Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
MODUL 1.2 NILAI-NILAI DAN PERAN GURU PENGGERAK
Ringkasan Alur Belajar MERDEKA
(1.2.a.4. Eksplorasi Konsep - Modul 1.2)
Pembelajaran 2 - Eksplorasi Konsep
PEMBELAJARAN MANDIRI (4 JP)
Hari/Tanggal : Senin. Selasa dan Rabu ( 12-14 September 2022 )
Durasi : 6JP
Moda : Pembelajaran Mandiri dan Forum Diskusi Tertulis
TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS:
CGP mengetahui hubungan antara emosi, cara kerja otak, kebutuhan dasar
manusia, daya untuk memilih, motivasi intrinsik, dan struktur sistemik lingkungan
dalam pembentukan nilai-nilai dalam diri seseorang
CGP menjelaskan makna Profil Pelajar Pancasila dalam transformasi
pendidikan.
CGP menjelaskan makna nilai-nilai yang perlu dikembangkan guru penggerak.
CGP menjelaskan makna peran guru penggerak dalam transformasi pendidikan.
CGP mengetahui bahwa keteladanan dan sistem pembiasaan yang konsisten di
suatu lingkungan mempengaruhi penumbuhan nilai-nilai dalam diri seseorang.
CGP mengelaborasi makna pemimpin pembelajaran di sekolahnya masing-
masing.
NILAI KEMANUSIAAN: KEBAJIKAN UNIVERSAL
Iwan Syahril Dirjen GTK Kemendikbudristek, menyatakan dalam refleksinya atas
Asas Konvergensi Ki Hadjar Dewantara: "Perubahan yang kita lakukan di pendidikan
harus menuju pada suatu titik yang memanusiakan manusia dan memperkuat nilai
kemanusiaan kita." Dalam sesi ini, Bapak/Ibu akan melakukan aktivitas yang berbentuk
paparan materi.
1
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
Bapak/Ibu akan berinteraksi dengan materi secara mandiri dengan menyimak
dan memaknai materi yang dipaparkan serta merefleksikannya. Sebagaimana
dinyatakan dalam kalimat pembuka di atas, pendidikan harus mampu menumbuhkan
manusia yang kuat nilai kemanusiaannya, yang memegang teguh nilai-nilai kebajikan.
Dalam konteks yang beranekaragam, kita memerlukan pegangan yang
mempersatukan. Nilai-nilai kebajikan yang sifatnya universal lah kemudian yang dapat
dijadikan “landasan bersama” (common-ground), bagi beragam kepentingan, suku-
bangsa, ras, agama, dan antar-golongan. Semangat untuk mengapresiasi dan berpihak
pada nilai-nilai yang diperlukan dan menguntungkan anak adalah landasan dalam
membawakan peran perubahan di pendidikan. Dengan demikian diharapkan,
Bapak/Ibu dapat menilik kembali nilai-nilai yang sudah ada dalam diri pribadi lalu
menguatkan yang selaras dengan nilai-nilai dan konsep yang dipromosikan dalam
Program Guru Penggerak ini. Bapak/Ibu juga diharapkan untuk menjawab dengan
seksama dan mendalam pertanyaan-pertanyaan refleksi yang telah disediakan agar
pemahaman Bapak/Ibu akan konsep yang dipaparkan pun menjadi semakin kuat,
semakin paham pula bagaimana manusia tergerak dan bergerak, sehingga semakin
2
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
menghayati bagaimana menggerakkan manusia.
Gambar 3. Kerangka Konsep Modul 1.2
A. BAGAIMANA MANUSIA TERGERAK
Pertanyaan pemandu: Apa saja hal yang bekerja secara alami pada diri seorang
manusia dan mempengaruhi bagaimana manusia dalam berperilaku?
A.1. Cara kerja otak: Sistem berpikir cepat dan lambat
Pada bagian ini, Bapak/Ibu akan belajar bagaimana otak mempengaruhi
bagaimana manusia tergerak melalui sebuah video pendek berjudul “Eskalator
dan Kerja Otak”. Video ini berupaya menjelaskan bagaimana otak bekerja dalam
dua sistem berpikir yang berbeda, yaitu berpikir cepat dan berpikir lambat melalui
perumpamaan eskalator yang berjalan turun. Video ini juga membahas
bagaimana otak “3-in-1 (Triune)” manusia bekerja.
Gambar 4. Tangkapan Gambar Video Eskalator dan Kerja Otak
Guru adalah manusia yang senantiasa berusaha untuk menggerakkan manusia
lainnya. Oleh karena itu, guru harus lebih dulu sadar bagaimana dirinya tergerak,
kemudian mempengaruhi dirinya untuk bergerak. Emosi adalah bagian utama dari
lingkungan yang sifatnya psikis dan intrinsik yang dapat dipengaruhi dan harus
3
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
dipertimbangkan pengembangannya oleh guru. Dalam rangkaian modul Pendidikan
Guru Penggerak aspek emosi akan dibahas tersendiri dengan lebih detail dalam modul
Pembelajaran Sosial Emosional.
Bacaan 1. Perumpamaan Otak 3-in-1 (Triune) Manusia Menggunakan Tangan
Bapak/Ibu sudah diajak melihat di balik kecanggihan otak manusia, ternyata ada
bagian-bagian yang masih menyerupai otak Reptil, otak Mamalia (dan Primata). Dalam
bacaan ini, Bapak/Ibu diajak untuk memvisualisasikan otak yang umumnya berukuran
lebih-kurang sebesar dua kepal tangan Bapak/Ibu sendiri. Pergelangan tangan
diumpamakan sebagai batang otak, jempol yang disembunyikan dalam 4 jemari lainnya
diumpamakan sebagai sistem limbik (amigdala), dan 4 jemari lain sebagai otak berpikir
atau otak luhur (neocortex).
Gambar 5. Perumpamaan Otak Menggunakan Tangan
Otak Reptil
Batang otak mengelola semua otomatisasi dan reflek di tubuh demi kelangsungan
hidup kita, sehingga mampu mengkonservasi energi yang digunakan otak. Bagian otak
4
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
ini mengotomatisasi kerja organ dalam tubuh, seperti: jantung, hati, paru-paru, dan lain-
lain yang terkait dengan sistem pernapasan, metabolisme, reproduksi, hormon,
suhu tubuh, bertahan hidup seperti: refleks untuk fight, flight, freeze (melawan, kabur,
diam), melindungi dari bahaya. Bagian otak ini selalu menganggap semua adalah
ancaman hingga terbukti aman. Bagian otak ini menyerupai otak Reptil.
Otak Mamalia
Sistem limbik (amigdala) yang menyerupai otak Mamalia ini, bertanggung jawab soal
emosi. Bagian otak ini adalah pusat emosi (takut, sedih, marah, senang, jijik, terkejut,
dan lain-lain), bertanggungjawab atas dinamika hormon dan sistem kekebalan tubuh.
Letaknya begitu dalam di otak kita sehingga seringkali mampu mengambil alih kendali
diri seseorang. Terlukanya perasaan jauh lebih sakit dan lama sembuhnya ketimbang
luka fisik biasa. Otak Mamalia tersebut juga memiliki kecenderungan alamiah yang
sama dengan Otak Reptil yaitu: sebanyak mungkin mengkonservasi energi melalui
otomatisasi, auto pilot. Dalam gambar perumpamaan tangan di atas, jika ibu jari yang
menggambarkan otak mamalia pengelola emosi dibiarkan mengambil kendali, dibiarkan
lepas, dan keluar dari persembunyiannya di dalam 4 jemari yang lain, maka 4 jemari
pun akan dipaksa membuka, keadaan ini menggambarkan keadaan otak luhur yang
tidak dapat bekerja, tidak dapat aktif.
Otak Berpikir (Otak Luhur – Otak Primata)
Otak berpikir terdiri dari otak Primata (bagian gerak kompleks, rekayasa penggunaan
alat) yang berada dalam satu kesatuan dengan otak manusia, otak luhur, atau
neocortex. Otak ini mengelola kemampuan berpikir (logis, rasional, terstruktur),
kemampuan berbahasa, perencanaan dan pemecahan masalah, berimajinasi
(mengenai masa depan, visi). Otak ini memang bertugas untuk berpikir strategis,
kreatif, metakognitif. Ini merupakan kekuatan, namun karena kerja itu semua memakan
banyak sekali energi, maka hal ini pun sekaligus menjadi kelemahan.
Jadi, di sini perlu diingat bahwa secara alamiah kita mempunyai kecenderungan
untuk mengkonservasi energi. Insting kita akan lebih cepat bereaksi dan
mengklasifikasikan sesuatu sebagai ancaman, ketimbang harus menganalisanya
5
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
terlebih dahulu apakah benar itu adalah ancaman. Kabar baiknya, otak manusia
memiliki kemampuan untuk belajar. Tidak statis tapi elastis. Dengan demikian,
penggunaan sistem berpikir lambat, penggunaan otak luhur (manusia) dapat kita
pelajari agar tidak begitu saja memperkenankan sistem berpikir cepat (otak Reptil dan
Mamalia) mengambil alih kendali diri kita.
[sumber: http://www.whatonearthishappening.com/part-1-the-solution/65-the-
triune-brain]
A.2. Lima (5) Kebutuhan Dasar Manusia: Kebutuhan Genetis
Disukai atau tidak, manusia adalah makhluk biologis yang memiliki sifat dasar
menjaga keberlanjutan spesiesnya secara genetis. Kebutuhan untuk bertahan hidup
(survival), kebutuhan untuk diterima (love and belonging), kebebasan (freedom),
kesenangan (fun), dan kekuasaan/penguasaan (power) adalah kebutuhan yang tidak
cuma dimiliki oleh manusia, makhluk lain seperti Burung, Mamalia, dan Primata juga
memiliki kebutuhan yang sama. Kita pasti pernah melihat anak-anak singa atau singa
remaja bermain layaknya berkelahi sungguhan, atau anak-anak monyet yang usil saling
mengganggu dan berakhir dengan kejar-kejaran dari pohon ke pohon. Itu adalah satu
contoh kebutuhan bersenang-senang (fun). Kelima kebutuhan di atas bermuara pada
kebutuhan tiap jenis makhluk untuk melanjutkan generasi, termasuk juga manusia.
Mungkin kita pernah menjumpai seseorang dengan perilaku yang tidak sesuai
dengan norma atau aturan yang berlaku. Besar kemungkinan, hal itu mereka lakukan
karena mereka tak mampu memenuhi atau mereka tidak mendapatkan kebutuhan
dasar mereka. Setiap perilaku kita adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa
yang kita butuhkan, sebuah usaha untuk memenuhi satu atau lebih kebutuhan dasar
kita. Berikut ini, kita ulas satu demi satu kebutuhan tersebut dalam kaitannya dengan
konteks pendidikan dan sekolah.
6
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
Gambar 6. Lima Kebutuhan Dasar Manusia
1. Kebutuhan Bertahan Hidup
Kebutuhan bertahan hidup (survival) adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis untuk
bertahan hidup misalnya makanan, pakaian, istirahat, tempat berlindung, keamanan,
dan kesehatan. Secara sederhana itu dapat dipenuhi dengan makan, tidur, olahraga,
memberikan perlindungan.
2. Kasih sayang dan Rasa Diterima (Kebutuhan untuk Diterima)
Kebutuhan ini termasuk kebutuhan psikologis seperti: rasa diterima, dipedulikan,
berbagi, bekerja sama, menjadi bagian dari suatu kelompok, dikasihi-mengasihi,
disayangi-menyayangi. Kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial, kebutuhan untuk
terhubung dengan orang lain, teman, keluarga, pasangan, rekan kerja, kelompok, dan
bahkan dengan binatang peliharaan. Kebutuhan ini biasanya dapat dipenuhi melalui
7
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
ketulusan dan kehangatan hubungan dengan keluarga, teman-teman, kelompok, klub,
guru, konselor, coach.
3. Kekuasaan dan Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan)
Kebutuhan ini berhubungan dengan kekuatan seseorang untuk untuk mencapai
sesuatu, menjadi kompeten, menjadi terampil, memimpin, berprestasi, diakui, dan
didengar. Kebutuhan ini meliputi harga diri, keinginan untuk dianggap, dan
meninggalkan pengaruh. Kebutuhan ini dapat dipenuhi melalui kegiatan-kegiatan
seperti: proyek, hobi, tugas sekolah yang menantang-kontekstual-relevan, belajar
menjadi orang yang kuat, membuat pilihan positif, dan bekerja.
4. Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan)
Kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan untuk mandiri, otonom, memiliki pilihan,
mengembangkan daya lenturnya, dan mampu mengendalikan arahnya sendiri.
Kebutuhan ini terkait dengan kebebasan untuk memilih dan membuat pilihan,
kebutuhan bergerak, mencoba-coba, mengeksplorasi hal baru dan menarik.
Pemenuhan kebutuhan ini dapat dilakukan dengan menyediakan variasi, waktu
senggang, memberikan ruang untuk jadi diri sendiri yang merdeka, serta liburan.
5. Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang)
Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan untuk mencari kesenangan, humor,
bermain, bersenang-senang, bergembira, antusiasme, dan tertawa. Glasser
menghubungkan kebutuhan ini dengan belajar. Menurutnya, dengan bermain kita
sekaligus mempelajari banyak keterampilan hidup yang penting. Biasanya kebutuhan
ini juga dapat dipenuhi dengan menyediakan tantangan, gurauan, dan pembelajaran
yang bermakna.
A.3. Tahap tumbuh kembang anak
A.3.1. Wiraga-wirama Ki Hadjar Dewantara
Setiap insan manusia memiliki cara pandangnya sendiri terhadap dunia sesuai
dengan usia dan tahap tumbuh-kembangnya. Ki Hadjar Dewantara meyakini bahwa
8
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
proses belajar harus selaras dengan kodrat anak. Beliau paham bahwa dalam tiap
periode usia anak memiliki kekhususan yang harus dijadikan bahan pertimbangan
dalam proses belajar. Ki Hadjar Dewantara membagi periode usia anak ke dalam 3
tingkatan jiwa tiap 8 tahun (windu):
Gambar 7. Wiraga-Wirama: Tingkatan Jiwa Anak (Ki Hadjar Dewantara)
1. Wiraga (periode usia 0-8 tahun): Dalam periode ini jasmani (raga) dan indera anak
tumbuh pesat sekali. Dengan demikian, mereka harus banyak bergerak (melatih otot
kasar/besar), melatih otot halus, mengeksplorasi indera mereka (pendengaran, perasa,
pengecap, penciuman, peraba, termasuk imajinasi), dan mengenali simbol-simbol. Tak
heran jika Ki Hadjar Dewantara juga menyebutnya sebagai Taman Indria. Para guru di
periode ini terus berupaya fokus pada pemberian akses dan penyediaan pengalaman
belajar agar anak makin merdeka dalam mengeksplorasi “dunia”nya (diri, sesama, dan
lingkungan di dekatnya).
2. Wiraga-Wirama (periode usia 9-16 tahun):
9
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
Pada periode usia ini, anak mulai berkembang pikirannya. Maka, selain
melanjutkan pendidikan untuk mengakomodasi kebutuhan perkembangan jasmani dan
indera mereka yang belum usai, pendidik juga mulai fokus dalam menuntun proses
berpikir anak agar mereka semakin selaras (seirama) dengan sesamanya dan
lingkungannya. Guru pada periode ini menuntun anak untuk melakukan, membiasakan,
menginsyafi, hingga akhirnya menyadari mengapa mereka (misalnya) melakukan
kebiasaan baik yang mereka lakukan di sekolah, bukan sekedar menuruti/mengikuti
suatu aturan/kebiasaan saja.
3. Wirama (periode usia 17-24 tahun):
Guru pada rentang usia ini, menuntun dan menantang anak dalam hal
pengelolaan diri dan pengenalan potensi dirinya. Anak dalam periode ini mulai menata
bagaimana agar masa depannya senantiasa seirama dengan sesama dan semesta.
Anak dipaparkan pada keputusan-keputusan mengenai bagaimana menebalkan jati
dirinya di tengah masyarakat dan lingkungan. Mereka sadar bagaimana membawa diri
sebagai manusia yang merdeka. Mereka sadar betul bahwa ini hidup mereka, ini
negara-bangsa-dan tanah air mereka.
[sumber:https://www.salamyogyakarta.com/proses-belajar-harus-sejalan-dengan-
kodrat-anak-anak/]
A.3.2. Tahap perkembangan psikososial Erik Erikson
Erik Erikson adalah psikolog yang meyakini bahwa kepribadian seseorang itu
tumbuh dalam rangkaian tahapan (8 tahapan). Tiap tahapan menggambarkan dampak
dari pengalaman sosial pada mereka. Hingga kini, teori psikososial ini masih menjadi
pegangan dalam teori perkembangan. Untuk keperluan program Guru Penggerak ini,
akan dibahas 6 tahapan saja, pada periode usia 0-40 tahun.
10
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
Gambar 8. Tahap Perkembangan Prikososial Erikson (sumber: helenggrasha)
1. Tahap 1 (Usia 0-1,5 tahun)
Pada tahap ini, anak menumbuhkan harapan dan mengembangkan rasa percaya
saat orangtua (pengasuh/lingkungan sosial) menyediakan kasih sayang, kelembutan,
dan kepedulian. Dan kurangnya itu semua membuat anak mengembangkan
ketidakpercayaan.
2. Tahap 2 (Usia 1,5-3 tahun)
Tahap ini adalah tahap usia dini dimana anak menumbuhkan tekad dan
kehendak mereka hanya jika orangtua (pengasuh/lingkungan sosial) menyediakan
kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan kontrol diri serta kemandirian. Jika
tidak maka yang tumbuh adalah keraguan dan rasa rendah diri.
3. Tahap 3 (Usia 3-5 tahun)
Tahapan usia ini adalah masa awal anak bersekolah. Anak mulai
mengeksplorasi maksud dan tujuan-tujuan dalam kehidupan/lingkungan mereka.
Orangtua (pengasuh/lingkungan sosial) pada tahap ini perlu membuka banyak
11
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
kesempatan pada anak untuk mengambil inisiatif. Jika tidak demikian atau respon yang
diberikan orangtua (pengasuh/lingkungan sosial) atas laku anak tidak hati-hati maka
yang tumbuh pada anak adalah rasa bersalah.
4. Tahap 4 (Usia 5-12 tahun)
Pada periode ini anak menumbuhkan rasa kompeten atau kebanggaan atas
pencapaian dan kemampuan mereka. Untuk itu, orangtua (pengasuh/lingkungan sosial)
mereka harus menyediakan pengalaman bagi anak untuk menumbuhkembangkan
produktivitas mereka dalam belajar. Jika tidak, dalam diri mereka akan tumbuh rasa
inferior, merasa kecil dan tidak berarti.
5. Tahap 5 (Usia 12-18 tahun)
Periode ini terjadi pada masa remaja. Karakteristik anak pada usia ini adalah
labil dan galau, karena mereka memang sedang mencari dan mencoba-coba untuk
menebalkan identitas diri mereka. Pengalaman ini akan mempengaruhi perilaku mereka
di masa-masa berikutnya. Mereka mencari pegangan untuk menambatkan loyalitas
mereka. Maka orangtua (pengasuh/lingkungan sosial) perlu menuntun proses
penguatan identitas agar mereka tidak mengalami kebingungan peran.
6. Tahap 6 (Usia 18-40 tahun)
Di periode usia ini, seseorang mulai mengeksplorasi hubungan relasi yang
sifatnya pribadi. Ini adalah masa dewasa muda dimana mereka mulai mencari dan
mendalami perasaan cinta. Seseorang di tahap ini mulai membangun rasa dan
kedekatan intim dengan orang lain dan keluarga. Jika kesempatan untuk
menumbuhkan itu semua tidak tersedia untuknya, maka akan berujung pada lemahnya
dukungan sosial bagi dirinya. Dirinya merasa terisolasi dari lingkungan sosialnya.
[sumber: https://www.verywellmind.com/]
12
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
Tugas A.
Setelah menyimak video dan bacaan pada bagian ini:
● Bagaimana Bapak/Ibu memahami cara kerja otak, 5 kebutuhan dasar manusia, tahap
tumbuh-kembang anak berserta pengaruhnya pada pembentukan kebiasaan dan
nilai-nilai hidup manusia? Mengapa demikian?
● Menurut Bapak/Ibu nilai-nilai apa yang perlu dikuatkan sebagai guru penggerak?
Mengapa demikian?
B. BAGAIMANA MANUSIA MERDEKA BERGERAK
Pertanyaan pemandu: Apa makna dari pernyataan: manusia merdeka adalah manusia
yang berdaya dalam memilih dan mereka termotivasi dari dalam?
B.1. Manusia Merdeka: Berdaya dalam Memilih (Teori Pilihan)
Ki Hadjar Dewantara pernah mengingatkan pada kita tentang konsep manusia
merdeka, yaitu: mereka tidak terperintah, mereka dapat menegakkan dirinya, tertib
mengatur perikehidupannya, sekaligus tertib mengatur perhubungan mereka dengan
kemerdekaan orang lain. Dengan begitu, pendidikan seyogyanya adalah upaya sadar
untuk menumbuhkan manusia-manusia yang merdeka. Dalam pernyataannya yang
lain, Ki Hadjar Dewantara (Dasar-dasar Pendidikan, 1936), menyampaikan bahwa:
“Maksud pendidikan itu adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-
anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-
tingginya baik sebagai manusia, maupun anggota masyarakat.”
13
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
Gambar 9. Interpretasi atas Maksud Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Jika kita maknai sedikit mendalam pernyataan tersebut, maka pendidikan harus
mampu menuntun anak untuk memilih jalan kodrat yang menguatkan mereka sebagai
manusia dan anggota masyarakat. Kita kemudian dapat juga melihat bahwa “sebagai
manusia”, kita perlu memperhatikan hubungan kita dengan Tuhan, diri kita sendiri,
sesama, dan semesta. Sebagai manusia ber-Tuhan, sebagai makhluk dengan otak
paling canggih, kita harus menyadari peran penting kita dalam harmonisasi antara
individu manusia dengan manusia lain, makhluk lain, dan ibu bumi. Semakin harmonis
hubungan kita, maka makin besar kesempatan kita mencapai keselamatan dan
kebahagiaan.
Kita juga dapat melihat bahwa “sebagai anggota masyarakat”, kita adalah bagian
dari berbagai lingkungan sekaligus. Kita adalah anggota dari suatu keluarga, kita juga
anggota dari masyarakat di lingkungan rumah tinggal, kita juga anggota masyarakat di
kelas-sekolah dan lingkungan sekitar sekolah, kita juga anggota masyarakat lokal
(kabupaten/kota/provinsi), kita pun adalah anggota masyarakat di tingkat nasional,
regional, dan global. Ketika kita paham bahwa sebagai individu kita adalah anggota
masyarakat yang lebih luas, maka kita juga harus paham bahwa secara individu, kita
berkontribusi, serta membawa potensi diri kita (baik potensi kebaikan maupun
14
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
keburukan) ke dalam semua lingkungan tersebut. Dengan demikian, kita perlu secara
sadar, sepenuh hati dan pikiran, menjadi seseorang yang makin berdaya dalam memilih
sehingga semakin bijaksana dalam menjalani kemerdekaan kita itu.
William Glasser (1998) pernah menyatakan dalam “teori pilihan”, bahwa perilaku
seorang manusia adalah buah dari pilihan yang dibuat oleh manusia itu sendiri (baca
Bacaan 1. Aksioma terkait pilihan). Setiap hari, manusia selalu berada dalam situasi
untuk memilih. Apakah harus bangun pagi atau tidur lagi, apakah harus bereaksi keras
atas berita yang menyinggung perasaan walaupun belum pasti kebenarannya atau
mengecek dahulu kebenarannya dahulu, dan lain sebagainya. Untuk itu, kita perlu terus
berlatih untuk:
(1) fokus pada apa yang terjadi saat ini bukan masa lalu;
(2) menghindari 7-kebiasaan buruk yang secara eksternal “mengganggu” relasi dengan
orang lain: mengkritik, menyalahkan, mengeluh, menjengkelkan, mengancam,
menghukum, menyuap (memberi reward) untuk mengendalikan orang lain;
(3) menjalankan 7-kebiasaan mempedulikan orang lain: mendukung, mendorong,
mendengarkan, menerima, mempercayai, menghormati, dan menegosiasikan
perbedaan;
(4) menghindari membuat dalih dan alasan karena menghalangi kita membangun relasi;
(5) bersabar.
[sumber: Glasser, 2011]
Bacaan 2. Aksioma1 terkait “pilihan” (Glasser, 1998)
Untuk membantu mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan “diri kita yang
merdeka”.
1. Satu-satunya orang yang perilakunya dapat kita kendalikan adalah diri kita sendiri.
2. Yang bisa kita berikan kepada orang lain hanyalah informasi.
3. Semua masalah psikologis yang bertahan lama adalah masalah relasi (hubungan).
4. Masalah relasi selalu menjadi bagian dari kehidupan kita saat ini.
5. Apa yang terjadi di masa lalu berkaitan dengan keadaan kita sekarang ini, tetapi kita
hanya dapat memenuhi kebutuhan dasar kita saat ini dan berencana untuk terus
15
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
mengejar pemenuhannya di masa depan.
6. Kita hanya dapat memenuhi kebutuhan kita dengan cara memuaskan gambaran
yang kita anggap sebagai realitas di benak kita sendiri (disebut juga sebagai: Dunia
Berkualitas). Setiap manusia memiliki gambaran realitas yang berbeda dalam
memandang dunia mereka, biasanya gambaran itu lahir dari pengalaman hidup
mereka dan biasanya terkait: (1) orang-orang yang paling kita inginkan ada bersama
kita, (2) hal-hal yang paling ingin kita miliki atau alami, dan (3) gagasan atau sistem
keyakinan yang kemudian mengatur sebagian besar respon perilaku kita.
7. Yang kita lakukan hanyalah berperilaku.
8. Setiap perilaku terdiri dari empat komponen: (1) tindakan, (2) pemikiran, (3)
perasaan, dan (4) fisiologis.
9. Setiap perilaku adalah buah dari pilihan. Kita memiliki kontrol langsung atas
komponen tindakan dan pemikiran. Kita dapat mengontrol komponen perasaan dan
fisiologis secara tidak langsung lewat cara kita memilih komponen tindakan dan
pemikiran tadi.
10.Karena setiap perilaku ada dalam kendali kita sendiri, maka kita perlu fokus pada
apa yang dapat dilakukan (fokus pada kata-kerja) untuk mengambil kendali atas
perilaku dalam suatu keadaan bukan berperilaku sebagai korban dari suatu
keadaan.
Keterangan: aksioma1 = menurut KBBI, adalah “pernyataan yang dapat diterima
sebagai kebenaran tanpa pembuktian”
UU RI No. 20/2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I, Ketentuan
Umum Pasal 1, No.1, menyatakan: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Pernyataan tersebut merupakan
penguatan bahwa pendidik harus menuntun segala kekuatan kodrat anak dari dalam.
16
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
Ryan dan Deci (2000) melalui teori determinasi diri (self-determination theory),
mengisyaratkan bahwa pendidik perlu fokus dalam menyediakan suasana belajar dan
proses pembelajaran yang memungkinkan anak menguatkan dan menumbuh-
kembangkan motivasi intrinsik mereka. Dalam penerapannya, suasana belajar dan
proses pembelajaran yang disediakan harus dapat membuat anak senantiasa: merasa
kompeten (mampu, dapat, cakap), merasa saling-terhubung (kebutuhan sosial yang
diusahakan oleh individu untuk membangun hubungan dengan sesamanya), dan
merasa otonom (mandiri, merdeka).
Jadi, jika kita mengharapkan anak memiliki determinasi atau ketetapan hati,
dalam menentukan jalan kodrat mereka, maka anak harus mampu menghayati
perasaan akan kompetensi, otonomi, dan relasi mereka dan mengambil makna
positifnya. Kata "merasa" menjadi kata yang penting untuk diperhatikan karena
menunjukkan bahwa suasana dan proses pembelajaran harus mampu menguatkan
anak di tingkat “perasaan” sehingga bersifat pribadi dan mendalam bagi masing-
masing anak. Dengan demikian, para pendidik harus mulai dan terus menguatkan
dirinya untuk menumbuh-kembangkan motivasi intrinsik.
B.3. Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila
Dunia pendidikan Indonesia kini telah memiliki acuan Profil Pelajar Pancasila
(Bacaan 3) sebagai gambaran, proyeksi, dan harapan yang bangsa kita upayakan agar
mewujud pada murid Indonesia di masa depannya kelak. Jadi masuk akal rasanya jika
Profil Pelajar Pancasila tersebut pun dihidupi oleh para pendidik sebagai model mental
mereka. Profil Pelajar Pancasila mengandung enam dimensi yang kesemuanya berakar
pada falsafah Pancasila: (1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan
berakhlak mulia; (2) Mandiri; (3) Bergotong-royong; (4) Berkebinekaan global; (5)
Bernalar kritis; (6) Kreatif. Bersamaan dengan itu, diharapkan Bapak/Ibu juga mulai
mengenali dan memaknai nilai-nilai Guru Penggerak. Nilai-nilai ini diharapkan dapat
menguat pada diri Bapak/Ibu Calon Guru Penggerak untuk menjalankan peran
terutama dalam persoalan strategis, melampaui persoalan teknis atau operasional.
17
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
Bacaan 3. Profil Pelajar Pancasila
Bapak/Ibu Calon Guru Penggerak, pada modul sebelumnya kita sudah mempelajari
bahwa tujuan dari pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak,
agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya
baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Ki Hadjar Dewantara
mengemukakan bahwa dalam proses menuntun, diri anak perlu merdeka dalam belajar
serta berpikir, dituntun oleh para pendidik agar anak tidak kehilangan arah serta
membahayakan dirinya. Semangat agar anak dapat bebas belajar, berpikir, agar dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan berdasarkan kesusilaan manusia ini yang
akhirnya menjadi tema besar kebijakan pendidikan Indonesia saat ini, Merdeka Belajar.
Semangat Merdeka Belajar yang sedang dicanangkan ini juga memperkuat
tujuan pendidikan nasional yang telah dinyatakan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, dimana
Pendidikan diselenggarakan agar setiap individu dapat menjadi manusia yang “beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Kedua semangat ini yang kemudian memunculkan sebuah pedoman, sebuah penunjuk
arah yang konsisten, dalam pendidikan di Indonesia.
Pedoman tersebut adalah Profil Pelajar Pancasila (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2020).
Profil Pelajar Pancasila ini dicetuskan sebagai pedoman untuk pendidikan
Indonesia. Tidak hanya untuk kebijakan pendidikan di tingkat nasional saja, akan tetapi
diharapkan juga menjadi pegangan untuk para pendidik, dalam membangun karakter
anak di ruang belajar yang lebih kecil. Pelajar Pancasila disini berarti pelajar sepanjang
hayat yang kompeten dan memiliki karakter sesuai nilai-nilai Pancasila. Pelajar yang
memiliki profil ini adalah pelajar yang terbangun utuh keenam dimensi pembentuknya
yang harus dilihat sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Apabila satu dimensi
ditiadakan, maka profil tersebut menjadi tidak bermakna. Keenam dimensi itu adalah:
1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; 2) Mandiri;
3) Bergotong-royong; 4) Berkebinekaan global; 5) Bernalar kritis; 6) Kreatif.
18
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
Gambar 10. Profil Pelajar Pancasila
1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia
Murid dengan dimensi profil ini berarti murid tersebut mengamalkan nilai-nilai agama
dan kepercayaannya sebagai bentuk religiusitasnya, percaya dan menghayati
keberadaan Tuhan serta memperdalam ajaran agamanya yang tercermin dalam
perilakunya sehari-hari sebagai bentuk penerapan pemahaman terhadap ajaran
agamanya. Dalam usahanya memperkuat iman dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang
Maha Esa, murid dengan profil ini juga menghargai segala bentuk ciptaan Nya, baik itu
alam tempat ia tinggal, manusia lain, dan yang juga tidak boleh dilupakan, dirinya
19
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
sendiri. Dengan menghargai hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dirinya
sendiri, orang lain, serta alam, maka seorang murid dapat memenuhi dimensi ini.
Berikut beberapa elemen dan sub elemen dari dimensi Beriman, bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia.
● Akhlak Beragama. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu ataupun
memiliki:
- Mengenal dan mencintai Tuhan Yang Maha Esa
- Pemahaman agama/kepercayaan
- Pelaksanaan ajaran agama/kepercayaan
● Akhlak Pribadi. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu menunjukkan
ataupun memiliki:
- Integritas (sebagai bentuk penghormatan terhadap diri sendiri dalam relasi dengan
orang lain)
- Merawat diri secara fisik, mental, dan spiritual
● Akhlak kepada manusia. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu
menunjukkan:
● Mengutamakan persamaan dengan orang lain dan menghargai perbedaan
● Berempati kepada orang lain
● Akhlak kepada alam. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu menunjukkan:
- Menjaga lingkungan
- Memahami keterhubungan ekosistem bumi
● Akhlak bernegara. Dalam elemen ini seorang murid mampu menunjukkan:
- Melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara
2) Berkebinekaan Global
Murid dengan dimensi profil ini merupakan seorang murid yang berbudaya, memiliki
identitas diri yang matang, mampu menunjukkan dirinya sebagai representasi budaya
luhur bangsanya, serta terbuka terhadap keberagaman budaya daerah, nasional,
global. Hal ini dapat diwujudkan dengan kemampuan berinteraksi secara positif antar
sesama, memiliki kemampuan komunikasi interkultural, serta mampu memaknai
20
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
pengalamannya di lingkungan majemuk sebagai kesempatan pegembangan dirinya.
Berikut beberapa elemen dan sub elemen dari dimensi Berkebinekaan Global:
● Mengenal dan menghargai budaya. Dalam elemen ini berarti seorang murid
mampu:
- Mendalami budaya dan identitas budaya
- Mengeksplorasi dan membandingkan pengetahuan budaya, kepercayaan, serta
praktiknya
- Menumbuhkan rasa menghormati terhadap keanekaragaman budaya
● Komunikasi dan interaksi antar budaya. Dalam elemen ini berarti seorang murid
mampu menunjukkan:
- Berkomunikasi antar budaya
- Mempertimbangkan dan menumbuhkan berbagai perspektif
● Refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan. Dalam elemen
ini berarti seorang murid mampu menunjukkan:
● Melakukan refleksi terhadap pengalaman kebinekaan
● Menghilangkan stereotip dan prasangka
● Menyelaraskan perbedaan budaya
● Berkeadilan Sosial. Dalam elemen ini seorang murid mampu:
- Turut serta aktif, membangun masyarakat yang adil, inklusif dan berkelanjutan
- Berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan bersama
- Memahami peran individu dalam demokrasi
3) Gotong Royong
Seorang murid yang memiliki dimensi Gotong Royong berarti murid tersebut
mampu berkolaborasi dengan orang lain dan secara proaktif mengupayakan
pencapaian kesejahteraan dan kebahagiaan orang-orang yang ada dalam
masyarakatnya. Murid tersebut juga sadar bahwa Ia tidak hidup sendiri, memiliki
kesadaran diri sebagai bagian dari kelompok, sehingga perlu ada usaha dari dirinya
untuk membantu pencapaian kebahagiaan kelompoknya.
Berikut beberapa elemen dan sub elemen dari dimensi Gotong Royong:
● Kolaborasi. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu menunjukkan:
21
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
- Kerjasama
- Berkomunikasi untuk mencapai tujuan bersama
- Menumbuhkan rasa saling ketergantungan positif (menyadari peran dirinya dan peran
orang lain dalam kontribusinya dalam pencapaian tujuan kelompok)
- Koordinasi Sosial (melakukan koordinasi demi pencapaian tujuan bersama)
● Kepedulian. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu menunjukkan atau
memiliki:
- Tanggap terhadap lingkungan
- Persepsi sosial (memahami dan menghargai lingkungan sosialnya, untuk
memunculkan situasi yang sejalan dengan kesejahteraan lingkungan sosialnya)
● Berbagi. Memberi dan menerima segala hal yang penting bagi kehidupan pribadi dan
bersama.
4) Mandiri
Seorang murid yang memiliki dimensi mandiri berarti murid tersebut mempunyai
prakarsa atas pengembangan diri dan prestasinya dan didasari pada pengenalan
kekuatan serta keterbatasan dirinya serta situasi yang dihadapi, dan bertanggung jawab
atas proses dan hasilnya. Murid yang memiliki dimensi ini juga mampu mengelola
dirinya sendiri (pikiran, perasaan, tindakan) untuk mencapai tujuan pribadinya ataupun
tujuan bersama. Berikut beberapa elemen dan sub elemen dari dimensi Mandiri:
● Pemahaman diri dan situasi. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu:
- Mengenali kualitas dan minat diri serta tantangan yang dihadapi
- Mengembangkan refleksi diri
● Regulasi diri. Dalam elemen ini berarti seorang murid mampu:
- Regulasi emosi
- Menetapkan tujuan dan rencana strategis pengembangan diri dan prestasi
- Memiliki inisiatif bekerja secara mandiri
- Mengembangkan kendali dan disiplin diri
- Percaya diri, resilien dan adaptif
22
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
5) Bernalar Kritis
Seorang murid yang memiliki dimensi Bernalar Kritis berarti murid tersebut mampu
menggunakan kemampuan nalar dirinya untuk memproses informasi,
mengevaluasinya, hingga menghasilkan keputusan yang tepat untuk mengatasi
berbagai persoalan yang dihadapinya. Murid tersebut mampu
menyaring informasi, mengolahnya, mencari keterkaitan berbagai informasi,
menganalisa serta membuat kesimpulan berdasarkan informasi tersebut. Dimensi ini
juga berarti keterbukaan terhadap berbagai macam perspektif ataupun pembuktian baru
(termasuk pada pendapatnya semula yang digugurkan oleh pembuktian baru ini).
Keterbukaan ini pun mampu bermanfaat dalam kehidupan murid di masa mendatang
karena menumbuhkan murid yang terbuka, mau mengubah pendapatnya, serta
menghargai pendapat orang lain. Berikut beberapa elemen dan sub elemen dari
dimensi Bernalar Kritis:
● Memperoleh dan memproses informasi dan gagasan. Dalam elemen ini berarti
seorang murid mampu:
- Mengajukan pertanyaan (untuk mengumpulkan data yang akurat)
- Mengidentifikasi, mengklarifikasi dan mengolah informasi dan gagasan
● Menganalisa dan mengevaluasi penalaran.
● Merefleksi dan mengevaluasi pemikirannya sendiri.
6) Kreatif
Seorang murid yang memiliki dimensi kreatif berarti mampu memodifikasi,
menghasilkan sesuatu yang orisinal, bermakna, bermanfaat, dan berdampak untuk
mengatasi berbagai persoalan baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk lingkungan di
sekitarnya. Berikut beberapa elemen dan sub elemen dari dimensi Kreatif:
● Menghasilkan gagasan yang orisinal.
● Menghasilkan karya dan tindakan yang orisinal.
● Memiliki keluwesan berpikir dalam mencari alternatif solusi permasalahan.
Profil Pelajar Pancasila ini juga tidak harus diajarkan dalam mata pelajaran khusus,
namun memang harus diajarkan secara eksplisit, juga terintegrasi dalam muatan
pembelajaran. Dalam usaha mewujudkan Profil Pelajar Pancasila ini, tentunya perlu
23
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
peran pendidik untuk menuntun anak serta menumbuhkan profil yang dijabarkan. Peran
pendidik yang pertama terkait dengan Profil Pelajar Pancasila ini adalah mengenali
dan menjalankan profil ini terlebih dahulu. Ketika seorang pendidik menghidupi profil
ini, maka akan lebih mudah bagi murid untuk mengikutinya. Keteladanan seorang guru
dalam menjalankan profil ini pasti akan dilihat dan dipelajari oleh para muridnya. Oleh
karena itu, Program Guru Penggerak ini ada untuk melengkapi Bapak/Ibu sekalian agar
menjadi Guru Penggerak yang berfokus pada pembentukan Profil Pelajar Pancasila.
B.4. Nilai-nilai Guru Penggerak
Rokeach (dalam Abdul H., 2015), menyatakan bahwa nilai merupakan keyakinan
sebagai standar yang mengarahkan perbuatan dan tolok ukur pengambilan keputusan
terhadap objek atau situasi yang sifatnya sangat spesifik. Kehadiran nilai-nilai positif
dalam diri seseorang akan membantu mereka mengambil posisi ketika berhadapan
dengan situasi atau masalah, sebagai bahan evaluasi ketika membuat keputusan
dalam kehidupan sehari-hari.
Melihat peranan nilai sangat penting dalam kehidupan tingkah laku sehari-hari,
maka rasanya penting bagi seorang Guru Penggerak untuk bisa memahami dan
menjiwai nilai-nilai dari seorang Guru Penggerak. Guru Penggerak diharapkan untuk
memimpin dan mengelola perubahan. Sebagai pemimpin perubahan, Guru Penggerak
diharapkan mulai berlatih dan mengadopsi kebiasaan “berpikir sistem” sebagai
pendekatan holistik yang berfokus pada bagaimana bagian-bagian penyusun sebuah
ekosistem pendidikan saling terkait dan bagaimana bagian-bagian tersebut dari waktu
ke waktu bekerja secara simultan dalam konteks lain atau sistem lain yang lebih besar.
Dengan begitu, Guru Penggerak dapat lebih mendalam dan jernih dalam “memahami
perubahan” yang sedang berjalan (atau dibawakan) terutama pada tataran strategis
untuk menjawab pertanyaan “mengapa” yang menjadi alasan moral dan rasional, dan
memiliki mentalitas untuk mewujudkan inisiatif perubahan menjadi nyata (make it
happen mentality).
Guru Penggerak yang paham akan perubahan berarti paham bahwa bersama
perubahan, datang pula gangguan atau kekacauan. Akan ada perbedaan pendapat
24
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
yang harus dipahami, didamaikan. Guru Penggerak perlu “membangun keselarasan
atau koherensi” secara efektif untuk menuntun yang lain melampaui perbedaan dan
menerima perbedaan yang muncul ke permukaan. Dengan demikian, Guru Penggerak
juga akan mengadopsi mentalitas “berpikir berbasis aset” yang mengapresiasi dan
memanfaatkan kekuatan atau sumberdaya yang telah dimiliki, bukan berkutat pada apa
yang tidak dimiliki.
Dengan demikian, dalam membawakan perubahan Bapak/Ibu diharapkan dapat
beranjak dari keadaan diri yang kurang berkesadaran menuju ke diri yang
berkesadaran penuh. Kesadaran penuh bersama lima keterampilan sosial-emosional
(kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, keterampilan relasi, dan
pengambilan keputusan yang bertanggung jawab dan beretika) yang memungkinkan
bertumbuhnya pola pikir dan nilai-nilai yang diharapkan menubuh pada Guru
Penggerak akan dipelajari lebih dalam di paket modul berikutnya (Modul 2.2 . Gambar
10 di bawah ini berupaya mengilustrasikan kata-kata kunci yang terkait dengan nilai-
nilai guru penggerak: (1) berpihak pada murid, (2) reflektif, (3) mandiri, (4) kolaboratif,
serta (5) inovatif.
25
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
Gambar 11. Roda Nilai Guru Penggerak
Nilai 1. Berpihak pada Murid
Berpihak pada murid adalah nilai yang telah dibahas khusus sebelumnya di
Modul 1.1. sebagai filosofi utama dari Ki Hadjar Dewantara. Nilai ini mensyaratkan Guru
Penggerak untuk selalu bergerak dengan mengutamakan kepentingan murid. Sebagai
bentuk keberpihakan tersebut, kita juga perlu menilik sejenak dokumen yang disetujui
dan berlaku secara universal di dunia yang terkait dengan pendidikan anak, yaitu:
Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak atau United Nations Convention on the Rights of
the Child (UN CRC) yang juga telah disetujui/diratifikasi oleh hampir semua negara di
dunia, termasuk Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. Tujuan pendidikan
anak secara universal cukup jelas dituliskan dalam pasal 29 ayat 1 UN CRC sebagai
berikut:
1. Negara-negara Pihak setuju bahwa pendidikan anak harus diarahkan untuk:
(a) pengembangan kepribadian, bakat dan kemampuan mental dan fisik anak secara
maksimal;
(b) Pengembangan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan
fundamental, dan untuk prinsip-prinsip yang diabadikan dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa;
(c) Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua anak, identitas budaya, bahasa dan
nilai-nilainya anak itu sendiri, untuk nilai-nilai nasional dari negara tempat anak itu
tinggal, negara dari mana ia mungkin berasal, dan untuk peradaban yang berbeda
dengan milik mereka;
(d) Penyiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam masyarakat yang
bebas, dalam semangat saling memahami, perdamaian, toleransi, kesetaraan jenis
kelamin, dan persahabatan di antara semua orang, kelompok etnis, bangsa, dan
agama, serta orang-orang asli;
(e) Pengembangan rasa hormat terhadap lingkungan alam.
26
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
Makna dari tujuan pendidikan pada pasal 29 ayat 1 UN CRC ini sangat dalam
dan luas, melampaui teksualnya karena kesepakatan ini dihasilkan oleh seluruh ahli
anak di dunia dengan latar-belakang ilmu yang beragam. Kesepakatan ini telah
melingkupi 4 poin utama yakni perkembangan diri sendiri, penguatan identitas yang
melingkupi anak, penghormatan HAM, dan penghormatan atas lingkungan. Poin
penghormatan kepada HAM itu intrinsik dengan nilai universal manusia dan selaras
dengan Sila 2 Pancasila. Penghormatan terhadap lingkungan alam, merupakan bentuk
tanggung-jawab dan perwujudan filosofi Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan
anak yang selaras dengan kodrat alam dan kodrat zaman, mengingat persoalan
lingkungan alam, perubahan iklim, perusakan lingkungan dan lain sebagainya akan
semakin nyata di hari-hari depan anak-anak kita.
Segala keputusan yang diambil oleh seorang Guru Penggerak harus didasari
oleh semangat untuk memberdayakan dirinya serta memanfaatkan aset/kekuatan yang
ada untuk menyediakan suasana belajar dan proses pembelajaran yang positif serta
berkualitas bagi muridnya. Segala hal yang Guru Penggerak lakukan, harus bergeser
dari pemuasan kepentingan diri sendiri, maupun pihak lain, menuju kepentingan
pembelajaran murid. Guru Penggerak yang memiliki nilai ini, akan selalu berpikir
mengenai pertanyaan utama yang mendahulukan muridnya, seperti: “apa yang murid
butuhkan?”, “apa yang bisa saya lakukan agar suasana belajar dan proses
pembelajaran ini lebih baik?”, “bagaimana saya dapat membuka lebih banyak
kesempatan bagi anak untuk mewujudkan dunia yang mereka idamkan?”, dan lain-lain.
Nilai 2. Mandiri
Nilai Mandiri ini, secara sederhana menggambarkan semangat Guru Penggerak
untuk terus belajar sepanjang hayat. Ini juga berarti seorang Guru Penggerak harus
senantiasa memampukan dirinya sendiri dalam melakukan aksi serta berkenan
mengambil tanggung jawab dan turun tangan untuk memulai perubahan. Guru
Penggerak yang mandiri termotivasi untuk mengembangkan dirinya tanpa harus
menunggu adanya pelatihan yang ditugaskan oleh sekolah, dinas, atau pihak lain.
Seyogyanya, dalam membawakan perubahan yang positif, pendidik perlu memahami
psikis-fisik-etis-estetis manusia dan pedagogis (pendidikan anak). Hal itu selaras
27
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
dengan Ki Hadjar Dewantara yang menyatakan bahwa seorang guru harus menguasai
lima ilmu yaitu: ilmu hidup batin (psikologis), ilmu hidup jasmani (fisiologis), ilmu
kesopanan (etika), ilmu keindahan (estetika), dan ilmu pendidikan (pedagogis). Dengan
demikian, Guru Penggerak harus secara sengaja merencanakan dan melakukan
perbaikan diri sehingga makin menguasai dan makin ahli dalam apapun yang dianggap
perlu untuk membawakan perubahan yang berpihak pada murid. Guru Penggerak yang
mandiri memiliki daya lenting dan terpacu untuk memperhatikan kualitas kinerja dan
hasil kerja mereka. Mereka beranjak dari “kekaburan dan ketidaktepatan” menuju
“keelokan dan ketepatan” kualitas kinerja dan hasil kerja mereka.
Nilai 3. Reflektif
Nilai Reflektif layaknya adalah model mental yang diharapkan menubuh pada
Guru Penggerak dimana mereka senantiasa memaknai pengalaman yang terjadi di
sekelilingnya, baik yang terjadi pada diri sendiri maupun pihak lain secara positif-
apresiatif-produktif. Proses mewujudkan Profil Pelajar Pancasila pada diri sendiri
sebagai Guru Penggerak dan menuntun perwujudannya pada murid-murid merupakan
perjalanan yang penuh dengan variasi pengalaman-pengalaman. Pengalaman-
pengalaman ini boleh jadi akan menimbulkan kesan positif maupun negatif. Dengan
mengamalkan nilai reflektif, Guru Penggerak memanfaatkan pengalaman-pengalaman
tersebut sebagai pembelajaran untuk menuntun dirinya, murid, dan sesama dalam
menangkap pembelajaran positif, sehingga mampu menjalankan perannya dari waktu
ke waktu.
Guru Penggerak yang memiliki nilai reflektif, memiliki daya saing yang tinggi
karena mereka sadar akan hakikat persaingan. Mereka akan bersaing dengan potensi
dan upaya diri mereka sendiri. Dengan begitu, mereka terus mengupayakan
peningkatan efikasi dirinya, bagaimana mendorong dirinya untuk membuat pilihan-
pilihan masuk akal dan bertanggung jawab untuk memperbaiki kualitas kinerja dan hasil
kerjanya, serta bergeser dari dorongan perubahan diri yang sifatnya eksternal menuju
penguatan dorongan diri yang bersifat internal.
Guru Penggerak yang reflektif tidak hanya berhenti sampai rencana tindakan
saja, mereka juga mengejawantahkannya lewat tindakan nyata sebagai perbaikan yang
perlu dilakukan. Dalam konteks Pendidikan Guru Penggerak, Bapak/Ibu CGP harus
28
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
menjadikan refleksi sebagai kebiasaan bukan sekedar sebagai tugas menyelesaikan
tagihan materi. Refleksi yang baik dapat membantu mengubah pengalaman menjadi
proses pembelajaran yang memberdayakan baik individu maupun kelompok dalam
meningkatkan dan mengungkap potensi mereka. Sehingga refleksi harus menjadi
kebutuhan. Guru Penggerak yang reflektif memperlakukan kegiatan refleksi ini secara
pribadi, menuliskan kata demi kata yang memang bermakna dan membuat dirinya
sendiri tulus bergerak, bukan sekedar untuk terlihat indah dan enak dibaca saja.
Bacaan di bawah ini adalah dua model refleksi yang dapat diadopsi dan mulai
dibiasakan untuk dilakukan.
Bacaan 4. Model Refleksi
Model refleksi 4P
Merupakan model pertanyaan yang bisa kita gunakan untuk memaknai pengalaman
yang sudah pernah kita rasakan sebelumnya. Keempat langkah ini merupakan
terjemahan dari 4F yang dikembangkan oleh Dr. Roger Greenaway (1991), yaitu:
● Peristiwa (Facts): paparan objektif berdasarkan pengalaman nyata atas apa yang
sejauh ini telah dialami. Contoh pertanyaan: apa kendala yang saya hadapi? apa hal
baik yang saya alami dalam proses tersebut? apa yang saya lakukan dalam mengatasi
kendala tersebut? apakah tindakan tersebut berhasil?
● Perasaan (Feelings): apa yang dirasakan kini setelah mengikuti proses tersebut.
Contoh pertanyaan: Apa yang saya rasakan ketika menghadapi kendala tersebut?
ketika saya mencoba mengatasi kendala tersebut bagaimana perasaan saya?
● Pembelajaran (Findings): apa hal paling konkrit yang dapat diambil sebagai
pembelajaran dan mungkin telah membawa makna baru. Contoh pertanyaan: apa yang
saya pelajari dari proses ini? apa hal baru yang saya ketahui mengenai diri saya
setelah proses ini?
● Penerapan ke depan (Future): apa hal yang dapat segera diterapkan baik sebagai
individu. Contoh pertanyaan: apa yang bisa saya lakukan ke depannya dari
pembelajaran dalam proses ini? pada aspek apa?
29
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
Model refleksi 5M
Model refleksi ini diadaptasi dari model 5R (Bain dkk. (2002) dalam Ryan & Ryan
2013)). 5M terdiri dari langkah-langkah berikut: dalam
● Mendeskripsikan (Reporting): menceritakan ulang peristiwa yang terjadi
● Merespon (Responding): menjabarkan tanggapan yang diberikan
menghadapi peristiwa yang diceritakan, misalnya melalui pemberian opini, pertanyaan,
ataupun tindakan yang diambil saat peristiwa berlangsung.
● Mengaitkan (Relating): menghubungkan kaitan antara peristiwa dengan
pengetahuan, keterampilan, keyakinan atau informasi lain yang dimiliki.
● Menganalisis (Reasoning): menganalisis dengan detail mengapa peristiwa tersebut
dapat terjadi, lalu mengambil beberapa perspektif lain, misalnya dari teori atau kejadian
lain yang serupa, untuk mendukung analisis tersebut.
● Merancang ulang (Reconstructing): menuliskan rencana alternatif jika menghadapi
kejadian serupa di masa mendatang.
Nilai 4. Kolaboratif
Nilai Kolaboratif berarti seorang Guru Penggerak mampu senantiasa
membangun daya sanding. Mereka memperhatikan pentingnya kesalingtergantungan
yang positif terhadap seluruh pihak pemangku kepentingan yang berada di lingkungan
sekolah maupun di luar sekolah (contoh: orang tua murid dan komunitas terkait) dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Dalam mewujudkan Profil Pelajar Pancasila, seorang
Guru Penggerak akan bertemu banyak sekali pihak yang mampu mendukung
pencapaian Profil Pelajar Pancasila. Guru Penggerak diharapkan mampu
mengomunikasikan kepada semua pihak mengenai pentingnya keberpihakan pada
murid.
Guru Penggerak yang menjiwai nilai kolaboratif mampu membangun rasa saling
percaya dan saling menghargai, serta mengakui dan mengelola kekuatan serta
perbedaan peran tiap pemangku kepentingan di sekolah, sehingga tumbuh semangat
saling mengisi, saling melengkapi. Semangat pembelajaran tim. Mereka beranjak dari
30
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
laku yang terisolasi dan saling terpisah menuju laku yang terhubung oleh perhatian dan
urgensitas yang sama dalam komunitasnya, dalam hal ini adalah kepentingan
pembelajaran murid.
Nilai 5. Inovatif
Makna dari nilai Inovatif adalah seorang Guru Penggerak mampu senantiasa
memunculkan gagasan segar dan tepat guna. Dengan demikian, nilai inovatif ini juga
mengisyaratkan penguatan semangat ko-kreasi (gotong-royong) dan pemberdayaan
aset/kekuatan yang ada di sekolah untuk mewujudkan visi bersama. Di tengah
perkembangan zaman, realitas situasi yang dihadapi pendidik pun semakin volatil (tidak
dapat ditebak), tidak pasti, kompleks, ambigu (meragukan, kurang jelas, sehingga
dalam menghadapinya cenderung kurang awas). Agar nilai inovatif muncul, maka
diperlukan fleksibilitas (daya lentur) dari seorang Guru Penggerak. Mereka berkenan
mengadopsi multiperspektif, mencari dan membuat alternatif, mengubahsuaikan gaya
dan kecenderungan lama, untuk mewujudkan perubahan dan bergeser dari pandangan
yang ego-sentris serta sempit menuju pandangan-pandangan alternatif dan luas.
Guru Penggerak yang mempunyai nilai inovatif juga pantang menyerah (daya lenting)
serta jeli melihat peluang/potensi yang ada di sekitarnya untuk mendukung dan
meningkatkan kualitas pembelajaran murid.
Tugas B.
1. Manakah dari nilai-nilai Guru Penggerak yang dikuatkan setelah Bapak/Ibu
memahami teori pilihan dan motivasi intrinsik?
2. Tindakan spesifik apa yang dapat dilakukan untuk menguatkan diri Bapak/Ibu sendiri
untuk memberdayakan murid dalam memilih jalan kodratnya sekaligus menguatkan
tumbuhnya motivasi intrinsik mereka dalam mengejawantahkan Profil Pelajar
Pancasila?
C. BAGAIMANA MENGGERAKKAN MANUSIA: MENUNTUN KEKUATAN KODRAT
MANUSIA
Pertanyaan pemandu: Bagaimana struktur sistemik lingkungan dalam pembentukan
nilai-nilai dalam diri seseorang?
31
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
C.1. Berpikir strategis dan menguatkan lingkaran pengaruh
Sebagai guru penggerak, Bapak/Ibu tentu memahami bahwa perubahan yang
sifatnya transformatif demi menjangkau kepentingan lebih banyak murid tidak akan
mampu dilakukan sendirian, perlu menggerakkan lebih banyak guru, lebih banyak
pihak. Agar mampu menggerakkan orang lain agar berdampak pada murid, Bapak/Ibu
perlu memahami konsep lingkaran pengaruh. Secara sederhana, lingkaran pengaruh
adalah gambaran sejauh mana pengaruh Bapak/Ibu efektif dalam membawakan
perubahan, atau dalam menggerakkan orang lain.
Dalam lingkaran pengaruh, Bapak/Ibu dapat diumpamakan sebagai supir,
dimana Bapak/Ibu yang memegang kendali arah kendaraan, serta mengatur
kecepatannya. Jadi dalam lingkaran pengaruh, Bapak/Ibu punya “kuasa” dan
kepercayaan diri untuk menjalankan inisiatif perubahan pada dimensi: diri, orang lain,
institusi, dan lingkungan-masyarakat. Dalam masing-masing dimensi, Bapak/Ibu perlu
menguatkan relasi (saling percaya, saling menghormati, saling bebas berekspresi),
agar terbukalah komunikasi (dialog, terhubung hati dengan hati), lalu memungkinkan
kolaborasi, hingga menghadirkan kontribusi (Lingkaran Ungu pada Gambar 11).
Perubahan yang Bapak/Ibu bawakan pasti terjadi di dalam lingkaran pengaruh. Dari
waktu ke waktu, seiring dengan makin kuat dan mampu-nya Bapak/Ibu maka lingkaran
pengaruh Bapak/Ibu pun makin meluas.
Lingkaran kuning pada Gambar 11, berusaha menggambarkan pada Bapak/Ibu
dua lingkaran lain, yaitu lingkaran kepedulian dan lingkaran perhatian. Lingkaran
kepedulian itu bagaikan kita di kursi penumpang, tidak punya kuasa langsung atau
kuasa cukup untuk menjalankan dan mempengaruhi perubahan. Dalam perumpamaan
supir, penumpang dan kendaraan tadi, lingkaran perhatian itu berada di luar kendaraan.
Bapak/Ibu masih punya perhatian, tapi sebatas itu saja, perhatian. Contoh misalnya kita
gemar memperhatikan berita politik, sepakbola, dan lainnya, namun tidak punya kuasa
apa-apa untuk mempengaruhinya langsung. Untuk itu, Bapak/Ibu tidak perlu
menghabiskan terlalu banyak energi dan pikiran untuk stress ketika tidak mampu
melakukan perubahan di lingkaran kepedulian atau lingkaran perhatian. Nikmati proses
menguatkan dan memperluas pengaruh Bapak/Ibu sedikit demi sedikit, orang demi
orang. Mulailah dengan menguatkan lingkaran pengaruh dari dimensi diri sendiri.
32
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
Gambar 12. Dimensi pada lingkaran pengaruh
Dengan demikian, Bapak/Ibu dapat menempatkan diri untuk berpikir sebagai
pemimpin di tataran individu, maupun mengadopsi pemikiran strategis di tataran
ekosistem pendidikan, sesuai lingkaran pengaruh Bapak/Ibu, dalam hal ini yang sudah
pasti adalah murid di kelas dan rekan lain di sekolah, sehingga mampu memfasilitasi
gotong-royong dalam mencari jawaban sebagai penyelaras konteks (context setter),
bukan sekedar sebagai penyedia jawaban.
C.2. Diagram identitas gunung es
Suka atau tidak, di luar kelebihan dan kelemahannya, baik atau tidak
karakternya, guru sudah terlanjur dipandang sebagai orang yang dapat diteladani di
tengah masyarakat kita. Guru sesungguhnya memiliki kesempatan untuk menjadi
teladan bagi muridnya. Kini, pilihannya adalah memanfaatkan kesempatan itu dengan
kesadaran penuh atau membiarkannya lewat begitu saja dan tidak melakukan apa-apa.
Menjadi teladan harus diupayakan secara sadar.
Lumpkin (2008), menyatakan bahwa guru dengan karakter baik mengajarkan
murid mereka tentang bagaimana keputusan dibuat melalui proses pertimbangan
moral. Guru ini membantu muridnya memahami nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka
sendiri, kemudian mereka mempercayainya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
siapa mereka, hingga kemudian mereka terus menghidupinya. Guru dengan karakter
33
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
yang baik melestarikan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat melalui murid-murid
mereka.
Pada bagian ini, Bapak/Ibu akan menonton sebuah video pendek berjudul
“Diagram Identitas Gunung Es” yang berusaha menggambarkan bagaimana karakter
seseorang ditumbuhkan. Guru adalah tukang kebun, yang merawat tumbuhnya nilai-
nilai kebajikan di dalam diri murid-muridnya. Guru berkesempatan untuk
mengembangkan lingkungan yang dapat mempengaruhi identitas murid agar berproses
menumbuhkan nilai-nilai kebajikan. Oleh karena itu, guru harus terus mengembangkan
diri menjadi teladan nilai-nilai kebajikan dan memanfaatkan ekosistem lingkungan
sadar-bawah sadar, fisik-psikis, maupun ekstrinsik-intrinsik untuk menumbuhkan nilai-
nilai kebajikan dengan konsisten melalui gotong-royong bersama segenap anggota
komunitas di sekolahnya.
Gambar 13. Tangkapan gambar video Diagram Identitas Gunung Es
C.3. Peran Guru Penggerak
Di masa mendatang, Guru Penggerak diharapkan dapat memainkan peran-
peran memimpin perubahan dalam ekosistem pendidikannya masing-masing.
Kepemimpinan seorang Guru tentunya akan lebih maksimal jika memiliki keterampilan
34
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
ataupun kompetensi yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Bapak/Ibu diajak untuk membaca dan memahami 4 kategori kompetensi sebagai
kompetensi-kompetensi yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin di lingkungan
sekolah, yaitu: mengembangkan diri dan orang lain, memimpin pembelajaran,
memimpin manajemen sekolah, serta memimpin pengembangan sekolah. Seorang
Guru Penggerak diharapkan mempunyai kesemua kompetensi itu. Guru Penggerak
juga berfokus sebagai pemimpin yang menggerakkan diri, sesama, serta lingkungan-
masyarakat untuk mewujudkan sekolah yang berpihak pada murid. Peran Guru
Penggerak muncul sebagai respon atas 4 kompetensi kepemimpinan sekolah tersebut.
Gambar 11 berusaha menggambarkan Peran Guru Penggerak yang dimulai dengan
pendalaman Nilai-nilai Guru Penggerak dalam diri Guru Penggerak. Terdapat 5 peran
Guru Penggerak yang akan diuraikan secara singkat di bagian ini.
Gambar 14. Peran Guru Penggerak di lingkup kelas-sekolah dan lingkungan
masyarakat
35
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
1. Menjadi Pemimpin Pembelajaran
Sambil menginternalisasikan nilai-nilai, Guru Penggerak akan meresonansikan
semangat-harapan-antusiasme yang dirasakan oleh mereka yang berinteraksi dalam
lingkaran pengaruh sang Guru Penggerak baik di kelas, sekolah, maupun lingkungan-
masyarakat. Diisyaratkan juga, bahwa Guru Penggerak itu menjalankan filosofi among
Ki Hadjar Dewantara: Ing Ngarso Sung Tulada (menjadi teladan, memimpin, contoh
kebajikan, patut ditiru atau baik untuk dicontoh oleh orang lain perbuatan-kelakuan-sifat
dan lain-lainnya), Ing Madya Mangun Karsa (memberdayakan, menyemangati,
membuat orang lain memiliki kekuatan, kemampuan, tenaga, akal, cara, dan
sebagainya demi memperbaiki kualitas diri mereka), serta Tut Wuri Handayani
(mempengaruhi, memelihara, dan memprovokasi kebajikan serta kualitas positif lain
agar orang lain bertumbuh dan maju). Guru Penggerak pun mengadopsi kerangka
berpikir inkuiri-apresiatif dalam memimpin perubahan sehingga mereka lugas dalam
mengemas pertanyaan-pertanyaan pemantik dialog yang mengungkap potensi,
kekuatan atau aset individu maupun sekolah demi pencapaian visi bersama. Inkuiri-
apresiatif juga dapat menjadi alat bantu dalam proses mengelola perubahan yang
secara lebih mendetail akan dibahas tahapan-tahapannya (BAGJA) di modul
selanjutnya (Modul 1.3.).
Dengan menjalankan prinsip among Ki Hadjar Dewantara dan pola pikir inkuiri-
apresiatif diharapkan Guru Penggerak mampu menjalankan peran-perannya. Guru
Penggerak akan mendorong adopsi pemikiran dan tindakan strategis di tengah
komunitasnya, jadi mereka akan lebih banyak membangun percakapan dan kapabilitas
strategis komunitasnya tidak cuma soal operasional dan teknis saja.
Menjadi pemimpin pembelajaran juga berarti menjadi pemimpin yang menaruh
perhatian penuh secara sengaja pada komponen pembelajaran, seperti kurikulum
(intra, ekstra, dan ko -kurikuler), proses belajar-mengajar, refleksi dan asesmen yang
otentik dan efektif, pengembangan guru, pemberdayaan dan pelibatan komunitas yang
kesemuanya mendorong terwujudnya wellbeing dalam ekosistem pendidikan di
sekolah. Yang dimaksud dengan wellbeing disini adalah semua yang terkait dengan
kondisi yang berpihak pada murid. Apakah kondisi tersebut sudah membuat murid
nyaman untuk belajar? Apakah sudah sesuai dengan kebutuhan murid? Apakah
36
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
lingkungan belajar di sekolah sudah memungkinkan anak untuk mendapatkan manfaat
maksimal dari belajar? Guru Penggerak berperan besar dalam membuat lingkungan
sekolah yang aman, nyaman, menyenangkan, namun tetap menantang, dan relevan
untuk para muridnya. Mereka diharapkan mampu berperan sebagai pemimpin yang
berorientasi pada sebesar-besarnya kepentingan tumbuh, kembang, dan mekarnya
murid (flourish).
2. Menjadi Coach Bagi Guru Lain
Dalam menjalankan peran menjadi coach bagi guru lain, terutama yang terkait
dengan peningkatan kualitas pembelajaran bagi murid di sekolah, Guru Penggerak
dituntut untuk berdaya dalam menemani dan menuntun rekan sejawatnya itu untuk
menelaah proses belajar mereka sendiri. Hal ini sekaligus mengisyaratkan bahwa
selain belajar keterampilan coaching, Guru Penggerak juga harus memberdayakan
dirinya melalui refleksi atas hasil pengalaman praktik-praktik profesionalnya sendiri.
Mereka harus dapat mengambil pembelajaran, memunculkan pertanyaan-pertanyaan
mendalam untuk mengakses keterampilan metakognitifnya ketika melihat dan
mengevaluasi proses berpikirnya sendiri terkait belajar, pencapaian tujuan, dan
pemecahan masalah. Sebagai coach Guru Penggerak juga harus lincah berpindah-
pindah dari pemikiran pengembangan rekan sejawat pada level individu dan level
anggota komunitas pendidik di sekolah.
3. Mendorong kolaborasi
Secara sederhana, kolaborasi berarti bekerja bersama untuk mencapai suatu
tujuan atau menghasilkan sesuatu. Di sana tersirat makna bahwa setiap pihak yang
terlibat memiliki kekuatan yang saat dipersatukan menjadi saling melengkapi dan
produktif. Oleh karena itu, agar suatu inisiatif kolaborasi menjadi produktif, maka tiap
anggota yang terlibat di dalamnya membawa “sesuatu” yang berkontribusi pada proses
dan hasilnya nanti.
Guru Penggerak harus punya pandangan apresiatif yang memungkinkan
pengungkapan potensi positif rekan yang lain. Mereka membuka lebih banyak ruang
dialog positif antar guru, antara guru dan pemangku kepentingan baik di dalam maupun
di luar sekolah demi meningkatkan kualitas pembelajaran bagi murid. Lewat peran ini,
37
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
seorang Guru Penggerak diharapkan mampu mengomunikasikan urgensi dari inisiatif
perubahan yang sedang dibawakannya pada lebih banyak pemangku kepentingan,
terutama mereka yang kiranya dapat membawa dampak positif pada murid.
4. Mewujudkan Kepemimpinan Murid (Student Agency)
Guru Penggerak diharapkan mengambil peran untuk mewujudkan kepemimpinan
murid. Untuk itu, Guru Penggerak perlu memahami bagaimana meramu pengalaman
belajar sedemikian rupa sehingga murid merasa kompeten, mandiri, dicintai, dan
memiliki kepercayaan diri serta determinasi untuk mencapai segala yang mereka
impikan. Guru Penggerak senantiasa memampukan diri untuk menuntun murid di
sekolahnya agar murid mereka sadar bahwa sebagai murid di saat ini, mereka juga
adalah wajah Indonesia di masa depan, sehingga mereka berdaya dan turut aktif
berkontribusi pada makin indahnya dunia di masa depan sejak sekarang. Dalam
mewujudkan kepemimpinan murid, Guru Penggerak mengerti betul esensi dari Tut Wuri
Handayani, sehingga mereka menempatkan murid pada kursi pemegang kendali
proses pembelajaran mereka sendiri. Guru Penggerak menuntun murid mereka belajar
merdeka untuk merdeka belajar.
5. Menggerakkan Komunitas Praktisi
Guru Penggerak diharapkan dapat mengambil peran untuk menggerakkan
komunitas praktisi di sekolah dan di wilayahnya. Agar komunitas praktisi dapat berjalan
secara berkesinambungan, Guru Penggerak pun perlu menumbuhkan budaya belajar
kolaboratif atau komunitas belajar profesional bersama para rekan guru di sekolah
maupun wilayahnya. Komunitas belajar inilah yang menjadi wahana perjumpaan
profesional para guru. Komunitas belajar ini memungkinkan terjadinya dialog akademik,
percakapan profesional, perencanaan strategis, diskusi teknis secara kolaboratif, terkait
dengan upaya peningkatan kualitas pembelajaran sekaligus membuahkan inovasi
pembelajaran (cara baru atau cara pandang baru) yang berdampak positif bagi murid.
Kerangka kerja Lesson Study: Merencanakan (Plan), Mengerjakan (Do), Melihat
kembali (See) adalah satu dari banyak contoh kerangka kerja kolaboratif yang dapat
digunakan untuk menggerakkan sebuah komunitas belajar profesional dan
38
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
menghasilkan praktik-praktik baik. Banyaknya praktik baik yang dibagikan dalam
komunitas tersebut akan menjadi bahan belajar bersama sehingga terus mendorong
agar praktik yang dilakukan menjadi semakin baik.
Dalam Program Guru Penggerak, Bapak/Ibu sebagai Calon Guru Penggerak akan
diperlengkapi (di kegiatan lokakarya) dengan pengetahuan dan keterampilan untuk
mengidentifikasi dan menggerakkan komunitas praktisi dalam ekosistem pendidikan di
wilayah masing-masing.
Tugas C.
● Apa kaitan antara diagram identitas gunung es dengan penumbuhan Profil Pelajar
Pancasila pada murid dan transformasi pendidikan?
● Apa konsekuensi logis dari diagram identitas gunung es pada peran saya sebagai
Guru Penggerak dalam transformasi pendidikan?
FORUM DISKUSI TERTULIS (1 JP)
Setelah mempelajari paparan materi dalam tahap eksplorasi konsep ini, diharapkan
Bapak/Ibu secara individu dapat menguatkan pemahaman dan mempersiapkan diri
untuk berkolaborasi dalam kelompok dengan menjawab pertanyaan:
1. Apa yang dapat saya ceritakan mengenai salah SATU dari nilai-nilai GP (berpihak
pada murid, inovatif, kolaboratif, reflektif, dan mandiri) yang telah membantu saya
dalam melayani murid saya dengan lebih baik? Tuliskan dalam bentuk narasi singkat
untuk berbagi dalam kelompok dalam tahap Ruang Kolaborasi.
2. Apa saja 10 kegiatan di sekolah yang saya anggap masuk sebagai contoh
penerapan dari peran GP yang saya pahami saat ini (pemimpin pembelajaran,
pendorong kolaborasi, penggerak komunitas praktisi, mewujudkan kepemimpinan
murid, menjadi coach bagi rekan guru)? Buatlah daftarnya untuk digunakan saat
berbagi ide dalam kelompok dalam tahap Ruang Kolaborasi.
39
Sutarno Hadi_Fasilitator_A-6_BGP_ACEH_2022
Pada segmen ini, selain diminta untuk merespon kedua pertanyaan di atas, Bapak/Ibu
juga diminta memberikan komentar dan umpan balik atas respon rekan CGP lainnya
pada 2 pertanyaan di atas (paling tidak untuk 2 rekan CGP lain). Gunakan kesempatan
ini untuk menangkap atau memikirkan bagaimana ide dan wawasan rekan lain dapat
bekerja dalam konteks Bapak/Ibu masing-masing.
Sumber : Dharma, Aditya. ( 2022 ).Buku Modul 1.2. Angkatan 5 Reguler. Nilai dan
Peran GP
Prabumulih, 11 September 2022
Fasilitator A-6 PGP BGP ACEH
Sutarno Hadi
40