The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by pip, 2017-05-15 22:45:32

Sancaya Digital Meret 2017 - Susun.cdr

ISSN: 2339 - 0190



































































Volume 4, Nomor 1, Maret 2017

01 Buletin Sancaya Digital


























































Pusat Inovasi Pembelajaran UNPAR
Gedung 0 (Rektorat) Lt. 4
Jalan Ciumbuleuit 94, Bandung 40141
ph. (022) 2032655, 2042004 ext. 100403

02





Daftar Isi








Susunan Redaksi ................................................................... 02
Dari Redaksi: Generasi Z ................................................... 03

UNPAR Menyongsong Gen Z ......................................... 05
Menghadapi Generasi Z ................................................... 13
Karakter Dasar dan Gaya Belajar Generasi

Digital ....................................................................................... 21
Komik Kang Anca ................................................................ 36




SUSUNAN REDAKSI






Ketua Redaksi Agus Sukmana
Redaktur Pelaksana Hendrikus Endar Suhendar
Ketua Litbang Andreas Doweng Bolo
Litbang Elisabeth Adyiningtyas Satya Dewi
Maria Ulfah
Caecilia Srikanti Wijayaputri
Tanius Sebastian
Administrasi Melvi Imelda
Desain Sampul Doni Priza Adhitya
Tata Letak Ch. Helda Resa Pandhita

03 Buletin Sancaya Digital











Dari redaksi



GENERASI Z







Pada beberapa kesempatan berbincang-bincang dengan rekan dosen
yang kurang lebih sebaya usianya dengan saya, sering mendengar
“keluhan” mengenai perilaku anak didiknya yang cenderung berbeda
dengan anak didik masa sebelumnya. Beberapa rekan dosen mengalami
kesulitan beradaptasi, tetapi tidak sedikit pula yang dapat beradaptasi
dengan situasi tersebut.

Sedikit kilas balik, tanpa saya sadari selama 24 tahun perjalanan menjadi
dosen di UNPAR, telah mengalami berinteraksi dengan mahasiswa dari
tiga generasi (merujuk pada periodisasi Zemke, at.al. 2000). Secara
mudahnya dikelompokkan berdasarkan periode tahun kelahiran, yaitu
Generasi X lahir tahun 1960-1980, Generasi Y tahun 1980-1995, Generasi Z
tahun 1995-2010, dan akan menyongsong Generasi Alfa yang akan masuk
UNPAR 10 tahun yang akan datang.


Generasi Z awal telah memasuki jenjang pendidikan tinggi. Generasi inilah
yang akan mewarnai kehidupan kampus UNPAR sampai 15 tahun yang
akan datang. Generasi Z lahir pada saat Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) berkembang sangat pesat dan mewarnai kehidupan
manusia di era tersebut. Menurut pandangan saya, seseorang termasuk
Pusat Inovasi Pembelajaran UNPAR
kategori generasi Z tidak semata-mata pada periode mana dia dilahirkan
Gedung 0 (Rektorat) Lt. 4
tetapi lebih pada seberapa besar dunia TIK mempengaruhi kehidupan
Jalan Ciumbuleuit 94, Bandung 40141
orang tersebut. Pengalaman pribadi mengamati kehidupan anak-anak
ph. (022) 2032655, 2042004 ext. 100403

04




dipelosok yang belum terjangkau layanan internet bahkan dengan
minimnya akses terhadap siaran televisi, belum menunjukkan kehadiran
ciri Generasi Z pada mereka.

Penelitian terhadap perilaku Generasi Y dan Generasi Z yang berusia
kurang dari 30 tahun di dunia kerja dilakukan oleh Bencsik, A. et.al. tahun
2016. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, Generasi Y akhir dan
Generasi Z awal memiliki perbedaan yang berarti pada proses kerjasama
khususnya dalam hal knowledge-sharing dan knowledge-transfer.
Generasi ini berpotensi konflik dengan generasi sebelumnya dalam hal
komunikasi dan cara berpikir sehingga menyulitkan mereka untuk
bekerjasama.


Mulai tahun 2017, Pusat Inovasi Pembelajaran UNPAR menjadikan
pembelajaran pada jenjang pendidikan tinggi bagi Generasi Z sebagai
salah satu tema utama untuk dikaji dan dikembangkan. Diawali dengan
proses membangun kesadaran (awareness) dari seluruh pemangku
kepentingan akan perlunya adaptasi dalam proses pembelajar bagi
Generasi Z untuk mengembangkan secara optimal potensi dan
mempersiapan mereka untuk berkarya di eranya. Serangkaian seminar
dan publikasi Buletin Sañcaya menjadi media untuk membangun
kesadaran tersebut. Semoga UNPAR menjadi tempat yang kondusif bagi
para Generasi Z untuk mengembangkan dan menempa diri sebelum
berkarya di masyarakat.











Agus Sukmana
Kepala Pusat Inovasi Pembelajaran

05 Buletin Sancaya Digital




UNPAR






Menyongsong






Gen Z

06




Generasi Z, sebuah term yang begitu
akrab dalam perbincangan kita dewasa
ini. Ada yang kagum dengan klasifikasi ini
ada yang bersikap kritis dan tidak ingin
terjebak dalam tipologi ini. Tulisan ini pun
bukan sebuah upaya ilmiah akademis
dengan metodologi dan epistemologi
ketat ingin menguraikan istilah ini. Teks ini
sekadar memakai istilah ini untuk Andreas Doweng Bolo
memanyungi zaman dan generasi yang
kian melek dan bersahabat dengan
teknologi yang berkembang pesat.
Generasi yang oleh Chloe Combi dalam
bukunya Generation Z: Their voices, their
lives (2015): Generation Z is an emotional,
illuminating, sometimes dark, sometimes
hilarious odyssey through the lives of this
generation told in their own voices”. Maria Ulfah




Redaksi Sañcaya mengangkat tema UNPAR dalam upaya menghadapi
Generasi Z. Tiga dosen menjadi partner perbincangan Sañcaya yaitu Dr.
Harastoeti Dibyo Hartono (Fakultas Teknik-Arsitektur), dipandang
mewakili generasi dosen senior, Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H.
(Fakultas Hukum) mewakili generasi tengah, dan Adelia Tanara, SH,
M.Hum. (Lembaga Pengembangan Humaniora) merepresentasikan
generasi dosen muda di lingkungan UNPAR.

Generasi Z yang sedang dan akan menempuh Pendidikan di kampus ini
merupakan anak-anak yang lahir antara tahun 1995-2010. Mereka kerap
kali disebut iGeneration, Generasi Internet. Dalam sebuah Pamletf
berjudul Gen Z dikatakan bahwa Generasi Z adalah mereka yang berusia
antara 5-19 tahun. Generasi di atas mereka dikategorikan sebagai
Generasi Milenial dengan kisaran usai 20-35 tahun. Di atas Generasi
Milenial adalah Generasi X dengan rentang usai 36-50, dan di atasnya

07 Buletin Sancaya Digital




adalah Generasi Baby Boomers dengan usia 51-69 tahun. Dan bagian
paling akhir dalam kategori ini adalah Silent Generation dengan kisaran
usia 70-85 tahun.


Tipologi sulit
Meskipun tipologi ini digandrungi, ia tidak menjadi reprentasi paling sahih
tiap negara, daerah dengan sistem budaya, sub budaya dan pengaruh
modernitas yang beragam. Tipologi ini sekadar membantu manusia
melihat dinamika perkembangan dunia yang melaju kian kencang, run
away world, kata Anthony Giddens.


Generasi Z akrab dengan teknologi informatika yang menyerbu ruang
kehidupannya. Generasi Z adalah generasi yang multitasking, generasi
yang mampu melakukan hal yang berbeda dalam waktu bersamaan.
Mereka bisa belajar sambil membaca seliweran informasi yang hinggap di
gadgetnya. Tom Koulopoulos dan Dan Keldsen sebagaimana dikutip
dalam Pamflet Gen Z mengatakan bahwa Generasi Z ini sebagai generasi
yang hyperconnected junkies.


Generasi seperti inilah yang sebentar lagi akan membanjiri dunia
pendidikan tinggi termasuk UNPAR. Sebuah pertanyaan klasik yang selalu
hinggap dibenak lembaga pendidikan adalah bagaimana menyikapi
generasi seperti ini?

Dalam perbincangan Sañcaya dengan Dekan Fakultas Hukum, Dr. Tristam
Pascal Moeliono S.H, Pak Tristam begitu ia akrab disapa tidak ingin
terjebak dalam tipologi yang amat familiar tersebut. Doktor lulusan
Universiteit Leiden ini lebih ingin mengatakan bahwa pendidikan pra-
kampus dari jenjang Sekolah Menegah Atas (SMA), Sekolah Menegah
Pertama (SMP) bahkan Sekolah Dasar (SD) sangat menentukan model
mahasiswa yang menempuh pendidikan di UNPAR. Demikian juga Adelia
Tanara, SS, M.Hum. dosen mata kuliah umum lulusan Fakultas Psikologi
Unpad menyoroti bahwa umumnya mahasiswa UNPAR berasal dari
keluarga menegah kota dengan pendidikan dan disiplin yang baik. Namun
ia juga menambahkan bahwa warisan ketakutan pada pendidikan dasar,

08





















Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H.




ketakutan sampai pada tingkat kurang percaya diri juga menghantui
peserta didik. Kecanduan googling adalah indikasi sederhana ketakutan
dan kurang percaya diri itu, imbuhnya. Sedangkan Dr. Harastoeti, akrab
disapa Bu Toeti melihat ada perubahan sikap pada generasi mahasiswa
kini dan dulu. Generasi sekarang dipandang lebih cuek dan tak begitu
peduli dengan sopan santun sebagaimana zaman dulu.

Dr. Tristam juga mengatakan bahwa lebih baik kita mengatakan bahwa
generasi yang akan menempuh Pendidikan di UNPAR sekarang ini
umumnya berasal dari kelas menengah kota yang lahir di kurun 90-an.
Maka mereka sangat akrab dengan gadget dan berbagai jenis teknologi
lain. Dr. Harastoeti juga menandaskan bahwa generasi sekarang ini tak
begitu butuh informasi, karena internet menyediakan informasi yang
banyak.

Tantangan Pada Proses
Banjir informasi ini juga membuat Generasi Z tak sempat mengendapkan
berbagai informasi tersebut. Sehingga segalanya mesti serba cepat,
proses tak dibutuhkan. Adelia Tanara, Bu Adel begitu biasa disapa juga
mengatakan bahwa salah satu ciri generasi Z adalah tidak sabar, ingin
semua serba cepat. Gadget memungkinkan semuanya itu, imbuhnya.

09 Buletin Sancaya Digital




Lebih lanjut lagi situasi ini membuat nujum pun dipercaya begitu saja,
tambah dekan FH. Komputerisasi dewasa ini juga membentuk cara
berpikir. Lebih lanjut Dr. Tristam mengatakan bahwa hukum misalnya
mementingkan proses berpikir. Jawaban apa saja itu tergantung dari
proses berpikir. Teknologi melahirkan juga mental serba instan. Mental ini
tentu tidak memadai untuk menguji pengetahuan ilmiah. Pengalaman Dr.
Toeti seputar mental ini diceritakan ketika Sañcaya bertandang ke
rumahnya di kitaran Dago. Diktat yang dibuatnya seputar sejarah
arsitektur dibajak dalam pengertian diperbanyak di tempat fotocopy
tanpa sepengetahuan dosen penulis. Dan hasil fotocopi ini tidak hanya
dipakai oleh mahasiswa S1 tetapi juga mahasiswa S2 tanpa disebutkan
nama penulis dalam teks tersebut.
Adelia Tanara juga menyoroti daya tahan dari generasi ini. Dalam situasi
ini kemampuan melakukan cross check informasi lemah, karena juga
produksi informasi hoax yang banyak. Dan hoax (berita bohong ini) tak
butuh konfirmasi dan pengecekan.

UNPAR menghadapi Generasi Z
Bagaimana UNPAR menghadapi generasi ini? Sebuah pertanyaan yang tak
mudah dijawab. Generasi yang oleh Adelia, dosen MK Logika ini dipadang
sebagai generasi yang introvert. Dekan FH mengatakan bahwa digitalisasi


















Dr. Harastoeti Dibyo Hartono

10





















Adelia Tanara, SH, M.Hum.




pendidikan yang dikembangkan termasuk oleh Pusat Inovasi
Pembelajaran (PIP) tentu tak bisa menggantikan komunikasi verbal, tatap
muka langsung. Bagi orang yang belajar hukum proses belajar itu juga
berarti belajar bicara dan menulis. Media atau teknologi memang
memudahkan manusia tetapi proses pembelajaran itu butuh ketekunan.
Hal yang juga menjadi sorotan Adelia.

Selain itu bentuk soal pilihan ganda yang serba cepat sesungguhnya
menghilangkan proses belajar itu sendiri. Untuk proses pembelajaran
hukum misalnya ujian lisan itu diperlukan, ujar pengajar MK Filsafat
hukum ini.

Tugas dunia Pendidikan sekarang adalah juga memilah dengan jeli mana
perihal rasa/perasaan dan mana realitas rasional empiris. Dewasa ini
perasaan terlampau banyak diungkapkan di ruang publik baik itu di
bidang pendidikan, hukum atau politik. Dalam wawancara dengan dekan
FH dikatakan bahwa idealnya lembaga pendidikan harus mengubah
situasi ini. Namun, ini tidak mudah karena banyaknya perasaan-perasaan
sesaat itu diungkapkan dan membuat kita sulit melihat sesuatu secara
jernih. Seolah semuanya menjadi, it's about me, ungkapnya. Orang
terjebak dalam perasaan dan susah diajak berpikir ke arah yang lain.

11 Buletin Sancaya Digital




Generasi ini perlu diajak berpikir meski rentan konsentrasinya. Dunia
media dewasa ini yang juga menghasilkan sekian banyak komentar tetapi
tidak mempunyai analisis. Ketika diajak bicara mendalam, orang tidak
mempunyai waktu untuk bicara.


Para dosen pun harus mengubah cara pembelajaran dan pengajaran.
Misalnya, dosen bisa mengatakan kepada mahasiswa handphone
dimatikan dan disimpan di depan kelas. Tetapi ini bukan solusi yang baik.
Percayalah lima menit mereka akan sakau, imbuh pengajar FH sejak tahun
1995 itu. Alangkah lebih baik baik bila kita berdamai dan mengatakan kita
akan memakai handphone, smartphone untuk mencari informasi
pembelajaran. Ia yakin dengan rentan konsentrasi pendek ini kita bisa
melakukan sesuatu.

Persoalan dasar dosen/guru adalah wibawa, dosen bukan lagi sumber
informasi sebagaimana dulu. Semua informasi ada di ada di Google. Tugas
kita sebagai pendidikan adalah mengajak mahasiswa untuk refleksi dan
menguyah informasi lebih pari purna dan bukan sepotong-sepotong
semata, imbuh dekan FH. Dosen harus meninggalkan gaya pengajaran
satu arah dan perlu saksama melihat dimensi psikologis mahasiswa.
Untuk itu relasi menjadi sesuatu yang amat penting, ujar Adel. Bagi Adelia
situasi masyarakat masih cukup connect dengan idealisme pendidikan.
Kita terkadang terjebak dalam teori-teori filosofis dan lupa menerapkan.
Adelia kemudian menutup dengan mengatakan bahwa sebagai lembaga
kita perlu kembali ke jati diri kita. UNPAR mempunyai SINDU, dan salah
satu nilai dasar adalah humanum religiosum (manusia yang utuh). Sebagai
dosen kemanusiaan utuh itu juga ditunjukkan dengan keteladanan. Dan
keteladan itu tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, ujar Adel di
akhir perbincangan. (adb/mu)

12

13 Buletin Sancaya Digital




MEMAHAMI UNIKNYA





GENERASI Z





Ignatia Ria Natalia, S.Psi., CGA.
Lembaga Pengembangan Humaniora































Membahas mengenai generasi adalah hal yang cukup menarik
belakangan ini. Seiring dengan perkembangan jaman, pola perilaku pun
muncul dengan berbagai variasinya. Generasi Z adalah generasi yang
sedang hangat menjadi pusat perhatian karena dalam berbagai
kesempatan kehidupan, generasi Z akan berkompetisi dalam banyak hal
dengan generasi sebelumnya yaitu generasi X dan Generasi Y. Sebelum
mengulik lebih jauh, apakah yang dimaksud dengan generasi? Strauss dan

14




Howe dalam bukunya Generations: The History of America Future (1991)
mendefinisikan generasi sebagai agregat dari semua orang yang lahir
selama rentang waktu sekitar dua puluh tahun atau sekitar panjang satu
fase dari masa kanak-kanak, dewasa muda, usia pertengahan dan usia
tua. Ada tiga kriteria yang harus dimiliki oleh sebuah generasi yaitu usia
dan lokasi dalam sejarah, kepercayaan dan perilaku yang sama, serta
keanggotaan periode yang sama. Kriteria usia lokasi dalam sejarah
maksudnya adalah generasi yang sama akan mengalami peristiwa sejarah
penting dan tren sosial bersamaan; hal ini bisa dilihat dalam kurun waktu
2-3 tahun, masyarakat mulai memiliki media sosial seperti path,
instagram dan yang lainnya. Hal ini akan berkaitan
dengan kriteria kedua sehingga sebuah generasi akan
berbagi kepercayaan dan perilaku yang sama; dan jika
orang tidak mengikuti tren tersebut akan dianggap
ketinggalan jaman. Kriteria ketiga dapat diartikan
bahwa sebuah generasi akan mengidentifikasikan
dirinya sebagai kelompok yang berbeda dari generasi
sebelumnya.


Ada beberapa perbedaan dalam mengkategorikan
rentang waktu kelahiran generasi Z; Howe dan Strauss
menggolongkan generasi Z di rentang waktu kelahiran
tahun 2005 – kurang lebih saat ini, tetapi beberapa
pendapat yang lain mengatakan di rentang waktu
1995 – 2010. Hal ini menarik karena sampai saat ini
belum ada teori yang sudah baku dalam menjelaskan
penggolongan generasi Z ini. Terlepas dari itu Generasi
Z adalah generasi yang unik karena mereka terlahir
dengan perkembangan teknologi yang semakin
mutakhir. Jika menggunakan ukuran kelahiran 1995-2010, maka dalam
usia 5 tahun pertama, anak-anak ini sudah bisa mengenal internet dan
kemudahan komunikasi di mana pada generasi sebelumnya yaitu generasi
Y, hal ini baru bisa mereka nikmati ketika di usia dewasa awal yaitu 18
tahun.

15 Buletin Sancaya Digital




Sesuai dengan ciri-ciri masa dewasa awal tersebut, ada kajian menarik
yang disampaikan oleh George Beall, seorang mahasiswa dari Universitas
Pennsylvania yang menuliskan beberapa ciri menarik dari generasi Z saat
ini (sesuai dengan keadaan kaum muda Amerika Serikat tahun 2016):
1. Kurangnya fokus, karena ada kaitannya dengan kemampuan yang
multitasking
2. Terbiasa multitasking, generasi Z mampu melakukan tugas
akademik dengan sambil browsing di internet atau bahkan sambil
menonton televisi atau video call dengan teman mereka
3. Cenderung sudah bisa bekerja mulai di usia muda (16-18 tahun)
4. Gen Z cenderung lebih memiliki kemampuan sebagai wirausaha;
kemudahan teknologi memudahkan mereka untuk bisa membuka
sebuah usaha ekonomi
5. Gen Z memiliki harapan yang lebih tinggi dari generasi
sebelumnya (generasi Y), cenderung mengharapkan sesuatu bisa
lebih cepatdan lingkungan bisa lebih mengapresiasi mereka, jika
dirasa lingkungan tidak bisa memenuhi harapan tersebut maka
mereka akan lebih mudah untuk berpaling (dalam hal pekerjaan)
6. Gen Z sangat individualistis
7. Gen Z lebih lintas batas; generasi Z lebih global dalam hal
pemikiran, interaksi sosial dan pergaulan.

Ketika para remaja generasi Z ini mulai mengembangkan relasi, mereka
bisa menggunakan segala perangkat teknologi apa saja, mulai dari
smartphone yang memiliki akses media sosial. Namun hal ini bisa menjadi
bumerang bagi para remaja tersebut di mana mulai timbul rasa
keingintahuan yang tinggi dan mereka cenderung mencari jawaban
sendiri melalui teman sebaya ataupun internet.

Selain itu, Generasi Z cenderung tinggi dalam pendidikan karena generasi
Z lebih banyak mengenyam pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi
dan mereka mampu mempelajari hal yang kompleks. Semakin
meningkatnya pengetahuan dan pendidikan maka muncul idealisme pada
generasi Z yaitu ingin membuat perbedaan pada dunia, hal ini terlihat dari
minat menjadi sukarelawan yang cukup tinggi karena generasi Z ingin

16




hasil karyanya dapat berdampak langsung pada lingkungan sekitarnya.
Di dunia yang seperti tanpa batas bagi generasi Z, hal ini juga bukanlah
suatu hal yang mudah, ada beberapa masalah psikologis yang tetap
menjadi hal yang harus diperhatikan sebagai orang dewasa antara lain:
1. Penentuan identitas diri vs kekaburan identitas
Generasi Z yang kurang mampu mengolah dirinya akan bergulat
dengan penentuan identitas pribadi, apalagi dengan kemudahan
akses internet memudahkan orang untuk bebas berekspresi
melalui media sosial sehingga kehidupan pribadi bisa menjadi
konsumsi publik; misalnya sering mengupdate status di laman
media sosial seperti twitter, path atau instastory hanya untuk
menampilkan kegiatan sehari-hari.
2. Kemandirian vs ketidakmandirian
Kemudahan teknologi dan fasilitas juga bisa menjadi bumerang
bagi generasi Z, di mana mereka lebih mudah dan cepat dalam
mandapatkan informasi, termasuk juga kemudahan internet
menjadi salah satu fasilitas pelayanan publik yang membuat
kebutuhan hidup sehari-hari menjadi lebih mudah didapatkan.
Hal ini bisa dilihat semakin mudahnya generasi Z dalam mencari
informasi melalui google, wikipedia atau situs informasi lainnya
atau kemudahan dalam berbelanja sesuatu melalui online shop,
go food dan sebagainya.
3. Sukses meniti jenjang pendidikan dan karir vs kegagalan
menempuh jenjang pendidikan dan karir.
Walaupun tidak semua, generasi Z cenderung terbuai dengan
dongeng “Follow your Passion”; atau inspirasi yang tidak realistis
yang juga mampu membuat langkah generasi Z dalam
menentukan langkah kehidupan seperti dalam persimpangan
4. Hubungan sosial yang sehat vs menarik diri
Kemajuan teknologi bisa mendekatkan yang jauh sekaligus
menjauhkan yang dekat dan Generasi Z tidak terlepas dari hal ini.
Mereka bisa menjadi sangat asyik dengan sosok yang ada dalam
perangkat digital dan media sosial sehingga menurunkan minat
untuk berinteraksi sosial dalam komunitas atau pun kesempatan
sosial lainnya dalam kehidupan sehari-hari.

17 Buletin Sancaya Digital




Pada masa sekarang ini, generasi Z masuk pada usia sekitar 18-22 tahun
dan mereka masuk pada usia dewasa awal. Hurlock (1990) mengatakan
bahwa masa dewasa awal dimuali dari umur 18 tahun sampai kira-kira
umur 40 tahun, saat perubahan-perubagan fisik dan psikologis yang
menyertai berkuarangnya kemampuan reproduktif. Menurut Santrock
(1999), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara
fisik (physically trantition), transisi secara intelektual (cognitive trantition)
dan transisi peran sosial (social role trantition). Selain itu, ada beberapa
ciri pada masa dewasa awal yaitu;
1. Masa dewasa awal sebagai usia pengaturan masa, generasi Z yang
ada pada usia ini mulai menerima tanggung jawab sebagai orang
dewasa
2. Masa dewasa awal sebagai usia produktif; mulai mengembangkan
relasi sosial ke tingkat yang lebih tinggi seperti menikah dan
menjadi orang tua
3. Masa dewasa awal sebagai masa bermasalah, sebagai masa
transisi dari remaja menuju dewasa awal, para kaum muda
(generasi Z) tidak luput dari penyesuaian diri terhadap
lingkungan, masalah tuntutan peran masyarakat dan sebagainya
4. Masa dewasa awal sebagai masa masalah ketegangan emosional;
pada masa ini individu sudah lebih mampu memecahkan masalah
dengan lebih stabil dan tenang
5. Masa dewasa awal sebagai masa keterasingan sosial; keterasingan
diartiakn sebagai hasrat untuk maju sehingga keramahtamahan
masa remaja diganti dengan persaingan dalam masayarakat
dewasa
6. Masa dewasa awal sebagai masa komitmen; sesuai dengan
tanggung jawab baru maka akan ada komitmen-komitmen diri
yang menyertainya; jika seseorang di dewasa awal sudah masuk
dalam usia kerja, maka ia harus berkomitmen dengan tempat
kerja dan melakukan pekerjaannya dengan tanggung jawab
sebagai orang dewasa
7. Masa dewasa awal merupakan masa ketergantungan, meskipun
sudah masuk dalam usia dewasa, beberapa individu masih
tergantung pada orang-orang tertentu dalam jangka waktu yang

18




berbeda-beda; misalnya generasi Z yang masih berstatus
mahasiswa masih bergantung pada orang tua terkait dengan
biaya pendidikan
8. Masa dewasa awal sebagai masa perubahan nilai; hal ini terkait
dengan semakin meningkatnya pengalaman dan hubungan sosial
yang lebih luas
9. Masa dewasa awal sebagai masa penyesuaian diri dengan cara
hidup baru; peralihan dari usia reamaja (SMA) ke dewasa awal
(mahasiswa) merupakan suatu langkah yang besar karena
perbedaan lingkungan, cara belajar, pengaturan waktu dan
sebagainya
10. Masa dewasa awal sebagai masa kreatif; adanya kebebasan untuk
mengkreasikan ide mereka sesuai dengan minat dan bakat



GENERASI Z













Multitasking

Fasih
Teknologi
Sosial

19 Buletin Sancaya Digital




Sebagai orang tua atau pendidik ada beberapa hal yang harus dipahami
bersama dalam mendampingi generasi Z yang unik ini:
1. Memberikan teladan dalam perilaku; genearsi Z adalah generasi
yang juga kritis, jadi ketika ada suatu hal yang diterapkan menjadi
kesepakatan bersama maka mereka sangat melihat komitmen
dan konsistensi lingkungan sekitar dalam menjalankan
kesepakatan bersama tersebut
2. Orang tua dan pendidik bisa lebih fleksibel dalam menghadapi
generasi Z yang masih berada di usia akademis; tahu kapan bisa
menjadi teman dan tahu juga kapan berperan sebagai orang tua
3. Khusus untuk orang tua juga diharapkan memahami
perkembangan teknologi informasi yang berkembang saat ini
sehingga mereka tahu apa yang sedang terjadi pada lingkungan
sosial anak-anak mereka. Para orang tua dan pendidik juga
diharapkan bisa membuka jalur komunikasi yang lain dengan
generasi Z ini seperti media sosial yang sedang disenangi oleh
mereka

20






Ignatia Ria Natalia, S.Psi., CGA.
Lembaga Pengembangan Humaniora



4. Generasi Z memiliki pola yang unik
dalam berkomunikasi; mereka lebih
mahir dalam komunikasi digital
dibandingkan komunikasi verbal
secara langsung, termasuk memiliki
pola unik dalam bahasa tulisan oleh karena itu komunikasi tatap
muka tetap perlu dilakukan serta para pendidik juga lebih intens
dalam membimbing mereka untuk lebih mampu berkomunikasi
tulisan dengan baik dan benar
5. Ada kecenderungan Generasi Z adalah generasi yang
membutuhkan arahan, pastikan orang tua dan juga pendidik
memberikan batasan yang cukup jelas bagi mereka tentang apa
yang harus dilakukan dan sebagainya

Sesuai dengan teori generasi, tidak ada generasi yang sempurna atau satu
generasi lebih baik dari generasi yang lain. Satu generasi lahir untuk
melengkapi generasi sebelumnya. Generasi Z bisa menjadi potensi yang
besar bagi dunia karena kemampuan kognitif mereka yang sudah jauh
lebih berkembang dari generasi sebelumnya.



Referensi
Hurlock, E.B. 1993. Psikologi Perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan (edisi kelima). Jakarta: Erlangga

Howe, N. & Strauss, W. (1991). Generations: The History of America Future,
1584 to 20169. William Morrow Paperbacks: New York City

The Center Gor Generational Kinetics (2016). Top 10 Gen Z and IGen
Questions Answered.

21 Buletin Sancaya Digital




Karakter Dasar dan Gaya Belajar


Generasi DigitaL




Oleh:
Anindhita Nugroho Sunartio, Giosia Pele Widjaja, dan
Yenny Gunawan



Generasi Digital atau dalam Teori
Generasi disebut Generasi Z
memiliki karakteristik dan gaya
hidup khas dimana segenap aspek
kehidupannya, termasuk cara
belajar mereka yang tak
terpisahkan dari kemajuan
teknologi dan perangkat digital.
Hampir seluruh universitas di
dunia, termasuk di Indonesia, kini
dipastikan diisi oleh para
mahasiswa dari Generasi Digital
ini. Kehadiran mereka telah
berpengaruh terhadap perubahan
paradigma pendidikan dan proses
pembelajaran di Perguruan Tinggi.
Universitas-universitas terbaik
dunia telah lama merevolusi
konsep kurikulum, metoda
pembelajaran dan fasilitas belajar
mengajar mereka agar mampu
mewadahi dan sesuai bagi
karakteristik, gaya hidup dan cara
belajar para mahasiswa Generasi
Digital ini.

22



Mengacu pada perkembangan teori generasi (Generation Theory), Don
Tapscott (2008) dalam bukunya yang berjudul Grown Up Digital, membagi
demografi penduduk ke dalam 6 tipe generasi, yaitu: (1) Generasi
Tradisionalist, lahir sebelum tahun 1946, (2) Generasi Baby Boomer, lahir
1946-1964, (3) Generasi X, lahir 1965-1980, (4) Generasi Y / Milenium, lahir
1981-1994, (5) Generasi Z, lahir 1995-2010, dan (6) Generasi Alpha, lahir
2011-2025.


Generasi Digital adalah nama lain dari Generasi Z yang sering diisebut juga
sebagai iGeneration atau Gen-Net. Generasi ini adalah mereka yang
sebagian besar terlahir dari generasi X dan Generasi Y. Mereka dibesarkan
di era digital, dengan aneka teknologi yang lengkap dan canggih, seperti:
komputer/laptop, HandPhone, iPads, PDA, MP3 player, BBM, internet, dan
aneka perangkat elektronik lainnya. Sejak kecil, mereka sudah mengenal
atau mungkin diperkenalkan dan akrab dengan berbagai perangkat
gadget canggih yang secara langsung atau pun tidak langsung
berpengaruh terhadap perkembangan perilaku dan kepribadiannya.
Apapun yang dilakukannya kebanyakan berhubungan dengan dunia maya
(cyber). Diperkirakan tahun 2020 adalah tahun dimana akan terjadi
booming Generasi Z.

Prensky (2001) dalam artikelnya yang berjudul "Digital Natives, Digital
Immigrants", mencetuskan istilah "digital natives" sebagai sebutan bagi
Generasi Digital ini. Menurut Prensky digital natives adalah mereka yang
menerima dunia digital sebagai habitat aslinya, dan benar-benar alami.
Mereka dilahirkan ke dalam sebuah keadaan ketika teknologi terus
berevolusi dengan kecepatan yang terus bertambah. Mereka bertatap
muka satu sama lain dan dengan dunia mereka melalui peralatan digital.
Sebaliknya, Prensky mendefinisikan "digital immigrants" adalah mereka
yang tidak lahir pada era digital ini, yaitu mereka-mereka yang termasuk
ke dalam generasi tradisionalist sampai generasi milenium. Kaum digital
immigrants harus beradaptasi dan berbaur agar dapat berfungsi di dalam
era dunia digital. Seorang digital immigrants adalah seseorang yang tidak
digital secara alami karena mereka sebenarnya merupakan generasi-
generasi analog; contohnya, seseorang yang tetap mencetak email atau
panggilan dalam bentuk kertas untuk memastikan bahwa sebuah email
telah diterima.
http://www.psw.co.id/wp-content/uploads/2016/06/03-Gen-Z-01.png

23 Buletin Sancaya Digital




A. Karakter Dasar Generasi Digital

Prefer Digital
Generasi Digital memiliki sejumlah sifat alamiah yang khas. Generasi
Digital hidup dalam dunia digital sebagai habitat aslinya dimana
perangkat digital merupakan perlengkapan utama dan tidak terpisahkan
dalam segala aspek kehidupannya. Generasi Digital memakai teknologi
hampir secara naluriah. Mereka memakai smartphone terbaru tanpa
membuka buku panduan seperti generasi sebelumnya. Tatkala Baby
Boomers dan Gen X berusaha mencari keseimbangan antara bekerja di
kantor dan kehidupan keluarga, Generasi Digital memadukan bekerja,
bermain, berinteraksi sosial, dan hidup di rumah jadi satu. Mereka
berpaling kepada Internet secara instinktif untuk berkomunikasi. Mereka
lebih suka membuka Twitter daripada menelpon untuk belajar, mencari
sesuatu, dan melakukan banyak hal. Bagi mereka, teknologi itu tidak
ubahnya udara. Hal ini menyebabkan Generasi Digital cenderung lebih
menyukai dan memilih hal-hal yang berhubungan dengan teknologi dan
peralatan digital tersebut dalam menjalankan seluruh aspek
kehidupannya, termasuk dalam proses belajar mereka.

Survey WebMD (2014) menunjukkan data bahwa Generasi Digital (di
Amerika) mengkonsumsi waktu perhari mereka lebih banyak bersama
komputer daripada berinteraksi secara langsung bersama orang-orang.
Sebanyak 41% Generasi ini menghabiskan waktu lebih dari 3 jam per hari
di depan komputer untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan
kegiatan belajar atau pekerjaan sekolah mereka. Generasi ini juga selalu
daring (online) dengan dunia maya dimana pun mereka berada melalui
perangkat mobile phone. Dengan kemajuan teknologi smart phone, maka
30% dari generasi ini mengakses jaringan sosial melalui mobile phone,
41% mengakses internet, 17% menonton televisi dan 37% bermain games
juga melalui mobile phone. Generasi Digital ini memiliki sindrom FOMO
(Fear Of Missing Out) dan dapat sangat menderita jika mereka tidak dapat
online.


Sedangkan survey JWT Intellegent (2012) menunjukkan data bahwa

24




Generasi Digital (di Amerika) menyukai hal-hal yang berhubungan dengan
multimedia dan karenanya, mereka dapat mengerjakan beberapa hal
dalam waktu hampir bersamaan (multitasking) melalui 5 media layar
digital (screen) seperti berbicara melalui telepon genggam sambil
browsing, menonton dan membaca dengan laptop atau desktopnya,
sementara pada saat yang bersamaan telinganya mendengarkan musik
dari iPod dengan menggunakan headset. Hal ini karena mereka
menginginkan segala sesuatu serba cepat, tidak bertele-tele dan berbelit-
belit. Mereka senang dengan persoalan-persoalan yang membutuhkan
pengambilan keputusan yang cepat. Andalan mereka adalah internet yang
merupakan sumber melimpah dalam pendukung pengambilan
keputusan.


Survey yang dilakukan oleh Millenial Branding and Ranstad
US. (2014) menunjukkan data bahwa perangkat dan
teknologi digital termasuk peranan media jejaring
sosial sangat berdampak besar terhadap
mudah teralihkannya (distraction) fokus
perhatian Generasi Digital
ini, baik dalam belajar




























http://www.psw.co.id/wp-content/uploads/2016/06/03-Gen-Z-01.png

25 Buletin Sancaya Digital




maupun pekerjaan mereka. Data dari Millenial Branding and Ranstad US
tersebut mengungkapkan bahwa media jejaring sosial yaitu Instant
Massaging berpengaruh 37%, Facebook berpengaruh 33% dan Email
berpengaruh 13% terhadap “terpecahnya” fokus perhatian dari Generasi
Digital ini. Distraksi ini mengakibatkan rentang perhatian (attention span)
dari Generasi Digital ini terhadap suatu hal sangatlah singkat. Penelitian
dari National Centre for Biotechnology Information U.S. National Library
of Medicine menemukan bahwa rentang perhatian dari para Generasi
Digital (di Amerika) ini hanya berkisar selama 8 detik. Hal ini berarti bahwa
fokus perhatian mereka akan segera teralihkan hanya dalam hitungan 8
detik jika apa yang disajikan dihadapannya tidak menarik perhatian.

Permasalahan rentang perhatian Generasi Digital yang sangat singkat ini
selanjutnya menjadi tantangan besar dalam dunia pendidikan khususnya
bagi pengajar di kelas dalam hal menyusun materi pelajaran. Para
pengajar harus mampu menyusun skenario pengajaran melalui penyajian
materi-materi pelajarannya dengan menggunakan teknologi multimedia
digital yang satu sama lain harus mampu membuat fokus perhatian dari
para anak didiknya tidak teralihkan. Sistem pengajaran di Amerika Serikat
memperkenalkan apa yang disebut sebagai “Snack Media” yaitu suatu
sistem belajar berbasis pemberian materi pelajaran berupa “potongan-
potongan kecil materi” yang diibaratkan sebagai “makanan ringan”.
“Snack” ini diberikan kepada para anak didik secara kontinyu, tidak
terikat tempat dan waktu seperti di kelas melalui media jejaring sosial
dalam kelompok belajarnya. Dengan demikian isi materi harus singkat,
mudah dicerna dan langsung menarik perhatian.

Need for Speed
Karakter dan kepribadian Generasi digital yang lain dibentuk pula oleh
limpahan dan akses informasi tanpa batas yang difasilitasi oleh jaringan
internet. Generasi Digital tumbuh dan menjadi hidup bersama semua itu,
di sebuah dunia yang serba-cepat dan interaktif. Mereka menjadi lebih
cepat dalam memproses informasi. Lebih cepat mengarahkan cita-cita
dan keinginan kerja dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Generasi

26




ini gandrung akan teknologi informasi dan fasih di dalam menggunakan
berbagai aplikasi komputer.


Kebutuhan akan kecepatan dan kemudahan dalam mendapatkan dan
memproses informasi ini membentuk suatu karakter Generasi Digital ini
dalam hal berkomunikasi. Karakteristik komunikasi mereka sangat efisien
dengan menggunakan teks-teks singkat atau pemilikan kata dan kalimat
yang disingkat. Mereka juga menggunakan simbol-simbol dalam dunia
digital seperti emoticon, glyphs, stiker, chart, infographic dan foto-foto /
image, dan lain-lain untuk menggantikan komunikasi teks menjadi
komunikasi gambar. Mereka juga menggunakan istilah-istilah baru saat
berkomunikasi secara online (Chatting) seperti LOL (laugh out loud) atau
GTGPOS (Got To Go Parents Over Shoulder). Selain itu juga, Generasi Digital
dapat berkomunikasi melalui media live treamming baik komunikasi satu
arah dengan media Twitch dan Ustream maupun dua arah melalui video-
conferences dengan media Skype..


Karakter Generasi Digital yang menuntut kecepatan ini juga sangat
berpengaruh terhadap bagaimana cara mereka belajar dan memperoleh
pengetahuan. Informasi yang dibutuhkan untuk kepentingan pendidikan
maupun pribadi akan mereka akses dari berbagai sumber dengan cepat
dan mudah (instant). Survey dari JWT Intellegent (2012) mengungkapkan
bahwa cara belajar Generasi Digital (di Amerika) dan bagaimana mereka
memperoleh pengetahuan dilakukan sebagian besar secara daring
melalui media internet. 85% mahasiswa melakukan penelitian secara
daring, 33% pelajar menonton pelajaran secara daring, 32% mengerjakan
tugas kelompok yang diberikan gurunya secara daring, 25% pembelajaran
kelas dan ujian sudah menggunakan sistem daring serta 20% pelajar
membaca literatur berupa e-book melalui media tablet. Literatur berupa
buku dan mencari buku ke gedung perpustakaan sudah jarang dilakukan
oleh para Generasi Digital ini.


Social Media Network
Karakter yang lain dari Generasi Digital ini adalah mereka lebih menyukai

27 Buletin Sancaya Digital




berinteraksi secara impersonal melalui dunia maya (Cyber), melalui media
jejaring sosial (Facebook, Twitter, Yahoo Messengger, hingga BBM)
daripada dunia nyata. Melalui media sosial ini mereka sangat intens
berkomunikasi dan berinteraksi dengan semua kalangan, khususnya
dengan teman sebaya. Melalui media ini, mereka bisa mengekspresikan
apa yang dirasakan dan dipikirkannya secara spontan. Mereka juga
cenderung toleran dengan perbedaan kultur dan sangat peduli dengan
lingkungan. Mereka terbiasa bekerjasama dengan orang lain tanpa harus
bertatap muka. Misalnya, mereka saling mengirimkan hasil pekerjaan
mereka melalui email. Untuk rapat-rapat koordinasi atau kerja tim,
mereka melakukan obrolan atau diskusi via online.

Di sisi lain, mereka cenderung kurang dalam berkomunikasi langsung
secara verbal, cenderung egosentris dan individualis, cenderung ingin
serba instan, tidak sabaran, dan tidak menghargai proses. Kecerdasan
Intelektual (IQ) mereka mungkin akan berkembang baik, tetapi
kecerdasan emosional mereka cenderung jadi tumpul dan kurang peka
terhadap dunia nyata yang paling dekat di sekitarnya sehingga
dipersepsikan bahwa Generasi Digital antisosial. Majalah Time (19/3/2008)
menyebutkan bahwa dengan stimulasi SMS, MP3, telepon, dan chatting,
yang bersifat terus-menerus pada anak-anak akan terbentuk
ketidakpekaan dan ketidakacuhan saat mereka berusia 25 atau 30 tahun
nanti.


Berbeda dengan persepsi negatif bahwa Generasi Digital antisosial,
Tapscott (2008) justru menunjukkan bahwa mereka sangat peduli
terhadap isu-isu lingkungan. Data dari Unilever Project Sunlight sebagai
mana dikutip JWT Intellegent (2013) menunjukkan bahwa 80% Generasi
Digital (di Amerika) sangat memahami dampak-dampak yang dapat
ditimbulkan oleh manusia terhadap lingkungan hidup dan bumi, 78%
sangat perhatian terhadap isu kelaparan di dunia dan 77% sangat
perhatian terhadap isu wabah penyakit yang menjangkiti anak-anak di
dunia. Mereka juga sangat memperhatikan isu keadilan dan persoalan
masyarakat dan secara tipikal terlibat dalam aktivitas warga di sekolah, di
tempat kerja, atau di komunitas mereka. Kaum muda yang menjadi

28




























http://sentradayakreasi.co.id/wp-content/uploads/2016/11/v.jpg

relawan terus meningkat. Tapscott merasa memiliki alasan untuk bersikap
optimistis terhadap masa depan generasi ini. Sebagai generasi global
yang pertama, kata Tapscott, Generasi Digital lebih cerdas, lebih cepat,
dan lebih toleran terhadap keragaman dibandingkan pendahulu mereka.

Sebagai generasi yang tumbuh bersama Internet dan media sosial,
Generasi Digital membentuk nilai-nilai baru. Mereka menghargai
kebebasan (biarkan kami memilih), menginginkan kustomisasi (saya suka
yang ini), mewaspadai setiap hal (oke, saya akan cek dulu), membangun
relasi dan kolaborasi, menjunjung integritas institusi dan korporasi
(apakah perusahaan ini pro-lingkungan?), ingin bersenang-senang saat
bersekolah dan bekerja, percaya bahwa kecepatan sebagai hal yang
normal, dan menganggap inovasi sebagai fakta kehidupan. Mereka
memandang kehidupan secara berbeda.

Entrepreneurial Spirit
Kecenderungan kurangnya kaum Generasi Digital dalam berkomunikasi
langsung secara verbal, cenderung egosentris dan individualis, cenderung
ingin serba instan, tidak sabaran, dan tidak menghargai proses ini telah

29 Buletin Sancaya Digital




membentuk suatu budaya kerja yang disebut DIY (“Do It Yourself”) Culture.
Budaya DIY ini selanjutnya akan membentuk Entrepreneurial Spirit karena
didukung oleh melimpahnya sumber informasi digital yang dapat dengan
mudahnya menunjukan berbagai contoh bisnis besar dan
menguntungkan secara finansial, cara kerja perusahaan sukses, figur
pengusaha ternama serta segala sumber daya yang dibutuhkan untuk
berbisnis, termasuk maraknya bisnis online itu sendiri.

Millenial Branding and Ranstad US. (2014) mengungkap adanya
Entrepreneurial Spirit ini melalui survey yang dilakukannya yang
menyatakan bahwa 72% pelajar SMU (di Amerika) memiliki keinginan
untuk membangun bisnisnya sendiri sesegera mungkin. 76% ingin
membangun bisnisnya dari hobi yang diminatinya sekarang. 61% pelajar
SMU (di Amerika) lebih bercita-cita menjadi pengusaha (entrepreneur)
daripada menjadi pegawai dari sebuah perusahaan. Karakteristik khas
Generasi Digital tersebut memiliki dua sisi yang berlawanan, dapat positif
atau memberikan manfaat bagi dirinya dan atau lingkungannya- atau
justru malah negatif yang dapat merugikan diri sendiri maupun
lingkungannya. Karena mereka fasih dengan teknologi digital, mereka
yang masih berminat bekerja di sebuah perusahaan pun hanya sangat
cocok bekerja di perusahaan besar, perusahaan yang mampu
menyediakan fasilitas modern. Namun mereka akan kesulitan jika diminta
mengelola sebidang tanah, dengan fasilitas pengairan, dan modal uang
secukupnya. Karena yang ada di benak mereka adalah komputer, laptop
dan HP, bukan peternakan, perikanan dan pertanian.


B. Gaya Belajar Generasi Digital

Mempelajari dan memahami karakter dasar dari Generasi Digital
sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, dapat membantu
menginformasikan kepada Institusi Pendidikan tentang cara mendekati
Generasi Digital dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada
mereka agar dapat berelasi dengan mereka secara efektif.

30




Ian Jukes, Ted McCain dan Lee Crockett (2010) dalam buku Understanding
the Digital Generation: Teaching and Learning in the New Digital Landscape,
mengeksplorasi isu tentang bagaimana dunia digital mentransformasikan
pengajaran dan pembelajaran (teaching and learning). Para guru dan
orang tua dihadapkan pada tantangan yang belum pernah dijumpai
karena mereka harus mendidik 'Generasi Digital'.


Sebagaimana telah dibahas oleh Don Tapscott, generasi ini
mengembangkan nilai-nilai yang berbeda dari generasi-generasi
sebelumnya. Terdapat kesenjangan pengalaman hidup antara guru dan
orang tua yang termasuk ke dalam Generasi Analog dengan anak didik
masa sekarang yang termasuk dalam Generasi Digital yang begitu akrab
dengan peranti digital, gadget, tablet, maupun media interaktif lain. Dunia
digital melahirkan cara pandang pada anak-anak ini, yang berbeda dari
orang tuanya. Mereka mengembangkan pikiran 'hipertext' dan
'hyperlinked'—segala sesuatu memiliki jejaring. Di bagian-bagian akhir
buku mereka, Jukes dan kawan-kawan menawarkan jalan keluar yang
baru bagi para guru. Di antaranya, guru harus mengajar secara visual,
mengizinkan anak-anak belajar secara kolaboratif, mengizinkan anak-
anak mengakses informasi secara alamiah (menurut cara mereka), dan
guru harus rela untuk tidak terlalu berperan dalam proses pengajaran
sebagai orang yang paling mengerti. Tawaran Jukes tersebut menarik, tapi
tentu saja tidak mudah mengubah kultur yang sudah berkembang dan
dijadikan pegangan guru yang berasal dari generasi sebelum Generasi
Digital'. Inilah tantangannya.

Para ahli pembelajaran dan peneliti pendidikan seperti Marc Prensky
(Teaching Digital Natives), Don Tapscott (Grown Up Digital), dan Josh Spear
(Undercurrent.com) telah membahas masalah kesenjangan digital dalam
pendidikan, dengan membuka perbincangan yang menyemangati dan
mengasyikkan di antara para pengajar dari berbagai tingkat. Para ahli
yang lain sepakat dengan Prensky yaitu Tapscott menyatakan delapan
karakteristik generasi muda masa kini mengenai apa yang ia sebut "Net
Generation Norms". Berikut ini adalah ringkasan dari Norma-Norma

31 Buletin Sancaya Digital




Tapscott tentang Generasi Digital yang telah dipadukan penerapannya
dalam dunia pendidikan dengan mengacu pada tulisan Jennifer Hooks
(2015), Teaching Digital Natives. Norma-norma tersebut juga dapat
diinterpretasikan sebagai gaya belajar mereka, yaitu:

1. Kebebasan, Menolak Terkekang: Generasi Digital hidup dalam
kebebasan digital. Mereka mengharapkan kebebasan dalam
segala sesuatu yang mereka lakukan. "Pilihan itu seumpama
oksigen bagi mereka," tulis Tim Windsor, penulis blog "Zero
Percent Idle". Dalam kehidupan nyata, mereka pun cenderung
menuntut rentang kebebasan yang lebih. Ketika sekolah dan
rumah dikuasai oleh orang dewasa, Generasi Digital memilih
berinteraksi di media sosial sebagai ruang-ruang baru yang
mereka kuasai.

2. Bermain, Bukan Hanya Belajar: Anak-anak Generasi Digital
menjalani hidup dengan semangat bermain. Tidak ada kesulitan,
yang ada adalah tantangan yang ingin mereka atasi untuk
menyelesaikan permainan. Dalam bekerja pun, mereka tetap
menggunakan logika bermain sehingga cenderung menolak
pekerjaan rutin yang tanpa makna. Generasi Digital lebih
menyenangi alat bantu atau metode pembelajaran yang
menekankan sisi interaksi dan visualisasi. Dalam belajar, lebih
menyukai hal-hal yang bersifat aplikatif dan menyenangkan.
Metode pembelajaran yang dikembangkan harus mampu
mengakomodasi kecenderungan cara belajar yang mereka miliki,
salah satunya melalui pendekatan Pembelajaran Berpusatkan
Model (PBM) yaitu pembelajaran yang menggunakan model,
perangkat yang dikonstruksi dan simulasi dinamika sistem untuk
menghasilkan penyajian yang beragam untuk menolong siswa
mengembangkan pengertian dari fenomena yang kompleks dan
dinamis (Milrad, dkk, dalam Hazrul Iswadi, 2012).

3. Ekspresif, Tidak Hanya Reseptif: Generasi Digital senang
mengekspresikan diri. Dalam dunia digital, mereka bisa hadir dan

32




diakui sebagai individu. Hampir semua hal kesukaan
diekspresikan melalui media sosial. Mereka enggan melakukan
perjumpaan yang menempatkan mereka hanya sebagai reseptif,
menerima mentah-mentah ekspresi dari generasi sebelumnya.
Mereka juga senang menyesuaikan dan menjadikannya sesuai
selera (Customized). Anak-anak dapat mengubah media tempat
mereka belajarl – menyesuaikan segala hal dari nada dering
mereka hingga konten daring yang mereka ciptakan.

4. Cepat, Enggan Menunggu: sebagai dunia digital yang ukurannya
adalah kecepatan, generasi digital native pun ingin menjalani
kehidupan dengan cepat. Mereka mengharapkan dan
"membutuhkan" kecepatan. Mungkin salah satu sifat pembeda
terbesar dari generasi digital adalah kebutuhan atau permintaan
mereka akan informasi instan dan komunikasi yang cepat. Ketika
ada keadaan yang memaksa mereka untuk menunggu maka akan
beralih pada kegiatan lain seperti mendengarkan musik, bermain
games dan lainnya.

5. Mencari, Bukan Menunggu Instruksi: Mereka tidak suka diajari.
Mereka lebih memilih belajar dengan mencari sendiri konten di
dunia digital. Mereka gunakan mesin pencari. Mereka cari video
tutorial di youtube dan belajar sendiri. Mereka juga secara
alamiah dan intens mengamati dengan teliti apa pun yang mereka
lihat secara daring, menilai dan meninjau secara terus-menerus,
dan akhirnya mengharapkan lebih lagi dari berbagai penyedia
konten, sumber-sumber, atau produk daring.


6. Unggah, Bukan Hanya Unduh: Perkembangan teknologi web 2.0
memungkinkan siapapun untuk mengunggah konten.
Dampaknya, generasi digital bukan hanya mengungguh tapi juga
mengunggah konten. Mereka merasa tidak eksis bila tidak
mengunggah konten di internet.

33 Buletin Sancaya Digital




7. Interaktif, Bukan Hanya Komunikasi Searah: Mereka cenderung
menolak komunikasi searah dalam bentuk apapun, offline
maupun online. Mereka senang bila bisa mengkustomisasi sebuah
konten sesuai dengan selera mereka.

8. Berkolaborasi, Tak Hanya Berkompetisi: Dunia digital
mendorong orang untuk berbagi dan berkolaborasi. Sebuah karya
bisa dicipta ulang oleh banyak orang sesuai kreativitas masing-
masing. Begitu pula karakter generasi digital native yang suka
berkontribusi sesuai kemampuan dalam sebuah aktivitas
bersama. Mereka menginginkan dan mengharapkan kolaborasi
dan hubungan. Di mana-mana, Generasi Digital secara konstan
berkolaborasi melalui media sosial, video game dengan banyak
pengguna, berbagi file, ber-SMS, dan banyak lagi. Mereka mencari
pengaruh, saran, dan pengalaman orang lain, hampir dari menit
ke menit. Untuk mengakomodir kecenderungan anak Generasi
Digital dalam bermedia-sosial online, Bukik (2012) menawarkan
pemikiran kreatifnya tentang “Twitter untuk Pendidikan:
Melejitkan Kreativitas”. Disebutkan, bahwa men-tweet tidak
sekedar menghafalkan pelajaran tetapi justru merupakan sebuah
tantangan untuk menciptakan pelajaran. Proses men-tweet itu
sendiri merupakan upaya menciptakan bangunan pemahaman.
Otak tidak pasif, justru aktif melakukan penemuan dan
penciptaan. Otak yang aktif ini merupakan tanda dari senyatanya
pembelajaran. Sementara itu, Akhmad Sudrajat (2009),
menggagas tentang Konseling FaceBook di Sekolah, yang intinya
tentang upaya memanfaatkan kehadiran FaceBook untuk
mendukung efektivitas pelayanan Bimbingan dan Konseling di
sekolah

Di samping perkembangan teknologi informasi di dunia maya, perlu
kiranya dirancang pendidikan khusus bagi para pelajar (termasuk
mahasiswa) dari Generasi Digital sejak dini. Orang tua dan Pengajar (guru
dan dosen), harus bekerjasama membimbing mereka guna
memanfaatkan media internet secara sehat. Ketika mereka dibimbing dan

34




diarahkan untuk memanfaatkan teknologi informasi, akan lahir generasi
sehat dan cerdas. Setelah mereka dewasa, akan sanggup bersaing dengan
bangsa lain dalam hal penggunaan teknologi media (ICT literacy).

Berbicara pendidikan digital (digital education), pada dasarnya berbicara
proses komunikasi dan informasi antara pendidik dengan peserta didik,
dan orang tua terhadap anak. Ada pun komponen-komponen yang
mendukung terselenggaranya pendidikan digital ini, pertama, terdapat
sistem aplikasi yang dapat memetakan proses pembelajaran seperti ujian
online, diskusi, dan sistem penilaian (e-leraning system). Kedua, lebih
memperhatikan pada konten (isi) yang diberikan seperti, multimedia-
based conten (konten berbentuk multimedia interaktif) atau bisa juga
konten bebentuk teks (e-learning content). Ketiga, terkait dengan sarana
dan prasarana perangkat keras seperti PC, jaringan internet, perangkat
multimedia, termasuk teleconference (e-learning infrastructure).

Semua itu tidak semudah diketahui dan dipaparkan. Lebih dari itu, sikap
kritis merupakan suatu keharusan yang mesti ditanamkan setiap orang,

35 Buletin Sancaya Digital




khususnya bagi para orang tua, guru/dosen, dan mahasiswa. Ini dilakukan
agar di era digital ini, anak-anak di bawah generasi kita tidak buta
terhadap teknologi informasi — meminjam istilah Antonio Gramsci – tidak
dihegemoni “subjek media” atau dengan kata lain tidak semena-mena
mengonsumsi informasi. Menjadi tanggung jawab bersama khususnya
bagi dunia pendidikan untuk melahirkan anak bangsa yang sadar
terhadap dampak negatif media hingga akhirnya Generasi Digital bisa
dibawa pada kebiasaan etis berinternet guna mendukung proses
pendidikan dan pembelajaran bagi mereka serta mampu melejitkan
kreatifitas, inovasi dan entrepreneurial spirit mereka.

Pustaka:
Cespedes, K. A. (2008), “Design Education of the Digital Native”, 2008-2010
Joint Study Journal, 103-106.
Jennifer Hooks, Teaching Digital Natives. Children Ministry
http://childrensministry.com/articles/teaching-digital-natives/ [17
November 2015]
Jukes, I., McCain, T. & Crockett, L. (2010) Understanding the Digital
Generation: Teaching and Learning in the New Digital Landscape,
Thousand Oaks, CA : Corwin Gardner, H. & Davis, K. (2013) The App
Generation: How Today's Youth Navigate Identity, Intimacy, and
Imagination in a Digital World, Yale University Press.
Palfrey, J.& Gasser, U. (2010) Born Digital: Understanding the First
Generation of Digital Natives, Basic Books.
Taylor, Mark. (2010) “Teaching Generation Next: A Pedagogy for Today's
Learner” in A collection of papers on Self-Study and Institutional
Improvement. 26th edition. Chicago: The Higher Learning
Commission, hal. 192-196.
Study Guides and Strategies: Active Learning. [Online]. Available:
http://www.studygs.net/activelearn.htm [22 November 2015]
Tapscott, D. (2008) Grown Up Digital: How the Net Generation is Changing
Your World, New York: McGraw Hill.

36


Click to View FlipBook Version