1 SEJARAH SENI RUPA INDONESIA I. PENDAHULUAN A. Pengertian Sejarah Seni Rupa Indonesia lmu sejarah ialah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa yang pernah terjadi pada masa lampau dalam kurun waktu tertentu. Peristiwa atau kejadian sejarah tersebut diperlihatkan atau dapat diamati lewat bukti-bukti tertulis maupun melalui artifak. Ilmu sejarah adalah ilmu yang menceritakan kisah-kisah peninggalan di masa lampau, tentang manusia dan tentang peninggalan manusia. Dari peninggalan berupa benda-benda itulah perkembangan peradaban manusia dapat diketahui. Karena itu, sejarah suatu bangsa dapat diketahui melalui buktibukti atau benda-benda peninggalannya. Menyimak perkataan “Sejarah Seni Rupa Indonesia” itu sendiri, maka kata-kata itu dapat mengandung dua cakupan pengertian. Pertama, yang berarti seni rupa di Indonesia dalam rentang waktu mulai dari masa prasejarah sampai sekarang (meliputi seni regional) yang dilahirkan oleh kelompok-kelompok masyarakat Indonesia dalam berbagai tingkat dan golongan - berlanjut sampai kepada perkembangan mutakhir di abad ke-21. Pengertian ini sangat longgar, karena cakupannya sangat luas, yakni meliputi semua kreasi yang mengandung unsur estetis (mulai dari gambar/lukisan, patung, bangunan, ornamen, dan semua benda-benda kriya/kerajinan tangan) dalam segala bentuk dan tingkat keterkaitannya dengan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan religi. Pengertian kedua, agak lebih sempit dan sederhana, yaitu mengandung pengertian seni rupa yang konseptual dan kualitatif serta fungsionalnya berbeda atau terlepas dari konteks sejarah seni rupa prasejarah Indonesia - tanpa secara mutlak harus diartikan sebagai deskripsi atau diskontinuitas. Dalam perbedaan tersebut tercakup pula adanya proses untuk mewujudkan ciri-ciri dan kualitas ke-Indonesiaan sebagai konsekuensi logis terjadiya perubahan dan perkembangan disegala bidang kehidupan, termasuk pembaruan-pembaruan karena adopsi, adaptasi atau pengaruh kaidah-kaidah baru dalam dunia seni rupa. Istilah yang mencakup dua pengertian tersebut dipergunakan di sini secara profesional untuk mengaitkan hal-hal yang akan dibicarakan selanjutnya. Periodesasi seni rupa prasejarah dan seni rupa modern Indonesia, juga relatif bersifat sementara. Peristilahan ini hanya dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman kita, yang tekanannya pada dimensi waktu. B. Sumber-sumber Sejarah Seni Rupa Indonesia Salah satu persoalan yang dihadapi oleh prasejarah seni rupa Indonesia ialah langkanya sumber-sumber tertulis yang dapat memberikan data atau petunjuk-petunjuk otentik mengenai kaidah-kaidah keindahan (estetik) dalam ukuran waktu tertentu. Bagaimana perkembangannya serta hubungan kausal atau korelasi apa yang mendasari kontinuitas atau diskontinuitasnya ? Apakah perkembangannya mengikuti pola atau pola-pola yang ajeg di masa lampau ? Sejauh mana penguasa memainkan peranannya ? Dalam kondisi bagaimana seni rupa rakyat lahir dan tumbuh ke-eksistensial dengan seni I
2 rupa istana ? Bagaimana prosedur dan pembentukan gayanya ? Apa dan bagaimana kandungan simboliknya ? Bagaimana cara mewariskan keahlian mencipta itu dari satu generasi ke generasi lainnya ? Karena bangsa Indonesia tidak memiliki tradisi pencatatan historis untuk peristiwa-peristiwa penting maupun kejadian-kejadian kultural terutama tulisan-tulisan mengenai kesenirupaan tersebut, maka data yang diperlukan sebagian besar harus digali dari dokumentasi zaman kolonial. Pada akhirnya benda-benda prasejarah seni rupa Indonesia itu sendiri merupakan material fakta yang sangat penting. Dalam rangka inventarisasi benda-benda seni tersebut, maka koleksi museum, koleksi istana dan koleksi perorangan dapat dimanfaatkan melalui dokumentasi fotografi kemudian disusun secara sistematis berdasarkan jenis, asal, periode dan kredibilitasnya sebagai pendukung fakta atau contoh representatif. B. Pentingnya Belajar Sejarah Ahli sejarah mengungkapkan bahwa peristiwa yang terjadi pada masa lampau merupakan kenyataan sejarah yang tidak dapat diubah, peristiwa yang terjadi pada waktu sekarang merupakan kenyataan yang sedang dihadapi, dan peristiwa yang terjadi pada waktu yang akan datang merupakan kenyataan yang dapat direncanakan pada waktu sekarang. Ketiga peristiwa itu merupakan rangkaian yang berkaitan erat satu sama lainnya. Keterikatan rangkaian itulah yang mendorong manusia mempelajari sejarah masa lalu dan menggunakannya untuk membuat rencana dimasa depan. Mengapa perlu belajar sejarah ? Manusia tidak terlepas dari masa lalu. Karena itu, manusia harus melihat kemajuan-kemajuan yang telah dicapai pada masa lalu guna memacu perkembangan masa sekarang dan masa yang akan datang. Selain itu, dengan mempelajari pola kehidupan masa lalu, kita dapat belajar tentang kompleksitas kehidupan masa kini. Pendapat lain mengatakan bahwa sejarah selalu ditentukan oleh pemikiran yang paling menonjol pada zamannya. Dan untuk menandai suatu zaman, kita perlu memahami pemikiran yang berkembang yang paling signifikan dan menonjol pada zaman yang bersangkutan. Demikian pula dengan konsep pemikiran pada masyarakat prasejarah. Sejarah suatu bangsa hanya dapat diketahui melalui bukti-bukti atau bendabenda peninggalannya. Bagi masyarakat primitif, seni sama pentingnya dengan kebutuhan primer lainnya. Salah satu dari bukti-bukti peninggalan itu, yakni bendabenda budaya. Dengan mempelajari sejarah suatu bangsa, kita dapat mengetahui sejarah bangsa tersebut. Demikian pula dengan sejarah seni rupa Indonesia, khususnya seni rupa prasejarah dan seni rupa Hindu-Budha. Karena itu, peninggalan sejarah itu disebut pula benda-benda bersejarah sebagai suatu refleksi dari budaya atau rohani manusia. Dengan mempelajari sejarah suatu bangsa, kita dapat mengetahui sejarah bangsa tersebut. Demikian pula dengan sejarah seni rupa Indonesia, khususnya seni rupa prasejarah dan seni rupa Hindu-Budha. Dengan mempelajari sejarah seni rupa prasejarah kita dapat memperoleh informasi tentang esensi kehidupan sosial, yang sekaligus sebagai bagian yang tak terpisahkan dari totalitas kehidupan masyarakat prasejarah di Indonesia. Sedangkan bagi kalangan senirupawan, selain untuk memahami karya-karya seni masa lalu juga bermanfaat sebagai acuan dalam berkarya (sebagai sumber ide di dalam
3 mengembangkan suatu gagasan baru). Apabila dibandingkan dengan volume intensitas yang dicurahkan dan perhatian oleh sejarawan Indonesia dalam meneliti dan mengungkapkan berbagai bidang dan aspek kehidupan bangsa Indonesia di masa lampau, maka bidang kesenian, khususnya seni rupa dirasakan belum mendapat kesempatan menjadi objek studi historis dalam intensitas dan ekstensitas yang menamadai. Minat mahasiswa sejarah dan sarjana sejarah untuk memusatkan perhatiannya dalam bidang ini juga sangat kecil bila dilihat gersangnya tiulisan yang datang dari mereka. Kesenjangan tersebut dapat dipahami dalam korelasinya dengan beberapa faktor. Pertama, bidang seni rupa sebagai obyek penelitian historis adalah rendah urutannya dalam slakala perioritas penanganan historisnya, baik dalam tingkat nasional maupun pada jurusan sejarah setiap lembaga pendidikan tinggi. Porsi perkuliahan dan seminarseminar yang membahas sejarah kesenian sangat minim atau terbatas hanya pada jurusan tertentu saja. Kenyataan ini adalah salah satu hambatan dalam membuka minat dan perhatian terhadap bidang seni sebagai obyek yang menarik bagi penelitian sejarah. Kedua, bidang seni rupa terlihat ada kesan ketertutupan bagi pengamat historis, karena belum dapat dilihat dengan jelas apa persoalannya, di mana fokus perhatian harus diarahkan, bagaimana skop temporal dan spatialnya, apa sumber-sumbernya, metode apa yang haurs diterapkan, teori-teori dan kategori-kategori mana yang harus dimobilisir disiplin-sdisiplin apa saja yang diperlukan bantuannya, dan pengertianpengertian dasar mana yang dapat diaplikasikan secara efektif. Kenyataan ini tampaknya juga diperlukan suatu kerja awal untuk mengungkap dan melihat dunia seni rupa Indonesia bagi pendekatan kritis ilmu sejarah. Dalam praktiknya, kerja awal ini tidak dapat mengesampingkan adanya kerja sama berbagai pihak.. Karean itu, mereka yang terdidik dalam ilmu dan menaruh perhatian besar pada bidang seni rupa Indonesia, kiranya dapat mulai berinisiatif mengambil langkahlangkah pendahuluan yang diperlukan dengan melakukan eksplorasi dan inventarisasi sumber-sumber sejarah seni rupa Indonesia. D. Tujuan mempelajari sejarah seni rupa Indonesia lama 1. Membina kemampuan menghayati, menganalisa, dan menerangkan karya-karya seni rupa Indonesia guna memperluas wawasan dan pengetahuan tentang seni rupa Indonesia lama. 2. Meningkatkan pemahaman terhadap sejarah pertumbuhan dan perkembangan seni rupa Indonesia lama dari awal sampai masa Hindu-Budha. E. Peranan seni rupa prasejarah dalam perkembangan seni rupa berikutnya Peninggalan-peninggalan artifak dalam material batu biasanya meliputi bendabenda keperluan ritual, perhiasan, sampai kepada alat-alat fungsional untuk kebutuhankebutuhan seperti berburu, berperang, dan sebagainya. Dalam konteks yang lebih luas, batu telah berperan sebagai monumen yang menjelaskan masa puncak keemasan suatu peradaban manusia yang tertuang dalam wujud-wujud budaya material. Peradaban seperti itu, dapat kita lihat dalam karya-karya arsitektural-monumental seperti candi, kuil, istana, menhir, dolmen, arca batu, makam kuno, dan masih banyak lagi lainnya. Hal ini didukung oleh sejarah bahwa sejak awal perpindahan dari daratan Asia Selatan,
4 penduduk Indonesia memiliki kecakapan pemanfaatan berbagai material (mulai dari batu, kayu, sampai kepada logam). Material tersebut, kemudian mereka olah menjadi alat-alat pendukung kehidupan manusia. Kemahiran itu didukung pula oleh kekayaan alam Indonesia, seperti tersedianya berbagai macam material batu, kayu, logam, dan sebagainya. Dengan kata lain bahwa potensi kekayaan itu, selain sebagai sumber bahan baku, juga menjadi sumber inspirasi artistik yang didukung oleh kecakapan pemanfaatan material yang tersedia. Perkembangan sejarah tersebut menunjukkan adanya perkembangan dalam konsep bentuk. Hal ini banyak ditentukan oleh faktor lingkungan sosial dan geografis. Terutama pada masyarakat yang sering berhubungan dengan masyarakat luar, perkembangan bentuk menunjukkan adanya pengaruh, terutama terhadap teknik dan teknologi yang sangat berperan dalam hal bentuk. Misalnya bentuk peralatan yang mereka gunakan dalam menunjang kehidupan sehari-hari. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa seni primitif pada umumnya merupakan jalinan dari dua hal, yakni peranan emosional yang integral dengan sikap hidup, dan kemampuan teknis yang berpengaruh terhadap bentuk. Yang disebut terakhir adalah dipengaruhi pula oleh lingkungan alam dan sumber alam. Suatu hal yang cukup menarik dari seni primitif tersebut ialah bahwa seni primitif ini sifatnya abadi, tidak terbatas oleh ruang dan waktu serta mampu bertahan sepanjang masa. Betapapun sejarah menunjukkan adanya perkembangan dalam gaya, namun hal ini tidak terlalu menyimpang dari aslinya. Sebagai contoh dapat kita lihat seni rupa etnik Batak, Kalimantan, seni Asmat di Irian Jaya, Tana Toraja di Sulawesi Selatan. Bentuk ekspresi seni primitif sering menjadi daya pikat bagi seniman modern dalam rangka mencari nilai-nilai baru, terutama dalam menemukan konsep seninya. Karena itu, kita tidak perlu heran jika sering muncul/dijumpai adanya tanda-tanda persamaan antara seni rupa primitif tersebut dengan seni rupa modern sekarang ini, terutama dalam seni patung etnik masyarakat suku terasing. Perlu diingat bahwa konsep seni pada masa prasejarah jauh berbeda dengan konsep atau pandangan seni modern. Bagi masyarakat prasejarah seni bukanlah kemewahan melainkan terkait dnegan benda-benda pakai dan untuk berbagai keperluan ritual. Karena itu, seni prasejarah adalah seni ritual-magis yang dipergunakan sebagai alat untuk mencapai sesuatu tujuan dengan cara yang irrasional seperti misalnya dipergunakan untuk mencari persahabatan dengan sesuatu kekuatan di luarnya, mencari pelindungan ataupun secara magis diharapkan dapat mempengaruhi sesuatu keadaan. Selain itu, seni prasejarah juga bersifat simbolik dimana setiap bentuk selalu memiliki arti perlambangan tertentu. Hal ini logis, karena masyarakat prasejarah adalah masyarakat yang animistik. Mereka percaya akan adanya roh atau anima dimana-mana. Roh nenek moyang dianggap sebagai roh yang baik dan sebagai pemegang ‘mana’ yang paling tinggi. Karena itu, dipuja dan bahkan sering dimintai perlindungan.untuk keselamatan mereka. Praktik pemujaan mereka terhadap nenek moyang sangat populer di masa prasejarah. Karena itu pula lahirlah berbagai bentuk arca nenek moyang serta bentuk-bentuk pemujaan lainnya seperti punden berundak-undak. Pemujaan nenek moyang ini ternyata kemudian merupakan salah satu gejala ‘local-genius’ bangsa Indonesia. F. Pembagian Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Berdasarkan Asal Mula Pertumbuhannya
5 Secara umum sejarah kebudayaan Indonesia bermula dari zaman prasejarah, yakni dari masa Neolitikum awal atau masa akhir Mesolitikum pada kira-kira 4000 tahun yang lalu. Masa ini lazimnya dibagi ke dalam empat periode; yakni: zaman prasejarah, zaman purba; zaman madya, dan zaman baru atau zaman modern Zaman prasejarah; sejak permulaan adanya manusia dan kebudayaan sampai kira-kira abad ke-5 Masehi. Zaman purba; sejak datangnya pengaruh India, yakni pada abad-abad pertama tarikh Masehi sampai lenyapnya kerajaan Majapahit (+ 1500 M). Zaman madya; sejak datangnya pengaruh Islam di Indonesia, yakni menjelang akhir zaman Majapahit sampai akhir abad ke-19. Zaman baru; Sejak masuknya anasir-anasir Barat dan teknologi modern Indonesia, yakni kira-kira tahun 1900 Masehi sampai saat ini. Gbr. 1 Pembagian zaman prasejarah berdasarkan Ilmu Geologi (Soekmono, 1991). Zaman sejarah Zaman besi Zaman perunggu Zaman logam Alluvium Zaman tembaga (holocen) Neoloithicum Zaman Prasejarah Mesolitihicum Zaman batu Diluvium Palaeolithicum (pleistocen) Pembagian sejarah berdasarkan arkeologi ialah pembagian yang dilakukan berdasarkan bahan-bahan yang ditinggalkan oleh suatu kebudayaan sebagai fakta sejarah. Karena itu pula, maka terdapat pembagian prasejarah seperti diuraikan berikut ini. Zaman batu, meliputi: zaman batu tua (Paleolitikum), zaman batu tengah (Mesolitikum), dan zaman batu muda (Neolitikum). Zaman logam, meliputi: zaman perunggu; dan zaman besi. Sedangkan zaman tembaga (tidak ditemukan di Asia, termasuk di Indonesia). Catatan: Permulaan adanya kebudayaan, permulaan adanya prasejarah bersamaan dengan zaman geologi quartair atau permulaan diluvium. Zaman prasejarah berakhir dan mulainya zaman sejarah bila telah ditemukan bukti-bukti tertulis (budaya tulis) pada setiap bangsa. Karena itu, setiap bangsa berlainan masanya. Dengan kata lain bahwa setiap bangsa memiliki masa prasejarah, masa sejarah masing-masing yang saling berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa-bangsa lainnya. Masa prasejarah di Indonesia berbeda dengan masa prasejarah di Eropa. Salah satu dari bukti-bukti peninggalan masa lalu ialah benda-benda
6 budaya. Karena itu, peninggalan sejarah tersebut disebut pula benda-benda bersejarah sebagai suatu refleksi dari budaya atau rohani manusia. Sedangkan karya-karya seni rupa Indonesia lama yang berlangsung mulai dari masa prasejarah hingga masa Hindu-Budha sangat erat kaitannya dengan sistem religi yang dianut oleh suatu masyarakat. 2. Berdasarkan periodesasi menurut ciri peninggalannya Sejarah seni rupa Indonesia dapat dibedakan atas: 1. Seni rupa Prasejarah 2. Seni rupa Hindu-Budha (klasik) 3. Seni rupa Islam 4. Seni rupa modern Adapun materi bahan ajar yang akan disajikan pada bagian ini dibatasi pada seni rupa prasejarah dan seni rupa Hindu-Budha. Sedangkan seni rupa Islam dan seni rupa modern akan dibicarakan tersendiri pada bagian lain. II. PRASEJARAH INDONESIA Pembabakan seni rupa prasejarah di Indonesia dibedakan atas dua periode, yakni zaman batu dan zaman perunggu. Pembabakan ini didasarkan atas kemampuan teknik dan teknologi masyarakat prasejarah waktu itu, terutama di dalam menciptakan alatperalatan yang diperlulukan dalam mendukung kelangsungan hidupnya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan bukti-bukti artifak yang mereka ciptakan pada masa tersebut. Secara berturut-turut, akan dijelaskan sebagai berikut. 1. Zaman Batu (Megalitik) 2. Zaman batu ini dapat pula dibedakan atas tiga periode, yakni: a. Zaman batu tua (Paleolitik). b. Zaman batu tengah (Mesolitik). c. Zaman batu muda (Neolitik). Adapun peninggalan artefak terpenting dari zaman batu tersebut antara lain; kapak genggam (berbagai macam bentuk), patung-patung nenek moyang (patung arwah), bangunan megalitik (menhir, dolmen, sarkopak), gambar-gambar/lukisan pada dinding gua. Sedangkan seni hias prasejarah biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi menyatu dengan benda-benda artifak tersebut. Salah satu peninggalan yang paling kuno dari kesenian Indonesia adalah lukisan pada dinding gua-gua, seperti ditemukan di Irian Jaya, di Kepulauan Kei dan Seram serta di .Sulawesi Selatan. Lukisan-lukisan tersebut antara lain berupa gambar tangan dan telapak kaki, gambar-gambar manusia, gambar-gambar binatang, seperti babi hutan, cecak, kadal, kura-kura, kerbau, dan lain sebagainya.
7 Dalam beberapa gua di Indonesia seperti disebutkan di atas terdapat bukti bahwa gambar telapak tangan dengan jari terpotong, atau gambar seekor binatang ditusuk-tusuk dengan tombak. Van Heekeren yang meneliti gua-gua di dekat Maros Sulawesi Selatan menyatakan bahwa baik lukisan babi hutan tertombak panah maupun ratusan gambar tangan yang terdapat di sana diduga bersamaan waktu dengan perkembangan kebudayaan Toala yang berasal dari sekitar tahun 2000 sebelum Masehi Sedangkan pakar lain seperti Dr. Josef Roder yang banyak melakukan penelitian di daerah Irian Jaya menemukan umur lukisan-lukisan di guagua tersebut (paling tua 1000 tahun sebelum Masehi), bahkan banyak diantaranya baru dibuat 3-4 abad yang lalu. Lukisan babi hutan di gua Leang-leang Kabupaten Maros Sulawesi Selatan dengan kontur warna merah meggambarkan seekor babi hutan yang sedang meloncat dan dengan luka di lehernya. Menilik wujud dan tempatnya, yakni di dalam gua, maka diduga lukisan tersebut bernilai magis, yakni untuk mempengaruhi keadaan agar betul-betul demikianlah yang akan terjadi ketika orang-orang nanti berburu. Mungkin pula dilakukan suatu upacara sebelum mereka pergi berburu dengan cara menusuknusukkan tombak pada gambar tersebut dengan harapan dapat melukai binatang buruannya kelak. Maka sebelum mereka pergi berburu terlebih dahulu menusukkan ujung tombak atau panahnya pada gambar tersebut dengan harapan agar nantinya binatang buruan itu sungguh dapat dibunuh. Lukisan serupa banyak persamaannya dengan lukisan prasejarah di Eropa, seperti ditemukan di gua-gua Lascaux atau Altamira. Sedangkan lukisan telapak tangan dengan jari terpotong seperti ditemukan di gua Leang-leang Sulawesi Selatan juga ada persamaannya dengan gambar-gambar tangan yang ada di gua Abba Irian Jaya. Rupanya orang-orang primitif dari manapun juga memiliki titik tolak (cara berpikir) yang hampir sama. Berikut ini dilampirkan materi bacaan tentang tinjauan seni rupa prasejarah di Indonesia, termasuk lukisan pada gua-gua di Sulawesi Selatan. 1. Tinjauan Seni Rupa Prasejarah Manusia hidup dalam masa Prasejarah dalam jangka waktu yang sangat panjang sampai mencapai jutaan tahun. Pada masa ini manusia hidup tergantung pada alam, dan dengan sarana akalnya manusia mulai memikirkan, bahkan sudah mulai membuat alat-alat yang dapat membantu pekerjaannya dalam menjalani hidupnya di alam yang luas ini. Walaupun alat-alat yang dibuat pada masa itu masih sangat sederhana sebab masih sedik merubah bentuk aslinya yang ada di alam. Oleh karena orientasi kehidupan pada masa prasejarah ini masih sederhana seperti mengumpulkan makanan dan berburu, maka alat-alat yang dibuatnyapun merupakan pemenuhan atas aktivitas mengumpulkan makanan dan berburu itu. Misalnya alat untuk mencari umbi-umbian sebagai bahan makanan atau alat untuk berburu, alat-alat ini dibuat dengan material alam seperti batu inti yang di pecah, atau tulang binatang yang diasah sehingga tajam dan dapat digubnakan sebagai pisau. Kehidupan manusiapun pada masa ini belum sepenuhnya menetap, mereka masih berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya tergantung pada situasi dan kondisi setempat, bila tempat tinggal mereka tidak subur lagi, maka mereka pindah dan mencari tempat tinggal baru. Menurut beberapa ahli Arkeolog bahwa kadang-kadang dalam perjalanan menuju tempat yang baru ini, mereka singgah dan bertempat tinggal sementara disuatu tempat, mungkin tempat itu adalah gua atau
8 dataran terbuka, sehingga sering ditemukan beberapa peralatan dan sisa makanannya pada tempat yang diperkirakan sebagai tempat persinggahannya ini, bahkan menurut ahli Arkeolog ini, dalam masa perpindahan ini sering terjadi kematian, apalagi anakanak dan para wanita yang mengalami kesulitan dalam perjalanan ini, maka tidaklah mengherankan bila sering di temukan rangka manusia yang terpisah jauh dari temuan lainnya. Manusia-manusia prasejarah inipun belum membuat rumah sebagai tempat tinggal tetap, pada umumnya mereka masih tinggal di gua-gua atau didawerah terbuka, tempat yang mereka cari adalah terutama yang dekat dengan sumber air, sebab air memegang peranan penting dalam kehidupan mereka, selain untuk minum, membersihkan badan, alat transportasi melalui sungai, juga memudahkan mencari binatang buruan, sebab binatang-binatang pun butuh air untuk minum. Pada masa kehidupan di gua-gua ini menonjol sekali adanya aktivitas penguburan dan lukisan-lukisan sebagai bukti berkembangnya corak kepercayaan pada masa kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan ini. Kemudian dengan daya kerja otaknya maka manusia mulai mengalami berbagai kemajuan dalam proses hidupnya, mereka mulai membuat alat-alat yang lebih praktis untuk dimanfaatkan dalam kehidupan mereka, sedikit demi sedikit mereka mulai melepaskan diri dari tekanan alam, mereka tidak hanya seluruhnya bergantung pada alam, tapi telah ada upaya-upaya untuk menguasai alam. Misalnya umbi-umbian yang awalnya dicari dihutan, kini mulai ditanam sendiri, binatang-binatang buruan mulai dijinakkan, membuat perladangan sederhana, mulai bercocok tanam dan bertempat tinggal menetap.1 Mereka sudah memiliki hasil budaya tinggi, mereka telah mengenal budaya bercocok tanam, memelihara hewan, juga membuat benda-benda dari material tanah berupa periuk, tempayan dan lain-lainnya, mungkin untuk pakaian mereka juga telah menenun dan membuat pakaian dari kulit kayu, dan yang paling mengesankan lagi adalah mereka telah memiliki kecenderungan yang tinggi untuk mengekspresikan dirinya dalam karya-karya yang saat ini kita sebut Lukisan, walaupun dengan bahan pewarna dari alam dan bidang dinding gua atau batu dan kayu pada permukaan dari alat-alat kebutuhan hidup mereka, namun itu telah menjadi bukti bahwa merekapun telah memanfaatkan insting dan intuisi berkeseniannya. Sejalan dengan itu, perkembangan tahap demi tahap semakin memperlihatkan kemajuannya, apalagi setelah di temukannya biji logam, maka pertanian, peternakan dan pembuatan alat-alat mengalami kemajuan tekniknya. Alat-alat tidak hanya di buat dari batu, tulang dan tanah serta dari logam. Karena logam beradasrkan sifat materialnya lebih mudah dibentuk daripada batu, maka akhirnya logam memegang peranan penting. Bahkan lama-kelamaan logam mulai menggeser kedudukan batu, batupun hanya berfungsi sebagai benda pusaka saja yang kehilangan nilai praktisnya. Maa ini lalu dikenal sebagai masa perundagian seabagai puncak dari karya budaya prasejarah. Perkampungan juga semakin besar, beberapa kampung bersatu membentuk satu kampung lagi yang lebih besar. Dengan semakin besarnya kelompok masyarakat, maka sudah tentu pembagian tugas sangat diperlukan. Mereka sudah mulai membentuk kelompok-kelompok sesuai dengan tugas atau kerja. Di sini terbentuk kelompok pandai besi, perunggu, petani, pedagang, peternak, dan pemburu. Karena 11 Tinjauan ini berdasar pada hasil bacaan dari beberapa buku sejarah seni rupa prasejarah Indonesia., termasuk lihart juga Kusnadi, Dkk. Tentang “Sejarah Seni Rupa Indonesia” , Proyek penelitian dan pencatatan kebudayaan daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ; (1979, hlm.7)
9 setiap kelompok mempunyai penghasilan yang berbeda, maka terjadilah komunikasi yang timbal balik antara sikonsumen dan produsen. Perdagangan telah dilakukan dengan sistem barter. Dengan demikian terbentuklah kelompok-kelompok yang terampil dalam masyarakat. Masyarakat yang camping dan undagi ini disebut perundagian.2 a. Lukisan di Gua dan batu karang Sejak jaman prasejarah tradisi berekspresi dalam bentuk lukisan sudah dikenal, dimana tradisi melukis ini bukan hanya sekedar mengekspresikan unsur keindahan saja, tapi ada berbagai nilai yang tersirat dalam lukisan itu, mulai dari warna, bentuk dan teknik merupakan simbol dari berbagai makna-makna yang ingin disampaikan. Hal ini bila dihubungkan dengan kepercayaan mereka ternyata memiliki kaitan yang erat, bisa jadi sebuah lukisan dibuat dengan ritual tertentu dan untuk kepentingan ritual pula sebab merekapun mulai percaya pada adanya kekuatan yang menguasai mereka yang berada di luar dirinya, dan kekuatan itu berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidupnya, kemakmurannya, keamanan dan kebahagiaan hidupnya. Pada masa berburu dan mengumpul makanan pada umumnya lukisan digambarkan di dinding-dinding gua tempat mereka bertempat tinggal, pada masa kemudian barulah mereka mulai melukiskan pada tempat yang mereka anggap mengandung daya magis, sehingga akhirnya semakin indah lukisannya dianggap semakin besar pula daya magisnya, dan akhirnya benda tersebut berubah fungsi menjadi benda untuk upacara keagamaan. Pola hias geometrik adalah pola hias yang paling banyak di gunakan dalam seni hias di Indonesia dari jaman-kejaman, pola geometrik adalah pola hias tradisional yang selalu memegang peranan, pola hias ini mengandung arti sosial, geografis, dan relegius.3 Untuk lukisan di gua-gua yang terdapat diberbagai tempat di Indonesia kebanyakan menggambarkan cap tangan atau lukisan-lukisan makhluk hidup seperti berbagai jenis binatang. Lukisan gua ini ternyata telah lama menjadi perhatian para peneliti. Pada tahun 1937-1938 Roder telah melakukan penelitian pada lukisanlukisan prasejarah yang terdapat di dinding-dinding gua di daerah Irian jaya dan Seram. Di daerah utara Irian di sekitar teluk sarieri, danau sentani terdapat lukisanlukisan yang bersifat abstrak. Lukisan ini berupa garis-garis lengkung, lingkaranlingkaran, pilin4 . Di Seram pola hias geometrik juga didapatkan di beberapa tempat, yakni berupa pola hias berbentuk lingkaran, garis-garis silang, titik-titik. Lukisan tersebut di beri warna merah yang dianggap mengandung kekuatan melindungi dari bahaya. Selain di Seram di kepulauan Kei juga terdapat berbagai lukisan Prasejarah.5 Gambar I. 2.Lihat R.P. Soejono, 1975, dalam Kusnadi Dkk. (Sejarah Seni Rupa Indonesia) 3 Lihat R. P. Soejono “Penyelidikan Sarkofagus di Pulau Bali”, Prasaran pada kongres Ilmu Pengetahuan Nasional II, (1962; Hlm.242-243) Seksi D. Djakarta. 4 Lihat lagi R. P. Soejono “Prehistori Irian Barat”. Penduduk Irian Barat. Proyek Penelitian Universitas Indonesia, (1963; Hlm. 7) no C. II Djakarta. 5 Lihat H. R. Van Heekeren, “The Stone Age of Indonesia”. (1972; hlm. 127-130), V.K.I. Deel 61. Second Rev. Edition. ‘s-Gravenhage.
10 Lukisan cap telapak tangan di gua leang-leang Kabupaten Maros Sulawesi Selatan b. Lukisan Prasejarah Sumpa Bita (Pangkep) Kalau di Leang-leang terdapat lukisan babi rusa sebagai pasangan dari cap tangan, maka di sumpa Bita yang menjadi pasangan cap tangan adalah lukisan perahu-perahu yang mirip peti-peti mayatnya orang Toraja, perahu ini dilukiskan berjejer dengan goresan kuat warna merah, tak jauh beda dengan jejeran babi rusa di Leang-leang, penulis menduga bahwa hal ini tidak lepas dari kondisi geografisnya, di sumpa bita terdapat beberapa aliran sungai yang memungkinkan orang membuat perahu untuk mencari ikan atau kebutuhan trasportasi, dan leang-leang dipenuhi hutang yang terdapat banyak babi, walau sungai-sungai dari sumpa bita ini juga mengalir ke dekat leang-leang. Selain itu, secara konotatif penggambaran perahu tersebut tidak lepas dari anggapan mereka bahwa nenek moyang mereka mendatangi wilayah itu dengan menggunakan perahu, dan bagi mereka perahu merupakan kendaraan bagi roh mereka setelah meninggal, jadi perahu adalah penggambaran nilai-nilai rokhaniah
11 seperti juga babi rusa. Ini digambarkan bukan sekedar kebutuhan berekspresi saja, tapi lebih dari itu adalah demi kepentingan upacara. Di duga bahwa sebelum mereka berangkat berburu, bekerja atau mencari bahan makanan, lebih dahulu diadakan ritual upacara untuk keselamatan, pengorbanan dan keberhasilan dan mencapai tujuannya yaitu memperoleh bahan makanan. Salah satu rangkaian upacara tersebut adalah menancapkan tombak pada tubuh lukisan binatang Babi rusa yang ada di dinding gua, dan pada ritual-ritual ini pula lukisan cap tangan dibuat dan pengorbanan dengan memotong jari-jari dimulai oleh sang istri sebagai bukti kerelaan melepas suaminya dan kesetiaan menunggunya, di sisi lain ada kecenderungan dengan upacara ini lukisan itupun dapat mengusir roh jahat yang sering mengganggu ketentraman hidup manusia. Dalam pengorbanan, kesetiaan, dan kerelaannya merupakan sesuatu yang transenden yang lahir dari pertemuan perasaan cinta antara laki-laki dan perempuan, antara dunia atas dan dunia bawah. Nilai trandensen inilah yang kemudian yang mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan mereka. Warna merah yang terdapat pada sela-sela jari cap tangan merupakan simbol warna bumi atau dunia tengah sebagai tempat manusia berpijak untuk menggapai dunia atas, warna inipun telah terdapat pada beberapa lukisan gua prasejarah din berbagai tempat di Indonesia, menurut tapsiran beberapa peneliti sejarah warna ini dipercaya dapat menolak bahaya roh jahat yang akan mengganggu. Untuk lukisan babi rusa (leang-leang) dan perahu (sumpa Bita) memiliki teknik yang sama, yakni dengan goresan yang kuat ditonjolkan dengan warna garis merah sebagai simbol ketegasan atau kelaki-lakian. Ada kemungkinan lukisan-lukisan ini dibuat untuk kepentingan atau keperluan upacara pengoebanan dan perburuhan, dengan harapan upacara ini dapat menjadi medi yang menhubungkan hidup mereka dengan yang gaib atau yang tak berwujud, jadi dengan ritual upacara ini mereka telah meyakini bahwa ada kekuatan supranatural yang berada diluar dirinya tapi punya kekuasaan menentukan perjalanan hidupnya. Maka untuk mencapai kemakmuran dan kebahagiaan hidup itu orang harus berkorban. Walaupun wujud visual lukisan dinding gua ini sederhana, namun kaya akan nuansa jiwa dan rohaniah, ini merupakan indeks bahwa orang-orang prasejarah lebih
12 mementingkan unsur kejiwaan dan rohaniah serta keyakinan ketimbang unsur-unsur fisik material dalam hidupnya. Secara umum lukisan ini dibuat untuk kepentingan upacara pengorbanan dan perburuhan, sekaligus lukisan ini menceritakan kisah hidupnya ketika itu, mereka berekspresi disadari atau tidak disadarinya mereka telah menyampaikan pada kita bahwa merekapun pernah ada dan telah memiliki kemampuan berekspresi dalam bentuk lukisan. Dan kita sadari bahwa obyek-obyek yang dipilih sebagai media ungkap rasanya, seperti cap tangan, perahu dan babi rusa, bukanlah sekedar objek yang asal-asalan, tetapi memiliki nilai konotatif yang sangat dalam. Untuk lebih memudahkan pemahaman Saudara terhadap materi ini, perhatikanlah baik-baik gambar peraga/slide/transfaransi berikut ini. Transfatransi 1, 2: Kria batu (Kapak genggam berbagai macam bentuk) Transfaransi 3: Kria tanah liat (gerabah) Mesolitik-Neolitik Transfaransi 4, 5: Patung-patung Megalitik Transfaransi 6, 7, 8: Bangunan Megalitik ( menhir, dolmen, sarkopak Transfaransi 9, 10: Lukisan dinding gua Mesolitik-Megalitik) Transfaransi 11: Lukisan dinding prasejarah (tema arwah/totem) Transfaransi 12, 13: Ragam hias Prasejarah prasasti canggal
13 Batu Gajah
14 Nekara dan Kebudayaan Dongson Nekara adalah semacam berumbung yang terbuat dari perunggu yang berpinggang di abgian tengahnya, sisi atasnya tertutup. Diantara nekara-nekara yang ditemukan di Indonesia hanya beberapa saja yang utuh. Nekarnekara tersebut ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, di Pulau Sangeang dekat Sumbawa, pualu Roti, Leti, Selayar, kepulauan Kei, dan Alor. Nekara terbesar ditemukan di Pejeng, Bali. Tingginya 186 cm dan garis tengahnya 160 cm. Nekara dari Selayar dan kepuauan Kei dihiasi gambar gajah, burung merak, dan harimau. Kebudayaan Dongsong atau perunggu Asia Tenggara berpusat di Dongson. Gong Nekara Selayar Selayar adalah salah satu wilayah di Sulawesi Selatan yang pernah memiliki beberapa kerajaan di masa lampau, Selayar menyimpan banyak peninggalan sejarah, salah satu diantaranya adalah Gong Nekara (The bronze drum) di Kampung Matalalang (area istana kerajaan Bontobangung), Kelurahan Bontobangung, Kecamatan Bontoharu jaraknya kurang lebih 3 km dari Benteng ibukota Selayar, diperkirakan dibuat pada tahun 1200-an. Sisi bagian atas tertutup, dan bagian bawahnya terbuka. Tinggi 92 cm dengan keliling dilingkaran tengah bagian bahu paling cembung 418 cm. ornamen kodok pada bagian pinggir tutupnya. Motif hias ahrimau, merak, gajah yang tak ada di wilayah timur Indonesia. Ada yang menyebutkan bahwa nekara ini berasal dari Tiongkok dibawa oleh pedagang. Namun ada juga yang mengatakan ada kaitan dengan Dongson, sebuah wilayah di Vietnam yang terkenal dengan kebudayaan logamnya. Sementara Dinas Pariwisata Selayar mengatakan dibawa dari Thailand. Menurut masyarakat Selayar bahwa Gong nekara Selayar merupakan salah satu benda pusaka simbol kerajaan) di Selayar. . Amiruddin, 2008. “Gong Nekara di Bontobangung Kabupaten Selayar,” Bagian I, Surat Kabar FAJAR, 2 Mei 2008 halaman 1 dan 11. Amiruddin, 2008. “Gong Nekara di Bontobangung Kabupaten Selayar,” Bagian II, Surat Kabar FAJAR, 2 Mei 2008 halaman 1 dan 11,m a manuasia purnba
15
16 Rangkuman Kekayaan warisan budaya material misalnya bagi bangsa Indonesia menunjukkan bahwa para leluhur kita memiliki dorongan artistik yang kuat dan vitalitas teknik menangani material. Kelompok-kelompok kesukuan masa lalu misalnya telah menghasilkan barang-barang untuk keperluan ritual, seperti patungpatung dewa, patung nenek moyang yang secara kuat menyimbolkan sistem kepercayaan mereka. Sementara itu, sistem kebudayaan yang lebih kompleks seperti kesultanan/kerajaan telah menghasilkan kekayaan artefak yang menunjukkan rekayasa menangani material yang canggih. Karya-karya arsitektural-monumental seperti arca, menhir, sarkopak, makam kuno, dan masih banyak lagi lainnya. Karya-karya seperti itu, tinggalannya cukup banyak dan tersebar di seluruh nusantara. Kebutuhan terhadap produk artefak yang menggambarkan nilai-nilai simbolik dan memiliki kualitas artistik itu mendorong adanya rekayasa, yakni berupa ekspresi dan perfeksi teknologi. Dalam suatu tradisi, hal itu dicapai melalui rentang waktu yang panjang yang dipindahkan dan dipercanggih dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Gambar telapak tangan sebagai obyek lukisan dinding gua mungkin pertama kali dikenal ketika manusia mencoba menggambarkan sesuatu dengan warna.; Warnawarna tersebut seperti merah dari darah binatang (babi atau kerbau), hitam dan putih. Sedangkan warna hijau kemungkinan dari tumbuhan atau getah pohon dengan cara mencelupkan tangannya ke dalam warna-warna tersebut kemudian mencapkannya pada dinding gua. Apa yang mendorong manusia purba untuk melukiskan hal-hal seperti itu ? Jelas bukan untuk pameran seperti dilakukan oleh seniman sekarang. Dick. Hartoko (1984) mengemukakan selain sebagai bukti sejarah bahwa mereka pernah ada di sana, di dalamnya terkandung pula makna ritual serta simbolik tertentu, dan bagi manusia purba terdapat suatu keyakinan daripadanya.
17 Dengan demikian, hubungan antara lambang dan apa yang dilambangkannya sangat erat kaitannya. Ini menunjukkan bahwa manusia dapat memandang jauh ke depan, dapat meramalkan apa yang akan terjadi lewat imaji atau daya khayalnya. Selanjutnya dikatakan bahwa bagi masyarakat primitif, seni sama pentingnya dengan kebutuhan primer lainnya. Demikian pula dengan lukisan/gambar-gambar dengan garis linear, dan dengan kemaluan yang dipanjangkan, diduga berkisar pada mythe-mythe kesuburan. Sampai sekarang motip seperti itu masih dijumpai pada karya tenun tradisional pada daerah-daerah tertentu dimana mythe itu kuat. Obyek-obyek seperti di sebutkan di atas banyak ditemukan di Indonesia sebagai aspek kesenian yang kuat, terutama di daerah Tapanuli, pulau-pulau Indonesia Timur seperti Sumba, Sumbawa, Roti, dan lain-lain, Kalimantan, pada kesenian rakyat Jawa.. Lukisan-lukisan telapak tangan di gua-gua umpamanya diperbandingkan oleh sejarawan. Di Istana Bogor, ditemukan patung telapak tangan yang disebut ‘Hand of Good’. Ini tidak berarti bahwa pemikiran zaman kini sama dengan pemikiran manusia purba dahulu sebagai simbolisme tangan sebagai magis. Namun keduanya memiliki simbol yang sama, yakni untuk mengungkapkan sesuatu. Kalau pada gua-gua prasejarah, telapak tangan adalah paling banyak ditemukan, sedangkan telapak kaki sangat sedikit. Namun ketika masuknya pengaruh Hindu di Indonesia, hal ini berubah. Telapak kaki sekarang yang menjadi simbol magis khususnya telapak kaki raja-raja. Misalnya pada prasasti (Batu Tulis) dekat Bogor Jawa Barat, ada telapak kaki (batu bertulis) yang dikatakan sebagai telapak kaki raja Purnawarman dari Taruna Negara. Sedangkan seni hias prasejarah menjadi dasar dari tradisi seni lukis Indonesia yang berpengaruh pada zaman-zaman berikutnya (Periode Hindu dan Islam). Adapun ciri-ciri tradisi seni hias Indonesia yang bersumber dari seni seni lukis prasejarah, antara lain: a) Memperlihatkan komposisi bidang hiasan yang apdat dan mewah sesuai dengan lingkungan budaya agraris. b) Kecenderungan untuk mengadakan stilisasi bentuk flora dan fauna yang menimbulkan kesan dekoratif. c) Kecenderungan menampilkan bentuk-bentuk ornamen geometri (meander, swastika, tumpal, pilin, pilin berganda, lingkaran, dan sebagainya). d) Kecenderungan menampilkan motif-motif hias perlambangan sesuai dengan pandangan hidup religi dan kosmis-magis. e) Kecenderungan pada penggunaan warna dasar sesuai dengan lingkungan alam dan pandangan kepercayaan. Sedangkan motif yang banyak dimanfaatkan sebagai obyek antara lain burung (burung sebagai lambang roh orang yang telah meninggal). Bagi masyarakat Dayak, burung Enggang dianggap sebagi lambang dunia atas.binatang reptil (buaya, kadal, ular, kura-kura (dianggap sebagai lambang dunia bawah), serta sebagai penjelmaan roh nenek moyang, kuda, kerbau, dan gajah (sebagai kendaraan roh orang yang meninggal). Kerbau juga sebagai lambang kesuburan, dan penolak bala. Tugas dan Pertanyaan: 1. Buat pengertian dan jelaskan apa yang dimaksud dengan seni rupa prasejarah. (Boleh berdasarkan kamus/literatur, kemudian jelaskan kembali). 2. Berikan cotoh-contoh atau bukti-bukti peninggalan seni rupa prasejarah di
18 Indonesia, tunjukkan tempatnya serta periodenya (minimal 3 contoh). 3. Jelaskan konsep apa yang mendasari lahirnya seni rupa prasejarah tersebut. 4. Tuliskan sifat-sifat yang menjadi ciri seni rupa prasejarah tersebut dan bandingkan dengan karya-karya seni rupa modern (masa kini). 5. Setelah Saudara mempelajari sejarah seni rupa prasejarah, apa manfaat yang Saudara rasakan terutama dalam posisi atau status Saudara sebagai mahasiswa Seni Rupa atau masyarakat akademis. Bahan Pustaka Ankersmit, F.R., 1987. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, (diindonesiakan oleh Dick Hartoko), Cetakan I, Jakarta; PT Gramedia. Dick Hartoko, 1984. Manusia dan Kebudayaan, Knisius, Yogyakarta. Effendhie. Machmoed, 1999. Sejarah Budaya, Untuk SMU Kelas 3, Cetakan I, Jakarta;. Depdikbud. HR Van Heekeren, 1957, hal. 96-98. J. Daeng, Hans, 2000. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis, (Pengantar Dr. Irwan Abdullah), Cetakan I, Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Karso, dkk., 1996. Sejarah Nasional dan Umum, Edisi I, Untuk SMU Berdasarkan Kurikulum 1994 Jilid 3 Kelas 3 Cawu I,2,3, Cetakan I, Bandung;. Angkasa. Soedarso SP, 1990/1991. Seni Rupa Indonesia dalam Masa Prasejarah Soekmono, 1993 Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, 2, 3 Yogyakarta: Kanisius. ------------, Perjalanan Seni Rupa Indonesia, Depdikbud. 1. Peninggalan Prasejarah di Sulawesi Selatan Untuk memperoleh gambaran mengenai keberadaan ,,, terlebih dahulu perlu ditelusuri latar belakang sejarahnya, khususnya mengenai tradisi megalitik di Indonesia. Hal ini penting karena erat kaitannya dengan pembahasan selanjutnya. Taradisi megalitik di Indonesia muncul setelah adanya tradisi bercocok tanam, atau masa neolitik. Pada umumnya bangunan-bangunan megalitik waktu itu dipergunakan sebagai sarana pemujaan yang didasarkan atas kepercayaan mengenai adanya hubungan antara yang hidup dengan yang mati. Masyarakat prasejarah mempercayai adanya pengaruh kuat dari roh orang yang telah meninggal terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Karena itu, jasa dari seorang kerabat yang telah meninggal seringkali diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar, yang kemudian dianggap sebagai medium penghormatan (ritual), tempat bersemayam roh dan sekaligus sebagai lambang si mati (Wahyono dkk., 1991: 29). Bentuk-bentuk bangunan megalitik tersebut antara lain berupa menhir, meja batu, dan lain-lain. Bentuk-bentuk peninggalan monumental, khususnya tradisi megalitik di Indonesia ditandai oleh bentukan-bentukan batu yang berkaitan dengan pemujaan maupun upacara-upacara penguburan. Walaupun tradisi ini sudah punah, namun beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk beberapa daerah di Indonesia seperti Nias, Toraja, Flores, dan Sumba masih hidup. R. Von Heine Geldern membedakan tradisi megalitik menjadi dua, yakni:
19 1) Megalitik tua (sekitar 2500 sampai 1500 tahun sebelum Masehi). 2) Megalitik muda pada sekitar 1000 tahun sebelum Masehi (Wahyono dkk., 1991: 30-31). 2. Tradisi megalitik di Sulawesi Selatan Budaya megalitik di Sulawesi Selatan, secara tidak langsung merupakan cabang dari induk budaya megalitik yang menyebar di Indonesia pada masa perunggu-besi. Peninggalan tradisi megalitik tersebut, terutama tampak dalam tradisi yang berkaitan dengan sistem penguburan. Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan menunjukkan bahwa pada periode neolitik telah berkembang pembuatan peti mati yang terbuat dari kayu (masyarakat Sulawesi Selatan menyebutnya dengan nama allung atau erong). Selain itu, juga ditemukan makam berundak yang tersebar di beberapa kompleks pemakaman kuno. Fenomena ini menunjukkan bahwa di Sulawesi Selatan tradisi dan sistem penguburan yang diperlakukan secara khusus telah berlangsung sejak zaman neolitik dan berlanjut hingga pada periode pra-Islam. Selain wadah orang mati, juga ditemukan patung-patung yang terbuat dari kayu dan arca batu (tipe prasejarah), alat perkakas berupa kapak batu, kapak lonjong dan kapak persegi terbuat dari perunggu. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis periode prasejarah dan neolitik tersebut, kuat dugaan bahwa nisan makam kuno raja-raja di Sulawesi Selatan yang tersebar di beberapa wilayah pemakaman kuno merupakan tipe nisan lokal, terutama jika dilihat dari segi material, teknik, dan ornamennya. Fenomena ini diperkuat oleh bukti sejarah melalui temuan arkeologis yang telah diidentifikasi oleh Suaka Budaya BCB Propinsi Sulawesi Selatan, seperti nisan bentuk menhir dan makam berundak tipe prasejarah yang diperkirakan berasal dari periode neolitik. 2. Peninggalam arkeologi di Kabupaten Soppeng Penelitian arkeologi di lembah Sungai Walanae sudah dilakukan sejak tahun 1947. Temuan-temuan penting dari lembah tersebut adalah alat-alat serpih batu (flake tools) dari masa palaeolitik sampai masa neolitik dalam jumlah yang banyak sekali. Selain itu, juga ditemukan fosil-fosil vertebrata. Temuan alat-alat serpih batu tersebut merupakan bukti kuat tentang adanya peradaban manusia sejak prasejarah di Kabupaten Soppeng. Dari temuan tersebut, pakar prasejarah Belanda yang meneliti lembah tersebut menganggap bahwa Soppeng pada masa prasejarah sebagai pusat industri alat serpih batu (Montana, dkk., 1996/1997: 5). Mattulada dalam Yabu M (2002) mengemukakan bahwa sejarah masa Hindu-Buda di wilayah ini secara konkrit belum tampak (belum ditemukan hasil budaya materi dari masa itu). Namun secara tersirat sebenarnya budaya dari masa klasik dapat dikatakan keberadaannya, misalnya dari tradisi La Galigo yang menceritakan nenek moyang orang Bugis-Makassar adalah Batara Guru yang menurunkan Sawerigading. Dengan demikian budaya materi dari masa klasik memang belum tampak, tetapi budaya non-materi sudah tercermin dalam tradisi La Galigo. Tidak disebutnya nama kerajaan atau kedatuan Soppeng dalam Negarakertagama (1365) seperti halnya dengan kerajaan Bontayan (Bantaeng), Luwuk, Makassar, Butun, Banggawi (Banggai), dan Salaya (Selayar), tidak berarti bahwa kedatuan Soppeng belum berdiri. Mungkin karena kedatuan itu belum
20 terkenal, atau daerah itu masih di bawah kekuasaan suatu kerajaan terdekat yang lebih berpengaruh. Boleh jadi pula letak geografis - dimana Soppeng yang letaknya jauh dari pantai. Sedangkan rentang kronologi keberadaan kerajaan Soppeng berkisar antara abad XIV-XIX.. Pada tahun 1610 M, Raja Soppeng yang bernama BeoE memeluk agama Islam (raja Soppeng pertama yang memeluk Islam). Budaya megalitik juga banyak ditemukan di situs Lawo Kabupaten Soppeng. Penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi ujung Pandang tahun 1995 melaporkan bahwa di situs Lawo Kabupaten Soppeng ditemukan sejumlah peninggalan penting yang terbuat dari abtu. Diantaranya adalah berupa lesung batu dan batu dakon berbagai ukuran (Soegondho dan Bernadeta AKW, 1995).
21 Gambar 1 Bentuk-bentuk lesung batu di situs Lawo Kabupaten Soppeng
22 Gambar 2 Bentuk-bentuk batu dakon di situs Lawo Kabupaten Soppeng B. Zaman Perunggu (Seni Dongson) Gelombang perpindahan kedua yang datang dari daratan Asia ke Indonesia (500 tahun sebelum Masehi) membawa serta kebudayaan perunggunya ke tempat tinggal mereka yang baru itu. Peninggalan artifaknya antara lain; berbagai jenis kapak persegi. Untuk lebih memudahkan pemahaman Saudara, perhatikan gambar peraga/slide/transfaransi berikut ini. Transfaransi 1: Kria Perunggu/Seni Dongson (genderang perunggu) Transfaransi 2, 3: Kapak perunggu Transfaransi 4: Patung perunggu Transfaransi 5: Transfaransi 6, 7, 8: Ragam hias Prasejarah/Tradisi Transfatransi 9, 10: Gbr. Ragam hias geometri dan binatang pada benda perunggu (Van der Hoop, 1949). 1 Lukisan Dinding Pada umumnya tempat tinggal pada masa berburu yaitu di gua-gua, pada bagian dindingnya dilukisi dengan hiasan-hiasan yang dianggap mengandung daya magis. Yang pada akhirnya berubah fungsi menjadi benda yang berkaitan dengan
23 keagamaan. Hasil lukisan ini berupa adegan perburuan yang diharapkan atau dilambangkan agar mendapatkan hasil buruan yang sesuai dengan keinginan mereka. Kepercayaan ini disebut kontak magis (Howell, 1982 dalam D.D. Bintarti, 1987; 278). Maka pada zaman prasejarah hiasan atau lukisan tidak hanya merupakan suatu keindahan yang dipergunakan sebagai hiasan belaka tetapi juga mengandung makna-makna tertentu. Seperti yang diungkapkan Wiyoso bahwa…hiasan-hiasan memiliki makna yang dalam yang melambangkan sesuatu yang mereka anggap tak dapat digambarkan dalam wujud sebenarnya, hal ini mungkin disebabkan oleh kekuatannya atau kehebatannya sehingga akhirnya ditabukan. Pemikiran tentang adanya sesuatu diluar jangkauan manusia membuat mereka juga menciptakan sesuatu sebagai manifestasinya (1979: 9-10). Sejalan dengan pandangan ini Primadi Tabrani (1999;3) mengatakan bahwa keindahan dalam seni kria tidak hanya sekedar memuaskan mata saja namun melebur dengan kaidah adat, tabu, kepercayaan, agama. Selain bermakna juga sekaligus indah. Jadi seni hias yang dihasilkan pada masa prasejarah berkaitan dengan cara pola pikir mereka yakni selain dipergunakan sebagai hiasan pada benda pakai juga memiliki fungsi nilai spiritual yang diyakini dapat mendatangkan kekuatan. Setelah mereka menetap seni hias berkembang, menjadi goresan, pahatan, ukiran, atau cap. Karya seninya meningkat yang berhubungan dengan kepercayaan nenek moyangnya, dalam bentuk pemujaan yang berkaitan dengan sesuatu yang berhubungan dengan nenek moyang. Tradisi ini disebut tradisi megalitik. Pemujaan ini digambarkan dalam bentuk batu besar, yang dianggap sebagai perwujudan tahta, maupun altar yang diberi hiasan sebagai lambang. (Soejono, 1977 dalam D.D Bintarti 1987; 279). 2. Gerabah Pada masa ini benda-benda mulai dipergunakan pada masa bercocok tanam dan mengalami perkembangan dalam teknik pada masa perundagian. Contoh gerabah yang dipergunakan adalah tempat air, tempat masak, bekal kubur, dll. Pada masa itu sangat sederhana pembuatannya dan pola hias yang dipergunakan adalah pola
24 anyaman dan goresan dengan pola garis sejajar atau pola lingkaran (H,R. Van Heekeren, 1972;180-189, dalam Wiyoso, 1979;11). Pada masa perundagian teknik ini mengalami perkembangan, dengan bentuk aneka ragam, dan pola hias yang berbentuk melingkar, pola hias garis sejajar atau bersilang, pola anyaman, pola tumpal, meander, tangga. 3. Benda Perunggu Pada masa perundagian mereka mengenal yang berkaitan dengan teknologi yang baru yakni logam sebab logam mudah dihias dan dibentuk dibanding dengan batu, tanah liat. Contoh hasil karya mereka adalah senjata, perhiasan, benda upacara, juga keperluan sehari-hari. Pada masa ini benda dari tanah liat dan batu tetap dipergunakan. Contoh benda logam memperlihatkan ttruan lukisan dalam gua/ceruk seperti gambar rusa, anjing, burung dan ular. (Haskins, 1963 dalam DD Bintarti; 280). Pola hias yang digambarkan, dilukiskan digoreskan dipahatkan/dicapkan (impresi). Pada umumnya berupa bentuk manusia, binatang, geometri, senjata, rumah, perahu, tumbuhan, bulan dan matahari. Claire Holt menggambarkan bahwa motif-motif penting tertentu dari seni masa prasejarah di Indonesia sampai sekarang masih dimanfaatkan oleh para seniman (desainer, pelukis dan pematung). Manifestasinya dapat dilihat pada motif tekstil, pada kriya logam, juga pada arsitektur,. Tampaknya bahwa motif-motif dekoratif tersebut, selalu muncul sepanjang masa, yang dikonfirmasikan dengan kelanggengan lingkungan alam Indonesia. Di samping itu, tak luput pula dari adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam masa yang relatif berbeda (Claire Holt, 1999. Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia, Cet. I, Bandung, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), hlm. xxii). Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa tradisi seni hias di Indonesia, telah dikenal oleh nenek moyang kita sejak zaman batu. Bukti-bukti peninggalan dapat kita lihat pada bangunan purbakala dari masa prasejarah hingga masa klasik. Kemudian semakin berkembang ketika ditemukannya teknologi menuang logam dan masuknya Islam di Indonesia.(Claire Holt, 1999. Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia, Cet. I, Bandung, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), hlm. 10).
25 Dalam kaitan ini Rohendi Rohidi (1999:28) menjelaskan bahwa kebutuhan estetik, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, terserap dalam segala kegiatan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan primer, kebutuhan sekunder maupun kebutuhan integratif lainnya Karena itu, kesenian termasuk di dalamnya seni hias, tercipta, lahir, dan berkembang serta dibakukan melalui tradisitradisi sosial dalam suatu masyarakat, sebagaimana halnya dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya (Rohendi, Rohidi 1999. Ekspresi Seni Orqang Miskin: Adaptasi simbolik terhadap kemiskinan, Cet. I, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesenian merupakan salah satu kebutuhan manusia (kebutuhan integratif) yang muncul karena adanya dorongan dalam diri manusia. Secara hakiki, manusia senantiasa ingin merefleksikan keberadaannya sebagai makhluk sosial, yang bermoral, berakal, dan berperasaan. 2. Pola Hias 2.1 Pola hias Manusia Pola hias manusia sangat penting karena merupakan bagian dari dirinya. Pola hias ini melalui beberapa variasi, bentuk tubuh manusia. Yang kedua bentuk bagian dari manusia (tangan, kaki, muka). Pola manusia digambarkan dalam keadaan bervariasi. Misalnya sikap berdiri, duduk, dsb. Pola hias yang menonjol adalah penggambaran bentuk alat kelamin baik wanita maupun laki-laki. Seperti pada bangunan megalitik di Sulawesi Tengah, Bali, Nias dan Lampung. Bagian tubuh manusia memegang peranan penting seperti bagian tangan kaki dan muka. Lukisan cap tangan digambarkan pada dinding gua di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Kemudian lukisan ini cap kaki ditemukan pada benda megalitik. Pola hias muka ditemukan pada benda logam, batu, maupun pada benda tanah liat yang berfungsi sebagai bekal kubur . Fungsi pola hias manusia sebagai penolak kekuatan jahat, konsep kelahiran kembali, berkabung (Soejono, 1977 , DD Bintarti, 1987: 281). 2.2 Pola hias binatang Pola hias binatang contohnya anjing yang dianggap kawan dalam berburu hewan liar. Binatang ini juga memgang peranan penting dalam kepercayaan pada beberapa suku bangsa di Indonesia, seperti Nias, Bone, Lombok, Dayak, Bali. Juga
26 dikaitkan dengan peristiwa yang berupa perkawinan, kelahiran, penyakit, dan kematian (Kruyt). Binatang lain yakni burung enggang berparuh melengkung jenis kakatua, jenis bangau, merak dsb, binatang melata (kadal, cecak, biawak, buaya), kuda, kerbau, gajah, kijang, harimau, katak, babi, ayam, dan ikan. Pola ini memiliki arti/lambang dari roh nenek moyang, pelindung dari kekuatan jahat dan pengusir roh jahat, kendaraan roh yang meninggal. Pola hias ini banyak terdapat di peti mati suku Batak, Mentawai, Sumbawa, Kei, Bali (Hans Scharer, Van Heekeren, Frans Boaz). 2.3 Pola geometris Pola geometris merupakan pola hias yang terpanjang usianya, bersifat universal, dipergunakan pada setiap benda. Pola ini dikelompokkan menjadi garis (horizontal, vertikal, sejajar, lengkung); Lingkaran (lingkaran memusat, lingkaran titik ditengah, lingkaran kosong ditengah); tumpal, pilin , huruf E, huruf F, pita-pita bergelombang, dsb. Pola ini berkembang terus hingga sekarang. Pola ini berfungsi; memperindah juga mengandung arti sosial, geografis maupun religius (Frans Boaz, 1955:88-143, dalam DD Bintarti). Sejalan dengan pandangan tersebut (Wiyoso Yudoseputro, 1979:10) mengatakan bahwa pola-pola geometris adalah pola-pola lukisan pada zaman prasejarah yang pada umumnya dapat kita jumpai pada artefak anyaman, tumpal, meander, lingkaran, tangga, titik-titik, garis lurus, pilin berganda, swatika, huruf S, dan sebagainya. Menurut R.P. Soejono (1962: 242-243) dalam Wiyoso Yudoseputro, pola hias geometris adalah pola hias yang paling banyak dan paling sering dipergunakan dalam seni hias di Indonesia dari zaman ke zaman. Pola geometris ini mengandung arti sosial, geografis, dan religius. Seni hias di Indonesia memiliki keseragaman terutama pola geometris yang memiliki sifat universal. Pola ini hampir selalu memiliki peranan penting dari masa ke masa. Di Cina juga dapat kita temui pada zaman neolitik, artefaknya dapat kita jumpai pada semacam bejana dengan hiasan pilin berganda, kemudian juga pada batu giok yang berasal dari dinasty Chou (800 SM) dengan hiasan berupa mirip pilin berganda (William Willetts, tth, 42-60). 2.3 Pola hias bentuk-bentuk Alam
27 Pola tumbuhan digambarkan dalam bentuk pohon, daun, atau bunga. Pola hias ini digambarkan pada moko, nekara, lukisan gua di Sulawesi Tenggara. Pola ini berkembang pada kain tenun, rumah atau peti kubur. Pohon dianggap sebagai lambang dari pohon hidup yang menguasai dunia, seperti yang terdapat pada suku Dayak dan Sumatera Selatan (Van der Hoop, 1949; 100-278). Pola hias bulan, bintang, matahari juga ditemukan pada benda perunggu, lukisan pada dinding gua dan batu. Pola hias ini melambangkan tempat asal nenek moyang dan lambang kehidupan. Pada tradisi megalitik banyak bangunan dan penguburan yang dihadapkan pada matahari (Van der Hoop ). Apa yang dipaparkan di atas memperlihatkan pola hias berkaitan dengan aktivitas manusia sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan kepercayaan. Konsep keindahan pada masa itu disesuaikan dengan tujuan pembuatan seni hias tersebut. Karena itu hampir semua pola hias yang dibuat mengandung kekuatan magis yang dianggap dapat melindungi mereka dan menambah kesejahteraan. Seni hias prasejarah banyak ditemukan pada kain (batik, ulos, ikat, tenun, dsb), juga kuburan, dinding rumah adat, peralatan perang, dsb. Menurut Wiyoso (1986; 80-86) bahwa tanda persamaan pertama yang mencolok yang hampir dapat di jumpai di tiap daerah dan tiap zaman ialah kepadatan dan kepenuhan hiasan bidang yang sudah dimulai sejak zaman prasejarah. Sedangkan pola hias fauna adalah pola hias berasal dari tumbuhan. Pola hias ini biasanya mengalami stilasi dan dilakukan pengulangan pada bidang yang dihiasinya. Seni hias benda perunggu dari kesenian Dongson hampir memenuhi semua permukaan bidang. Pengaruh seni Dongson ini juga tampak pada hiasan bidangbidang rumah adat di beberapa daerah di Indonesia, contohnya di Batak, Minang, Dayak dan Toraja. Juga seni hias ukiran kayu pada unsur-unsur konstruktif bangunan istana dan masjid seperti soko, balok dan rusuk yang mencerminkan kepekaan rasa dalam menghias bangunan sekaligus menjadi tanda kepribadian seni hias Indonesia yang diwariskan secara turun temurun. Hiasan bidang pada dinding rana/partisi (gebyok, bhs. Jawa) sekalipun gaya seni hias Hindu sangat mewarnai, hiasan itu tetap mencerminkan kepribadian seni hias Indonesia. Semuanya serba penuh, padat, mewah serta kaya akan warna-warna yang semarak. Juga kita.akan meraskan hal yang sama bila masuk ke dalam rumah tradisional di Kudus yang mewarisi seni ukir
28 kayu Klasik Islam. Ciri kedua pada umumnya dan yang terulang kembali pada zaman Islamialah kegemaran menggunakan motif hias yang bersumber pada ragam hias geometris dan ragam hias tumbuhan. Seperti di jelaskan terdahulu bahwa ragam hias geometri sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Motif ini selalu muncul kembali dalam perkembangan seni dekoratif Indonesia dengan pola dan susunannya yang baru. Pada masa Islam motif-motif hias geometri ini bertahan, sebagai bentuk penerus tradisi seni hias zaman Hindu maupun sebagai hasil pengembangan. Hal ini tampak jelas pada ornamen batik yang berkembang pesat pada masa Islam. Adanya ragam hias tumbuhan yang sudah lama dikenal di Indonesia. Hal ini amatlah dapat dipahami karena lingkungan alam Indonesia yang kaya dengan tumbuhan selalu menjadi sumber daya cipta para seniman untuk berkarya. Sesuai dengan pandangan kosmologi bangsa Indonesia, maka jenis tumbuhan yang hadir sebagai hiasan memiliki arti perlambangan. Pada masa Hindu arti perlambangan ini disesuaikan dengan ikonografi dalam kesenian Hindu dan Budha. Pada masa Islam nilai-nilai perlambangan tersebut tetap dipelihara dan dikembangkan terus dalam menentukan disain ornamental. 3. Gaya Seni Hias Istilah gaya (style) dapat dihubungkan dengan aspek wilayah, zaman dan individu. Contohnya penggunaan istilah gaya untuk batik, misalnya seni hias candi Jawa tengah dengan seni hias candi Jawa Timur, berhubungan dengan aspek wilayah. Istilah gaya Majapahit dan Renaissance Style berhubungan dengan aspek zaman atau periode (Raharjo: 334). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa gaya memiliki pengertian yang luas, karena juga berkaitan dengan ciri bentuk atau teknik dalam karya, seniman, aliran atau gerakan, periode atau wilayah (Wolf, 1951:682). Kesamaan gaya pada wilayah atau periode dipengaruhi atau ditentukan oleh kesamaan waktu, juga dapat diartikan gaya merupakan pola pengulangan yang dilakukan seniman dalam menyajikan konsep keindahan. Bagi ahli sejarah seni rupa, pengertian gaya adalah obyek yang pokok atau esensial di dalam penelitian dan pengamatan karya seni (Djoko Soekirman, 2000: 80).
29 Karya seni di sini dapat kita kaitkan dengan tulisan ini, yakni batik. Suatu karya seni yang dapat dikatakan memiliki gaya karena memiliki bentuk, hiasan, selaras/harmonis, sesuai dengan kegunaan dalam material yang dipergunakan (Djoko Soekirman, 2000: 82). Seperti yang dikutip dari Plato oleh Soekirman:… suatu barang atau benda hasil karya seni dapat dikatakan sempurna bilamana memenuhi “kegunaannya”, “keindahannya”, “kesesuaian” akan “warna”, dan “bahannya”. Bila dihubungkan dengan Benyamin Rowland yang dikutip Balasubrahmanyam (1971: 305) yang mengatakan bahwa gaya adalah kekhususankekhususan menampakan visual yang terdapat pada karya arsitektur, seni arca dan seni lukis, seni hias yang diciptakan sedemikian rupa sehingga membuatnya typical untuk ditetapkan waktunya dalam sejarah. Sedangkan Meyer Schapuro memberi tekanan pada aspek ketetapan bentuk (constant form) sebagai ciri gaya (dalam Raharjo: 335). Beberapa pengertian di atas memperlihatkan bahwa gaya merupakan bentuk pengulangan cara membentuk dan menyajikan hasil karya seni oleh seniman individual atau kelompok dalam waktu tertentu, juga dipengaruhi, oleh kesamaan ruang atau wilayah geografis dan waktu, individu dan kelompok.. Sekalipun mungkin saja muncul suatu gaya yang baru sama sekali yang belum pernah ada sebelumnya dan ini pernah terjadi pada pembabakan sejarah seni rupa Barat yang linear. Pembentukan kebudayaan setempat yang dipengaruhi oleh kebudayaan dari luar mempengaruhi gaya seni setempat. Contohnya berbagai gaya seni hias di dunia adalah bukti adanya toleransi berbagai gaya seni hias Islam dan dari Timur dan Barat adalah bukti yang tidak dapat kita abaikan. Wiyoso Yudoseputro (1986: 9), mengemukakan bahwa perkembangan seni rupa Islam di setiap negara dapat melahirkan berbagai gaya yang dalam urutan kurun waktu selalu berubah. Perubahan gaya seni rupa sukar diikuti pada perkembangan seni rupa Islam di Indonesia. Sebutan “gaya seni Islam di Indonesia” adalah untuk membedakan gaya seni rupa Islam di negara luar. Gaya seni yang timbul karena peranan tradisi seni dari zaman sebelumnya dari yang pernah berkembang sebelumnya. Penggunaan motif tumbuh-tumbuhan dengan stilasi bentuk berdasarkan pola
30 hias yang padat dan penuh merupakan gaya seni hias Islam kuno di Indonesia membedakan dengan gaya seni hias Islam di Indonesia. Pembinaan kesenian yang bersumber dari istana menghasilkan pedoman dan kaidah seni, seperti yang telah disinggung di depan. Kaidah-kaidah tersebut adalah hasil dari pengalaman dan peningkatan daya cipta para seniman istana. Surutnya kekuasaan kerajaan akibat peperangan yang tiada hentinya maka timbul kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri sendiri. Ini berarti timbulnya pusat kesenian-kesenian baru. Penyimpangan dari tradisi gaya seni klasik yang tunggal yang semula berada di pusat melahirkan gaya seni baru berdasarkan tanggapan dan tafsiran kaidah serta nilai seni Klasik. Contohnya gaya seni batik Solo (JawaTengah) memperlihatkan corak yang lain dibandingkan dengan pola hias batik Ciamis, Garut, Cirebon (Jawa Barat). Begitulah munculnya gaya-gaya seni klasik di setiap daerah merupakan penerus dari pusat kesenian setempat, selain Jawa Tengah juga Jawa Barat dan Jawa Timur, bahkan Madura, Sulawesi juga tempat-tempat lainnya. Pengaruh kesenian asing pada masa kerajaan Islam dengan gaya seni klasik yang beragam juga didukung oleh pertimbangan baru dalam ussaha memperkaya gaya klasik itu. Salah satu contohnya adalah seni hias Cirebon yang merupakan hasil perpaduan antara tradisi seni hias Cina dengan seni hias Islam Cirebon dipengaruhi oleh masukanmasukan maupun kebutuhan masyarakat, dan pengaruh dari luar. Hal ini jelas menunjukkan adanya keterpaduan antara kebudayaan Indonesia dan kebudayaan dari pihak luar. 4. Tinjauan Seni Hias Batik Pra-Islam Van Der Hoop dalam bukunya Ragam Hias Indonesia (1949;13), mengatakan bahwa: fungsi ragam hias adalah untuk menciptakan pesona dan juga merupakan daya tarik dalam perkembangan perbendaharaan tekstil Indonesia modern. Jadi ragam hias sangat efektif untuk menciptakan citra budaya yang diinginkan untuk mewakili nuansa Indonesia atau citra tradisional khususnya. Awal pembuatan batik sudah dimulai sejak zaman prasejarah, kain simbut dari Priangan adalah contoh batik asli yang dibuat dari bahan kanji ketan sebagai penutup kain (Wiyoso Yudoseputro, 1986;96, , Nian S. Djumena, 1990; 86-87,
31 Biranul Anas, 1997;15-16). Sebutan batik yang paling tua terdapat dalam sebuah naskah Sunda yang ditemukan di selatan Cirebon dan bertanggal 1440 Saka/1518 M. (Denys Lombard, 1996, 193). Kata batik belum disebut disana, tetapi yang ada adalah kata tulis yang sejak itu lazim dipakai untuk pembubuhan malam ke atas kain. Selain itu disebutsebut nama teknis dari sembilan motif, yang beberapa diantaranya kemudian muncul kembali. Istilah batik untuk pertama kali disebut dalam tulisan Eropa di Daghregister di Batavia, tertanggal 8 April 1641. Tetapi sudah tentu yang dibicarakan oleh duta Belanda di istana Mataram pastilah kain batik, ketika pada tahun 1622 diberikannya pakaian Sultan Agung sebagai ‘dilukis biru putih menurut cara negerinya.’ Dari pelabuhan pesisir, teknik itu pasti cepat masuk Mataram dan di kedua daerah inilah teknik itu masih ada, dan lebih berkembang daripada kapanpun sebelumnya-yaitu di Cirebon dan Pekalongan di satu pihak, di Yogya dan Solo di pihak lain. Di ibukota-ibukota Jawa Tengah motif dan warna selalu mengikuti kaidah-kaidah yang ketat. Sebaliknya di pesisir seperti yang diungkap Lombard bahwa daya khayal masih tetap bertahan dengan produksi yang terus menerus diperbaharui dan yang sangat cocok dengan selera khas dari siapapun. Pada abad ke-7 dan ke-8 sudah ada misi diplomatik dan perdagangan ke Cina, kemungkinan seni batik juga diperoleh dari Cina. Melihat gambar-gambardi buku tentang keramik T’ang oleh Margaret Medley (1979), …saya tertarik oleh beberapa bejana yang seolah-olah dibatik. Medley mengatakan bahwa:’Sistem pembatikan yang dipakai, ialah; bejana keramik diulasi malam dulu sebelum dilukisi dengan glasir. Dalam proses pembakaran keramik itu, malam itu menjadi cair. Keramik 3 warna berasal dari masa T’ang dan banyak pecahan keramik seperti ini ditemukan disekitar prambanan (Abu Ridho, James watt, 1979) (seperti yang dikutip oleh Satyawati Sulaeman, 1986; 160-161) Maka misis-misi dari Jawa melihat pembatikan keramik itu yang mungkin berdasarkan pembatikan atas bahan tekstil. Masih ada kemungkinan seni itu dipelajari di Cina dan batik masih dipakai oleh istana dan belum jadi barang produksi untuk rakyat. Meskipun begitu, raja-raja mungkin belum memakai batik untuk pakaian kebesaran , karena arca-arca mungkin memakai semacam tenunan emas atau kain yang dilukisi emas seperti yang di Bali. Adanya pemakaian tekstil
32 impor dari Cina ternyata juga dari pola tekstil pada beberapa dinding candi Sewu. Pada dinding ruang arca Siwa di candi Siwa di Prambanan, ada pola yang mirip dengan pola-pola itu, tetapi mungkin memperlihatkan pola tekstil lokal Cina (Seperti yang dikutip oleh Satyawati dari Woodward, 1977). D. Perkembangan Seni Hias Batik Islam Kata Batik berasal dari bahasa Jawa. Berasal dari akar kata”tik”. Mempunyai pengertian hubungan dengan suatu pekerjaan halus, lembut dan kecil, yang mengandung unsur keindahan. Secara etimologis berarti menitikkan malam dengan canting, sehingga membentuk corak yang terdiri atas susnan titikan dan garisan. Batik ialah lukisan atau gambar pada mori yang dibuat dengan menggunakan alat bernama canting (Hamzuri, 1994;VI). Sedangkan yang lain berpendapat membatik pada dasarnya sama dengan melukis di atas sehelai kain putih. Sebagai alat melukis dipakai canting dan sebagai bahan melukis digunakan cairan malam (S. Djumena, 1990;1). Wiyososo Yudoseputro (1986;98) mengatakan bahwa membuat hiasan batik disebut juga menulis yang berarti gambar yang ditulis dengan menggunakan alat yang disebut canting yang diterapkan pada kain dengan menggunakan malam sebagai media sekaligus sebagai penutup kain batik. Pendapat-pendapat tersebut mencoba memasukkan teknologi ke dalam batik yakni suatu teknik batik dengan menggunakan alat canting yang diberi lilin panas, kemudian dituangkan di atas permukaan kain. Yang berarti ditekankan pada teknik pembuatan seni hias atau motif di atas selembar kain. Jadi membatik adalah menutup kain dengan malam serta menggunakan canting untuk menghasilkan ragam hias yang direncanakan oleh baik perajin maupun desainer atau konsumen. 1. Nilai Teknis Teknik batik identik dengan proses celup rintang, menyertakan zat pewarna, malam perintang, dan kain sebagai obyeknya (Indonesia Indah 8, 1997: 17). Kemampuan inilah yang harus dimiliki para seniman batik yang dipelajari dari para empu. Pekerjaan membatik meliputi beberapa tahap pengerjaan, yang biasanya
33 dikerjakan oleh beberapa orang sesuai dengan keahliannya masing-masing. Tahap pertama adalah membersihkan kain mori, memberi perekat dan melemaskan, kemudian dibersihkan kembali. Tahap kedua adalah memberi motif pada bidang tertentu, umumnya hal ini dikerjakan oleh seorang wanita, bila sudah ahli ia akan membatik tanpa menggunakan pola, orang yang membatik demikian jelas sudah mahir dan disebut “ngrujak”. Sedang orang yang belum mahir hanya “nerusi” atau “ngisen-ngiseni”. Selanjutnya adalah proses mbabar yakni proses penyelesaian dari batikan menjadi kain, selesai batikan di bliriki, meningkat pengerjaan selanjutnya, yaitu proses menjadi kain. Salah satu bahan untuk mbabar adalah bahan nila yang berasal dari tumbuh-tumbuhan tarum (Jawa tom). Sudah sejak jaman purbakala tarum dipergunakan untuk model batikan dengan campuran bahan yang lain (Hamzuri, 1997;21). Untuk mendapatkan hasil yang sempurna ketrampilan proses di atas harus dikuasai sepenuhnya oleh para seniman batik, selain pengetahuan tentang disain batik, para seniman batik klasik juga harus menguasai arti perlambang dalam batik. 2. Nilai Estetika Dalam KBBI (1997; 270) dijelaskan estetika merupakan cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadapnya. Apa yang dipaparkan di atas jelas berkaitan dengan keindahan. Keindahan yang berkaitan dengan tesis ini adalah keindahan dalam arti terbatas, yakni keindahan benda-benda yang dicerap dengan penglihatan, yakni berupa keindahan dari bentuk dan warna secara kasat mata (Dharsono, 1999;2). Keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kwalita pokok tertentu yang terdapat dalam sesuatu hal. Kwalita yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance) dan perlawanan (contrast). 2.1 Estetika batik Sejak zaman prasejarah, kita sudah mengenal keindahan dalam seni hias, yang bersumber pada kesenian zaman batu atau zaman perunggu, yang memperlihatkan seni hias asli Indonesia. Seni hias asli Indonesia bersumber dari ragam hias geometris. Ragam hias ini nyata sekali kehadirannya dalam seni hias batik. Karena bentuknya yang geometris, maka hiasan ini sesuai diterapkan pada batik berdasarkan pembagian bidang. Pembagian bidang ini berdasarkan pertimbangan ornamentik pada hiasan batik. Maka
34 motif geometris cocok diterapkan pada batik. Selain itu ragam hias ilmu ukur yang sering kita jumpai adalah tumpal, banji, meander, swastika dan motif pilin. Sedangkan motif flora dalam batik adalah stilasi dari bentuk buah, bunga serta daun. Motif-motif ini juga sering dipadukan dengan motif geometris. Pada zaman Hindu motif batik diperkaya dengan motif-motif baru selain pengembangan dan penyempurnaan berbagai motif geometris dan motif tumbuhan. Motif hias fauna dan geometris yang tampak pada hiasan relief candi adalah sumber perkenalan dalam mencari motif hias pada zaman Islam. Beberapa motif flora dan fauna serta motif perlambangan agama Hindu/Budha tampil kembali pada hiasan batik dengan ciptaan yang baru. Pengaruh kebudayan asing, salah satunya adalah Cina sudah terasa sejak zaman Majapahit, pada seni hias batik sudah muncul kembali. Motif wadasan dan motif awan. 3. Nilai Guna Sebagai karya seni kerajinan yang berpusat di istana, batik memiliki nilai guna sebagai busana yang dipakai pada setiap upacara kerajaan dan upacara agama. Mengenai hal ini setiap corak batik memiliki arti perlambang sesuai dengan kegunaannya. Selain itu juga batik memiliki arti lambang dalam status sosial. Batik untuk busana kebesaran raja berbeda dengan batik yang digunakan oleh para bangsawan. Seiring dengan kemajuan zaman nilai guna ini bergeser, batik tidak lagi hanya digunakan oleh para raja namun rakyatpun dapat menggunakannya. Bahkan saat ini dengan kemajuan teknologi batik juga dapat dicetak oleh teknologi dan dinamakan batik printing. Penggunaannya lebih luas, untuk perangkat interior, perlengkapan makan, dll. Sedangkan perlambang sudah tidak digunakan lagi, kecuali dalam upacara adat.