The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

087_LAHAN GAMBUT INDONESIA_ED Revisi_286

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by soedito, 2018-07-26 03:50:33

087_LAHAN GAMBUT INDONESIA_ED Revisi_286

087_LAHAN GAMBUT INDONESIA_ED Revisi_286

Penutup

penyimpan karbondan berfungsi ekonomi. Dari 14,9 juta hektar luas lahan gambut
Indonesia, penutupan lahan berupa hutan adalah seluas 8,3 juta hektar ( 55,5%), semak
belukar 3,8 juta hektar (25,5%), kebun kelapa sawit 1,54 juta hektar (10,3%), dan areal
pertanian 0,7 juta hektar (4,7 %) (Bab 5). Berkurangnya fungsi lahan gambut diakibatkan
oleh alih fungsi, tindakan drainase dan kebakaran (Bab 5). Lahan gambut dibuka dan
ditinggal terlantar (Bab 5, 6, dan Bab 10) akibat ketidak tahuan, kekurangan modal, dan
hambatan status lahan untuk pengelolaan gambut.

Kenyataan yang dihadapi sekarang adalah lahan potensial subur (optimal) sudah
tidak tersedia sehingga pilihan hanya ada untuk lahan marginal (sub-optimal) dengan
produktivitas rendah dan mempunyai banyak faktor penghambat pertumbuhan tanaman
serta rentan menyebabkan kerusakan lingkungan apabila lahan diganggu ekosistemnya.
Oleh karena itu perlu pemanfaatan lahan gambut secara selektif berdasarkan penilaian
kesesuaian lahan untuk menghindari terjadinya kerusakan gambut dan lahan bongkor (idle
land) yang timbul akibat salah kelola.

Pemetaan lahan gambut yang ada didominasi oleh peta skala 1:250.000 (Bab 2 dan
Bab 3). Inventarisasi lahan gambut pada skala semi detail (1:50.000) masih sangat
terbatas. Ke depan informasi ketersediaan lahan gambut memerlukan data yang lebih
akurat dan diperoleh secara cepat melalui kombinasi teknologi digital (citra satelit), geo-
spasial, survei lapang dan validasi lapangan (ground survey/ground truth) seperti yang
disarankan dalam Bab2 tentang percepatan pemetaan lahan gambut dan revisi peta
gambut secara berkala (tiap 5-10 tahun).

Tantangan yang perlu mendapat perhatian serius penggunaan lahan gambut untuk
pertanian adalah rekonsiliasi antara permintaan pangan, pembangunan dan isu
lingkungan. Pembatas kesesuaian lahan dan resiko kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan dalam pemanfaatan lahan gambutdapat dikendalikan dan diminimalkan jika
pengelolaan lahan gambut dikelola menggunakan pengetahuan dan teknologi berbasis
penelitian ilmiah (scientific research based) untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Hasil penelitian sudah mengidentifikasi bahwa kendala utama lahan gambut untuk
berbagai tanaman non-akuatik adalah genangan dalam kondisi alamiah, daya dukung
beban rendah (low bearing capacity), pH tanah sangat masam, status kesuburan rendah,
adanya bahan substratum kuarsa dan lapisan pirit yang beracun bagi tanaman dan rentan
kebakaran dalam keadaan kering (Bab 2, 3, 6, 7, dan 10). Pembuatan saluran drainase
merupakan langkah awal sebagai syarat utama untuk mengatasi genangan. Walaupun
pembuatan saluran dapat mengatasi faktor genangan tetapi usaha perbaikan lahan ini juga
menimbulkan efek samping berupa peningkatan emisi GRK dan penurunan permukaan
gambut (subsidence). Masalah ini dapat diminimalkan dengan mengatur kedalaman
permukaan air tanah yang dikontrol dengan pemasangan pintu air.

Informasi hasil penelitian yang disajikan dalam Bab 5, 6 dan 10menunjukkan bahwa
pengelolaan kedalaman muka air lahan gambut memungkinkan berbagai tanaman non
akuatik berproduksi dan dari aspek lingkungan dapat mengurangi emisi GRK. Kedalaman

244

Markus Anda dan Fahmuddin Agus

muka air tanah bisa diatur bervariasi antara 0 sampai 70 cm dari permukaan tergantung
jenis tanaman. Muka air tanah untuk tanaman pangan dan sayuran cukup 40 cm
sedangkan tanaman tahunan seperti sawit memerlukan 50-70 cm kedalaman muka air
tanah. Pemasangan pintu air sistem tabat atau tabat bertingkat sudah terbukti berhasil
untuk mengendalikan fluktuasi muka air tanah gambut. Selain untuk tujuan produksi,
pengaturan kedalaman muka air tanah juga berperan untuk mencegah terjadinya
kebakaran gambut.

Masalah kesuburan lahan gambut meliputi kemasaman yang tinggi, kahat hara
makro P, K, Ca, Mg, dan hara mikro Cu, Zn, dan Bo (Bab 6). Teknologi ameliorasi dan
pemupukan dapat mengatasi masalah kemasaman tanah, keracunan senyawa organikdan
kekurangan unsur hara. Ameliorasi (pemberian tanah mineral, pengapuran,pemberian abu
volkan), pemupukan (pupuk gambut dan pupuk kimia lainnya), dan pemilihan jenis
tanaman yang adaptif dengan kondisi dan sifat lahan gambut disarankan untuk mengatasi
masalah gambut (Bab 10). Pemberian kapur pertanian, tanah mineral dan pupuk dapat
dilakukan untuk meningkatkan pH dan kandungan basa-basa tanah. Pada tanaman
perkebunan, di samping pengaturan kedalaman muka air tanah, perlu diterapkan teknologi
pemadatan tanah untuk meningkatkan daya menahan beban lahan gambut.

Teknologi warisan (indigenous knowledge) yang digunakan petani untuk
meningkatkan produksi pertanian yang ramah lingkungan meliputi cara memilih lokasi
usahatani, penyiapan lahan, pengelolaan kesuburan tanah, penataan lahan, pengelolaan
air, dan pemilihan komoditas.

Keadaan ekonomi petani yang mengandalkan lahan gambut sebagai sumber
pendapatan berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan memberikan sumbangan
terhadap devisa negara (Bab 8). Hampir setiap usahatani yang dikelola dengan baik
memberikan keuntungan yang layak secara ekonomi. Tanaman sawit, karet dan nenas
punya potensi ekonomi yang tinggi di lahan gambut. Pengelolaan sawit yang tepat, telah
memberikan hasil memuaskan. Produksi yang dicapai berkisar antara 24-28 t
TBS/ha/tahun (Bab 10).

Pengembangan Gambut ke Depan

Inpres No. 6 Tahun 2013 tentang penangguhan pemberian izin pengelolaan lahan
gambut akan berakhir pada tahun 2015 (Bab 9 dan Bab10). Oleh karena itu, diperlukan
adanya rumusan strategis penggunaan lahan gambut ke depan. Kriteria ketebalan gambut
perlu ditinjau kembali untuk memungkinkan daerah-daerah yang dominan lahan
gambutnya memanfaatkan lahan untuk tujuan ekonomi dengan tetap menjaga kualitas
lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang baru. Pengembangan lahan gambut
ke depanharus berpedoman pada konsep pembangunan yang bersifat “konstruktif-
adaptif”. Pengalihan fungsi lahan gambut untuk keperluan pertanian harus berdasarkan
kesesuaian dan kemampuan lahan serta penggunaan teknologi yang sesuai (Bab 10).

245

Penutup

Pengembangan gambut ke depan diarahkan untuk tidak membuka hutan gambut
baru tetapi menggunakan lahan gambut yang sudah terdegradasi. Luas hutan rawa gambut
terdegradasi terdapat di Sumatera sekitar 2,03 juta ha, Kalimantan 1,31 juta ha dan Papua
0,40 juta ha. Lahan tersebut umumnya hanya ditumbuhi oleh semak belukar dan/atau
rumput-rumputan, serta telah mengalami degradasi fungsi hidrologi, produksi, dan fungsi
penyimpan karbon akibat aktivitas manusia yang tidak mengindahkan kaidah konservasi
(Bab 9 dan Bab 10). Strategi pemanfaatkan lahan gambut terdegradasi menjadi lahan
pertanian adalah memanfaatkan lahan gambut yang telah terdegradasi/terlantar dengan
penerapan teknologi berwawasan lingkungan seperti pengelolaan air, ameliorasi,
pemupukan, dan pemilihan jenis tanaman yang sesuai.

Pemanfaatan lahan gambut yang ditumbuhi semak belukar untuk tanaman
perkebunan dapat meningkatkan nilai ekonomi lahan dan cadangan karbon biomasa lahan
gambut dari 19 t C/ha menjadi 38 t C/ha, atau setara dengan penyerapan (sequestration)
sekitar 70 t CO2/ha dari atmosfir (Bab 5). Hasil penelitian pada lahan gambut di Provinsi
Jambi menunjukkan bahwa emisi yang bersumber dari lahan gambut yang telah dikelola
untuk perkebunan kelapa sawit berkisar antara 34-38t CO2/ha/tahun (Bab 5).

Diperlukan pemberian insentif kepada petani untuk merehabilitasi dan
memanfaatkan lahan gambut terdegradasi untuk usahatani yang menerapkan kaidah-
kaidah pelestarian lingkungan untuk mendorong terciptanya ekosistim yang seimbang,
meminimalkan risiko kebakaran dan menambah nilai guna lahan gambut. Insentif berupa
bantuan sarana dan prasarana produksi dari pemerintah serta kemudahan akses modal dan
pemasaran, serta pemberian hak guna usaha kepada petani kecil (smallholders) perlu
direalisasikan

Penelitian ke Depan

Untuk menjawab kompleksnya masalah lingkungan, agronomi serta sosialekonomi
lahan gambut diperlukan serangkaian penelitian di lahan gambut, antara lain berkenaan
dengan:

A. Penelitian Dasar

1. Informasi hasil penelitian mengenai karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia
masih terbatas baik pendekatan pada fase padat (solid phase) maupun fase cair
(dissolved organiccarbon). Informasi ini diperlukan untuk memahami faktor yang
menentukan kecepatan perombakan bahan organik dan lamanya waktu tinggal
(residence time) baik dalam kondisi gambut alamiah maupun gambut di lahan
budidaya. Identifikasi proporsi grup gugus fungsional C alifatik dan grup C aromatik
perlu diteliti untuk menentukan fungsional grup mana yang mendominasi gambut di

246

Markus Anda dan Fahmuddin Agus

Indonesia. Penggunaan 13 C Nuclear Magnetic Resonance (13 C NMR) spectrometer
dapat memberikan informasi secara detail sifat fungsional grup tersebut.
2. Penelitian besarnya emisi GRK dan kecepatan perombakan gambut sebagai fungsi
dari berbagai jenis fungsional grup C untuk mengetahui jenis fungsional grup yang
mengontrol emisi CO2, dengan kata lain fungsional grup mana yang rentan dan
tahanterhadap dekomposisi.
3. Penelitian berapa lama waktu yang diperlukan untuk perubahan dari tingkat
dekomposisi fibrik ke hemik dan saprik diperlukan dalam kondisi aerob dan anaerob
dan antar pulau di Indonesia.

B. Penelitian Aplikatif
1. Informasi luasan lahan gambut yang rinci dalam hal ketebalan, tingkat kematangan

dan distribusinya masih terbatas untuk skala operational 1:50.000 atau lebih besar
sehingga diperlukan usaha percepatan pemetaan skala semi detail agar dapat dipakai
sebagai dasar untuk menata pengguanaan lahan gambut untukkawasan hutan
konservasi dan kawasan budidaya.
2. Karakterisitik bahan substratum khususnya bahan kuarsa dan lapisan pirit yang
terdapat di bawah gambut perlu diidentifikasi dan deliniasi agar pembukaan lahan
gambut tidak menghasilkan lahan terlantar dan rusak pada saat lapisan lahan gambut
mulai menipis.
3. Penelitian teknologi pengguanaan citra satelit untuk melakukan monitoring
penggunaan lahan gambut/kekeringan dan pemulihan/rehabilitasi lahan dan lahan
terlantar perlu dikembangkan, dievaluasi dan divalidasi agar hasil yang diperoleh dan
diberikan kepada para stakeholder lebih akurat.
4. Penelitian kuantitatif penurunan permukaan gambut (subsidence) sebagai fungsi
fluktuasi permukaan air gambut, kematangan, dekomposisi pada berbagai musim dan
perbedaan geografi masih kurang informasi untuk mewakili kondisi Indonesia.

247

LAHAN GAMBUT INDONESIA

Pembentukan, Karakteristik, dan Potensi
Mendukung Ketahanan Pangan

Lahan gambut Indonesia, seluas 14,9 juta ha merupakan sumberdaya lahan yang
penting, baik ditinjau dari aspek lingkungan, maupun dari aspek produksi. Peran
penting dari lahan gambut dari aspek lingkungan terutama disebabkan karena
lahan gambut menyimpan karbon dalam jumlah besar. Setiap hektar dan ketebalan
setengah meter tanah gambut menyimpan karbon yang jumlahnya setara dengan
karbon yang tersimpan di dalam biomas hutan alam seluas satu hektar. Selain itu
tanah gambut merupakan penyimpan air dalam jumlah besar sehingga tanah ini
menyimpan air pada musim hujan dan melepaskannya secara perlahan pada musim
kemarau.

Semakin sempitnya lahan untuk pembangunan menyebabkan lahan gambut yang
merupakan lahan sub-optimal banyak digunakan untuk pertanian. Dengan
penerapan teknologi pengelolaan tanah dan air yang tepat, berbagai komoditas
pertanian dapat berproduksi dengan baik dan dengan tingkat keuntungan yang
memuaskan pada lahan gambut. Akan tetapi peningkatan peran ekonomi dari lahan
gambut berisiko terhadap penurunan perannya dalam menjaga stabilitas
lingkungan. Untuk itu diperlukan suatu titik temu (trade-off) dalam pemanfaatan
lahan gambut agar kestabilan ekosistem dapat dipertahankan dan dalam waktu
yang bersamaan lahan gambut dapat memberikan sumbangan terhadap ketahanan
pangan Indonesia. Keseimbangan tersebut dicapai melalui pengelolaan gambut
secara berkelanjutan.

Pembentukan lahan gambut melalui proses yang unik yang sangat berbeda dengan
pembentukan lahan. Aspek pembentukan merupakan salah satu bahasan dalam
buku ini.

Buku ini dapat dijadikan referensi dalam berbagai studi tentang pembentukan,
proses dan pemanfaatan lahan gambut. Bahasan bersifat akademis, tanpa
mengabaikan aspek praktikal. Dengan demikian buku ini dapat digunakan oleh
kalangan akademisi, praktisi dan pemerhati lahan gambut.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Jalan Ragunan No. 29, Pasarminggu, Jakarta 12540
Telp. +62 21 7806202, Faks.: +62 21 7800644


Click to View FlipBook Version