The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Rezim Gender Muhammadiyah Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi by Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by masjiddarussalam18, 2022-03-18 03:27:17

Rezim Gender Muhammadiyah Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi by Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. (z-lib.org)

Rezim Gender Muhammadiyah Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi by Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. (z-lib.org)

mengalami marginalisasi pada masa Soekarno. Sebagian lain seperti
Soedarnoto menyikapinya sebagai posisi dilematis sehingga Muhamma-
diyah bersikap pragmatis kader-kadernya masuk lingkaran birokrasi
Orde Baru dengan justifikasi ‘dakwah bil hikmah’ 64

Pragmatisme ini masih menyisakan sikap kritis Muhammadiyah
terhadap masalah-masalah non-politis seperti masalah tenaga kerja wanita
(TKW) ke luar negeri. Muhammadiyah mendesak pemerintah meng-
hentikan secara bertahap pengiriman TKW karena diklasifikasikan se-
bagai perjalanan tidak aman.65 Berbeda dengan Muhammadiyah, ‘Aisyiyah
hanya mendesak pemerintah memperketat dan mengintensifkan pe-
ngawasannya.66

Dalam masalah lain, Muhammadiyah cenderung merujuk pada
keputusan dan rekomendasi ‘Aisyiyah, termasuk penggantian tema
‘keluarga dan masyarakat sejahtera’ pada 1960-1970 menjadi “Keluarga
Sakinah”. Keluarga sakinah dijabarkan dalam sebuah buku yang berisi
tuntunan yang dimaksudkan sebagai benteng dengan peningkatan
pembinaan wanita dalam urusan keluarga dan anak.67 Di samping misi
internal organisasi, tuntunan Keluarga Sakinah dapat dikatakan sebagai
respons akomodatif Muhammadiyah terhadap ideologisasi gender Orde
Baru yang berorientasi pada domestifikasi perempuan di balik Program
Kesejahteraan keluarga (PKK).

Karakter dasar perempuan Muhammadiyah sebagai mitra setara
laki-laki tecermin dalam desakan ‘Aisyiyah tentang keikutsertaan perem-
puan dalam Majelis Tarjih. Desakan ini dapat dikatakan langkah maju

64SudarnotoAbdul Hakim, “Dimensi Kultural dan Politik Muhammadiyah”,
dalam Nur Achmad dan Pramono U. Tanthowi, Muhammadiyah Digugat…..,
hlm. 85-86.

65Ibid., hlm. 316.
66Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tanfidz Keputusan Muktamar ‘Aisyiyah ke-41,
7-11 Desember 1985 di Surakarta, hlm. 15-17.
67Ibid., hlm. 354.

180 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

‘Aisyiyah mengintegrasikan masalah-masalah perempuan dalam majelis
yang berwenang menetapkan fatwa dan keputusan resmi. Secara eksternal,
‘Aisyiyah mendesak pemerintah agar memperbanyak pengangkatan
hakim wanita pada Pengadilan Agama sebagai upaya melindungi perem-
puan dan anak dalam proses peradilan. Namun, ada pula putusan yang
bersifat restriktif, misalnya, peninjauan kembali olahraga yang tidak
sesuai dengan kepribadian wanita Indonesia seperti tinju dan sepak bola,
memisahkan kolam renang laki-laki dan perempuan serta mengharuskan
perempuan menutup tubuhnya dari dada sampai paha.68

Pada Muktamar ke-42 1990 Muhammadiyah meminta pemerintah
mengizinkan siswi sekolah negeri menggunakan busana muslimah.69
‘Aisyiyah juga menghimbau agar Muhammadiyah membuat instruksi
penggunaan busana muslimah di lembaga-lembaga pendidikannya.70
Perlu dilakukan kajian lebih jauh mengapa busana muslimah yang se-
belumnya hanya berlaku pada madrasah Mualimat dan madrasah juga
diwajibkan bagi murid SMP dan SMA Muhammadiyah. Instruksi ini
meningkatkan status kerudung yang sebelumnya sebatas himbauan
menjadi aturan resmi.71

8. Periode 1990-2000: Progresivitas dan Pencerahan
Awal 1990 Muhammadiyah menunjukkan karakter yang lebih

dinamis karena masuknya para intelektual kritis lulusan universitas
Barat. Periode ini ditengarai sebagai pergeseran dari pendekatan Syari’ah
menuju pendekatan akademis kontekstual. Pada periode ini pula

68Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tanfidz Keputusan Multamar ‘Aisyiyah ke- 41
di Surakarta, 7-11 Desember 1985, hlm. 17.

69Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Keputusan Muktamar Muhamma-
diyah ke-42, 15-19 Desember 1990 di Yogyakarta”, dalam 95 Langkah Perjuangan,
hlm. 328.

70Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tanfidz Keputusan Muktamar ‘Aisyiyah ke-42,
15-19 Desember 1990 diYogyakarta, hlm. 11.

71Lihat Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia….., hlm. 82.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 181

Muhammadiyah memasuki babak kepemimpinan baru dari kalangan
ulama menjadi kepemimpinan intelektual dengan terpilihnya Amien Rais
sebagai ketua umum pada 1995. Pengurus pimpinan pusat didominasi
oleh lulusan doktor dari negara-negara Barat seperti Amien Rais, Syafi’i
Maarif, Yahya Muhaimin, Watik Pratiknya. Demikian pula Amin Abdullah
dan Munir Mulkhan muncul sebagai ikon progresivitas Muhammadiyah
pada masa itu.

Pergeseran kepemimpinan di atas kian memperluas cakupan respons
dan keputusan Muhammadiyah terhadap isu-isu global tentang keadilan,
HAM, Hak pekerja, konglomerasi, hak konsumen, isu kewanitaan, good
governance, dan isu lingkungan hidup. Organisasi ini juga melakukan
reorientasi strategi gerakan menghadapi globalisasi, humanisme-sekuler,
di satu sisi, dan fundamentalisme, mahdiisme, tradisionalisme, di sisi
yang lain. Pendek kata, Muhammadiyah mencoba untuk melakukan reo-
rientasi sosok manusia modern yang islami.72 Di sisi lain, keputusan-
keputusan ‘Aisyiyah juga menampakkan cakupan yang lebih luas,
termasuk desakan pada Badan Sensor Film untuk mencegah potensi yang
merusak nilai-nilai bangsa dan agama. ‘Aisyiyah juga merumuskan stra-
tegi antisipasi pengaruh aliran ekstremisme yang bertentangan dengan
ajaran Islam, pembinaan terhadap wanita tunasusila, pencegahan HIV/
AIDS dan TWK. Bahkan, baru pertama kali ‘Aisyiyah mendesakkan reko-
mendasi yang bersifat internasional yang mendorong pemerintah meng-
ambil bagian bagi terwujudnya kemerdekaan dan perdamaian di Palestina,
Bosnia, Kenya, Afganistan, dan Kashmir. Namun, beberapa rekomendasi
tersebut tidak secara aktual masuk dalam program kerja yang akan di-
rancang pada periode 1990-1995.73

72Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Keputusan Muktamar Muhamma-
diyah ke-43, 6-10 Juli 1995 di Banda Aceh”, dalam 95 Langkah Perjuangan (tt),
hlm. 442.

73Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tanfidz Keputusan Muktamar ‘Aisyiyah ke-43,
6-10 Juli 1995, hlm. 36-37.

182 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

Pada muktamar ini tercatat babak baru status ‘Aisyiyah yang sebelum-
nya merupakan organisasi otonom umum menjadi organisasi ‘otonom
khusus’. Penegasan status otonomi umum dan otonomi khusus terdapat
pada bagian enam—dalam buku ini—tentang organisasi otonom dalam
perubahan Anggaran dasar Muhammadiyah yang ditetapkan pada
muktamar ini.74 Keterangan lebih rinci terdapat pada Anggaran Rumah
Tangga pasal 20 yang menyatakan bahwa organisasi otonom khusus
dapat mengelola amal usaha secara mandiri meski tidak secara spesifik
mengacu pada status ‘Aisyiyah.75

Muhammadiyah mulai mengakomodir desakan ‘Aisyiyah dan Na-
syiatul ‘Aisyiyah tentang keterlibatan perempuan dalam kepengurusan
pimpinan pusat. Keputusan Tanwir di Denpasar pada 2002 mencatat
sejarah baru dengan menyetujui keikutsertaan perempuan dalam
pimpinan Muhammadiyah dan lembaga-lembaga permusyawaratan
Muhammadiyah, diusulkan agar ketua ‘Aisyiyah secara ex officio atau salah
satu anggota PP A’isyiyah menjadi anggota ketua PP Muhammadiyah.76

Persetujuan mengenai keikutsertaan perempuan menjadi agenda
Tanwir Mataram pada 2004 meski pada akhirnya terhenti di muktamar
ke-45 karena dibatalkan oleh forum muktamar. Pembatalan ini merupa-
kan langkah mundur karena pada muktamar ke-36 1965 telah ada dua
perempuan yaitu Baroroh Baried dan Aisyah Bilal yang tercatat sebagai
anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965-1968.77 Terdapat
beberapa versi tentang alasan pembatalan tersebut yang akan dibahas
pada bagian keenam.

74Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Keputusan Muktamar Muhammadi-
yah ke-44, 8-11 Juli 2000 di Jakarta”, dalam 95 Langkah Perjuangan (tt), hlm. 490.

75Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Keputusan Muktamar Muhamma-
diyah ke-45, 3-8 Juli 2005 di Malang”, Ibid., hlm. 581.

76Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Keikutsertaan Perempuan Dalam Pim-
pinan dan Permusyawaratan (Konsep Rumusan Dalam ART Muhammadiyah), Tanwir
Muhammadiyah di Makassar, 26-29 Juni 2003, hlm. 2.

77Ibid., hlm 177.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 183

Menurut pengamatan Mulkhan, meski persetujuan keterlibatan
perempuan disetujui pada Muktamar ke-45 2005, namun ada kelompok
yang menolak keterlibatan tersebut dengan dalih yang berbeda. Ia
menjelaskan:

Ada yang bilang: “kan sudah ada ‘Aisyiyah?” ada juga yang mengatakan
bahwa kepemimpinan itu tanggung jawab laki-laki. Intinya mereka tidak
setuju ada perempuan di Muhammadiyah.78
Kelompok ini cenderung bersifat tekstualis-konservatif dan mulai
melakukan aktivitas counter-discourse dengan kelompok progresif. Kelom-
pok ini secara mengejutkan mampu menguasai forum Muktamar ke-45
di Malang pada 2005.79
Namun demikian, tampaknya konservatisme ini tidak sepenuhnya
anti-perempuan. ‘Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah‘ disah-
kan yang lebih komprehensif dan responsif terhadap kondisi perempuan
dengan ungkapan yang simpatik dan realistis:

Kondisi perempuan di hampir semua struktur dan sektor kehidupan yang
masih tertinggal padahal mereka menempati sekitar 51% dari jumlah
penduduk Indonesia, sehingga makin kuat tuntutan-tuntutan untuk mem-
perdayakan kaum perempuan secara lebih berkeadilan dan bermartabat.80

Masalah keluarga dijabarkan secara lebih integratif dan seimbang
secara gender karena tidak secara spefisik diarahkan pada perempuan.
Ungkapan yang digunakan adalah kewajiban setiap anggota Muhamma-
diyah untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah, mawadah
wa rahmah yang dikenal dengan keluarga sakinah. Meski masih ber-
nuansa ‘superior’ dan implisit, untuk pertama kalinya peran laki-laki
diketengahkan dalam fungsi keluarga dengan ungkapan: “keluarga-

78Wawancara dengan Abdul Munir Mulkhan di Yogyakarta, 18 Februari
2010.

79Muktamar ini akan dibahas lebih lanjut pada periode 2000-2010.
80Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Keputusan Muktamar Muhamma-
diyah ke-44, 8-11 Juli 2000 di Jakarta”, 95 Langkah Perjuangan (tt), hlm. 463.

184 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

keluarga di lingkungan Muhammadiyah dituntut keteladanannya untuk
menunjuk penghormatan dan perlakuannya yang ihsan terhadap anak-
anak dan perempuan serta menjauhkan diri dari praktik kekerasan dan
menelantarkan kehidupan terhadap anggota keluarga.”81

9. Periode 2000-2010: Kebangkitan Revivalisme

Periode ini memuat keputusan muktamar ke-45 yang dilaksanakan
di Malang sementara muktamar ke-46 2010 sedang dalam persiapan yang
akan dilaksanakan pada Juli. Jika muktamar ke-44 dapat dipandang se-
bagai ‘keterbukaan’ Muhammadiyah terhadap isu-isu strategis dengan
paradigma yang akomodatif kritis, muktamar ke-45 dipandang sebalik-
nya karena Muhammadiyah menunjukkan kecenderungan lebih konser-
vatif dan tekstualis. Anggapan tersebut bukan saja dilontarkan oleh pihak
luar, namun juga disadari oleh pimpinan pusat dan bahkan secara eksplisit
tertulis pada keputusan muktamar pada Bagian Tiga tentang konteks
Muhammadiyah berikut ini:

Di samping itu, banyak kalangan menganggap bahwa salafisme Muhamma-
diyah sekarang ini memiliki kecenderungan konservatif (dalam pemahaman
keagamaan) dan fundamentalis (dalam sikap politik). Kecenderungan ini
menyebabkan Muhammadiyah tidak lagi responsif terhadap perkembangan
pemikiran keislaman yang bersifat aktual dan kontekstual, serta terjebak
pada aktivisme yang ‘sempit’ dalam kancah politik di Indonesia dewasa
ini.82

Banyak kalangan, termasuk Mulkhan dan Nashir membenarkan ada-
nya sinyalemen di atas. Mulkhan menjelaskan:

Orang mungkin melihat dari hilangnya nama-nama yang dikategorikan
progresif atau liberal seperti Syafi’i Maarif, Amin Abdullah dan Dawam

81Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Keputusan Muktamar Muhamma-
diyah ke-44, 8-11 Juli 2000 di Jakarta”, hlm. 499-500.

82Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Keputusan Muktamar Muhamma-
diyah ke-45, 3-8 Juli 2005 di Malang”, 95 Langkah Perjuangan Muhammadiyah
(tt), hlm. 536.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 185

Raharjo dan masuknya orang-orang seperti Muhammad Muqodas, Yunahar
Ilyas, Dahlan Rais dan orang-orang yang se-tipe tekstualis di majelis-majelis.
Lalu orang menyimpulkan adanya kecenderungan konservatisme Muhamma-
diyah di muktamar Malang.83

Kecenderungan konservatisme tampak dalam muktamar ke-44 yang
berisi respons negatif dan pesimistis terhadap demokrasi, liberalisme,
sekularisme serta fundamentalisme, radikalisme, dan tradisionalisme.84

Muktamar ke-45, 2005 di Malang merupakan puncak dominasi ke-
lompok yang digolongkan tektualis-konservatif. Menguatnya kelompok
ini sudah mulai dirasakan pada Tanwir 2002 di Denpasar dan Tanwir
2004 di Mataram tentang polemik keikutsertaan perempuan dalam pim-
pinan dan permusyawaratan Muhammadiyah. Puncaknya pada muktamar
ke-45 yang menganulir keikutsertaan perempuan dalam struktur Mu-
hammadiyah.

Sholeh menjelaskan proses pembatalan keterwakilan perempuan
dalam muktamar sebagai berikut:

Memang agak berbeda ya, antara pengurus di tingkat pusat dengan wilayah
apalagi daerah. Kalau saya melihat itu hanya masalah teknis saja. Tetapi
banyak utusan dari wilayah yang melihat itu secara normatif sebagai ikhtilath.
Secara organisatoris mereka juga berpendapat, ‘kan sudah ada ‘Aisyiyah untuk
perempuan mengapa harus juga ada di Muhammadiyah. Jadi beragam ya,
pandangannya. Tetapi yang dominan pada waktu itu ya, pembatalan itu.85

Demikian pula pembatasan partisipasi perempuan yang tercantum
dalam Bagian Tujuh tentang “Perempuan dalam Muhammadiyah yang
berbunyi: “Agar keberadaan anggota Muhammadiyah perempuan dalam
struktur kepemimpinan organisasi Muhammadiyah hanya sebagai anggota
pleno yang secara ex-officio diduduki oleh ketua ‘Aisyiyah”.86 Sangat ironis

83Wawancara dengan Abdul Munir Mulkhan, 18 Maret 2010.
84Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Keputusan Muktamar Muhamma-
diyah ke-45, 3-8 Juli 2005 di Malang”, 95 Langkah Perjuangan Muhammadiyah
(tt), hlm. 533-534.
85Wawancara dengan Rosyad Sholeh, Pengurus Pimpinan Pusat Mu-
hammadiyah, di Yogyakarta, 22 Maret 2010.

186 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

bahwa perjuangan terhadap keikutsertaan perempuan dalam pimpinan
Muhammadiyah sama sekali tidak disinggung dalam Muktamar ‘Aisyiyah,
termasuk tanggapan keputusan Muhammadiyah tentang pembatalan
di atas yang tidak masuk dalam latar belakang dan pertimbangan
‘Aisyiyah. Setidaknya memuat usulan dan tanggapan terhadap upaya
perjuangan mereka pada sidang Tanwir Muhammadiyah.87

Sikap pasif ‘Aisyiyah terhadap masalah kepemimpinan perempuan
secara internal tidak menghalangi sikap progresivitasnya pada isu-isu
strategis gender eksternal. Untuk pertama kalinya dalam dokumen resmi
‘Aisyiyah istilah gender digunakan. Demikian pula masalah perlindungan
anak, kekerasan dalam rumah tangga dan traffciking in women telah men-
jadi perhatiannya. Adalah suatu kejanggalan bahwa Pengarusutamaan
Gender (PUG) yang telah diputuskan dalam Inpres No. 9. 2000 yang men-
jadi payung bagi penanganan masalah-masalah di atas justru tidak
disinggung sama sekali dalam dokumen tersebut.

C. Gender dalam Doktrin-Doktrin Muhammadiyah
Untuk mendapatkan gambaran secara utuh, doktrin-doktrin gender

akan dibahas dari berbagai tuntunan resmi Muhammadiyah. Dalam per-
kembangannya, Muhammadiyah telah menerbitkan tiga buku tuntunan
dan satu draf tuntunan yang dihasilkan dalam musyawarah nasional
(munas) Majelis Tarjih 2010.88 Tuntunan-tuntunan tersebut adalah:

86Ibid., hlm. 524.
87Secara harfiah tanwir adalah pencerahan namun secara organisatoris
tanwir dimaksudkan sebagai sidang atau pertemuan tahunan yang membahas
berbagai masalah dan keputusan yang akan diajukan pada muktamar yang
dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
88Draf tersebut berjudul ‘Fiqh Perempuan dalam Perspektif Muhamma-
diyah’ dalam proses revisi dari berbagai masukan dalam Musyawarah Nasio-
nal ke-27 Majelis Tarjih Muhammadiyah menjelang Muktamar ke-46 di Malang
pada 1-4 April 2010.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 187

1. Toentoenan Mentjapai Istri Islam Jang Berarti: Priayinisasi
Santri Kota
Materi buku ini merupakan hasil Kongres Muhammadiyah dan

‘Aisyiyah ke-26, 1937 di Yogyakarta. Buku ini diterbitkan dan disahkan
pada 1939 oleh ‘Aisyiyah setelah mendapat pengesahan dari Majelis
Tarjih.89 Secara fisik buku ini disajikan secara sederhana sebagai buku
pedoman. Tema-tema yang ada diberi penjelasan seperlunya dan diberi
justifikasi ayat-ayat dan hadis-hadis yang sebagian disebutkan perawinya
dan sebagian tidak.

Sesuai dengan judulnya, buku ini memuat sentralitas perempuan
ibu sebagai berikut:

Selalu mengharap-harap dan mengaduh pada kaum ibunja, seraja berkata:
“tidaklah bunda dapat melahirkan putera dan puteri jang baik-baik lagi
pandai, ‘alim, teguh dan tahan udji lahir dan batinnya?”. 90

Sentralitas keibuan ini turut menegaskan perbedaan orientasi yang
memunculkan benih-benih perbedaan antara ‘Aisyiyah dengan gerakan
perempuan independen pada masa itu.91 Perbedaan tersebut dapat di-
lihat dari ungkapan bahwa, “Ibu tidak silau kepada gerakan-gerakan lain
yang dikatakan lebih tertarik oleh kemadjuan luaran, lalu menundjukkan
langkahnja ke sana djuga hingga kalut keadaannja”.92

Selanjutnya, buku ini menekankan pandangan bahwa laki-laki dan
perempuan adalah hamba Allah yang memiliki tugas sebagai khalifah
di bumi dan melakukan fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam ke-

89‘Aisyiyah menjadi badan otonom dari Muhammadiyah pada 1950,
Pengantar Toentoenan Mentjapai Istri Islam Jang Berarti (Pusat Pimpinan ‘Aisyiyah,
Yogyakarta), 1956, hlm. 8.

90Ibid., hlm. 6.
91Atashendartini Koesoema Oetoyo Bahsyah, dalam Susan Blackburn,
“Kata Pengantar”, Kongres Perempuan pertama: tinjauan Ulang, Jakarta: Yayasan
Obor-KITLV, 2007, hlm. xiv.
92Ibid., hlm. 9.

188 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

baikan). Tugas kekhalifahan ini pada umumnya dipahami sebagai peran
sosial dan publik yang setara antara laki-laki dan perempuan.93 Kesetaraan
tidak berlaku pada masalah keluarga karena perbedaan peran laki-laki
dan perempuan adalah perbedaan kodrati. Seperti umumnya doktrin-
doktrin perempuan pada kitab-kitab klasik, masalah keluarga lebih
menekankan peran instrumental perempuan. Peran tersebut dibedakan
menjadi dua, yaitu kewajiban umum yang mencakup ketaatan pada Allah,
kewajiban-kewajiban yang disyariatkan Islam, mencari ilmu yang
bermanfaat dan mengutamakan tugas-tugas kerumahtanggaan sesuai
fitrah dan kodratnya. Sedangkan kewajiban khusus adalah berbakti pada
suami, tidak meninggalkan rumah tanpa seizin suami, selalu menyenang-
kan suami dengan menjaga diri dan penampilan serta mengasuh dan
mendidik anak-anak.94

Jika dikaitkan dengan konteks sosial pada saat buku tersebut
diterbitkan dapat diasumsikan bahwa: pertama, laki-laki digambarkan
sebagai ‘omnipresent’ yang mengatasi wacana. Buku ini lebih merefleksi-
kan sosok perempuan ndoro dan priayi dengan kategori norma keluarga
owner property dan head complement. Tidak tampak sosok perempuan
Kauman yang aktif dan berkontribusi ekonomis, tidak saja pada keluarga
namun juga pada pembiayaan Muhammadiyah seperti yang dilakukan
oleh Siti Walidah atau lebih dikenal dengan sebutan Nyai Dahlan. Meski
tidak sekuat sosok mbokmase di Laweyan, perempuan Muhammadiyah
bukan perempuan pasif, terdomestikasi dan canggung dengan berbagai
aturan khalwat dan mahram. Dalam istilah Kuntowijoyo, buku ini disusun

93Lihat Anggaran Dasar Muhammadiyah yang disahkan pada Muktamar
ke-31 1950 yang menyebutkan bahwa anggota Muhammadiyah adalah laki-
laki dan perempuan. Pada pasal 6 pengurus besar yang kemudian diganti
dengan istilah pimpinan pusat tidak secara spesifik mengharuskan laki-laki
sebagai anggotanya. “Keputusan Muktamar ke-31, 21-26 Desember 1950 di
Yogyakarta, 95 Langkah Perjuangan Muhammadiyah (tt), hlm. 121.

94Pimpinan Pusat Moehammadjijah, 1934, Toentoenan Mentjapai Istri Jang
Berarti (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Moehammadijah, 1956).

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 189

dengan ‘tidak sadar konteks’ karena tidak menggambarkan semangat
Pembaruan yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah pada waktu itu.95 Cukup
mengherankan karena buku tuntunan bernuansa konservatif ini justru
terbit setelah ‘Aisyiyah berusia lebih dari 20 yang menunjukkan gerakan
sosial yang progresif.

Kedua, adanya kesenjangan antara teks dan konteks yang disebabkan
oleh sakralisasi khazanah keislaman secara berlebihan, terutama pada
aspek yang terkait dengan perempuan. Buku ini tidak memberikan
gambaran Muhammadiyah sebagai gerakan reformis karena kental
dengan nuansa fikih klasik. Berbeda dengan pendekatan progresif dalam
berbagai aspek sosial, pada masalah perempuan tampak ada keengganan
untuk menggeser landasan normatif klasik. Ilyas menjelaskan bahwa
boleh jadi sakralisasi teks tersebut dimaksudkan menghindari dosa yang
bertumpuk:

Ketakutan mengubah teks, karena kultur kita mensakralkan teks. Jangan
melakukan dosa yang bertumpuk, sudah jelas apa yang dipraktikkan tidak
sesuai teks masak teksnya juga akan diubah, itulah yang dianggap dosa
yang bertumpuk.96

Ketiga, jika dibandingkan dengan buku-buku tentang perempuan
dimasanya, baik yang bernuansa Islam maupun yang bercorak budaya
Jawa, buku tuntunan ini dapat dikategorikan moderat. Misalnya, kitab
Uqqud al-Lujain fi Huqquq az Zaujain yang ditulis oleh Imam Nawawi al-
Bantani yang lahir di Banten pada abad ke-18. Buku yang memuat relasi
suami dan istri lebih banyak menempatkan perempuan pada posisi objek
seksual suaminya.97 Menurut Bisri, banyak kiai pesantren yang tidak

95Kuntowijoyo, “Arah Pengembangan Organisasi Wanita Arah Pengem-
bangan Organisasi Wanita Islam Indonesia” ..., hlm. 131.

96 Wawancara dengan Hamim Ilyas, anggota Majelis Tarjih bidang Fatwa,
di UIN Sunan Kalijaga pada 18 Februari 2010.

97Uqud al-Lujain fi Huqquq az-Zaujain diterjemahkan dan ditelaah kritis
oleh Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) dan diberi judul Wajah Baru Relasi
Suami-Istri; Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn (Yogyakarta: FK3 dan LKiS, 2001.

190 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

begitu sreg (nyaman) dengan buku ini meski ditulis oleh seorang ulama
yang sangat dihormati. Oleh sebab itu, buku ini tidak menjadi buku utama
melainkan buku suplemen yang dibaca untuk pasanan (masa puasa) di
Ramadan, khususnya bagi santri putri.98 Buku ini juga lebih moderat
jika dibandingkan dengan ajaran-ajaran Jawa tentang perempuan submisif
dalam Serat Condrorini, Serat Piwulang Istri dan yang sejenisnya.99

2. Adabul Mar’ah fil Islam: Respons Kebijakan Peran Ganda
Wanita
Selama 40 sejak diterbitkan pada 1934, buku Toentoenan Mentjapai

Istri Islam Jang Berarti menjadi landasan normatif tentang gender sampai
buku kedua diterbitkan pada 1975. Apabila dilihat dari terbit, buku tun-
tunan ini muncul seiring dengan makin meningkatnya partisipasi publik
dalam proses modernisasi yang dicanangkan Orde Baru. Secara politis,
1975 adalah “dekade perempuan” yang dideklarasikan oleh PBB dengan
mendorong partisipasi publik perempuan dalam pembangunan.100

Buku ini disusun tidak terlalu sistematis. Bab pertama memuat tentang
pergaulan di dalam rumah tangga yang bersifat normatif yang diadopsi
dari buku pertama. Sedangkan aspek sosial atau disebut pergaulan
masyarakat lebih bersifat teknis yang dimulai dari pergaulan masa sekolah
berisi akhlak dalam Islam. Sedangkan Bab 2 sampai Bab 9 disusun secara
tematis mencakup masalah berpakaian menurut Islam, arak-arakan,
pawai dan demonstrasi, wanita dan kesenian, wanita dan ilmu penge-
tahuan, wanita dan jihad, wanita Islam dalam politik.101 Rupanya tema-

98Mustofa Bisri, “Ini ‘Uqud al-Lujjayn Baru-Ini Baru Uqud al-Lujjayn;
Kata pengantar”, Ibid., hlm. ix.

99Sri Huhanjati, Perempuan dan Seksualitas..., hlm. 49.
100Mely G. Tan,”Wanita Indonesia: Menuju Cakrawala Baru?”, dalam
Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru: Pilihan Artikel Prisma, Liza Hadiz (ed.)
(Jakarta: LP3ES, 2004), hlm. 7.
101Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Adabul Mar’ah Fil Islam (Yogyakarta:
PP Muhammadiyah, 1972).

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 191

tema tersebut merupakan kompilasi dari rubrik Majelis Tarjih yang
dimuat dalam Suara Muhammadiyah sejak 1929 sampai 1974.102

Wacana pembuka buku ini menegaskan perbedaan fisik dan psikis
laki-laki dan perempuan secara oposisi biner seperti kuat dan lemah,
halus dan kasar, teliti dan tegas agar saling melengkapi. Pada masalah
pergaulan dalam rumah tangga, buku ini masih mengadopsi buku pertama
yang menekankan kewajiban utama istri untuk taat, patuh dan hormat
pada suami tanpa ada tuntunan sebaliknya bahwa suami juga harus
menghormati istrinya. Istri juga wajib berbakti pada mertua melebihi
bakti pada suami’.103 Pada aspek pergaulan masyarakat dapat dikatakan
seimbang antara laki-laki dan perempuan kecuali penekanan pada masa-
lah busana perempuan yang diharuskan menutup aurat meski masih
boleh mengikuti mode dan model yang aktual. Kaum wanita dianjurkan
tidak menggunakan perhiasan, berhias dan memakai wewangian yang
berlebihan karena dapat menimbulkan fitnah dan dosa.104

Bab berikutnya memuat tuntunan tentang wanita dan ilmu pe-
ngetahuan, dengan pandangan positif seperti kewajiban laki-laki dan
perempuan mencari ilmu dan berjihad demi kebaikan dan perannya se-
bagai khalifah di muka bumi. Berjihad yang dimaksudkan adalah
berdakwah dan bertabligh membela kepentingan Islam dengan tenaga,
pikiran, harta, dan benda.105 Pandangan yang sangat progresif juga tam-
pak pada kebolehan perempuan bekerja di luar rumah sebagai hakim,
direktur, lurah, camat, menteri, walikota, bupati sebagai bagian dari
khalifah di muka bumi.106

102Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih
(Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1974).

103Ibid., hlm. 7-15.
104Ibid., hlm. 36-37.
105Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Adabul Mar’ah Fil Islam….., hlm. 42.
106Ibid., hlm. 46-51.

192 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

Pandangan ini berbeda dengan kitab-kitab Fiqh klasik yang me-
larang perempuan menjadi pemimpin yang didasarkan pada ayat al-
Qur’an surat an-’arrijalu qowwamu-na ‘ala an-nisa’ dan hadis Abu Bakrah
bahwa: “tidak akan beruntung golongan orang yang menyerahkan
kekuasaan pada seorang perempuan”. Pada umumnya ayat itu dipahami
bahwa laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan. Namun Majelis
Tarjih tidak memaknai ‘qawwamu-na dengan pengertian laki-laki sebagai
pemimpin kaum perempuan melainkan laki-laki (suami) sebagai pe-
negak atau penanggung jawab urusan perempuan. Mengenai hadis Abu
Bakrah yang digunakan sebagai landasan teologis, Majelis Tarjih me-
mutuskan bahwa dari keseluruhan narasinya menunjukkan ‘ungkapan
sementara’ pada masa itu atau dikategorikan sebagai hadis kondisional.107
Yang tidak dibahas dalam bab ini adalah perempuan menjadi kepala
negara. Menurut Anwar, ketua Majelis Tarjih 2005-2010 masalah presiden
perempuan masih ‘mauquf’ (ditangguhkan):

Masalah perempuan menjadi presiden masih maukuf atau ditangguhkan
karena ada beberapa orang yang belum setuju.Tetapi keputusan tarjih harus
bulat tidak boleh voting, harus semua setuju. Jika ada satu orang saja yang
tidak setuju maka harus ‘maukuf’ atau ditangguhkan keputusannya.108

Keputusan tentang presiden atau kepala negara perempuan baru
diputuskan secara bulat pada Musyawarah Nasional Majelis Tarjih 2010
di Malang sebagai persiapan Muktamar 1 abad pada 2010. Keputusan ini
merupakan langkah besar Muhammadiyah memasuki milenium kedua.

Meski buku kedua dimaksudkan untuk menyempurnakan buku
sebelumnya, namun basis ideologi gendernya belum bergeser secara

107Syamsul Anwar, “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam: Menggali
Perspektif Syar’i dalam Tarjih Muhammadiyah”, dalam Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Wacana Fiqih Perempuan
Dalam Perspektif Muhammadiyah (Yogyakarta: Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
dan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 2005), hlm. 51.

108Wawancara dengan Syamsul Anwar, ketua Majelis Tarjih Pimpinan
Pusat Muhammadiyah 2005-2010 di Yogyakarta, 26 Maret 2010.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 193

substantif menuju kesetaraan gender. Profesi-profesi modern di atas
hanya sebatas perluasan dari peran ekonomis dan sosial perempuan di
masa lalu. Oleh sebab itu, perluasan peran perempuan tidak secara
signifikan mengubah status perempuan dalam ideologi gender senior-
junior partnership. Kondisi ini sesuai dengan telaah Syahrir bahwa
meningkatnya partisipasi publik perempuan belum sepenuhnya
meningkatkan status sosialnya. Pergeseran peran publik yang masih
terbatas pada masalah kodrati tanpa diikuti oleh perubahan pola relasi
pada ranah domestik. Akibatnya, perempuan justru harus menanggung
’beban ganda’.109

3. Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah: Hegemoni Rezim Gender
Orde Baru
Buku Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah disusun dan diterbitkan

pada 1989 oleh ‘Aisyiyah sebagai suplemen buku sebelumnya.110 Jika
diasumsikan bahwa perubahan berjalan secara linier seharusnya buku
ini lebih mendekatkan Muhammadiyah pada wacana kesetaraan gender
kontemporer. Namun pada kenyataannya, buku ini justru menunjukkan
kemunduran (setback) dari buku sebelumnya. Kemunduran tersebut dapat
diamati pada: pertama, kecenderungan dari publikisasi ke domestifikasi.
Buku Adabul mar’ah fil Islam lebih memberi spirit ‘publikisasi’ perempuan
dari domestifikasi buku sebelumnya. Sebaliknya, buku Tuntunan Menuju
Keluarga Sakinah justru mendomestifikasi perempuan yang telah ter’pu-
blikisasi’ dari buku sebelumnya. Alih-alih menyelesaikan masalah beban-
ganda dengan mengatur pola relasi suami-istri yang mencerminkan ke-
mitrasetaraan, buku ini justru menafikan peran publik perempuan.

Tidak berlebihan jika buku ini dimaksudkan sebagai justifikasi
teologis dari ideologi gender Orde Baru dengan Panca Tugas Wanita

109Kartini Syahrir, “Wanita: Beberapa Catatan Antropologis” dalam Liza
Hadi (ed,), Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru….., hlm. 80.

194 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

dalam GBHN 1984 yang instrumental menggambarkan perempuan
sebagai:

a. pendamping suami yang setia.
b. pendidik generasi penerus bangsa.
c. pelaksana tugas-tugas rumah tangga.
d. pencari nafkah tambahan.
e. anggota masyarakat. 111

Demikian pula ilustrasi-ilustrasi di dalamnya yang menggambarkan
norma keluarga kecil versi Orde Baru, terdiri dari suami-istri dengan dua
anak, laki-laki dan perempuan yang sehat dan terawat. Sentralitas peran
perempuan sebagai ibu rumah tangga merupakan bentuk depolitisasi
perempuan yang mendapatkan kritik dari Liza Hadiz, Saparinah Sadli,
Kartini Syahrir, Julia Suryakusuma, Maria Pakpahan, Mely G. Tan yang
mengamati dampak ambivalensi ideologi gender Orde Baru terhadap
perempuan dalam pembangunan.112

Dari segi istilah yang digunakan, buku ini tampak lebih netral gender.
Laki-laki dihadirkan secara fisik dan visual dalam pembahasan hak dan
kewajiban sebagai suami dan ayah.113 Namun jika dicermati lebih saksama,
laki-laki tetap diposisikan secara superior atas perempuan. Posisi asime-
tris ini tampak pada status laki-laki dalam pengambilan keputusan dan
kewajiban dalam keluarga. Suami hanya memiliki dua kewajiban ter-
hadap istri dengan uraian setengah halaman.114 Bandingkan dengan
kewajiban istri terhadap suami yang mencapai enam bagian dalam empat
halaman uraian.115

110Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah (Yogya-
karta: Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, 1989), hlm. ii.

111Lihat Norma Sullivan, “Gender and Politics In Indonesia”, dalam Maila
Steven (ed), Why Gender Matters in Southeast Asian Politics….., hlm. 63.

112Tulisan mereka terdapat dalam buku Liza Hadiz, Perempuan dalam
Wacana Politik Orde Baru…...

113Ibid., hlm. 47.
114Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah….., hlm. 16.
115Ibid., hlm. 17-22.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 195

Kewajiban suami bersifat superior seperti menjadi pemimpin keluarga
dan mencari nafkah utama, sedangkan peran-peran istri lebih subordinat,
karikatif, dan instrumental. Seperti mengulang buku pertama yang
menekankan kepatuhan istri tanpa timbal balik kewajiban suami.116 Peran
instrumental perempuan diilustrasikan sebagai berikut:

Mengatur rumah tangga, bersolek, dan berhias untuk suaminya, mengasuh
dan mendidik anak merupakan ‘perangkat lunak’ yang harus dimiliki oleh
istri.
Menjadikan rumah tangga sebagai tempat istirahat yang nyaman, penginap-
an yang indah, rumah makan yang lezat, dan tempat pendidikan yang
utama.
Bersolek dan berhias hanya dilakukan untuk kepentingan suaminya.117

Tuntutan berlaku sopan, hormat dan menghargai, menghibur dan
menolong bahkan meminta maaf tidak ditujukan pada suami terhadap
istrinya. Jika dirujukkan pada hadis Rasulullah, sesungguhnya kewajiban
tersebut berlaku pada suami dan istri. Bahkan, Rasulullah lebih menda-
hulukan kewajiban pada dirinya daripada kepada istrinya seperti dalam
hadis: “aku ingin berdandan sebagaimana istriku menginginkannya dan
aku ingin istriku berdandan seperti yang kuinginkan”.118 Masih banyak
teladan dari Rasulullah yang sesungguhnya lebih mencerminkan kemi-
traan yang tidak digunakan dalam menyusun buku tuntunan ini.

Kuntowijoyo menengarai bias eliteis kelas menengah (priayi) kota
dalam penyusunan buku ini dengan gambaran karier suami/ayah yang
mapan, seorang ibu rumah tangga berkecukupan yang tidak perlu be-
kerja. Keluarga ini memiliki mushala, kamar anak-anak yang terpisah.119
Ia mengkritik bahwa, “Apakah memang Muhammadiyah sungguh-
sungguh tahu akan basis sosialnya—termasuk mobilitas vertikal dan

116Ibid., hlm. 18.
117Ibid., hlm. 19.
118Masdar Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh
Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 119.
119 Kuntowijoyo, Arah Pengembangan Organisasi Wanita Islam….., hlm. 133.

196 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

horizontal anggotanya”.120 Pada kenyataannya, sebagian besar perempu-
an Muhammadiyah dan anggota ‘Aisyiyah adalah perempuan aktif, baik
sebagai guru, pegawai, pedagang atau wiraswasta lainnya. Lebih lanjut
dikatakan bahwa Muhammadiyah seperti ‘tidak sadar konteks’ dalam
menyusun buku ini.121

4. Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan
Korban Kekerasan Demi Keadilan: Dari Domestik Menuju Isu
Strategis
Berbeda dengan ketiga buku di atas yang bernuansa ajaran-ajaran

normatif, buku ini disusun secara lebih diskursif dengan beberapa
perdebatan di dalamnya. Buku ini dapat dikatakan sebagai langkah awal
Muhammadiyah menuju gerakan isu strategis gender seperti kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) yang asing di kalangan Muhammadiyah.
Buku ini dimaksudkan untuk merentas kesenjangan antara pemahaman
pemuka agama dan para pendamping kasus kekerasan dalam rumah
tangga, demikian pula buku ini mengungkap pengalaman hidup per-
empuan yang tidak tercakup dalam tafsir-tafsir keagamaan klasik karena
dominasi perspektif laki-laki. Oleh sebab itu, buku ini mendorong dialog
intensif guna mengubah paradigma penafsiran guna mengakomodir
pengalaman hidup perempuan serta memunculkan teologi baru tentang
tubuh perempuan, konsep kodrat, kesucian, perempuan sebagai anak,
istri, kepala rumah tangga dan aspek lainnya. ‘Aisyiyah merespons secara
saksama isu kekerasan terhadap perempuan sebagai bentuk ketidak-
adilan yang tidak dibenarkan oleh Islam 122

120Ibid.
121Lihat Bab 2 halaman 53 tentang pendapat Hidayat Gunadi dan Deni
Muliya Barus, “Jatuh Bangun Gairah Bisnis Kauman”, Gatra, 2006, hlm. 15-16.
122Neng Dara Affi’ah, “Meneruskan Ulang Keadilan: Mendengar Suara
Perempuan Korban Sebagai Basis Teologi” dalam penutup buku, Pimpinan
Pusat ‘Aisyiyah dan Komnas perempuan, Memecah Kebisuan….., hlm. 173.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 197

Siti Chamamah menegaskan bahwa ‘Aisyiyah memiliki komitmen
terhadap tiga hal yaitu: perlunya pengembangan tafsir agama, advokasi,
dan perlindungan hukum untuk menghadapi kekerasan.123 Aspek ini
menjadikannya lebih komprehensif jika dibandingkan buku-buku yang
pernah diterbitkan oleh ‘Aisyiyah, tidak hanya masalah keadilan gender
sebagai isu moralitas publik tetapi mencakup isu kontroversial tentang
perkosaan terhadap istri. Meski tidak dijabarkan secara eksplisit, ‘Aisyiyah
menerima bahwa pemaksaan hubungan dan pemaksaan selera seksual
suami terhadap istri dipandang sebagai bentuk perkosaan.124.

Pergeseran menuju isu-isu strategis ini semakin kuat dengan
bergabungnya ‘Aisyiyah secara intensif dalam program-program Komisi
Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) dan keterlibatannya dengan
isu strategis lain seperti isu perdagangan perempuan, kesehatan
reproduksi dan HIV/AIDS. Keterlibatan dalam isu-isu strategis tersebut
diindikasikan dari beberapa buku panduan seperti kesehatan reproduksi
perempuan, pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang
diterbitkan oleh Majelis Kesehatan dan Lingkungan Hidup ‘Aisyiyah
pada 2007.125 Keterlibatan mampu menggeser asumsi Rahayu tentang
‘Aisyiyah yang dikategorikan sebagai organisasi istri seperti KOWANI,
Badan Koordinator Organisasi Wanita (BKOW) dan organisasi keistrian
lainnya.126 Menurut Siti Chamamah, ‘Aisyiyah semakin berjarak dengan
organisasi tersebut sejak masa reformasi karena dominasi organisasi
keistrian seperti Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan organisasi sejenis

123Siti Chamamah Suratno, ‘Kata Sambutan Ketua Umum Pimpinan Pusat
‘Aisyiyah’, Ibid. hlm. 15.

124Ibid., hlm. 77.
125Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Panduan Program Penguatan Hak Kesehatan
Reproduksi Perempuan dalam Perspektif Islam (Jakarta: Majelis Kesehatan dan
Lingkungan Hidup, 2007).
126Ruth Indiyah Rahayu, “Politik Gender Orde Baru: Tinjauan Organisasi
Sejak 1980-an” dalam Liza Hadiz (ed.), Perempuan dalam Wacana Politik Orde
Baru….., hlm. 440-441.

198 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

yang dianggap sudah tidak sejalan dengan arah gerakan organisasi
perempuan kontemporer.127

5. Fiqh Perempuan Perspektif Muhammadiyah: Melintas Zaman
Kesetaraan
Buku keempat ini sedang dalam proses revisi pasca musyawarah

nasional Majelis Tarjih menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-46, 2010.
Tema buku ini masih menjadi perdebatan apakah menggunakan istilah
fiqh (fikih) atau tuntunan? Sebagian besar peserta cenderung memilih
tuntunan karena lebih sesuai dengan karakter Muhammadiyah sebagai
organisasi modern yang tidak bermadzhab Fiqh. Para peserta perempuan
mengusulkan tema yang lebih mencakup laki-laki dan perempuan de-
ngan judul relasi laki-laki dan perempuan dalam pandangan Muhamma-
diyah. Judul relasi gender dalam Muhammadiyah ditolak karena mem-
pertimbangkan perdebatan yang tidak substantif jika kata gender
digunakan.128

Secara umum, buku ini menggambarkan pergeseran peran instru-
mental dari Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah yang banyak mendapat-
kan kritik dari kalangan generasi muda menuju penguatan peran yang
lebih substantif dan setara. Meski judul buku ini terkesan konservatif
seperti halnya buku adabul mar’ah fil Islam namun secara keseluruhan
mencerminkan pandangan yang progresif. Dalam draf buku ini dibahas
beberapa masalah yang selama seratus tahun tidak terbahaskan seperti

127Pandangan tersebut disampaikan Siti Chamamah pada acara pengajian
Ramadhan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dengan tema Keputusan MUI tentang
Infotainment’ di kantor Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah di Yogyakarta pada 20
Agustus 2010.

128Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Draft Materi Fiqh Perempuan Dalam
Perspektif Muhammadiyah, dibahas dalam Musyawarah Nasional Majelis Tarjih
ke-27 di Malang, 1-4 April 2010. Lebih rinci mengenai hal di atas, lihat bagian
enam dalam buku ini.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 199

imam shalat, penetapan presiden perempuan, poligami, pencatatan per-
kawinan dan usia nikah.

Masalah imam shalat perempuan bagi jama’ah laki-laki merupakan
isu paling serius dan menimbulkan perdebatan sangat tajam antara ke-
lompok yang melarang dan yang membolehkannya. Perdebatan tersebut
berakhir dengan kompromi dari kedua kelompok di atas dengan rumusan
keputusan yang disepakati yaitu ‘hukum umum imam shalat adalah laki-
laki. Dalam keadaan tertentu perempuan boleh menjadi imam shalat
bagi laki-laki dewasa’.129 Di samping itu, musyawarah ini juga menetap-
kan kebolehan perempuan sebagai presiden yang telah seratus berstatus
mauquf (ditangguhkan). Hampir semua peserta menyetujui kecuali dua
utusan dari wilayah Sumatera Barat dan Wilayah Sulawesi Selatan yang
menyatakan keberatan. Namun, pada akhirnya mereka dapat menerima
setelah mendengarkan argumentasi dari beberapa peserta lain, termasuk
ketua Majelis Tarjih.130 Masalah lain yang cukup fenomenal adalah ke-
putusan mengenai poligami yang meski tidak dilarang, namun Mu-
hammadiyah secara resmi menyatakan menganut norma keluarga mono-
gami yang dipandang lebih mampu menciptakan keluarga sakinah. Ilyas
menegaskan bahwa Muhammadiyah, terutama pengurus dari pimpinan
pusat sampai tingkat ranting harus memberikan teladan untuk tidak ber-
poligami. Ia berpendapat bahwa Muhammadiyah dapat saja membuat
peraturan bahwa pengurus yang berpoligami harus berhenti, namun ia
merekomendasi masalah ini perlu dikaji dalam forum yang lebih luas.131

Usia nikah juga menjadi keputusan krusial yang menandai langkah
maju Muhammadiyah yang menetapkannya pada usia 18 yang disesuai-
kan dengan Undang-Undang perlindungan Anak di Indonesia. Demikian

129Ibid.
130Observasi partisipatif Musyawah Nasional Majelis Tarjih PP Muhamma-
diyah ke-27 di Malang, 1-4 April 2010.
131Komentar Yunahar Ilyas, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
2005-2010 dalam musyawarah yang sama.

200 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

pula sikap Muhammadiyah terhadap pencatatan nikah yang dimasukkan
dalam syarat sahnya perkawinan secara kumulatif.132

Aspek krusial yang terlewatkan dalam pembahasan tersebut adalah
masalah relasi gender dalam keluarga yang selama ini menjadi legitimasi
rezim gender senior-junior partnership di Muhammadiyah. Bertahannya
pola relasi ini juga berdampak pula pada posisi karier istri yang masih
diikat dengan berbagai persyaratan seperti kepantasan perempuan
berkarier dan bertujuan membantu suami memenuhi kebutuhan ke-
luarga.133 Menurut Gunawan ada dua hal yang menjadikan masalah ini
terlewatkan untuk dibahas yaitu: pertama, kendala waktu yang terfokus
pada masalah iman shalat sehingga masalah-masalah lain tidak
mendapatkan waktu. Kedua, forum sangat terfokus pada masalah yang
sangat sensitif, yaitu perempuan menjadi imam shalat dan presiden.134

Terlewatnya pembatasan pola relasi keluarga ini dapat dijelaskan
sebagai aspek yang ‘tidak diprioritaskan’ yang menurut Berger dan
Abercrombie merupakan bentuk dari kesadaran atau dalam bahasa
Denzau dan North disebut bagian dari bentuk mentalitas (mental-
model).135 Keterlewatan ini dapat diindikasikan sebagai kesadaran kolek-
tif yang memandang masalah relasi senior-junior partnership sebagai suatu
norma autentik dalam Muhammadiyah. Namun Gunawan menegaskan
bahwa keterlewatan ini merupakan masalah teknis semata dan akan dire-
visi dalam sidang rutin Majelis Tarjih yang telah diagendakan pada 2011. Ia
menjelaskan:

Memang perlu disesuaikan dengan keputusan imam shalat yang selama
ini menjadi landasan relasi keluarga yang asimetris. Kita akan coba ubah

132Tiem perumus Fiqh Perempuan Dalam Perspektif Muhammadiyah dalam
musyawarah yang sama.

133Wawancara dengan Wawan Gunawan, ketua Devisi keluarga Majelis
Tarjih PP Muhammadiyah di Yogyakarta, 20 April 2011.

134Ibid.
135Arthur T. Denzau dan Douglass C. North, Shared Mental-model: Ideologi
and Institutions….., hlm. 2.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 201

melalui forum rutin Majelis Tarjih. ‘Aisyiyah juga sudah mencoba mengubah
pola relasi tersebut menjadi lebih bersifat kemitrasetaraan ketika membahas
rekomendasi Hukum Material tentang Perkawinan.136

Keinginan menggeser pola relasi keluarga yang lebih setara sudah
mulai dibahas di kalangan elite ‘Aisyiyah, tetapi belum sepenuhnya ter-
akomodir secara sistematis dalam modul pelatihan Keluarga Sakinah
yang diterbitkan menjelang muktamar 2010. Aspek yang ditekankan lebih
pada masalah teknik komunikasi efektif antara suami dan istri, bukan
pada perubahan substansinya. Topik baru yang ditambahkan adalah
masalah seksualitas dalam keluarga. Upaya tersebut sudah cukup maju
meskipun belum sepenuhnya dapat menepis subordinasi istri sebagai
istri. Dikatakan bahwa ‘pria membutuhkan seks, wanita membutuhkan
kemesraan yang merupakan prasyarat kepuasan pria. Setelah ditelusuri
lebih lanjut ternyata ungkapan tersebut bersumber dari makalah nara-
sumber yang dipandang ahli psikologi keluarga namun bukan anggota
‘Aisyiyah. Buku rujukan yang digunakan adalah buku populer yang
kurang ilmiah.137 Modul ini tampak dipersiapkan tergesa-gesa guna
mencapai target muktamar sebagaimana diakui oleh Qibtiyah bahwa
buku ini perlu penyempurnaan lebih lanjut.138

D. Refleksi Teoretis
Pembahasan dalam bagian ini memunculkan refleksi sebagai

berikut:

Pertama, bahwa ideologi gender yang tercakup dalam Anggaran
Dasar, keputusan muktamar dan doktrin-doktrin lainnya membentuk

136Wawancara dengan Wawan Gunawan, 4 Februari 2010.
137Salah satu buku rujukan dalam modul ini adalah Mars and Venus in the
Bedroom yang telah banyak dikritik oleh kalangan feminis sebagai bentuk
subordinasi perempuan. Majelis Tabligh PP ‘Aisyiyah, Modul Pelatihan Ke-
luarga Sakinah: membangun Pola Komunikasi yang Efektif dalam Keluarga (Yogya-
karta, PP ‘Aisyiyah, 2010), hlm. 90.
138Wawancara dengan Alimatul Qibtiyah di Yogyakarta, 19 Mei 2010.

202 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

rezim gender formal Muhammadiyah. Menurut Koehane, sumber-sumber
di atas sebagai persyaratan material suatu rezim. Pola relasi senior-junior
partnership komunitas Kauman menjadi acuan ideologi gender Mu-
hammadiyah yang terefleksi dalam sumber-sumber itu. Pola relasi ter-
sebut tetap bertahan dalam tarikan pendukung ideologi gender priayi
yang bernuansa head complement dan ideologi gender modern yang
bersifat equal partnership. Dinamika ini memunculkan dual reality di mana
pada realitas normatif ideologi gender Muhammadiyah merefleksikan
pandangan priayi head complement sedangkan pada realitas praksis
merefleksikan senior-junior partnership. Jika ditelaah dari doktrin-doktrin
yang tertulis, mengesankan ideologi gender konservatif. Namun jika
dilihat dari perkembangan wacana dan perilaku warga Muhammadiyah
akan lebih menggambarkan ideologi gender progresif. Namun fakta
tersebut belum merefleksikan kesetaraan gender yang dihendaki kalangan
feminis. Progresivitas tersebut belum mampu menggeser bias priayi
sebagai ‘mental-model’ Muhammadiyah. Perdebatan tentang kepala
keluarga dan imam shalat mengisyaratkan kecenderungan itu.

Kedua, terhentinya ideologi gender Muhammadiyah pada pola relasi
senior-junior partnership disebabkan tidak bergesernya realitas normatif
tentang kepemimpinan yang disandarkan pada superioritas imam shalat
laki-laki atas perempuan dan tidak sebaliknya. Namun, secara sosiologis
dapat dijelaskan bahwa bertahannya ideologi tersebut karena kuatnya
mental-model komunitas Kauman sebagai priayi-santri dalam struktur
dasar Muhammadiyah. Bertahannya ideologi tersebut selama seratus
membuktikan terjadinya proses priayinisasi yang kuat sehingga anggota
Muhammadiyah yang berasal dari varian Jawa lain atau budaya lain
seperti Minangkabau yang bersifat matrilineal terserap dalam ideologi
tersebut. Apakah pembolehan imam shalat perempuan bagi laki-laki,
meski terbatas sifatnya, pada Musyawarah Nasional Majelis Tarjih 2010
akan mampu menggeser rezim gender senior-junior partnership menjadi
equal partnership? Dibutuhkan penelitian lanjut untuk menemukan
jawabannya.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 203

Ketiga, meski bukan organisasi politis, dinamika ideologisasi gender
Muhammadiyah sangat terpengaruh oleh pergeseran sosio-politik dan
ekonomi di Indonesia, sejak masa kolonial, Jepang serta pasca ke-
merdekaan. Sebagaimana ditemukan pada bagian satu, pola hubungan
Muhammadiyah dengan pemerintah mengalami pasang surut namun
tidak pernah menimbulkan konfrontasi terbuka. Kebersesuaian kultural
antara Muhammadiyah dan arus utama politik Indonesia mampu
menjadi media konsiliatif bagi keduanya. Gender merupakan aspek
signifikan bagi proses rekonsiliasi tersebut seperti tercermin dalam
akomodasi ideologi gender Orde Baru dan pengarusutamaan gender
pada masa reformasi.

Keempat, rezim gender Muhammadiyah bersifat kontestatif antara
emansipatif dan restriktif. Aspek emansipatif sangat menonjol pada awal
berdirinya Muhammadiyah yang mengadopsi konsep emansipasi
kolonial yang dijustifikasi dengan ajaran-ajaran Islam yang relevan melalui
pendekatan rasional-modernis. Di samping sistem pendidikan yang
memicu ketegangan dengan kelompok Islam konservatif, isu perempuan
juga menimbulkan gejolak sosial di masanya, misalnya, kebolehan
perempuan mengajar kaum laki-laki, perempuan bepergian tanpa mahram
dan pendirian langgar esteri yang memberi otonomi spiritual bagi
perempuan dan aktivitas sosial yang seimbang. Keputusan Majelis Tarjih
2010 dapat dipandang sebagai proses emansipasi perempuan Mu-
hammadiyah melintasi milenium kedua. Sebaliknya, rezim itu juga me-
munculkan beberapa restriksi dan larangan seperti batasan aurat, se-
gregasi pendidikan, dan arak-arakan meski tidak secara konsisten di-
laksanakan. 

204 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

BAGIAN LIMA
INSTITUSIONALISASI GENDER

DALAM MUHAMMADIYAH

Bagian ini membahas proses institusionalisasi ideologi gender dalam

struktur organisasi atau lazim disebut Persyarikatan Muhammadiyah
yang disebut Denzau dan North sebagai ‘rule of game’ dari rezim yang
mengandung aturan-aturan formal dan informal dan tindakan-tindakan
relasi interpersonal.1 Proses institusionalisasi ini merupakan bentuk
pendekatan kognitif terhadap rezim gender sebagai manifestasi eksternal
mentalitas bersama (shared framework of a mental model) yang dapat diamati.
Institusionalisasi dalam perspektif ini lebih luas cakupannya dari
organisasi yang dimaknai sebagai sekumpulan orang yang bekerja sama
menuju tujuan yang sama.2 Institusionalisasi juga mencakup dinamika
diskursif yang memungkinkan pergeseran norma dan ideologi organisasi
tersebut. Pembahasan institusionalisai gender dalam Persyarikatan
Muhammadiyah mencakup aspek-aspek sebagai berikut:

A. Gender dalam Persyarikatan
Muhammadiyah merupakan organisasi dengan struktur kompleks,

yaitu struktur horizontal dan vertikal. Struktural vertikal berupa garis
kebijakan berjenjang mulai dari pusat, wilayah, daerah, cabang, dan
ranting di Indonesia dan negara lain seperti Malaysia, Mesir, dan

1Lihat bab pertama tentang Arthur Denzau dan Douglas C. North,
“Shared Mental Models: Ideologies and Institutions” …., hlm. 1-2.

2Ibid.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 205

Thailand. Sementara struktur horizontal terdiri dari organisasi patron
yaitu Muhammadiyah dengan organisasi otonom (ortom) di bawahnya
yaitu ‘Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah (PM), Nasyiatul ‘Aisyiyah
(NA), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Mahasiswa Mu-
hammadiyah (IMM), Hisbul Wathon (HW) dan Pencak Silat Tapak Suci
(PSTS). Pada masing-masing organisasi terdapat bagian-bagian yang
disebut majelis yang keberadaannya disesuaikan dengan kebutuhan
organisasi tersebut. Di samping ortom, Muhammadiyah memiliki lembaga
lain yang disebut biro yang keberadaannya hanya ada di Pimpinan Pusat
(PP) Muhammadiyah dan amal usaha (AU) yang pengelolaannya berada
pada otoritas Pimpinan Muhammadiyah dari mulai Pimpinan Pusat (PP),
Pimpinan Wilayah (PW) dan Pimpinan daerah (PD). Dalam perkem-
bangannya otoritas pengelolaan amal usaha secara terbatas diberikan
pada ‘Aisyiyah.3

Dalam Persyarikatan terdapat dua kategori ortom, biasa dan khusus.
Ortom umum adalah organisasi yang tidak seluruhnya anggota Mu-
hammadiyah karena belum mencapai usia tujuh belas tahun. Ortom ini
tidak diberi hak mengelola amal usaha. Sedangkan ortom khusus adalah
organisasi yang seluruh anggotanya telah disahkan sebagai anggota
Muhammadiyah serta diberi wewenang menyelenggarakan amal usaha.4

Dari aspek keanggotaan, anggaran dasar mencerminkan keanggotaan
inklusif gender yang menegaskan bahwa keanggotaan Muhammadiyah
terdiri dari laki-laki dan perempuan yang menyetujui maksud dan tujuan
Persyarikatan dan bersedia melaksanakan usaha-usaha Muhammadiyah.5
Struktur Persyarikatan ini terbentuk dalam dua aspek sebagai berikut:

3Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Keputusan Muktamar Muhamma-
diyah ke-45 tentang Anggaran Dasar Muhammadiyah”, 95 tahun Langkah
Perjuangan (tt), hlm. 561-571.

4Ibid, hlm. 581.
5Ibid, hlm. 573.

206 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

1. Hierarki Gender dan Usia

Keanggotaan di atas ditentukan oleh dua aspek fundamental terkait
usia dan gender. Aspek Usia menentukan status organisasi seperti ortom
umum dan ortom khusus sedangkan aspek gender menentukan ruang
organisasi. Beberapa ortom dibentuk berdasarkan segregasi gender per-
manen seperti Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, NA, dan PM. Sedangkan
pada IPM dan IMM gender merupakan pembeda yang bersifat relatif dan
keberadaan ranah perempuan menyatu dalam ortom tersebut, misalnya
Ikatan Pelajar Muhammadiyah Putri (IPMAWATI) dan Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMMAWATI).

Gender dan usia membentuk struktur sentralistik, segregatif, dan
hierarkis yang dipandang sebagai aspek natural meski sebenarnya me-
rupakan manifestasi mental-model yang bersifat intersubjektif. Richard
Fardon menjelaskan bahwa intersubjektivitas merupakan rangkaian
relasi kuasa yang muncul dari sistem pengetahuan dalam konsep
Mannheim, Peter Berger, dan Thomas Luckman.6 Segregasi dan hierarki
tersebut terkait dengan apa yang disebut oleh A. Giddens sebagai alokasi
otoritas.7 Apakah otoritas ini dikaitkan dengan alat-alat produksi (means
of production) dalam konsep Karl Marx atau didasarkan ada kehormatan
(social estimation of honor) dalam pandangan Max Weber, bagi Daphine
Spain, relasi sosial tetap saja menciptakan hierarki status gender karena
didistribusikan secara tidak merata pada suatu kolektivitas.8

Tampaknya, segregasi dan hierarki gender di Muhammadiyah tidak
ditentukan oleh kedua faktor di atas, namun lebih ditentukan oleh faktor
usia yang paralel dengan ideologi keluarga Muhammadiyah yang ber-

6Richard Fardon (ed.), Power and Knowledge: Antropological and Sociological
Approaches (Edinburgh: Scottish Academic Press, 1985), hlm.7.

7Anthony Giddens, Central Problems in Social Theory: Action, Structure and
Contradiction in Social Analysis (London: McMillan Press, 1979), hlm. 97.

8Daphine Spain, Gendered Space (USA: The University of North Caroline
Press, 1992), hlm. 16.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 207

sifat senior-junior partnership. Justifikasi dari tesis di atas adalah proses
penggabungan organisasi perempuan independen Sopo Tresno dalam
struktur Persyarikatan Muhammadiyah. Sebelum menjadi Persyarikatan,
Muhammadiyah yang berdiri pada 1912 merupakan wadah aktivitas
Ahmad Dahlan dan murid-muridnya yang berjenis kelamin laki-laki
sedangkan kaum perempuan diwadahi dalam organisasi perempuan
yang diberi nama Sopo Tresno (Siapa Sayang) yang didirikan pada 1914.9

Ada beberapa sumber yang berbeda mengenai perubahan di atas,
salah satunya adalah penelitian Deliar Noer yang menemukan ide original
Ahmad Dahlan dalam merintis organisasi perempuan independen
bersamaan dengan rintisan Muhammadiyah. Organisasi ini hanya me-
miliki hubungan personal dan kerja sama praktis dengan Muhammadiyah
dalam mendirikan berbagai lembaga sosial seperti rumah yatim piatu
dan lembaga pendidikan.10 Sopo Tresno tetap menjadi organisasi perem-
puan independen dengan aktivitas tabligh dan penguatan ekonomi
buruh perempuan sampai pada 1922 ketika secara resmi menjadi bagian
Muhammadiyah.

Sementara dalam penelitian Hayati ditemukan bahwa pada awalnya
Sopo Tresno merupakan suatu badan yang menjadi bagian Penolong
Kesengsaraan Oemoem (PKO) untuk menyantuni anak yatim piatu
perempuan.11 Tanggal peresmian ‘Aisyiyah adalah tanggal 27 Rajab 1335
atau 22 April 1917, tetapi tidak menjelaskan apakah bersamaan waktu
ketika dimasukkan dalam Persyarikatan Muhammadiyah.12 Menurut
buku resmi sejarah pertumbuhan dan perkembangan ‘Aisyiyah, Sopo

9Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan …., hlm. 126 dan hlm. 242.
10Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement …., hlm. 79.
11Informasi ini diperoleh dari salah satu pendiri ‘Aisyiyah yaitu Ibu Siti
Badilah Zubeir pada 1978 dalam Chusnul Hayati, Sejarah Perkembangan
‘Aisyiyah Tahun 1917-1975: Studi terhadap Organisasi Wanita Islam di Indonesia, tesis
Sarjana Muda, tidak diterbitkan (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1975),
hlm. 28.
12Ibid, hlm. 46.

208 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

Tresno dibentuk pada 1914. Atas saran Haji Mochtar diganti dengan
nama ‘Aisyiyah pada 19 Mei 1917 dan menjadi bagian dari Persyarikatan
Muhammadiyah.13

Meski terdapat versi yang berbeda tentang sejarah penggabungan
‘Aisyiyah dalam Persyarikatan Muhammadiyah tetap saja mengisyarat-
kan proses subordinasi struktural yang sejalan dengan ideologi senior-
junior partnership. Penggabungan tersebut meneguhkan status Mu-
hammadiyah sebagai organisasi patron dan ‘Aisyiyah sebagai organisasi
subordinat layaknya suami dan istri seperti ditegaskan oleh Baried dalam
salah satu wawancara yang dilakukan dengan van Dorn.14 Itulah sebab-
nya Ruth Indiyah Rahayu mengelompokkan ‘Aisyiyah dalam organisasi
istri otonom bersama organisasi keistrian subordinatif seperti Dharma
Wanita, Dharma Pertiwi, dan sejenisnya yang membedakannya dengan
organisasi independen seperti Lembaga Swadaya Masyarakat perempuan.15
Preseden historis dari pengelompokan tersebut adalah pemilihan nama
yang diidentikkan dengan istri Nabi Muhammad. Bandingkan dengan
nama yang dipilih oleh kelompok NU yang lebih netral yaitu Muslimat
meski status dan orientasinya tidak berbeda dengan ‘Aisyiyah sebagai
sayap perempuan organisasi laki-laki.16

Asumsi keistrian ‘Aisyiyah dibantah oleh Siti Chamamah dan
Noorjanah Djohantini dalam wawancara terpisah yang menegaskan
bahwa pemilihan nama ‘Aisyiyah lebih didasarkan pada figur ‘Aisyah

13Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan ‘Aisyiyah
(Yogyakarta: PP ‘Aisyiyah, tanpa tahun), hlm. 33.

14Baroroh Baried dalam Pieternella van Doorn-Harder, Women Shiping
Islam: Reading the Qur’an in Indonesia (Chicago: University of Illinois Press,
2006), hlm. 72.

15Lihat Ruth Indiyah Rahayu, “Politik Gender Orde Baru: Tinjauan
Organisasi Sejak 1980-an” dalam Liza Hadiz, Perempuan dalam Wacana Politik
Orde Baru (2004), hlm. 440-441.

16Jamhari dan Ismatu Ropi, Citra Perempuan dalam Islam: Pandangan Ormas
Keagamaan (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 19-20.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 209

sebagai representasi perempuan terpelajar, aktif dalam politik dan sosial.17
Patut dimafhumi jika referensi perempuan Islam hanya berkisar pada
para istri Nabi dan Fatimah karena terbatasnya figur-figur yang dinarasi-
kan dalam sejarah Islam. Pada mulanya, ada beberapa nama yang
diajukan sebagai pengganti nama Sopo Tresno yaitu Fatimah, Khodijah,
dan ‘Aisyah. Haji Muchtar mengusulkan nama ‘Aisyiyah dengan meng-
ambil teladan ‘Aisyah, istri Rasulullah yang cerdas, berilmu, dinamis,
dan pekerja keras mencari nafkah keluarga. Ia banyak membantu dakwah
Rasulullah dan bahkan ikut berperang.18 Menurut Kuntowijoyo, nama
Fatimah tidak dipilih karena kedekatannya dengan gerakan Syiah.19

Argumentasi para pengurus ‘Aisyiyah masih menyisakan celah
pertanyaan mengapa ‘Aisyah yang diambil. Bukankah Khadijah merupa-
kan istri yang sangat dihormati dan dicintai Rasulullah, bahkan berlanjut
sesudah beliau wafat. Karena tidak ada penjelasan historis yang memadai
mengenai pilihan Aisyah maka dapat direkonstruksi sebagai berikut:
pertama, pada masa itu idealisme perempuan modern adalah perempuan
terpelajar yang direpresentasikan oleh perempuan Eropa dan kalangan
priayi.20 Perempuan yang secara ekonomi mandiri seperti figur mbokmase
belum dikenal dalam diskursus feminisme Barat yang masih dini pada
masa itu. Kedua, fenomena mbokmase di Laweyan yang lebih dekat dengan
sosok Khadijah tidak ditemukan dalam komunitas Kauman yang berada
di lingkungan priayi-santri. Dalam penelitian gender di Laweyan, Susan
Brenner menemukan karakter matrimonial di mana para mbokmase adalah
pencari nafkah utama dan menjadi tumpuan hidup keluarga besarnya.21

17Wawancara dengan Siti Chamamah Suratno, Ketua umum Pimpinan
Pusat ‘Aisyiyah periode 2000-2010 dan wawancara dengan Noorjanah
Djohantini, Ketua umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah periode 2010-2015, 26
Februari 2010.

18Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya …., hlm. 70.
19Kuntowijoyo, “Arah Pengembangan Organisasi Wanita Islam
Indonesia” …., hlm. 130.
20Kumari Jayawardena, Feminism and Nationalism…., hlm.8.

210 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

Sebaliknya, dalam komunitas santri-priayi, baik di Kauman Yogyakarta
maupun Kauman di Surakarta, lebih bersifat patrilokal. Oleh sebab itu,
mbokmase bukan merupakan prototipe perempuan Kauman yang secara
logis juga bukan tipe-ideal perempuan Muhammadiyah.

Penyanggahan ‘Aisyiyah sebagai organisasi istri dapat dipatahkan
dengan fakta sosiologis di mana kalangan anggota ‘Aisyiyah, baik di
pusat dan terutama di daerah memiliki kebiasaan penggunaan nama
suami di belakang nama mereka. Ketua umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah,
Siti Chamamah Soeratno juga masih mencantumkan nama suaminya
meski ia adalah seorang guru besar yang sangat disegani di universitas
besar di Yogyakarta. Kecenderungan itu hampir merata ditemukan pada
pengurus pimpinan pusat seperti Elida Djaslan, Susilaningsih Kuntowijoyo,
Siti Hadliroh Ahmad, Siti Wardanah Muhadi, dan yang lainnya. Namun,
pengelompokan tersebut tetap dibantah oleh Siti Chamamah:

Bukan organisasi istri. Beda dengan Dharma Wanita. Saya sebagai
ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah bukan karena istri dari pak Din [Din
Syamsuddin, ketua PP Muhammadiyah]. Bahkan banyak istri dari PP
Muhammadiyah yang tidak aktif di Muhammadiyah. Tidak benar itu.
Yang benar, ‘Aisyiyah itu adalah anggota perempuan Muhammadiyah.
Jadi kedudukannya sama dengan anggota laki-laki Muhammadiyah. AD/
ART menjamin kedudukan yang sama.22

Memang ada pergeseran di kalangan generasi muda seangkatan
Noorjanah Djohantini, Trias Setyawati, Nur’ani, dan seangkatannya yang
merasa tidak perlu mencantumkan nama suami. Mereka adalah mantan
pengurus NA yang menggulirkan ide-ide progresivitas tentang ke-
setaraan gender karena kedekatannya dengan kalangan LSM perempuan.
Djohantini sendiri merupakan pendiri Yayasan Annisa Swasthi

21Lihat Susan Brenner, The Domestication of Desire…., hlm. 165.
22Wawancara dengan Siti Chamamah Suratno di Yogyakarta, 19 Februari
2010.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 211

(Yasanthi), pioner LSM perempuan di Indonesia pada dekade 1980an.
Pergeseran tentang penggunaan nama di kalangan generasi muda
‘Aisyiyah dapat menjadi titik awal bagi apa yang istilahkan oleh Arhtur
T. Denzau dan North sebagai pergeseran mental-model anggota yang lebih
mandiri.23 Namun pergeseran tersebut tidak tampak signifikan di daerah
dan wilayah.24

Status subordinat keistrian ‘Aisyiyah dapat diamati lebih mendasar
lagi dari tata ruang organisasi (spatial arrangement) Persyarikatan yang
bergender. Bahkan, keberadaan Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA) semakin
menguatkan keterkaitan gender dan usia yang menciptakan struktur
hierarkis dengan Muhammadiyah. Sementara aspek usia menciptakan
struktur hierarkis antara NA dengan ‘Aisyiyah. Secara harfiah NA ber-
makna kader muda Aisyiyah yang subordinat. Dari aspek historis, NA
mengalami patronase yang hampir sama dengan ‘Aisyiyah sebagai
organisasi independen yang menjadi organisasi subordinat dalam Per-
syarikatan. Pada awalnya organisasi ini bernama Siswo Projo Wanito
yang didirikan pada 1919. Keberadaan NA terkait erat dengan perkem-
bangan sekolah Muhammadiyah yang pada 1925 telah berkembang men-
jadi 35 sekolah umum, 14 madrasah, satu sekolah kejuruan, satu sekolah
guru dan sekolah HIS.25 Pada 1923, Siswo Projo Wanito dimasukkan
dalam Persyarikatan dan berganti nama sebagai Nasyiatul ‘Aisyiyah. Jika
‘Aisyiyah hanya mengalami proses subordinasi pada Muhammadiyah, NA
mengalami proses subordinasi ganda dengan Muhammadiyah dan
‘Aisyiyah. Ketika digabungkan dalam Persyarikatan, NA adalah salah

23Arthur T. Denzau dan Douglass C. North, “Shared Mental Models:
Ideologies and Institutions” …., hlm. 2.

24Wawancara dengan Muryati Sukardi, mantan ketua Pengurus Daerah
Aisyiyah (PDA) Blora pada 18 Mei 2010 di Yogyakarta. Ia menganggap bahwa
penyebutan nama suami sudah menjadi kebiasaan umum sehingga wajar bila
anggota ‘Aisyiyah juga menggunakannya.

25Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement …., hlm. 85.

212 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

satu bagian dari ‘Aisyiyah yang pada waktu itu berstatus majelis dari
Muhammadiyah.26

Subordinasi gender pada NA juga berimbas pada penggunaan nama
yang berbeda dengan ortom lain seperti Pemuda Muhammadiyah (PM)
dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Nasyiatul ’Aisyiyah adalah
istilah bahasa Arab yang berarti bibit ‘Aisyiyah. Meski tampak sepele,
penggunaan suatu istilah tetap mengandung maksud tertentu seperti
ditegaskan oleh Benedict Anderson dalam mengonseptualisasikan bahasa
tertulis yang berfungsi sebagai ‘ideogram yang menciptakan komunitas
dengan maksud tertentu.27 Dalam masyarakat Islam di Indonesia, nama
Arab menciptakan simbol kesakralan karena al-Qur’an dan aspek
fundamental Islam dipertahankan dalam bahasa aslinya dan tidak boleh
hanya dibaca terjemahannya. Sesuatu yang di ‘Arab’ kan, meski tidak
disadari, menjadi sarana koherensi kesakralan dalam komunitas Islam.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penggunaan istilah Arab
memberikan legitimasi lebih kuat terhadap identitas Islam. Penggunaan
istilah Arab untuk organisasi pemudi ini mengandung muatan moral
bahwa Nasyiatul ‘Aisyiyah merupakan kader menyangga moralitas
Muhammadiyah sementara Pemuda Muhammadiyah lebih didorong
berhikmat pada masalah-masalah profan seperti nasionalisme dan
politik. Istilah ini paralel dengan buku Adabul Mar’ah fil Islam yang
menekankan pada peran perempuan sebagai agen moralitas.

2. Gender dan Segregasi Ranah
Di samping membentuk struktur hierarkis, gender juga menegaskan

segregasi ranah berdasarkan struktur keluarga Kauman senior-junior
partnership dalam bentuk keluarga inti konjugal yang terdiri dari suami-

26Siti Syamsiatun, Serving Young Islamic Indonesian Women …., hlm. 93.
27Benedict Anderson, Imagined Communities, edisi bahasa Indonesia
(Yogyakarta: INSIST, 2008), hlm. 18.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 213

istri, ayah-ibu, anak laki-laki dan anak perempuan dengan ranah yang
terpisah. Pemisahan ini berbeda dengan organisasi kelompok kepen-
tingan (interest group) yang terdiri dari petani, buruh, nelayan, dan sejenis-
nya. Besar kemungkinan struktur ini merupakan aktualisasi konsep
kolektivitas Islam dari keluarga (ahl) yang sakinah menuju komunitas
(da’wah jama’ah) dan masyarakat Islam (ummah).28

Ranah-ranah tersebut pada gilirannya menentukan aktivitas, fungsi,
dan pola hubungan yang berbeda dalam Persyarikatan. Ranah-ranah di
atas bukan sekadar pembagian tanpa kepentingan. Senada dengan
Daphine Spain, Christ Weedon menegaskan bahwa ranah sosial secara
efektif menciptakan stratifikasi gender dalam suatu kelompok. Strati-
fikasi gender tercipta dari perbedaan kondisi biologis, ekonomi, psiko-
logis, atau interpretasi masyarakat terhadap ranah itu sendiri.29 Karena
laki-laki dan perempuan memiliki peran berbeda yang berimplikasi pada
pengambilan keputusan dan penguasaan sumber daya maka mereka
diatur dalam ranah (spacial) atau ruang sosial yang berbeda pula.

Secara teoretis, kalangan konstruksionis membuktikan bahwa pe-
ngaturan ranah merupakan hasil konstruksi sosial. Pandangan ini
bertentangan dengan kalangan naturalis yang meyakini bahwa ranah
sosial adalah konsekuensi logis dari perbedaan yang kodrati. Bahkan,
Doreen Massey menekankan bahwa bukan saja ranah sosial (social space)
yang merupakan hasil konstruksi sosial namun masyarakat pun dikon-
struksi oleh spasial.30 Konstruksi spasial segregatif pada umumnya

28Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Pedoman Hidup Islami Warga Mu-
hammadiyah” dalam 95 Tahun Langkah Perjuangan Muhammadiyah (tt), hlm.
499.

29Christ Weedon, Feminism, Theory and the Politic of Difference (London:
Blackwell Publisher, 1999), hlm. 5.

30It is not just that the spatial is socially constructed; the social is spatially
constructed too, Doreen Massey, (ed), “Introduction”, Geography Mattres!
(Cambridge: Cambridge University Press, 1984), dalam Daphine Spain, Gender
Space …., hlm. 11.

214 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

digunakan sebagai mekanisme yang memungkinkan kelompok dengan
kekuasaan lebih besar melestarikan kepentingannya di atas kelompok
yang lebih lemah. Kepentingan tersebut berupa kontrol terhadap sistem
pengetahuan dan sumber daya melalui kontrol terhadap ranah (control
of space) untuk memperkuat posisi kelompok dominan.31

Segregasi gender mendistribusikan otoritas dan wewenang secara
berbeda dalam Persyarikatan Muhammadiyah yang dianalogikan dengan
perkembangan keluarga yang dibentuk dari unsur Suami/Ayah, Istri/
ibu kemudian melahirkan anak-anak usia balita, remaja, dan dewasa.
Suami/ayah mendapatkan wadah yang disebut Muhammadiyah sebagai
simbolisasi pengikut Nabi Muhammad. Sesuai dengan norma keluarga
inti konjugal, suami/ayah berperan secara sentral melingkupi unsur-
unsur lainnya. Oleh sebab itu, Muhammadiyah mempunyai peran do-
minan dan sekaligus pengarah bagi ortom-ortom lainnya.

Setelah terbentuk keluarga yang terdiri dari Muhammadiyah dan
‘Aisyiyah maka lahirlah anak-anak yang diistilahkan sebagai kaderisasi
sesuai tahap-tahap perkembangan yang dipandang alamiah. Kaderisasi
dimulai dari masa kanak-kanak di Taman Kanak-kanak Bustanul Atfal,
masa remaja di Ikatan Remaja (IRM) yang saat ini diganti dengan Ikatan
Pelajar Muhammadiyah (IPM). Setelah dewasa mereka harus dipisahkan
kamarnya sebagaimana tuntunan dalam keluarga sakinah, yang secara
organisatoris menjadi Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA) dan Pemuda Muhamma-
diyah (PM). Pemisahan kelompok anak dewasa dalam ranah berbeda
mencerminkan konsep moral berbasis segregasi gender dan seksual. Isu
segregasi gender pertama kali muncul dalam muktamar ke-33 tahun
1956 yang salah satunya menghendaki pemisahan sekolah untuk laki-
laki dan perempuan.32

31Ibid, hlm. 16.
32Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Keputusan Muktamar Muhamma-
diyah ke-33, 24-29 Juli 1956 di Palembang” dalam 95 Tahun Langkah Perjuangan
Muhammadiyah (tt), 142.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 215

Segregasi gender semacam ini tidak hanya ditemukan di Muhamma-
diyah, namun hampir merata pada komunitas muslim dan komunitas
Jawa masa itu. Ketika dikonfirmasi dalam suatu wawancara tentang ide
dasar struktur tersebut, Haedar Nashir memperkirakan bahwa struktur
tersebut merupakan inisiatif murni dari Ahmad Dahlan:

Sepertinya dari Kiai Dahlan sendiri ya. Mungkin karena pembinaan umat
harus dilakukan secara menyeluruh maka model yang paling dekat dengan
beliau ya.. keluarga. Dari keluarga kemudian ada jamaah dan pada umat.33

Jika dibandingkan dengan Sarekat Islam, Budi Utomo dan juga orga-
nisasi perempuan lain di masanya yang bersifat mandiri dan sektoral,
Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai pioneer organisasi sosial ber-
struktur holistik. Struktur ini kemudian menjadi prototipe organisasi
yang muncul dan berkembang kemudian seperti Persatuan Islam (Persis)
yang berdiri pada 1924 dan NU yang berdiri pada 1926.34 Kecil kemung-
kinan bahwa Ahmad Dahlan mengambil model dari Organisasi sayap
perempuan Budi Utomo yang baru berdiri pada 1921 dan Sarekat Islam
Bagian Istri yang berdiri menjelang Kongres Perempuan tahun 1928.
Kemungkinan Ahmad Dahlan mendapatkan aspirasi dari gereja juga
sangat kecil karena organisasi Wanito Katolik didirikan pada 1924.35

Segregasi di atas tidak saja memiliki landasan teologis namun juga
sosio-kultural. Secara teologis, pemisahan ini dimaksudkan untuk memi-
nimalisir kontak-kontak sosial lawan jenis yang dikhawatirkan mengarah
pada pelanggaran norma-norma seksualitas seperti khalwat (berdua-
duaan) dan aktivitas lain yang membuka pintu perzinaan. Secara kultural
segregasi gender sudah dikenal sejak lama pada budaya Jawa seperti
tata ruang keraton Surakarta, Yogyakarta dan keraton di Jawa pada umum-
nya. Meski perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan

33Wawancara dengan Haedar Nashir, 31 Januari 2010.
34Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia…., hlm. 95.
35Susan Backburn, Konggres Perempuan Indonesia…., hlm. xxv.

216 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

politis dan kultural antara kerajaan Islam di Indonesia dengan kerajaan
Islam di Timur-Tengah dan Turki, segregasi seksual telah dikenal dalam
kerajaan-kerajaan tersebut dengan keberadaan institusi harem. Walaupun
secara fisik harem sudah tidak ada lagi, tetapi Fatima Mermissi meyakini
bahwa segregasi gender tetap menjadi “harem sosial” kebanyakan
masyarakat Timur Tengah dan masyarakat Muslim pada umumnya.36

Segregasi gender tersebut membentuk ranah-ranah yang berfungsi
mengakomodir aktivitas-aktivitas spesifik dari anggotanya lewat majelis-
majelis, biro dan organisasi otonom. Eksistensinya ditentukan oleh
muktamar sebagai lembaga musyawarah tertinggi berdasarkan AD/ART.
Sifat menetap dari majelis dan ortom seolah berfungsi sebagai pembentuk
struktur dasar. Terkait kemungkinan terjadi perubahan struktural
Persyarikatan, Rosyad Sholeh menuturkan bahwa:

Apakah akan ditambah atau dihapus atau ditingkatkan statusnya, semuanya
diputuskan melalui muktamar. Jadi dimungkinkan kalau Muhammadiyah
akan diganti dengan struktur yang dianggap sesuai dengan tuntutan zaman.
Tetapi harus melalu keputusan muktamar.37

Dalam sejarah kelembagaan Persyarikatan, perubahan internal yang
terjadi belum sampai menggoyahkan the backbone structure yang ber-
tumpu pada ideologi senior-junior partnership. David Haevey menengarai
bahwa struktur dasar suatu sistem sosial yang terbentuk cenderung
mengalami proses institusionalisasi dan memengaruhi eksistensinya di
masa berikutnya.

Proses institusionalisasi dalam ranah sosial cenderung menimbulkan
spatial fetishism yang meyakini bahwa ranah sosial itu menetap dan
demikian adanya.38 Sejatinya ranah adalah ruang sosial yang dikonstruksi

36Fatima Mermissi, Dreams of Trespass: Tales of A Harem Girlhood, (Canada:
Addison-Wesley Publishing Company, 1994), hlm. 125-134.

37Wawancara dengan Rosyad Sholeh, 18 Maret 2010.
38David Haevey, Social Justice and the City (Baltimore: Jhon Hopkins
University, 1973) dalam Daphine Spain, Gender Space …., hlm. 11.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 217

dan diinstitusionalisasi terus-menerus sehingga dirasakan sebagai sesuatu
yang permanen oleh generasi berikutnya. Bentuk dari spatial fetisisme itu
tecermin dari penolakan ‘Aisyiyah terhadap tantangan PP Muhamma-
diyah agar keluar dari Persyarikatan dan menjadi organisasi independen,
sebagai respons tuntutan Aisyiyah tentang kuota perempuan dalam
pimpinan Muhammadiyah dan pengelolaan amal usaha yang lebih besar.
Menurut pandangan Siti Chamamah tantangan mereka berlebihan dan
hendak menghapus jejak sejarah ‘Aisyiyah.39 Bertahannya struktur
hierarki gender Persyarikatan Muhammadiyah membuktikan adanya
proses institusionaliasi yang merezim dan tidak tergoyahkan, bahkan
ketika diskursus kesetaraan gender semakin menguat di Indonesia dalam
dua dasawarsa terakhir ini.

B. Gender dan Hierarki Otoritas dalam Persyarikatan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, aspek gender dan aspek

usia telah membentuk stratifikasi dengan otoritas yang berbeda-beda.
Pembahasan ini lebih mengetengahkan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah
yang memiliki posisi patron terhadap organisasi otonom lain. Posisi
‘Aisyiyah memang problematik karena pada satu sisi menjadi ortom
khusus dari Muhammadiyah dan, pada sisi lain, menjadi organisasi
patron bagi ortom lainnya. Tabel di bawah ini menjelaskan perbedaan
otoritas yang dimiliki kedua organisasi patron karena stratifikasi gender
dan usia:

39Wawancara dengan Rosyad Sholeh, 22 Maret 2010.

218 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

Tabel 5. Otoritas Organisasi dan Stratifikasi Gender

No. 1 2 3
Stratifikasi usia
Otoritas Stratifikasi gender Stratifikasi gender ———————-·
Stratifikasi Muhammadiyah dan usia  Muhammadiyah
Legalistik dan ‘Aisyiyah
Muhammadiyah dan Pemuda
dan Nasyiatul Muhammadiyah
Aisyiyah
Muhammadiyah  ‘Aisyiyah dan
dan Ikatan Pelajar Nasyiatul
Muhammadiyah Aisyiyah
(IPM)
Muhammadiyah  Muhammadiyah
dan Ikatan dan Pemuda
Mahasiswa Muhammadiyah
Muhammadiyah
(IMM) Aisyiyah dan
Nasyiatul Aisyiyah
Struktural Muhammadiyah Muhammadiyah (secara terbatas)
dan ‘Aisyiyah dan Nasyiatul Muhammadiyah
Aisyiyah dan Pemuda
Finasial Muhammadiyah Muhammadiyah Muhammadiyah
dan ‘Aisyiyah dan Ikatan Pelajar
(IPM)
Muhammadiyah
Muhammadiyah
dan Ikatan
Mahasiswa
Muhammadiyah
(IMM)
‘Aisyiyah dan
Pemuda
Muhammadiyah

Muhammadiyah
dan Nasyiatul
Aisyiyah
Muhammadiyah
dan Ikatan Pelajar
(IPM)
Muhammadiyah
Muhammadiyah
dan Ikatan
Mahasiswa
Muhammadiyah
(IMM)

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 219

Tabel ini menunjukkan keluasan otoritas Muhammadiyah yang
meliputi otoritas legalitas, struktural dan finansial hampir pada semua
organisasi otonom, termasuk ‘Aisyiyah. Keluasan otoritas ini yang men-
jadikannya organisasi patron yang permanen. Sementara ‘Asyiyah
memiliki otoritas struktural terhadap Nasyiatul ‘Aisyiyah pada aspek
pengaderan dan otoritas finansial yang terbatas.

Stratifikasi gender dalam Persyarikatan dapat dilihat dari eksistensi
Pimpinan Muhammadiyah dan Pimpinan ‘Aisyiyah dalam kedudukan
sebagai organisasi patron dan organisasi otonom (ortom). Status ortom
khusus yang diperoleh ‘Aisyiyah pada 2005 memberikan kedudukan
yang lebih tinggi dari ortom umum lainnya. Sedangkan stratifikasi usia
terjadi pada posisi hierarkis Pimpinan Muhammadiyah dengan Pemuda
Muhammadiyah (PM) serta ‘Aisyiyah terhadap Nasyiatul ‘Aisyiyah
dalam hubungan berbasis pengaderan. Sementara stratifikasi ber-
dasarkan gender dan usia terjadi antara Pimpinan Muhammadiyah dan
Nasyiatul ‘Aisyiyah dan antara ‘Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah
karena sejak 2005 status struktural ‘Aisyiyah menjadi lebih tinggi dari
ortom khusus.

Korelasi antara status gender dan otoritas merupakan relasi kuasa
yang menurut Amitai Etzioni dikoordinasi dalam mekanisme yang
mengatur bagaimana otoritas dan kewenangan didistribusikan dalam
suatu organisasi dan bagaimana pihak-pihak dalam organisasi dikoor-
dinasikan sesuai dengan otoritas yang ditentukan.40 Lebih lanjut ia
mengklasifikasikan otoritas dan kewenangan dalam organisasi menjadi

40The social relationship that are internal to organizations focus on the
issue of coordination and control, that is, how power and authority are
exercised in organizations and how those activities are co-ordinated respond
to the exercise of power, Amitai Etzioni, A Comperative Analysis of Complex
Organizations (Glencoe: Free Press, 1961) dalam Malcolm Waters dan Rodney
Crook, Sociology One: Principles of Sociological Analysis for Australians
(Melbourne: Longman Cheshire, 1990), hlm. 368.

220 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

tiga yaitu: koersif (coercive power), kewenangan remuneratif (remune rative
power) dan kewenangan normatif (normative power). Klasifikasi yang
relevan dengan Muhammadiyah adalah kewenangan atau otoritas
normatif yang dibagi menjadi dua: normatif murni dan normatif sosial.41
Muhammadiyah dapat diklasifikasikan dalam normatif sosial karena
aktivitasnya yang tidak sebatas mengurusi ritual keagamaan, namun
juga menyediakan layanan-layanan sosial, dan bahkan komersial. Terkait
dengan masalah otoritas ini, Amitai Etzioni tidak menjelaskan aspek-
aspeknya secara lebih rinci yang memberi ruang bagi terbentuknya
aspek-aspek yang khas dalam suatu organisasi. Di bawah ini merupakan
beberapa aspek dari otoritas yang ditemukan dalam struktur Mu-
hammdiyah:

1. Otoritas Legalistik
Dalam struktur Persyarikatan, Pimpinan Muhammadiyah, baik

pusat, wilayah dan daerah sebagai organisasi patron dan superordinat
yang memiliki otoritas menyangkut kontrol keabsahan yuridis tertinggi.
Superioritas yuridis Muhammadiyah dapat dijelaskan dari aspek historis
sebagai inisiator eksistensi Persyarikatan. Superioritas legalistik tersebut
tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/
ART) yang bersifat mencakup (embodied) terhadap ortom-ortom di
bawahnya. Aspek patronase Pimpinan Muhammadiyah terhadap ortom-
ortom di bawahnya ditegaskan dalam peran bimbingan dan pembinaan
serta pembentukan dan pembubaran ortom yang ditetapkan dalam Per-
syarikatan.42

Di samping AD/ART, superioritas Muhammadiyah terletak pada
kekuatan keputusan muktamar yang mencakup seluruh aspek dalam

41Ibid.
42Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Anggaran Rumah Tangga dalam
Keputusan Muktamar ke-45 tahun 2005 di Malang”, 95 Tahun Langkah Per-
juangan Muhammadiyah (tt), hlm. 566.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 221

Persyarikatan, termasuk eksistensi majelis, biro, amal usaha, dan ortom.
Setiap perubahan yang dilakukan terhadap eksistensi, status, nama dan
perluasan mandat diputuskan dalam muktamar Muhammadiyah seperti
perubahan nama Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) menjadi Ikatan
Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan perubahan status ‘Aisiyah dari ortom
biasa menjadi ortom khusus.43

Aspek legalitas ini juga mencakup masalah eksternal seperti masalah
kerja sama dengan lembaga lain yang harus melalui persetujuan PP
Muhammadiyah seperti dijelaskan oleh Rosyad Sholeh:

Idealnya memang semua yang terkait dengan pihak luar harus melalui PP
Muhammadiyah. Tetapi kadang-kadang tidak selalu begitu. Masing-masing
majelis dan ortom berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi dan sepenge-
tahuan PP. Kalau tidak ada masalah sih, tidak mengapa. Nah kalau ada
masalah, baru PP dilibatkan. Seperti masalah fatwa rokok antara Majelis
Tarjih yang mengharamkan karena Majelis Kesehatan anti-tembakau. Dikira
fatwa tersebut mengandung pesan sponsor.44

Rumitnya masalah kewenangan legalitas ini disadari oleh Sholeh
apalagi dengan perkembangan Muhammadiyah yang sangat pesat dan
luas. Menurut pandangannya, setiap struktur memiliki kelebihan dan
kelemahan.

Bentuk struktur yang sentralistik dan birokratis memang terkesan
lamban, namun efektif menjaga stabilitas dan harmoni dari organisasi
besar seperti Muhammadiyah. Tetapi ia menegaskan bahwa masalah-
masalah yang tidak secara substantif bertentangan dengan ideologi
organisasi tidak perlu dikonsultasikan atau disahkan oleh PP Muhamma-
diyah.45

Di samping itu, Muhammadiyah memiliki otoritas mengesahkan
hasil-hasil muktamar atau disebut tanfidz dari ortom di bawahnya. Dalam

43Ibid, hlm. 581.
44Wawancara dengan Rosyad Sholeh, 22 Maret 2010.
45Ibid.

222 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

praktiknya, pengesahan tersebut bervariasi di antara ortom-ortom.46 Se-
lain keputusan muktamar, otoritas yuridis juga berlaku pada produk-
produk kelembagaan, termasuk produk pemikiran berupa publikasi
resmi yang harus disahkan oleh Pimpinan Muhammadiyah.

Meski secara normatif Muhammadiyah memegang otoritas legal
tertinggi dalam produk pemikiran, namun dalam praktiknya mengalami
penyusutan. Misalnya, dalam penerbitan buku Adabul Mar’ah fil Islam,
pokok-pokok pikiran dirumuskan oleh ‘Aisyiyah, tetapi diterbitkan atas
nama Majelis Tarjih. Sedangkan buku ketiga, Tuntunan Menuju keluarga
Sakinah diterbitkan atas nama ‘Aisyiyah dan hanya dilampiri sambutan
Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang berfungsi mengesahkan sekaligus
menginstruksikan berlaku bagi seluruh Persyarikatan Muhammadiyah.47

2. Otoritas Struktural
Yang dimaksud dengan otoritas struktural adalah apa yang disebut

oleh Amitai Etzioni sebagai tata aturan dan rasionalitas (rule and rationality)
organisasi yang berupa prinsip-prinsip yang secara langsung terkait
dengan aksi organisasi (strightforward criteria for action).48 Dengan demikian,
otoritas struktural terkait dengan mekanisme internal organisasi yang
melandasi aksi atau tata laksana antar organisasi patron dan ortom serta
antar bagian di dalamnya, seperti majelis, biro dan amal usaha atau
lembaga-lembaga lainnya. Dalam Muhammadiyah, otoritas struktural
dapat dibagi menjadi dua yaitu otoritas formal dan informal.

46Seluruh keputusan muktamar ‘Aisyiyah harus ditanfidz (disahkan) oleh
Pimpinan Pusat Muhammadiyah seperti muktamar ke-41 sampai muktamar
ke -46 tahun 2010. Sedangkan tanfidz Muktamar XV Ikatan Remaja Mu-
hammadiyah yang saat ini berubah menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah
pada periode 2006-2008 cukup ditanfidz oleh ketua umum dan sekretaris
jenderal, Tanfidz Muktamar XV Ikatan Remaja Muhammadiyah Periode 2006-
2008. hlm. 7.

47Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah …., hlm. 4.
48Malcolm Waters dan Rodney Crook, Sociology One….,, hlm. 358.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 223

Otoritas struktural diatur dalam AD/ART yang diperbarui pada hasil
Muktamar ke-45 tahun 2005 di Malang. Otoritas struktural tersebut ter-
cantum dalam Anggaran Dasar pasal 21 yang menyebutkan bahwa ortom
dibentuk atas bimbingan dan pembinaan pimpinan pusat. Dalam Ang-
garan Rumah Tangga pasal 20 (3) pembentukan dan pembubaran ortom
ditetapkan dalam tanwir atas usul Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Segala
aturan ortom diatur dalam qa’idah organisasi otonom yang dibuat dan
ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.49

Konsekuensi dari superioritas AD/ART Muhammadiyah adalah
kewenangan yang luas dari Pimpinan Muhammadiyah terhadap or-
ganisasi otonom, termasuk otoritasnya mempertahankan struktur Persya-
rikatan. Seiring dengan semangat kesetaraan yang bergulir selama dua
dasawarsa, struktur sentralistik dan hierarkis Muhammadiyah mulai
dipertanyakan, terutama di kalangan muda Muhammadiyah seperti IPM
yang melontarkan gagasan tentang struktur yang lebih egaliter sebagai-
mana dijelaskan Adi:

Sudah waktunya Muhammadiyah sebagai Persyarikatan dikelola secara
lebih egaliter di mana pimpinan Muhammadiyah, setidaknya, melibatkan
pimpinan dari ortom-ortom. Selama ini kesannya hierarkis dan menim-
bulkan ketimpangan antara Muhammadiyah dan ortom-ortomnya.50

Gagasan tentang struktur yang lebih egaliter juga dikemukakan oleh
Siti Chamamah yang mulai menyoroti posisi patronase Pimpinan Mu-
hammadiyah:

Persyarikatan Muhammadiyah ini kan terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Yang perempuan diberi wadah ‘Aisyiyah. Seharusnya ada wadah tersendiri
untuk bapak-bapak, misalnya al-Amin atau apalah. Lantas ada kepemim-

49Rumusan Anggaran Dasar PP Muhammadiyah dalam Lampiran VI-A,
Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-45, 26 Juni-1 Juli 2005 di Malang,
PP Muhammadiyah, 95 Tahun Langkah Perjuangan Muhammadiyah (tt), hlm. 566.

50Pernyataan Adi (bukan nama sebenarnya) dalam Focus Group Discussion
dengan pengurus PP IPM di Yogyakarta, 25 Maret 2010.

51Wawancara dengan Siti Chamamah pada 19 Februari 2010.

224 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

pinan kolektif yang mewakili organisasi-organisasi pada tingkat Persyarikat-
an yang disebut Muhammadiyah, termasuk perempuan. Jadi kepemimpinan-
nya juga harus mencerminkan realitas itu.51

Gagasan Chamamah sesungguhnya telah terakomodir dalam pe-
ngurusan PP Muhammadiyah periode 2000-2005 dengan usulan affirmative
action (perlakuan khusus) keterwakilan perempuan dalam Tanwir
Muhammadiyah.

Dalam Tanwir Muhammadiyah tahun 2003 di Makassar diputuskan
bahwa utusan terdiri dari dua laki-laki dan seorang perempuan.52 Namun,
keputusan tersebut dibatalkan dalam Muktamar ke-46 di Malang ber-
samaan dengan pembatalan kuota perempuan dalam kepengurusan
Pimpinan Muhammadiyah. Pembatalan tersebut membuktikan kuatnya
peran otoritatif struktural PP Muhammadiyah dalam Persyarikatan. Namun,
perjuangan gigih ‘Aisyiyah selama lima tahun tentang kepemimpinan
perempuan dalam kepengurusan PP Muhammadiyah membuahkan
hasil pada Muktamar ke-46 di Yogyakarta tahun 2010. Aisyiyah mengirim-
kan nota keberatan (mindehead nota) dan press-release terhadap hasil pemi-
lihan 39 formatur Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2010-2015 yang
tidak mengakomodir calon perempuan.53 Menanggapi keberatan tersebut
PP Muhammadiyah memutuskan untuk menambahkan ketua umum PP
‘Aisyiyah secara ex-officio menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
periode 2010-2015.54

Dalam masalah lain, tanfidz atau penetapan keputusan, Muhamma-
diyah tidak mempertimbangkan aspek-aspek yang khusus pada ortom-

52Dewi Kurniawati Hastuti, Women’s leadership in Muhammadiyah…., hlm
13.

53Media Indonesia, “Muhammadiyah Dikuasai Laki-laki”, Selasa, 6 Juli
2010.

54Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Surat Keputusan Susunan Pimpinan
Pusat Muhammadiyah Periode 2010-2015” dalam Berita Resmi Muhammadiyah:
Tanfidz Muktamar Satu Abad Muhammadiyah (Yogyakarta: PP Muhammadiyah,
2010), hlm. 258.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 225

ortom lainnya seperti AD/ART. Sebaliknya, semua ortom harus mencan-
tumkan AD/ART Muhammadiyah dan hasil muktamar yang menyang-
kut eksistensi ataupun program ortom-ortom. Aspek yang termasuk
dalam otoritas struktural adalah penentuan anggota pimpinan dan
pengurus yang berada pada Pimpinan Muhammadiyah. Baroroh Baried
sebagai ketua PP ‘Aisyiyah pada 1965 sampai 1985 pernah meng-
ungkapkan bahwa Pimpinan Muhammadiyah berwenang memecat
anggota Pimpinan ‘Aisyiyah tetapi tidak demikian sebaliknya. Dalam
suatu wawancara dengan van-Doorn Harder, ia menggambarkan otoritas
struktural ini layaknya relasi suami-istri:

“They [Muhammadiyah] can fire members of the ‘Aisyiyah board which
have done in the past. We cannot fire members of their board and we don’t
have a veto in their organization. You see, it is rather like a husband-wife
relationship.”55

Tidak hanya sebatas keanggotaan, perubahan status ‘Aisyiyah dari
ortom umum dan ortom khusus adalah otoritas Muhammadiyah.56
Ortom khusus ini diperjuangkan dengan penuh ketegangan dengan PP
Muhammadiyah terutama menyangkut tuntutan pengelolaan amal usaha
seperti sekolah, perguruan tinggi dan rumah sakit.

Otoritas desicive semacam ini juga berlaku pada ortom lain dari
tingkat pusat, wilayah, daerah dan ranting. Misalnya, ketika terjadi deadlock
di muktamar IPM antara kubu yang memilih istilah ‘pelajar’ dan ‘remaja’,
mereka menyerahkan pada keputusan PP Muhammadiyah terhadap nama
yang dipilih. Pada akhirnya, PP Muhammadiyah memilih istilah ‘pelajar’.57
Secara organisatoris, otoritas tersebut tidak sebatas pada pimpinan pusat
tetapi juga meluas pada pimpinan wilayah dan daerah.

55Baroroh Baried dalam Pieternella van Doorn-Harder, Women Shiping
Islam: Reading the Qur’an in Indonesia..., hlm. 72.

56Ibid, hlm. 573.
57Focus Group Discussion dengan pengurus PP IPM di Kantor PP IPM Yogya-
karta, tanggal 25 Maret 2010.

226 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

Di samping otoritas struktural yang bersifat formal, ditemukan pula
bentuk otoritas yang bersifat informal yang memiliki kekuatan sepadan.

Pada pemilihan pimpinan wilayah IPM di Sulawesi Selatan tahun 2005,
seorang perempuan terpilih menjadi ketua umum secara aklamasi me-
lalui mekanisme pemilihan langsung. Namun, ia memilih mundur karena

himbauan dari beberapa pengurus wilayah agar tidak menjadikan se-
orang perempuan sebagai pimpinan selagi masih ada laki-laki yang
dipandang mampu. Ulfah sebagai pihak yang terpilih pada waktu itu

mengisahkan:

Aku memang terpilih secara aklamasi dalam pemilihan langsung, tetapi
karena ada ‘semacam’ keberatan dari beberapa ayahanda (pengurus PW
Muhammadiyah) dan ibunda (pengurus PW ‘Aisyiyah) meskipun tidak
secara resmi, artinya hanya pendapat individu-individu. Kata mereka
“masih lebih baik laki-laki yang kurang mampu ketimbang seorang perem-
puan yang mampu”. Sebenarnya teman-teman mendorong untuk bertahan
tetapi saya pilih mundur daripada nanti menjadi masalah. Sayangnya aku
bukan orang yang kuat, jadi aku mundur.58

Kejadian serupa juga terjadi di Kalimantan Selatan ketika perempuan
terpilih sebagai ketua IPM dianulir oleh PW Muhammadiyah meski ber-
sifat lisan dan personel tanpa adanya surat resmi.59

Noorjanah Djohantini memiliki pandangan lain bahwa ‘Aisyiyah
relatif tidak menemui masalah dengan Pimpinan Muhammadiyah dalam

pemilihan anggota pengurus. Ia menegaskan bahwa sejak awal sudah
diantisipasi dengan menetapkan kriteria umum dalam Persyarikatan
Muhammadiyah. Ia menegaskan bahwa:

Kita memang ajukan nama-nama calon pimpinan ke PP (Muhammadiyah)
tetapi lebih bersifat formalis, artinya mereka biasanya ya menyetujui. Belum
pernah ada yang ditolak sampai saat ini. Kita sendiri (‘Aisyiyah) kan memiliki
kriteria, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis siapa yang akan di-
kirimi blanko kesediaan mencalonkan diri, jadi ya sejalan lah!60

58Wawancara dengan Ulfah, pengurus Nasyiatul ‘Aisyiyah Wilayah
Sulawesi Selatan, di kantor PP NA Yogyakarta, 25 Februari 2010.

59Pendapat dari Norma Zuaifah, Ibid.
60Wawancara dengan Noorjanah Djohantini , 19 Februari 2010.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 227

Masalah penetapan kriteria kepengurusan lebih cenderung dilaku-
kan secara informal. Pada umumnya, pembicaraan tentang kriteria di-
lakukan dalam rapat formatur pembentukan pengurus dari tingkat pusat
sampai ranting. Ada dua aspek yang menjadi tolok ukur dalam menen-
tukan kriteria yaitu akseptabilitas pemikiran dan perilaku. Pada masalah
pemikiran, aspek moderasi menjadi sangat penting meski tolok ukurnya
juga bergantung pada kelompok yang mendominasi kepengurusan.
Sedangkan masalah perilaku yang paling sering disoroti adalah masalah
pakaian, terutama pada anggota perempuan. Seleksi yang paling ketat
terjadi di Majelis Tarjih sebagaimana dinyatakan oleh Abdurrahman
(bukan nama sebenarnya):

Rame sekali ketika akan memilih anggota pengurus Majelis Tarjih, terutama
anggota yang perempuan. Banyak nama yang didaftar tetapi hanya satu
akhirnya yang benar-benar memenuhi kriteria. Konon, Anda (penyusun,
Siti Ruhaini Dzuhayatin) didrop karena ada yang melihat kerudungnya
masih suka melorot dan pake celana jean. Ada juga seorang calon perempuan
yang di drop karena ketahuan pake daster di jalan dekat rumahnya, ya yang
begitu-begitu jadi masalah.61

Tampaknya, kriteria di atas menjadi konvensi yang tidak tertulis
bagi calon anggota pengurus perempuan di lingkungan Muhammadiyah.

Memang ada perubahan penampilan cara berpakaian di kalangan
‘Aisyiyah dengan prototipe Siti Chamamah sebagai ketua umum ‘Aisyiyah.
Pada periode 1990-an sampai 2005, ia cukup elegan dengan baju kebaya
dan kerudung panjang yang menutupi kepala dengan leher sedikit
terbuka. Namun, setelah tahun 2005, kerudung yang digunakan lebih
menutupi leher. Saat ini hampir tidak ditemukan anggota ‘Aisyiyah dan

61Wawancara dengan Abdurrahman (bukan nama sebenarnya), di Yogya-
karta, tanggal 18 Maret 2010.

62Pendapat Syarkawi, ketua bidang IPMAWATI dalam Focus Group Discussion
dengan pengurus PP IPM di Kantor PP IPM Yogyakarta, tanggal 25 Maret
2010. Ini merupakan fenomena menarik dan pertama kali terjadi bahwa ketua
bidang IPMAWATI yang mengurusi masalah akses anggota putri dijabat oleh
seorang laki-laki.

228 REZIM GENDER MUHAMMADIYAH: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi

Muhammadiyah yang menggunakan kerudung yang dahulu dikenal
dengan istilah ‘kerudung ‘Aisyiyah’ yang fenomenal.

Kuatnya otoritas Pimpinan Muhammadiyah terhadap ortom dipan-
dang oleh kalangan IPM sebagai bentuk intervensi yang dapat meng-
hambat dinamika pergerakan. Syarkawi menjelaskan:

Tentu itu menghambat, tetapi mau gimana lagi, memang itu sudah diatur
dalam AD/ART. Biasanya yang sangat ketat pada ketua dan sekretaris
jenderalnya ya. Sedangkan yang lain agak longgar. Itu juga terjadi pada
program, jadi kita memang harus pakai istilah yang tidak terkesan liberal.62

Meski demikian, Batubara mengatakan bahwa Pimpinan Muhamma-
diyah baru bereaksi jika mendengar ada program yang dirasakan kontro-
versial dan sensitif seperti isu pendidikan seks remaja dan LGBT (Lesbian,
Gay, Bisexual dan Transgender). IPM diingatkan untuk tidak ikut-ikutan
dalam kegiatan seperti itu.63

Kalangan pengurus Pimpinan Pusat NA melihat bahwa masalah
bimbingan lebih terkait dengan masalah fundamental seperti visi dan
misi. Sedang pada masalah kepengurusan, intervensi atau keterlibatan
Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah tidak terlampau besar. Abidah sebagai
ketua umum PP NA menjelaskan lebih lanjut:

“Sepertinya kita tidak ada masalah, kalaupun ada yang tidak sreg, biasanya
disampaikan secara informal, tidak secara tertulis. Paling di rasani (dibicara-
kan di belakang). Mungkin karena NAsudah otonom dari ‘Aisyiyah ya. Memang
ada sih! Ibu-ibu ‘Aisyiyah yang menegur, baik masalah kriteria pengurus
atau program-program yang dilakukan oleh NA yang seharusnya dibicara-
kan dengan ‘Aisyiyah.”64

Meski tidak dirasakan adanya intervensi yang secara signifikan
mengganggu, otoritas struktural tak urung memunculkan ketegangan
yang berbeda dari aspek gender, yaitu antara ‘Aisyiyah dan NA dan

63Wawancara dengan Putra Batubara, ketua IPM periode 2005-2010, di
kantor PP IPM Yogyakarta, tanggal 25 Maret 2010.

64Pernyataan Abidah, ketua umum Pimpinan Pusat NA dalam Focus
Group Discussion di Kantor PP NA Yogyakarta, tanggal 25 Februari 2010.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. 229


Click to View FlipBook Version