The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by soedito, 2018-09-16 23:02:40

020_MANUAL PENYAKIT HEWAN_Mamalia_487

020_MANUAL PENYAKIT HEWAN_Mamalia_487

kondisi yang membuat kuda mudah terinfeksi seperti stres, kelelahan, dan
juga malnutrisi.

6. Distribusi Penyakit

Penyebaran penyakit pada umumnya masuk ke sistem pencernaan
melalui pakan dan air yang terkontaminasi, dan dapat juga masuk melalui
sistem pernafasan. Penyebaran secara tidak langsung melalui gigitan
serangga atau berbagai perlengkapan peralatan pakan dan kandang.

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala Klinis

Masa inkubasinya amat bervariasi, gejala klinis muncul setelah
beberapa hari setelah infeksi atau sekitar 1 - 2 minggu. Namun demikian
kadang-kadang masa tunas dapat pendek tetapi dapat juga sampai beberapa
bulan bahkan tahun, dan pada beberapa kasus infeksi berjalan subklinis.
Penyakit akan nampak muncul apabila hewan mengalami stres seperti
karena kerja keras yang berlebihan atau kekurangan pakan.

Pada umumnya kuda penderita glanders tidak menampakkan
gejala penyakit, meskipun sebenarnya kuda-kuda tersebut dapat merupakan
sumber penularan untuk kuda-kuda lainnya. Gejala pertama yang nampak
merupakan gejala umum yang tidak spesifik. Pada awalnya kuda nampak
menurun kondisinya, bulu tidak mengkilat dan kasar, mudah lelah, dan ada
kalanya disertai batuk yang kering. Gejala pertama adalah kelainan sebagai
akibat adanya lesi di saluran nafas bagian atas atau kulit yang disertai
dengan demam naik turun dan hilangnya napsu makan dan minum. Gejala
klinis penyakit Glanders secara garis besar dapat dibedakan sebagai bentuk
paru-paru, hidung, dan kulit, penderita dapat pula termanifestasi dari ketiga
bentuk tersebut.

Pada bentuk akut penyakit ditandai dengan demam, batuk serta
bersin (nasal discharge), selanjutnya proses berjalan secara periodik terjadi
penyempitan cuping hidung. Kelenjar getah bening submaxillary membesar
dan terasa sakit jika dipegang. Juga terdapat gejala kegagalan respirasi
(respiratory distress) dan dapat terjadi kematian setelah 2 minggu. Bentuk
akut biasanya umum terjadi pada bangsa keledai dan Bagal, tetapi jarang
pada bangsa kuda, dan jika terjadi pada kuda biasanya adalah bentuk kronis
dengan gejala stres.

194 Manual Penyakit Hewan Mamalia

Gambar 2. Nasal discharge penderita Glanders
(Sumber : http://www.wormsandgermsblog.com/tags/glanders/)

Bentuk kronis ditandai dengan kelesuan, batuk, demam yang
berselang-seling serta juga bentuk hidung dan kulit juga dapat terlihat,
serta pembesaran kelenjar getah bening submaxillary. Dengan istirahat dan
pemberian pakan yang baik akan memberi perbaikan pada kondisi tubuh.

Gejala pertama pada lesi hidung terjadi dengan sekresi yang
bening tipis berasal dari salah satu atau kedua cuping hidung yang kemudian
menjadi purulenta serta kadang-kadang bersama dengan darah. Nodul
pada mukosa hidung dapat pecah dan menyebabkan terjadinya luka yang
ada area nekrosenya. Hal tersebut merupakan suatu proses menyebabkan
terbentuknya bintang pada septum nasal, yang dapat terjadi pada kasus
yang ekstrem. Pada mukosa hidung mungkin dapat ditemukan ulserasi
dan nodulasi, kelenjar limfe submaksiler mengalami pembengkakan, dan
epistasis juga dapat ditemukan pada penderita.

Pada bentuk kulit (farcy), salah satu atau kedua kaki depan biasanya
terinfeksi, selain di kaki lesi juga dapat terjadi di tempat lain. Bentuk kulit
biasanya ditemukan pada sepanjang garis lymphatik yang ada di kulit. Nodul
yang terjadi dengan bentuk seperti kue pea akan pecah dan mengeluarkan
sekresi berwarna kuning abu-abuan disertai nanah, dan meninggalkan luka
di kulit. Bentuk kulit merupakan metastase secara hematogen dari organ-
organ tubuh bagian dalam, dan jarang yang merupakan kejadian primer
penyakit.

2. Patologi

Bentuk paru-paru ditemukan pada semua kasus glanders. Pada
kejadian yang bersifat fatal lesi-lesi banyak ditemukan di dalam paru-paru,
kelenjar limfe trakeal atau bronkhial, mukosa hidung dan kulit. Dapat juga
ditemukan limfangitis subakut atau kronis yang kebanyakan mengenai pada

Manual Penyakit Hewan Mamalia 195

kaki-kaki belakang. Lesi kadang ditemukan pada kelenjar limfe mesenterial,
limpa dan hati, jarang ditemukan di ginjal, dan kadang-kadang pada skrotum
hewan jantan.

Lesi di paru hampir selalu ditemukan pada kuda penderita glanders.
Pada gambaran potongan paru, ditemukan adanya nodul keras dengan
warna keabu-abuan. Nodul pada kejadian pertama berwarna merah tetapi
berikutnya akan berkembang dengan pesat berwarna kekuningan yang akan
membesar sampai terjadi bentukan yang menempel di paru dan tidak mudah
untuk dilepaskan. Apabila nodul masih baru, pusat nodul berwarna putih
kotor, kuning dan bersifat seperti gelatin, bagian pusat terdiri dari nanah yang
mengental. Pada nodul yang tua, akan terdapat pusat nodul yang berwarna
abu-abu dikelilingi oleh bahan yang lunak dan kering, atau oleh kapsul yang
bersifat fibrous.

Lesi di dalam hidung berbentuk sebagai luka, dapat terbentuk pada
bagian mukosa tetapi yang paling banyak adalah pada sekat hidung. Ulserasi
dapat mengakibatkan tertembusnya sekat hidung. Lesi atau luka glanders
mungkin akan mengalami kesembuhan yang akan membekas berbentuk
jaringan parut berbentuk seperti bintang atau stelat.

Lesi kulit yang tersifat dikenal dengan nama “Farcy bud”, pada kulit
atau jaringan bawah kulit ditemukan adanya pembengkakan dengan diameter
2-3 cm atau lebih. Luka Farcy mempunyai lubang yang berbentuk seperti
bibir. Luka dapat meluas dan membesar, biasanya cenderung tidak sembuh
dalam waktu yang lama sehingga terbentuk jaringan parut. Tunas lesi atau
Farcy bud kebanyakan ditemukan di kaki belakang, pada bagian dalam dari
tumit ke bawah. Namun lesi tersebut juga mungkin dapat ditemukan pada
bagian tubuh yang lain.

Gambar 3. Kulit manusia. Terdapat ulserasi ekstensif serta pengelupasan
kulit tangan. Ulkus dapat terselubung melalui pembuluh limfatik
(“Farcy pipes”) yang dipenuh dengan eksudat purulen.
(Sumber : http://www.vetnext.com/search.php?s=aandoening&i
d=73310953989%20187)

196 Manual Penyakit Hewan Mamalia

Bila menyerang pada manusia akan menimbulkan lesi ulserasi yang
ekstensif pada kulit, kulit akan nampak edem dan hemoragi dengan lesi
Farcy berhubungan dengan pembuluh limfe membentuk “Farcy pipes”. Kulit
mengelupas, mengalami penebalan, berwarna kemerahan dengan eksudat
ektensif yang bernanah (dapat dilihat pada Gambar).

3. Diagnosa

Berbagai metoda diagnosa untuk glanders selain dengan berdasar
gejala klinis, hasil pemeriksaan bakteriologis, dapat juga dilakukan secara
serologis, dan uji mallein pada penyakit-penyakit yang gejalanya tersembunyi
atau tidak jelas.

Metode yang dipakai di lapangan selain melihat gejala klinis, untuk
menyeleksi ternak yang terkontaminasi dilakukan dengan intradermo
palpebral mallein test. Uji dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml konsentrat
mullein, disuntikkan 5 mm dibawah pelupuk mata. Reaksi positif ditandai
dengan adanya kebengkakan lokal dan mukopurulent discharge yang terjadi
dalam 24 jam sampai dengan 2-3 hari setelah pengujian. Pada hewan normal
dapat terjadi respon kebengkakan yang sangat ringan pada kelopak mata
yang mungkin terlihat 2-6 jam setelah penyuntikkan, dan akan menghilang
dalam waktu sekitar 12 jam. Cara penyuntikan selain melalui ophthalmik test
juga dapat dilakukan secara subkutaneus atau kutaneus.

4. Diagnosa Banding

Kutaneus klinis glanders dapat dikelirukan dengan epizootik
lymphangitis dan ulceratif lymphangitis, serta akut glanders dapat dikelirukan
dengan strangles.

5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Sampel dapat diambil dari lesi segar. Organisme yang cukup banyak dapat
diperoleh dari olesan lesi segar, jumlah organisme hanya sedikit ditemukan
di lesi yang lebih tua. Selanjutnya harus diwarnai dengan metilen biru atau
pengecatan Gram. Lebih baik pengambilan sampel dari lesi yang tidak
terkontaminasi (belum terbuka). Dalam sampel yang diperoleh biasanya
dalam kondisi yang tidak steril. Untuk menghindari perubahan karakteristik
yang dapat terjadi secara in vitro, maka isolat segar harus digunakan dalam
upaya identifikasi. Media kultur harus dikontrol kualitasnya dan harus dapat
mendukung pertumbuhan organisme dari inokulum kecil. Strain referensi
harus dibudidayakan secara paralel untuk memastikan bahwa tes bekerja
dengan benar. Untuk mengatasi kontaminasi, suplementasi media sampel
dengan zat yang menghambat pertumbuhan bakteri Gram-positif dengan
penambahkan kristal violet atau proflavine telah terbukti bermanfaat.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 197

E. PENGENDALIAN

1. Pengobatan

Jika dipakai pada program eradikasi, maka pengobatan sebaiknya tak
dianjurkan. Di negara dengan kejadian penyakit endemik, disebutkan bahwa
pengobatan dengan sulphadimidine, nitrofurans dan polymyxin memberikan
hasil yang baik. Pengobatan pada kuda memakan waktu yang lama, mahal,
dan tidak dapat sembuh sepenuhnya. Perlu diingat bahwa pengobatan dapat
sangat berbahaya karena pengobatan dapat menyebabkan bentuk carrier
subklinis. Pengobatan dengan sulfadiazine pada manusia dan hamster telah
terbukti efektif untuk melawan glanders.

2. Pencegahan dan Pengendalian

Tak ada respon perkembangan kekebalan yang baik akibat infeksi
glanders, dan vaksin yang pernah dibuat nampaknya tidak efektif. pemotongan
ternak pada kasus kIinis untuk eradikasi glanders tidak dapat sukses karena
adanya bentuk subklinis masih tetap ada dalam populasi.

Jika suatu wabah terjadi, semua ternak yang terkena (kontak)
sebaiknya dikarantina dan uji mallein dengan interval 28 hari untuk mencari
reaktor dan jika ditemukan langsung dipotong. Selain dilakukan uji mullein
secara rutin juga harus diikuti dengan program desinfeksi yang baik, dan
juga pengawasan lalu lintas hewan yang ketat.

Sebagai mana penyakit ini disebarkan oleh proses penggigitan
serangga, penjagaan juga lebih ditekankan pada managemen kandang, juga
pada tempat minum bersama, kandang, semua peralatan termasuk tempat
minum, dan berbagai alat perlengkapan hewan harus didesinfeksi.

198 Manual Penyakit Hewan Mamalia

F. DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc
Rahway, New Jersey, USA.

Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition.
Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd.
Blackwell Publishing Company Australia.

Direktorat Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen
Pertanian RI, Jakarta Indonesia.

Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University
Press Ames.

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D
2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science
Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.

Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the
Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere
Tindall. London England.

Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier
Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.

Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi
Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.

Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum)
Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta Indonesia.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 199

HEARTWATER

Sinonim : Cowdriosis, Black Gall Sickness, Mad Gall Sickness

A. PENDAHULUAN

Heartwater adalah penyakit yang disebabkan oleh Cowdria ruminantum,
dan ditularkan melalui caplak. Gejala akut ditandai dengan demam tinggi,
hydropericardium, hydrothorax dan hydroperitonium yang menyerang domba,
kambing, sapi dan kerbau.

Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Cowdry pada tahun 1925 saat bertugas
di Afrika selatan. Heartwater masih terbatas di negara Afrika yang menyebabkan
kerugian pada ternak domba, sapi dan kambing. Penyebaran penyakit tersebut
terutama di Afrika Timur dan Selatan. Vektor heartwater antara lain Amblyoma
hebraeum, dan species lain dari Amblyoma.

Gambar 1. Berbagai stadium caplak Amblyoma yang menularkan Heartwater.
Setiap stadium caplak sejak stadium terkecil sampai dewasa dapat
menularkan rickettsia.
(Sumber : http://www.vetmed.ucdavis.edu/vetext/INF-DA/INF-DA_
HEARTWATER.HTML)

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan adalah kerusakan fisik daging, defisiensi
protein pada hewan, dan tingginya biaya program kontrol pembasmian caplak.

B. ETIOLOGI

Heartwater disebabkan oleh golongan Ricketsia yaitu species Cowdria
ruminantium. C.ruminantium menyerang sel endothel dari pembuluh darah
kapiler, mempunyai bentukan berupa polymorph, coccoid (0,3 µ), batang (0,3-
0,5 µ), dan diplococcus. Pewarnaan dengan Giemsa, cytoplasma Rickettsia akan
berwama biru tua, sedangkan nucleus berwarna merah muda.

200 Manual Penyakit Hewan Mamalia

Ricketsia sifatnya sangat labil, dalam darah hanya tahan beberapa jam bila berada
dalam temperatur kamar. Dalam temperatur -700C dapat bertahan hidup selama
2 tahun. Diketahui ada beberapa galur C.ruminantium yang secara imunologik
berbeda atau dengan kata lain terdapat beberapa serotipe C.ruminantium.

C. EPIDEMIOLOGI

1. Spesies rentan

Hewan yang rentan terhadap penyakit ini antara lain sapi, kerbau,
kambing, domba dan jungulate liar. Di daerah tempat penyebaran heartwater
banyak ditemukan berbagai genus caplak akan tetapi yang bertindak
sebagai vektor hanyalah “bont” tick dan Amblyoma sp. saja. Larva caplak
yang terinfeksi tetap mengandung bibit penyakit sampai menjadi dewasa,
akan tetapi tidak terjadi penularan secara transovarial.

Gambar 2. Caplak Heartwater sedang menghisap darah sapi. Saat menghisap
darah, caplak ini menularkan rickettsia dari sapi satu ke sapi
lainnya.
(Sumber : http://www.vetmed.ucdavis.edu/vetext/INF-DA/INF-
DA_HEARTWATER.HTML)

2. Pengaruh Lingkungan

Biasanya heartwater terjadi selama musim penghujan dimana
caplak aktif mencari induk semang terutama domba dan sapi.

3. Sifat Penyakit

Penyebaran penyakit heartwater hampir ke seluruh wilayah Afrika
Selatan dan Afrika Timur. Di daerah ini penyebaran vektor Amblyoma sp
sangat sulit dikendalikan, karena caplak Amblyoma sp dewasa dapat hidup
10 bulan tanpa makanan.

Walaupun penularannya tidak begitu cepat (angka morbiditas rendah),
namun karena sering mengalami kematian akibat busung air dan kekurusan

Manual Penyakit Hewan Mamalia 201

maka penyakit ini merupakan penyakit penting yang harus diwaspadai.
Penyakit ini merupakan penyakit yang bersifat enzootik di Benua Afrika.

4. Cara Penularan

Ternak yang telah terinfeksi bila tidak mati akan rnemiliki kekebalan
terhadap galur yang homolog, walau kekebalan ini tidak selalu cukup pada
setiap hewan. Bila ternak terinfeksi oleh serotipe yang berbeda kekebalan
itu bersifat parsial. Ternak yang memiliki kekebalan di dalam aliran darahnya
dan masih mengandung C.ruminantium yang aktif, maka ternak semacam ini
masih dapat bertindak sebagai reservoir, dan mampu menularkan penyakit
melalui caplak bila mengisap darahnya.

Gambar 3. Burung bangau diketahui sebagai pembawa caplak Heartwater.
(Sumber : http://www.vetmed.ucdavis.edu/vetext/INF-DA/INF-
DA_HEARTWATER.HTML)

Anak sapi yang berumur sampai 3 minggu sangat rentan terhadap
heartwater, dan dapat dikebalkan dengan cara menyuntikkan serum dari
hewan yang terinfeksi. Cara ini banyak dilakukan dl daerah enzootik di Afrika
Selatan, yang walaupun kadang-kadang timbul reaksi post-inokulasi akan
tetapi tindakan ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan kerugian
akibat infeksi alam pada anak sapi yang lebih tua.

5. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi terjadinya penyakit adalah adanya infestasi caplak
di tubuh ternak. Sebaiknya ternak yang terinfestasi caplak harus segera
diobati sehingga kemungkinan penularan penyakit dapat dicegah

6. Distribusi Penyakit

Kejadian heartwater di Indonesia belum pernah dilaporkan. Di Afrika
Selatan dan Afrika timur penyakit ini sering dijumpai, antara lain di negara
Rhodesia, Bostwana, Zambia, Swazilanda, Uganda, Kenya, Ethiopia, Sudan,
Cameroon, Congo, Tunisia dan Madagascar.

202 Manual Penyakit Hewan Mamalia

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala Klinis

Gejala klinis yang dapat ditemukan adalah adanya hydrothorax,
hydropericardium, oedema paru-paru, limpa membengkak, dan kadang-
kadang ditemukan gastroenteritis hemorhagica. Masa inkubasi antara 7-
14 hari setelah ternak terinfeksi. Dalam kasus perakut timbuI demam, kolap
(collapses) dan mati dalam keadaan konvulsi, disertai pengeluaran lendir
berbusa dari hidung dan mulut. Kasus yang akut lebih sering terjadi, dengan
gejala demam, makan dan memamah biak masih terus berlangsung untuk
beberapa saat, tetapi hewan segera menjadi gelisah dan memperlihatkan
gejala-gejala syaraf, berjalan dengan kaku, langkah tinggi dan tidak tetap,
berputar, mata terbuka tanpa melihat, dan mulut bergerak seperti sedang
mengunyah. Kemudian akan kolaps dalam keadaan konvulsi dan berakhir
dengan kematian. Dalam bentuk subakut dan kronik gejala-gejala tersebut
nampaknya keadaanya lebih ringan.

Gambar 4. Konvulsi merupakan gejala klinis heartwater. Gambaran pada rusa
ini menunjukkan bahwa ruminansia liar berpotensi menimbulkan
wabah heartwater.
(Sumber : http://www.vetmed.ucdavis.edu/vetext/INF-DA/INF-
DA_HEARTWATER.HTML)

2. Patologi

Hewan yang mati akibat bentuk perakut jarang menunjukkan
perubahan pasca-mati Bentuk akut, hidropericardium tidak selalu terlihat
pada domba dan sapi. Selaput lendir mengalami kongesti. oedema paru-
paru selalu ditemukan. Ruang pleura dan peritoneum berisi cairan yang
berlebihan dengan berbagai hemorrhagi pada lapisan serosa, viscera
dan jantung. Limpa dan simpul limfe membesar, terutama pada sapi. Hati
membesar dan hemorrhagi, kantong empedu menegang. Pada mukosa usus
halus terlihat garis-garis zebra akibat pembendungan pembuluh kapiler.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 203

Gambar 5. Gambaran jantung yang dikelilingi oleh cairan eksesif pada
pericardium.
(Sumber : http://www.vetmed.ucdavis.edu/vetext/INF-DA/INFDA_
HEARTWATER.HTML)

Gambar 6. Selain di sekitar jantung, cairan juga terlihat di rongga tubuh lain
seperti di sekitar paru-paru pada rongga dada.
(Sumber : http://www.vetmed.ucdavis.edu/vetext/INF-DA/INF-
DA_HEARTWATER.HTML)

3. Diagnosa

Diagnosa didasarkan pada gejala klinis dan perubahan makroskopik.
Secara histopatologis akan ditemukan rickesttsia dalam sitoplasma sel
endotel.

Diagnosa dilakukan dengan membuktikan adanya rickettsia dalam
jaringan tersangka atau dengan jalan membuat postulate Koch pada domba,
dengan material yang diambil 2-4 hari setelah timbul gejala klinis hewan yang
diduga sakit akan memberikan diagnosa yang paling baik.

4. Diagnosa Banding

Bluetongue, anthrax, theileriosis acut, tetanus, keracunan strychnine
dan hipomagnesemia.

204 Manual Penyakit Hewan Mamalia

5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

C.ruminantium menyerang sel endothel pembuluh darah dan dapat
ditemukan dalam sediaan yang dibuat dari hippocampus, cortex cerebri dan
intima pembuluh darah yang besar. Sediaan tersebut dibuat dengan metode
preparat impresi otak yang difixasi dalam methanol di lapangan. Darah
yang diambil dari hewan sakit dalam stadium demam dapat dipakai sebagai
bahan penyakit dan ditularkan secara intravenus kepada hewan yang rentan.
Masa tunas antara 7-14 hari. Di samping itu bila diperlukan di lapangan
dapat juga dilakukan penyuntikan pada tikus dan selanjutnya dikirimkan ke
laboratorium.

E. PENGENDALIAN

1. Pengobatan

Pengobatan dapat dilakukan dengan Terramycin (Tetracycline) secara
intra muscular 2 mg/kg berat badan, atau melalui air minum 2-4 hari dengan
dosis sebagai berikut :

a. Kambing, 300 mg/hari/12.5 kg berat badan.
b. Domba, 200 mg/hari/12.5 kg berat badan
c. Sapi, 200-250 mg/hari/50 kg berat badan

2. Pencegahan dan Pengendalian

Pencegahan dapat dilakukan dengan :

a. Hewan tertular di isolasi dan diobati
b. Dilakukan kontrol terhadap caplak terutama Amblyoma spp. dengan

rotasi pengembalaan (rotational grazing).
c. Dilakukan pemeriksaan darah terhadap adanya C.ruminantum sampai 2

bulan berturut-turut (karena dalam masa tersebut C.ruminantum masih
infektif dalam tubuh hewan).

Pengendalian caplak sangat bermanfaat dilaksanakan guna mencegah
infeksi, umpamanya dengan “dipping” dalam larutan benzene hexachloride.
Darah yang infektif dapat digunakan sebagai vaksin untuk di daerah tertular,
terutama pada anak sapi sampai umur 3 minggu. Bila timbul reaksi post
vaksinal pada anak sapi atau yang dewasa, perlu digunakan antibiotik yang
spesifik adalah tetracycline dengan dosis domba 6-8 mg/kg berat badan dan
sapi 4-6 mg/kg berat badan. Penggunaan antibiotika lain juga dapat dilakukan
seperti terramycine, streptomycin dan sulfonamide akan menghasilkan
respon yang baik.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 205

F. DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc
Rahway, New Jersey, USA.

Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition.
Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd.
Blackwell Publishing Company Australia.

Direktorat Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen
Pertanian RI, Jakarta Indonesia.

Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University
Press Ames.

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D
2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science
Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.

Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the
Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere
Tindall. London England.

Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier
Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.

Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi
Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.

Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum)
Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta Indonesia.

Uilenberg 1981. Heartwater Disease dalam Disease of Cattle in The Tropics,
edited by Miodrage Ristic and Ian Me Intyre. Martinus Nijhoff Publishers.
London. England.

206 Manual Penyakit Hewan Mamalia

LEPTOSPIROSIS

Sinonim: red water disease, infectious hemoglobinuria, flabby udder, yellow
disease, stuttgart disease dan canine typhus (pada hewan), weil’s disease,

seven-day fever, autumn fever, rice field fever, swamp fever, mud fever,
swineherds disease,fort bragg fever dan canicolafever (pada manusia).

A. PENDAHULUAN

Leptospirosis adalah penyakit infeksi pada hewan mamalia dan juga dapat
menular pada manusia yang disebabkan Leptospira sp. Kasus leptospirosis pada
hewan dan manusia telah banyak dilaporkan di berbagai negara.

Dalam perkembangan penyakitnya, terdapat berbagai fase yang dapat saling
tumpang-tindih terjadi pada hostnya, yaitu fase leptospiremia, fase pembentukan
antibodi, dan fase leptospiruria.

Gejala klinis leptospirosis sangat bervariasi,bergantung pada kepekaan host
yang terinfeksi dan virulensi agen penyebabnya, yaitu mulai dari yang ringan
atau bahkan subklinis sampai dengan yang berat yang dapat menimbulkan
kematian. Kematian penderita leptospirosis akibat terjadinya degenerasi ginjal
dan nekrosis hati. Pada kasus-kasus akut, gejala klinis leptospirosis yang sering
teramati adalah agalaktia, hemoglobinuria dan ikterus, atau kejang-kejang akibat
terjadinya meningitis. Sedangkan pada kasus-kasus kronis, gejala klinisnya
adalah abortus, lahir-mati, lahir-dini, anak yang dilahirkan dengan kondisi Iemah,
atau infertilitas. Pada kuda dapat terjadi periodik opthalmia (moon blindness).

Kematian yang terjadi pada ternak, terutama pada ternak muda, agalaktia, dan
berbagai gangguan pada sapi, babi dan domba merupakan dampak leptospirosis
yang merugikan peternak.

B. ETIOLOGI

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan Leptospira intterogans.
Pada awalnya dikenal berbagai macam species Leptospira, namun sekarang
hanya dikenal satu macam yaitu Leptospira interrogans dengan berbagai
serotype atau serovar.

Selama fase leptospiruria, leptospira dikeluarkan tubuh bersamaan dengan
dikeluarkannya urin. Di luar tubuh, daya tahan hidupnya banyak dipengaruhi
kondisi tanah dan air tempat bakteri tersebut berada. Kelembaban, pH tanah
yang netral, dan suhu sekitar 25°C diperlukan untuk mempertahankan kehidupan
leptospira di luar tubuh. Makin lama hidup, maka makin banyak peluangnya untuk
menginfeksi host baru yang peka.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 207

Kelembaban diperlukan untuk mempertahankan kehidupan leptospira. Hal ini
ditunjukkan dari suatu percobaan bahwa pada tanah dengan kandungan air yang
banyak dapat memelihara kehidupan leptospira sampai 193 hari, tetapi hanya 30
menit jika tanah tersebut kering. Selain kelembaban, pH dan suhu juga sangat
berpengaruh untuk mendukung kehidupan leptospira. Kehidupan leptospira
terhambat pada pH di bawah 6 atau Iebih besar dari pH 8, dan juga kehidupannya
terancam pada suhu lebih rendah dari 7-10°C atau Iebih tinggi dari 34-36°C.

Sementara itu, di dalam susu sapi, leptospira hanya bertahan hidup selama 30
menit, tetapi jika susu tersebut terencerkan dengan air tawar maka leptospira
dapat bertahan hidup selama 60 hari. Di dalam urin babi, leptospira hanya
bertahan hidup selama 6 hari, dan pada urin sapi yang terencerkan dengan air
tawar, leptospira bertahan hidup selama 35 hari. Selain itu, leptospira akan mati
dengan cepat jika dipaparkan pada sinar matahari, desinfektan, detergen, atau
sabun.

Spesies bakteri penyebab leptospirosis L.interrogans, termasuk dalam famili
Leptospiraceae dari ordo Spirochaetales. Secara serologis, anggota spesies
ini dapat dibedakan menjadi serovar-serovar, dan serovar-serovar yang hampir
sama sifat genetiknya dikelompokkan menjadi satu kelompok serogroup. Sampai
saat ini telah diketahui terdapat 172 jenis serovar yang dikelompokkan menjadi
19 jenis serogroup.

Gambar 1. Leptospira interrogans
(Sumber : http://www.microbeworld.org/index.php?option=com_jlibrary&view=ar

ticle&id=7609 dan http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Leptospira)

Leptospira interrogans berbentuk batang helikoidal yang lentur dengan diameter
0,1 µm dan panjangnya 6-12 µm. Setiap sel bakteri ini memiliki 18 lekukan atau
lebih dengan amplitudo 0,10-0,15 µm dan panjang gelombangnya kira-kira 0,5
µm. Biasanya, salah satu atau kedua ujung selnya membengkok. Spesies ini
bergerak dengan gerakan yang khas, yaitu berotasi secara bolak-balik sepanjang
sumbu memanjangnya bersamaan dengan gerakan maju-mundur searah
dengan arah sumbu memanjangnya. Spesies ini adalah aerob obligat dengan
suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah 28-30°C, dan waktu generasinya
6-16 jam. L.interrogans tergolong dalam bakteri gram negatif, tetapi spesies ini
tidak mudah menyerap zat warna anilin, sehingga diperlukan pewarnaan khusus

208 Manual Penyakit Hewan Mamalia

untuk rnewarnainya. Spesies ini yang tidak diwarnai tidak dapat dilihat dengan
mikroskop medan terang, tetapi mudah dilihat dengan menggunakan mikroskop
medan gelap atau mikroskop kontras-fase.

C. EPIDEMIOLOGI

1. Spesies rentan

Semua mamalia, terutama sapi, kambing, domba, babi, kuda, anjing,
kucing, tikus dan manusia merupakan spesies yang banyak dilaporkan terserang
leptospirosis. Situasi leptospirosis pada spesies ternak dapat digambarkan
sebagai berikut :

Di Indonesia ternak sapi terutama terinfeksi dengan serovar pomona,
dan serovar hardjo, dan sapi bertindak sebagai hewan carrier dari kedua
serovar tersebut. Di negara-negara lain, kedua serovar tersebut telah
dilaporkan sebagai penyebab gangguan reproduksi papa sapi, pan serovar
hardjo telah dilaporkan sebagai penyebab agalaktia dan mastitis pada sapi.

Babi sering bertindak sebagai hewan carrier dari serovar pomona
dan serovar tarassovi. Di negara-negara lain, kedua serovar tersebut
bertindak sebagai penyebab gangguan reproduksi papa babi.

Sedangkan spesies ternak lainnya, yaitu kerbau, domba dan kambing
belum diteliti secara intensif.

2. Pengaruh Lingkungan

Lingkungan dari peternakan berpengaruh terhadap prevalensi
leptospirosis pada ternaknya. Prevalensi leptospirosis akibat L.hardjo pada
sapi potong setelah terjadinya hujan dan pada peternakan dengan tanah
yang becek ternyata lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pengamatan pada
lingkungan yang basah terjadi infeksi leptospira yang tinggi terjadi pada
tikus dan sapi. Adanya genangan air atau akibat hujan lebat tampaknya
memperlama kehidupan dan meningkatkan penyebaran leptospira sehingga
kejadian leptospirosis akan berlangsung terus menerus sepanjang musim
penghujan, terutama jika terdapat banyak tikus.

3. Sifat Penyakit

Bergantung pada spesies host, serovar penyebab, dan daerah host
berada, maka leptospirosis dapat bersifat sporadis atau endemis. Pada babi,
leptospirosis akibat pomona di Jawa bersifat endemis.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 209

4. Cara Penularan

Urine dari hewan yang terinfeksi, air atau tanah yang terkontaminasi
dengan urin terinfeksi, jaringan dari hewan terinfeksi, atau cairan tubuh
hewan terinfeksi merupakan sumber penularan leptospirosis.

Penularan leptospirosis dapat terjadi baik secara kontak langsung
atau kontak tidak langsung. Kontak langsung yang paling sering pada ternak
adalah melalui inhalasi yaitu droplet urin terinfeksi langsung masuk alveoli
host lain. Sedangkan penularan melalui kontak tidak langsung terjadi jika host
peka terpapar dengan air atau tanah yang terkontaminasi dengan leptospira
yang terdapat di dalam sumber penularan.

5. Faktor Predisposisi

Leptospirosis merupakan penyakit infeksi akut yang dapat
menyerang manusia maupun hewan (zoonosis) yang disebabkan oleh bakteri
Leptospira sp. Penyebaran leptospirosis di Indonesia sudah sangat luas di
sebagian besar Propinsi dengan angka kematian cukup tinggi. Cakupan air
bersih yang rendah (air telah tercemar), status kesehatan yang menurun,
atau malnutrisi akan memudahkan terjadinya leptospirosis. Sungai atau
danau yang telah tercemar leptospira akan merupakan sumber penularan
bagi hewan atau manusia yang memanfaatkan air tersebut.

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala Klinis

Pada sapi leptospirosis dapat berlangsung cepat, atau secara
bertahap, atau secara klinis tidak terlihat (subklinis). Pada kasus-kasus akut
dan subakut biasanya terjadi fever (1-2,5°C di atas normal) yang berlangsung
sampai 4-5 hari, dengan disertai malaise, depresi, hilang nafsu makan,
kelemahan, konjuntivitis, anemis dan diare. Pada kasus yang lebih berat,
hemoglobinuria akibat terjadinya anemia hemolitik sering merupakan gejala
klinis pertama yang menarik perhatian. Urin menjadi merah gelap atau hampir
hitam. Ikterus dan ensefalitis dapat juga teramati. Angka kematian bervariasi,
bergantung pada umur hewan dan serovar yang terlibat. Kematian terjadi
setelah beberapa hari diakibatkan terjadinya degenerasi berat dari ginjal
yang disertai nekrosis hati.

Selama kasus akut pada sapi laktasi, air susu berwarna kuning
dan menggumpal, kemudian diikuti dengan agalaktia yang pada umumnya
berlangsung selama beberapa hari sampai 2 minggu. Pada sebagian besar
sapi berproduksi dapat normal kembali dalam 2-3 minggu, tetapi ada juga
sapi yang gagal berproduksi dapat normal kembali.

210 Manual Penyakit Hewan Mamalia

Encefalitis mungkin terjadi pada kasus akut leptospirosis tetapi
gejala klinisnya sering tidak dapat diamati. Nefritis terjadi pada bentuk akut
dan bentuk kronis leptospirosis. Pada kasus akut leptospirosis dapat dikenali
adanya hemoglobinuria atau hematuria.

Gejala klinis yang sering terlihat pada leptospirosis sapi adalah
abortus dan lahir-mati yang terjadi 1-3 minggu setelah gejala klinis pertama
terlihat. Gangguan ini sering terjadi pada sepertiga akhir masa kebuntingan.

Gejala klinis pada babi muda biasanya terjadi demam (0,5°C - 1,5°C
di atas normal), anoreksia, kelemahan, konjuntivtis, ikterus, hemoglobinuria,
dan gangguan syaraf pusat (kejang-kejang). Infeksi pada babi dewasa tidak
bunting biasanya tidak memperlihatkan gejala klinis. Sedangkan pada babi
bunting dapat mengakibatkan abortus, lahir-mati dan kematian neonatal.

2. Patologi

Pada kasus akut, patologi yang terlihat adalah ikterus, karkas terlihat
kuning, hati dan ginjal membengkak, korteks ginjal coklat kemerahan. Urin
di dalam vesika urinaria dapat terlihat berwarna merah atau hitam. Pada
pemerikaan secara histologi lesi utama yang ditemukan adalah berupa
radang ginjal interstitialis, baik yang bersifat fokal atau difus. Perubahan
nekrotik yang bersifat sentrolobuler dan vaskuler terdapat pada histologi hati.
Lesi pada hati terdapat meluas pada kasus yang bersifat fatal. Pada kasus
kronis, pada permukaan ginjal terlihat bercak-bercak putih tampak pada
korteks ginjalnya.

Gambar 2. Interstisial nephritis pada sapi yang terinfeksi Leptospirosis.
(Sumber : http://www.fao.org/docrep/003/t0756e/T0756E03.htm)

Manual Penyakit Hewan Mamalia 211

Gambar 3. Paru-paru anjing. Ptechiae tersebar merata pada paru-paru yang
terinfeksi Leptospirosis.
(Sumber : http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/disease-
images.php?name=leptospirosis)

Gambar 4. Ginjal anjing. Terdapat bintik-bintik pucat hingga bergaris pada
korteks disertai tubulointerstitial nephritis.
(Sumber : http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/disease-
images.php?name=leptospirosis)

3. Diagnosa

Pada leptospirosis, gejala klinis dan patologi yang terjadi pada host
tidak patognomonis, sehingga diagnosa klinis dan Patologi harus diteguhkan
dengan diagnosa laboratorium.

Diagnosa laboratorium ini bertujuan untuk:

a. Mendemonstrasikan adanya antibodi antileptospira di dalam serum host
b. Mendemonstrasikan leptospira yang berada di dalam tubuh host. Untuk

memberikan hasil diagnosa yang akurat, maka perlu pemilihan jenis
spesimen yang sesuai dengan fase yang terjadi pada leptospirosis.

Pada kasus akut leptospirosis, untuk hewan penderita yang masih
hidup didiagnosa dengan mendemonstrasikan adanya kenaikan titer antibodi
antileptospira yang berada di dalam serum akut dan serum konvalesensi.
Jika hewannya telah mati, maka diagnosa yang harus dilakukan adalah

212 Manual Penyakit Hewan Mamalia

mendemonstrasikan adanya leptospira di dalam jaringan dan cairan tubuh.
Pada kasus-kasus yang memperlihatkan gangguan syaraf, spesimen yang
didiagnosa adalah otak, sumsum tulang belakang, cairan serebrospinal
dan mata. Sedangkan pada kasus-kasus terjadi ikterus, spesimen yang
didiagnosa adalah organ-organ parenkim, tetapi jangan hanya ginjal saja
yang didiagnosa.

Pada kasus leptospirosis kronis, diagnosa bertujuan untuk :

a. Menentukan hewan carrier
b. Menentukan penyebab abortus, lahir-mati, dan gangguan reproduksi

lainnya.

Diagnosa penentuan hewan carrier adalah dengan mendemonstrasikan
titer antibodi antileptospira. Dalam hal ini tidak diperlukan serum pasangan
karena biasanya titer sudah mulai menurun. Masalah dalam diagnosa ini
adalah banyak hewan yang secara serologis dikategorikan negatif tetapi
masih pada fase leptospiruria. Pada sapi dan babi, masing-masing sebanyak
51,6% dan 77,8% hewan carrier yang dikategorikan negatif secara serologis
menggunakan uji aglutinasi mikroskopik. Diagnosa hewan carrier dapat
juga dengan mendemonstrasikan adanya leptospira di dalam urin, tetapi
diagnosa ini tidak dianjurkan, karena diagnosa negatif tidak berarti hewan
tidak mengandung leptospira di dalam urinnya.

Diagnosa pada kasus-kasus abortus yang paling akurat adalah
dengan mendiagnosa fetusnya, yaitu :

a. mendiagnosa adanya antibodi antileptospira pada serum fetus
b. mengisolasi leptospira dari paru-paru dan ginjal fetus
c. menguji secara immunofluoresen adanya leptospira paru-paru, ginjal

dan adrenal fetus.

Terdapat berbagai jenis uji serologis untuk mendiagnosa leptospirosis,
di antaranya adalah uji aglutinasi mikroskopik (UAM), uji fiksasi komplemen
(CFT), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Di antara uji tersebut,
UAM merupakan uji yang paling banyak dipakai dan digunakan sebagai uji
standar untuk menilai uji serologis lainnya. Dalam UAM, titer 1:100 atau lebih
ditafsirkan sebagai positif.

4. Diagnosa Banding

Bentuk akut dan subakut leptospirosis pada sapi harus dibedakan
dari babesiosis, anaplasmosis, hemoglobinuria basiler, hemoglobinuria
postpartus dan anemia hemolitika akut. Pada babi, terjadinya kasus-kasus
gangguan reproduksi harus dibedakan dengan brucellosis, infeksi parvovirus,
pseudorabies, dan hog cholera.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 213

5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Spesimen untuk pemeriksaan serologis berupa serum. Serum kira-kira
2 ml ditempatkan dalam botol, tanpa penambahan pengawet dan dikirimkan
secepatnya ke laboratorium veteriner. Selama dalam perjalanan serum harus
selalu dingin.

Untuk isolasi agen penyebab leptospirosis, spesimen dapat
diawetkan dalam medium transport, BSAD (bovine serum albumin diluent)
kemudian segera dikirim ke laboratorium dalam termos berisi es.

E. PENGENDALIAN

1. Pengobatan

Sapi
Pada sapi, pengobatan dengan dihidrostreptomisin dengan dosis
11 mg/kg berat badan setiap 12 jam selama 3 hari, atau 5 gram sehari dua
kali selama tiga hari berturut-turut, efektif untuk menyembuhkan kasus akut
leptospirosis dan mengeliminasi leptospira dari ginjal. Kombinasi antibiotik
penicilin dan eritromisin juga dapat efektif mengatasi radang ginjal kronik dan
leptospirosis.

Babi
Pada babi, pengobatan dapat dilakukan dengan memberi makanan
yang telah dicampur oksitetrasiklin (500 g oksitetrasiklin per ton pakan)
selama 14 hari yang diberikan satu bulan sebelum partus, atau campuran
400 g klortetrasiklin per ton pakan diberikan selama 10 hari dan diberikan
2 bulan sebelum partus. Pengobatan secara ini dapat mengurangi kasus
abortus dan kematian neonatal. Pemberian dihidrostreptomisin, pada awal
terjadinya penyakit, dengan dosis 25 mg/kg berat badan setiap hari selama
3 hari, efektif mengurangi gejala klinis dan mencegah abortus.

2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Vaksinasi.

Pada sapi biasanya digunakan vaksin hardjo-pomona. Vaksinasi
pertama pada saat pedet berumur 4-6 bulan, kemudiaan diikuti dengan
vaksinasi ulang setiap tahun. Pada babi biasanya digunakan vaksin pomona-
tarassovi. Vaksinasi diberikan pada anak babi umur 3 bulan dan babi bunting.
Babi bibit harus divaksinasi setiap 6 bulan.

214 Manual Penyakit Hewan Mamalia

Pencegahan penyebaran infeksi.

Untuk mencegah penyebaran infeksi dianjurkan :

a. Setelah diketahui terjadi letupan leptospirosis pada peternakan sapi,
maka catat suhu harian semua sapi pada peternakan tersebut, dan
karantinakan sapi-sapi dengan suhu 39.5°C dan diobati dengan
dihidrostreplomisin.

b. Dekontaminasi atau musnahkan semua ekskreta, fetus abortus dan
membran fetus.

c. Dijaga supaya air minum sapi tidak terkontaminasi dengan urin hewan
terinfeksi leptospirosis.

d. Daerah-daerah berlumpur dieliminasi.
e. Diusahakan agar kerumunan sapi ketika minum, makan dan di kandang

tidak terlalu padat.
f. Periksa secara serologis serum semua hewan pada saat leptospirosis

terjadi dan diulangi sebulan kemudian, dan karantinakan hewan yang
menunjukkan kenaikan titer antibodi antileptospira.
g. Jangan memasukkan hewan baru ke dalam peternakan paling sedikit
selama 6 bulan, dan dijaga agar hewan yang tidak terinfeksi terisolasi dari
kelompok hewan terinfeksi selama 6-9 bulan setelah kasus leptospirosis
terakhir terjadi.
h. Minimalkan atau cegah terjadinya kontak dengan jenis ternak lain, tikus
dan hewan liar Iainnya.
i. Jika digunakan inseminasi buatan, maka gunakan semen dari pejantan
yang bebas leptospirosis.
j. Hewan-hewan bunting dipisahkan dari hewan yang tidak bunting.

F. DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc
Rahway, New Jersey, USA.

Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition.
Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd.
Blackwell Publishing Company Australia.

Carrol A G, Campbell R S F 1987. Reproductive And Leptospiral Studies On Beef
Cattle In Central Queensland. Aus. Vet. J., 64: 1-5. Collier, W.A. 1948.
Maladie Des Porchers In Niederlandisch Indies. Schweiz. Med. Wschr,
78:508-509.

Darodjat M, Nurhadi A, Hutabarat T 1994. Prevalence Of Leptospiral Antibodies
In Cattle In West And East Nusatenggara. Chaps Book B. Eastern
Islands Veterinary Service Project.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 215

Faine S 1982. Guidelines For The Control Of Leptospirosis. World Health
Organization, Geneva.

Direktur Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen
Pertanian RI, Jakarta Indonesia.

Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University
Press Ames.

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire
D 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell
Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.

Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the
Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere
Tindall. London England.

Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier
Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.

Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi
Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.

Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum)
Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta Indonesia.

216 Manual Penyakit Hewan Mamalia

LISTERIOSIS

Sinonim : Listerellosis, Creeping disease, Silage sicknes

A. PENDAHULUAN

Listeriosis adalah penyakit yang menyerang kuda, sapi, domba, anjing, babi,
binatang pengerat dan mamalia serta spesies lainnya. Penyakit ini disebabkan
oleh genus Listeria, gejala-gejala pada hewan dapat menyebabkan encephalitis
atau meningo-encephalitis serta konjungtivitis. Pada sapi dan domba dapat pula
menyebabkan keguguran, berjalan berputar-putar, sempoyongan dan paralysis.
Penyakit ini dijumpai di berbagai Negara.

B. ETIOLOGI

Penyakit ini disebabkan oleh Listeria monocytogenes (L.monocytogenes),
Gram positif, tidak berspora, berbentuk bulat panjang, ukuran 0,5-1,2 µ, tidak
berselaput, bersifat motil, membentuk rantai pendek 3-8 sel, kadang-kadang satu
atau dua-dua atau mempunyai dua bentuk.

Gambar 1. Listeria monocytogenes Gambar 2. Listeria monocytogenes
Pewarnaan Gram (Sumber:http://en.wikipedi.
(Sumber : http://textbook org/wiki/Listeria_
o f b a c t e r i o l o g y. n e t / monocytogenes)
Listeria.html)

C. EPIDEMIOLOGI

1. Spesies rentan

Spesies rentan terhadap penyakit ini adalah sapi, domba, kuda, babi,
dan beberapa spesies lainnya.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 217

2. Pengaruh Lingkungan

Penyakit sering terjadi pada daerah panas atau dingin (apa memang
seperti ini? Apa bukan salah satunya?), pada masa peralihan musim terjadi
peningkatan populasi bakteri dan kemungkinan terjadi infeksi terhadap
hewan-hewan yang rentan.

3. Sifat Penyakit

Penyakit bersifat epidemik atau sporadis dengan kejadian penyakit
yang tinggi. Pada waktu terjadi wabah angka mortalitas dan morbiditas pada
hewan muda lebih tinggi dibanding hewan dewasa.

4. Cara Penularan

Penularan dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang tercemar
oleh bakteri L.monocytogenes, feses, air susu induk, lendir dari vagina dari
hewan penderita.

5. Faktor Predisposisi

Penyakit terutama menyerang pada hewan yang imunitasnya rendah,
banyak menyerang pada hewan tua, sedang bunting, atau hewan yang baru
lahir.

6. Distribusi Penyakit

Kasus pertama dilaporkan pada tahun 1984 di Medan Sumatera
Utara.

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala Klinis

Gejala klinis penyakit bersifat akut yang dapat dideteksi dengan
adanya demam yang tinggi mencapai 400C. Hewan akan mengalami
depresi, tidak mau makan, nampak berputar-putar, sempoyongan, paralysis,
dan keguguran pada hewan yang sedang bunting.

2. Patologi

Pada babi ditandai dengan adanya focal hepatic necrosis, meningitis,
infiltrasi sel radang pada otak, perivasculer cuffing.

Pada kalkun ditandai dengan focal hepatic necrosis septicaemia, dan
myocarditis.
Pada domba dan sapi ditandai dengan meningitis dan encephalitis.

218 Manual Penyakit Hewan Mamalia

3. Diagnosa

Diagnosa dilakukan dengan isolasi dan identifikasi L.monocytogenes
menggunakan media tryptose agar atau blood agar, kemudian diinkubasikan
pada temperatur 370C selama 18-24 jam. Diagnosa juga dapat dilakukan
dengan membuat preparat histopatologi, untuk kemudian identifikasi secara
histologis.

4. Diagnosa Banding

Penyakit listerosis dapat dikelirukan dengan berbagai penyakit berikut:
a. Aujeseky’s disease
b. Rabies
c. Erysipelas
d. Hog cholera
e. Influenza

5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Spesimen yang diambil dapat berupa swab dari vagina atau otak,
kemudian dikirim ke laboratorium veteriner setempat dalam keadaan steril
dan segar.

E. PENGENDALIAN

1. Pengobatan

Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotika seperti penicillin,
tetracycline, terramycin, dan penambahan terapi suportif berupa vitamin.

2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

Pencegahan dapat dilakukan dengan:

a. Meningkatkan sanitasi dan perbaikan manajemen kandang.
b. Perlu dilakukan pengelompokan umur, terutama pada babi, sehingga

mempunyai kandang terpisah antar umur yang dapat mencegah
terjadinya penyebaran penyakit.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 219

F. DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merck & CO, Inc Rahway,
New Jersey, USA.

Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition.
Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd.
Blackwell Publishing Company Australia.

Direktur Kesehatan Hewan, 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen
Pertanian RI, Jakarta Indonesia.

Howard W, Dunne l975. Diseases of Swine, 4th Edition, The Owa State University
Press Amies, Jawa. USA.

Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University
Press Ames.

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D
2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science
Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.

Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the
Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere
Tindall. London England.

Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier
Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.

Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi
Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.

Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum)
Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta Indonesia.

220 Manual Penyakit Hewan Mamalia

MASTITIS

Sinonim : Radang ambing

A. PENDAHULUAN

Mastitis adalah suatu peradangan pada ambing yang bersifat akut, subakut atau
kronis/menahun dan terjadi pada semua jenis mamalia. Pada sapi penyakit ini
sering dijumpai pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis bakteri atau
mikoplasma.

B. ETIOLOGI

Berbagai jenis bakteria telah diketahui sebagai agen penyebab mastitis antara
lain adalah :

1. Streptococcus agalactiae
2. Streptococcus disgalactiae
3. Streptococcus uberis
4. Streptococcus zooepidemicus
5. Staphylococcus aureus
6. Escherichia coli
7. Enterobacter aerogenes
8. Pseudomonas aeruginosa

Dalam keadaan tertentu dijumpai pula penyebab mastitis oleh Mycoplasma sp.,
Nocardia asteroides, dan juga yeast (Candida sp).

Gambar 1. Sel bakteri Staphylococcus aureus, salah satu bakteri penyebab
mastitis pada sapi perah. Memiliki kapsul sebagai pertahanan bakteri
dari serangan imunologis sapi.
(Sumber : http://digitaljournal.com/image/98228)

Manual Penyakit Hewan Mamalia 221

C. EPIDEMIOLOGI

1. Spesies Rentan

Mastitis atau radang ambing dapat menyerang semua hewan
mamalia seperti sapi, kambing, domba, anjing, kucing dan lain-lain. Mastitis
sangat merugikan terutama pada industri peternakan sapi atau kambing
perah.

2. Pengaruh Lingkungan

Bakteri penyebab mastitis banyak terdapat di ingkungan sekitar
hewan dipelihara. Bakteri penyebab mastitis dapat hidup di kulit, lantai
kandang, atau alat-alat yang telah tercemar. Higiene pemerahan dan
kebersihan lingkungan yang buruk menyebabkan bakteri dapat bertahan
hidup, bila bakteri masuk ke lubang puting maka akan terjadi infeksi ambing.
Kesalahan dalam perawatan mesin perah dan kesalahan manajemen
kebersihan akan memudahkan terjadinya mastitis pada sapi perah.

3. Sifat Penyakit

Mastitis adalah peradangan pada ambing karena suatu penyakit
atau proses infeksi yang secara signifikan dapat mengurangi produksi
susu terutama pada industri sapi perah. Penyakit dapat bersifat sub akut,
akut, atau kronis. Mastitis akut yang tidak ditangani sampai tuntas, dapat
berlanjut menjadi mastistis kronis yang berakibat jaringan ambing dapat
tergantikandengan jaringan ikat sehingga alveoli tidak dapat memproduksi
susu.

Berdasarkan gejala klinisnya, mastitis dibedakan menjadi mastitis
klinis dan subklinis. Mastitis klinis bila terdapat perubahan fisik susu seperti
susu pecah, bercampur nanah, atau ambing yang membengkak asimetris,
berdarah, berjonjot, bila dipegang panas dan menunjukkan adanya respon
rasa sakit bila dipegang. Disebut mastitis subklinis bila secara fisik tidak
ditemukan adanya perubahan dari susu, tetapi bila dilakukan uji mastitis
(misalnya CMT, California Mastitis Test) maka akan terlihat penjendalan
(artinya apa?) yang menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel darah
putih dalam susu.

4. Cara Penularan

Mayoritas mastitis disebakan oleh adanya infeksi bakteri ke dalam
ambing melalui lubang puting. Cara penularan mastitis dapat terjadi melalui
tangan pemerah, peralatan yang digunakan untuk membersihkan ambing
yang telah tercemar oleh bakteri. Ambing pada sapi perah terdiri dari empat
kwartir yang secara anatomis terpisah antara satu dan lainnya. Mastitis dapat
terjadi pada salah satu ambing, kemudian tersebar ke ambing lainnya melalui

222 Manual Penyakit Hewan Mamalia

tangan pemerah, maupun mesin perah bila sapi diperah menggunakan
mesin perah. Penularan mastitis juga dapat terjadi melalui pancaran susu
pertama yang langsung dibuang ke lantai, lantai kandang yang basah dan
lembab akan mendukung pertumbuhan bakteri, dan bila sapi berbaring akan
memungkinkan bakteri masuk melalui lubang puting.

5. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi terjadinya mastitis pada sapi perah antara lain
adalah higiene pemerahan dan kebersihan lingkungan yang buruk, kesalahan
mesin perah, kesalahan manajemen atau adanya luka pada puting yang
menyebabkan bakteri dapat masuk ke ambing. Jarak antar sapi yang terlalu
dekat atau populasi yang padat akan mempermudah terjadinya penularan
mastitis.

6. Distribusi Penyakit

Mastitis banyak ditemukan terutama pada sapi perah yang dikelola
dengan tidak memperhatikan kesehatan lingkungan dan manajemen
pemerahan yang baik

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala klinis

Sapi penderita mastitis dapat diketahui dengan adanya
pembengkakan pada ambing dan puting yang terjadi pada satu kwartir atau
Iebih. Rasa sakit timbul sewaktu diperah dan diikuti oleh penurunan produksi
yang bervariasi mulai dari ringan sampai berat bahkan tidak keluar susu
sama sekali.

Gambar 2. Gangren pada ambing sapi setelah menderita mastitis selama
10 hari. Panah hijau menunjukkan adanya nekrosa pada puting.
Panah kuning menunjukkan batasan jaringan yang mengalami
gangrene, namun area nekrosa pada ambing bagian atas tidak
jelas terlihat batasannya.

(Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Mastitis_in_dairy_cattle)

Manual Penyakit Hewan Mamalia 223

Infeksi bakteri dapat menyebabkan susu berubah warna menjadi
merah karena bercampur dengan nanah. Banyak kejadian mastitis subklinis
yang mengakibatkan penurunan produksi susu. Pengaruh mastitis pada
ambing dapat menyebabkan infeksi, jumlah sel darah putih meningkat,
penurunan produksi susu, hilangnya kwartir (tidak berfungsi), perubahan
bentuk ambing, dan akibat mastitis ke depan dapat menyebabkan produksi
susu tidak mampu mencapai maksimal.

Gambar 3. Eksudat serous yang berasal dari ambing sapi penderita mastitis
oleh E.coli (kiri). Susu normal (kanan).
(Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/File:Mamite_%C3%A5_
colibacile_laecea.jpg)

2. Patologi

Perubahan fisik ambing yang mengalami mastitis dapat terlihat
adanya bentuk yang tidak simetris antara kwartir ambing kanan dan kiri.
Hal ini dapat disebabkan karena adanya keradangan yang menyebabkan
pembengkakan ambing, disamping adanya warna kemerahan, dan adanya
respon rasa sakit bila dipalpasi, serta produksi susu yang menurun. Mastitis
kronis dapat menyebabkan terjadinya ganggren yang disertai dengan
pernanahan dengan infeksi berbagai macam bakteri.

Gambar 4. Ambing yang mengalami gangrene
(Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/File:Mamite_grangrin_moirt_
p%C3%A9s.JPG)

224 Manual Penyakit Hewan Mamalia

Gambar 5. Mastitis kronis. Terjadi pembengkakan ambing dan terlihat
kemerahan. Pada jaringan Parenkhim ambing terlihat berwarna
kuning pucat bergranul serta adanya susu normal. (Sumber :
http://www.fao.org/docrep/003/t0756e/T0756E03.htm)

3. Diagnosa

Secara klinis dapat diamati adanya peradangan pada ambing dan
puting serta adanya perubahan warna dari susu yang dihasilkan. Uji lapangan
dapat dilakukan dengan menggunakan California Mastitis Test (CMT), yaitu
suatu reagen khusus untuk pengujian adanya mastitis subklinis sebelum
dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri penyebab di laboratorium. Spesimen
yang diperlukan adalah susu yang diperah dari kwartir yang dicurigai dengan
memberikan kode dari setiap kwartir. Susu dimasukkan ke dalam tabung
steril dan dikirimkan dalam keadaan segar dingin.

4. Diagnosa Banding

Mastitis dapat dikelirukan dengan pembesaran ambing karena tumor.

5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan mengambil susu
secara langsung dari setiap kwartir dengan cara aseptis. Pancaran susu
dimasukkan ke dalam tabung steril, ditutup, kemudian dimasukkan dalam
termos es untuk segera dibawa ke laboratorium veteriner.

E. PENGENDALIAN

1. Pengobatan

Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotik
sesuai dengan bakteri yang menginfeksi, dan disarankan agar dilakukan uji
sensitivitas terhadap bakteri sebelum melakukan pengobatan agar diperoleh
hasil yang optimal.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 225

Penggunaan antibiotika yang terus menerus dikhawatirkan justru
akan berdampak pada kandungan residu yang tinggi. Daging sapi yang
menderita penyakit ini dapat dikonsumsi, tetapi harus memperhatikan tingkat
keradangan ambingnya. Jaringan ambing yang rusak karena infeksi harus
dimusnahkan dengan dibakar atau dikubur.

2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

a. Pelaporan

Jika terdapat kasus mastitis, dapat dilaporkan pada Dinas yang
membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan setempat

b. Pencegahan

Higiene dan manajemen pemerahan, serta sanitasi kandang yang
baik dapat mencegah timbulnya penyakit ini. Hewan penderita mastitis
dipisahkan dengan hewan yang sehat.

c. Pengendalian dan Pemberantasan

Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan mencegah
terjadinya infeksi terutama yang ditimbulkan oleh kesalahan manajemen
dan higiene pemerahan yang tidak memenuhi standar. Dalam periode
tertentu secara rutin perlu dilakukan pemeriksaan kemungkinan adanya
mastitis subklinis dengan melakukan uji CMT.

Sapi perah yang telah berulang kali menderita mastitis sebaiknya
dipotong, karena sudah tidak dapat mencapaian produksi yang optimal.

F. DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc
Rahway, New Jersey, USA.

Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition.
Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd.
Blackwell Publishing Company Australia.

Direktur Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen
Pertanian RI, Jakarta Indonesia.

Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University
Press Ames.

226 Manual Penyakit Hewan Mamalia

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D
2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science
Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.

Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the
Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere
Tindall. London England.

Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier
Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.

Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi
Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.

Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum)
Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta Indonesia.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 227

MELIOIDOSIS

Sinonim : Malleomyces pseudomallei, Loeffrella whitmori, Bacillus whitmori,
Pseudomasa pseudomallaei, Loeffrella pseudomallei, pseudoglanders

A. PENDAHULUAN

Melioidosis adalah suatu penyakit yang menyerupai glanders, menyerang
berbagai jenis hewan dan manusia. Pertama kali dilaporkan oleh Whitmore dan
Krishnaswani di Rangon pada tahun 1912. Gambaran umum penyakit ini adanya
septisemia, pyemia dan pembentukan granuloma yang khas pada hampir semua
bagian tubuh. Di daerah endemis, Melioidosis adalah penyakit penting pengebab
sakit dan kematian pada manusia dan hewan. Bersifat epizootik pada marmot
dan kelinci. Penyakit ini juga menyerang tikus liar yang diduga merupakan
reservoar penyakit. Manusia tertular karena gigitan kutu tikus Xenosylla cheopsis
atau nyamuk Aedes aegypti. Serum pasien dapat mengaglutinasi bakteri pada
pengenceran 1:2.560. Gambaran nekropsi dan klinisnya adalah serupa dengan
Malleus (Glanders) pada kuda.

Pada Februari 1967 ada 35 kasus melioidosis pada orang Amerika di Vietnam,
dimana 8 orang diantaranya mati dengan gejala pneumonia, septicemia, atau
keduanya. Beberapa kejadian memperlihatkan adanya ulcer nekrotik pada kulit
yang dihubungkan dengan lymphodenopathy.

Manusia bisa terinfeksi karena kontaminasi pada kulit yang luka, melalui makanan
atau minuman, Kasus pada manusia sulit diobati dan sering fatal.

B. ETIOLOGI

Penyakit melioidosis disebabkan oleh bakteri Pseudomonas pseudomallei
(Malleornyces). Bacillus ini sama dengan bacillus glanders tetapi motil dan
tumbuh baik pada gelatin temperatur 200C, flagella ada 1-4 yang polar. Tumbuh
pada agar biasa, mukoid atau kering berkerut, oksidasi positif, tumbuh pada Mac
Conkey agar dan tidak memproduksi H2S.

228 Manual Penyakit Hewan Mamalia

Gambar 1. Koloni Pseudomallei pada agar Ashdown menunjukkan karakteristik
morfologi menyerupai kepala bunga jagung.
(Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Burkholderia_pseudomallei)

Panjang bacillus ini 1- 2 µ dan lebar 0,5 µ, bentuk yang lebih panjang dan
lebar dapat diperoleh pada media cair, berspora dan gram negative, dan koloni
Pseudomonas pseudomallei pada nutrient agar luar biasa nyata kasar, kering
dan berpaut. Bakteri ini aerob, tumbuh baik pada media biasa dan temperatur
optimalnya 370C. Koloni pertama nampak keputih-putihan dan kasar kemudian
menjadi kuning atau coklat dan berkerut.

C. EPIDEMIOLOGI

1. Spesies rentan

Kasus penyakit pernah dilaporkan terjadi pada rodentia, kelinci,
burung rnerpati, hewan-hewan di kebun binatang termasuk rusa, anjing,
kucing, kuda, kerbau, sapi, domba, kambing dan babi. Penyakit ini dapat
dibuat secara eksperimental pada tikus besar (rat), tikus kecil (mice) dan
hamster. Penyakit dapat juga terjadi pada manusia.

2. Pengaruh Lingkungan

Pseudomonas pseudomallei relatif peka terhadap pengaruh lingkungan
alam sekitarnya dan desinfektan, meskipun demikian dapat hidup dalam air
pada suhu ruangan selama 8 minggu, dalam air lumpur selama tidak lebih
dari 7 bulan dan dalam tanah di laboratorium selama 30 bulan.

Di daerah tropis dan subtropis infeksi melalui air kemungkinan
merupakan sumber infeksi yang penting. Derajat virulensi yang beragam
terlihat pada strain-strain yang berbeda dari bakteri ini, tetapi kelaparan dan
kondisi stres yang Iainnya dapat meningkatkan kepekaan hewan percobaan
terhadap infeksi. Sebagian besar kasus terjadi pada musim hujan dan di
daerah-daerah dataran rendah berawa.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 229

3. Sifat Penyakit

Melioidosis merupakan penyakit zoonosis penting. Penyakit ini pernah
outbreak pada babi, kambing dan domba di Australia, daerah Karibia dan
Kamboja. Pada kuda di Malaysia, Iran dan Perancis (1976-1978). Pada babi
dan sapi di Papua New Guinea dan Australia. Yang sangat penting pada
ternak adalah domba dengan mortalitas tinggi pernah dilaporkan.

4. Cara Penularan

Penyakit ini dapat bertahan dalam jangka waktu yang panjang
pada hewan rodentia, menyebabkan hewan ini menjadi reservoir infeksi
yang penting untuk manusia dan kemungkinan bagi spesies Iainnya. Infeksi
dapat disebarkan melalui zat makanan dan air minum yang terkontaminasi
ekskreta tikus, oleh gigitan serangga, oleh abrasi kulit dan per-inhalasi.
Penularan transplacental pernah dilaporkan pada domba, babi dan kera.
Penularan nosocomial telah dilaporkan pada 4 ekor kucing pada RS hewan,
kemungkinan melalui injeksi multidosis yang terkontaminasi.

5. Faktor Predisposisi

Cuaca yang parah seperti banjir, Tsunami, dan topan dapat
merupakan faktor terjadinya penyakit. Pada manusia, faktor risiko penting
yang mempengaruhi melioidosis yang parah adalah adanya penyakit ginjal
atau diabetes mellitus. Faktor risiko lainnya pada manusia adalah adanya
talasemia, penyakit ginjal, dan cystic fibrosis. Modus infeksi diyakini dapat
melalui kulit, atau melalui inhalasi aerosol. Meningkatnya kejadian penyakit
ada hubungan jelas dengan meningkatnya curah hujan.

6. Distribusi Penyakit

Penyakit ini endemik di Asia Tenggara, Sebelah Utara Queensland
(Australia), Afrika Tengah, Barat dan Timur. Menyebar di China, India,
Malaysia, USA, Australia, Kamboja, Iran, Papua New Guinea dan Perancis.
Melioidosis epizootik pada rodensia di Asia seperti misalnya India, Malaysia
dan Indonesia.

Pada tahun 1975, Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) Wilayah
VII Maros (sekarang Balai Besar Veteriner (BBVet) Maros) mengisolasi
Pseudomonas pseudomallei di salah satu Ranch Peternakan di Maiwa
kabupaten Enrekang (Sulawesi Selatan). Isolasi pertama dari lesi paru-paru
sapi yang mati dengan gejala penumonia, kemudian menyusul isolasi dari
genangan air yang ada di Ranch Peternakan tersebut. Isolat Pseudomas
pseudomallei dari Makassar ini kemudian di konfirmasikan ke Balai Penelitian
Veteriner (Balitvet) Bogor dan dinyatakan bahwa Pseudomonas pseudomallei
asal Makassar ini adalah strain Makassar karena ada perbedaan dengan
isolat strain yang diperoleh dari Australia.

230 Manual Penyakit Hewan Mamalia

Kasus meliodosis pada manusia sebelumnya pernah dilaporkan
di Rumah Sakit Paru-Paru Makassar pada sekitar tahun 1954. Infromasi ini
diperoleh dari Dr. Meyer ahli penyakit dalam pada Rumah Sakit Paru-Paru
Makassar.

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala Klinis

Pada manusia, penyakit ini sangat fatal, septisemia akut terjadi
setelah sakit selama 10 hari. Melioidosis pada rodentia juga sangat fatal
yang ditandai dengan adanya kelemahan, demam serta keluar lendir dari
mata dan hidung dan berlangsung lama yaitu 2-3 bulan.

Pada domba terutama adalah kelemahan dan terbaring yang
kemudian kematian terjadi dalam 1-7 hari. Pada domba yang diinfeksi untuk
percobaan terjadi demam yang disertai anoreksia, tidak dapat berjalan
normal dan keluar eksudat kuning kental dari hidung dan mata. Sebagian
hewan menunjukkan gangguan syaraf pusat yaitu cara berjalan/berlari yang
tidak normal, berjalan berputar-putar, menggelengkan kepala, kebutaan dan
agak kejang.

Pada kambing gejalanya menyerupai bentuk akut pada domba,
tetapi lebih sering berlangsung kronis. Pada babi penyakit ini biasanya kronis
dan dimanifestasikan oleh cervical lymphadenitis tapi pada sebagian outbreak
tanda-tandanya sama dengan pada spesies lain. Pada suatu outbreak dapat
terjadi kelumpuhan sementara di bagian posterior, demam, batuk, ingus
dari hidung dan lendir dari mata, anoreksia, keguguran dan kadang-kadang
berakhir dengan kematian.

Pada kuda rangkaian gejalanya adalah pneumonia metastasis akut
disertai demam tinggi dan berlangsung singkat. Sedikit batuk dan sedikit
ingus serta tidak ada respons terhadap sebagian besar jenis obat yang
digunakan dalam pengobatan.

Gejala klinis pada kuda meliputi septisemia, hypertheremia, oedema,
kolik, diare dan lymphangitis pada kaki. Pada kasus sub akut dapat menjadi
lemah, kurus dan terbentuk oedema. Kuda yang terserang penyakit ini dapat
hidup beberapa bulan. Kasus meningoencephalitis akut pernah terjadi pada
kuda. Kejadiannya mendadak, tanda yang terlihat hanya kejang.

2. Patologi

Pembentukan penyakit ini secara alam adalah sama dengan halnya
Malleus, yaitu dengan diawali septisemia atau bakteriemia dan lokalisasi pada
berbagai organ. Secara eksperimen, Melioidosis pada kambing ditandai oleh

Manual Penyakit Hewan Mamalia 231

adanya septisemia dengan mikroabses yang menyebar luas setelah disuntik
secara intra-peritoneal dan bila secara subkutan maka terbentuk penyakit
yang kronis disertai abses pada paru-paru dan limpa.

Gambar 2. Rongga hidung Kambing. Terdapat nodul berwarna putih pucat
yang menonjol (abses) pada mukosa hidung.
(Sumber : http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/clinical-
signs-photos.php?name=melioidosis)

Banyak abses di sebagian besar organ, terutama di sistem pernapasan
termasuk ke bagian paru-paru, limpa dan hati. Abses juga terjadi di bagian
subkutan dan lymphoglandulla yang merupakan ciri dari penyakit ini. Pada
domba, abses ini mengandung nanah berwama hijau yang kental atau
mengeju serupa dengan yang ditemukan pada penyakit karena serangan
Corynebacterium pseudotuberculosis. Lesi-lesi pada mukosa hidung bisa
menjadi robek dengan pembentukan ulser yang kasar. Polyarthritis akut
dengan pembengkakan kapsul persendian oleh cairan yang mengandung
nanah kehijauan dalam jumlah banyak dan meningoencephalitis akut
ditemukan pada kasus-kasus penyakit secara percobaan.

3. Diagnosa

Bakteri ini mudah ditumbuhkan pada kebanyakan media dalam
waktu 48-72 jam. Injeksi terhadap marmut dan kelinci menimbulkan penyakit
yang menciri. Diagnosa dengan uji alergi pada kulit dengan menggunakan
melioidin sebagai antigen, CFT dan Hl test. Diagnosa serologis dapat
dilaksanakan dengan uji HA, Aglutinasi dan CFT.

Peneguhan diagnosa dengan isolasi dan identifikasi bakteri
pseudomonas pseudomallei pada media kultur.

4. Diagnosa Banding

Banyaknya abses pada berbagai organ dapat dibedakan dengan
penyakit Gaseous Lymphadenitis pada domba. Lesi-lesi pada nasal
actinobacillosis pada domba juga menyerupai melioidosis, tetapi penyakit ini
relatif tidak fatal dan isolasi bakterinya menjamin diagnosa positif. Pada kuda

232 Manual Penyakit Hewan Mamalia

penyakit ini mungkin dikelirukan dengan Malleus tetapi tidak ada pembesaran
lympnodes pada mukosa hidung dan kulit.

5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Bakteri dapat diisolasi dari tanah, air dan lesi infeksi atau makanan
dan minuman yang tercemar. Pengiriman sampel dilakukan dengan cara
pengiriman bahan infektif bakteri secara umum. Pemeriksaan terhadap
infeksi P.pseudomallei pada hewan dapat didasarkan pada kelainan pasca
mati, isolasi kuman, dan pemeriksaan antibodi dalam serum. Uji serologik
yang pernah dicoba antara lain serum aglutinasi, fluorecent antibody staining
technique (FAT), uji fiksasi komplemen, dan hemaglutinasi tak langsung,
sedangkan pemeriksaan antibodi pada manusia metode enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) telah dikembangkan.

E. PENGENDALIAN

1. Pengobatan

Hanya sedikit informasi yang ada tentang pengobatan yang
memuaskan terhadap melioidosis. Pengobatan dengan pemberian antibiotik.
Uji in-vitro menunjukkan bahwa oxytetracycline, novobiosin, chloramphenicol
dan sulphadiazine mungkin sangat bermanfaat dan diantaranya oxytetracycline
adalah yang terbaik. Penicillin, streptomycin, chlortetracycline dan polymixin
tidak efektif dalam pengobatan melioidosis. Chloromycetin sudah terlihat
efektif untuk pengobatan pada kuda.

Rifampicin, chloramphenicol dan tetracycline paling efektif, sedang
ampicillin dan kanamycin kurang efektif. Kanamycin dan sulfadiazine
mengurangi aktifitas pengobatan pertama bila dikombinasi dengan
chloramphenicol atau tetracycline.

2. Pengendalian

Pemberantasan penyakit harus berdasarkan pada pemberantasan
hewan yang sudah terinfeksi, dan disinfektasi terhadap kandang serta
peralatan pada daerah yang tertular dan juga pada daerah sekitarnya.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 233

F. DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc
Rahway, New Jersey, USA.

Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition.
Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd.
Blackwell Publishing Company Australia.

Direktur Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen
Pertanian RI, Jakarta Indonesia.

Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University
Press Ames.

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D
2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science
Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.

Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the
Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere
Tindall. London England.

Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier
Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.

Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi
Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.

Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum)
Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta Indonesia.

234 Manual Penyakit Hewan Mamalia

PARATUBERKULOSIS

Sinonim: Johne’s Disease, Penyakit Johne

A. PENDAHULUAN

Paratuberkulosis dikenal pula dengan nama Johne’s Disease, adalah penyakit
hewan menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium paratuberculosis.
Disebut sebagai Johne’s Disease karena penyakit ini ditemukan pertama kali
oleh Johne dan Frothingham pada sapi di Jerman pada tahun 1895. Ruminansia
besar dan kecil, baik yang jinak maupun yang liar, mudah terjangkit oleh penyakit
ini.

Pada sapi infeksi M.paratuberculosis sesudah melewati masa inkubasi yang
lama (sampai 2 tahun, bahkan dapat lebih) menyebabkan terjadinya enteritis
granulomatus yang menahun, yang ditandai dengan diare yang pada mulanya
hilang-timbul dan yang kemudian berlangsung secara terus-menerus serta
kekurusan yang mencolok pada penderitanya.

Kerugian ekonomi akibat penyakit ini lebih berupa singkatnya umur harapan
hidup, hewan diafkir karena sangat kurus serta terjadinya penurunan produksi
susu, hewan terserang atau angka kejadian penyakit lebih tinggi dibanding
dengan angka mortalitas yang ditimbulkan. Di Siprus misalnya, angka mortalitas
akibat paratuberkulosis tercatat sebesar 4% per tahun pada peternakan domba
yang diternakkan secara semi-intensif untuk produksi susu yang dipakai sebagai
bahan pembuat keju. Sedangkan di Amerika Serikat, serangan paratuberkulosis
dalam satu kelompok ternak sapi menimbulkan angka kematian antara 3-10%
per tahun.

B. ETIOLOGI

Hewan penderita paratuberkulosis mengeluarkan agen penyebab bersama
fesesnya, yang mampu bertahan hidup lama bila mencemari lingkungan
sekitarnya. Pada padang penggembalaan (pasture) tercemar, agen penyebab
mampu bertahan hidup tanpa berkembang biak dan padang gembalaan demikian
tetap infektif sampai 1 tahun Iamanya.

Agen penyebab penyakit diketahui peka terhadap cahaya matahari, kekeringan,
tanah yang mengandung kalsium tinggi dan pH tinggi. Sedangkan kontak secara
terus-menerus dengan urin dan feses memberi akibat berkurangnya ketahanan
hidup agen penyebab. Dalam kotoran kandang (cair), M.paratuberculosis
mampu bertahan antara 98-287 hari tergantung pada komposisi dan kandungan
alkalinitas kotoran tersebut.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 235

Mycobacterium paratuberculosis adalah bakteri berbentuk batang tebal pendek
berukuran kira-kira 0,5-1 mikron, bersifat sangat tahan asam dan di bawah
mikroskop sering dilihat dalam kelompok-kelompok kecil (terdiri dari 3 atau Iebih
sel bakteri per kelompok). Karena termasuk ke dalam bakteri tahan asam (BTA),
maka pewarnaan bakteri menurut Ziehl-Neelsen (Z-N) biasa dipakai dalam
pemeriksaan mikroskopik di laboratorium.

Gambar 1. Gambaran M.paratubercullosis melalui mikroskop elektron
(Sumber : http://www.johnes.org/general/_EM_scanning.html)

Untuk menumbuhkan bakteri tersebut secara in vitro di laboratorium diperlukan
media khusus (diantaranya adalah media Herrold yang mengandung mycobactin).
M.paratuberculosis termasuk ke dalam kelompok mikobakteria yang bersifat
lambat tumbuh (slowly growing Mycobacteria). Di laboratorium, diperlukan
sekurang-kurangnya 8 minggu untuk melihat pertumbuhan bakteri ini. Kultur
yang sedang diperiksa pertumbuhannya dianjurkan untuk tidak cepat-cepat
dibuang sebelum 12 minggu lamanya diinkubasi. Koloni M.paratuberculosis
yang baru muncul berukuran sangat kecil (1 mm), berwama putih, mengkilat dan
cembung.

Dikenal 3 galur M.paratuberculosis yang menyebabkan paratuberkulosis pada
sapi, 1 galur berasal dari sapi dan yang 2 galur lainnya berasal dari domba.
Beberapa galur varian juga dikenal, diantaranya adalah galur Norwegia yang
diketahui patogenik bagi kambing. Telah diketahui bahwa M.paratuberculosis
dapat pula diisolasi dari air susu induk sakit yang memperlihatkan gejala klinis.

C. EPIDEMIOLOGI

1. Spesies rentan

Paratuberkulosis terutama menyerang ruminansia seperti sapi, kerbau,
kambing dan domba. Hewan-hewan lain yang juga rentan adalah rusa, kuda,
onta, antelop, llama, alpaka, yak dan babi. Sedangkan mencit dan hamster
merupakan hewan-hewan percobaan laboratorium yang mudah ditulari dan
sering digunakan dalam penelitian.

236 Manual Penyakit Hewan Mamalia

Terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh pada kerentanan individu
hewan terhadap infeksi. Di antara faktor-faktor tersebut adalah besarnya dosis
infeksi, umur, termasuk kondisi melahirkan, transportasi dan kekurangan
atau kelebihan nutrisi, serta adanya agen imunosupresif seperti virus Diare
Ganas Sapi.

Kerentanan antar bangsa sapi terhadap infeksi paratuberkulosis masih
menjadi bahan perdebatan. Baik sapi betina maupun sapi jantan, kedua jenis
kelamin tersebut mudah terserang paratuberkulosis.

2. Pengaruh Lingkungan

Alkalinitas tanah berpengaruh pada kehebatan gejala klinis. Hewan
yang diternakkan pada lahan dengan kandungan alkali tinggi memiliki tingkat
kejadian infeksi tinggi namun dengan gejala klinis yang rendah.

Di Amerika Serikat, sapi yang semula ada di daerah dengan
kandungan alkali tinggi dipindahkan ke daerah dengan lahan yang asam
sering mengalami gejala klinis paratuberkulosis yang bersifat fatal.

Hewan yang diternakkan pada lingkungan tercemar mungkin menjadi
hewan yang secara menetap mengeluarkan agen penyebab dalam fesesnya
tanpa memperlihatkan gejala klinis sakit. Mengingat masa inkubasi penyakit
yang lama, maka pengeluaran agen penyebab bersama feses hewan tertular
dapat berlangsung selama 15-18 bulan sebelum gejala klinis penyakitnya
terlihat.

3. Sifat Penyakit

Meski paratuberkulosis bersifat menular dari hewan ke hewan,
namun penyebarannya lambat dan jalannya penyakit menahun. Pada
lingkungan yang memungkinkan terjadinya penularan, hampir seluruh sapi-
sapi yang ada terutama pedet menjadi tertular.

Terdapatnya kasus paratuberkulosis pada suatu peternakan yang
semula bebas dari penyakit ini, biasanya diawali dengan dimasukkannya
ternak baru yang tertular atau ternak pembawa penyakit.

Pada umumnya, hewan muda lebih rentan terhadap infeksi
daripada hewan dewasa. Hewan-hewan yang dipelihara dalam kandang
akan mendapatkan peluang tertular oleh feses tercemar lebih besar
ketimbang hewan-hewan yang hidup di alam. Oleh karena itu, bagi sapi-sapi
perah (yang hidupnya selalu ada dalam kandang) berpeluang lebih besar
untuk tertular paratuberkulosis ketimbang sapi-sapi potong (yang biasanya
dipelihara dalam ranch).

Manual Penyakit Hewan Mamalia 237

Kejadian baik mastitis maupun ketidak suburan (infertility) secara
nyata lebih tinggi terjadi pada sapi-sapi yang tertular paratuberkulosis
ketimbang pada sapi-sapi yang normal.

4. Cara Penularan

Di alam, cara penularan paratuberkulosis berlangsung melalui saluran
pencernaan makanan, yakni dengan tertelannya agen penyebab yang
terdapat dalam pakan atau air minum yang tercemar feses hewan sakit.

Pedet dapat tertular karena mengkonsumsi susu induk yang sakit
atau karena diberi susu yang tercemar dengan feses yang mengandung agen
penyebab. Penularan secara intrauterin pada pedet dari induk penderita juga
dapat terjadi. Di samping itu, dilaporkan bahwa agen penyebab berhasil pula
diisolasi dari alat kelamin sapi jantan tertular dan juga dari semennya, bahkan
semen yang sudah ditambah antibiotik dan dibekukan.

Gambar 2. Group bottle feed yang dapat merupakan sumber penularan
paratuberkulosis
(Sumber : http://www.johnes.org/dairy/faqs.html)

5. Faktor Predisposisi

Gejala spesifik pada sapi berupa kehilangan bobot badan
(meskipun nafsu makannya normal), diare, produksi susu menurun. Hewan
dapat terinfeksi sebelum umur enam bulan melalui makanan atau susu yang
terkontaminasi MAP. Karena perkembangan penyakitnya yang lambat, maka
gejala klinik seringkali tidak teramati sampai umur hewan paling sedikit tiga
tahun. Tanda klinik ini muncul, seringkali dipicu oleh adanya stres seperti
beranak atau kepadatan ternak yang tinggi. Manajemen kebersihan dan
hygiene kandang dan peralatan kandang yang baik akan dapat mencegah
terjadinya paratuberkulosis.

6. Distribusi Penyakit

Di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat, Kanada, Inggris,
Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, dan di Australia paratuberkulosis

238 Manual Penyakit Hewan Mamalia

merupakan penyakit hewan yang umum ditemukan. Di Australia misalnya,
diketahui bahwa kejadian infeksi di lapangan lebih tinggi dibandingkan
prevalensi penyakit secara klinis.

Di Indonesia, menurut catatan yang ada pada Balai Penelitian
Veteriner (Balitvet), Bogor, paratuberkulosis didiagnosa untuk pertama
kalinya pada sekitar tahun 1926. Kemudian pada tahun 1951, untuk kedua
kalinya paratuberkulosis didiagnosa Balitvet pada seekor sapi perah induk
yang berkondisi kurus dan dengan diare parah berasal dari Perusahaan
Susu ”Frisia” di Bogor, yang spesimennya dikirim oleh Fakultas Kedokteran
Hewan, Bogor.

Mengingat pada dua dasawarsa terakhir Indonesia banyak mengimpor
sapi dari Australia dan negara maju lainnya dimana paratuberkulosis umum
ditemukan, maka kehadiran kembali penyakit ini pada ternak sapi dan ternak
ruminansia kecil lain di sini perlu diwaspadai. Karena penelitian tentang
paratuberkulosis pada ternak di Indonesia hingga saat ini belum banyak
dilakukan, maka seberapa besar kerugian ekonomi yang diakibatkannya
masih belum dapat diperkirakan.

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala Klinis

Dikenal 2 macam gejala klinis paratuberkulosis pada hewan, yakni
(1) hewan penderita dengan gejala klinis nyata, dan (2) hewan penderita
yang tidak mernperlihatkan gejala klinis apapun (subklinis).

Infeksi M.paratuberkulosis pada sapi biasanya berlangsung sejak
umur dini, bahkan sebelum mencapai umur 1 bulan. Namun, mengingat masa
inkubasi penyakit yang lama, maka gejala klinis tidak akan terlihat sebelum
sapi berumur 2 tahun, lazimnya paratuberkulosis menyerang kelompok sapi
umur 2-6 tahun. Batasan umur sapi terserang penyakit ini hendaknya tidak
dijadikan sebagai acuan, karena pada dasarnya, paratuberkulosis dapat
menyerang pada semua umur sapi. Hewan muda lebih rentan terhadap
infeksi dari pada hewan dewasa.

Gejala klinis pada sapi antara lain adalah nafsu makan pada awalnya
tetap baik, hanya nafsu minumnya yang meningkat secara berlebihan.
Kekurusan tubuh (emaciation) menjadi tanda yang nyata, yang disertai
dengan terjadinya busung di bawah mandibula yang akan menghilang bila
diare muncul. Tidak terdapat kenaikan suhu badan, namun terjadi penurunan
produksi susu sebelum diare menjadi nyata. Feses berkonsistensi lunak dan
encer seperti sup tanpa bau menyengat serta pada feses tidak didapatkan
baik darah, runtuhan epitel maupun mukus. Diare yang mula-mula terjadinya
hilang-timbul, kemudian menjadi makin progresif dan makin berat dan

Manual Penyakit Hewan Mamalia 239

akhirnya berlangsung menetap. Diare yang berlangsung terus menerus,
seakan-akan menjadi baik pada saat mendekati akhir masa kebuntingan
namun kambuh kembali seperti sebelumnya, bahkan menjadi semakin parah
sesudah hewan penderita melahirkan. Bila penyakit berlanjut, maka terjadi
kelemahan, busung dan hilang nafsu makan.

Gejala klinis yang menonjol pada kambing dan domba meliputi
kekurusan tubuh dan kelemahan umum, disertai dengan bulu yang kasar dan
mudah dicabut, biasanya tanpa diare tapi fesesnya sering mukoid membentuk
pelet. Kambing sakit menunjukkan diare yang ringan dan kekurusan.

Dalam kelompok sapi tertular dari suatu peternakan, bila dilihat dari
sudut patologi klinis, maka hewan-hewan anggota kelompok tersebut dapat
dibagi kedalam 4 kategori yaitu
a. Hewan sakit dengan gejala klinis yang jelas;
b. Pembawa penyakit asimptomatik (intermediate and incubating);
c. Hewan tertular tapi tidak terlihat sakit dan tidak menebarkan cukup

bakteri yang dapat dideteksi secara kultural (infected-resistant)
d. dari Hewan tidak tertular.

Pembagian ini penting, terutama bila dikaitkan dengan strategi
pengendalian penyakitnya.

2. Patologi

Selain kekurusan tubuh penderita yang nyata dan anemia, maka
perubahan patologi biasanya terbatas pada saluran pencernaan makanan,
termasuk ujung ileum, katup ileosekal, sekum, rektum serta kelenjar-kelenjar
getah bening (lymphnodes) yang berkaitan.

Tidak terdapat hubungan antara kehebatan gejala klinis dengan
kehebatan lesi yang ditemukan. Pada kasus yang fatal mungkin saja hanya
didapatkan perubahan PA dan lesi mikroskopik yang minimal; sementara itu,
lesi klasik dapat ditemukan pada bedah bangkai hewan yang kelihatannya
sehat.

Lesi awal terdapat pada dinding usus kecil dan kelenjar getah bening
mesenterik, sehingga pada tahap ini dapat dikatakan bahwa infeksi terjadi
pada organ tersebut. Bila penyakit berlanjut, maka lesi mikroskopik terlihat
pada berbagai organ, seperti pada sekum, kolon dan pada kelenjar getah
bening mesenterik. M. paratuberkulosis ditemukan pada organ tersebut,
bahkan akhirnya pada seluruh tubuh hewan penderita.

Pada sapi, lesi patognomonik yang perlu diperhatikan adalah berupa
penebalan dan korugasi yang terdapat pada lapisan mukosa ujung ileum
serta pembesaran dan busung pada kelenjar getah bening mesenteriknya.
Preparat ulas baik dibuat dari kerokan lapisan mukosa ileum maupun dari
sayatan kelenjar getah bening mesenterik tersebut untuk pemeriksaan
mikroskopik di laboratorium.

240 Manual Penyakit Hewan Mamalia

Gambar 3. Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis (MAP)
(Sumber : http://wildlifehealth.tennessee.edu/news/johnes.html)

Lesi klasik pada usus berupa hipertrofi difus dari lapisan mukosa
yang akan berkembang menjadi lipatan-lipatan (rugae) yang tebal dan
melintang. Lipatan-lipatan yang telah berkembang konsistensinya tidak
lembut lagi ujungnya berwarna kemerahan karena pembendungan dan
permukaan mukosanya berkesan lunak. Kadang-kadang terjadi jendolan
nekrosis, tapi bukan perkejuan atau perkapuran.

Gambar 4. Penebalan dan pengerutan mukosa usus terinfeksi
paratubercullosis (Johne’s disease)
(Sumber : http://www.fao.org/docrep/003/t0756e/T0756E03.htm)

Pada domba dan kambing, lesi berupa penebalan ringan pada
mukosa dengan jendolan-jendolan perkejuan dan perkapuran baik pada
usus maupun pada kelenjar getah bening yang berkaitan dijumpai pada 25%
hewan tertular.

3. Diagnosa

Paratuberkulosis tidak dapat didiagnosa hanya berdasarkan pada
pemeriksaan sepintas pada bedah bangkai hewan tersangka, yakni
terdapatnya penebalan pada dinding usus penderita. Pemeriksaan lanjutan
di laboratorium diperlukan.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 241

Diagnosa paratuberkulosis ditegakkan bukan saja atas dasar
terlihatnya gejala klinis saja (bagi hewan sakit yang disertai gejala klinis),
melainkan juga harus dilakukan peneguhan melalui berbagai pemeriksaan
lanjutan di laboratorium.

Pemeriksaan di laboratorium meliputi pemeriksaan mikroskopik preparat
ulas dan pemeriksaan kultural bakteriologi dari spesimen feses, kerokan
lapisan mukosa usus kecil dan juga dari kelenjar getah bening mesenterik
dan pemeriksaan serologis yang meliputi uji pengikatan komplemen (CF test,
CFT), ELISA dan agar gel imunodifusi (AGID), yang ditunjang pula dengan
hasil pemeriksaan histopatotoginya.

CFT digunakan terhadap kasus-kasus yang secara klinis dicurigai
paratuberkulosis, juga untuk keperluan perdagangan (impor) sapi. ELISA
memiliki tingkat sensivitas yang sebanding dengan CFT pada kasus-
kasus klinis, bahkan ELISA Iebih sensitif dibandingkan CFT pada kasus-
kasus subklinis paratuberkulosit. Sedangkan uji AGID bermanfaat sebagai
peneguhan diagnosa pada ternak-ternak (sapi, domba dan kambing) yang
secara klinis dicurgai terserang paratuberkulosis.

Pemeriksaan lainnya, uji yang melibatkan peran DNA (DNA probes),
seperti reaksi polimerase berantai (PCR) juga dikembangkan. Dalam
hubungan ini, peneliti Korea menyatakan bahwa untuk mendiagnosa
paratuberkulosis, PCR memberikan hasil yang jauh lebih cepat ketimbang
cara pemeriksaan secara kultural seperti yang biasa dilakukan.

Dalam hubungan diagnosa paratuberkolosis, keberhasilan mengisolasi
agen penyebab secara bakteriologi tetap dianggap sebagai ”gold standart”
atau cara diagnosa yang paling akurat dan dibutuhkan waktu sekurang-
kurangnya 8 minggu (bahkan dapat lebih) untuk mengetahui hasil dan kultural
tadi.

Ketelitian dalam mendiagnosa dapat diperbaiki dalam menempuh
2 langkah, yakni langkah pertama melakukan uji-uji serologis, yang
bersensitivitas dan berspesifitas tinggi, untuk menetapkan ada atau absennya
penyakit; yang dilanjutkan dengan langkah kedua, yakni melakukan
pemeriksaan feses secara kultural, untuk menemukan hewan mana yang
menebarkan agen penyakit dalam feses.

Terhadap kelompok hawan yang di curigai tertular paratuberkulosis
secara sub klinis, maka diagnosa sewaktu hewan masih hidup dilakukan
melalui penerapan uji johnin. Uji johnin adalah suatu uji serologis yang
didasari oleh dapat diperlihatkannya reaksi hipersensivitas tipe tertunda
(delayed typehypersesitivity reaction)

Uji johnin pada sapi dilakukan dengan menyuntikan secara intradermal
0,1 ml PPD johnin pada sepertiga bagian tengah kulit leher hewan, yang
dilanjutkan dengan penafsiran reaksinya pada 72 jam berikut nya.

242 Manual Penyakit Hewan Mamalia

Namun dalam hubungan dengan uji johnin ini, memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang rendah. Selain itu, uji johnin juga mendatangkan hasil uji
yang rnenyimpang berupa positif-palsu dan negatif-palsu yang berlebihan.

Pada tahun akhir-akhir ini dikembangkan pula suatu uji yang Iebih
baik daripada uji johnin, yakni gamma interferon assay, suatu uji imunoseluler
yang dapat diaplikasikan pada sapi, kambing dan domba. Namun penggunaan
uji tersebut harus dilakukan bersama-sama dengan uji-uji serologis yang
lain.

4. Diagnosa banding

Beberapa jenis penyakit yang disebutkan di bawah ini dapat
dikelirukan dengan paratuberkolosis dengan manifestasi gejala klinis jelas.

a. Kekurusan tubuh yang mencolok pada penderita paratuberkolosis dapat
dikelirukan dengan penyakit tuberkolosis sapi tahap lanjut, meskipun
pada penyakit tuberkulosis sapi Iazimnya tidak disertai dengan diare
yang menahun.

b. Terdapatnya diare menahun pada penderita paratuberkolosis dapat
dikelirukan dengan penyakit Diare Ganas Sapi, namun diketahui bahwa
agen penyebab keduanya jelas berbeda.

c. Salmonellosis, coccidiosis dan parasit cacing (dimana ketiga penyakit
tersebut biasa disertai dengan diare) dapat mengelirukan pula, namun
biasanya ketiga penyakit tersebut diatas berjalan akut dengan agen
penyebabnyapun berbeda.

5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Spesimen yang perlu dikirimkan ke laboratorium adalah sebagai
berikut:

a. Potongan kecil (± 2 cm) usus halus plus isinya (dipotong pada sekitar
katup ileosekal atau jejunum), diikat pada kedua ujungnya, sertakan juga
kelenjar getah bening yang berdekatan; spesimen ini diambil segar dan
dikirim dalam keadaan beku secepatnya.
Catatan : Juga perlu dikirimkan potongan organ yang sama, yang
dimasukan kedalam wadah yang berisi formalin 10% untuk pemeriksaan
hispatologi.

b. Swab diambil Iangsung dari rektum hewan tersangka, dikirim segera
tanpa pendingin.

c. Stempel berupa feses (± 20 gram) dari hewan tersangka, dari dalam
rektum jangan yang dari luar tubuh, dikirim segera tanpa pendingin.

d. Preparat ulas dari kerokan mukosa usus kecil, mukosa rektum dan dari
feses,difiksasi (dengan cara melewatkan kaca preparat keatas nyala api
Buncen 3x) dan dikirim bersama-sama spesimen lainnya.

Manual Penyakit Hewan Mamalia 243


Click to View FlipBook Version