Nama : Dian Ayu Sejati NIM : 2288220033 Kelas : 2A Dosen Pengampu : Arif Permana Putra, M.Pd ANALISIS HISTORIS MATA KULIAH HISTORIOGRAFI 1. Pendahuluan Buku “Pemberontakan Petani Banten 1888” adalah sebuah tesis yang dituliskan oleh Prof. Sartono Kartodirdjo. Penulisan buku ini juga merupakan protes atau anti-tesis terhadap historiografi Belanda yang tidak menganggap masyarakat indonesia. Alasan saya memilih buku ini, karena buku ini merupakan karya dari bapak Sejarah Indonesia. Buku ini merupakan masterpiece besar dalam historiografi Indonesia, penulisan buku ini dapat dikatakan sebagai sejarah baru karena memperhatikan masyarakat Indonesia atau Indonesia sentris. Kemudian, buku ini memiliki latar cerita di daerah Banten yang merupakan tempat saya berkuliah saat ini, sehingga saya ingin mengetahui lebih dalam tentang sejarah yang ada di daerah Banten. Penulisan ini memberikan dampak yang besar bagi penulisan sejarah In donesia, khususnya dalam penulisan sejarah lokal. Sartono Kartodirjo memberikan pandangan baru mengenai sejarah Indonesia dengan beranggapan bahawa sejarah itu multidimensional. Buku ini menarik untuk dibahas karena buku ini merupakan awal atau cikal bakal dari penulisan-penulisan sejarah lokal. 2. Pembahasan A. Resensi Buku pemberontakan Petani Banten 1888 karya bapak Sartono Kartodirjo memiliki judul asli The Peasant’s Revolt of Banten in 1888. Dalam buku ini digunakan sudut pandang Indonesiansentris yang merupakan kritikan dari historiografi Belanda yang mengganggap petani atau masyarakat petani tidak memiliki peran aktif. Penulisan dalam buku ini juga menggabungkan beberapa kejadian-kejadian sosial yang terjadi sebelum adanya pemberontakan. Pada bab 2 buku ini berjudul latar belakang sosio-ekonomis, di mana isinya tentang letak geografis Banten yang terletak di paling barat pulau Jawa dan memiliki luas 114 mil persegi. Pada tahun 1520, zaman kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi pusat perdagangan lada yang membuat orang eropa ingin menguasainya. Ada beberapa golongan etnik yang tersebar di
Banten yaitu, Sunda kebanyakan berdiam di Banten Selatan, orang-orang Jawa berdiam di bagian utara, orang-orang Baduy mendiami pegunungan di bagian selatan. Orang-orang di Banten Utara terkenal fanatik dalam hal agama, bersikap agresif dan bersemangat memberontak. Di daerah Banten Utara juga menjadi daerah penghasil tanaman komersial seperti tebu, kacang, kapas, dan kelapa. Terdapat juga daerah industri yang menjadi pemusatan penduduk, terutama di daerah distrik Cilegon. Kemudian, perekonomian di darah banten adalah agararis, penduduk desa memiliki mata pencarian sebagai petani. Banten aba XIX memiliki sistem hak atas tanah yang berasal dari kesultanan, sawah negara yang berasal dari daerah dataran rendah sekitar teluk Banten di bagikan kepada petani dengan syarat menggarap dan membayar upeti separuh dari hasil panennya. Dalam tahun 1808 Daendels menghapus kebijakan tanah-tanah milik sultan dan kerja bakti. Kemudian, Daendels mengambil seperlima dari hasil sawah tersebut sebagai pajak tanah. Kemudian, Raffles menjadikan sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah. Orang-orang yang telah dianugrahi pajak tanah oleh sultan menentang diberlakukannya kebijakan-kebijakan tersebut. kebijakan ini pula menyebabkan rasa tidak puas dan menjadi sumber kerusuhan di Banten sampai tahun 1830. Selanjutnya, adanya wajib kerja bakti dimana semua penggarap sawah negara, baik itu abdi negara ataupun orang-orang mardika, diwajibkan menyumbangkan tenaga mereka untuk kepentingan umum, seperti membuat jalan-jalan umum, ikut berperang dan membuka tanah baru. Pada Bab 3, 4 dan 5, membahas tentang politik, sosial dan agama. Dimana kaum bangsawan mengalami banyak perubahan setelah kesultanan banten runtuh. Mereka melakukan jalan militer dengan memberontak untuk mendirikan kembali kesultanan Banten. Elit agama selalu menentang kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda. Mereka selalu menempatkan kedudukan yang strategis, dimana mereka menentukan kebijakan menurut islam. Kaum bangsawan dan agama bekerja sama untuk mempertahankan sistem peraturan tradisional yang telah ada di Banten. Keresahan sosial yang dialami masyarakat juga menjadi pemicu pemberontakan ini. Perlakuan sewenang-wenang pemerintah kolonial yang membuat masyarakat sengsara, menderita, dan tidak puas dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kolonial seperti membayar pajak dan pemerasan tenaga untuk melakukan kerja bakti. Hal ini membuat masyarakat ingin mendirikian kembali kesultanan Banten dan mempertahankan sistem status tradisional. Selanjutnya adanya sikap eskatologis dan ide mileniaris juga menjadi penyebab adanya pemberontakan. Di mana ide-ide yang mencangkup harapan akan kedatangan Imam Mahdi semua ini bertujuan untuk pemilihan kembali Kesultanan Banten. Dalam Perkembangannya para kiayi menanamkan kecurigaan yang mendalam terhadap pemerintah kolonial dalam hati Santri Santri nya sehingga menimbulkan semangat di kalangan pengikutnya untuk melakukan perang Sabil Terhadap penguasa penguasa kafir. Kemudian, kepercayaan atau yang dianggap sebagai azab Tuhan karena masyarakat membiarkan pemerintahan kafir yang dzalim yaitu Belanda
Memerintah di negeri mereka. Hal ini menyebabkan Pemuka agama mulai mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Di Banten sebagaian Besar penduduknya menganut agama Islam, sehingga mereka menerapkan kehidupan secara Islam. Pada bab 6,7,8 dan 9 berisikan tentang jalannya pemberontakan ini . Pemberontakan Petani Banten ini di pimpin oleh beberapa orang, yaitu : Haji Abdul Karim bergelar Kiyai Agung yang merupakan ulama besar yang dihormati, disegani dan populer di kalangan masyarakat. Beliau juga dianggap sebagai ulama yang paling menonjol di antara pemimpin-pemimpin gerakan itu. Beliau adalah seorang pemimpin agama dan guru tarekat khadiriyah. Haji Karim merupakan salah satu pelopor pemberontakan karena ia penumbuh kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup merdeka yang terlepas dari kolonialisme. Melalui kotbah-kotbahnya ia dapat membakar semangat rakyat agar dapat memperbarui kehidupan agama dan menjalankan syariat Islam. Dalam kotbahnya ia sering menyampaikan ramalan-ramalan tentang hari kiamat dan akan datangnya seorang penolong yakni Mahdi. Namun hal ini ia tidak langsung menyuruh pengikutnya untuk memberontak, karena menurutnya, perang Sabil belum waktunya terjadi. Selanjutnya, Kyai Haji Tubagus Ismail adalah murid Haji Abdul Karim. Beliau termasuk dalam kaum bangsawan Banten yang telah kehilangan semua pengaruh politiknya namun masih memilki prestise sosial di kalangan penduduk. Ia telah beberapa kali naik haji, dan perjalanannya ke mekah itu telah menambah permusuhan dengan pemerintahan kolonial. Kyai Haji Tubagus Ismail mulai mengadakan propaganda untuk gerakan pemberontakan melawan pemerintahan kafir. Kemudian, Haji Marjuki merupakan salah seorang pengikut Haji Abdul Karim yang paling setia dan paling disenangi. Beliau sudah mempunyai reputasi yang mapan sebagai guru agama, dan kemasyhuran yang sangat menambah prestise dan pengaruhnya di mata rekan-rekannya sesama haji di Banten. Tidak mengherankan jika Haji Wasid dan Kiyai Haji Tubagus Ismail menganggapnya sebagai seorang sekutu yang sangat kuat dan mereka memintanya dengan sangat agar ikut dalam gerakan pemberontakan. Ia adalah pemimpin yang paling agresif dari tokoh yang lain, karena ia yang mengusulkan supaya pemberontakan harus segera dilakukan secepatnya. Namun yang janggal adalah ketika hari pemberotakan akan dilaksanakan, ia justru pulang ke mekah dengan keluarganya ada di sana. Karena hal inilah banyak pendapat bahwa Haji Marjuki hanya ingin menyelamatkan dir tanpa ingin terlibat dalam pemberontakan. Terakhir, Haji wasid merupakan pemimpin pemberontak yang baru muncul beberapa tahun sebelum pemberontakan itu pecah. Haji Wasid muncul setelah haji Marjuki telah gagal dalam perencanaan pemberontakan. Ia dengan penuh semangat ikut ambil bagian dalam kegiatan propaganda-propaganda yang ditujukan kepada para kyai di luar banten. Rencana – rencana terus dibuat agar dapat berjalan dengan lancar. Untuk menjaga agar tidak diketahui oleh pemerintah. Maka, para pemimpin dan pengikutnya mengadakan acara pertemuan tidak secara terang – terangan. Mereka mengadakan pertemuan melalui acara – acara adat seperti pernikahan, sunatan, dan aqiqahan dan acara peribadahan untuk
membicarakan rencana pemberontakan. Pada hari minggu, tanggal 8 Juli 1888 M. Kaum pemberontak mengadakan sebuah arak – arakan berpakaian putih dan sepotong kain putih yang diikatkan di kepala mereka. Gemuruh takbir dan suara qasidah dengan diiringi suara rebana menambah semaraknya suasana. Kemudian pada malam harinya, barisan orang – orang bertambah besar, bersenjata golok dan tombak yang dipimpin langsung oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail bergerak ke arah Saneja di rumah Haji Ishak (Desa yang berbatasan dengan cilegon). Keesokan harinya, pada hari Senin, tanggal 9 Juli 1888 M. pemberontak pergi dari rumah Haji Ishak dan melakukan serangan pembuka. Para pemberontak menyerang rumah Henry Francois salah seorang Dumas yang merupakan juru tulis di kantor asisten residen. Henry Francois melarikan diri dan bersembunyi di rumah tetangganya yang merupakan seorang jaksa. Istri Henry Francois mengalami luka – luka akibat serangan tersebut. Para pemberontak yang berjumlah ratusan berkumpul di markas yang terletak di pasar jombang wetan. Kemudian, Haji Wasid yang merupakan pemimpin utama dalam pemberontakan, membagi pemberontak menjadi 3 pasukan. Pasukan pertama di pimpin oleh Lurah Jasim yang merupakan jaro kajuruan. Pasukan kedua yang dipimpin oleh Haji Abdul Ghani dan Haji Usman dan Pasukan ketiga dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman. Kekerasan dan Kekacauan berkecamuk di sepanjang hari itu, cilegon telah menjadi tempat pertumpahan darah antara pemberontak dengan pejabat – pejabat kolonial waktu itu. Hampir semua pejabat terkemuka di cilegon menjadi korban ganasnya kaum pemberontak di masa itu. Pada Saat itu, jaksa dan Ajun Kolektor telah berhasil ditawan. Pemberontak kemudian membawa mereka bersama wedana dan kepala penjara menuju ke markas mereka yang berada di Jombang Wetan untuk dieksekusi. Sementara Gubbels telah pulang dari anyer. Kaum pemberontak langsung menyergap rumah gubbels dan membunuhnya. Mayatnya ditarik ke luar rumah dan kaum pemberontak meneriakkan sorak – sorak kemenangan. Disini terlihat jelasnya adanya rasa kebencian rakyat terhadap pemerintah kolonial yang bertindak sewenang – wenang terhadap mereka. Kemudian, penumpasan pemebrontakan di lakukan oleh pemerintah. Bupati dan Kontrolir serang serta Letnan Van Ser Star membawa pasukan ke cilegon. Dan terjadilah pertempuran di Toyomerto. Tentara berhasil memukul mundur pemberontak dan menewaskan 9 orang dan luka – luka di pihak pemberontak. Hal ini- lah yang menyebabkan moral pemberontak terpatahkan, pasukan tercerai – berai dan pemberontakan-pun mulai surut. Terdengar berita di Batavia, bahwa pemberontakan telah terjadi di wilayah banten, dan serang sebagai ibukota keresidenan telah dikepung oleh 5.000 Pemberontak. Informasi yang samar – samar tersebut mengakibatkan kaum kolonial yang terdapat di Batavia mengirim pasukan dalam jumlah besar. Satu batalion mereka kirim ke banten dan mendarat di Pelabuhan Karangantu. Dalam waktu yang bersamaan, pasukan kavaleri kolonial juga sedang dalam perjalanan menuju Serang. Tentara telah menawan ratusan pemberontak. Namun pemimpin – pemimpin pemberontak belum ditemukan. Pemerintah-pun menjanjikan akan memberikan hadiah kepada siapapun yang dapat menangkap pemimpin – pemimpin pemberontakan.
Haji Wasid dan 27 orang pengikutnya melarikan diri ke daerah Banten Selatan. Namun, pada tanggal 30 Juli tentara kolonial melakukan ekspedidi dan mengakhiri pelarian mereka di daerah sumur. Terjadi pertempuran diantara pemberontak dan tentara kolonial. Kaum pemberontak terus melakukan perlawanan walaupun pada akhirnya mereka dapat dilumpuhkan. Tentara membawa mayat mereka yang diidentifikasi sebagai Haji Wasid, Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani, dan Haji Usman. Dua mayat jatuh ke sungai dan dinyatakan hilang meski kemudian satu mayat ditemukan. Dan pemimpin – pemimpin pemberontak pergi melarikan diri. Berakhirlah pemberontakan Petani di Banten Tahun 1888 M. B. Metode Historis Metode yang digunakan Sartono Kartodirjo adalah Metode Penelitian Historis, dimana Secara sistematis prosedur penyelidikan dengan menggunakan teknik-teknik tertentu pengumpulan bahan-bahan sejarah, baik dari arsip-arsip dan perputakaan-perpustakaan (didalam atau diluar negeri) maupun dari wawancara dengan tokoh-tokoh yang masih hidup sehubungan dengan peristiwa bersejarah itu, atau dari orang-orang terdekat dengan tokoh-tokoh itu (anggota keluarga atau sahabat, misalnya) sehingga ia dapat menjaring informasi selengkap mungkin. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: Heuristik, yaitu proses untuk mencari, menemukan serta mengumpulkan datadata yang baik itu berupa tulisan maupun lisan yang terkait oleh permasalahan yang sedang diteliti. Dalam hal ini mencari sumber-sumber data yang memuat tentang Pemberontakan Petani Banten 1888 diperoleh dari Arisp kementrian urusan jajahan,laporan direktur departemen dalam negeri, laporan dan surat resmi pejabat pemerintah, nasihat nasihat dari dewan hindia (Raad van Indie), catatan harian militer, catatan mengenai pemeriksaan kaum kaum pemberontak oleh pengadilan. Kritik, yaitu menyelidiki serta menguji sumber-sumber yang telah didapat baik, isi maupun bentuknya untuk mengetahui tingkat keaslian sumber data sebagai sumber data yang relevan dalam mendukung keterkaitan dengan kegiatan penelitian tentang Pemberontakan Petani Banten 1888. Interpretasi, yaitu setelah memperoleh sejumlah fakta-fakta yang diperlukan dengan menafsirkan data-data menjadi fakta-fakta dalam wujud keseluruhan yang masuk akal melalui argumen kita dengan tetap mengedepankan keobyektifitasan sebuah data yang telah didapat di lapangan langsung khususnya melalui sumber-sumber tulisan. Historiografi yaitu suatu kegiatan peneliti dalam bentuk laporan hasil penelitian secara keseluruhan.
C. Profile Penulis Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo merupakan bapak sejarah Indonesia yang lahir pada masa kolonial Belanda, pada 15 Desember 1921. Ia menempuh pendidikan formal di HIS (Holland Inlandsche School) di Wonogiri pada tahun 1927. Kemudian, pada tahun 1934 ia melanjutkan studinya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Surakarta. Karena bapak Sartono Kartodirdjo merupakan anak yang pintar dan memperoleh nilai tinggi, terutama pada bahasa Jerman, Belanda dan Perancis, ini membuat beliau pindah sekolah dari MULO ke HIK (Holandsche Indische Kweekschool). Yakni, sekolah menengah guru yang didirikan oleh Romo van Lith. Setelah tamat dari sekolah guru di Muntilan, ia melanjutkan karirnya dengan menjadi guru di sekolah swasta. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Indonesia, jurusan sejarah, Fakultas Sastra. Di Jakarta, ia berkuliah sambil mengajar di sekolah SMP Van Lith di Gunung Sahari, Jakarta. Ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Indonesia pada bulan Februari 1956, kemudian ia menjadi dosen di Universitas Gajah Mada. Pada 1962, ia mendapatkan tawaran beasiswa dalam bidang studi sejarah di Yale University di Amerika. Disana ia memperdalam tentang Asia Tenggara dan ilmu-ilmu sosial dibawah bimbingan Prof. Dr. H.J. Benda. Kemudian, ia pergi ke Belanda pada 1966 atas rekomendasi H.J. Benda, untuk menyelesaikan disertasinya. Setelah menyelesaikan disertasinya, ia kembali ke Indonesia dan mengembangkan ilmu sejarah di jurusan sejarah Universitas Gajah Mada. Ia berupaya untuk mengembangkan kajian sejarah yang saintifik dan modern, karena itu Sartono Kartodirdjo menjadikan sejarah sebagai disiplin ilmu. Sartono Kartodirdjo besar dalam pendidikan Barat, ia memiliki penasihat intelektual bernama Profesor Harry J. Benda dan Prof. Karl. J. Pelzer, keduanya berasal dari Yale University, Amerika. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran Sartono Kartodirdjo dipengaruhi oleh pemikiran Barat. Dalam menulis buku “Pemberontakan Petani Banten 1888” Sartono Kartodirdjo menggunakan pendekatan multidimensional dengan ilmu bantu seperti ilmu sosiologi, antropologi, sosial dan politik. Buku ini ditulis secara sinkronik atau meluas dalam ruang terbatas dalam waktu. Ruang lingkup dan tujuan studi dari penulisan buku “Pemberontakan Petani Banten 1888” sepenuhnya membahas mengenai gerakan-gerakan sosial di Banten. Sartono Kartodirdjo berhasil memberitahukan peristiwa petani melalui buku ini bukan hanya untuk masyarakat indonesia saja, tetapi untuk orang-orang diluar negeri juga. Sartono Kartodirdjo juga menganggap petani sangat berpengaruh dalam proses jalannya sebuah negara. Ia berpendapat bahwa kesejahteraan negara dapat diukur dari petani. Selama ada penderitaan dari petani, maka pemerintah gagal menciptakan nasionalisme negara Indonesia yang dasarnya adalah Walfare State atau negara sejahtera.
D. Informasi Singakat Buku 3. Gaya Penulisan A. Latar Belakang Latar belakang dari pemberontakan ini adalah ketidak puasan masyarakat terhadap kepemimpinan kolonial Belanda yang menyengsarakan rakyat pada saat itu. Kemudian kepercayaan masyarakat akan datangnya Imam Mahdi dan hari kiamat, yang ditandai dengan gempa bumi, gunung meletus dan wabah penyakit dianggap sebagai kemarahan tuhan atas kepemimpinan kolonial Belanda yang dianggap kafir. Kaum bangsawan dan Kiai terus menanamkan kecurigaan masyarakat terhadap pemerintah Belanda. B. Gerak Sejarah Buku ini ditulis secara sinkronik atau meluas dalam ruang terbatas dalam waktu. Ruang lingkup dan tujuan studi dari penulisan buku “Pemberontakan Petani Banten 1888” sepenuhnya membahas mengenai gerakan-gerakan sosial di Banten, tujuannya agar memberikan batasan yang jelas mengenai latar belakang kultural dan keagamaan dari permasalahannya, dan untuk menghubungkan fenomena historis dari pemberontakan-pemberontakan petani sebagai gerakan sosial dengan kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan politik tertentu di Banten. Alur penulisan dalam buku ini menggunakan alur maju, dengan menceritakan dari awal kejadian hingga kejadian berakhir. 4. Kesimpulan Buku ini merupakan anti tesis atau perlawan dari sartono terhadap histirografi belanda yang lebih condong ke belanda sentris dan mengabaikan peran masyarakat indonesia. Sehingga sartono menggunakan kata petani untuk menggambarkan rakyat indonesia yang tidak dianggap dalam historiografi kolonial. Penggunaan kata ‘pemberontakan’ dalam buku ini memberikan penekanan pada sapek aspek perlawanan, konflik dan tindakan kekerasan yang dilakukan pada peristiwa itu. Gerakan pemberontakan ini bukan hanya gerakan kebangkitan agama, tetapi juga gerakan protes politik. Faktor Agama, sosial dan ekonomi menjadi penyebab utama dari Judul Buku : Pemberontakan Petani Banten 1888 (The Peasant’s Revolt of Banten in 1888) Penulis : Prof. Dr. Sartono Kartodirjo Halaman : ±456 Halaman Penerbit : Pustaka Jaya Penerjemah : Hasan Basari Penyunting : Bur Rasuanto
pemberontakan ini. Pemberontakan ini memberikan dampak nasionalisme, dan kesadaran politik dari pemimpin, seperti mengembalikan tanah kepada rakyat karena dasarnya orang-orang asing tidak mempunyai hak untuk memilikinya. Dari peristiwa ini, kita dapat belajar bahwa kesejahteraan negara Indonesia dapat diukur dari petani. Selama ada pendiritaan dan kesengsaraan pada petani berarti Indonesia gagal menciptakan negara yang sejahtera. Buku ini sangat bermanfaat bagi sejarawan-sejarawan Indonesia, penjelasan yang diberikan lebih bersifat analisis daripada penjelasan atau cerita jalannya kejadian pemberontakan tersebut. 5. Daftar Pustaka Kartodirdjo, S. (1984). Pemberontakan Petani Banten 188. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Nurhayati. (2018). Kontribusi Sartono Kartodirdjo Dalam Historiografi Indonesia Modern. Repository UIN Banten.