The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Novel ini menceritakan tentang air yang merupakan kebutuhan vital bagi manusia terutama warga yang berada di perumahan sekolah di desa ini. Dimana setiap musim kemarau pasti kesulitan dengan air dan air ini menjadi masalah terjadinya keributan bertetangga. Di novel ini, menggambarkan situasi keadaan hidup manusia dan sarat akan pesan-pesan moral yang menjadi pembelajaran hidup di setiap dialog-dialog pelakunya.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Eva Lesiani Franciska, 2024-03-27 23:54:28

Air_Karya Eva Lesiani Franciska

Novel ini menceritakan tentang air yang merupakan kebutuhan vital bagi manusia terutama warga yang berada di perumahan sekolah di desa ini. Dimana setiap musim kemarau pasti kesulitan dengan air dan air ini menjadi masalah terjadinya keributan bertetangga. Di novel ini, menggambarkan situasi keadaan hidup manusia dan sarat akan pesan-pesan moral yang menjadi pembelajaran hidup di setiap dialog-dialog pelakunya.

Keywords: Novel,literasi,buku,sastra,karya sastra,pesan moral

OLEH EVA LESIANI FRANCISKA Kala Air Telah Pergi


umah di desa airnya tetap banyak meskipun menggunakan sumur. Mau mandi, mau gosok gigi cukup putar kran di kamar mandi. Memutar kran tanpa tawarmenawar. Jika pagi hari atau sore hari mau mandi yang segar, cukup memutar kran air lalu mencebok air menggunakan gayung ke tubuh. Air yang menimpa kulit sepertipijitanbidadaridalam tidur. Kloset kusiram dengan air menerjang dan menggusur kotoran ke dalam lubang. Entah ke mana selanjutnya aku tak peduli! Kloset pun jadi bersih. Bau hilang dan keluarlah kita dari kamar kecil yang sejak tadi kita tunggui dengan pikiran tenangdantentram. Sengaja aku katakan, biarpun rumah di desa, sebab di samping hanyalah perumahan-perumahan sekolah.Tapi maaf, janganlah Anda salah tafsir. Orang yang tinggal di desa bukanlah tergolong orang yang mampu cuma pegawai, yang hidup dan memburuh. Sebagian pun juga bertani. Kebetulan mendapat tempat tinggal, di tempat yang sangat menarik. Perumahan! Di deretan deretan kampung dan di samping kantor yang menghasilkanbanyakcerita.


Aku kebetulan mendapat perumahan paling pojok. Di perumahan lainnya, dihuni rekan sekerja yang memiliki dua anak bahkan tinggal bersama Saudaranya. Mereka dan aku. Seperti tetangga lainnya, kami tak pernah kesusahan air. Khususnyauntukorang-orangdesa Aku rasa, perumahan ialah salah satu daerah yang surplus air. Beberapa tahun yang lalu aku pernah tinggal di kota. Airnya setetes-tetes. Itupun kalau listriknya hidup. Kalau aku mandi lebih dari 5 gayung pasti lonjakan rekening air semakin melambung tinggi. Kadang-kadang ibu kost pun marah sambil mengomel panjang. Katanya air mahal! Ketika aku tinggal di kota B hanya mandi dengan air sumur. Coklatnya memang tidak secoklat air Barito. Gerutuan tetap saja sama. Air mahal! Maksudnyauntuk air minum!Lebihdari itu mereka merasa iri dengan orang yang sudah hidup dengan air leding. Kecuali daerah elit seperti perumahan-perumahan pejabat, semua orang menggerutu tentang air apalagi pada musim kemarau.


“Air di kampung ini pada musim kemarau bagaikan teriak musafir dipasang pasir. Air lebih berharga dibanding dengan makanan”ujar seorang teman. “Ada Barito! “Godaku. “Halah! “dengannada sinisnya. “Tapi semua mereka hanya menggerutu asal menggerutu saja. Akhirnya menjadi biasa. Air tidak ada. Biasa! Mandi di sungai. Biasa! Setiap malam menampung air di bak penampungan dan mengangkatnya ke rumah masingmasing, ini pun biasa, biarpun kantuk meraja di pikiran. Indonesia penuh dengan air. Tapi akhirnya diharuskan membeli air minum karena air tidak layak untuk dikonsumsi terlebih lagi air lumayan harganya. Ini pun sudah biasa! Seperti harga barang naik, mulainya semua menggerutu, protes kiridankanan, akhirnyaprotes ituditelankeprotesan masa.Lantas jadi terbiasa.


“Yahbiar! Capekribut-ribut! Ribut-ribut juga tidakadahasil. “Yangbener mana? “ tanya yang lain. “Manakutahu! “ Tapi kami tetap tenang. Tetangga yang lain tentram. Rekan serumah yang telah 15 tahun di perumahan ini tetap tak mau tahu soal air. Air ada. Aku sudah 5 tahun menghuni perumahan ini, merasa berkuasa atas penggunaan air. Listrik selama sebulansaja cukupseratus ribu. Kemudian keluarga bertambah. Aku memiliki dua anak dan tetangga didatangi penghuni baru, si kecil. Jadi kini mereka ada tiga orang. Ditambah empat jiwa, jiwaku dan suamiku. Listrik yang biasanya cukup seratus ribu bertambah menjadi dua ratus ribu dan tetap semuanya itu kutanggung sendiri. Namun, air tetap mengalirderas.


Mendadak saja aku rasa akan kejadian yang kemudian terjadi. Teman di samping membawa anggota keluarganya sebagai teman untuk membantu di perumahan. Lalu, ternyata perabotanperabotannya semua berubah dari yang tidak ada TV menjadi ada TV dari biasanya memasak pakai kompor sekarang memasak pakai listrik, yang biasanya tidak pakai kipas sekarang sudah pakai kipas listrik. “Sungguhhebatdia!" pikirku. Karena itu, mulai terjadi kontradiksi. Merekahidup dengan berbagai material yang berlimpah dengan aku yang tetap seperti sedia kala. Tidak maju tapi tidak mundur. Jalan kehidupan terjadi seperti biasanya. Wajah mereka penuh dengan keriangan dengan lemak subur-subur di badannya aku cuma mengiyakan saja. Kagum akanrezekihidupnya! “Togel mas?” tanyakusuatuhari. “Ahbiasa!“ “Proyek! “katanya. “Proyek? “ Ia mengangguk dengan senyum puas titik matanya bersinar menerangi segala masa yang suram yang telahterlewatkan. Begitu tanggapanku, pancaran dan relung matanya yang jernih. Senyumnya merekah di bibirnya serasa merasa puas dalam hati. Itusemua, rezekinya itutidakbegitu menarikperhatianku.


Sejak itu, dua adiknya tinggal di rumah itu. Jumlah jiwa di rumah itu kini menjadi tujuh orang. Tamu-tamu berdatangan. Ada yang menginap dan pula yang hanya mandi sore. Hampir setiap minggu, mereka pesta dan makan-makan di rumah itu. Tanpa sebab. Sebagai rekan sekantor dan tetangga kami juga mendapatbagiandari makananitu. Mulanya, karena aku memang tidak ambil peduli soal keramaian yang terjadi, tetap berjalan tentram. Air tetap mengucur deras. Air itu segar karena telah dibersihkan dan diolah di tong air. Air itu tetap sejuk. Bau gasung (bau apek dalam bahasa Dayak Ngaju) sesekali terasa, terkadang menjengkelkanjuga. Suatu hari rekan serumah bertanya mengapa air tidak jernih dan berbau. Aku katakan padanya, mungkin karena air hujandantidakdibubuhikaporit. “Aneh sudah tahu hujan masih saja tidak berpikir!" Grutunya.


Kami telah terbiasa dengan kesegaran dan kesenangan, kekurangan sedikit telah menjadi gerutuan. Soal air yang keruh pun menjadi bahan pembicaraan. Terkadang kami pernah berdebat soal penggunaan kaporit dan pemakaiannya. Tapi aku merasa tidak senang sebab, dia sendiri tahu, apa dan bagaimana kegunaan kaporit. Dia tidak tahu kaporit tapi mengajak berdebat soal kaporit dan dari nada debatnya, aku melihat watak berikutnya. Ia kini merasa telah punya segalanya, soal berbicara ia boleh bicara tentang apa saja. Kadang, orang yang sudah memiliki segalanya merasa seolaholah dia yang memiliki bumi sepenuhnya. Dia bebas boleh berkata apapunsaja. Dia yangpalingpintardari segalanya. Aku terangkan bahwa kaporit itu bersifat pembersih dan pembunuh kuman. Aku coba menjelaskan itu berikut manfaatnya. Tapi, dia sok tahu dan mengatakan bahwa kapan itu ditambah ke dalam air agar orang jangan memakai air dari tong itu lagi. Alasannya, biasa air itu tak berbau kaporit. Aku mau ketawa tapi cuma dalam hati. Mungkin dia mau menyinggungku.Tapi,kubiarkansajaberlalu.


“Jadi, katakan saja kalau tidak mau berbagi air! protesnya. Ketika aku merasa bahwa banyak orang yang merasa dirinya berpunya, lalu tahu segalanya. Karena ia kaya, maka dikatakannya bahwa emas itu terbuat dari asap. Katanya intan itu terbuat dari daun. Sebab, bawahannya takut padanya maka, mangutlah semua kepada sang yang berkuasa. Inilahkeadilan? Keadilansekarang sulituntukdidapat. “Ya nanti diperhatikan lagi! Seru ku” membenarkan karena takada gunanyaberdebatdengandia. Sejak itu sikapku kepadanya dingin saja. Aku berusaha menghindarkan pertemuan dan percakapan dengannya karena pembicaraannya akan lebih banyak merupakan percakapan sokberkuasa. Air tetap mengguyur deras biarpun sesekali bau gasung terasa tajam. Berwarna keruh.Tamunya terus-menerus ikut bermalam ataupunpulang malam setelahselesai mandi.


Suatu kali suamiku mau ngomel padaku ketika aku pulang dari sekolah. Padahal, aku telah berencana begitu sampai di rumah, kuberikan dia hadiah yang spesial coba, amplop yang berisi gaji bulananlalusambilberbisik“uangkita lumayanjuga!” Tapi semua rencana itu belum terlaksana, tahu-tahu ia telah mengomelpanjang. “Kenapa?” tanyakutakpuas. “Pemakaianlistriksudahlima ratus ribu!“keluhnya. Aku kaget! Aku kaget sekali! Kurasa seperti disambar petir di siangbolongdanretakdipangutpanas matahari. “Lima ratus ribu! listriklima ratus ribu!“ serunya. Aku makinkaget. Rumahserasa terbelah. \ “Susu untuk anak sudah tujuh ratus ribu! Belum yang lainnya. “Listrik? “ tanyanya ragu. Aku diam. Diam dalam kekalutan dan ketidakadilan. Apakah aku harus membayar sepenuhnya? Lalu kuniatkan untuk membicarakan soal itusorenanti. Sore itu aku lesu. Mereka tetap dengan pendirian yang lama. Tidak perlu untuk membayar listrik alasannya karena listrik sudah ditanggung oleh sekolah. Padahal yang diisikan sekolah itu tidak cukup,denganpemakaiantiga rumahapalagi menarikair setiaphari.


“Apabolehbuat. Kitabeli saja sendiri!“ seruku. Suamiku menggerutu. Wajahnya penuh kekesalan akan ketidakadilansedangkanakutenang-tenang saja. “Mulai hari ini, mandilah sebanyak yang mereka pakai! Guyur seluruh badan dengan air, sebanyak mungkin!“ seruku dengansuara yang sinis. Ia tetap masam dan cemberut. Namun air tetap mengalir deras. Kurasakan lebih deras dari bulan-bulan yang lalu dan aku pun mandi dengan air berlebih-lebihan. Lupa pada orang yang menggerutu kekurangan air dan lupa pada harga air. Bahkan orang yang tidakpeduli adadengantidaknya airdidalam tong. Harga listrik taklah mahal jika ditanggung bersama-sama. Begitu pula air selama masih musim hujan air di tong pun penuh tetapi jika musim kemarausama-sama menggigit jari. Perumahan yang lainnya lagi. Mereka mulai merasakan satu tanggungan yang lumayan. Ini kudengar dari temanku, yang mendapat cerita pula dari teman-teman yang lain itu. Mereka saling menceritakan kesulitan membayar listrik apalagi hari akhir ini harga listrik semua naik. Jangankan listrik, beras pun naik, minyak goreng pun mahal, telur saja pun sangat mahal. Semua mahal tak ada lebihnya gaji bulanan habis untuk keperluan itu saja.


“Merekakanbanyakrezeki?” tanyaku. “Sudahnggakada lagi,“kata suamiku. “Ke mana lari jarakrezeki itu?“ “Tidak ada lagi komisi ataupun kontraktor yang datang ke tempat mereka.” “Enakyapunya rezeki seperti itu“ “Mudah-mudahanrezeki itularikepadakita," gurauku. Sudah terbuai dengan keenakan dan kesenangan maka enggan mereka kembali seperti hidup sebelumnya. Kemewahan sudah memberikan kebiasaan bagi mereka. Keluarga mereka, teman-teman mereka. Bahkan tamu-tamu mereka pun sudah agak berkurang seperti biasanya. Tapi aku tidak memperdulikan tentang hal itu, aku sibuk mengurus kehidupanku sendiri. Sibuk dengan urusan pekerjaansekolahku. Pada suatu hari tamu mereka dari kota dengan empat orang anaknya datang bermalam di situ, anak-anak jadi ramai. Tidur siang punsusah. Sial bagi tamu yang datang itu, karena bertepatan dengan musim kemarau yang sudah tiba. Air di dalam tong pun sudah tidak bisa kami isi lagi, karena sumur mulai mengering dan sejak itu kran air terkunci dan setetes air pun tiada. Kloset berbau yang sangat menusuk. Kotoran anak-anak dan warna kencing kuning kemerahmerahanberbauapek.


Rencana tamu itu semula dua minggu. Tapi, mereka betah Cuma duahari.Lalu merekapulang lebihpagidari rencanakekota P. “Orang di perumahan tidak pernah mandi!“ Ocehan mereka. Ocehan itu tentu akan menjalar dari ujung kampung ke ujung kampungbahkankekota. Kami sendiri tenang-tenang saja. Karena kami hanya mengisi air di dalam bak rumah menggunakan sumur yang di sebelahnya lagi. Ketika aku pulang sekolahku, kudengar suamiku dan istri rekan tetangga yang menumpang airdengankamibertengkar. “Kamusihbuka airbesar!“ Bentakistri rekan. “Habis!“ “Habis apa? Mandi semuanya! Makai air sesukanya!“ “Mentang-mentangkalian mampu.” Aku terus menghampiri dan aku tampil di hadapan mereka, pertengkaran reda. Suamiku langsung masuk ke dalam rumah. Aku merasa, tidak perlu meladeninya. Ketika aku akan beranjak kedalam rumah, rekansekerja telahadadi situ. Sejak pertengkaran itu antara kami dan mereka terdapat jurang yang dalam. Lain hal jika di sekolah. Kami tetap rekan sekerja yang bahu membahu. Di rumah tidak saling bicara. Perang dingin berkecamukdi terik mataharidandi gersang malam hari.


Baskom air itu makin kuning kehijau-hijauan. Kloset berbau sengit. Karena sengitnya, tak seorangpun yang berani masuk ke kamar kecil itu aku sendiri buang air di wc sekolah dan suamiku mengungsi ke rumah temannya yang tak jauh dari perumahanitu. Hari berganti hari terasa gersang sekali. Kehidupan makin tinggi rekan serumah tampaknya makin lesu. Kedua pembantunya pun berhenti. Saudara-saudaranya pun mengungsikedaerahlain, ikutdengankakaknya. Terasa rumah kami, kehilangan kesegaran. Buatku, tak ada air seperti sediakala,berartihilangnyakegembiraan. Dari wajah mereka aku dapat menduga bahwa mereka kehilangan segalanya. Kemerdekaan mereka telah pergi. Akhirnya pertengkaran antara mereka sering terdengar. Aku juga dapat kabar dari suamiku bahwa suamiku sesekali bertengkardengan mereka. “Soalnya apa?" tanyakutak mengerti. “Ada-ada saja. Kadang-kadang soal air. Saat dia cuci pakaian karena kelelahan mengambil air dari sungai. Marahnya yake aku, ya akulawanlah. “


Dua bulanakhirnya lewat jurang tetapi semakinlebar kutukan pada air semakin menjadi-jadi. Kemarau semakin terasa panjang. Air sumur tinggal beberapa tetes saja. Hidup pun semakinsukar. Semuanya serasa serbakotor tanpa ada air. Akhirnya aku berpikir, suatu hari nanti akan muncul keributan besar bila air ini terus-menerus tidak ada lagi dan tidak dialirkan ke dalam tong penampungan. Klimaksnya tentu akan hebat sekali. Apalagi setelah ku tahu, dia itu sudahtidakpunyapenghasilantambahanlagi. Musim hujan yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba, diam-diam aku menyedot air dari sumur cadangan di samping rumah. Lalu, di sore hari yang sepi air pun mengguyur kembali. “Air! Air! Air!" teriak anak-anak bergelonjakan di kamar mandi. Spontan aku membuka kran air. Airnya putih bening laksana embun di pagi hari. Derasnya menggairahkan sekali seperti seorangbidadari yangberkunjung. Suamiku keluar, lalu berpapasan dengan istri tetangga. Merekaberdua tersenyum, senyum penuharti.


Sore itu aku mandi. Kran terbuka. Air menggucur dengan deras. Ku ayunkan gayung kucedokan air kusiram di kepalaku. Air yang menimpa kulit seperti pijatan yang sungguhnikmatdan menyegarkanraga. Awal bulan tetangga mengetuk pintu. Ia berkata, biar dia saja yangbayar setengahnya. Untukbiaya listrik. “Ah, takusah!kataku. “Tidak apa-apa, lagian listrik sekarang semakin mahal. Kami juga memakai air.” Iya senyum. Senyumnyapenuhpengertian.


Eva Lesiani Franciska lahir di Buntok, 4 Mei 1994. Seorang guru di SMP Negeri 4 Karau Kuala, merupakan guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Penikmat sastra. Salah satu puisi yang menjadi inspirasi penulis, yaitu karya Sanusi Pane “Teratai” “biarpun engkau tidak diminat” “engkau pun turut menjaga zaman” Ada kesempatan berkarya, mulailah dan ciptakan. Bionarasi Kumpulan Puisi Senandung Merdeka Sang Pendidik Bangsa Seri 2 Dia yang Berjuang untukku Jilid I Antologi Puisi-Jeritan Lara Karya-karya [email protected]_@evalesiani [email protected] Eva Franciska @evalesiani @evalesianifranciska5676


Click to View FlipBook Version