The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by munfangatamin2, 2021-10-14 16:15:11

wellbeing

wellbeing

Keywords: well,being

Pembelajaran

Well-being

14/10/21 20.50 Student Well-being – Universitas Tanjungpura

Student Well-being

Posted by Categories Date Comments
KURNIADI
 BERITA KAMPUS, LINTAS PAKAR  NOVEMBER 11, 2020  0 COMMENT

https://www.untan.ac.id/student-well-being/ 1/3

14/10/21 20.50 Student Well-being – Universitas Tanjungpura

STUDENT atau “peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui
proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu”, dikutip dari UU RI No.
20/Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Peserta didik di negara ini adalah “Pelajar Pancasila”, yakni pembelajar sepanjang hayat (live long learning),
memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai nilainilai Pancasila, memiliki karakteristik utama, yakni: beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, bernalar
kritis, kreatif, dan mandiri.

Student atau peserta didik memiliki kedudukan sentral atau main customer dalam sistem pendidikan, maknanya
adalah muara dari seluruh sistem pendidikan adalah peserta didik (student). Apapun yang dilakukan di dunia
pendidikan dimaksudkan untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan pesera didik, dan siapapun yang bekerja
di dunia pendidikan, baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya, orientasi pikiran, sikap, tindakan dan pelayanan
yang diberikannya tertuju pada kepentingan peserta didik, jika pelanggan utama (main customer) nya tidak untuk
kepentingan peserta didiknya, menurut penulis akan lebih baik jika mereka meninggalkan pekerjaannya di bidang
pendidikan, cari pekerjaan lain. Dan outcome dari keseluruhan proses pendidikan dan pengajaran bagi peserta didik
adalah peserta didik (student) menjadi manusia pembelajar (learning person). Johnson, Musial, Hall dan Collnick
(2018) dalam bukunya “Foundation of American Education” menegaskan, “major job of all education is to help
student learn”.

Sudah on the trace jika selama ini, satu indikator penilaian kinerja guru diukur dari sejauhmana seorang guru
melahirkan peserta didiknya menjadi manusia pembelajar.

Peserta didik (student) tidak hidup di dunia yang vakum, mereka hidup di dunia yang terbuka, dipengaruhi oleh
berbagai hal, baik bersifat positif maupun negatif. Besarnya pengaruh dari luar dirinya, maka semua peserta didik
wajib mendapat pembimbingan dari orang dewasa agar mereka bertumbuhkembang dengan baik

Menghadapi pengaruh dari luar yang sangat kuat, seperti pengaruh wabah COVID 19 sekarang ini, maka semua
peserta didik wajib memiliki well-being yang baik. Well-being adalah kondisi mental dan emosi yang relatif
konsisten, memiliki beberapa ciri berikut ini: (1) perasaan dan sikap positif; (2) hubungan positif dengan orang lain di
lingkungan sekolah; (3) daya lenting; (4) pengembangan potensi diri secara optimal; dan (5) tingkat kepuasan yang
tinggi terhadap pengalaman belajar”, dikutip dari Weilin Han (2020) dalam artikelnya berjudul “Membangun Pola
Pikir Positif dan Relasi Positif sebagai Kekuatan Kerangka Well-being”.

Kerangka kepositifan (keadaan emosi positif yang berkelanjutan sebagai dampak dari penerapan pola pikir yang
positif saat berhadapan dengan berbagai situasi yang dihadapi siswa selama bersekolah) dibangun dari kekutan emosi
positif (emosi yang membangun dan menunjang siswa dalam beraktivitas) dan pola pikir positif (pola pikir
konstruktif yang dipakai untuk mempertahankan kondisi emosi yang positif).

Melalui kerangka well-being ini kebiasaan berpikir negatif yang sangat menguasai (80%) umat manusia dan
berpengaruh para perilakunya sekarang ini dapat dirubah menjadi kebiasaan berpikir positif yang pada gilirannya
berdampak pada perilaku positif pula.

Tantangan perubahan pola pikir (mindset) masa pandemic COVID 19, seperti sikap mental nyaman dengan
ketidaknyamanan, sikap kemauan untuk belajar, orientasi utama kepada murid, dan menurunnya kecemasan terhadap
teknologi dapat dipertahankan untuk dilakukan.

Sebuah ilustrasi membangun kerangka well-being (kepositifan dan relasi yang positif) pada mahasiswa terhadap
wabah COVID 19, penulis lakukan dengan menanyakan mellui angket secara online kepada 150 mahasiswa/i
mengenai ketrampilan baru apa-apa saja yang terbentuk pada diri mereka sejak pandemic. Datanya sangat
mengejutkan penulis, setidaknya setiap mahasiswa menuliskan setidaknya 3 (tiga) kebiasaan baru bersifat positif
terbentuk sebagai respons dari wabah corona selama ini, seperti hidup lebih efesien dari sebelumnya, lebih peduli
terhadap pola hidup bersih dan sehat. Kehidupan dengan kebiasaan baru bersifat positif seperti ini harus
dipertahankan, bahkan dikembangkan.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, selain pola pikir positif, well-being juga terkait dengan relasi positif.
Relasi atau hubungan positif adalah pola interaksi social antara siswa dengan siswa lain, guru dan staf sekoah yang
didasari oleh nilai –nilai prososial (Weilin Han, 2020).

https://www.untan.ac.id/student-well-being/ 2/3

14/10/21 20.50 Student Well-being – Universitas Tanjungpura

Beberapa asumsi menjelaskan pentingnya relasi positif guna meningkatkan kecerdasan emosi anak, diantaranya: (1)
perasaan positif yang dirasakan siswa bersumber dari rasa terhubung atau terkoneksi dengan berbagai kalangan di
sekolah, muncul perasaan nyaman dan diterima di sekolah; (2) mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan
kegiatan keorgnisasian siswa lainnya; (3) lingkungan fisik seperti ruang hijau, fasilitas; dan (4) status dan prestasi
sekolah menimbulkan rasa bangga pada diri siswa.

Guna mengefektifkan hubungan sosial emosional di kalangan warga sekolah, maka pihak sekolah perlu melakukan
pemetaan hubungan (mapping relationship) warga sekolah, guna mengetahui sejauhmana hubungan social dan
emosional di kalangan warga sekolah, seperti hubungan sosial emosional antara siswa dengan siswa, siswa dengan
guru, kepala sekolah dengan guru. Banyak riset membuktikan bahwa, hubungan social emosional diantara warga
sekolah berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar peserta didik.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa kekuatan kerangka Student Well-being dapat dibentuk melalui sejauhmana pihak
sekolah membangun pola pikir positif dan relasi positif di kalangan warga sekolah.

Mengingat pentingnya Student Well-being ini, pemerintah mengharuskan materi Student Well-being menjadi materi
yang harus dipahami oleh calon kepala sekolah sebelum mereka diangkat menjadi kepada sekolah sebagaimana
terdapat pada Peraturan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud RI, No.
3813/B.B1/HK/2020.

Terkait dengan Student Well-being, bapak Nadiem Anwar Makarim selaku Mendikbud RI menghimbau guru mulai
melakukan perubahan kecil dari ruang kelas, ajaklah kelas berdiskusi bukan hanya mendengar, berikan kesempatan
kepada murid untuk mengajar di kelas. Cetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas. Temukan bakat
dalam diri murid yang kurang percaya diri. Tawarkan bantuan kepada guru yang mengalami kesulitan mengajar.
Apapun perubahan kecil itu, jika setiap guru melakukannya secara serentak, kapal besar bernama Indonesia ini pasti
akan bergerak”, dikutip dari Tempo, 8 Nopember 2020 (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)

Tag: dosen fkip, dr aswandi, informasi, lintas pakar, mahasiswa, pakar
pendidikan, penelitian, rektor, UNIVERSITAS TANJUNGPURA, untan

https://www.untan.ac.id/student-well-being/ 3/3

MAKSIMALISASI FUNGSI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING
UNTUK MENCIPTAKAN KESEJAHTERAAN SISWA (STUDENT WELL-

BEING) DI SEKOLAH

Muhammad Arsyad, M. Psi., Psikolog
Program Studi Bimbingan dan Konseling Jurusan Ilmu Pendidikan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat

[email protected]

ABSTRAK

Salah satu factor yang mempengaruhi hasil pembelajaran dan
perkembangan adalah kesejahteraan. Kesejahteraan siswa merupakan
suatu keadaan yang berkesinambungan dari kondisi mood positif dan
sikap, ketahanan (resiliensi) dan kepuasan diri, keamanan sekolah dan
kesehatan mental. Untuk mampu mewujudkan kesejahteraan siswa di
sekolah perlu adanya suatu lembaya yang berperan sebagai pembinaan
siswa di sekolah. Salah satu subbidang pembinaan siswa di sekolah adalah
dengan adanya layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Mkasimalnya
fungsi layanan bimbingan dan konseling dapat menunjang terwujudnya
suatu kesejahteraan bagi siswa di sekolah. Artikel ini bertujuan mengkaji
maksimalisasi fungsi layanan bimbingan dan konseling untuk
menciptakan kesejahteraan siswa di sekolah. Kesejahteraan siswa di
sekolah dapat terwujud dengan tujuha jalur menuju siswa sejahtera, yaitu
membangun komunitas sekolah yang saling mendukung, menghargai dan
terbuka; mengembangkan nilai-nilai prososial; menyediakan lingkungan
belajar yang aman; meningkatkan pembelajaran sosial-emosional;
menggunakan pendekatan berbasis kekuatan; menumbuhkan rasa
kebermaknaan dan tujuan; dan mendorong siswa untuk bergaya hidup
sehat. Tujuh jalur tersebut dapat diwujudkan dengan dimilikinya suatu
sumberdaya konselor yang mampu menjalankan fungsi dari layanan
bimbingan dan konseling sebagaimana semestinya dengan modal personal,
profesional dan modal sarana dan prasarana seperti tempat dan instrumen
yang mendukung dalam mengidentifikasi permasalahan atau hambatan
siswa di sekolah dalam mengembangkan potensinya secara maksimal.

Kata kunci: Kesejahteraan Siswa (student well-being), Fungsi Layanan BK

PENDAHULUAN

Josef dan Hidayat (2011) dalam penelitiannya terhadap 1.200 siswa remaja di

Indonesia, menemukan bahwa 4,6% responden mengalami ketidakpuasan akut terhadap

sekolah, 65% responden mengalami masalah psikososial dan kesehatan mental dalam

tingkat sedang, dan satu dari delapan siswa (12%) pernah mengalami serangan fisik yang
sengaja dilakukan oleh siswa lain. Hasil survey lain yang dilakukan Oktaviana (2014)
dalam penelitiannya yang bertempat di SMP Negeri Kota Yogyakarta, didapatkan bahwa
permasalahan siswa di SMP Negeri Kota Yogyakarta antaralain seperti bullying, masalah
prestasi, kelelahan, keluarga, pribadi, dan beberapa masalah lainnya. Namun dari hasil
survey terhadap berbagai permasalahan tersebut, didapatkan bahwa kasus yang
menempati peringkat pertama adalah kasus bullying di sekolah atau sebanyak 28 % dari
permasalahan siswa SMP Negeri Kota Yogyakarta.

Beberapa tahun terakhir, kasus bullying di Indonesia mulai marak dan
bermunculan di berbagai media. Dari berita yang dituliskan KPAI dalam halaman
webnya (www.kpai.go.id tertanggal 16 Oktober 2014) mengatakan bahwa kasus bullying
saat ini menduduki peringkat teratas dari pengaduan masyarakat. KPAI mencatat dari
tahun 2011 hingga 2014, sedikitnya ada 369 pengaduan terkait masalah bullying. Jumlah
itu sekitar 25% dari total pengaduan di bidang pendidikan atau sebanyak 1.480 kasus.
Bullying yang disebut KPAI merupakan suatu bentuk kekerasan di sekolah. Kasus
tersebut mengalahkan kasus tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan, ataupun aduan
pungutan liar (republika, Rabu 15 oktober 2014).

Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil pembelajaran dan perkembangan
adalah kesejahteraan atau well-being (Frost, 2010). Kesejahteraan atau well-being dalam
hal ini lebih terkait dengan kesejahteraan secara psikologis di sekolah. Kesejahteraan
siswa (student well-being) didefinisikan sebagai keadaan yang berkesinambungan dari
kondisi mood positif dan sikap, ketahanan (resiliensi) dan kepuasan diri, serta hubungan
dan pengalaman di sekolah (Noble, McGrath, Roffey & Rowling, 2008) Hal ini berarti
bahwa kesejahteraan (well-being) mempunyai peran yang sangat penting dalam proses
pendidikan di sekolah. Kesejahteraan (Well-being) yang tinggi berhubungan dengan
peningkatan hasil akademik, kehadiran di sekolah, perilaku prososial, keamanan sekolah
dan kesehatan mental (Noble, McGrath, Roffey & Rowling, 2008). Artinya siswa yang
kurang atau merasa tidak sejahtera di sekolah cukup rentan terhadap permasalahan yang
ada di sekolah yang menunjukkan bahwa siswa kurang sehat secara mental ataupun
menunjukkan hasil akademik yang kurang maksimal sebagaimana potensinya.

Menurut Winkel & Sri Astuti (2007), untuk mencapai perkembangan optimal
siswa, sesuai dengan tujuan institusional, lembaga pendidikan pada dasarnuya membina
tiga usaha pokok, yaitu (1) pengelolaan administrasi sekolah, (2) pengembangan
pemahaman dan pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan melalui program
kegiatan intrakurikuler dan kokulikuler, dan (3) pelayanan khusus kepada siswa dalam
berbagai bidang yang membulatkan pendidikan siswa dan/ atau menunjang keejahteraan
siswa. Salah satu diantara bidang pelayanan kepada siswa adalah pembinaan siswa,
fungsi bidang ini ialah memberikan pelayanan kepada siswa dalam hal –hal yang tidak
ditangani dalam rangka program pengajaran, namun diperlukan oleh siswa untuk
membulatkan pendidikan yang mereka terima selama waktu bersekolah atau untuk
menjamin kesejahteraan meraka dalam unsur keseharatan jasmani, kesehatan mental, dan
perkembangan kehidupan rohani. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu
subbidang dari bidang pembinaan siswa yang mempunyai fungsi khas bila dibandingkan
dengan subbidang yang lain. Fungsi dari pelayanan bimbingan dan konseling yang khas
bersumber pada corak pelayanan bimbingan sebagai bantuan yang bersifat psikis atau
psikologis.

Menurut anggapan dari kebanyakan siswa, guru bimbingan dan konseling menjadi
seorang polisi sekolah, selain itu lembaga bimbingan dan konseling berubah fungsi
menjadi administrasi siswa yang bertujuan mendisiplinkan, menertibkan dan memberikan
hukuman (Rahman, 2010). Hal tersebut menjadi bias persepsi terhadap berfungsinya
lembaga bimbingan dan konseling di sekolah, sehingga tidak berjalan sebagaimana
seharusnya yang berakibat pada kesejahteraan atau well-being bagi sebagian besar siswa
belum terpenuhi.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka, peneliti mencoba
mengkaji bagaimana memaksimalkan fungsi dari layanan Bimbingan dan Konseling di
sekolah sebagai upaya untuk menciptakan kesejahteraan siswa di sekolah (student well-
being). Hal ini didasarkan bahwa Bimbingan dan Konseling sekolah merupakan pusat
layanan bagi siswa untuk pengembangan potensi dan juga membantu siswa dalam
mengentaskan permasalahan yang sedang dialami, baik dari segi sosial, pribadi, karir dan
juga belajar.

METODE
Metode dalam penulisan artikel ini adalah studi literatur. Artinya peneliti

mencoba untuk mengkaji fungsi layanan dari Bimbingan dan Konseling di sekolah dari
berbagai sumber, baik buku maupun dari berbagai jurnal penelitian.
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil studi penjajan pada pendekatan kesejahteraan siswa di
Australia oleh Noble, McGrath, Roffey & Rowling (2008) di dapatkan diagram jalur
menuju siswa sejahtera adalah sebagai berikut:

Gambar 1.
Student Well-being Pathways Diagram
(Noble, McGrath, Roffey & Rowling, 2008)
Diagram diatas menunjukkan tujuh jalur dalam menuju kesejahteraan siswa, yaitu
membangun komunitas sekolah yang saling mendukung, menghargai dan terbuka;
mengembangkan nilai-nilai prososial; menyediakan lingkungan belajar yang aman;
meningkatkan pembelajaran sosial-emosional; menggunakan pendekatan berbasis
kekuatan; menumbuhkan rasa kebermaknaan dan tujuan; dan mendorong siswa untuk

bergaya hidup sehat. Tujuh jalur menuju siswa sejahtera dapat diwujudkan melalui salah
satu subbidang yang berfungsi sebagai pembinaan siswa, yaitu lembaga bimbingan dan
konseling di sekolah.

Bernard dan Fullmer (dalam Salahudin, 2010) mengatakan bahwa bimbingan
merupakan kegiatan yang bertujuan meningkatkan realisasi pribadi setiap individu.
Artinya bahwa bimbingan membantu seseorang dalam prosesnya untuk
mengaktualisasikan dirinya sepenuhnya. Selain itu Mathewson (dalam Salahudin, 2010)
mengatakan bahwa bimbingan merupakan pendidikan dan pengembangan yang
menekankan proses belajar yang sistematis. Sedangkan konseling adalah proses bantuan
yang diberikan kepada klien dalam bentuk hubungan terapeutik antara konselor dan klien
agar klien dapat meningkatkan kepercayaan diri dan penyesuaian diri, atau berperilaku
baru sehingga memperoleh kebahagiaan (Saam, 2013). Jadi dapat di artikan bahwa
bimbingan dan konseling dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada
individu dengan bentuk hubungan terapeutik antara seseorang yang terlatih atau ahli
sebagai konselor dengan klien yang bertujuan agar individu dapat mengaktualisasikan
dirinya dengan lingkungan serta dapat memahami, mengarahkan dan menyesuaikan diri
terhadap lingkungan untuk pengembangan potensi diri secara optimal dalam rangka
mencapai kesejahteraan dirinya dan kesejahteraan masyarakat.

Melalui lembaga bimbingan dan konseling di sekolah, sangat mungkin bahwa
kesejahteraan siswa di sekolah akan terwujud, jika lembaga bimbingan dan konseling di
sekolah mampu terlaksanan sebagaimana fungsinya.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 111
Tahun 2014 Tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan
Menengah pasal 1, menyebutkan bahwa “bimbingan dan konseling adalah upaya
sistematis, logis, dan berkelanjutan serta terprogram yang dilakukan oleh konselor atau
guru bimbingan dan konseling untuk memfasilitasi perkembangan peserta didik/konseli
untuk mencapai kemandirian dalam kehidupan”. Oleh sebab itu untuk dapat menciptakan
kesejahteraan bagi siswa di sekolah, maka sudah seharusnya semua lembaga pendidikan
sekolah berpedoman pada tujuan pendidikan nasional bangsa dan usaha dasar
pembangunan nasional seperti yang tercantum dalam Undang – Undang dasar 1945, yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Maka
maksimalisasi fungsi dari pelayanan bimbingan dan konseling sekolah sebagai subbidang
pembinaan siswa menjadi kunci usaha dalam menciptakan kesejahteraan siswa di
sekolah.

Layanan bimbingan dan konseling mempersiapkan siswa untuk meningkatkan
tanggung jawab atas keputusan mereka dan mengembangkan kemampuannya dalam
memahami dan menerima hasil yang telah mereka pilih (Gibson & Kauchak dalam
Lunenburg, 2010). Pelayanan bimbingan dan konseling mengemban sejumlah fungsi
yang hendak dipenuhi melalui pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling. Winkel &
Sri Astuti (2007) merumuskan bahwa fungsi pokok dari pelayanan bimbingan di sekolah,
yaitu: (1) Fungsi penyaluran, (2) fungsi penyesuaian, dan (3) fungsi pengadaptasian.

Fungsi penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu siswa mendapatkan
program studi yang sesuai baginya dalam rangka kurikulum pengajaran yang disediakan
di sekolah, memilih kegiatan ekstrakulikuler yang cocok baginya selama menjadi peserta
didik di sekolah yang bersangkutan, menentukan program studi lanjutan yang sesuai
baginya setelah tamat dan merencanakan bidang pekerjaan yang cocok baginya di masa
mendatang. Artinya bahwa siswa akan dibantu untuk memilih alternatif pengambilan
keputusan (decision making) bagi dirinya sendiri yang sesuai dengan bidang minat dan
bakatnya. Fungsi penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu siswa
menemukan cara menempatkan diri secara tepat dalam berbagai keadaan dan situasi yang
dihadapi. Artinya siswa mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan atau suatu
keadaan tertentu guna mencapai satu tujuan pembelajaran di sekolah. Misalnya, siswa
harus dibantu untuk bergaul secara memuaskan dengan menentukan sikap di tengah-
tengah kehidupan keluarga (adjustment). Penyesuaian siswa yang baik di sekolah akan
menciptakan suatu hubungan dan interaksi yang hangat diantara individu di sekolah
sehingga akan terbagung suatu komunitas sekolah yang saling mendukung, menghargai
dan terbuka serta dapat berkembangnya suatu sikap pro sosial diantara individu yang ada
di sekolah, baik guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan guru, dan juga
secara luas yaitu sekolah dengan keluarga siswa.

Fungsi ketiga adalah fungsi pengadaptasian, yaitu fungsi bimbingan sebagai nara
sumber bagi tenaga-tenaga pendidk yang lain di sekolah, khususnya pimpinan sekolah
dan staf pengajar, dalam hal mengarahkan rangkaian kegiatan pendidikan dan pengajaran
supaya sesuai dengan kebutuhan para siswa. Pada fungsi ini, layanan tidak langsung
diberikan kepada siswa, tetapi layanan diberikan melalui sesama tenaga pendidik dengan
memberikan informasi dan usulan kepada sesama tenaga pendidik demi keberhasilan
program pendidikan di sekolah serta terbinanya kesejahteraan para siswa. Fungsi ini
secara implisit dapat menciptakan suatu kondisi yang aman dan nyaman bagi proses
belajar siswa.

Fungsi lain dari layanan bimbingan dan konseling di sekolah ditinjau dari
kegunaan atau manfaat, ataupun keuntungan-keuntungan yang diperoleh melalui
pelayanan tersebut disebutkan oleh Ismaya (2015), bahwa fungsi-fungsi bimbingan dan
konseling banyak dan dapat dikelompokkan menjadi empat fungsi pokok, yaitu fungsi
pemahaman, fungsi pencegahan, fungsi pengentasan,dan fungsi pemeliharaan dan
pengembangan. Pertama, fungsi pemahaman berkaitan dengan pemahaman seseorang
tentang permasalahan yang dihadapi klien dan juga latarbelakang dari klien itu sendiri.
Jika berdasarkan fokus utama pelayanan bimbingan konseling, yaitu klien dengan
permasalahannya dan dengan tujuan-tujuan konseling, maka pemahaman yang sangat
perlu dihasilkan oleh layanan bimbingan konseling adalah pemahaman tentang diri klien
sendiri beserta permasalahannya dan pemahaman oleh pihak-pihak yang akan membantu
klien, serta pemahaman lingkungan klien oleh klien.

Pemahaman tentang klien merupakan titik tolak upaya memberikan bantuan
terhadap klien. seorang konselor perlu terlebih dahulu memahami individu yang akan
dibantu sebelum seorang konselor atau pihak-pihak lain memberikan bantuan. Oleh
karena itu seorang konselor tidak hanya sekedar paham dan mengenal diri klien tetapi
lebih jauh lagi, yaitu pemahaman yang menyangkut latar belakang pribadi klien,
kekuatan dan kelemahannya, serta kondisi lingkungannya. Selain itu, pemahaman tentang
masalah klien, terutama menyangkut jenis masalahnya, intensitasnya, sangkut-pautnya,
sebab-sebabnya, dan kemungkinan berkembangnya (jika tidak segera diatasi).
Selanjutnya adalah pemahaman tentang lingkungan yang lebih luas. Secara sempit
lingkungan diartikan sebagai kondisi sekitar individu yang secara langsung memengaruhi

individu tersebut, seperti keadaan rumah tempat tinggal, keadaan sosio-ekonomi dan
sosio-emosional keluarga, keadaan hubungan antar tetangga dan teman sebaya, dan
hubungan interaksi lainnya dengan orang-orang disekitar. Sedangkan lingkungan yang
lebih luas yang dimaksud seperti lingkungan sekolah bagi para siswa dan lingkungan
kerja dan industri bagi para karyawan. Termasuk lingkungan yang lebih luas karena
merupakan suatu infirmasi yang dibutuhkan oleh individu. Fungsi pemahaman dapat
membantu siswa dalam meningkatkan pembelajaran dari segi sosial-emosional, sehingga
siswa dapat lebih adaptif dan koperatif dalam mengikuti aktivitas yang ada di sekolah
termasuk proses belajar mengajar.

Kedua adalah fungsi pencegahan. Pencegahan diterima sebagai suatu yang baik
dan perlu dilaksanakan, tetapi hal itu kebanyakan baru disebut-sebut saja, namun
perwujudannya yang bersifat operasional konkret belum banyak terlihat. Bagi konselor
profesional yang misi tugasnya dipenuhi dengan perjuangan untuk menyingkirkan
berbagai hambatan yang dapat menghalangi berbagai individu, upaya pencegahan tidak
sekedar merupakan ide yang bagus, tetapi adalah suatu keharusan yang bersifat etis
(Horner & McElhaney dalam Ismaya, 2015). Oleh karena itu fungsi pencegahan bagi
konselor merupakan bagian dari tugas kewajiban yang amat penting. Pencegahan yang
dimaksud adalah sebagai upaya memengaruhi dengan cara yang positif dan bijaksana,
lingkungan yang dapat menimbulkan kesulitan atau kerugian sebelum kerugian dan
kesulitan itu benar-benar terjadi (Horner & McElhaney dalam Ismaya, 2015). Dengan
kata lain pencegahan berati bahwa seorang konselor melakukan upaya tertentu untuk
mengantisipasi potensi masalah sehingga masalah tidak berkembang menjadi lebih rumit
atau menimbulkan efek yang lebih parah.

Fungsi ketiga adalah pengentasan. Orang yang mengalami masalah dianggap
berada dalam suatu keadaan yang tidak mengenakkan sehingga perlu dianggap atau
dikeluarkan dari bendanya yang tidak mengenakkan. Upaya yang dilakukannya itu untuk
mengatasi permasalahannya melalui pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan
demikian, secara sederhana terdapat kesejajaran antara fungsi penyembuhan pelayanan
dokter dan fungsi pengentasan pelayanan konselor.

Fungsi keempat adalah fungsi peneliharaan dan pengembangan. Fungsi
pemeliharaan berarti memelihara segala sesuatu yang baik yang ada pada diri individu,

baik hal itu merupakan pembawaan maupun hasil-hasil perkembangan yang telah dicapai
selalma ini. Dalam pelayanan bimbingan konseling, fungsi pemeliharaan dan
pengembangan dilaksanakan dengan berbagai pengaturan, kegiatan dan program sesuai
dengan proses pengamatan entang potensi yang dimiliki siswa. Fungsi ini dapat
membantu siswa dalam mengembangkan potensinya sehingga guru dapat memahami
melakukan pendekatan berdasarkan kekuatan atau potensi siswa dengan tetap
berlandasan pada individual differences (perbedaan individu)

Keseluruhan fungsi-fungsi tersebut diwujudkan melalui diselenggarakannya
berbagai jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling untuk mencapai hasil
sebagaimana terkandung di dalam masing-masing fungsi tersebut. Setiap layanan dan
kegiatan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan harus secara langsung mengacu
kepada satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut agar hasil-hasil yang hendak dicapainya
secara jelas dapat diidentifikasi dan dievaluasi. Agar suatu fungsu dapat berjalan dengan
baik maka dibutuhkan manajemen yang baik dalam penyelenggaraan kegiatan dari
layanan bimbingan dan konseling. Berdasarkan buku II pelayanan bimbingn dan
konslingh di SLTP (Prayitno, 1997), menyebutkan bahwa untuk dapat mengemban dan
mengembangkan pelayanan bimbingan dan konseling dengan pengertian, tujuan, fungsi,
prinsip, asas, jenis-jenis layanan dan kegiatan pendukung, serta jenis-jenis program
sebagaimana dikemukakan, maka diperlukan tenaga yang benar-benar berkemampuan,
baik ditinjau dari personalitasnya maupun profesionalitasnya. Modal dasar yang akan
menjamin suksesnya penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konsleing di sekolah
adalah berbagai ciri personal yang ada dan memiliki secara pribadi oleh tenaga
penyelenggara bimbingan dan konseling. Modal personal tersebut adalah, berwawasan
luas, mempunyai kasih sayang terhadap anak terutama peserta didik, bersikap sabar dan
bijaksana, lembut dan baik hati, tekun dan teliti, mampu menjadi contoh bagi peserta
didik, tanggap dan mampu mengambil tindakan, serta mampu memahami dan bersikap
positif terhadap pelayanan bimbingan konseling. Selain modal personal yang harus
dimiliki oleh seorang konselor sekolah, tentunya seorang konselor juga harus mempunyai
modal profesional. Modal profesional ini mencakup kematangan wawasan, pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap dalam bidang kajian pelayanan bimbingan dan konseling.
Semua itu dapat diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan khusus dalam program

bimbingan dan konseling. Selain dua hal tersebut modal yang harusnya juga dimiliki
sekolah adalah, adanya instrumen yang menunjang sebagai bentuk sarana dan prasarana
dalam proses pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti ruangan yang
memadai dan standar, instrumen bimbingan dan konseling yang mampu membantu dalam
menajring atau melakukan asesmen terhadap peserta didik, serta sarana pendukung
lainnya.

KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan kajian megenai fungsi dari layanan bimbingan konseling di sekolah

maka dapat disimpulkan bahwa untuk dapat memaksimalkan suatu fungsi dari layanan
bimbingan dan konseling di sekolah tentunya harus memiliki sumberdaya manusia yang
memadai sebagai konselor. Selain itu penyelenggaraan kegiatan layanan bimbingan dan
koseling di sekolah tentu harus disertai dengan modal personal dan profesional dari para
konselornya dalam menjalankan layanan. Selain itu juga dengan tersedianya sarana dan
prasara dari dilakukannya layanan seperti ketersedian ruangan yang memadai dan
terstandar serta dengan memiliki alat instrumentasi yang dapat mendukung proses
identifikasi permasalahan atau hambatan siswa di sekolah. Maksimalnya fungsi layanan
bimbingan dan konseling di sekolah dengan didukung berbagai modal tersebut diatas
maka, akan berimplikasi terhadap kesejahteraan siswa disekolah dan mengurangi persepsi
negatif siswa akan layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Kesejahteraan siswa di
sekolah dapat dilihat dari terciptanya kondisi mental siswa yang lebih baik. Terdapat
tujuh jalur dalam menuju kesejahteraan siswa, yaitu membangun komunitas sekolah
yang saling mendukung, menghargai dan terbuka; mengembangkan nilai-nilai prososial;
menyediakan lingkungan belajar yang aman; meningkatkan pembelajaran sosial-
emosional; menggunakan pendekatan berbasis kekuatan; menumbuhkan rasa
kebermaknaan dan tujuan; dan mendorong siswa untuk bergaya hidup sehat. Dengn
adanya sumberdaya konselor yang mampu melaksanakan fungsi layanan bimbingan dan
konseling, serta tujuh jalur dalam menuju kesejahteraan siswa di sekolah, maka hal
tersebut dalam menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa.

Adapun saran dalam penulisan artikel ini antaralain, bagi konselor di sekolah
hendaknya terus meningkatkan kompetensinya dalam memberikan layanan kepada siswa

baik dari segi pengetahuan, keterampilan atau personalnya, sehingga siswa tidak lagi
mempersepsi konselor sekolah adalah polisi sekolah yang kerjanya hanya memberikan
hukuman. Konselor harus mampu menjadi sahabat bagi siswa dalam membantu
mengatasi permsalahan siswa dan mampu mengarahkan siswa dalam mengembangkan
bakat dan potensinya menjadi lebih baik dan positif. Selalu berpegang teguh pada fungsi
dari layanan bimbingan konseling dan mengarahkan fungsi tersebut kepada tujuha jalur
menuju kesejahteraan siswa di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Frost, P. (2010). The Effectiveness of Student Well-being Programs and Services.

Victorian Auditor-General's Report. Diunduh dari

http://download.audit.vic.gov.aulfiles/290110-StudentWellbeing-Full- Report.pdf.

Ismaya, Bambang. 2015. Bimbingan & Konseling: Studi, Karier, dan Keluarga. Bandung:
PT. Refika Aditama

Josef, F. M. & Hidayat, R. (2011). Pokok-Pokok Temuan Survei Penjajagan Kebutuhan
Pengembangan Karakter dan Kesehatan Mental Remaja. Yogyakarta: Palang

Merah Norwegia – CPMH Fakultas Psikologi UGM.

Lunenburg, F. C. 2010. School guidance and Counseling Service. Sam Houston State
University. Schooling Volume 1 No. 1. http://www.nationalforum.com. (diakses

tanggal 13 November 2016)

Noble, T., McGrath, H., Roffey, S., & Rowling, L. (2008). A scoping study on student
wellbeing. Canberra, ACT, Australia: Department of Education, Employment &

Workplace Relations.

Oktaviana, E. (2014). Peran efikasi Diri dan Dukungan Teman Sebaya terhadap School
Well-Being pada Siswa Negeri di Kota Yogyakarta. Tesis. Fakultas psikologi

universitas gadjah mada (tidak diterbitkan).

Pemerintah. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 111 Tahun
2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan

Menengah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.

Prayitno. 1997. Buku II: Pelayanan Bimbingan dan Konseling Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama. Jakarta: Penebar Aksara.

Rahman, F. 2010. Revitalisasi Peran dan fungsi Guru bimbingan dan Konseling Dalam
Suasana Pendidikan. Artikel. Sleman.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/OPTIMALISASI%20PERAN%20DA
N%20FUNGSI%20GURU%20BIMBINGAN%20DAN%20KONSELING%20D
ALAM%20SUASANA%20PENDIDIKAN.pdf

Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pemerintah RI.

Saam, Z. (2013). Psikologi Konseling. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Salahudin, A. (2010). Bimbingan & Konseling. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Winkel,W. S & Hastuti, Sri. M. M. 2007. Bimbingan dan Konseling Di Institusi
Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi.

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-bullying-dan-pendidikan-karakter/ (diakses 20
April 2016)

http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/14/10/15/ndh4sp-aduan-bullying-
tertinggi (diakses 20 April 2016).

Perbedaan Student Well-Being Ditinjau dari Persepsi Siswa
terhadap Perilaku Internasional Guru

Kurniasari Dwi Wati

Tino Leonardi

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

Abstract. This study aims to find out whether there is any difference in student well-being in terms of
student’s perception toward teacher interpersonal behavior.There are eight types of teacher interpersonal
behaviors: leadership, helpful/friendly, understanding, student responsibility/freedom, uncertain, admon-
ishing, dissatisfied and strict. The difference in student well-being was analyzed based on these eight types.
Subjects on this study are 219 students with age ranged from 15 to 18 years old who studied in SMA Negeri
16 Surabaya, a state high school. The data were collected using QTI (Questionnaire on Teacher Interac-
tion) developed by Wubbels (1985) for the perception toward teacher interpersonal behavior, and using the
student well-being scale developed by the author. Data were then analyzed using One-way ANOVA utiliz-
ing IBM SPSS Statistics 22.0. The result showed that there is a statistically significant difference in student
well-being in terms of student’s perception toward teacher’s interpersonal behavior with significance level
of 0,004. Furthermore, crosstab statistical analysis showed that 53,3% of students who perceived their
teacher as having helpful/friendly behavior have high student well-being value, whereas 60% of students
who perceived their teacher as uncertain have low student well-being value.Keywords: student well-being,
perception, teacher interpersonal behavior, High school student.

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan student well-being ditin-
jau dari persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal guru. Terdapat delapan bentuk perilaku interper-
sonal guru, yaitu leadership, helpful/friendly, understanding, student responsibility/freedom, uncertain,
admonishing, dissatisfied dan strict. Selanjutnya akan dianalisa apakah terdapat perbedaan student well-
being ditinjau dari kedelapan bentuk perilaku interpersonal guru tersebut. Subjek penelitian ini berjumlah
219 siswa dengan rentang usia 15-18 tahun yang bersekolah di SMA Negeri 16 Surabaya. Alat pengumpu-
lan data untuk mengukur persepsi terhadap perilaku interpersonal guru menggunakan QTI (Question-
naire on Teacher Interaction) yang dikembangkan oleh Wubbels (1985) dan skala student well-being yang
disusun sendiri oleh penulis. Analisis data dilakukan dengan teknik Anava Satu Jalur dengan bantuan
program IBM SPSS Statistics 22.0. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang cukup signifikan pada student well-being ditinjau dari persepsi siswa terhadap perilaku interper-
sonal guru dengan nilai taraf signifikansi sebesar 0,004. Hasil analisa tambahan dengan menggunakan
teknik statistik crosstabs menunjukkan 53,3 % dari siswa yang mempersepsikan perilaku gurunya helpful/
friendly memiliki tingkat student well-being yang tinggi. Sedangkan 60 % dari siswa yang mempersepsi-
kan gurunya sebagai uncertain memiliki tingkat student well-being yang rendah.

Kata kunci : student well-being, persepsi, perilaku interpersonal guru, siswa SMA

Korespondensi: Kurniasari Dwi Wati. Departemen Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas
Airlangga Surabaya. Jalan Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, Telp. (031)5032770, (031) 5014460, Fax (031)
5025910.E-mail: [email protected]

Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan 1
Vol 5 No. 1, September 2016

Perbedaan Student Well-Being Ditinjau dari Persepsi Siswa terhadap Perilaku Internasional Guru

PENDAHULUAN pernah ditemukan 829 siswa terjaring razia yang
dilakukan oleh Satpol PP di 31 kecamatan saat
Studi mengenai well-being pada rema- jam pelajaran masih berlangsung (Taufik, 2014).
ja dalam satu dasawarsa terakhir semakin Hal ini membuktikan bahwa banyak siswa remaja
mendapatkan perhatian yang besar dari para ahli yang merasa tidak senang akan kegiatan yang ter-
(Casas, dkk., 2004). Hal itu dikarenakan masa jadi di sekolah, sehingga mereka lebih memilih
remaja adalah masa transisi dari masa kanak- untuk pergi membolos daripada harus terlibat
kanak menuju usia dewasa dengan perubahan dalam kegiatan belajar mengajar.
tugas-tugas dan tuntutan perkembangan. Pada
masa ini, remaja menghadapi tantangan-tantan- Dengan demikian, kajian mengenai student
gan yang berkaitan dengan pencarian identitas, well-being perlu dilakukan mengingat pentingnya
gangguan emosi serta gangguan perilaku (Si- isu tersebut bagi pengembangan kebijakan pen-
mons-Morton, dkk., 1999). didikan (Karyani, 2013). Permasalahan pada siswa
remaja tersebut diantaranya ditemukan oleh Josef
Bagaimana kontekstualisasi isu perkem- dan Hidayat (2011 dalam Estika, 2014) yang menel-
bangan remaja ini dalam dunia pendidikan? iti 1.200 siswa remaja di Indonesia. Penelitian
Dengan asumsi bahwa remaja memiliki kapasi- tersebut menemukan bahwa 4,6 % responden
tas intelektual yang semakin berkembang dari mengalami ketidakpuasan akut terhadap sekolah.
fase perkembangan sebelumnya, tuntutan sosial 65 % responden mengalami masalah psikososial
terhadap para remaja dalam hal belajar menjadi dan kesehatan mental dalam tingkat sedang, dan
semakin besar. Remaja yang pada umumnya be- satu dari delapan siswa (12 %) pernah mengalami
rada pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah serangan fisik yang sengaja dilakukan oleh siswa
Pertama dan Sekolah Menengah Atas dituntut lain. Siswa dengan tingkat well-being yang rendah
mampu secara mandiri meregulasi diri untuk cenderung melakukan perilaku-perilaku yang
menampilkan peforma yang baik di sekolah. Se- merugikan dan sikap anti sekolah (Van Petegem,
jauhmana remaja mampu menampilkan peforma dkk., 2008), untuk itu diperlukan upaya dalam
belajar yang baik di sekolah ditentukan dari se- peningkatan student well-being. Fraillon (2004)
jauhmana Ia mampu memiliki manajemen diri mendefinisikan student well-being sebagai suatu
yang baik. Emosi remaja cenderung labil dengan kondisi dimana seorang siswa memiliki peranan
fluktuasi perasaan yang mudah berubah. Remaja yang efektif dalam komunitas sekolahnya. Dari
dapat dengan mudah jatuh ke dalam kondisi afek definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bah-
yang sangat negatif namun berpeluang berubah wa dalam pencapaian student well-being tidak saja
menjadi kondisi afek yang positif (Santrock, ditentukan oleh faktor internal yang merupakan
2007). kebutuhan pribadi siswa untuk sejahtera, namun
peran lingkungan sosial dalam membentuk kes-
Kondisi negatif inilah yang menjadi bahan ejahteraan siswa tidak dapat dipungkiri memberi-
pembelajaran bagi kita semua untuk terus mema- kan kontribusi yang sangat penting.
hami dan mencari jalan keluar bahwa pendidikan
bukan hanya mengembangkan aspek kognitif saja Berbagai faktor telah dianalisis untuk me-
tetapi juga mampu membantu perkembangan lihat keterikatannya dalam dalam peningkatan
manusia yang seutuhnya, yaitu meliputi aspek student well-being, salah satunya adalah persepsi
fisik, psikologis, sosial, dan religius. Di Surabaya siswa terhadap perilaku interpersonal gurunya

2 Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan
Vol 5 No. 1, September 2016

Kurniasari Dwi Wati & Tino Leonardi

ketika mengajar. Persepsi ini menjelaskan jenis student well-being ketika mereka mempersepsi-
hubungan interpersonal yang telah muncul an- kan perilaku interpersonal guru mereka.
tara guru dan siswa, dan merupakan faktor pent-
ing dalam menentukan iklim kelas (Van Houtte, METODE PENELITIAN
2005; Fraser, 1994; Maslowski, 2001 dalam Van
Petegem, dkk., 2008). Faktor iklim, seperti sistem Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif
sosial di dalam kelas, telah terbukti memberi- dan tergolong dalam penelitian uji perbedaan. Uji
kan pengaruh langsung pada student well-being perbedaan digunakan untuk mengetahui apakah
(Creemers & Reezigt, 1999; Creemers, 1994 dalam terdapat perbedaan pada variabel dependen keti-
Van Petegem, dkk., 2008). ka variabel independennya bervariasi. Hal ini ses-
uai dengan maksud penelitian yang ingin men-
Perubahan yang signifikan terjadi pada getahui apakah ada perbedaan student well-being
masa remaja, dimana lingkungan sosialnya ditinjau dari persepsi siswa terhadap perilaku in-
berkembang ke seluruh sekolah daripada ruang terpersonal guru.
kelas. Para remaja berinteraksi dengan guru dan
teman sebaya dengan berbagai latar belakang dan Student well-being didefinisikan sebagai
minat yang lebih luas (Santrock, 2007). Kebutu- suatu kondisi dimana seorang siswa memiliki
han untuk menjalin komunikasi dan memper- peranan yang efektif dalam komunitas sekolahnya
tahankan ikatan interpersonal yang kuat terma- (Fraillon, 2004). Sedangkan untuk membuat kue-
suk dalam kebutuhan mendasar (Baumeister & sioner mengenai student well-being, indikator dis-
Leary, 1995 dalam Gross, Juvonen, & Gable, 2002). usun mengacu pada dimensi yang diungkapkan
Penelitian menunjukkan bahwa pada usia remaja, oleh Fraillon (2004), yakni terdiri atas dimensi in-
prediktor yang cukup kuat untuk menjelaskan trapersonal dan dimensi interpersonal. Dimensi
well-being adalah keterhubungan remaja den- intrapersonal ini sendiri memiliki sembilan aspek
gan orang lain setiap hari, merasa dimengerti yang mempengaruhi student well-being, sembilan
dan dihargai serta berbagi interaksi menyenang- aspek tersebut adalah otonomi, regulasi emosi,
kan lainnya (Reis, dkk., 2000). Interaksi yang resiliensi, efikasi diri, harga diri, spiritualitas,
dilakukan akan memunculkan berbagai bentuk rasa ingin tahu, keterlibatan, dan orientasi pada
perilaku interpersonal guru (Wubbels & Brekel- kemampuan. Dimensi interpersonal juga memi-
mans, 2005) yakni Leadership, Helpful/friendly, liki beberapa aspek yakni communicative efficacy,
Understanding, Student responsibility, Uncertain, empati, penerimaan, dan keterhubungan. Bentuk
Dissatisfied, Admonishing dan Strict. operasional student well-being ditunjukkan dari
jumlah skor total yang diperoleh individu atas re-
Perilaku guru terhadap siswa, sangat mem- spon yang diberikan terhadap pernyataan dalam
pengaruhi siswa dalam memahami suatu hal. kuesioner. Untuk melihat perbedaan student
Dan melalui perilaku yang dihasilkan oleh guru well-being, maka tingkat student well-being akan
maka akan timbul persepsi siswa terhadapnya. dikategorisasikan menjadi 3 yakni tinggi, sedang,
Dinamika yang terjadi di dalam hubungan guru rendah dengan bantuan program IBM SPSS Sta-
dan siswa menarik untuk diteliti karena kemam- tistics 22.0. Student well-being merupakan tema
puan siswa dalam mempersepsi perilaku guru strategis yang memungkinkan untuk memahami
mereka tidaklah sama (Frymier & Houser, 2000). skema kehidupan siswa ketika menjalani proses
Oleh karena itu, peneliti ingin melihat perbedaan belajarnya di sekolah. Upaya untuk memahami

Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan 3
Vol 5 No. 1, September 2016

Perbedaan Student Well-Being Ditinjau dari Persepsi Siswa terhadap Perilaku Internasional Guru

student well-being siswa SMA pada penelitian ini buah model untuk melihat perilaku interpersonal
dilaksanakan dengan mengambil sudut pandang guru. Berdasarkan model ini, maka dirancanglah
persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal Questionnaire on Teacher Interaction (QTI) untuk
guru. mengumpulkan persepsi siswa maupun persepsi
guru mengenai perilaku interpersonal guru. QTI
Persepsi terhadap perilaku interpersonal digambarkan memiliki dua garis ordinat yang
guru adalah penilaian siswa terhadap perilaku in- terdiri atas dua dimensi yakni: Influence (Domi-
terpersonal guru, dimana perilaku interpersonal nance–Submission) dan Proximity (Opposition–
guru dibatasi pada pengertian tingkat kontrol atas Cooperation). Influence menunjukkan tingkat
proses komunikasi serta kerjasama yang ditun- kontrol dan dominansi guru terhadap siswa, se-
jukkan oleh guru sebagai komunikator (Wubbels, dangkan Proximity menunjukkan tingkat kooper-
1985). Wubbels, Creton dan Hooymayers (1985, atif atau kerjasama dan perilaku bersahabat yang
dalam Fisher, Fraser & Cresswell, 1995) mengkaji dilakukan guru. (lihat gambar 1).
perilaku guru di kelas dan mengembangkan se-

Gambar 1

Model Perilaku Interpersonal Guru (Wubbels, 1985)

Sektor-sektor dalam model tersebut Subjek yang turut berpartisipasi dalam

mendeskripsikan 8 bentuk perilaku interpersonal penelitian ini adalah 219 siswa kelas XII SMAN 16

yang berbeda-beda. Kedelapan bentuk perilaku Surabaya dari rentang usia 15 – 18 tahun. Teknik

interpersonal yang berbeda-beda itu adalah pengumpulan data pada penelitian ini menggu-

Leadership, Helpful/Friendly, Understanding, nakan kuesioner yang terdiri atas 2 bagian yaitu

Student Responsibilty/freedom, Uncertain, Dis- kuesioner mengenai student well-being dan kue-

satisfied, Admonishing dan Strict. Persepsi siswa sioner mengenai persepsi terhadap perilaku in-

terhadap interpersonal guru dalam penelitian ini terpersonal guru. Pada penelitian ini, kuesioner

ditunjukkan oleh skor sektor yang paling tinggi. student well-being disusun berdasarkan dimensi

Misalnya, jika dalam delapan sektor, subjek me- dari Fraillon (2004) dimana setiap dimensi terse-

miliki skor tertinggi pada sektor leadership, maka but memiliki aspek-aspek nya masing-masing.

subjek tersebut memiliki persepsi bahwa guru di Sedangkan kuesioner persepsi terhadap perilaku

sekolah tersebut memiliki kemampuan dominan interpersonal guru mengacu pada The Question-

dalam hal kepemimpinan. naire on Teacher Interaction (QTI) yang dikem-

4 Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan
Vol 5 No. 1, September 2016

Kurniasari Dwi Wati & Tino Leonardi

bangkan oleh Soerjaningsih, Fraser dan Aldridge demikian hipotesis null (Ho) ditolak, maka dapat

(2001) dan telah disusun dalam Bahasa Indonesia disimpulkan bahwa “terdapat perbedaan tingkat

dengan 48 aitem. Subjek penelitian diminta un- student well-being (X) ditinjau dari persepsi

tuk mengisi kuesioner yang mengukur persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal guru (Y)”.

siswa terhadap perilaku interpersonal guru saat Dari keseluruhan subjek penelitian yang
mengajar di kelas dan tidak direkomendasikan berjumlah 219 siswa, dilakukan kategorisasi sub-
merefleksikan guru berdasarkan frekuensi pem- jek berdasarkan norma. Norma yang digunakan
berian tugas individual atau kelompok, karena dalam penelitian ini berdasarkan penormaan
perilaku interpersonal guru terbentuk ketika yang dibagi menjadi 3 kategori dengan bantuan
guru sedang mengajar di depan kelas (Tartwijk, program IBM SPSS Statistics 22.0. Hasil kategori-
dkk., 1998). sasi subjek berdasarkan norma terlihat hampir

Data yang didapat kemudian dianalisis seimbang antara tinggi, sedang maupun rendah.

menggunakan teknik statistik parametrik karena Sebanyak 78 siswa (35,7 %) tergolong memiliki

semua data berdisitribusi normal dan data pene- student well-being yang tinggi, subjek dengan

litian bersifat homogen sehingga teknik analisis student well-being sedang sebanyak 70 siswa (31,9

statistik uji perbedaan nya menggunakan One- %), dan subjek dengan student well-being rendah

way between-groups ANOVA dengan bantuan sebanyak 71 siswa (32,4 %).

program IBM SPSS Statistics 22.0. Untuk menge- Berdasarkan skor total perilaku interper-
tahui perilaku interpersonal guru manakah yang sonal guru dari masing-masing subjek, maka
memberikan tingkat student well-being paling dapat diketahui dari masing-masing perilaku
tinggi ataupun paling rendah dibutuhkan analisa interpersonal yang dipersepsi oleh siswanya.
data tambahan menggunakan teknik crosstabs. Setelah mengetahui bahwa persepsi siswa ter-
Analisis crosstabs adalah suatu metode analisis hadap perilaku interpersonal guru memberikan
berbentuk tabel, dimana menampilkan tabulasi perbedaan kepada tingkat student well-being,
silang atau tabel kontingensi yang digunakan un- selanjutnya penulis ingin mengetahui perilaku
tuk mengidentifikasi dan mengetahui apakah ada interpersonal guru manakah yang memberikan
korelasi atau hubungan antara satu variabel den- tingkat student well-being paling tinggi ataupun
gan variabel yang lain (Field, 2009). Crosstabs ini paling rendah. Dengan bantuan IBM SPSS Sta-
mudah dipahami karena menyilangkan dua varia- tistics 22.0, analisa data menggunakan teknik
bel dalam satu tabel. crosstabs. Analisis crosstabs adalah suatu metode

HASIL DAN BAHASAN analisis berbentuk tabel, dimana menampilkan
tabulasi silang atau tabel kontingensi yang digu-
Analisis statistik inferensial dilakukan nakan untuk mengidentifikasi dan mengetahui
menggunakan teknik analisis parametrik One- apakah ada korelasi atau hubungan antara satu
way between-groups ANOVA dengan hasil F variabel dengan variabel yang lain (Field, 2009).
sebesar 3,109 dengan nilai signifikansinya adalah Crosstabs ini mudah dipahami karena meny-
0,004 yang berarti lebih kecil dari 0,05. Dengan ilangkan dua variabel dalam satu tabel.

Tabel 1

Hasil Penghitungan Crosstabs

Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan 5
Vol 5 No. 1, September 2016

Perbedaan Student Well-Being Ditinjau dari Persepsi Siswa terhadap Perilaku Internasional Guru

Perilaku Student Well-being Persentase
Interpersonal (%)
Guru
Frekuensi

Rendah Sedang Tinggi ( %)

Leadership 35,0 43,3 100 60

Helpful/friendly 30,0 53,3 100 30

Understanding 32,3 35,5 100 62

Student 60,0 20,0 100 5
Responsibility/
Freedom

Uncertain 40,0 0,0 100 5

Dissatisfied 30,0 20,0 100 10

Admonishing 31,0 20,7 100 29

Strict 22,2 27,8 100 18

Dari hasil tabulasi silang diatas dapat 50% dan 48,3 %.
diketahui bahwa tingkat student well-being
yang tinggi lebih dipengaruhi oleh perilaku in- Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terpersonal guru Helpful/friendly dengan nilai terdapat perbedaan student well-being ditinjau
53,3 %, kemudian disusul oleh perilaku Leader- dari persepsi siswa terhadap perilaku interper-
ship dengan 43,3 % dan perilaku Understand- sonal guru, hipotesis kerja dalam penelitian ini
ing dengan nilai 35,5 %. Sedangkan perilaku diterima. Hasil penelitian ini konsisten dengan
interpersonal guru yang lain seperti Uncertain, temuan-temuan penelitian yang sebelumnya
Dissatisfied, Strict dan Admonishing memiliki telah dilakukan (Opdenakker & Van Damme,
pengaruh ke tingkat student well-being yang 2000; Van Petegem, Aelterman, Van Keer, & Ros-
rendah dengan nilai berturut-turut 60%, 50%, seel, 2007; Van Petegem, Creemers, Aelterman, &
Rosseel, 2008).
6
Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan
Vol 5 No. 1, September 2016

Kurniasari Dwi Wati & Tino Leonardi

Mengapa terdapat perbedaan tingkat stu- yang tinggi, hal ini terjadi dikarenakan banyaknya
dent well-being ketika ditinjau dari persepsi siswa siswa yang mempersepsi guru mereka dengan
terhadap perilaku interpersonal guru? Beberapa perilaku-perilaku interpersonal yang bersifat me-
penjelasan yang mungkin diajukan untuk per- nyenangkan.
tanyaan tersebut adalah mengenai efek persepsi
positif mengenai perilaku interpersonal guru ter- Adapun perilaku yang cenderung bersifat
hadap ketertarikan terhadap mata pelajaran yang negatif seperti uncertain, dissatisfied, admon-
sedang dipelajari. Persepsi yang positif terhadap ishing, dan strict tidak terlalu banyak muncul
perilaku interpersonal guru, menyebabkan siswa dalam persepsi siswa. Dari keempat perilaku
memiliki antusiasme dan ketertarikan terhadap tersebut, hanya perilaku admonishing yang me-
mata pelajaran yang diampu oleh guru tersebut miliki frekuensi paling banyak. Sebanyak 29 siswa
(den Brok, Fisher, & Koul, 2005; den Brok, Fischer mempersepsi guru mereka yang paling berkesan
& Scott, 2005). den Brok, Fisher dan Koul (2005) adalah guru dengan perilaku yang suka menun-
menjelaskan bahwa siswa yang mempersepsi jukkan kemarahan, suka menegur, dan menghu-
perilaku interpersonal guru secara positif, cen- kum siswa.
derung merasakan kesenangan (pleasure) dan
kebermanfaatan (relevance) dari mata pelajaran Hasil penghitungan dengan teknik cross-
yang sedang dipelajari. Selain itu kepercayaan diri tabs dapat dilihat bahwa 53,3 % dari total 30
siswa (confidence) dan usaha siswa dalam belajar siswa yang mempersepsi gurunya sebagai help-
akan meningkat. Siswa yang merasa senang dan ful/friendly memiliki tingkat student well-being
merasakan kebermanfaatan saat belajar men- yang tinggi. Perilaku leadership juga memberikan
jadi percaya diri dan memiliki efikasi diri dalam keterkaitan yang positif dengan well-being dilihat
menghadapi kesulitan-kesulitan yang dialami ke- dari persentase sebesar 43,3 % dari total 60 siswa.
tika belajar. Hal ini mendukung penelitan Van Petegem, dkk.
(2008), dimana siswa yang mempersepsi perilaku
Melihat hasil kategorisasi persepsi siswa interpersonal di wilayah dominant-cooperative
terhadap perilaku interpersonal guru di SMAN (DC) yakni leadership dan helpful/friendly akan
16 Surabaya berdasarkan frekuensi, tampak ter- mengalami peningkatan student well-being. Siswa
lihat bahwa perilaku understanding merupakan yang mempersepsi gurunya sebagai seorang yang
perilaku interpersonal guru yang paling banyak helpful memiliki well-being tinggi karena persepsi
dipersepsi oleh siswa. Sebanyak 62 siswa mem- positif tersebut dapat membentuk siswa memiliki
persepsi guru yang paling berkesan adalah guru kepercayaan diri akan kemampuannya. Dengan
dengan perilaku interpersonal understanding. begitu siswa akan lebih mudah dalam mengha-
Menurut siswa-siswi tersebut, guru yang memi- dapi masalah-masalah di sekolah, memiliki per-
liki kesan mendalam adalah guru dengan perilaku asaan yang positif sehingga performa akademik
interpersonal yang lebih bersifat positif seperti mereka akan turut meningkat (Kahneman, Die-
understanding, leadership, dan helpful/friendly. ner & Schwarz, 1999).
Apabila melihat hasil pengkategorian subjek ber-
dasarkan norma, terlihat bahwa siswa dengan SIMPULAN DAN SARAN
well-being tinggi mendapat peringkat paling atas.
Sebanyak 78 dari 219 siswa memiliki well-being Simpulan

Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan 7
Vol 5 No. 1, September 2016

Perbedaan Student Well-Being Ditinjau dari Persepsi Siswa terhadap Perilaku Internasional Guru

Berdasarkan penelitian yang telah di- tersebut apakah dapat dipisahkan menjadi dua
lakukan, dapat disimpulkan bahwa Ha diterima konstrak yang berbeda. Serta diharapkan dapat
dan Ho ditolak yang berarti terdapat perbedaan mengembangkan psikometris pengukuran stu-
tingkat student well-being ditinjau dari persepsi dent well-being dengan teknik pengukuran yang
siwa terhadap perilaku interpersonal guru. Me- lebih valid dan reliable. Kedua, memperluas popu-
lihat dari hasil tabulasi silang, masing-masing lasi dan memperbanyak sampel sehingga gamba-
perilaku interpersonal guru memiliki keterkai- ran mengenai perilaku interpersonal lebih bera-
tan terhadap tingkat student well-being. Tingkat gam. Dan lebih memperhatikan cara pengambilan
student well-being yang tinggi paling banyak dis- sampel dari sebuah populasi, agar mendapat-
umbangkan oleh persepsi siswa terhadap perilaku kan kesesuaian antara populasi dan sampel. Ke-
Helpful/friendly, sedangkan perilaku yang memi- tiga, perhatikan variabel-variabel lain yang dapat
liki pengaruh terhadap student well-being rendah berkontribusi pada persepsi siswa pada perilaku
yaitu Uncertain. interpersonal gurunya. Karena menurut Levy,
dkk. (2003) terdapat beberapa variabel yang mem-
Saran pengaruhi perbedaan siswa dalam mempersepsi
seperti jenis kelamin, latar belakang etnis guru,
Terdapat beberapa saran untuk penelitian- mata pelajaran, pengalaman dan lama mengajar
penelitian dengan tema atau metode serupa, guru, serta tingkatan kelas. Keempat, persepsi /
diantaranya: pertama landasan teori mengenai self report dari guru itu sendiri dapat membantu
student well-being di penelitian ini menyebutkan menggambarkan bentuk perilaku interpersonal.
bahwa terdapat dua dimensi yakni dimensi inter- Untuk penelitian selanjutnya dapat menambah-
personal dan intrapersonal, kedepannya diharap- kan data-data wawancara / self report dari guru
kan dapat lebih mengkaji mengenai dua dimensi sebagai pihak yang dipersepsi oleh siswa.

PUSTAKA ACUAN

Casas, F., González, M., Figuer, C., & Coenders, G. (2004). Subjective Well-Being, Values and Goal
Achievement. In Quality-of-Life Research on Children and Adolescents (pp. 123-141). Springer
Netherlands.

De Fraine, B., Van Landeghem, G., Van Damme, J., Onghena, P. (2005). An analysis of wellbeing in sec-
ondary school with multilevel growth curve models and multilevel multivariate models. Quality
and Quantity, 39 (3), 297-316.

den Brok, P., Fisher, D., & Koul, R. (2005). The importance of teacher interpersonal behaviour for sec-
ondary science students’ attitudes in Kashmir. Journal of Classroom Interaction, 40, 5-19.

den Brok, P., Fisher, D., & Scott, R. (2005). The importance of teacher interpersonal behaviour for stu-
dent attitudes in Brunei primary science classes.International Journal of Science Education, 27 (7),
765-779.

Estika, R. (2014). Penyusunan alat ukur student well-being untuk siswa sekolah menengah. Tesis.
Fakultas Psikologi UGM: Yogyakarta.

8 Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan
Vol 5 No. 1, September 2016

Kurniasari Dwi Wati & Tino Leonardi

Field, A. (2009). Discovering Statistics Using SPSS. Third Edition. Sage Publications. [e-book]

Fisher, D., Fraser, B., & Cresswell, J. (1995). Using the” Questionnaire on Teacher Interaction” in the Pro-
fessional Development of Teachers. Australian Journal of Teacher Education, 20 (1), 2.

Fraillon, J. (2004). Measuring student well-being in the context of Australian schooling: Discussion pa-
per. The Australian Council for Educational Research, 1-54.

Frymier, A. B., & Houser, M. L. (2000). The teacher‐student relationship as an interpersonal relation-
ship. Communication Education, 49 (3), 207-219.

Gross, E., Juvonen, J., & Gable, S. (2002). Internet Use and Well-Being in Adolescence. Journal of Social
Issues, 58 (1), 75-90.

Kahneman, D., Diener, E., & Schwarz, N. (Ed.). (1999). Well-being: Foundations of hedonic psychology.
Russell Sage Foundation.

Karyani, U. (2013). Keluarga sebagai ranah utama kesejahteraan siswa. Prosiding Seminar Nasional Par-
enting. Surakarta, 206-213.

Opdenakker, M. C., & Van Damme, J. (2000). Effects of schools, teaching staff and classes on achieve-
ment and well-being in secondary education: Similarities and differences between school out-
comes. School Effectiveness and School Improvement, 11 (2), 165-196.

Reis, H. T., Sheldon, K. M., Gable, S. L., Roscoe, J., & Ryan, R. M. (2000). Daily well-being: The role of au-
tonomy, competence, and relatedness. Personality and social psychology bulletin, 26 (4), 419-435.

Santrock, J. W. (2007). Remaja, edisi kesebelas. Jakarta: Erlangga.

Simons-Morton, B. G., Crump, A. D., Haynie, D. L., & Saylor, K. E. (1999). Student–school bonding and
adolescent problem behavior. Health education research, 14 (1), 99-107.

Soerjaningsih, W., Fraser, B. J., & Aldridge, J. M. (2001). Teacher-student interpersonal behaviour and
student outcomes among university students in Indonesia. In annual conference of the Australian
Association for Research in Education, Fremantle, Australia.

Tartwijk, J. V., Brekelmans, M., Wubbels, T., Fisher, D. L., & Fraser, B. J. (1998). Students’ perceptions
of teacher interpersonal style: The front of the classroom as the teacher’s stage. Teaching and
Teacher Education, 14 (6), 607-617.

Taufik, M. (2014, Mei). Bolos Sekolah, 829 Pelajar Digaruk Satpol PP. [on-line]. Diakses pada 9 Juli 2015
dari http://www.merdeka.com/peristiwa/bolos-sekolah-829-pelajar-surabaya-digaruk-satpol-
pp-di-warnet.html

Van Petegem, K., Creemers, B., Aelterman, A., & Rosseel, Y. (2008). The importance of pre-measure-
ments of wellbeing and achievement for students’ current wellbeing. South African Journal of

Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan 9
Vol 5 No. 1, September 2016

Perbedaan Student Well-Being Ditinjau dari Persepsi Siswa terhadap Perilaku Internasional Guru

Education, 28 (4), 451-468.

Van Petegem, K., Aelterman, A., Van Keer, H., & Rosseel, Y. (2008). The influence of student character-
istics and interpersonal teacher behaviour in the classroom on student’s wellbeing. Social Indica-
tors Research, 85 (2), 279-291.

Van Petegem, K., Aelterman, A., Rosseel, Y., & Creemers, B. (2007). Student perception as moderator for
student wellbeing. Social Indicators Research, 83 (3), 447-463.

Wubbels, T. (1985). Discipline Problems of Beginning Teachers, Interactional Teacher Behaviour Mapped
Out.

Wubbels, T., & Brekelmans, M. (2005). Two decades of research on teacher– student relationships in
class. International Journal of Educational Research, 43 (1), 6-24.

10 Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan
Vol 5 No. 1, September 2016

View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE

provided by eJournal of Sunan Gunung Djati State Islamic University (UIN)

Jurnal Psikologi Islam dan Budaya Edisi Oktober 2019, Vol.2, No.2
ISSN online 2615-8183 / print 2615-8191 Hal. : 111-126
DOI : 10.15575/jpib.v2i2.4408

Pemaknaan School Well-being pada Siswa SMP: Indigenous Research

Rudy Yuniawati1, Nissa Tarnoto2
1,2 Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Jl. Kapas No.9, Semaki, Umbulharjo, Yogyakarta
e-mail: [email protected]

Abstract/ Abstrak Keywords/ Kata kunci
indigenous;
This study examined school well-being from the perspective of junior high school school well-being;
students and influential factors of school well-being in the context and culture of student
Indonesia. This study used qualitative method with indigenous approach. This
study was conducted in two phases, the first stage research subjects were 223 indigenous;
students and the second stage were 68 students. The finding shows that school kesejahteraan sekolah;
well-being includes student satisfaction with learning programs in schools, have siswa
good relationships with other students and teachers, feeling happy doing worship
activities and deepening religious knowledge which is a characteristic of
religious-based schools. However, the learning schedule is not satisfactory
because many empty hours made students feel bored, the class situation was not
conducive, and some subject matters were not complete. The factors that influence
school well-being in students are internal motivation to study, positive
relationships with peers and teachers, and religiosity.

Penelitian ini bertujuan menguji pemaknaan school well-being dari sudut pandang
siswa Sekolah Menengah Pertama dan faktor-faktor yang memengaruhi school
well-being siswa di sekolah dalam konteks dan budaya Indonesia. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan indigenous. Penelitian
dilakukan dalam dua tahap, subjek penelitian tahap pertama sebanyak 223 siswa
serta tahap kedua sebanyak 68 siswa. Hasil penelitian ini memperoleh gambaran
school well-being siswa SMP di sekolah bahwa ada kepuasan siswa terhadap
program pembelajaran di sekolah, hubungan antara siswa dan guru yang positif,
adanya perasaan senang melakukan aktivitas ibadah dan memperdalam ilmu
agama yang merupakan ciri khas sekolah berbasis agama. Di satu sisi, jadwal
pembelajaran belum memuaskan karena banyak jam pelajaran kosong yang
membuat siswa merasa bosan, situasi kelas tidak kondusif, dan beberapa materi
pelajaran yang tidak tuntas. Motivasi internal untuk menuntut ilmu, hubungan
positif dengan teman sebaya dan guru, serta religiusitas merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap school well-being siswa.

Pendahuluan dalam lima atau enam hari tiap minggunya di
sekolah. School well-being merupakan suatu
Istilah well-being merupakan salah satu gambaran mengenai sekolah yang nyaman,
konsekuensi perkembangan Psikologi Positif. aman dan menyenangkan yang tidak hanya
Well-being adalah kondisi pervasif bahwa hidup bertujuan untuk pemenuhan well-being siswa
yang telah dan sedang dijalani terasa saja, tapi juga dalam rangka pemenuhan
menyenangkan; suatu persepsi berkelanjutan prestasi, pengembangan potensi, kemampuan
bahwa waktu-waktu yang dijalani secara fisik, dan mental siswa (Konu & Rimpela,
keseluruhan bermakna dan menggembirakan 2002).
(Myers, 1993). Well-being merupakan konsep
yang sudah banyak berkembang dan diteliti, Well-being berpengaruh positif terhadap
salah satunya di bidang pendidikan adalah proses belajar dan learning outcome. Siswa
mengenai school well-being pada siswa yang merasa puas di sekolah akan mengem-
sekolah. Kesejahteraan sekolah diperlukan bangkan sikap-sikap yang positif terhadap
mengingat sekolah memiliki pengaruh yang proses pembelajaran dan prestasi belajar. Well-
besar terhadap perkembangan remaja. Para being juga memungkinkan siswa mengembang-
pelajar menghabiskan sebagian besar waktunya, kan strategi coping terhadap pengaruh buruk

111

PEMAKNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP: INDIGENOUS RESEARCH

lingkungan (Jarvela, 2011). Siswa yang ini menunjukkan bahwa sangat penting
memiliki tingkat school well-being tinggi mengelola well-being pada remaja agar tidak
berkorelasi positif dengan peningkatan hasil menurun secara bermakna.
akademik, kehadiran siswa di sekolah, perilaku
prososial siswa, keamanan sekolah, kesehatan Huebner dkk. (2001) menjelaskan bahwa
mental siswa (Noble, McGrath, Wyatt, sejumlah studi terbaru tentang kepuasan hidup
Carbines, & Robb, 2008), serta student di Amerika Serikat bagian Tenggara menunjuk-
engagement (Hawary, Sarbini, & Hidayat, kan bahwa total 5.545 siswa sekolah negeri
2018). menilai kepuasan mereka terhadap lima domain
spesifik (keluarga, teman, sekolah, diri, dan
Kenyamanan yang berujung pada kesejah- lingkungan sekolah). Meskipun menunjukkan
teraan psikologis siswa di sekolah seharusnya level positif (di atas rata-rata), rating terendah
mendapatkan perhatian yang besar. Menurut justru terletak pada domain sekolah. Sebanyak
Angka Partisipasi Kasar (APK) pada tahun 23% remaja menunjukkan level yang berbeda-
2016 untuk wilayah perkotaan Daerah Istimewa beda; 7% melaporkan “sangat tidak puas”; 7%
Yogyakarta pada jenjang SD mencapai “tidak bahagia” dan 9% buruk sekali. Peneliti
107.46%, sedangkan SMP sederajat mencapai menyimpulkan bahwa pengalaman sekolah
90.55% serta jenjang SMA sederajat mencapai dipersepsikan sebagai sumber stres mayor dan
93.10% (BPS, 2019). Mengingat jumlah sumber ketidakpuasan bagi sejumlah siswa
populasi pelajar cukup besar, school well-being sekolah menengah. Studi yang dilakukan oleh
pada siswa sekolah merupakan hal yang sangat Epstein (dalam Okkun, Braver, & Weir 1990)
penting karena terkait pula dengan peningkatan juga menunjukkan bahwa 54% siswa sekolah
kesejahteraan masyarakat secara umum. negeri menyatakan bahwa pada sebagian besar
waktu mereka tidak ingin masuk sekolah, yang
Sejumlah penelitian di luar negeri menge- merupakan salah satu indikator rendahnya well-
nai kepuasan hidup sebagai salah satu indikator being siswa.
terkuat dari well-being pada siswa sekolah
menunjukkan bahwa rentang kepuasan yang Riset di Indonesia menunjukkan bahwa
dimiliki memang cenderung positif. Sebagai banyak faktor personal yang berpengaruh
contoh, Huebner, Ash, dan Laughlin (2001) terhadap kesejahteraan siswa di sekolah
melaporkan bahwa 73% dari 5.545 murid kelas (Ramdani & Prakoso, 2019). Riset lain
9-12 menunjukkan rating “sangat puas” hingga mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki
“puas”. Temuan serupa juga diperoleh pada well-being tinggi akan menunjukkan peningkat-
anak-anak dan remaja awal. Namun dari hasil an prestasi akademik dan penurunan masalah
penelitian tersebut ditemukan pula adanya trend perilaku, seperti membolos, penggunaan narko-
penurunan kepuasan hidup secara global. ba, kenakalan dan perilaku merokok (Suldo &
Huebner, 2004) serta angka putus sekolah
Kepuasan sekolah juga mengalami (Stroup dan Robbins, dalam Okkun dkk., 1990).
penurunan seiring bertambahnya usia. Hal ini Dengan demikian kecenderungan rendahnya
dipengaruhi oleh persepsi siswa mengenai ke- well-being siswa di Indonesia secara tidak
mampuan akademiknya. Penelitian menunjuk- langsung tercermin dari masalah-masalah
kan bahwa persepsi siswa mengenai kompetensi akademik, psikologis maupun sosial yang
akademiknya menurun seiring kemajuan dijumpai pada remaja.
mereka di sekolah (Eccles, Wigfield, &
Schiefele, dalam Broussard, 2002). Schunk dan Hasil riset pendahuluan oleh Hidayah
Pajares (dalam Broussard, 2002) menjelaskan (2013) mengenai faktor-faktor yang memenga-
terjadinya penurunan ini melalui beragam ruhi kepuasan bersekolah siswa SMP di
faktor, mencakup tingkat kompetisi yang lebih Kabupaten Bantul Yogyakarta menunjukkan
besar, berkurangnya perhatian guru terhadap bahwa berdasarkan hasil kategorisasi kepuasan
perkembangan siswa secara individual, dan bersekolah, 41.56% sampel penelitian dikate-
stres berkaitan dengan transisi sekolah. Temuan gorikan memiliki kepuasan bersekolah dalam

112 JPIB : Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, Oktober 2019, Vol.2 No.2

PEMAKNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP: INDIGENOUS RESEARCH

tingkatan sedang dan 26.7% dikategorikan psikologis dalam konteks aslinya dipandang
memiliki kepuasan yang rendah. Penelitian dari segi kerangka acuan yang relevan secara
lanjutan oleh Hidayah dan Yuniawati (2014) budaya serta kategori dan teori yang
menunjukkan bahwa sebanyak 35% siswa dikembangkan dari budaya tersebut. Analisis
memiliki kepuasan sekolah yang dikategorikan yang dipakai dalam Indigenous Psychology
rendah. adalah analisis multimethods (Kim dkk., 2010).
Berbagai macam metodologi seperti kualitatif,
Penelitian mengenai school well-being di kuantitatif, eksperimental, komparatif, dan
Indonesia sebagian besar masih menggunakan analisis filosofis dapat dipakai di dalam
teori dari Barat sehingga terkadang hasil penelitian Indigenous Psychology. Fenomena
penelitian tidak bisa mengungkap faktor yang psikologis dapat dipahami dengan lebih
berperan pada school well-being siswa di komprehensif melalui hasil-hasil dari multiple
Indonesia. Setiap budaya harus dipahami dari methods yang terintegrasi (Kim dkk., 2010).
bingkai acuannya sendiri, termasuk konteks
ekologi, sejarah, filosofi, dan agama yang ada Pengembangan Indigenous Psychology
(Kim dkk., 2006 dalam Kim, Shu, & Kuo, memerlukan kekayaan konteks, baik secara
2010). Lebih lanjut Kim (2006) menyebutkan kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas
kritikan mulai banyak muncul dari para peneliti sebaiknya tidak terfokus pada satu konteks saja
Psikologi (mayoritas dari Asia Timur) yang melainkan mengembangkan berbagai konteks
belajar di Barat (Amerika Utara dan Eropa) yang ada. Sedangkan secara kualitas, „konteks‟
(dalam Kim dkk., 2010). Ketika mereka perlu ditinjau dari kedalaman dan keluasan
kembali ke negara asalnya dan berusaha (Faturochman dkk., 2017). Indigenisasi dari
mengembangkan Psikologi, mereka menjumpai dalam (indigenizatien from within) melibatkan
banyak sekali kesulitan. Validitas, universalitas, proses eksplorasi dan identifikasi pengetahuan
dan aplikabilitas dari teori-teori Psikologi lokal yang kemudian diolah dan dielaborasi
kembali dipertanyakan. lebih lanjut untuk menghasilkan teori, konsep,
dan metode sehingga indigenisasi dari dalam
Berdasarkan latar belakang masalah, maka menempatkan konteks budaya lokal sebagai
tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh sumber dari sebuah konsep atau teori (Enriquez
gambaran pemaknaan kesejahteraan sekolah dalam Faturochman dkk., 2017).
(school well-being) yang sesuai dengan kondisi
dan budaya di Indonesia dengan pendekatan Tinjauan Teoretik Well-being Siswa
indigenous dan untuk mengetahui faktor-faktor Diener menjelaskan bahwa konstruk well-
yang memengaruhi kesejahteraan siswa terkait
dengan konteks budaya setempat. being memiliki hierarki structural (Ramdani &
Prakoso, 2019). Level tertinggi adalah evaluasi
Tinjauan Indigenous Psychology menyeluruh terhadap kehidupan individu. Level
Definisi Indigenous Psychology menurut kedua adalah dimensi kognitif dan afektif well-
being. Dimensi afektif berkisar pada emosi dan
Kim dan Berry (dalam Kim, Shu, & Kuo, 2010) mood, yang terbagi menjadi afek positif
adalah kajian ilmiah tentang perilaku atau (misalnya bahagia, senang, dan gembira) dan
pikiran manusia yang native (asli) dan afek negatif (misalnya takut, marah, dan sedih).
dirancang untuk masyarakatnya. Penekanan Adapun dimensi kognitif disebut kepuasan
dari Indigenous Psychology adalah penemuan hidup, yaitu penilaian individu bahwa
fenomena dalam masyarakat sesuai dengan kehidupannya berjalan baik. Well-being yang
konteksnya. Lebih lanjut Faturochman, Minza, tinggi akan menghasilkan kebahagiaan,
dan Nurjaman (2017) menjelaskan bahwa produktivitas, outcome sosial yang positif, dan
Indigenous Psychology adalah pengembangan daya. Mengacu kepada definisi kesehatan
sistem pengetahuan yang secara efektif menurut World Health Organization (WHO),
merefleksikan, mendeskripsikan, menjelaskan, well-being dapat diklasifikasikan secara
atau memahami fenomena perilaku dan

JPIB : Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, Oktober 2019, Vol.2 No.2 113

PEMAKNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP: INDIGENOUS RESEARCH

Gambar 1. Model kesejahteraan sekolah (Konu dan Rimpela, 2002)

psikologis, fisik, maupun sosial (World Health model kesejahteraan sekolah yang dapat dilihat
Organization, 2000). pada gambar 1.

Diterapkan dalam konteks sekolah, well- Model Sekolah Sejahtera mengacu pada
being siswa memiliki enam dimensi, yaitu: (1) model sekolah sejahtera Allardt (dalam Konu &
sikap dan emosi positif terhadap sekolah secara Rimpela, 2002). The School Well-being Model
umum, (2) konsep diri akademik yang positif, memiliki indikator dengan terpenuhinya empat
(3) menikmati kegiatan sekolah, (4) tidak dimensi kebutuhan dasar siswa yaitu: school
adanya kekhawatiran tentang sekolah, (5) tidak condition (having), social relationship (loving),
adanya keluhan-keluhan fisik di sekolah, dan mean self-fulfillment (being), dan health status.
(6) tidak adanya problem-problem sosial di Mean Self-fulfillment meliputi kemungkinan
sekolah (Hascher, dalam Jarvela, 2011). siswa untuk belajar sesuai kapasitas dan sumber
Selanjutnya Hascher menjelaskan bahwa salah yang dimilikinya. Health status melihat siswa
satu prediktor well-being siswa bersumber dari dari tanda dan gejala penyakit dan kondisi sakit
kondisi lingkungan, terutama kondisi sekolah. (Konu & Rimpela, 2002).
Beberapa variabel terkait kondisi di sekolah
adalah action plan sekolah, budaya sekolah, Social relationships/ loving meliputi
orientasi pendidikan, infrastruktur, fasilitas, dan lingkungan sosial dalam belajar, hubungan
iklim kelas (meliputi kualitas pembelajaran, antara guru dan siswa, hubungan antar teman
fasilitas kelas, partisipasi seluruh siswa, sekolah, hubungan sekolah dengan rumah
pemenuhan kebutuhan dasar, peran guru dan (orang tua siswa), kebijakan di sekolah, dan
dukungan teman sebaya). Secara skematis, atmosfer organisasi sekolah. Hubungan yang
Program Sekolah Sejahtera dikembangkan dari baik dan atmosfer sekolah yang kondusif akan
meningkatkan kapasitas seseorang di
lingkungan sosialnya dan akan meningkatkan

114 JPIB : Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, Oktober 2019, Vol.2 No.2

PEMAKNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP: INDIGENOUS RESEARCH

kesejahteraan sekolah. School condition lebih subjek. Subjek dari SMP BW terdiri dari 114
mengarah kepada kondisi fisik dan sarana subjek. Dari subjek tersebut kemudian dipilih
prasarana di sekolah (Ramdani & Prakoso, lagi untuk diperdalam dengan wawancara. Pada
2019). penelitian tahap kedua ini terpilih sebanyak 35
informan siswa SMP BW dan 33 informan
Proses pembelajaran yang dilaksanakan siswa SMP M4.
oleh guru juga harus berorientasi pada
kesejahteraan psikologis siswa. Menurut Pengambilan sampel penelitian terdiri dari
Susetyo (dalam Faturochman, Tyas, Minza, & dua tahap. Tahap pertama menggunakan
Lufityanto, 2012) terdapat beberapa aspek random sampling method untuk memilih
penting yang mampu menjaga dan mengem- sekolah yang akan diteliti, tahap kedua
bangkan kesejahteraan psikologis siswa di menggunakan cluster random sampling method
dalam kelas. Pertama, mengembangkan untuk memilih siswa di sekolah tersebut.
persepsi positif terhadap siswa. Kedua, tercipta
suasana kelas yang nyaman bagi semua siswa. Metode Pengumpulan Data
Ketiga, memperlakukan siswa sebagai insan Penelitian ini menggunakan dua alat
yang bermartabat. Guna mendukung implemen-
tasi Sekolah Sejahtera, dibutuhkan sumber daya pengumpul data yaitu dengan pertanyaan
manusia yang terlatih, sumber-sumber kepusta- terbuka (open ended questions) dan guideline
kaan yang memadai, kurikulum dan kepemim- interview. Data tahap pertama diperoleh dengan
pinan sekolah, lesson plans, skema kerja, kuesioner pertanyaan terbuka, dengan
kebijakan, toolkits, dan modul program. memberikan pertanyaan: “Hal-hal apa saja yang
membuat kalian merasa nyaman dan senang
Dapat disimpulkan bahwa dalam berada di sekolah? Sebutkan dan jelaskan!”.
penelitian ini kesejahteraan di sekolah lebih
menekankan kesejahteraan psikologis siswa Data tahap kedua diperoleh dengan
yang akan diungkap menggunakan pendekatan kuesioner dan guideline interview disusun
indigenous research yang belum tentu sama berdasarkan pada teori school well-being (Konu
dengan indikator-indikator subjective well- & Rampela, 2002). Validitas alat ukur dalam
being in schools yang mengadopsi teori Barat. penelitian ini dilakukan melalui pendapat pro-
fesional (professional judgement). Kuesioner
Metode dan guideline interview ini sebelum digunakan
dinilai oleh tiga orang profesional. Hasil
Desain Penelitian penilaian dari tiga orang profesional digunakan
Pendekatan dalam penelitian ini mengarah untuk memperbaiki kuesioner dan guideline
interview.
pada indigenous. Indigenous research adalah
metodologi yang digunakan untuk mengeksplo- Guideline interview disusun berdasarkan
rasi bagaimana manusia menjalani kehidupan- hasil penelitian tahap pertama, aspek-aspek apa
nya terkait dengan sistem pengetahuan yang saja yang ingin diperdalam serta aspek baru
khas/ asli dari masyarakat tersebut. Indigenous yang ditemukan di lapangan yang tidak ada
research dapat menggunakan pendekatan dalam teori Konu dan Rampela (2002) seperti:
kualitatif seperti wawancara, story telling, dan having (terkait suasana sekolah), loving (terkait
narative inquiry atau open ended question hubungan sosial: guru dengan siswa dan
(Kovach, 2009). hubungan antar siswa), being (terkait definisi
pelajaran menyenangkan), health (fasilitas
Subjek Penelitian penunjang materil seperti kondisi sekolah,
Siswa kelas 8 dan 9 di dua sekolah kesehatan fisik, dan dukungan ekonomi).

setingkat SMP yang berbasis agama di Kota X, Metode Analisis Data
yaitu SMP BW dan SMP M4 . Pada penelitian Teknik analisis dalam penelitian ini adalah
tahap pertama, subjek SMP M4 berjumlah 109
analisis isi (content analysis). Teknik ini

JPIB : Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, Oktober 2019, Vol.2 No.2 115

PEMAKNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP: INDIGENOUS RESEARCH

merupakan analisis yang mengacu pada kata- sekolah swasta dan berbasis agama, dimana
kata, makna, gambar, simbol, atau tema-tema SMP BW berbasis agama Kristen dan SMP M4
yang dikomunikasikan oleh teks (Tae, berbasis agama Islam. Kedua sekolah tersebut
Ramdani, & Shidiq, 2019). Teknik analisis isi memiliki kurikulum pendidikan yang mema-
digunakan untuk menarik kesimpulan dengan dukan pengetahuan umum dan pengetahuan
menemukan karakteristik pesan dan dilakukan agama sehingga setiap kegiatan atau aktivitas
secara objektif dan sistematis (Moleong, 2014). yang diprogramkan sekolah selalu mengandung
muatan agama.
Data hasil kuesioner dimasukkan dalam
program excel dan mendiskusikan semua Hasil penelitian tahap pertama di sekolah
respon kepada tim kemudian dilakukan BW dan sekolah M4, sebagaimana disajikan
pengkategorian dalam kelompok kecil. Setelah pada gambar 2 menunjukkan bahwa hal yang
itu, dari kelompok kecil dikategorisasikan membuat siswa merasa nyaman dan senang
menjadi kelompok atau tema besar dengan berada di sekolah (sejahtera) adalah hubungan
pertimbangan professional judgement, jawaban dengan warga sekolah, sarana dan prasarana
responden dihitung berdasarkan tema besar yang tersedia, pengembangan ilmu, pengelolaan
(Tae dkk., 2019). Tahap selanjutnya adalah kelas terkait ketidakhadiran guru, serta hal-hal
mempersentasekan jumlah jawaban responden. lain diantaranya aktivitas ibadah.
Subjektivitas dapat diminimalkan dengan
proses kategorisasi yang harus disetujui Hasil Penelitian Tahap Dua
minimal tiga orang profesional. Dari hasil penelitian tahap pertama,

Pada tahap pertama, peneliti membuat kemudian dilakukan probing. Temuan adanya
kategori jawaban, dari masing-masing kategori jam kosong justru membuat siswa merasa
jawaban dibuat kode angka (Tukiran, senang berada di sekolah, kondisi sekolah yang
Handayani, & Hagul, 2016). Tahap pertama membuat siswa nyaman berada di sekolah,
adalah mempelajari jawaban responden, dengan perasaan senang dapat melakukan ibadah di
cara mengkategorikan terlebih dahulu dan sekolah membuat siswa merasa nyaman di
memberikan kode pada jawaban yang ada sekolah, senang memiliki banyak teman di
kemudian memutuskan perlu tidaknya jawaban sekolah, senang bisa mempelajari ilmu agama
tersebut dipakai, yang dalam penelitian ini lebih dalam..
didiskusikan bersama dengan professional
judgement. 3%3% 48%
12%
Selanjutnya adalah memasukkan jawaban 34%
yang sudah dikategorikan ke dalam program
Microsoft excel untuk diberi kode lebih lanjut hubungan dengan warga sekolah sebesar 48%
dan dibuat kategori superordinat. Respon yang sarana dan prasarana 34%
tidak masuk dalam kategori manapun pengembangan ilmu 12%
dimasukkan dalam kategori lainnya. Hasil pengelolaan kelas ketika guru tidak hadir 3%
verbatim wawancara dilakukan coding dan Lainnya (ibadah, ditraktir teman, dll) 3%
menganalisisnya berdasarkan tema dan content
yang muncul dari jawaban subjek yang terkait Gambar 2. Hal-hal yang membuat nyaman dan
dengan faktor-faktor yang memengaruhi school senang di sekolah
well-being.

Hasil

Hasil Tahap Pertama
Penelitian ini dilakukan di SMP BW dan

SMP M4 yang merupakan sekolah menengah
tingkat pertama di Kota X dengan kriteria

116 JPIB : Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, Oktober 2019, Vol.2 No.2

PEMAKNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP: INDIGENOUS RESEARCH

Kepuasan terhadap fasilitas sekolah. “… ada. Sholat di masjid sama sholat dhuha.”
Hasil wawancara menunjukkan bahwa para (Informan M1)
siswa menilai fasilitas yang tersedia di sekolah,
seperti kelas, kantin, tempat ibadah, “Bisa memperdalam ilmu agama. Kan di negeri
perpustakaan, dan kamar mandi sudah cukup kan ilmu yang agama kan sedikit, kalau di
memadai. Mereka merasa senang dan nyaman Muhammadiyah sampai tujuh.” (Informan M2)
di sekolah dengan fasilitas yang lengkap.
Berdasarkan hasil wawancara dapat
“Fasilitas itu nggak sih. Fasilitas di sini dijelaskan bahwa aktivitas ibadah di SMP BW
lengkap. AC ada. Enak. Nyaman di sini.” adalah Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) dan
(Informan B2) membaca Alkitab sedangkan di SMP M4
adalah sholat duha dan zuhur berjamaah, serta
“Fasilitas.. udah cukup, lumayan cukup.” tadarus. Aktivitas ibadah yang diprogramkan
(Informan M11) oleh sekolah, baik KTB dan membaca Alkitab
di SMP BW maupun sholat berjamaah dan
Akan tetapi siswa merasa tidak nyaman tadarus di SMP M4, membuat siswa senang dan
dengan fasilitas ibadah di sekolah yang kurang bersemangat pergi ke sekolah karena selain
luas karena pada saat para siswa akan dikerjakan bersama teman-teman, mereka juga
melaksanakan aktivitas ibadah, fasilitas merasa tenang dan nyaman setelah mengerjakan
(tempat) ibadah terlihat penuh sesak dan tidak aktivitas ibadah di sekolah.
mampu menampung seluruh siswa sekolah.
Selain itu, ada siswa yang menyatakan fasilitas “Karena menenangkan aja gitu, terus kalo
jaringan internet belum memadai sehingga tidak misalnya ada masalah atau apa gitu sama
dapat mendukung kegiatan pembelajaran siswa temen gitu, biasanya shalat.” (Informan M1)
di sekolah.
“Ee.. soalnya gak bosen, ya..seneng gitu”
“Kalo berada di sekolah itu nggak nyaman, pas (Informan B3)
sholat dzuhur itu penuh banget.” (Informan
M9) “Em… ya seneng aja gitu ada tadarusan.”
(Informan M3)
“Mm wifinya lemot banget, hooh kalo ngerjain
tugas itu susah kan. Lemot banget.” (Informan “Seneng.. ya merasa tenang, damai.”
B4) (Informan B7)

Perasaan senang dapat melakukan “Bisa berkumpul sama temen-temen yang beda
aktivitas ibadah. Kurikulum yang dirancang kelas.” (Informan B9)
oleh sekolah banyak mengandung muatan
agama karena kedua sekolah merupakan “Ya sholat bareng-bareng gitu enak..”
sekolah yang berbasis agama. Salah satu (Informan M9)
kegiatan rutin yang diprogramkan oleh sekolah
adalah aktivitas ibadah. Hal ini merupakan ciri “Aku merasa aku dah sholat, merasa nyaman
khas dari SMP BW dan SMP M4 sebagai aja.” (Informan M13)
sekolah yang berbasis agama.
“Ya.. apa ya.. ya merasa seneng gitu. Seneng
”Eem..biasanya ada ibadah hari jumat.” ada kegiatan KBT.”(Informan B1)
(Informan B1)
“Yaa senang, lega gitu perasaan pas ehm…
”KTB, Kelompok tumbuh bersama.” (Informan sholat di majid sama sholat dhuha.” (informan
B4) M1)

“Membaca alkitab, itu setiap jumat, sabtu, “Kalau bareng-bareng itu lebih
minggu.” (Informan B2) seneng...banyak temennya. Terus kalau nggak
tau kan sering berbagi kayak benerin satu sama
lain. Kalau salah gitu kan bisa dibenerin sama
temennya gitu.” (informan M8)

JPIB : Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, Oktober 2019, Vol.2 No.2 117

PEMAKNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP: INDIGENOUS RESEARCH

“Biasanya tadarus bareng-bareng, seru aja “Ya senang karena gak ada gurunya jadi bisa
gitu bareng-bareng.” (Informan M27) bebas. Ya itu karena bisa ngobrol bebas sama
teman-teman..” (Informan B14)
Perasaan senang terhadap jam
pelajaran kosong di sekolah. Berdasarkan “Rasanya senang hehe. Karena gak ada
wawancara dengan para siswa ternyata sering pelajarannya..” (Informan B15)
ada jam pelajaran kosong pada saat kegiatan
pembelajaran di sekolah. Berdasarkan “Seneng sih, seneng. Karena biasa main
pernyataan para siswa, jam pelajaran kosong gitulah, bisa free time, bisa ngobrol-ngobrol.”
adalah jam pelajaran yang tidak diisi oleh (Informan B16)
kegiatan pembelajaran disebabkan guru yang
mengajar tidak hadir. Jam pelajaran kosong di “Yaa enak sih, jadi gak belajar, lumayan bisa
SMP BW dan SMP M4 terkadang sudah buat istirahat tambahan.” (Informan M26)
diberitahukan beberapa hari sebelumnya dan
terkadang terjadi secara mendadak disebabkan “Seneng bisa ngomong-ngomong sama temen-
guru yang mengisi jam tersebut berhalangan temen, bisa ngobrol, bisa main main sebelum
hadir dengan berbagai alasan, misalnya guru pelajaran selanjutnya.” (Informan M25)
yang bersangkutan mengikuti kegiatan di luar
sekolah, guru sakit, atau ada kegiatan rapat di Sebagian siswa ada yang merasa tidak
sekolah. Para siswa menyebutkan bahwa senang saat ada jam pelajaran kosong karena
jumlah jam kosong di sekolah antara 1-3 kali suasana kelas menjadi ramai dan tidak
dalam seminggu. kondusif, banyak tertinggal materi pelajaran,
serta merasa bingung tidak ada kegiatan belajar
“...seminggu bisa dua kali.” (Informan B1) di kelas. Banyaknya jam pelajaran kosong di
sekolah berpengaruh kepada ketidaknyamanan
“Gak terlalu sering sih, paling seminggu dua dan ketidaksenangan siswa berada di sekolah.
kali atau sekali” (Informan M1)
“Kalo kebanyakan jam kosong, pelajarannya
“Hhhhhmm ada jam kosong. Kira-kira10 kali ga dapet-dapet.” (Informan M29)
dalam satu bulan..ee 2-3kali seminggu.”
(Informan B21) “Kelasnya ribut, gaduh.”(Informan B4)

“Ya itu dua kali seminggu.” (Informan M29) “Kalau gak menyenangkannya jadi tuh
kelasnya itu jadi gak teratur gitu mba jadi pada
“Maksimal satu minggu itu tiga kali.” jalan-jalan kemana-mana.”(Informan B3)
(Informan M33)
“Kadang bosen, kadang bingung mau
Sebagian siswa merasa senang saat ada ngapain..” (Informan B6)
jam pelajaran kosong karena bisa bebas
melakukan aktivitas selain belajar, siswa dapat “Gak dapet itu ilmunya, pelajarannya.”
memiliki waktu lebih banyak untuk berkumpul (Informan M10)
dan bermain dengan teman-teman, dan
menghilangkan kebosanan belajar. Jam “Ribut banget kelasnya, jadi “merasa bosen.”
pelajaran kosong di sekolah menjadi momen (Informan M12)
yang menyenangkan untuk para siswa karena
mereka dapat melakukan aktivitas lain bersama Hasil wawancara dengan para siswa di
teman-teman mereka dan membuat mereka SMP BW dan SMP M4 menunjukkan bahwa
menjadi lebih akrab. Bahkan, ada siswa yang pelajaran agama di sekolah tersebut lebih
memanfaatkan jam pelajaran kosong untuk banyak daripada di sekolah umum sehingga
beristirahat menghilangkan rasa lelah. para siswa dapat mempelajari ilmu agama lebih
dalam.

“Kan di negeri kan ilmu yang agama kan
sedikit, kalau dimuhammadiyah sampai tujuh.”
(Informan M2)

118 JPIB : Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, Oktober 2019, Vol.2 No.2

PEMAKNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP: INDIGENOUS RESEARCH

“Banyak..yaa tentang penciptaan, terus Berada di sekolah dan bertemu dengan
e..tentang mukjizat, terus e… pengenalan akan banyak teman membuat siswa merasa senang,
Tuhan.” (Informan B3) mereka dapat bekerja sama dalam kelompok
dan melakukan hal bersama dengan teman-
Para siswa merasa senang dapat teman, misalnya dalam kegiatan ibadah dan
mempelajari ilmu agama secara mendalam mengerjakan tugas kelompok.
karena dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman siswa mengenai agama yang “Ehm.. seneng kalau KBT karena bisa
mereka yakini, membuat siswa merasa lebih kelompok jadi lebih enak.” (Informan B3)
dekat dengan Tuhan, dan membuat hati mereka
menjadi tenang. “Seneng bisa kumpul bareng, bisa sharing
bareng terus canda-canda bareng kayak lebih
“Karena ya di sekolah itu bisa lebih nyaman, deket aja.” (Informan B29)
diberkati sama Tuhan.” (Informan B3)
“Ya..seneng bisa ramai-ramai dengan temen
“Iya seneng, karena kita jadi lebih dekat lagi sholat berjamaah di masjid”. (Informan M2)
dengan Tuhan.” (Informan B4)
“Ya seneng tapi kalau bareng-bareng itu lebih
“Kalo aku itu suka kemuhammadiyahan, kayak seneng. Lebih enak. Terus apa ya, banyak
sejarahnya itu..aku suka. Kalo yang ibadah itu temennya.” (Informan M5)
ya aku suka supaya ibadahku bisa lebih bagus
lagi, gitu mba ” (Informan M3) “Aku juga lebih senang di sekolah sih. soalnya
di sekolah bisa ketemu teman, bisa main sama
“Ya seneng kayak.. sejarah-sejarah Tuhan, teman juga.” (Informan B16)
pokoknya seru. Hehe. Kalau dibayangin asik..”
(Informan B6) Para siswa juga menyatakan bahwa mereka
juga senang di rumah berkumpul dengan
“Yaa semakin lebih deket sama Tuhan. Bisa banyak teman seperti di sekolah, dapat
bersyukur.” (Informan B9) berkumpul dengan keluarga, dan di rumah
mereka merasa lebih bebas beraktivitas atau
“Seru. Hehe. Kalau dibayangin asik..” bermain handphone.
(Informan B6)
“Di rumah bisa main sama adek atau sama
Perasaan senang memiliki banyak kakak.” (Informan B1)
teman di sekolah. Berdasarkan hasil
wawancara, para siswa merasa senang “Kalau di rumah senengnya bisa ketemu orang
beraktivitas di sekolah karena mereka memiliki tua.” (Informan B6)
banyak teman, dapat bersosialisasi dengan
teman, dan melakukan banyak kegiatan di “Kalau di rumah bisa free bisa main.”
sekolah bersama teman sebaya. (Informan M15)

“Ya..emang kalau di sekolah itu senangnya “Ya seneng bisa banyak beraktivitas di rumah,
karena banyak teman.” (Informan B3) bisa berkomunikasi sama orangtua.” (Informan
B8)
“Ya kalo pelajarannya enak ya seneng di
sekolah”(Informan B5) “Kalau di rumah itu enak bisa untuk istirahat
dan main game.” (Informan M18)
“Ya.. kali lebih seneng itu, aku ketemu temen,
mendapat ilmu.” (Informan M8) “Di rumah seneng bisa main HP kalo di
sekolah gak bisa main HP dan pulangnya gak
“Aku seneng di sekolah karena temen, ketemu menentu.” (Informan M21)
temen, sama banyak guru yang enak gitu
ngajarnya.”(Informan B10) Akan tetapi, sebagian siswa juga
menyatakan bahwa mereka tidak senang berada
di rumah karena tidak memiliki teman, tidak

JPIB : Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, Oktober 2019, Vol.2 No.2 119

PEMAKNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP: INDIGENOUS RESEARCH

dapat melakukan banyak aktivitas, dan suasana “Senang karena kita bisa mendapat ilmu.”
rumah yang sepi dan membosankan. (Informan B9)

“Iya. Karena di rumah gada temen.” (Informan “Karena sekolah itu untuk mencari ilmu.”
B2) (Informan M7)

“Lebih seneng di sekolah sih kalo di rumah “Ya.. lebih seneng itu,bisa mendapat ilmu.”
itukan cuma apa ya nonton-nonton TV, makan (Informan B4)
tiduran kalo di sekolah kan bisa ketemu
temen.” (Informan M19) “Karena sekolah itu untuk mencari ilmu.”
(Informan M4)
”Kalau di rumah dimarahin terus, males.”
(Informan M6) Hubungan sosial dengan teman sebaya
dan guru. Para siswa menyatakan bahwa dapat
“Kalau rumahkan sepi kayak gak ada temen- bertemu dengan teman-teman, berinteraksi
temen. Jadi di rumah hanya main HP doank.” dengan teman, dan dapat mengobrol dengan
(Informan B14) teman di sekolah membuat mereka semangat
dan senang di sekolah.
“Kalau di sekolah lebih banyak kegiatan yang
dijalani bareng temen-temen deket.” (Informan “Kalau di sekolah bisa main bareng temen”
M11) (Informan B1)

Perasaan senang dapat mempelajari “Aku seneng di sekolah itu karena temen,
ilmu agama lebih dalam. Para siswa merasa ketemu temen, sama ada guru yang enak gitu
senang di sekolah karena mereka mendapatkan ngajarnya.” (Informan M3)
banyak ilmu dan pengetahuan, mereka dapat
mempelajari banyak hal, salah satunya “Iya lebih senang di sekolah, karena banyak
mempelajari ilmu agama secara mendalam dan temannya.” (Informan B22)
mengikuti aktivitas ibadah yang diadakan di
sekolah. Para siswa merasa lebih nyaman dan “Bisa apa ya ngobrol sama temen yaa kayak
tenang dengan mempelajari ilmu agama yang gitu..” (Informan B23)
diberikan oleh guru di sekolah.
“Karena ya kalo di sekolah seru banyak
“Ya..apa ya..merasa seneng gitu, bisa temen.” (Informan M5)
memuliakan nama Tuhan.” (Informan B4)
“Kalau di sekolah kan, ketemu temen-temen,
“Ya seneng aja gitu ada tadarusan, enak sih bisa becanda-becanda.” (Informan M6)
mba gitu. Tenang.” (Informan M7)
“Yaa lebih senang di sekolah soalnya di
“Di sekolah itu bisa lebih nyaman, diberkati sekolah kan asik gitu ketemu teman-teman.”
sama Tuhan..” (Informan B9) (Informan B21)

Faktor-faktor yang memengaruhi school Akan tetapi beberapa siswa menyatakan
well-being. Penelitian ini menemukan ada bahwa mereka tidak senang dan tidak nyaman
beberapa faktor yang memengaruhi school well- berada di sekolah karena ada beberapa teman
being di sekolah. yang melakukan tindakan bullying, ada guru
yang kurang bersahabat dan tidak dapat
Motivasi untuk memperoleh ilmu di mengajar dengan baik atau „galak‟, dan ada
sekolah. Para siswa menyatakan bahwa mereka pelajaran yang tidak disukai atau
memiliki keinginan untuk memperoleh ilmu membosankan.
dan ingin mempelajari berbagai pengetahuan
sehingga mereka merasa senang dan “Bisa karena di-bully, dijailin, gurunya terlalu
bersemangat ke sekolah. galak.” (Informan B5)

120 JPIB : Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, Oktober 2019, Vol.2 No.2

PEMAKNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP: INDIGENOUS RESEARCH

“Gak seneng kalau gurunya jutek paling mba, “Ya.. kadang seneng, kadang bosen, kadang
gurunya ngajarnya kayak gak enak kayak bingung mau ngapain..” (Informan B6)
terlalu kaku gitu..” (Informan B9)
“Kalau susahnya tu ya ituu ketinggalan
“Karena bosan sama pelajaran, mungkin. Atau pelajaran. Karena kan materinya juga nggak
bosan sama gurunya. Gurunya gini-gini aja tau. Harusnya udah smapai sini ketinggalan
nggak asik gitu.” (Informan B16) sampai sini. (Informan M8)

“Guru yang galak, teman yang jahil dan Religiusitas. Hasil wawancara dengan para
pelajaran yang membosankan. Yaa jadinya gak siswa menunjukkan bahwa mereka menyukai
enak to mba. jadi males berangkat sekolah.” aktivitas ibadah dan pelajaran agama yang
(Informan M18) diberikan secara mendalam di sekolah.
Pelajaran agama dan aktivitas ibadah di sekolah
“Ohh.. biasanya di sekolah ya ada temen yang dapat meningkatkan religiusitas para siswa
membully, jadinya gak seneng.” (Informan sehingga mereka merasa lebih senang dan
M22) merasa lebih nyaman berada di sekolah.
Bahkan, beberapa siswa menyatakan mem-
Ketidakhadiran guru. Hasil wawancara pelajari ilmu agama secara mendalam membuat
menunjukkan bahwa para siswa mendefinisikan mereka lebih dekat dengan Tuhan. Sistem
jam pelajaran kosong di sekolah adalah jam sekolah yang berbasis agama menerapkan
pelajaran yang tidak diisi materi pelajaran kurikulum yang banyak memasukkan nilai-nilai
karena ketidakhadiran guru di kelas. Alasan religiusitas dan spiritualitas sehingga proporsi
guru tidak hadir atau tidak mengisi pelajaran mata pelajaran agama lebih banyak jika
antara lain karena ada kegiatan di luar sekolah, dibanding sekolah umum.
rapat guru, atau sakit. Berikut ini adalah
beberapa hasil wawancara dengan para siswa. “Ya.. seneng.. emang suka sih.. Karena kita
lebih dekat lagi dengan Tuhan.” (Informan B3)
“Em…jam yang gak ada gurunya tugas sama
gak ada tugas.” (Informan M1) “Yaa semakin lebih deket sama Tuhan. Bisa
bersyukur.” (Informan B10)
“Kan itu gurunya nggak masuk tepat waktu.
atau gurunya nggak bisa masuk kan. Ya ijin..” “Ya karena belajar ilmu agama itu supaya bisa
(Informan B8) lebih terarahlah mungkin mba. Jadi senang
siswa.” (Informan M6)
“Jam kosong itu yo..gurunya gak ada, lagi ada
tamu atau acara di luar.” (Informan M3) “Yang penting ngaji nanti itu pelajaran jadi
tenang”(Informan M7)
“Biasanya itu gurunya ada rapat atau mungkin
guru nya lupa buat ngajar.” (Informan B12) Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa uang saku tidak memengaruhi rasa
Ketidakhadiran guru di sekolah senang dan semangat siswa berangkat ke
menyebabkan suasana kelas tidak kondusif, sekolah. Beberapa siswa menyatakan bahwa
berisik, anak-anak merasa bosan karena tidak uang saku yang diberikan oleh orang tua tidak
ada kegiatan, dan siswa merasa tertinggal dipakai untuk jajan, bahkan ada beberapa orang
beberapa materi pelajaran. Berikut adalah yang menyatakan bahwa tidak membawa uang
beberapa kutipan hasil wawancara dengan saku ke sekolah pun tidak menjadi masalah.
siswa.
“Dikasih sama gak dikasih sama aja sih.
“Terus kalo udah kaya gitu otomatis kelasku Biasanya juga gak dikasih.” (Informan B1)
tidak terkendali.” (Informan B13)
“Aku seneng di sekolah itu bukan karena uang
“Ya yang dirasakan tu kelasnya ribut, gaduh.” saku, tapi karena temen, ketemu temen, sama
(Informan M2)

JPIB : Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, Oktober 2019, Vol.2 No.2 121

PEMAKNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP: INDIGENOUS RESEARCH

ada guru yang enak gitu ngajarnya.” (Informan aspek school well-being yang menjelaskan
M4) tentang lingkungan fisik sekitar sekolah. Hal
tersebut meliputi lingkungan yang sesuai untuk
“Soalnya ya.. yaa.. uangnya biasa-biasa aja ga belajar siswa, baik kenyamanan, kebisingan,
mau buat beli apa-apa.” (Informan B8) kesejukan maupun pencahayaannya. Selain itu,
kurikulum atau pelajaran yaitu berkaitan
“Ya.. biasa aja..karena kalo gak bawa duit ke dengan jadwal pelajaran, tugas-tugas yang
sekolah juga bisa minjem hehehe.”(Informan diberikan, dan hukuman yang diterima oleh
M11) siswa jika terjadi pelanggaran peraturan.
Kemudian yang terakhir adalah pelayanan,
“Ya.. gak mesti mba. Temen aku kadang ada yaitu mengenai fasilitas layanan yang
yang gak sangu happy-happy aja.”(Informan disediakan sekolah untuk siswa, seperti: kantin,
B16) toilet, tempat konseling, Usaha Kesehatan
Sekolah (UKS), perpustakaan dan tempat
Diskusi ibadah.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah Kondisi sekolah yang menekan, tidak
dipaparkan, para siswa merasa puas dengan menyenangkan, dan membosankan membuat
keadaan sekolah. Kemudian, mereka merasa siswa bereaksi negatif, seperti stres, bosan,
senang bersekolah karena ada program aktivitas terasingkan, kesepian, depresi sehingga akan
ibadah yang diadakan di sekolah, siswa dapat berdampak pada penilaian individu terhadap
mempelajari pelajaran agama secara mendalam, prestasi di sekolah (Siswanto, 2007). Hasil
interaksi sosial dengan teman dan guru menjadi wawancara juga sejalan dengan studi Khatimah
lebih baik. Hascher (dalam Jarvella, 2011) (2015) yang menyatakan bahwa infrastruktur
menjelaskan bawa emosi dan sikap positif yang baik seperti suhu udara di dalam kelas
terhadap sekolah dan kepuasan dapat mengikuti yang sejuk, sanitasi toilet yang baik,
dan menikmati kegiatan yang diadakan di perpustakaan yang memadai serta nyaman,
sekolah dapat membentuk school well-being laboratorium yang nyaman, tempat ibadah yang
pada siswa. nyaman, kantin yang nyaman dan bersih dapat
memengaruhi perasaan nyaman dan senang
Hasil interview menunjukkan bahwa siswa beraktivitas di sekolah.
fasilitas yang tersedia di sekolah, seperti kelas,
kantin, tempat ibadah, perpustakaan, dan kamar Para siswa merasa senang di sekolah
mandi sudah cukup memadai. Mereka merasa karena memiliki banyak teman dan dapat
senang dan nyaman di sekolah dengan fasilitas beraktivitas bersama teman-temannya. Hal ini
yang lengkap. Akan tetapi siswa merasa tidak sesuai dengan yang dinyatakan Konu dan
nyaman dengan fasilitas ibadah di sekolah yang Rimpela (2002) bahwa hubungan sosial antar
kurang luas karena pada saat para siswa akan penduduk sekolah dan lingkungan luar sekolah
melaksanakan aktivitas ibadah, fasilitas yang turut memengaruhi kebijakan dalam
(tempat) ibadah terlihat penuh sesak dan tidak sekolah, misalnya orang tua dan lingkungan
mampu menampung seluruh siswa sekolah. yang ditempati di sekolah disebut dengan aspek
Selain itu, ada siswa yang menyatakan fasilitas loving termasuk dalam school well-being. Akan
jaringan internet belum memadai sehingga tidak tetapi, para siswa juga terkadang merasa tidak
dapat mendukung kegiatan pembelajaran siswa betah atau tidak senang di sekolah jika ada
di sekolah. Selain fasilitas fisik, materi atau teman yang tidak bersahabat, suka melakukan
kurikulum yang baik dan terstruktur juga sangat tindakan bullying, dan mengejek mereka.
berkaitan dengan kesejahteraan siswa di
sekolah (Amrullah, Tae, Ramdani, Irawan, & Berdasarkan temuan dalam penelitian
Prakoso, 2018; Faizah, Prinanda, Rahma, & sebagian siswa merasa senang saat ada jam
Dara, 2018). pelajaran kosong di sekolah. Jam pelajaran
kosong ini diakibatkan ketidakhadiran guru di
Konu dan Rimpela (2002) menjelaskan
bahwa having (kondisi sekolah) merupakan

122 JPIB : Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, Oktober 2019, Vol.2 No.2

PEMAKNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP: INDIGENOUS RESEARCH

kelas. Para siswa menjelaskan bahwa saat jam merespon setiap aktivitasnya di sekolah
pelajaran kosong mereka dapat melakukan (Rathakrishnan, Sanu, Yahaya, Singh, &
aktivitas lain selain belajar, misalnya bermain Kamaluddin, 2019).
dan berbincang dengan teman-teman atau
membaca buku cerita dan beristirahat. Hal ini Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa
menunjukkan bahwa siswa senang dapat para siswa merasa senang karena dapat
melakukan berbagai aktivitas bersama teman mempelajari ilmu agama lebih mendalam. Hal
sebaya, bahkan pada saat jam pelajaran kosong. ini membuat mereka merasa tenang, nyaman,
Hal ini yang tidak ditemukan pada penelitian dan lebih memahami ajaran agama yang mereka
yang dilakukan Konu dan Rimpela (2002) yakini. Studi yang dilakukan Pelana (2012) juga
bahwa adanya jam pelajaran kosong di sekolah menyatakan bahwa meningkatkan school well-
membuat siswa merasa bahagia. Hal ini being pada siswa dipengaruhi oleh keterlibatan
menunjukkan pula bahwa siswa merasa tertekan siswa dalam kegiatan sekolah.
dengan jadwal dan kegiatan yang terlalu padat
sehingga siswa tidak memiliki waktu Salah satu temuan penelitian ini adalah
melakukan hal yang mereka sukai. Beban yang faktor religiusitas dapat meningkatkan school
berat dan jadwal yang terlalu padat membuat well-being pada siswa. Pembelajaran di sekolah
siswa merasa jenuh dan stres (Sekarningrum, yang memiliki muatan nilai agama dapat
Windiani, & Adnyana, 2017), hal ini meningkatkan religiusitas para siswa dan
menunjukkan well-being siswa yang rendah. selanjutnya memengaruhi school well-being
Akan tetapi, banyaknya jam pelajaran kosong di para siswa dimana mereka merasa lebih tenang
sekolah juga menunjukkan bahwa sekolah dan senang bersekolah. Hal ini merupakan ciri
belum melaksanakan jadwal pembelajaran khas SMP BW dan SMP M4 yang merupakan
secara tertib dan konsisten sehingga jam sekolah berbasis agama yang berbeda dengan
pelajaran kosong juga dapat berdampak negatif sekolah umum.
seperti situasi kelas yang tidak kondusif dan
beberapa materi pelajaran tidak berjalan sesuai Religiusitas adalah kondisi atau keadaan
dengan jadwal atau tertunda. diri seseorang yang mendorong untuk ber-
perilaku sesuai dengan ketaatan pada agama
Hubungan sosial yang positif dengan yang diyakininya (Ancok, Suroso & Ardani,
teman sebaya di sekolah memiliki pengaruh 2000). Lebih lanjut, Ancok dkk. (2001)
positif terhadap school well-being pada siswa mendefinisikan religiusitas sebagai keberagam-
sekolah (Buchanan & Bowen, 2008). Selain itu, an yang meliputi berbagai macam sisi atau
hubungan yang tidak baik dengan guru juga dimensi, baik ritual (ibadah) maupun aktivitas
memengaruhi school well-being siswa, lain yang didorong oleh kekuatan supranatural.
misalnya guru yang terlalu keras atau kurang
komunikatif dalam mengajar membuat siswa Beberapa penelitian menunjukkan korelasi
merasa tidak nyaman atau tidak senang di antara religiusitas dan kesejahteraan. Menge-
sekolah. Compton dan Hoffman (2013) mukakan bahwa religiusitas berpengaruh positif
menjelaskan bahwa hubungan positif dengan terhadap tingkat well-being seseorang, dimana
teman di sekolah dapat meningkatkan school orang yang memiliki religiusitas tinggi
well-being pada siswa dan meningkatkan efek cenderung memiliki well-being yang tinggi
dari prediktor yang lain. Khatimah (2015) juga (Sumanty, Sudirman, & Puspasari, 2018).
menemukan bahwa dukungan sosial yang Penelitian lain pada penduduk suatu wilayah
bersumber dari teman sebaya memiliki peran (Jaenudin & Tahrir, 2019) menunjukkan bahwa
penting dalam meningkatkan school well-being tingkat religiusitas yang digambarkan dengan
siswa. Hal lainnya yang terkait dengan kualitas ketaatan beribadah atau hubungan
kesejahteraan sekolah ini adalah kecerdasan dengan Tuhan, dan partisipasi individu dalam
emosional yang dimiliki oleh siswa dalam kegiatan religius dan peribadatan memiliki
pengaruh positif terhadap kebahagiaan. Selain
itu, individu yang memiliki kualitas ketaatan
beribadah dan hubungan dengan Tuhan yang

JPIB : Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, Oktober 2019, Vol.2 No.2 123

PEMAKNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP: INDIGENOUS RESEARCH

baik cenderung memiliki tingkat well-being bahwa kesadaran arti kesehatan bagi siswa di
yang tinggi. sekolah masih belum tinggi.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Simpulan
Andrian, Kardinah, dan Ningsih (2018)
menjelaskan bahwa individu yang selalu terlibat Hasil penelitian ini menjelaskan mengenai
dalam aktivitas religi dan rajin beribadah gambaran school well-being di SMP BW dan
cenderung memiliki perilaku baik dan mampu SMP M4 yaitu kepuasan siswa terhadap
mengendalikan stres dalam hidup sehingga kegiatan dan program pembelajaran yang dibuat
tingkat well-being yang dimilikinya juga tinggi. oleh sekolah, siswa merasa senang dapat
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang mengikuti aktivitas ibadah, merasa senang saat
menunjukkan bahwa para siswa yang aktif jam pelajaran kosong, merasa senang memiliki
terlibat dalam kegiatan aktivitas ibadah di banyak teman dan dapat memperdalam ilmu
sekolah dan mempelajari ilmu agama secara agama. Faktor yang berperan terhadap school
mendalam cenderung merasa lebih tenang dan well-being pada siswa antara lain motivasi
senang beraktivitas di sekolah. Temuan lain internal siswa untuk menuntut ilmu, hubungan
adalah adanya korelasi positif antara religiusitas positif dengan teman sebaya dan guru,
yang dimanifestasikan dalam kegiatan berpuasa ketidakhadiran guru, dan religiusitas yang
terhadap kebahagiaan yang dirasakan oleh merupakan dampak dari pembelajaran di
santri (Muhopilah, Gamayanti, & Kurniadewi, sekolah yang banyak mengandung muatan
2018). nilai-nilai keagamaan.

Hal ini yang tidak ditemukan dalam Referensi
penelitian Konu dan Rimpela (2002) bahwa
mempelajari agama yang diyakini atau Ancok, D., Suroso, F. N., & Ardani, M. S.
melakukan kegiatan religius bisa meningkatkan (2000). Psikologi islami: Solusi islam atas
school well-being siswa. Hal ini dilatar- problem-problem psikologi. Yogyakarta:
belakangi dengan kondisi Indonesia adalah Pustaka Pelajar.
salah satu negara dengan tingkat religiusitas
yang tinggi sehingga nilai-nilai yang sudah Amrullah, S., Tae, L. F., Ramdani, Z., Irawan,
ditanamkan orang tua kepada anaknya sejak F. I., & Prakoso, B. H. (2018). Studi
kecil menjadi salah satu bagian yang penting sistematik aspek kreativitas dalam konteks
dalam kehidupan. pendidikan. Psympathic: Jurnal Ilmiah
Psikologi, 5(2), 187-200.
Hasil penelitian ini secara keseluruhan doi.org/10.15575/psy.v5i2.3533
mengungkapkan aspek school well-being yang
memiliki kemiripan dengan konsep yang Andrian, G. F., Kardinah, N., & Ningsih, E.
dijelaskan Konu dan Rimpela (2002) yaitu (2018). Evaluasi program mentoring
aspek fasilitas sekolah (aspek having), aspek agama Islam dalam meningkatkan
memiliki banyak teman di sekolah yang komitmen beragama. Jurnal Psikologi
termasuk ke dalam aspek loving, dan bisa Islam dan Budaya, 1(2), 85-96.
berprestasi di sekolah termasuk dalam aspek doi.org/10.15575/jpib.v1i2.3422
being, akan tetapi dari penelitian ditemukan
bahwa adanya jam pelajaran kosong atau BPS. (2019). Pendidikan. Retrieved from
ketidakhadiran guru di kelas dan mempelajari https://www.bps.go.id/subject/28/pendidik
agama serta melakukan kegiatan yang berkaitan an.html
dengan religiusitas membuat siswa senang
berada di sekolah. Hasil penelitian ini tidak Broussard, S. C. (2002). The relationship
mengungkapkan aspek yang terkait dengan between classroom motivation and
status kesehatan. Hal ini didukung dengan academic ahievement in first and third
penelitian Hidayat (2016) yang mengemukakan graders (Thesis). Louisiana State
University.

Buchanan, R. L., & Bowen, G. L. (2008). In the

124 JPIB : Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, Oktober 2019, Vol.2 No.2

PEMAKNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP: INDIGENOUS RESEARCH

context of adult support: The finding of tidak diterbitkan). Universitas Negeri
peer support on the psychological well-
being of middle school students. Child Yogyakarta, Fakultas Ilmu Keolahragaan.
Adolescence Social Work Journal, 25,
397-407. Huebner, E. S., Ash, C., & Laughlin, J. E.
Compton, W. C., & Hoffman, E. (2013).
Positive psychology, the science of (2001). Life experiences, locus of control,
happiness and flourishing. 2nd edition.
Belmont: Cengage Learning. and school satisfaction in adolescence.
Faizah, F., Prinanda, J. N., Rahma, U., & Dara,
Y. P. (2018). School well-being pada siswa Social Indicators Research, 55, 167-183.
berprestasi sekolah dasar yang
melaksanakan program penguatan Jaenudin, U., & Tahrir, T. (2019). Studi
pendidikan karakter. Psympathic: Jurnal
Ilmiah Psikologi, 5(2), 161-174. religiusitas, budaya Sunda, dan perilaku
doi.org/10.15575/psy.v5i2.3313
Faturochman, Tyas, T. H., Minza, W. M., & moral pada masyarakat Kabupaten
Lutfiyanto, G. (Eds.). (2012). Psikologi
untuk kesejahteraan masyarakat. Bandung. Jurnal Psikologi Islam dan
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faturochman, Minza, W. M., & Nurjaman, T. Budaya, 2(1), 1-8.
A. (Eds.). (2017). Memahami dan
mengembangkan indigenous psychology. doi.org/10.15575/jpib.v2i1.3445
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hawary, J., Sarbini, & Hidayat, I. N. (2018). Jarvela, S. (2011). Social and emotional aspect
Hubungan antara school well-being
dengan student engagement pada remaja of learning. Oxford: Academic Press.
di SMKN 1 Cimahi (Skripsi tidak
diterbitkan), UIN Sunan Gunung Djati Khatimah, H. (2015). Gambaran school well-
Bandung, Fakultas Psikologi.
Hidayah, N. (2013). Faktor-faktor yang being pada peserta didik program kelas
memengaruhi kepuasan sekolah pada
siswa sekolah menengah pertama (Laporan akselerasi di SMA negeri 8 Yogyakarta.
Penelitian). Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta. PSIKOPEDAGOGIA, 4(1), 20-30.
Hidayah, N. (2013). Model kepuasan
bersekolah pada siswa sekolah Kim, U., Shu Yang, K, & Kuo Hwang, K.
menengah pertama. Laporan Penelitian.
Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan. (2010). Indigenous and cultural

Hidayah, N. & Yuniawati, R. (2014). psychology. Penterjemah: Soetjipto, H.P
Evaluasi kesejahteraan psikologis siswa
di sekolah (Laporan penelitian). dan Soetjipto, S.R. Yogyakarta: Pustaka
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Pelajar.
Hidayat, R. N. (2016). Tingkat pemahaman
siswa terhadap Usaha Kesehatan Sekolah Konu, A. & Rimpela, M. (2002). Well-being in
(UKS) di SMA Negeri 1 Gamping (Skripsi
schools: Conceptual model. Health

Promotion International, 17(1), 79-87.

Kovach, M. (2009). Indigenous methodologies:

Characteristics, conversations, and

contexts. Toronto: UT Press.

Moleong, L. J. (2014). Metodologi penelitian

kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhopilah, P., Gamayanti, W., & Kurniadewi,

E. (2018). Hubungan kualitas puasa dan

kebahagiaan santri pondok pesantren Al-

Ihsan. Jurnal Psikologi Islam dan Budaya,

1(1), 53-66.

doi.org/10.15575/jpib.v1i1.2071

Myers, D. G. (1993). The pursuit of happiness:

Discovering the pathway to fulfillment,

well-being, and enduring personal joy.

New York: Avon.

Noble, T., McGrath, H., Wyatt, T., Carbines,

R., & Robb, L. (2008). Scoping study into

approaches to student well-being. ACU

National Australian Catholic University

PRN 18219.

Okkun, M. A., Braver, M. W., & Weir, R. M.

(1990). Grade level differences in school

JPIB : Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, Oktober 2019, Vol.2 No.2 125

PEMAKNAAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP: INDIGENOUS RESEARCH

satisfaction. Social Indicator Research, 22, Sekarningrum, P. A., Windiani, I. T., Adnyana,

419-427. I. S. (2017). Korelasi positif kegiatan

Pelana, R. (2012). Manajemen pembelajaran ekstrakurikuler dengan tingkat stres pada

yang menyenangkan pada mata pelajaran anak sekolah dasar. Seni Pediatri, 19(3),

pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan 145-149.

(Pjok). Jurnal Pendidikan Dasar, 3(5), Siswanto. (2007). Kesehatan mental: Konsep,

185-192. cakupan, dan perkembangannya.

Ramdani, Z., & Prakoso, B. H. (2019). Yogyakarta: Andi Offset.

Integritas akademik: Prediktor Suldo, S. M., & Huebner, E. S. (2004). Does

kesejahteraan siswa di sekolah. Indonesian life satisfaction moderate the effects of

Journal of Educational Assesment, 2(1), stressful life events on psychopathological

29-40. doi.org/10.26499/ijea.v2i1.14 behavior in adolescence? School

Rathakrishnan, B., Sanu, M. E., Yahaya, A., Psychology Quarterly, 19, 93-105.

Singh, S. S. B., & Kamaluddin, M. R. Tukiran, Handayani, T., & Hagul, P. (2016).

(2019). Emotional intelligence and Mengkode data. Dalam M. Singarimbun

psychological well-being of rural poor & S. Effendi (Eds), Metode penelitian

school students in Sabah, Malaysia. survai. Jakarta: LP3ES.

Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi, 6(1), World Health Organization. (2000). Health and

65-72. doi.org/10.15575/psy.v6i1.4082 health behaviour among young people. A

Sumanty, D., Sudirman, D., & Puspasari, D. WHO-Cross National-Survey.

(2018). Hubungan religiusitas dengan citra Copenhagen: World Health Organization.

tubuh pada wanita dewasa awal. Jurnal

Psikologi Islam dan Budaya, 1(1), 9-28.

doi.org/10.15575/jpib.v1i1.2076

Tae, L. F., Ramdani, Z., & Shidiq, G. A.

(2019). Analisis tematik faktor-faktor yang

mempengaruhi keberhasilan siswa dalam

pembelajaran sains. Indonesian Journal of

Educational Assesment, 2(1), 79-102.

doi.org/10.26499/ijea.v2i1.18

126 JPIB : Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, Oktober 2019, Vol.2 No.2

Humanitas p-ISSN 2407-2532, e-ISSN 549-4325
Vol. 5 No. 1, April 2021, hal. 1 - 16

Peran Student Well-Being dan School Climate terhadap Prestasi Akademik
pada Siswa SMP Yayasan “X” Bandung

Maria Yuni Megarini Cahyono, Trisa Genia, dan Ellen Theresia
Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha, Bandung
e-mail: [email protected]

Abstract
This study aims to determine the role of student well-being and school climate on the academic

achievements of "X" foundation junior high school students from grades 7, 8, and 9 in Bandung. This study
involved 793 students. The measuring instrument used consisted of two questionnaires, namely Student well-being
questionnaire and school climate questionnaire. Academic achievement are obtained through the average
midterm grade 2019/2020. Data processing with Multiple Regression test. The results showed that student well-
being and school climate had a significant role (F = 7.971, sig =0.000) both together and separately for
achievement. Students with many successful experiences, close relationships, feeling accepted, and having
endurance will be able to produce high academic achievement. School is a vehicle that is expected to create a
conducive learning environment for students.

Keywords: Student well-being, school climate, academic achievement, junior high school students

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui peran student well-being dan school climate terhadap prestasi

akademik siswa SMP SMP Yayasan “X” kota Bandung. Penelitian ini melibatkan 793 siswa kelas 7, 8 dan 9 yang
bernaung di bawah Yayasan “X”. Prestasi akademik dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal dalam penelitian ini adalah faktor dalam diri siswa yaitu student well-being. Faktor eksternal adalah iklim
sekolah yang dihayati siswa selama mengikuti proses belajar. Alat ukur yang digunakan terdiri dari dua kuesioner
yaitu kuesioner student well-being dan kuesioner school climate. Prestasi akademik didapatkan dari nilai rata-rata
tengah semester ganjil 2019/2020. Pengolahan data dengan uji regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa student well-being dan school climate berperan secara signifikan (F = 7.971, sig =0.000) baik secara
bersama-sama maupun terpisah terhadap prestasi akademik siswa. Dengan demikian, semakin tinggi student well-
being yang dimiliki oleh siswa dan semakin tinggi peran school climate yang dihayati siswa maka semakin tinggi
prestasi akademiknya. Oleh karena itu, sekolah diharapkan dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang
nyaman sehingga siswa merasa sejahtera dan senang saat berada di sekolah dan dapat berprestasi.

Kata kunci: Student well-being, school climate, prestasi akademik, siswa SMP

I. Pendahuluan
Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk pembangunan dan kemajuan

negara menjadi prioritas pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini. Menurut
Mendikbud Nadiem Anwar Makarim, cara yang paling efektif untuk mentransformasi SDM
adalah melalui pendidikan. (okezone.com, 2019). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
berkembangnya potensi para siswanya. Sekolah merupakan institusi penting yang diharapkan
dapat mengemban tujuan pendidikan untuk memberikan iklim dan pengalaman pembelajaran
bagi siswa sehingga siswa merasa well-being dan mencapai prestasi akademiknya.

1

Humanitas
Vol. 5 No. 1, April 2021, hal. 1 - 16

Sejak tanggal 04 Juli 2008 pemerintah berupaya meningkatkan taraf kehidupan rakyat
dengan mewajibkan semua warga negara Indonesia yang berusia 7- 12 tahun dan 12-15 tahun
untuk menamatkan pendidikan dasar dengan program 6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP secara
merata. Sampai saat ini sebagian siswa di Indonesia mengalami permasalahan dalam bidang
akademik. Permasalahan tersebut meliputi masih dijumpainya prestasi akademik,
keberlangsungan pendidikan, dan tingkat kelulusan siswa SMP yang relatif masih rendah.
Berdasar data yang dilansir oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Statistik Disdik
kota Bandung, pada tahun 2019 jumlah siswa SMP sekitar 774.000 dan rata-rata setiap tahun
sekitar 0,5% mengulang (tidak naik kelas) dan putus sekolah, karena faktor utamanya adalah
prestasi akademik siswa masih di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM).
(ayobandung.com, 2019). Sementara itu, sekitar 38.000 siswa kelas enam yang ada di kota
Bandung dilaporkan yang dapat masuk ke SMP Negeri berdasarkan nilai ujian nasional (UN)
adalah sebanyak 17.000 siswa. (disdik.jabarprov.go.id, 2019).

Prestasi akademik merupakan suatu bentuk evaluasi yang penting bagi siswa untuk
mengetahui kemampuannya. Prestasi akademik telah dikenal sebagai tujuan utama dari
pendidikan dan menjadi salah satu penentu kualitas pendidikan di Indonesia. Data Programme
for Internasional Student Assessment (PISA) memperlihatkan bahwa prestasi akademik remaja
di Indonesia masih berada pada standar yang rendah dalam kemampuan matematika, science,
dan membaca. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan remaja di Indonesia masih belum
dikembangkan secara optimal. Permasalahan lain yang sering muncul adalah potensi yang
dimiliki oleh remaja tidak dapat menjadi jaminan untuk memperoleh prestasi akademik yang
tinggi pula, jika siswa tidak berada di lingkungan pembelajaran yang dapat memfasilitasinya.
(OECD, 2015).

Amato dan Gilbreth (1999) menyatakan prestasi akademik merupakan salah satu
indikator kesejahteraan psikologis pada masa remaja. Pengalaman sukses di sekolah membuat
siswa merasa bahagia, karena telah menjalankan tugas perkembangan dengan baik.
Kebahagiaan merupakan salah satu penanda kesejahteraan psikologis (Fredrickson, 2005).
Pada sisi lain, menurut Covington (dalam Eccles & Wigfield, 2002), keberhasilan akademik
juga mengindikasikan keberfungsian mental yang baik. Menurut Hupert (2005) kondisi emosi
positif dapat menimbulkan keberfungsian mental positif, dan sebaliknya keberfungsian mental
yang baik juga menghasilkan perasaan positif. Persepsi positif terhadap diri ini (possible
selves), sangat penting untuk membangun keyakinan mengenai kesuksesan akademik siswa
(Oyserman, Brickman, & Rhodes, 2007). Siswa yang berprestasi dalam bidang akademik
cenderung memperoleh penilaian dan citra positif dari kalangan teman sebaya. Dalam jangka

2

p-ISSN 2407-2532, e-ISSN 549-4325

panjang, persepsi diri positif tersebut menimbulkan pengaruh positif pada kesehatan mental
dan kesejahteraan psikologis tahap kehidupan berikutnya (Rice & Dolgin, 2008).

Siswa SMP kelas 7, 8 dan 9 sebagai subyek dalam penelitian ini adalah individu yang
telah memasuki usia tahap remaja. Di tahap ini, remaja mengalami banyak perubahan, baik
secara fisik maupun psikis. Perubahan yang dialami remaja dapat menimbulkan permasalahan
bagi orang dewasa khususnya yang berhubungan dengan kehidupan remaja, misalnya orangtua,
keluarga atau sekolah (Papalia, 2014). Pada usia ini remaja memiliki kebutuhan dan
ketertarikan sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahapan usia sebelumnya. Banyak
remaja yang memiliki kemampuan akademik yang baik namun lebih memilih menghabiskan
waktu bersama dengan teman-teman dibandingkan menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya, hal
ini dapat berakibat pada pencapaian prestasi akademiknya. (Santrock, 2019). Bagi anak-anak
dan remaja, sekolah mewakili sebagian besar domain dalam hidupnya. Remaja menghabiskan
sebagian waktunya di sekolah, maka sekolah diharapkan dapat menciptakan atmosfir yang
mendukung tercapainya kesejahteraan siswa (student well-being). Student well-being adalah
suatu kondisi dimana siswa merasa nyaman di sekolah, merasa puas dengan dirinya sendiri
maupun saat berinteraksi dengan orang lain, menunjukkan respon emosional yang konsisten
sesuai dengan peristiwa yang dialami dan tidak adanya kondisi negatif seperti depresi,
kecemasan dan perilaku menyimpang serta siswa terlibat dalam komunitas sekolah. Student
Well-being tidak dapat dilihat secara terpisah dari konteks sekolah, karena sekolah dapat
bertindak sebagai agen perubahan untuk kesejahteraan siswanya. (Fraillon, 2004).

Yayasan “X” Bandung adalah yayasan yang menaungi 29 sekolah swasta dari tingkat
pendidikan usia dini sampai pendidikan menengah atas. Yayasan “X” ini mempunyai tujuan
membentuk karakter berdasarkan nilai-nilai Kristiani, memiliki pendidikan berkualitas dan
kurikulum yang mengembangkan kreativitas siswa serta memiliki program pengembangan
minat dan beragam ekstrakurikuler. Visi yang dimiliki adalah menjadi lembaga pendidikan
Kristen yang unggul dalam iman, ilmu, dan pelayanan. Misinya adalah mengembangkan
potensi peserta didik secara optimal melalui pendidikan dan pengajaran bermutu berdasarkan
nilai-nilai Kristiani. Dengan gambaran serta visi misi yang telah disebutkan, sekolah-sekolah
yang berada di bawah naungan Yayasan “X” senantiasa menjaga kualitas pendidikan maupun
lulusan yang dihasilkan. (website yayasan “X”). Pencapaian prestasi akademik, tidak lepas dari
peran berbagai pihak seperti siswa, guru, orangtua, tenaga kependidikan maupun yayasan.

Prestasi yang telah diraih oleh sebagian siswa SMP Yayasan “X” Bandung ini bukan
hanya prestasi di tingkat lokal, regional ataupun nasional namun juga pada tingkat
internasional. Selain prestasi akademik, sebagian siswa SMP nya juga berprestasi di bidang

3

Humanitas
Vol. 5 No. 1, April 2021, hal. 1 - 16

non akademik. Sampai saat ini prestasi tersebut belum dapat dicapai secara merata oleh
sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Yayasan “X” Bandung. Prestasi akademik
adalah bukti keberhasilan belajar atau hasil kemampuan siswa dalam kegiatan belajarnya sesuai
dengan bobot yang dicapainya. Bobot yang dimaksud adalah nilai siswa yang dapat dilihat atau
dinyatakan dalam bentuk raport, indeks prestasi studi, angka kelulusan dan predikat
keberhasilan. Prestasi akademik diperoleh melalui serangkaian evaluasi pembelajaran maupun
berbagai ulangan, ujian yang dilakukan guru untuk mengetahui kemampuan siswa dalam
memahami dan menguasai suatu materi pelajaran tertentu. Faktor yang dapat mempengaruhi
prestasi akademik, dibedakan menjadi faktor internal, yaitu faktor yang terdapat dalam diri
siswa, seperti taraf inteligensi, kesejahteraan (well-being), perasaan-sikap-minat, motivasi
belajar dan kondisi fisik. Sedangkan faktor eksternal antara lain lingkungan keluarga dan
lingkungan sekolah (school climate). (Winkel, 2009).

Faktor yang berasal dari dalam diri siswa dalam penelitian ini adalah student well-
being. Well-being siswa yang tinggi berhubungan dengan peningkatan hasil akademik,
kehadiran siswa di sekolah, perilaku prososial, keamanan sekolah dan kesehatan mental
(Noble, McGrath, Roffey & Rowling, 2008). Student Well-being mengambil peran utama
dalam pembelajaran dan memengaruhi optimalisasi fungsi siswa di sekolah. Pengukuran
student well-being dengan menggunakan indikator dan instrumen yang tepat merupakan
langkah strategis untuk mengetahui apakah sekolah telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Di dunia pendidikan, student well-being menjadi penting karena sekolah bukan hanya tentang
pencapaian prestasi siswa melainkan juga bagaimana mewujudkan well-being anak secara
utuh. Siswa yang memiliki derajat well-being yang tinggi, cenderung memiliki prestasi
akademik yang lebih tinggi, kesejahteraan mental yang lebih baik, lebih pro sosial serta
bertanggung jawab.

Perubahan lingkungan yang signifikan terjadi pada masa remaja, remaja berinteraksi
dengan guru dan teman sebaya dengan berbagai latar belakang dan minat yang lebih luas
(Santrock, 2019). Penelitian menunjukkan bahwa pada usia remaja, prediktor yang cukup kuat
untuk menjelaskan well-being adalah keterhubungan remaja dengan orang lain setiap hari,
merasa dimengerti dan dihargai serta berbagi interaksi menyenangkan lainnya (Reyes, 2012).
Student well-being terdiri atas dimensi intrapersonal dan dimensi interpersonal. Dimensi
intrapersonal memiliki enam aspek yang memengaruhi student well-being, enam aspek tersebut
adalah emotional regulation, resilience, self esteem, curiosity, engagementdan mastery
orientation. Dimensi interpersonal juga memiliki beberapa aspek yakni communicative
efficacy, emphaty, acceptance, dan connectedness (Fraillon, 2004).

4

p-ISSN 2407-2532, e-ISSN 549-4325

Pada dimensi intrapersonal, siswa menginternalisasi apa yang dirasakan pada dirinya
sendiri dan mengubahnya menjadi sesuatu yang mempengaruhi fungsinya di sekolah
masyarakat. Dimensi ini terdiri dari enam aspek yaitu Emotional Regulation yaitu kemampuan
yang dimanifestasikan sebagai ketepatan dan besarnya derajat respon emosional siswa terhadap
keadaan di sekitar. Aspek Resilience yaitu kapasitas untuk menangani dan menghadapi
tantangan studi. Aspek Self esteem yaitu penghargaan individu terhadap dirinya sendiri dalam
hal kemampuan untuk mengorganisasi, melakukan dan mengadaptasi strategi untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Aspek Curiosity yaitu keingintahuan untuk belajar lebih banyak.
Aspek Engagement yaitu partisipasi aktif dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran
dan komunitas sekolah. Aspek Mastery orientation yaitu kemampuan untuk menyelesaikan
tugas dengan upaya terbaik yang dimiliki siswa.

Dimensi interpersonal adalah kesejahteraan yang dipengaruhi oleh pengalaman
interaksi dengan orang lain, penilaian seseorang terhadap keadaan lingkungan, dan fungsinya
dalam masyarakat. Dimensi ini terdiri dari empat aspek, yaitu aspek Communicative efficacy
yaitu kemampuan untuk menggunakan keterampilan komunikasi dalam konteks untuk
mencapai tujuan. Aspek Emphaty yaitu kemampuan untuk memposisikan diri pada situasi
orang lain. Aspek Acceptance yaitu bagaimana individu memandang dan menafsirkan
masyarakat melalui karakter dan kualitas orang lain. Aspek Connectedness yaitu kesadaran
subyetif mengenai kedekatan relasi dengan orang lain.

Faktor eksternal yang dapat berpengaruh pada tercapainya prestasi akademik dalam
penelitian ini adalah school climate yang dihayati oleh siswa. School climate merupakan
refleksi pengalaman siswa, personil sekolah dan orang tua dalam kehidupan sekolah secara
sosial, emosional, etis dan akademis. (Thapa, et al., 2012). School climate yang menyenangkan
bagi semua civitas akademik dapat menumbuhkan semangat mengajar bagi guru dan semangat
belajar bagi siswa yang mendorong tercapainya suatu prestasi akademik (Lawhorn, 2010).
School climate yang menyenangkan merupakan suasana psikologis yang tercipta dalam
lingkungan sekolah sehingga setiap civitas akademik merasa bahagia dalam menjalankan
aktivitas di sekolah. (Rasyidin, 2014). Kenyamanan siswa menjadi hal yang penting, sebab
segala hal yang ada dalam lingkungan sekolah mampu menumbuhkan dorongan bagi setiap
peserta didik untuk mencapai prestasi yang terbaik (Harackiewics, Barron, Tauer, & Elliot,
2002; Rahayu, 2011).

School climate dapat dilihat melalui empat aspek, yaitu Safety merupakan perasaan
aman siswa karena sekolah memiliki norma, struktur, disiplin dan aturan yang dapat diterapkan
secara efektif. Aspek Relationship adalah bagaimana orang-orang di sekolah merasa terhubung

5

Humanitas
Vol. 5 No. 1, April 2021, hal. 1 - 16

satu dengan lainnya. Aspek Teaching and Learning adalah bagaimana kepala sekolah dan guru
memberikan proses pembelajaran yang suportif, partisipatif, saling menghargai, serta kompak.
Aspek Institutional Environment adalah bagaimana keadaan kualitas fisik, fasilitas dan
lingkungan sekitar sekolah. (Thapa, et al., 2012).

Menurut Australian Council for Educational Research ditemukan bahwa lingkungan
sekolah memiliki pengaruh penting dalam keterlibatan siswa, lingkungan sekolah ini disebut
dengan school climate. School climate merupakan bagian dari lingkungan belajar yang akan
mempengaruhi kepribadian dan tingkah laku seseorang, sebab dalam melaksanakan tugas
sekolahnya seorang siswa akan selalu berinteraksi dengan lingkungan belajarnya. (Freiberg,
H.J., 2005). Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa school climate merupakan salah
satu faktor penting yang dapat memengaruhi prestasi akademik siswa di sekolah. School
Climate yang positif memiliki ciri-ciri di antaranya hubungan baik antar warga sekolah,
kemampuan warga sekolah untuk mematuhi aturan dan norma yang berlaku, penghayatan akan
rasa nyaman di proses belajar mengajar serta fasilitas sekolah yang memadai. (Thapa et al,
2012).

Suasana lingkungan kelas juga harus menumbuhkan suasana yang menyenangkan bagi
peserta didik untukmengkuti kegiatan pembelajaran yang disampaikan oleh guru-gurunya.
(Church, Elliot, & Gable, 2001; Do & Schallert, 2004). Setiap peserta didik merasa senang,
nyaman dan bahagia dalam mengerjakan tugas-tugas akademik (Lee, 2005) tanpa disertai
dengan rasa takut, cemas atau kuatir terhadap hasil pencapaian akademiknya (Martin, 2011).
Karena itu, suasana lingkungan ruang kelas akan memberi pengaruh terhadap perilaku setiap
peserta didik (Boekaerts, Van Nuland & Martens, 2010). Bila suasana lingkungan kelas bersifat
positif maka setiap peserta didik akan terdorong untuk mengembangkan keterlibatan secara
aktif.

Persepsi siswa terhadap hubungan antar warga sekolah akan memengaruhi keterlibatan
siswa secara emosional. Persepsi siswa terhadap kemampuan warga sekolah mengatasi
kegagalan akan memengaruhi keterlibatan siswa secara kognitif. Sedangkan persepsi siswa
terhadap kejelasan peraturan dan lingkungan sekolah memengaruhi keterlibatan siswa secara
behavior. Siswa dengan tingkat well-being yang rendah cenderung melakukan perilaku-
perilaku yang merugikan dan sikap anti sekolah, sehingga diperlukan upaya dalam peningkatan
student well-being. (Government, 2010).

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat diketahui bagaimana peran student well-being
dan school climate terhadap prestasi akademik yang dapat dicapai oleh siswa SMP. Temuan
ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi sekolah-sekolah khususnya SMP yang ada di kota

6

p-ISSN 2407-2532, e-ISSN 549-4325

Bandung untuk memperhatikan aspek-aspek yang dapat membuat siswa yang berada di usia
remaja ini menjadi well-being dan mendorong sekolah-sekolah untuk memperhatikan aspek-
aspek yang berperan dalam membentuk school climate.

II. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui peran student well-being dan school climate

terhadap prestasi akademik siswa SMP yang berada di bawah naungan Yayasan “X” di
Bandung dengan menggunakan metode kuantitatif. Teknik pengumpulan data pada penelitian
ini menggunakan kuesioner yang diberikan kepada seluruh siswa. Prosedur penelitian dimulai
dengan mengisi inform consent yang dilanjutkan mengisi data diri (inisial nama, usia, jenis
kelamin, kelas dan nama sekolah) dan kuesioner.

Alat ukur student well-being (Faillon, 2004) berupa kuesioner yang disusun oleh
Kurniastuti dan Azwar (2014) terdiri dari 34 aitem yang valid dengan nilai 0.314-0.918,
sementara koefisien reliabilitas berdasarkan Alpha Cronbach adalah 0.729. Kuesioner untuk
mengukur School Climate (Thapa et.al, 2010) terdiri dari 16 aitem dengan nilai validitas 0.328-
0.901 dan reliabilitas 0.850. Terdapat empat pilihan jawaban untuk kedua kuesioner tersebut
yaitu sangat jarang, jarang, sering dan sangat sering, setiap jawabannya memiliki rentang nilai
1-4. Untuk mengukur prestasi akademik digunakan nilai rata-rata tengah semester tahun ajaran
2019/2020 yang diperoleh dari masing-masing sekolah. Besarnya peran student well-being dan
school climate terhadap prestasi akademik dihitung dengan menggunakan uji regresi berganda
dengan bantuan software Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 24. Populasi
sasaran dalam penelitian ini berjumlah 793 siswa SMP “X” Bandung. Penelitian ini
menggunakan teknik penarikan sampel non-probability sampling dengan jenis purposive
sampling (Sugiyono, 2011).

7

Humanitas
Vol. 5 No. 1, April 2021, hal. 1 - 16

III. Hasil Penelitan dan Pembahasan
Berdasarkan pengolahan data dari 793 siswa SMP Yayasan “X” Bandung didapatkan

gambaran umum responden sebagai berikut:

Tabel I. Gambaran Responden

Kategori Jenis Frekuensi Persentase
Jenis Kelamin Laki-Laki 419 52,8
Perempuan 374 47,2
Usia 11 tahun 15 1,9
12 tahun 235 29,6
Kelas 13 tahun 263 33,2
14 tahun 246 31,0
15 tahun 33 4,2
16 tahun 1 0,1
Kelas 7 254 32,0
Kelas 8 271 34,2
Kelas 9 268 33,8
793 100
Total

Data demografi responden yang dijaring dari 793 responden adalah jenis kelamin, usia dan
kelas.

Tabel II. Gambaran Peran Student Well-being dan School Climate terhadap Prestasi

Akademik

Regresi Berganda R² F Sig. Simpulan
Student Well-being – 0,117 10.366 0,000 0 ditolak, terdapat pengaruh
0,022 4.407 0,002 0 ditolak, terdapat pengaruh
Prestasi Akademik
School Climate – 0,110 7.971 0,000 0 ditolak, terdapat pengaruh

Prestasi Akademik

Student Well-being dan
school climate – Prestasi

Akademik

Berdasarkan tabel II, diperoleh variabel student well-being mempunyai nilai koefisien
determinasi (R²) sebesar 0,117 yang artinya student well-being memberikan pengaruh sebesar
11,7% terhadap prestasi akademik. Untuk variabel school climate mempunyai nilai koefisien
determinasi (R²) sebesar 0,022 yang artinya school climate memberikan pengaruh sebesar 2,2%
terhadap prestasi akademik. Untuk variabel student well-being bersama dengan variabel school
climate mempunyai nilai koefisien determinasi (R²) sebesar 0,110 yang artinya kedua variabel
secara bersama-sama memberikan pengaruh sebesar 11% terhadap prestasi akademik.

8


Click to View FlipBook Version