The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by soedito, 2017-09-14 00:06:14

KEARIFAN LOKAL BANYUMAS_22

KEARIFAN LOKAL BANYUMAS_22

Rasa “Nguri-uri Budaya Banyumas” :
UNSOED Terus Buktikan Komitmen
Kearifan Lokal

unsoed.ac.id, Senin,28/11/11

Universitas Jenderal Soedirman terus membuktikan
komitmennya dalam pemberdayaan masyarakat yang
berkelanjutan dan kearifan lokal. UNSOED tak pernah
meninggalkan visinya sebagai Universitas yang
mendunia tapi justru mengembangkan kearifan lokal.
Kali ini Puslit Budaya Daerah dan Pariwisata LPPM
UNSOED menyelenggarakan Gendu-gendu Rasa
Nguri-uri Budaya Banyumas di Gedung LPPM UNSOED.
Universitas Jenderal Soedirman adalah institusi yang
percaya, bahwa modernisasi tidaklah berarti
meninggalkan kearifan lokal yang telah dimiliki selama
ini. Kemajuan ilmu, pengetahuan dan teknologi tanpa
dilambari oleh keluhuran budaya, hanya akan
melahirkan manusia-manusia pintar namun nir-empati.
Demikian disampaikan Rektor UNSOED Prof. Edy
Yuwono, Ph.D dalam sambutannya. “Kebudayaan
memberikan kita perspektif, carapandang, values dan

1

belief yang memungkinkan kita melihat sesuatu tidak
saja dari kacamata hitam putih belaka. Kebudayaan
meniscayakan kepada kita kesempatan untuk
memahami sesuatu tidak sebatas padahal-hal yang
artificial belaka, melainkan memaknai realitas dalam
konteks dan pemahaman sosiokultural yang khas, unik
dan berbeda satu dengan yang lainnya”. Demikian
ungkap Rektor lebih lanjut.
Gendu-gendu Rasa ini mengadirkan dua orang
pembicara yaitu Budayawam Ahmad Tohari dan
Seniman Banyumas Titut Edy Purwanto. Sebagai
seorang budayawan, nama Ahmad Tohari bukanlah
sosok yang asing di Banyumas dan Nasional. Bahkan
Ahmad Tohari juga telah menginternasional. Karya
fenomenal Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang telah
dicetak ulang berkali-kali hanyalah salah satu bukti dari
dedikasi Ahmad Tohari di dunia kebudayaan. Belum
lagi kamus bahasa Banyumas yang disusun beliau
adalah bukti konkret upaya beliau melestarikan budaya.
Sementara itu, Titut Edy Purwanto adalah seniman
Banyumas ‘Pemberani’. Keberanian Titut terletak pada
pilihannya melestarikan budaya cowongan dengan
menjaga kemurnian isi bahasanya yang mungkin

2

menurut beberapa orang cukup tabu diperbincangkan.
Akan tetapi Titut, dengan semangat pelestarian yang
total berhasil membawa cowongan menjadi dikenal
tidak hanya di masyarakat bawah, namun juga
merambah dunia pendidikan tinggi dan luar negeri.
Dan UNSOED terus berada dalam barisan
melestarikan kearifan lokal. Universitas ini, akan terus
berkembang hingga mendunia, tanpa tercerabut dari
akar budayanya. UNSOED, dari desa untuk dunia,
maju terus pantang menyerah! (HP)

Kampus Inyong yang Berubah Menjadi
Gue

OPINI | 18 April 2011 | 15:35 93 2 Nihil

Ketika saya terdaftar sebagai mahasiswa baru.
Terbisik di benak saya, bahwa kampus ini akan
banyak dipengaruhi oleh budaya Kabupaten
Banyumas yang sangat kuat. Sehingga perilaku,
karakter, dan bahasa yang digunakanpun sangat

3

kuat dipengaruhi oleh budaya Banyumas. Dimana
budaya Banyumas yang unik tersebut, memiliki
istilah CABLAKA yang berarti keterus-terangan,
kepercayaan diri, keberanian dan ketegasan. Hal
tersebut tercermin dari bahasa Banyumas yang
sangat khas dan unik. Hal tersebut tentunya
memperkuat kondisi lingkungan kampus itu sendiri.

Kondisi yang saya bayangkan pun, saat ini mulai
terkikis dengan proses berjalannya waktu, saat saya
sedang dan masih menjadi salah satu mahasiswa
pendatang yang mengeyam pendidikan di kampus
tercinta Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Kondisi yang saya rasakan di kampus ini, lambat
laun mulai berubah, baik itu perubahan positif
maupun negatif. Perubahan yang baik itu yakni

4

kualitas pendidikan dan kompetensi akademis yang
mulai meningkat serta suasana keilmiahan yang
mulai terasa sangat kental. Sedangkan negatifnya
ialah berubahnya pola atau gaya hidup mahasiswa di
kampus saya khususnya. Dimana budaya Banyumas
atau kearifan lokal yang sangat kuat mempengaruhi
budaya kampus tersebut mulai luntur.

Lunturnya kearifan lokal berupa berubahnya
dialek percakapan masyarakat kampus dalam hal ini
mahasiswa. Yakni banyak kawan saya yang berasal
dari Banyumas dan daerah lingkup jawa tengah dan
jawa barat, memang paling banyak mendominasi
apalagi dengan mahasiswa dari Jabodetabek. Hal
tersebut sangat mempengaruhi perubahan pola
budaya kampus yang dulu terkenal dengan karakter

5

pak Soedirman yakni menunjung kearifan lokal dan
memegang semangat pantang menyerahnya serta
kesederhanaannya. Tetapi saat ini perubahan
budaya tersebut ialah beralihnya bahasa dari yang
dulu berkomunikasi menggunkan bahasa banyumas
yang khas sekarang menjadi bahasa loe dan gue
dan juga kesederhanaannya pun mulai luntur yakni
dengan gaya hidup yang bersifat borjuis ataupun
hedonis. Hal tersebut kemudian memunculkan dua
pertanyaan di benak saya. Apakah ini yang
dinamakan globalisasi dalam taraf kecil yang dimana
dipengaruhi oleh masuknya berbagai macam
pengaruh budaya luar dan teknologi? Serta apakah
ini karakter yang sesungguhnya dari mahasiswa
kampus Soedirman, yang dimana dahulu erat
kaitannya dengan kearifan lokal yakni karakter

6

cablaka dan kesederhanaanya. Mungkin mereka
merasa percaya diri menggunakan bahasa loe gue
atau mungkin pula mereka malu menggunakan serta
mengakui kekhasan karakter bahasa Banyumas
yang berkarakter kuat dan unik tersebut. Disamping
itu pula dengan gaya hidup yang mulai berubah ke
arah hedonis ataupun borjuis.

Hal tersebut perlu kita sikapi dengan bijak.
Karena hal tersebut tidak hanya terjadi di kota kecil
seperti Purwokerto saja. Kota-kota besar lainnya pun
sekarang hampir mengalami hal serupa. Sekarang
tinggal kita bersikap secara bijak untuk memilah dan
menilai, manakah yang patut dan baik untuk diadopsi
dan diikuti serta mana yang harus ditolak untuk
diadopsi dan diikuti. Serta kemauan kita untuk

7

mengikuti dan mengadopsi kearfian lokal setempat.
Seperti kata pepatah, dimana langit dijunjung disitu
bumi dipijak dalam kata lain dimanapun kita berada
kita harus dapat menyesuaikan dengan budaya
dimana kita tinggal dan menetap. Bukan berarti kita
haus terbawa paling tidak kita menghargai dan
menyesuaikan dengan budaya setempat dan bukan
sebaliknya, yakni warga lokal malah mengikuti
budaya masyarakat dalam hal ini mahasiswa
pendatang. Salam rindu semangat kesederhanaan
dan juang pak Dirman serta kearfifan lokal
Banyumas.

8

Selasa, Juni 09, 2009

Kearifan Lokal Banyumas
Kearifan Lokal Banyumas Dalam Film

Oleh Teguh Trianton

Jika kita merunut ulang perkembangan dunia seni
sinematografi di Banyumas Raya dalam lima tahun
terakhir, maka kita akan menemukan dua tesis
menarik. Pertama, fenomena menjamurnya
komunitas film pendek di Kabupaten Purbalingga,
Banyumas, Cilacap, dan Banjarnegara. Kedua,
berkembangnya ideologi multikultuarilisme berbasis
kearifan lokal (local wisdom) dalam karya para
sineas lokal.

Yang menarik dari tesis pertama adalah bahwa geliat
industri kreatif ini tak lepas dari pasang-surut. Ini
terjadi karena beberapa faktor; konflik kepentingan,
tekanan dari penguasa (pemerintah), hingga
persaingan kurang sehat antar beberapa komunitas.

9

Persemaian dunia industri kreatif (seni
sinematografi) di Banyumas dimulai pada tahun
1999. Saat itu sejumlah mahasiswa di Purwokerto
mencoba menghelat pagelaran film pendek. Tahun
2001 Youth Power (Purwokerto), kelompok kerja
nirlaba lintas seni memproduksi film perdana
berjudul ‘Kepada Yang Terhormat Titik 2’, disusul
film ‘Surat Pukul 00:00” (2002). Namun
eksperimentasi ini terhenti.

Perkembangan yang mengesankan justru berangkat
dari Purbalingga. Tahun 2004 Cinema Lovers
Community (CLC) memulai debut perdana. Laeli
Leksono Film memvisualisasi naskah cerita pendek
berjudul ’Orang Buta dan Penuntunnya” (OBdP),
karya Ahmad Tohari.

CLC adalah sebuah lembaga nirlaba yang mewadahi
sineas Purbalingga. CLC adalah tonggak perfilman
Banyumas. Hingga kini CLC mewadahi sekitar 22

10

rumah produksi film lokal Purbalingga.

Sementara di komunitas film pendek di Purwokerto

dan Cilacap ditampung oleh dua lembaga film yaitu

Arisan Film Forum (AFF) Purwokerto, Komunitas

Sangkanparan Cilacap. Bersama CLC, ketiga

komunitas ini membentuk Jaringan Kerja Film

Banyumas (JKFB).

Namun pergerakan pasang surut sinematografi di
Banyumas ini tampak nyata di Purbalingga.
Beberapa kali perhelatan film yang digelar CLC
mendapat tekanan dan pelarangan dari pemerintah
setempat. Tetapi CLC kokoh dengan pendiriannya,
bahkan hingga tahun 2009 ini CLC berhasil
menyelenggarakan tiga kali festifal film pelajar.

Meski tanpa campur tangan (perhatian) pemerintah,
kegiatan bertajuk Purbalingga Festival Film (PFF) ini
menjadi barometer perkembangan film pendek di
Banyumas Raya. Puluhan film pendek produksi
sineas pelajar se Banyumas selalu ambil bagian.

11

Kearifan Lokal

Film, dalam konteks media masa lewat sajian yang
selektif dan penekanan pada tema-tema tertentu
akan menciptakan kesan (imaji) tertentu pada
penonton (Melvin DeFleur). Artinya film berkuasa
mendefisinikan norma-norma budaya masyarakat.

Budaya adalah tentang keberadaan (distinctiveness)
kelompok-kelompok sosial yang memberikan mereka
identitas. Kebudayaan merupakan batasan (norma)
dalam hidup manusia. Di dalamnya terdapat respon
manusia terhadap masyarakat, atau lingkungannya,
dan dunia secara umum.

Kebudayaan oleh Koentjaraningrat disyaratkan
memiliki tujuh unsur esensial, yaitu: Bahasa, sebagai
perwujudan budaya yang digunakan untuk
berkomunikasi. Kemudian sistem pengetahuan,
sistem organisasi kemasyarakatan, sistem peralatan
hidup, dan teknologi. Berikutnya, sistem mata
pencaharian, sistem religi, dan upacara keagamaan,
dan terahir adalah kesenian.

12

Kesenian merupakan unsur budaya yang mengacu
pada estetika yang berasal dari ekspresi hasrat
manusia. Sebagai makhluk yang mempunyai cita
rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak
kesenian mulai dari yang sederhana hingga
perwujudan kesenian yang kompleks termasuk film.

Konsistensi isu dalam film Banyumas menjadi
menarik. Mengingat khasanah budaya Banyumas
saat ini mulai memudar, tergerus arus budaya asing.
Di hadapan pergeseran nilai budaya, posisi budaya
lokal saat ini cenderung termarginalkan. Keajekan
pada unsur–unsur budaya lokal menjadi trademark
atau bahkan ikon film Banyumas.

Sebagai produk budaya, keberadaan film Banyumas
menyimpan potensi sebagai media dokumentasi
budaya atau videografi budaya (cultural
videography). Videografi merupakan media
komunikasi yang cukup efektif dalam rangka
pelestarian dan perayaan keragaman budaya lokal.

Pasal 3 Undang-undang No. 8 Tahun 1992 tentang
Perfilman, menyebutkan bahwa film diarahkan

13

antara lain untuk pelestarian dan pengembangan
budaya bangsa, peningkatan kecerdasan bangsa,
pengembangan potensi kreatif di bidang perfilman,
dan penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan
norma-norma kehidupan bermasyarakat berbangsa
dan bernegara.

Konsistensi –mengusung- budaya lokal juga terlihat
pada film ‘Peronika’, Senyum Laminah (SL),
Pasukan Kucing Garong (PKG), Boncengan, Metu
Getih, Lengger Santi, Cuthel, dan lain-lain. Selain
menggunakan dialek ‘ngapak’, film ini juga
mengangkat tema kehidupan keseharian masyarakat
kecil (marginal) di Banyumas.

Pada SL terdapat scene –tradisi- membatik. Sebuah
tradisi ‘langka’ yang sudah mulai memudar dan
membutuhkan regenerasi. Film Cuthel mengajarkan
falsafah hidup orang Banyumas, yang pantang
menyerah. Nilai-nilai kejujuran (cablaka), toleransi,
dan budi pekerti digambarkan dalam film ini.

Secara garis besar, keajekan film Banyumas dapat
dilihat dari empat arus besar. Yaitu penggunaan
bahasa Banyumas dialek ‘ngapak’ sebagai salah

14

satu unsur penting membangun plot. Kedua, seting
masyarakat asli Banyumas. Ketiga, atribut
(aksesoris) pendukung berupa simbol, ikon, dan
indeks visual yang muncul dalam scene. Dan
keempat tema kehidupan masyarakat kelas bawah.

PFF
Purbalingga Film Festival (PFF) merupakan ajang
kompetisi kreatifitas dan potensi pelajar
SMA/SMK/MA se-Banyumas Raya di bidang
sinematografi. Ajang ini menjadi salah satu elan
positif bagi perkembangan industri kreatif di tingkat
pelajar. Saat ini PFF menjadi satu-satunya
barometer perkembangan sinematografi di
Banyumas.

Tahun 2009 ini PFF masuk usia ketiga. PFF pertama
digelar pada tahun 2007. Pada tahun pertama PFF
sempat mendapat ‘sparing patner’ yaitu perhelatan
yang sama bertajuk Festival Film Banyumas (FFB)
yang digagas Komunitas Jurnalis Televisi
Purwokerto (KJTP). Namun ajang ini hanya sekali
digelar.

15

Dari tiga kali PFF (Tahun 2007, 2008, dan 2009),
telah muncul sekitar 50 judul film pendek Banyumas.
Begitu banyak tema yang diangkat dalam film-film
karya pelajar tersebut. Kearifan lokal telah menjadi
mindset dan ideologi film-film ini. Sehingga
penyelenggaraan PFF turut merayakan semangat
multikulturalisme dan pluralitas budaya berbasis
kearifan lokal Banyumas.
(Forum KOMPAS Jateng-Jogja, Sabtu 06 Juni 2009)

Teguh Trianton, Penikmat Film,
Staf Edukatif SMK Widya Manggala (Purbalingga),

Periset Beranda Budaya (Banyumas)

16

Sabtu, 29 Januari 2011

MELIHAT KEKUATAN KEDIRIAN
MASYARAKAT BANYUMAS LEWAT
MUSIK CALUNG

04:33 | Diposkan oleh LEMBAGA KEBUDAYAAN TRADISIONAL BANYUMAS |

Berbagai macam kekuatan yang dimiliki oleh
masyarakat Banyumas sebagai sebuah sistem sosial
memungkinkan membentuk suatu kedirian yang
mewujudkan identitas. Seperti dikemukakan Frans
Magnis Suseno bahwa identitas sebuah bangsa
merupakan kediriannya yang terbentuk dalam proses
perkembangannya, dalam sejarahnya (Franz Magnis

17

Suseno, 1992:52). Pergulatan kehidupan
masyarakat di daerah Banyumas telah membentuk
suatu kekuatan yang terpancar dalam berbagai
dimensi, mulai dari pola pikir, pandangan terhadap
kekuatan adikodrati dan alam sekitar, cara bertindak,
hingga hal-hal yang bersifat fisik. Semua itu menjadi
ciri atau penanda bagi eksistensi masyarakat
Banyumas yang membedakannya dengan kelompok
masyarakat lainnya.

Kekuatan kedirian semacam ini direpresentasikan
melalui berbagai media, termasuk di antaranya
melalui aneka ragam kesenian. Seperti diungkapkan
Arnold Hauser bahwa berbagai ragam kesenian
yang merupakan hasil aktivitas budaya, hadir
sebagai fenomena estetik yang menjadi formulasi
totalitas pengalaman manusia (1974:4). Bagi
masyarakat Banyumas, fenomena estetik semacam
ini menjadi sarana manifestasi dari karakteristik yang
diwujudkan melalui tindakan kreatif-dinamis yang
pada akhirnya dapat menegaskan ciri-ciri umum
yang melekat pada tataran pribadi maupun
kelompok. Aneka ragam kesenian yang ada

18

kemudian menjadi penanda bagi eksistensi, jatidiri
atau identitas ketika mereka melakukan kontak
budaya dalam konteks pergaulan sosial yang lebih
luas.

Salah satu jenis kesenian khas Banyumas yang
sarat dengan ciri-ciri atau karakteristik kebudayaan
lokal setempat adalah calung. Meskipun instrumen
musik dengan perangkat yang identik—bahkan
dengan nama yang sama—dengan perangkat musik
ini juga terdapat di daerah lain, namun calung di
Banyumas memiliki spesifikasi yang khas, yang
menunjukkan identitas ke-Banyumas-an. Perangkat
calung yang terbuat dari bambu wulung atau bambu
tutul (Rahayu Supanggah,1981) hadir dalam wujud
sebagai orkestra musik yang mempresentasikan
tradisi kerakyatan yang menjadi ciri utama
kebudayaan Banyumas.

Calung dibangun di dalam sebuah tradisi budaya
kerakyatan yang berada di luar hegemoni
kebudayaan kraton Jawa. Musik ini lahir dengan latar
belakang kultur Banyumas, sebuah sub kultur Jawa

19

yang lama berada dalam posisi tersub-ordinasi oleh
kebudayaan yang dikembangkan di wilayah
negarigung (Koentjaraningrat,1984:219). Di tengah
hegemoni kebudayaan Jawa, kebudayaan
Banyumas tumbuh dengan karakternya sendiri
(Ahmad Tohari,2005) yang kemudian mampu
melahirkan local aesthetic (estetika lokal)
sebagaimana tampak pada musik calung. Terlebih
lagi, kebudayaan Banyumas yang berada di antara
dua kutub budaya besar—kebudayaan Jawa dan
Sunda—memungkinkan lahirnya karya cipta seni
yang memadukan warna lokal dengan berbagai
ragam kebudayaan lain yang mengelilinginya.

Calung telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari tradisi masyarakat di daerah ini.
Bahkan begitu populernya musik ini sering kali
dijadikan ikon kebudayaan Banyumas. Oleh karena
itu kajian terhadap musik calung memungkinkan
dijadikan sebagai alat untuk melihat kebudayaan
Banyumas secara keseluruhan, termasuk di
dalamnya persoalan identitas budaya. Hal ini
sebagaimana diungkapkan John Blacking:

20

Music can become and be used as a symbol of
group identity, regardless of its structure; and the
structure of music can be such that the conditions
required for its performance generate feelings and
relationships between people that enable positive
thinking and action in fields that are not musical
(John Blacking,1995:198).

(Musik dapat menjadi dan digunakan sebagai simbol
bagi identitas kelompok, dengan mengabaikan
strukturnya; dan struktur musik dapat demikian
manakala kondisi yang diperlukan dalam
pertunjukannya membangkitkan perasaan dan
hubungan antar orang-orang yang memungkinkan
memunculkan pikiran positif dan tindakan di luar
musik).

Pernyataan Blacking membuktikan, bahwa musik
merupakan media yang efektif bagi suatu kelompok
sosial untuk menunjukkan identitas mereka. Studi
tentang identitas sebuah kelompok masyarakat,
dengan demikian dapat dilakukan melalui ragam

21

musik yang berkembang di dalam kehidupan
masyarakat yang bersangkutan, baik secara
kontekstual (dengan mengabaikan struktur) maupun
tekstual (melalui struktur musikal). Demikian pula
kajian tentang calung di dalam ranah kehidupan
masyarakat Banyumas, sangat memungkinkan
diarahkan untuk mengetahui identitas kultural yang
berlaku dalam kehidupan mereka. Melalui calung—
baik melalui sisi organologis, bangunan musik,
struktur musikal maupun eksistensinya dalam
kehidupan masyarakat Banyumas—dapat dilihat
karakter dan atau ciri-ciri yang diarahkan untuk
melihat lebih jauh tentang identitas kebudayaan
Banyumas.

22

Calung sebagai perwujudan cita rasa dan
pengalaman empirik masyarakat Banyumas

Anak-anak berlatih calung sebagai harapan masa
depan.

Kirimkan Ini lewat Email BlogThis!

23


Click to View FlipBook Version