The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

BA_JTDU_BAB_I_LATAR_BELANAG_TUJUAN_18_YES

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by soedito, 2017-09-14 00:04:57

BA_JTDU_BAB_I_LATAR_BELANAG_TUJUAN_18_YES

BA_JTDU_BAB_I_LATAR_BELANAG_TUJUAN_18_YES

BAB I
LATAR BELAKANG DAN TUJUAN

1.1 Latar Belakang

Membicarakan masalah pendidikan di Indonesia, yang
utama dan pertama kita ingat adalah sejarah kepahlawanan
Ki Hajar Dewantara. Dalam pengasingan di Belanda,
Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia,
Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).

Ia kemudian merintis cita-citanya memajukan
kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan
hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah
pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi
pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang
didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat
pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat,
seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan
pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore.
Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya
dalam mengembangkan sistem pendidikannya
sendiri.

Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan
September 1919. Segera kemudian ia bergabung
dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman
mengajar ini kemudian digunakannya untuk
mengem-bangkan konsep mengajar bagi sekolah

yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal
Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan
Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40
tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia
mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di
depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia
dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik
maupun jiwa.

Semboyan dalam sistem pendidikan yang
dipakainya kini sangat dikenal di kalangan
pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu
dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
("di depan menjadi teladan, di tengah
membangkitkan semangat, dari belakang
mendukung"). Semboyan ini masih tetap dipakai
dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di
sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.

Dalam kabinet pertama Republik Indonesia,
KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran
Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang
pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor
kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari
universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah
Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan
umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan

Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan
Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan
Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28
November 1959).

Ki Hajar Dewantoro memiliki keyakinan
bahwa pendidikan bagi bangsa Indonesia harus
dilakukan melalui tiga lingkungan yaitu, keluarga,
sekolah dan organisasi. Keluarga merupakan pusat
pendidikan yang pertama dan terpenting, karena
sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai
sekarang keluarga selalu berpengaruh besar
terhadap perkembangan anak manusia. Pendidikan
sekolah adalah tanggung jawab bersama antara
keluarga, masyarakat dan pemerintah (KemDikNas,
2010i)

When wealth is lost nothing is lost
When health is lost, something is lost,
and when character is lost, everything is lost

Dari catatan kecil sebagai pembuka di atas,
maka betapa esensialnya “karakter” bagi eksistensi
dan keberlangsungan kehidupan bangsa dan
Negara. Menurut Calvin Coolidge, ”character is the
only secure foundation of the state”. Hal tersebut
dapat dilihat pada potret Indonesia dalam dinamika
global. Pembangunan karakter adalah “drivers”

pembangunan, karena menurut Soekarno (Presiden
RI pertama), “kalau Character Building tidak
dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi
bangsa kuli…..”. Pendapat sebagai latar belakang
tentang esensi karakter tersebut, sangat penting
mengingat era sekarang bertumpu pada
kemampuan daya tahan dan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM). Diinformasikan bahwa indeks daya
saing menempatkan posisi Indonesia pada peringkat
44; sedangkan indeks persepsi tentang korupsi
masih berada dalam angka 2,8 dari skala 10
sebagai nilai terbaik. Indeks Negara gagal (failed
states index global) masih menempatkan Indonesia
dalam katagori “warning” dalam tata urutan
sustainable, moderater, warning and alert.

Karakter memiliki tiga dimensi yaitu dimensi
pribadi (manusia), dimensi pemerintah (government)
dan karakter nasional (national character). Akan
tetapi dari dasarnya, karakter mengandung arti
suatu habit dari manusia yang berbudi luhur yang
tumbuh sebagai kebiasaan. Karakter mencakup
akan nilai kejujuran, kebenaran, anti kekerasan,
saling menghormati, tidak egois (selfish), mudah
menolong orang lain (helpful), berani dan siap
menjadi contoh bagi orang lain. Unsur nilai dalam
karakter tersebut implementasinya harus bersifat
sinergis. Oleh karenanya membentuk karakter
bangsa harus dimulai dari karakter manusianya,

karakter para pemimpin dan kebijakannya karena
kedudukannya sebagai pemerintah yang output-nya
adalah karakter nasional. Proses pentahapan
tersebutlah yang sering disebut sebagai character
building.

Betapa strategisnya dan visionernya para
founding fathers kita dulu karena telah memberi sign
dan menetapkan karakter sebagai basic
membangun pilar-pilar eksistensi bangsa. Menurut
Undang-Undang Nasional Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan telah disebutkan
bahwa ”pendidikan adalah suatu usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara”. Dari kalimat
tersebut sangat jelas bahwa pendidikan adalah
membentuk manusia yang berkarakter atau dengan
kata lain kunci dari pembentukan karakter dalam
segala lini adalah melalui media pendidikan.
Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
melalui pendidikan sama sekali tidak ditujukan untuk
membentuk ansich manusia pandai, tetapi kalau kita
cermati justru pembentukan watak atau karakter
(karakter keindonesiaan). Hal ini dikarenakan
menurut Ki Hajar Dewantara (1930) dalam
Budihardjo (2010) ii yang kita kenal dengan

ajarannya ”ing ngarso sung tulodo, ing madyo
mangun karso, tut wuri handayani” yang artinya kita
di depan menjadi teladan, di tengah memberikan
semangat dan di belakang memberikan dukungan,
bahwa hakekat pendidikan adalah daya upaya untuk
memajukan pertumbuhan Budi Pekerti (karakter,
jiwa), Pikiran (intelektualitas, otak) dan Kebuga- ran
(fisik, otot). Berdasarkan hal tersebut maka jelas
bahwa pembangunan karakter adalah proses
pendidikan dalam mengembangkan kemampuan
Logika (membedakan benar salah), memperkokoh
pengembangan Etika (kemampuan membedakan
yang baik dan yang buruk) sebagai pembangunan
karakter dan Estetika (kemampuan membedakan
yang indah dari yang jelek) terkait martabat manusia.
Berdasarkan hal tersebut, maka core pembangunan
karakter adalah melalui pendidikan sejak dini,
konsisten dan berkelanjutan.

Dari idealita dari pengertian karakter, esensi
pendidikan sebagai media dan sebagai dasar bagi
pendidikan karakter, ada sesuatu yang kurang pas
atau bahkan keliru. Hal tersebutlah yang kini
menjadi faktual sebagai pertanyaan untuk mencari
jawab. Bagaimana dengan perkembangan karakter
manusia Indonesia sekarang? Apa yang salah
dalam pendidikan kita, sehingga potret dinamika
konflik politik dan sosial budaya meningkat kontra
produktif. Realitas kondisi yang ada, seolah ada

yang salah dari pendidikan kita dan bahkan mungkin
pendidikan karakter terpinggirkan karena orientasi
pendidikan lebih dominan pada target kurikulum
yang seabreg pada setiap jenjangnya. Target
tersebutlah sebagai dominasi internalisasi hard skill
terhadap esensi soft skill dalam pendidikan.

Kita tidak sekedar merasakan tetapi melihat
realitas konflik sosial yang semakin mengembang
tidak saja konflik dijajaran pemerintah, konflik politik,
dan kedekatan terorisme dan premanisme. Konflik
antar dan inter para penegak hukum (polisi – hakim
– jaksa – KPK)), konflik antara cicak dan buaya,
konflik adat di Ambon, konflik rakyat Papua, dan PT
Freepot McMoran Indonesia dan konflik lain. Aparat
semakin luntur kewibawaannya. Dapat kita lihat
bukan lagi polisi memburu teroris, tetapi teroris
mendatangi polisi, masyarakat menyerang pos polisi,
masyarakat menyerang markas angkatan di
Sukabumi, preman lawan preman, kampung lawan
kampung, sekolahan lawan sekolahan, yang tidak
masuk diakal fakultas lawan fakultas dan kalau
disebut semakin panjang deretnya dan menjadi
mozaik yang memilukan ibu pertiwi. Benarkah
semua hal tersebut, wujud karakter Indonesia,
apakah dijadikan pembenaran bahwa
multikulturalisme menjadi penyebab, dimana
Bhineka Tunggal Ika disaat sang pembawanya yaitu
Sang Garuda sudah kehilangan wibawa dan

kekuatan cengkeramannya, sehingga ”saudara”

(katanya) Malaysia saja sudah memandang sebelah

mata (ingat pencuri ikan di barter dengan 3 aparat

patroli laut kita) belum berbagai klaim atas

kepemilikan Indonesia lainnya berupa pula Sepadan

dan Lijitan serta soal perbatasan dengan Kalbar

yang menyesakkan.

Bangsa kita sering dikritik sebagai bangsa

yang ”mengejar layang-layang putus” atau dapat

dianalogikan sebagai pemadam kebakaran.

Sesuatu sudah terjadi baru dianggap sadar dan lari

kesana kemari. Seperti halnya dengan

kesadarannya akan esensi pendidikan karakter yaitu

begitu potret keindonesiaan terkoyak, semua

tersadar betapa pentingnya pendidikan karakter

untuk membangun warga negara yang cerdas.

Tidak ada kata terlambat, mengingat perjalanan

bangsa dan garis generasi kita masih panjang. Era

ke depan yang penuh ketidakpastian juga

memerlukan penyikapan dengan status ”segera”.

Pembentukan warga negara yang cerdas

berkarakter kuat dalam konteks global menjadi

sebuah keharusan.

Warga negara yang cerdas (smart and good

citizenship) merupakan proses integral dari berbagai

internship idealita warga Negara. Menurut kajian

Winataputra (2006), pembentukan warga Negara

cerdas dan baik karakternya merupakan ekspresi

dari kegayutan antar berbagai tampilan ideal warga
negaranya. Warga Negara yang memiliki
pengetahuan (civic knowledge) apabila berinteraksi
dengan warga Negara yang terampil (civic skill)
maka intercept-nya akan diperoleh warga Negara
yang memiliki kompetensi (civic competence).
Sedangkan civic knowledge berinteraksi dengan
civic disposition akan terbentuk warga negara yang
percara diri (civic confidence). Interaksi antara civic
disposition dengan civic skill akan terbentuk civic
commitment. Berdasarkan idealita tersebut maka
strategi pengem-bangan masyarakat dalam
pembentukan karakter cerdas membangun interaksi
kausalis antara civic confidence, civic competence
dengan civic commitment. Output interaksi
ketiganya akan mengantarkan terbentuk nya smart
and good citizenship (warga negara yang cerdas
berwawasan luas dan baik karakternya).

Pembangunan karakter yang kuat dan cerdas
berwawasan luas akan dapat berjalan manakala
didukung oleh atmosfer yang kondusif. Menurut
Inazo Nitobe (2001) dalam Budihardjo (2010) bahwa
nilai-nilai pembentuk karakter yang baik ada 7
(tujuh) hal yaitu (1) Justice – keadilan; (2) Courage –
kebenaran; (3) Politeness – kesopanan; (4) Sincerity
– ketulusan; (5) Honour – kehormatan; (6) Loyality –
kesetiaan; dan (7) Self Control – pengendalian diri.

Nilai-nilai tersebutlah yang harus menjadi
muatan proses pendidikan karakter di berbagai
jenjang secara proporsional dan tentunya tidak
harus menjadi suatu hal yang dikhususkan tetapi
menjadi hal yang dipentingkan. Dengan kata lain
materi internalisasi dan aktualisasi esensi karakter
disuplementasikan pada setiap event pembelajaran
baik bersifat kurikuler, kokurikuler dan ekstra
kurikuler. Hal ini dikarenakan proses internalisasi
karakter harus melalui tiga tahapan ideal yaitu dari
moral knowing, moral feeling baru pada harapan
terbentuknya moral action. Dalam tataran nasional
sebenarnya nilai-nilai tersebut semua sudah
terakomodasi dalam Dasar Negara, Ideologi dan
way of life kita yaitu Pancasila. Oleh karenanya dari
pendekatan strategi pengembangannya di
masyarakat (termasuk dalam pendidikan) adalah
kejujuran dan keikhlasan semua komponen bangsa
untuk tetap kokoh berpegang teguh pada ideologi
Negara yaitu Pancasila sebagai pemersatu bangsa
yang berkarakter Indonesia. Untuk itu terbentuknya
Human Character dan Character of Government
akan mengantarkan National Character.

Mencermati kembali perkembangan Unsoed
lewat sejarah dan perkambangannya serta
pencapaian pada saat ini (2011) yang telah
dilaporkan oleh Rektor (Prof Edy Yuwono), periode
kepemimpinan Rektor yang ke 8 (dari 1. Rektor

Jendral RF Soedardi, 2. Jenderal Soedaman, 3. Prof,
Djanuar, 4. Prof Roediro, 5. Prof. Sobardi, 6. Prof.
Rubianto, 7. Prof. Djarwo, dan 8. Prof Edy Yuwono)
maka tidak dapat dilupakan jasa dan pengabdian
para pendiri Universitas Jenderal Soedirman, serta
sivitas akademika baik yang telah mendahului
menghadap sang pencipta, maupun yang sudah
purna tugas, dan yang masih menyelesaikan
tugasnya di Unsoed.

Di bawah suasana Dinamika dalam Ketenangan
yang selalu dipertahankan dan dilanjutkan dalam
menjamin tercapainya Visi, Misi dan Tujuan Unsoed.
Berbagai hasil dan manfaat telah diakui dan
dirasakan oleh masyarakat, sebagai pemangku
kepentingan internal maupaun ekternal, termasuk di
dalamnya lembaga Pemerintah, non Pemerintah.

Keberhasilan tersebut tidak dapat dilepaskan
dari keberhasilan Unsoed mengembangkan
Jatidirinya yang elemen utamanya adalah Nialai
Kejuangan Pengsar Jenderal Soedirman. Jatidiri
Unsoed ditumbuh kembangkan lewat proses
pendidikan dan pembelajaran menggunakan Buku
Ajar Mata Kuliah Jatidiri Unsoed. Revitalisasi,
Reposisi dan Pengkayaan Jatidiri Unsoed terus
dilaksanakan sehingga, suana Dinamika dalam
Ketenangan terus dilandasi oleh kepribadian dan
karakter baik CIvitas Akademika, lebih-lebih yang

diaktualisaikan oleh para Dosen dan Pimpinan
Lembaga di Unsoed,

Keberhasilan yang dicirikan oleh prestasi para
alumni merukapan bayangan dari pohon kepribadian
dan karakter baik almaternya, Universitas Jenderal
Soedirman. Oleh karene itu perlu di siapkan
langkah-langkah cerdas yang dapat menjamin
peningkatan kualitas dan kepribadian dan karakter
baik di lingkungan Unsoed. Salah satu upaya yang
segera disiapkan adalah penyusunan Buku Ajar
Pendidikan Karakter Berbasis Jatidiri Unsoed.

Pendidikan di sekolah memungkinkan Manusia
sebagai makhiuk yang bcraka! budi yang mampu
mengcmbangkan iimu pengetahuan, teknoiogi dan
budaya, dalam rangka melaksanakan amanar dan
penghambaan kepada Allah ta'ala. Manusia adalah
bentuk penciptaan ttihan yang paling scmpurna,
yang teiah diberikan potensi untuk mcmiiih cara
hidup yang baik, untuk selanjutnya akan berakibat
kepada kesejahteraan perikehidupan di dunia dan di
akhirat nanti setelah melaiui tahapan aiam fana dan
alam kubur.

Manusia mempunyai sisi ruhani dan jasmani,
keduanya berinteraksi dan mempengaruhi mutu
serta produktifitas kinerja perikehidupannya. Secara
biologis, banyak terdapat kesamaan antara jenis
manusia dan binatang, utamanya dalam kebutuhan

makan dan melangsungkan regenerasi keturunan.
Manusia mengaku bahwa dirinya memiliki budaya
yang nilainya jauh lebih mulia dari jenis binatang
yang hanya memiliki naluri. Budaya merupakan
nasi! kinerja interaksi antara sisi ruhani, jasmani dan
lingkungan. Indikator keberhasil interaksi tersebut
dapat membedakan fungsi keberadaan manusia,
yang dilandasi oleh pembeda yang dikenal sebagai
kepribadian dan atau jatidiri.

Kepribadian adalah organisasi dinamik sistem
psikolisik pada seseorang yang memberikan corak
yang khas dalam caramenyesuaikan diri dengan
lingkungan. Kepribadian adalah periiaku nalar dan
tindakan yang sehat. Jatidiri merupakan tatanilai
yang konkrit dan dapat dikembangkan sehingga
mampu memberikan gambarar kinerja kchidupan
masyarakat yang aik. Guna mengekspresikan sifat
jatidirinya, maka seseorang perlu melakukan usaha
pengendalian diri secara terus menerus, yakni
menghidarkan diri dari periiaku yang tidak baik dan
memotivasi kearah periiaku yang baik hai ini telah
diajarkan di Unsoed lewat Mata kuliah Jatidiri
Unsoed,

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai
pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan
moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengem
bangkan kemampuan peserta didik untuk membuat
keputusan baik- buruk, memelihara apa yang baik,

mewujudkan dan menebar kebaikan itu dalam
kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Tujuan
tersebut dapat dicapai apabila proses pembelajaran
Karakter dapat memotivasi mahasiswa sehingga
akhirnya mampu memahami makna karakter seawal
mungkin, sehingga seawal mungkin mahasiswa
dapat berperilaku yang didasarai karakter baik, baik
dalam kehidupan di kampus maupun di dalam
masyarakat di luar kampus.

Untuk menjawab tantangan sekaligus peluang
kehidupan global di atas, diperlukan paradigma baru
pendidikan. Tilar (2000) iii mengemukakan pokok-
pokok paradigma baru pendidikan sebagai berikut
(1) pendidikan ditujukan untuk membentuk
masyarakat Indonesia baru yang demokratis, (2)
rnasyarakat demokratis memerlukan Pendidikan
yang dapat menumbuhkan mdividu dan masyarakat
yang demokratis, (3) pendidikan diarahkan untuk
mengembangkan tmgkah laku yang menjawab
tantangan internal dan global, (4) pendidikan harus
mampu rnengarahkan lahirnya suatu bangsa
Indonesia yang bersatu serta demokratis, (5) di
dalam menghadapi kehidupan global yang
kompetitif dan inovatif, pendidikan harus mampu
mengembangkan kemampuan berkompetisi di
dalam rangka kerjasama, (6) pendi-dikan harus
mampu mengembangkan kebhmekaan menuju
kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia

yang bersatu di atas kekayaan kebhmekaan
masyarakat, dan (7) yang paling pentmg, pendidikan
harus mampu meng-Indonesiakan masyarakat
Indonesia sehmgga setiap msan Indonesia merasa
bangga menjadi warga negara Indonesia
(Pendidikan Karakter, Teori dan Aplikasinya, .... )ivv

1.2 TUJUAN

Memberikan pemahaman dan kiat
mengembangkan karakter bertujuan agar
mahasiswa mampu mewujudkan nilai-nilai luhur
Pancasila. Pencapaian tujuan tersebut mempunyai
fungsi untuk 1) pengembangkan potensi dasar,
agar "berhati baik, berpikiran baik dan berperilaku
baik". 2) mengupayakan pebaikan terhadap perilaku
yang kurang baik dan penguatan perilaku yg sudah
baik, dan 3) menyaring budaya yg kurang sesuai
dengan nilai-nilai luhur Pancasila, sehinggan tidak
menimbulkan pengaruh yang buruk.

Tujuan penyusunan Buku Pendidikan Karakter
Berbasis Jatidiri Unsoed adalah menguatkan
pengalaman baik melaksanakan internalisasi dan
aktualisasi Jatidiri Unsoed, lewat proses
pembelajaran mata kuliah Jatidiri Unsoed. Elemen
utama Jatidiri Unsoed adalah nilai kejuangan
Pangsar Soedirman, yang nilai tersebut telah
diterima dan dicontoh oleh masyarakat. Nilai

tersebut dalam Buku Jatidiri Unsoed di tuliskan
sebagai 17 (tujuh belas) karakter baik yang dimiliki
Pangsar Soedirman.

Tujuan penyusunan Buku Pendidikan Karakter
Berbasis Jatidiri Unsoed juga menyikapi secara
cerdas dalam mendukung kebutuhan pendidikan
karakter yang saat ini mendapat perhatian yang
khusus seperti tercermin dalam pernyataan di atas
yang merupakan bagian dari Kebijakan Nasional
Pembangunan Karakter Bangsa, Kemeneterian
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Tema membangun karakter bangnsa adalah
membangun generasi yang jujur, cerdas, tangguh,
dan pedulli, termasuk di dalamnya generasi muda
yang bepredikat mahasiswa. Karakter yang
diharapkan dapat dipahami dan dikembangkan oleh
mahasiswa adalah : tangguh, kompetetif, berakhlak
mulia, bermoral, beretoleran, bergotong royong,
patriotik, dinamis, berbudaya, dan beorientasi Ipteks
berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan
taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (UU RI No 17
Tahun 2007, tentang RPJPN 2005 -2025)

i KemDikNas, 2010
ii Budihardjo (2010)
iii Tilar (2000)

iv

v (Pendidikan Karakter, Teori dan Aplikasinya, .... )v


Click to View FlipBook Version