The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku ini mengulas tetang kiprah perempuan yang divisualisasikan melalui karya seni. karya-karya tersebut dipamerkan di Bentara Budaya Bali dan mengusung perupa perempuan lintas institusi dari bandung, Jakarta, Bali, Banten, mereka dipertemukan melalui Komunitas 22 Ibu

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Ariesa Pandanwangi, 2020-03-18 01:58:08

BUKU SANG SUBJEK

Buku ini mengulas tetang kiprah perempuan yang divisualisasikan melalui karya seni. karya-karya tersebut dipamerkan di Bentara Budaya Bali dan mengusung perupa perempuan lintas institusi dari bandung, Jakarta, Bali, Banten, mereka dipertemukan melalui Komunitas 22 Ibu

Keywords: Sang Subjek,Bentara Budaya Bali,Komunitas 22 Ibu

BUMI DHARMA

NUSANTARA







01 03 05

08 17 41

“Perempuan Perupa
dimata Perempuan”
Nuning Y. Damayanti

54 63 71

77 87 100
106 114 123
132

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

Perempuan Perupa
dimata Perempuan

Nuning Y. Damayanti

17

Membahas perempuan di Indonesia yang memutuskan

untuk menggeluti profesi perupa apalagi menjadi
perempuan perupa professional berkiprah individual
secara total sebagai pilihan hidupnya, dan itu masih cukup
langka di Indonesia. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh
anggapan masyarakat yang memandang bahwa
perempuan berprofesi perupa kurang diminati bila
dibandingkan dengan profesi-profesi lainnya. Ada
realitas yang jarang sekali diangkat yaitu permasalahan
bahwa kaum perempuan memiliki peran gender
mengelola wilayah domestic rumah tangga dalam
konstruksi sosial dan budaya masyarakat tertentu, yang
kemudian konstruksi sosial dan budaya itu dianggap
sebagai kodrat. Sehingga seringkali jika ada perempuan
yang tidak melakukan pekerjaan domestik tersebut oleh
sebagian besar masyarakat dianggap sebagai “menyalahi
kodrat perempuan” dan “tercela.

Padahal urusan urusan-urusan tersebut bisa juga
dilakukan oleh kaum laki-laki, karena jenis pekerjaan itu
bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal.
Masalahnya istilah gender tersebut sering rancu
dipahami, yaitu hanya sebagai “kodrat wanita' atau
“takdir Tuhan atas wanita”, bukan takdir untuk laki-laki.
Tantangan yang tidak fair inilah yang dilekatkan pada
perempuan Indonesia juga dimasyarakat dunia lainnya.
Tentunya istilah gender harus dimaknai kembali,
diluruskan dan dipahami secara benar bukan merupakan
kodrat atau ketentuan Tuhan bagi perempuan, melainkan
hasil konstruksi sosial maupun budaya dalam masyarakat
tertentu yang kemudian dijadikan seolah kodrati wanita
dan yang kemudian dikenal dengan istilah gender.

18

Fisiologis, Genus dan Gender Dalam Konstruksi
Sosial Budaya di Indonesia

Perbedaan antara perempuan dan laki-laki tidak hanya
terbatas pada kriteria biologis, karena pengertian gender
tidak selalu berhubungan dengan perbedaan fisiologis.
Gender membagi pekerjaan menjadi maskulin yang
biasanya ditempati oleh genus laki-laki, dan feminin untuk
genus perempuan. Realitas dalam hal mencari na ah
keluarga, atau menghadiri pertemuan warga (peran
publik) nyatanya dapat dilakukan baik oleh laki-laki
maupun perempuan. Semua hal yang dapat
dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang
bisa juga berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari
tempat ke tempat lainnya, (Sugihastuti dalam : Kritik
Sastra Feminis,Teori danAplikasinya ).Artinya begitu pula
sifat atau ciri kuat, perkasa, rasional, pemberani, dan
kebapakan yang dianggap melekat pada laki-laki,
sebaliknya juga dapat dimiliki oleh perempuan.
Kerancuan, disalahpahami dan pemutarbalikan makna
konsep gender adalah ketentuan biologis atau ketentuan
Tuhan yang kodrati dengan konsep kodrat gender yang
dikonstruksi secara sosial dan budaya, mengakibatkan
terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat berupa
peminggiran, subordinasi dan diskriminasi terhadap kaum
perempuan.

Penyebab lainnya bisa juga karena adanya kepercayaan di
masyarakat mengenai bakat seni rupa yang dianggap
sebagai prasyarat mutlak harus dimiliki seseorang
(perempuan maupun laki-laki) untuk menggeluti profesi
perupa menjadi seorang perupa. Namun selain itu ada
perihal lain yang lebih krusial meskipun sudah memiliki
bakat dan minat yang memadai, menurut pematung
perempuan Indonesia, Dolorosa Sinaga, minat dan bakat
pada diri perempuan ini sering luntur ketika berhadapan
dengan tantangan-tantangan dalam profesi seni rupa
akibat dari antara lain 1) wawasan berkesenian yang
tampak belum kuat. 2). Boleh jadi penyebab lainnya
adalah karena masih berlangsungnya pandangan
stereotipe di sebagian besar masyarakat mengenai tugas-
tugas perempuan yang diidentikkan dengan urusan
pengelolaan rumah tangga,

19

dan berbagai macam pekerjaan domestik yang dianggap
sebagai tugas kodrati perempuan. 3) Jika ada perempuan
yang mencoba menggeluti pekerjaan lain di luar wilayah
domestik, masyarakat lebih menilainya sebagai kegiatan
ekstra dari tugas-tugas kodrati tadi. Permasalahan itu
yang bisa dipahami dari beberapa ulasan Dolorosa.

Dolorosa Sinaga pematung perempuan Indonesia,
memaparkan dalam tulisannya mengenai “Wacana Seni
Rupa Perempuan: Antara Konsep dan Konteks”, dalam
buku Aspek-aspek Seni Visual Di Indonesia: Politik dan
Gender ; yang membahas persoalan eksistensi
Perempuan Perupa yang dianggap penting dibicarakan
dalam kaitannya dengan permasalahan perempuan yang
harus disuarakan oleh kaum perempuan, baik melalui
wacana maupun gerakan perempuan yang ditujukan
untuk perbaikan kehidupan perempuan.

Fokus pada tema ekspresi yang tampak dalam karya-
karya perempuan perupa di Indonesia. Meninjau karya-
karya perempuan perupa yang terlibat dalam event-event
pameran seni rupa, baik yang diselenggarakan di dalam
negeri maupun di luar negeri. Dari pengamatannya
terhadap karya-karya Perempuan Perupa bahwa karya
Perempuan Perupa di Indonesia adalah ekspresi yang
mengangkat permasalahan perempuan, lebih dilihat
sebagai gambaran permasalahan sosial, dan lebih jauh
lagi menjadi permasalahan kemanusiaan. Aspek
permasalahan perempuan dalam karya-karya Perempuan
Perupa memperlihatkan sensitivitas perempuan yang
diekspresikan melalui pengalaman pribadi masing-
masing. Pendapat Dolorosa dan Sugihastuti, keduanya
memiliki kesamaan dalam kerancuan pengertian Gender
sebagai ketidakadilan konstruksi sosial dan budaya
terhadap perempuan dan kiprahnya dalam masyarakat di
Indonesia.

20

Tantangan Konvensi, Perempuan Perupa
Adapun tantangan penting lainnya bagi perempuan
perupa di Indonesia, menurut Dolorosa, adalah mengenai
medium seni yang belum terlalu jauh didalami oleh
sebagian perempuan perupa di Indonesia sebagai alat
ekspresi untuk tujuan tertentu. Medium masih banyak
diperlakukan sebagai medium ekspresi pribadi,
ketimbang wacana yang spesifik seperti wacana gender,
emansipasi, atau pembebasan. Dalam pengamatannya,
wacana yang tampak kuat dalam ekspresi perempuan
perupa di Indonesia adalah wacana kemanusiaan.
Permasalahan perempuan dalam dunia seni rupa masih
terbatas pada gagasan visual saja, belum berakar pada
tujuan atau pembentukan pemikiran yang disampaikan
melalui bahasa visual. Meski ditemukan kecenderungan-
kecenderungan ekspresi yang sangat kuat
mengungkapkan aspek permasalahan perempuan, dunia
seni rupa di Indonesia belum memiliki paradigma konsep
ekspresi seni perempuan. Persoalannya adalah terletak
pada penyampaian permasalahan perempuan belum bisa
dilihat sebagai pengalaman obyektif, karena peranan
subyek masih merupakan faktor penting dalam berkarya.

Alvi Luviani memaparkan hasil penelitiannya yang
berjudul “Perempuan Perupa Di Yogyakarta, Tinjauan
Dalam Perspektif Gender” mengupas persoalan eksistensi
dan survival Perempuan Perupa di Yogyakarta dalam
menghadapi pergulatan yang keras dalam dunia seni rupa
yang masih didominasi oleh para perupa laki-laki.
Meskipun begitu eksistensi Perempuan Perupa di
Yogyakarta sudah mulai menampakkan dirinya dan hadir
di antara perupa laki-laki walau baru dalam jumlah yang
sangat kecil. Salah satu faktor penyebabnya adalah tidak
diketahuinya kiprah perempuan perupa di Indonesia, jadi
masalahnya adalah juga keterbatasan ekspose dan
minimnya publikasi yang dilakukan oleh media atau
lembaga terkait tentang eksistensi Perempuan Perupa
dalam percaturan dunia seni rupa di Indonesia. Dominasi
wujud visual karya Perempuan Perupa biasanya lahir dari
latar belakang kehidupan pribadi, pengalaman sosial, baik
pengalaman baik maupun pengalaman yang buruk.
hingga pengalaman tentang kekerasan fisik,

21

mental dan hal lainnya. Perempuan Perupa di Lingkungan
Yogyakarta dapat dibagi dalam dua karakter yaitu karya
generasi senior yang penjelajahan ekspresinya
memperlihatkan pengolahan dan penguasaan prinsip-
prinsip estetika dalam berkarya dan Perempuan Perupa
yunior yang terlihat lebih lantang
memvisualisasikan/membicarakan persoalan hidup
daripada pengolahan media/teknik dan estetika dalam
karya-karyanya.

Perempuan Perupa di Yogyakarta “sedikit” lebih
beruntung karena tinggal dan hidup dalam suatu
lingkungan masyarakat yang terbiasa menerima
perempuan berprofesi sebagai perupa dalam tradisi,
sejarah dan kebudayaannya. Dalam keterlibatan
perempuan dalam industri kerajinan sebagai tenaga ahli
dalam pembuatan batik, perak, keramik, dan barang
industri kerajinan lainnya, Hal keberadaan dan
keterlibatan perempuan dalam industri kerajinan di
Yogyakarta tersebut dianggap sedikit menyimpang dari
kebiasaan. Hal ini karena khususnya perempuan di
Yogyakarta, masih terikat oleh pandangan masyarakat,
Jawa perihal perempuan yang tertulis dalam Serat
Candrarini yang masih sangat patriarkis.

Di sisi lain di Yogyakarta banyak juga perempuan yang
dapat bergerak dengan bebas ke mana saja, dapat
berbuat apa yang diinginkan tanpa harus terikat oleh
aturan-aturan tertentu. Perempuan tersebut biasanya
perempuan yang hidup terlepas atau jauh dari kehidupan
kelompok “perempuan priyayi atau perempuan religius”.
Kemungkinan perempuan yang terbebas dari aturan-
aturan adat Jawa tersebut adalah perempuan yang
memiliki peluang untuk dapat bekerja di luar rumah dan
menjadi perupa serta mempunyai ruang berekspresi yang

22

Mengamati Kiprah Perempuan Perupa dimata Perempuan
(Studi kasus Komunitas 22#Ibu)

Mengamati eksistensi perempuan dari sisi lain dan
lingkungan berbeda di Indonesia, ada sejumlah
Perempuan yang merespon konstruksi sosial budaya itu
dengan cara yang berbeda melalui kegiatan berkesenian
yang produktif dan kondusif. Perempuan Perupa yang
bergabung dalam komunitas komunitas kecil yang
memiliki kesamaan ketertarikan dalam kegiatan
berkesenian. Komunitas-komunitas kecil Perempuan
bersama-sama melakukan berbagai kegiatan
berkesenian, berkarya bersama-sama.

Salah satunya adalah Perempuan Perupa dari Komunitas
22#Ibu, mereka datang dari latar belakang profesi yang
hampir sama Perempuan Pendidik Seni Indonesia,
mengajar bidang seni mulai dari guru Sekolah Dasar
hingga dosen Perguruan tinggi. Dari sejak berdirinya
tahun 2013 komunitas ini telah rutin menyelenggarakan
kegiatan berkesenian pameran, workshop bakti social dan
lain-lain. Pada awalnya mereka melakukan kegiatan
keseharian bersama, berkarya bersama dan kemudian
pada akhirnya menjadi kesepakatan setiap tahun menjadi
kewajiban untuk berpameran bersama pada setiap akhir
tahun merespon Hari Ibu 22 Desember di Indonesia.

Selain pameran yang berkaitan dengan kiprah perempuan
dalam wacana seni rupa, juga menggelar pameran dengan
tema-tema tertentu atas arahan kurator atau tema
khusus, sebagai penghormatan pada eksistensi mereka
sendiri yang telah berjuang di antara kesibukan berbagai
tugas keseharian, menjadi ibu, istri juga pendidik untuk
memenuhi keinginan aktualisasi diri menjadi bagian dari
masyarakat publik.

Komunitas 22#Ibu memiliki persamaan dalam harapan
dan visi juga misi, sehingga kontinuitas berkarya dan
berpameran yang secara terus menerus bisa dilakukan
selama hampir 5 tahun terakhir dan memperlihatkan
kemajuan yang berarti dalam berbagai hal. Para
Perempuan Perupa tersebut memperlihatkan etos kerja
dan profesionalisme serta komitmen, sehingga
memungkinkan masuk dalam antrian jalur Perempuan

23

berpameran ditempat-tempat yang representatif seperti
di Griya Popo Iskandar, Galeri perguruan Tinggi
Maranatha, Paramadina, Galeri Taman Budaya Bandung,
YPK Bandung, Equilibrium, Bentara Budaya Jakarta,
Mezanin Galeri Energi Building SCBD Jakarta, hingga
Galeri Nasional Jakarta. Hal lainnya adalah dengan
terbukanya anggota komunitas yang berasal dari
beragam alumni perguruan tinggi seni, menyebabkan
komunitas ini termasuk komunitas yang cepat
membesar. Keterbukaan ini menjadi peluang dan
meluasnya jaringan dengan berbagai institusi. Sehingga
membuka kesempatan berpameran tidak hanya di skala
Nasional juga skala Internasional, diantaranya di Galery of
Hebei Normal Univesity, Hebei, China, di SRIT Asia Art and
Cultural Association (AACA), Tokyo-Jepang, di Gallery of
Indira Gandhi National Centre for the Arts, (IGNCA), New
Delhi, di Galery, Aligahr Islam University India (AIU),
Aligahr, India.

Mengamati karya-karya Perempuan Perupa selalu
menarik dan memiliki keunikan yang khas, contohnya
pameran-pameran Komunitas 22#Ibu menarik untuk
disimak karena bisa jadi merupakan kumpulan pernyataan
artistik dan yang diharapkan dapat menyampaikan
“representasi” estetik mewakili problematik spirit
perempuan Indonesia masa kini. Karya karya yang
dipamerkan Perempuan Perupa merupakan
penggambaran konteks dan narasi dari sudut pandangan
wanita tentang kekinian spirit wanita.

Karya karya Perempuan Perupa Komunitas22#Ibu ini
seolah kepingan-kepingan dialog satu sama lain
mengenai masalah aktualisasi diri, keseharian, harapan,
imajinasi, kegalauan, kebahagiaan, kesedihan, kritik dan
juga penghormatan pada dirinya sendiri yang berjuang
mewakili upaya eksistensi perempuan di Indonesia.
Karya karya yang dipamerkan memperlihatkan
kecenderungan fitrah wanita yang bergaya naratif,
bercerita tentang dirinya. Karya naratif adalah karya yang
menunjukkan keterbacaan teks dalam wujud visual
kadang bisa langsung dipahami alur narasinya, akan tetapi
seringkali juga bermakna ganda atau jamak.

24

Representasi seni memang sangat khas karena bisa
mewakili menarasikan realitas yang tidak bisa dinarasikan
melalui kata kata. Representasi seni menjadi ekspresi
perupa dalam menyampaikan realitas yang sering
memiliki makna ganda tersembunyi tentang pengalaman
hidup seseorang maupun diri perupanya sendiri.
Khususnya ekspresi visual wanita Timur memiliki
kecenderungan yang khas, yaitu naratif yang introvet
sehingga makna ganda menjadi kekuatan karya seni itu
sendiri. Hal ini dimungkinkan karena secara kultural
wanita Timur dalam hal ini wanita Indonesia dididik untuk
tidak memperlihatkan segala hasratnya secara terbuka.
Bila wanita terlalu terbuka tentang segala hal dianggap
wanita yang tidak tahu adat dan etika. Problematik inilah
yang tampaknya muncul cukup kuat terekspresikan pada
karya karya yang dipamerkan Perempuan Perupa
Komunitas 22#Ibu.

Karya komunitas22#Ibu pameran pada periode 2015-2017
yang telah digelar cenderung didominasi visualisasi figur
perempuan/ibu (perwakilan diri/tubuh) dan bunga
(sebagai inspirasi simbolik) juga anak (kesadaran Fitrah
Illahiyah), menjadi subject matter dalam karya mereka.
Umumnya perempuan perupa komunitas ini memilih
medium cat minyak, akrilik, pensil, bolpoint, pada kanvas
dan cat air di atas kertas. Ada juga yang menggunakan
teknik batik painting tradisi dan batik painting dengan
pengembangan teknik lilin dingin Tamarin dan Digital
Printing untuk memvisualisasikan ide dan kreativitasnya.
Beberapa di antaranya menampilkan instalasi perpaduan
objek tiga dimensi dengan lukisan di atas kertas.

Gambaran perempuan sebagai potret diri atau figur ibu,
anak dan bunga juga menjadi visualisasi stereotip dalam
karya seni yang dibuat oleh perempuan perupa. Mengapa
subject matter tersebut seringkali menjadi pilihan
perempuan ? saya mengutip hasil wawancara dengan
PrimadiTabrani pakar kreatifitas dan ilmu komunikasi seni
rupa Indonesia, bahwa unsur memori manusia dalam
proses imajinasi merupakan salah satu sumber utama
dalam proses penciptaan sebuah karya seni. Bagi
perempuan pada umumnya, sejak kecil mereka selalu

25

dekat dengan ibu secara fisik maupun simbol-simbol
feminitas entah itu boneka, bunga dan lainnya dalam
kehidupan perempuan. Semua itu tentu tidak terlepas dari
lingkungan terdekat seperti seorang ibu yang
memberikan pemahaman tentang simbol feminitas itu
sendiri yang erat kaitannya dengan perempuan, maupun
pandangan stereotype tentang simbol perempuan.
Sehingga tidak mengherankan jika dalam memori
perempuan, fisik perempuan atau bunga sangat kuat
untuk menyimbolkan berbagai hal berkaitan dengan
feminitas dan ke- Ibu - an.

Akan tetapi yang menarik dari visualisasi karya
perempuan perupa Komunitas 22#Ibu dalam pameran
periode 2015-2017 adalah tidak adanya kesamaan subject
matter perempuan atau bunga, antara satu dengan
perupa lainnya. Hal ini dimungkinkan karena semua
memiliki pengalaman estetis dan bekal memori yang
berbeda ketika menuangkan gagasan dan kreativitas
mereka untuk menghasilkan karya seni dengan nilai
estetis yang tinggi. Kreativitas adalah kemampuan yang
efektif untuk mencipta. Nilai-nilai “kebaruan” dan
“keaslian” selalu berkorelasi dengan kreativitas. Kebaruan
(novelty) membutuhkan keaslian (originality) dan harus
ada gagasan yang segar.

Perempuan perupa memvisualisasikan sosok perempuan
dengan menampilkan keragaman sudut pandang maupun
karakter dan gaya yang saling berdialog satu dengan
lainnya. Ada yang secara simbolik menarasikan kritik
masalah gender; Ada narasi tentang obsesi masa kecil;
Gambaran wajah diri sebagai introspeksi diri mengenai
hasrat dan ketabuan kewanitaan; Narasi keinginan
mengaktualisasi diri seorang wanita; Narasi manifestasi
ungkapan syukur; Narasi permasalahan tentang
keresahan wanita lajang, wanita masa kini yang sudah
lumrah lajang diusia dewasa; Juga menarasi tentang
pentingnya teman hidup dalam membangun eksistensi
diri wanita; Narasi penghormatan pada wanita sebagai
ladang firdaus kehidupan/ibu bumi/ibu pertiwi. Ada juga
gambaran karakter wanitaTimur meskipun lama tinggal di

26

luar negri masih menyampaikan visualisasi introvert yang
mewakili streotype ketimuran wanita Indonesia. Metafora
ungkapan kekaguman terhadap sosok idola yang
menginspirasi untuk menjadi sosok ibu yang tangguh,
panutan dan inspirator bagi anak anaknya. sebagai
simbol kemandirian dan kewanitaan; Memparodikan
perilaku perempuan masa kini yang up-date dengan
kondisi sosial, sengaja dengan beragam teknik dan
medium. Gambaran Perempuan dengan nuansa masa
lalu buram dan old modis, atau mungkin juga ada pesan
tersembunyi dibalik ungkapan heroik itu bahwa sebutan
itu sudah usang karena sudah jarang diucapkan oleh
generasi muda saat ini.

Karya-karya bergaya ilustratif juga sering hadir
menarasikan secara dramatik melalui figure ibu dan anak;
Visualisasi lainnya dramtisasi eksistensi dan peran sentral
dengan sifat paradoks perempuan diterjemahkan
menjadi percampuran gaya maskulin feminin, tradisional
modern, tertata dengan apik dalam sejumlah karya.
Batasan dimana paradoks tersebut melebur dan menjadi
satu kesatuan obsesi perempuan tangguh masa kini.
Obyek bunga, unsur cahaya, dan ungkapan dalam teks
sebagai metafora kecantikan dan kiprah sosok wanita;
Bunga Lily putih misalnya adalah perempuan yang harus
selalu tampil cantik dalam kondisi apapun, visualisasi
metafora bisa jadi narasi transenden yang menolak jargon
itu sendiri. Sedangkan karya minoritas dari
Komunitas22#ibu adalah visualisasi gaya abstrak, melalui
komposisi visual non-representatif dan non figuratif. yang
menggunakan unsur permainan warna dan bidang serta
sensitifitas dalam membuat gradasi warna yang meruang,
pemilihan warna yang memuat unsur simbolik. Jika
umumnya karya abstrak hanya mengajak apresiator
menikmati unsur-unsur rupa saja, dalam karya perempuan
unsur makna di dalamnya selalu berkaitan dengan
kehidupan, tentang eksistensi dan kemisteriusan
perempuan, yang justru mencoba mempertanyakan
tentang spirit itu sendiri

Dari hasil pengamatan pada karya-karya
komunitas22#Ibu apapun subject matters yang
divisualisasikan sebetulnya, perempuan menuliskan

27

tentang dirinya, maka bagi perempuan perupa artinya ia
melukiskan dirinya sendiri. Melukiskan pengalamannya
sebagai perempuan yang tidak mungkin dialami laki-laki.
Pemilihan tema bunga bagi perempuan bukan sekedar
mimesis atau meniru apa yang ada di alam, melainkan
mereka menjadikan bentuk bunga sebagai metafora
untuk pengalaman kehidupan sebagai perempuan selama
ini. Merujuk pada perkembangan feminist art di Barat,
salah satu hal yang mereka perjuangkan adalah
menghargai tema-tema personal dari perempuan perupa.
Pengalaman sebagai ibu (motherhood) menjadi sumber
tema karya mereka. Karya-karya tersebut mempertegas
kebebasan perempuan perupa dalam memilih tema
personal di satu sisi, di sisi lain mengangkat karya dengan
tema personal memiliki nilai estetis yang sejajar dengan
tema lainnya.

Perupa pada kondisi apapun akan terus menerus
dihadapkan pada problem solving saat proses
menciptakan sebuah karya seni. Misalnya perupa akan
mencari cara bagaimana menuangkan pengalaman yang
membahagiakan, menyedihkan, kemarahan, dalam
bidang kanvas yang terbatas atau teknik yang beragam.
Dalam proses mencipta tersebut perupa tidak sekedar
melibatkan emosi, tetapi juga menuntut kemampuan
kognitif perupa untuk memecahkan masalah.

Selain memecahkan masalah, perupa juga harus berkreasi
secara kreatif untuk menemukan masalah-masalah yang
baru. Kemampuan memecahkan atau mencari masalah
merupakan proses berfikir perupa kreatif. Bagaimana
memberikan pemahaman kepada apresiator tentang
adanya dorongan yang sama perempuan perupa dalam
beberapa pameran mengangkat tema figur perempuan
sebagai subject matter, tetapi kemudian terlihat
keberagaman medium, keragaman visualisasi, dan juga
keragaman kualitas estetis karya. Mereka yang terus
mempertanyakan bagaimana menemukan visualisasi
yang paling original, maka merekalah yang akan
menghadirkan visualisasi figur yang 'tidak biasa' atau
mendekati originalitas dari segi visual.

28

Dalam menghadirkan substansi Subject matter, bunga
juga menjadi stereotype bagi perempuan perupa, hal
tersebut terlihat pula dalam beberapa pameran
komunitas 22#Ibu. Di awal telah dibahas, bahwa
penggunaan memori pada saat proses imajinasi
kemungkinan besar mendorong kesamaan minat untuk
memvisualisasikan gagasan dengan metafora bunga.
Apakah sebuah kelemahan bila berkarya sesuai dengan
stereotip atau justru akan menjadi kekuatan dan karakter
dari perempuan perupa. Menjadi discourse yang terbuka
untuk diperdebatkan dan disiskusikan. Seperti juga
mempertanyakan pertanyaan yang sama stereotype laki-
laki perupa sepanjang masa, yaitu mengambil subject
matters perempuan.

Kini penting disadari bahwa menerangkan
kecenderungan wujud karya seni Perempuan Perupa
memiliki urgensi dasar-dasar penjelasan permasalahan
dan prinsip-prinsip estetik naratif ini. Bagian penting dari
hal itu adalah penggalian unsur unsur naratif yang
tersembunyi yang menjadi kekuatan bahasa visual
Perempuan Perupa Timur. Karya pameran yang diwakili
Perempuan Perupa ini menjadi ilustrasi yang menarik
untuk didiskusikan.

Epilog
Perkembangan Seni Rupa Kontemporer Indonesia
sekarang ini mempunyai kecenderungan representasional
yang menekankan dimensi sosial dalam perkembangan
wacana seni rupa kontemporer di Indonesia, terutama di
Bandung dan Yogyakarta. Melihat perkembangan era
pemberontakan seni di tahun 1970-an oleh Gerakan Seni
Rupa Baru (GSRB) dan era sesudahnya (1980-an dan 1990-
an) yang ditandai perubahan gradual dari kesadaran
sosiologis ke kesadaran budaya. Kesadaran budaya dan
perkembangan seni rupa di Indonesia tidak terlepas dari

29

apresiasi masa awal para perupa mulai mendunia di tahun
'90-an. Jika tahun 70'an sekelompok perupa muda dengan
gigih menentang dominasi legitimasi, maka sejak tahun
'80-an dan utamanya '90-an, strategi itu tidak lagi populer
dalam terobosan praktek seni rupa. Seni rupa
kontemporer dihayati sebagai wujud kompromi, tidak lagi
gerakan konfrontasi terhadap legitimasi nilai, tapi justru
“memanfaatkannya” untuk membangun legitimasi-
legitimasi nilai-nilai kebaruan, sebagai kekuatan
pembanding, dan alternatif. kecenderungan dalam
praktek seni rupa kontemporer era '90-an ke dalam tiga
aspek, yaitu berkenaan dengan (1). Gejala perupaan, (2).
Tema karya, serta (3). Orientasi praktek seni rupa, yang
dijalankan perupa. Persoalan dalam tema karya seni rupa
kontemporer tahun '90-an adalah mempersoalkan
identitas, yaitu identitas budaya, identitas sosial, dan
identitas personal (pribadi).

Persoalan tema dilihat sebagai representasi keterlibatan
perupa dalam realitas yang dinyatakannya dalam posisi
dan reposisi subyek. Khususnya dalam pembahasan
identitas personal (pribadi) yang menjamur dalam karya-
karya seni rupa kontemporer era '90-an. Bila
perkembangan tema dan praktika seni kontemporer
dikaitkan dengan tantangan perempuan perupa dalam
berkarya, wacana kontemporer ini bukan berarti yang
mempengaruhi perempuan perupa mengangkat tema
atau persoalan peran perempuan dalam perkembangan
seni. Bisa dikatakan justru identitas budaya, sosial dan
personal sudah menjadi persoalan keseharian perempuan
perupa, yang bisa jadi kemudian membuat perubahan
wacana kontemporer tersebut menjadi semakin cepat.
Tentu saja tema ekspresi karya-karya perupa perempuan
memiliki perbedaan dan juga persamaan dengan aspek-
aspek visual seni rupa

30

kontemporer kini. Tema ekspresi yang divisualisasikan
perempuan perupa, antara lain:
munculnya kecenderungan yang kuat mengetengahkan
tema-tema personal perempuan dalam bingkai
permasalahan sosial sebagai gagasan ekspresi,
interpretasi permasalahan yang tampak beragam, sikap
berkarya yang cenderung melakukan pencarian bentuk-
bentuk ekspresi baru yang komunikatif (bisa instalasi, seni
rupa pertunjukan, dan penggabungan keduanya).
Dolorosa juga melihat hal yang menarik dalam ekspresi
karya-karya perempuan perupa tersebut adalah muncul
keragaman interpretasi terhadap permasalahan mereka
sendiri, yang menjadikan seluruh permasalahan aspek
perempuan dalam karya-karya mereka lebih terbaca
sebagai ekspresi pengalaman individual.

Merespon kondisi sosial dan konstruksi budaya sekarang
ini yang terpenting ialah memahami untuk menyusun
strategi serta sistem dalam perkembangan Seni Rupa itu
sendiri. Perempuan dalam medan seni rupa di Indonesia
sesungguhnya memiliki peluang yang sangat baik karena
diuntungkan oleh budaya dan sejarah terkait dengan
permasalahan gender. Diri secara personal, gagasan
narasi dan medium, secara keseluruhan menjadi teks yang
secara simbolik menjadi penanda pada karya. Strategi
representasi semacam itulah menjadi posisi tawar yang
kontekstual dengan kecenderungan seni rupa hari ini.

31

Daftar Bacaan

1. Alvi Luviani , “Perupa Perempuan DiYogyakarta Tinjauan Dalam Perspektif
Gender”,(Yogyakarta: Pusat Studi Wanita UGM dan Tiara Wacana, 2008).

2. Arif Budi Wurianto. “Perempuan Pelaku Seni Pertunjukan Tradisional dan
Keadilan Gender”, dalam Siti Hariti Sastriyani (ed.). Women in Public Sector
[Perempuan di Sektor Publik]. (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita UGM dan
Tiara Wacana, 2008).

3. Citra Smara Dewi, Ideologi Gender dalam karya Patung Dolorosa Sinaga,
Jurnal Seni Rupa, Warna, Edisi kedua, April-juni 2010.hlm 45-61

4. Dolorosa Sinaga, ”Wacana Seni Rupa Perempuan: Antara Konsep dan
Konteks” dalam Adi Wicaksono dkk. (Ed.), 2003, Aspek-aspek Seni Visual
Indonesia: Politik dan Gender,Yogyakarta:Yayasan Seni Cemeti, hlm. 110.

5. Fuji Astuti. Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau: SuatuTinjauan
Gender. (Yogyakarta: Kalika, 2004). Tesis magister, di Universitas Gadjah
Mada tahun 2001.Hlm 71-72.

6. Ira Adriati, Bersuara dalam Visual Perjuangan Perempuan Perupa Indonesia,
dalam Perempuan Hari Ini : Peran dan Keseharian Dalam Budaya Visual
Indonesia, Kemendikbud, Medco & FSRD ITB, 2017, hlm 22-39

7. Irma Damajanti, Representasi Identitas dan Budaya Perempuan Perupa
Indonesia, dalam Perempuan Hari Ini : Peran dan Keseharian Dalam Budaya
Visual Indonesia, Kemendikbud, Medco & FSRD ITB, 2017, hlm 40-55

8. Kamla Bhasin, 1996, Menggugat Patriarki: PengantarTentang Persoalan
DominasiTerhadap Kaum Perempuan,Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya
dan Kalyanamitra Jakarta, hlm. V.

9. Mansour Fakih, Pengertian kodrat , menurut tulisan Pengantar Penerbit
pada buku Kamla Bhasin Menggugat Patriarki adalah potensi biologis yang
dimiliki baik laki-laki maupun perempuan yang secara fisik terberi sejak
lahir. 1996, Analisis Gender danTransformasi Sosial, (cetakan ketujuh),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 7-8.

10. Nuning Damayanti, “Revolusi Mental dalam Spirit Kartini, Kurasi dalam
Katalog Pameran “Revolusi Mental dalam Spirit Kartini”, Galeri Taman
Budaya, Bndung. Penerbit : Dir Kesenian Kemdikbud & Komunitas
22#IBU,2015.

11. Sang Ayu Putu Sriasih, “Perempuan Bali dalam Kehidupan Berkesenian.”
dalam Siti Hariti Sastriyani (ed.). Women in Public Sector [Perempuan di
Sektor Publik]. (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita UGM dan Tiara Wacana,
2008). Hlm 253-263.

12. Sugihastuti dan Suharto dalam bukunya berjudul “Kritik Sastra Feminis,Teori
danAplikasinya” 2004.Yogyakarta.

32

33

34

35

36

37

38

39

40

41

42

43

44


Click to View FlipBook Version