The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by multiliterasi, 2022-06-11 04:27:03

Multiliterasi

JADI SEMENTARA

Yunus Abidin
Yusuf Tri Herlambang

PEDAGOGIK MULTILITERASI:

Membangun Pendidikan Futuristik untuk Indonesia

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Yunus Abidin
Yusuf Tri Herlambang

PEDAGOGIK MULTILITERASI:

Membangun Pendidikan Futuristik untuk Indonesia

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

SEUNTAI BENANG PEMBUKA

Gelisah itu perlu. Apakah kegelisahan yang kami rasakan? Kegelisahan itu
berangkat dari rasa bersalah atas apa yang kami lakukan selama ini. Kadang kami
berpikir, seperti inikah yang harus kami lakukan dalam mendidik anak-anak bangsa
yang minuman kopinya saja sudah berbeda? Kami minum kopi di warung pinggir
jalan dengan harga Rp 3.000,00 dan mereka minum kopi di kafe terkenal dengan
kopo varian harga termurahnya saja Rp 30.000,00.

Jika dibandingkan dengan anak-anak usai sekolah dasar saja terkadang kami
merasa minder. Mereka mampu menguasai aplikasi gawai dengan baik, sedangkan
kami justru meminta mereka jika ada kesalahan instalasi pada gawai yang kami
miliki. Kita masih ber-Anda-Anda di depan kelas atau di depan forum, mereka
dengan santai mengatakan “gais” di video yang mereka unggah di media daring.
Kami masih penikmat daring, sedangkan anak-anak kami mulai memproduksi
konten yang membuat kami yang berdecak kagum. Latas masih pantaskan kami
berdiri di depan kelas menyampaikan bla-bla-bla-bla materi di hadapan mereka
yang aplikasinya jauh lebih mampu dari kami?

Lantas kami melarang semua yang mereka bisa. Tujuannya adalah agar
mereka berdecak kagum kepada kemampuan yang kami miliki. Yang diterima tentu
hanya senyum sinis. Tak ada kata bangga atas apa yang kami bisa; sebab yang kami
lebih banyak butuh mereka terutama pada teknologi yang kami pakai. Memalukan.
Seharusnya itu kata yang tepat untuk kami, yang menjaga gengsi dengan
mematikan kemampuan anak-anak sendiri dengan dalih “Itu berbahaya”, “Itu tidak
mendidik”, “Itu menyesatkan”. Sebenarnya siapa yang paling menyesatkan.
Jangan-jangan, kami yang paling menyesatkan mereka; sebab mereka tidak akan
menemukan jalan yang sama seperti jalan kami; sebab mereka tidak akan hidup
pada zaman yang sama dengan zaman kami.

Buku ini kami tulis sebagai bentuk kegelisahan. Menyadari rasa gelisah
kami bersepakat ada yang harus diubah. Salah satu yang harus kami ubah adalah
bagaimana memandang dan mengaplikasikan konsep pedagogi pada zaman yang
telah dan semakin berubah. Sejumlah pemikiran kami tuangkan untuk memupus
keraguan kami tentang masih pantaskah kami memberi bekal pada anak-anak yang
akan hidup pada zaman yang mungkin tidak pernah akan kami alami. Kami sadar
jika kami masih mendidik anak-anak kami dengan cara-cara lama; kami bukan
menyiapkan mereka untuk hidup di masa depan. Jangan-jangan kami dengan

sistematis menyiapkan kegagalan-kegagalan mereka di masa depan. Pedagogi
harus berubah sebagaimana semua juga telah berubah.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
memberikan bantuan kepada kami baik moral maupun material. Ucapkan terima
kasih kami sampaikan pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tingi (DRPM) telah
memberikan kucuran dana kepada kami untuk melaksanakan penelitian selama tiga
tahun. Kami sadar tanpa bantuan pendaan riset kami, buku ini tidak akan pernah
terwujud. Rektor UPI dan jajarannya, Ketua LPPM UPI, dan Direktur UPI Kampus
Cibiru telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada kami untuk meneliti
dan berkarya sehingga kami pun mengucapkan terima kasih atas bantuan dan
kepercayaannya kepada kami. Kami juga tak lupa mengucapkan terima kasih pada
rekan-rekan dosen UPI yang selalu menyemangati kami, para mahasiswa yang telah
direpotkan dalam kegiatan penelitian, dan sumber data penelitian kami di seluruh
wilayah Indonesia. Terakhir dan bukan berarti lupa, terima kasih kami untuk
keluarga kami tercinta yang telah rela kehilangan banyak waktu bersama, tanpa
kerelaan itu, buku ini tidak akan sampai pada sidang pembaca. Terima kasih kami
sampaikan pula pada semua pihak yang telah membantu kami dari awal hingga
akhir selesainya buku ini.

Kami menyadari gagasan yang kami tulis masih bersifat debateble. Oleh
sebab itu, sidang pembaca kami harapkan ikut memberikan pencerahan kepada
kami tentang sejumlah pemikiran kritis untuk perbaikan buku ini di masa yang akan
datang. Akhirnya semoga karya kecil kami ini dapat memberikan sedikit manfaat
untuk perbaikan mutu pendidikan Indonesia agar kita bisa memanen generasi masa
depan yang unggul namun tetap berjiwa keindonesiaan.

Salam,

Penulis

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB 1 MENAKAR PENDIDIKAN INDONESIA SAAT INI: Sebuah Prolog
A. Pendidikan Tuna Prestasi
B. Pedagogik Mata Sapi
C. Nilai Sang Dewa Pendidikan
D. Birokrasi Ular Tangga
E. Bercerminlah: Kita Harus Bangkit dan Menjadi Bangsa Besar Kembali?

BAB 2 MEMAKNAI SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN Indonesia
A. Kolonialisasi: Sumber Daya atau Sumber Bencana
B. Berguru pada Pemikiran Kritis Ki Hadjar Dewantara
C. Etnopedagogi INS Kayu Tanam
D. Menyelami Gagasan Cerdas H.A.R Tilaar
E. Apakah Kita Sedang Menuju Masa Depan ataukah Sedang Kembali ke
Masa Lalu?

BAB 3 MENGGALI POTENSI BUDAYA UNTUK PENDIDIKAN Indonesia
A. Budaya: Sumber Daya yang Dilupakan
B. Kearifan Lokal: Petuah yang Diabaikan
C. Kecerdasan Lokal: Kekuatan yang Ditinggalkan
D. Artefak: Bukti Diri yang Ditenggelamkan
E. Bahasa Indonesia: Media yang Diterlantarkan
F. Sadarlah: Ayo Merajut Kain Budaya untuk Batik Pendidikan
Indonesia!

BAB 4 MEMBUMIKAN PANCASILA UNTUK PENDIDIKAN Indonesia
A. Pancasila: Pandangan Hidup yang Hampir Mati
B. Pancasila: Antara Dogmatisasi dan Demokrasi
C. Meminang Pancasila untuk Filsafat Pendidikan Indonesia
D. Membangun Rumah Pedagogik Berpancasila

BAB 5 MEMBANGUN PEDAGOGIK FUTURISTIK UNTUK Indonesia
A. Pedagogik Futuristik: Antara Lema dan Dilema
B. Meramal Masa Depan Indonesia
C. Belajar pada Pedagog Dunia
D. Memintal Anasir Berserak untuk Pedagogik Futuristik
E. Pedagogik Futuristik untuk Indonesia

BAB 6 PENDIDIKAN MULTILITERASI: Benih Pedagogik Futuristik
untuk Indonesia

A. Tinjauan Pendidikan Indonesia: Sebuah Refleksi
B. Hakikat Pedagogik Multiliterasi: Telaah Filosofis-Pedagogis
C. Komponen Pedagogik Multiliterasi
D. Struktur Fundamental Pedagogik Multiliterasi
E. Desain Dasar Multiliterasi dan Pembelajaran Multiliterasi

BAB 7 MENYEMAI PENDIDIKAN MULTILITERASI DI INDONESIA
A. Desain Dasar Pendidikan Multiliterasi
B. Guru Multiliterasi
C. Pembelajaran Multiliterasi
D. Penilaian Pembelajaran Multiliterasi
E. Media dan Sumber Belajar Multiliterasi
F. Bahan Ajar Multiliterasi
G. Sekolah Multiliterasi

BAB 8 MEMANEN MASA DEPAN: Sebuah Epilog
A. Siswa Masa Depan
B. Sekolah dan Masyarakat Masa Depan
C. Memanen Harapan atas Mimpi Masa Depan

DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP PENULIS

BAB I
MENAKAR PENDIDIKAN INDONESIA SAAT INI

Sebuah Prolog

A. Pendidikan Tuna Prestasi
Serupa bunga kemboja pinggir makam, ilmu pendidikan menjadi ilmu yang

kerap dipandang sebelah mata. Ia dianggap bayang-bayang, ada namun dianggap
tidak ada. Penting dan namun terabaikan. Pengibaratan ini menjadi sangat nyata
dengan kemunculan berbagai kebijakan yang menyudutkan pendidikan keguruan
yang semakin tergeser oleh ilmu lain yang dengan persyaratan sangat mudah
menjadikan lulusannya sebagai seorang guru.

Upaya melirik penguatan ilmu kependidikan mulai muncul belakangan ini
sejalan dengan semakin kompleksnya berbagai problematika sumber daya manusia
Indonesia. Pendidikan Indonesia yang sejak awal kemerdekaan sedepa demi sedepa
dibangun dipandang tidak menghasilkan SDM yang mampu bersaing. Pendidikan
Indonesia dinilai wanprestasi. Walaupun tentu penilaian ini tidak sepenuhnya
benar, minimal berbagai lembaga internasional mengukur kualitas siswa Indonesia
yang masih jauh dari kualitas siswa lainnya di dunia. Sekali lagi walau alat ukur
yang digunakan banyak dinilai tidak valid dan tidak reliabel tetap saja ini menjadi
isyarat darurat bagi pendidikan Indonesia.

PISA, PIRLS, TIMMS dan sejumlah lembaga lain telah menempatkan siswa
Indonesia pada posisi yang sangat memilukan dan memalukan. Kondisi ini
mengisyaratkan bahwa tata kelola pendidikan atau minimalnya tata laksana
pembelajaran di Indonesia masih belum semapan negara lain. Melihat kondisi ini
tentu kita tidak bisa menutup mata; apalagi alih-alih menyadari kekurangan yang
kita miliki kita malahan menyalahkan alat ukur yang digunakan.

Di sisi lain yang perlu disadari bersama adalah bahwa penelitian kecil yang
kerap dilakukan di dalam negeri pun senantiasa menunjukkan betapa lemahnya
kompetensi yang dimiliki siswa Indonesia. Berbicara tentang penelitian ini tentu
tidak boleh juga hanya disikapi sebagai penelitian murahan dengan populasi dan
sampel terbatas; sebab jika hal ini dikumpulkan secara telaten akan tergambar
kemampuan siswa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Di sisi lain yang justru
harus diragukan adalah hasil akhir penelitian yang senantiasa menunjukkan
keberhasilan. Sebagai contoh ”Bahwa kemampuan menulis anak Indonesia rendah
dan dengan eksperimen sebanyak 3 kali kemampuan menulis anak Indonesia
menjadi sangat baik”. Tentu simpulan ini terlalu tergesa gesa atau bahkan jangan-
jangan direkayasa.

1

Lepas dari paradigma negatif di atas, berbagai upaya membangkitkan siswa
yang berprestasi tentu menjadi tugas berat tersendiri. Dalam posisi ini, guru menjadi
ujung tombak dan ujung tombok proses pendidikan. Ujung tobak berarti bahwa
gurulah komponen instrumental pendidikan yang harus mampu mengendalikan
instrumen lain agar proses pembelajaran sebagai proses inti pendidikan.
Keberhasilan pembelajaran mau tidak mau, suka tidak suka sangat bergantung pada
guru. Pola pendidikan mandiri sebagai tujuan akhir utama proses pendidikan belum
dapat diterapkan secara utuh di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
kehadiran guru dalam ruang-ruang kelas masih menjadi penting adanya.
Pembelajaran tanpa guru masih menjadi mimpi panjang yang entah kapan dapat
terwujud di Indonesia. Guru sebagai ujung tombok jelas menjadi permasalahan
tersendiri. Pola penggunaan dana BOS yang diakui atau tidak belum berpihak pada
guru menyebabkan guru harus merogoh saku sendiri dalam upaya mengembangkan
pembelajaran yang bermutu. Di sisi lain, justru kondisi ini kerap terjadi pada guru
honorer yang hanya dibayar di bawah UMR.

Bukankan banyak siswa Indonesia yang berprestasi di tingkat internasional?
Perlu diakui bahwa prestasi gemilang pada jenjang internasional memang banyak
diraih para siswa Indonesia. Para peraih prestasi tentu saja adalah para siswa yang
luar biasa atau para siswa yang mendapatkan perlakuan luar biasa. Terhadap siswa
yang luar biasa kita haruslah berbangga. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan
siswa Indonesia pada dasarnya tidak kalah dengan kemampuan siswa lain di dunia.
Terhadap siswa yang mendapatkan perlakukan luar biasa sebenarnya hal ini cukup
membuat miris. Tidak jarang para siswa yang berprestasi tersebut adalah hasil
gemblengan yang luar biasa yang dilakukan di luar jam sekolah. Bahasa lain yang
lebih tidak enak didengar adalah bahwa mereka adalah para siswa hasil karbitan.
Jika yang menjadi siswa berprestasi sebagian besar adalah siswa dari kategori
kedua, sejujurnya kita harus mengurangi rasa bangga atas prestasi tersebut.

Lantas apa prestasi siswa kita? Ukuran prestasi sendiri seharusnya kita
perjelas sehingga lebih bisa terukur. Prestasi dalam pandangan penulis adalah
capaian luar biasa yang diperoleh siswa. Capaian tersebut tentu saja tidak hanya
diukur dengan seberapa banyak kejuaraan yang diraih. Ukuran berprestasi
semestinya lebih bersifat autentik. Siswa yang mampu mengembangkan
kemampuan dan mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya selama
bersekolah di dunia nyata adalah prestasi yang sesungguhnya. Hal ini sejalan
dengan tujuan utama pendidikan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar yang
dilakukan untuk menyiapkan para peserta didik untuk dapat hidup dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian prestasi tersebut secara autentik akan terlihat dari

2

seberapa besar ia mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan yang
dihadapinya atau seberapa kreatif dia mampu menjalani kehidupan ini sehingga
mampu ekses dalam kehidupannya.

B. Pedagogik Mata Sapi
Hampir setiap pagi, kedua anak saya yang sudah bersekolah di sekolah dasar

selalu mengisi perut mereka dengan bersarapan. Sarapan yang sering mereka makan
adalah nasi putih dengan telur mata sapi. Mengapa hanya telur mati sapi? Dalam
pandangan anak sulung saya, membuat telur mata sapi adalah hal yang lebih mudah
dan praktis dan di sisi lain tentu rasanya cukup enak dijadikan teman sarapan.
Praktis, mudah, dan enak tentu tiga kata yang mendasari telur mata sapi senantiasa
menjadi teman sarapan.

Pengalaman membuat telur mata sapi sering saya analogikan dengan proses
guru meracang pembelajaran yang saat ini banyak ditemui di lapangan. Banyak
guru yang melaksanakan pembelajaran dengan cara-cara yang praktis dengan
tujuan utama menyelesaikan kurikulum ataupun menamatkan buku teks yang
diwajibkan pemerintah. Guru dengan mudah mengunduh berbagai RPP yang ada
secara daring. RPP yang ada tersebut selanjutnya dituliskan ataupun di-copy paste
menjadi RPP-nya sendiri. Secara otomatis pembelajaran yang dilaksanakan guru
tidak sesuai dengan RPP hasil unduhan tersebut.

Upaya membuat telur mata sapi utuh mungkin sekarang sudah mulai agak
berubah. Beberapa guru sudah mencantumkan sejumlah model pembelajaran dalam
RPP yang mereka susun. Namun jika ditelaah secara mendalam model yang dipilih
tersebut pun hanya mencantum satu jenis model kooperatif. Salah satu model
kooperatif yang banyak digunakan guru adalah model picture and picture atau
example and nonexample. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa proses
pembelajaran kooperatif yang diterapkan guru tidak ada bedanya dengan metode
diskusi yang selama ini telah banyak diterapkan dan telah dibuktikan banyak
memiliki kelemahan. Menilik hal ini, telur mata sapi yang dibuat memang sudah
dibumbui dengan bawang dan cabai, namun tetap saja itu adalah telur mata sapi.

Dalam konteks kurikulum 2013, pendekatan saintifik menjadi pendekatan
yang disarankan pemerintah. Sejalan dengan saran tersebut hampir seluruh guru
menggunakan pendekatan ini dalam pembelajaran, khususnya mencantumkannya
dalam RPP. Dalam proses pembelajarannya tetap saja ternyata guru melaksanakan
pembelajaran sebagaimana biasanya. Mereka masih menggunakan metode kerja
kelompok dengan tugas ringan yang sebenarnya cukup dikerjakan siswa secara

3

mandiri. Tujuan utama pendekatan ini agar siswa memiliki kemampuan menjadi
seorang peneliti muda masih jauh dari kata tercapai.

Kondisi lain yang tidak kalah memprihatinkan adalah kenyataan bahwa para
guru senior yang sebenarnya telah bersertifikat sebagai guru profesional lebih
banyak menugaskan guru muda yang berstatus guru honorer dalam membuat RPP.
Kondisi ini semakin kerap terjadi terutama pada saat sekolah tersebut akan
mendapatkan pengawasan ataupun monitoring evaluasi dari para penilik atau
pengawas. Pengawas yang melakukan monitoring kan pun selalu disuguhi para
guru muda yang mengajar ketika melaksanakan monitoring di dalam kelas. Lantas
ke manakah guru profesional tersebut? Jangan-jangan ukuran profesionalisme guru
hanya sebatas seberapa tunjangan kesejahteraan yang diterima setiap bulannya.

C. Nilai Sang Dewa Pendidikan
Sistem pembelajaran yang dilaksanakan para guru di sekolah dari masa ke

masa memang harus diakui sudah semakin baik. Hal ini sejalan dengan sejumlah
upaya yang dilakukan pemerintah. Upaya tersebut di antaranya adalah pembinaan
dan pengembangan profesi guru berkelanjutan, pelatihan dan lokakarya
kependidikan, dan penuntasan guru yang belum menyandang gelar sarjana.
Penguatan kompetensi guru melalui program pendidikan profesi guru dalam jabatan
juga merupakan salah satu langkah positif dalam rangka mengembangkan
kemampuan guru.

Namun demikian semakin baiknya program pembelajaran yang dilakukan
belum serta merta mampu menjamin semakin baiknya mutu pendidikan di
Indonesia. Salah satu hal utamanya adalah bahwa program pembelajaran yang
dilakukan masih menjadikan nilai sebagai satu-satunya capaian utama dalam
pembelajaran. Oleh sebab itu, bagian ini akan membicarakan tentang nilai yang
lagi-lagi masih menjadi dewa bagi pendidikan di Indonesia.

Nilai adalah dewa pendidikan. Demikianlah kiranya judul subbab ini yang
sejalan dengan kenyataan bahwa nilai menjadi satu-satunya ukuran mutlak
keberhasilan siswa di sekolah. Pengalaman pribadi penulis juga menunjukkan
bahwa kakek, nenek, paman, bibi, dan kerabat yang lain kalau bertemu dengan anak
saya selalu menanyakan berapa nilai mata pelajaran A, B, dan C, rangking berapa,
dan berapa rata-rata nilai rapor. Terkadang hal yang paling menggelikan adalah
adanya kasus nyata orang tua yang mengiming-imingi anaknya untuk mendapatkan
hadiah jika anaknya mendapatkan nilai sempurna di sekolah. Sungguh nilai adalah
satu-satunya keberhasilan pendidikan di Indonesia minimal dalam perspektif
masyarakat.

4

Nilai sebagai salah satu indikator sebenarnya bukanlah hal buruk, jika nilai
yang diraih siswa adalah benar-benar nilai yang mampu menunjukkan kompetensi
utuh siswa. Lain halnya jika nilai hanya mampu menunjukkan kemampuan
menghafal para siswa atas isi materi pelajaran yang dipelajari siswa di sekolah. Tak
jarang nilai yang diagung-agungkan hanya sebuah angka yang menunjukkan tingkat
kemampuan pengetahuan siswa pada level kognisi tingkat rendah. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa para orang tua dan masyarakat dan bahkan mungkin saja
guru merasa bangga pada siswa yang memiliki nilai tinggi karena mampu
menghafal sejumlah fakta. Padahal pendidikan jelas bukan bertujuan untuk
menciptakan siswa menjadi Google baru sebab kemampuan siswa pasti akan kalah
oleh Mbah Google.

Dampak negatif lain dijadikannya nilai sebagai indikator keberhasilan siswa
belajar adalah adanya perbuatan tidak jujur yang dilakukan siswa untuk
mendapatkan nilai baik agar mendapatkan pengakuan dan menjadi kebanggaan
orang-orang di sekitarnya. Tak jarang perilaku mencontek, berbuat kecurangan
dalam tugas kinerja, dan sejumlah perilaku negatif lain muncul dan sengaja
dilakukan siswa. Dalam kondisi ini jelaslah nilai telah merusak jati diri siswa,
merusak karakter mereka, dan yang lebih parah bahkan merusak keagungan
sekolah. Bukti rusaknya pranata sekolah yang disebabkan oleh nilai adalah adanya
kecurangan dalam ujian nasional yang secara sengaja dilakukan orang warga
sekolah hanya agar para siswa mendapatkan nilai standar. Lalu dalam konteks ini
penting manakah nilai yang hanya berorientasi pada pengetahuan dengan budi
pekerti dan karakter siswa? Bukankah karakter lebih penting daripada sekadar nilai
kognitif siswa? Entahlah siapa yang salah. Yang jelas fenomena ini dalam
pandangan penulis adalah fenomena paradoks yang ke depan jelas akan
melumpuhkan bangsa ini.

Jika nilai memang akan dijadikan alat ukur keberhasilan siswa, sudah
selayaknya nilai yang diberikan kepada siswa haruslah nilai yang benar-benar
mencerminkan kompetensi siswa secara utuh. Kompetensi yang dimaksud minimal
kompetensi spiritual, kompetensi sosial, kompetensi kognisi, dan kompetensi
keterampilan. Dalam konteks pendidikan di era revolusi industri 4.0 ini, nilai
hendaknya mencerminkan kepemilikan siswa atas kompetensi berpikir, kompetensi
interpersonal, dan kompetensi intrapersonal. Jika nilai mampu mewakili
kepemilikan kompetensi tersebut adalah wajar jika nilai dijadikan standar kelulusan
para siswa. Walau dalam hemat penulis, keutuhan kemampuan siswa tidak cukup
hanya dengan nilai, lebih jauh dapat dilihat dalam bukti nyata kemampuan siswa
bersinergi dalam kehidupannya baik dalam rangka memecahkan masalah

5

kehidupan, kreatif mengembangkan kehidupan yang lebih baik, dan
kemampuannya berkontribusi bagi kemajuan masyarakat.

D. Birokrasi Ular Tangga
Sindang pembaca yang saya hormati, suatu hari anak bungsu saya menangis

pada saat bermain dengan anak saya yang kedua. Anak kedua saya sebaliknya
malah tertawa-tawa senang. Si Bungsu ini langsung masuk ke pelukan saya. Saya
berbisik bertanya kepada Si Bungsu kenapa menangis. Dia menjawab lirih
“Kakak”. Dalam pikiran saya terbersit bahwa Si Bungsu dikerjai oleh kakaknya.
Sambil menggendong si bungsu saya mendatangi anak kedua saya yang masih
duduk sambil memegang pengocok dadu dan menghadapi kertas permainan di
depannya. Saya tanya ke anak kedua saya “Kenapa adikmu menangis? Anak kedua
saya menjawab santai “Dia dapat ular terus Pap, jarang dapat tangga.” Mengertilah
saya bahwa mereka sedang main ular tangga dan si bungsu sering mendapatkan
ular, sehingga poin yang dia mainkan selalu turun kembali ke posisi yang lebih
rendah.

Berkaca pada permainan ular tangga tadi, kondisi perbaikan mutu
pendidikan di Indonesia pun memiliki keserupaan dengan permainan ular tangga.
Suatu saat upaya perbaikan mampu memberikan dampak baik terhadap peningkatan
mutu pendidikan, namun suatu saat kadang harus terjun bebas kembali ke posisi
semula. Dalam pemberlakuan kurikulum saja misalnya, pemberlakuan Kurikulum
2004 adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Terlebih
dua tahun kemudian kurikulum ini disempurnakan menjadi kurikulum 2006.
Pendekatan kontekstual dan pendekatan kooperatif dibesut untuk meningkatkan
kompetensi siswa di sekolah. Bersamaan dengan pemberlakuan kurikulum ini
digaungkan pula pembelajaran kecakapan hidup. Pembelajaran kecakapan hidup
tentu adalah pembelajaran yang bertujuan agar siswa mampu memiliki kecakapan
hidup yang bersinergi dengan pengetahuan yang dipelajari siswa di sekolah.

Pendidikan Kecakapan Hidup yang bersinergi dengan Kurikulum 2006
diprediksi akan mampu mempersempit ketidaksesuaian antara apa yang dipelajari
siswa di sekolah dengan apa yang dibutuhkan siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Namun sayangnya, Pendidikan Kecakapan Hidup usianya tidaklah panjang. Dia
meninggal dunia dalam usia yang sangat muda. Dengan meninggalnya pendidikan
kecakapan hidup, pembelajaran di sekolah kembali kepada kondisi awal, sangat
berorientasi pengetahuan dan masih saja hafalan menjadi salah satu cara belajar
yang penting agar siswa beroleh pengetahuan dan beroleh nilai yang tinggi.

6

Menyadari adanya kekurangan dalam praksis pendidikan di Indonesia,
Pemerintah segera merancang program pendidikan karakter pada tahun 2010.
Program pendidikan Karakter tentu bertujuan agar selain mampu memiliki
sejumlah kompetensi pengetahuan siswa mampu memiliki karakter yang baik
sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Program pendidikan karakter sebagai
mana Program Pendidikan Kecakapan Hidup tidak dijadikan mata pelajaran
melainkan difusikan ke seluruh mata pelajaran di sekolah. Gerakan pendidikan
karakter ini menjadi obat penawar luka bagi carut marutnya karakter sebagian anak
bangsa.

Gerakan pendidikan karakter yang sudah mulai memfusi dengan program
pendidikan secara general diakui mampu menjadikan solusi bagi pengembalian
hakikat pendidikan bahwa pendidikan tidak hanya bertujuan agar siswa mendapat
pengetahuan dan keilmuan melainkan lebih jauh beroleh budi pekerti. Gerakan
penguatan karakter ini mendorong pula pemerintah untuk lebih menyempurnakan
pendidikan dengan berpusat pada berkembangnya sikap (baca: karakter),
pengetahuan dan keterampilan siswa. Penyempurnaan ini selanjutnya bermuara
pada bergantinya kurikulum pendidikan di Indonesia menjadi Kurikulum 2013.

Diluncurkannya Kurikulum 2013 pada tahun 2013 dalam hemat penulis
adalah langkah strategis, selain bertujuan menguatkan karakter dan keterampilan
sebagai satu indikator keberhasilan pendidikan di samping pengetahuan,
keberadaan kurikulum ini diyakini penulis sebagai upaya mengejar ketertinggalan
mutu pendidikan Indonesia dari bangsa-bangas lain di dunia. Sepengetahuan
penulis, kurikulum berbasis kompetensi yang dijadikan dasar Kurikulum 2006 telah
diberlakukan di luar negeri pada tahun 1984, yang dapat diartikan bahwa
pendidikan Indonesia tertinggal 20 tahun jika dibandingkan dengan negara lainnya.
Sementara kurikulum 2013, merupakan adopsi kurikulum yang dikembangkan tim
pengembang pendidikan di negara maju (The 21th Partnerships of Education) yang
dirumuskan pada tahun 2010. Artinya keberadaan Kurikulum 2013 adalah upaya
nyata mengejar ketertinggalan pendidikan di Indonesia (dari 20 tahun menjadi 3
tahun). Langkah ini tentu mendatangkan harapan yang sangat besar bagi kemajuan
pendidikan di Indonesia.

Perubahan orientasi dalam waktu singkat untuk mengejar ketertinggalan ini
tentu mendatangkan tantangan tersendiri, khususnya bagi para guru di sekolah.
Sejumlah perubahan besar dalam kurikulum harus pula diikuti perubahan besar
pada para pelaksana program pendidikan. Al hasil pemberlakuan kurikulum ini
mendatangkan pro dan kontra. Terlebih, terjadi pula pergantian pucuk pimpinan
pemerintahan (dalam hal ini salah satunya menteri pendidikan) keberadaan

7

kurikulum 2013 menjadi semakin tidak terjamin keterlaksanaannya. Kurikulum
yang diyakini banyak pihak mampu segera memperbaiki mutu pendidikan
Indonesia pun akhirnya harus dimatisurikan dan pendidikan Indonesia kembali
menggunakan Kurikulum 2006 dengan sejumlah alasan, rasional, dan
pertimbangan yang masih dapat diperdebatkan. Dengan dihidupkannya kembali
Kurikulum 2006, tentu mendatangkan dampak nyata, selain terdapat perbedaan
orientasi yang sangat besar, pendidikan karakter yang diluncurkan pada tahun 2010
pun tampaknya perlahan namun pasti mulai di lupakan. Kondisi ini bagai pion ular
tangga yang menginjak ular dan kembali ke posisi yang lebih rendah.

Pada tahun 2016/2017, pendidikan Indonesia kembali menggeliat.
Pergantian Menteri Pendidikan membawa sejumlah pencerahan dengan mulai
dihidupkannya Kurikulum 2013. Pada Tahun 2017 pendidikan karakter yang ikut
kandas, disuntik agar hidup kembali dengan Program Penguatan Pendidikan
Karakter. Selain itu, pada tahun 2018 Program Gerakan Literasi Nasional
diluncurkan pula sehingga sejumlah harapan baik terekspektasikan dengan nyata
bahwa pendidikan Indonesia ke depan akan lebih baik dan akan melahirkan sumber
daya manusia yang lebih baik pula. Kondisi ini serupa dengan pion menginjak
tangga sehingga naik pada posisi yang lebih tinggi.

Tahun 2019, geliat dan gairah pendidikan Indonesia kembali menguat.
Pergantian Menteri pendidikan adalah salah satu penyebabnya. Latar belakang dan
keberhasilan sosok Menteri Pendidikan yang baru pada bidang yang digelutinya
sebelumnya adalah alasan utama yang diyakini akan mendatangkan energi positif
bagi pendidikan Indonesia ke depan. Keberadaan sosok sentral ini menjadi harapan
minimal bagi penulis dengan alasan bahwa Kurikulum 2013 sudah selayaknya
mendapatkan sentuhan baru sebab ditinjau dari sejumlah perubahan dunia, tampak
nyata perbedaan kondisi dunia pada tahun 2013 dengan kondisi tahun 2020 yang
telah memasuki era Revolusi Industri 4.0 dan era Kemanusian 5.0. Era multiliterasi
adalah tantangan nyata pendidikan Indonesia. Semoga kita tidak menginjak
kembali ular agar tidak kembali ke posisi yang lebih rendah; semoga kita menginjak
tangga yang walaupun menajak dan akan membutuhkan perjuangan berat tetapi
akan mengantarkan kita pada posisi yang lebih baik. Semoga!!!

E. Bercerminlah: Kita Harus Bangkit dan Menjadi Bangsa Besar Kembali?
Lihatlah Borobudur! Bangsa seperti apa yang mampu membangunnya.

Tentu bukan bangsa bermental lemah, bukan bangsa dungu, bukan bangsa
pecundang. Kita adalah bangsa besar.

8

Dengar dan bacalah kisah Majapahit. Kita bukan bangsa rendahan; kita
adalah titisan Gajah Mada; kita penyatu Nusantara; kerajaan besar dengan
pendudukan berjiwa besar dan berkemampuan besar.

Renungkanlah petuah bijak nan visioner pendiri bangsa kita. Siapa tak kenal
Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara yang teori pedagogiknya menembus
batas Indonesia.

Galilah jati diri kita; kita bisa; kita mampu; kita beradab dan cerdas;
Bercerminlah, bangkitlah, dan jadilah bangsa yang besar!

9

BAB 2
MEMAKNAI SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN INDONESIA

A. Kolonialisasi: Sumber Daya atau Sumber Bencana
Sejarah telah memberi pemahaman bermakna untuk kehidupan bangsa yang

perlu dibangun berdasarkan kekuatan, kecerdasan, kearifan dan nilai-nilai luhur
kebudayaan. Hal ini tentu berpijak pada sejarah kelam bangsa Indonesia yang
memiliki rekam jejak sebagai bangsa yang pernah terjajah. Penjajahan tersebut
tidak hanya pada aspek fisik, melainkan lebih akut adalah penjajahan pada aspek
jiwa, sehingga perlu waktu dan upaya untuk mampu membangun kembali jiwa
bangsa Indonesia, agar memiliki daya untuk membangun hidup dan kehidupan yang
sebagaimana mestinya. Kolonialisme merupakan sistem yang telah menghancurkan
dan memporakporandakan kehidupan bangsa Indonesia dari berbagai aspek
substansial, dan memberi dampak signifikan pada karakter atau mentalitas bangsa
Indonesia sebagai budak bagi tuan keji yang memperkosa hak hidup, membunuh
akal, dan mematikan nurani.

Berkaitan dengan hal di atas, kondisi tersebut seakan telah mengkristal
dalam diri masyarakat Indonesia. Hal ini diperparah oleh lembaga pendidikan yang
terus mempertahankan sistem kolonialisme dalam proses pendidikan sebagai
sebuah kebenaran mutlak, sehingga wajar jika hingga saat ini bangsa Indonesia
masih tetap hidup dalam kebodohan dan kenetapaan yang memilukan.
Memudarnya sikap kritis menjadi fatalistis dalam karakter bangsa Indonesia
merupakam dampak pendidikan bergaya kolonialisme. Oleh sebab itu, sudah
seharusnya kita mengembalikan pendidikan dalam makna sejati, yakni pendidikan
yang membebaskan dan memerdekakan peserta didik, sehingga ia mampu
berkembang menjadi manusia seutuhnya yang berkembang potensinya dan segala
aspek kepribadiannya. Hal tersebut perlu menjadi pemahaman bersama oleh semua
pihak yang hidup dalam dunia pendidikan, sehingga mampu memberi implikasi
positif bagi terwujudnya pendidikan Indonesia yang bermartabat.

Kolonialisme dalam pendidikan merupakan salah satu bentuk sistem yang
akan semakin menjadikan pendidikan Indonesia bobrok. Oleh sebab, revolusi
pendidikan harus dilakukan sesegera mungkin, karena dengan menunda itu artinya
memperpanjang masa sulit kehidupan bangsa Indonesia. Revolusi pendidikan
hanya dapat dilakukan melalui satu-satunya jalan, yang tak lain adalah melalui
revolusi mentalitas para pendidik/ guru-guru Indonesia. Dibutuhkan guru yang
mampu berpikir progresif-transformatif untuk melakukan perubahan secara
fundamental, melalui reorientasi pendidikan yang tidak hanya diorientasikan pada

10

proses intelektualisme, yakni upaya melahirkan manusia-manusia yang hanya
cakap dalam ranah kognitif, melainkan harus mampu melahirkan manusia-manusia
yang berkarakter dan memiliki kompetensi utuh. Dalam hal ini adalah
pengembangan potensi sesuai hakikat kemanusiaannya. Dalam perspektif
pesimistis, hal ini tentu menjadi sesuatu yang akan sulit dan mustahil untuk terjadi
dan dilakukan, mengingat tidak sedikit guru di Indonesia yang masih berpikir dan
terjebak pada paradigma pragmatis-materialis, yang masih berpandangan bahwa
profesi guru, tak lain hanya untuk mendapatkan gaji atau penghasilan semata, dan
bukan merupakan profesi mulia yang menuntut tanggung jawab tinggi untuk
membangun peradaban bangsa Indonesia.

Dalam perspektif optimistis, hal tersebut akan menjadi sebuah bahan
perenungan oleh semua pihak untuk mampu melakukan yang terbaik bagi
terwujudnya pendidikan Indonesia yang bermartabat melalui upaya berpikir
reflektif untuk memperbaiki proses pendidikan secara praktis, sehingga semua
ekspektasi tentang pendidikan dan peradaban kehidupan bangsa tidak hanya
sekadar menjadi sebuah wacana yang bersifat utopis, melainkan akan menjadi
sebuah kenyataan.

Tanpa adanya revolusi mentalitas guru, bangsa ini tidak akan mampu
menjadi bangsa yang memiliki peradaban tinggi, melainkan hanya akan menjadi
bangsa yang tetap berada dalam keadaan statis, lebih parah akan menjadi bangsa
yang terus menghamba pada kebodohan, karena pendidikan tak lain adalah sebuah
proses pemerkosaan kebebasan berfikir atau pemancungan potensi. Oleh sebab itu,
mentalitas guru yang progresif akan mampu membangun pendidikan yang
memanusiakan, yakni menjadikan peserta didik sebagai manusia-manusia yang
mampu berpikir dewasa dan merdeka, sehingga ia mampu memahami perannya
sebagai subjek kehidupan yang harus terus melakukan perubahan secara signifikan.

Berkaitan dengan hal di atas, dalam konteks pendidikan di Era Revolusi
Industri 4.0, menuntut pula adanya Revolusi Sumber daya manusia Indonesia yang
multikompeten. Itu artinya suatu tuntutan untuk lahirnya guru-guru yang mampu
melahirkan generasi Indonesia yang bermutu, dengan kecerdasan dalam
multiaspek, baik kecerdasan intelektual, sosial, spiritual maupun kecerdasan
lainnya. Kecerdasan intelektual merupakan keharusan yang menjadi salah tujuan
utama pendidikan untuk membangun bangsa yang mampu bersaing dalam
percaturan global melalui kemampuan berpikir tingkat tinggi, baik itu berpikir
kritis, kreatif, inovatif dan problem solving. Hal ini merupakan syarat pertama agar
Indonesia menjadi negara kuat dan dalam membangun kehidupan bangsa Indonesia
yang bermartabat. Selain itu, kecerdasan social dan spiritual dimaknai sebagai

11

sebuah kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan sensibilitas nurani untuk
menyikapi beragam problematika kehidupan. Hal ini dibutuhkan untuk menjaga
nilai kesejatian diri sebagai bangsa yang memiliki jiwa kebersamaan/ gotong
royong, sehingga mampu dimanifestasikan dalam rangka membangun kehidupan
beradab.

Berpijak pada penjelasan di atas, sudah seharusnya kita semua menyadari
bahwa “kolonialisme” dalam pendidikan adalah kematian kehidupan bangsa
Indonesia. Oleh sebab itu, perlu adanya kesadaran kritis secara berjamaah untuk
meninggalkan dan menenggelamkan system “kolonialisme” dalam pendidikan
maupun kehidupan, sehingga kemerdekaan sejati Indonesia dapat kita rasakan,
sehingga hal ini akan berimplikasi terwujudnya kehidupan Indonesia yang didamba
bersama.

B. Berguru pada Pemikiran Kritis Ki Hadjar Dewantara
“Ing ngarso sungtulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (di

depan memberi teladan, di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa, dan di
belakang memberi dorongan). Demikianlah sebuah ajaran yang menjadi slogan dari
sosok Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau yang sering kita kenal sebagai Ki
Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai sosok pendiri perguruan
taman siswa, yang merupakan tempat untuk menyebarkan cita-cita kelompok
“saresehan selasa kliwon” yang bersemboyan “mamayu hayu salira, mamayu hayu
bangsa, mamayu hayu manungsa”. Semboyan tersebut memiliki arti “mengabdi
kepada kebaikan manusia sebagai pribadi, sebagai bangsa, dan sebagai umat
manusia sedunia”. Dalam mewujudkan filosofis semboyan tersebut, diperlukan
mentalitas atau cara dan sikap hidup rohaniah yang memungkinkan untuk terus
menerus membina budi pekerti dan kebudayaan yang dapat membawa kebahagiaan
dalam hidup pribadi, dan yang dapat memelihara ketertiban dan kedamaian lahir
dan batin dalam pergaulan hidup antar individu dan antar bangsa.
Ki Hadjar Dewantara merupakan sosok anak bangsa yang dalam perjalanan
hidupnya, ia abdikan untuk berjuang dan mengabdi demi kepentingan bangsa
Indonesia, tak lain adalah membantu bangsa Indonesia melepaskan diri dari
perbudakan menuju kemerdekaan melalui pergerakan dalam bidang pendidikan.

Taman siswa yang berwujud sebagai lembaga pendidikan dalam bentuk
persatuan sejumlah perguruan, pada hakikatnya adalah suatu gerakan hidup atau
gerakan kebudayaan dengan landasan, tujuan dan dalam gagasan tertentu yang
mencita-citakan dan memperjuangkan terwujudnya suatu cara hidup pribadi,
nasional dan mondial yang dapat membawa kebahagiaan, ketertiban dan kedamaian

12

lahir dan batin kehidupan manusia di dunia. Upaya-upaya taman siswa dalam
memperjuangkan cita-citanya dilakukan melalui usaha pendidikan, baik yang
bersifat formal maupun yang bersifat informal. Dalam memperteguh keyakinan
perjuangan taman siswa untuk mewujudkan cita-citanya, Ki Hadjar Dewantara
memiliki 11 amanat dalam “fatwa akan sendi hidup merdeka” yang terdiri dari
sebelas poin nilai kebijakan yang meliputi:

Lawan Satra Ngesti Mulya (dengan ilmu, kita menuju kemuliaan).
Fatwa ini mengandung makna bahwa Ilmu adalah kendaraan manusia untuk
memahami alam kehidupannya. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa
manusia harus senantiasa menimba ilmu untuk meningkatkan kualitas diri, karena
ilmu merupakan bekal bagi manusia untuk menjalani kehidupannya secara normatif
sesuai dengan norma budaya dan agama. Artinya bahwa dengan memahami
kehidupan, maka manusia akan lebih mudah mencapai kemuliaan.

Sastra Herdjendrajuningrat Pangruwating Dyu (ilmu yang luhur akan
menyelamatkan dunia serta melenyapkan kebiadaban). Fatwa ini mengandung
makna bahwa ilmu yang mengandung nilai-nilai kebijaksanaan yang luhur akan
dapat menjadikan manusia hidup dengan terarah dan nilai-nilai tersebut dapat
membimbing manusia keluar dari kegelapan hawa nafsunya, menghindarkan
manusia dari tipu daya, dan membimbing manusia untuk memanfaatkan potensi
dirinya bagi tujuan yang luhur pula.

Suci Tata Ngesti Tunggal (suci batinnya, tertib lahirnya, menuju
kesempurnaan). Fatwa ini mengandung makna bahwa manusia harus senantiasa
menjaga kesucian batin dan ketertiban tindakan lahiriahnya dengan maksud menuju
kesempurnaan hidup. Berdasarkan pengertian tersebut, manusia dituntut dalam
kehidupannya agar dapat bertanggung jawab dengan senantiasa menjaga dan
menata kesucian batin dan ketertiban lahiriahnya dalam menjalani kehidupan.

Hak Diri untuk Menuntut Salam dan Bahagia. Fatwa Hak diri untuk
menuntut salam dan bahagia yang kemudian disingkat “salam dan bahagia”,
mengandung makna bahwa pada hakikatnya di hadapan Tuhan, semua manusia itu
pada dasarnya sama, baik hak dan kewajibannya. Artinya bahwa setiap manusia di
hadapan Tuhan, memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk
memperoleh keselamatan lahir dan kebahagiaan batin hidup. Seyogyanya
kepentingan lahir-batin ini diperjuangkan secara selaras.

Salam Bahagia Diri Tidak Boleh Menyalahi Damainya Masyarakat.
Fatwa salam bahagia diri tidak boleh menyalahi damainya masyarakat biasa
disingkat dengan istilah “tertib damainya masyarakat”. Fatwa tersebut mengandung
makna bahwa kemerdekaan manusia yang dicita-citakan Ki Hadjar bukanlah

13

kemerdekaan yang kebablasan, melainkan kemerdekaan yang penuh tanggung
jawab. Manusia harus mengenali batas kemerdekaan diri supaya tidak melanggar
hak orang lain, sehingga semua bisa mencapai jalan keselamatan secara bersama-
sama. Berdasarkan makna tersebut maka dapat dipahami bahwa kemerdekaan diri
kita dibatasi oleh kepentingan keselamatan masyarakat.

Kodrat Alam Penunjuk untuk Hidup Sempurna. Fatwa Kodrat alam
penunjuk untuk hidup sempurna sering disingkat sebagai fatwa “kodrat alam” yaitu
segala kekuatan dan kekuasaan Tuhan yang mengelilingi dan melingkupi hidup
manusia, yang mempunyai sifat berjalan dengan tertib dan sempurna di atas
kekuasaan manusia. Hidup selaras dengan kodrat alam akan membawa manusia
menuju kehidupan yang sempurna.

Alam Manusia adalah Alam Hidup Berbulatan. Fatwa Alam manusia
adalah alam hidup berbulatan, mengandung makna bahwa hidup kita masing-
masing itu berada dalam lingkungan berbagai alam-alam khusus yang saling
berhubungan dan berpengaruh. Alam khusus adalah alam diri, alam kebangsaan dan
alam kemanusiaan. Alam manusia yang dimaksud adalah tiga rasa yang tak bisa
dipungkiri keberadaannya dalam setiap sanubari manusia, yaitu rasa diri,
rasa kebangsaan, dan rasa kemanusiaan. Harus disadari, bahwa tiga rasa/alam ini
saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain (berbulatan).

Dengan Bebas dari Segala Ikatan dan Suci Hati Berhambalah kepada
Sang Anak. Dalam fatwa ini, Ki Hadjar memberikan motivasi bagi para pendidik,
agar tidak memiliki sikap ragu-ragu untuk melakukan perjuangan dan pengorbanan
demi mendidik dan membesarkan anak. Iringilah dengan keikhlasan, kesucian hati
dan jauhkan diri dari rasa pamrih. Sebab, penghambaan semacam ini sejatinya
membawa banyak manfaat bagi diri pendidik itu sendiri. Mendidik anak sama
dengan mendidik diri sendiri.

Tetep-Mantep-Antep. Fatwa ini memiliki makna, Tetep berarti
berketetapan hati, tekun bekerja dalam berjuang, dan fokus dengan tidak menoleh
ke kanan-kiri, melainkan tetap tertib dan berjalan maju. Mantep berarti setia dan
taat pada asas perjuangan. Teguh iman, hingga tak ada kekuatan yang sanggup
menahan gerak dan membelokkan aliran perjuangan. Sesudah berhasil untuk tetap
dalam gerak lahir dan mantap dalam batin, maka segala perbuatan kita akan antep.
Berat, berisi (bernas), dan berharga.

Ngandel-Kendel-Bandel-Kandel. Dalam fatwa ini, kita harus ngandel/
percaya dan yakin kepada kekuasaan Tuhan dan percaya kepada diri
sendiri. Kendel atau berani (tanpa was-was) bertindak, karena kepercayaan
terhadap Tuhan dan diri sendiri telah berakar kuat. Kemudian, diteruskan

14

dengan bandel/ tahan uji dan tawakal. Dengan demikian, tercapailah sebuah
sifat kandel/ tebal, kuat lahir dan batin untuk berjuang demi cita-cita.

Neng-Ning-Nung-Nang. Dalam fatwa ini, diawali dengan
kata neng (meneng) yang memiliki makna tenteram lahir batin, tidak ragu, dan tidak
malu-malu. Ketenteraman lahir batin membawa ning (wening), yaitu
bening dan jernih pikiran, sehingga mudah membedakan benar-salah. Tercapainya
ning, akan membawa manusia menjadi nung (hanung) atau kuat sentosa, kokoh
lahir dan batin untuk mencapai cita-cita. Akhirnya, nang (menang) dan dapat
wewenang, berhak dan kuasa atas usaha kita.

Berkaitan dengan hal di atas, ajaran tersebut bukanlah merupakan sebuah
konsep kehidupan yang hanya menjadi pusaka tulisan tak bermakna, melainkan
merupakan ajaran yang perlu dipahami dan direnungkan agar dapat merasakan
keluhuran nilai-nilai kehidupan dalam diri. Pendidikan dalam konsepsi Ki Hadjar
Dewantara dimaknai sebagai proses humanisasi dan pembudayaan. Artinya bahwa
pendidikan diupayakan dalam rangka meningkatkan derajat kemanusiaan. Dalam
sejarah lembaga taman siswa, adapun dasar-dasar taman siswa adalah: (1)
Pendidikan; (2) Kodrat; (3) Adab Kemanusiaan; (4) Kebudayaan; (5)
Kemerdekaan; (6) Sebagai usaha kebudayaan’ dan (7) Pendidikan dan Pengajaran
Rakyat.

Berkaitan dengan tersebut, Pendidikan adalah usaha kebudayaan yang
bermaksud untuk memberi tuntunan di dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak-
anak agar kelak dalam garis-garis kodrat pribadinya dan pengaruh segala keadaan
yang mengelilingi dirinya, anak-anak mendapat kemajuan alam hidupnya lahir dan
batin, menuju arah Adab Kemanusiaan. Selain itu, dasar Kodrat dipahami bahwa
manusia memiliki kemampuan dan kekuatan yang perlu dikembangkan dalam
hidupnya untuk mencapai keselamatan lahir dan kebahagiaan batin, baik untuk diri
pribadinya maupun untuk masyarakatnya. Adab kemanusiaan mengandung arti
keharusan serta kesanggupan manusia untuk meningkatkan kecerdasan dan
keluhuran budi pekerti bagi dirinya, serta bersama-sama dengan masyarakat yang
berada dalam satu lingkungan alam dan zaman, untuk membangun
kebudayaan bangsa yang bercorak khusus dan berdasar atas adab kemanusiaan,
hingga terwujud alam diri, alam kebangsaan, dan alam kemanusiaan yang saling
berhubungan, karena kesamaan dasar. Selain itu, kebudayaan sebagai buah budi
dan hasil perjuangan manusia terhadap kekuasaan alam dan zaman, membuktikan
kesanggupan manusia untuk mengatasi segala rintangan dan kesukaran di dalam
hidup dan kehidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan bersama

15

yang bersifat tertib dan damai serta membangun kehidupan yang beradab dan
bermartabat.

Dasar selanjutnya adalah kemerdekaan. Kemerdekaan adalah syarat mutlak
dalam setiap usaha pendidikan yang berdasar keyakinan pada kodrat manusia untuk
memelihara dan memajukan, mempertinggi dan menyempurnakan hidupnya
sendiri. Oleh sebab itu, pendidikan perlu diorientasikan pada upaya dalam
memfasilitasi perkembangan dan kemajuan diri peserta didik. Selain itu, dasar
taman siswa adalah sebagai usaha kebudayaan. Usaha kebudayaan memiliki makna
bahwa setiap usaha pendidikan berkewajiban untuk memelihara dan meneruskan
nilai-nilai kebudayaan masyarakat yang bersifat partikular maupun universal untuk
mencapai keluhuran dan kehalusan hidup dan kehidupan yang menuju ke arah adab
kemanusiaan. Adapun dasar terakhir ialah pendidikan dan Pengajaran. Pendidikan
dan Pengajaran dimaknai sebagai usaha untuk mempertinggi dan menyempurnakan
hidup dengan nilai-nilai kehidupan yang dianut masyarakat dan memberi
kesempatan pada masyarakat atau tiap-tiap warga negara untuk meningkatkan
kecerdasan dan keluhuran budi pekerti.

Penjelasan tentang dasar-dasar lembaga taman siswa di atas, upaya-upaya
tersebut merupakan fundamen bagi lembaga pendidikan taman siswa dalam
melaksanakan berbagai program kegiatan di dalamnya. Selain itu, lembaga taman
siswa dibangun berdasarkan pada beberapa asas pokok. Adapun asas pokok taman
siswa dalam konsepsi Ki Hadjar Dewantara tersebut, tertuang pada konsep Panca
Dharma yang meliputi: asas kodrat alam, asas kemerdekaan, asas kebudayaan, asas
kebangsaan dan asas kemanusiaan.

Berkaitan dengan hal di atas, Azas Kodrat alam mengandung makna bahwa
di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, manusia menempatkan dirinya sebagai makhluk
yang pada hakikatnya memiliki relasi dan terintegrasi dengan alam semesta.
Sebagai makhluk, ada penyerahan hidup pada hukum-hukum Tuhan, yang
disampaikan lewat pesan-pesan dan ajaran moral agama dalam berbagai
kepercayaan. Hukum-hukum Tuhan itu juga hadir dalam siklus alam. Oleh sebab
itu, kebahagiaan manusia akan diperoleh jika manusia mampu membangun
harmonisasi diri dengan kodrat alam.

Selain itu, Asas Kemerdekaan mengandung makna bahwa Kemerdekaan
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia berupa hak untuk
mengatur hidupnya sendiri, dengan mengindahkan syarat tata tertib hidup
bermasyarakat. Kemerdekaan diri harus diartikan sebagai swadisiplin atas dasar
nilai hidup yang luhur, sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Swadisiplin mengandung makna kesediaan diri untuk mematuhi tata tertib, dalam

16

nilai-nilai dan norma yang dibangun secara kolektif dan dilandasi dengan kesadaran
untuk dapat hidup secara selaras dan harmonis dengan sikap dan perilaku saling
menghargai dan menghormati dalam kehidupan bermasyarakat.

Azas kebudayaan mengandung makna bahwa pendidikan harus menjadi
sarana untuk memelihara nilai dan bentuk kebudayaan nasional. Kebudayaan
nasional merupakan buah budi manusia terhadap kekuatan alam dan zaman.
Kebudayaan nasional diorientasikan pada kemajuan dan kepentingan hidup sesuai
dengan perkembangan alam dan zamannya. Berdasarkan hal tersebut, asas
kebudayaan menghendaki adanya kemajuan dan perkembangan yang secara
dinamis dapat melahirkan generasi-generasi Indonesia yang berjiwa progresif dan
transformatif dan tidak terpenjara pada pola pikir kehidupan yang beku. Meskipun
demikian, asas kebudayaan memiliki nilai-nilai luhur yang bersifat esensial dan
harus dipertahankan sebagai upaya dalam membangun identitas diri generasi-
generasi Indonesia. Selain itu, Asas Kebangsaan mengandung arti adanya rasa satu
dengan bangsa sendiri dalam suka dan duka dan dalam kehendak untuk mencapai
kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh bangsa. Rasa satu bangsa ini
menggerakkan semangat untuk memberikan pencapaian terbaik bagi bangsa dan
negaranya. Kebangsaan yang diejawantahkan dalam patriotisme dan nasionalisme
ini tidak boleh dipertentangkan dengan kemanusiaan, sehingga dalam mencapai
kejayaan bangsa dan negara tidak mengandung permusuhan dengan bangsa lain.

Asas Kebangsaan tidak boleh bertentangan dengan Azas Kemanusiaan,
melainkan harus mampu menjadi sifat, bentuk, dan laku kemanusiaan yang nyata
dan karena itu tidak mengandung arti permusuhan terhadap bangsa-bangsa lain.
Karena asas kemanusiaan mengandung arti sebagai wujud kemanusiaan yang
timbul dari akal dan budinya. Keluhuran akal dan budi itu menimbulkan rasa dan
laku cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makhluk kodrat alam
seluruhnya yang bersifat keyakinan akan adanya hukum kemajuan yang meliputi
alam semesta. Oleh karena itu, rasa dan laku cinta kasih itu harus tampak pula
sebagai sebuah simpulan untuk berjuang melawan segala sesuatu yang merintangi
kemajuan yang selaras dengan kehendak alam. Darma manusia berasal dari
keluhuran akal budinya. Keluhuran akal budi akan melahirkan rasa dan laku cinta
terhadap sesama manusia dan seluruh makhluk Tuhan. Menurut Ki Hadjar
Dewantara, pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua
daya, yang meliputi jiwa, yaitu cipta, karsa dan karya secara seimbang.

17

Dasar Pendidikan Bagi Manusia: Sebuah Tinjauan Ontologis
Berdasarkan hal tersebut, penulis mengelaborasi konsepsi Ki Hadjar

Dewantara tentang dasar pendidikan bagi manusia berdasarkan tinjauan ontologis,
baik yang bersifat eksplisit maupun implisit, tentang dasar manusia sebagai
makhluk yang perlu didik, di antaranya sebagai berikut.
1) Makhluk yang memiliki potensi

Manusia merupakan makhluk Tuhan yang dibekali potensi untuk dapat
dikembangkan agar mampu menjadi manusia seutuhnya. Potensi tersebut secara
ontologis merupakan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan yang istimewa dan
membedakan dengan makhluk Tuhan lainnya. Pengembangan potensi tersebut
dalam rangka menjadikan manusia sebagai makhluk sempurna.
2) Makhluk yang ber”akal”

Kehidupan manusia, bukanlah kehidupan yang bersifat mekanis instingtif,
melainkan kehidupan yang perlu dijalani dengan aturan dan nilai kehidupan
tertentu, sehingga kehidupan manusia perlu didasarkan pada trisakti jiwanya agar
manusia menjadi makhluk yang memiliki martabat sesuai dengan hakikat
kemanusiaannya sebagai makhluk multidimensional yang memiliki keterikatan
dengan diri, manusia dan Tuhannya. Oleh sebab itu, pendidikan sebagai sarana
dalam mengembangkan trisakti jiwanya agar menjadi manusia yang hidup dengan
nilai yang penuh keberadaban yang didasarkan pada nilai dan norma agama dan
budaya. Dengan kata lain, manusia merupakan makhluk yang dapat menciptakan
kebudayaan dan hidup berbudaya.
3) Membangun karakter

Karakter merupakan segala hal yang terefleksi dalam diri manusia, baik itu
pikiran, perkataan maupun perbuatan yang merupakan hasil dari internalisasi nilai-
nilai kehidupan. Namun demikian dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, bahwa
manusia lahir pada hakikatnya mengandung karakter baik dan jahat, sehingga
pendidikan merupakan sarana dalam menjadikan manusia sebagai makhluk yang
baik, dan mampu memanifestasikan kebaikan dalam kehidupannya. Berdasarkan
hal tersebut, dapat dimaknai bahwa pada hakikatnya pendidikan merupakan sebuah
upaya dalam membangun karakter (character building).
4) Makhluk merdeka

Manusia merupakan makhluk yang pada hakikatnya memiliki
kemerdekaan. Kemerdekaan dalam konteks ini dimaknai bukanlah kemerdekaan
yang hanya bersifat fisik, melainkan kemerdekaan untuk membebaskan jiwanya
dari segala bentuk penjara dan pembelengguan hakikat kemanusiaan manusia itu
sendiri. Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk yang memiliki kebebasan

18

untuk menjalani kehidupannya, namun demikian kebebasan yang dimaksud
bukanlah kebebasan hidup yang hanya dijalani secara mekanis dengan instingnya,
melainkan kebebasan yang bertanggung jawab yang didasarkan pada nilai dan
norma agama dan budaya. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan sarana untuk
memerdekakan manusia sebagai individu yang hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Karena secara historis, pada kenyataannya pada zaman kolonial, bangsa
Indonesia masih terjajah dalam berbagai aspek, baik fisik maupun jiwanya. Dalam
upaya merebut kemerdekaan tersebut, tidaklah cukup melalui perjuangan politik
dan militer, melainkan secara esensial dibutuhkan juga perjuangan melalui
pendidikan (Dewantara, 1977).

Pendidikan dalam perspektif Ki Hadjar Dewantara: Sebuah tinjauan
Aksiologis

Manusia pada hakikatnya sebagai makhluk multidimensional, salah satunya
ialah hakikatnya sebagai makhluk sosial yang hidup dalam sebuah keterikatan
dengan manusia lainnya, baik itu dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dalam dinamika kehidupan manusia terdapat orientasi-orientasi nilai
kehidupan, baik secara idealistis maupun pragmatis yang bersifat partikular dan
terbentuk dalam sebuah kebudayaan daerah. Namun demikian nilai-nilai tersebut,
bukanlah sebuah nilai yang bersifat parsialistik, melainkan holistik dalam bingkai
kebudayaan nasional.

Berkaitan dengan hal di atas, secara historis eksistensi bangsa Indonesia
pada masa lalu, menjadi bangsa yang hidup dalam penjara pada berbagai aspek.
Kehidupan bangsa Indonesia bukanlah kehidupan yang bermartabat dan merdeka,
melainkan kehidupan yang tertindas akibat reduksi nilai-nilai kehidupan bangsa
Indonesia oleh bangsa Eropa yang sengaja diciptakan untuk menghilangkan jati diri
bangsa Indonesia agar menjadi bangsa budak yang tak berbudaya. Kondisi ini tak
hanya mengancam dan akan menghilangkan eksistensi diri bangsa Indonesia,
sehingga perlu upaya strategis dalam menanggulangi permasalahan ini, yaitu
melalui pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Pendidikan nasional ialah pendidikan yang dilaksanakan dengan tujuan
mengembalikan dan mengangkat eksistensi bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
bermartabat. Pendidikan nasional tidak hanya diperlukan untuk perkembangan
manusia secara perseorangan, tetapi bersamaan dengan itu diperlukan dalam rangka
memerdekakan bangsa, termasuk di dalamnya memerdekakan dan memajukan
kebudayaan bangsa dalam konteks kehidupan bersama dengan bangsa-bangsa lain
di dunia (Dewantara, 1977).

19

Dalam konsepsi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan dimaknai sebagai segala
pengaruh dari siapa pun dari apa pun dan dari mana pun datangnya, yang bersifat
positif bagi kemajuan seseorang (Dewantara, 1977, hal. 434). Lebih lanjut
Dewantara, menjelaskan bahwa pendidikan dapat dipahami dalam dua aspek yang
terdiri dari bentuk kegiatan dan tujuan dalam konteks penyelenggaraannya. Dalam
bentuk kegiatannya, pendidikan merupakan daya upaya kebudayaan atau usaha
kebudayaan. Pendidikan sebagai daya upaya kebudayaan, diorientasikan pada
upaya pengembangan individu agar mampu menjadi manusia yang dapat menjalani
hidup dan berkehidupan secara beradab, artinya bahwa pendidikan bertujuan
menjadikan manusia berbudi pekerti luhur atau berkarakter. Selain itu, pendidikan
sebagai usaha kebudayaan dimaknai bahwa pendidikan harus diorientasikan pula
untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa
agar mampu menjadi masyarakat atau bangsa yang beradab dengan senantiasa
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Berdasarkan hal tersebut dengan kata lain, pendidikan dapat dipahami
sebagai upaya dalam mengonservasi yaitu upaya dalam memelihara dan menjaga
nilai-nilai kebudayaan masyarakat atau bangsa, dan upaya transformasi yaitu upaya
dalam melakukan inovasi atau pembaharuan untuk mengembangkan kebudayaan
masyarakat atau bangsa yang beradab dengan senantiasa menjunjung tinggi nilai-
nilai kemanusiaan. Sekait dengan pendidikan sebagai usaha kebudayaan,
hendaknya dipandang sebagai Taman persemaian benih-benih kebudayaan bagi
suatu bangsa. Artinya bahwa pendidikan merupakan upaya dalam menanam benih-
benih kebudayaan masyarakat atau bangsa. Namun demikian, upaya tersebut tidak
hanya terbatas dalam konteks kebudayaan nasional, melainkan pendidikan harus
mampu mengenalkan dan memberikan pemahaman tentang kebudayaan lainnya
dalam konteks kebudayaan internasional (Konvergensi), namun masih tetap
berpusat pada kebudayaan nasional (Konsentris).

Berkaitan dengan hal di atas, hal tersebut diejawantahkan melalui berbagai
upaya-upaya yang secara ideal dapat mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan masyarakat atau bangsa melalui upaya pemeliharaan, perjuangan dan
pembangunan secara transformatif. Upaya pendidikan adalah pemeliharaan, artinya
bahwa mendidik merupakan upaya dalam memelihara, dan menjaga keadaan hidup
(lahir-batin) peserta didik agar tidak tercederai, sehingga mereka mampu menjadi
manusia-manusia yang hidup sesuai dengan hakikat kemanusiaannya. Selain itu
upaya pendidikan harus mampu menumbuhkan keadaan lahir-batin peserta didik
agar secara konstruktif mereka membangun diri menjadi pribadi-pribadi yang
senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai keberadaban. Dengan kata lain, kegiatan

20

pendidikan bukanlah kegiatan yang bersifat destruktif, melainkan normatif untuk
mengembangkan karakter peserta didik dan bukan diorientasikan pada upaya-upaya
yang bersifat pragmatis-materialis. Selain itu juga, upaya pendidikan dalam
pemeliharaan dimaknai sebagai upaya untuk memelihara kebudayaan masyarakat
atau bangsa yang dinilai baik dan masih relevan dengan kehidupan saat ini.

Berpijak pada hal di atas, upaya pendidikan merupakan upaya perjuangan
dan pembangunan. Konsep ini mengacu pada konsepsi Ki Hadjar Dewantara
tentang makna hidup, bahwa hidup adalah berjuang dan membangun. Upaya
tersebut secara kontekstual didasarkan dalam rangka berjuang dan membangun
bangsa dan kebudayaan nasional dalam konteks kehidupan internasional. Pada
zamannya, pendidikan merupakan perjuangan atas penjajahan dan praktik
pendidikan kolonial Belanda yang tidak memerdekakan serta tidak memajukan
bangsa dan kebudayaan bangsa Indonesia. Selain itu, pada zamannya, pendidikan
merupakan salah satu bentuk perjuangan untuk merebut kembali kemerdekaan
politik maupun kemerdekaan kebudayaan dari tangan penjajah.

Dalam konteks perjuangan, pendidikan berarti pula sebagai usaha
memelihara dan memajukan hidup agar tumbuh ke arah kemajuan. Karena itu kita
tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin (azas kontinuitas).
Untuk maksud yang mulia itu, maka pendidikan merupakan perjuangan, baik dalam
bentuk laku menggempur maupun membangun. Perjuangan dalam bentuk
menggempur dilakukan berkenaan dengan segala keadaan atau kekuatan yang
menghambat pembaharuan. Sedangkan perjuangan dalam bentuk membangun
dilakukan apabila suasana sudah kembali dalam keadaan tenteram. Berkenaan
dengan tujuan dalam konteks penyelenggaraannya, pendidikan diupayakan dalam
rangka“ meningkatkan derajat kemanusiaan” (humanisasi atau pembudayaan), baik
bagi manusia secara individual maupun sosial (sebagai masyarakat, bangsa, dan
manusia secara universal), menuju kehidupan manusia yang sempurna yaitu
kehidupan yang merdeka dan lepas dari pembelengguan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, pendidikan berorientasi pada dua tujuan,
baik secara individual dan secara sosial. Secara individual, pendidikan bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia ideal yaitu
manusia yang merdeka, berbudi pekerti luhur, memiliki jiwa nasionalisme dan
patriotisme, dan bersikap demokratis. Adapun secara sosial, tujuan pendidikan itu
adalah mempertinggi hidup masyarakat, yaitu memerdekakan masyarakat atau
bangsa, memelihara, memajukan dan mengembangkan kebudayaannya menuju ke
arah keluhuran hidup.

21

Berpijak pada hal di atas, tujuan pendidikan tersebut memberikan
pemahaman tentang orientasi pendidikan untuk melahirkan insan-insan pendidikan
menjadi manusia ideal yang memiliki identitas diri dan berkarakter. Selain dari itu,
tujuan pendidikan berupaya untuk membangun kehidupan yang berbudaya yaitu
kehidupan yang senantiasa didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat normatif.
Dengan kata lain, bahwa pendidikan bertujuan untuk dapat melahirkan insan-insan
pendidikan yang berbudaya dalam rangka membangun manusia Indonesia yang
memiliki identitas diri, dan memahami eksistensinya dalam kehidupan sebagai
warga masyarakat dunia.

Tujuan pendidikan dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara
merupakan Bentuk anti tesis terhadap sistem pendidikan kolonialisme yang hanya
berorientasi pada upaya individualisme, intelektualisme, dan pragmatis-
materialisme yang hanya akan menjadikan manusia menjadi pribadi-pribadi yang
tenggelam dalam kehidupan, terpenjara dalam kepalsuan dan menjadi budak-budak
bagi kehidupan. Hal demikianlah yang menjadikan manusia bukanlah manusia,
melainkan manusia yang hidup dalam mekanisme robotik, yaitu hidup untuk dapat
melakukan tugas fisik, dalam pengawasan dan kontrol, atau hidup melalui program
yang telah didefinisikan terlebih dulu (kecerdasan buatan). Berdasarkan hal
tersebut, artinya pendidikan bertujuan bukan untuk melahirkan manusia-manusia
yang hidup secara mekanistis dan berada dalam kehidupan tak bermakna,
melainkan pendidikan bertujuan untuk dapat melahirkan manusia-manusia
Indonesia yang merdeka, dan berbudaya.

Dalam konsepsi Ki Hadjar Dewantara pengembangan kurikulum
didasarkan pada dua orientasi, yaitu Kurikulum Lembaga Pendidikan Umum dan
Kurikulum Lembaga Pendidikan Kepandaian Khusus. Kurikulum Lembaga
Pendidikan Umum merupakan kurikulum yang ditujukan untuk semua orang
dengan tujuan meningkatkan derajat kemanusiaan (pembudayaan) agar dapat hidup
merdeka, berbudi pekerti, memiliki nasionalisme dan patriotisme, demokratis,
sehat, memiliki keterampilan untuk dapat memenuhi keperluan hidupnya lahir dan
batin, sehingga hidup tertib dan damai, selamat dan bahagia dapat dicapai.
Sedangkan Kurikulum Lembaga Pendidikan Kepandaian Khusus adalah isi
pendidikan yang diperlukan dan diperuntukkan bagi masing-masing individu
dengan tujuan untuk memfasilitasi pewujudan minat dan bakatnya dalam bidang
vokasi/ kejuruan dan/ atau profesi tertentu. Pengembangan kurikulum pada
pendidikan Ki Hadjar Dewantara berdasarkan pada prinsip-prinsip yang lebih
menekankan pada upaya pengembangan manusia sebagai makhluk
multidimensional. Selain itu upaya pengembangan kurikulum tersebut secara

22

prinsip dilakukan berorientasi pada upaya dalam membangun sikap nasionalisme,
dan patriotisme melalui pendekatan holisitik. Adapun prinsip-prinsip tersebut
meliputi: prinsip humanis, prinsip esensialisme dan progresivisme, prinsip
demokratis, prinsip egaliter dan prinsip menumbuhkan jiwa nasionalisme dan
patriotisme.

Prinsip Humanis. Prinsip humanis menekankan pada upaya dalam
mengembangkan manusia sesuai hakikat kemanusiaannya, yaitu manusia sebagai
makhluk multidimensional. Artinya bahwa pendidikan diupayakan agar mampu
mengembangkan dimensi-dimensi kehidupan manusia yang meliputi dimensi
moralitas, individualitas, sosialitas, dinamis dan dimensi-dimensi kehidupan
manusia lainnya. Dengan demikian pada prinsip ini, memahami bahwa pendidikan
tidaklah hanya sebuah upaya transfer of knowledge yang bersifat intelektualisme
melainkan sebuah upaya character building (membangun/ mengembangkan
karakter manusia).

Prinsip esensialisme dan progresivisme. Pada prinsip ini, memahami bahwa
kurikulum pendidikan dikembangkan atas dasar nilai-nilai kebudayaan bangsa
Indonesia yang harus senantiasa dipelihara. Selain itu, kurikulum perlu
dikembangkan dengan berpijak pada asas relevansi zaman. Berdasarkan hal
tersebut, kurikulum pendidikan perlu didasarkan pada kebudayaan bangsa
Indonesia agar mampu melahirkan manusia-manusia Indonesia yang memiliki
identitas diri. Selain itu, kurikulum pendidikan harus mampu disesuaikan dengan
perkembangan zaman agar mampu melahirkan manusia-manusia Indonesia yang
memiliki kemampuan adaptif untuk dapat menyesuaikan diri terhadap
perkembangan zaman agar mampu menjalani hidup dalam dinamika kehidupan
yang senantiasa berkembang. Dengan kata lain kurikulum perlu dikembangkan
secara kontekstual dengan lingkungan alam, lingkungan sosial dan kebudayaan
kehidupan peserta didik, baik dalam konteks secara mikro maupun secara makro.

Prinsip Demokratis. Prinsip ini memahami bahwa kurikulum perlu
menjunjung tinggi prinsip demokratis, artinya bahwa kurikulum pendidikan
haruslah menempatkan peserta didik sebagai subjek pendidikan yang secara
bermakna dan konstruktif membangun pengetahuannya sendiri melalui kebebasan
dalam mengeksplorasi berbagai hal dengan memberi kesempatan untuk
mengaktualisasikan diri dengan dialog. Dialog merupakan metode multiarah antara
guru-siswa dan siswa-siswa dalam rangka memahami dan menafsirkan berbagai hal
dalam kehidupan dengan tanpa melukai perasaan dan hati peserta didik.

Prinsip egaliter. Prinsip ini mengandung makna bahwa pendidikan harus
dilaksanakan secara egaliter, artinya bahwa proses pendidikan haruslah didasari

23

pada kesederajatan antara guru dan siswa. Dalam hal ini, guru bukanlah seorang
manajer, melainkan sebagai fasilitator untuk memfasilitasi peserta didik dalam
rangka membangun pengetahuan dan karakter. Dengan kata lain tidak ada sebuah
tembok eksklusivisme antara guru dan siswa dalam pendidikan.

Menumbuhkan jiwa nasionalisme dan patriotisme. Prinsip ini mengandung
makna bahwa kurikulum pendidikan haruslah bertujuan untuk menumbuhkan jiwa
nasionalisme dan patriotisme peserta didik. Hal ini secara historis dan kontekstual
didasarkan pada kehidupan bangsa Indonesia pada waktu itu yang masih hidup
dalam kondisi terjajah. Namun demikian, prinsip ini tentu bukanlah prinsip yang
hanya berlaku pada masa itu, melainkan prinsip yang harus tetap menjadi dasar bagi
pengembangan kurikulum pendidikan Indonesia dari masa lalu hingga masa depan
guna menjaga dan mempertahankan keutuhan dan ketahanan negara Indonesia.
Berdasarkan prinsip kurikulum di atas, tujuan pendidikan dalam konsepsi Ki Hadjar
Dewantara berorientasi pada upaya yang secara ideal menjadikan insan-insan
pendidikan yang mampu hidup dan menjalani kehidupan berdasarkan nilai-nilai
idealistis. Selain itu berdasarkan hal di atas, bahwa tujuan pendidikan menurut
konsepsi Ki Hadjar Dewantara adalah sebagai proses pemanusiaan, pemerdekaan
dan pembudayaan.

Dalam implementasinya secara praktis, hal tersebut dapat dilakukan melalui
metode among atau among sistem sebagai metode yang didasarkan dasar pada
kebebasan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan dan perikemanusiaan. Selain itu,
upaya dalam membangun karakter melalui pengajaran budi pekerti dapat dilakukan
melalui metode “ngerti-ngrasa-nglakoni”. Adapun pengaplikasian metode
pendidikan tersebut dapat dilakukan melalui Modelling atau pemberian contoh atau
teladan, anjuran dan pembiasaan pada peserta didik. Selain itu, dalam upaya
membangun karakter peserta didik tidak dapat dilakukan melalui paksaan, perintah
dan hukuman yang tidak setimpal dengan kesalahan anak didik. Sebab, hal tersebut
akan memperkosa keadaan batin peserta didik. Selain itu, pengaplikasian alat-alat
pendidikan tersebut tidak akan menghasilkan peserta didik yang berjiwa merdeka.
Ketertiban memang bisa terwujud melalui paksaan dan hukuman (paksaan-
hukuman-ketertiban atau regering-tucht en orde). Namun, jika ketertiban itu
terwujud hanya karena keterpaksaan dan ketakutan akan hukuman, maka hal
tersebut tidak akan mampu membangun kemerdekaan bagi diri peserta didik. Oleh
sebab itu, Ki Hadjar Dewantara menyarankan agar alat pendidikan digunakan atas
dasar dan diarahkan kepada terwujudnya orde en vrede atau tertib dan damai. Inilah
syarat agar peserta didik menjadi manusia yang berjiwa merdeka, yaitu tiada
terperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan dapat berdiri sendiri karena

24

kekuatan sendiri. Namun demikian, paksaan, perintah dan hukuman boleh
digunakan apabila memang sangat diperlukan dalam situasi dan kondisi tertentu,
namun hal tersebut harus dilakukan dengan berhati-hati dan tidak boleh sampai
mencederai keadaan batin peserta didik.

Peranan Pendidik dan Anak Didik.
Dalam konsepsi Ki Hadjar Dewantara terdapat beberapa istilah yang

digunakan untuk menyebut pendidik, yaitu: pamong, guru dan pemimpin. Sebagai
pamong, pendidik berkewajiban mengajar dan mendidik. Adapun guru, bukan
hanya sebagai pengajar, tetapi juga pemimpin; Ia adalah pengajar ilmu serta
penuntun laku. Karena menurut Ki Hadjar Dewantara istilah mendidik juga berarti
menuntun laku, maka istilah pamong dan guru mempunyai makna yang sama,
adapun kewajibannya adalah mengajar dan mendidik atau memimpin.

Pendidikan adalah suatu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak.
Oleh sebab itu, pendidik selayaknya berperan sebagai penuntun tumbuhnya atau
hidupnya kekuatan-kekuatan kodrat yang ada dalam diri anak didik untuk
memperbaiki lakunya dan tumbuhnya. Sekait dengan hal di atas, Ki Hadjar
Dewantara menyarankan untuk diterapkannya metode among atau sistem among.
Hal ini memberi implikasi bagi peranan pendidik dan peranan anak didik yang
secara eksplisit dan implisit tertuang dalam semboyan tut wuri handayani. Adapun
istilah tut wuri mengandung makna, memberi kebebasan yang luas kepada anak
didik untuk tumbuh dan mengembangkan kekuatan-kekuatan kodrat yang ada
dalam dirinya. Selain itu, adapun istilah handayani memiliki makna bahwa
pendidik harus memiliki kewibawaan untuk dapat mempengaruhi anak didik.
Artinya, seorang pendidik harus mampu memberikan teladan, memotivasi dan
memupuk semangat belajar anak didik. Dengan demikian, hal ini memberi
implikasi pada pendidik yang harus memiliki perangai baik, yang dapat menguasai
diri dan dapat mengatur hidupnya sendiri untuk dapat dicontoh oleh anak didiknya.
Artinya bahwa seorang pendidik harus dapat digugu dan ditiru. Dalam kaitannya,
peranan ini terkandung dalam semboyan ing ngarso sung tulodo. Selain itu, dalam
keberadaannya bersama-sama atau di tengah-tengah para anak didiknya, pendidik
harus mampu berperan sebagai motivator, yaitu untuk menghidupkan semangat
atau karsa para anak didik. Peranan ini terkandung dalam semboyan ing madya
mangun karso. Sebagaimana diteladankan oleh Ki Hadjar Dewantara dan para
pendidik atau pamong lainnya di Taman Siswa, pendidik atau guru harus berperan
sebagai pejuang yang bersemangat, baik dalam rangka menggempur keadaan yang

25

menghambat dan merusak kebudayaan nasional maupun dalam rangka membangun
kebudayaan nasional.

Berkaitan dengan hal di atas, peranan-peranan tersebut bukan hanya harus
dilaksanakan pendidik di sekolah/ balai wisata, melainkan juga harus dilaksanakan
dalam penyelenggaraan pendidikan dalam konteks trisentra. Dalam konteks
trisentra, pendidik atau pamong dari sekolah atau balai wiyata, tidak hanya
bertanggung jawab menjadi seorang pendidik atau pengajar untuk anak didiknya,
melainkan jika diperlukan ia juga menjadi penasihat untuk keluarga dan pergerakan
pemuda dengan memberi pengajaran ilmu kepada orang tua.

Dalam rangka melaksanakan perannya, pendidik hendaknya “berhamba”
kepada sang anak didik. Artinya seorang pendidik harus memiliki kesadaran diri
untuk melaksanakan tanggung jawabnya tanpa pamrih, tidak meminta atau
menuntut sesuatu hak apa pun, sehingga dalam hal ini seorang pendidik harus
memiliki idealisme pendidikan. Menjadi pendidik janganlah hanya semata-mata
untuk mencari nafkah atau untuk mendapatkan sesuatu dari anak didik atau dari
yang lainnya, melainkan jabatan pendidik (pamong atau guru) idealnya harus
berdasarkan pada panggilan jiwa, yakni motivasi intrinsik untuk bertindak
melakukan pengabdian diri atas nama perjuangan untuk membangun kehidupan
bangsa yang beradab melalui pendidikan. Selain panggilan jiwa, seorang pendidik
dalam menjalankan perannya, juga harus memiliki bekal ilmu yang mumpuni.

Berkaitan dengan peranan pendidik di atas, adapun peranan anak didik
dalam proses pendidikan adalah bebas mewujudkan berbagai potensi atau minat
dan bakatnya melalui belajar secara aktif dan kreatif, baik mandiri maupun secara
berkelompok. Hal tersebut merupakan hak dari anak didik. Namun demikian,
bersamaan dengan haknya tersebut, anak didik juga wajib taat pada tata aturan dan
nilai yang diakui. Peranan itu hendaknya dilaksanakan dalam rangka mempertinggi
derajat kemanusiaan menuju sempurnanya hidup, agar dapat hidup merdeka, tertib
dan damai sehingga mencapai keselamatan dan kebahagiaan, baik dalam
kedudukannya sebagai individu, anggota masyarakat dan sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa.

Dalam konsep Tri Sentra, upaya pendidikan tidak cukup hanya disandarkan
pada sikap dan perilaku pendidik saja, melainkan perlu didukung oleh elemen lain.
Terdapat tiga lingkungan pergaulan yang menjadi pusat pendidikan anak, yaitu apa
yang oleh Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai alam keluarga, alam perguruan dan
alam pergerakan pemuda. Demi efektifnya pendidikan bagi anak sesuai dengan
tujuan pendidikan yang diharapkan, maka pendidikan seyogyanya diselenggarakan
secara terpadu di tiga alam tersebut. Masing-masing pusat pendidikan harus

26

melaksanakan tugas kewajibannya sendiri dan mengakui tugas kewajiban pusat-
pusat pendidikan yang lainnya. Adapun kewajiban masing-masing pusat
pendidikan itu adalah sebagai berikut.
a. Alam Keluarga memiliki kewajiban mendidik budi pekerti dan laku sosial.
b. Alam Perguruan sebagai balai-wiyata memiliki kewajiban buat usaha mencari

dan memberikan ilmu pengetahuan serta mencerdaskan pikiran.
c. Alam Pergerakan-Pemuda memiliki tugas dan kewajiban sebagai penyokong

besar untuk pendidikan, baik berkenaan dengan budi pekerti maupun perilaku
sosial.

Berpijak pada hal di atas, dalam perspektif Ki Hadjar Dewantara, ia
mengakui bahwa alam keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan utama.
Artinya bahwa keluarga dipahami sebagai lembaga pendidikan yang mampu
mempengaruhi dan mampu membangun budi pekerti/ karakter anak. Selain itu,
Alam pemuda diakui pula sebagai penyokong besar bagi pendidikan. Namun
demikian, dalam konteks trisentra Ki Hadjar Dewantara menyatakan, bahwa alam
perguruan harus berdiri sebagai titik pusat dari persatuan “ketiga-pusat” itu, yakni
menjadi perantara bagi keluarga dan anak dengan masyarakat.

Relevansi Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dengan Pendidikan
Indonesia Dewasa Ini

Konsep Ki Hadjar Dewantara merupakan konsep pendidikan yang
dilahirkan dari Rahim pemikiran beliau dengan sebuah perenungan yang berdasar
pada kehidupan saat itu yang ditujukan pada upaya “kemerdekaan” secara fisik
maupun dimensi kehidupan manusia lainnya. Jika dikaji secara mendalam, konsep
pendidikan tersebut merupakan konsep yang akan senantiasa hidup dalam
perkembangan kehidupan secara dinamis. Selain itu, konsepsi Ki Hadjar Dewantara
tentang pendidikan merupakan hasil pemikiran beliau yang disandarkan pada
konsep nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia yang merupakan hal esensial
kehidupan suatu bangsa agar tetap menjadi bangsa yang memiliki identitas diri.
Namun demikian konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara tidak hanya berpijak
pada hal yang bersifat esensial tentang nilai-nilai kebudayaan, namun secara
esensial berorientasi dan berwawasan masa depan secara progresif. Pemahaman
tersebut terlihat pada beberapa ajaran Ki Hadjar Dewantara, baik yang bersifat
teoretis maupun praksis dalam konsep-konsep pemikiran seperti, fatwa taman
siswa, trikon (kontinuitas, konvergensi dan konsentris) dan konsep-konsep lainnya
yang kita pahami sebagai konsep yang memiliki nilai-nilai luhur yang tidak hanya
berfokus pada dimensi kemanusiaan, melainkan pada dimensi kebangsaan.

27

Dengan demikian pemikiran Ki Hadjar Dewantara tersebut relevan dengan
perkembangan zaman. Artinya bahwa, Ki Hadjar Dewantara merupakan sosok
pemikir yang futuristik dalam memahami kehidupan masa depan. Selain itu
konsepsi pendidikan Ki Hadjar Dewantara sangatlah relevan dengan filsafat
pendidikan nasional Indonesia yaitu, filsafat Pancasila yang merupakan ideologi
bangsa Indonesia. Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara telah tertuang
secara eksplisit maupun implisit tentang nilai-nilai Pancasila. Konsepsi Ki Hadjar
Dewantara memahami tentang keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam
konsep Kodrat Alam yang tertuang pada Pancha Dharma Taman siswa sebagai
sebuah konsep metafisika. Konsep Kodrat Alam dimaknai sebagai sebuah konsep
yang memahami tentang adanya Tuhan semesta alam yang atas kuasanya
menghendaki terciptanya kebahagiaan dalam kehidupan yang tertib dan penuh
kedamaian. Hal ini menyiratkan tentang kehidupan yang harus didasarkan pada
nilai-nilai yang secara normatif bersandar pada kodrat alam. Berdasarkan hal
tersebut, hal ini merupakan esensi dari nilai Pancasila pertama yaitu, Ketuhanan
Yang Maha Esa.

Konsepsi Ki Hadjar Dewantara yang sesuai dengan nilai Pancasila dalam
sila kedua tentang Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tertuang dalam beberapa
konsepsi Panca Dharma, yaitu kebudayaan dan kemanusiaan. Dalam konsep
Panca Dharma tentang kebudayaan dimaknai bahwa manusia haruslah menjadi
manusia ideal yang hidup dengan penuh keberadaban. Artinya bahwa manusia
harus hidup dengan senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai idealistis yang
bersandar pada nilai-nilai kebudayaan yang beradab. Manusia haruslah berbudi
pekerti luhur atau berperangai baik sesuai hakikat kemanusiaannya. Selain itu, nilai
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab tertuang pula pada konsepsi Ki Hadjar
Dewantara yang tertuang dalam salah satu nilai Panca Dharma yaitu kemanusiaan.
Darma kemanusiaan merupakan kewajiban manusia untuk dapat mewujudkan
kemanusiaan, yang berarti kemajuan manusia secara lahir batin dalam tingkat yang
setinggi-tingginya. Ketinggian tersebut dapat dilihat pada kesucian hati manusia
tersebut yang termanifestasikan dengan rasa cinta kasih terhadap sesama manusia
dan makhluk Tuhan seluruhnya, tetapi bukan cinta kasih yang bersifat melemahkan
hati, melainkan berupa keyakinan akan adanya hukum kemajuan yang meliputi
alam semesta. Dalam nilai kemanusiaan, mengajarkan agar manusia memahami
hakikat kemanusiaannya sebagai makhluk yang memiliki hubungan dengan
manusia lainnya dalam konteks kehidupan sosial. Hal ini berimplikasi pada peran
manusia yang harus hidup secara beradab dengan memahami fitrah yang telah
Tuhan berikan yaitu harkat, derajat dan martabatnya serta hak asasi manusia dalam

28

kehidupan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dimaknai adanya sebuah pemahaman
tentang kesederajatan. Artinya bahwa dalam menjalani kehidupan, manusia
haruslah hidup secara beradab tanpa mempermasalahkan pada perbedaan suku,
agama, ras dan lain sebagainya.

Berkaitan dengan hal di atas, konsepsi pendidikan Ki Hadjar Dewantara
yang sesuai dengan nilai Pancasila sila ketiga tentang Persatuan Indonesia, tertuang
pada salah satu nilai panca dharma yaitu, Kebangsaan. Dalam konsepsi Ki Hadjar
Dewantara tentang kebangsaan, tersirat bahwa kerja sama antar sesama kelompok
atau masyarakat adalah realitas yang diperlukan dalam kehidupan. Oleh sebab itu,
tidak dihendaki terjadinya permusuhan antara satu dengan yang lain. Sebaliknya,
diperlukan toleransi, kerja sama, menjalin satu rasa sebagai satu umat manusia
(Bhinneka tunggal Ika). Dengan mendasarkan diri pada asas kebangsaan, menurut
Dewantara pendidikan nasional harus berupaya menanamkan jiwa nasionalisme
sosio-kultural kepada peserta didik yaitu sikap cinta tanah air serta mempunyai
kebanggaan serta memajukan kebangsaan dan kebudayaannya dalam rangka
meningkatkan martabat bangsa. Asas kebangsaan dalam konsepsi ini bukanlah
paham kebangsaan dalam arti sempit, tetapi merupakan jalan yang harus dipilih
manusia dalam rangka menghasilkan darma yang dapat mendorong terwujudnya
kemajuan di dalam seluruh aspek konstelasi kehidupan. Selain itu, pada asas
kebangsaan, tidaklah dipahami bahwa bangsa Indonesia mengalienasi diri dari
pergaulan dengan bangsa lain, tetapi justru untuk menjalin persatuannya.

Dalam konteks politik dan pendidikan, dengan mengacu kepada dharma
kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara memandang setiap manusia Indonesia sebagai
warga negara yang mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Beliau
mengamalkan demokrasi dalam hidup bermasyarakat dan mengelola perguruannya.
Selain itu, dalam perjuangan politik maupun pendidikan beliau lebih
mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi atau golongan.
Berdasarkan pada hal di atas, dapat dipahami bahwa pengertian tersebut merupakan
nilai-nilai yang terkandung dalam sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat,
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.

Ki Hadjar Dewantara juga mengajarkan, bahwa manusia harus adil terhadap
sesama. Contoh: Beliau memutuskan untuk memperluas pendidikan bagi rakyat
daripada mempertinggi pendidikan bagi hanya sebagian kecil rakyat. Beliau
berupaya atau bekerja keras memberikan pertolongan bagi sesamanya yang terjajah
atau tertindas agar merdeka. Di samping itu, ia mengajarkan agar kita tidak
menggunakan hak milik dengan merugikan kepentingan umum. Kiranya dapat

29

dipahami bahwa semua ini adalah esensi dari sila Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.

Sebagaimana telah dideskripsikan pada penjelasan di atas, sekalipun filsafat
umum Ki Hadjar Dewantara tidak terumuskan berurutan secara sistematis seperti
rumusan Pancasila yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, tetapi hakikatnya nilai-nilai Pancasila itulah yang
terkandung di dalam filsafat umum beliau. Adapun dalam konteks Perguruan
Nasional Taman Siswa, filsafat umum yang dijadikan asumsi pendidikan tersebut
pada awalnya oleh Ki Hadjar Dewantara di rumuskan (dikristalisasikan) dalam
“Azas Taman Siswa” (1922) yang mana setelah Indonesia merdeka disesuaikan
menjadi “Panca Dharma”, yaitu: “Kemerdekaan, Kodrat Alam, Kebudayaan,
Kebangsaan dan Kemanusiaan”. Sehubungan dengan hal di atas dapat dipahami,
bahwa pada hakikatnya nilai-nilai Pancasila pulalah yang dijadikan acuan Ki
Hadjar Dewantara dalam berpikir dan bertindak dalam rangka pendidikan.

Berkaitan dengan hal di atas, selain itu secara implisit dan implikatif panca
dharma memberikan sebuah konsep praksis terhadap pendidikan, yakni: (1)
mengakui kebebasan siswa, bahwa pendidikan tidak saja hanya hasil ketertiban dan
keharusan; (2) tidak mengabaikan dan meremehkan kualitas dan bakat siswa; (3)
mengembangkan pengembangan spiritual dan jasmaniah melalui peradaban dan
kebudayaan; (4) mengukuhkan semangat nasional, harga diri dan tanggung jawab
sebagai anggota masyarakat; dan (5) kehidupan nasional berorientasi pada dasar
humanisme, menciptakan manusia bebas berdasarkan semangat nasional bercirikan
otonomi, mampu menata diri. Filsafat pendidikannya menunjang pluralisme budaya
sebagai hak dasar manusia, sehingga upaya pendidikan perlu dikembangkan
berdasarkan pada pendekatan holistik yang berpijak pada pemahaman yang secara
utuh tentang hakikat manusia dan kehidupannya.

Berpijak pada hal tersebut, konsepsi pendidikan Ki Hadjar Dewantara
merupakan konsepsi yang relevan dengan landasan filosofis bangsa Indonesia yaitu
Pancasila. Dalam pemahaman makna konsepsi Ki Hadjar Dewantara berpijak pada
filsafat progresivisme karena konsepsi Ki Hadjar Dewantara relevan dengan
perkembangan zaman saat ini. Hal ini dapat dipahami dari konsepsi Ki Hadjar
Dewantara pada konsep konvergensi dan pemahaman tentang pendidikan yang
harus didasarkan pada asas relevansi zaman/ kehidupan. Selain itu, Ki Hadjar
Dewantara berpijak pula pada filsafat esensialisme yang menekankan pada upaya-
upaya yang secara esensial dalam mempertahankan nilai-nilai kebudayaan bangsa
Indonesia dalam konsep konsentris. Berdasarkan tersebut, maka dapat dipahami
bahwa konsepsi Ki Hadjar Dewantara merupakan konsepsi yang masih relevan

30

dengan kondisi kehidupan kontemporer saat ini. Pemahaman ini perlu menjadi
bahan kajian dalam upaya mengembangkan pendidikan Indonesia saat ini, yang
secara objektif telah kehilangan ruh dan tujuan pendidikannya. Pendidikan
Indonesia dewasa ini, perlu di orientasikan pada upaya pengembangan sumber daya
manusia yang berkualitas, tentu bukan pada hal-hal yang hanya bersifat pragmatis,
melainkan pada hal-hal yang bersifat idealistis yaitu menjadikan manusia sebagai
makhluk merdeka dalam segala aspek, baik itu fisik maupun jiwanya dalam rangka
membangun kehidupan manusia Indonesia yang beradab dan lebih bermartabat.

C. Etnopedagogi INS Kayu Tanam
INS Kayutanam merupakan kependekan dari Indonesisch Nederlansche

School Kayutanam atau disebut juga Ruang Pendidik INS Kayutanam adalah suatu
lembaga pendidikan menengah swasta yang bercorak khusus, yang didirikan di
Kayutanam, Padang Pariaman, Sumatera Barat pada 31 Oktober 1926 oleh
Muhammad Sjafei, seorang tokoh pendidikan nasional yang pernah dipercaya
menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia yang ketiga setelah Ki
Hadjar Dewantara dan Todung Sutan Gunung Mulia dalam Kabinet Sjahrir II.

Di Ruang Pendidikan INS Kayutanam, Moh. Sjafei merintis pendidikan
untuk kemerdekaan. Dalam ruang pendidikan INS diorientasikan pada upaya untuk
membukakan mata hati dan pikiran rakyat atas penjajahan kehidupan yang dialami,
agar selanjutnya secara sadar melakukan gerakan untuk mencapai kemerdekaan.
Melalui pendidikan, rakyat dapat membangun dan memiliki ideologi politik serta
mengetahui sasaran perjuangan yang akan dilakukan. Selain itu dalam pandangan
Moh sjafei, pendidikan yang diselenggarakan dengan orientasi intelektualistis
semata, hanya akan menjadikan anak Indonesia budak bagi pemerintah hindia
belanda, dan tidak mampu menjadikan anak Indonesia memiliki kemerdekaan
berpikir, berbuat, menentukan pilihan dan berpikir berdasarkan kenyataan atas
kehidupan. Dengan kata lain, pendidikan yang dilaksanakan merupakan sebuah
bentuk pemberontakan terhadap sistem kolonial yang saat itu membuat masyarakat
Indonesia cenderung jauh dari masyarakatnya. Oleh sebab itu Moh Sjafei
membangun pendidikan yang bertujuan untuk membangun karakter dengan
berlandaskan agama, budaya dan karakter bangsa.

Sekolah tak lagi menawarkan konsep yang mengedepankan kemampuan
akademis, melainkan berorientasi pada upaya untuk membangun manusia yang
berkarakter dengan nilai luhur Indonesia, seperti nasionalisme, patriotisme,
idealisme, akhlak mulia (agama, etika, dan etestika), kemandirian, etos kerja,
kreativitas, dan kewirausahaan. Semuanya dibingkai dalam tiga komponen utama

31

sistem pendidikan INS Kayutanam yang disebut Head (cipta), Heart (rasa), dan
Hand (Karsa) yang membuat siswanya tidak sekadar memiliki tenaga untuk
bekerja, tetapi juga otak untuk berpikir dan jiwa agar ia bisa merasa.

Berkaitan dengan hal di atas, adapun secara implementatif orientasi
pendidikan INS kayu tanam terdapat pada sebuah peribahasa saya lihat, saya ingat,
saya dengar, saya lupa, saya kerjakan, saya bisa (Aktif kreatif). Selain itu secara
praksis pendidikan INS Kayu Tanak diorientasikan untuk mampu membangun
kreativitas siswa. Seorang pendidik harus mampu memfasilitasi siswa agar dapat
mengeksplorasi segala sesuatu secara bermakna melalui daya imajinasinya,
sehingga sebagai seorang pendidik harus mampu memfasilitasi siswa dengan
pembelajaran berdiferensiasi yang dapat memberi stimulus untuk mengembangkan
daya imajinasinya. Hal ini bertujuan untuk membangun sikap mandiri siswa,
membangun jiwa kompetitif siswa yang sehat, membangun sikap mental kuat dan
tidak reseptif. Pada pendidikan INS Kayu Tanam, memegang prinsip belajar,
bekerja dan berbuat. Artinya bahwa siswa tidak hanya diposisikan sebagai objek
pasif yang hanya akan menjadikan siswa sebagai pribadi yang tak ber “daya”,
resptif, dan tak berkesadaran, melainkan menempatkan siswa sebagai subjek aktif
secara bermakna agar ia mampu menjadi manusia yang berkesadaran untuk
menjalani kehidupan. Dengan demikian, pendidikan INS Kayu Tanam merupakan
pendidikan yang bertujuan membangun karakter siswa sebagai generasi unggul dan
bernilai yang dapat membangun bangsa dengan berdasarkan prinsip agama, budaya
dan karakter bangsa Indonesia.

D. Menyelami Gagasan Cerdas H.A.R Tilaar
Henry Alexis Rudolf (HAR) Tilaar adalah sosok yang sudah sangat familiar

dalam dunia pendidikan nasional. Ia merupakan salah seorang pendidik, pemikir,
praktisi pendidikan yang kini menjadi aset nasional bangsa ini, karena pemikiran
kritisnya dalam menyikapi kinerja pendidikan nasional. Selama puluhan tahun
gagasan pemikiran H.A.R Tilaar dalam membangun dan mengembangkan dunia
pendidikan Indonesia yang dituangkan dalam ratusan artikel dan puluhan buku,
telah cukup mampu menorehkan tinta emas dalam sejarah pendidikan Indonesia.
Selain itu, keseriusan perhatiaan H.A.R Tilaar dalam dunia pendidikan telah
mengantarkan dirinya mendapatkan pengakuan dan beberapa penghargaan
bergengsi dari dunia Internasional. Sebagai seorang akademisi, pengamat sekaligus
praktisi pendidikan, H.A.R Tilaar tentu memiliki banyak gagasan, kritik dan
kegelisahan terhadap dunia pendidikan nasional. Gagasan, kritik dan
kegelisahannya kemudian ditorehkan melalui goresan pena berupa artikel yang

32

diterbitkan di sejumlah media massa dan disampaikan dalam forum-forum ilmiah
baik tingkat nasional maupun internasional. Dalam gerak langkah perjuangannya,
ia dikenal sebagai sosok tangguh yang terus meniupkan Ruh pendidikan Indonesia
melalui pemikiran kritisnya.

Dalam kiprahnya, H.A.R Tilaar merupakan sosok yang mampu memberi
pengaruh signifikan dalam membangun paradigma tentang pendidikan dan
kehidupan. Dalam berbagai konsep pendidikan yang telah dibangunnya, ia
senantiasa mengedepankan nilai-nilai kebudayaan bangsa sebagai aspek
fundamental utama untuk membangun pendidikan. Secara implisit, hal ini
menyiratkan tentang fungsi kebudayaan sebagai hal esensial untuk membangun
manusia-manusia Indonesia yang beridentitas diri, yakni yang senantiasa
menjunjung tinggi nilai-nilai keberadaban melalui relasi dan interaksi antar
manusia dalam kemajemukan bangsa. Dalam pemahaman tersebut dimaknai bahwa
pendidikan merupakan sebuah proses pembudayaan. Namun demikian, proses
pembudayaan tidak hanya berorientasi pada terbangunnya sikap primordialisme,
melainkan sebuah sikap terbuka untuk membangun harmonisasi antar budaya
dalam konteks kehidupan multikultural yang berbhinneka. Berbagai perspektif
tentang pendidikan yang telah dilontarkan H.A.R Tilaar, merupakan upaya
penyadaran secara kritis terhadap seluruh elemen agar mampu membangun
paradigma pendidikan ideal, meski nyatanya hal tersebut menjadi sekadar wacana
yang seakan tak bermakna bagi beberapa pihak.

Pendidikan merupakan hal vital dan esensial dari semua aspek pembangun
manusia. Seluruh aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik, budaya, ekonomi,
memiliki keterikatan erat dengan pendidikan. Transformasi sosial dan peningkatan
kualitas manusia Indonesia hanya dapat terjadi melalui proses pendidikan, dan
bukan melalui kekuasaan. Oleh sebab itu, pemahaman ini di yakini oleh H.A.R
Tilaar dapat terbangun melalui sebuah pendidikan kritis atau pedagogik kritis, yakni
sebuah konsep pendidikan penyadaran sebagai salah satu unsur substansial dalam
upaya mengembangkan pendidikan Indonesia yang bermutu dan bermartabat.

H.A.R Tilaar memiliki perspektif bahwasanya proses pendidikan
merupakan sebuah proses pemanusiaan manusia berbudaya Indonesia yang
interaktif berkesinambungan. Proses pemanusiaan berimplikasi bahwa pendidikan
terjadi dalam interaksi antar manusia dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.
Interaksi terjadi dan berkembang dalam lingkungan alam (ekologis) maupun
lingkungan sosial (sosial-politik-ekonomi) yang menghargai nilai-nilai
kemanusiaan yang beradab (sebagaimana butir-butir Pancasila sila ke-2). Proses
pemanusiaan tersebut merupakan suatu proses interkultural yang meliputi budaya

33

lokal, nasional, dan internasional menuju kepada terciptanya masyarakat madani
global yang bertumpu dari masyarakat madani Indonesia yang mempunyai cirinya
yang khas yaitu kebudayaan Indonesia.

Pendidikan dan kebudayaan dua hal yang bersifat kompelementer dan
integrasi serta memiliki suatu nilai esensial sama yang terdapat di dalamnya, yang
mana keduanyapun dekat dan tidak dapat terpisah dari masyarakat. Tidak ada suatu
proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa masyarakat, sebaliknya tidak ada
suatu kebudayaan dalam pengertian suatu proses tanpa pendidikan. Proses
kebudayaan dan pendidikan hanya dapat terjadi di dalam suatu masyarakat tertentu.
Melihat masa lampau, di masa orde baru, pendidikan telah tercabut dari akar budaya
yang hidup. Nilai-nilai moral sebagai inti kebudayaan dan pendidikan telah
direduksi menjadi indoktrinasi tanpa arti. Oleh karenanya pendidikan nasional di
masa reformasi hingga sekarang perlu merumuskan visi pendidikan, yaitu
membangun manusia dan masyarakat madani Indonesia yang memiliki identitas
berdasarkan budaya Indonesia.

Pemahaman pentingnya kebudayaan dalam pendidikan, ia sajikan dalam
konsepsi mengenai Pendidikan Multikultural. Dalam pandangannya H.A.R Tilaar
memahami bahwa multikulturalisme sebagai sikap suatu kelompok masyarakat
bersedia untuk menyatu (integrate) tanpa mempedulikan keragaman budaya yang
dimiliki dan mampu melebur tanpa saling menonjolkan perbedaan masing-masing
budaya yang dimiliki, sehingga terjadi sebuah proses “hibridisasi”. Pandangan
H.A.R. Tilaar dalam konsep pendidikan multikultural merupakan sebuah konsep
yang menawarkan satu alternatif melalui penerapan pendekatan, strategi dan
konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di
masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya,
bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras. Artinya bahwa
pendidikan multicultural merupakan sebuah konsep yang berupaya dalam
mendewasakan manusia/ peserta didik untuk menghargai pluralitas dan
heterogenitas secara humanistik melalui proses pendidikan. Lebih lanjut H.A.R.
Tilaar berpandangan bahwa pendidikan adalah sebuah konsep, ide atau falsafah
sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui
dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya
hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan
dari individu, kelompok maupun negara. Gagasan mengenai pendidikan
multikultural adalah sebagai tawaran konsep bagi dunia pendidikan Indonesia ke
depan, khususnya pendidikan yang bercirikan Islam yang ada di Indonesia dalam
hal ini adalah madrasah melalui internalisasi nilai-nilai inti (core value) yang

34

meliputi apresiasi terhadap realitas pluralitas budaya dalam masyarakat, pengakuan
terhadap harkat dan martabat manusia dan hak asasi manusia, pengembangan
tanggung jawab masyarakat dunia dan pengembangan tanggung jawab manusia
terhadap bumi atau alam semesta.

Secara filosofis-empiris pendidikan multikultural digagas berdasarkan pada
dasar filosofis bangsa Indonesia yakni Bhineka tunggal ika, yang secara substansi
memanifestasikan nilai gotong royong, saling membantu dan menghargai satu sama
lain dalam konteks perbedaan antar suku, ras, dan agama yang terus berakulturasi
dengan masyarakat pribumi yang dalam kenyataannya, proses adaptasi dan
akulturasi yang berlangsung tersebut sebagian besar dilakukan dengan damai tanpa
adanya penindasan yang berlebihan. Proses inilah yang dikenal dengan pendidikan
multikultural. Hanya saja, dewasa ini model pendidikan multikultural ini semakin
tereduksi karena adanya kolonialisasi di bidang politik, ekonomi, dan mulai
merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa. Selain itu, konsep pendidikan
multikultural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai
problematika dan gejolak masyarakat akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural,
adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan,
heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Oleh
sebab itu, pendidikan multikulturalisme merupakan sebuah pendidikan yang
mampu memberi solusi atas terjadinya berbagai problematika masyarakat yang
disebabkan karena adanya fanatisme yang berdimensi suku, etnis, agama atau
bahkan sistem pemikiran, baik dalam pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, dan
berbagai aspek kehidupan lainnya. Berdasarkan hal tersebut, pendidikan
multikulturalisme merupakan sebuah paradigma pendidikan yang mampu
mengakomodir perbedaan dalam wadah yang harmonis, selaras, toleran dan saling
menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian,
kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.
Dengan kata lain, pendidikan multikultural dapat berfungsi sebagai sarana alternatif
dalam memecahkan konflik. Selain itu, pendidikan multicultural bertujuan agar
mampu membangun sikap siswa terhadap nilai kebudayaan yang harus senantiasa
dijunjung tinggi.

Dalam konteks keindonesiaan pendidikan multikultural sangatlah relevan di
aplikasikan dalam dinamika kehidupan demokrasi Indonesia. Spektrum
kebudayaan masyarakat Indonesia yang beragam memang merupakan tantangan
tersendiri bagi dunia pendidikan untuk mengolah keragaman dan perbedaan
tersebut menjadi sebuah asset berharga, dan bukan menjadi sumber perpecahan.
Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang menekankan pada

35

pemahaman akan multi etnis, multi ras, dan multikultur yang memerlukan
konstruksi baru atas keadilan, kesetaraan, dan masyarakat yang demoktratis.
Dengan demikian pendidikan multikultural merefleksikan pentingnya budaya, ras,
gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi dan pengecualian-pengecualian
dalam proses pendidikan. Selain itu, dalam kondisi kehidupan dewasa ini,
pendidikan multikultural memiliki tugas ganda, yakni menyatukan keragaman
budaya dan menyiapkan bangsa Indonesia dalam menghadapi derasnya arus
kebudayaan luar. Artinya bahwa pendidikan multikultural memiliki nilai inti dalam
pelaksanaannya yaitu apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam
masyarakat, pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia, sehingga nilai-nilai
pendidikan multikultural dapat mengantarkan individu bersikap toleran,
menghargai nilai-nilai kemanusiaan, dan suka pada perdamaian. Nilai-nilai itu
sangat dibutuhkan untuk terciptanya masyarakat madani sebab masyarakat madani
memiliki ciri antara lain; universalitas, supremasi hukum, menghargai perbedaan,
kebaikan dari dan untuk semua, meraih kebajikan umum, dan menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia.

Berpijak pada hal di atas, penulis akui masih banyak pemikiran cerdas dan
futuristis H.A.R Tilaar yang tidak dapat disajikan seluruhnya dalam esensi
pemikiran beliau pada tulisan ini. Namun demikian pemikiran besar H.A.R Tilaar
telah mampu menjadi inspirasi para kaum cendekia untuk tetap dan terus
memikirkan nasib bangsa Indonesia di masa depan, melalui perjuangan dalam
bidang pendidikan.

E. Apakah Kita Sedang Menuju Masa Depan ataukah Sedang Kembali ke
Masa Lalu?
Sungguh menggelikan saat terdapat banyak pespektif tentang pendidikan

yang perlu dibangun dengan nilai-nilai luhur kebudayaan. Namun hal tersebut
ternyata adalah bentuk pengalihan dan penolakan atas kemajuan dan perubahan
dalam pendidikan. Terlalu naif jika terdapat manusia yang memiliki cara pandang
ini, mengingat bahwa kemajuan dan perubahan adalah sebuah keniscayaan yang tak
terelakan. Hal ini mengandung makna bahwa perubahan itu mutlak akan terus
terjadi. Pendidikan Indonesia dewasa ini, dihadapkan pada sebuah tantangan yang
menuntut seluruh elemen, khususnya pendidik untuk dapat bersikap adaptif. Hal
tersebut disebabkan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologis yang
melaju sangat cepat. Hal ini tentu berimplikasi pada sikap dan kesadaran setiap
manusia yang harus senantiasa maju dan terbuka terhadap dinamika dan perubahan
zaman.

36

Tidak sedikit dari berbagai kalangan membicarakan tentang masa depan,
mendambakan kemenangan dan kebahagian kehidupan yang diharapkan,
melainkan diantara mereka lebih memilih diam dan berpangku tangan. Sungguh hal
yang memilukan dan tak dapat dibenarkan bagi seorang manusia yang memiliki
akal pikiran. Tidak ada waktu diam untuk berpikir menjadi pemilik masa depan,
selain harus terus berpikir dan melakukan upaya-upaya persiapan untuk
menyongsong dan menghadapi kompleksitas kehidupan masa depan.

Bangsa Indonesia dewasa ini telah terjebak dalam sebuah sistem pendidikan
yang terus membelenggu pikiran, saat materi dijadikan patokan dan ukuran
keberhasilan pendidikan. Kondisi ini tak lain adalah sebuah paradigma
neoliberalisme berjubah baru. Kondisi ini tentu tak dapat dibiarkan karena akan
semakin menghancurkan keadaan kehidupan menuju jurang kehancuran. Sebab
demikian akan berakibat pada tumpulnya cara berpikir dan lumpuhnya moralitas
anak-anak bangsa.

Masa depan harus kita sambut dengan penuh asa demi terwujudnya
kehidupan bangsa Indonesia yang di damba. Pendidikan harus di reorientasikan
pada nilai-nilai luhur kehidupan yang telah ditentukan dan temaktub dalam tujuan
pendidikan nasional Indonesia, yakni melahirkan manusia Indonesia yang memiliki
kompetensi dan berkarakter dengan hidup berlandasakan pada nilai-nilai Pancasila.
Keberadaan Pancasila dalam konteks kehidupaan dewasa ini yang sarat akan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi kekuatan yang mampu
menjadi dasar dan tujuan kehidupan menuju perkembangan zaman.

Pendidikan harus mampu melahirkan generasi masa depan yang sejalan
dengan tuntutan zaman, terlebih dalam konteks wacana kehidupan masyarakat baru
5.0. "Masyarakat 5.0" dapat didefinisikan sebagai "masyarakat intelijen", di mana
ruang fisik dan dunia maya sangat terintegrasi (Salgues, 2018). Masyarakat 5.0
muncul dari masyarakat tahapan pemburu-pengumpul, masyarakat pertanian,
masyarakat industri dan masyarakat informasi. Meskipun berfokus pada
kemanusiaan, 5.0 mengacu pada tipe masyarakat baru di mana inovasi dalam sains
dan teknologi menempati tempat yang menonjol, dengan tujuan menyeimbangkan
masalah sosial yang perlu dipecahkan, sambil memastikan pembangunan ekonomi.
Selain itu, Masyarakat 5.0 muncul sebagai keinginan untuk keseimbangan dalam
pencarian optimalisasi empat masyarakat sebelumnya. Masyarakat 5.0 berupaya
mencapai keberlanjutan (ekologi), inklusi luas, efisiensi, dan oleh karena itu, daya
saing industri dari mereka yang menerapkannya menggunakan kekuatan
kecerdasan dan pengetahuan.

37

Berkaitan dengan hal di atas, pendidikan dalam konteks masyarakat baru
5.0 harus diorientasikan pada upaya untuk membekali peserta didik kompetensi
yang meliputi: kemampuan beradaptasi, kelincahan, mobilitas, kreativitas,
komunikasi, kolaborasi dan memiliki sikap terbuka. Selain itu, dalam masyarakat
5.0, keutamaan ide dan pengetahuanlah yang diutamakan, sehingga ide dan
pengetahuan mampu menjadi landasan seseorang untuk dapat membangun
kemampuan futuristik. Berpijak pada hal di atas, pendidikan harus mampu
melahirkan generasi masa depan yang siap menghadapi tuntutan zaman dan
menjadi bagian dari perubahan serta siap memimpin masa depan dengan
kompetensi yang dimiliki yang berlandaskan pada nilai ideologi bangsa Indonesia,
yakni Pancasila.

38

BAB 3
MENGGALI POTENSI BUDAYA UNTUK PENDIDIKAN INDONESIA

A. Budaya: Sumber Daya yang Dilupakan
Perlu ada jalan keluar yang harus kita tempuh, dengan berdialog lebih dalam

untuk melakukan semacam introspeksi dan evaluasi yang merupakan hasil dari
refleksi tentang kebangsaan kita, dan tentang cita-cita yang kita harapkan di masa
depan. Kehidupan berbangsa kita kian ternoda oleh sikap kebarat-baratan yang
terus tumbuh dan menggurita dalam jiwa bangsa Indonesia. Seakan kita telah
kehilangan orientasi nilai dan budaya, yang sejatinya merupakan bagian substansial
untuk membangun martabat kehidupan berbangsa dan bernegara.

Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman budaya.
Pluralitas budaya menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki kekayaan
budaya yang begitu sangat kompleks. Setiap budaya memiliki karakteristik esensial
yang berbeda antara satu sama lain (Alfan, 2013, hlm.163). Dalam
perkembangannya, kebudayaan Indonesia saat ini telah tereduksi oleh arus
globalisasi, hal ini terlihat dari perubahan yang terjadi pada pola kehidupan dan cara
pandang masyarakat yang telah meninggalkan nilai-nilai kearifan budaya karena
telah dianggap sebagai sesuatu yang usang dan tidak lagi sesuai dengan
perkembangan zaman. Berdasarkan kondisi tersebut, kebudayaan Indonesia saat ini
telah mengalami titik nadir yang tidak menutup kemungkinan akan mengalami
kepunahan. Hal ini berimplikasi dalam seluruh aspek konstelasi kehidupan, tak
terkecuali pada mentalitas atau karakteristik manusia Indonesia seutuhnya, yang
salah satunya ialah memiliki karakteristik dengan senantiasa menjunjung tinggi
nilai-nilai keberadaban dalam menjalani kehidupannya. Artinya bahwa kita sudah
tidak lagi menemukan gambaran manusia Indonesia yang bebas, empati, toleran,
rajin, mandiri, bertanggung jawab dan sebagainya. Dengan kata lain kita telah
kehilangan manusia-manusia Indonesia yang memiliki identitas diri.

Menyikapi fenomena di atas, perlu kembali kita membukakan mata hati,
bahwa sesungguhnya Indonesia saat ini sedang berada pada titik nadir peradaban,
karena bangsa kita saat ini telah kehilangan identitas diri. Itu sama artinya bahwa
Indonesia telah kehilangan jiwanya sebagai bangsa yang hidup dari kebudayaan.
Dengan demikian, kebudayaan merupakan hal esensial yang perlu menjadi pijakan
dalam mengembangkan mentalitas manusia Indonesia. Budaya tidak hanya
dipahami sebagai sebuah tata cara hidup sekelompok manusia yang dibuat
berdasarkan sebuah konsensus, melainkan lebih dalam adalah sebuah ide, gagasan,
cita-cita yang termanifestasikan dalam kehidupan sebagai identitas dan

39

kehormatan. Selain itu, kebudayaan dalam kehidupan manusia, merupakan sebuah
ruang multidimensi untuk manusia mampu bereksistensi sebagai subjek dalam
kehidupan ini. Oleh sebab itu, kita harus berani melakukan Rethinking dan
Reshaping tentang pendidikan yang harus lebih menitikberatkan pada landasan
nilai-nilai dan budaya.

Melihat kondisi ini, kita akan kembali memiliki cara pandang tentang
konsep pendidikan yang seharusnya tidak tercerabut dari nilai kebudayaan. Itu
artinya bahwa pendidikan adalah sebuah proses pembudayaan, dengan demikian
memisahkan pendidikan dari kebudayaan berarti mengkhianati keberadaan proses
pendidikan sebagai proses pembudayaan. Hal ini sejalan dengan pendapat
Dewantara (1977) yang mengungkapkan bahwa “kebudayaan tidak dapat
dipisahkan dari pendidikan bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar
pendidikan”. Namun demikian, fenomena yang ada, pendidikan telah beralih fungsi
yang seharusnya menjadi sarana dalam menginternalisasikan nilai-nilai budaya,
menjadi sarana dalam melahirkan robot-robot yang hidup secara mekanistis dan
individual, bukan manusia-manusia yang bermoral dan hidup secara kolektif dalam
ruang kehidupan yang penuh kedambaan dengan nilai keberadaban. Dengan kata
lain bahwa pendidikan telah menyimpang dari hakikatnya yang seharusnya mampu
melahirkan manusia-manusia yang memiliki sikap adaptif dalam kehidupan, justru
sebaliknya hanya melahirkan manusia-manusia yang gagap budaya dalam
menjalani kehidupannya. Pendidikan saat ini telah mengalienasi peserta didik untuk
hidup dan berkehidupan dalam dunianya yang penuh dengan nilai-nilai luhur yang
bersifat partikular maupun universal. Pendidikan seakan menjadi belenggu pengikat
kebebasan manusia.

Pendidikan dalam proses pembudayaan merupakan hal yang penting
dipahami sebagai upaya dalam mempertahankan identitas diri bangsa Indonesia,
yang kian hilang. Telah menjadi suatu hal yang aksiomatis bahwa pendidikan dan
kebudayaan merupakan dua hal esensial yang berkaitan dan tak terpisahkan antara
keduanya.

Hakikat kebudayaan: Sebuah Tinjauan Terminologis
Memahami kebudayaan secara esensial tidak akan terlepas dari eksistensi

manusia sebagai subjek dan objek dalam kehidupan ini. Keberadaan manusia
sebagai makhluk yang memiliki akal dan pikiran menjadi faktor penting dalam
melihat fenomena kebudayaan. Oleh karena itu, wajar jika ditemukan berbagai
problem yang disebabkan oleh dinamika kebudayaan yang berkaitan langsung
dengan eksistensi manusia. Dalam perspektif berbeda, kebudayaan dapat diartikan

40

sebagai sebuah fenomena sosial yang tidak dapat dilepaskan dari perilaku dan
tindakan warga masyarakat yang mendukung dan menghayatinya. Demikian pula
sebaliknya, keteraturan, pola atau konfigurasi yang tampah pada perilaku dan
tindakan warga masyarakat tertentu dibandingkan perilaku dan tindakan warga
masyarakat lain, tidaklah dapat dipahami tanpa dikaitkan dengan kebudayaan.
Kebudayaan adalah aspek yang vital bagi suatu bangsa, karena kebudayaan
merupakan jati diri bangsa atau merupakan kebudayaan nasional yang bersumber
pada puncak kebudayaan lokal. Kajian kebudayaan memiliki ruang lingkup yang
begitu sangat luas, sehingga menyebabkan terjadinya interpretasi dalam
multiperspektif.

Secara etimologis, kata “kebudayaan” berasal dari Bahasa Sansekerta
buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti akal atau
budi. Dalam tinjauan secara terminologi, kebudayaan dipahami juga dalam
beragam definisi yang berbeda. Kluckhohn (1949) berpendapat bahwa kebudayaan
ialah acuan pedoman, cetak biru, atau blue print bagi kehidupan masyarakat.
Artinya kebudayaan itu dilihat sebagai perangkat sistem acuan, atau model kognitif
pada berbagai tingkatan dan kesadaran. Berbeda dengan Kluckhon, Taylor (1874)
berpendapat bahwa budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Senada dengan pendapat tersebut, Koentjaraningrat (1985)
berpendapat bahwa kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan cara belajar.

Berkaitan dengan pendapat di atas, maka dapat dipahami bahwa definisi
kebudayaan mengacu pada sebuah pola kehidupan yang dikonstruksi berdasarkan
kesadaran atas buah budi manusia yang dijadikan nilai dan norma serta pedoman
dalam dimensi ruang kehidupan oleh sekelompok masyarakat. Dewantara, (1977)
yang mengungkapkan bahwa kebudayaan sebagai “buah budi manusia, yaitu hasil
perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yaitu zaman dan alam yang
merupakan bukti kejayaan hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Oleh sebab itu,
kebudayaan tidak akan terlepas dari karakteristik khas yang melekat pada manusia
yang berada dalam ruang kehidupan masyarakat tersebut. Dengan kata lain, hakikat
kebudayaan memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri khusus yang berbeda antara satu
dengan lainnya. Namun demikian, jika dilihat secara garis besar, setiap kebudayaan

41

yang ada di dunia ini memiliki sifat-sifat hakikat yang sama, antara lain adalah
sebagai berikut.
1. Kebudayaan bersifat stabil dan dinamis. Kebudayaan memiliki sifat stabil dalam

sebuah nilai dan norma yang berada dalam lingkungan masyarakat tertentu. Hal
ini tentu dapat dimaknai bahwa kebudayaan merupakan sebuah nilai dan norma
yang dikonstruksi oleh suatu kelompok manusia dan menjadi acuan atau dasar
untuk menjalani kehidupan. Namun demikian dalam sifat hakikat lainnya,
kebudayaan bersifat dinamis, artinya bahwa kebudayaan tidak stagnan
melainkan dapat berubah dan berkembang yang disebabkan oleh faktor eksternal
maupun internal.
2. Kebudayaan bersifat berkesinambungan. Kebudayaan sudah ada mendahului
lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia
generasi yang bersangkutan. Dengan demikian, kebudayaan merupakan sebuah
warisan yang didapatkan dari generasi sebelumnya dan memiliki potensi akan
diwariskan kembali kepada generasi setelahnya.
3. Kebudayaan merupakan sebuah konsep yang dikonstruksi oleh manusia dan
dimanifestasikan dalam wujud perilaku.
4. Kebudayaan merupakan sebuah konsep (nilai dan norma) yang dikonstruksi
manusia dan akan mengonstruksi manusia itu sendiri.
5. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisi tentang kewajiban-kewajiban,
tindakan-tindakan yang ditolak dan diterima, tindakan-tindakan yang diizinkan,
dan tindakan-tindakan yang dilarang. Dengan demikian, kebudayaan merupakan
sebuah nilai dan norma yang mengatur kehidupan suatu kelompok.

Berkaitan dengan sifat kebudayaan di atas, kebudayaan merupakan hal yang
fundamental dalam kehidupan manusia dan bagian yang substansial dalam
eksistensi manusia di dunia. Kebudayaan berfungsi untuk mengatur agar manusia
dapat memahami cara bertindak, berbuat, menentukan sikap saat berhubungan
dengan orang lain. Linton (dalam Alfan, 2013) menyatakan bahwa kebudayaan
memiliki fungsi design for living (garis-garis atau petunjuk dalam hidup). Artinya,
kebudayaan adalah garis pokok tentang perilaku (blueprint for behavior) yang
menetapkan peraturan mengenai hal-hal yang harus dilakukan, hal-hal yang
dilarang, dan sebagainya. Lebih lanjut Alfan, (2013) menggambarkan karakteristik
kebudayaan meliputi: (1) dapat dipelajari dan dimiliki bersama oleh masyarakat;
(2) diwariskan kepada generasi penerusnya: (3) diajarkan kepada siswa melalui
lembaga pendidikan; (4) berbasis simbol-simbol tertentu: (5) bersifat adaptif, yaitu
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Artinya bahwa kebudayaan
harus memenuhi segala hal yang dibutuhkan masyarakat. Berdasarkan hal di atas,

42

secara komprehensif dapat dimaknai bahwa secara umum karakteristik kebudayaan
antara lain adalah sebagai berikut.
1. kebudayaan, berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuang manusia terhadap

dua pengaruh yang kuat, yaitu alam dan zaman (kodrat dan masyarakat), dalam
mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai-bagai
rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya, dalam mencapai
keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
2. Hidup dan tumbuhnya kebudayaan sebagai buah budi manusia tidak luput dari
segala kejadian dan tabiat yang ada dalam hidup manusia.
3. Kebudayaan telah memelihara dan memajukan hidup manusia ke arah
keadaban. Artinya bahwa kebudayaan haruslah tumbuh dan berkembang serta
berorientasi pada upaya dalam menjadikan manusia sebagai makhluk yang
hidup secara normatif, sehingga pengembangan kebudayaan perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a. Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan menyesuaikan

kebudayaan di dalam tiap-tiap pergantian alam dan zaman.
b. Pengasingan (isolasi) kebudayaan menyebabkan kemunduran dan

kematian, maka harus ada hubungan antara kebudayaan dan masyarakat
c. Pembaharuan kebudayaan haruslah pula ada hubungan dengan kebudayaan

lain, yang dapat mengembangkan (memajukan, menyempurnakan) atau
memperkaya, yakni menambah kebudayaan sendiri
d. Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan dari kebudayaan sendiri
(kontinuitas) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam
lingkungan kebudayaan sedunia (konsentrisitas).
Berdasarkan hal di atas, kebudayaan merupakan keniscayaan dalam
kehidupan manusia sebagai hasil dari budi manusia yang dikonstruksi secara bijak
berdasarkan nilai-nilai idealistis-kolektivis manusia yang selanjutnya dijadikan
sebagai dasar dan pedoman menjalani kehidupan bermasyarakat, sehingga dengan
kata lain kebudayaan merupakan nilai dan norma yang dijadikan sebagai dasar
untuk menjalani berbagai aktivitas dalam ruang kehidupan multidimensional dalam
relasinya dengan manusia, alam dan Tuhan. Kebudayaan merupakan bagian dari
kehidupan manusia yang konstruksi berdasarkan konsep gagasan, cita-cita, tujuan
hidup yang berada dalam konteks dimensi kehidupan tertentu. Keberadaannya
adalah representasi karakter dari suatu kelompok masyarakat yang memiliki
orientasi hidup dan kehidupan secara dinamis. Selain itu, kebudayaan mampu
mengonstruksi manusia

43

Dalam memahami kebudayaan manusia, unsur-unsur kebudayaan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah kebudayaan manusia, sehingga
dengan kata lain bahwa unsur-unsur kebudayaan merupakan hal yang bersifat
universal atau dimiliki oleh setiap kebudayaan di berbagai penjuru dunia.
Pandangan ini sejalan dengan Koentjaraningrat (2002) yang berpendapat bahwa
“unsur-unsur kebudayaan bersifat universal, sehingga unsur-unsur tersebut ada dan
bisa di dapatkan di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa di mana pun di
dunia”. Dengan demikian Garna (2008) mengungkapkan budaya dilihat sebagai
sistem, yaitu yang disebut sebagai sistem budaya (vultural system) yang memiliki
unsur-unsur atau sub-sistem (cultur universal), dan setiap subsistem tersebut
memiliki bagian unsur-unsur kecil (cultural items). Lebih jelas hal tersebut dapat
dilihat pada gambar 3.1.

Senada dengan pendapat Garna, Kluckhon (dalam Koentjaraningrat, 2002)
membagi sistem kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan universal atau
disebut dengan kultural universal. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Sistem Bahasa

Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan
sosialnya untuk berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya. Hal ini sejalan
dengan pendapat Koentjaraningrat (dalam Alfan, 2013) yang berpendapat bahwa
“bahasa adalah sistem lambang bagi manusia, baik secara lisan maupun tertulis
untuk berkomunikasi antar individu”.
2. Sistem Pengetahuan

Sistem pengetahuan dalam kultural universal berkaitan dengan sistem
peralatan hidup dan teknologi masyarakat, karena sistem pengetahuan bersifat
abstrak dan berwujud di dalam ide manusia. Alfan (2013, hlm 94) berpendapat
bahwa “Sistem ilmu pengetahuan merupakan suatu gagasan, konsep yang
dikembangkan dari seperangkat pengetahuan yang mampu melahirkan karya
ciptaan baru”. Sistem pengetahuan sangat luas batasannya karena mencakup
pengetahuan manusia tentang berbagai unsur yang digunakan dalam kehidupannya.
Setiap kebudayaan selalu memiliki suatu himpunan pengetahuan tentang berbagai
hal esensial dalam kehidupannya, baik itu alam, tumbuh-tumbuhan, binatang,
benda, manusia yang ada di sekitarnya dan ruang dan waktu.

44


Click to View FlipBook Version