The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Muhammadiyah di Ujung Barat Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda (Danil Akbar Taqwadin, Saiful Akmal, Munawarsyah etc.) (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by masjiddarussalam18, 2022-04-19 19:00:42

Muhammadiyah di Ujung Barat Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda (Danil Akbar Taqwadin, Saiful Akmal, Munawarsyah etc.) (z-lib.org)

Muhammadiyah di Ujung Barat Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda (Danil Akbar Taqwadin, Saiful Akmal, Munawarsyah etc.) (z-lib.org)

Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara |

awal menurunkan jumlah angka kemiskinan pada kenyataannya
malah terus meningkat, berupaya meningkatkan derajat kesehatan
yang terjadi malah setiap tahun indeks kesehatan masyarakat
cenderung menurun, akan menurunkan angka pengangguran
namun sebaliknya terus meningkat dan tak mampu dikendalikan,
berhasrat meningkatkan kualitas pendidikan namun yang terjadi
kualitasnya semakin memburuk serta berbagai persoalan sosial
lainnya yang tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat
yang lebih baik seperti yang dijanjikan pada kampanye sebelumnya.
Mengapa demikian?

Ada beberapa aktor utama dalam pemberdayaan politik
masyarakat yaitu partai politik. Pemerintah, dan civil society.
Pada kedudukannya, masing-masing aktor memiliki peran wajib
(parpol dan Pemerintah) dan ada peran sunnah (dilakukan boleh
tidak dilakukan juga tidak apa) oleh civil society. Kejadian dalam
pemberdayaan politik masyarakat saat ini yang terjadi adalah
pemutarbalikan tanggung jawab, seolah-olah civil society yang
wajib mencerdaskan politik masyarakat, sedangkan partai politik
dan Pemerintah tinggal merekrut hasil pendidikan politik yang
dilakukan oleh civil society.

Hal tersebut sering terjadi ketika proses Pilkada atau pemilihan
legislatif. Pada momen tersebut lebih banyak partai politik yang
merekrut anggota masyarakat di luar partai untuk dicalonkan
ketimbang mencalonkan kader partainya sendiri. Elektabilitas
tokoh masyarakat di luar partai masih jauh lebih tinggi dari kader
partai-partai politik. Hal tersebut diperparah dengan jumlah kerja-
kerja pemberdayaan politik yang terbatas oleh partai politik dan
Pemerintah yang hanya terjadi pada periode lima tahunan atau
ketika proses pengalihan kepemimpinan berlangsung.

Pemberdayaan merupakan upaya yang terus-menerus dalam
meningkatkankemampuanmasyarakatuntukmemilikikemampuan

Muhammadiyah di Ujung Barat: 85
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara

dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Pemberdayaan yang
sebenarnya bukanlah membantu masyarakat untuk menyelesaikan
masalah mereka, karena itu disebut pemberdayaan semu yang jika
ditinggalkan maka masyarakat akan seperti sedia kala atau terus
membutuhkan pertolongan dari luar diri mereka.

Dalam konteks politik, maka pemberdayaan politik  masya-
rakat adalah membangun kesadaran kolektif internal masyarakat
untuk mampu membangun kriteria-kriteria kepemimpinan lokal
yang menurut masyarakat tersebut akan mampu membawa dan
mendorong masyarakat untuk dapat menyelesaikan persoalan-
persoalan masyarakat yang mereka hadapi selama ini. Persoalan
kesejahteraan yang dihadapi masyarakat akan terus berubah sesuai
perkembangan zaman, sehingga proses pemberdayaan politik di
masyarakatnya juga harus dilakukan terus-menerus dan
disesuaikan dengan tantangan yang ada.

Kalau kita telah sepakat bahwa urusan wajib
pemberdayaan politik ada pada partai politik dan Pemerintah, maka
hal tersebut akan tercermin pada program-program Pemerintah
daerah dilihat seberapa besar anggaran yang dialokasikan untuk
kegiatan kegiatan pemberdayaan politik masyarakat. Misalnya
jumlah alokasi anggaran dan jumlah kegiatan pendidikan politik
di gampong, di ormas-ormas, kelompok pemuda, kelompok
perempuan bahkan harus sampai pada pemberdayaan politik
kaum difabel.

Partai politik juga begitu, parpol harus mampu
mempublikasikan program-program kerja partai politik untuk satu
tahun mendatang kepada khalayak atau minimal kepada seluruh
anggota partainya. Seperti kita ketahui bersama, partai politik
selama ini belum memiliki program pemberdayaan politik yang
tertulis dan dijalankan, terutama untuk meningkatkan pemahaman
dan wawasan politik masyarakat atau anggota partainya. Visi dan

86 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara |

misi partai sering kali hanya diketahui ketika berlangsung proses
verifikasi partai oleh Kementerian Hukum dan Hak asasi Manusia
(Kemenkumham,) karena telah menjadi persyaratan, selebihnya
hanya tertulis di website resmi partai (jika ada).

Kalau kemudian partai politik menganggap sejumlah
kunjungan ke daerah pemilihan oleh anggota dewan (DPR)
sebagai bagian pendidikan politik masyarakat, maka hal
itu hanya sebagai upaya memindahkan tanggung jawab
pendidikan politik masyarakat dari partai kepada wakil rakyat.
Padahal, setiap anggota partai politik setelah menjadi wakil
rakyat seharusnya telah benar-benar menjadi wakil rakyat secara
keseluruhan bukan lagi wakil partai atau wakil anggota partai yang
diwakilinya.

Harapannya, Pilkada Aceh 2017 mampu menjadi momentum
bagi Pemerintah dan partai politik di Aceh untuk berprilaku
yang memberdayakan politik rakyat Aceh, sehingga dalam
proses Pilkada itu kelak tidak ditemukan lagi ada intimidasi, saling
fitnah, money politics, kecurangan di tempat pemungutan suara
(TPS) atau bahkan membawa lari kotak suara. Semoga! {}

Muhammadiyah di Ujung Barat: 87
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara

88 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara |

Berebut Kuasa
di Kotak Suara

Membaca Pilkada
dari Jakarta

Muhammadiyah di Ujung Barat: 89
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara

Pilkada
dan Festival Gagasan6

Mashudi Sr

o

Tepat pada 28 Oktober lalu, masa kampanye Pilkada
dimulai. Lebih dari 100 hari kedepan, setiap hari publik akan
menyaksikan para pasangan calon (paslon) kepala daerah
bersama tim pemenangannya melakukan beragam kegiatan untuk
mempengaruhi dan menarik simpati pemilih. Sebagian dilakukan
lewat darat, sebagian lagi melalui dunia maya.

Sudah bisa dibayangkan betapa meriahnya panggung politik
tanah air setidaknya di 101 daerah yang melaksanakan Pilkada
serentak pada Februari 2017 nanti. Tentu saja kemeriahan yang
diciptakan itu bukan bermakna hura-hura, apalagi berakhir dengan
huru-hara. Tetapi kemeriahan seperti layaknya sebuah pesta
pernikahan. Penuh keceriaan, tawa-canda dan happy ending.

Meskipun ada air mata yang keluar, itu adalah air mata

kebahagiaan. Lelah dan rasa cape yang terasa, itu juga kebahagiaan.
6 Serambi Indonesia, 7/11/2016.

90 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara |

Pendeknya tidak ada yang berduka. Semua bergembira, baik tuan
rumah dan pasangan pengantinya, tamu undangan, maupun
panitia. Jika ada satu-dua gelas-piring yang retak dan pecah, itu
dianggap wajar. Sebab semua kesalahan yang terjadi, masuk dalam
sampling of error, bisa ditoleransi.

Begitulah sejatinya pelaksanaan Pilkada yang sering
disamakan dengan pesta demokrasi. Peserta, pelaksana, dan
masyarakat sama merasakan ketenteraman. Meski saling berlomba
mendapatkan yang terbaik dengan beragam cara, tetapi itu
dilakukan dengan keadaban politik yang tinggi. Tanpa caci-maki,
hasutan dan fitnah, teror dan intimidasi, serta kekerasan fisik.

Masa kampanye, menjadi salah satu simpul kritis dari seluruh
tahapan Pilkada. Karena itulah, perhatian patut dicurahkan
pada masa ini. Meskipun ketentuan yang mengatur pelaksanaan
kampanye saat ini semakin maju, tetapi belum sepenuhnya
menututp celah munculnya kampanye hitam (black campaign).
Keberadaan media sosial sebagai sarana yang sanngat efektif
membangun opini publik, (bahkan efektif menjadi alat melakukan
black campaign), belum bisa diantisipasi oleh ketentuan hukum
tersebut.

Pendidikan Politik

Dalam kaitan itulah, penting untuk selalu mengingatkan
peserta Pilkada agar berkampanye dengan cerdas dan
bertanggungjawab. Sebab kampanye tidak hanya menjadi kanal
untuk menawarkan visi, misi, dan program. Tetapi tersangkut di
dalamnya aspek pendidikan politik yang wajib ditunaikan setiap
paslon, partai pengusung/pendukung, dan tim suksesnya.

Aspek ini menjadi salah satu dari tujuan akhir demokrasi
elektoral yang harus diperjuangkan di tengah dinamika kontestasi

Muhammadiyah di Ujung Barat: 91
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara

politik yang cenderung meninggi. Bahwa Pilkada tidak hanya sarana
merebut atau mempertahankan kekuasaan. Pilkada juga menjadi
sekolah politik paling efektif bagi masyarakat dalam hal bagaimana
mempengaruhi, menerima kekalahan, mempertahankan atau
merebut kekuasaan, dan menyikapi perbedaan pandangan pihak
lain yang berbeda. Dampak jangka panjang yang diharapkan,
adanya demokrasi yang berkualitas baik dari sisi prosedur maupun
substansi.

Berkaitan dengan ekspektasi akan demokrasi yang berkualitas
ini, YB. Mangunwijaya menegaskan “dengan harga apa pun, lama
atau sebentar demokrasi yang sejati harus menjadi budaya bangsa
yang manusiawi, adil, dan beradab”. Tetapi, lanjut Romo Mangun,
“(sebagai) bangsa bekas jajahan memang membutuhkan waktu
tidak sedikit untuk menemukan bentuk demokrasi yang berkualitas
dan mengangkat harkat martabat bangsa” (1995)

Karena itu meminjam istilah salah satu paslon kepala daerah
di DKI Jakarta, masa kampanye harusnya menjadi panggung untuk
menggelar festival gagasan. Paslon harus mengeluarkan semua
gagasan dan program yang aplikable dengan cara yang atraktif dan
inovatif juga mendidik. Menawarkan solusi atas permasalahan
daerah dan masyarakatnya dengan terukur. Misalnya, bagaimana
menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan, menekan laju
pertumbuhan penduduk, menata birokrasi yang lebih ramping,
efektif, dan berorientasi pelayanan publik. Atau bagaimana
melakukan mencegahan kerusakan lingkungan, meningkatkan
daya saing usaha kecil dan menengah, dan sebagainya.

Model kampanye tradisional dengan pengerahan massa
(kampanye terbuka) tidak lagi efektif memandu masyarakat
untuk memilih dengan cerdas dan bertanggungjawab. Cara ini
diperlukan hanya untuk selingan dan show of force terhadap lawan
politik. Pelaksanaannya banyak membawa mudharat dari pada

92 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara |

manfaat. Karena itu, ketentuan hukum Pilkada sudah semakin rigit
membatasi pelaksanaan kampanye terbuka bagi paslon.

Sebaliknya, kampanye yang lebih dialogis semakin menjadi
pilihan. Ini terkonfirmasi misalnya melalui sebuah jajak pendapat
yang dilakukan Kompas tentang model dan efektifitas kampanye
politik di 12 daerah. Hasilnya, 65,8% responden menganggap cara
ini paling efektif. Calon melakukan kunjungan langsung bertatap
muka dengan masyarakat pasar tradisional, nelayan, buruh pabrik,
tani dan kempok lain. Mereka berdialog, melihat lebih dekat
persoalan keseharian masyarakat yang akan dipimpinnya, dan
menawarkan jalan keluar yang membumi atas persoalan tersebut.
Paslon menawarkan kualitas dan kapasitasnya. Bukan popularitas
figur yang acapkali tidak bisa menjadi penolong ketika berhadapan
dengan masalah.

Memang harus diakui, sejauh ini kampanye dengan
menampilkan visi, misi, program kerja paslon dan sejenisnya,
belum memiliki peran yang signifikan dalam pilihan politik
masyarakat. Terutama bagi pemilih tradisional yang terkenal
dengan loyalitasnya yang kuat. Bagi mereka, kampanye berupa
festival gagasan ini tidak akan menggoyahkan keyakinan terhadap
paslon tertentu. Jumlahnya relatif banyak dan tersebar di daerah-
daerah.

Inilah tantangan berat yang dihadapi paslon, parpol
pengusung/pendukung dan tim sukses yang menginginkan
kampanye cerdas, mendidik, dan beradab. Satu sisi bertahan dengan
pilihan metode yang “ideal” ini sulit mendongkrak elektabilitas.
Tetapi jika mengikuti pola kampanye selama ini yang masih
cenderung “membodohi”, sama artinya membiarkan masyarakat
tetap berada dalam kegelapan politik memilih pemimpin.

Untuk itu dibutuhkan kreatifitas dalam memadukan model

Muhammadiyah di Ujung Barat: 93
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara

kampanye dialogis-programatik dengan kampanye tradisional.
Bagaimana menarik dan meyakinkan pemilih dengan cerdas
dan mendidik, namun pada saat yang sama elektabilitas paslon
ikut tergerek naik. Sudah waktunya meniadakan gaya kampanye
yang mengandalkan “pasukan nasi bungkus”, dimana model ini
cenderung menghalalkan segala cara.

Pada waktunya, kampanye yang diisi dengan pertarungan
gagasan dan program diantara paslon, harus dijadikan model yang
permanen. Rakyat harus diajak untuk menjadi pemilih yang cerdas-
rasional. Bahwa dalam menjatuhkan pilihan mereka dipandu
oleh kesamaan gagasan dan program dengan sang paslon. Bukan
didominasi faktor kedekatan emosional atau karena bayaran dan
imbalan. {-}

94 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara |

Menghalalkan Pilkada7

Mashudi SR

o

Bagi sebagian masyarakat, kehidupan politik kita semakin
jauh dari keberadaban. Berpolitik bukan lagi dijadikan sebagai alat
untuk mengabdi dan menghadirkan perubahan yang terbaik bagi
masyarakat dan lingkungan. Tetapi politik dilihat hanya semata
soal kekuasaan. Siapa mendapatkan apa, bagaimana dan kapan,
begitu kata Harold Laswell.

Karena itulah tidak usah heran bila politisi kita lebih
banyak menghabiskan waktunya mengasah “taring politik”
untuk dijadikan alat merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Sangat jarang dijumpai seorang politisi yang notabenenya duta
parpol,melakukan edukasi politik kepada masyarakat. Bahkan
banyak studi menyebutkan peran inilah yang paling tidak pernah
dijalankan.

Sebagai akibat dari cara pandang yang salah tersebut, maka
jadilah saat ini parpol seperti tempat menampung para pencari
kerja. Politisi yang muncul kepermukaan bukan politisi berjiwa
negarawan. Tetapi petualang politik yang selalu mengintai peluang

7 Serambi Indonesia, 22/11/2016. 95
Muhammadiyah di Ujung Barat:

Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara

dan memanfaatkannya untuk meraih keuntungan. Harus disadari
pada akhirnya kita mengalami surplus politisi, tetapi defisit
negarawan. Politisi, kata James Freeman Clarke, adalah seorang
yang selalu memikirkan soal pemilu yang akan datang. Sementara
seorang negarawan selalu memikirkan generasi yang akan datang.

Kesantunan Politik

Tidak terlalu sulit membuktikan apakah benar kehidupan
politik kita sepenuhnya dipandu oleh etika dan moral. Masa
pemilihan kepala daerah (pilkada) saat ini menjadi waktu yang
paling tepat melihat dan merasakan bagaimana politisi bekerja
untuk dan atasnama kekuasaan. Kita hampir tidak menjumpai
kesantunan politik di dalamnya. Begitu nyata terlihat hasrat
memburu kekuasaan yang dilakukan tanpa mengindahkan apakah
cara, metode, strategi, dan taktik yang digunakan melanggar etika
dan punya nilai edukasi yang baik atau tidak.

Begitulah realitas politik yang terjadi sepanjang kita belajar
demokrasi hampir dua dekade ini. Kedewasaan dan kematangan
berdemokrasi masih membutuhkan waktu yang lama dan kesabaran
yang tinggi. Untuk sampai pada sebuah kehidupan politik yang
lebih beradab diperlukan keseriusan dari para politisi untuk mau
menyadari bahwa berpolitik haruslah dilandasi oleh nilai dan
ideologi yang diarahkan untuk membangun masyarakatnya.

Pilkada yang menjadi ajang kontestasi politik, sejatinya tetap
dilandasi dengan disiplin moral, intelektual, dan hukum. Ketertiban
dan ketenteraman dalam sebuah demokrasi yang sedang berproses
hanya bisa dicapai melalui hadirnya fatsun politik dan tegaknya
hukum yang berkeadilan (law enforcement). Dan elite politik menjadi
pilar penopang yang sangat penting mewujudkan hal tersebut,
lewat mana konflik dikelola untuk membangun sebuah konsensus.

96 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara |

Mengutip M Alfan Alfian, “kedewasaan dan capaian akan diukur
oleh sejauh mana para elite politik mampu mengelola dan lantas
membangun konsensus yang dapat diterima semua pihak, dengan
tingkat kepercayaan yang tinggi” (Kompas, 12/11/2016).

Karena itu, persaingan politik tidak bermakna boleh
menerabas rambu moral dan hukum. Tidak boleh ada kosa kata
“menghalalkan segala cara”. Karena hasil dari sebuah kemenangan,
yakni kekuasaan, bukan untuk mempertahankan kekuasaan itu
sendiri, tetapi memperbaiki kesejahteraan rakyat. Inilah muara
akhir dari substansi demokrasi elektoral. Bahwa kekuasaan yang
diperoleh, sesungguhnya harus dikembalikan manfaatnya kepada
sipemberi, yakni rakyat.

Menghalalkan cara

Akhir-akhir ini nuansa politik ke arah menghalalkan
segala cara telah begitu terasa. Ketidakmampuan mengimbangi
kecanggihan strategi politik lawan dihadapi dengan jalan pintas;
fitnah, intimidasi, teror, kekerasan fisik, penembakan, dan
pembakaran properti politik. Masyarakat dibuat menjadi terkotak-
kotak berdasarkan kepentingan kelompok. Tidak ada lagi harmoni
yang terbangun. Yang tinggal adalah hawa permusuhan.

Ironisnya, hukum tidak hadir dan tegak ketika berhadapan
dengan model politik “barbarian” ini. Pengawas pemilihan dibuat
tidak berdaya. Pelanggaran seperti ini hanya didekati dengan cara-
cara yang standar dan normatif, disentuh sesaat untuk kemudian
dicarikan “jalan keluar lain”. Tidak ada penyelesaian akhir yang
bisa memberi pelajaran kepada masyarakat dan hukuman kepada
pelaku.

Praktik politik seperti ini seakan menjadi postulat fundamental
kehidupan politik setiap masa pergantian kepemimpinan tiba.

Muhammadiyah di Ujung Barat: 97
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara

Bahwa kekuasaan harus direbut dan karenanya tindakan politik
harus dibebaskan dari belenggu moralitas tradisional. Meski
ini tidak pernah terucapkan, tetapi yang tampak di permukaan
menggambarkan hal tersebut. Pilkada seperti panggung politik
bagi mereka yang haus akan kekuasaan. “Dalam panggung politik,
hanya orang kuat yang tahan memerintah, sedangkan mereka
yang tidak berdaya harus mencari hiburan dalam spiritual atau
membuat rasionalisasi atas kelemahan-kelemahannya”, begitu M.
Sastrapratedja dan Frans M. Parera memberi catatan pengantar
terhadap buku Sang Penguasa, kumpulan surat Niccolo Machiavelli
kepada Lorenzo (1987).

Postulat politik ala Machiavelli ini tentu tidak bisa diberikan
tempat untuk hidup. Demokrasi modern mensyaratkan adanya
sirkulasi kepemimpinan politik di ranah publik secara tertib, taat
hukum, dan menjamin kebebasan berbicara, berpendapat, berserikat
dan memilih dengan prinsip kesetaraan. Sejarah kebangsaan kita
mencatat bahwa demokrasi telah menjadi pilihan sadar dalam
menjalankan sistem Pemerintahan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Menjadi kewajiban semua kita untuk menjaga dan
merawatnya agar Pemerintahan dan negara ini tidak mengalami
gelombang balik demokrasi.

Karena itu dalam sistem demokrasi, tidak ada khilafiah tentang
cara meraih dan mempertahankan kekuasaan politik di ranah
publik. Bahwa kekuasaan harus diraih dan dipertahankan dengan
cara bermartabat melalui kepatuhan terhadap aturan hukum, nilai
dan prinsip demokrasi. Kompetisi yang tidak sehat, menistakan
kemanusiaan, mengacuhkan kepantasan moral, mengeksploitasi
kebohongan dan fitnah, tidak hanya salah tetapi juga haram.

Dalam kaitan itu, maka menghalalkan pilkada (bukan
menghalalkan segala cara), penting dilakukan. Bagaimana
menjadikan kemenganan merebut kekuasaan politik itu tidak

98 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara |

hanya benar secara hukum positif, tetapi juga halal secara syar’i.
Sikap politik seperti ini diperlukan untuk menyadarkan kita semua
bahwa kepemimpinan publik itu memiliki dimensi dan konsekuensi
sekaligus terhadap kehidupan dunia dan akhirat.

Bagaimana kehalalan tersebut bisa di dapat, berkait erat
dengan sejauhmana komitmen moral peserta pilkada untuk siap
menerima kemenangan dan kekalahan. Dua suku kata yang
selalu diharapkan hadir pada diri setiap pasangan calon maupun
tim pemenangannya. Sebab inilah hulu dari semua model taktik-
strategi politik yang disusun untuk kemudian diturunkan dalam
bentuk aksi. Kiranya semua kompetitor politik di pilkada 2017
kalini ini sudah berketetapan hati untuk meraih kekuasaan dengan
cara yang halal, dan bukan menghalalkan segala cara. {-}

Muhammadiyah di Ujung Barat: 99
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara

Politik tanpa Mahar8

Mashudi SR

o

Peristiwa politik seperti pilkada, selalu menarik untuk
dicermati, dibincang, apalagi dilakoni. Meski disadari memiliki
banyak dimensi yang cukup pelik, tetapi tidak mengurangi
keinginan publik untuk dekat dan terlibat di dalamnya. Pilkada
telah menjadi semacam tempat bertemunya kepentingan politik
banyak pihak, bukan hanya mereka yang berkepentingan langsung,
tetapi juga masyarakat umum.

Bagi politisi, inilah masa dimana peruntungan politiknya diuji.
Sementara bagi masyarakat, inilah saatnya memberikan evaluasi
kepemimpinan kepala daerah sekaligus parpol pengusung dan
pendukung. Ia didesain sebagai salah satu saluran politik rakyat
untuk memberikan reward and punishment, serta mendapatkan
banyak pilihan calon kepala daerah terbaik untuk dipilih.

Namun, acapkali pilkada tidak lagi menjadi milik rakyat
seutuhnya. Keistimewaan ini diambilalih oleh partai politik,
dengan berlaku sebagai pemegang kedaulatan sejati. Fungsi partai
sebagai “jembatan rakyat” kepada pemerintahan disalahartikan

8 Serambi Indonesia, 25 April 2016

100 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara |

dan digunakan. Dalam banyak hal, demokrasi dibajak oleh partai
dan elite-elitenya.

Politik Uang

Pembajakan demokrasi ini bisa dilakukan dengan beragam
cara dan rupa. Satu di antaranya adalah menggunakan uang untuk
memobilisasi dukungan elektoral. Pilkada yang sebentar lagi kita
akan masuk di dalamnya, juga tidak sepi dari praktik politik uang.
Mereka yang ingin maju sebagai calon kepala daerah melalui jalur
parpol, sudah harus mempersiapkan mahar politik untuk bisa
mendapat tiket pencalonan.

Mahar politik atau “uang sewa perahu,” bukan cerita
baru dalam perpolitikan tanah air. Fenomena ini seperti sudah
mentradisi dalam setiap pilkada. Siapa pun yang ingin maju lewat
partai, tidak peduli kader terbaik sekalipun, harus mempersiapkan
sejumlah uang untuk mendapatkan dukungan. Konon kabarnya,
uang yang jumlahnya kadang cukup pantastis itu dipergunakan
untuk menggerakkan mesin partai sampai ke tingkat paling bawah.

Dilihat dari sudut manapun, cara berpolitik seperti ini sangat
merugikan. Tidak hanya potensial melahirkan perilaku korupsi
jika calon yang diusung dan didukung menang, lebih dari itu,
ia sesungguhnya sangat merusak sistem politik dan demokrasi.
Oleh Azyumardi Azra, praktik politik mahar atau mahar politik
dinyatakan sebagai penyimpangan demokrasi yang sangat jelas.
“Jika demokrasi adalah kepentingan rakyat, politik mahar membuat
demokrassi lebih berorientasi pada pihak pemberi mahar, baik
parpol maupun donor korporasi” (Kompas, 15/3/2016).

Karena itu, jika kita ingin melihat kehidupan demokrasi
berkembang baik dan bermanfaat bagi masa depan, tentu hal ini
tidak boleh dibiarkan terus berlangsung. Iklim politik yang terlanjur

Muhammadiyah di Ujung Barat: 101
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara

keruh dan tidak baik ini harus dijernihkan kembali. Uang memang
penting dan menentukan dalam politik. Tetapi menjadikannya
sebagai determinasi meraih kemenangan tidak hanya terlarang,
melainkan juga masuk ke dalam kategori kejahatan demokrasi.

Itulah sebabnya, ketika ada partai politik yang berkehendak
menerapkan politik tanpa mahar pada setiap pilkada, sejatinya
perlu diberi respons positif dan diapresiasi. Karena sudah menjadi
keharusan bagi parpol untuk meniadakan, setidaknya meminimalisir
pragmatisme-transaksional yang telah mengecambah di tubuh
partai.

Mungkinkah parpol mau meniadakan mahar politik? Adakah
bakal calon yang berani secara terbuka menyatakan penolakannya
untuk maju melalui parpol tertentu karena parpol tersebut mematok
syarat adanya mahar yang harus disetor?

Ini adalah pertanyaan yang jawabannya sulit untuk
diperoleh. Tetapi bukan berarti tidak mungkin. Setidaknya
sebuah partai pendatang baru di pentas politik Nasional sudah
memperlihatkannya dengan kebijakan politik tanpa mahar dalam
setiap pilkada. Tentu, kesungguhan terhadap implementasi
kebijakan partai yang mengusung semangat restorasi ini, masih
perlu diuji dalam tataran praksis.

Ikhtiar Politik

Awal yang baik ini harus didorong untuk menjadi kebijakan
seluruh parpol. Karena itu, ikhtiar politik perlu terus dilakukan agar
parpol mau mereplikasi gagasan politik tanpa mahar itu menjadi
kebijakan politik partai. Semangat meraih kemenangan dengan
cara anti politik uang harus tetap digelorakan sampai semua parpol
dan politisinya siuman.

102 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara |

Upaya ini dilakukan sesungguhnya bukan semata untuk
menyelamatkan wajah parpol yang saat ini begitu muram. Tetapi
menyelamatkan demokrasi yang sudah begitu susah payah
dibangun dan dipertahankan. Masa depan kita semua ada pada
demokrasi yang sehat. Demokrasi yang sehat mensyaratkan
adanya parpol yang sehat. Maka, suka tidak suka, kita harus
ikut membersihkan wajah parpol yang tertutup dengan perilaku
koruptif.

Undang-Undang Pilkada yang ada saat ini tidak menjangkau
perkara mahar politik. Yang diatur masih soal besaran dana
kampanye, sumber dan batasan sumbangan perseorangan dan
korporasi kepada calon atau parpol, dan jual beli suara yang
melibatkan calon dengan pemilih atau partai dengan pemilih.
Padahal ia sudah menjadi semacam pengetahuan umum masyarakat
bahwa mahar politik benar adanya dan sudah mentradisi.

Terlepas dari “kekosongan aturan hukum” tersebut,
sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra, upaya memerangi praktik
politik transaksional ini perlu diseriusi. Tidak bisa dibebankan
kepada satu pihak, tetapi harus melibatkan beragam pemangku
kepentingan. Ada kelompok sosial pro demokrasi-anti korupsi
sebagai kelompok penekan yang selama ini efektif menjalankan
misinya.

Di sisi lain, ada media massa yang memiliki peran sangat
strategis mempengaruhi kebijakan politik. Lewat ketajaman
jurnalistiknya, “ratu dunia” ini mampu menembus ruang-ruang
politik yang bagi banyak orang tertutup dan sulit membongkarnya
ke permukaan. Ada pula komponen masyarakat kritis lain seperti
mahasiswa, aktivis politik yang cerdas dan tercerahkan, dan lain
sebagainya.

Tentu perpaduan semua ini dalam satu semangat yang sama,

Muhammadiyah di Ujung Barat: 103
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara

bisa menjadi kekuatan yang memaksa pratik politik mahar atau
mahar politik tidak terjadi. Inilah sebetulnya salah satu fungsi
keikutsertaan kita dalam peristiwa politik lima tahunan itu.
Memastikan prosesnya tidak saja berjalan demokratis, tetapi juga
minim politik uang.

Saya tidak ingin mengajak untuk su’udzan dengan proses
politik yang sedang berlangsung. Hanya saja, saya ingin kita tidak
tertipu dengan siasat partai yang saat ini sedang ramai menyeleksi
bakal calon melalui konvensi. Sebab, godaan mahar politik masih
terlalu besar dari sekadar konvensi. Jangan sampai konvensi
tersebut hanya dijadikan selubung demokrasi untuk menutup
rapat hasrat politik berburu rente

104 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara |

Sampah Politik
Di Ruang Publik9

Mashudi SR

o

Mendekati hari pemungutan suara, aktifitas kampanye
Calon Anggota Legislatif (caleg) DPR, DPD, dan DPRD semakin
meningkat. Beragam pilihan metode kampanye yang diberikan
Undang-undang, dimanfaatkan secara maksimal. Semua berlomba
“menjajakan” diri kepada masyarakat pemilih dengan menawarkan
janji-janji politik.

Promosi diri yang dilakukan para caleg ini, adalah hal yang
wajar untuk meningkatkan popularitas sekaligus elektabilitas.
Banyak diantara mereka merupakan pendatang baru dalam dunia
politik dan tidak dikenal luas oleh masyarakat pemilih. Mereka hadir
dari beragam profesi dan latar belakang pendidikan. Mulai dari
akademisi, mantan pejabat, politisi senior, tokoh pemuda, pemuka
agama, petani, pedagang, tukang becak, guru, dokter, perawat,
aktivis, jurnalis, mantan preman, penyanyi, pelawak, sampai

9 Serambi Indonesia, 17/4/2017.

Muhammadiyah di Ujung Barat: 105
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara

paranormal. Dengan beragam latar belakang tersebut, Pemilu
diharapkan bisa merubah nasib ke arah yang lebih “bermartabat”

Desain sistem Pemilu yang menempatkan peraih suara
terbanyak sebagai pemilik kursi di parlemen (proporsional daftar
terbuka), dijadikan ruang untuk menjual ketokohan, pengaruh,
kekayaan, ketampanan dan kecantikan. Karena itu, meski minim
pengetahuan politik, bahkan ada yang tidak mengerti apa tugas
dan fungsi anggota legislatif, mereka ini ramai-ramai masuk parpol
untuk bisa dicalonkan.

Dalam situasi seperti ini, parpol tidak ubahnya seperti
kenderaan yang siap menghantarkan penumpangnya keterminal
akhir, kursi kekuasaan. Layaknya kenderaan umum, supir dan
kernet, tidak mempermasalahkan apakah penumpang yang naik
layak diangkut atau tidak. Selama sang penumpang sanggup
membayar tiket sesuai dengan harga yang ditentukan, supir dan
kernet langsung tancap gas.

Akibatnya, kita menyaksikan begitu banyak politisi dadakan
yang muncul sebagaimana terlihat dari gambar mereka yang
ditempel di pohon, tiang telpon, listrik, halte-halte atau dinding
rumah tetangga. Atau spanduk yang dipasang di jalan-jalan,
pagar mesjid, sekolah dan, terminal. Bahkan baliho yang dipasang
disudut-sudut jalan strategis dengan senyum manis memikat dan
jargon politik yang menghentak. Pesta lima tahunan ini akhirnya
seperti berubah fungsi menjadi panggung “Pemilu Idol”, dimana
yang menjadi pemenang tidak diketahui kualitas intelektual,
integritas moralnya, dan kedalaman pengetahuan ketata Negaraan
yang dimiliki.

Parpol tidak peduli dengan kualitas intelektual, intergitas
moral, dan rekam jejak caleg yang diusungnya. Sepanjang caleg
tersebut memiliki sumber dana yang besar dan/atau mempunyai

106 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara |

populatritas yang tinggi, tidak ada persoalan. Masalah pengetahuan
politik, pemahaman ketataNegaraan, dan syarat lainnya, bisa
diajarkan secara kilat ketika sudah terpilih, atau belajar sambail
bekerja (learning by doing).

Sistem pemilihan yang ada memang sangat kompetitif dan
cenderung liberal. Dunia perpolitikan tanah air menjelang Pemilu
begitu ramai, berisik dan bising. Ruang publik baik darat maupun
udara (media elektronik) disesaki dengan materail politik milik
parpol dan caleg. Ini diperparah dengan banyaknya gerakan sosial
yang beraroma politik. Kelompok pemuda, olahraga, pengajian,
gotong royong, bakti sosial, tiba-tiba begitu aktif bergerak.

Tentu yang tidak boleh dilupakan dari semua itu, bahwa tidak
ada yang gratis. Ada kompensasi politik yang diharapkan para
caleg, yakni masyarakat penerima manfaat dari kemurahan hati
yang muncul secara dadakan tersebut, mau memilihnya. Jika caleg
merasa belum yakin dengan hasil yang diperoleh melalui gerakan
tersebut, maka diperkuat dengan transaksi tunai yang diberikan
sesaat sebelum pemilihan atau pasca pemilihan.

Sampah politik

Material politik berupa baliho, billdboard poster, spanduk,
benner, gambar, kartu nama, iklan televisi dan radio, dan beragam
atribut kampanye lain yang ditebar, sudah mulai mengganggu
kenyamanan. Ia ditebar disebarang tempat tanpa memperhatikan
kepantasan, estetika, dan aturan yang ada. Ketentuan seperti UU No.
8/2012, PKPU No.15/2013 tentang perubahan atas PKPU No.1/2012,
dan Surat KPU No. 664/KPU/IX/2013, diabaikan. Pelakunya bukan
hanya parpol dan caleg, tetapi juga media massa.

Media massa tidak lagi menjadi alat kontrol sosial, media
pencerahan dan pencerdasan publik. Dalam beberapa kasus media

Muhammadiyah di Ujung Barat: 107
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara

baik cetak maupun elekronik, memerankan diri sebagai agen-agen
politik, penyampai pesan politik dengan bayaran yang tinggi. Media
tidak lagi steril dari kepentingan politik dan bisnis. Logika dan
kepentingan bisnis telah mengalahkan fungsi luhur dari kehadiran
media sendiri di tengah-tengah masyarakat.

Liberalisme demokrasi politik yang melanda bangsa ini, telah
meruntuhkan bangunan ideologi parpol dan media, dan pada
saat yang sama pragmatisme tumbuh begitu subur. Pendekatan
aktualisasi yang bersifat ideologis kalah dan tersingkir oleh
pendekatan transaksional-pragmatis. Penguasaan ruang publik
yang massif, dengan cara apapun itu, harus dilakukan untuk
mempengaruhi opini dan preferensi politik pubik.

Pendekatan dialogis, menjual gagasan, ide, strategi dan
program, atau membangun basis massa dengan program yang
edukatif dan bersifat pemberdayaan, dianggap bukan cara cerdas
untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas. Karena itu cara-
cara seperti ini jarang dijumpai. Calon politisi ini lebih memilih cara
instan dengan menyebar atribut dan alat peraga kampanye secara
massif disebarang tempat. Mereka yang memiliki finansial yang
banyak, mengiklankan diri melalui media cetak atau elektronik
secara berulang-ulang.

Sampah-sampah politik yang begitu banyak berserakan itu,
sebetulnya telah mulai menimbulkan sinisme warga. Pencitraan
diri yang demikian dianggap pembodohan yang dilakukan secara
sengaja. Jika kita mau sejenak mengamati pesan-pesan yang ada
dalam berbagai atribut kampanye tersebut, terasa menggelikan,
menggemaskan, menjengkelkan, sekaligus mengkhawatirkan.
Bagi saya pesan-pesan itu tidak lebih hanya pepesan kosong yang
semakin memperlihatkan betapa suramnya masa depan daerah ini

108 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara |

lima tahun ke depan.

Secara sporadis masyarakat pun mulai mempertanyakan
rekam jejak para caleg, termasuk sumber pendanaan yang
digunakan membiayai kampanye yang dilakukan. Masyarakat
pemilih, sesungguhnya sudah mulai cerdas menganalisa realitas
politik yang ada disekelilingnya.

Sayangnya persoalan yang berkait dengan belanja kampanye,
sampai saat ini, belum ada aturan hukum yang bisa diberlakukan
kepada para caleg. Hanya ada ketentuan yang mengatur soal sumber
dan besarnya jumlah sumbangan yang diterima parpol dan calon
anggota DPD. Padahal kita ketahui, yang paling banyak melakukan
kampanye adalah para caleg, bukan partai. Karena itu, aturan
tersebut tidak memberi dampak yang signifikan mendorong bagi
adanya transparansi dan akuntabilitas keuangan dana kampanye
parpol dan caleg.

Lantas bagaimana menyikapi sampah politik yang
bersiliweran begitu bebas di ruang publik kita itu? Tidak banyak
pilihan yang tersedia bagi kita, khususnya masyarakat pemilih.
Sebagai warga Negara yang mengerti dan taat aturan, sepatutnya
kita menyampaikan kepada pengawas Pemilu untuk segera
bersikap. Lembaga yang sudah diberi fasilitas oleh Negara ini,
diminta untuk tidak hanya pandai mengeluh dan mengeruk atas
apa yang sudah diberikan Negara, tetapi juga bekerja profesional.

Kelompok masyarakat peduli Pemilu bisa menginisiasi
gerakan sosial untuk membersihkan sampah-sampah politik
itu dari ruang publik. Gerakan semacam ini diperlukan sebagai
bagian dari pendidikan politik kepada masyarakat luas khususnya
kepada para caleg itu sendiri. Bahwa ada aturan hukum yang harus
ditegakkan demi Pemilu yang bersih, jujur, dan adil.

Muhammadiyah di Ujung Barat: 109
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 2: Berebut Kuasa di Kotak Suara

Terakhir, harus difahami bahwa janji politik, diucap atau
ditulis, merupakan komitmen dan obligasi moral yang mempunyai
nilai sangat tinggi. Karena itu, penting untuk mencermati mana
diantara para caleg tersebut yang diyakini berpotensi untuk
melakukan kebohongan. Caleg seperti ini sangat layak untuk kita
beri stabilo dari daftar orang-orang yang akan kita pilih di bilik TPS
nanti. {-}

110 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)” |

Bagian 3;

Mencari Sang “Pemimpi(n)”

- Esensi kepemimpinan
- Potret sebuah Kepemimpinan

Muhammadiyah di Ujung Barat: 111
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)”

112 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)” |

Mencari Sang
“Pemimpi(n)”

Esensi Kepemimpinan

Muhammadiyah di Ujung Barat: 113
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)”

Spirit Kepemimpinan Aceh Baru1
(Isra’ Mi’raj 1438 H)

Adnan

o

Isra’ mi’raj merupakan satu peristiwa sejarah mahadahsyat
dalam perjalanan kerasulan Nabi Muhammad Saw. Yakni sebuah
perjalanan yang sarat dengan makna spritualitas, saintifik, dan
kepemimpinan. Sebab, perjalanan Nabi Muhammad Saw dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa (isra’) dan dari Masjidil Aqsa ke
Sidratul Muntaha (mi’raj) yang ditempuh dalam sepertiga malam
(Qs. Al-Isra: 1), belum pernah dialami oleh para Rasul sebelumnya.
Peristiwa sejarah ini diyakini terjadi pada 27 Rajab 621 M.

Karena itu pada 27 Rajab setiap tahunnya, umat Islam seluruh
dunia melakukan refleksi dan kontemplasi untuk mengambil
‘ibrah baik yang tersurat maupun tersirat dari peristiwa ini. Sebab
peristiwa ini begitu sarat makna yang dapat menjadi acuan dan
referensi bagi perjalanan kemanusiaan. Apalagi kado terindah
dalam peristiwa ini berupa perintah wajib melaksanakan shalat
lima waktu. Yakni ibadah yang selalu menjadi rutinitas umat Islam
saat ini disela-sela aktivitas rutin.

1 Serambi Indonesia, 21/4/2017.

114 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)” |

Satu yang tidak kalah menarik dalam refleksi isra’ mi’raj adalah
meneropong soal kepemimpinan. Membahas kepemimpinan sangat
releven dalam konteks ke-aceh-an saat ini. Apalagi Aceh baru saja
memiliki nakhoda dan pemimpin baru dalam menentukan arah
pembangunan dan pemajuan Aceh ke depan. Maka isra’ mi’raj
sangat relevan dengan konteks kepemimpinan Aceh baru (2017).
Sehingga berbagai makna yang tersurat dan tersirat dari peristiwa
ini dapat menjadi spirit dan keteladanan bagi pemimpin dalam
membangun dan memajukan Aceh ke depan.

Spirit Isra’ Mi’raj

Beberapa spirit yang dapat dipetik dari peristiwa isra’ mi’raj
yakni: Pertama, penyucian jiwa (tazkiyatun nufus). Dikisahkan
sebelum Nabi Muhammad Saw mengikuti seluruh rangkaian
isra’ mi’raj, beliau terlebih dahulu dibedah dadanya oleh Malaikat
Jibril. Prosesi pembedahan dada ini untuk mengambil dan
menghilangkan kotoran-kotoran batin, lalu disucikan dengan
air zam-zam, kemudian diganti dengan ilmu dan hikmah. Ini
merupakan rangkaian awal yang harus didahului oleh Nabi
Muhammad Saw sebelum melanjutkan rangkaian selanjutnya. Ini
menunjukkan penyucian jiwa merupakan satu indikator penting
dalam menghadap Allah SWT.

Oleh sebab itu, proses ini memberikan refleksi konkrit
bahwa hendaknya kita menjadi manusia yang bersih jiwa. Bersih
jiwa merupakan syarat utama untuk mengharmonisasi hubungan
ke-Tuhan-an dan kemanusiaan. Dalam konteks kepemimpinan,
kesucian jiwa harus dimiliki oleh pemimpin Aceh yang baru dalam
menjalankan roda pemerintahan. Artinya, untuk menjadi pelayan
seluruh rakyat diperlukan kebeningan hati, sehingga mampu
menentukan dan memutuskan program-program pro-rakyat Aceh,

Muhammadiyah di Ujung Barat: 115
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)”

bukan pro-pribadi dan keluarga serta golongan semata.

Karena tatkala pemimpin baru Aceh telah meninggalkan
seluruh materi dunia (zuhud) dalam kepemimpinan, sungguh ia
tidak akan tergoda dengan materi yang bukan haknya. Ia mampu
memetakan antara hak pribadi, keluarga, dan golongan, dengan hak
rakyat. Ia mampu memilah dan memilih kepentingan yang bersifat
pribadi dan publik. Bahkan semestinya bekerja di atas kepentingan
pribadi, keluarga, dan golongan. Sehingga roda pemerintahan
dapat memberikan kontribusi penuh dalam pembangunan dan
kemajuan Aceh dalam masa kepemimpinannya.

Tetapi, jika pemimpin masih sibuk dengan keuntungan
proyek bagi pribadi, sibuk mengurusi dana aspirasi hingga
melupakan aspirasi, sibuk mengkalkulasi keuntungan yang harus
dimiliki selama kepemimpinannnya, hingga terjerumus pada
perilaku nista dan hina, semisal korupsi, maka hal ini merupakan
satu indikator bahwa jiwa para pemimpin masih kotor. Dan, isra’
mi’raj harus menjadi spirit dalam penyucian jiwa sebelum tampuk
kepemimpinan diserahkan kepada mereka. Karenanya, isra’ mi’raj
mampu memberikan refleksi kesucian jiwa bagi para pemimpin ke
depan dalam mewujudkan pembangunan dan Kemajuan Aceh.

Kedua, punya integritas. Dikisahkan dalam perjalanan
isra’ mi’raj, Nabi Muhammad SAW menerima tawaran dua jenis
minuman, yakni susu dan arak, dan beliau memilih susu. Artinya
hal ini, menggambarkan filosofi bahwa orientasi kehidupan
umatnya akan bersungguh-sungguh dalam menjalankan perintah
Allah SWT dan Rasul-Nya. Tapi, apabila beliau memilih arak,
maka sungguh umatnya akan mengalami disorientasi dalam
kehidupan mereka, yakni hanya terlena dan mabuk dengan
gemerlapnya dunia. Bahkan dalam Durratun Nashihin diungkapkan
bahwa dalam perjalanan isra’ mi’raj pula, beliau mendengar suara
yang memanggil-manggilnya, baik dari sisi kanan maupun kiri.

116 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)” |

Panggilan dari sisi kanan bermakna provokasi Yahudi, dan dari
sisi kiri bermakna provokasi Nasrani. Ketika itu, Nabi Muhammad
SAW tidak sekalipun menghiraukan panggilan itu. Sebab, jika
beliau menghiraukan panggilan itu sungguh umatnya akan mudah
terprovokasi dan condong kepada Yahudi dan Nasrani. Selain
itu, beliau juga mendapatkan berbagai panggilan yang bersifat
materialis, sekular, dan liberal.

Dua kisah ini menunjukkan integritas yang dimiliki Nabi
Muhammad Saw dalam perjalanan isra’ mi’raj. Dalam konteks
kepemimpinan, integritas hal penting yang harus dimiliki oleh
pemimpin. Sebab, ketika pemimpin tidak memiliki integritas, maka
akan mudah tersulut untuk berperilaku destruktif dan amoral,
semisal korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sepintar apapun seseorang,
ketika tidak memiliki integritas, ia akan mudah terjerumus pada
perilaku negatif. Karena itu, integritas harus dimiliki oleh para
pemimpin Aceh baru ke depan, agar masa kepemimpinannya
terjaga dari perilaku-perilaku tercela.

Ketiga, punya kepekaan dan kepedulian. Pada peristiwa
isra’ mi’raj juga diriwayatkan adanya negosiasi jumlah waktu
shalat oleh Nabi Muhammad Saw dengan Allah SWT. Awalnya,
shalat diwajibkan 50 waktu, lalu terjadilah proses ‘negosiasi’ yang
diinisiasi oleh Nabi Musa AS, sehingga kewajiban shalat menjadi
5 waktu. Tapi, walaupun hanya 5 waktu, pahalanya sama seperti
melaksanakan shalat 50 waktu. Proses ‘negosiasi’ ini menunjukkan
adanya keinginan Nabi Muhammad Saw untuk meringankan
beban yang akan dipikul oleh ummatnya. Sebab, ummat pasti
sangat kesulitan untuk melaksanakan perintah shalat 50 waktu.

Inilah spirit yang harus dimiliki oleh pemimpin Aceh baru
ke depan. Yakni harus berusaha untuk meringankan beban yang
sedang dihadapi rakyat. Bukankah Aceh saat ini sedang diliputi oleh
berbagai persoalan fundamental, semisal persoalan kesejahteraan.

Muhammadiyah di Ujung Barat: 117
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)”

Jika pemimpin tidak memiliki kepekaan dan kepedulian untuk
menyelesaikan persoalan ini, sungguh rakyat Aceh akan terus
merana dan menderita. Dan, hal ini menunjukkan bahwa buah dari
MoU Helsinki belum dinikmati oleh seluruh rakyat Aceh.

Kebersamaan

Keempat, pembangunan berbasis kebersamaan. Dalam sejarah
dicatat hanya beberapa lama berselang peristiwa isra’ mi’raj,
Nabi Muhammad SAW kemudian berhijrah ke Madinah. Hingga
mampu menjadikan Madinah sebagai wilayah yang berperadaban.
Di Madinah, Nabi Muhammad SAW mampu mempersaudarakan
kaum Muhajirin (pendatang Mekkah) dan Anshar (pribumi
Madinah), serta mampu menyatukan berbagai kabilah tanpa kecuali
Yahudi dan Nasrani. Penduduk Madinah dibawah kepemimpinan
Nabi Muhamamd Saw hidup sangat toleran walaupun berbeda
etnis, suku, dan keyakinan.

Sebab itu, isra’ mi’raj dapat memberikan spirit kepada
pemimpin Aceh yang baru bahwa Aceh akan maju jika sang
pemimpin mampu menyatukan seluruh komponen rakyat. Karena
rakyat Aceh merupakan masyarakat yang heterogen, terdiri
dari berbagai sifat, watak, jenis, suku, partai politik, organisasi,
pemahaman keagamaan, dan lainnya. Maka heterogenitas ini harus
menjadi energi dalam pembangunan dan kemajuan Aceh ke depan.
Artinya, perkembangan ini hanya akan diperoleh dengan semangat
kebersamaan, persatuan, dan persaudaraan. Semoga! {-}

118 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)” |

Perempuan dalam Pilkada Aceh2
(Persoalan Kepemimpinan)

Adnan

o

Konteks kepemimpinan perempuan masih terjadi pro-kontra
dalam masyarakat hingga saat ini. Hingga melahirkan dua kutub
pemikiran besar yang kontradiktif dalam menyikapi persoalan
kepemimpinan perempuan. Kutub pertama membolehkan
perempuan memegang tampuk kepemimpinan (top leader).
Argumen ini berpendapat bahwa persoalan kepemimpinan
bukanlah soal jenis kelamin, tapi soal kemampuan memimpin
(leadership). Argumen ini mewakili kelompok feminisme dan
ilmuwan kontemporer.

Disisi lain, kutub kedua melarang perempuan memegang
tampuk kepemimpinan. Argumennya disandarkan pada persoalan
kepemimpinan merupakan doktrin agama berdasarkan teks Al-
Quran dan Hadits yang tidak bisa diganggu-gugat. Karena Allah
SWT telah melebihkan laki-laki daripada perempuan, termasuk
dalam konteks kepemimpinan di segala bidang, baik kehidupan
keluarga, politik, agama, dan sosial. Argumen ini kelihatan
2 Waspada, 8/2/2017.

Muhammadiyah di Ujung Barat: 119
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)”

lebih patriarki dan mewakili kelompok tradisionalis, klasik, dan
konservatif.

Tentu, kedua kutub pemikiran di atas memiliki landasan
kuat dan ilmiah dari teks-teks agama berupa Al-Quran dan Hadits.
Perbedaan keduanya hanya pada sudut pandang (penafsiran),
satu sisi lebih mempertimbangkan tekstualitas, doktrin klasik, dan
kaku (jumud), sisi lain lebih mempertimbangkan kontekstualitas,
kemajuan zaman, dan elastisitas (dinamis). Sebenarnya kedua
corak penafsiran tersebut diperlukan dalam memahami teks-teks
agama agar lebih kontekstual dan lintas zaman (shalih az-zaman wal
makan), tanpa menafikan teks.

Dalam konteks Aceh, secara historis kepemimpinan
perempuan bukanlah perkara baru dan tabu. Sebab, beberapa
perempuan telah memimpin kerajaan Aceh Darussalam (baca:
Sulthanah) pada masa lampau, semisal Sri Ratu Safiatuddin Tajul
Alam tahun 1641-1675, Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam tahun
1675-1678, Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah tahun 1678-1688, Sri
Ratu Zainatuddin Kamalat Syah tahun 1688-1699. Keberadaan
para Sulthanah tersebut menunjukkan bahwa perempuan pernah
mengisi posisi strategis dalam kepemimpinan pada masa kerajaan
Aceh Darussalam.

Akan tetapi, realitas kontestan dalam Pilkada (Pemilihan
Kepala Daerah) Aceh 2017 masih milik kaum lelaki. Semisal, para
kontestan cagub dan cawagub semuanya berjenis kelamin lelaki.
Hanya dua (2) calon walikota perempuan yang ikut “bertarung”
dalam Pilkada ini, yakni di Banda Aceh dan Langsa, satu (1) calon
wakil walikota di Lhokseumawe, dan beberapa perempuan yang
menjadi bakal calon wakil bupati, semisal di Simeulue dan Aceh
Barat Daya (Serambi Indonesia, 27/10/2016). Mungkin satu penyebab
perempuan Aceh tidak berminat mencalonkan diri dalam Pilkada
adalah persepsi kepemimpinan (top leader) hanya milik kaum lelaki,

120 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)” |

perempuan hanya bertugas di sumur, dapur, dan kasur saja.

Semantik

Satu ayat yang sering ditafsirkan lebih patriarki mulai dari
kepemimpinan rumah tangga hingga politik, sosial, dan agama
adalah Qs An-Nisa’: 34; ar-rijalu qawwamuna ‘alannisa.’ Padahal
jika dikaji lebih holistik, pengembangan penafsiran ayat tersebut
sangat beragam, sehingga tidak melulu ayat tersebut sebagai teks
agama yang ingin mendominasi kekuasaan/kewenangan laki-laki
daripada perempuan. Akan tetapi, ayat tersebut berbicara tentang
keseimbangan peran dalam rumah tangga.

Apalagi jika dikaji dari sisi semantik. Penggunaan kata rijal
bukan dzakar, dan kata nisa’ bukan untsa, dan ini menarik untuk
diteliti lebih dalam. Sebab kedua kosa-kata tersebut memiliki
makna yang berbeda. Pertama, kata dzakar lebih menunjukkan
pada jenis kelamin laki-laki. Sedangkan kata rijal bukan hanya
menunjukkan jenis kelamin, akan tetapi ragam makna, semisal rijal
diartikan sebagai sifat kelelakian, seumpama lebih kuat, rasional,
dan intelektual tinggi (Ibnu Mandzur dalam Rokhman, 2013). Kedua,
kata untsa (antonim dzakar) lebih menunjukkan pada jenis kelamin
perempuan. Sedangkan nisa’ (antonim rijal) juga memiliki ragam
makna, semisal nisa’ diartikan sebagai sifat keperempuanan,
seumpana lemah lembut, keibuan, penyayang, lebih emosional.
Karena itu, dari sisi semantik ayat tersebut dapat dimaknai bahwa
seseorang yang memiliki sifat kelelakian – walaupun tidak berjenis
kelamin laki-laki – dapat menjadi pemimpin dan pengayom bagi
seseorang yang memiliki sifat keperempuanan – walaupun bukan
perempuan - (Abdurrahman dkk, 2011).

Artinya, seseorang yang lebih kuat, lebih pintar, memiliki
leadership dapat menjadi pemimpin bagi seseorang yang lemah

Muhammadiyah di Ujung Barat: 121
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)”

secara fisik dan mental. Sebab itu, dari sisi semantik ayat tersebut
tidak menunjukkan pada jenis kelamin tertentu untuk menjadi
pemimpin dan pengayom bagi yang lain, tapi lebih menekankan
pada dominasi sifat.

Sedangkan hadits relevan yang menarik dikaji dalam topik
kepemimpinan perempuan adalah sebuah hadist dari Abi Bakrah,
bahwa Nabi Saw bersabda tentang negeri Persia yang dipimpin oleh
putri Kisra, “Tidak beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan
kepada perempuan” (HR. Bukhari). Semantik dalam hadits tersebut
menunjukkan pada jenis kelamin perempuan (mar’ah). Sehingga
hadits ini menjadi pelegalan pengharaman kepemimpinan
perempuan bagi kutub pemikiran kedua di atas. Padahal sebab
muncul hadist (asbabul wurud) di atas tentang pelarangan putri
Kisra menjadi raja saat itu, disebabkan oleh ketidakmampuan putri
Kisra dalam memimpin, bukan persoalan jenis kelamin.

Demokrasi

Hematnya, pelarangan terhadap kepemimpinan perempuan
(top leader) merupakan ketidakmampuan dan kekakuan dalam
memahami elastisitas (murunah) teks-teks agama, serta kekeliruan
pemaknaan kepemimpinan dalam sistem demokrasi. Pada sisi lain,
saat ini diperbolehkannya kepemimpinan perempuan terkadang
lebih bersifat liberal, hingga menyangkut persoalan-persoalan
ibadah mahdah, semisal penggugatan agar perempuan boleh
jadi khatib, boleh jadi imam shalat jumat, boleh adzan dan lain
sebagainya.

Perlu dicermati bahwa dalam sistem demokrasi (konteks
Indonesia) tidak ada satupun pucuk pimpinan di setiap lembaga
baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang memiliki wewenang
dan kekuasaan penuh, absolut, dan mutlak dalam memutuskan

122 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)” |

semua hal. Masing-masing lembaga kekuasaan memiliki segmentasi
tersendiri dan saling berkorelasi. Karena itu, kepemimpinan dalam
sistem demokrasi pada semua tingkatan kekuasaan baik pusat,
daerah, maupun Kabupaten/Kota, lebih bersifat kolektif, bukan
diktator.

Artinya, tidak ada pucuk pimpinan tertinggi dalam sistem
demokrasi, yang ada pucuk pimpinan tertinggi di lembaga masing-
masing. Semisal Presiden adalah pimpinan tertinggi pada lembaga
eksekutif, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah
pimpinan tertinggi pada lembaga legislatif. Karena itu, kedua
lembaga tersebut juga memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi)
masing-masing. Namun juga memiliki korelasi antar-lembaga
untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu, kurang tepat melarang kepemimpinan
perempuan baik di lembaga eksekutif (semisal melalui Pilkada
maupun Pilpres), legislatif (melalui Pileg), maupun yudikatif
hanya dengan argument, tidak boleh kekuasaan tertinggi (top
leader/diktator) diserahkan kepada perempuan. Sebab dalam
sistem demokrasi di Indonesia tidak ada kekuasaan tertinggi
secara absolut. Karenanya, dalam konteks Pilkada, perempuan
juga berhak mendapatkan kesempatan untuk berkompetisi meraih
jabatan tertinggi di lembaga eksekutif baik untuk menjadi wali
kota, bupati, gubernur, bahkan presiden sekalipun selama memiliki
kemampuan memimpin.

Muhammadiyah di Ujung Barat: 123
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)”

124 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)” |

Mencari Sang
“Pemimpi(n)”

Potret
sebuah
Kepemimpinan

Muhammadiyah di Ujung Barat: 125
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)”

Daud Beureueh:
Bapak Kesadaran Aceh3

Muhammad Alkaf

o

Daud Beureueh adalah kepada siapa tokoh Aceh di awal abad
ke 20 belajar dan menunjukkan rasa kesetiannya. Mulai dari Husin
Al-Mujahid, M. Ali Piyeung, Ali Hasjmy, Ayah Gani hingga para
pelajar di Normal Islam Institute, Bireuen.

Hasan Saleh, misalnya, memiliki rasa hormat yang besar
kepada gurunya di Madrasah Sa’adah Abadiah Sigli itu. “Indonesia
tidak akan merdeka kalau tidak ada Daud Beureueh,” katanya
lugas. Betapapun diantara keduanya memiliki pandangan politik
yang berbeda tajam. Hasan Saleh tidak sendiri dalam memberi
pemaknaan kepada Daud Beureuh. Peneliti asal Amerika, Boyd R.
Comton bahkan memberikan penjelasan yang lebih bertenaga lagi
tentang tokoh utama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) itu.
Menurut Compton, Daud Beureuh itu adalah Singa Aceh.

Daud Beureueh lahir dan tumbuh di saat Aceh berada dalam
pendudukan Belanda. Dia dapat dikatakan, melihat secara langsung
kedukaan yang mendalam dari orang Aceh karena hal tersebut.

3 Serambi Indonesia, 22/6/2012.

126 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)” |

Sebuah suasana kebatinan yang oleh Ibrahim Alfian digambarkan
sebagai “kehancuran, depresi dan sakit mental” (Reid, 2012). Lahir
dalam kondisi demikian, maka Daud Beureueh, tentu bersama
angkatannya, bangkit untuk kembali membangun Aceh yang
sudah porak poranda itu. Untuk mendorong agendanya tersebut,
maka Daud Beureueh-pun, menggunakan istilah dari Fachry Ali,
“meminjam tangan dari luar.”

Yang dimaksud “meminjam tangan dari luar” adalah gagasan
pembaharuan dari gerakan Islam modernis, hal yang telah terlebih
dahulu berkembang di kawasan lainnya di Indonesia yakni Sumatera
Barat dan Yogyakarta. Perjumpaan Daud Beureueh dengan gagasan
pembaharuan itu sebenarnya menarik. Daud Beureueh, juga tokoh
lain seperti A. Wahab Seulimeum dan Syeikh Ibrahim Lamnga,
tidak mendapatkan pendidikan modern secara langsung. Namun
mereka mampu menangkap setiap dentuman dari semangat
kemodernan itu, lalu menjadikannya sebagai inspirasi dan corak
berfikirnya pula.

Compton sendiri menyaksikan, sampai dua dekade setelah
Daud Beureueh menggerakkan pembaruan Islam di Aceh, dia
masih saja tegak berdiri di atas rel-nya itu. “Daud Beureuh berbicara
dengan gelora dan kesungguhan tentang perlunya pembaharuan,”
kata Compton.

Gagasan modernisme Islam yang didorong oleh Daud
Beureueh, harus dipahami dalam konteks kesejarahan paska
selesainya Perang Kolonial dengan Belanda. Dimana, dalam
formasi dari Paul Van’t Veer, perang tersebut berlangsung tanpa
henti, dari tahun 1873 ke tahun 1942. Sehingga dapat dikatakan,
gerakan modernisme Islam di Aceh, sungguh berbeda dengan
daerah lainnya, yang memiliki pengalaman serupa. Modernisme
Islam di Aceh berkelindan dengan gerakan politik, yang kemudian
berujung kepada pembebasan dari jeratan praktik kolonialisme

Muhammadiyah di Ujung Barat: 127
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)”

dan imperiarialisme bangsa asing. Jadi tentu saja, kita tidak dapat
membayangkan bagaimana nasib Aceh, apabila generasi Daud
Beureueh tidak mengapresiasi kehadiran modernisme Islam kala
itu.

Secara konseptual, dan begitu pula praktiknya di Aceh,
gagasan modernisme Islam adalah sebuah bangunan utuh tentang
Islam dari berbagai aspek kehidupan. Yang kemudian diterjemahkan
dalam dua aspek sekaligus; individu dan sosial politik. Secara
individu, dibangunlah sebuah gugusan keberagamaan yang
menekankan perlunya pemurnian tauhid dari jebakan takhayul
dan khurafat. Lalu, diikuti pula dengan pembersihan ibadah yang
dipenuhi praktik bid’ah.

Kemudian, konsekuensi logis dari permunian tauhid itu
adalah pembebasan secara sosial dan politik. Dari situlah kemudian
Daud Beureueh memimpin sebuah gerakan zaman baru di Aceh
melalui organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Hal
pertama yang dilakukannya adalah mendorong cara berfikir yang
berkemajuan melalui pendirian madrasah-madrasah, sebagai
bentuk modernisasi dunia pendidikan di Aceh. Atas usahanya
tersebut, yang dianggap sebagai membebaskan Aceh dari zaman
kegelapan, maka Daud Beureueh diberi gelar sebagai “Bapak
Kesadaran Aceh” (Sulaiman, 1997).

Kepercayaan Daud Beureueh terhadap Islam, yang
didapatkannya dari semangat kemodernan itu digambarkan
dengan apik oleh seorang intelektuil soliter di Aceh. Baginya, Daud
Beureueh adalah orang yang percaya ke “dalam,” yaitu Islam,
sebagai jawaban untuk membangun Aceh yang lebih baik.

Maka dari itu, sampai akhir perjuangan Darul Islam, ia masih
percaya dengan kekuatan Islam, sebagai basis kesadaran bagi
manusia Aceh. Hal itu ditunjukkan melalui apa yang disebutnya

128 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)” |

sebagai, Tuntutan Dasar Muqaddimah Pelaksanaan Unsur-unsur
Syariat Islam. Pokok-pokok pikiran yang ditulisnya pada tanggal 9
April 1962 itu, memiliki gagasan dasar tentang falsafah kehidupan
manusia Aceh, yaitu, ketika Daud Beureuh memberi penekanan
dengan kalimat sebagai berikut: “Ketahuilah wahai rakjat Atjeh jang
terjinta, bahwa Sjari’at Islam tjukup luas sempurna dan hidup, mentjukupi
segala bidang hidup dan kehidupan manusia.”

Oleh karena itu, dapat dikatakan, bahwa Daud Beureuh
sebagai peletak dasar Aceh zaman modern. Tentu, dengan setiap
gagasan dan pergerakannya yang selalu saja menjadikan Islam
sebagai sandaran utama.{-}

Muhammadiyah di Ujung Barat: 129
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)”

Kabinet Terakhir
Doto Zaini4

Mashudi SR

o

Babak baru politik terjadi di Aceh, setelah Gubernur dr. Zaini
Abdullah secara mendadak melantik pejabat baru di lingkungan
Pemerintahan Aceh, paska Pilkada 2017 silam. Kebijakan yang
oleh banyak kalangan dinilai kontroversial karena tidak memiliki
pijakan hukum yang kuat, membuat turbulensi politik paska
pilkada kembali terjadi. Sejumlah pejabat yang diganti menyoal dan
melakukan perlawanan. Sementara pejabat baru tidak bisa berbuat.
Meskipun Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, membenarkan
langkah Zaini, tetapi surat Dirjen Otonomi Daerah yang meminta
Gubernur meninjau ulang keputusan yang dikeluarkan sejak 10
Maret lalu itu masih belum dicabut.

Langkah ‘Doto Zaini’ atau ‘Abu Doto’ (begitu dr Zaini
Abdullah sering disapa) membongkar-pasang “kabinet” usai
pelaksanaan pilkada itu, didasari karena ada beberapa kebijakan
yang dilakukan para pembantunya selama ia menjalani cuti
sebagai petahana yang dianggap merugikan dan menimbulkan

4 Serambi Indonesia, 17/4/2017.

130 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)” |

persoalan. Misalnya penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
di Lhokseumawe, SOTK dan melambatnya realisasi anggaran.
Semua ini dianggap menggangu rencana pembangunan Aceh dan
performa dirinya sebagai Kepala Daerah.

Namun demikian, tidak sedikit yang berpendapat pergantian
jabatan tersebut sarat dengan muatan politik. Doto Zaini dianggap
sedang melakukan “bersih-bersih” terhadap para pembantunya
yang dinilai tidak netral, mempunyai loyalitas ganda atau bahkan
tidak loyal sama sekali pada Pilkada lalu. Sebagai seorang petahana,
Doto Zaini tentu punya banyak informasi terhadap kawan dan
lawan politik, termasuk di tubuh birokrasi yang ia nakhodai.

Pergantian pejabat dalam jabatan Pimpinan Tinggi Pratama
(Eselon II) di lingkungan Pemerintah Daerah merupakan hal
yang lumrah. Seorang Kepala Daerah diberi kewenangan untuk
melakukannya kapan saja, sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dalam sistem pemilihan kepada daerah secaralangsung,keleluasaan
seperti ini sangat membantu Kepala Daerah terpilih merealisasikan
visi, misi, program, dan janji politik yang telah disampaikan. Ia
bisa memastikan pejabat yang dipilih dan diangkat dalam jabatan
tertentu, mempunyai kecakapan, integritas, dan loyalitas.

Doto Zaini sendiri, sejak menjabat sebagai Gubernur,
sudah melakukan pergantian anggota kabinetya lebih kurang 8
kali. Selama itu pula tidak banyak hambatan teknis-yuridis yang
dialami. Semua berjalan lancar dan pejabat baru yang diangkat bisa
bekerja tanpa ada keraguan apapun terkait status hukum posisi
yang diemban. Rintangan yang muncul lebih bersifat politis, baik
dari legislatif sebagai mitra kerja, maupun sekondannya, Wakil
Gubernur Muzakkir Manaf. Termasuk sinisme publik. Semua
gangguan politik itu telah dihitung dampaknya bagi Pemerintahan
yang ia pimpin.

Muhammadiyah di Ujung Barat: 131
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)”

Tetapi tidak untuk perombakan yang baru dilakukan setelah
dirinya mengikuti kontestasi kepala daerah pada medio Februari
lalu. Kali ini, kebijakan bekas Menteri Kesehatan kelompok GAM
ini justru menuai badai perlawanan dari sejumlah pejabat daerah
yang ia non-job-kan. Legislatif Aceh pun segendang sepenarian dengan
sikap yang dipertontonkan pegawai negeri sipil itu. Lewat ketua
dan beberapa anggotanya, Dewan meminta gubernur membatalkan
pengangkatan pejabat baru karena menyalahi prosedur hukum.
Mereka tidak mengakui dan berkenan menerima pejabat baru yang
baru dilantik tersebut untuk melakukan rapat membahas sejumlah
persoalan anggaran dan pembangunan. Bahkan anggota yang mulia
ini melakukan langkah politik lebih jauh dengan menggunakan
“Hak Menyatakan Pendapat” terhadap kebijakan mutasi yang
dilakukan Gubernur Zaini.

Yang dirugikan dari kebijakan tidak populer dan jauh dari
sikap profesional seorang pemimpin itu, tentu saja masyarakat.
Layanan publik tidak berfungsi, roda birokrasi tersendat,
pelaksanaan program terhenti. Hak dan kepentingan masyarakat
disandera oleh sikap politik yang tidak mendidik. Para pihak, atas
nama kekuasaan dan harga diri, membangun tembok pertahanan
tanpa memperhitungkan dampaknya bagi masyarakat yang konon
sering kali mereka atas namakan.

Para birokrat yang diberi jabatan baru itupun sesungguhnya
juga “dirugikan”. Hanya saja, kerugian ini bisa dihindari dari
awal, jika ada kemauan dan keberanian untuk menolaknya. Bagi
seorang birokrat pada tingkat eselon tinggi, pengetahuan tentang
syarat wajib yang harus dipenuhi untuk melakukan rotasi, mutasi
dan sebagainya oleh seorang pimpinan, sudah sangat memadai.
Berbekal pengetahuan dan jam terbang tinggi itulah, sikap
menerima atau menolak bisa diambil-lakukan.

Karena itu, di tengah ketidakpastian yang terjadi, para pejabat

132 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)” |

baru itu tidak ubahnya seperti “Bika,” yang merasakan panas
dari atas dan bawah. Bika, adalah salah satu jenis kue tradisional
dari Minang, terbuat dari campuran tepung, sagu dan beberapa
bumbu lain. Kue ini dimasak dengan cara meletakkan bara api di
bawah dan di atas sebuah wadah yang di dalamnya telah berisi
adonan. Melalui cara ini, hasil yang diperoleh sangat bagus, karena
pembakarannya merata.

Begitulah, nasih para pejabat eselon dua yang baru itu. Disetrum
dari semua sisi. Diam saja tanpa menjalankan kewenangan baru,
bisa “dijewer” oleh Abu Doto. Sementara jika bekerja sebagaimana
layaknya seorang kepala dinas, berhadapan dengan penolakan
dewan. Pada akhirnya, semua serba “mengantung,” tidak ada
kepastian, termasuk nasib mereka sendiri setelah sutradara utama
berganti, ketika pelantikan gubernur baru dilakukan.

Kebijakan Abu Doto yang merombak susunan kabinet di
penghujung masa jabatan, memang sangat tidak strategis. Idealnya
ia bisa mempertahankan formasi kabinet itu sebagai kabinetnya
yang terakhir, sambil memastikan mereka tetap bekerja untuk
menyukseskan sisa program kerja yang telah disusun. Andai
memang ada diantara mereka yang “nakal,” bermain politik
ketika Pilkada berlangsung. Tentu ada mekanisme lain yang bisa
ditempuh untuk diberikan punishment. Sebagai orang politik yang
kaya pengalaman menghadapi situasi pelik, pilihan Abu Doto
merombak kabinetnya di masa “injuriy-time” sangat disayangkan.

Hematnya, Abu Doto tidak bisa memanfaatkan waktu
yang tersisa untuk memperbaiki berbagai kelemahan selama
menjadi orang nomor satu di Aceh. Semestinya, Zaini Abdullah
cukup melakukan aktivitas pemerintahan yang ringan-ringan
saja, sambil mempersiapkan proses transisi kekuasaan kepada
pemimpin yang baru. Syukur jika ada semacam progress report yang
disisipi dengan rekomendasi berupa gagasan yang proresif untuk

Muhammadiyah di Ujung Barat: 133
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda

| Bagian 3: Mencari Sang “Pemimpi(n)”

dititipkan kepada gubernur baru agar diakomodir dalam program
kebijakan pemerintahan baru. Ibarat pesawat yang akan mendarat,
semestinya Doto Zaini mengupayakan berlangsung mulus, tanpa
mengalami guncangan yang berarti. Sayangnya langkah politik
“Sang Gubernur” dengan merombak kabinet terakhirnya telah
menjadi “palu godam” politik yang menghancurkan semua capaian
yang berhasil diraih selama pemerintahannya. {-}

134 Muhammadiyah di Ujung Barat:
Sumbangsih Pemikiran Angkatan Muda


Click to View FlipBook Version