KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, yang atas rahmat-nya maka penulis dapat
menyelesaikan tugas cerpen yang berjudul
"Duniaku". Dalam penulisan cerpen ini penulis
merasa masuh banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun isi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penulis.
Saya menyadari bahwa karya tulis ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan. Akhir kata, saya sampaikan
terimakasih. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................... iii
MOTTO HIDUP...................................................................... iv
BAB I ........................................................................................1
Keheningan Suatu Malam .....................................................1
BAB II .......................................................................................4
Penyemangat ........................................................................4
BAB III ....................................................................................10
Mulai Melangkah ................................................................10
BAB IV....................................................................................25
Jalan Menuju Impian...........................................................25
BAB V.....................................................................................32
HARI MENUJU IMPIAN ........................................................32
PENUTUP..............................................................................45
BIOGRAFI PENULIS ...........................................................46
iii
MOTTO HIDUP
"Jangan pernah biarkan masalah yang sedang
kamu hadapi menjadi hambatan untuk kamu meraih
mimpimu."
iv
BAB I
Keheningan Suatu Malam
1
Namaku Andira Dyandra, sering dipanggil Dira. Aku
terlahir dari keluarga kaya, kaya akan cinta dan kasih
sayang. Rumahku sangat sederhana dan terbagi
menjadi beberapa bagian, antara lain bagian teras
yang berfungsi sebagai ruang tamu, bagian tengah
yang terdapat dua kamar, bagian belakang berfungsi
sebagai dapur serta ruang untuk menyimpan
padi.Bapakku seorang petani yang menggarap
sebidang sawah, sawah yang menjadi tumpuan untuk
kehidupan sehari-hari kami. Sedangkan ibuku seperti
seorang ibu pada umumnya, yaitu mengurus rumah
tangga dan sesekali membantu bapak disawah.
Aku mempunyai dua orang adik, satu laki-laki dan satu
perempuan. Adikku yang laki-laki bernama Andi yang
masih duduk dibangku SMP, sedangkan adik
perempuanku bernama Nita yang masih sekolah dasar.
Ketika suatu malam, aku membentangkan diriku diatas
ranjang yang nyaman dengan balutan selimut yang
lembut dan harum. Disebelah ranjang terdapat boneka
yang lucu serta beberapa foto kecilku. Melihat
sekeliling kamar yang terkesan nyaman dan indah.
Serta sebuah lukisan yang berada di dinding, yang
menggambarkan sepasang bunga matahari. Dimana
sepasang bunga tersebut dilukis sangat indah, seolah
seperti bunga yang aslinya.
Tubuhku terasa nyaman,seperti baru bangun dari tidur
yang panjang. Baru kuperhatikan sekitar, menatap ke
langit-langit kamar dan memikirkan bagaimana
lelahnya menjalani hari yang berat dan tak pernah
2
lepas dari masalah. Dan berpikir bagaimana cara untuk
bisa menjalankan hari dengan lebih baik lagi. Hidup
yang tak selalu baik-baik saja. Selalu ada hal yang
membuat aku sedih, marah, kecewa, dan trauma.
Ketika diriku yang masih memiliki rasa takut karena
trauma di masa lalu, namun aku percaya tidak akan
terulang lagi. Aku pasti bisa menerima dan menjalani
hidup dengan lebih baik lagi. Aku yang mendapat
pengkhianatan dalam pertemanan, persaudaraan,dan
percintaan karena bertemu dengan orang-orang yang
salah, yakinlah bahwa waktu akan mempertemukanku
dengan orang yang lebih baik lagi.
3
BAB II
Penyemangat
4
Bunyi tiga celengan kendi yang terbuat dari tanah liat,
yang aku banting dilantai kamarku. Uang kertas
sebesar 2.000 rupiah,dan uang logam 5.000 yang
berwarna coklat tua, tampak tergulung dan
berhamburan di lantai kamar. Aku mengumpulkan uang
ini semenjak SMP, dari hasil bekerja serabutan serta
upah dari membantu orang-orang. Aku lalu
mengumpulkan uang-uang tabunganku itu lalu aku
kumpulkan berdasarkan nominalnya. Aku
menumpuknya agar lebih mudah untuk
menghitungnya.
Aku bekerja serabutan karena hasil dari sawah orang
tuaku tidak cukup untuk membiayai sekolahku dan
adik-adikku. Aku bekerja keras dan mengumpulkan
hasil keringatku, sebagian kuserahkan ke ibu dan
sebagian lagi aku simpan di celengan kendi.
Aku yang sempat menganggur dua tahun sebelum
masuk SMK, mempunyai cita – cita ingin melanjutkan
pendidikanku ke perguruan tinggi.
Setelah itu aku ingin menaklukan dunia dengan
semua bekal yang aku miliki.
Terdengar sombong bukan? Tapi itulah aku dan
tentang tekadku.
Hampir semua penduduk desa mencibir niatku yang
ingin melanjutkan pendidikanku ini. Tapi aku tak
menghiraukan suara – suara itu. Dulu saja ketika aku
akan melanjutkan jenjang pendidikanku ke SMK,
banyak yang menyepelekan aku dan keluargaku.
5
Mereka bilang, aku pasti tidak akan sampai lulus SMK,
karena tidak mempunyai biaya. Tapi buktinya, aku
sekarang sudah lulus dan aku bisa membungkam
suara – suara mereka.
Itu perkenalan singkat tentang aku dan keluargaku.
Aku yang bernama Andira, seorang gadis desa yang
mempunyai cita – cita setinggi langit dan seluas
samudera.
“jadi beneran Dira mau lanjut kuliah?” Tanya ibuku dari
arah belakangku dan mengejutkan lamunanku. Aku lalu
menoleh kearah ibu yang berdiri dipintu kamarku,
sambil memegang kelambu kamarku.
"iya bu.” Jawabku lalu aku tersenyum.
“cukup uang yang ada ditabunganmu?” tanya ibu dan
wajahnya berubah menjadi sayu.
“cukup bu.” Ucapku berbohong, karena aku belum
menghitung uang yang masih aku kumpulkan.
“Hmmmm” ibu mengeluarkan nafas panjangnya, lalu
membalikan tubuhnya dan menutup kelambu kamarku.
Terdengar langkah ibu menuju kearah dapur dan aku
langsung keluar kamarku. Aku ingin berbicara dengan
ibu, karena aku tahu ibu sangat sedih sekali. Aku
berjalan kearah dapur, lalu berdiri tak jauh dari ibu yang
sedang duduk dan menanak nasi.
“ibu tahu kalau kamu memiliki cita – cita yang sangat
tinggi anak. Tapi apa ngga sebaik nya cita – citamu itu
6
mempertimbangkan kondisi keluarga kita?” Ucap ibu
yang memulai pembahasan tentang kelanjutan
pendidikanku ini.
Pembahasan ini sudah sering kami bicarakan dan aku
tidak akan mengendurkan sedikitpun cita – citaku.
Justru aku semakin semangat, dan semua nasihat ibu
aku jadikan pendorong untuk perjuanganku nanti.
“bukannya ibu melarangmu anak, tapi.” Ucap ibu
terpotong dan ibu menunduk sejenak, setelah itu
mendorong kayu bakar kedalam tungku yang terbuat
dari tanah liat itu.
“ibu takut mendengar omongan dari orang – orang ya?”
tanyaku pada ibu yang melihatku dengan tatapan sayu.
“bu, yang memberikan makan dan membesarkan Dira
dan adik – adik itu, ibu dan bapak, bukan orang – orang
desa. Jadi buat apa kita memikirkan ucapan mereka?.”
ucapku sambil ke ibu.
“bukan itu yang ibu pikirkan anak. Dira tahu kan biaya
kuliah itu sangat mahal sekali. Bagaimana kalau nanti
Dira berhenti ditengah jalan?.” Ucap ibu dan aku
langsung duduk disebelah beliau, sambil memasukan
kayu bakar kedalam tungku.
“Dira hanya perlu doa restu dari ibu dan bapak. Itu saja”
jawabku dengan tenang dan ibu menyenderkan
kepalanya dipundakku.
“Dira tahu, Dira sekolah sampai SMK saja, bapak dan
ibu sudah sangat bangga sekali nak. Apalagi Dira
7
meraihnya dengan keribgat Dira sendiri.” Ucap ibuku
dengan suara bergetar.
“banyak orang yang mencemooh ibu, ketika Dira
masuk SMK dulu. Tapi Dira berhasil membuktikannya
dan lulus dengan baik nak.” Ucap ibu lagi.
“dan sekarang bukannya ibu melemahkan
semangatmu nak, bukan itu maksud ibu.” Ucap ibu
dengan suara yang terdengar semakin sedih.
“tapi,” ucap ibu terpotong dan seperti tidak kuat
melanjutkan ucapannya.
“Dira hanya butuh doa resti dari ibu dan bapak saja.
Selebihnya, akan menjadi urusan Dira dan sang
pencipta.” Ucapku yang mengulang perkataanku tadi
dengan nada yang tetap tenang.
Hufffttt, huuuu.
Ibu menarik nafas panjang dan perlahan menegakkan
kepala beliau dari pundakku. Suasana sedikit
canggung, karena ibu tidak melanjutkan pembicaraan.
Kami berdua diam sambil memandang api yang
menyala didalam tungku. Dan beberapa saat
kemudian,
"nasinya sudah matang." Ucap ibu dan aku langsung
berdiri, lalu mengambil kain lap untung mengangkat
panci dari atas tungku.
"makan dulu, biar kuat menghadapi kenyataan." Ucap
ibu mencoba mencairkan suasana.
8
"pasti lah bu, daun singkong itu mengandung zat besi,
dan zat besi bisa menguatkan hati yang rapuh. Apalagi
kalau direbusnya pakai kasih sayang." Ucapku lalu
tersenyum.
"kamu itu, ada aja jawabannya." Ucap ibu sambil
menggelengkan kepalanya pelan.
Setelah makan selesai, aku lalu masuk kedalam
kamarku, untuk melanjutkan kegiatanku tadi. Aku
menghitung lagi uang tabunganku.
Kurang seribu, tabungnku ini berjumlah tujuh ratus
lima puluh ribu. Apa cukup uang ini untuk pendaftaran
kuliah dan membeli segala persiapan untuk masuk
kuliah? Semoga saja cukup. Untuk tempat tinggal dan
nakan sehari - hari, itu nanti saja dipikirkan.
9
BAB III
Mulai Melangkah
10
Aku lalu mengganti pakaianku, setelah itu keluar
kamar menuju dapur.
"ibu kesawah dulu ya nak, itu ada makananmu dimeja."
Pamit ibuku sambil menenteng rantang dan kendi tang
digendong dikain jariknya. Siang hari seperti ini, ibu
pasti kesawah untuk mengantarkan makan siang untuk
bapak.
"iya bu, hati - hati ya." Ucapku dan ibu mengangguk lalu
memakai caping di kepalanya, setelah itu melangkah
keluar rumah.
Aku lalu berjalan kearah meja makan. Hidnagan yang
sangat lezat pun tersaji dimeja makan dan membuat ait
liurku mau menetes. Nasi panas, kulupan daun
singkong rebus, sambel dan lauk tahu tenpe.
Aku mengambil piring plastik, llu mengambil nadi dan
sandingannya. Aku angkat kaki kananku dan aku
letakkan dikursi kayu yang aku duduki ini, lalu piring
pun aku pegang dengan telapak tangan kiriku, lalu aku
makan dengan sangat lahap.
Dan setelah selesai makan, aku mengambil kendi lalu
meminumnya langsung tanpa memakai gelas. Dan ku
duduk di kursi depan rumah sambil memegang arit.
Luar biasa sekali kehidupan yang diberikan Sang
Pencipta ini kepadaku. Aku sangat bersyukur lahir di
keluarga yang sangat luar biasa ini. Semua aku
dapatkan dirumah ini. Kebahagiaan, kasih sayang,
perhatian, dan juga cinta, semua kudapatkan dengan
sempurna disurga yang aku tinggali ini.
11
Berat sekali sebenarnya aku rasakan, karena aku
akan meninggalkan rumah ini. Tapi kalau aku tidak
keluar dari rumah ini, sama saja aku mengubur cita -
citaku.
"mbak." Panggil adikku Andi yang baru pulang sekolah
dan disebelahnya adikku Nita, dengan wajah mereka
yang dipenuhi keringat.
Baju putih kedua adikku yang dikenankan, tampak
berubah menjadi agak kekuningan dan menyempit
ditubuh mereka berdua. Celana biru yang dikenakan
Andi dan rok berwarna merah yang dikenakan Nita,
warnanya juga tampak memudar.
"baru pulang.?" Tanyaku
"iya mbak, mbak Dira mau ngarit?." Tanya Andi
"iya, kalian masuk sana, ganti baju terus makan."
Ucapku
"nanti Andi nyusul ya mbak." Ucap Andi
"terus siapa yang jagain Nita?." Tanyaku sambil melihat
kearah Nita.
"Nita ikut juga lah." Jawab Nita
"gak usah, kalian belajar aja dirumah, sebentar lagi
kalian kan ulangan." Ucapku sambil melihat mereka
berdua bergantian, lalu aku meninggalkan mereka
menuju rumah pak Nyoto.
12
Pak Nyoto ini salah satu orang terkaya di desaku.
Beliau punya banyak sawah, tambak dan juga hewan
ternak. Selain itu, beliau punya istri yang banyak. Dan
sekarang aku mendatangi salah satu rumahnya, yang
ditinggalu salah satu istri mudanya.
Istri mudanya yang ini usianya mungkin sekitar 40
tahunan, berbeda jauh usianya dengan pak Nyoto yang
hampir 70 tahunan. Kelihatanya istri mudanya yang
satu ini, itu dulunya kembang desa.
Aku terus melangkah kearah rumah pak Nyoto,
setelah sampai rumah pak Nyoto, aku langsung menuju
kandang api yang ada dibelakang rumah beliau.
Terlihat belasan sapi pak Nyoto sedang makan rumput
yang persediaannya mulai menipis.
Aku lalu meletakkan aritku dan mengambil air di
ember, untuk mengisi wadah tempat minum sapi. Aku
mengambil air nya disumur yang berada tidak jauh dari
kandang sapi Beberapa kali aku mondar-mandir dari
arah sumur ke kandang sapi, sambil melihat kearah
pintu dapur rumah Pak Nyoto.
Tumben banget Bu Nyoto gak keluar, apa beliau lagi
keluar rumah ya? tapi biarlah, lebuh baik aku mencari
rumput didekat sungai sana.
Setelah wadah tempat air minum sapi penuh, aku
mengambil aritku dan berjalan kearah hutan dipinggir
desa. Didekat hutan itu, ada padang rumput yang
lumayan luas dan letaknya di dekat sungai.
JRABB, JJRABB, JRABB, JJRABB
13
Panas matahari disiang ini, membuat seluruh tubuhku
dipenuhi keringet..
JJRABB, JRABB, JJRABB, JRABB
Setelah lumayan banyak hasil tebasan rumputku, aku
lalu mengikat rumput itu menjadi tiga bagian.
Sambil berjalan kearah rumput yang telah aku ikat.
Aku mengangkat salah satu tumpukan rumput
kepundakku.
Lalu aku berjalan kerumah Pak Nyoto yang jaraknya
lumayan jauh, dan setelah sampai dibelakang
rumahnya, aku meletakkan rumput yang aku panggul
ini ketempat penyimpanan rumput.
Aku melihat kearah belakang pintu rumah Pak Nyoto
dan pintunya juga tertutup. Aku kembali lagi ketempat
tadi, dan mengambil tumpukan rumput yang kedua.
Kembali aku memanggul tumpukan rumput yang
kedua dan aku mengantarnya kerumah Pak Nyoto.
Dan ketika aku sampai dibelakang rumah Pak Nyoto,
tampak pintu belakangnya terbuka. Aku dengan
semangatnya berjalan kearah kandang sapi sambil
sesekali melirik kearah ruang yang terbuka itu.
"Dir" pamggil Bu Nyoto dan aku langsung melihat
kearah Bu Nyoto yang berdiri didepan pintu rumahnya.
"Kamu mau minum apa dir?" tanya Bu Nyoto kepadaku
dengan suara merdu sekali
14
"Teh saja bu." ucapku dengan malu-malu
"Oh, ya sudah, saya ambilkan dulu didalam." Ucap Bu
Nyoto melangkah kearah dalam rumahnya.
"Terimakasih bu." Ucapku sambil membalikkan
tubuhku lalu merapihkan rumput ditempat
penyimpanan rumput.
"Ini dir teh mu" Ucap Bu Nyoto yang berdiri didepan
pintu belakang rumahnya.
Aku lalu membalikkan tubuhku dan melihat kearah Bu
Nyoto yang berdiri sambil memegang gelas yang berisi
teh.
"Pak Nyoto kemana Bu?" Tanyaku sambil berjalan
kearah Bu Nyoto
"Bapak lagi ada undangan didesa sebelah, sebentar
lagi pulang nyusu ibu, terus kami keluar lagi." Jawab Bu
Nyoto
"Duduklah dir" ucap Bu Nyoto sambil melirik kearah
kursi yang tidak jauh dari tempat duduknya
"Oh iya Bu." Ucapku lalu duduk
Kami pun diam beberapa saat, sambil sesekali saling
melirik.
"Kamu mau kuliah ya dir?" Tanya bu Nyoto dengan
serius.
"iya bu" jawabku
15
Duh kenapa Bu Nyoto bahas masalah ini sih? apa
beliau mau mengejekku seperti orang desa yang lain?
"lanjutkan dir, jangan dengar kata orang." Ucap Bu
Nyoto dan aku langsung terkejut dibuatnya
"Kenapa ibu berbicara seperti ini?" tanyaku
"Saya dulu sebenarnya juga mau melanjutkan sekolah
SMK, terus kuliah seperti orang-orang kaya itu." Ucap
Bu Nyoto dengan pandangan yang menerawang
"Terus?" tanyaku
"orang desa seperti saya ini bisa buat apa? selain
karena keluarga saya yang pas-pasan, saya juga
seorang wanita. Sekolah sampai SMP aja, itu sudah
luar biasa" Jawab Bu Nyoto
"Aku juga orang desa Bu, emang orang desa ngga
boleh sekolah tinggi-tinggi ya bu?." Tanyaku, lalu
dengan cueknya mengambil gelas teh yang
dihidangkan, lalu menyeruputnya perlahan.
"pertanyaan yang sebenarnya bisa kamu jawab,
kenapa harus bertanya kepada saya?" Ucap Bu Nyoto
sambil melihat kearahku.
"hehehe" Dan aku hanya tersenyum dengan sinisnya.
"kita ini mempunyai cita-cita yang sama tapi berbeda
jalan Dir" Ucap Bu Nyoto
"maksudnya bu?" Tanyaku
16
"kamu bercita-cita ingin merubah kondisi keluargamu
dengan sekolah setinggi-tingginya, untuk bekalmu
mencari kerja nantinya. Sedangkan saya, ingin
merubah kondisi keluargaku dengan cara menikahi Pak
Nyoto yang kaya raya dan punya banyak istri." Ucap Bu
Nyoto
"itulah kenapa saya bilang sama kamu, lanjutkan dan
tidak usah mendengarkan suara-suara orang yang
meremehkan kita. Mereka itu ya seperti omongannya.
Ketika kita miskin tidak ada yang menandang, bahkan
keluarga dekat sendiripun banyak yang tidak
menganggap. Tapi ketika kita sudah sukses dan kaya,
mereka semua pasti mendekat ke kita dengan
sendirinya. Bahkan saudara yang teramat jauh pun,
pasti menganggap kita keluarga dekatnya." Ucap bu
Nyoto lagi
"bukan seperti itu tujuan saya untuk kuliah bu" Jawabku
dengan santainya
"menangnya apa tujuan mu? mau menunjukkan kalau
orang miskin bisa sekolah tinggi, terus bisa sukses.?
Sama aja dir" Ucap Bu Nyoto dan aku hanya tersenyum
lalu aku meminum teh ku lagi.
"suka atau tidak suka, selagi manusia itu punya nafsu,
segala sesuatu kelebihan yang ada didirinya pasti akan
'dipamerkan'." Ucap Bu Nyoto kembali
"tapi saya tidak punya niat seperti itu bu." Ucapku
"tapi orang bisa melihat dan kamu tidak bisa melarang
orang untuk berkomentar." Jawab Bu Nyoto
17
Hehe, ada aja jawaban Bu Nyoto ini. Ternyata asik
juga ngobrol sama beliau. Selain wajahnya yang cantik,
segala sesuatu yang diucapkannya ada benarnya juga,
walaupun ada beberapa ucapannya yang sedikit
mengganjal hatiku.
"Terserah orang mau ngomong apa Bu, saya sih santai
aja." Ucapku
"itu yang saya suka dari kamu dir. Makanya saya
berpesan seperti tadi, untuk menguatkan cita-citamu
yang juga cita-citaku yang tak kesampaian." Ucap Bu
Nyoto dan aku hanya tersenyum
Aku lalu meminum teh ku hingga habis, lalu aku
berdiri.
"Saya mau kesungai dulu Bu, kasihan teman saya
sudah nunggu dari tadi." Pamitku kepada Bu Nyoto.
"oh iya" Jawab Bu Nyoto lalu berdiri sambil mengambil
sesuatu dari batik kembennya.
"nih upahmu." Ucap Bu Nyoto sambil menyerahkan
segulung uang berwarna kehijauan.
Aku pun terkejut dengan uang yang diberikan Bu
Nyoto itu. Terus terang aku ngga tau berapa jumlahnya
dan pasti itu sangat besar sekali. Aku diam terpaku
sambil melihat kearah Bu Nyoto yang tersenyum
kepadaku.
"ambil lah, maaf saya hanya bisa kasih segini untuk
sangumu." Ucap Bu Nyoto sambil melangkah kearah
18
ku dan meraih tanganku, lalu menggenggamkan uang
pemberiannya ditangan kananku.
Tangan kananku bergetar, bukan karena halus dan
lembutnya tangan Bu Nyoto, tapi karena aku tidak
pernah memegang uang yang berjumlah sangat besar
itu.
"ta ta tapi bu.." Ucapku dengan tangan yang bergetar
dan Bu Nyoto masih menggenggam tangan kananku
dengan erat.
"kamu pasti membutuhkannya." Ucap Bu Nyoto laku
kembali tersenyum.
"nanti kalau sata sudah kerja, saya akan menggantinya
bu." Ucapku dengan suara yang bergetar.
"terserah kamu, yang jelas aku ngga menganggap ini
sebagai pinjaman." Ucap Bu Nyoto yang membuat
kedua mataku berkaca-kaca.
"pergilah mengejar cita-citamu dir. Walaupun banyak
yang mengejek, tapi yakinlah, banyak juga yang
mendukung dan mendoakanmu." Ucap Bu Nyoto
sambil menganggukkan kepalanya pelan.
"te te terimakasih Bu." Ucapku terbata-bata dan aku
langsung berjalan keluar
Kembali Bu Nyoto menggangu kan kepalanya pelan,
sambil tersenyum. Aku lalu keluar dan berjalan sambil
menggenggam erat uang yang ada di tanganku.
19
"dir, arit sama capingmu ketinggalan nih." Ucap Bu
Nyoto memanggilku dan aku langsung membalikkan
tubuhku.
Dan entah apa yang ada dipikiranku, sampai aku bisa
melupakan senjata pamungkasku di depan pintu Bu
Nyoto
"oh iya terimakasih bu." Ucapku sambil mengambilnya
dan memakai capingku
"iya, hati-hati ya dir." Ucap Bu Nyoto sambil tersenyum
dan mengganggukan kepalanya.
"Aku lalu berbalik dan berjalan dengan terburu-buru
kearah hutan sana. Dan ketika sampai ditengah jalan,
aku lalu berhenti dan bersembunyi dibalik sebuah
pohon yang besar dipinggir jalan.
Aku mengapitkan aritku diketiakku lalu dengan tangan
yang bergetar, aku meluruskan uang yang tergulung
digenggamanku ini. Uang berwarna agak kehijauan
bergambar presiden kedua dinegeri khayangan ini,
langsung membuat kedua mataku kembali berkaca-
kaca.
Aku belum pernah memegang uang sebesar ini
walaupun satu lembar. Tapi sekarang, aku memegang
dalam jumlah yang sangat banyak.
Dengan tangan yang semakin bergetar, aku lalu
menghitung dalam hati uang yang diberikan Bu Nyoto
ini.
20
Satu, dua, tiga, empat, lima, ....
Dua puluh lembar uang dan itu berjumlah satu juta.
Luar biasa, banyak sekali Bu Nyoto memberikan aku
uang, in melebihi jumlah uang yang aku tabung mulai
dari SMP.
Aku lalu menggulung uang ini lagi dan menyimpannya
dikantong. Lalu setelah itu aku menenteng arit dengan
tangan kananku dan berjalan kearah hutan lagi.
Dan ketika aku sampai didekat sungai, tampak
temanku sudah berenang ditengah sungai yang
mengalir jernih itu. Dan aku langsung saja masuk
kesungai itu dan,
BYUR, BLUP, BLUP, BLUP.
Aku menyelam kesungai yang agak dalam, lalu
memunculkan wajaku ke permukaan.
"Dir, aku kira kamu ngga jadi kesini" Ucap temanku
sambil berenang kearahku.
"hehehe." Aku hanya tertawa, lalu menenggelamkan
wajahku lagi. Aku mengayuhkan kedua kakiku dan
kedua tanganku, hingga muncul dipermukaan lagi.
"Aku kira kamu dimandiin sama Bu Nyoto dir" Ucap
temanku lalu menenggelamkan wajahnya dan muncul
lagi.
"kurang ajar, kamu kira aku sapi dimandiin" Ucapku
dambil memercikkan air kearah wajah temanku itu.
21
"hahaha." Dan temanku hanya tertawa saja.
"dimana sabunmu?" Tanyaku.
"itu loh" ucap temanku sambil menunjuk kearah
pakaiannya yang ada didekat pakaiannya
Aku lalu berjalan kearah yang ditunjuk temanku. Aku
memakai sabun yang dibawanya, lalu aku memakai
sampo yang sisa sedikit didalam sacet itu. Setelah itu
aku menceburkan diri kesungai lagi.
Dan setelah bersih, kami berdua lalu naik keatas
sungai dan duduk diatas batu besar.
Oh iya, aku tinggal di Desa Sumber Banyu. Dan nama
desaku ini, berasal dari mata air sungai ini yang
memang ada di desaku. Sementara sungainya
mengalir kebawah dan membelah Desa Jati Luhur dan
Desa Jati Bening.
Aku memandang kearah aliran sungai itu, dengan
sinar matahari yang mulai tenggelam diujung barat
sana.
Pemandangan yang sangat indah dan cantik ini, pasti
akan aku rindukan ketika aku pergi dari desa ini. Airnya
bening dan segar, serta anginnya yang sejuk, pasti
akan membuat aku ingin kembali.
"Gimana dir?" Tanya temanku
"Ngga gimana-gimana, kujalani hidup ini, seperti air
sungai ini mengalir sampai ke laut lepas." Ucapku
dengan pandangan lurus kedepan.
22
"Selamat berjuang kawan, aku bukan pelaut yang
handal dan aku tidak mempunyai perahu yang besar
untuk mengarungi samudera yang luas." Ucap
temanku dengan bahasa negeri khayangan ini.
"pelaut yang handal, belum tentu mempunyai perahu
yang besar. Bisa saja dia membuat rakit, lalu dengan
kenekatannya, dia akan menaklukkan samudra yang
luas itu." Ucapku
"itu alasannya aku bangga menjadi sahabatmu, kamu
orang yang nekat." Ucap temanku sambil menepuk
pundakku pelan.
"kenekatan ini, juga karena ada kamu disampingku.
Kamu sahabatku dan kita melakukan apapun dari nol.
Kita sama-sama pernah menganggur dua tahun
setelah SMP, terus ngamen, terus lanjut ke SMK"
ucapku sambil meliriknya. Aku mengucapkan ini
sekalian ingin merayunya untuk kuliah bersama.
"hehe, aku jaga kandang aja. Kalau kita berdua pergi
dari desa ini barengan siapa yang jaga Desa Sumber
Banyu." Ucap temanku dan aku hanya menggelengkan
kepalaku pelan.
"kamu itu ngomong apa sih?" Tanyaku
"haha, ayo pulang, sudah mau gelap ini" Ucap temanku
sambil berdiri.
"iyaa ayo." Jawabku sambil berdiri dan berjalan
menyusul temanku.
23
Aku merogoh kantongku dan gulungan uang
pemberian Bu Nyoto, masih ada dikantongku. Lalu aku
memakai capingku, dan mengambil aritku lalu aku dan
temanku berjalan kearah desa dengan suasana hari
mulai gelap.
24
BAB IV
Jalan Menuju Impian
25
Aku duduk dibalai-balai bambu yang ada diteras
sambil menunggu kedatangan Joko diteras rumahku.
Rencananya pagi ini kami berdua mau mengamen di
terminal untuk terakhir kalinya, karena besok aku
sudah berangkat ke Kota Pendidikan.
Sambil melihat kearah rumah Pak Tejo yang sangat
ramai sekali. Tampak keluarga besar mereka sedang
berkumpul dan memakai pakaian yang sangat bagus
sekali. Orang tua laki-laki memakai baju batik dan yang
perempuan memakai kebaya. Sedangkan yabg muda
dan anak-anak, memakai pakaian mereka yang paling
keren.
Tak lama kemudian Joko, teman seprofesi ku pun
datang. Aku lalu berdiri dan masuk kedalam kamarku,
untuk mengambil gitar usangku. Lalu setelah itu aku
pamit kepada kedua adikku dan keluar rumah.
"Bu, Dira mau ke terninal." Pamitku kepada ibu yanh
masih berdiri di depan balai-balai, sambil menjulurkan
tanganku kearah beliau.
"hati-hati ya nak." Ucap ibuku dan aku langsung
mencium tangan beliau.
"izinkan ananda untuk menjemput rezeki dengan suara
emas ini, didepan jutaan penonton yang menanti."
Ucap Joko dan ibuku hanya menggelengkan kepala
sambil tersenyum.
DUNG, TAK, DUNG,
26
Joko menabuh gendang paralon lagi ketika melewati
Bu Tejo dengan agak kuat, tanpa melihat kearah
beliau.
"udah, ayo jok" Ucapku sambil berjalan
Dan ketika kami sampai diperbatasan desa, kami
berpapasan dengan Cak To yang sedang mengayuh
becaknya.
"Cak To, kerumah ya. Ibu mau kepasar." Ucapku
kepada Cak To
"oalah oke siap Dir." Sahut Cak To sambil
mengacungkan jempolnya.
Lalu sebuah mobil pick up dari arah belakang kami,
berhenti disamping kami.
"mau ke terminal kah jok?" Ucap pak supir kepada joko,
pak supir ini tinggal di desa sebelah.
"iya lek" (lek = paman) Jawabku
"oh yasudah, ayo naik" Ucap pak supir.
BRUMM, KRATAK, KRATAK,
Pick up pun langsung berjalan dengan agak tersendat
dan mengeluarkan asap tebal.
"pelan-pelan lek, bukan kambing yang dibelakang ini."
Teriak Joko
"mbee" Sahut pak supir.
"hahaha" Joko tertawa sambil menggelengkan kepala.
27
Mobil pun berjalan pelan dan langsung mengarah ke
terminal kabupaten ini.
Beberapa saat kemudian, ketika kami sampai didekat
terminal, mobil ini semakin pelan. Aku dan Joko pun
langsung loncat dari mobil.
Buhgg..
Bunyi hentakan sepatuku ketika menginjak aspal
"terimakasih lek." Ucapku dan Joko. Pak supir hanya
mengangkat jempolnya sambil menginjak gas nya lagi.
"langsung masuk ke terminal atau kepasar dulu?"
Tanya Joko
"pasar aja dulu yo, keliatan nya rame" jawabku sambil
melihat kearah pasar yang ramai sekali.
"oke siap." Jawab Joko dan kami membelokkan tuhuan
kami kearah pasar.
Dan ketika kami memasuki pasar, beberapa preman
sedang berkumpul dan sedang berpesta minuman.
"Jok, mau ngamen kah?" Panggil salah satu preman
yang menguasai pasar ini.
"iya cak" Jawab joko dan kami berjalan kearah mereka.
"oh, yaudah silahkan." Ucap sang preman
"terimakasih cak." Ucapku kepada para preman yang
ada disana.
28
Setelah kami sudah berada di emperan sebuah toko
dan akan memulai sebuah lagu kami.
JRENGG,
Bunyi petikan gitarku.
DUNG, TAK,
Bunyi gendang Joko
"yok mulai" ucap joko sambil melangkahkan kakinya
kearah warung makan yang ada di dalam pasar.
"lagu apa?" Tanyaku sambil memegang gitarku.
"iming-iming." Jawab Joko
"yu ah." Jawabku
"permisi bapak-bapak dan ibu-ibu, izinkan kami untuk
menghibur anda-anda semua." Ucap joko sambil terus
menabuh gendangnya. Dan semua yang ada di dalam
warung makan ini cuek dan asyik dengan kegiatannya
masing-masing.
"SEMONGKOO!!." Teriak Joko dan semua yang ada
didalam pun langsung terkejut sambil melihat kearah
kami.
Aku lalu berjalan masuk kedalam warung makan,
sambil menyodorkan plastik kosong kepada mereka
semua. Uang logan seratus dan lima ratus, mulai
maduk kedalam kantong plastik yang aku pegang. Ada
juga yang memasukkan beberapa rokok dan ada juga
yang hanya melambaikan tangan, tanda minta dilewati.
29
"Terimakasih semuanya, semoga sang pencipta yang
membalas." Ucap Joko mengakhiri.
Kami mengamen dari warung makan kewarung
makan lain yang ada di pasar dan terminal, lalu kamu
baik satu bis terus ke bis yang lain. Dan kamu terus
mengamen sampai jam satu siang.
Lalu setelah itu kami beristirahat diluat terminal,
diemperan sebuah rumah makan yang agak besar.
"Jadi gimana? besok kamu jadi berangkat?." Tanya
Joko sambil duduk lesehan lalu menyeruput kopi panas
yang kami pesan.
"iya jadi jok, kamu beneran gamau iku?" Tanyaku
"enggak." jawab jomo sambil menggeleng kepala pelan
sambil meletakkan gelas kopinya.
"oh yasudah." Ucapku sambil menyeruput kopiku.
Aku menatap lurus kedepan dan melihat kendaraan
yang berlalu lalang serta orang-orang yang sibuk
dengan kesibukannya. Aku pasti akan melihat suasana
seperti ini dikota pendidikan, ketika aku mengamen
untuk kuliahku nanti
Dengan orang-orang baru, pemandangan baru,
kesibukan yang baru, tapi mungking dengan rasa yang
sama. Sama-sama mengandalkan petikan gitar dan
suara yang alakadarnya.
Aku akan meninggalkan orang-orang yang
mencintaiku dan orang-orang yang membenciku. Dan
30
mereka mempunyai cara masing-masing sebagai
penyemangat untuk impianku ini.
Aku tidak pernah marah dengan mereka yang
membenciku atau yang tidak menyukaiku. Justru aku
berterimakasih, karena berkat mereka aku semakin
kuat dan aku semakin bersemangat.
Aku itu orangnya tidak bisa terlalu lama marah atau
malah membenci orang yang melukai aku. Kata ibuku,
'kalau ada yang membencimu jangan balas
membencinya. Doakan saja yang terbaik untuknya.'
31
BAB V
HARI MENUJU IMPIAN
32
Aku terbangun ketika mendengar suara kesibukan
dari arah dapur. Mataku langsung terbuka dengan lebar
dan aku langsung melihat jam dinding tua yang ada
dikamarku, pukul 04.50
Sudahlah, lebih baik sekarang aku bangun aja. Aku
menolehkan wajahku kearah kiri dan tidak ada Nita
disebelahku. Aku lalu bangun dan keluar kamarku,
menuju kearah dapur. Tampak ibu, Andi, dan Nita
sedang memasak bersama.
Bau harum semerbak masakan Ibu langsung tercium
dari hidungku. Ini masakan yang paling aku sukai dan
ibu biasa memasaknya satu tahun sekali, yaitu hanya
pada saat hari raya. Soto ayam kampung dan lontong,
makanan khas kabupaten sebelah.
"loh, tumben sudah pada bangun? Memang ada acara
apa sampai memasak seperti ini?." Tanyaku
"sudah bangun nak?." Tanya ibuku tanpa menjawab
pertanyaanku dan kedua adikku hanya tersenyum
"iyalah bu, kalau belum bangun mana bisa Dira
kedapur." Ucapku sambil melangkah kearah mereka.
"sudah disiapin semua perlengkapan yang mau
dibawa?." Tanya ibuku lalu tersenyum. Wajah ibu
terlihat ceria dan tidak tampak kalau habis menangis
semalam.
33
"sudah bu." Jawabku singkat sambil membuka tutup
panci yang ada diatas tungku.
"cek lagi, siapa tau ada yang belum dimasukkan." Ucap
ibuku dan aku langsung melihat kearah ibu.
" iya bu." Ucapku sambil menutup panci.
Aku lalu melangkah kearah kamarku lagi, setelah itu
mengecek semua barang bawaanku yang telah aku
masukkan kedalam tas punggung yang baru dibelikan
ibu kemarin. Pakaian baru dan beberapa pakaian lama,
ijazah, serta perlengkapan mandi, sudah aku
masukkan. Uang tabunganku yang sudah aku tukarkan
dan uang pemberian Bu Nyoto pun sudah aku lipat
ditempat yang paling tersembunyi.
"Nak." Panggil ibuku dari arah belakangku.
Aku lalu menoleh dan melihat kearah wajah ibu yang
tersenyum.
"iyaa bu." Ucapku sambil membalikkan tubuhku dan
membalas senyuman ibu.
Ibu lalu meraih tangan kananku dengan tangan
kirinya, lalu dengan tangan kanannya, beliau
menyelipkan sesuatu ditelapak tanganku yang terbuka,
lalu memaksaku untuk menggenggamnya.
"apa ini bu?" Ucapku sambil mencoba untuk membuka
telapak tanganku, tapi ibu menahannya.
Sebenarnya aku bisa saja membuka paksa
genggaman tangan ibu ditelapak tanganku, tapi aku
34
tidak melakukannya. Aku takut itu malah membuat
tangan inu sakit dan akan marah kepadaku.
Sejenak aku merasakan apa yang ada digenggaman
tanganku ini. Duh, ini kan uang kertas? Untuk apa ibu
memberikan aku uang seperti ini? Kebutuhan ibu kan
masih banyak?
"simpanlah nak, kamu pasti membutuhkannya." Ucap
ibuku lalu kembali tersenyum.
"untuk apa bu? Dira ada uang dan ibu ngga perlu
memberikan uang seperti ini." Ucapku dengan nada
yang sangat sedih sekali.
"jangan merusak kebahagiaan ibu dan bapak dipagi ini,
dengan penolakanmu Dir." Ucap ibuku dan sekarang
wajah beliau terlihat serius sekali.
"ta ta tapi bu" Ucapku
"ibu tau Dira ini anak yang sangat baik dab perhatian
kepada keluarga. Kewajibanmu sebagai anak, sudah
sangat luar biasa sekali. Terus apa salahnya kalau
sekarang kamu mendapatkan hakmu sebagai seorang
anak?" Ucap ibuku dan semakin membuat mataku
perih, disertai air mata yang ingin menetes.
Ibu langsung melepaskan genggamannya ditanganku
dan langsung memelukku dengan sangat erat sekali.
"cukup sudah tetesan air mata ini nak. Dira sekarang
boleh meneteskan air mata, tapi ketika nangi
melangkah keluar rumah, tegakkan kepalamu dan
35
tersenyumlah menghadapi dunia. Jadi ketika Dira balik
kerumah kelak, dunia yang akan tersenyum kepada
kita." Ucap ibu sambil melepaskan pelukan.
Aku menunduk sambil memasukkan uang pemberian
ibu yang tidak sku hitung jumlahnya ini, kedalam tasku.
Baiklah bu, baik, uang dan doa restu yang ibu berikan,
akan menjadi penyemangatku untuk meraih semua
impianku, aku akan kembali kerumah ini dan membuat
semua keluarga kita tersenyum.
Walaupun segala kebutuhan keluarga kami dibilang
kurang dari cukup tapi ibu masih memberikan aku
sangu untuk kuliah.
Hidup ini memang keras, tapi aku sudah terbiasa
dengan kerasnya hidup dijalanan. Banyak yang aku
dapatkan dijalan dan itu yang akan menjadi salah satu
modalku.
Impianku ini mungkin seperti khayalan yang tidak
skan tercapai, bagi orang yang kurang mampu. Tapi
bagiku, apa yang tidak bisa didapat ketika tekad sudah
membulat.
Aku menarik nafasku dalam-dalam, lalu aku keluarkan
perlahan. Aku pandang wajah kedua orang tua ku yang
sudah mulai menua ini, lalu aku tersenyum.
"inilah Dira, Andira Dyandra. Anak kebangganku."
Ucap bapakku lalu memelukku.
Sedih?. Sungguh sangat sedih yang aku rasakan.
36
Berat? tentu saja, siapa yang tidak berat meninggalkan
keluarga dalam waktu yang tidak sebentar. Walaupun
aku bisa saja balik seminggu sekali, karena jarak kota
tempat aku tinggal dengan Kota Pendidikan hanya
beberapa jam.
Lalu? Ya aku harus terus melangkah, berusaha dan
berjuang untuk meraih semua impianku. Karena meraih
impian tidak semudah yang dipikirkan orang. Tenaga,
pikiran, keringat, dan air mata pasti akan keluar,
mungkin juga darah.
Setelah itu, aku dan adikku Nita pergi ke sungai untuk
mandi. Dan setelah selesai mandi, kami berdua
mengeringkan tubuh dan bersiap untuk kerumah Mbah
yang ada du pinggiran desa.
Mbah yang kami datangi ini, orang tua dari Bapakku.
Sedangku orang tua dari ibu, tinggal di Desa Jati
Bening.
""mba ngga pamit ke desa jati bening?" Tanya Nita
sambil melangkah kearah pinggiran desa bersamaku.
"sudah kemarin lusa." Jawabku.
"oohh" Ucap Nita sambil mengangguk pelan
Ketika kami berjalan dan mengobrol sepanjang jalan,
tak terasa matahari sudah mulai menampakkan
wujudnya dan akhirnya kami pun sampai didepan
rumah Mbahku yang ada dipinggiran desa.
37
"Mbah kung." Ucapku ketika melihat Mbah Kung
sedang duduk diruang tengah sambil menikmati
kopinya.
"kapan kamu berangkat ke kota pendidikan nduk?"
Tanya Mbah Kung tanpa basa basi ketika melihatku.
"sebentar lagi mbah." Ucapku sambil masuk dan
meraih tangan kanan Mbah Kung lalu menciumnya, lalu
bergantian Nita yang meraih tangan Mbah Kung dan
menciumnya juga.
"sudah siap-siap?" Tanya Mbah Kung lalu meraih
cangkir yang berisi kopi dan meminumnya.
"nduk." Ucap Mbah Putri yang keluar dari arah dapur.
"eh, iya Mbah Putri." Ucapku lalu aku meraih tangan
Mbah Putri juga dan menciumnya.
"jadi berangkat nya?" Tanya Mbah Putri.
"jadi mbah, sebentar lagi aku berangkat." Jawabku dan
Mbah Kung langsung berdiri masuk kedalam kamar.
"ini sangu buatmu Dir." Ucap Mbah Kung sambil
membawa sekarung beras dan sebuah biola tua
peninggalan dari buyutku.
"serius ini Kung?" Tanyaku dengan senangnya, karena
aku sangat suka sekali bermain biola.
"bawalah nduk, mungkin dengan biola ini bisa lebih
bermanfaat dan bapakku padti akan senang sekali
38
diatas sana." Ucap Mbah Kung dan aku langsung
mengambilnya dengan senang sekali.
"Sarapan dulu nduk." Ucap Mbah Putri
"engga mbah, terimakasih. Aku mau langsung pulang
aja, soalnya sebentar lagi mau berangkat. Bapak sama
ibu pasti sudah menunggu dirumah." Ucapku
Aku ngga mau lama-lama disini, dari pada nanti ada
acara tangis-tangisan lagi. Untungnya kedua Mbahku
paham dan beliau langsung menganggukan kepala.
Aku lalu pamit dan mencium kedua tangan mbahku
ini, setelah itu aku langsung balik kerumah bersama
Nita.
"lama banget sih mandinya?" Tanya Andi yang sudah
menunggu di depan rumah.
"iya, tadi mampir kerumah mbah kung dulu." Jawabku
dan aku langsung merangkul Andi dengan tangan
kanan, sedangkan tangan kiriku memegang kotak
biola.
"Loh dapet sangu dari Mbah Kung?" Tanya bapakku
ketikan melihat aku membawa kotak biola, dan Nita
membawa beras.
"iya pak, buat mbak Dira." Sahut Nita sambil
meletakkan berasnya didekat kamar.
"ya sudah, kita makan dulu." Ucap ibu kepada kami.
39
Setelah makan pagi, aku pun masuk ke kamar dan
mengganti pakaianku serta menyiapkan semua barang
bawaanku. Satu tas punggung, satu gitar, dan satu
biola. Oh iya satu lagi, beras bawaan dari Mbah Putri
yang ada didepan kamar.
Aku memandang seluruh kamarku ini sejenak.
Hmm, aroma lantai kamarku ini pasti akan membuatku
semakin rindu dengan rumah ini. Kehangatan,
keceriaan, canda, tawa, dan, cukup-cukup, nanti aku
sedih dan semakin berat untuk meninggalkan rumah
ini.
Aku memakai tas punggungku, setelah itu
menggantungkan gitar dipundak kananku dan kotak
biola yang ku pegang ditangan kiri. Aku menarik
nafasku dalam-dalam, lalu aku keluar kamarku.
Bapak, ibu, dan kedua adikku menyambutku diruang
tengah dengan senyuman hangat mereka.
"mbak, dikota pendidikan kan dingin. Jadi mbak pakai
ini ya." Ucap Nita sambil memberikan aku sebuah
sweater yang agak tebal.
"kamu yang beli dek?" Tanyaku.
"sudah ngga usah banyak tanya." Ucap ibuku dan sku
hanya menunduk sebentar, lalu aku mengambil
sweater ditangan Nita.
"sini mbak, barangnya aku bawa ke becak Cak To."
Ucap Andi.
40
"loh, siapa yang panggil?" Tanyaku
"kemarin sudah dipesan sama ibu, Itu Cak To nya
sudah didepan rumah." Ucap Andi sambil meraih
gitarku dan kotak biolaku, lalu membawanya.
"Dira pamit ya bu." Ucapku sambil melangkah kearah
ibu.
"hati-hati ya nak. Raihlah impianmu dan doa ibu selalu
menyertai mu." Ucap ubu dan aku langsung meraih
tangan beliau dan menciumnya. Ibu memegang kedua
pipiku dan langsung memelukku dengan erat.
"sudah ah, nanti nangis lagi loh." Celetuk bapak, dan
ibu langsung melihat kearah bapak sambil tetap
memelukku.
"kamu pasti bisa nduk." Ucap napak sambil mengelus
pundakku.
Aku lalu memeluk beliau dan beliau hanya menepuk-
nepuk punggung ku pelan, setelah itu kami berdua
melepaskan pelukan ini.
"Dira pamit." Ucapku lalu aku membalikkan tubuhku
dan keluar dari rumahku.
Gemuruh didalam hatiku ini, membuatku melangkah
tanpa menunggu jawaban dari mereka semua. Aku
takut berlama-lama lagi, dan tangisku pasti akan
pecah.
Aku juga tidak mau diantar oleh semua keluargaku,
walaupun hanya ke terminal kabupaten. Dirumah aja
41
sesedih ini, apalagi ketika aku naik bis sambil melihat
wajah mereka semua. Bisa banjir air mata nanti.
Aku tersenyum kepada Cak To yang sudah
menunggu ku dan ketika aku akan naik ke becaknya,
aku melihat beras yang dibawakan Mbah Putri tadi,
terlihat makin banyak isinya.
Kenapa berasnya ditambahin? kenapa ngga buat
dirumah aja sih? Tapi kalau kali ini aku bersuara, pasti
ibu akan mengomel. Aku pun naik ke becak Cak To
sambil melambai kearah keluargaku dan becak pun
berjalan pelan meninggalkan surga duniaku ini.
Cak To pun mengayuh becaknya kearah terminal.
Akhirnya aku tinggalkan desa yang sebenarnya
sangat damai dan tenang ini. walaupun ucapan
sebagian penduduk desa ini panas untuk didengar,
sebenarnya mereka itu orang-orang baik. Akupun
merasa tidak pernah punya masalah dengan semua
penduduk desa ini. Bagiku semua orang di desa ini
adalah keluargaku.
Beberapa saat kemudian, kami pun sampai didepan
terminal kabupaten. Aku lalu turun dan menurunkan
semua barang bawaanku. Setelah itu aku merogoh
uamg yang ada dikantong depanku, lalu mengambil
beberapa lembar dan aku berikan ke Cak To
"gratis" Ucap Cak To menolak pemberianku.
"Kok gitu cak?" Tanyaku.
42
"biarkan kayuhan kakiku ini, mengantarkan mu kejalan
impian yang kamu tuju, dengan keikhlasan hatiku Dir.
Semoga kamu bisa membuat bangga orang-orang
yang mendukung dan menyayangimu." Ucap Cak To
lalu tersenyum.
"jangan gitu cak, jangan buat aku berhutang budi cak."
Ucapku.
"justru aku yang berhutang budi sama kamu. Kamu
mempunyai semangat yang sangat luar biasa dan
anakku harus mempunyai semangat seperti kamu.
Ucap Cak To sambil meninggalkan aku yang
terbengong mendengar ucapannya itu.
Banyak banget yang mendukung dan mendoakanku.
Aku tidak akan membuat mereka semua kecewa dan
aku harus membuat mereka bangga.
Aku lalu mengangkat semua barang bawaanku ini dan
masuk kedalam terminal. Aku lalu menaiki bis yang
dikendarai oleh Cak Ndut. Aku duduk dan satu persatu
penumpang mulai naik dan memenuhi bis Cak Ndut ini.
Dan ketika bis Cak Ndut mulai berjalan, aku melihat
joko yang berlari mengejar bis ini. Lalu Cak Ndut
memperlambat jalan bis nya, dan joko menaiki Bis.
"kok aku ditinggal sih dir." Ucap joko sambil mengatur
nafas nya.
"loh, kamu mau kuliah bareng sama aku?" Tanyaku
dengan senangnya.
43
"nggak, aku mau nganterin kamu aja." Jawabnya dan
aku tau dia berbohong. Tidak mungkin dia cuma
mengantarkan aku, tapi membawa tas punggung dab
bawaan di dalam tasnya terlihat banyak.
"dapat uang dari mana buat daftar kuliah jok." Tanyaku
sambil meliriknya.
"siapa yang mau kuliah sih? Aku cuma mau nganter
kamu aja, biar ngga tersesat." Jawab Joko sambil
meletakkan gitar.
Lalu kami melanjutkan perjalanan, hingga tak terasa
kami pun tiba di terminal Kota Pendidikan.
Dan ketika itu pun aku tercengang melihat gedung
kampus yang aku inginkan selama ini. Sungguh sangat
tak percaya aku bisa sampai ditempat ini.
Hingga keesokan harinya, aku mencoba mendaftar di
kampus itu, dan ternyata aku diterima di kampus
tersebut. Aku dan joko menjalani hari-hari ku dengan
tinggal di kos-kosan, dan mengamen untuk bisa
menjalani hari. Hingga tiba waktu yang aku tunggu-
tunggu, aku diwisuda. Dan aku berhasil membuat
orang tuaku bangga, dan membuat semua orang-orang
desa percaya bahwa aku bisa membuktikan semua
omongannya.
44
PENUTUP
Dengan selesainya dari tugas
cerpen ini yang dapat saya tulis
mengenai cerita yang berjudul
"Duniaku". Didalam cerpen ini
memiliki banyak unsur yang
membangunnya seperti tokoh,
latar, peristiwa, konflik dan lainnya.
Setelah menyelesaikan tugas cerpen ini, yang dapat
saya ambil kesimpulan adalah kita bisa mengetahui
makna atau pesan dari cerita tersebut dan dapat
dijadikan teladan untuk pembaca.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
45
BIOGRAFI PENULIS
Penulis bernama
lengkap Nely Pratiwi, atau biasa disebut
dengan panggilan Nely. Lahir pada 14 Agustus
2006 di Bekasi. Menempuh pendidikan di SDN
03 Cipinang Melayu (2013-2019), SMPN 109
JAKARTA (2019-2022), dan yang saat ini
sedang ditempuh SMKN 66 JAKARTA.
Memiliki hobi mendengarkan musik dan
bernyanyi.
46