The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

TRANSMIGRASI DALAM PUSARAN AGENDA GLOBAL

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by TU DitPerencanaan, 2024-06-26 21:45:03

TRANSPOLITAN 2024 Edisi 1

TRANSMIGRASI DALAM PUSARAN AGENDA GLOBAL

Keywords: TRANSMIGRASI,TRANSPOLITAN

program transmigrasi pemerintah untuk merelokasi penduduk dari daerah padat ke deaerah yang tergolong kepadatan rendah, dengan harapan meningkatkan produktivitas pertanian dan membuka lahan baru bagi permukiman dan usaha pertanian. Sejak kawasan ini berdiri, Kawasan Transmigrasi Selaparang telah mengalami perkembangan signifikan dalam populasi, pertanian, dan infrastruktur. Kawasan ini dihuni oleh 133.845 jiwa, dengan pertanian menjadi sektor utama di kawasan ini dengan komoditas utama seperti padi, jagung, cabai rawit, tomat, pisang, nangka, jambu mete, kakao, ubi kayu, dan ketimun. Infrastruktur di Kawasan Transmigrasi Selaparang terus berkembang untuk mendukung kehidupan sehari-hari penduduk dan aktivitas ekonomi. Terdapat 17 unit pasar dan 184 unit kios yang menyediakan akses bagi masyarakat untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Selain itu, terdapat juga 22 unit koperasi yang membantu dalam pemasaran produk pertanian dan memberikan layanan keuangan kepada masyarakat. Potensi dan Peran Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika merupakan kawasan ekonomi khusus seluas 1.035,67 ha yang terletak di Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. KEK Mandalika ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No.52 Tahun 2014 dan mulai beroperasi pada tanggal 20 Oktober 2017. Salah satu potensi KEK Mandalika adalah keindahan alamnya, terutama pantai seperti Pantai Kuta, Pantai Serenting, Pantai Tanjung Aan, Pantai Kelieuw, dan Pantai Gerupuk yang diproyeksikan menjadi destinasi baru bagi wisatawan mancanegera dan domestik. Fokus utama kegiatan di KEK adalah pariwisata, yang terbukti telah menjadi tuan rumah dua event otomotif berkelas dunia, yaitu World Super Bike dan MotoGP. Penyelenggaraan kedua event ini berdampak signifikan terhadap perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2022, merealisasikan investasi sebesar Rp4,5 triliun dari sejak KEK Mandalika resmi beroperasi. Kedua event ini juga berdampak pada lonjakan serapan tenaga kerja musiman yang mencapai 7.990 orang yang didominasi berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Barat. Di KEK Mandalika sendiri, terdapat 10 industri perhotelan untuk mendukung kegiatan pariwisata di kawasan ini. Penelitian Taupikurrahman dan Suwandana (2022) menunjukkan bahwa pelaksanaan event MotoGP mampu memberi dampak terbentuknya output sebesar Rp606,92 miliar; nilai tambah sebesar Rp315,94 miliar; upah tenaga kerja sebesar Rp137,67 miliar; dan potensi pajak sebesar Rp14,25 miliar. Penelitian ini juga mencatat bahwa peranan industri pariwisata di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sekalipun masih kecil tergolong dalam industri kecil dan potensial. Untuk mendukung aktivitas ekonomi dan pariwisata di KEK Mandalika, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memberikan dukungan infrastruktur wilayah untuk pengembangan kawasan. Pada sektor jalan dan jembatan dibangun jalan bypass Bandara Internasional Lombok (BIL) – Mandalika 1, 2, dan 3 untuk sektor sumber daya alam (SDA) berupa penyediaan air baku Bendungan Pengga di Kabupaten Lombok Tengah dan pembangunan saluran pengendali banjir KEK Mandalika. Selain itu pembangunan di dalam KEK juga kerap dilaksanakan oleh PT ITDC selaku Badan Usaha Pengendali Pembangunan KEK Mandalika. Sumber: Dokumentasi Suryanata Budi, diunggah 27 Juni 2017 Pantai Tanjung Aan VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 51


LAPORAN UTAMA Integrasi Infrastruktur Fisik Integrasi pembangunan fisik antara KEK Mandalika dan Kawasan Transmigrasi Selaparang tidak hanya terbatas pada konektivitas, namun juga mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis ketahanan pangan di wilayah tersebut. Pariwisata di KEK Mandalika sangat dipengaruhi oleh aktivitas perhotelan di KEK tersebut. Hal ini menunjukkan adanya potensi supply chain antara hasil pertanian di Kawasan Transmigrasi Selaparang dan kegiatan pariwisata di KEK Mandalika. Menurut Lungdren (1973), permintaan akan bahan makanan lokal dari hotel-hotel dapat menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi lokal, termasuk sektor pertanian. Dalam konteks Kawasan Transmigrasi Selaparang, potensi kawasan berupa komoditas pertanian dapat diintegrasikan dengan kebutuhan pangan dalam sektor pariwisata di KEK Mandalika. Seiring dengan berjalannya waktu, semakin tingginya aktivitas industri perhotelan di KEK Mandalika akan meningkatkan permintaan bahan makanan lokal, di mana apabila Kawasan Transmigrasi Selaparang sigap, pertanian lokal di kawasan transmigrasi tersebut dapat tumbuh dan berkembang untuk memenuhi permintaan dari industri pariwisata. Untuk dapat mengimplementasikan hal tersebut, diperlukan transformasi yang berfokus pada konektivitas dan infrastruktur pendukung. Konektivitas antara Kawasan Transmigrasi Selaparang dan Kawasan Mandalika harus dapat mendukung mobilisasi bahan makanan segar dari Kawasan Transmigrasi Selaparang ke hotel-hotel dan restoran di KEK Mandalika. Selain itu, infrastruktur pendukung seperti irigasi dan manajemen air yang efisien akan meningkatkan produktivitas pertanian Kawasan Transmigrasi Selaparang, sehingga meningkatkan ketersediaan dan keberlanjutan pasokan pangan untuk KEK Mandalika. Apabila hal ini dapat direalisasikan, transformasi dalam integrasi infrastruktur fisik antara Kawasan Transmigrasi Selaparang dan Kawasan Mandalika tidak hanya memperkuat konektivitas regional, namun juga dapat menciptakan sinergi antara sektor pertanian dan sektor pariwisata yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan ketahanan pangan kedua wilayah ini. Manfaat Peningkatan Pendapatan dan Kesejahteraan. Peningkatan Pendapatan dan Kesejahteraan merupakan salah satu manfaat utama dari hubungan antara pariwisata dan pertanian, seperti yang disampaikan oleh Torres dan Momsen (2011). Keterkaitan antara sektor pariwisata dan pertanian dapat berkontribusi pada pembangunan wilayah, mengurangi tingkat kemiskinan, mengurangi ketergantungan pada impor pangan, serta meningkatkan aktivitas pariwisata melalui pengembangan sektor kuliner. Dalam konteks KEK Mandalika dan Kawasan Transmigrasi Selaparang, permintaan akan bahan makanan lokal dari sektor hotel di KEK Mandalika dapat menjadi pendorong pertumbuhan sektor pertanian di Kawasan Transmigrasi Selaparang. Dengan demikian, meningkatnya permintaan akan produk pertanian lokal dapat memberikan peluang bagi para petani di Kawasan Transmigrasi Selaparang untuk meningkatkan pendapatan mereka. Hal ini berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi daerah secara keseluruhan. Peningkatan Akses Pangan Berkualitas. Peningkatan Akses Pangan Berkualitas memegang peranan penting dalam konteks pengembangan pariwisata karena makanan merupakan bagian integral dari pengalaman wisatawan. Penggunaan pangan berkualitas dalam kuliner lokal sebuah wilayah tidak hanya memberikan kenikmatan rasa yang autentik, tetapi juga membangun hubungan yang lebih dekat antara wisatawan dan masyarakat lokal. Menurut Sims (2009), kuliner lokal bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga mencerminkan identitas suatu daerah dan budaya lokalnya. Dalam konteks ini, makanan menjadi sebuah destinasi pariwisata yang mampu memperkaya pengalaman wisatawan. Oleh karena itu, penting bagi destinasi pariwisata, seperti KEK Mandalika untuk memastikan bahwa kualitas pangan yang disajikan memenuhi standar pariwisata yang ditetapkan. Hal ini tidak hanya mencakup aspek rasa dan kebersihan, tetapi juga keberlanjutan, ketersediaan bahan baku lokal, dan keterlibatan masyarakat lokal dalam produksi pangan. Dengan meningkatkan akses dan kualitas pangan lokal, destinasi pariwisata dapat menawarkan pengalaman kuliner yang lebih autentik dan memuaskan bagi para wisatawan, sambil juga mendukung ekonomi lokal dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Tantangan Penelitian dari Thomas Francis et al. (2016) menunjukkan bahwa sekalipun integrasi antara pariwisata dan penelitian secara teoritis dapat menjadi instrumen pertumbuhan ekonomi, namun pada praktiknya, petani lokal kerap kali belum memiliki kapasitas dalam memasarkan produknya dengan baik. Distribusi hasil pertanian sering kali terhambat dengan transportasi, sementara petani juga harus berjuang dalam menyimpan produknya dengan baik agar dapat memenuhi kualifikasi produk yang diinginkan oleh sektor hotel dan restoran. Untuk dapat mengatasi hal ini, Thomas Francis et al. (2016) mengusulkan beberapa saran, antara lain: 1). Rantai pasok antara sektor pertanian dan sektor pariwisata harus berpusat pada konsumen, mampu mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan konsumen. Dengan begitu, hubungan rantai pasok akan semakin kuat dan akan berdampak pada setiap proses dari rantai pasok, mulai dari petani, logistik, pengolahan di hotel dan restoran, hingga ke konsumen; 2). Hubungan antara pemangku kepentingan dalam rantai pasok akan berkontribusi untuk memperkuat antara petani dan hotel. Dari perspektif hotel, perusahaan harus meyakini dan mengakui bahwa hasil pangan dari petani kawasan transmigrasi dapat menambah nilai bisnisnya, sementara petani selaku pemasok harus meningkatkan kapasitas mereka dalam pengetahuan dan keterampilan produksi, persiapan, dan pengiriman makanan; 3). Pemerintah pusat dan daerah juga harus mengidentifikasi kebutuhan sarana dan prasarana guna mendukung integrasi antara sektor pariwisata dan pertanian. Dalam konteks sinergi antara KEK Mandalika dan Kawasan Transmigrasi Selaparang, pemerintah dapat memfasilitasi sarana dan prasarana yang dibutuhkan, mulai dari pembangunan jalan, irigasi, dan storage untuk penyimpanan makanan. Pembangunan 52 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


ini jelas membutuhkan dukungan dana yang tidak kecil, oleh karena itu pemerintah harus dapat menyusun skema pembiayaan infrastruktur yang dapat meringankan APBN maupun APBD; 4). Pemerintah harus dapat berperan sebagai fasilitator, untuk menjaga agar petani selaku pemasok dapat meningkatkan kapasitas mereka dalam keterampilan produksi, sementara pemerintah juga harus dapat memberikan insentif kepada hotel yang memilih untuk bekerja sama dengan petani di kawasan transmigrasi. Pemerintah dapat menyusun kebijakan terkait standar keterampilan produksi sebagai standar acuan kinerja petani di kawasan transmigrasi, dan juga sebagai bentuk manajemen mutu kepada pihak hotel. Peningkatan Kemitraan Bisnis Integrasi antara Kawasan Transmigrasi Selaparang dan KEK Mandalika akan memerlukan kemitraan yang kuat antara pelaku bisnis di kedua kawasan tersebut. Pelaku bisnis, termasuk hotel dan restoran di KEK Mandalika, perlu memahami nilai yang ditambahkan oleh produk pertanian lokal dari Kawasan Transmigrasi Selaparang. Sebaliknya, petani di Kawasan Transmigrasi Selaparang harus meningkatkan kapasitas mereka dalam memproduksi dan menyediakan produk berkualitas yang memenuhi standar yang diharapkan oleh sektor pariwisata. Pembangunan Infrastruktur Terpadu Kesuksesan integrasi ini juga bergantung pada pembangunan infrastruktur yang terpadu dan berkelanjutan. Diperlukan investasi dalam pembangunan jalan, irigasi, dan sistem penyimpanan untuk memastikan kelancaran distribusi dan ketersediaan bahan makanan segar dari Kawasan Transmigrasi Selaparang ke KEK Mandalika. Peran Pemerintah sebagai Fasilitator Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, memiliki peran krusial sebagai fasilitator dalam mendorong integrasi antara sektor pariwisata dan pertanian. Mereka harus menyediakan dukungan dalam bentuk fasilitas, peraturan, dan insentif yang dapat memfasilitasi kerja sama antara pelaku bisnis di kedua sektor. Integrasi infrastruktur fisik antara Kawasan Transmigrasi Selaparang dan KEK Mandalika memiliki potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan ketahanan pangan di wilayah tersebut. Dengan meningkatnya permintaan akan produk pertanian lokal dari sektor pariwisata di KEK Mandalika, petani di Kawasan Transmigrasi Selaparang dapat meningkatkan pendapatan mereka, sementara wisatawan dapat menikmati pengalaman kuliner yang autentik. Namun terdapat tantangan yang perlu diatasi, seperti kurangnya kapasitas petani dalam memasarkan produk mereka dan pembangunan infrastruktur yang memadai. Diperlukan kemitraan yang kuat antara pelaku bisnis di kedua sektor serta peran aktif pemerintah sebagai fasilitator dalam mendorong integrasi ini. Dengan memperbaiki kemitraan bisnis, meningkatkan investasi dalam infrastruktur, dan memberikan dukungan pemerintah yang tepat, integrasi antara Kawasan Transmigrasi Selaparang dan KEK Mandalika dapat menjadi model yang sukses dalam menggabungkan potensi pariwisata dan pertanian untuk mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. n Beatrix Thesha Sabathini Sumber: radarselaparang.com Hasil Tani (Cabai) dari Kawasan Transmigrasi Selaparang VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 53


LAPORAN UTAMA MENENGOK POTENSI PERTANIAN DI SP PIRIAN TAPIKO LOKASI TRANSMIGRASI KAWASAN PENYANGGA IBU KOTA NUSANTARA Provinsi Sulawesi Barat merupakan salah satu gerbang menuju Ibu Kota Nusantara (IKN) baru di Kalimantan Timur yang dipisahkan oleh Selat Makassar. Rancangan Peraturan Presiden terkait Penyangga IKN yang sedang digodok saat ini, memuat masuknya Sulawesi Barat ke dalam delineasi lingkup daerah penyangga IKN. Kepala Bapperida Sulawesi Barat belum lama ini menyatakan kesiapan Sulawesi Barat dalam menyangga IKN melalui kontribusi dari sektor sumber daya alam maupun pariwisata. Sejalan dengan transformasi paradigma pembangunan transmigrasi menjadi pembangunan transmigrasi berbasis kawasan untuk mewujudkan pusat pertumbuhan baru, maka kawasan transmigrasi yang beririsan dengan daerah Penyangga IKN akan menjadi lokus prioritas pembangunan transmigrasi. Kawasan Tubbi Taramanu merupakan Kawasan Transmigrasi yang terletak di Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat menjadi salah satu daerah yang digadang-gadang menjadi lumbung komoditi perkebunan dan sentra palawija di Sulawesi Barat serta daerah penopang ibu kota baru. Satuan Permukiman (SP) yang terdapat pada Kawasan Tubbi Taramanu di antaranya adalah Satuan Permukiman Pirian Tapiko. Di Satuan Permukiman Pirian Tapiko, potensi pertanian menjadi sektor penunjang ekonomi utama. Total seluas 21,25 hektar lahan pekarangan, dengan rincian 0,25 ha dibagikan untuk 75 KK transmigran penempatan 2017 dan 0,10 ha dibagikan untuk 25 KK transmigran penempatan tahun 2016, dimanfaatkan 80% untuk pertanian, 15% untuk peternakan, dan 5% untuk perikanan. Komoditas utama yang 54 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


ditanam di lahan pekarangan meliputi tanaman buah-buahan seperti durian dan rambutan. Sedangkan untuk lahan usaha, terdapat total seluas 78,75 ha lahan usaha I, dengan rincian 0,75 ha dibagikan untuk transmigran penempatan tahun 2017 dan 0,90 ha dibagikan untuk transmigran penempatan 2016, dimanfaatkan untuk budi daya tanaman hortikultura dan padi ladang. “Gemah ripah loh jinawi” merupakan gambaran lokasi SP Pirian Tapiko. Memiliki jenis tanah alluvial, apa yang ditanam, akan mampu tumbuh subur di lokasi ini. Durian, nilam, kelapa, dan bahkan vanili dapat ditemukan di lokasi Pirian Tapiko. Peruntukan Lahan Usaha II seluas 100 ha yang diberikan kepada 100 KK didominasi oleh budi daya tanaman cengkeh, kakao, dan durian. Hasil pertanian transmigran umumnya dijual kepada pengepul, dijual ke pasar, atau ditampung di BUMDES. a. Ragam Komoditas Tanaman Pangan di SP Pirian Tapiko NO JENIS KOMODITI LUAS TANAM (HA) LUAS PANEN (HA) PRODUKSI (KG/HA) HARGA JUAL/KG 1 Padi 25 25 850 11.000 2 Jagung 5 5 3500 4.000 3 Singkong 7 7 250 7.500 Sumber : Monografi Satuan Permukiman Pirian Tapiko, 2023. b. Ragam Komoditas Tanaman Perkebunan di SP Pirian Tapiko NO JENIS LUAS TANAM (HA) LUAS PANEN (HA) HARGA JUAL/KG 1 Kakao 50 45 30.000 2 Lada 35 15 75.000 3 Cengkeh 30 15 18.000 4 Kopi 2 1 22.000 5 Kelapa 0,5 0,55 8.000 Sumber : Monografi Satuan Permukiman Pirian Tapiko, 2023. VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 55


Adapun jenis tanaman pangan dan perkebunan yang utama dibudidayakan di lokasi ini adalah sebagai berikut: Penanganan Pascapanen Penanganan pascapanen merupakan proses substansial yang umumnya dilakukan pada komoditi pertanian sebelum produk dipasarkan maupun dikonsumsi oleh masyarakat. Penanganan pascapanen juga dapat diartikan sebagai pengolahan primer yang menggambarkan perlakuan dari mulai panen hingga komoditas siap dikonsumsi secara segar atau penanganan yang dilakukan untuk persiapan pengolahan berikutnya. Salah satu bentuk penanganan pascapanen yang telah diaplikasikan di SP Pirian Tapiko adalah pengolahan tanaman pangan berupa padi gogo dan tanaman Proses pengolahan gabah padi gogo menjadi beras secara tradisional. Proses penjemuran kakao memanfaatkan sinar matahari. LAPORAN UTAMA 56 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


Anak-anak menyusuri sungai Mapi menuju Desa Tubbi Taramanu. Panel surya portabel milik transmigran. perkebunan berupa kakao. Budi daya padi gogo cukup masif dikembangkan di lokasi ini. Dengan pemanfaatan lahan kering, budi daya padi gogo mampu meningkatkan ketersediaan pangan pokok pada lingkup lokal. Di SP Pirian Tapiko, pengolahan padi gogo menjadi beras masih dilakukan secara tradisional. Sebagian besar petani mengolah gabah menjadi beras masih menggunakan alat tumbuk tradisional atau yang biasa disebut lesung. Pada komoditas perkebunan, pengolahan pascapanen kakao juga masih dilaksanakan secara tradisional menggunakan sinar matahari. Pengeringan biji kakao dilakukan setelah proses fermentasi yang bertujuan untuk menurunkan kadar air kakao sehingga dapat mencegah pertumbuhan jamur selama masa penyimpanan. Selain itu, pengeringan kakao juga berfungsi untuk memunculkan reaksi kimiawi yang dapat menimbulkan cita rasa serta pembentukan warna cokelat. Dukungan Infrastruktur Menilik jenis tanah yang subur serta ragam komoditi yang telah berhasil dikembangkan di SP Pirian Tapiko, lokasi yang diproyeksikan dapat menjadi salah satu penopang IKN ini masih memerlukan dukungan infrastruktur dari pemerintah untuk meningkatkan produktivitas pertaniannya. Akses menuju pusat desa dan pusat ekonomi dari SP Pirian Tapiko menuju Desa Tubbi Taramanu masih terhalang oleh Sungai Mapi yang memiliki panjang sekitar 90 meter, sehingga perlu dibangun jembatan untuk dapat mempermudah proses distribusi produk hasil pertanian maupun mobilitas penduduk. Selain itu, infrastruktur ketenagalistrikan masih mengandalkan panel surya portabel, hal ini pula menjadi salah satu kendala belum dapat dilaksanakannya pengolahan pascapanen secara modern. n Anggun Dwi Puspitoasih VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 57


Carbon Capture and Storage (CCS); Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS); maupun Carbon Trading sudah mulai sering kita dengar dari berbagai media akhirakhir ini. Filosofinya sederhana yaitu keinginan untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK, utamanya adalah karbon dioksida/CO2) yang ada di permukaan bumi. Kemudian, dengan adanya perbedaan atau kesenjangan emisi karbon yang dihasilkan oleh negara maju dan negara berkembang maka diformulasikan perhitungan tertentu sebagai kompensasi bagi negara yang emisi karbonnya rendah atau memiliki sejumlah kawasan hutan (kredit karbon). Kawasan hutan memiliki fungsi penting yaitu mengurangi emisi karbon. Kompensasi yang diberikan tidak hanya bersifat Government to Government, bisa juga dilakukan di internal secara Bussiness to Bussiness, bahkan Bussiness to Business lintas negara. Selain kawasan hutan yang secara nyata dapat mengurangi emisi karbon, secara kebumian karbon yang dihasilkan dapat juga ditangkap, diinjeksi, dan disimpan di bawah permukaan bumi. Hal ini juga diperdagangkan antar badan usaha, yang memiliki kredit karbon kepada yang menghasilkan emisi karbon. Proses penangkapan dan penyimpanan ini dikenal dengan Carbon Capture and Storage (CCS) maupun Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS). Menurut studi yang dilakukan oleh University of Cambridge, CO2 yang disimpan di dalam lapisan bumi tidak membuat batuan tersebut korosif sehingga proses penyimpanan CO2 LAPORAN UTAMA CARBON TRADING DI KAWASAN TRANSMIGRASI DUKUNG INDONESIA MENJADI CARBON CAPTURE & STORAGE HUB ASIA TENGGARA “Selain kawasan hutan yang secara nyata dapat mengurangi emisi karbon, secara kebumian karbon yang dihasilkan dapat juga ditangkap, diinjeksi, dan disimpan di bawah permukaan bumi. 58 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


di bawah permukaan bumi ini dapat dinyatakan aman. Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 2 Tahun 2023, CCS adalah kegiatan mengurangi emisi GRK yang mencakup penangkapan emisi karbon dan/atau pengangkutan emisi karbon tertangkap, dan penyimpanan ke zona target injeksi dengan aman dan permanen sesuai dengan kaidah keteknikan yang baik. Mirip dengan CCS, CCUS memiliki nilai tambah yaitu melakukan pemanfaatan emisi karbon yang tertangkap sebagai materi pendorong tekanan hidrokarbon pada industri migas. Sedangkan Carbon Trading menurut Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi GRK melalui kegiatan jual beli unit karbon. Secara nyata karbon dalam jumlah besar dihasilkan oleh kegiatan industri, baik industri energi dan ketenagalistrikan maupun industri lainnya seperti petrokimia, semen, baja, kertas, tekstil, keramik, pupuk, serta makanan dan minuman. Masing-masing industri dituntut untuk menurunkan emisi karbon agar dapat mencatatkan kredit karbon, sehingga tidak perlu memberikan kompensasi atas karbon yang dihasilkan. Berbagai upaya dilakukan untuk menurunkan emisi karbon mulai dari pengembangan teknologi produksi, penggunaan mesin terbaru, hingga menangkap karbon yang dihasilkan dengan peralatan tertentu. Pionir penangkapan karbon hadir dari Industri migas, terutama dari sektor hulunya. Sektor hulu migas identik dengan kegiatan pembakaran/ flare yang sulit untuk tidak dilakukan karena berhubungan dengan aspek teknis operasi dan keselamatan. Untuk itu penangkapan karbon merupakan teknologi yang sangat visioner karena selain membantu mengurangi emisi karbon, dapat juga dipergunakan untuk meningkatkan produksi migas dengan cara melakukan injeksi karbon tersebut ke dalam permukaan bumi tempat di mana migas berada dan terakumulasi, untuk menambah tekanannya. Bahkan regulasinya pun telah tersedia, yaitu Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2024 serta Peraturan Menteri ESDM No. 2 Tahun 2023. Saat ini pemerintah juga sedang menyiapkan regulasi CCS maupun CCUS di luar kegiatan hulu migas. Meskipun demikian nampaknya masih diperlukan penguatan regulasi berupa undang-undang maupun peraturan pemerintah agar cita-cita Indonesia menjadi CCS Hub di Asia Tenggara dapat terealisasi. Mengenai cita-cita Indonesia untuk dapat menjadi CCS Hub di Asia Tenggara bukan tercetus tanpa adanya latar belakang atau dukungan yang kuat. Berdasarkan data yang dirilis Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi penyimpanan CO2 di bawah permukaan bumi sebesar 4,85 miliar ton pada lapangan migas yang sudah rendah produksinya dan sebesar 572 miliar ton pada lapisan akuifer garam (lapisan yang jarang menyimpan migas namun banyak dijumpai di cekungan migas). Potensi ini sangat besar untuk diperdagangkan, karena belum termasuk potensi karbon dari sektor kehutanan. Berdasarkan data Global Carbon Project, Indonesia sepanjang tahun 2022 menghasilkan emisi karbon sebesar 700 juta ton. Artinya jika emisi sepanjang tahun konstan, potensi penyimpanan karbon tersebut dapat habis dalam waktu 7 - 817 tahun. Harga yang diperdagangkan di Bursa Karbon Indonesia saat ini adalah sebesar US$ 2 Masing-masing industri dituntut untuk menurunkan emisi karbon agar dapat mencatatkan kredit karbon, sehingga tidak perlu memberikan kompensasi atas karbon yang dihasilkan. Peta deforestasi kawasan hutan Indonesia pada kawasan transmigrasi pada kurun waktu tahun 2000 - 2022. (peta deforestasi kawasan hutan indonesia ditandai dengan garis warna merah, sedangkan untuk yang berwarna hijau merupakan kawasan hutan yang belum terbuka) VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 59


– 18 per ton karbon, sedangkan harga di Uni Eropa telah mencapai lebih dari US$ 80 per ton. Bisa dikalkulasikan berapa besarnya pendapatan yang dapat diperoleh apabila Indonesia menjadi CCS Hub di Asia Tenggara. Lantas bagaimana langkah yang harus ditempuh untuk mewujudkan Indonesia menjadi CCS Hub di Asia Tenggara? Tentunya diperlukan dukungan seluruh instrumen pemerintah, badan usaha, akademisi, maupun masyarakat. Dalam hal ini sektor transmigrasi harus turut serta dalam memberikan dukungan untuk Indonesia menjadi CCS Hub di Asia Tenggara. Mulai dari aspek kehutanan hingga aspek kebumian, Indonesia mampu menurunkan emisi dan memperdagangkan emisi karbon. Tutupan hutan daratan Indonesia saat ini mencapai 94,1 juta ha, gambut sebesar 20,2 juta ha, dan mangrove sebesar 3,4 juta ha. Dari luasan tersebut karbon yang mampu diserap hutan adalah 200 ton/ha, 1.083 ton/ha untuk mangrove, dan 1.385 ton/ha untuk gambut. Apabila hutan dikonversi menjadi tanaman holtikultura, menurut data Kementerian Pertanian, tanaman mangga dapat menyerap karbon sebesar 34 ton/ta dan jeruk sebesar 9 ton/ha. Diperlukan penelitian lainnya untuk mengetahui tanaman-tanaman komersil apa saja yang selain memiliki harga jual tinggi, juga memiliki kemampuan penyerapan karbon tinggi. Hal ini dimaksudkan agar deforestasi akibat program transmigrasi tetap dapat mencatatkan kredit karbon (merupakan ekonomi hijau). “Transmigrasi harus turut serta dalam memberikan dukungan untuk Indonesia menjadi CCS Hub di Asia Tenggara. Mulai dari aspek kehutanan hingga aspek kebumian, Indonesia mampu menurunkan dan memperdagangkan emisi karbon.” Peta deforestasi kawasan hutan Indonesia pada kawasan transmigrasi pada kurun waktu tahun 2000 - 2022. Saat ini terdapat 152 kawasan transmigrasi, yang sejak adanya UU No. 29 Tahun 2009 adalah berbasis kawasan. Keseluruhan kawasan transmigrasi ini memiliki luas sebesar 8.760.147 ha. Jika merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Boenjamin (1991) tentang Deforestasi dan Isu Pemanfaatan yang Berkelanjutan di Indonesia, dinyatakan bahwa deforestasi selama periode 1980 s.d. 1986 adalah sekitar 250.000 ha pertahun. Meskipun tidak relevan dengan kondisi deforestasi akibat transmigrasi saat ini yang notabene jumlah penempatan transmigrannya sudah jauh berkurang, namun angka ini bisa dijadikan nilai rujukan tertinggi terkait deforestasi akibat transmigrasi. Dengan mengasumsikan seluruhnya adalah hutan homogen (mampu menyerap karbon sebesar 200 ton/ha), maka luasan 250.000 ha dapat menghasilkan kredit karbon sebesar 50 juta ton. Jika diasumsikan sebesar 3/4 dari pembukaan lahan ditanami secara homogen oleh tanaman holtikultura seperti mangga (mampu menyerap karbon sebesar 34 ton/ha), maka kredit karbon yang dihasilkan adalah 6,4 juta ton. Meskipun terdapat selisih dari alih fungsi lahan ini, namun potensi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas transmigran memiliki nilai tambah dan efek berganda. Pencatatan kredit karbon ini umumnya dikenal sebagai kredit karbon pertanian. Untuk itu, kawasan transmigrasi perlu direncanakan secara seimbang dengan cermatnya melihat potensi alam apa yang dapat dikembangkan. Secara aturan menurut Permendesa No. 19 Tahun 2018 tentang Pola Usaha Pokok, transmigran diberikan izin untuk melakukan usaha di bidang pertambangan galian C (yang menurut aturan Minerba saat ini dinyatakan sebagai penambangan batuan). Aktivitas pertambangan dan pengolahan hasil tambang dapat menghasilkan emisi karbon, meskipun secara nilai ekonomi komoditas pertambangan merupakan sesuatu yang bernilai. Oleh karena itu perlu juga dibuat aturan mengenai pembelian kredit karbon bagi pelaku aktivitas penghasil emisi di kawasan transmigrasi, agar program transmigrasi dapat selalu zero emisi, bahkan bisa menghasilkan kredit karbon. Dari pola usaha pokok pertanian, untuk menghasilkan nilai tambah sekaligus memberikan dukungan Indonesia menjadi CCS Hub di Asia Tenggara, program transmigrasi dapat juga mencanangkan kegiatan pertanian yang berbasis zero waste. Limbah-limbah pertanian sesungguhnya masih bisa termanfaatkan di industri, khususnya industri migas yang memiliki andil dalam pengembangan CCS dan CCUS. Baik mekanisme CCS maupun CCUS, keduanya melakukan proses injeksi karbon ke lapisan bawah permukaan bumi. Dalam proses Injeksi ini tetap diperlukan lumpur pemboran yang mana zat aditifnya dapat diperoleh dari limbah pisang seperti kulitnya, dan jagung seperti bonggolnya. Untuk singkong, bagian yang dapat termanfaatkan menjadi zat aditif adalah umbinya yang telah diolah menjadi tapioka. Proyek CCS dan CCUS di Indonesia yang saat ini sedang dalam tahap studi maupun yang dalam waktu dekat akan onstream berjumlah 15 proyek. Proyek CCS dan CCUS ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia yaitu adalah Arun CCS, Central Sumatra CCS/CCUS, Gemah CCUS, Sakakemang CCS, Ramba CCUS, Sunda Asri CCS/CCUS, Jatibarang CCUS, Gundih CCUS, Sukowati CCUS, Balikpapan CCUS, East Kalimantan CCS/ CCUS, Kutai CCS/CCUS, Blue Amonia CCS, Abadi CCS/CCUS, dan Tangguh CCUS. Seluruh lokasi proyek CCS dan CCUS ini berada pada Wilayah Kerja (WK) Migas. Penyangga CCS dan CCUS Dari sejumlah 15 proyek CCS/ CCUS yang ada di seluruh Indonesia saat ini, setidaknya terdapat sejumlah 7 kawasan transmigrasi yang berada atau berdekatan dengan wilayah proyek tersebut. Oleh karena itu kebutuhan akan lumpur pemboran di sekitar kawasan transmigrasi tersebut akan tinggi, tentu juga kebutuhan zat aditifnya yang dapat disubstitusi dengan limbah holtikultura yang menjadi komoditas unggulan di kawasan transmigrasi tersebut. LAPORAN UTAMA 60 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


Sebagai gambaran, rata-rata kedalaman sumur pemboran adalah lebih dari 1.000 m. Jika diasumsikan kedalamannya homogen di 1.000 m maka kebutuhan zat aditifnya sekitar 181 kg. Harga bentonit yang merupakan zat aditif yang dapat digantikan fungsinya oleh limbah holtikultura saat ini nilainya sekitar Rp300.0000 per kg. Artinya dengan kedalaman sumur sebesar 1.000 m, maka transmigran dapat memperoleh omzet maksimal sebesar Rp56.000.000. Meskipun nilai omzet ini berdasarkan harga bentonit, tetapi limbah pertanian yang berfungsi sebagai substitusi dari bentonit apabila memiliki performa yang sama maka nilai jualnya juga tinggi. Menurut Kementerian ESDM saat ini terdapat sejumlah 41.514 sumur migas yang ada di Indonesia, di mana 10.398 diantaranya tergolong sebagai sumur yang tidak aktif. Sumur yang tidak aktif ini dapat dipergunakan sebagai sumur injeksi pada proyek CCS dan CCUS. Dengan banyaknya jumlah sumur dalam proyek CCS maupun CCUS, maka dapat dibayangkan betapa besarnya pendapatan tambahan transmigran dari turut serta mendukung Indonesia sebagai CCS Hub di Asia Tenggara. Kawasan transmigrasi yang memiliki pola usaha pokok pertanian dan perkebunan bisa memperoleh kredit karbon yang bisa diperjual belikan, serta bisa memasok kebutuhan zat aditif lumpur pemboran untuk proyek CCS/ CCUS yang volume tersimpan karbonnya juga dapat diperjualbelikan. Bahkan kegiatan di kawasan transmigrasi ini berpotensi memperoleh Green Bond dari lembaga pembiayaan. Pemerintah dapat memilih apakah potensi luasan hutan yang besar langsung dicatatkan sebagai kredit karbon dan diperjualbelikan, atau dikembangkan sebagai kawasan transmigrasi yang masyarakatnya melakukan kegiatan ekonomi hijau dan mencatatkan kredit karbon, kemudian limbahnya dimanfaatkan untuk mendukung proyek CCS. Nilai tambah dan efek berganda tentunya yang akan jadi pertimbangan kebijakan pemerintah. n Yusuf Anugerah Putrandaru Kawasan transmigrasi yang memiliki pola usaha pokok pertanian dan perkebunan bisa memperoleh kredit karbon yang bisa diperjual belikan, serta bisa memasok kebutuhan zat aditif lumpur pemboran untuk proyek CCS/CCUS yang volume tersimpan karbonnya juga dapat diperjualbelikan. VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 61


TRANSMIGRASI DARI MASA KE MASA Pada mulanya transmigrasi merupakan sebuah program untuk melakukan perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lainnya yang bertujuan untuk mengurangi kepadatan penduduk di satu wilayah dan mengisi wilayah-wilayah lain yang masih jarang penduduknya. Seiring dengan waktu, program ini pun bertransformasi mengikuti perkembangan dan perubahan kebutuhan atas permasalahan kependudukan. Program yang awalnya diinisiasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda, masih terus berlanjut hingga kini. Istilah transmigrasi sebenarnya baru digunakan setelah diperkenalkan oleh Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno pada tahun 1927 dalam Harian Soeloeh Indonesia. 1905 Kali pertama dikenal di zaman Kolonial Belanda dengan nama Kolonisatieproof atau Kolonisasi. Program kolonialisasi bertujuan menuntaskan masalah kepadatan penduduk yang terjadi di Pulau Jawa dengan cara memindahkan sebagian penduduk dari Pulau Jawa menuju daerah yang kurang berpenghuni, sekaligus menyediakan tenaga kerja di kawasan perkebunan milik kolonial yang ada di luar Pulau Jawa. Sebanyak 155 kepala keluarga dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen, Purworejo, dan Keresidenan Kedu diberangkatkan ke desa inti pertama yang dibangun di Gedong Tataan Karesidenan Lampung. 1942 Penjajahan Jepang mengubah program transmigrasi yang sebelumnya dilakukan pada zaman Kolonial Belanda. Jika sebelumnya perpindahan penduduk tersebut melibatkan keluarga, pada masa Pendudukan Militer Jepang program transmigrasi yang dikenal dengan Kokuminggakari hanya bersifat individu tertentu yaitu yang masih muda dan mempunyai kekuatan fisik, dan kebanyakan adalah laki-laki. 1950 Program transmigrasi dilanjutkan setelah Indonesia merdeka dengan tujuan Kalimantan, Sumatera, Sulawesi hingga Irian Jaya. Pelaksanaan program transmigrasi di masa Orde Lama memiliki tujuan yang tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya yaitu memecahkan masalah demografis. Pemerintahan saat itu melihat adanya ketimpangan kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan di luar Jawa. Tetapi setelah adanya Undang-Undang No. 20 Tahun 1960, tujuan transmigrasi adalah untuk meningkatkan keamanan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat, serta mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. 1998 Orde Baru berakhir. Presiden Soeharto mundur dari jabatan presiden RI pada 21 Mei 1998.  Antara tahun 1979 dan 1984, program transmigarsi mencapai puncaknya dengan mampu memindahkan 535.000 keluarga (hampir 2,5 juta jiwa). 62 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


1966 Di masa orde baru (Orba) atau di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, program transmigrasi memiliki tujuan utama tidak hanya semata-mata memindahkan penduduk dari daerah Jawa ke daerah-daerah di luar Jawa, namun, ada penekanan pada tujuan lain yaitu untuk dapat memproduksi beras dalam kaitannya pencapaian swasembada pangan. Tak heran kalau kemudian program ini dijadikan prioritas nasional yang dituangkan dalam program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Pelita I (1969 – 1973) Fokus pada penyebaran penduduk dari Pulau Jawa ke pulau lain di Indonesia. Permasalahan transmigrasi saat itu sudah ditangani oleh Departemen Transmigrasi dan Koperasi. Pelita II (1974-1979) Berkembang bukan lagi sekadar perpindahan penduduk. Mulai dikaitkan dengan program pembangunan daerah dan pembangunan sektor lain. Pelita III (1979 – 1984) Orientasi transmigrasi telah beralih, yang semula termasuk dalam sektor kesejahteraan sosial menjadi sektor ekonomi dan keuangan. Selain itu, penduduk juga diarahkan untuk membantu pembangunan daerah asal dan daerah transmigrasi. Pelita IV (1984 - 1989) Fokus pada peningkatan mutu permukiman transmigrasi dan pengembangan pola-pola usaha lain selain tanaman pangan. Pelita V (1989-1994) Fokus transmigrasi tetap pada pengembangan pertanian, memperbanyak penyebaran penduduk dan tenaga kerja, meningkatkan kesejahteraan para transmigran dan masyarakat sekitar serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. 1999 Di masa Reformasi (1999-2009) transmigrasi tetap menjadi program yang dilaksanakan dalam rangka menyeimbangkan pertumbuhan penduduk di Indonesia. Tetap dilaksanakan mobilisasi penduduk untuk mengatasi permasalahan di wilayah dengan sumber daya terbatas dan tekanan penduduk yang tinggi, menuju ke daerah dengan keadaan sebaliknya dengan tujuan memaksimalkan penggunaan lahan yang ada. Transmigrasi Sekarang • Sejak tahun 2009 pasca diterbitkannya Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 pengembangan transmigrasi adalah berbasis kawasan, yang jumlahnya adalah sebanyak 619 kawasan dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Mulai saat itu dikembangkan sebanyak 48 Kota Terpadu Mandiri (KTM) sebagai akselerasi perekonomian pedesaan dan kawasan transmigrasi mandiri. Transmigrasi diarahkan untuk mendukung pembangunan daerah, mendorong persebaran penduduk dan tenaga kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan baru, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan demikian, transmigrasi tidak lagi merupakan program pemindahan penduduk semata, melainkan upaya untuk pengembangan wilayah pinggiran menjadi satu kesatuan sistem pengembangan yang berdaya saing. • Diorientasikan sejalan dengan perkembangan perekonomian daerah dan mendukung Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai landasan otonomi daerah. Program transmigrasi dijadikan sebuah program yang diharapkan lebih banyak memberi peluang untuk usaha dan kegiatan lainnya, lebih fokus pada pemberdayaan masyarakat lokal dan peningkatan kesejahteraan sosial, mengutamakan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingan pemerintah, dan selalu mempertimbangkan dampak lingkungan dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatannya. • Dalam kurun 10 tahun terakhir transmigrasi kembali bertransformasi pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Ketransmigrasian. Transmigrasi saat ini memiliki pola modern yaitu dengan dilakukannya pengembangan inovasi produk unggulan secara kolaborasi lintas sektor berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dikenal dengan transpolitan. Dalam pengembangan ekonomi, transmigrasi transpolitan mengadopsi konsep Global Gotong Royong Tetrapreneur (G2RT). • Hingga saat ini jutaan potensi sumber daya alam yang kurang bermakna telah berhasil digali dan dikembangkan. Lewat program transmigrasi telah terwujud 1.567 Desa definitif, 466 Ibu Kota Kecamatan, 116 Ibu Kota Kabupaten, dan 3 Ibu Kota Provinsi. Transmigrasi juga telah berhasil membuka areal produksi baru di bidang pertanian tanaman pangan, perkebunan, serta nelayan dan tambak seluas sekitar 3,6 juta Ha. Dari jumlah tersebut, sekitar 300.000 Ha diantaranya adalah areal perkebunan yang mampu menyerap sekitar 150.000 KK. • Transmigrasi turut mengembangkan desa-desa terpencil dan daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T) sejalan dengan semangat kali pertama transmigrasi dilaksanakan yaitu pembangunan di luar Pulau Jawa yang terus dikembangkan secara besar-besaran guna terciptanya kawasan ekonomi baru yang berujung terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 63


STRATEGI DAN TANTANGAN PENYELENGGARAAN TRANSMIGRASI DI WILAYAH 3T I ndonesia yang memiliki wilayah dengan beragam jenis budaya dan geografis tentu saja menjadikan hal itu sebuah tantangan. Tak dapat dihindari, kawasan transmigrasi juga masuk di area yang dikategorikan sebagai wilayah daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Seperti apa situasi dan strategi untuk para transmigran di wilayah tersebut, TIM TRANSPOLITAN melakukan wawancara dengan Drs. Nugroho Setijo Nagoro., M.Si Direktur Jenderal Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi untuk mengetahui tantangan, kendala dan strategi yang dilaksanakan di wilayah tersebut dalam hal penyelenggaraan program transmigrasi. Berikut petikan wawancaranya: Tanya: Bagaimana Bapak melihat program transmigrasi saat ini dan posisinya dalam pembangunan kependudukan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum? Jawab: Program transmigrasi saat ini masih memegang peran penting dalam pembangunan kependudukan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Program ini membantu mengurangi kepadatan penduduk di daerah padat dan mengembangkan daerah-daerah yang kurang berkembang dengan cara menyediakan lahan, infrastruktur, dan dukungan ekonomi bagi para transmigran. Dengan pendekatan yang lebih modern dan partisipatif, transmigrasi berupaya meningkatkan ketahanan pangan, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, yang pada akhirnya berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pengurangan Kepadatan Penduduk: Program transmigrasi membantu mengurangi tekanan di daerah-daerah yang padat penduduk dengan merelokasi sebagian penduduk ke daerah yang lebih jarang penduduknya. Beberapa poin-poin yang perlu di-highlight adalah: 1). Pengembangan Daerah Terpencil. Daerah-daerah yang menjadi tujuan transmigrasi sering kali merupakan daerah yang kurang berkembang. Kehadiran transmigran mendorong pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum di daerah tersebut; 2). Peningkatan Ekonomi Lokal. Melalui transmigrasi, pemerintah menyediakan lahan pertanian dan peluang ekonomi baru bagi transmigran, yang membantu meningkatkan perekonomian lokal dan menciptakan lapangan kerja; 3). Ketahanan Pangan. Dengan memberikan lahan pertanian kepada transmigran, program ini juga berkontribusi pada peningkatan produksi pangan nasional; dan 4). Pendekatan Modern dan Partisipatif. Pendekatan terbaru dalam program transmigrasi melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat lokal dan transmigran, serta penggunaan teknologi dan metode pertanian modern untuk meningkatkan hasil dan keberlanjutan. Secara keseluruhan, program transmigrasi saat ini diarahkan untuk tidak hanya memindahkan penduduk, tetapi juga memastikan bahwa mereka dapat hidup sejahtera di daerah baru dan berkontribusi pada pembangunan daerah tersebut. Tanya: Apakah program transmigrasi masih relevan dengan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam era disrupsi dan globalisasi. Konteks dengan transformasi apakah transmigrasi perlu juga melakukan transformasi? Tantangan dan kendalanya seperti apa? dan bagaimana mengatasinya? Jawab: Program transmigrasi masih relevan sebagai alat pemerataan penduduk dan pembangunan daerah. Namun, perlu ada transformasi untuk menghadapi tantangan modern seperti: 1). Penerapan Teknologi. Integrasi teknologi pertanian modern dan digitalisasi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam menghadapi perubahan iklim; 2). Sustainable Development. Fokus pada pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan yang juga memperhatikan tingkat urbanisasi yang cepat; dan 3). Ekonomi Kreatif. Mengembangkan sektor ekonomi kreatif dan pariwisata di daerah transmigrasi, serta ekonomi digital. Adapun tantangan dan kendala yang dihadapi saat ini adalah kurangnya infrastruktur dasar (seperti jalan, listrik, dan air bersih), adaptasi sosial (perbedaan budaya dan kebiasaan antara penduduk asli dan transmigran), dan ketergantungan pada sektor pertanian yang rentan terhadap perubahan iklim dan harga komoditas global. Maka daripada itu, perlu meningkatkan investasi dalam pembangunan infrastruktur dasar, menyediakan pelatihan keterampilan dan pendidikan bagi transmigran untuk meningkatkan adaptasi dan produktivitas, serta mendorong kemitraan WAWANCARA 64 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


dengan sektor swasta untuk pengembangan ekonomi lokal dan penciptaan lapangan kerja. Transformasi transmigrasi diperlukan untuk memastikan program ini tetap relevan dan efektif dalam menghadapi tantangan era disrupsi dan globalisasi. Dengan integrasi teknologi, pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan ekonomi kreatif, transmigrasi dapat terus berkontribusi pada pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Tanya: Menurut Bapak instrumen apakah yang cocok digunakan dalam mengukur keberhasilan pembangunan transmigrasi dan juga dikaitkan dengan transformasi di atas? Jawab: Untuk mengukur keberhasilan pembangunan transmigrasi, terutama dengan konteks transformasi modern, beberapa instrumen yang cocok digunakan meliputi: 1. Indikator Ekonomi yaitu Pendapatan Per Kapita, untuk mengukur peningkatan pendapatan transmigran dan masyarakat lokal; dan Tingkat Kemiskinan, untuk mengukur perubahan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan sebelum dan sesudah program. 2. Indikator Sosial yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM), untuk mengukur kualitas hidup berdasarkan kesehatan, pendidikan, dan standar hidup; dan Tingkat Pendidikan, untuk mengukur akses dan kualitas pendidikan di daerah transmigrasi. 3. Indikator Infrastruktur yaitu Akses terhadap Layanan Dasar, untuk mengukur ketersediaan dan kualitas layanan kesehatan, pendidikan, air bersih, dan listrik; dan Infrastruktur Transportasi, untuk mengukur pembangunan jalan, jembatan, dan transportasi umum. 4. Indikator Lingkungan yaitu Sustainability Index, untuk Mengukur dampak lingkungan dari kegiatan transmigrasi dan langkah-langkah pelestarian yang diambil; dan Penggunaan Lahan, untuk mengukur efektivitas penggunaan lahan pertanian dan konservasi. 5. Indikator Partisipasi Masyarakat yaitu Tingkat Partisipasi, untuk mengukur keterlibatan masyarakat lokal dan transmigran dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program; dan Kepuasan Masyarakat, untuk mengukur tingkat kepuasan masyarakat terhadap hasil program transmigrasi. 6. Indikator Teknologi dan Inovasi yaitu Adopsi Teknologi, untuk mengukur penggunaan teknologi pertanian modern dan digitalisasi dalam kegiatan ekonomi; dan Inovasi Ekonomi, untuk mengukur perkembangan sektor ekonomi kreatif, pariwisata, dan ekonomi digital. Untuk memastikan pengukuran yang efektif, pemerintah dapat melakukan survei rutin dan pengumpulan data statistik untuk mendapatkan gambaran yang akurat tentang kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan, kemudian menerapkan sistem monitoring dan evaluasi yang kontinu untuk mengawasi perkembangan program dan melakukan penyesuaian jika diperlukan, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal, transmigran, pemerintah daerah, dan sektor swasta, dalam proses evaluasi. Dengan menggunakan instrumeninstrumen ini, keberhasilan program transmigrasi dapat diukur secara komprehensif, dan transformasi yang diperlukan dapat diidentifikasi serta diimplementasikan untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas program. Tanya: Sehubungan dengan tugas dan fungsi Ditjen PPDT yang bergerak di bidang penanganan daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T) Apakah terdapat kawasan transmigrasi di daerah 3Т? Jawab: Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024, dari 152 kawasan transmigrasi dalam RPJMN Tahun 2020-2024 terdapat 20 Kabupaten Daerah Tertinggal yang memiliki kawasan transmigrasi. Kabupaten tersebut antara lain: 1. Sigi - Kawasan Palolo 2. Malaka - Kawasan Kobalima Timur 3. Tojo Una-Una - Kawasan Padauloyo dan Kawasan Ulu Bongka 4. Sumba Timur - Kawasan Melolo 5. Keerom - Kawasan Senggi 6. Teluk Wondama - Kawasan Werianggi-Werabur 7. Kepulauan Sula - Kawasan Pulau Mangoli 8. Donggala - Kawasan Lalundu Dan Bambakaenu 9. Timor Tengah Selatan - Kawasan Bena 10. Sumba Timur - Kawasan Lewa 11. Rote Ndao - Kawasan Batutua Nusamanuk 12. Sabu Raijua - Kawasan Sabu 13. Sumba Barat - Kawasan Lamboya 14. Alor - Kawasan Tanglapui 15. Sumba Barat Daya - Kawasan Kodi Loura 16. Belu - Kawasan Tasifeto-Mandeu 17. Manokwari Selatan - Kawasan Momiwaren 18. Kupang - Kawasan Amfoang 19. Sorong - Kawasan Klamono-Segun 20. Pesisir Barat - Kawasan Ngambur Tanya: Apakah ada perbedaan perlakuan terhadap transmigrasi di daerah 3T dengan wilayah transmigrasi lainnya? VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 65


Jawab: Ya, ada perbedaan perlakuan terhadap transmigrasi di daerah tertinggal dibandingkan dengan wilayah transmigrasi lainnya. Berikut beberapa perbedaan tersebut: 1). Pemerintah memberikan prioritas lebih tinggi untuk pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, listrik, dan air bersih karena sering kali fasilitas ini sangat minim di daerah tertinggal; 2). Ada fokus khusus pada pemberdayaan ekonomi lokal yang mencakup pelatihan keterampilan dan diversifikasi ekonomi, termasuk pengembangan sektor ekonomi kreatif dan pariwisata di daerah tertinggal; 3). Upaya ekstra untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan karena ketersediaan dan kualitas layanan ini sering kali lebih rendah di daerah tertinggal; dan 4). Lebih banyak inisiatif untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat lokal dan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mengatasi tantangan unik di daerah tertinggal. Perbedaan perlakuan ini didasarkan pada tantangan unik yang dihadapi daerah tertinggal, termasuk keterbatasan infrastruktur, layanan dasar, dan kondisi sosial-ekonomi. Pemerintah mengimplementasikan strategi khusus (PP 78/2014, STRANAS-PPDT, RAN-PPDT) yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi spesifik di daerah tertinggal untuk memastikan program transmigrasi di Daerah Tertinggal dapat berjalan lebih efektif dan memberikan dampak positif yang lebih besar. Tanya: Permasalahan apa yang sering kali muncul di wilayah 3Т? Jawab: Daerah Tertinggal sering menghadapi berbagai permasalahan yang kompleks, berikut adalah beberapa permasalahan utama yang sering muncul: 1). Keterbatasan Infrastruktur. Jalan, jembatan, dan transportasi yang tidak memadai, serta akses terbatas terhadap listrik dan air bersih; 2). Akses Layanan Dasar. Kualitas pendidikan dan layanan kesehatan yang rendah, serta kurangnya fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai; 3). Perekonomian. Kesulitan dalam menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan, serta ketergantungan pada sektor pertanian tradisional dengan produktivitas rendah; 4). Kondisi Sosial. Tingkat kemiskinan yang tinggi dan ketimpangan sosial, dan kurangnya akses terhadap teknologi dan informasi; dan 5). Isolasi Geografis. Lokasi yang terpencil dan sulit dijangkau, serta tantangan dalam logistik dan distribusi barang; dan Keamanan dan Stabilitas. Rentan terhadap konflik sosial dan gangguan keamanan, serta pengaruh buruk dari kegiatan ilegal seperti pembalakan liar dan penangkapan ikan ilegal. Tanya: Bagaimana strategi penanganan lokasi transmigrasi di wilayah 3Т? Jawab: Penanganan lokasi transmigrasi di wilayah 3T akan dilaksanakan secara selaras dengan arah kebijakan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024 meliputi: 1. Pengembangan perekonomian masyarakat melalui pelatihan pemasaran dan promosi secara digital, fasilitasi akses permodalan termasuk melalui croudfunding dan peer to peer lending, membuka peluang pasar ekspor, serta kegiatan pendukung lainnya berkolaborasi bersama mitra; 2. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan kualitas tenaga kesehatan dan guru serta meningkatkan pelayanan dengan dukungan teknologi di bidang terkait; 3. Percepatan pembangunan sarana dan prasarana/infrastruktur wilayah untuk Pemenuhan Layanan dasar dan pencapaian Standar Pelayanan Minimal serta peningkatan konektivitas dan sistem logistik antar wilayah; 4. Pemanfaatan teknologi dan informasi untuk mendukung percepatan pembangunan daerah tertinggal melalui pengembangan ekonomi digital serta pemanfaatan untuk mendukung pelayanan pendidikan, kesehatan dan pelayanan publik lainnya; 5. Peningkatan ketangguhan dan kemandirian daerah tertentu melalui pengembangan sosial, ekonomi, dan kawasan sesuai karakteristik wilayah; 6. Pembinaan terhadap daerah tertinggal yang telah terentaskan tahun 2019 melalui peningkatan daya saing dan kerja sama dalam bidang ekonomi, kesehatan, dan pendidikan untuk mendukung kemajuan dan kemandirian daerah; dan 7. Penanganan dan pemulihan ekonomi daerah pascapandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) melalui pencegahan dan pendekatan kesehatan, pemenuhan kebutuhan dasar dan jaring pengaman sosial, peningkatan ketahanan sosial ekonomi masyarakat, revitalisasi ekonomi perdesaan dan daerah tertinggal yang terintegrasi dalam program pemulihan ekonomi daerah dan nasional. Diharapkan penanganan kawasan transmigrasi yang sesuai dengan arah kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal, sasaran Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dapat tercapai, meliputi: 1. Penurunan Persentase Penduduk Miskin di daerah tertinggal (Target 2024: 24%). 2. Peningkatan nilai Indeks Pembangunan Manusia di daerah tertinggal (Target 2024: 62,7) 3. Target jumlah daerah tertinggal dari 62 (enam puluh dua) kabupaten berkurang menjadi 37 (tiga puluh tujuh) kabupaten (25 kabupaten terentaskan) pada tahun 2024; 4. Terlaksananya pembinaan pada 62 (enam puluh dua) daerah tertinggal yang telah terentaskan tahun 20I9. Tanya: Dalam penanganan transmigrasi di wilayah 3T apakah terdapat kendala atau permasalahan? Bagaimana penanganannya? Jawab: Kendala atau permasalahan yang sering dialami dalam perencanaan dan pelaksanaan program/kegiatan afirmasi di kawasan transmigrasi pada daerah tertinggal adalah lokasi kawasan transmigrasi yang terpencil dan sulit dijangkau. Untuk penanganannya Ditjen PPDT mencoba melibatkan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan pihak swasta (private sector) dalam perencanaan dan pelaksanaan program/kegiatan agar kendala yang dihadapi dapat diselesaikan secara kolektif. WAWANCARA 66 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


Tanya: Untuk RPJMN 2020-2024, apakah kawasan transmigrasi juga masuk dalam program RAN Ditjen PPDT? Apakah sudah ada evaluasi yang dilakukan untuk penanganan transmigrasi di wilayah 3T? dan bagaimana mekanismenya? Jawab: Ya, masuk. Program Daerah tertinggal yang masuk dalam Lokpri Transmigrasi (STRANAS PPDT 2020-2024) yaitu: 1. Kab. Teluk Wondama, Ketersediaan Akses dan konsumsi Pangan Berkualitas (Kementerian Pertanian, 2021) 2. Kab. Keerom, Ketersediaan Akses dan konsumsi Pangan Berkualitas (Kementerian Pertanian, 2021) 3. Kab. Kepulauan Sula, Ketersediaan Akses dan konsumsi Pangan Berkualitas (Kementerian Pertanian, 2021) 4. Kab. Sumba Timur, Ketersediaan Akses dan konsumsi Pangan Berkualitas (Kementerian Pertanian, 2021) 5. Kab. Malaka, Ketersediaan Akses dan konsumsi Pangan Berkualitas (Kementerian Pertanian, 2021), Pendidikan, Pelatihan Vokasi, dan Penyuluhan (Kementerian Pertanian, 2021) 6. Kab. Tojo Una-Una, Ketersediaan Akses dan konsumsi Pangan Berkualitas (Kementerian Pertanian, 2021). 7. Program Daerah tertinggal yang masuk dalam Lokpri Transmigrasi (RAN PPDT 2020-2024) yaitu : 8. Kab. Keerom, Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Kemendes, 2020) 9. Kab. Manokwari Selatan, Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Kemendes, 2020) 10. Kab. Kepulauan Sula, Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Kemendes, 2020) 11. Kab. Alor, Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Kemendes, 2020) 12. Kab. Belu, Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Kemendes, 2020) 13. Kab. Malaka, Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi dan Penyiapan Kawasan dan Pembangunan Permukiman Transmigrasi (Kemendes, 2020) 14. Kab. Rote Ndao, Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Kemendes, 2020) 15. Kab. Sumba Barat, Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Kemendes, 2020) 16. Kab. Sumba Timur, Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi dan Penyiapan Kawasan dan Pembangunan Permukiman Transmigrasi (Kemendes, 2020) 17. Kab. Donggala, Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi dan Penyiapan Kawasan dan Pembangunan Permukiman Transmigrasi (Kemendes, 2020) 18. Kab. Sigi, Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi dan Penyiapan Kawasan dan Pembangunan Permukiman Transmigrasi (Kemendes, 2020) 19. Kab. Tojo Una-Una, Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi dan Penyiapan Kawasan dan Pembangunan Permukiman Transmigrasi (Kemendes, 2020) Tanya: Kedepan harapan Bapak seperti apa untuk program transmigrasi, khususnya di wilayah 3Т? Jawab: Program Transmigrasi diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap beberapa sektor seperti: 1). Meningkatkan standar hidup masyarakat transmigran dan lokal melalui akses yang lebih baik ke layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan listrik; 2). Diversifikasi ekonomi lokal dan peningkatan produktivitas dengan memperkenalkan teknologi modern dan praktik pertanian berkelanjutan; 3). Menciptakan harmoni sosial antara transmigran dan masyarakat lokal dengan mempromosikan dialog dan kerjasama; 4). Meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program transmigrasi, termasuk Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal; 5). Mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi administrasi dan akses informasi; dan 6). Memastikan keamanan dan stabilitas di daerah transmigrasi untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan. Dengan fokus kepada hal tersebut, program transmigrasi diharapkan dapat membawa perubahan positif yang signifikan dan berkelanjutan bagi masyarakat yang terlibat. Harapannya, program ini tidak hanya membantu dalam pemerataan penduduk tetapi juga menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi dan sosial di daerah tertinggal. n VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 67


WAWANCARA T ransmigrasi sebagai sebuah program yang sangat tua di Indonesia terbukti memberi dampak signifikan dalam berbagai aspek pembangunan, mulai dari aspek kependudukan (penyebaran penduduk) hingga ke aspek pemerataan pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia. Berbagai program Transmigrasi di berbagai daerah telah terbukti berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di berbagai wilayah Indonesia. Kebijakan ketransmigrasian telah mengalami beberapa kali transformasi kebijakan. Untuk mengetahui seperti apa transformasi transmigrasi ini dikembangkan untuk situasi saat ini dan ke depan, TIM TRANSPOLITAN melakukan wawancara dengan Prof. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Doktor di bidang Regional Planning, division of Environmental Science and Technology, Graduate School of Agriculture Kyoto University. Saat ini menjabat sebagai wakil rektor di bidang Riset, Inovasi dan Pengembangan Agromaritim, IPB University. Berikut petikan wawancaranya: Tanya: Apakah transmigrasi dari dulu hanya terjadi di Indonesia? Atau apakah ketika Amerika ditemukan itu bisa disebut proses dari transmigrasi? Dan apabila disambungkan dengan Ibu Kota Nusantara (IKN) itu termasuk transmigrasi atau tidak? Karena itu termasuk salah satu sebagai solusi untuk mengurangi masalahmasalah yang terjadi di Jakarta untuk pembentukan wilayah baru Jawaban : Di dunia ini banyak yang bisa dikategorikan sebagai pemindahan permukiman penduduk yang diinisiasi oleh pemerintah, di banyak negara di dunia dengan kekhasan dan persoalannya masing-masing. Di Jepang pemindahan permukiman yang paling menonjol yaitu BUKAN SEKADAR PEMINDAHAN PENDUDUK TETAPI MENGALIRKAN INOVASI BUDAYA UNGGUL 68 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


ketika mengembangkan wilayah Pulau Hokkaido yang merupakan wilayah dengan dominasi suku Ainu yang berbeda dengan suku bangsa orang Jepang pada umumnya (Pemerintah Jepang baru mengakui keberadaan suku Ainu di tahun 2019) Pemerintahan Jepang mempunyai cara tersendiri dalam melaksanakan program transmigrasi mereka baik dalam hal menyusun program, menyediakan lahan untuk permukiman dan pertanian. Saat ini Hokkaido dikenal sebagai sentra produksi pertanian, perternakan dan perikanan di Jepang. Kedua ketika pemerintah memindahkan pegunungan dari dataran rendah. Program relokasi penduduk di pegunungan di Jepang dikenal sebagai “genkai shūraku” (deserted village). Desadesa ini dinilai sulit dipertahankan karena lokasinya yang terpencil dan populasinya yang menurun. Penduduk desa – desa ini didorong untuk pindah ke daerah yang lebih terjangkau di dataran rendah yang memiliki akses yang lebih baik ke layanan dan peluang ekonomi. Jepang merupakan negara yang sangat tidak stabil akibat sering terjadinya gempa bumi dan longsor, sehingga pemerintah menganggap permukiman yang berada di pegunungan sebaiknya dibatasi dan dijadikan kawasan hutan. Ahasil saat ini sekitar 67% daratan di Jepang terdiri dari hutan dan 33% sisanya untuk pertanian, permukiman perdesaan dan perkotaan, transportasi dan infrastruktur, dan lain–lain. Program pemindahan penduduk dengan inisiasi pemerintah seperti di atas juga banyak dilakukan di berbagai negara. Artinya negara yang melakukan transmigrasi bukan hanya di Indonesia tetapi banyak negara dengan cara yang berbeda-beda. Di berbagai hasil penelitian ilmiah ditemukan banyak sekali sorotan kritis atas praktek pemindahan paksa penduduk. Tetapi tidak banyak negara mempunyai unit pemerintah yang terus menerus eksis seperti pada Kementerian Transmigrasi di Indonesia, karena ada beberapa negara yang programnya relatif sudah selesai atau tidak menjadi unit khusus ketransmigrasian seperti di Indonesia. Pengembangan IKN mempunyai filosofi dan konsep yang berbeda dengan tujuan membangun ibu kota baru. Sehingga fokus utamanya adalah membuat pusat pemerintahan dan kota baru. Adapun salah satu pertimbangannya adalah untuk mengurangi beban lingkungan Jakarta. Dari sisi kependudukan diperkirakan dampaknya tidak terlalu signifikan karena jumlah penduduk kota Jakarta terlalu besar untuk dapat dipengaruhi oleh berkurangnya jumlah penduduk akibat pemindahan ibu kota negara. Untuk ke depannya menurut saya Jakarta akan tetap menjadi kota global (Global City) dan kota berpenduduk raksasa (Mega City) IKN difokuskan kepada membuat pusat pemerintahan yang efisien dan efektif bukan untuk difokuskan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Tanya: Terkait dengan konsep ke depan bahwa transmigrasi itu akan memenuhi segala kebutuhan, apakah nanti konsepnya dari wilayah itu sendiri atau harus memindahkan penduduk ke tempat baru lagi yang akan berkembang secara alami atau bahkan ada wilayah–wilayah yang membutuhkan keterampilan yang dibutuhkan? Jawaban : Yang menarik dari pengembangan wilayah yang diinisiasi melalui transmigrasi yaitu proses pembangunan permukiman mulai dari nol dalam arti dibangun dari tidak ada permukiman VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 69


WAWANCARA seperti lahan yang berasal dari hutan, dimulai dari tidak ada penduduk dan tidak ada aktivitas ekonomi menjadi permukiman baru. Ada beberapa stadia perkembangan pembangungan permukiman desa transmigrasi. Dimulai dari tahap paling awal yaitu stadia sub-subsisten ketika rumah tangga di permukiman baru belum mampu memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga. Pada tahap ini program transmigrasi menyediakan bantuan Jaminan Hidup (Jadup) supaya tidak mengalami situasi sub-subsisten. Inisiatif pemerintah di dalam pemindahan permukiman harus diawali dengan tahap tersebut, kemudian pemerintah harus membantu supaya ada aktivitas ekonomi baru yang mana pada umumnya ada kegiatan pertanian. Apabila penduduk di kawasan transmigrasi melalui kegiatan pertaniannya sudah dapat memenuhi kebutuhan pokok hidupnya maka sudah berada di stadia subsisten. Dan kemudian apabila aktivitas pertanian terus mengalami peningkatan produksi dan pendapatan yang melampaui batas minimum pemenuhan kebutuhan pokoknya sehingga mengalami surplus produksi yang jumlahnya mencapai kelayakan ekonomi untuk dijual ke pasar maka stadia perkembangannya telah mencapai stadia marketable surplus. Ketika rumah tangga mencapai tahap ini maka rumah tangga mempunyai kemampuan untuk menabung dan investasi sehingga menimbulkan kebutuhan konsumsi produk–produk sekunder. Situasi ini menumbuhkan permintaan atas produksi komoditas-komoditas non pokok dan muncullah kebutuhan sektor–sektor sekunder. Saya melihat program transmigrasi selama ini umumnya untuk tahapantahapan pendampingan penduduk transmigran belum cukup lengkap karena fokus pembinaan penduduk transmigran berhenti pindah ke tahap stadia marketable surplus. Pada stadia marketable surplus banyak yang mengalami stagnasi perkembangan. Akibat tidak berkembangnya sistem produksi sektor–sektor sekunder dan tersier di desa–desa transmigrasi maka tidak terjadi penambahan peluang lapangan pekerjaan untuk generasi kedua sehingga terjadi surplus tenaga kerja. Fenomena surplus tenaga kerja di desa– desa transmigrasi menimbulkan masalah baru. Dalam perkembangan berikutnya banyak daerah transmigrasi yang mengalami peningkatan kepadatan penduduk dan mengalami pengkotaan secara alamiah. Selama ini proses alamiah berubahnya perdesaan menjadi perkotaan tidak melalui proses persiapan yang memadai. seringkali perkotaan terbentuk tetapi tidak disiapkan dengan baik melainkan berubah menjadi perkotaan baru secara kebetulan penduduknya padat. Kawasan ini banyak yang kemudian memenuhi kategori, kecamatan baru, kategori ibu kota baru, dan kategori kelurahan baru yang kemudian akan menjadi kota kecil maupun kota menengah. Menurut saya transmigrasi perlu menyiapkan tahap–tahap terbentuknya diversifikasi usaha yang selaras dengan tumbuhnya perkotaan baru ataupun ada yang akan tetap menjadi perdesaan yang maju. Proses dari perdesaan menjadi perkotaan bukan merupakan proses linier, tidak semua kawasan transmigrasi akan menjadi perkotaan. Perancangannya pun harus disiapkan dengan peruntukan spesifik kawasannya, seperti ada kawasan yang berbasis sawit. Karena setiap perancangan transpolitannya pun akan berbeda. Selain itu harus bekerja sama dengan sektor–sektor non pemerintah yang bisa 70 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


berinvestasi dan belajar dari keberhasilan dan kegagalan konsep pengembangan wilayah lain di luar transmigrasi. Salah satu contoh suksesnya kerja sama dengan badan ketransmigrasian adalah konsep inti plasma yaitu merupakan hubungan kemitraan antara petani usaha kecil, menengah dan besar. Usaha menengah dan besar bersifat sebagai inti, sementara usaha kecil bersifat sebagai plasma yang mendapatkan pembinaan secara intensif. Tanya: Bagaimana transmigrasi menjadi supporting Pemerintah Daerah (Pemda) tanpa mengabaikan aspek legalitas, aspek pemerintahan birokrasi dan aspek keadilan sosial? Jawaban : Menurut saya ketransmigrasian harus mengalami transformasi ditata kelola karena selama ini masih dibayangi pendekatan ketransmigrasian di era sentralistik di mana ketika transmigrasi itu menjadi leading sector. Untuk saat ini transmigarsi tidak harus menjadi leading sector tetapi yang paling penting transmigrasi memang berdaya guna di dalam pengembangan wilayah tanpa harus menyebutnya kawasan transmigrasi. Menurut saya ketransmigrasian harus bergeser yang semula membuat sistem prosedural diubah menjadi satu sistem yang dapat dimasukkan di program mana saja sesuai dengan kebutuhan daerah yang karakteristiknya beragam. Maka ketransmigrasian harus bisa bertransformasi menjadi sistem yang fleksibel dan mempunyai prinsip–prinsip dasar yang memang ada indikatornya tanpa harus terikat dengan suatu prosedur yang kaku seperti zaman dahulu. Transmigrasi harus menjadi developer yang bisa menawarkan kerja sama dengan berbagai pemerintah daerah di mana bisa mengembangkan permukiman–permukiman baru dan satu paket dengan program yang memfasilitasi mengembangkan sektor– sektor unggulan tertentu di daerah. Ada satu prinsip dari teori pengembangan wilayah dari Paul M. Romer yang disebut dengan teori endogenous growth, bahwa pertumbuhan berkelanjutan suatu wilayah tidak hanya ditentukan oleh keunggulan suatu sumber daya alamnya tetapi pertumbuhan yang datang secara endogen yaitu dari keunggulan manusianya, di mana masyarakat memiliki karakter yang inovatif, kreatif, berpendidikan dan berjiwa entrepreneur. Banyak wiilayah di luar Pulau Jawa yang tersentuh transmigrasi kemudian mengalami perkembangan yang signifikan karena masyarakat transmigran datang membawa budaya kerja yang unggul dan budaya–budaya baru yang produktif. Transmigrasi bukan hanya pemindahan penduduk tetapi juga membawa masuknya aliran inovasi budaya unggul ke wilayah transmigrasi. Tanya: Terkait target ke depan untuk tahun 2025 – 2029 apakah kawasan transmigrasi bisa mempengaruhi indeks desa mandiri? Jawaban : Melihat target ke depan yaitu “Indonesia Emas” kontribusi manufaktur harus meningkat 28% artinya Indonesia ingin menjadi negara yang mengalami transformasi industrialisasi, bukan hanya mengandalkan pembangunan pertaniannya saja. Tentunya tidak hanya di Pulau Jawa tetapi di luar Pulau Jawa. Perkembangan wilayah di luar Pulau Jawa yang mengalami transformasi industrialisasi masih minim sekali, yang paling potensial mengalami transformasi indrustrialisasi menurut saya setelah Pulau Jawa adalah Pulau Sumatera dan itu membutuhkan kerja sama dari pihak industri dengan pihak pemerintah. Ketika mesin pertumbuhan ekonomi dahulu hanya dari sektor pertanian dan perkebunan tetapi untuk ke depan bukan hanya dari sektor pertanian dan perkebunannya saja melainkan dari sektor industri juga. Kondisi transmigrasi paling ideal harus dapat bekerja sama dengan banyak instansi dan para pihak lainnya karena menurut saya kunci dari keberhasilan transformasi transmigrasi adalah bagaimana nanti bekerja sama dengan dunia industri manufaktur yang memanfaatkan bahan–bahan baku lokal. n ketransmigrasian harus bergeser yang semula membuat sistem prosedural diubah menjadi satu sistem yang dimasukkan di mana saja sesuai dengan kebutuhan daerah yang karakteristiknya beragam. VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 71


OPINI TRANSFORMASI PENGEMBANGAN KAWASAN TRANSMIGRASI VS KAWASAN PERKOTAAN BARU Pengembangan kawasan perbatasan negara sebenarnya telah lama menjadi perhatian pemerintah. Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara serta berdasarkan amanat UU tersebut, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Kawasan perbatasan negara adalah bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan perbatasan berada di kecamatan. Wilayah yang dimaksud adalah bagian wilayah provinsi, kabupaten, atau kota yang langsung bersinggungan dengan garis batas negara (atau wilayah negara tetangga). Posisi strategis wilayah perbatasan selain mempunyai fungsi pertahanan dan keamanan negara (Security Belt), menyimpan potensi sumber daya alam yang relatif besar. Karena perannya lebih dominan sebagai security belt saat itu maka wilayah perbatasan Republik Indonesia harus dijaga keamanannya. Kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara dengan mempercepat pembangunan pusat-pusat pertumbuhan lokal membuka keterisolasian wilayah dengan diimbangi mendorong perkembangan ekonomi kawasan di setiap sudut wilayahnya sehingga akan mencerminkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang perlu diprioritaskan pengelolaannya. Namun kawasan perbatasan negara dalam pengembangannya juga menghadapi permasalahan pokok setidaknya seperti ketersediaan infrastruktur dasar yang masih minim untuk menunjang kelancaran kegiatan sosial ekonomi dibandingkan dengan negara tetangga, pertahanan keamanan dan tata ruang. Permasalahan tersebut perlu dicarikan pemecahannya namun permasalahan ini saling terkait satu sama lain. Permasalahan infrastruktur dan tata ruang yang dihadapi seperti minimnya prasarana dan sarana pembangunan, kondisi ekonomi yang dihadapi adalah kesenjangan kondisi perekonomian/pendapatan dibandingkan dengan negara tetangga. Kondisi sosial budaya dan kelembagaan yang tergambarkan yaitu kecenderungan orientasi penduduk ke negara Malaysia (Kucing-Serawak-Sabah), Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal dan perdagangan ilegal serta ilegal loging. Begitu juga dalam bidang ideologi politik dan pertahanan keamanan permasalahan yang dihadapi yaitu bergesernya patok batas negara, masih lemahnya dalam hal koordinasi antar lintas sektor/instansi dalam penanganan kawasan perbatasan berakibat pembangunan di wilayah perbatasan negara yang dilakukan selama ini belum fokus dan lokus pada kesejahteraan masyarakat. Selain itu dari sisi pengawasan dan pembinaan teritorial masyarakat di wilayah perbatasan perlu ditingkatkan dan dilaksanakan dengan mantap dan efisien. Wilayah perbatasan walaupun sudah mendapat perhatian lebih dalam pembangunan nasional, namun masih belum optimal pembangunan dan penanganannya padahal kawasan ini mempunyai posisi strategis mengingat fungsinya sebagai beranda depan Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya berupa instrumen keberpihakan atau program (istilah sekarang Projek Pembangunan) pemerintah pusat yang dapat menjaga kedaulatan negara berpihak serta memberikan kesejahteraan, kesempatan kepada masyarakat agar dapat mengelola sumber daya alam secara berkesinambungan di wilayah perbatasan. Bagaimana praktik pengembangan Wawan Gunawan, ST, MMSI Perencana Ahli Madya Direktorat Perencanaan Perwujudan Kawasan Transmigrasi Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi 72 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


wilayah perbatasan melalui perencanaan kawasan transmigrasi? Hakikatnya pembangunan transmigrasi merupakan upaya percepatan pembangunan kota-kota kecamatan atau kota-kota kecil terutama di luar Pulau Jawa, untuk meningkatkan perannya sebagai motor penggerak pembangunan daerah, untuk meningkatkan daya saing daerah yang masih rendah diakibatkan di antaranya adalah disparitas kesenjangan pembangunan antarwilayah, terutama antara kawasan perdesaan perkotaan Jawa-luar Jawa, (UU No.29 Tahun 2009 tentang ketransmigrasian). Hal ini juga sesuai dengan penyelenggaraan transmigrasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Transformasi Kawasan Di antara model-model pembangunan yang dapat diterapkan dalam pengembangan wilayah di perbatasan adalah Transmigrasi. Dari sekian wilayah perbatasan negara di Indonesia yang pernah menjalankan program transmigrasi adalah Kabupaten Sambas yang memiliki motto Sambas Terigas. Dalam dokumen RPJMN 2020-2024 tercantum bahwa kawasan transmigrasi yang berada dalam wilayah perbatasan Kabupaten Sambas Kalimantan Barat yaitu Kawasan Transmigrasi Gerbang Mas Perkasa dan Kawasan Transmigrasi Subah termasuk dalam Kawasan Transmigrasi Prioritas Nasional. Bila dirinci lagi berdasarkan hasil perhitungan IPKTrans (Indek perkembangan Kawasan transmigrasi) Kawasan Transmigrasi Gerbang Mas dan Kawasan Transmigrasi Subah masuk dalam kawasan transmigrasi mandiri Penerapan pembangunan dan pengembangan wilayah perbatasan negara melalui transmigrasi sejauh ini masih belum memberikan hasil yang nyata bagi masyarakat. Sebagai contoh Kawasan Transmigrasi (KT) Gerbang Mas Perkasa yang berbatasan negara dengan Malaysia di Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan hasil laporan akhir rencana revitalisasi kawasan transmigrasi tahun 2024 (Fakultas Geografi, UGM) disampaikan secara singkat bahwa tingkat kesejahteraan sosial, di Kawasan Transmigrasi Gerbang Mas Perkasa memiliki Indek Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 66,61%, tingkat kemiskinan sebesar 8,55%. Target tingkat kemiskinan dalam RPJMN 2020 - 2024 sebesar 6,5- 7,5% berarti tingkat kemiskinan sebesar 8,55 % masih terlalu tinggi di Kawasan Transmigrasi Gerbang Mas Perkasa dibandingkan rata-rata nasional sebesar 6,5-7,5%. Indek Pembangunan Manusia sebesar 66,61 menurut BPS di klasifikasikan dalam katagori sedang. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup di antaranya, mengukur kehidupan layak (Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik BPS, 2015) yang artinya dengan pencapaian IPM sebesar 66,61 masih belum mencapai optimal ke kehidupan lebih baik/tinggi di Kawasan Transmigrasi Gerbang Mas Perkasa. Kemudian sebesar 14.656 jiwa penduduk di KT Gerbang Mas Perkasa bekerja pada lapangan kerja on farm sedangkan 4.642 jiwa penduduk lainnya bekerja pada lapangan kerja off farm. Sekilas nampak dominasi lapangan pekerjaan masih kepada pertanian on farm dari pada pertanian off farm. Seharusnya yang bekerja di dunia usaha pertanian off farm lebih sejahtera dibandingkan petani on farm. Namun tidaklah sesederhana itu. Dunia usaha sektor pertanian off farm memerlukan dana yang tidak sedikit, mereka memerlukan berbagai input seperti modal yang cukup sarana transportasi yang memadai untuk mengekspor produk pertanian on farm. Hal ini berarti sektor primer seperti pertanian masih dominan menyerap lapangan pekerjaan masyarakat di Kawasan Transmigrasi Gerbang Mas Perkasa. Arahan kebijakan yang termuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, pengembangan ekonomi kawasan perbatasan Kalimantan yang telah ditetapkan dalam Inpres No. 1 Tahun 2021 tentang Percepatan Ekonomi di Kawasan Perbatasan Kabupaten Sambas adalah Paloh-Aruk sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) yang diprioritaskan pengembangannya sebagai pusat perekonomian baru di kawasan perbatasan negara. Sementara Paloh-Aruk berada dalam Kawasan Transmigrasi Gerbang Mas Perkasa yang ditetapkan sebagai kawasan transmigrasi VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 73


berdasarkan Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi Nomor 91 Tahun 2016. Kawasan Transmigrasi Gerbang Mas Perkasa berada di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat meliputi 2 kecamatan yaitu Kecamatan Sajingan Besar dan Kecamatan Paloh dan 15 desa. Kawasan transmigrasi ini memiliki satu Permukiman Transmigrasi Desa Sebunga dengan jumlah penduduk sebesar 36.640 jiwa. Ditinjau dari status kawasannya, Gerbang Mas Perkasa memiliki luas kawasan sebesar 136.657,41 ha. Kawasan Transmigrasi Gerbang Mas Perkasa berada di bagian utara Provinsi Kalimantan Barat dan berbatasan langsung dengan Malaysia. Sesuai laporan hasil klasifkasi kawasan transmigrasi oleh Kementerian PPN/Bappenas Kawasan Transmigrasi Gerbang Mas Perkasa berada di dalam koridor pertumbuhan, berada sangat dekat dengan Pusat Kegiatan Wilayah (PKL) Singkawang dan Kawasan Industri Landak sehingga dimungkinkan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Penggunaan lahan Kawasan transmigrasi Gerbang Mas Perkasa didominasi oleh penggunaan lahan berupa Area Peruntukan Lainnya (APL) seluas 65.838,74 ha atau sebesar 48,18% dari total luas wilayah. Sesuai studi Rencana Kawasan Transmigrasi (RKT) Gerbang Mas Perkasa rencana struktur ruang kawasan diarahkan menjadi 4 Satuan Kawasan Pengembangan (SKP), yang meliputi : SKP A : Desa Kaliau (Pusat KPB), Desa Sebunga, Desa Sasak, Desa Kaliau (Pusat SKP), Desa Keranji (Pusat SKP). SKP B : Desa Santaban (Pusat SKP), dan Desa Sei Bening. SKP C : Desa Sebubus dan Desa Temajuk (Pusat SKP). SKP D : Desa Sebubus, Desa Kalimantan, Desa Matang Danau, Desa Tanah Hitam, Desa Mentibar (Pusat SKP), Desa Malek, dan Desa Nibung. Pada pusat Kawasan Transmigrasi (KT)/ KTM Gerbang Mas Perkasa telah dibangun beberapa sarana dan prasarana, salah satunya adalah jalan boulevard, pasar, dan lain sebagainya. Dari segi usaha ekonomi, Kawasan Transmigrasi Gerbang Mas Perkasa memiliki sentra industri perkebunan. Sementara itu dari segi sosial budaya masyarakat, KT Gerbang Mas Perkasa belum memiliki badan pengelola. Di bidang pertanian, KT Gerbang Mas Perkasa memiliki beberapa komoditas unggulan, seperti padi dengan lahan seluas 7.846 ha, kakao dengan produksi 28 ton per 92 ha, karet dengan produksi 2.497 ton per 7.830 ha, lada dengan produksi 214 ton per 460 ha, Kopi dengan produksi 27 ton per 84 ha, serta sawit dengan produksi 1.363 ton per 4.323 ha. Pelaksanaan program transmigrasi di Kabupaten Sambas sempat terhenti berimbas atas pecahnya konflik etnis tahun 1999. Hampir semua meninggalkan lokasi dikarenakan mereka memilih untuk pindah ke tempat yang lebih aman di Pontianak atau ke daerah asal. Berdasarkan data permasalahan pertanahan dan HPL di Kabupaten Sambas Kawasan Transmigrasi Gerbang Mas Perkasa penempatan transmigrasi masuk kembali saat itu di programkan dan diprioritaskan bagi warga masyarakat yang terkena dampak kerusuhan tahun 2011 sebanyak 600 KK di lokasi Desa Sebunga SKP A. Namun yang dapat di realisasikan penempatan tahun 2012 hanya sebasar 200 KK. Dalam Kawasan Transmigrasi Gerbang Mas Perkasa telah terbit Sertifikat HPL No.49/HPL/KEM-ATR/ BPN/IV/2019 seluas 719,23 ha di Desa Sebunga Kecamatan Sajingan Besar dan SK HPL No.104/HPL/KEM-ATR/BPN/ XI/2022 seluas 652,8 ha di Desa Sebubus Kecamatan Paloh. Permasalahan tumpang tindih pemanfaatan ruang terjadi di Desa Sebunga SKP A dengan hak guna usaha (HGU) perusahaan sehingga berdampak penerbitan sertifikasi lahan usaha hak milik transmigran pada SKP A masih menjadi beban tugas yang belum terselesaikan. Selain itu untuk lokasi Desa Sebubus SKP C Kecamatan Paloh walaupun telah terbit SK HPL namun permasalahan lokasi perencanaan masih belum terselesaikan secara clear and clean. Kemandirian dan Integritas Beberapa persoalan yang dihadapi selama pelaksanaan program transmigrasi sebenarnya telah dilakukan pemecahannya. Pada Tahun 2006 model yang pernah diterapkan dalam pengembangan wilayah perbatasan dengan program Kawasan Transmigrasi Mandiri (KTM). Program ini bertujuan membangun kemandirian dan mewujudkan integritas permukiman transmigrasi sehingga aspek ekonomi dan sosial budaya mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Model KTM berawal dibangunnya pusat KTM sebagai pusat pertumbuhan kawasan transmigrasi bercirikan perkotaan diharapkan terjadi akselerasi perekonomian perdesaan OPINI 74 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


dan terwujudnya kemandirian kawasan transmigrasi yang memberi peluang investasi dan membuka kesempatan kerja baru yang pada akhirnya akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan permukiman. Berbagai kritik terhadap implementasi KTM terutama dalam koordinasi perencanaan antar kementeriaan tidak berjalan dengan optimal. Sehingga dukungan sektor terkait dalam pembangunan sarana dan prasarana pendukung infrastruktur terkendala dan sangat minim. Sementara untuk membangun KTM dibutuhkan dukungan sektor terkait untuk membantu pengembangan ekonomi di kawasan transmigrasi. Untuk dapat mendorong program transmigrasi ke depan berjalan sesuai yang diharapkan perlu upaya dan buah pemikiran selain dengan melakukan evaluasi kembali arah perencanaan pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi tentunya masih diperlukan masukan-masukan teknis berupa pemikiran-pemikiran lokal yang modern inovatif yang diselaraskan dengan penguasaan perkembangan teknologi informasi (ITC) terkini. Paradigma tranformasi pengembangan kawasan transmigrasi adalah pilihan strategis dalam penyelenggaraan ketransmigrasian. Pendekatan pengembangan wilayah perbatasan melalui model pendekatan transformasi pengembangan kawasan transmigrasi harus dilakukan pengelolaan kekuatan dan kelemahan secara optimal guna mengurangi ancaman dan memanfaatkan peluang. Hal ini sejalan bahwa program transmigrasi adalah meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar dan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, dalam proses pencapaian tujuan tersebut harus fokus implementatif serta tepat sasaran. Transformasi pengembangan kawasan transmigrasi besar harapan akan terjadi perubahan-perubahan yang nyata dalam implementatif program transmigrasi. Arah Kebijakan Rancangan Teknokratik RPJMN 2025- 2029 penyelenggaraan bidang ketransmigrasian perlu melakukan transformasi pengembangan kawasan transmigrasi yang didesain sebagai pusat pertumbuhan lokal. Kebijakan ke depan model transformasi pengembangan kawasan transmigrasi bahwa kawasan transmigrasi dijadikan penyangga pusat pusat pertumbuhan dalam hal di wilayah perbatasan negara maka perlu disiapkan dan didorong Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru (KPB) kawasan transmigrasi yang ditetapkan menjadi pusat pertumbuhan lokal. Pendekatan ini masih relevan terhadap pemerataan pembangunan utamanya untuk dijadikan kegiatan kawasan sentra produksi pangan mendukung kegiatan pembangunan wilayah perbatasan. KPB kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan lokal sekaligus berfungsi sebagai pusat kawasan transmigrasi dapat dijadikan satu di antara konsepsi penyangga pengembangan wilayah perbatasan yang akan terhubung dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Industri (KI), Destinasi Pariwisata Prioritas (DPP), dan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) kawasan perbatasan. Model KPB kawasan transmigrasi karena dijadikan pusat pertumbuhan lokal maka perlu didukung oleh jaringan jalan yang terhubung dengan pusat pusat pertumbuhan ekonomi lainnya. Seiring hal ini disampaikan juga dalam Rakor Transmigrasi 2024 Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar mengingatkan bahwa dukungan pelaksanaan transformasi transmigrasi harus didasarkan pada kesiapan prasarana dan sarana daerah tujuan. Selain itu dalam KPB di wilayah perbatasan juga akan disertai aktivitas kegiatan penataan desa dan persebaran penduduk, penyediaan tenaga kerja terampil dan pelaku usaha berdaya saing, penyediaan sumber bahan pangan (On Farm atau Off Farm), dan redistribusi tanah (penataan aset) transmigrasi. Kegiatan atau aktivitas-aktivitas tersebut akan mendukung peningkatan nilai tambah dan diversifikasi aktivitas ekonomi perdesaan strategis yang berkelanjutan sebagai bagian perkuatan transformasi ekonomi kawasan transmigrasi di wilayah perbatasan/pusat pertumbuhan lokal. Model Pembangunan Transformasi pengembangan kawasan transmigrasi berupa penerapan model pembangunan kawasan perkotaan baru (KPB) tematik transmigrasi Gerbang Mas Perkasa khususnya di Kawasan perbatasan negara Kabupaten Sambas bila di implementasikan yang utama adalah diperlukan kerja sama lintas sektor terkait komitmen yang berkelanjutan antar kementerian / Lembaga karena komponen pembentuk wilayah perbatasan negara sangat beragam dan komplek dari beberapa sektor. Misalnya adanya Pos Lintas Batas Negara (PLBN) selain kewenangan kementerian Hukum disana juga terkait kepabeanan Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan dan ada juga pertahanan sebagai security belt negara. Perpres No. 50 Tahun 2018 tentang koordinasi dan integrasi penyelenggaraan transmigrasi seharusnya menjadi pedoman koordinasi lintas Kementerian /Lembaga dalam mengkomunikasikan dan mensinkronisasikan kegiatan penyelenggaraan transmigrasi dalam pembangunan dan pengembangan Kawasan transmigrasi. Namun saat ini hanya baru mengidentifikasi peran kementerian/ Lembaga terkait dalam ikut serta penyelenggaraan transmgrasi sehingga masih belum optimal sejak awal dalam merencanakan program terpadu antar kementerian/lembaga terkait transmigrasi atau strategi terpadu kolaboratif transmigrasi belum bejalan secara optimal. Pengelolaan wilayah perbatasan negara dengan transformasi pengembangan Pengembangan Kawasan transmigrasi di wilayah perbatasan negara selain melalui pendekatan keamanan pendekatan meningkatkan kesejahteraan (prosperity approach), mencapai keberlanjutan (sustainability approach) yang perlu direalisasikan. n Paradigma tranformasi pengembangan kawasan transmigrasi adalah pilihan strategis dalam penyelenggaraan ketransmigrasian. VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 75


INSIGHT PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI UPAYA AKSELERASI PENERBITAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH TRANSMIGRASI Dalam Renstra Tahun 2015-2019 bidang Reforma Agraria, target legalisasi tanah transmigrasi yang belum bersertipikat sebesar 0,6 Juta ha. Hingga awal tahun 2024 capaian legalisasi tanah transmigrasi yang belum bersertipikat sebesar 222.862 bidang atau setara dengan 149,318 hektar (24,77%). Sedangkan capaian Reforma Agraria untuk Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) mencapai 261,40% dan Redistribusi Tanah mencapai 358,23%. Namun capaian legalisasi tanah transmigrasi yang belum bersertipikat tersebut masih lebih tinggi daripada capaian redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan. Dalam rangka percepatan pemenuhan target penyediaan tanah obyek reforma agraria dan pelaksanaan redistribusi tanah, legalisasi aset tanah transmigrasi, dan penyelesaian konflik agraria maka disusun Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Perpres ini merupakan reviu Perpres yang telah terbit sebelumnya (Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan dan Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria) yang membuka bottle neck kendala penerbitan sertipikat tanah transmigrasi yang tertunda karena belum terbitnya sertipikat Hak Pengelolaan (HPL) Transmigrasi. Perpres tersebut diharapkan dapat memberikan arah yang jelas dan selaras untuk percepatan penyelesaian legalisasi tanah transmigrasi. Dalam Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 terdapat 3 pasal yang mengatur tentang lahan transmigrasi, yaitu Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37, sedangkan pasal terkait dalam rangka percepatan pemenuhan target penyediaan tanah obyek reforma agraria terdapat pada Pasal 3 yang mengatur perencanaan bagi daerah untuk mendukung percepatan reforma Agraria. Pasal 35 Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 merupakan penegasan kembali pasal dalam Perpres 86 Tahun 2017 yang berisi kebijakan di bidang pertanahan transmigrasi yang menyatakan dalam hal tanah transmigrasi belum memperoleh hak pengelolaan, sertipikasi tanahnya diberikan setelah terbit keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transmigrasi atau bupati/walikota yang menyatakan bahwa pembinaannya telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/ kota dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah kabupaten/kota. Keputusan menteri tersebut menjadi dasar penerbitan sertipikat Hak Atas Tanah. Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 terutama Pasal 35 tesebut menegaskan kembali pensertipikatan Hak Atas Tanah transmigrasi dapat dilaksanakan apabila lokasi transmigrasi tersebut sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah dengan terbitnya keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transmigrasi atau bupati/ walikota yang menyatakan bahwa pembinaannya telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota menjadi Satuan Permukiman Serah (SP Serah) dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah kabupaten/ kota, termasuk di dalamnya tanggung jawab Pemerintah Daerah kabupaten/ kota dalam pensertipikatan Hak Atas Tanah transmigrasi yang belum terpenuhi. 76 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


Dengan ketentuan tersebut, tidak ada lagi kendala penerbitan Sertipikat Tanah Transmigrasi terkait HPL yang belum terbit terutama pada SP Serah. Dalam Pasal 35 Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tersebut disebutkan bahwa sertipikasi Hak Atas Tanah transmigrasi dilakukan terhadap : 1). Lahan tempat tinggal, 2). Lahan usaha dan, 3). Lahan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang dipergunakan untuk menunjang permukiman transmigrasi, di mana lahan tempat tinggal dan lahan usaha diberikan Hak Atas Tanah berupa hak milik, sedangkan lahan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang dipergunakan untuk menunjang permukiman transmigrasi diberikan Hak Atas Tanah berupa hak pakai atas nama Pemerintah Daerah. Dalam hal ini yang termasuk Pemerintah Daerah meliputi gubernur, bupati/walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sertipikasi Hak Atas Tanah transmigrasi diberikan untuk lahan transmigrasi yang Clear dan Clean yang memenuhi kriteria : 1). berada di luar kawasan hutan atau telah dilakukan pelepasan kawasan hutan atau perubahan batas kawasan hutan; 2). telah diberikan hak pengelolaan untuk lokasi transmigrasi yang masih dalam pembinaan. Pasal 36 Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 mengatur tentang SP Bina dalam hal warga transmigrasi masih dalam masa pembinaan, penetapan subyek dan obyek tanah transmigrasi dilakukan berdasarkan keputusan bupati/walikota dan dilaporkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transmigrasi. Sedangkan dalam hal pembinaan warga transmigrasi telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota, penetapan subyek dan obyek tanah transmigrasi dilakukan oleh bupati/walikota dengan prioritas penetapan subyek bagi transmigran. Pasal 37 menyatakan tanah transmigrasi tidak dapat dipindahtangankan kecuali telah dimiliki paling singkat selama 15 (lima belas) tahun sejak penempatan. Dalam hal tanah transmigrasi dipindahtangankan sebelum 15 (lima belas) tahun sejak penempatan maka Hak Atas Tanah hapus. Ketentuan mengenai pemindahtanganan Sertipikat Hak Atas Tanah transmigrasi diatur oleh Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan, yaitu Kementerian ATR/BPN. Pasal 3 dalam rangka mendukung percepatan Reforma Agraria, Pemerintah Daerah, sesuai dengan kewenangannya harus memasukkan program dan kegiatan mengenai Reforma Agraria ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah dan mengalokasikan anggaran pendapatan belanja daerah. Selanjutnya Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri menetapkan pelaksanaan Reforma Agraria di daerah sebagai salah satu indikator penilaian kinerja pemerintah Upaya percepatan legalisasi tanah transmigrasi juga dilakukan dengan memperkuat koordinasi lintas sektor antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah melalui optimalisasi fungsi Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sebagai wadah koordinasi dalam penyelesaian sertipikasi tanah transmigrasi. Hal tersebut didukung dalam Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 Pasal 66 sampai dengan Pasal 70. Untuk mendukung pelaksanaan Reforma Agraria di daerah, gubernur, bupati/walikota membentuk dan menetapkan gugus tugas Reforma Agraria di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota (Pasal 66). Gubernur dan bupati/walikota mengintegrasikan kegiatan Reforma Agraria ke dalam perencanaan pembangunan daerah dan program kegiatan perangkat daerah serta mengalokasikan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) untuk mendukung pelaksanaan tugas gugus tugas Reforma Agraria (GTRA) provinsi dan kabupaten/ kota. Dalam melaksanakan tugasnya GTRA Provinsi diketuai oleh Gubernur, dengan wakil ketua Sekda Provinsi dan Ketua Pelaksana Harian Kepala Kanwil BPN Provinsi dan beranggotakan pejabat tinggi pratama perangkat daerah provinsi, pejabat pada Kanwil BPN, pejabat pada Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian, Kejaksaan, unsur masyarakat dan /atau akademisi. Untuk GTRA Kabupaten diketuai oleh Bupati/Walikota, dengan wakil ketua Sekda Kabupaten/Walikota dan Ketua Pelaksana Harian Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten dan beranggotakan pejabat tinggi pratama perangkat daerah kabupaten, pejabat pada kantor pertanahan kabupaten/kota, Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian, Kejaksaan, unsur masyarakat dan /atau akademisi. n Hidanafie Ashriyati LEGALITAS ASET TARGET : 4,5 juta Ha TANAH TRANSMIGRASI TARGET : 0,6 juta Ha PENATAAN AKSES 2023 TARGET: 114.900 KK Capaian Pelepasan Kawasan Hutan yang dalam proses sertifikasi (sudah APL) Juta Ha 10,34 113.737 KK (98,99%) Capaian seluas 148.621 Ha (24,77%) Pendaftaran Tanah/PTSL target 3,9 juta Ha Capaian seluas 10,19 juta Ha Sumber: K. ATR/BPN, KLHK per Jan 2024 REDISTRIBUSI TANAH TARGET : 4,5 juta Ha Ex HGU, Tanah Terlantar, dan TN lainnya TARGET : 0,4 juta Ha PELEPASAN KAWASN HUTAN TARGET: 114.900 KK Juta Ha 1,8 1,28 Juta Ha Capaian seluas 1,43 juta Ha (358,23%) Redistribusi Kawasan Hutan 4,1 juta Ha Capaian seluas 379.621,85 juta Ha CAPAIAN REFORMA AGRARIA VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 77


PEGAWAI PURNA TUGAS PENGHARGAAN SATYALANCANA WIRA KARYA E. Harapan Simbolon Fedi Hernadi Saputra Rini Birawaty Rasdiana Zasilia Diah Eka Poespaningroem 78 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


Best Employee of The Month Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Bulan Desember Tahun 2023, dan Bulan Januari s.d Maret Tahun 2024 Dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja para pegawai di lingkungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi telah dilakukan Penilaian Core Values BerAKHLAK yang dilaksanakan setiap bulan untuk memilih pegawai terbaiknya. Penilaian BerAKHLAK meliputi Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaftif, dan Kolaboratif. Adanya Core Values ASN ini sebagai sari dari nilai – nilai dasar ASN sesuai dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai pengendalian perilaku kerja produktif yang diisyaratkan untuk mencapai hasil yang optimal bagi tujuan organisasi. Penilaian tersebut didasarkan pada: 1. Daftar Kehadiran Daftar kehadiran diperoleh dari Tim Kerja yang menjalankan fungsi di bidang Kepegawaian, dengan persyaratan sebagai berikut : a. Data diambil dari rekapitulasi presensi per bulan; b. Penilaian daftar kehadiran dilihat pada jumlah / akumulasi keterlambatan, pulang sebelum waktunya, dan tidak masuk tanpa keterangan, yang dihitung dalam periode satu bulan penilaian; dan c. Kriteria dan predikat untuk jumlah variable keterlambatan, pulang sebelum waktunya, dan tidak masuk tanpa keterangan, yang dihitung dalam periode satu bulan penilaian adalah memiliki nilai dan predikat sebagai berikut: 1. 0 - 10 menit = Sangat baik, memiliki nilai 100; 2. 11 - 350 menit = Baik, memiliki nilai 75; 3. 351 – 650 menit = Cukup, memiliki nilai 50; 4. 651 – 1000 menit = Kurang, memiliki nilai 25; dan 5. >1000 menit = Buruk, memliki nilai 0. 2. Laporan Kinerja Pegawai a. Data diambil dari Laporan Kinerja Pegawai per bulan; b. Penilaian difokuskan pada besaran jumlah nilai Laporan Kinerja yang dicapai; c. Penilaian kinerja pegawai dinyatakan dengan angka dan predikat sebagai berikut: 1. Sangat Baik, apabila pegawai memiliki nilai 91 ke atas; 2. Baik, apabila pegawai memiliki nilai dengan angka 76 – 90; 3. Cukup, apabila pegawai memiliki nilai dengan angka 61 – 75; 4. Kurang, apabila pegawai memiliki nilai dengan angka 51 – 60; dan 5. Buruk, apabila pegawai memiliki nilai dengan angka dibawah 50. 3. Catatan Penilaian Kinerja dari Atasan Catatan Penilaian Kinerja adalah catatan penilaian kinerja baik PNS atau PPNPN yang telah disesuaikan dengan hasil evaluasi dari atasan langsung berdasarkan observasi kinerja pegawai selama periode satu bulan penilaian. Januari 2024 (ASN) Ritha Mikawaty Sihotang | (PPNPN) Hendra Setiawan Februari 2024 (ASN) Wawan Gunawan | (PPNPN) Nastiti Widieni Maret 2024 (ASN) Wahyudi | (PPNPN) M. Agung Herdianto Kurniawan Desember 2023 (ASN) Bondan Djati Utami | (PPNPN) Hendra Bayu Sulistya VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 79


GALERY Coffee Morning "Pemantapan Pembentukan Tim Kerja Dit. P2KT" Bimtek Pemetaan dan Geodatabase oleh Dit. PSP dan PSKP 80 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


Pelaksanaan Dialog Kinerja Dit. FP3KT Penilaian Pengawasan Kearsipan Dit. P2KT Penilaian Pengawasan Kearsipan Dit. PKT VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 81


GALERY Penyerahan Bantuan Mesin Steamer dan Boiler untuk Kube Mekar Mandiri KTM Telang dari PT. PUSRI (PERSERO) melalui PIMTI Perempuan Indonesia dan Ditjen. PPKTrans Penilaian Pengawasan Kearsipan Dit. PSP dan PSKP Pelaksanaan Dialog Kinerja Setditjen PPKTrans 82 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


Evaluasi Penilaian Pembangunan Zona Integtritas Dit. P2KT Pelantikan pengurus PMAT Periode 2024-2025 pada acara Dies Natalis ke IX UIN Raden Fatah Palembang Prov. Sumatera Selatan Penyerahan Sertipikat kepada masyarakat transmigran di UPT Parudongka Kab. Konawe Koordinasi Jajaran Ditjen PPKTrans dengan Jajaran Pemkab Pali, pada Kegiatan Monitoring dan Pengendalian ke Lokasi Transmigrasi Tempirai Selatan SP.1 Kab. Pali Prov. Sumatera Selatan Kunjungan Kerja Dirjen PPKTrans di lokasi Mahalona SKP C SP.1 Penyerahan Arsip InAktif dari Ditjen PPKTrans ke Record Center Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024 83


GALERY Pelaksanaan Sertijab di Lingkungan Ditjen PPKTrans Tim Wawancara Majalah Transpolitan Edisi 1 Wakil Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi mengunjungi booth pameran pada Rapat Koordinasi Transmigrasi di Makassar Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi hadir pada Rapat Koordinasi Transmigrasi di Makassar 84 VOLUME III | EDISI 1 | JUNI 2024


DAFTAR NAMA PENULIS MAJALAH TRANSPOLITAN DITJEN PPKTRANS EDISI 1 TAHUN 2024 NAMA JABATAN/UNIT KERJA Ir. Danton Ginting Munthe, M.M. Direktur Jenderal Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Dr. R. Bambang Widyatmiko, S.Si., M.T. Direktur Perencanaan Perwujudan Kawasan Transmigrasi, Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Ditjen PPKTrans) Andi Indriani, S.P., M.M.A. Penggerak Swadaya Masyarakat Ahli Madya, Balai Besar Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (BPPMDDTT) Yogyakarta Wawan Gunawan, ST, MMSI Perencana Ahli Madya, Direktorat Perencanaan Perwujudan Kawasan Transmigrasi (Dit. P2KT) Hidanafie Ashriyati, S.Si, M.Si Analis Kebijakan Ahli Madya, Direktorat Pengembangan Satuan Permukiman dan Pusat Satuan Kawasan Pengembangan (Dit. PSP dan PSKP) Ancelmus Andi Pratama, S.Kom Penggerak Swadaya Masyarakat Ahli Muda, Balai Besar Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (BPPMDDTT) Denpasar Irfan Priyadi, ST., M.Si Perencana Ahli Muda, Biro Perencanaan dan Kerja Sama, Sekretariat Jenderal Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi Andy Aryawan, S.T, M.Sc Perencana Ahli Muda, Sekretariat Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Setditjen PPKTrans) Awanda Sentosa, S.T, M.Si Analis Kebijakan Ahli Muda, Direktorat Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Dit. PKTrans) Emilla Melati, S.T., M.T Analis Kebijakan Ahli Muda, Direktorat Pembangunan Kawasan Transmigrasi (Dit. PKTrans) Panca Okta Hutabrina, S.Sos.I Analis Kebijakan Ahli Muda, Direktorat Fasilitasi Penataan Persebaran Penduduk Di Kawasan Transmigrasi (Dit. FP3KT) Purna Anayanti, S.T.,M.M Analis Kebijakan Ahli Muda, Direktorat Pengembangan Satuan Permukiman dan Pusat Satuan Kawasan Pengembangan (Dit. PSP dan PSKP) Suratmi, S.S, M.AP Perencana Ahli Muda, Direktorat Pembangunan Kawasan Transmigrasi (Dit. PKT) Syamfikri Ghadafi, S.Sos., M.Si. Penelaah Teknis Kebijakan, Balai Besar Pelatihan dan Pemberdayaan Masyrakat Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (BPPMDDTT) Yogyakarta Corry Prisilia, S.E Penelaah Teknis Kebijakan, Sekretariat Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Setditjen PPKTrans) Hendra Prasetyawan, S.H. Penelaah Teknis Kebijakan, Direktorat Perencanaan Perwujudan Kawasan Transmigrasi (Dit. P2KT) Yusuf Anugerah Putrandaru, S.T., M.T. Penelaah Teknis Kebijakan, Direktorat Perencanaan Perwujudan Kawasan Transmigrasi (Dit. P2KT) Beatrix Thesha Sabathini, S.P.W.K Penelaah Teknis Kebijakan, Direktorat Pembangunan Kawasan Transmigrasi (Dit. PKT) Anggun Dwi Puspitoasih, S.T.P. Perencana Ahli Pertama, Direktorat Fasilitasi Penataan Persebaran Penduduk Di Kawasan Transmigrasi (Dit. FP3KT) Rafi Refinaldi, S.T Penelaah Teknis Kebijakan, Direktorat Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Dit. PKTrans) Giovanni Daniel Sirait, S.A.P.,M.Ikom Pranata Humas Ahli Pertama, Sekretariat Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Setditjen PPKTrans) Tim Redaksi Majalah Transpolitan Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Tim Dokumentasi Biro Hubungan Masyarakat Biro Hubungan Masyarakat, Sekretariat Jenderal Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi


@DitjenPPKTrans ditjenppktrans.kemendes 082261002045 (Adm Sipukat) Sipukat.Kemendesa Sipukat Transmigrasi sipukat.kemendesa.go.id https://tinyurl.com/2bx2kp2h Majalah TRANSPOLITAN dapat diakses/download di link berikut:


Click to View FlipBook Version