The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by trinofitasari09, 2021-05-22 21:55:01

super hero penyelamat bumi

cerpen

SUPERHERO PENYELAMAT
BUMI

PENULIS
TRI NOFITA SARI A.Md
(Guru Tk Kemala Bhayangkari 43 Pati)

Superhero Penyelamat Bumi

Sabtu sore, Ayah mengantarkan aku dan kakakku Ali, pergi berlibur ke
rumah Kakek Nenek. Setelah menempuh perjalanan selama 4 jam, akhirnya kami
sampai di tempat tujuan. Kakek dan Nenek sangat gembira menyambut
kedatanganku dan Kak Ali. Ayah kemudian meninggalkan kami untuk pulang ke
rumah.

Setelah aku dan Kak Ali mencium tangan Kakek Nenek, kami segera ke kamar
mandi. Nenek meminta kami untuk membersihkan diri dan berganti pakaian
terlebih dahulu. Setelah itu, aku dan Kak Ali bergantian memeluk Kakek Nenek.

Lalu, kami berempat duduk di teras rumah sambil minum teh dan makan ubi
rebus hangat. Hujan yang turun begitu derasnya sejak pagi membuat kami hanya
duduk-duduk saja di rumah.

"Ali dan Lia pasti capek setelah perjalanan jauh, 'kan? Ayo, kita segera tidur. Ini
sudah malam!" perintah Kakek sambil menggandeng tanganku dan Kak Ali.

Aku tidur ditemani Nenek di kamar depan, sedangkan Kak Ali tidur dengan
Kakek di kamar sebelah. Suara angin kencang, guntur, petir, dan derasnya hujan
membuatku ketakutan. Nenek memelukku dan aku cepat tertidur.

Akan tetapi, aku kaget dan terbangun. Tiba-tiba saja terdengar teriakan orang-
orang dari luar rumah.

“Air datang … air datang!"

Kakek meminta Nenek agar segera keluar dari kamar. Melihat air tiba-tiba sudah
menggenangi lantai kamar membuatku sangat ketakutan. Kakek segera

menggendongku dan Kak Ali digandeng Nenek. Ternyata, air juga sudah
menggenangi seluruh lantai rumah sebatas mata kaki Kakek. Kami disuruh Kakek
dan Nenek duduk diam di atas meja tinggi.

Kak Ali memelukku yang sedang ketakutan. Rumah Kakek Nenek kebanjiran.
Makin lama, air makin meninggi. Kakek dan Nenek cepat-cepat memindahkan
televisi dan barang lainnya agar tidak terendam air.

"Kenapa bisa banjir, Kek? Dulu tidak pernah kebanjiran," kata Kak Ali.

"Ini namanya bencana alam. Semoga banjirnya segera surut, ya,”sahut Kakek
mendekati kami.

"Kalau banjirnya tidak surut, kita harus bagaimana, Kek?” tanya Kak Ali lagi.

"Kalau tidak surut dan airnya makin meninggi, kita harus segera mengungsi,"
kata Nenek.
"Mengungsi itu apa, sih, Nek?” tanyaku.

Nenek pun menjawab, "Mengungsi adalah
menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman."

"Ooo…biar terhindar dari bahaya, ya?" tanyaku lagi.

"Benar sekali, Lia." Kakek membelai kepalaku sambil duduk di antara aku dan
Kak Ali. Nenek juga ikut duduk di sebelahku. Kami duduk di meja sambil
memandangi air yang menggenangi lantai rumah.

"Kalau kita mengungsi, kita tidurnya bagaimana, Kek?" tanya Kak Ali ingin tahu.

"Ya, kita harus tidur rame-rame dengan warga lain di tempat yang ditentukan
Pak Lurah nantinya.”

"Wuaaa …tidak mau, Kek! Kenapa harus banjir segala, sih? Aku, 'kan, ingin
liburan di sini, bukan mau lihat banjir," keluh Kak Ali.

"Kita berdoa saja agar banjirnya cepat surut, ya, Ali, Lia. Jadi, kita bisa tidur di
rumah saja, tidak perlu mengungsi," hibur Nenek.

Kami terus berdoa dan berharap hujan segera reda agar air tidak bertambah tinggi
menggenangi rumah. Kakek dan Nenek mencoba menenangkan kami. Karena
kedinginan, Nenek memelukku hingga terasa hangat.

"Kalau kalian mengantuk, tidur saja. Biar kakek dan Nenek yang jaga," kata
Kakek mengelus kepalaku dan Kak Ali.

"Ali tak bisa tidur. Takut kalau tiba-tiba
airnya naik, Kek."

"Ya, sudah. Kita tunggu hujannya reda, ya. Sepertinya, hujan sudah mulai
berhenti," sahut Nenek.
Benar kata Nenek. Tak lagi terdengar suara hujan deras. Air di dalam rumah juga
tidak terlihat bertambah tinggi. Aku dan Kak Ali bersyukur. Karena sudah tidak
ketakutan, kami mencoba tidur di pangkuan Kakek Nenek.
***
Keesokan harinya, ketika kami terbangun, rumah Kakek sudah tidak tergenang
air. Akan tetapi, lantai rumah jadi terlihat sangat kotor. Aku masih tiduran di atas
meja karena tidak dibolehkan Kakek ikut membantu. Aku melihat Kakek, Nenek,
dan Kak Ali mulai membersihkan lantai dari lumpur.
Lumpur hitam itu sangat susah dibersihkan. Kakek dan Nenek harus berkali-kali
menyiramkan air, lalu menyikat lantai. Sedikit demi sedikit rumah pun menjadi

bersih kembali. Kakek dan Kak Ali juga mengembalikan letak barang-barang ke
tempat semula.

"Kita istirahat dulu, yuk! Nenek sudah membuatkan teh hangat. Ini tadi ada
bantuan nasi bungkus juga dari desa!" seru Nenek mendekati kami.

Sambil duduk di balai-balai teras rumah, kami mengisi perut dengan makanan
dan minuman. Rasanya sangat lapar karena kedinginan dari tadi malam.

"Kek, kenapa rumah Kakek kebanjiran? Yang biasa banjir, 'kan, kota besar.
Kenapa di kampung juga banjir?" tanyaku heran.

Kakek pun tersenyum sambil berkata "Besok pagi jika tidak hujan, kita jalan-
jalan keliling kampung, ya. Biar Ali dan Lia tahu jawabannya. Sekarang, kakek
dan Nenek mau membersihkan rumah lagi. Tinggal sedikit lagi kok."
***
Seperti janji Kakek, esok paginya setelah sholat Subuh, kami pun diajak
berkeliling kampung. Langit terlihat cerah. Semoga tidak hujan deras dan banjir
lagi. Terlihat, di sepanjang jalan desa banyak lumpur, daun-daun, dan ranting-
ranting berserakan. Pasti karena terbawa banjir kemarin.

“Kek, kenapa gunung itu terlihat putih dan gersang?" tanya Kak Ali sambil
menunjuk ke gunung.

"Gunung itu berwarna putih karena itu gunung kapur. Gunung itu jadi gersang
karena pohon-pohon yang ada di sana ditebang dan tidak ditanami kembali."

"Memang kenapa, Kek, kalau pohonnya ditebang?" tanyaku belum mengerti.

"Pohon-pohon itu bisa menyerap air. Kalau tidak ada pepohonan, air hujan akan
jatuh ke tanah langsung. Lalu, mengalir ke bawah karena tak ada yang
menahannya lagi. Tanpa adanya pohon yang menyerap air, maka banjirlah daerah
bawah gunung. Bukan hanya banjir, tapi juga bisa terjadi tanah longsor."

Aku dan Kak Ali mengangguk-anggukkan kepala. "Ooo ... jadi begitu, ya, Kek,
kenapa kita bisa kebanjiran," sahutku sekarang mengerti.

"Begitu juga dengan pegunungan kapur. Meskipun terlihat keras dan gersang, tapi
batu-batu kapur itu juga bisa menyerap air dan menyimpannya. Kemudian, air itu
disaring oleh bebatuan kapur dan terus mengalir ke bawah ke segala arah. Jadilah,
sumber-sumber mata air. Air-air yang berkelompok itu menjadi sungai dan bisa
mengairi sawah-sawah. Akhirnya, bisa menyuburkan tanah dan tanaman bisa
tumbuh besar. Apabila gunung kapur itu diambil terus menerus, pegunungan
kapur itu akan rusak dan habis. Jadinya, ya, warga sekitar akan kesusahan
mendapatkan air bersih. Selain itu juga bisa mengakibatkan banjir. Sekarang Lia
dan Ali mengerti?"
"Batu kapur diambil buat apa, Kek?"tanya Kak Ali penasaran.

"Biasanya untuk bahan campuran pembuatan semen,batu bata,dan bahan
bangunan lainnya” jawab kakek.
"Kita harus sayang dengan alam, ya, Kek? Tidak boleh menebang pohon
sembarangan, tidak boleh merusaknya," sela Kak Ali.

"Benar sekali. Kalau alam kita rusak, manusia juga yang rugi. Contohnya, seperti
kemarin malam. Kita kebanjiran. Bencana lain juga bisa terjadi. Seperti banjir
bandang dan tanah longsor. Belum lagi fasilitas umum juga bisa rusak, seperti
jalan berlubang, jembatan putus, pohon yang tumbang bisa menimpa rumah dan
manusia."

"Ternyata, hanya gara-gara pohon ditebangi sembarangan bisa terjadi bencana
sebanyak itu, ya, Kek?" Aku kaget mendengar penjelasan Kakek.
"Iya. Bersyukurlah karena banjir kemarin cepat surut. Coba bayangkan,
bagaimana rasanya jadi teman-teman kalian yang rumahnya terendam banjir
berhari-hari, bahkan sampai berminggu-minggu. Kasihan, 'kan."

"Iya, Kek. Kasihan, ya, mereka. Saat kena banjir dan tanah longsor pasti rumah
mereka rusak. Jalan juga tidak bisa dilewati. Terus, banyak yang kena penyakit
juga. Teman-teman tidak bisa bersekolah. Pakaian dan buku-buku mereka rusak
atau hanyut. Orang tuanya tidak bisa bekerja. Kasihan sekali mereka, Kek. Pasti
sedih," kata Kak Ali.

"Jadi, kampung ini banjir karena bukit di atas sana itu gundul tidak ada pohonnya,
ya, Kek?” Aku melihat bukit gundul itu dengan sedih.
"Anak pintar. Nah, sekarang kita pulang dulu, yuk! Nenek pasti sudah
menyiapkan sarapan untuk kita."

Aku dan Kak Ali berjalan hati-hati dengan digandeng Kakek. Jalan desa terasa
licin karena masih banyak lumpur yang menutupi jalan aspal. Aku senang sekali
setelah diajak Kakek berkeliling desa dan jadi tahu banyak hal.

Sesampai di rumah, Nenek sudah menunggu kami di meja makan. Sarapan buatan
Nenek terlihat sangat lezat. Ketika sedang makan, aku tiba-tiba merasa sedih.
Teringat pada teman-teman yang saat ini menjadi korban bencana alam. Pasti,
mereka ada yang kelaparan karena belum mendapat bantuan bahan makanan. Aku
janji tidak akan merusak alam.

Selesai sarapan, aku, Kak Ali, Kakek, dan Nenek duduk di balai bambu bawah
pohon mangga. Anginnya terasa sejuk sekali di halaman rumah. Aku tiduran di
pangkuan Nenek sambil mendengarkan cerita Kakek.

"Dahulu kala waktu kakek kecil, desa ini begitu kaya akan hasil bumi. Banyak
pohon-pohon besar. Segala macam buah dan sayur tumbuh subur dan melimpah.
Kakek sering menggembalakan sapi di bukit sana. Kakek dan teman-teman juga
bisa bermain bersama. Berlarian, mandi di sungai, memanjat pohon, mengambil
buah-buahan segar di hutan, bahkan kami sering ketiduran di bawah pohon yang
rindang. Tapi, sekarang pohon-pohon itu sudah habis. Orang-orang yang
menebangnya tidak mau mengganti dengan pohon baru. Akibatnya, jika turun
hujan deras, pasti terjadi banjir. Tanah di perbukitan longsor karena tidak ada
pepohonan yang menahannya lagi."

"Sekarang, menjadi tugas Ali, Lia, dan semua anak-anak Indonesia untuk merawat
bumi kita ini. Masih mau tinggal di bumi tanpa terkena bencana alam?" tanya
Kakek ssmbil tersenyum.

"Mau, Kek! Bagaimana caranya?"
tanyaku dan Kak Ali berbarengan.

"Besok ikut kakek lagi, ya."
***
Keesokan harinya, Kakek mengajak kami ke belakang rumah. "Ali dan Lia ...
kalian mau menjadi penyelamat bumi di masa depan? Jadi superhero di bumi?”

"Mau, Kek, mau! Tapi, bagaimana caranya?" tanyaku dan Kak Ali bersemangat.

"Kalian anak pintar. Kakek akan membantu kalian menjadi superhero!"

“Horeee!" Aku dan Kak Ali melompat-lompat gembira.

Kakek tersenyum, kemudian memberi kami alat-alat yang biasa untuk berkebun.
"Nah, kakek akan memberi kalian senjata untuk menjadi superhero sebenarnya."

"Loh ... superhero kok senjatanya cangkul, sabit, ember, dan caping, Kek?"
tanyaku dan Kak Ali keheranan.

"Karena ... kita akan menjadi superhero penyelamat bumi.”
"Terus, untuk apa alat-alat ini, Kek?" tanya Kak Ali lagi.

"Sekarang, caping ini kalian pakai. Bawa ember kalian masing masing. Sabit dan
cangkul akan kakek bawa. Ayok, superhero penyelamat bumi di masa depan ...
ikuti kakek, ya!"

"Siap, Kek! Berangkat!" seruku dan Kak Ali dengan penuh semangat.

Ternyata, Kakek membawa kami ke sebuah bukit di belakang rumah. Di sana,
sudah ada banyak bibit pohon yang belum ditanam.

"Nah, kakek ingin mengajak Ali dan Lia menanam pohon-pohon kecil ini. Mulai
sekarang, setiap kalian datang ke rumah Nenek dan kakek harus membawa
masing-masing dua bibit pohon. Nantinya, Lia dan Ali bisa menanamnya di bukit
ini. Begitu salah satu cara kita untuk menyelamatkan bumi kita. Semua harus
dimulai dari diri kita sendiri. Sebagai superhero, kalian juga punya tugas khusus."

"Apa itu, Kek?" tanyaku dan Kak Ali serempak.

"Dua superhero hebatnya kakek ini harus memberi contoh baik pada teman-
teman nantinya. Ajak mereka menanam pohon dimulai dari lingkungan sekitar
kalian. Sudah siap membantu kakek menanam bibit pohon ini?”

"Siap, Komandan Kakek! Kami, superhero penyelamat bumi akan merawat pohon
ini sampai kami besar nanti!" seru kami kepada Kakek.

"Anak-anak hebat! Ali, tolong ambil air dari pancuran itu, ya. Lia bisa bantu
kakek mengambil bibit pohon di sebelah sana!
Kakek akan mencangkul tanah mulai dari sini untuk kita
tanami pohon-pohon kecil itu."
"Siap, Komandan Kakek!" teriakku dan Kak Ali penuh
semangat.
Aku, Kak Ali, dan Kakek bergotong royong menanam 10 bibit pohon jati dengan
riang gembira. Saat matahari telah tinggi, kami pun pulang dengan hati senang.

Sepulang dari rumah Kakek dan Nenek, kami akan mengajak teman-teman untuk
menjadi superhero juga. Sebagai anak Indonesia yang baik, kami akan ikut
menyelamatkan bumi di masa mendatang.

Kakek, Nenek, Ayah, dan Ibu mengatakan, demi menyelamatkan bumi tercinta,
kita semua harus memulai dari diri kita sendiri. Yuk, teman-teman, kita mulai
dari melakukan yang sederhana dulu. Seperti, membuang sampah pada tempatnya,
mengurangi penggunaan plastik, menanam pohon, dan tumbuhan bermanfaat lain.
Jangan menebang pohon sembarangan, ya.

Jangan lupa juga, jagalah kebersihan lingkungan dan tubuh kita sendiri. Kita
sehat, lingkungan asri, bencana alam juga bisa dikurangi. Ayo, kita semua
menjadi SUPERHERO PENYELAMAT BUMI.

PESAN MORAL:

- JAGA DAN RAWATLAH BUMI UNTUK MASA DEPAN
- SELAMATKAN BUMI DIMULAI DARI DIRI KITA SENDIRI


Click to View FlipBook Version