The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Pancasila perspektif pendiri RI & problematika

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by masjiddarussalam18, 2022-05-18 20:17:23

Pancasila perspektif pendiri RI & problematika

Pancasila perspektif pendiri RI & problematika

Ferry Hidayat

Dosen Filsafat STBA Pertiwi Bekasi

Pancasila:

PERSPEKTIF

PENDIRI RI &

PROBLEMATIKANYA

Pengantar

Buku kecil-tipis ini berasal mula sebagai diktat yang saya siapkan untuk
Matakuliah Pancasila di STBA Pertiwi Bekasi, yang saya ampu untuk
mahasiswi/wa Semester 2 (April–Juli 2017). Lalu saya edarkan untuk konsumsi
khalayak umum.

Yang membedakan buku ini dengan buku-buku lain sejenis adalah
pendekatannya (approach). Saya berupaya menelusuri buku-buku lama, yang
sudah tidak terbit lagi, baik yang daring maupun non-daring, yang ditulis para
pendiri RI ini, untuk memahami secara lebih baik, lebih dalam, dan kalau bisa,
secara sedikit lebih akurat. Jadi, metode yang dipakai adalah library research dari
sumber-sumber lama yang ditulis pendiri RI kita. Setelah itu, saya pun
meneruskannya dengan membangun asumsi-asumsi (lewat proses inferencing)
mengenai Zeitgeist (semangat zaman) yang mewarnai tulisan-tulisan mereka
tersebut, dengan dasar bahwa para pendiri RI adalah “anak-anak zaman”;
mereka mestilah diwarnai dengan semangat zaman tertentu, yakni “semangat
zaman tahun 1920an”. Peristiwa-peristiwa historis yang terjadi di dunia sekitar
tahun 1920an hingga tahun menjelang kemerdekaan kita (1940an) pastilah
sedikit-banyak mempengaruhi, mewarnai, mencap, menstempel, menempeli isi,
topik, tema, dan karakter tulisan para pendiri RI. Metode itu saya sebut historical
hermeneutics (tafsir sejarawi).

Setiap selesai satu bab, saya berhenti sebentar, merenung, dan menulis
permasalahan, problematika, ketidaksingkronan antara idealitas sila-sila
Pancasila dan realitas historis kontemporer kita. Saya menyebutnya “problem-
problem”. Setiap problem tentu saja bersifat subyektif; dari kacamata saya
pribadi. Apabila Anda juga mendapati problem-problem yang sama dengan
yang saya tulis, berarti perenungan Anda berbuah sama dengan perenungan
saya. Syukur-syukur perenungan tersebut tidak membuat kita pesimis, optimis,
atau melioris; tapi membuat kita makin realistis, lalu berusaha bergerak untuk
mengubahnya menjadi lebih baik, sesuai dengan yang diidealisasikan oleh para
pendiri RI kita.

Semoga suguhan sederhana ini berguna, bermanfaat, dan menggugah minat
Anda untuk berupaya lagi memahami setiap sila Pancasila secara lebih baik,
lebih dalam, lebih akurat, dari sumber-sumber tangan-pertama, dari tulisan-
tulisan otentik para pendiri RI kita.

Selamat membaca!!!

Bab Satu

Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”

Tidak ada teks Declaration of Independence yang pernah ditulis di dunia ini yang
memasukkan konsep ketuhanan di dalamnya, apalagi ketuhanan yang maha esa
(Monoteisme), sebagai basis filosofis pendirian suatu negara,1 kecuali Declaration
of Independence yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta di Indonesia. Itulah
keistimewaan teks proklamasi kita, tapi hal ini justru menimbulkan tanda tanya:
mengapa sila ini diwajibkan oleh para konseptor teks proklamasi kita untuk
dijadikan basis filosofis pendirian negara Indonesia? Mengapa konsep ketuhanan
dianggap sangat penting sehingga dipilih sebagai prinsip politik kita yang
utama?

Pertama, kita akan jawab dengan bantuan teks-teks lama; tulisan-tulisan
konseptor Pancasila (yakni, Soekarno). Setelah itu, kita akan jawab dengan
bantuan sejarah filsafat sedunia.

Soekarno

Prinsip politik “Ketuhanan yang Maha Esa” harus dimasukkan ke dalam Pancasila
karena, menurut Soekarno, bangsa Indonesia pada umumnya adalah bangsa
yang ber-Tuhan.2 Sudah dari sejak zaman nenek moyang, manusia-manusia
yang mendiami tanah Indonesia adalah pada umumnya manusia-manusia yang
ber-Tuhan. Dengan kata lain, manusia Indonesia, menurut Soekarno, memiliki
jiwa, corak karakter, watak, pembawaan, dan kepribadian umum, yakni manusia
religius (ber-Tuhan).3 Apa buktinya? Ada dua teori yang menguatkan alasan
Soekarno memasukkan prinsip “Ketuhanan” ke dalam prinsip politik kita:

1. Bukti dari ilmu sejarah agama-agama di Indonesia. Ilmu sejarah agama-
agama di Indonesia mengungkap bahwa manusia Indonesia sudah beragama
dan ber-Tuhan dalam beberapa periode historis (istilah Soekarno, saf).
Periode pertama (saf pertama) ialah periode pra-Hindu, lalu saf kedua ialah

1 Baca misalnya buku David Armitage, The Declaration of Independence: A Global History (Harvard University
Press, 2007), yang di dalamnya kita dapat membandingkan antara teks proklamasi kita dengan teks-teks
proklamasi di negara-negara lain seperti Amerika, Provinsi Flanders, Selandia Baru, Texas, Liberia,
Cekoslovakia, Viet Nam, Israel, Rhodesia, dan lain-lain.

2 Soekarno, “Pidato Soekarno”, dalam Iman Toto K. Rahardjo & Herdianto WK (eds.), Bung Karno, Wacana
Konstitusi dan Demokrasi: Kenangan 100 Tahun Bung Karno, (Grasindo, Jakarta, 2001), h.35.

3 Soekarno, “Ilmu dan Amal, Geest-Wil-Daad”, Pidato sewaktu menerima gelar doctor honoris causa sebagai
penggali Pancasila oleh Universitas Gadjah Mada, 19 September 1951 di Yogyakarta, dalam Floriberta Aning
(ed.), Filsafat Pancasila menurut Bung Karno, (Media Presindo, Yogyakarta, 2016), h.58.

periode Hindu, lalu saf ketiga ialah periode Islam, dan saf terakhir adalah
periode penjajahan.4

2. Bukti dari kajian Materialisme Historis. Soekarno menggunakan pendekatan
materialisme historis yang khas Marxist untuk menjelaskan evolusi
keagamaan manusia. Menurut teori Materialisme Historis, agama manusia
dipengaruhi oleh evolusi cara hidupnya, evolusi cara ia mencari makan dan
minum, evolusi cara manusia berekonomi. Pada saat manusia mencari makan
dan minum dengan batu dan kayu, dengan berburu dan mencari ikan, maka
agamanya ialah dengan menyembah jiwa-jiwa yang ada di alam (Animisme).
“Pada waktu malam gelap gelita di dalam hutan, ia hidup di dalam hutan, ia
hidup di dalam alam yang gelap, penuh dengan ketakutan. Ia melihat bulan
dan bintang-bintang. Ia sembah bulan dan bintang-bintang itu. Pada waktu
hujan lebat, ia takut kepada petir, laksana petir itu menyambarnya. Ia
menyembah kepada petir.”5 Lalu, pada saat manusia mencari makan dan
minum dengan berternak, memelihara binatang, maka agamanya berubah
dan berevolusi yakni menyembah jiwa yang ada di binatang (Totemisme).
“Oleh karena binatanglah yang memberi susu, daging, kulit kepadanya, oleh
karena hidupnya sebagian besar tergantung kepada binatang. Ia punya
Tuhan lantas dirupakan binatang.”6 Kemudian, pada saat kulturnya makin
maju: manusia mencari makan dan minum dengan bertani dan berladang,
maka agamanya pun berganti dan berevolusi yakni menyembah zat-zat yang
menguasai pertanian, seperti kepercayaan pada dewi-dewi yang memberkati
tanah pertanian (Dewi Laksmi, Dewi Sri, Saripohaci di suku Sunda). “Sesudah
ditanam padinya, kalau untung, bisa memiliki hasilnya. Kalau kebanyakan
hujan, mati tanamannya. Oleh karena itu ia memohon. Nah, Tuhannya itu
lantas dibentukkan sesuatu yang berhubungan dengan pertanian...”7
Kemudian, pada tahap evolusi ekonomis berikutnya, ketika manusia mencari
makan dan minum dengan alat pertukangan, alat-alat teknologi kerajinan,
alat-alat teknologi besi, maka agamanya berganti lagi dan berevolusi yakni
menyembah Tuhan yang gaib. “Alam keempat, gaib. Tuhan dimasukkan di
dalam alam gaib. Tuhan di mana? Tidak kelihatan, tidak bisa mata melihatnya.
Tidak bisa diraba, tidak bisa dilihat, gaib.”8 Fase terakhir dari evolusi agama
manusia adalah ketika manusia mencari makan dan minum dengan
industrialisme, dengan pabrik-pabrik. Agama manusia pada tahap ini adalah
kepercayaan bahwa Tuhan itu tidak ada. “Fase yang terakhir, industrialisme.

4 Soekarno, “Ketuhanan yang Maha Esa dalam Pancasila”, Bahan kursus Pancasila di depan kader-kader
Pancasila pada tanggal 26 Mei 1958 di Istana Negara, Jakarta, dalam Floriberta Aning (ed.), Ibid., hh.130-133.

5 Ibid., h. 143.

6 Ibid., h. 146.

7 Ibid., h. 148.

8 Ibid., h. 150.

Disitu malahan lebih daripada digaibkan. Karena di situ manusia merasa
dirinya Tuhan... Aku bisa, aku kuasa! Tuhan, persetan, tidak ada Tuhan itu.
Lucunya di situ! Sebagian daripada manusia berkata: Tuhan, tidak ada.”9

Setelah Soekarno menjelaskan teori evolusi keagamaan manusia dengan
menggunakan teori Materialisme Historis, ia pun mengaplikasikannya kepada
keagamaan manusia Indonesia, lalu ia berkesimpulan bahwa, manusia Indonesia
banyak yang mencari makan dan minum dengan cara bertani, banyak yang
mencari makan dan minum dengan cara bertukang dan berteknik, dan hanya
sedikit sekali yang mencari makan dan minum dengan berpabrik. Oleh karena
itu, agama manusia Indonesia adalah menyembah dewi-dewi pertanian,
menyembah Tuhan yang gaib, dan hanya sebagian kecil saja yang atheist.10
Karena yang atheist tidak banyak, maka kesimpulannya adalah tetap: manusia
Indonesia senantiasa beragama dan senantiasa ber-Tuhan, dan karena itu
pulalah konsep ‘Ketuhanan’ harus dimasukkan ke dalam Pancasila.

Sejarah Filsafat Sedunia

Para konseptor Pancasila sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang amat religius—tidak atheistik seperti
masyarakat di Eropa di mana terjadi penolakan-penolakan kuat terhadap agama
(yakni, agama Katolik dan agama Kristen), seperti yang dimisalkan dalam tulisan
Mikhail Aleksandrovich Bakunin berjudul God and The State (1882), yang
didalamnya Bakunin menegaskan bahwa “If God really existed it would be
necessary to abolish him.” (Jika Tuhan benar-benar ada, maka adalah
keniscayaan untuk meniadakannya).11 Kalimat itu menunjukkan kebencian
Bakunin akan konsep Tuhan di negeri Barat/Eropa (yakni Katolik dan Kristen)
untuk dimasukkan ke dalam sistem politik kenegaraan (the state).

Justru dimasukkannya sila ‘Ketuhanan’ di dalam filsafat nasional kita oleh para
konseptor Pancasila, menunjukkan bahwa mereka keras-keras mengritik
keberadaan atheisme di negeri Barat/Eropa dan tidak menginginkan atheisme
terjadi di Indonesia.

Lalu bagaimana dengan para pendiri bangsa kita yang bergabung di Partai
Komunis Indonesia (PKI)? Mereka atheist? Ataukah tidak? Kalau mereka atheist,
sungguh aneh jika mereka diijinkan terus hidup dan berkembang dari tahun
1945, padahal kita punya sila ‘Ketuhanan yang Maha Esa’? Itulah bedanya partai
komunis di Indonesia dengan partai-partai komunis lain di negara-negara

9 Ibid., h. 150-151.

10 Ibid., h. 151-152.

11 Michael Bakunin, God and The State, Dover Publications, Inc., New York, 1970, h. 3.

lainnya. Partai komunis dalam negara kita mengakui adanya Sila ‘Ketuhanan
yang Maha Esa’. Seorang pengamat atheisme dunia, Finngeir Hiorth,
menegaskan bahwa tokoh-tokoh penting PKI baik dari Semaoen (1899-1971),
Alimin (1889-1964), Musso (1897-1948), Darsono (l.1897), Tan Malaka (1897-1949),
Amir Sjarifuddin (1907-1948), hingga D.N. Aidit (1923-1965) tidak terbukti atheist,
bahkan dasar ideologi PKI adalah Pancasila, bukan Marxisme-Leninisme.12
Lagipula, kalau mereka atheist, mana mungkin mereka bisa bebas berkeliaran
dari tahun 1945 hingga tahun 1965 di sekeliling para pendiri Republik kita, yang
sangat memegang teguh prinsip ‘Ketuhanan yang Maha Esa’? Dalam buku
Penoentoen Kaoem Boeroeh (1920) dan Hikajat Kadiroen (1920), Semaoen
seringkali menyebut kata “Allah” dalam buku tersebut; mana mungkin komunis
yang atheist mengatakan hal demikian?13

Problem 1

Masalah pertama ialah masalah bahwa Tuhan yang dipercaya bangsa Indonesia
adalah Tuhan yang Maha Esa (Monotheis). Umat Muslim, umat Kristiani, dan
umat Hindu memang mempercayai Tuhan yang Esa (monotheistis),14 tapi
bagaimana dengan umat Buddhist? Soekarno sendiri mengakui bahwa:
“Buddhisme tidak mengenal apa yang seperti kita artikan sebagai Tuhan.”15
Walaupun tidak ber-Tuhan, tapi kerajaan-kerajaan Buddhist yang pernah jaya di
Indonesia banyak menyumbangkan konsepsi Buddhist dalam kebudayaan kita.
Jadi, keberadaan umat Buddhist tidak bisa diabaikan dan dipinggirkan hanya
karena mereka tidak ber-Tuhan.

Pada kenyataannya, umat Buddhist tetap dibolehkan hidup di Indonesia dari
sejak proklamasi kemerdekaan kita sampai tahun 1966, yakni setelah meletusnya
Peristiwa G-30-S, di mana umat Buddhist dipaksa oleh pemerintahan Soeharto
untuk mencari-cari dalam khazanah Buddhist keberadaan Tuhan yang Esa, agar
mereka tidak menyalahi sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” ini. Untunglah, oleh
Pendeta Ashin Jinarakkhita, ditemukan konsep Tuhan yang Esa dalam agama
Buddha, yakni “Adi Buddha”, dan pada tahun 1979, dalam Kongres Umat Buddha

12 Finngeir Hiorth, “Atheism in Indonesia”, dalam OPEN SOCIETY, Journal of the New Zealand Association of
Rationalists and Humanists, Volume 76 Number 2 Winter 2003, hh. 14-16; bandingkan dengan tulisannya yang
lain, “Atheism in Indonesia”, dalam www.themronline.com/200207idx.html; juga “Indonesie: Geruchten van
Atheisme”, dalam http://www.netcetera.nl/dvg/.

13 Semaoen, Penuntun Kaum Buruh, diretrieve tgl. 12 Juni 2017 dari
https://www.marxists.org/indonesia/indones/1920SemaoenPenuntun.htm

14 Bahwa umat Muslim, umat Kristiani, dan umat Hindu mempercayai Tuhan yang Esa (monotheistik), dapat
dilihat dan dibaca dalam, misalnya, S.A. Nigosian, World Religions, (McDougal, Littell & Company, 1984).

15 Soekarno, “Ketuhanan yang Maha Esa dalam Pancasila”, h. 104.

Indonesia disepakati bahwa: “Semua Sekte Agama Buddha di Indonesia
berkeyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa.”16

Tapi, sejak pemerintahan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) mengakui keberadaan
Kong Hu Cu (Konfusianisme) sebagai agama yang diakui negara kita, timbul lagi
persoalan: apakah Konfusianisme ber-Tuhan Yang Maha Esa? Betul, rupanya
Konfusianisme pun memiliki konsep Ketuhanan yang Maha Esa walaupun
dibahasakan dengan bahasa yang berbeda, yakni The Way (Tao=Jalan) dan The
Heaven (Sang Langit).17

Problem 2

Walaupun semua umat beragama di Indonesia sudah ber-Tuhan Yang Maha Esa,
apakah interpretasi satu umat dominan (misalnya, umat Muslim) harus
mengalahkan interpretasi umat-umat minoritas? Jawabannya adalah tegas:
Tidak! Soekarno menjelaskan: “Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.
Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada
“egoisme-agama”... Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun
Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu?
Ialah hormat-menghormati satu sama lain... Marilah kita di dalam Indonesia
Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip...
daripada negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang
berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati satu sama
lain... dengan cara yang berkebudayaan!”18

Menurut Soekarno, semua umat yang ber-Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia
harus dijamin leluasa untuk menyembah Tuhan yang diyakininya dan harus
dihormati satu sama lain. Dalam Negara Indonesia, tidak boleh ada satu agama
yang egois—yang hanya mementingkan keberadaannya sendiri dan
keabsahannya serta keabsolutannya sendiri. Tidak boleh ada satu agama
dominan yang menjajah keberadaan agama lain yang minoritas. Inilah
Ketuhanan yang Maha Esa yang disebut Soekarno sebagai ‘yang berkebudayaan
dan yang berkeadaban’.

16 Yoneo Ishii, “Notes on the Historical Development of Modern Indonesian Buddhism”, berbahasa Jepang,

dalam , hh. 266-269.

17 H.G. Creel, Chinese Thought From Confucius to Mao Tse-Tung, (A Mentor Book, The New American Library,
1960), hh. 34-38.

18 Soekarno, “Pidato Soekarno”, h. 35.

Bab Dua

Sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”

Apakah yang dimaksud dengan kata “kemanusiaan” di sini? Mengapa kata
“kemanusiaan” di sini disertai dengan kata sifat “adil” dan “beradab”? Apakah
“kemanusiaan” belum tentu bersifat adil dan belum tentu pula bersifat beradab?
Mengapa sila ini menjadi penting dalam benak konseptor Pancasila sehingga ia
harus dimasukkan ke dalam filsafat nasional kita dan harus dijadikan basis filosofis
pendirian republik kita di tahun 1945? Kita akan menjawab pertanyaan tadi lewat
kajian buku-buku lama founding fathers kita.

Soekarno

Pada bagian ini, akan dibahas lebih dulu “sejarah kata” atau etimologi daripada
kata “kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Dalam pidatonya saat sidang perumusan Pancasila (1 Juni 1945), Soekarno tidak
menggunakan kata “kemanusiaan yang adil dan beradab”, tetapi menggunakan
kata “perikemanusiaan”. Apa yang dimaksud Soekarno dengan kata
“perikemanusiaan”? Kita persilahkan Soekarno sendiri yang menjelaskannya:

... prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang
meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham “Indonesia
uber Alles”. Inilah bahayanya. Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa
yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya
satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini!

Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah
perikemanusiaan”, “My nationalism is humanity”... Kita harus menuju persatuan
dunia, persaudaraan dunia.

Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus
menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.

... Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada tuan-
tuan, yang boleh saya namakan “internasionalisme”...

Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya
nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam

taman sarinya internasionalisme... Jadi, dua hal ini,... adalah bergandengan erat
satu sama lain.1

Kesimpulannya, kemanusiaan atau “internasionalisme” yang dimaksud pencipta
Pancasila ini (Soekarno) adalah persatuan dunia, persaudaraan dunia, dan
kekeluargaan bangsa-bangsa. Kesadaran bahwa manusia itu, walau disekat-sekat
dan dibatas-batasi oleh wilayah kenegaraan yang berbeda-beda, tetaplah
merupakan satu “keluarga”, dalam keluarga bangsa-bangsa. Kesadaran bahwa
manusia itu, walau terpisah-pisah wilayah kenegaraannya, tetaplah bersaudara
dan karenanya wajiblah mereka untuk terus bersatu dalam persatuan global dan
persatuan universal.

Lebih lanjut, Soekarno menjelaskan lebih panjang lebar mengenai “Sila
Perikemanusiaan” dalam makalahnya untuk Kursus Pancasila tanggal 5 Juli 1958:

... Perikemanusiaan adalah jiwa yang merasakan bahwa antara manusia dengan
lain manusia adalah hubungannya, jiwa yang hendak mengangkat membedakan
jiwa manusia itu lebih tinggi daripada jiwa binatang.

... Jikalau kita berbuat sesuatu yang rendah yang membikin celaka kepada
manusia lain, kita berkata kita melanggar perikemanusiaan, kita melanggar
hukum menseljkheid.

... Kita tidak menghendaki supaya nasionalisme kita menjadi nasionalisme yang
chauvinis, tapi nasionalisme yang hidup di dalam suasana perikemanusiaan:
nasionalisme yang mencari agar segala umat manusia ini akhirnya nanti hidup
dalam satu keluarga besar yang sama bahagianya.2

Kesimpulannya, “kemanusiaan yang adil dan beradab” yang dimaksud oleh
Soekarno adalah kesadaran bahwa manusia memiliki jiwa yang merasakan
hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Apabila kita
mencelakakan manusia lain, maka kita sudah melanggar jiwa kemanusiaan kita
tadi. Karena itu, kemanusiaan kita menjadikan kita selalu “beradab”, tidak seperti
binatang yang tak berhukum dan tak bermoral. Kemanusiaan kita pun harus “adil”,
dalam artian, kemanusiaan kita menjadikan kita berupaya untuk hidup dalam satu
“keluarga besar manusia” yang “sama bahagianya”; “sama makmurnya”, “sama
sejahteranya”; bukan “keluarga besar manusia” yang berbeda makmurnya, berbeda
rejekinya, tidak adil kesejahteraannya, tidak adil bahagianya.

1 Soekarno, “Pidato Soekarno”, dalam Iman Toto K. Rahardjo & Herdianto WK (eds.), Bung Karno Wacana
Konstitusi dan Demokrasi: Kenangan 100 Tahun Bung Karno, Grasindo, Jakarta, 2001, hh.30-31

2 Soekarno, “Perikemanusiaan dalam Pancasila”, dalam Floriberta Aning (ed.), Filsafat Pancasila menurut Bung
Karno, Media Pressindo, Yogyakarta, hh. 197-243.

Mengapa Dimasukkan?

Mengapa “Sila Perikemanusiaan” ini amat penting untuk dimasukkan ke dalam
Pancasila dan dianggap sangat penting dijadikan prinsip/filsafat nasional kita? Ada
2 alasan:

Alasan Pertama: Soekarno menelusuri khazanah keagamaan di dunia (yakni
agama Yahudi, agama Nasrani, agama Islam, agama Buddha, dan agama Hindu).
Ia meneliti ke dalam ajaran agama-agama tersebut, lalu menemukan ajaran-ajaran
“perikemanusiaan” di dalam semua agama tersebut. Ia sangat piawai dalam
menelusuri, menyelidiki ajaran-ajaran agama, lalu akhirnya berkesimpulan bahwa
“... baik Hinayana maupun Mahayana tidak berdiri di atas dasar kebangsaan,
langsung menuju kepada manusia-manusia dan manusia satu sama lain harus
hidup seperti saudara dengan saudara, ... Juga Nabi Isa tidak terutama sekali
berdiri di atas kebangsaan, ia punya ajaran ditujukan kepada semua manusia, ...
baik agama Hindu maupun agama Buddha maupun agama Islam berdiri kuat di
atas dasar perikemanusiaan.”3 Pendek kata, semua agama tersebut mengajarkan
persaudaraan umat manusia sedunia.

Alasan Kedua: Soekarno memiliki satu nubuat (prophecy) atau satu prediksi di
masa depan, bahwa kapitalisme internasional dan imperialisme internasional
berumur panjang, dan nyatanya memang terbukti hingga sekarang. Oleh karena
itu, agar umurnya pendek, maka semua bangsa harus bangkit bersama melawan
kapitalisme dan imperialisme internasional. Negeri-negeri tidak bisa melawan
sendiri; harus semua bangsa bangkit bersatu dan menumpasnya dari muka bumi
ini.

Soekarno setuju dengan pendapat Trotsky, bahwa “Musuh kita kapitalisme adalah
sudah mencapai tingkatan internasional kapitalisme, musuh kita telah mencapai
tingkatan internasional imperialism, yang dus tidak bercokol disesuatu negeri saja,
tapi bercokol di seluruh dunia,”4 oleh karenanya, setiap negara harus bahu-
membahu, bekerjasama, bersatu, dan merealisasikan perikemanusiaannya untuk
menumbangkan sekaligus kapitalisme internasional dan imperialisme
internasional jika setiap negara di dunia “... menghendaki masyarakat adil dan
makmur.”5

Soekarno memandang penting dimasukkannya prinsip perikemanusiaan ini ke
dalam Pancasila kita karena ia menyadari betapa pentingnya kerjasama sedunia di
antara bangsa-bangsa yang pernah dan yang masih dijajah oleh negera-negara

3 Ibid., hh. 229-241.

4 Ibid., h.220.

5 Ibid.

imperialis-kapitalis untuk menumbangkan kapitalisme internasional dan
imperialisme internasional tersebut; persis sebagaimana Trotsky pikirkan. Kata
Soekarno: “... kita tak mungkin mengadakan satu masyarakat sosialisme ala
Indonesia, sosialisme Pancasila, jikalau kita mengadakan isolasionisme, tidak mau
berhubungan dengan bangsa-bangsa yang lain...”6

Bukti Nyata

Prinsip “perikemanusiaan” ini bukan sekedar impian kosong belaka, tapi
dibuktikan dalam perilaku sehari-hari para konseptor Pancasila. Berikut ini akan
dipetik beberapa contoh pelaksanaan dari prinsip perikemanusiaan yang telah
dilakukan oleh para founding fathers kita, yang bahkan telah dilakukan jauh
sebelum Pancasila mereka rumuskan!

a. Liga Anti-Imperialisme 1927

Kesadaran perikemanusiaan yang sangat tinggi membawa tiga pemimpin nasional
dari Indonesia (yakni, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Semaoen)7 untuk
menghadiri satu konferensi internasional yang diselenggarakan di Brussels, Belgia
pada tanggal 10 Februari 1927. Konferensi ini dihadiri oleh para pemimpin negara
terjajah, pemimpin nasional, dan para ilmuwan, seperti Jamal al-Husayni
(Palestina), Mortesa Alawi (Iran), Jawaharlal Nehru (India), Albert Einstein
(Amerika), Madame Sun Yat-sen (Cina), Lamine Senghor (Afrika), dan lain-lain.8
Konferensi ini dinamakan “Konferensi Liga Anti-Imperialisme” (League Against
Imperialism); sengaja dinamakan demikian untuk melawan berdirinya “Liga
Bangsa-Bangsa” (League of Nations)—cikal bakal PBB. Liga Bangsa-Bangsa
menyetujui negara-negara kapitalis-imperialis menjajah negeri-negeri non-Barat,
sementara Liga Anti-Imperialisme melawan secara tegas segala bentuk
imperialisme negara-negara kapitalis Barat.9

Dalam konferensi tersebut, Soekarno, Hatta, dan Semaun bersama-sama dengan
pemimpin negara-negara terjajah lainnya bertemu, bertukar pikiran, berdialog,
dan akhirnya menjalin kerjasama antar-bangsa agar imperialisme negeri-negeri
Barat penjajah hapus dari muka bumi, dan semua negeri-negeri terjajah
mendapatkan kemerdekaannya.

6 Ibid., h. 227.

7 Vijay Prashad, The Darker Nations: A People’s History of the Third World, The New Press, New York & London,
2007, h.21.

8 Ibid., hh. 21-22

9 “League Against Imperialism”, English Wikipedia, http://en.wikipedia.org/League_against_Imperialism

b. Fourth Congress of the Communist International 1922

Tan Malaka, pendiri Republik kita, juga memiliki kesadaran perikemanusiaan yang
amat tinggi, sehingga ia membangun kerjasama dengan tokoh-tokoh komunis
dari negara-negara seluruh dunia untuk menghapus kapitalisme dan imperialisme
negara-negara Barat penjajah dari bumi negeri-negeri terjajah. Ia menghadiri satu
kongres internasional yang disponsori dan didukung oleh negara komunis Rusia
pada tanggal 12 Nopember 1922, yang disebut dalam sejarah sebagai “the Fourth
Congress of the Communist International” di Moskow, Uni Soviet.10 Di situ ia
bertemu dengan para tokoh partai komunis di seluruh dunia, berdebat dengan
anggota kongres yang lain, dan berpidato mengenai kondisi penjajahan Belanda
di Indonesia. Pidatonya diterbitkan dengan judul “Communism and Pan-Islamism”
pada tahun 1922. Dalam pidatonya, ia beserta pemimpin partai komunis sedunia
menyerukan perlunya united front (persatuan perlawanan) melawan negara-
negara Barat kapitalis-imperialis.

Di sana, Tan Malaka bertemu dengan tokoh-tokoh anti kapitalisme dan
imperialisme yang saat itu terkenal di dunia, seperti Nikolai Bukharin, Vladimir
Lenin, Karl Radek, Leon Trotsky, Clara Zetkin, dan lain-lain.11

Tan Malaka berani menempuh perjalanan panjang dan penuh bahaya lewat kapal
laut selama empat hari empat malam hanya untuk menempuh Moskow
dikarenakan kesadaran perikemanusiaannya yang amat tebal.

Semua founding fathers kita di atas telah mencontohkan bagaimana prinsip
perikemanusiaan dapat dimanifestasikan dalam bentuk kerjasama antar-bangsa
untuk menghadapi musuh bersama: kolonialisme dan kapitalisme negeri-negeri
Barat penjajah!

Problem 1

Bagaimana dengan sekarang? Musuh dunia yang sama masih juga bercokol
hingga detik ini; kapitalisme internasional. Kapitalisme internasional dan organisasi
yang mendukungnya (PBB) masih juga berkuasa. Gerakan Non-blok (the Non-
Aligned Movement) yang digagas di Konferensi Asia-Afrika di Bandung di bulan
April 1955 tidak cukup kuat untuk menjadi penyeimbang antara blok kapitalis
maupun blok sosialis. Bahkan Soekarno, yang sudah hampir berhasil membuat
Indonesia menjadi satu negara sosialis bersama-sama dengan Vietnam, Korea
Utara, dan Cina, dikudeta oleh pihak militer nasional kita di tahun 1965, yang

10 Tan Malaka, “Communism and Pan-Islamism”, dari https://www.marxists.org/archive/malaka/1922-
Panislamism.htm

11 “4th World Congress of the Comintern”, English Wikipedia,
https://en.wikipedia.org/wiki/4th_World_Congress_of_the_Comintern

rupanya dibantu seratus persen oleh agen intelijen satu negara kapitalis terbesar
di dunia; CIA dari AS.12 Sehingga, kerjasama internasional yang didasari oleh
prinsip perikemanusiaan untuk melawan kapitalisme internasional, yang diidam-
idamkan oleh para konseptor Pancasila, tidak terwujud. Bahkan hingga sekarang,
kita malah dijajah secara ekonomis oleh para kapitalis internasional (misalnya,
Freeport, Chevron, Caltex, dan lain-lain). Pada krisis ekonomi 1998, kita dipinjami
uang oleh IMF (kapitalis internasional lagi!) untuk membenahi ekonomi nasional
kita kembali tapi dengan satu syarat yang sungguh amat pahit: semua perusahaan
di Indonesia harus mengadopsi sistem outsourcing. Maka, Megawati
Soekarnoputri pun menandatangani kontrak dengan IMF pada tahun 2003.13

Problem 2

Manakah kesadaran perikemanusiaan yang sadar akan “keluarga besar manusia”
dan sadar akan “sama bahagianya”, ketika Pemuda Pancasila mengganyang
beribu-ribu rakyat yang dituduh PKI tanpa bukti dan tanpa pengadilan?14 Bahkan
hingga kini para korban fitnah Orde Baru tersebut sulit sekali mendapat kerja,
karena setiap perusahaan meminta surat kelakuan baik dan surat bebas dari
keterlibatan dalam PKI. Manakah yang lebih tidak berperikemanusiaan: PKI (itupun
masih samar-samar; PKI atau Kopassus yang dibantu CIA?) yang membunuh
berpuluh jenderal atau Pemuda Pancasila yang membunuh beribu-ribu anggota
(dan yang tidak merasa anggota tapi kena tuduh) PKI? Hanya Tuhan sajalah yang
bisa menjawabnya.

12 Seorang pengamat dan peneliti dokumen-dokumen CIA pada Perang Dunia II terkenal, Noam Chomsky,
membuka rahasia CIA bahwa Soekarno dijadikan tahanan rumah dan dituduh terlibat G30S oleh pemerintahan
militer Soeharto atas bantuan CIA Amerika. Akibat pengakuannya ini, Chomsky saat ini dijadikan tahanan rumah
AS dan dilarang untuk berceramah ke luar negeri AS. Lihat dan baca pengakuan Chomsky mengenai keterlibatan
CIA dalam penjatuhan Soekarno tahun 1966 dalam Peter R. Mitchell & John Schoeffel (eds.), Understanding
Power: The Indispensable Chomsky, Scribe Publications, Melbourne, 2002, hh. 19-20. Bandingkan dengan Peter
Dale Scott, “The United States and the Overthrow of Soekarno, 1965-1967”, dalam Pacific Affairs, 58, Summer
1985, hh. 239-264; versi daringnya dapat dibaca di http://wvi.antenna.nl/eng/ic/pki/pds.html
13 “Manifesto Pemilu 2014”, http://www.prd.or.id/manifesto-pemilu-2014-menangkan-cita-cita-proklamasi-17-
agustus-1945/
14 “Soeharto Bukan Pahlawan”, http://soehartobukanpahlawan.blogspot.co.id/2014/10/pengakuan-anwar-
congo-sang-pembantai-pki.html

Bab Tiga
Sila “Persatuan Indonesia”

Apa yang dimaksud dengan “Persatuan Indonesia” oleh para pendiri republik
kita? Mengapa prinsip ini dianggap sangat penting sehingga dimasukkan ke
dalam konsepsi Pancasila kita? Di bawah ini akan dicarikan jawabannya
berdasarkan buku-buku peninggalan para pendiri republik kita.

Soekarno

Pada bagian ini, akan dibahas lebih dulu “sejarah kata” atau etimologi daripada
kata “persatuan Indonesia”.

Dalam pidatonya saat sidang perumusan Pancasila (1 Juni 1945), Soekarno tidak
menggunakan kata “persatuan Indonesia”, tetapi menggunakan kata
“kebangsaan” atau “nasionalisme”. Kata “kebangsaan” baru hilang ketika
perumusan “Pembukaan UUD ‘45” oleh BPUPKI, dan diganti menjadi “persatuan
Indonesia”.

Apa yang dimaksud Soekarno dengan kata “kebangsaan” atau “nasionalisme”?
Untuk menjelaskan hal tersebut, Soekarno mengutip beberapa filosof yang
pernah menulis akan hakikat kebangsaan. Pertama, Soekarno mengutip
pendapat Ernest Renan (1823-1892), seorang filosof Perancis. Menurut Renan,
kebangsaan itu lahir dari le desir d’etre ensemble (kehendak untuk bersatu). Kata
Soekarno:

Menurut Renan syaratnya bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Orang-
orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.

Ernest Renan menyebut syarat bangsa: “le desire d’etre ensemble”, yaitu
kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi
bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya
bersatu.1

Kedua, Soekarno mengutip pendapat Otto Bauer (1881-1938), seorang filosof
sosialis Austria. Menurut Bauer, kebangsaan lahir dari “persatuan perangai yang

1 Soekarno, “Pidato Soekarno”, dalam Iman Toto K. Rahardjo & Herdianto WK (eds.), Bung Karno, Wacana
Konstitusi dan Demokrasi: Kenangan 100 Tahun Bung Karno, (Grasindo, Jakarta, 2001), h.26

timbul karena persatuan nasib” (eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene
Charaktergemeinschaft). Kata Soekarno:

Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya
Die Nationalitatenfrage, di situ ditanyakan: “Was ist eine Nation?” Dan jawabnya
ialah: “Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene
Charaktergemeinschaft”. Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah
satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).2

Ketiga, Soekarno mengutip pendapat Ki Bagoes Hadikoesoemo, seorang filosof
Islam Indonesia (dari organisasi Muhammadiyah). Menurut Ki Bagoes,
kebangsaan lahir dari ‘persatuan antara orang dan tempat’. Kata Soekarno:

Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo,... mengatakan
tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan
tempat tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!

Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari
bumi yang ada di bawah kakinya... bumi yang didiami manusia itu. apakah
tempat itu? tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah
s.w.t. membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia,
kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak
kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa Kepulauan
Indonesia merupakan satu kesatuan... Kesatuan bumi Indonesia dari ujung
Sumatra sampai ke Irian.3

Ketiga pendapat itu dikombinasikan, sehingga Soekarno berkesimpulan bahwa
kebangsaan itu lahir karena tiga hal: kehendak untuk bersatu, persamaan
karakter karena persamaan nasib, dan kaitan antara tempat (tanah air) dan
penduduk yang mendiaminya. Ketiga hal tersebut sudah ada dan sudah
bermanifestasi di zaman itu: semua rakyat saat itu (tahun 1945) sudah memiliki
kehendak untuk menyatukan diri mereka dalam membangun “bangsa
Indonesia”; semua rakyat saat itu memiliki persamaan nasib yaitu nasib jadi
rakyat yang terjajah; semua rakyat saat itu memiliki persamaan karakter yaitu
karakter terjajah; dan semua rakyat saat itu sudah mendiami bumi Indonesia dari
ujung Sumatra hingga ujung Irian, maka menurut Soekarno, sudah
semestinyalah kita pun mengklaim bahwa kita pun sudah memiliki kebangsaan,
yaitu kebangsaan Indonesia.

Mengapa Dimasukkan?

Mengapa “Sila Kebangsaan” ini amat penting untuk dimasukkan ke dalam
Pancasila dan dianggap sangat penting dijadikan prinsip/filsafat nasional kita?

2 Ibid.
3 Ibid., hh. 27-28

Ada 4 alasan:

Alasan Pertama: Soekarno menelusuri suku-suku bangsa di banyak negara di
dunia, lalu berkesimpulan bahwa suku-suku bangsa tersebut memiliki ciri khas
yang membedakan mereka satu sama lain, yakni perbedaan warna kulit mereka.
Orang Indonesia memiliki kebangsaan yang khas yang membedakannya dari
orang di negara lainnya dari warna kulitnya yang sawo matang. Kata Soekarno:

Saudara melihat di dalam jumlah umat manusia di dunia ini yang jumlahnya
2.600 atau 2.700 juta manusia. Saudara melihat 2.600 atau 2.700 juta manusia
itu terbagi dalam golongan-golongan, golongan-golongan yang besar yang
berwarna-warna kulitnya. Ada golongan besar yang berkulit putih, ada
golongan besar yang berkulit hitam, ada golongan besar yang berkulit kuning,
ada golongan besar yang berkulit merah-sawo, dan lain sebagainya. Bahkan
ada golongan-golongan yang lebih kecil yang dinamakan oleh kita suku-suku.

Ini adalah satu fact, satu kenyataan yang tidak bisa dibantah oleh siapapun juga.
Di atas dasar fact ini kita tidak boleh tidak harus mengakui adanya bangsa dan
kebangsaan.4

Alasan Kedua: Soekarno menelusuri suku-suku bangsa di dunia, lalu
berkesimpulan bahwa suku-suku bangsa tersebut memiliki ciri khas yang
membedakan mereka satu sama lain, yakni perbedaan karakter mayoritas
penduduknya. Orang Indonesia memiliki kebangsaan yang khas yang
membedakannya dari orang di negara lainnya dari perbedaan karakter
bangsanya yang religius dan ramah. Kata Soekarno:

... bangsa Italia karakternya artistik, corak jadinya itu artistik. Bangsa India,
karakternya, wataknya, corak jiwanya religius. Ini bangsa Italia dan India. Bangsa
Inggris karakternya haus kepada kekuasaan. Ya, power, power, bahkan ia
memiliki ik-heid selalu di atas. Orang Inggris tidak mau menulis “I” (ik) dengan
leter “i” (kecil), tapi leter “I” (besar). Bangsa Perancis ... karakternya suka pada
pakaian ginding.

... Dus ... bangsa adalah satu individualiteit. Mempunyai watak sendiri,
mempunyai karakter sendiri.5

Alasan Ketiga: Soekarno menegaskan bahwa jika prinsip “Kebangsaan” ini
dimasukkan ke dalam Pancasila dan dijalankan secara penuh kesadaran oleh
semua rakyat Indonesia, maka negara Indonesia yang akan dibangun oleh
bangsa Indonesia akan kuat dan tidak gampang hancur. Kata Soekarno:

4 Floriberta Aning (ed.), Filsafat Pancasila menurut Bung Karno, (Media Presindo, Yogyakarta, 2016), h. 160
5 Ibid., hh. 173-174

... negara jikalau didasarkan antara lain atas rasa kebangsaan, negara demikian
itulah kuat. Maka oleh karena itu kita dengan sengaja memasukkan sila
Kebangsaan di dalam Pancasila kita... untuk negara yang kuat kita mesti
mendasarkan negara itu atas kebangsaan.6

Alasan Keempat: Soekarno menegaskan bahwa prinsip “Kebangsaan” amat
diperlukan di saat negara-negara kecil di dunia mempersatukan diri menjadi
negara besar, yang terjadi di abad 20.

Problem 1

Bagaimana kondisi kebangsaan/nasionalisme kita sekarang? Apakah
nasionalisme kita di era kini kian kuat karena kehendak kuat kita akan persatuan
nasional (Renan)? Apakah nasionalisme kita dewasa ini bisa dipererat lagi
dengan “rasa senasib” (Bauer)? Ataukah diperkuat lagi dengan kesatuan
geopolitik (Ki Bagoes)? Kalau kehendak kuat untuk bersatu, nampaknya sudah
tidak ada lagi. Justru yang nampak sekarang adalah kehendak untuk bercerai-
berpisah, kehendak untuk menceraikan-memisahkan diri. Rakyat Timor Timur
akhirnya berkeputusan untuk bercerai-berpisah; begitu pula menyusul rakyat
Aceh dan rakyat Papua. Kalau begini terus, apakah nasionalisme yang digagas
Renan tetap relevan sekarang?

Problem 2

Apakah nasionalisme kita dipererat sekarang dengan “rasa terikat oleh satu nasib
yang sama”? Mungkin di tahun 1945, kita semua memang sama-sama senasib,
yaitu sama-sama menderita dan sama-sama punya mimpi kesejahteraan jika kita
mencapai kemerdekaan dari penjajahan; tapi di tahun 2017 ini, kita sudah tidak
lagi senasib. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Ada yang sangat kaya dan ada
yang sangat miskin. Ada yang paling kaya dan ada yang paling miskin. Ada yang
mendapat kue besar pembangunan dan ada yang tidak pernah mendapat secuil
pun dari kue pembangunan, lalu bikin kue sendiri-sendiri dari sisa-sisa makanan
di tong-tong sampah penghuni rumah gedongan. Lalu, bagaimana nasionalisme
kita bisa kian kuat jika nasib-nasib ekonomis-politis kita sudah tidak sama satu
sama lainnya?

Problem 3

Apakah kesatuan geopolitik kita bisa mempererat nasionalisme kita sekarang ini?
Tidak juga. Buktinya: sudah sangat lama dan sudah sangat panjang masa hidup
dan waktu tinggal saudara-saudara kita yang bermata sipit, yang berkulit kuning

6 Ibid., hh. 178-179

cerah, yang berbahasa Hokkian dan Mandarin, yang kadung kita sebut dengan
sebutan pejoratif “Tionghoa” dan “Cina” di Indonesia, akan tetapi mereka tetap
saja dieksklusikan, dimarjinalkan, dibedakan, diperbedakan, dipinggirkan dalam
pergaulan politis-ekonomis-sosial kita. Mereka sudah tiga generasi (kurang lebih
150 tahun) tinggal di sini; kesatuan tanah tempat tinggal mereka di Indonesia
dan diri mereka sudah tidak bisa dipisah-pisahkan lagi; sudah menyatu dalam
diri mereka, sesuai syarat Ki Bagoes yang di atas tadi. Kalau ditanya “kamu orang
Cina ya?”, mereka tidak bisa menjawab apa-apa sebab hubungan antara mereka
dan leluhur mereka di Cina sudah putus selama tiga generasi. Mereka sudah
berribu-ribu kali bilang “kami orang Palembang/Jawa/Medan (= Indonesia)”, tapi
kita masih saja memperlakukan mereka sebagai orang non-Indonesia. Kita masih
juga menganggap dan memperlakukan mereka sebagai “orang Cina” hanya
karena anugrah kulit dan karunia fisik yang berbeda dengan rata-rata kita. Harus
berapa generasi lagi dan harus berapa abad lagi mereka baru bisa kita anggap
“kita”? Harus berapa milenium lagi “kesatuan geopolitik” mereka di Indonesia
baru bisa dianggap sah oleh mayoritas kita-kita???

Bab Empat

Sila “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”

Apakah yang dimaksud dengan tiga kata kunci “Kerakyatan”, “Hikmat
Kebijaksanaan”, dan “Permusyawaratan Perwakilan” dalam sila yang redaksinya
terpanjang ini? Mengapa sila ini dianggap sangat perlu sehingga dimasukkan ke
dalam prinsip utama nasional kita?

Kita akan jawab pertanyaan tadi dengan mengutip perbendaharaan lama dari
para founding father kita dan dari Sejarah Filsafat Dunia.

Soekarno

Dalam pidato saat merumuskan Pancasila di sidang BPUPKI (tanggal 1 Juni 1945),
Soekarno tidak menyebut sila ini dengan redaksi yang sekarang kita kenal; tapi
beliau hanya menyebut sila ini dengan sebutan pendek, yaitu “dasar mufakat”
atau “dasar demokrasi”. Kata Soekarno:

... apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah mufakat, dasar perwakilan, dasar
permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu
negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara
“semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”...

Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal..., yaitu dengan jalan pembicaraan atau
permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.

Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan
perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan... Di sinilah kita
usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi
perbaikan. 1

Muhammad Yamin

Dalam pidato saat merumuskan dasar dan asas negara kita (tanggal 29 Mei
1945), Muhammad Yamin mengusulkan tiga dasar negara, yang salah satunya
ialah “dasar kebijaksanaan” atau “dasar rasionalisme”. Agaknya, kata ‘Hikmat
Kebijaksanaan” atau “Rasionalisme” yang kita kenal sekarang berasal dari pidato
Muhammad Yamin ini. Kata Yamin:

1 Soekarno, “Pidato Soekarno”, dalam Iman Toto K. Rahardjo & Herdianto WK (eds.), Bung Karno, Wacana
Konstitusi dan Demokrasi: Kenangan 100 Tahun Bung Karno, (Grasindo, Jakarta, 2001), h. 31

Sampailah saya sekarang ke dasar yang ketiga, jalan kebijaksanaan (rationalisme).

…adat telah banyak kemasukan pengaruh feodalisme zaman Belanda dan dalam
adat juga telah terdapat kerusakan-kerusakan karena pemerintah jajahan. Dalam
adat juga telah terdapat bagian-bagian yang tidak menurutkan aliran zaman.
Pembaharuan mestilah ada…. Pembaharuan itu dijalankan dengan tenaga pikiran
terutama dari kaum terpelajar yang budiman dan berpengetahuan tinggi. Dasar
irrationalisme dan prelogisme hendaklah berangsur-angsur hilang dan dari sekarang
Negara Indonesia hendaklah disusun atas logika sebagai dari rationalisme yang
sehat…

Hikmah kebijaksanaan yang menjadi pimpinan kerakyatan Indonesia ialah
rationalisme yang sehat, karena telah melepaskan dari anarchi, liberalisme dan
semangat penjajahan.2

Dari keterangan kedua founding father kita tadi, dapatlah disimpulkan bahwa sila
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan” adalah gabungan dari dua ide: ide Soekarno dan ide Yamin. Sila itu
berarti prinsip Demokrasi yang dipimpin oleh Rasionalisme yang sehat yang
termanifestasikan dalam bentuk Badan Perwakilan Rakyat.

Mengapa Dimasukkan?

Sebelum para founding father dan founding mother kita memilih Demokrasi,
sudah terdapat sistem kenegaraan lainnya di dunia, seperti Monarki, Teokrasi,
Plutokrasi, Diktator Proletariat, dan lain-lain. Tapi mengapa mereka malah
memilih Demokrasi dan memasukkannya ke dalam prinsip utama pendirian RI
kita ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita kutipkan pendapat para founding
father kita mengenai sistem Monarki.

Soekarno

Soekarno sangat membenci sistem Monarki atau Kerajaan (Keningratan),
sehingga ia tidak memilih Monarki. Dalam salah satu puisinya, berjudul “Gedung
Indonesia”, Soekarno mengungkapkan kebenciannya terhadap sistem Monarki:

...Marhaen tidak saja
harus mengikhtiarkan Indonesia Merdeka
tidak saja harus
mengikhtiarkan kemerdekaan nasional
tetapi juga harus
menjaga yang di dalam
kemerdekaan nasional itu
kaum Marhaenlah yang memegang kekuasaan
dan bukan kaum borjuis Indonesia
bukan kaum ningrat Indonesia

2 Muhammad Yamin, “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”, dalam Sekneg RI (ed.), Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) & Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hh. 19-20.

bukan kaum musuh-Marhaen bangsa Indonesia yang lain-lain.3

Mohammad Hatta

Hatta juga sangat membenci sistem Monarki, yang disebutnya “sistem Feodal”.
Kata Hatta:

Dulu feodalisme di Barat bersandar atas hak milik tanah dan terjelma dalam bentuk tuan-
tanah yang berkuasa. Di negara kita feodalisme bertopang di atas keturunan yang
berstatus sosial tertentu dan berkuasa dalam adat dan pemerintahan.

Masa revolusi telah merombak landasan-landasan pokok tempat berdirinya feodalisme
itu.

... Feodalisme... sering kita benci, karena banyak sekali diperalat oleh para penjajah...4

Soetan Sjahrir

Soetan Sjahrir juga sangat membenci Monarki, yang disebutnya “Feodal” atau
“Keningratan”. Karena “Keningratan”lah, Fasisme Belanda tumbuh subur di
Indonesia. Kata Sjahrir:

Revolusi kita ini yang keluar berupa revolusi nasional, jika dipandang dari dalam berupa
revolusi kerakyatan. Meskipun kita telah berpuluh tahun berada di dalam lalu-lintas
dunia modern, meskipun masyarakat negeri kita telah sangat dirubah dan dipengaruhi
olehnya, akan tetapi di seluruh kehidupan rakyat kita terutama di desa, alam kehidupan
serta pikiran orang masih feodal. Penjajahan Belanda berpegang pada segala sisa-sisa
feodalisme itu untuk menahan kemajuan sejarah bangsa kita. Begitu umpamanya
pangrehpraja tak lain dari alat yang dibuat oleh penjajah Belanda dari warisan feodal
masyarakat kita. Berupa-rupa aturan yang dilakukan atas rakyat kita di desa tak lain
daripada lanjutan yang lebih teratur daripada kebiasaan feodal, demikian penghargaan
yang begitu rendah terhadap diri orang desa, yang masih dipandang setengah budak-
belian, bukan saja di dalam mata kaum ningrat kita, akan tetapi juga di dalam
pandangan kaum penjajah Belanda.

Penjajah Belanda itu mencari kekuatannya dengan perkawinan ratio-modern dengan
feodalisme Indonesia, menjadi akhirnya contoh fasisme yang terutama di dunia ini.
Fasisme di tanah jajahan jauh mendahului fasisme Hitler ataupun Mussolini. Sebelum
Hitler mengadakan concentrasikamp Buchenwald atau Belzen, Boven-Digul sudah lebih
dahulu diadakan. Oleh karena itu maka pergerakan rakyat kita dari sejak mula di dalam
menentang penjajahan asing sebenarnya menentang feodal-bureau-kratie dan akhirnya
autokratie dan fasisme jajahan Belanda, dan oleh karena itu pergerakan
kerakyatan yang sejati.

... di dalam pandangan kita revolusi kita sekarang adalah revolusi nasional dan revolusi
kerakyatan yang bersangkutan dengan alam feodal di negeri dan masyarakat
kita, terutama desa.5

3 Maman S. Tegeg (ed.), Puisi-Puisi Revolusi Bung Karno, Yayasan Seni & Budaya GEMA PATRIOT, Jakarta, 1998,
hh. 20-21
4 Dr. Z. Yasni, Bung Hatta Menjawab: Wawancara Dr. Mohammad Hatta dengan Dr. Z. Yasni, Jakarta: Gunung
Agung, 1980, cet-3, hh. 184-185.
5 Soetan Sjahrir, Perdjoeangan Kita, Pusat Dokumentasi Guntur 49, 2010, hh.15-17

Tan Malaka

Menurut founding father kita dari golongan komunis (PKI) ini, Monarki atau
Kefeodalan (Feodalisme) adalah alat penjajah Belanda untuk menancapkan
kuku-kuku ekonomi kapitalisme di bumi Indonesia. Karena kebenciannya akan
kapitalisme, maka apapun yang mendukung kapitalisme, akan sangat
dibencinya. Kata Tan Malaka:

Kapitalisme Indonesia adalah kapitalisme kolonial dan tidak akan tumbuh secara
tersusun dari masyarakat Indonesia sendiri, sebagaimana halnya dengan kapitalisme
Eropa. Ia dipaksakan dengan kekerasan oleh suatu negeri imperialis Barat dalam
masyarakat feodal Timur, untuk kepentingan-kepentingan negeri Barat.6

Kebencian mereka terhadap sistem Monarki, menyebabkan mereka memilih
sistem Demokrasi untuk diterapkan di Indonesia.

Mereka juga tidak memilih Teokrasi, karena mereka juga sadar bahwa fakta yang
tak bisa dibantah adalah rakyat kita menganut agama yang berbeda-beda;
bukan satu agama, sebagaimana di negara Vatikan.

Sejarah Filsafat Dunia

Yang juga membuat para founding fathers dan founding mothers kita memilih
prinsip Demokrasi adalah kejadian politis di dunia yang menggemparkan, seperti
Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika Serikat. Para pendiri RI kita sudah
membaca buku-buku yang menceritakan betapa dahsyatnya kedua revolusi
tersebut; yang menghapus sistem Monarki menjadi sistem Demokrasi, sehingga
mereka pun menghendaki negara yang akan mereka dirikan bersistem
Demokrasi pula.

Hanya saja, mereka memiliki beberapa catatan mengenai Demokrasi yang
didirikan di negeri Perancis dan di negeri Amerika tersebut. Mereka menemukan
kelemahan-kelemahan dan kekeliruan pada praktek Demokrasi di kedua negara
tersebut. Mereka tidak mau kalau kelemahan dan kekeliruan itu dilakukan
kembali di dalam Demokrasi di Indonesia. Apa sajakah kelemahan dan
kekeliruan praktek Demokrasi di negeri-negeri Barat tersebut?

Kelemahan Pertama: Demokrasi yang dipraktekkan di Perancis setelah Revolusi
Perancis hanyalah demokrasi di lapangan politik saja; demokrasi itu tidak
diterapkan di lapangan ekonomi. Akibatnya, menurut Soekarno, seorang buruh
dapat saja menjatuhkan seorang menteri dari kementerian yang dipimpinnya
lewat Badan Perwakilan Rakyat, tetapi di hari berikutnya si buruh bisa saja

6 Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia, Yayasan Massa, 1987, h.20

dipecat dari pabrik tempatnya kerja oleh si majikannya yang rupanya teman baik
si menteri tadi; ia dilempar keluar ke jalan raya, dibikin miskin, tidak bisa makan.
Itu dikarenakan tak ada demokrasi di bidang ekonomi.7

Kelemahan Kedua: Demokrasi yang dipraktekkan di Perancis setelah Revolusi
Perancis dan di Amerika adalah demokrasi yang memerintis dan membuka jalan
untuk dunia yang kapitalistik-imperialistik; sedangkan Demokrasi yang akan kita
lakukan di Indonesia, menurut Soetan Sjahrir, adalah Demokrasi yang turut
menutup sejarah kapitalis-imperialis. Yakni, demokrasi yang sifatnya sosialistik;
bukan “Demokrasi Burgerlijk”.8

Kelemahan Ketiga: Demokrasi yang dipraktekkan AS setelah Revolusi Amerika,
menurut analisa Tan Malaka, adalah demokrasi yang rasis; orang kulit-putih lebih
banyak dipilih daripada kaum kulit berwarna (Afro-Amerika). Baik kulit hitamnya
kaya ataukah miskin, suara mereka tidak terwakilkan dalam Badan Perwakilan
Rakyat di AS.9

Problem 1

Prinsip Demokrasi yang dicita-citakan Soekarno, malah dikhianati Soekarno
sendiri saat ia mempraktekkan apa yang disebutnya “Demokrasi Terpimpin” di
tahun 1957. Ia mempraktekkan Demokrasi tapi yang dipimpin oleh Presiden yang
otokratis; Presiden yang sendirian menentukan jalan, menentukan tujuan,
menentukan sasaran hendak kemana haluan Republik kita akan dituju; Presiden
yang apabila ada yang mengritik kebijakannya malah disebut “anti-revolusioner”,
“anti-Nasakom”, “anti-Pancasila”.

Problem 2

Dalam era kepresiden Soeharto, Demokrasi juga diselewengkan. Ia memaksakan
semua partai politik yang ada untuk dimiskinkan kuantitasnya (dibahasakan
olehnya, “disederhanakan”) dari banyak partai diciutkan menjadi hanya 2 partai
(Partai Persatuan Pembangunan [PPP] dan Partai Demokrasi Indonesia [PDI]); ia
juga memaksakan Pancasila sebagai ideologi wajib untuk semua partai politik
yang ada (jadi, tidak ada lagi ideologi Islamisme, ideologi Sosialisme, ideologi
Marxisme di zamannya; semuanya wajib ber-“ideologi Pancasila”; jika tidak, maka

7 Soekarno, “Pidato Soekarno”, dalam Iman Toto K. Rahardjo & Herdianto WK (eds.), Bung Karno, Wacana
Konstitusi dan Demokrasi: Kenangan 100 Tahun Bung Karno, (Grasindo, Jakarta, 2001), h.33
8 Soetan Sjahrir, Perdjoeangan Kita, Pusat Dokumentasi Guntur 49, 2010, hh. 17-18
9 Tan Malaka, Gerpolek (Gerilya-Politik-Ekonomi), diretrieve tgl. 12 Juni 2017 dari
https://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1948Gerpolek.htm. Akan tetapi, kritikan Tan Malaka atas
demokrasi di AS sudah tidak relevan lagi sejak Barrack Obama, yang Afro-Amerika, berhasil menjadi presiden;
sementara kita di sini, kalau presiden kita berasal dari golongan peranakan Cina (yang sudah 3 generasi hidup,
makan dan minum air dan sayur Indonesia), kita malah lebih tidak bisa menerima dan bisa jadi lebih rasis
daripada orang Amerika terhadap kaum Afro-Amerika!

“tidak Pancasilais”, anti-Pancasila [yang maknanya setara dengan “anti-Nasakom”
di zaman Soekarno]). Soeharto menerapkan the End of Ideology, persis seperti
yang diajarkan Daniel Bell. Aspirasi politik rakyat lewat sistem kepartaian dan
lewat ideologi yang diperjuangkan partai politik sungguh-sungguh dihapus
secara halus dan pelan oleh Soeharto. Bahkan, yang amat menyeleweng dari
sistem Demokrasi ialah tindakannya membuat Golkar sebagai partai penguasa
(Soeharto sendiri yang menjadi ketua Golkar) dan partai pemenang pemilu yang
memuluskan jalan baginya untuk menjadi presiden dari tahun 1966 hingga 1998.
Pegawai negeri dan karyawan yang bekerja di kantor pemerintah dilarangnya
ikut partai politik (PPP dan PDI) dan diwajibkannya memilih Golkar, sehingga
dengan mekanisme begitu Golkar terus menjadi pemenang pemilu.10

Problem 3

Menurut studi yang dilakukan Muchtar Pakpahan, semua anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) RI masa kerja antara tahun 1982 dan 1987 (berarti di era
Orde Baru, era kepresidenan Soeharto) tidak melaksanakan tugas dan haknya
secara optimal.11 Jadi, persis seperti yang disentil dalam lagu Iwan Fals, Wakil
Rakyat, mereka hanya cari aman saja, tidak mau kritis atas kepemimpinan
Soeharto, walaupun Soeharto menyelewengkan Demokrasi demi kepentingan
dan keuntungan politiknya sendiri.

Problem 4

Hingga sekarang, keterwakilan rakyat kecil masih juga nihil. Tak ada wakil rakyat
dari partai pemenang pemilu yang sungguh-sungguh terbukti memikirkan dan
mementingkan dan mengedepankan kepentingan rakyat miskin. Jadi, Demokrasi
yang saat ini berlangsung dan dipraktekkan di era Jokowi pun tidak ada yang
mewakili kedaulatan rakyat kecil dan miskin. Demokrasi yang sekarang
berlangsung, meminjam istilah Soetan Sjahrir, masih “Demokrasi Burgerlijk”;
demokrasi yang mengingkari aspirasi demos (rakyat) itu sendiri. Demokrasi yang
justru dikritik oleh founding father dan founding mother kita sendiri!!!

10 Leo Suryadinata, Military Ascendancy and Political Culture, terjemahan Indonesia oleh A.E. Priyono, Jakarta:
LP3ES, 1992, hh. 36-113
11 Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., M.A., DPR RI Semasa Orde Baru, Jakarta: Sinar Harapan, 1994, hh. 215-216.

Bab Lima

Sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”

Apakah yang dimaksud para founding fathers dengan prinsip “Keadilan Sosial”?
Mengapa prinsip “Keadilan Sosial” sungguh amat pentingnya, sehingga sungguh
perlu dan sungguh penting dijadikan prinsip pendirian Republik kita ini dan
dimasukkan ke dalam Pancasila? Apakah alasan yang sebenarnya, apakah motif di
belakang masuknya prinsip ini ke dalam perumusan Pancasila?

Untuk menjawab pertanyaan tadi, akan dicari jawabannya dari buku-buku lama
karangan founding fathers kita.

Soekarno

Yang dimaksud Soekarno dengan prinsip “Keadilan Sosial” adalah keadilan
ekonomis atau kesejahteraan ekonomis atau persamaan di dalam lapangan
ekonomi yang hanya dapat dicapai lewat sistem sosialisme ala Indonesia (yang
disebutnya “Sosialisme Pancasila”). Kata Soekarno pada saat sidang perumusan
Pancasila tanggal 1 Juni 1945:

Prinsip nomor empat sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum
mendengarkan prinsip itu, yaitu “prinsip kesejahteraan”, “prinsip: tidak akan ada
kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka”... Apakah kita mau Indonesia Merdeka yang
kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua
orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku
oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?

Mana yang kita pilih, Saudara-saudara? Jangan Saudara kira, bahwa kalau Badan
Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya mencapai kesejahteraan ini.

Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah
parlementaire democratie. Tapi tidaklah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?...

Tak lain dan tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan rakyat
yang diadakan di sana itu, sekadar menurut resepnya Fransche Revolutie. Tak lain tak
bukan adalah yang dinamakan democratie di sana itu ialah politieke democratie saja;
semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, tak ada keadilan sosial, tidak ada
ekonomische democratie sama sekali...

Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?

Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan
demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politik

economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat
Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu
Adil? Yang dimaksud dengan faham Ratu Adil ialah social rechtvaardigheid. Rakyat
ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian,
menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu-
Adil.

Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat
mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal social rechtvaardigheid ini,
yaitu bukan saja bersamaan politik, Saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan
ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang
sebaik-baiknya.1

Harap diperhatikan, bahwa setiap kali Soekarno menjelaskan prinsip “Keadilan
Sosial”, ia selalu menjelaskan pula kebenciannya terhadap kapitalisme dan
imperialisme. Ini menunjukkan bahwa “Keadilan Sosial” yang diharapkan Soekarno
tidak akan terwujud jika yang dipakai adalah sistem ekonomi kapitalisme. Untuk
membuktikan hal tersebut, akan dikutip tulisan-tulisan Soekarno yang ditulisnya
antara tahun 1930 hingga 1933 di bawah ini.

Dalam pledoinya (yang kemudian dibukukan dengan judul Indonesia Menggugat)
ketika membela diri di depan pengadilan Landraad Bandung tanggal 18 Agustus
1930, Soekarno membahas panjang-lebar apa yang dimaksud dengan
imperialisme-kuno, imperialisme-modern, kapitalisme-kuno dan kapitalisme-
modern, lalu menghujat semuanya sebagaimana diterapkan oleh kaum imperialis-
kapitalis Belanda. Kata Soekarno:

Imperialisme-modern,—imperialisme-modern yang kini merajalela di seluruh benua
dan kepulauan Asia dan yang kini kami musuhi itu,—imperialism-modern itu adalah
anak kapitalisme-modern.2

Tiga tahun setelah penerbitan pledoinya, Soekarno menulis lagi satu buku yang
berjudul Mencapai Indonesia Merdeka (1933). Di dalamnya, Soekarno kembali
mengungkapkan kebenciannya terhadap kapitalisme, yang dicontohkan oleh
imperialis Belanda. Kata Soekarno:

Maksud pergerakan kita haruslah: suatu masyarakat yang adil dan sempurna, yang
tidak ada tindasan dan hisapan, yang tidak ada kapitalisme dan imperialisme... Kita
bergerak karena kita tidak sudi kepada stelsel kapitalisme dan imperialisme, yang
membikin kita papa dan membikin segundukan manusia tenggelam dalam kekayaan
dan harta, dan karena kita ingin sama rata merasakan lezatnya buah-buah dari kita
punya masyarakat sendiri. Kita, oleh karenanya, harus bergerak untuk menggugurkan
stelsel kapitalisme dan imperialisme!3

1 Wawan Tunggul Alam (ed.), Bung Karno Menggali Pancasila, Jakarta: Gramedia, hh.25-27

2 Soekarno, Indonesia Menggugat, Departemen Penerangan Republik Indonesia, t.th., h.3

3 Soekarno, Mencapai Indonesia Merdeka, Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno, Jakarta, 1984, h.43

Soekarno menjelaskan bahwa setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya
dari imperialis-kapitalis Belanda, maka yang harus dituju adalah pembentukan
masyarakat Indonesia yang tidak menganut kapitalisme. Kata Soekarno:

... kemerdekaan nasional hanyalah suatu jembatan, suatu syarat, suatu stridjmoment.
Di belakang Indonesia Merdeka itu kita kaum Marhaen masih harus mendirikan kita
punya gedung keselamatan, bebas dari tiap-tiap macam kapitalisme.4

Soekarno terus konsisten dengan prinsip “Keadilan Sosial” dan terus membenci
sistem kapitalisme setelah Indonesia Merdeka yang diidam-idamkannya terwujud.
Dalam Kursus Pancasila yang diselenggarakannya pada saat ia menjabat sebagai
Presiden RI (21 Februari 1958), Soekarno terang-terangan memilih sistem
sosialisme untuk Republik kita, karena keyakinannya bahwa hanya dengan sistem
sosialismelah masyarakat adil dan makmur dapat terwujud. Kata Soekarno:

Keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur,
berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak
ada penghisapan... Semua berbahagia, cukup sandang, cukup pangan...

... Sosialisme Indonesia, sosialisme Indonesia, sosialisme, sosialisme, adil makmur, adil
makmur...5

Pada bulan Juni 1958, lima bulan setelah ia mengumumkan sistem sosialisme ala
Indonesia (yang disebutnya “Sosialisme Pancasila”), Soekarno menjelaskan bahwa
sistem tersebut tidak akan berhasil diterapkan di Indonesia tanpa kerjasama politik
internasional dengan negara-negara lainnya, yakni negara-negara yang baru
merdeka di Asia-Afrika. Kata Soekarno:

... kita ini tidak hanya ingin mengadakan satu bangsa Indonesia yang hidup dalam
masyarakat yang adil dan makmur. Tidak. Tapi kita di samping itu bekerja keras pula
untuk kebahagiaan seluruh ummat manusia.

Tergambar jelas di dalam Pancasila, misalnya kalau kita menyebut keadilan sosial.
Keadilan sosial yang nanti akan kita adakan bukan sekadar keadilan sosial di dalam
lingkungan bangsa Indonesia, tetapi juga untuk seluruh ummat manusia, maka oleh
karena itulah misalnya, kita mengadakan politik bebas dan aktif. Bahkan kita yakin
masyarakat adil dan makmur tak mungkin kita dirikan hanya di dalam lingkungan
bangsa Indonesia saja. Masyarakat adil dan makmur pada hakikatnya adalah
sebagian daripada masyarakat adil dan makmur yang mengenai seluruh
kemanusiaan...

...kita tidak dapat menyelenggarakan satu masyarakat adil dan makmur di dalam
negara kita ini jikalau kita menjalankan politik isolasionisme... Kita harus mencari
hubungan dengan bangsa-bangsa atas dasar persamaan, atas dasar daulat sama
daulat...

4 Ibid., h. 47

5 Wawan Tunggul Alam (ed.), Bung Karno Menggali Pancasila, op.cit., hh.268-297

...kita tak mungkin mengadakan satu masyarakat sosialisme ala Indonesia, sosialisme
Pancasila. Jikalau kita mengadakan isolasionisme, tidak mau berhubungan dengan
bangsa-bangsa lain...6

Mohammad Hatta

Hatta juga tidak percaya bahwa sistem kapitalisme dapat membawa rakyat kita
mencapai masyarakat adil dan makmur. Karena itu, Hatta memilih sistem koperasi.
Sistem ekonomi koperasi tidak dikenal di kalangan kapitalis; ia dikenal di kalangan
sosialis. Sistem ekonomi koperasi adalah salah satu sistem ekonomi yang
ditawarkan sosialisme.7

Hatta berhasil memasukkan sistem ekonomi koperasi yang sosialistis itu ke dalam
UUD 1945 kita, yakni Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi “Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” “Asas kekeluargaan” itu
maksudnya adalah koperasi.8

Mengapa Hatta memilih sistem koperasi yang sosialistis itu, bukannya sistem
kapitalis? Hatta menjawab:

Sejak dari penjajahan Belanda, cita-cita koperasi sudah dipandang sebagai jalan yang
terbaik untuk membangun berangsur-angsur ekonomi rakyat yang lemah. Orang
sudah membaca dan mengetahui contoh-contoh yang diperlihatkan oleh kaum
buruh Inggris dan kaum tani di Denmark pada abad ke-19. Berhadapan dengan
kekuasaan dan pengaruh kapitalisme yang begitu hebat, hanya organisasi rakyat
jelata sendiri, berdasar atas solidaritas dan setia kawan, yang dapat memperbaiki
nasibnya. Undang-undang sosial belum ada pada waktu itu. Orang banyak yang
lemah ekonominya mulai berpikir, bahwa organisasi harus dihadapi dengan
organisasi. Organisasi yang tepat bagi kaum buruh dan rakyat tani ialah koperasi.
Apabila kapitalisme berkembang dengan semangat individualisme, konkurensi
merdeka dan modal yang kuat, koperasi dasarnya kerjasama, tolong-menolong
antara orang-orang kecil. Lain daripada itu koperasi berdasar atas prinsip “self-help”,
menolong diri sendiri. Sejarah di Eropa memperlihatkan, bahwa orang kecil yang
lemah ekonominya dapat bertahan dan meningkatkan derajat hidupnya dengan
kerjasama dan bantu-membantu dalam menolong diri sendiri.9

6 Ibid., hh. 206-212

7 “Socialism and Communism”, Dictionary of Philosophy, diedit I. Frolov, Moscow: Progress Publishers, 1984, h.
388

8 Bung Hatta Menjawab: Wawancara Dr. Mohammad Hatta dengan Dr. Z. Yasni, Jakarta: Gunung Agung, 1980,
cet-3, h. 199.

9 Ibid., h. 196.

Soetan Sjahrir

Kisah hidupnya menunjukkan bahwa ia sangat anti sistem ekonomi kapitalisme.
Ketika ia belajar di Amsterdam (Juni 1929), ia langsung berteman dengan Ketua
Perkumpulan Mahasiswa Sosialis Demokrat (Sociaal Democratische Studenten
Club) yang bernama Salomon Tas.10 Perkumpulan mahasiswa tersebut berafiliasi
kepada Partai Sosialis Demokrat Belanda (SDAP).11 Bersama-sama dengan
Salomon Tas dan mahasiswa sosialis-demokrat lainnya, Sjahrir membahas buku-
buku karangan kaum sosialis Eropa seperti Rosa Luxemburg, Karl Kautsky, Otto
Bauer, Hendrik de Man, dan tentu saja Karl Marx dan Friedrich Engels.12 Bahkan,
Sjahrir bukan hanya bersahabat dengan mahasiswa sosialis-demokrat, tapi juga
dengan mahasiswa sosialis-anarkis. Dari mereka Sjahrir belajar bagaimana mereka
menjaga diri untuk terbebas dari sistem kapitalisme dengan menghindar dari
pekerjaan yang mencari untung. Bukan hanya itu, Sjahrir pernah bekerja pada
Sekertariat Federasi Buruh Transport Internasional untuk bertahan hidup di
Amsterdam dan mengenal kehidupan kaum buruh secara lebih dekat.13

Di tahun 1931, Sjahrir dan Hatta pulang ke tanah air dan mendirikan organisasi
politik, PNI Pendidikan. Di tahun 1945 (Oktober), dua bulan setelah Proklamasi
Kemerdekaan RI, Sjahrir menulis pamflet politik yang berjudul Perdjoeangan Kita,
di dalamnya Sjahrir tetap konsisten membenci sistem kapitalisme dan memilih
sosialisme. Kata Sjahrir:

...bangsa kita memerlukan berubahnya dasar-dasar pergaulan hidup kemanusiaan,
yang akan dapat menghilangkan imperialisme dan kapitalisme di dunia ini. Selama
ini belum terjadi, maka perjuangan kebangsaan kita akan tidak dapat memuaskan
sepenuh-penuhnya, serta kemerdekaan yang kita dapat, jika kita peroleh sepenuhnya
terhadap Belanda, pun hanya berupa kemerdekaan seperti yang terlihat pada lain
lain negeri kecil, yang di bawah pengaruh negeri kapitalis yang besar, yaitu berupa
kemerdekaan nama saja...

Perancis serta revolusi Perancis adalah perintis serta pembuka jalan untuk dunia yang
kapitalistis-imperialistis, sedangkan revolusi kita ini sebenarnya harus dipandang
revolusi yang akan turut menutup sejarah kapitalistis-imperialis, sehingga perjuangan
sosial yang telah berlaku di dunia sebagai akibat dari sistem kapitalis-imperialis, yang
merupakan perjuangan kaum buruh, perjuangan kaum sosialis dan segala
kemenangan-kemajuannya, seperti terdapat di dunia pada waktu ini, tentu
membedakan benar kedudukan revolusi kita dari revolusi Perancis, yang hanya
demokrasi burgerlijk itu.14

10 “Kasih yang Tak Sampai”, TEMPO EDISI KHUSUS SJAHRIR, h. 39

11 “Berkembang di Iklim Barat”, ibid., h.48

12 Ibid.

13 Ibid.

14 Soetan Sjahrir, Perdjoeangan Kita, Pusat Dokumentasi Guntur 49, 2010, hh.15-18

Tan Malaka

Salah seorang founding father kita dari kelompok komunis (PKI, Partai Komunis
Indonesia), Tan Malaka tentu saja sangat membenci sistem kapitalisme. Dengan
sistem komunisme yang dianutnya, ia yakin bahwa sistem kapitalisme
internasional (yang salah satu anggotanya ialah kolonialis Belanda) akan hancur
dan digantikan oleh sistem komunisme. Hanya saja, untuk menghancurkan
kapitalisme di Indonesia, Partai Komunis Indonesia (PKI) harus berjuang bersama
rakyat untuk mencapai kemerdekaan nasional dari tangan penjajah Belanda.
Setelah kemerdekaan didapat, maka PKI pun membangun sistem komunisme di
Indonesia.

Dalam pamflet yang ditulisnya pada tahun 1924 yang berjudul bahasa Belanda,
Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia), Tan Malaka menulis:

...di Indonesia bukannya bangsawan-bangsawan Indonesia yang menghisap, hidup
mewah dan tak membayar pajak, akan tetapi lintah-lintah darat Belanda. Karenanya
disini keadaannya melebihi, sebab uang yang dihambur-hamburkan di Versaille
sekali-sekali di sana sini masih ada yang jatuh pada rakyat Prancis dalam wujud
eceran, sedangkan uang yang dihambur-hamburkan di Zandveert
dan Scheveningon tak sesen pun tercecer ke saku kromo...

Jika kita bayangkan kapitalisme sebagai satu gedung dan negeri-negeri di dunia
adalah tiang-tiang yang mendukung gedung itu, maka Indonesia merupakan salah
satu dari tiang-tiang itu. Kita mengetahui sebelumnya bahwa cepat atau lambat
gedung itu sekali waktu akan runtuh seluruhnya. Akan tetapi wujud dan luas
runtuhannya serta cara bagaimana runtuhnya, hanya praktek yang akan menentukan.
Sangat mungkin bahwa semua tiang akan serentak tumbang dan bersama-sama
dengan itu juga robohlah seluruh bangunan. Akan tetapi mungkin juga bahwa tiang-
tiang itu tidak tumbang serentak, tetapi berurutan, tiap-tiap kali tiang tumbang
membawa sebagian dari bangunan itu roboh....

... Dan jaman baru menyingsing, dimana obor komunis selanjutnya akan
membimbing rakyat Indonesia yang muda ke arah tujuan yang paling akhir:
KEMERDEKAAN, KEBUDAYAAN DAN KEBAHAGIAAN BAGI SEMUA RAKYAT DI
DUNIA.15

Semaoen

Seperti Tan Malaka, Semaoen juga seorang founding father kita dari golongan
komunis (PKI). Sebagai seorang komunis, beliau tentu saja sangat membenci
kapitalisme. Ia percaya bahwa kapitalisme akan runtuh dan digantikan dengan
komunisme. Dalam cerpen yang dikarangnya, Hikayat Kadiroen (1920), Semaoen
mengungkapkan kepercayaannya itu:

15 Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia, Yayasan Massa, 1987, hh. 13-55

Kalau manusia sudah mengetahui jalannya kepastian zaman, maka kita wajib
mengikuti laku dan kehendak zaman itu, agar kita, anak dan cucu kita semua manusia
bisa hidup mulia. Terutama di akhirnya. Oleh karena sekarang kita ada di zaman serba
susah maka kita harus selalu maju untuk menyongsong datangnya zaman senang,
yaitu zaman Komunisme yang akhir. Sekarang ini kita mesti menanam dan
memelihara benih-benih zaman akhir itu. Sebab kita harus tahu bahwa benih-benih
itu akan menjadi pohon-pohon atau zaman baru yang buahnya amat lezat rasanya
bagi kita atau anak cucu kita. Itulah kewajiban kita, wajib karena kodrat. Jadi, sesuai
dengan wet perjalanan zaman Tuhan Allah.16

Juga dalam buku yang dikarangnya untuk tuntunan ideologis serikat-serikat buruh
yang berkembang di Indonesia tahun 1920an, berjudul Penoentoen Kaoem
Boeroeh (1920), Semaoen kembali menegaskan kebenciannya terhadap
kapitalisme dan keyakinannya akan kejayaan komunisme:

... kelas kapitalis masih terus saja mencari keuntungan dengan merugikan kelas rakyat
jelata dan kaum buruh. Kelas kapitalis masih berkuasa dan memainkan harga
barang-barang yang dibutuhkan rakyat dan kaum buruh. Mereka dapat berbuat apa
saja karena mereka mempunyai pabrik-pabrik, menguasai perdagangan, sepur-sepur
dan sebagainya. Mereka mempunyai peralatan (modal, uang, mesin, dan
sebagainya), membuat barang, dan memproduksi bermacammacam bahan
makanan. Jadi meskipun rakyat dan kaum buruh dapat meningkatkan pengaruhnya
dalam pemerintahan, namun selama kelas kapitalis masih mempunyai modal, pabrik,
tanah dan sebagainya, maka selama itu pula kaum kapitalis tetap berkuasa. Oleh
karena itu kelas rakyat jelata dan kaum buruh harus berusaha agar alat-alat, modal,
pabrik, mesin, tanah, dan sebagainya itu jatuh ke tangan pemerintah yang
bersemangat kerakyatan, yang dipilih oleh dan dari rakyat, agar semua perusahaan
dan perdagangan dapat diurus oleh pemerintah. Usaha-usaha ini dinamakan
Sosialisme atau Komunisme.

Jadi sosialisme itu bermaksud menghilangkan semua kelas borjuis. Semua rakyat
supaya "bekerja" pada pemerintahan. Sedangkan pemerintah harus dipilih oleh
rakyat. Dengan begitu maka tidak ada orang yang dapat memeras orang yang
lainnya, karena semua orang bekerja bersama-sama sehingga di dunia ini ada "surga"
untuk semua umat manusia, semua bangsa, dan semua agama. Semua hidup rukun,
tidak ada yang berebut rezeki. Negara dikepalai oleh wakil-wakil pilihan rakyat,
sehingga tampak seperti suatu keluarga yang dipimpin oleh orang tua sendiri,
sehingga sama halnya dengan badan sendiri. Inilah yang dinamakan Sosialisme atau
Komunisme, dan orang-orang yang bergerak di dalamnya disebut Sosialis atau
Komunis. Menurut semua politik atau gerakan yang bertindak untuk kemuliaan dan
bermanfaat bagi kelas proletar dan kaum buruh, surga dunia selama ini hanya untuk
kelas borjuis saja. Politik kaum borjuis yang memusuhi tujuan gerakan sosialisme atau
menjauhkan tercapainya maksud dari kelompok sosialis itu menghambat gerakan
kaum buruh atas nama "cinta kebangsaan" (nasionalisme). Hanya politik sosialisme
yang akan dapat menggerakkan rakyat Indonesia mencapai kemerdekaannya untuk
memerintah negaranya sendiri dan membagi secara adil pendapatan negara. Hanya
politik sosialisme yang akan menolong rakyat jelata dan kaum buruh. Semua manusia

16 Semaoen, Hikajat Kadiroen, Koleksi Buku Rowland, h.95

yang mengetahui kebaikan serta kemuliaan orang yang hidup, tentu setuju dan harus
turut serta membantu gerakan sosialisme.17

Tokoh-Tokoh Orde Baru

Para tokoh Orde Baru seperti Sumantri Brodjonegoro, Sjarif Thayeb, Maladi,
Soeharto (yang kelak menjadi Presiden RI ke-2), Frans Seda, Selo Soemardjan, Ali
Wardhana, Moh. Sadli, Emil Salim, Ahmad Tirtosudiro, A.H. Nasution, Adam Malik,
Radius Prawiro, dan A. Gafur, pada acara Pekan Ceramah dan Seminar Ekonomi
Keuangan dan Moneter KAMI (Komite Aksi Mahasiswa se-Indonesia), Fakultas
Ekonomi di Universitas Indonesia di bulan Januari tahun 1966, menyatakan
kebencian mereka akan kapitalisme dan memilih “Sosialisme Pancasila”—
sosialisme yang diterapkan dalam kondisi dan situasi riil Indonesia.

Di sini akan dikutip pidato Soeharto yang saat itu memberi kata sambutan selaku
Menteri/Panglima Angkatan Darat RI (1966):

... dalam menanggulangi kesulitan ekonomi itu, kita tidak boleh lengah sedikit pun
tugas-tugas pokok yang mendesak, yaitu pengganyangan “G30S” dan
pengganyangan proyek-Nekolim “Malaysia”, dalam keseluruhan mempertahankan
watak kiri revolusi kita, selalu antifeodalisme, antikapitalisme, anti-Nekolim, dan
membentuk masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila, dalam tata
pergaulan Dunia Baru tanpa segala bentuk penghisapan/penindasan.18

Juga, di sini dikutip makalah seminar yang ditulis oleh Jenderal A.H. Nasution, yang
saat itu menjabat sebagai Ketua MPR:

Memang benarlah tujuan kita dewasa ini membangun ekonomi yang berdasarkan
sosialisme Pancasila.

Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan guna tercapainya masyarakat adil dan
makmur, yang ditempuh dengan jalan tanpa mengurangi martabat ataupun
menambah penderitaan rakyat secara berlebih-lebihan, tanpa menghisap tenaga
rakyat dengan sewenang-wenang.19

Kesimpulannya, berdasarkan atas telaah dan studi mendalam atas tulisan-tulisan
para founding fathers kita di era pra-Kemerdekaan dan era-Kemerdekaan (1920
hingga 1960), juga tulisan tokoh-tokoh Orde Baru di tahun 1966, mereka semua
sepakat bahwa Indonesia memilih sistem ekonomi sosialisme untuk mencapai

17 Semaoen, Penoentoen Kaoem Boeroeh, dari https://www.marxists.org/indonesia/indones/1920-
SemaoenPenuntun.htm.

18 Mayor Jenderal Soeharto, “Sambutan Menteri/Panglima Angkatan Darat”, Jer Basuki Mawa Bea, dalam Tim
KAMI Fakultas Ekonomi UI, Jalur Baru Sesudah Runtuhnya Ekonomi Terpimpin (The Leader, the Man and the
Gun), Jakarta: Sinar Harapan, 1984, h. 34

19 Ibid., h. 161

keadilan ekonomi di mana “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia
Merdeka”.

Problem 1

Sejak tahun 1970an hingga sekarang, istilah “Sosialisme ala Indonesia” atau
“Sosialisme Pancasila” sudah hilang dalam diskursus politiko-ekonomis Indonesia.
Juga hilang makna hakiki dari sila “Keadilan Sosial” yang diformulasikan para
founding fathers dan founding mothers kita yang sudah dari sononye berhaluan
kiri/sosialis, lalu diganti dengan pemaknaan Orde Baru (misalnya, diwakili oleh Ali
Moertopo) atas sila tersebut, yakni “Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25
Tahun” dan “Pemerataan Pembangunan” yang berhaluan kanan.20 Menurut Y.B.
Mangunwijaya, penggantian pemaknaan yang dilakukan Orde Baru atas sila
“Keadilan Sosial” sungguh jauh pengaruhnya; sistem ekonomi kita justru jadi
menganut Erzats-Kapitalismus (Kapitalisme-Semu) atau Crony-Capitalism.21 Sila
“Keadilan Sosial” yang berarti keadilan ekonomi lewat sistem sosialisme yang anti-
kapitalisme, yang dicita-citakan para pendiri republik kita, malah diselewengkan
oleh rezim diktator totaliter-militer Soeharto beserta purnawirawan-purnawirawan
ABRI dan kroni-kroni mereka di Golkar sejak tahun 1970an.22

Problem 2

Janji proklamasi RI bahwa “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia
Merdeka” belum terlaksana hingga saat ini, detik ini, di era paska-Reformasi ini.
Masih banyak rakyat miskin yang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri sehari-
hari. Sementara di sisi lain, kita melihat pabrik-pabrik multinasional milik kapitalis
global masih kokoh berdiri di daerah Cikarang, Cibitung, Tambun, Karawang,
Cikampek, dan lain-lain. Tambang emas PT. Freeport masih juga bebas mengeruk
isi bumi kita yang semestinya milik rakyat sepenuhnya (ingat UUD ’45). Rakyat-
rakyat hanya bisa bekerja sebagai kuli, sebagai buruh yang dibayar murah. Gaji
yang di bawah Upah Minimum Regional (UMR) masih kita jumpai di kanan-kiri
kita. Kita cuma bisa mengeluh sambil mendesah keras dan dalam: “mana janjimu
wahai pendiri Republik? Darah dan perjuangan para pahlawan kita telah sia-sia!
Kami tetap saja miskin hingga cucu-cicit kami hidup! Mana realisasi sila terakhir
Pancasila kita? Coret saja sila itu jika tidak bisa dipenuhi juga buat anak-anak cucu
dan cicit kami!!!”

20 Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, Jakarta: CSIS, 1974, hh. 1-171

21 Y.B. Mangunwijaya, Menuju Republik Indonesia Serikat, Jakarta: Gramedia, h. 229

22 Sukmadji Indro Tjahjono, Indonesia di Bawah Sepatu Lars, Bandung: Dema ITB, 1979, hh. 35-45

Lampiran

Peringatan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 2017 dan
Politik Revitalisasi Pancasila Rezim Penguasa

Ferry Hidayat
Dosen Filsafat Pancasila di STBA Pertiwi Bekasi

Selamat atas diperingatinya ‘Hari Lahirnya Pancasila” oleh pemerintahan
rezim Jokowi! Setelah sekian puluh tahun Pancasila terkotori oleh citra kotor
rezim Soeharto, kini di tahun 2017, ia ingin dibersihkan kembali; dipurifikasi
kembali, hendak dipopuliskan kembali. Bersamaan dengan itu, presiden
Jokowi selaku penggagas peringatan tersebut dan juga sebagai presiden RI,
dikabarkan oleh media massa, ingin membentuk satu panitia nasional yang
tugas utamanya ialah merevitalisasi dan—ini yang paling dahsyat—
“membumikan” Pancasila ke bawah, ke tingkat desa dan kota, ke tingkat RW
dan RT, yang konon akan diketuai oleh Yudi Latif—profesor politik
Universitas Paramadina.

Memperingati lahirnya Pancasila adalah baik, bukan hanya bersifat nostaljik-
heroik-patriotik tapi juga merupakan rekoleksi Platonik atas memori-
memori filosofis agung kita yang sudah lama terlupakan. Akan tetapi,
rencana suatu rezim untuk merevitalisasi Pancasila sebagai program kultur
sosio-politiknya, sebagaimana yang hendak dilakukan oleh presiden Jokowi,
harus kami rakyat waspadai, harus kami rakyat wanti-wanti, harus kami
rakyat awasi, harus kami rakyat curigai, bahkan harus kami cegah dan larang.
Ada beberapa alasan mengapa demikian.

Pertama, ide revitalisasi Pancasila berasal dari rezim yang berkuasa, bukan
dari kami rakyat; dan karenanya harus dicurigai dengan sangat. Sudah ada
dua rezim dalam sejarah nasional kita yang telah menggunakan (baca:
memperalat/memanfaatkan) Pancasila sebagai ideologi kekuasaannya,
ideologi yang memperkuat kontrol kekuasaannya, ideologi yang
memungkinkannya menyingkirkan musuh-musuh politik sang penguasa
yang sedang jaya. Soekarno, walaupun salah seorang penggagas Pancasila,
tapi ia memanfaatkannya untuk kepentingan otoritarianisme ‘Demokrasi

 Ditulis tanggal 3 Juni 2017

Terpimpin’-nya. Soeharto memanfaatkan Pancasila demi menggolkan
otoritarianisme “Pembangunan dan Akselerasi Modernisasi”-nya dan
program de-ideologisasi partai-partai politik di masanya menjabat. Jika
Jokowi mau merevitalisasi Pancasila, kami rakyat patut curiga: Pancasila akan
ditafsirkan kembali dengan tafsir hegemonik tunggal penguasa dan akan
digunakan kembali untuk melegitimasi, melegalkan, meresmikan,
menyakralkan, menghegemoni, mem-Pancasila-kan segala kebijakan sosio-
politiko-ekonomisnya yang bertentangan dengan ruh Pancasila ’45 yang
sebenarnya, dan mempermusuhkan (= menjadikan sebagai musuh) semua
yang menafsirkan Pancasila dengan tafsiran selainnya, sebagaimana dulu
Soeharto melestarikan oposisi-biner Pancasilais/anti-Pancasilais buat
mereka yang pro dan kontra garis politiknya.

Kedua, Pancasila ’45 sudah merupakan produk dan barang jadi; sudah jadi
canon dan gospel kita. Karena itu, tidak usah lagi ditafsir-tafsirkan. Tafsiran
Pancasila Angkatan ’45 sudah dogmatik, postulasional, dan sudah
aksiomatik, karena yang memformulasi adalah para founding fathers dan
founding mothers kita; “para pembangun Jembatan Emas”. Tafsiran
generasi-generasi berikutnya akan membuatnya kian melar dan elastis, bisa
ditarik kesana-kemari secara sewenang-wenang; apalagi yang membuat
tafsiran adalah rezim yang berkuasa, atau panitia yang digajinya. Ruh
Pancasila ’45 hanya bisa dipahami oleh Zeitgeist 1945 dari Angkatan ’45.
Baik presiden maupun rakyat di masa sekarang keduanya berkedudukan
sama di hadapan Pancasila ‘45: pelaksana, bukan penafsir. Para penafsir
yang tervalid hanyalah Angkatan ’45. Fungsi Pancasila ’45 baik bagi presiden
maupun bagi rakyat di masa sekarang adalah ‘tolok ukur’, ‘evaluasi’
sekaligus ‘assessment’. Bagi kami rakyat di masa sekarang, Pancasila ’45
berfungsi sebagai tolok ukur apakah berketuhanan yang berkeadaban,
prinsip perikemanusiaan, kebangsaan, demokrasi representatif, terlebih lagi
keadilan sosial dalam ekonomi dan politik (socio-democracy) dan
kemakmuran sudah terwujud ataukah belum. Bagi presiden kita di masa
sekarang, Pancasila ’45 berfungsi evaluatif apakah pemerintahan yang
sedang dijalankannya sudah berhasil mewujudkan prinsip berketuhanan
yang berkeadaban, prinsip perikemanusiaan, kebangsaan, demokrasi
representatif, terlebih lagi keadilan sosial dalam ekonomi dan politik (socio-
democracy) dan kemakmuran kami di level para rakyat atas, para rakyat
menengah, dan para rakyat level paling bawah yang “di seberang Jembatan
Emas itu” ataukah belum. Jika belum, maka mereka harus mewujudkannya,
karena itu adalah amanat Pancasila ’45. Tak usah ditafsir-tafsir lagi; semua

sila Pancasila maknanya sudah sebening kristal. Semua redaksi dari sila-sila
Pancasila sudah bersifat muhmakat dan tak ada satupun redaksinya yang
bersifat mutasyabihat, karena itu tidak lagi ada gunanya penjabaran,
eksplikasi, eksegesis, tak ada gunanya tafsiran. Itu cuma menambah omong
kosong saja, menambah bualan, menambah pengeluaran pajak negara
yang mubazir, menambah beban kami rakyat, padahal kami rakyat detik ini
saja belum melihat realisasi Pancasila ’45 dalam hidup sehari-hari, terutama
sila terakhirnya; keadilan sosial, kemakmuran, dan kesejahteraan. Membuat
tafsiran baru atas dasar selera penguasa ditakutkan malah makin
menjauhkan Pancasila ’45 dari realisasinya dalam hidup kami rakyat sehari-
hari. Itu hanya menambah-nambah ‘grand narratives’, hanya menambah-
nambah utopia, sementara utopia yang sudah jelas di pelupuk mata kita
(kemanusiaan, keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan) oleh rezim-
rezim penguasa sebelumnya (Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur,
Megawati, SBY) tidak juga berhasil diwujudkan secara riel sampai detik ini.
Mewujudkan amanat Pancasila ’45 saja mereka gak becus, eh ini presiden
sekarang malah membuat pekerjaan rumah baru tafsir mubazir dan
membebankan negara saja. Menghambur-hamburkan uang negara untuk
proyek revitalisasi tafsir Pancasila. Lebih baik uang itu dipakai untuk
memenuhi kebutuhan riel kami yang masih susah hidup sehari-hari; yang
justru mewujudkan sila terakhir Pancasila ’45 itu sendiri.

Ketiga, peringatan hari lahirnya Pancasila semestinya dijadikan hari
merenung, hari refleksi, hari evaluasi, hari muhasabah, hari introspeksi, hari
mengukur-mengukur diri (khusus bagi penguasa); hari menagih janji, hari
menagih hutang, hari mengecek sejauh mana realisasi cita-cita Pancasila
sudah terwujud (khusus bagi kami para rakyat). Bagi penguasa kita,
peringatan itu adalah hari evaluasi dan assessment apakah mereka sudah
berhasil mewujudkan semua cita-cita, semua tujuan, semua target, semua
sasaran yang tertera dalam setiap sila Pancasila (keberagamaan yang
berkeadaban, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi representatif, keadilan
sosial dalam aspek ekonomis dan politis, kemakmuran dan kesejahteraan)
ataukah belum. Jika belum, di hari peringatan ini mereka harus berjanji
bahwa tahun depan, pada saat hari ini diperingati lagi, mereka sudah bisa
melaporkannya kepada kami para rakyat dan kami para rakyat bisa
membuktikannya sendiri bahwa mereka telah mewujudkan amanat
Pancasila ’45. Bagi kami para rakyat, hari lahirnya Pancasila adalah hari
menagih janji dan hari menagih hutang apakah penguasa kami sudah
berhasil mewujudkan semua cita-cita, semua tujuan, semua target, semua

sasaran yang disebut-sebut dalam setiap sila Pancasila dalam hidup riel kami
sehari-hari (keberagamaan yang berkeadaban, kemanusiaan, kebangsaan,
demokrasi representatif, keadilan sosial dalam aspek ekonomis dan politis,
kemakmuran dan kesejahteraan) ataukah belum. Jika belum, kami para
rakyat akan menagih kapan mereka akan mewujudkannya, kami berhak
menyangsikan mau sampai kapan mereka bisa mewujudkannya, kami
berhak mendesak kapan mimpi-mimpi besar Pancasila bisa mereka
wujudkan buat kami-kami yang sudah 72 tahun lamanya berada “di
seberang Jembatan Emas” ini. Jika sampai hari peringatan lahirnya Pancasila
diselenggarakan, semua target tadi tidak terwujud, patut rezim itu
dipertanyakan: sebenarnya mau dibawa kemana kami-kami para rakyat ini?
Ratusan milyar uang kami sudah dipergunakan, ratusan milyar detik waktu
kami sudah dihabiskan, kok level demokrasi representatif kami masih hina-
dina, kok level keadilan sosial ekonomis kami masih jeblok, kok level keadilan
sosial politis kami masih landing, apalagi level kesejahteraan dan level
kemakmuran kami, kok masih nol besar? Hari peringatan ini bukanlah saat
yang tepat buat bikin tafsiran yang paling “membumi” sekalipun; bukan saat
yang baik buat merevitalisasi tafsir Pancasila atas kami para rakyat, sebab
kelaparan kami, kemelaratan kami, kemiskinan kami, ketidakterdengarnya
aspirasi kami, serta kesusahan hidup kami tidak bisa dihapus dengan tafsir-
tafsir hegemonik baru Pancasila, dengan ‘narasi-narasi besar’ utopis baru,
dengan revitalisasi Pancasila yang diinisiasi rezim yang berkuasa; tapi
dengan realisasi setiap sila Pancasila ’45 dalam setiap tarikan nafas kami
para rakyat sehari-hari oleh rezim penguasa.

Keempat, kami rakyat sudah cape, muak, suntuk, bosan dengan segala
diskursus, bualan, wacana, omongan, janji politik, undang-undang,
konstitusi, peraturan ini-itu, alasan ini-itu, dan semua kata dari khazanah
bahasa kita yang berarti omongan dan obrolan rezim berkuasa, termasuk
revitalisasi Pancasila ini. Itu semua adalah talk and talk and theory and theory
and theorizing and theorizing. Yang kami para rakyat inginkan adalah do
and do and do and do and act and realize and pursue “the Indonesian
Dreams” together. Buat kami para rakyat, kata-kata abstrak ‘kemanusiaan’,
‘demokrasi’, ‘keadilan sosial’, ‘kemakmuran’, ‘kesejahteraan’ di Pancasila
tidak perlu lagi dijabarkan, tidak perlu lagi ditafsir-tafsirkan, tidak perlu lagi
diindoktrinasikan di tengah-tengah kami, tidak perlu lagi dibumikan, tidak
perlu lagi diajar-ajarkan oleh guru epistemik tunggal hegemonik rezim
berkuasa. Kata-kata abstrak itu sudah kami ngerti, sudah kami paham, sudah
kami ingat dan hapal-hapalkan sejak TK, sudah kami pendam-pendam

dalam kalbu kami dari dulu, sudah kami idam-idamkan realisasinya sejak
tahun 1945 hingga detik ini, sudah kami tunggu-tunggu penepatan janji-
janjinya sampai kami sendiri bosan setengah mati, sudah kami impi-impikan
perwujudannya, sudah kami optimis-optimiskan mesianismenya di masa
depan walau kesusahan hidup kami seperti tidak pernah habis-habisnya dari
hari ke hari masa kepresiden setiap presiden kami. Yang kami benar-benar
butuhkan dari kalian para rezim adalah kongkritnya narasi-narasi besar dan
kata-kata abstrak itu dalam hidup keseharian kami. Sudah cape kami dibuat
mengigau kesejahteraan, sudah bosan kami dibuat ngelindur keadilan
sosial, sudah muak kami dibuat bermimpi kemakmuran, sudah bete kami
dibuai takhayul kemakmuran palsu, sudah kapok kami dihinggapi halusinasi
kesejahteraan semu, sudah tobat kami diberi fatamorgana keadilan
ekonomis palsu. Kami sudah tidak mau lagi skizofrenia kemakmuran semu
yang kalian para rezim buat untuk kami. Kami sudah tidak mau lagi
dihipnotis; kami sudah tidak mau lagi terbius; kami sudah tidak mau lagi
kena sihir; kami sudah tidak mau lagi dijejelin khurofat-khurofat keadilan
ekonomis palsu; kami sudah tidak mau lagi menelan pil ecstacy dan segala
jenis narkotika yang menimbulkan rasa kesejahteraan palsu yang kalian para
rezim buat untuk kami. Kami sudah tersadar dari simulakra-simulakra
keadilan ekonomis palsu yang kalian para rezim buat untuk kami. Jadi,
jangan lagi kalian anggap kami ini bodoh, goblok, tolol, dungu, tidak ngerti
arti kata-kata abstrak tadi, sehingga kalian pikir bahwa kami masih harus
diajarin lagi makna-maknanya. Yang justru kami gak ngerti adalah kok
mengapa kata-kata abstrak yang gampang sekali diingat-ingat di Pancasila
itu (kemanusiaan, keadilan sosial, kemakmuran, kesejahteraan) gak bisa
dikongkritkan oleh rezim-rezim kita selama 72 tahun berdirinya RI kita
tercinta ini, bahkan oleh rezim yang bertugas detik ini, di hadapan panca
indera dan di kedalaman perut lapar kami? What’s wrong with our leaders?
What’s the matter with all of our presidents? How long and until when will
big ideals in Pancasila be attained by all of us?

Demikianlah beberapa alasan kami para rakyat menentang proyek
revitalisasi Pancasila rezim Jokowi. Daripada ikut-ikutan menzhalimi kami
dengan Pancasila sebagai instrumen utamanya (seperti presiden-presiden
kami yang dulu), lebih baik berjihad merealisasikan mimpi-mimpi besar
Pancasila bersama-sama dengan kami .


Click to View FlipBook Version