My Dear Melancholy Written by : @nwazyf CAST ● Na Jaemin as Jemian Naldeva (main cast) ● Park Soo Young as Maudy Ann Zevaya (kakak Jemian) ● Jeong Jaehyun as Juanda Iwannara (papa Jemian) ● Bae Joo Hyun as Nirina Puspita (mama Jemian) ● Lee Jeno as Zeanno Fabian (teman Jemian) ● Huang Renjun as Nakula Sardega (teman Jemian) ● Lee Haechan as Raharsa Mahardeka (teman Jemian) Bagi seorang anak laki-laki bernama Jemian Naldeva, diabaikan dan dianggap tidak ada oleh semua orang termasuk keluarganya sendiri sudah menjadi makanan sehari-harinya selama enam belas tahun hidup. Dari kecil, Jemian bahkan tidak pernah tahu apa itu pelukan dari seorang ibu juga ayah. Aneh memang, Jemian pun tidak pernah mengerti apa alasan utama ia selalu diabaikan dan selalu dianggap asing. Bahkan tak jarang anak itu menangis sendirian di sudut kamarnya. Sejujurnya Jemian selalu iri pada perempuannya, yang selalu dipeluk dan dinomor satukan oleh kedua orang tuanya. “kira-kira Deva bisa gak ya kaya kakak” batin jemian. Tapi itu terdengar mustahil bagi seorang Jemian Naldeva. Mungkin saja dia bisa berharap tapi itu semua hanya akan menjadi suatu khayalan semata. “Papa, mama, Deva dapet juara 3 loh tadi waktu lomba!” ucap Jemian dengan penuh semangat. “Tuhkan mama bilang juga apa, kamu itu makannya belajar yang rajin jangan main terus” jawab Nirina sang mama dengan penuh amarah. “ tuh lihat kakak kamu, dapet juara satu terus karena rajin belajar gak kaya kamu yang taunya main terus” kini Juanda sang papa yang sedang meluapkan emosinya terhadap Jemian. Setelah kedua orangtuanya puas memarahi Jemian, mereka meninggalkan Jemian dan pergi ke aktivitas masing-masing. Mendengar itu semua, Jemian yang awalnya sangat gembira tiba-tiba saja menjadi sangat sedih. Kenapa? Kenapa dia selalu diperlakukan seperti ini oleh kedua orangtuanya. Mendengar itu, Maudy sang kakak yang awalnya asik dengan handphone nya mulai beranjak dari tempat ia duduk dan berdiri di depan Jemian. “ Makannya kamu itu belajar yang rajin biar mama sama papa gak marah sama kamu” ucap Maudy kepada Jemian. Jemian tidak menjawab apapun hanya mengabaikannya saja karena percuma, dia hanya akan semakin sakit jika dia menjawab. Menyalahkan takdir? Jemian sudah sering melakukan itu. Namun, tetap saja, sekeras apapun Jemian menangis dan meminta pertolongan kepada semesta, pada akhirnya Jemian akan tetap menjadi seseorang yang terbuang. Pada umumnya, setiap pagi, keluarga pasti akan berkumpul bersama di ruang makan untuk sekadar sarapan bersama sebelum melakukan aktivitasnya masing-masing. Hal ini juga dilakukan oleh keluarga Jemian, keluarga Juanda. Canda tawa keluarga memenuhi ruangan makan. Ocehan-ocehan yang diucapkan juga terdengar begitu menyenangkan. Jemian melangkahkan kakinya, berjalan keluar dari kamarnya untuk menuju
ruang makan keluarga. Disana sudah ada papa, mama, dan kakaknya yang sedang duduk dan mengobrol. Ya, bahkan Jemian saja tak pernah disuruh bergabung untuk sarapan bersama. “Kakak, sarapan dulu sini, ini tadi mama masakin makanan kesukaan kakak” seru Nirina kepada Maudy yang kini tengah turun dari tangga. Mendengar itu, Maudy segera mendekati meja makan dan melihat apa yang sudah dimasak sang mama untuknya. “ Waaah… pasti enak ini, kakak jadi laper” jawab Maudy. “Mama, kalau Deva ada dimasakin makanan kesukaan Deva gak?” tanya Jemian dengan muka yang sangat bahagia berharap sang mama memasak makanan favorite nya juga. “Jangan banyak mau kamu, makan aja yang ada” Nirina menjawab dengan nada yang agak tinggi. “Tapi itu kakak dimasakin makanan kesukaannya” ucap Jemian dengan wajah yang agak murung. “Aduh Jemian Naldeva apa susahnya sih tinggal makan aja makanan yang ada” ucap Nirina dengan ketus. Sesak, itu yang dirasakan Jemian ketika mendengar perkataan dari mamanya. Jemian menghela nafas nya, berusaha sekuat tenaga untuk menahan air mata yang hampir keluar di pelupuk matanya. Jemian kemudian menunduk dan melangkah pergi dari ruang makan itu. Sang papa kemudian menawarkan untuk mengantar ke sekolah dan mengajak segera berangkat. Jemian sedikit terkejut mendengar perkataan papanya itu. Namun, saat ia menoleh, ia baru mengetahui bahwa ajakan itu ditujukan untuk kakaknya. Jemian hanya tersenyum dan bertanya-tanya, mengapa dirinya bisa sangat asing di keluarganya sendiri? Jemian sendiri juga tak mengerti, kenapa mereka bisa membenci Jemian hingga segitunya? Apakah karena Jemian berbeda dengan Maudy? Ah, terlalu sulit untuk menerka-nerka alasan mengapa dirinya diperlakukan seperti itu. Lagi-lagi, Jemian hanya bisa tersenyum ketika menyaksikan bagaimana ia diperlakukan, diabaikan, dan dianggap tak ada oleh orang-orang yang seharusnya menyayangi dan memeluknya. Dengan langkah yang lemas, Jemian langsung beranjak keluar rumah untuk segera pergi ke sekolah. Selama perjalanan, anak lelaki itu hanya bisa merasa sesak, karena menahan segala perasaannya. Jemian sangat ingin menangis, tetapi tidak bisa. Jemian kemudian menepuk-nepuk dada sebelah kirinya untuk meredakan rasa sakit yang selalu ia rasakan. Setibanya di sekolah seperti biasa Jemian berbincang dengan keempat sahabatnya yaitu, Nakula Sardega si paling care di antara sahabatnya yang lain, Zeanno Fabian si paling gengsi tingkat dewa dan tidak lupa dengan si jahil Raharsa Mahardeka. Mereka sudah bersahabat dari waktu duduk di bangku kelas 3 SD. Setelah melaksanakan kegiatan KBM, sudah tradisi jika mereka berempat pulang bersama. Sebelum mereka beranjak dari sekolahnya itu, saat mereka berada di tempat parkir Jemian menghentikan langkah mereka “stop dulu, aku mau ngomong sesuatu” ucap Jemian kepada ketiga sahabatnya itu. “Kenapa Jemian Naldeva ?” jawab Harsa dengan kesal. “Kalo bisa, aku mau nginep di rumah kalian dong tapi aku juga gatau sih mau sampe kapan hehe” ucap Jemian. “Aduh, kenapa lagi? Ada masalah apa sampe gak biasanya kamu nginep” tanya Nakula yang heran karena tidak biasanya Jemian menginap di rumah ketiga sahabatnya itu. “Ah kalian ini, apa susahnya tinggal bilang iya atau engga. Yaudah dev, kamu nginep dirumah aku aja” ujar Bian yang memang tidak mau ambil pusing dan juga Bian sudah tau apa permasalah yang Jemian alami sampa ingin menginap. Setelah Bian memutuskannya, Jemian hanya mengangguk tanda mengiyakan. Mereka berempat pun segera meninggalkan Sekolah itu dan segera pulang ke rumah masing-masing kecuali Jemian karena ia menginap di rumah Fabian. Setelah beberapa hari Jemian menginap di rumah Fabian, memang hari-hari Jemian berjalan biasa saja. Karena mau dia pulang ataupun tidak ke rumahnya, Keluarganya tidak akan peduli terhadapnya. Tidak tahu kenapa, Hari ini dada Jemian terasa sangat sesak, badannya lemas dan kepalanya pusing.
“deva makan siang dulu ini Bunda udah masakin masakan kesukaan ka-” tidak sempat Bian melanjutkan ucapannya karena melihat jemian terbaring di lantai. “dev, kamu kenapa?” ucap Bian kaget. Jemian tidak sadarkan diri, Bian segera membawanya ke rumah sakit dan mengabarkan ketiga sahabatnya. Setelah Jemian diperiknya, ketiga sahabatnya itu sangat terkejut atas penyakit yang diderita Jemian. Kanker paru-paru, kenapa harus penyakit itu yang keluar dari mulut dokter? Apakah perkataan dokter itu salah? Ah sungguh sulit untuk memikirkannya, mereka tidak kuat lagi untuk menahan air matanya itu. Tidak menunggu lama, Bian beranjak dari tempat duduknya dan segera menelpon Juanda “Om, Bian mohon om dateng kesini ya?” ucap Bian dengan nada yang bergetar karena tidak sanggup menahan tangisannya itu. “Untuk apa saya kesana? Apa urusan saya?” jawab Juanda dengan dingin. “Jemian om, Jemian sekarang di rumah sakit” kata bian. “Kenapa lagi anak itu? Kerjaannya nyusahin orang terus” Juanda menjawab dengan keras kepala. Merasa kesal, Harsa mengambil handphone itu dari genggaman Bian. “OM PUAS SEKARANG? OM PUAS LIAT DEVA SEKARANG TERBARING DI BRANKAR OM” ucap Harsa dengan emosi. “Terus saya peduli gitu sama ucapan kamu itu?”Saut Juanda yang masih keras kepala. “OM, PENYAKIT YANG DEVA ALAMIN PARAH OM, OM TAU SEKARANG DEVA SAKIT APA? KANKER PARU-PARU OM.” suara harsa kini mulai bergetar. “Aku mohon sekali ini aja om dateng kesini buat ketemu sama Deva, kasian Deva om. Dia sekarang lagi butuh dukungan dari keluarganya” lanjut Harsa. Mendengar itu, seketika badan Juanda lemas dan menjatuhkan air matanya. Juanda tidak menyangka jika anak bungsunya itu mengidap penyakit seserius itu. Juanda merasa gagal menjadi seorang ayah. Kenapa tidak dari dulu dia memperhatikan anak bungsunya itu. Dia hanya bisa memarahi Jemian dan tidak tau apa-apa tentang Jemian. Bahkan Juanda tidak pernah menanyakan bagaimana kabar Jemian. Hatinya terluka dan merasa bersalah karena tidak bisa menjaga anaknya. Kemudian Juanda mengambil bingkai foto yang ada di meja kerjanya. Disitu terpampang jelas muka Jemian. Lalu Juanda mengusap foto itu hingga tidak menyadari bahwa air matanya jatuh. “Maafin papa ya nak. Papa memang gak becus jadi seorang ayah buat kamu. Papa selama ini selalu jadi pecundang”. “Dari dulu papa ingin sekali peluk kamu, memanjakan kamu seperti apa yang papa lakukan ke kakak kamu. Tapi apa? Papa malah jadi pecundang” ucap Juanda dengan penuh penyesalan. *** Juanda pov Barang kali, jika ada penghargaan untuk orang paling bodoh di jagat semesta, saya pasti akan memenangkan peringkat pertama. Iya, saya memang sebodoh itu selama ini. Menjadi lelaki yang berperan sebagai sosok suami sekaligus ayah itu tidak mudah. Tanggung jawab saya sebagai kepala keluarga sangat besar. Setiap lelaki yang berada pada ikatan status seperti saya ini, pasti akan melakukan segala cara untuk membuat keluarganya bahagia. Tapi tidak dengan saya. Awalnya saya pikir saya sanggup dan mampu menjadi sosok paling kuat untuk keluarga saya. Awalnya saya pikir saya itu adalah orang hebat yang mampu membimbing dan membahagiakan keluarga saya. Awalnya saya merasa seperti itu. Tapi ternyata saya salah. Hampir 20 tahun saya menjadi sosok lelaki lemah yang selalu takut untuk kehilangan seseorang. Saya akan melakukan segala cara agar orang itu tidak pergi dari hidup saya. Mencintai dan dicintai itu adalah salah satu hal yang selalu saya utamakan. Saya ingin sekali menjadi sosok suami sekaligus ayah yang selalu di banggakan dan dicintai. Dari dulu saya selalu mengharapkan itu. Hidup saya baik-baik saja sebelumnya. Tapi tiba-tiba saja berubah ketika saya tahu jika ternyata wanita yang selama ini saya cintai ternyata begitu terobsesi dengan pekerjaan dan jabatan. Saya pun tidak menyangkal, jika Nirina istri saya merupakan seorang pekerja keras, ia keras kepala, apapun yang ia inginkan harus ia dapatkan. Awalnya saya baik-baik
saja dengan itu, tapi sejak saat dimana saya melakukan kesalahan yang membuat Nirina harus merelakan impiannya demi melahirkan seorang putra yang memang tidak disengaja atau kasarnya, tidak pernah diharapkan. Disitu saya merasa gagal menjadi sosok suami yang baik, saya gagal membuat istri saya bahagia, saya gagal mewujudkan mimpinya hanya karena keinginan saya untuk mempertahankan seorang anak yang kini tumbuh sebagai anak tangguh. Jujur saja, saya tidak pernah berniat sedikitpun untuk mengabaikan Jemian anak saya. Tapi entah mengapa, dulu, setiap saya melihat anak itu, saya selalu merasa bersalah. Saya marah, saya kecewa pada diri saya sendiri. Tiap kali saya melihat anak itu, rasanya saya ingin berteriak dan memaki diri saya sendiri. Tapi bodohnya, amarah yang saya rasakan, selalu saya luapkan dengan cara memarahi bahkan tak segan saya memukul anak itu dengan tangan saya sendiri. Katakan saja saya bodoh, tapi kenyataannya memang begitu. Jika kalian pikir selama ini saya tidak tersiksa, kalian salah. Selama ini, saya selalu menangis diam-diam, saya benci diri saya sendiri. Saya benci karena saya selalu menyalahkan anak itu atas semua kesalahan yang saya buat sendiri. Saya benci ketika harus melihat anak itu menangis diam-diam. Saya benci ketika saya mendapati bahwa selama ini saya gagal menjadi sosok ayah untuk anak itu. Tapi sekali lagi, ego dan ketakutan saya perihal kehilangan perempuan itu terlalu besar. Saya terlalu mencintai Nirina, cinta yang saya rasakan bahkan mampu membuat saya menutup mata atas kehadiran anak itu. Bodoh, bodoh, bodoh. Saya adalah manusia paling bodoh. Saya menyesal ketika ternyata, anak yang selama ini saya anggap sebagai kesalahan ternyata ia tidak pernah membenci saya. Untuk pertama kalinya saya rapuh ketika anak itu memutuskan untuk pergi dari rumah dan memilih tinggal sendirian. Sejak saat itu, saya tidak pernah tertidur dengan tenang, tiap malam, tiba-tiba saja saya merindukan kehadiran anak itu, saya merindukan suara anak itu, saya selalu merindukan Jemian yang selalu diam-diam memperhatikan saya sambil tersenyum. Lagi dan lagi saya bodoh. Harusnya sejak dulu, saya menyayangi Jemian seperti apa yang saya lakukan pada Maudy. Dunia saya hancur, dunia saya runtuh saat saya mendapati bahwa jemian, anak yang selalu saya abaikan selama ini ternyata ia menderita sendirian, ia sakit dan ia menanggungnya sendirian. Saya semakin hancur saat ia bilang baik-baik saja dan malah menyuruh saya agar menjaga kesehatan saya. Saya semakin hancur ketika mengetahui bahwa Nirina benar-benar membenci jemian. Ah, bodoh, saya terlalu bodoh. Mungkin Tuhan memberi hukuman untuk saya dengan memberi saya kehilangan. Jika saja bisa, saya ingin memutar kembali waktu dimana semua terasa baik-baik saja. Jika saja bisa, saya tidak akan pernah membiarkan Jemian sendirian dan terluka. Jika saja bisa, saya ingin menjadi sosok ayah dan suami yang selalu dicintai. Tapi percuma saja, bukankah ini sudah takdir semesta? Saya harus merasakan kesakitan ini untuk menebus semua dosa-dosa saya pada Jemian. Tapi rasanya luka yang saya tanggung ini tidak semenyakitkan apa yang dirasakan Jemian. Saya menyesal, sangat menyesal. Satu hal yang saya inginkan sekarang. Hidup bahagia bersama kedua anak saya, tanpa rasa sakit lagi. Saya ingin Jemian sembuh, saya ingin menjadi ayah yang baik untuk anak itu. Jemian, cepat sembuh ya sayang? Papa sayang banget sama kamu, jangan pernah ninggalin papa sendirian. *** Barang kali, jika ada kejuaraan dengan nominasi orang tua paling buruk, mungkin Juanda akan memenangkan posisi pertama dengan cuma-cuma. Sepanjang perjalanannya menuju tempat anaknya dirawat, Juanda tidak henti-hentinya mengumpat pada dirinya sendiri, berteriak bahkan menangis. Dunia Juanda benar-benar hancur saat dirinya mengetahui jika anak yang selama ini ia acuhkan, anak yang selama ini ia anggap kesalahan ternyata menyimpan banyak lukanya sendirian. Sejak kapan? Kenapa bisa ia tidak menyadari hal sebesar ini? Kenapa bisa ia begitu asik menikmati kehidupannya, sedangkan salah satu darah dagingnya sedang berjuang di antara hidup dan matinya? Bodoh sangat bodoh. Juanda segera turun dan berlari sesaat setelah sampai di tempat anaknya dirawat itu. Juanda langsung memeluk erat anaknya itu. “Maaf, maaf, maaf...” berkali-kali ia mengucap maaf. “Papa...” Juanda mengusap pelan wajah Jemian, ia mengecup keningnya berkali-kali. Ia menangis di hadapan
Jemian. “Mana yang sakit sayang? Ini sakit? Ini? Mana? Bilang ke papa, biar papa sembuhin” berkali-kali ia mengusap dan mencium tangan serta wajah Jemian, seolah ia sedang berusaha menyembuhkan luka anak itu. “Papa, Deva gapapa” Jemian tersenyum. “Maafin Deva ya pa? Udah nyembunyiin sakitnya tiga tahun" “Tiga tahun?” “Adek... kamu gak bercanda kan?" Jemian menggeleng pelan. Lagi-lagi Juanda menangis, ia memeluk erat tubuh anaknya serta mengucap kata maaf berkali-kali. “Adek, harusnya papa selalu ada di samping kamu, harusnya papa yang bantu kamu. Dunia papa hancur, hati papa sakit, maafin papa” Lagi dan lagi, Juanda hanya bisa menangisi penyesalannya yang sangat dalam. “Papa...” Juanda menatap netra Jemian, terdapat kehangatan sekaligus tatapan kerinduan disana. Bodoh sangat bodoh, bisa-bisanya ia mengabaikan anak berharga ini. “Liat, adek gapapa, papa tenang aja ya? Adek sehat, buktinya adek masih ada di hadapan papa, ngomong sama papa” Jemian tersenyum. Senyuman itu, benar-benar semakin membuat Juanda semakin hancur. “Adek, lihat papa. Maafin papa, ya? Untuk semuanya, semua luka yang udah papa kasih ke kamu. Maaf maaf sekali lagi maaf” “Papa janji, mulai sekarang papa akan selalu ada buat adek, papa akan berusaha jadi orang tua yang baik buat kamu, biarin papa nebus semua dosa-dosa papa sama kamu, ya?” “Jangan nyembunyiin apapun lagi dari papa, papa gak bakal benci sama kamu. Papa sayang kamu, Jemian Naldeva kesayangannya papa, sekali lagi maaf maaf” Juanda memeluk erat tubuh Jemian. Andai saja bisa, Juanda ingin jika rasa sakit yang selama ini Jemian tanggung dipindahkan kepada dirinya. Jangan, jangan lagi ia menanggung sakit sendirian. Jemian dunianya papa, Jemian jagoannya papa. Kemudian Juanda beranjak dari ruangan yang penuh dengan peralatan kesehatan itu dan mengambil ponselnya di saku dan menelepon Nirina sang istri. “Halo pa, kenapa?” ucap nirina yang memulai duluan percakapannya. “Kamu segera datang ke rumah sakit sekarang” tanpa basa-basi Juanda langsung ke inti pembicaraannya. “Loh kenapa? Papa sakit? Atau Maudy?” Jawab Nirina terkejut. “Kamu salah Nirina, Jemian yang sakit, Jemian!” Juanda agak menaikkan nadanya. “anak itu lagi, anak itu lagi. Sukanya bikin susah terus deh” ucap Nirina. “Nirina tong sekali ini aja rin, kasian Jemian. Sakitnya udah parah” mohon Juanda kepada Nirina. “Sejak kapan kamu jadi peduli sama anak itu pa?” tanya nirina terhadap Juanda. “Selama ini, aku gak pernah sama sekali benci sama Jemian. Karena seburuk apapun Jemian dimata kamu, Jemian tetep anak kita rin. Aku emang salah selama ini malah nurut sama perkataan kamu.” Jawab Juanda. “Jadi tolong rin, sekali ini aja dateng buat Jemian ya? Jemian mengidap kanker paru-paru rin.” lanjut Juanda. “Denger ya pa, sampai kapanpun aku gaakan pernah peduli sama anak sialan itu. Mau sampai dia mati juga aku gak peduli.” Ucap Nirina “Yaudah, sekarang terserah kamu aja rin, aku udah cape ngigetin kamu terus” Ucap Juanda dengan emosi. Setelah ponselnya dimatikan, Juanda masuk ke ruangan dimana anaknya itu dirawat. “Papa, deva udah cape pa. Deva pengen pergi aja” ucap Jemian dengan lirih. “Sttt, kamu ini ngomong apa, anak papa itu kuat. Kamu pasti bisa lewatin semua ini.” Jawab Juanda kepada anaknya itu. “Tapi pa, aku udah cape. Udah lama aku berobat, tapi gaada hasilnya pa, keadaannya malah makin parah” ucap Jemian. “Sekarang kamu dengerin papa deh. Apakah kamu tau alasan mengapa Tuhan memberi semua rasa sakit ini kepada kamu? Karena untuk memperoleh kebahagiaan, diperlukan luka, Deva. Tuhan tahu bahwa kamu hebat, maka itu Dia memberi segala rasa sakit ini ke kamu. Ini semua supaya kamu memahami bagaimana caranya bertahan dan bagaimana cara untuk bangkit. Jadi, jagoan papa tolong tetap bertahan, ya?” ucap Juanda yang sudah tidak sanggup lagi menahan tangisnya itu. Jujur selama enam belas Jemian hidup, dia tidak pernah terbayangkan bahwa dia bisa merasakan bagaimana diperhatikan oleh sang ayah. Jemian tidak tahu harus bagaimana sekarang ini. Di satu sisi Jemian sudah capek dengan penyakit yang diderita olehnya itu. Tetapi di sisi lain dia ingin bertahan demi orang-orang yang Jemian sayangi. Alasan Jemian tidak ingin memberitahu siapa-siapa tentang penyakitnya itu, karena dia tidak ingin membebani dan membuat orang yang ia sayang menjadi sedih karena penyakit yang Jemian alami.
Di lain tempat kini Maudy Ann Zevaya baru saja selesai melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar di suatu Sekolah menengah Atas. Maudy heran, tidak seperti biasanya sang papa begitu banyak mengirimkan pesan kepadanya. Salah satu isi pesan tersebut adalah “kakak, cepet ke rumah sakit ya. Adek sekarang lagi di rawat, dan adek mengidap kanker paru-paru stadium akhir”. Maudy terkejut setelah membaca pesan tersebut. Ternyata adiknya yang selalu dianggap tidak ada oleh keluarganya itu menanggung beban seberat itu. Tanpa berpikir apapun Maudy langsung memasuki mobil dan segera pergi ke rumah sakit dimana sang adik dirawat. Tibanya di rumah sakit, Maudy berlari sambil meneteskan air mata. “Adek, maafin kakak, karena selalu gak ada buat kamu dan selalu menganggap kamu baik-baik aja selama ini.”batin Maudy sambil berlari mencari ruangan dimana adiknya itu dirawat. Setelah menemukan ruangan tempat Jemian dirawat, di ruang tunggu Maudy bertemu dengan ketiga sahabat Jemian (Nakula, Bian dan juga Harsa). “Gimana keadaan deva sekarang?” tanya Maudy yang sangat panik. “Tadi Deva sempet pingsan sih kak, tapi sekarang udah siuman kok. Di dalem juga lagi ada om Juanda” jawab nakula. Setelah mendapatkan jawaban itu, Maudy segera memasuki ruangan yang berada di hadapannya itu dan segera menghampiri sang papa dan juga Jemian. “Adek, maafin kakak ya selama ini, kakak tau kakak itu seorang pengecut. Kakak gak bisa nemenin kamu, bahkan kakak gak bisa bantu kamu disaat kamu lagi butuh kakak. Kakak pengen banget bantu kamu, tapi kakak cuman diem aja liat kamu dari jauh. kakak nyesel kenapa dari dulu kakak gak nyadar kalo kamu itu butuh dukungan dari keluarga. Kakak juga pengecut karena selalu takut buat nolongin kamu dari mama. Maafin kakak ya?” ucap Maudy penuh penyesalan. “Gapapa kak, itu bukan salah kakak kok, deva udah lupain semua itu sekarang karena itu semua cuman masa lalu” jawaab Jemian dengan lirih. Tangisan Maudy pecah, dan menghampiri Jemian untuk memeluk adiknya itu. Juanda yang melihat itu, hanya bisa tersenyum tipis karena melihat anak-anaknya saling menyayangi satu sama lain. *** Sebagai seorang wanita karir, Nirina memang dikenal sebagai sosok perempuan pekerja keras, ia juga dikenal sebagai wanita yang pantang menyerah. Apapun yang ia inginkan, sesulit apapun itu, semuanya harus ia dapatkan. Sejak menikah dengan Juanda, Nirina memang tidak ingin mempunyai anak, ia berpikir, jika anak itu adalah penghalang untuk segala impiannya. Waktu itu, setelah setengah tahun pernikahan, Juanda sebagai suami berusaha keras meyakinkan Nirina agar ia setuju untuk mempunyai anak. Dengan segala bujuk rayu, akhirnya Juanda berhasil membujuk Nirina, dan tak lama setelah itu, Nirina hamil anak pertama yaitu Maudy. Namun, selang satu tahun setelah kelahiran Maudy, Nirina dikabarkan hamil anak kedua, yaitu Jemian. Jika kalian pikir Maudy mendapat kasih sayang sejak bayi, kalian salah. Justru, tiga tahun pertama, baik Maudy maupun Jemian,, Nirina tidak pernah mengurus mereka, selalu saja Juanda yang menjaga anak-anaknya itu. Namun, sejak saat Maudy bertumbuh dewasa, Nirina melihat ada sesuatu yang beda dari Maudy. Waktu itu, Maudy yang masih berumur empat tahun, ia sudah pintar membaca dan menulis. Sedangkan Jemian, berbicara pun masih tidak jelas. Dan sejak saat itu, Nirina mulai memperhatikan Maudy, ia senang melihat Maudy bisa banyak hal di umurnya yang terbilang masih kecil. Berbeda dengan Jemian. Masuk sekolah dasar, Nirina dibuat senang karena Maudy semakin menunjukan kemampuannya sebagai anak cerdas. Iya, sejak dulu, Nirina hanya ingin memiliki anak cerdas yang bisa segalanya seperti Maudy. Melihat maudy yang seperti itu, membuat Nirina memiliki kepuasan tersendiri, ia merasa jika kepintaran Maudy menurun dari dirinya. Awalnya Nirina juga memiliki harapan besar pada Jemian, namun sayang. Anak itu tidak menunjukan bakat apapun, bahkan bisa dibilang, kemampuan berbicara dan berjalan Jemian cukup lambat, membuat Nirina enggan untuk mendekatinya. Karena ia pikir, Jemian hanya akan jadi anak yang tidak berguna dan tidak bisa apa-apa. Kalian ingat? Setiap kali membicarakan perihal nilai, Nirina selalu menyuruh Jemian agar bisa menyamai peringkat Maudy. Itu semua ia lakukan agar keinginan untuk memiliki anak paling
pintar terpenuhi. Namun sekali lagi, Jemian berbeda, ia tidak seperti Maudy. Ah mengenai papa, jika kalian pikir Juanda sama seperti Nirina, kalian salah. Juanda tidak sejahat itu untuk menelantarkan anaknya. Juanda hanya tidak bisa berbuat apa-apa, entahlah mungkin karena rasa cintanya kepada Nirina terlalu besar, dikarenakan hanya Nirina satu-satunya wanita yang menemaninya dari dulu. Itu semua yang menyebabkan Juanda menutup mata perihal kehadiran Jemian. Namun, asal kalian tahu. Jauh di lubuk hati Juanda, ia juga sangat menyayangi Jemian. Dan mengenai Maudy, selama ini, ia telah tumbuh menjadi anak yang selalu mendapatkan apapun yang ia mau. Keegoisan, keserakahan, yang tidak disadari sudah melekat di dalam diri Maudy inilah yang membuat Maudy selalu takut jika Jemian akan mengambil dan merebut segalanya yang ia punya. Namun sejujurnya, ia selalu merindukan. Jemian. Sudah dua minggu Jemian dirawat, tidak ada perkembangan apapun. Ditambah Nirina Puspita sang mama menghilang entah kemana. Disisi lain Juanda dan Maudy selalu mencari keberadaan Nirina, tetapi tetap saja Nirina tidak ditemukan. “Adek maafin papa ya, Papa gak bisa nemuin mama kamu” Ucapnya ketika sedang mencari Nirina. Di tempat lain kini Nirina sedang bersembunyi di suatu tempat yang sangat jauh dari tempat tinggal keluarganya. Penyesalan, hanya itu yang ia rasakan sekarang. Nirina sangat menyesal atas perlakuannya selama ini kepada anaknya sendiri. “Jemian Naldeva, maafin mama ya, selama ini mama selalu menyakiti kamu. Bahkan mama gak pernah perhatiin kamu sampai kamu sakit selama tiga tahun ke belakang ini, mama gak tau apa-apa. Maafin mama ya sayang, kamu kuat, kamu pasti sembuh, cepat sembuh jagoan mama” itulah katakata yang sering keluar dari mulut nirina. 3 hari setelah itu Nirina sadar bahwa seharusnya ia datang untuk anaknya. Tanpa menunggu lama Nirina segera pergi menuju rumah sakit dimana anaknya kini sedang dirawat. “aku ke tempat Jemian sekarang” isi pesan Nirina kepada Juanda. Setelah mendapatkan pesan itu, Juanda terkejut terhadap pesan yang dikirim oleh Nirina itu. Setelah itu, Juanda yang sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya kini bersiap-siap untuk pergi ketempat dimana anaknya itu dirawat. Juanda bertemu dengan Nirina di tempat parkir dan berbincang sebentar sebelum melihat Jemian di ruang rawat inap. Di tempat lain, Jemian dan Maudy sedang sibuk dengan kehidupan masing-masing dan tidak tau kenapa hari itu Jemian sangat merasa bosan. “Kak, deva bosen di kamar terus, papa juga lagi di kantor” ucap Jemian sang sedang merasakan kebosanan. “Terus adek mau kemana?” tanya Maudy. “Main ke taman kayaknya seru deh” ucap Jemian dengan antusias. “Yaudah kita ke taman, tapi sebentar aja ya?” Jemian mengangguk tanda mengiyakan ucapan sang kakak.Maudy dan Jemian tertawa, mereka berdua kini tengah berada di taman rumah sakit yang memang memiliki pemandangan yang cukup bagus. “Kak, duduk disana, yu” pinta Jemian. Maudy lalu mendorong pelan kursi roda itu. Dengan pelan, ia menuntun Jemian agar bisa duduk di kursi taman itu.Jemian menghela napas sesaat setelah ia duduk disana. Maudy terkekeh, lalu memperhatikan dengan lekat wajah Jemian yang terlihat kurus. Rambutnya, alisnya, bahkan wajah yang sebelumnya selalu terlihat ceria dan bersinar, kini terlihat sangat pucat. Tangan Maudy terulur lalu mengusap pelan wajah Jemian. “Adek....” Jemian menoleh “hmm?” “Capek, ya?” Tanya Maudy. Jemian hanya tersenyum, lalu mengangguk. “Capek, capek banget kak” Maudy menepuk pelan pundaknya “sini, senderan disini.” Ucap Maudy. Jemian lalu bersandar di pundak Maudy. “Adek..” “Hmm” “Sembuh, ya?” “Kakak...” ucap Jemian dengan intonasi suara yang lemas. “Apa?” “Adek sayang sama kakak, sayang banget...”
“Adek…” “Adek capek banget, pengen tidur, ya?” Jemian lalu memejamkan matanya. “Adek...” “Hmm?” “Jangan tinggalin kakak, papa sama mama ya? Kakak, papa sama mama sayang banget sama kamu tau gak? Jadi kamu harus sembuh, pasti sembuh...” Entahlah, perasaan Maudy begitu buruk saat ini. Ia takut, semua pikiran yang selalu menghantuinya terjadi. Ia takut, sangat takut. Dengan pelan, Maudy menoleh pada Jemian yang kini memejamkan matanya dengan sangat tenang. “Adek...” Maudy terisak, dunianya hancur, semestanya hancur, kala melihat Jemian terkulai di pundaknya. “Adek...” Maudy terisak. “B-bangun...” lirih Maudy “Adek...” “Jangan ninggalin kakak” Lagi-lagi Maudy terisak. Ia bahkan tidak bisa mendengar respon apapun dari Jemian. “Adek...” Maudy menghela napas, berusaha keras menahan sesak yang membuncah di dadanya. “Adek, capek, ya? Tidur yang nyenyak, ya?” “Adek, kakak sayang kamu, kita semua disini sayang kamu Jemian. Kamu segalanya, kamu hebat, kamu lelaki paling hebat....” Maudy terisak. “Selamat beristirahat” Gadis itu lalu menangis sejadi-jadinya. Hancur, semestanya hancur, dunianya runtuh. Adiknya itu pergi, pergi ke tempat yang sangat jauh. Bahkan, tidak akan pernah bisa kembali. Sekarang Jemian sudah tertidur, ia tidak akan merasakan sakit apapun lagi. Semesta bahkan terlalu menyayangi Jemian. Jemian, terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Sekarang, kamu baik-baik saja. Jemian Naldeva. Selamat beristirahat. Nirina baru saja tiba di rumah sakit. Pesan terakhir yang ia terima adalah pesan dari Jemian, anaknya. Jemian bilang, ia ingin memeluk Nirina. Entah mengapa, hati Nirina begitu sakit saat membaca pesan terakhir itu. Nirina melangkahkan kakinya ke ruangan dimana Bumi di rawat. Namun tak lama, langkah kaki Nirina terhenti saat melihat beberapa orang tengah menangis di depan ruangan itu. Termasuk Maudy, anak kesayangannya. Anak itu sedang menatap kosong ruangan itu. “Kakak...” ucap Nirina pada Maudy. Maudy menoleh, lalu tiba-tiba saja ia menghampiri Nirina dan berteriak. “ADEK PERGI! PUAS? MAMA PUAS HAH?!!” Tangisan yang sejak tadi Maudy tahan kini meluap kala melihat Nirina. “M-maksudnya?” Ucap Nirina “ADEK PERGI ADEK UDAH GAK ADA! MAMA, ADEK MA...” Maudy berteriak frustasi, ia menangis di hadapan Nirina. Nirina menjatuhkan dirinya. “Gak, gak mungkin, ini bohong, bahkan mama belum ketemu Adek...” Nirina beranjak, ia lalu masuk dan melihat jika di dalam sana Juanda sedang menangisi tubuh seseorang yang tertutup kain putih. “J-jemian...” Nirina berlari, lalu memeluk tubuh anak yang sudah tidak bernyawa itu, ia menangis, berteriak sambil memeluk anaknya. “Jemian nak, bangun sayang, maafin mama” Nirina menangis. Juanda yang melihat itu sangat sakit, bodoh, ia bahkan tidak bisa marah saat melihat tangisan Nirina. “Hei sayang, Jemian, bangun nak. Mama bahkan belum ngobrol sama kamu. Ayo bangun...” “JEMIAN BANGUN!!! KAMU BAHKAN BELUM MELUK MAMA...” Nirina berteriak, menangis. Ia berusaha membangunkan wajah pucat anak itu. Sakit, sangat sakit. Semua perlakuannya terhadap Jemian selama ini, tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Jahat, jahat sekali. “Jemian bangun... ayo... mama... disini...” ucap Nirina lirih “Adek, maafin mama...” “Ayo marahin mama, ayo pukul mama, mama gak akan marah. Jemianbangun. BANGUN JEMIAN BANGUN!!!!” Teriakan Nirina bahkan terdengar sangat menyedihkan. Seketika dunianya runtuh. Kenapa bisa Tuhan membawa anak ini pergi? Bahkan Nirina belum sempat memeluk dan
mengucap maaf pada anaknya itu. Hancur, ia sangat hancur. Bahkan Nirina tidak pernah berpikir bahwa kehilangan anak yang selama ini ia anggap sebagai anak pembawa sial, ternyata mampu membuat dunianya seketika runtuh. Bodoh, Nirina bodoh. Kini hanya penyesalan yang menyeruak ke seluruh hatinya. Anaknya pergi, anaknya yang bahkan sebenarnya tidak bersalah. Lagi-lagi karma itu menang benar adanya. Nirina, wanita yang bahkan tidak akan pantas disebut sebagai ibu, kini ia kehilangan. Kehilangan orang paling berharga yang seharusnya ia rawat dari dulu. Bahkan, dari semua orang, ia adalah satu-satunya orang yang yang paling kehilangan. Mungkin benar, penyesalan paling pedih ialah saat orang yang bahkan seharusnya ia anggap, kini sudah tidak ada lagi. Mulai sekarang, seumur hidup Nirina, ia hanya akan hidup dalam penyesalan, bahkan sampai mati. Sore itu, merupakan hari pemakaman Jemian. Semua orang datang kesana, kecuali Nirina. Setelah Jemian menghembuskan napas terakhirnya, Nirina bahkan tidak berhenti menangis, kadang kala ia berusaha untuk mengakhiri dirinya sendiri. Ah bicara soal pemakaman, hari ini. Juanda, Maudy, Nakula, Bian, dan juga Harsa, mereka semua ada disana, mengantarkan Jemian untuk beristirahat dengan tenang di rumah barunya. Juanda, lelaki yang berperan sebagai ayah dari Jemian, kini ia mengusap pelan batu nisan bertuliskan nama putranya. Ia menghela napas, sudah cukup ia menangis. Jemian bilang, Juanda tidak boleh menangis. Jemian bilang, Juanda harus bahagia. Juanda mengusap dan mencium batu nisan itu “hei jagoan, udah gak sakit lagi, ya? Disana udah tenang, ya?” Pertahanan Juanda akhirnya runtuh, ia tidak sekuat itu. Ia terisak “maafin papa, maaf, maaf papa belum bisa ngasih kebahagiaan buat kamu, maaf...” Juanda terisak. Maudy berjongkok lalu mengusap pelan pundak Juanda. Ia lalu beralih menatap setumpuk tahan dihadapannya. “Adek, udah gak sakit lagi, ya?” Maudy terkekeh, lalu tak lama ia terisak. “Maaf, maaf, maafin kakak. Harusnya dari dulu kakak ada di samping kamu...” Maudy terisak. Juanda lalu merangkul Maudy, ia memeluknya, lalu mereka berdua menangis. Di sisi lain, ketiga sahabatnya juga terisak pelan. Mereka mengusap pelan batu bertuliskan nama sahabatnya itu. “Jemian...” Bian terisak. “Kamu hebat...” “Makasih ya udah bertahan sejauh ini. Mulai sekarang kamu gak bakal lagi ngerasa sakit, kamu udah sembuh...” Pertahanan ketiga sahabatnya semakin runtuh, mereka menangis. “Jemian, terima kasih untuk segala kebahagiaan yang kamu pancarkan, kamu hebat Jemian...” “Kita sayang kamu, semuanya sayang kamu...” “Jemian, terima kasih sudah kuat dan menjadi seseorang paling berharga di dunia ini. Istirahat dengan tenang ya Deva. Kita sayang sayang kamu...” “Jemian Naldeva, terima kasih.”