50 a. Mengevaluasi 1) Memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan dan metodologi dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya. 2) Membuat hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian. 3) Menerima atau menolak suatu pernyataan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. b. Mengkreasi 1) Membuat generalisasi suatu ide atau cara pandang terhadap sesuatu. 2) Merancang suatu cara untuk menyelesaikan masalah. 3) Mengorganisasikan usur-unsur atau bagian-bagian menjadi struktur baru yang belum pernah ada sebelumnya. c. Penguatan Profil Pelajar Pancasila 1) Tentang Profil Pelajar Pancasila Istilah Profil Pelajar Pancasila dalam pendidikan didasarkan pada Visi Kemendikbud 2020-2024. Visi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah mendukung Visi dan Misi Presiden untuk mewujudkan Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebinekaan global. Keenam ciri tersebut dijabarkan sebagai berikut: (a) Beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia. Pelajar Indonesia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, danberakhlak mulia adalah pelajar yang berakhlak dalam hubungannyadengan Tuhan Yang Maha Esa. Ia memahami ajaran agama dan kepercayaannya serta menerapkan pemahaman tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Ada lima elemen kunci beriman, bertakwakepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia: (a) akhlak beragama; (b) akhlakpribadi; (c) akhlak kepada manusia; (d) akhlak kepada alam; dan (e) akhlak bernegara. (b) Berkebinekaan global Pelajar Indonesia mempertahankan budaya luhur, lokalitas danidentitasnya, dan tetap berpikiran terbuka dalam berinteraksi denganbudaya lain, sehingga menumbuhkan rasa saling menghargai dankemungkinan terbentuknya budaya baru yang positif dan tidakbertentangan dengan budaya luhur bangsa. Elemen kunci dariberkebinekaan global meliputi mengenal dan menghargai budaya,kemampuan komunikasi interkultural dalam berinteraksi dengan sesama,dan refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan.
51 (c) Bergotong royong Pelajar Indonesia memiliki kemampuan bergotong-royong, yaitu kemampuan untuk melakukan kegiatan secara bersama-sama dengan suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan lancar, mudah dan ringan. Elemen-elemen dari bergotong royong adalah kolaborasi,kepedulian, dan berbagi. (d) Mandiri Pelajar Indonesia merupakan pelajar mandiri, yaitu pelajar yang bertanggung jawab atas proses dan hasil belajarnya. Elemen kunci dari mandiri terdiri dari kesadaran akan diri dan situasi yang dihadapi serta regulasi diri. (e) Bernalar kritis Pelajar yang bernalar kritis mampu secara objektif memproses informasibaik kualitatif maupun kuantitatif, membangun keterkaitan antara berbagai informasi, menganalisis informasi, mengevaluasi dan menyimpulkannya. Elemen-elemen dari bernalar kritis adalah memperoleh dan memproses informasi dan gagasan, menganalisis dan mengevaluasi penalaran, merefleksi pemikiran dan proses berpikir, dan mengambil keputusan. (f) Kreatif Pelajar yang kreatif mampu memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yangorisinal, bermakna, bermanfaat, dan berdampak. Elemen kunci dari kreatif terdiri dari menghasilkan gagasan yang orisinal serta menghasilkankarya dan tindakan yang orisinal. 2) Strategi Penguatan Profil Pelajar Pancasila dalam Pembelajaran Implementasi penguatan profil pelajar pancasila dalam pembelajaran dilakukan melalui pendekatan intrakurikuler, ekstrakurikuler dan budaya sekolah. d. Penguatan Literasi dalam Pembelajaran PAI 1) Konsep Literasi dan GLS Literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori. Di abad 21 ini, kemampuan ini disebut sebagai literasi informasi. Ferguson menjabarkan komponen literasi informasi sebagai berikut: Literasi Dasar (Basic Literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung. Dalam literasi dasar, kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan (calculating), mempersepsikan informasi (perceiving),
52 mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi (drawing) berdasar pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi. Literasi Perpustakaan (Library literacy), yaitu kemampuan lanjutan untuk bisa mengoptimalkan Literasi Perpustakaan yang ada. Maksudnya, pemahaman tentang keberadaan perpustakaan sebagai salah satu akses mendapatkan informasi. Pada dasarnya literasi perpustakaan, antara lain, memberikan pemahaman cara membedakan bacaan aksi dan nonaksi, memanfaatkan kolesi referensi dan periodikal, memahami Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan dalam menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan katalog dan pengindeksan, hingga memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah. Literasi Media (Media Literacy), yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda, seperti media cetak, media elektronik (media radio, media televisi), media digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya. Secara gamblang saat ini bisa dilihat di masyarakat kita bahwa media lebih sebagai hiburan semata. Kita belum terlalu jauh memanfaatkan media sebagai alat untuk pemenuhan informasi tentang pengetahuan dan memberikan persepsi positif dalam menambah pengetahuan. Literaci tekhnologi (Technology Literacy), yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi. Berikutnya, dapat memahami teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet. Dalam praktiknya, juga pemahaman menggunakan komputer (Computer Literacy) yang di dalamnya mencakup menghidupkan dan mematikan komputer, menyimpan dan mengelola data, serta menjalankan program perangkat lunak. Sejalan dengan membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini, diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang dibutuhkan masyarakat. Literasi Visual (Visual Literacy), adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audiovisual secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap materi visual yang setiap hari membanjiri kita, baik dalam bentuk tercetak, di televisi maupun internet, haruslah terkelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan yang benar-benar perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan. Literasi yang komprehensif dan saling terkait ini memampukan seseorang untuk berkontribusi
53 kepada masyarakatnya sesuai dengan kompetensi dan perannya sebagai warga negara global (global citizen). Dalam konteks Indonesia, kelima keterampilan tersebut perlu diawali dengan literasi usia dini yang mencakup fonetik, alfabet, kosa kata, sadar dan memaknai materi cetak (print awareness), dan kemampuan menggambarkan dan menceritakan kembali (narrative skills). Pemahaman literasi dini sangat penting dipahami oleh masyarakat karena menjamurnya lembaga bimbingan belajar baca-tulis-hitung bagi batita dan balita dengan cara yang kurang sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, perlu diberi perhatian terhadap keberlangsungan pendidikan literasi usia dini berlanjut ke literasi dasar.Dalam pendidikan formal, peran aktif para pemangku kepentingan, yaitu kepala sekolah, guru, tenaga pendidik, dan pustakawan sangat berpengaruh untuk memfasilitasi pengem- bangan komponen literasi peserta didik. Selain itu, diperlukan juga pendekatan cara belajar-mengajar yang keberpihakannya jelas tertuju kepada komponen-komponen literasi ini. Kesempatan peserta didik terpajan dengan kelima komponen literasi akan menentukan kesiapan peserta didik berinteraksi dengan literasi visual. Sebagai langkah awal, dapat disimpulkan bahwa diperlukan perubahan paradigma semua pemangku kepentingan untuk terciptanya lingkungan literasi ini. 2) Tujuan Gerakan Literasi Sekolah Tujuan umum GLS adalah menumbuh kembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam gerakan literasi sekolah agar menjadi pembelajar sepanjang hayat. Sementara itu tujuan khusus GLS adalah: (a) Menumbuhkembangkan budi pekerti. (b)Membangun ekosistem literasi sekolah. (c)Menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran (learning organization); (d)Mempraktikkan kegiatan pengelolaan pengetahuan (knowledge management). (e) Menjaga keberlanjutan budaya literasi 3) Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah Menurut Beers (2009), praktik-praktik yang baik dalam gerakan literasi sekolah menekankan prinsip-prinsip sebagai berikut: (a) Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang bisa diprediksi. (b) Program literasi yang baik bersifat berimbang Sekolah yang menerapkan program literasi berimbang menyadari bahwa tiap peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda satu sama
54 lain. Dengan demikian, diperlukan berbagai strategi membaca dan jenis teks yang bervariasi pula. (c) Program literasi berlangsung di semua area kurikulum Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah adalah tanggung jawab semua guru di semua mata pelajaran. Pembelajaran di mata pelajaran apapun membutuhkan bahasa, terutama membaca dan menulis. Dengan demikian, pengembangan profesional guru dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru semua mata pelajaran.Tidak ada istilah terlalu banyak untuk membaca dan menulis yang bermakna Kegiatan membaca dan menulis di kelas perlu dilakukan kapan pun kondisi kelas memungkinkan. Untuk itu, perlu ditekankan bentuk kegiatan yang bermakna dan kontekstual. Misalnya, menulis surat untuk wali kota atau membaca untuk ibu adalah contoh-contoh kegiatan yang bermakna dan memberikan kesan kuat kepada peserta didik. (d) Diskusi dan strategi bahasa lisan sangat penting. Kelas berbasis literasi yang kuat akan melakukan berbagai kegiatan lisan berupa diskusi tentang buku selama pembelajaran di kelas. Kegiatan diskusi ini juga harus membuka kemungkinan untuk perbedaan pendapat agar kemampuan berpikir kritis dapat diasah. Peserta didik perlu belajar untuk menyampaikan perasaan dan pendapatnya, saling mendengarkan, dan menghormati perbedaan pandangan satu sama lain. (e) Keberagaman perlu dirayakan di kelas dan sekolah. Penting bagi pendidik untuk tidak hanya menerima perbedaan, namun juga merayakannya melalui agenda literasi di sekolah. Buku-buku yang disediakan untuk bahan bacaan peserta didik perlu merefleksikan kekayaan budaya Indonesia agar peserta didik dapat terpajan pada pengalaman multikultural sebanyak mungkin. 4) Strategi Membangun Budaya Literasi Sekolah Sekolah memiliki peran yang amat penting dalam menanamkan budaya literat pada anak didik. Untuk itu, setiap sekolah harus memberikan dukungan penuh terhadap pengembangan literasi. Di sekolah dengan budaya literasi yang tinggi, peserta didik akan cenderung lebih berhasil dan guru lebih bersemangat mengajar. Perlu dipahami bahwa program membaca seperti membaca dalam hati dan membaca nyaring hanyalah bagian dari kerangka besar untuk membangun budaya literasi sekolah. Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam pengembangan budaya literat, Beers, dkk. (2009) dalam buku A Principal’s Guide to Literacy Instruction menyampaikan beberapa strategi untuk menciptakan budaya literasi yang positif di sekolah.
55 (a)Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi. Lingkungan fsik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan warga sekolah. Oleh karena itu, lingkungan fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk pembelajaran. Sekolah yang mendukung pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang karya peserta didik di seluruh area sekolah, termasuk koridor, kantor kepala sekolah dan guru. Selain itu, karya-karya peserta didik diganti secara rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua peserta didik. Selain itu, peserta didik dapat mengakses buku dan bahan bacaan lain di Sudut Baca yang terletak di kelas, kantor, dan area lain di sekolah. Ruang pimpinan dengan pajangan karya peserta didik akan memberikan kesan positif tentang komitmen sekolah terhadap pengembangan budaya literasi. (b) Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai model komunikasi dan interaksi literat. Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi dan interaksi seluruh komponen sekolah. Hal itu dapat dikembangkan dengan pengakuan atas capaian peserta didik sepanjang tahun. Pemberian penghargaan dapat dilakukan saat upacara bendera setiap minggu untuk menghargai kemajuan peserta didik di semua aspek. Prestasi yang dihargai bukan hanya akademik, tetapi juga sikap dan upaya peserta didik. Dengan demikian, setiap peserta didik mempunyai kesempatan untuk memperoleh penghargaan sekolah. Selain itu, literasi diharapkan dapat mewarnai semua perayaan penting di sepanjang tahun pelajaran. Ini bisa direalisasikan dalam bentuk festival buku, lomba poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya. Pimpinan sekolah selayaknya berperan aktif dalam menggerakkan literasi, antara lain dengan membangun budaya kolaboratif antar guru dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap orang dapat terlibat sesuai kepakaran masing- masing. Peran orang tua sebagai relawan gerakan literasi akan semakin memperkuat komitmen sekolah dalam pengembangan budaya literasi. (c)Mengupayakan sekolah sebagai lingkunan akademik yang literat. Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan gerakan literasi di sekolah. Sekolah sebaiknya memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan membaca dalam hati dan guru membacakan buku dengan nyaring selama 15 menit sebelum pelajaran berlangsung. Untuk menunjang kemampuan guru dan staf, mereka perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti program bimtek tenaga
56 kependidikan untuk peningkatan pemahaman tentang program literasi, pelaksanaan, dan keterlaksanaannya. e. Moderasi Beragama (1) Konsep Moderasi Beragama (Wasathiyah) Kajian terhadap konsep moderasi beragama (wasathiyyah) telah menarik perhatian banyak ilmuwan di berbagai bidang seperti sosiopolitik, bahasa, pembangunan Islam, sosial-keagamaan, dan pendidikan Islam. Terminologi ini merupakan terminologi dari sekian terminologi yang sering digunakan untuk menyebut label-label umat Islam seperti islam modernis, progresif, dan reformis. Seperti diakui El-Fadl, terminologi moderat ini dianggap paling tepat di antara terminologi yang lain. Meski orang-orang moderat juga sering digambarkan sebagai kelompok modernis, progresif, dan reformis, tidak satupun dari istilahistilah tersebut yang menggantikan istilah moderat. Hal ini didasarkan pada legitimasi al-Qur’an dan hadist Nabi bahwa umat islam diperintahkan untuk menjadi orang moderat. Disinilah istilah moderat menemukan akarnya di dalam tradisi Islam, apalagi terminologi wasathiyyah ini merupakan identitas dan watak dasar Islam. Konsep wasathiyyah dalam beberapa literatur keislaman ditafsirkan secara beragam oleh para ahli. Menurut al-Salabi kata wasathiyyah memiliki banyak arti. Pertama, dari akar kata wasth, berupa dharaf, yang berarti baina (antara). Kedua, dari akar kata wasatha, yang mengandung banyak arti, diantaranya: (1) berupa isim (kata benda) yang mengandung pengertian antara dua ujung; (2) berupa sifat yang bermakna (khiyar) terpilih, terutama, terbaik; (3) wasath yang bermakna al-‘adl atau adil; (4) wasath juga bisa bermakna sesuatu yang berada di antara yang baik (jayyid) dan yang buruk (radi’). Sama dengan pemaknaan al-Sallabi, Kamali menganalisis wasathiyyah sinonim dengan kata tawassuṭ, I’tidâl, tawâzun, iqtiṣâd. Istilah moderasi ini terkait erat dengan keadilan, dan ini berarti memilih posisi tengah di antara ekstremitas. Kebalikan dari wasathiyyah adalah tatarruf, yang menunjukkan makna “kecenderungan ke arah pinggiran” “ekstremisme,” “radikalisme,” dan “berlebihan”. Sedangkan Qardhawi mengidentifikasi wasathiyah ke dalam beberapa makna yang lebih luas, seperti adil, istiqamah, terpilih dan terbaik, keamanan, kekuatan, dan persatuan. Terlepas dari berbagai pemaknaan di atas, Hilmy mengidentifikasi beberapa karakteristik penggunaan konsep moderasi dalam konteks Islam Indonesia, diantaranya; 1) ideologi tanpa kekerasan dalam menyebarkan Islam; 2) mengadopsi cara hidup modern dengan semua turunannya, termasuk sains dan teknologi, demokrasi, hak asasi
57 manusia dan sejenisnya; 3) penggunaan cara berfikir rasional; 4) pendekatan kontekstual dalam memahami Islam, dan; 5) penggunaan ijtihad (kerja intelektual untuk membuat opini hukum jika tidak ada justifikasi eksplisit dari Al Qur'an dan Hadist). Lima karakteristik bisa diperluas menjadi beberapa karakteristik yang lain seperti toleransi, harmoni dan kerjasama antar kelompok agama. Beberapa pemaknaan wasathiyyah di atas menunjukkan bahwa terminologi ini sangat dinamis dan kontekstual. Terminologi ini juga tidak hanya berdiri pada satu aspek, tetapi juga melibatkan keseimbangan antara pikiran dan wahyu, materi dan spirit, hak dan kewajiban, individualisme dan kolektivisme, teks (Alquran dan Sunnah) dan interpretasi pribadi (ijtihad), ideal dan realita, yang permanen dan sementara, yang kesemuanya terjalin secara terpadu. Itulah kenapa Hanapi menyebut wasathiyah merupakan pendekatan yang komprehensif dan terpadu. Konsep ini sebenarnya meminta umat Islam untuk mempraktikkan Islam secara seimbang dan komprehensif dalam semua aspek kehidupan masyarakat dengan memusatkan perhatian pada peningkatan kualitas kehidupan manusia yang terkait dengan pengembangan pengetahuan, pembangunan manusia, sistem ekonomi dan keuangan, sistem politik, sistem pendidikan, kebangsaan, pertahanan, persatuan, persamaan antar ras, dan lainnya. Tidak heran jika ummah wasath (muslim moderat) menjadi model yang akan dipersaksikan di hadapan umat-umat yang lain. (2) Moderasi Beragama Sebagai Arus Utama Pendidikan Islam Sebagai pendekatan komprehensif dan terpadu, moderasi beragama juga harus menjadi identitas, visi, corak,dan karateristik utama pendidikan Islam, bukan sekedar nilai partikular. Disini diperlukan langkah yang lebih konstruktif dengan menempatkan moderasi beragama sebagai arus utama pendidikan Islam. Beberapa program pengarusutamaan ini memancing diskusi lebih lanjut sejauhmana Islam moderat menjadi identitas pendidikan Islam. Namun, melihat wacana dan program yang dilakukan, setidaknya bisa dianalisis dari tiga hal. Pertama, adanya kekhawatiran menguatnya gerakan ekstrimisme, intoleran, dan radikalisme-terorisme dalam pendidikan Islam. Dalam rangka menghadang gerakan ini, moderasi beragama dianggap perlu menjadi arus utama mengingat coraknya yang inklusif dan toleran. Kedua, pengarusutamaan ini bisa dibaca sebagai tindak lanjut dan penguatan Islam Nusantara, dimana karakter utamanya adalah moderat. Terlebih pendidkan Islam Nusantara memiliki akar historis sebagai bagian dari institusi sosial-keagamaan yang bercorak moderat. Ketiga, adanya kebutuhan untuk melakukan reformasi
58 pendidikan Islam di tengah kompleksitas masalah global, yang diantaranya adalah tidak adanya keseimbangan antara intelektualitas dengan moralitas, modernitas dengan spiritualitas, dan ketidakseimbangan lainnya dalam semua aspek kehidupan. (3) Konstruksi Wasathiyyah dalam Kurikulum (a) Prinsip Moderasi Kurikulum Dalam melakukan konstruksi moderasi kurikulum, yang pertamakali diperlukan adalah rumusan prinsip-prinsip yang akan menjadi acuannya. Prinsip ini menyediakan petunjuk bagi pelaksanaan setiap aktivitas, dan oleh karenanya prinsip memiliki peran penting dalam mengembangkan berbagai kerja intelektual, termasuk di dalam membuat kurikulum. Merujuk pada prinsip-prinsip yang digali dari moderasi Islam, kurikulum pen–didikan Islam bisa dikembangan dengan mengacu pada beberapa prinsip sebagai berikut: Prinsip Universal Salah satu prinsip mendasar moderasi beragama adalah prinsip universal. Prinsip universal kurikulum berangkat dari argumen bahwa Tuhan mengutus utusan untuk semua bangsa dan umat, dan oleh karena itu ajarannya mencerminkan universalitas. Oleh karena itu, muatan kurikulum harus mencakup semua aspek dan berlaku menyeluruh, tanpa dibatasi oleh sekat kedaerahan dan wilayah. Prinsip universalitas kurikulum juga menghendaki adanya totalitas dalam pengembangan potensi peserta didik, yang tercakup dalam tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum. Pendidikan Islam di banyak tempat masih diperlakukan sebagai doktrin semata sehingga ia hanya berorientasi ke dalam. Muatan, kajian, dan produk pendidikan Islam hanya untuk umat Islam (internal) dan tidak membuka peluang yang lebih longgar bagi khalayak umum (ekternal) dengan berbagai latar keagamaan yang lain, sehingga pembaca yang notabene beragama non-muslim kurang bisa menangkap pesan yang dihasilkan dari produk pendidikan Islam. Prinsip Keseimbangan Prinsip moderasi beragama juga memuat prinsip keseimbangan (tawâzun). Keseimbangan ini bisa dilihat dari aspek keseimbangan antara prilaku, sikap, nilai pengetahuan, dan keterampilan. Prinsip keseimbangan juga merupakan sikap dan orientasi hidup yang diajarkan Islam, sehingga peserta didik tidak terjebak pada ekstrimisme dalam hidupnya, tidak semata-mata mengejar kehidupan ukhrawi dengan mengabaikan kehidupan duniawi. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Islam harus didesain dengan
59 menggunakan prinsip ini. Disini kurikulum moderat dikonstruksi melalui keseimbangan antara rasionalitas, moralitas, dan spiritualitas. Prinsip Integrasi Prinsip integrasi ini juga merupakan prinsip moderasi kurikulum yang sangat penting. Dalam pengembangan kurikulum, integrasi ini banyak dibicarakan oleh para ilmuwan muslim seperti Fazlur Rahman, Seyyed Hossein Nasr, Ismail Raji` al-Faruqi, dan Syekh Muhammad Naquib al-Attas. Di Indonesia upaya integrasi ilmu juga dikembangkan oleh ilmuwan muslim seperti Kuntowijoyo dengan konsep “Pengilmuan Islam,” dengan menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma keilmuan, yang dalam hal ini bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) integralisasi yaitu pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu; (2) objektifikasi yaitu menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang. Imam Suprayogo menawarkan integrasi ini dengan mengilustrasikan sebatang pohon yang utuh, dimana kajian keagamaan harus ditopang dengan landasan keilmuan yang lain agar studi-studi keislaman bisa berdiri kokoh. Integrasi ini dalam pandangan Amin Abdullah perlu dipadukan dengan interkoneksi. Pendekatan integratif-interkonektif adalah pendekatan yang berusaha saling menghargai; keilmuan umum dan agama sadar akan keterbatasan masing-masing dalam memecahkan persoalan manusia, hal ini akan melahirkan sebuah kerja sama setidaknya saling memahami pendekatan (approach) dan metode berpikir (process and procedure) antara kedua kelimuan tersebut. Prinsip integarasi yang ditawarkan para pemikir di atas setidaknya bisa menjadi modal berharga dalam menancapkan moderasi kurikulum pendidikan Islam. Prinsip Keberagaman Prinsip moderasi beragama sebenarnya juga mengandung prinsip “Bhineka Tunggal Ika,” suatu prinsip kesetaraan dan keadilan di tengah perbedaan untuk mencapai persatuan. Prinsip ini dimaksudkan sebagai pemeliharan terhadap perbedaan-perbedaan peserta didik, baik berupa perbedaan bakat, minat, kemampuan, kebutuhan, agama, ras, etnik, dan perbedaan lainnya. Pemeliharaan terhadap perbedaan ini menambah kesesuaian antara kurikulum dengan kebutuhan- kebutuhan peserta didik dalam konteks Negara Indonesia yang multikultur. (b) Pendekatan Moderasi Kurikulum
60 Pendidikan Islam dengan karakter keislaman moderat bisa menjadi kontribusi bagi perumusan pendidikan Islam. Meminjam empat pendekatan integrasi konten kurikulum dalam pendidikan multikultural yang dikenalkan oleh Banks, konstruksi wasatiyyah dalam kurikulum pendidikan Islam bisa dianalisis dengan pendekatan kontributif (the contributions approach), pendekatan aditif/penambahan (the additive approach), pendekatan transformasi (transformation approach), dan pendekatan aksi sosial (the social action approach). Pendekatan Kontributif Karakteristik penting dari pendekatan kontribusi adalah bahwa struktur dasar, sasaran, dan karakteristik utama kurikulum tidak berubah, melainkan hanya menyisipkan konten-konten tertentu dalam mata pelajaran, yang turut berkontribusi dalam melahirkan sikap moderat, seperti tokoh-tokoh Islam nusantara, yang dianggap secara nyata memiliki pemikiran dan sikap moderat. Pendekatan kontribusi ini dapat memberi pengalaman belajar peserta didik akan ketokohan seseorang. Ketokohan ini disamping menjaga warisan sejarah, juga menghidupkan figur kepahlawanan seorang tokoh sebagai sumber teladan. Dengan pendekatan ini, moderasi beragama bukan merupakan arus utama kurikulum pendidikan Islam, melainkan sebagai nilai kontributif yang disisipkan melalui kurikulum. Meski demikian, pendekatan ini merupakan langkah yang paling minimal di dalam ide pengarusutamaan moderasi beragama. Namun, dalam beberapa aspek, ia sedikit banyak turut memberikan kontribusi bagi warna kurikulum pendidikan Islam. Pendekatan Aditif/Penambahan Pendekatan penting lainnya dalam melakukan konstruksi wasathiyyah ke dalam kurikulum adalah penambahan konten, konsep, tema, dan perspektif ke dalam kurikulum tanpa mengubah struktur dasar, tujuan, dan karakteristik kurikulum. Pendekatan penambahan bisa dilakukan dengan menambahkan sumber belajar seperti buku, atau bimtek khusus kedalam kurikulum tanpa mengubahnya secara substansial. Pendekatan ini bisa menjadi tahap pertama dalam upaya reformasi kurikulum yang dirancang untuk merestrukturisasi kurikulum secara keseluruhan dan menjadi kerangka acuan awal. Dalam melakukan konstruksi moderasi beragama dalam kurikulum, konten, materi, tema, dan perspektif moderasi beragama bisa
61 ditambahkan ke daam kurikulum. Penambahan ini tidak lain merupakan pelengkap dan bukan bagian integral dari kurikulum. Hampir sama dengan pendekatan kontributif, yang membedakan adalah pendekatan penambahan tidak cukup menyisipkan konten, melainkan perlu adanya penambahan beberapa konsep, tema, bahan ajar dan serangkaian bimtek tambahan terkait isu-isu dalam moderasi beragama. Pendekatan Tranformatif Pendekatan tranformatif sangat berbeda dengan pendekatan kontributif dan aditif. Dalam dua pendekatan tersebut, konten ditambahkan ke kurikulum inti tanpa mengubah asumsi dasar, sifat, dan strukturnya. Sedangkan, dalam pendekatan transformatif, tujuan mendasar, struktur, dan perspektif kurikulum berubah. Pendekatan transformasi ini memungkinkan peserta didik untuk melihat konsep, isu, tema, dan masalah dari berbagai sudut pandang. Perspektif arus utama adalah salah satu dari beberapa perspektif dari mana masalah, konsep, dan isu dilihat. Transformasi kurikulum berbasis moderasi beragama memerlukan perubahan paradigma, perspektif, dan struktur dasar kurikulum. Tentu saja transformasi ini tidak mudah karena harus meninjau ulang dan merubah beberapa struktur dasar kurikulum yang selama ini dijalankan. Namun, jika dilihat dari paradigma perubahan kurikulum pendidikan nasional yang pernah terjadi di Indonesia, perubahan paradigma juga sangat mungkin dilakukan dalam konteks kurikulum pendidikan Islam. Dengan menggunakan perspektif moderasi beragama, transformasi kurikulum ini akan melahirkan kurikulum yang menarik bahwa kurikulum pendidikan Islam, baik di pesantren, madrasah maupun PTKI, merupakan cermin utama dari identitas islam sebagai agama yang moderat. Gagasan ini juga sejalan dengan misi pendidikan Islam yang memiliki visi transformatif dan pemberdayaan terhadap peserta didik dalam kerangka cita-cita etik profetik pemanusiaan, pembebasan, dan penyadaran keilahian, sehingga tercermin karakter moderat yang cukuo kuat. Ini mengingat moderasi beragama merupakan pendekatan komprehensif, yang memungkinkan dipersaksikannya (syuhadâ’a) mutu pendidikan Islam di hadapan umat manusia. Pendekatan Aksi Sosial Pendekatan aksi sosial mencakup semua elemen pendekatan transformasi namun menambahkan komponen yang
62 mengharuskan peserta didik membuat keputusan dan mengambil tindakan yang terkait dengan konsep dan masalah yang dihadapi. Tujuan utama pembelajaran dengan pendekatan ini adalah untuk mendidik para peserta didik untuk melakukan kritik sosial, perubahan dan keterampilan membuat keputusan. Dalam pendekatan ini, moderasi beragama tidak hanya terjadi dalam internal unit pendidikan, melainkan begerak sebagai agent of social critic dan agent of social change di tengah-tengah masyarakat. Orientasi kurikulum dikembangkan dengan menekankan pada “social oriented”. Pendekatan moderasi kurikulum ini melatih peserta didik untuk terlibat dalam aksi-aksi sosial dalam rangka membumikan moderasi beragama pada semua aspek kehidupan masyarakat. Empat pendekatan integrasi konsep wasathiyyah di atas bisa menjadi pertimbangan dalam melakukan konstruksi kurikulum berbasis moderasi beragama. Program-program pendidikan Islam yang mencoba mendidik peserta didik untuk dapat melakukan kritik sosial dan perubahan sosial terhadap masalah-masalah yang di luar mainstream Islam moderat, perlu dikembangkan. Barangkali tarnsformasi kurikulum dengan menggunakan paradigma integrasi ilmu bisa dilihat sebagai salah satu karakteristik Islam moderat, yakni keseimbangan antara material dan spiritual dan antara dunia dan akhirat. Ini bisa ditemukan dalam pendidikan madrasah dan pesantren. 4. Rangkuman Pendidikan Abad 21 merupakan pendidikan yang mengintegrasikan antara kecakapan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, serta penguasaan terhadap TIK. Kecakapan tersebut dapat dikembangkan melalui berbagai model pembelajaran berbasis aktivitas yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan materi pembelajaran. Adapun yang termasuk kecakapan abad 21 adalah: 1. Kecakapan Berpikir Kritis dan Pemecahan masalah (Critical Thinking and Problem Solving Skill) 2. Kecakapan Berkomunikasi (Communication Skills) 3. Kreatif dan Inovasi (Creativity and Innovation) 4. Kolaborasi (Collaboration) Kemampuan berpikir tingkat tinggi/ Higher Order Thinking Skills (HOTS) adalah kemampuan berpikir yang bukan hanya sekedar mengingat, menyatakan kembali, dan juga merujuk tanpa melakukan pengolahan, akan tetapi
63 kemampuan berpikir untuk menelaah informasi secara kritis, kreatif, berkreasi dan mampu memecahkan masalah. Penguatan profil pelajar pancasila merupakan internalisasi nilai-nilai pancasila yang dirangkum menjadi profil pelajar Indonesia. Bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebinekaan global merupakan enam nilai sikap yang harus diinternalisasikan dalam proses intrakurikuler dan ekstrakurikuler, sehingga tercapai pelajar pelajar Indonesia yang memiliki profil nilai-nilai Pancasila. Berdasarkan cara dan fungsinya, literasi dibagi menjadi: 1. Literasi Dasar (Basic Literacy) 2. Literasi Perpustakaan (Library literacy) 3. Literasi Media (Media Literacy), 4. Literasi tekhnologi (TechnologyLiteracy), 5. Literasi Visual (Visual Literacy), Beberapa karakteristik penggunaan konsep moderasi dalam konteks Islam Indonesia, diantaranya; 1) ideologi tanpa kekerasan dalam menyebarkan Islam; 2) mengadopsi cara hidup modern dengan semua turunannya, termasuk sains dan teknologi, demokrasi, hak asasi manusia dan sejenisnya; 3) penggunaan cara berfikir rasional; 4) pendekatan kontekstual dalam memahami Islam, dan; 5) penggunaan ijtihad (kerja intelektual untuk membuat opini hukum jika tidak ada justifikasi eksplisit dari Al Qur'an dan Hadist). Lima karakteristik bisa diperluas menjadi beberapa karakteristik yang lain seperti toleransi, harmoni dan kerjasama antar kelompok agama. 5. Tugas Untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi keempat tentang model pembelajaran abad 21, maka peserta menjawab pertanyaan berikut: c. Lembar kerja ringkasan materi dari kegiatan expert group d. Lembar kerja sintaks pembelajaran abad 21 6. Umpan Balik dan Tindak Lanjut Setelah menyelesaikan latihan dan tugas dalam modul, peserta diminta untuk menyusun rencana pembelajaran dengan mengintegrasikan konsep model pembelajaran abad 21 yang telah diuraikan di atas.
64 F. Materi 6: Sintaks Pembelajaran 1. Capaian Pembelajaran a. Tujuan Tujuan mengikuti materi ini peserta bimtek dapat memahami urgensi sintaks model pembelajaran, macam-macam sintaks pembelajaran PAI, serta tekhnik memilih sintaks pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran. b. Indikator Keberhasilan Setelah mengikuti bimtek ini, peserta dapat: 1) Mengetahui urgensi sintaks pembelajaran; 2) Memahami macam-macam sintaks pembelajaran PAI. 3) Menentukan sintaks pembelajaran yang relevan dengan materi. 4) Mengidentifikasi model pembelajaran beradasarkan sintaksnya; 5) Mengidentifikasi model pembelajaran beradasarkan sintaksnya. 2. Pokok-pokok Materi a. Urgensi sintaks model pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran b. Macam-macam sintak model pembelajaran PAI c. Tekhnik memilih sintaks model pembelajaran yang relevan dengan materi pembelajaran 3. Uraian Materi Model pembelajaran diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembelajarannya, sintaks atau pola urutan, dan sifat lingkungan belajarnya. Penggunaan model pembelajaran tertentu memungkinkan guru dapat mencapai pembelajaran tertentu dan bukan tujuan pembelajaran yang lain. Sintaks atau pola urutan model pembelajaran menggambarkan keseluruhan urutan alur langkah yang pada umumnya diikuti oleh serangkaian kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, sintaks pembelajaran menunjukkan dengan jelas kegiatan apa yang perlu dilakukan oleh guru dan peserta didik, urutan kegiatan yang dilakukan, dan tugas (assignment) yang perlu dilakukan oleh peserta didik. Sintaks dari berbagai macam model pembelajaran mempunyai komponen yang sama. Misalnya, semua pembelajaran diawali dengan menarik perhatian peserta didik dan memotivasi peserta didik terlibat dalam proses pembelajaran. Setiap model pembelajaran selalu mempunyai tahap "menutup pelajaran" yang berisi merangkum pokok-pokok pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik dengan bimbingan guru. Di samping ada persamaannya, setiap model pembelajaran antara sintaks yang satu dengan sintaks yang lain juga mempunyai perbedaan. Perbedaan-perbedaan inilah terutama yang berlangsung di antara pembukaan dan penutupan pembelajaran, yang harus
65 dipahami oleh para guru agar supaya model-model pembelajaran dapat dilakukan dengan berhasil. Sintaks model pembelajaran pada kurikulum 2013 yang disarankan adalah sebagai berikut: Descovery Learning, Inquiry Terbimbing, Problem Based Learning, Problem Solving Learning jenis Trouble Shooting, Project Based Learning, Production Based Trainning. Berikut adalah sintak beberapa model pembelajaran pada kurikulum 2013: h. Sintaks Model Pembelajaran kooperatif (cooperative teaching) Fase Perilaku Guru Fase 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siwa Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. Fase 2 Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan. Fase 3 Mengorganisasi siswa ke dalam kelompokkelompok belajar Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap agar melakukan transisi secara efisien. Fase 4 Membimbing kelompok belajar dan bekerja Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka. Fase 5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Fase 6 Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok. i. Sintaks Model Pembelajaran Inkuiri (Penemuan) Tahap Tingkah Laku Guru Tahap 1 Observasi untuk menemukan masalah Guru menyajikan kejadian-kejadian atau fenomena yang memungkinkan siswa menemukan masalah Tahap 2 Merumuskan masalah Guru membimbing siswa merumuskan masalah penelitian berdasarkan kejadian dan fenomena yang disajikannya
66 Tahap 3 Mengajukan hipotesis Guru membimbing siswa untuk mengajukan hipotesis terhadap masalah yang telah Dirumuskannya Tahap 4 Merencanakan pemecahan masalah (melalui eksperimen atau cara lain) Guru membimbing siswa untuk merencanakan pemecahan masalh, membantu menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan dan menyusun prosedur kerja yang tepat Tahap 5 Melaksanakan eksperimen (atau cara pemecahan masalh yang lain) Selama siswa bekerja, guru membimbing dan memfasilitasi Tahap 6 Melakukan pengamatan dan pengumpulan data Guru membantu siswa melakukan pengamatan tentang hal-hal yang penting dan membantu mengumpilkan dan mengorganisasi data Tahap 7 Analisis data Guru membantu siswa menganalisis data supaya menemukan suatu konsep Tahap 8 Penarikan kesimpulan dan penemuan Guru membimbing siswa mengambil kesimpulan berdasarkan data dan menemukan sendiri konsep yang ingin ditanamkan. j. Model Pembelajaran Descovery Learning 1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan) 2) Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah) 3) Data Collection (Pengumpulan Data) 4) Verification (Pengolahan Data dan Pembuktian) 5) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi) k. Model Pembelajaran Inkuiry Terbimbing 1) Orientasi masalah; 2) Pengumpulan data dan verifikasi 3) Pengumpulan data melalui eksperimen; 4) Pengorganisasian dan formulasi eksplanasi, 5) Analisis proses inkuiri. l. Model Pembelajaran Problem Based Learning (Bransford & Stein, dalam Jamie Kirkley /2003: 3 ) 1) Mengidentifikasi masalah; 2) Menetapkan masalah melalui berfikir tentang masalah dan menseleksi informasiinformasi yang relevan; 3) Mengembangkan solusi melalui pengidentifikasian alternatif- alternatif, tukarpikiran dan mengecek perbedaan pandang. 4) Melakukan tindakan strategis
67 5) Melihat ulang dan mengevaluasi pengaruh-pengaruh dari solusi yang dilakukan. m.Model Pembelajaran Problem Solving Learning jenis Trouble Shooting (David H. Jonassen (2011: 93) 1) Merumuskan uraian masalah; 2) Mengembangkan kemungkinan penyebab; 3) Menguji penyebab atau proses diagnosa; 4) Mengevaluasi n. Model Pembelajaran Project Based Learning 1) Penentuan Pertanyaan Mendasar (Start With the Essential Question). 2) Mendesain Perencanaan Proyek 3) Menyusun Jadwal (Create a Schedule) 4) Memonitor peserta didik dan kemajuan proyek (Monitor the Students and the Progress of the Project) 5) Menguji Hasil (Assess the Outcome) 6) Mengevaluasi Pengalaman (Evaluate the Experience) 4. Rangkuman Sintaks pembelajaran menunjukkan dengan jelas kegiatan apa yang perlu dilakukan oleh guru dan peserta didik, urutan kegiatan yang dilakukan, dan tugas (assignment) yang perlu dilakukan oleh peserta didik. Sintaks dari berbagai macam model pembelajaran mempunyai komponen yang sama. Setiap model bahkan metode memiliki sintaks masing-masing yang menunjukkan ciri khasnya. Dengan ciri khasnya, seorang guru bias menidentifikasi model atau metode apa yang tepat untuk materi yang akan di ajarkan sehingga tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat dicapai dengan baik dan efisien. 5. Tugas Untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi Sintaks Pembelajaran, maka peserta menjawab pertanyaan berikut: a. Jelaskan karakteristik sintaks yang sesuai dengan pembelajaran PAI! b. Mengapa sintaks pembelajaran sangat perlu dalam pembelajaran? 6. Umpan Balik dan Tindak Lanjut Setelah menyelesaikan latihan dan tugas dalam modul, peserta diminta menjawab pertanyaan berikut di kertas yang tersedia! Apakah Anda menganalisis sintaks pembelajaran sebelum mengajar? Mengapa?
68 G. Materi 7: Pembuatan Lembar Kerja (LK) 1. Capaian Pembelajaran a. Tujuan Tujuan mengikuti materi ini peserta bimtek dapat memahami konsep defenisi lembar kerja pembelajaran, fungsi lembar kerja, komponen dan format dalam penyusunan lembar kerja, serta urgensi lembar kerja dalam prose pembelajaran. b. Indikator Keberhasilan Setelah mengikuti bimtek ini, peserta dapat: 1) Menjelaskan konsep lembar kerja; 2) Menjelaskan mekanisme dan rancangan prosedur pembuatan lembar kerja; 3) Menjelaskan komponen dan format dalam penyusunan lembar kerja; 4) Mengidentifikasi IPK yang perlu dibuatkan lembar kerja. 2. Pokok-pokok Materi Pokok-pokok materi pada sesi ini adalah: a. Pengertian, tujuan dan kegunaan lembar kerja b. Mekanisme dan langkah perancangan lembar kerja 3. Uraian Materi a. Pengertian, Tujuan dan Kegunaan Lembar Kerja (LK) Lembar Kerja (LK) adalah lembaran yang berisi tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. LK biasanya berupa petunjuk, langkah untuk menyelesaikan suatu tugas, suatu tugas yang diperintahkan dalam lembar kegiatan harus jelas kompetensi dasar yang akan dicapainya (Depdiknas; 2004:18). Trianto (2008:148) mendefinisikan bahwa Lembar Kerja Siswa adalah panduan siswa yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyelidikan dan pemecahan masalah. Menurut pengertian di atas maka LK berwujud lembaran berisi tugas-tugas guru kepada siswa yang disesuaikan dengan kompetensi dasar dan dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Atau dapat dikatakan juga bahwa LK adalah panduan kerja siswa untuk mempermudah siswa dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Tujuan penggunaan Lembar Kerja dalam proses pembelajaran adalah: (1) Mengaktifkan siswa dalam proses kegiatan pembelajaran. (2) Membantu siswa mengembangkan konsep. (3) Melatih siswa untuk menemukan dan mengembangkan ketrampilan proses.
69 (4) Sebagai pedoman guru dan siswa dalam melaksanakan proses kegiatan pembelajaran. (5) Membantu siswa dalam memperoleh informasi tentang konsep yang dipelajari melalui proses kegiatan pembelajaran secara sistematis. (6) Membantu siswa dalam memperoleh catatan materi yang dipelajari melalui kegiatan pembelajaran (Achmadi, 1996:35) Kegunaan Lembar Kerja Siswa (LK) dalam proses pembelajaran adalah: (1) Memberikan pengalaman kongkret bagi siswa; (2) Membantu variasi belajar; (3) Membangkitkan minat siswa; (4) Meningkatkan retensi belajar mengajar; (5) Memanfaatkan waktu secara efektif dan efisien. (Hadi Sukamto, 1992/1993:2. b. Mekanisme dan Langkah Pembuatan Lembar Kerja Dalam menyusun lembar kerja, agar LK memiliki ketepatan dan keakuratan secara fungsi, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) Susunan kalimat harus diutamakan sederhana, mudah dimengerti, singkat dan jelas; (2) Istilah baru hendaknya diperkenalkan terlebih dahulu; (3) Gambar dan ilustrasi hendaknya dapat membantu siswa memahami materi, Menunjukkan cara dalam menyusun sebuah pengertian. Membantu siswa berpikir kritis. Menentukan Variabel yang akan dipecahkan dalam kegiatan pembelajaran. (4) Tata letak hendaknya membantu siswa memahami materi dengan menunjukkan urutan kegiatan secara logis dan sistematis, menunjukkan bagian-bagian yang sudah diikuti dari awal hingga akhir. (5) Desain harus menarik. (Depdikbud, 1996/1997:25-26). Dalam hal penyusunan lembar kerja, perlu memperhatikan prosedur penyusunan sebagai berikut: (1) Menentukan kompetensi dasar, indikator dan tujuan pembelajaran untuk dimodifikasi ke bentuk pembelajaran dengan LK. (2) Menentukan ketrampilan proses terhadap kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran. (3) Menentukan kegiatan yang harus dilakukan siswa sesuai dengan kompetensi dasar indikator dan tujuan pembelajaran. (4) Menentukan alat, bahan dan sumber belajar. (5) Menemukan perolehan hasil sesuai tujuan pembelajaran.
70 4. Rangkuman Lembar Kerja Siswa adalah panduan siswa yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyelidikan dan pemecahan masalah. Menurut pengertian di atas maka LKS berwujud lembaran berisi tugas-tugas guru kepada siswa yang disesuaikan dengan kompetensi dasar dan dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Atau dapat dikatakan juga bahwa LKS adalah panduan kerja siswa untuk mempermudah siswa dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Adapun yan harus di perhatikan dalam pembuatan LKS adalah sebagai berikut: a) Tujuan lembar kerja b) Keguanaan lembar kerja c) Syarat menyusun lembar kerja d) Prosedur penyusunan lembar kerja 5. Tugas Untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi kelima tentang pembuatan lembar kerja pembelajaran, maka peserta menjawab pertanyaan berikut: a.Jelaskan hakikat dan kegunaan lembar kerja! b.Menyebutkan komponen-komponen lembar kerja? c.Apa yang anda dapatkan setelah memahami pembuatan lembar kerja? 6. Umpan Balik dan Tindak Lanjut Setelah menyelesaikan latihan dan tugas dalam modul, peserta diminta untuk menyusun lembar kerja pembelajaran.
71 H. Materi 8: Praktik Model Pembelajaran 1. Capaian Pembelajaran a. Tujuan Tujuan mengikuti materi ini peserta bimtek dapat memahami model pembelajaran dengan mengintegrasikan pembelajaran abad 21, HOTS dan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin. b. Indikator Keberhasilan Setelah mengikuti bimtek ini, peserta dapat: 1) Menjelaskan konsep peer teaching, micro teaching dan real teaching. 2) Menjelaskan cara mempraktikkan peer teaching, micro teaching dan real teaching. 3) Menjelaskan fungsi dan manfaat peer teaching, micro teaching dan real teaching. 2. Pokok-pokok Materi Materi untuk sesi ini adalah: a. Konsep peer teaching b. Konsep micro teaching c. Konsep real teaching d. Pemaparan LK, instrument penilaian pelaksanaan praktik model pembelajaran untuk observer. 3. Uraian Materi a. Peer Teaching 1) Pengertian, Tujuan dan Manfaat Peer Teaching Pengertian, tujuan dan manfaat metode Peer teaching penulis kutip dari beberapa jurnal internasional, A Case Study Of Peer Tutoring Program In Higher Education Bruffee (1995) menjelaskan bahwa peer tutoring merupakan salah satu metode yang mendorong aktivitas yang berpusat pada siswa, termasuk pembelajaran mandiri maupun diskusi kelompok informal untuk memastikan bahwa mereka sesuai, efektif dan efisien. Jenis peer teaching lainnya adalah cross age tutoring, yaitu menyatukan peserta didik dari berbagai usia dimana peserta didiklebih tua berperan sebagai tutor dan yang lebih muda sebagai tute. Tujuan peer teaching pada jurnal ini adalah: (a) Mengurangi tingkat putus sekolah; (b) Menyebarkan ide-ide para tutor; (c) Mengembangkan keterampilan komunikatif dan kemampuan kerja tim;
72 (d) Mendorong belajar mandiri; (e) Mengembangkan kemampuan belajar; (f) Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah tertentu. Manfaat peer teaching adalah: (1) Membantu peserta didik menjadi pembelajaran mandiri dan termotivasi; (2) Meningkatkan kemampuan belajar. 2) Konsep Peer Teaching dalam pembelajaran Beberapa konsep peer teaching dapat dipelajari dari beberapa jurnal berikut: (a) Math Peer Tutoring for Student With Specific Learning Disabilitas Penulis menerangkan bahwa peer tutoring sangat tepat digunakan pada peserta didik yang mengalami kemampuan belajar spesifik dalam meningkatkan kemampuan dasar matematika mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah bahkan ditempat kerja. Manfaat peer tutoring dalam jurnal ini adalah mengembangkan kemampuan matematika Peer tutoring terdiri dari: (1) Classwide peer tutoring (CWPT), semua peserta didikbekerja secara berpasangan secara bersamaan; (2) Cross-age tutoring, guru lebih tua dari tute dan berasal dari sekolah yang sama; (3) One to one tutoring, peserta didikhanya membutuhkan satu peserta didiklainnya sebagai tutor; (4) Small group intruction, setiap kelompok bergantian sebagai tutor untuk kelompok lainnya; (5) Home based tutoring, orang tua berfungsi sebagai tutor; (b) Cooperative Learning and Peer Tutoring to Promote Student’s Matematich Education Pembelajaran kooperatif dan peer tutoring saling berketergantungan dalam keberhasilan individu. Tujuan peer tutoring pada jurnal ini adalah: (1) Membuat murid bertanggung jawab dalam proses belajar mereka sendiri; (2) Mengembangkan kompetensi siswa; (3) Memahami kesulitan murid. Manfaat peer tutoring adalah: (1) Menghilangkan ketegangan dan kegelisahan peserta didik dalam hubungannya dengan guru;
73 (2) Memberi kebebasan yang lebih besar dan spontanitas. (c) Peer Tutoring and Social Dynamic in Higher Education, penulis Janet W. Colvin, University of Utah, USA (2007) Penelitian ini berfokus pada peserta didik dan tutor dalam berinteraksi di kelas. Peer tutoring melibatkan orang-orang dari kelompok sosial yang sama untuk mendidik satu sama lain ketika salah satu rekannya memiliki lebih banyak keahlian atau pengetahuan. Stategi dari peer tutoring adalah peserta didik mengajari peserta didik lainnya. Goodlad (1998) menyarankan untuk melibatkan peserta didikdalam tanggung jawab mereka sendiri dengan orang lain untuk meningkatkan interaksi sosial dan mentransformasikan belajar dari pribadi ke kegiatan sosial. Tujuannya adalah: (1) Mengembangkan kemampuan belajar; (2) Mengevaluasi hasil kerja; (3) Menyelesaikan masalah-masalah tertentu; (4) Mendorong belajar mandiri; (5) Mengurangi angka putus sekolah; (6) Memberi dukungan kepada siswa. Manfaatnya adalah: (1) Memberikan dukungan satu sama lain (2) Membangun kepercayaan dan hubungan yang baik (3) Merefleksikan pengalaman mereka sendiri (d) Peer Tutoring a Strategy to Promote Academic Success, penulis Michelle Nguyen Duke University, Research Brief, 2013 Durham public school (DPS) mengembangkan peer tutoring sebagai strategi pembelajaran yang sukses untuk menjangkau peserta didikberkinerja rendah melalui program CATCH (Caring About the Concepts That Help) dengan cara melatih mentor untuk sekolah menengah. Program CATCH dirancang untuk mencocokkan peserta didikyang berkinerja tinggi dengan peserta didikyang sedang berjuang untuk sukses akademis dibawah pengawasan guru. Hal ini merupakan pencegahan tingkat putus sekolah di negeri ini yng menyebabkan tingginya tingkat pengangguran di AS. Peer tutoring merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan peserta didikdan ditemukan di setiap mata pelajaran untuk meningkatkan prestasi akademik siswa. Peer tutoring mengacu pada metode pembelajaran berpasangan yang menggunakan peserta
74 didikberkinerja tinggi sebagai guru dan berkinerja rendah sebagai tute dalam kelas lebar atau ditempat umum di luar sekolah dibawah pengawasan guru. Tujuannya adalah: (1) Mengurangi tingkat putus sekolah; (2) Meningkatkan rasa tanggung jawab peserta didikterhadap hasil akademik yang diperoleh; (3) Meningkatkan prestasi membaca peserta didiksetelah melakukan peer tutoring kelas membaca; (4) Memberikan pembelajaran yang berbeda pada peserta didikpenyandang cacat dan non cacat tanpa mengasingkannya melalui gaya belajar dan kecepatan berfikir siswa; (5) Penurunan perilaku menggangu dan peningkatan dalam interaksi sosial; (6) Meningkatkan prestasi akademik siswa Manfaatnya adalah: (1) Penurunan perilaku menggangu dan peningkatan dalam interaksi sosial (2) Meningkatkan prestasi akademik siswa b. Micro Teaching 1) Pengertian Micro Teaching Pengajaran mikro (micro-teaching) merupakan salah satu bentuk model praktek kependidikan atau bimtek mengajar. Dalam konteks yang sebenarnya, mengajar mengandung banyak tindakan, baik mencakup teknis penyampaian materi, penggunaan metode, penggunaan media, membimbing belajar, memberi motivasi, mengelola kelas, memberikan penilaian dan seterusnya. Dengan kata lain, bahwa perbuatan mengajaritu sangatlah kompleks. Oleh karena itu, dalam rangka penguasaan keterampilan dasar mengajar, calon guru atau dosen perlu berlatih secara parsial, artinya tiap-tiap komponen keterampilan dasar mengajar itu perlu dikuasai secara terpisah-pisah (isolated). Berlatih untuk menguasai keterampilan dasar mengajar seperti itulah yang dinamakan micro-teaching (pengajaran mikro). Pengajaran mikro (microteaching) merupakan suatu situasi pengajaran yang dilaksanakan dalam waktu dan jumlah siswa yang terbatas, yaitu selama 5-20 menit dengan jumlah siswa sebanyak 3-10 orang. Hal tersebut diungkap oleh Cooper dan Allen, 1971. Bentuk pengajaran yang sederhana, dimana calon guru atau dosen berada dalam suatu lingkungan kelas yang terbatas dan terkontrol.
75 Hanya mengajarkan satu konsep dengan menggunakan satu atau dua keterampilan dasar mengajar. Konsep pengajaran mikro (micro-teaching) dilandasi oleh pokok-pokok pikiran sebagai berikut: (a) Pengajaran yang nyata (dilaksanakan dalam bentuk yang sebenarnya) tetapi berkonsep mini. (b) Latihan terpusat pada keterampilan dasar mengajar, mempergunakan informasi dan pengetahuan tentang tingkat belajar siswa sebagai umpan balik terhadap kemampuan calon guru/dosen. (c) Pengajaran dilaksanakan bagi para siswa dengan latar belakang yang berbeda-beda dan berdasarkan pada kemampuan intelektual kelompok usia tertentu. (d) Pengontrolan secara ketat terhadap lingkungan latihan yang diselenggarakan dalam laboratorium micro–teaching. Pengadaan low-threat-situation untuk memudahkan calon guru/dosen mempelajari keterampilan mengajar. (e) Penyediaan low-risk-situation yang memungkinkan siswa berpartisipasi aktif dalam pengajaran, Penyediaan kesempatan latihan ulang dan pengaturan distribusi latihan dalam jangka waktu tertentu. Terdapat beberapa definisi tentang pengajaran mikro (micro teaching) yang dapat dikemukakan, diantaranya adalah: (a) Cooper dan Allen (1971), mendefinisikan “pengajaran mikro (microteaching) adalah suatu situasi pengajaran yang dilaksanakan dalam waktu dan jumlah siswa yang terbatas, yaitu selama 5-20 menit dengan jumlah siswa sebanyak 3-10 orang”. (b) Mc. Laughlin dan moulton (1975) mendefinisikan “micro teaching is a performance training method designed to isolated the component part of teaching process, so that the trainee can master each component one by one in a simplified teaching situation”. (c) Waskito (1977) mendefinisikan “micro teaching adalah suatu metode belajar mengajar atas dasar performance yang tekniknya dengan cara mengisolasikan komponen – komponen proses belajar mengajar sehingga calon guru dapat menguasai setiap komponen satu per satu dalam situasi yang disedrhanakan atau dikecilkan”. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa micro-teaching atau pengajaran mikro adalah, “salah satu model bimtek praktik mengajar dalam lingkup terbatas (mikro) untuk mengembangkan keterampilan dasar mengajar (base teaching skill) yang dilaksanakan secara terisolasi dan dalam situasi yang disederhanakan atau dikecilkan”. Pertimbangan yang mendasari
76 penggunaan program pengajaran mikro (micro teaching) adalah: Untuk mengatasi kekurangan waktu yang diperlukan dalam latihan mengajar secara tradisional. Keterampilan mengajar yang kompleks dapat diperinci menjadi keterampilan-keterampilan mengajar yang khusus dan dapat Dilatih secara berurutan. Pengajaran mikro dimaksudkan untuk memperluas kesempatan latihan mengajar mengingat banyaknya calon guru/dosen yang membutuhkannya. 2) Karakteristik Micro Teaching Pengajaran mikro (micro-teaching) merupakan real teaching, tetapi dalam skala mikro. Karakteristik yang khas dalam pengajaran mikro (microteaching) adalah komponen – komponen dalam pengajaran yang dimikrokan atau di-sederhana-kan. Dalam pengajaran sesungguhnya (real teaching) lingkup mpembelajaran biasa tidak dibatasi, tetapi di microteaching terbatas pada satu kompetensi dasar atau satu hasil belajar dan satu materi pokok bahasan tertentu. Demikian pula alokasi waktunya juga terbatas antara 10-15 menit, jumlah siswa juga dikecilkan hingga berkisar 10-15 siswa, serta keterampilan dasar yang dilatihkan juga terbatas (terisolasi). Dengan demikian, ciri khas micro-teaching adalah real-teaching yang dimikrokan meliputi jumlah siswa, alokasi waktu, fokus keterampilan, kompetensi dasar, hasil belajar dan materi pokok pembelajaran yang terbatas. Pelaksanaan pengajaran mikro (micro-teaching) pada prinsipnya merupakan realisasi pola-pola pengajaran yang sesungguhnya (real teaching) yang didesain dalam bentuk mikro. Setiap calon guru atau dosen membuat persiapan mengajar yang kemudian dilaksanakan dalam proses pembelajaran bersama siswa atau teman sejawat (peer teaching) dengan setting kondisi dan konteks kegiatan belajar mengajar yang sesungguhnya. Berikut ini disajikan daftar komponen mengajar yang dimikrokan dibandingkan dengan pengajaran yang normal (real teaching): Perbandingan Micro Teaching dengan Real Teaching Pengajaran No Komponen Real Micro
77 1 2 3 4 5 Siswa / audience Kompetensi asar Indikator hasil belajar Materi Waktu 30 – 40 orang 2 – 4 kd 1-9 ihb Luas 30-50 menit 10 – 15 orang 1 kd 1 – 3 ihb Terbatas 10-15 menit Penyederhanaan komponen pengajaran sebagai karakteristik pengajaran mikro (micro-teaching) didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut ini: (a) Seluruh komponen keterampilan dasar mengajar akan dapat dikuasai secara mudah apabila terlebih dahulu menguasai komponen keterampilan dasar mengajar tersebut secara terpisah (terisolasi) satu demi satu, (b) Penyederhanaan situasi dan kondisi latihan, memungkinkan perhatian praktikan terarah pada keterampilan yang dilatihkan, (c) Penyederhanaan situasi dan kondisi dengan bantuan memudahkan observasi dan bermanfaat untuk umpan balik (feed back). Setelah guru/dosen pemula dianggap menguasai materi dan sistem penyampaiannya, tiba saatnya untuk berlatih menguasai keterampilan dasar mengajar, yaitu keterampilan yang bersifat generik yang harus dikuasai oleh semua calon guru atau dosen. Komponen keterampilan dasar mengajar yang dilatihkan dalam pengajaran mikro (micro-teaching) menurut hasil penelitian Tumey (1973), terdapat 8 (delapan) keterampilan yang sangat berperan dalam kegiatan belajar mengajar. Kedelapan keterampilan tersebut antara lain: (a) Keterampilan dasar membuka dan menutup pelajaran (set induction and closure); (b) Keterampilan dasar menjelaskan (explaining skills); (c) Keterampilan dasar mengadakan variasi (variation skills); (d) Keterampilan dasar memberikan penguatan (reinforcementskills); (e) Keterampilan dasar bertanya (questioning skills); (f) Keterampilan dasar mengelola kelas; (g) Keterampilan dasar mengajar perorangan/kelompok kecil; (h) Keterampilan dasar membimbing diskusi kelompok kecil. Perlu ditekankan bahwa hanya untuk tujuan latihan, keterampilan yang kompleks tersebut dapat dipilah-pilah menjadi 8 (delapan) komponen keterampilan dasar mengajar seperti di atas, supaya masing-masing dapat dilatihkan secara terpisah (ter-isolasi). Namun ketika dosen menggunakan/menerapkan keterampilan tersebut di dalam kelas. Harus mampu menampilkan secara utuh dan terintegrasi.
78 Mengajar adalah perbuatan yang kompleks yang merupakan pengintegrasian secara utuh dari berbagai komponen kemampuan. Komponen kemampuan tersebut dapat berupa pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai. Sebagian kemampuan tersebut telah dibentuk secara bertahap melalui penyampaian teori-teori tentang prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran, strategi mengajar, rancangan instruksional, media pembelajaran, evaluasi pembelajaran, dan sebagaianya. 4. Rangkuman Mensimulasikan proses pembelajaran bisa dilakukan dengan menggunakan 3 cara, yaitu: a. Peer tutoring merupakan salah satu metode yang mendorong aktivitas yang berpusat pada siswa, termasuk pembelajaran mandiri maupun diskusi kelompok informal untuk memastikan bahwa mereka sesuai, efektif dan efisien. b. Micro-teaching, karakteristik yang khas dalam pengajaran mikro (microteaching) adalah komponen–komponen dalam pengajaran yang dimikrokan atau di-sederhana-kan. Dalam pengajaran sesungguhnya (real teaching) lingkup mpembelajaran biasa tidak dibatasi, tetapi di microteaching terbatas pada satu kompetensi dasar atau satu hasilbelajar dan satu materi pokok bahasan tertentu. Demikian pula alokasi waktunya juga terbatas antara 10-15 menit, jumlah siswa juga dikecilkan hingga berkisar 10-15 siswa, serta keterampilan dasar yang dilatihkan juga terbatas (terisolasi). c. Real teaching adalah simulkasi pembelajaran yang sesungguhnya, baik dari segi pserta didiknya, materi yang di sampaikan serta jumlah jam yang diguanakan. Semua penampilan tidak melalui settingan, akan tetapi tampil apa adanya. 5. Tugas Untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi keenam tentang praktek pembelajaran, maka peserta menjawab pertanyaan berikut: a. Perlukah setiap guru menyiapkan perencanaan sebelum tampil mengajar? b. Kesulitan apa yang anda hadapi dalam menyusun perencaanaan pembelajaran? c. Bagaimanakah cara anda mengembangkan perencanaan pembelajaran?
79 6. Umpan Balik dan Tindak Lanjut Setelah menyelesaikan latihan dan tugas dalam modul, peserta diminta Untuk menyusun rencana pembelajaran yang baik dengan menginternalisasikan metode pembelajaran yang tepat dan menarik.
80 BAGIAN 4 Daftar Pustaka Anderson, L.W dan Krathwohl, D.R. 2010. Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran dan Asesmen (Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Atwi Suparman. 2001. Desain Instruksional. Jakarta: PAU-PPAI Dirjen Dikti. Depdiknas. B Weil, Joice & Showers. 1992. Models of Teaching. Fourth Edition.United States of America: A Division of Simon & Schuster, Inc. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas Dick, W and L. Carey, J. O. Carey. 2005. The systematic Design of Instruction. New York: Logman. Dunkin, M.J. dan Biddle, B.J. 1974. The Srtudy of Teaching. New York: Holt Rinehart and Wiston Djamarah, S. B. 2002. Pikologi Belajar.Jakarta: PT. Rineka Cipta. Driscoll, M.P (1994). Psychology of Learningfor Instruction. Boston: Allyn and Bacon. Faizah, Dewi Utama dkk. 2016. Panduan Gerakan Literasi Sekolah Di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan Gagne, Robert M & Briggs, Leslie J. (1979). Principles Of Instructional Design (2nd Edition). New York: Holt, Rinehart and Winston Gerlach dan Ely. 1971.Teaching & Media: A Systematic Approach. Second Edition, by V.S. Gerlach & D.P. Ely, 1980, Boston, MA: Allyn and Bacon. Copyright 1980 by Pearson Education Harris, Michael, 2000.Human Resource Management. Second Edition, USA, Harcourt Bluc & Company Kemdikbud. 2016. Permendikbud nomor 20 tentangStandar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar Dan Pendidikan MenengahJakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemdikbud. 2016. Permendikbud Nomor 22 tahun 2016 tentang Standar Proses. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kemdikbud. 2018. Permendikbud nomor 37 tentang Kompetensi Inti Dan Kompetensi Dasar Pelajaran Pada Kurikulum 2013 Pada Pendidikan Dasar Dan Pendidikan Menengah Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
81 Majid, Abdul. 2012. Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Majid, Abdul. 2013. Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya National Research Council (2000). The assessment of science meets the science of assessment. Washington, D.C.: National Academy Press. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Reimers, Fernando M., Education for The 21st Century, Cambridge, Ma Executive Summary A Synthesis Of Ideas From The Harvard University Advanced Leadership Initiative Think Tank, 2014. Simonson, M., Smaldino, S., & Zvacek, S. (2015). Teaching and Learning at a Distance: Foundation of Distance Education (6 ed.). The United States of America: lnfornation Age Publishing. Suprayekti dan Agustyarini. 2015. Analisis Peserta Didik Dalam Teknologi Pendidikan. Jakarta: LPP Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi Pendidikan. Dengan Pendekatan Baru. Bandung. Rosda Karya. Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Belajar, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada. Uno B. Hamzah, 2011. Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis di Bidang Pendidikan, Jakarta: PT. Bumi Aksara Yamin, Martinis. 2007. Profesionalisasi Guru & Implementasi KTSP. Jakarta: Gaung Persada Press. Vygotsky, L.S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Cambridge: MA: Harvard University Press.