istilah, adalah kata yang digunakan sebagaimana pertama kali
dipergunakan dalam konteks kebahasaan. Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat
adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Ibnu Qudamah
mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara
AlSarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya
untuk hal tertentu.
Hakikat terbagi menjadi tiga macam: Lughawiyyah, Syar‟iyyah dan „Urfiyyah.
1) Hakikat Lughawiyyah
“Lafaḍz yang digunakan pada asal peletakannya secara bahasa.” Maka keluar dari
perkataan kami: (“ )اىيغخَّفيsecara bahasa” : hakikat syar‟iyyah dan hakikat „urfiyyah.
2) Hakikat „Urfiyyah
“Lafaḍz yang digunakan pada asal peletakannya secara „urf (adat/kebiasaan)”.
3) Hakikat Syar‟iyyah
“Lafaḍz yang digunakan pada asal peletakannya secara syar‟i.” Maka keluar dari
perkataan kami : (“ )اىششعَّفيsecara syar‟i” : hakikat lughowiyyah dan hakikat „urfiyyah.
2. Majaz
Bentuk majaz dalam Al-Qur'an, dari bentuk denotatif (haqiqah) ke bentuk metafora
(majaz). Menurut Abd al-Qahir al-Jurjani (471 H) majaz adalah kebalikan hakikat. Sebuah
kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan
makna lain disebut dengan hakikat. Sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu perpindahan
makna dasar ke makna lainnya, atau pelebaran medan makna dari makna dasar karena ada
alasan tertentu. Secara teoritik, majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju yang
literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif karena ada alasan-alasan tertentu.
Majaz secara etimologis berasal dari kata bahasa Arab اىَجبص, bentuk masdar (infinitif)
dari kata جبص. Sedangkan secara terminologis para ulama telah banyak mendefinisikannya
dengan beberapa ibarah atau perkataan, diantaranya :
1) Ibn Qutaibah mendefinisikannya sebagai bentuk gaya tutur, atau seni bertutur.
2) Sibawayh mendefinisakannya dengan seni bertutur yang memungkinkan terjadinya
perluasan makna.
3) Al-Mubarrad mengatakan bahwa majaz merupakan seni bertutur dan berfungsi untuk
mengalihkan makna dasar yang sebenarnya.
4) Al-Qaadhy „Abd al-Jabbaar mengatakan bahwa majaz adalah peralihan makna dari
makna dasar atau leksikal ke makna lainnya, yang lebih luas.
5) Ibn Jinny dan Al-Jurjaany menempatkan majaz sebagai lawan dari hakikat, dan makna
hakikat menurut Ibnu Jinny adalah makna dari setiap kata yang asli, sedangkan majaz
adalah sebaliknya, yaitu setiap kata yang maknanya beralih kepada makna lainnya.
Sedangkan menurut Al-Jurjaany haqiqah adalah sebuah kata yang mengacu kepada
makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut,
sedangkan majaz adalah peralihan makna dasar ke makna lainnya, karena alasan tertentu,
atau pelebaran medan makna dari makna dasarnya.3
Contoh majaz
3 https://www.hariszubaidillah.com/2015/10/makalah-haqiqi-dan-majazi-tasybih.html?m=1
1. majaz pada tarkib (susunan kalimat).
ََّّوأحَيىُّ ۟اَّقىََّهَََّّداسَّٱىجىَاس
“Dan mereka menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan” (QS. Ibrahim: 28). Penjatuhan
itu dinisbatkan kepada mereka karena merekalah yang menjadi penyebab dengan perintah
yang mereka keluarkan untuk menjadi kafir.
َََّّّف ٍأَّ َُّۥهَّهبويخ
“Maka tempat kembalinya adalah Neraka Hawiyah.” (QS. al-Qari‟ah: 9) Penamaan ibu
untuk Neraka Hawiyah adalah majaz. Maksudnya adalah seorang ibu merupakan tempat
perlindungan bagi anaknya, demikian juga neraka itu bagi orang-orang yang kafir adalah
sebagai tempat perlindungan dan tempat kembali.4
2. majaz mufrad atau disebut majaz lughawi, yaitu penggunaan suatu kata pada selain makna
bahasa dasarnya yang pertama kali. Dan ia terbagi ke dalam beberapa macam:
a) Al-hadzfu atau an-naqsu, yaitu majaz yang menitik beratkan pada adanya lafadz yang
tersembunyi.
b) Az-Ziyaadah,yaitu majaz yang menitikberatkan pada adanya lafadz atau huruf
tambahan.
Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz plural (jama') namun yang dimaksudkan
adalah sebagian saja.
Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz yang merupakan bagian dari suatu nama
benda, namun yang dimaksudkan adalah keseluruhannya; bukan sebagiannya.
Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz khas (khusus), namun yang
dimaksudkan adalah 'aam (makna umumnya).
c) Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz 'aam (umum), namun yang
dimaksudkan adalah khas (makna khususnya).
Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-'malzuum (yang diharuskan), namun
yang dimaksudkan adalah al-laazim (yang mengharuskan).
Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-laazim (yang mengharuskan), namun
yang dimaksudkan adalah al-'malzuum (yang diharuskan).
Lafadz ( يسزطيغsanggup/bisa) di dalam ayat tersebut -secara majaz- dari segi asalnya
adalah lafadz ( يفؼوmelakukan), hal ini dikarenakan kesanggupan mengharuskan untuk
melakukan.
Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-musabbab (akibat), namun yang
dimaksudkan adalah as-sabab (sebab).
Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz as-sabab (sebab), namun yang
dimaksudkan adalah al-musabbab (akibat).
d) Menamakan sesuatu dengan nama yang biasa disebutkan setelah ia mengalami proses
tertentu.
Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-hal (keadaan), namun maksudnya
adalah al-mahal (tempat) yang keadaannya seperti yang di ungkapkan tersebut).
e) Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-mahal (tempat), namun maksudnya
adalah al-hal (keadaannya).
4 Imam Suyuthi, Al-Itqon Fi Ulumil Qur‟an (Solo: Indiva Pustaka, 2009), hlm. 258-259.
DAFTAR PUSTAKA
Sholeh, Muhammad. 2007. Prinsip Ilmu Ushul Fiqh. t.k: Tolib.
https://www.hariszubaidillah.com/2015/10/makalah-haqiqi-dan-majazi-tasybih.html?m=1 Suyuthi,
Imam. 2009. Al-Itqon Fi Ulumil Qur’an. Solo: Indiva Pustaka. http://pascasarjana-
halimi.blogspot.com/2014/12/majazi-tasybih-istiarah-dan-kinayah_28.html
BAGIAN 9
WUJUH WAN NAZHAIR (ISYTIRAK LAFZHY)
PEMBAHASAN
A. Pengertian Musytarak
Kata musytarak berasal dari kata kerja isytaraka-yasytariku-isytarak yang mengandung makna
berbaur dan bercampur. Adapun musytarak menurut terminologi adalah kata yang mengandung
beberapa makna. Bahkan menurut Al-Suyuthiy, satu kata terkadang memiliki hingga 20 makna dan
hal seperti ini hanya dimiliki oleh bahasa Arab. Definisi ini lebih sempit dari pada definisi yang
dikemukakan oleh Jamil Shaliba yang mengatakan bahwa musytarak adalah satu kata yang
mempunyai beberapa makna yang setiap makna tersebut digunakan menurut pengertian denotasinya
atau satu kata yang digunakan terhadap beberapa hal yang berbeda dengan pengertian dan makna
sebenarnya dengan pemakaian yang sama.1
Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul adalah antara lain:
ََََّّّاللَََّفظَّالواحدَّالَّداَََّلَّعلىَّمعنيينَّمختلفينَّأوَّأكثرَّدلالةَّعلىَّالَّسواءَّعندَّأهلَّتلكَّاللَََّغ ّة
“Satu lafadh (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan
yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”
B. Penjelasan Musytarak Ma’nawi dan Musytarak Lafzhi
Al-Musytarak dari segi bahasa berasal dari kata اشتركyang berarti kacau.2 Lafadz musytarak
itu mempunyai banyak makna seperti lafadz al-'ain yang menunjukkan arti
mata untuk melihat, mata air, dan mata-mata.3 Lafadz musytarak kadang-kadang berupa
1 Kamaluddin Abunawas, “Pengaruh Bahasa Arab Terhadap Penetapan Hukum Islam”, Jurnal
Abadiyah Vol.XII nomor 2/2012 : 132.
23Al-Haidari, Usul al-Istinbat}, Juz I, ttp: tp., 1959.
Al-Hajib, Ibnu, Mukhtasar al-Muntahi al-Ushuli, Juz I, Kairo: Maktabahal-Kulliyyahal-
Azhariyyah, 1974.
isim, fi'il seperti shighat perintah untuk kewajiban dan menganjurkan, dan huruf misalnya huruf
wawu untuk athaf (kata sambung) dan wawu hal untuk menyatakan keadaan.4
Adapun secara definitif, para ulama' ahli ushulfiqh mendefinisikan musytarak lafdzi sebagai
berikut:
1. Al-Shashi (ulama Hanafiah)
َّماَّوضعَّلمعنيينَّمختلفينَّأوَّلمعا ٍنَّمختلفةَّالحقائق5َّ
"Lafadz yang mempunyai dua makna atau lebih yang berbeda secara hakiki". 2. Ibnu al-
Hajib (ulama Malikiyah)
َّ.لفظَّواحدَّلمعنىَّمتعددَّحقيقة6َّ
"Satu lafadz yang mempunyai banyak makna secara hakiki 3. Al-
Mahalli (ulama Syafi'iyah)
َّ.اللفظَّالواحدَّالمتعددَّالمعنىَّالحقيقي7َّ
"Satu lafadz yang mempunyai beberapa makna hakiki". 4. Ibnu
Qudamah )ulama Hanabilah)
َّوالمشتركةَّفهيَّالأسماءَّالمنطلقةَّعلىَّمسمياتَّمختلفةَّبالحقيقة8َّ
"Lafadz musytarak adalah suatu isim yang mengeluarkan isim-isim yang berbeda secara
hakiki".
5. Abu Zahrah (ulama kontemporer)
َّلفظَّيدلَّعليَّمعنيينَّاومعانَّعلىَّسبيلَّالتبادل9َّ
45Al-Harawi, Hasan, Hashiyah Hasan al-Harawi 'ala Hashiyahal-Jurjani, Juz I,
ttp: tp., tt. Al-Mahalli, SharhJam'ualJawami' ma' Hashiyahal-'Itar, Juz I, Mesir: tp.,
tt 67Al-Shashi, Ushulal-Shashi, Beirut: Daral-Kitab al-'Arabi, 1982.
Al-Zuhaili, Wahbah, Usul Fiqh al-Islami, Juz I, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.
89Al-Qazwaini, Muhammad ibn Yazid, Sunan Ibnu Majah, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Dahlan, Abdul Azis, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru vanHoeve, 2003.
“ Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna dengan jalan bergantian”. (maksudnya
pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang
terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah
satunya).
Adapun mengenai musytarak maknawi kebanyakan ulama' ushul tidak
menjelaskannya. Akan tetapi sebagian ulama' menjelaskan lafadz maknawi itu ketika mereka
membagi lafadzmusytarak maknawi menjadi lafadz المتواطئَّوالمشكك10 .
Di antara para ulama' ushulfiqh yang mendefinisikan musytarak maknawi adalah sebagai
berikut:
1. Hasan al-Harawi
ََّّلفظَّموضوعَّبإزاءَّمفهومَّكليَّصادقَّعلىَّأفرادَّماَّيشارَّإليه11َّ
"lafadz yang diletakkan dengan melihat mafhum kulli yang sesuai
dengan satuan-satuan yang dikehendaki".
2. Zakiy al-Din Sya'ban
ََّّاللفظَّالذيَّوضعَّوضعاَّواحداَّلمعنىَّكليَّيشتركَّفيهَّأفرادَّكثيرة21َّ
"lafadz yang mempunyai satu makna kulli yang mengandung banyak satuan-satuan di
dalamnya". 3. Al-Haidari
َّ.َّتعددَّأفرادَّالمعنىَّالحقيقيَّللفظَّالواحد31َّ
"Banyaknya satuan-satuan makna hakiki untuk satu lafadz".
Adapun contoh musytarak maknawi adalah lafadz al-jarimah . Dalam syara' dan undang-undang
digunakan untuk perbuatan yang dilarang dan akan mendapat sanksi bagi
1011Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah,
2005. Manzur, Ibnu, Lisan al-'Arab, Beirut: tp., tt.
1213Ma'luf, Luwis, al-Munjid fial-Lughahwaal-A'lam, Beirut: al-Maktabahal-Sharqiyyah, 1988.
Qudamah, Ibnu, Raudhahal-Nazir wa Jannah al-Manazirfi Usul al-Fiqh 'ala Madhhabal-
Imam Ahmad ibnHanbal, Juz I, Kairo: Maktabahal-Azhariyah, tt.
orang yang melanggarnya. Makna ini musytarak antara seluruh jenis-jenis jarimah (kejahatan),
yaitu jarimah menyerang orang lain, harta, kehormatan, keamanan, pengakuan atau yang lainnya.
Perbedaan-perbedaan antara musytarak lafdzi dan maknawi adalah sebagai berikut:14
1. Musytarak lafdzi itu mempunyai lebih dari satu arti, sedangkan musytarak maknawi itu hanya
satu arti.
2. Kata yang punya arti banyak dalam musytarak lafdzi itu adalah lafadznya, sedangkan dalam
musytarak maknawi adalah maknanya.
3. Penetapan musytarak lafdzi itu banyak, artinya zaman penetapan awal berbeda dengan yang
kedua dan keduanya berbeda dengan yang ketiga. Sedangkan musytarak maknawi mempunyai
satu arti dan dalam satu zaman.
4. Terjadi perbedaan para ulama' dalam masalah musytarak lafdzi, akan tetapi tidak terjadi
perbedaan dalam musytarak maknawi.
5. Banyak Ulama ushul menjelaskan panjang lebar mengenai musytarak lafdzi, sedangkan sedikit
sekali di antara mereka yang menyinggung tentang musytarak maknawi.
Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa Arab sangatlah banyak sekali, namun
ulama’ ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara
lain sebagai berikut: 15
a. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah Arab di dalam menggunakan suatu kata untuk
menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد, dalam satu
kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti hasta secara sempurna. Sedangkan kabilah yang
lain untuk menunjukkan khusus telapak tangan.
b. Terjadinya perkembangan perluasan makna satu lafadz dari makna asal, seperti lafadz فتنyang
asalnya bermakna logam atau barang tambang dalam api, selanjutnya digunakan untuk
menunjukkan arti penindasan agama, kemudian bermakna terjerumus dalam kesesatan.
c. Terjadinya makna yang berkisar atau keragu-raguaan ) )ترددantara makna hakiki dan majaz.
1415Syafa'at, Abdul Khaliq, AsbabGhumudal-NashwaTuruq Izalatih, ttp., tp., tt.
Sya'ban, Zakiy al-Din, Usul al-Fiqh al-Islami, Mesir: Dar al-Ta'lif, 01965.
d. Terjadinya makna yang berkisaran atau keragu-raguaan ) )ترددantara makna hakiki dan makna
istilah urfi. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa ke dalam arti istilah, seperti
kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadz الصلاةyang dalam arti bahasa
bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu
yang telah kita ma’lumi.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa al-musytarakal-lafdzi adalah lafadz
yang mempunyai dua arti hakiki atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan
artinya secara bergantian. Sedangkan al-musytarakal-maknawi adalah lafadzkulli yang mempunyai
satuan-satuan makna hakiki.
Perbedaan Pendapat Ulama' Tentang Adanya al-Musytarakal-Lafdzi
1) Wajib adanya musytaraklafdzi. Termasuk yang mengikuti pendapat ini adalah Abu al-Hasan al-
Ash'ari dengan alasan:
a. Makna itu tidak terbatas, sedangkan lafadz itu terbatas.
b. Lafadz itu bersifat umum seperti lafadz wujud. Wujud itu ada wujud al-wajib dan wujud al-
mumkin.
2) Mustahil adanya musytarak lafdzi. Pendapat ini diikuti oleh Tha'lab, al-Abhari, dan al-Balkhi
dengan alasan:
a. Sesuatu yang dianggap musytarak lafdzi di antara dua makna atau lebih adakalanya
mutawathi' atau salah satunya makna hakikat sedang yang lain makna majaz seperti al-'ain
hakikatnya berarti mata sedang yang lain berarti majaz.
b. Tujuan lafadz dan peletakan maknanya itu untuk memahamkan suasana pembicaraan.
3) Pembicaraan dengan lafadzmusytarak tidak akan memberikan pemahaman, baik bagi yang
berbicara maupun yang mendengarkan. Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah dengan alasan:
a. Peletakan lafadz itu bergantung kepada tujuan mutakallim, terkadang mutakallim
menyebutkan sesuatu dengan rinci terkadang dengan global.
b. Banyaknya suku bangsa, maka tidaklah tercegah sebuah suku bangsa menamakan sesuatu
yang berbeda dengan suku bangsa yang lain.
Perbedaan Penggunanal-Musytarakal-Lafdzi yang Mempunyai Lebih dari Satu Makna
dalam Waktu yang Bersamaan.
1) Boleh menggunakan makna-makna yang terkandung dalam lafadz musytarak dalam waktu yang
bersamaan, baik mana itu menunjuk kepada al-nafy (peniadaan hukum) maupun menunjuk
kepada al-isbat (penetapan hukum), dengan syarat makna-maknanya dapat dikompromikan.
Pendapat ini dipilih oleh imam Syafi'i, Abu Bakar Muhammad al-Baqilani (tokoh usul
fiqhmadzhab Maliki),dan tokoh-tokoh Mu'tazilah seperti Qadi Abdul Jabbar dengan alasan:
a. Lafadz tersebut memang mengandung beberapa makna yang seimbang, yang tidak mungkin
ditujukan pilihan kepada salah satu di antara makna-makna tersebut. Karenanya, mengambil
seluruh makna lebih bersisat ihtiyat (hati-hati).
Kebolehan ini didukung oleh surat al-hajj ayat 18.
2) Tidak boleh menggunakan makna-makna yang terkandung dalam lafadz musytarak dalam waktu
yang bersamaan. Pendapat ini dipilih oleh ulama madzhab Hanafi, dan sebagian madzhab Syafi'i
dengan alasan bahwa lafadz musytarak tidak ditentukan untuk seluruh maknanya pada suatu
penggunaan. Menurut mereka makna sujud dalam surat al-hajj ayat18 itu berarti khusyuk, tunduk
dan patuh, baik secara ikhlash maupun secara terpaksa. makna ini dapat berlaku bagi manusia
dan juga maskhluk lain selain manusia.
3) Boleh menggunakan makna-makna yang terkandung dalam lafadzmusytarak dalam waktu yang
bersamaan, apabila tujuannya untuk al-nafy (meniadakan) bukan al-isbat (menetapkan).
Pendapat ini dipilih oleh sebagian madzhab Hanafi.
Dampak Al-Musytarak Al-Lafdzi Dan Al-Ma'nawi Dalam Kesamaran Teks Dan Cara
Menghilangkannya.
Musytarak lafdzi sangat menentukan terhadap pembatasan makna yang dikehendaki yang
datang dari nash dan dalam menggali hukum yang tidak ada qarinahnya. Nash-nash yang
mengandung musytaraklafdzi terdapat kesamaran meskipun dinisbatkan dengan lafadz yang lain.
Perkara yang menjadikan musytarak lafdzi dan maknawi dalam nash yang paling penting adalah
sebab-sebab perbedaan pendapat ulama dan kesamaran nash.
Contoh musytarak lafdzi adalah perbedaan ulama dalam memaknai lafadz al-qar'u antara arti
haid dan suci dalam firman Allah:
َّ. َوا ْل ُم َّط ََ ل َقا ُت َیتَ َّر ََ ب ْص َن ِبأَنفُ ِس ِّه ََ ن ثَل َاثَةَ قُ ُر َو ٍء
Ulama hanafiah, Hanabilah, dan Zaidiyah mengartikannya dengan haid, sedangkan ulama
Syafi'iyah, Malikiyah, Imamiyah dan Dhahiriyah mengartikannya suci.
Dari perbedaan pendapat tersebut menghasilkan penetapan-penetapan hukum sebagai berikut :
1. Tidak dianggap haid wanita yang ditalak di dalamnya menurut pendapat yang pertama, maka
iddahnya akan selesai ketika masuk pada haid yang keempat, dan dianggap suci wanita yang
ditalak di dalamnya, maka iddah akan selesai ketika masuk haid yang ketiga setelah ditalak.
2. Suami berhak ruju' pada haid yang ketiga menurut pendapat yang pertama, karena masa
iddahnya akan habis ketika masuk pada haid yang keempat, berbeda dengan pendapat yang
kedua karena masa iddahnya akan habis ketika masuk pada haid yang ketiga.
3. Bolehnya menikahi saudara perempuan wanita yang di talak pada masa haid yang ketiga
menurut pendapat yang kedua.
4. Wanita yang ditalak boleh menikah pada masa haid yang ketiga menurut pendapat yang kedua.
5. Wanita yang ditalak berhak mendapat nafkah,dan tempat tinggal pada masa haid yang ketiga
menurut pendapat pertama.
6. Bolehnya menikah wanita yang kelima ketika masuk pada masa haid yang ketiga menurut
pendapat yang kedua.
7. Ketika salah satu dari mereka meninggal pada masa haid yang ketiga maka yang lain berhak
mendapatkan waris darinya menurut pendapat yang pertama, jika talak itu raj'i.
8. Jika wanita yang ditalak dalam keadaan suci maka iddahnya akan selesai pada masa haid yang
ketiga dan jika ditalak dalam keadaan haid maka iddahnya akan habis pada masa haid yang
keempat menurut pendapat yang kedua.
Adapun contoh musytarak maknawi adalah perbedaan ulama dalam membatasi lafadz al-qatil
yang mencegah mendapatkan hak waris sesuai dengan hadis Rasul:
َّ.َّليسَّلقاتلَّميراث
Menurut Hanafiah pembunuhan yang dapat mencegah mendapatkan hak waris adalah
pembunuhan yang menyebabkan qishah atau kafarat. Menurut Malikiyah adalah pembunuhan yang
disengaja karena permusuhan dan penganiayaan. Menurut Syafi'iyah adalah pembunuhan yang ada
jaminan atau dengan hak maka boleh mendapatkan waris, ada yang mengatakan pembunuh tidak
mendapat waris secara mutlak. Menurut Hanabilah pembunuh tidak mendapatkan waris baik
disengaja maupun tidak. Menurut al-Dhahiri pembunuhan tidak tercegah secara mutlak karena ayat
alqur'an yang umum tidak membedakan pembunuh sedangakan hadis tersebut tidak bisa mentakhsis
keumuman ayat al-Qur'an.
Pendapat yang rajih adalah pendapat malikiyah, imamiyah, dan zaidiyah yang berpendapat
bahwa pembunuhan yang mencegah mendapatkan waris adalah pembunuhan yang disengaja dan
karena permusuhan, kerena lebih dekat kepada keadilan dan ruh syari'at agama.
1. Adapun jalan keluar dalam menghilangkan kesamaran nash adalah sebagai berikut:1. Taamul
dengan shighat untuk menjelaskan makna yang dikehendaki.
2. Membahas dalil lain yang mengenali tujuannya, karena kesamaran makna akan hilang dengan
memperhatikan tujuan yang dikehendaki.
Apabila dalam nash-nashal-Qur’an dan Al-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka
menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai berikut :
a. Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa
dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi- indikasi
yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
b. Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan
adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah
satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud
qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah
keadaan atau kondisi tertentu masyarakat Arab pada saat turunnya nash tersebut.
c. Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz-lafadz tersebut, menurut
golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu
artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu
artinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abunawas Kamaluddin, “Pengaruh Bahasa Arab Terhadap Penetapan Hukum Islam”, Jurnal Abadiyah
Vol.XII nomor 2/2012 : 132.
Al-Haidari, Usul al-Istinbat}, Juz I, ttp: tp., 1959.
Al-Hajib, Ibnu, Mukhtasar al-Muntahi al-Ushuli, Juz I, Kairo:
Maktabahal-Kulliyyahal-Azhariyyah, 1974.
Al-Harawi, Hasan, Hashiyah Hasan al-Harawi 'ala Hashiyahal-Jurjani, Juz I, ttp: tp., tt.
Al-Mahalli, SharhJam'ualJawami' ma' Hashiyahal-'Itar, Juz I, Mesir: tp., tt Al-Shashi, Ushulal-
Shashi, Beirut: Daral-Kitab al-'Arabi, 1982.
Al-Zuhaili, Wahbah, Usul Fiqh al-Islami, Juz I, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.
Al-Qazwaini, Muhammad ibn Yazid, Sunan Ibnu Majah, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Dahlan, Abdul Azis, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru vanHoeve, 2003.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah, 2005.
Manzur, Ibnu, Lisan al-'Arab, Beirut: tp., tt.
Ma'luf, Luwis, al-Munjid fial-Lughahwaal-A'lam, Beirut: al-Maktabahal-Sharqiyyah, 1988.
Qudamah, Ibnu, Raudhahal-Nazir wa Jannah al-Manazirfi Usul al-Fiqh 'ala
Madhhabal-Imam Ahmad ibnHanbal, Juz I, Kairo: Maktabahal-Azhariyah, tt.
Syafa'at, Abdul Khaliq, AsbabGhumudal-NashwaTuruq Izalatih, ttp., tp., tt.
Sya'ban, Zakiy al-Din, Usul al-Fiqh al-Islami, Mesir: Dar al-Ta'lif, 01965.
Wakidyusuf.wordpress.com, 2011/06
BAGIAN 10
AT-TARADUF FII AL-QUR’AN
PEMBAHASAN
A. Definisi Muradif atau yang diduga Muradif dalam Al-Qur’an
Pengertian Muradif adalah beberapa lafadh yang menunjukan satu arti, misal lafadhnya
banyak, sedang artinya dalam pribahasa Indonesia satu, sering disebut dengan sinonim atau kalimah
yang lafadznya banyak, sedangkan artinya sama (sinonim), seperti lafadz al-asad dan allaiits artinya
singa.
Muradif itu sendiri berasal dari kata ) (الحرادفbermakna, sesuatu yang mengikuti sesuatu
lainnya dibelakangnya. Perkataan Mutaradif itu berasal dari isim fail. Mutaradif adalah beberapa kata
dengan satu arti.
Menurut al-Murtada al-Zabadi (w. 1205 H.) ia mendefinisikan Mutaradif dengan menjadikan
banyak nama pada satu hal. Hal berbeda yang disampaikan oleh as-Suyuti yaitu, Mutaradif ialah
beberapa kata dengan satu arti, namun beliau membatasi pada beberapa kata yang memang
mempunyai batasan tertentu, seperti kata al-Insan dengan al-Basyar dan Saif dengan al-Sarim.
Mutaradif menurut istilah bahasa adalah beraneka ragamnya lafadz berjumlah dua atau lebih
dengan disepakati satu makna. Seperti al-asad, al-sab, al-lais dan asamah (, َّاليث,َّالسثع,َّ)أساهة الأسذ
yang menunjukan mempunyai satu makna yakni singa. Begitu juga dengan al-husam, al-
saif, al-muhannad, al-yamani)َّاليواَي,َّالوهَّذ,َّالسيف, (الحسامmemiliki satu makna yakni pedang.
Mutaradif (sinonim) yakni lafadz bermacam-macam dengan kesesuaian makna.
A. Pandangan Ulama Tentang Taraduf Dalam Al-Qur’an
pertama, bahwa sinonim adalah jenis dari taukid (penegasan) yang ditinjau dari maknanya. Ditunjukan
adanya taukid dengan lafadz sinonim dan taukid dengan meng'ataf-kan (kata hubung) lafadz yang
serupa.
Kedua, Ulama yang sepakat berpendapat bahwa tarâduf dalam ulum al-Qur’an ditandai
dengan adanya ilmu al-Mutasyabih (penyerupaan). Taraduf adalah bagian dari macammacam
hal yang serupa dalam al-Qur'an. Muhammad Nuruddin al-Munajjad mengutip pendapat al-
Zarkasyi berkenaan dengan
Ulama yang Tidak Sepakat Terhadap Adanya Tarâduf dalam al-Qur’an
Al-Baraziy berpendapat bahwa ada kata yang memiliki kemuliaan dibandingkan kata yang
lain, walaupun kata tersebut sama. Ia tidak mengingkari adanya tarâduf namun memuliakan kata satu
atas kata yang lain.
Sedangkan Al-Asfahani berpendapat bahwa setiap kata yang memiliki makna yang sama di dalam al-
Quran tidak dapat disamakan. Hal ini dikarenakan susunan kata dalam al-Quran selain memiliki
kekhususan dalam setiap maknanya, juga memiliki arti yang berbeda dengan yang lainnya, disamping
itu kata tersebut memiliki kesesuaian dalam susunannya. Karyanya yang berjudul Mu'jam Mufradât li
Alfâz al-Qur'an didedikasikan untuk menjelaskan beberapa kata yang dianggap mirip maknanya
dalam al-Qur'an.
Beberapa ulama kontemporer juga tidak sedikit yang memiliki pandangan yang sama dengan al-
Asfahani, di antaranya ialah Abd al-Rahmân al-Akk, Manna Khalil al-Qattan, dan „Âisyah bint al-
Syâti‟. Al-Akk berpendapat bahwa dalam al-Qur'an tidak ada kata-kata yang sama kecuali memiliki
makna dan maksud yang berbeda.
Hal ini senada dengan pendapat al-Qattan yang mengatakan, “sesuatu yang dianggap sinonim
(mutarâdif) dalam al-Qur‟an sejatinya bukanlah sinonim. Salah satu ulama yang menolak adanya
sinonim dalam al-Qur‟an bahkan dalam bahasa Arab secara umum ialah Bint al-Syati. Ia dipengeruhi
oleh ulama klasik, diantaranya Abu Hilal al-„Asykariy, ibnu al-„Arabiy, Abu Qasim al-Anbariy dan
al-Sa‟labiy. Ia berpedoman pada al-„Anbariy, bahwa setiap kata yang telah ditetapkan menunjuk pada
referen tertentu, didalamnya mengandung illat atau sebab tertentu yang menyebabkan kata tersebut
diucapkan pada referen tersebut.
Menurut al-Munajjad, al-Anbariy melihat pada kondisi-kondisi eksternal yang berhubungan dengan
ucapan suatu kata. Bint al-Syati‟ mengutip Ibnu Faris bahwa jika ada dua lafadz untuk satu makna
atau untuk satu benda, niscaya lafadz yang sama memiliki kekhususan yang tidak dimiliki lafadz yang
lainnya, kalau tidak demikian niscaya lafadz yang lainnya itu sia-sia, lafadz yang banyak itu hanya
merupakan sifat. Misalkan, dikatakan makna batu memiliki 70 kata, makna singa 500 lafadz, makna
ular 200 lafadz dan makna pedang 50 lafadz. Bint al-Syati‟ menemukan rumus setelah menelusuri
penggunaan kata ni’mah( )َعوةdan na’im()َعينdalam al-
Qur'an, bahwa na’im digunakan al-qur'an untuk nikmat-nikmat ukhrawi, bukan duniawi
M. Quraish Shihab salah satu pakar tafsir di indonesia, termasuk ulama yang menolak adanya sinonim
murni dalam al-Qur'an. Ia mengungkapkan kaidah umum mengenai Mutarâdif yakni, tidak ada dua
kata yang berbeda akar katanya, yang sama akar katanya pun, tetapi berbeda bentuknya akibat
penambahan huruf, seperti kata rahmân dan rahîm, atau qatal dan qattala, maka pasti ada perbedaan
maknanya, sedikit atau banyak.
C. Contoh-contoh yang diduga muradif dalam Al-Qur’an
1. Kata Khasyah dan Khauf
2. Kata Jaa’a dan ataa